laporan sk 2

24
1 SKENARIO Seorang laki-laki berusia 30 tahun datang ke RSGM FKG Universitas Jember datang dengan keluhan luka pada mulut. Berdasarkan anamnesis luka tersebut timbul 2 hari yang lalu, riwayat pasien dikonfirmasi mengonsumsi obat Carbamazepin yang diperoleh dari dokter syaraf dikarenakan pasien didiagnosis Trigeminal Neuralgia 10 hari yang lalu, pasien juga mengonsumsi Amoksisilin dan Asam Mefenamat dari dokter gigi karena mengalami abses bukal. Pada pemeriksaan ekstra oral bibir atas dan bawah dijumpai krusta merah kehitaman dengan kondisi bibir mudah berdarah. Pada pemriksaan intra oral mukosa bukal dekstra-sinistra dan mukosa labial atas dan bawah dijumpai erosi meluas disertai pseudomembran putih kekuningan, dijumpai bula dan ulcer bentuk oval ukuran ± (5x7) mm, tengah putih kekuningan, tepi eritema, regular, batas jelas. Pasien mempunyai riwayat alergi makanan laut (udang, tongkol), telur ayam, dan debu tungau. STEP 1 1. Carbamazepin : Golongan obat yang berfungsi untuk mengobati kejang, menstabilkan syaraf, dan obat pada penderita Trigeminal Neuralgia dimana efek dari obat ini adalah menyebabkan dekstruksi dari keratosit. 2. Amoksisilin : Antibiotik yang paling umum digunakan dimana memiliki efek samping yaitu jika penggunaan terlalu lama dan dosis terlalu tinggi dapat membunuh bakteri fisiologis dalam tubuh. Contoh : golongan penisilin dapat menghalangi bakteri untuk membelah diri. 3. Erosi : Terkelupasnya jaringan yang terbatas pada lapisan epidermis dan tidak menimbulkan perdarahan. 4. Pseudomembran : Suatu keadaan semu/ bentukan mirip membran dimana ini merupakan jaringan yang tipis dan bukan jaringan yang sebenarnya. 5. Krusta : Cairan eksudat pada luka yang tertutupi oleh suatu kerak. Cairan eksudat ini biasanya berwarna kekuningan dan kemerahan.

Upload: febri-anto

Post on 13-Jul-2016

278 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

j

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Sk 2

1

SKENARIO

Seorang laki-laki berusia 30 tahun datang ke RSGM FKG Universitas Jember datang

dengan keluhan luka pada mulut. Berdasarkan anamnesis luka tersebut timbul 2 hari yang

lalu, riwayat pasien dikonfirmasi mengonsumsi obat Carbamazepin yang diperoleh dari

dokter syaraf dikarenakan pasien didiagnosis Trigeminal Neuralgia 10 hari yang lalu, pasien

juga mengonsumsi Amoksisilin dan Asam Mefenamat dari dokter gigi karena mengalami

abses bukal. Pada pemeriksaan ekstra oral bibir atas dan bawah dijumpai krusta merah

kehitaman dengan kondisi bibir mudah berdarah. Pada pemriksaan intra oral mukosa bukal

dekstra-sinistra dan mukosa labial atas dan bawah dijumpai erosi meluas disertai

pseudomembran putih kekuningan, dijumpai bula dan ulcer bentuk oval ukuran ± (5x7) mm,

tengah putih kekuningan, tepi eritema, regular, batas jelas. Pasien mempunyai riwayat alergi

makanan laut (udang, tongkol), telur ayam, dan debu tungau.

STEP 1

1. Carbamazepin :

Golongan obat yang berfungsi untuk mengobati kejang, menstabilkan syaraf, dan obat

pada penderita Trigeminal Neuralgia dimana efek dari obat ini adalah menyebabkan

dekstruksi dari keratosit.

2. Amoksisilin :

Antibiotik yang paling umum digunakan dimana memiliki efek samping yaitu jika

penggunaan terlalu lama dan dosis terlalu tinggi dapat membunuh bakteri fisiologis

dalam tubuh. Contoh : golongan penisilin dapat menghalangi bakteri untuk membelah

diri.

3. Erosi :

Terkelupasnya jaringan yang terbatas pada lapisan epidermis dan tidak menimbulkan

perdarahan.

4. Pseudomembran :

Suatu keadaan semu/ bentukan mirip membran dimana ini merupakan jaringan yang

tipis dan bukan jaringan yang sebenarnya.

5. Krusta :

Cairan eksudat pada luka yang tertutupi oleh suatu kerak. Cairan eksudat ini biasanya

berwarna kekuningan dan kemerahan.

Page 2: Laporan Sk 2

2

6. Asam Mefenamat :

Anti inflamasi non steroid yang memiliki efek menghilangkan nyeri (analgesik

antipiretik) dimana obat ini menghambat enzim siklooksigenase yang dapat

menurunkan prostaglandin.

7. Ulcer :

Lesi di mukosa rongga mulut yang perluasannya ke arah bawah dan bersifat erosif

disertai adanya pseudomembran.

8. Eritema :

Kemerahan pada kulit dan mukosa yang disebabkan pelebaran pembuluh darah

kapiler serta peningkatan aliran darah dan adanya inflamasi akut pada kulit dan

mukosa.

9. Trigeminal Neuralgia :

Nyeri pada wajah yang episodik oleh karena kerusaan Nervus Trigeminus.

10. Abses :

Rongga patologis yang berisi cairan (pus) yang mengandung bakteri serta jaringan

nekrotik.

STEP 2

1. Apakah hubungan obat yang dikonsumsi pasien dengan gejala yang timbul ?

2. Apakah hubungan penyakit sistemik dengan gambaran ekstra oral serta intraoral pada

pasien?

3. Apakah dimungkinkan adanya diagnosa yang berbeda dari gambaran klinis ekstra oral

dan intra oral ?

4. Dari gambaran klinis pasien apakah bisa diperoleh diagnosa tetap secara langsung

ataukah diagnosa tersebut merupakan manifestasi dari penyakit lain?

5. Apakah diagnosa dari penyakit diatas dilihat dari gambaran klinis ekstra oral dan intra

oral?

6. Apakah etiologi dari diagnosa tersebut?

7. Apakah diagnosa banding dari penyakit tersebut?

8. Bagaimana ciri-ciri lesi dapat dikatakan memiliki prognosis baik/buruk? Dan apakah

semua lesi reversible?

9. Bagaimana rencana perawatan untuk pasien tersebut?

10. Apakah ada hubungan antara alergi pada pasien dengan obat yang dikonsumsi?

Page 3: Laporan Sk 2

3

11. Apakah perbedaan dari penyakit mulut oleh karena penyakit sistemik dengan penyakit

sistemik karena faktor lokal ?

12. Apa pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosa tetap pada skenario diatas?

STEP 3

1. Pasien menderita Trigeminal Neuralgia sehingga diberi Carbamazepin. Obat tersebut

dapat mengakibatkan reaksi alergi tipe II dan tipe III. Reaki alergi tipe III diperantarai

oleh IgG dan IgM yang akan mengaktifkan sitolitik secara langsung oleh komplemen

yang akan merangsang basofil untuk melepaskan ke jaringan granul lalu akan

mengendap pada kulit dan mukosa.

2. Penyakit sistemik tidak berhubungan dengan adanya gejala klinis, namun pengobatan

dari penyakit sistemik tersebut yang menimbulkan adanya beberapa gejala klinis

tersebut. Contohnya Carbamazepin sebagai obat dair Trigeminal Neuralagia.

3. Dibahas di LO

4. Dibahas di LO

5. Eritema multiformis, karena adanya gejala klinis berupa krusta merah yang mudah

berdarah.

6. a) Infeksi virus

· Herpes simpleks

· Pneumonia atipikal primer, infeksi mikoplasma

· AIDS

· Adenovirus

· Cytomegalovirus

· Hepatitis B

· Mononukleasis infeksius

· Limfogranuloma inguinal

· Milker’s nodes

· Mumps

· Orf

· Poliomyelitis

· Psittacosis

· Variola

· Vaccinia

· Varicella

Page 4: Laporan Sk 2

4

b) Infeksi bakteri

· Rickettsia

c) Infeksi jamur

· Histoplasmosis

· Vaksinasi

d) reaksi obat

e) reaksi kontak

f) Karsinoma, limfoma, leukemia

g) Lupus eritematosus (Rowell’s syndrome)

h) Poliarteritis nodosa

i) Pregnansi, premenstrual,’dermatitis progesteron autoimun’

j) Sarkoidosis

k) Wegener’s granulomatosis

l) X-ray terapi

m) Tidak diketahui

Untuk No. 7-12 dibahas di step 7.

Page 5: Laporan Sk 2

5

STEP 4 ( Mapping )

STEP 5 ( Learning Objective)

1. Mampu memahami dan menjelaskan cara diagnosa pada penyakit mulut

(khususnya Eritema Multiformis).

2. Mampu memahami dan menjelaskan pemeriksaan penunjang pada penyakit

mulut.

PEMERIKSAAN

OBJEKTIF SUBJEKTIF

DIAGNOSA SEMENTARA DAN

DIAGNOSA BANDING

PEMERIKSAAN PENUNJANG

DIAGNOSIS TETAP

RENCANA PERAWATAN

PROGNOSIS

Page 6: Laporan Sk 2

6

3. Mampu memahami dan menjelaskan perawatan pada penyakit mulut.

STEP 7 ( Pembahasan Learning Objective )

1. Mampu memahami dan menjelaskan cara diagnosa pada penyakit mulut

(khususnya Eritema Multiformis).

Cara Menentukan Diagnosis

Diagnosis merupakan suatu proses penilaian kesehatan pasien dan juga boleh

dikatakan sebagai suatu formulasi hasil pemikiran klinisi. Untuk menentukan

keputusan diagnostik yang tepat diperlukan cara pendekatan yang sistematis terhadap

berbagai masalah yang timbul pada setiap pasien. Pendekatan yang paling efektif

untuk menentukan berbagai keputusan klinik dilakukan dengan menggunakan metode

ilmiah yang dikenal sebagai metode diagnostik.

Proses analisis informasi klinis dalam diagnosis penyakit merupakan pengumpulan

informasi yang dilakukan dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan laboratoris. Untuk menentukan diferensial diagnosis informasi yang

terkumpul dari pemeriksaan tersebut akan dianalisis, dan lebih lanjut akan

menghasilkan diagnosis sementara atau diagnosis kerja.

Page 7: Laporan Sk 2

7

Langkah awal metode diagnostik ialah mengumpulkan informasi diagnostik yang

meliputi riwayat kesehatan rinci dari pasien, temuan hasil pemeriksaan klinis, dan

hasil pemeriksaan penunjang diagnostik lain seperti pemeriksaan labotaorium. Perlu

diperhatikan bahwa selama mengumpulkan informasi ini klinisi harus tetap bersifat

obyektif. Pendapat atau pemikiran yang terlalu awal dapat menyebabkan kekeliruan

diagnostik yang justru dapat menganggu persepsi dan akurasi informasi yang telah

dikumpulkan.

Informasi yang telah dikumpulkan dari seorang pasien disebut sebagai

diagnostic database, merupakan suatu fakta atau data dasar mengenai status awal

pasien yang dapat digunakan sebagai pembanding untuk evaluasi perkembangan

penyakit atau efektifitas perawatan maupun perkembangan abnormalitas yang baru.

Tahap ke dua dalam proses diagnostik ialah mengorganisir dan menentukan

arti klinis dari berbagai informasi yang telah dikumpulkan, antara lain dengan

membandingkan berbagai temuan klinis dengan pengetahuan dasar seperti anatomi,

fisiologi, patologi dan berbagai pengalaman klinis yang telah diperoleh sebelumnya.

Temuan-temuan yang tidak lazim akan dikorelasikan untuk diidentifikasi

keterkaitannya dan persamaan dalam susunan atau suatu pola yang mengisyaratkan

pada tanda-tanda penyakit tertentu. Dalam evaluasi ini harus dikaji mengenai ketepatan

informasi yang diperoleh dan untuk hal-hal yang kontradiktif perlu dicari penjelasan

lebih lanjut. Tidak jarang perlu informasi tambahan dengan melakukan pengulangan

beberapa prosedure diagnostik seperti anamnesis atau pemeriksaan klinis, bahkan

kadang harus dilakukan tes atau pemeriksaan tambahan yang lebih khusus.

Data diagnostik dari riwayat pasien, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan

penunjang lain umumnya direkam dalam kartu status berdasarkan kelompok

pemeriksaan. Selanjutnya dilakukan pengelompokan untuk sejumlah temuan klinis

yang mempunyai kaitan penting dengan perubahan fisiologis atau tanda gejala

penyakit tertentu. Pada tahapan ini akan diseleksi apakah informasi tersebut banyak

memberikan kontribusi untuk masalah medik, dental, atau masalah nondental.

Beberapa temuan atau suatu penampiIan spesifik dapat berhubungan dengan lebih

dari satu katagori masalah tersebut.

Page 8: Laporan Sk 2

8

Setelah berbagai kombinasi informasi dikumpulkan klinisi harus mengambil

keputusan awal untuk setiap persoalan diagnostik yang terkait. Untuk identifikasi

masalah diagnostik pasien dan menentukan cara pendekatan ke arah diagnosis. maka

pemahaman tentang relasi, reliabilitas, konsistensi, dan anti klinis dari informasi

yang telah dikumpulkan sangat diperlukan.

Tahapan pemeriksaan :

Pemeriksaan Subjektif :

Anamnesis merupakan percakapan professional antara dokter dengan pasien

untuk mendapatkan data/riwayat penyakit yang dikeluhkan pasien.

Informasi tentang riwayat pasien dibagi menjadi 4 bagian :

1. Identitas pasien

2. Keluhan Utama

3. Riwayat sosial

4. Dental dan medis

Riwayat ini memberikan informasi yang berguna merupakan dasar dari

rencana perawatan

Pemeriksaan Objektif :

1. Pemeriksaan Ekstra-oral

Setiap kelainan ektraoral yang nampak yang dicatat selama pencatatan

riwayatdapat diperiksa lebih lanjut. Penampilan umum-besar dan berat,

cara berjalan, corak kulit, mata, bibir, simetri wajah, dan kelenjar

limfe.

2. Pemeriksaan Intra-oral

Merupakan suatu pemeriksaan yang digunakan untuk melihat kondisi

RM ( Rongga Mulut pasien ) dimana hal ini dilakukan dalam upaya

menegakkan hasil dari pemeriksaan subjektif yang telah dilakukan

sebelumnya

o Jaringan lunak : mukosa pipi, bibir, lidah, tonsil, palatum lunak,

palatum

kerasdan gingival.

o Gigi : kebersihan mulut, keadaan gigi-gigi, posisi gigi-gigi-

crowding, spasing

Page 9: Laporan Sk 2

9

Erythema multiforme (EM)

Erythema multiforme (EM) adalah suatu kondisi kulit akut, self-

limited, dan kadang-kadang recurrent karena reaksi hipersensitivitas tipe IV

yang berhubungan dengan infeksi, medikasi, dan berbagai pemicu lain.

Erythema multiforme dapat muncul dalam spectrum keparahan yang luas.

Erythema multiforme minor menunjukkan erupsi kulit yang terlokalisasi

dengan keterlibatan mukosa yang minimal atau tidak ada sama sekali;

erythema multiforme mayor dan Steven-Johnson syndrome (SJS) lebih

parah, dan berpotensi mengancam jiwa.

Baru-baru ini, erythema multiforme telah diklasifikasikan sebagai minor,

mayor, Stevens-Johnson syndrome (SJS) dan nekrolisis epidermal toksik, di

mana erythema multiforme minor adalah tipe lesi paling ringan dan

nekrolisis epidermal toksik adalah yang paling berat.

Table 1: Perbedaan ciri-ciri erythema multiforme minor, erythema multiforme mayor,

Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis3

Kategori

erythema

multiforme

Perbedaan

Erythema

multiforme

minor

Lesi target yang khas, target lesi atipikal

yang meninggi/membentuk bentolan,

keterlibatan membrane mukosa minimal dan,

ketika muncul, hanya pada satu sisi (paling

umum di mulut.

Lesi oral; erythema ringan sampai berat,

erosi dan ulserasi.

Kadang-kadang dapat berefek hanya

pada mukosa oral.

< 10% permukaan tubuh yang terlibat.

Erythema

multiforme

mayor

Lesi kutaneus dan setidaknya 2 sisi

mukosa (biasanya mukosa oral) yang terkena.

Target lesi yang terdistribusi secara

simetris, tipikal (khas) maupun atipikal.

Page 10: Laporan Sk 2

10

Lesi oral biasanya menyebar dan berat.

Stevens-

Johnson

syndrome

Perbedaan utama dari erythema

multiforme mayor adalah berdasarkan

typology dan lokasi lesi dan adanya gejala

sistemik.

< 10% permukaan tubuh yang terlibat.

Terutama lesi berupa lesi target datar

atipikal dan makula daripada lesi target klasik.

Secara umum menyebar daripada hanya

melibatkan area akral. Adanya keterlibatan

mukosa yang multiple, dengan scar pada lesi

mukosa.

Gejala sistemik mirip-flu prodromal

(prodromal flu-like systemic symptoms) juga

umum.

Overlapping

Stevens-

Johnson

syndrome

and toxic

epidermal

necrolysis

Tidak ada target tipikal; muncul target

atipikal yang datar.

Sampai dengan 10% – 30% permukaan

tubuh terlibat.

Gejala sistemik mirip-flu prodromal

(prodromal flu-like systemic symptoms) juga

umum.

Nekrolisis

epidermal

toksik

Pada kasus di mana muncul spot

muncul, ditandai oleh epidermal detachment

dari > 30% permukaan tubuh dan macula

purpuric yang menyebar (widespread purpuric

macules) atau target atipikal yang datar.

Pada kasus di mana tidak ada spot yang

muncul, ditandai oleh epidermal detachment >

10% permukaan tubuh, large epidermal sheets

dan tidak ada macula ataupun lesi target.

Terdapat perbedaan pendapat dalam literature tentang definisi klinis erythema

multiforme dan SJS, apakah keduanya merupakan penyakit yang berbeda, ataukah

keduanya menunjukkan spectrum dari satu proses penyakit yang sama. Komisi

internasional telah mengusulkan bahwa erythema multiforme dan SJS dapat dipisahkan

Page 11: Laporan Sk 2

11

menjadi 2 gangguan klinis yang berbeda dengan reaksi mukosa yang serupa, namun

dengan pola lesi kulit yang berbeda.

Ciri-ciri Eritema Multiformis

1. Eritema multiformis minor : terdapat lesi target yang khas, minimal

melibatkan satu lokasi membran mukosa. Ciri lesi oral: terdapat eritema ringan sampai

berat, erosi dan ulcer. Kadang dapat mempengaruhi hanya mukosa mulut. Permukaan

tubuh yang terkena <10%.

2. Eritema multiformis mayor : lesi cutaneous yang melibatkan minimal dua

lokasi membran mukosa. Biasanya memengaruhi mukosa mulut. Luas permukaan

tubuh yang terlibat <10%, lesi target yang khas atau atipikal terdistribusi simetris, lesi

oral biasanya meluas dan parah.

3. Sindrom Stevens-Johnson : Perbedaan utama dari eritema multiformis mayor

didasarkan pada tipologi dan lokasi lesi dan adanya gejala sistemik. Luas permukaan

tubuh terlibat <10%. Biasanya lesi target atipikal datar dan berbentuk makula dari pada

lesi target yang klasik. Lesi umumnya luas dari pada hanya melibatkan daerah acral.

Banyak lokasi mukosa yang terlibat, dengan jaringan parut dan lesi mukosa. Umumnya

dengan gejala sistemik seperti flu prodromal.

4. Overlapping Sindrom Stevens-Johnson : Tidak ada target yang khas, target

atipikal datar. Luas permukaan tubuh yang terkena 10% -30%. Gejala sistemik umum

seperti flu prodromal.

5. Toxic epidermal necrolysis : Bintik-bintik yang muncul ditandai dengan

detasemen epidermis > 30% permukaan tubuh dan terdapat makula, purpura yang luas

atau target atipikal datar. Dengan tidak adanya bintik-bintik, ditandai dengan detasemen

epidermis > 10% permukaan tubuh dan tidak ada makula atau lesi target.

Differential Diagnosis EM

1. Urtikaria : secara klinis, melibatkan edema dari mukosa

sedangkan secara patologis, terjadi infiltrasi dari eosinofil, limfosit, sel mast, dan

neutrofil.

Page 12: Laporan Sk 2

12

2. Steven-Johnson Syndrome : secara klinis, terlihat eritema yang meluas,

keterlibatan mukosa yang parah, dan terdapat gejala-gejala umum, sedangkan secara

patologis, terjadi kekurangan dari sel-sel inflamasi.

3. Pemphigoid Bullosa : secara klinis, terjadi keterlibatan dari mukosa

sedangkan secara patologis, terdapat sejumlah sel-sel eosinofil.

4. Pamphigus Paraneoplastic : secara klinis, terjadi keterlibatan dari mukosa

yang parah dan dapat mengarah ke keganasan sedangkan secara patologis, terdapat

adanya acantholisis.

5. Sweet’s Syndrome : secara klinis, terdapat edematous dan

keterlibatan dari mukosa sedangkan secara patologis, terjadi infiltrasi dari sel-sel

neutrofil.

6. Rowell’s Syndrome : secara klinis, lesi target berukuran besar

sedangkan secara patologis, terjadi dermatitis.

7. Cutaneous small-vessel vasculitis : secara klinis, terdapat purpura yang dapat

dipalpasi, sedangkan secara patologis, terjadi leukocytcolastic vasculitis.

Pemeriksaan Klinis

Erosi

Erosi merupakan suatu kerusakan yang masih dangkal, sebagian permukaan

epitelium hilang namun tidang meliputi jaringan ikat di bawahnya.

Jika kita menemui single atau multiple erosi, kita dapat memulai diagnosis

dengan memilih salah satu dari diagram berikut:

MULTIPLE

UNILATERAL

EROSIONS

GENERALISED

WIDESPREAD

EROSIONS

SINGLE OR MULTIPLE

LOCALISED EROSIONS

Page 13: Laporan Sk 2

13

Gambar 1.1 Multiple Unilateral Erosion

Gambar 1.2 Single Erosion

Gambar 1.3 Generalised Widespread Erosions

Page 14: Laporan Sk 2

14

Generalised Widespread Erosions

Page 15: Laporan Sk 2

15

Multiple Ulcers

Page 16: Laporan Sk 2

16

2. Mampu memahami dan menjelaskan pemeriksaan penunjang pada penyakit

mulut.

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang adalah pemeriksaan lanjutan yang dilakukan setelah

pemeriksaan fisik pada penderita. Spesimen yang diperoleh dari pasien akan

mengalami berbagai macam pemeriksaan mikroskopik, biokimia, mikrobiologi

maupun imunofluoresensi. Dengan semakin bervariasinya kelainan jaringan lunak

mulut, maka diperlukan informasi tambahan dari pemeriksaan laboratorium untuk

menentukan diagnosis lesi. Pemeriksaan laboratorium saja belum dapat digunakan

untuk mengetahui sifat lesi ataupun menentukan diagnosis. Masih perlu lagi

dikumpulkan informasi dari bio data pasien, riwayat kesehatan umumnya, riwayat lesi

yang dikeluhkan, pemeriksaan klinis ekstra oral maupun intra oral. Suatu diagnosis

yang tepat juga akan dapat menghasilkan perawatan yang tepat. Untuk itu dilakukan

pemeriksaan penunjang agar diagnosis dapat ditentukan dengan yakin, sehingga tidak

ada keraguan dalam memberikan perawatan.

Pemeriksaan Radiologi

Ada beberapa teknik radiologi yang dapat dilakukan untuk melihat gambaran rongga

mulut, tergantung pada jenis lesi yang ditemukan. Contohnya adalah antero-posterior view,

cephalometri, panoramic, x-ray periapikal, occlusal foto. Untuk lesi jaringan lunak mulut, jenis

pemeriksaan radiologi yang sering diperlukan adalah occlusal foto. Teknik ini dapat digunakan

untuk mengetahui letak dari batu kelenjar liur yang biasanya ditemukan pada saluran kelenjar

liur submandibula. Untuk melihat gambaran regio ini, maka teknik yang paling tepat adalah

occlusal foto. Dengan cara ini letak batu dapat diketahui ada di mana, jauh atau dekat dengan

muara duktus kelenjar liur. Letak batu berpengaruh pada jenis perawatan yang akan dilakukan.

Bila dekat dengan permukaan dapat dilakukan massage untuk mengeluarkan batu. Jika batu

terletak di dalam kelenjar atau jauh dari permukaan tentunya perlu dilakukan tindakan operasi

untuk mengeluarkan batu tersebut.

Page 17: Laporan Sk 2

17

Gb 1. Benjolan di dasar mulut yang merupakan batu

kelenjar liur (Cawson dan Odell, 2008).

Gb 2. Dengan occlusal foto letak batu kelenjar liur dapat

diketahui lokasinya (Neville dkk, 1999).

Pemeriksaan biopsi

Biopsi eksisi

Biopsi eksisi adalah pengambilan jaringan yang dilakukan untuk pemeriksaan histopatologi

lebih lanjut. Biopsi dilakukan bila ditemukan lesi yang mencurigakan atau bila diagnosis tetap

belum dapat ditentukan. Biasanya tindakan ini dilakukan pada lesi yang berdiri sendiri, dan

spesimen harus cukup besar (lebih dari 1 x 0,5 cm) untuk keperluan pemeriksaan histopatologi.

Cara ini dilakukan bila operator yakin bahwa lesi tersebut jinak. Ada risiko terlepasnya sel

ganas bila diagnosis kerja berupa lesi jinak ternyata salah. Meskipun demikian, nilai klinis

suatu biopsi jauh lebih besar dibandingkan risiko tersebut. Biopsi eksisi dapat membantu

menentukan perawatan yang tepat bila diagnosis lesi jinak ternyata benar. Untuk spesimen

tersebut, perlu diperhatikan supaya terhindar dari tekanan, robekan ataupun terbakar (Birnbaum

dan Dunee, 2000).

Biopsi insisi

Biopsi insisi dilakukan untuk lesi yang besar atau bila diduga ada keganasan. Cara ini

memiliki risiko berupa terlepasnya sel ganas. Biopsi insisi tidak dilakukan pada lesi pigmentasi

Page 18: Laporan Sk 2

18

ataupun vaskular, karena melanoma sangat metastatik dan lesi vaskular akan menimbulkan

perdarahan berlebihan. Di dalam status pasien sebaiknya dicatat letak lesi, ukurannya dan

bentuknya.

Pada biopsi insisi ini hanya sebagian kecil dari lesi yang diambil beserta jaringan sehat di

dekatnya. Pengambilan lesi dapat dilakukan dengan menggunakan scalpel, menggunakan alat

punch (punch biopsy), menggunakan jarum suntik (needle biopsy), dan biopsi aspirasi.

Punch biopsy

Pada punch biopsy ini instrumen operasi digunakan untuk mendorong keluar sebagian

jaringan yang dapat mewakili lesi. Oleh karena spesimen yang dihasilkan seringkali rusak

akibat prosedur ini, maka biopsi yang menggunakan scalpel lebih disukai.

Gb 4. Brush diletakkan dan diputar untuk men-

dapatkan sel-sel epitel (Marx dan Stern, 2003).

Needle biopsy

Teknik ini telah digunakan untuk biopsi pada lesi fibro-osseous yang letaknya dalam.

Spesimen yang dihasilkan kecil, sehingga tidak dapat mewakili lesi yang terlibat dan dapat

rusak akibat prosedur yang digunakan, karena itu tidak banyak digunakan.

Biopsi aspirasi

Biopsi aspirasi digunakan untuk lesi berupa kista dan mengandung cairan. Cara ini lebih

disukai

dibandingkan biopsi insisi pada lesi vaskular karena adanya risiko terjadi perdarahan

berlebihan. Aspirasi udara yang terjadi di daerah molar rahang atas menunjukkan bahwa jarum

berada di dalam sinus

maksilaris. Aspirasi darah menunjukkan adanya suatu hematoma, hemangioma ataupun

pembuluh darah. Aspirasi pus menunjukkan adanya suatu abses atau kista yang terinfeksi

(Birnbaum dan Dunne, 2000).

Page 19: Laporan Sk 2

19

Gb 6. Biopsi aspirasi untuk pus (Lamey

dan Lewis, 1991).

Pemeriksaan sitologi (oral cytological smear)

Pemeriksaan sitologi adalah suatu pemeriksaan mikroskopik pada sel-sel yang dilepaskan

atau dikerok di permukaan lesi. Cara ini merupakan pemeriksaan tambahan untuk biopsi, bukan

pengganti biopsi. Pemeriksaan ini dilakukan bila biopsi tidak dapat dilaksanakan, pasien

menolak biopsi, ada lesi multipel yang harus diperiksa. Permukaan lesi tidak perlu dikeringkan,

kecuali untuk melepaskan jaringan nekrotik. Permukaan lesi dibiarkan agar tetap basah, lalu

dikerok dengan tepi plastic instrument yang steril atau spatel lidah yang basah. Kerokan

dilakukan beberapa kali dalam arah yang sama. Slide spesimen yang sudah diberi label

disiapkan, hasil kerokan diletakkan di atas slide, kemudian disebarkan ke samping

menggunakan slide lain. Spesimen difiksasi dengan formalin (formol saline) 10% dalam botol

tertutup .

Pemeriksaan Mikrobiologi

Dua jenis pemeriksan mikrobiologi yang sering dilakukan untuk lesi jaringan lunak mulut

adalah: oral mycological smear dan oral bacteriological smear.

Oral Mycological Smear

Oral mycological smear dilakukan untuk membuktikan adanya infeksi jamur pada lesi

yang ditemukan. Pemeriksaan ini diawali dengan melakukan swab pada mukosa mulut yang

dicurigai, dengan menggunakan cotton swab. Kemudian dengan cotton swab dan spesimen

yang didapat, dilakukan streaking pada permukaan media Sabouraud Dextrose Agar (SDA)

dalam cawan petri. Setelah itu cawan petri tersebut dimasukkan ke dalam inkubator selama 24

– 48 jam untuk membiakkan jamurnya. Seseudah 48 jam akan tumbuh koloni jamur berwarna

putih- kekuningan.

Page 20: Laporan Sk 2

20

Gb 7. Inkubator yang digunakan untuk membiakkan

Candida albicans (Rasyad, 1995).

Gb 8. Koloni Candida yang tumbuh setelah diinkubasi

selama 48 jam (Rasyad, 1995).

Langkah selanjutnya adalah melakukan streaking lagi pada petri lain untuk mengekstraksi

Candida albicans. Setelah tumbuh koloni, lakukan streaking lagi pada agar yang miskin nutrisi.

Dalam agar ini Candida albicans akan membentuk klamidospora. Hasil akhirnya adalah

Candida albicans murni.

Oral Bacteriological Smear

Bahan yang akan diperiksa diambil dari permukaan gigi, kemudian dioleskan di atas slide

spesimen. Kemudian difiksasi di atas nyala api spiritus. Berikutnya dituangi dengan pewarna

carbol fuchsin, dibiarkan 10 menit. Lalu dituangi dengan pewarna methylene blue, biarkan 10

menit. Setelah kering, dilihat di bawah mikroskop cahaya untuk mengetahui adanya bakteri:

Contoh Borrelia vincentii dan Bacillus fusiformis. Bila hasilnya positif, maka benar lesi yang

dihadapi adalah acute necrotizing ulcerative gingivostomatitis.

Pemeriksaan Darah

Venepuncture dilakukan untuk melakukan pemeriksaan sel darah merah, sel darah putih dan

trombosit. Biasanya darah dikumpulkan ke dalam tabung EDTA. Untuk pemeriksaan ESR dan

prothrombin time, biasanya darah dikumpulkan ke dalam tabung sitrasi. Darah diambil dari

lengan bagian dalam. Untuk pemeriksaan darah lengkap, yang diperiksa adalah: red cell count,

Page 21: Laporan Sk 2

21

hemoglobim, hematokrit, mean cell volume, mean cell hemoglobin, mean cell hemoglobin

concentration, white cell count dan platelet count.

3. Mampu memahami dan menjelaskan perawatan pada penyakit mulut.

PENATALAKSANAAN

Prinsip perawatan ada beberapa macam :

1. Perawatan Kausatif (menghiangkan penyebab)

2. Perawatan Simptomatif (Menghilangkan Gejala)

3. Perawatan Supportif (meningkatkan daya tahantubuh pasien)

Semua bentuk eritema multiforme, penanganan yang paling penting adalah penanganan

simtomatik, yaitu antihistamin oral, analgesik, perawatan kulit, dan soothing

mouthwashes (yaitu dengan membilas mulut dengan warm saline water atau dicampur

dengan difenhidramin, xylocaine, dan kaopectate).

Pada kasus ringan diberi pengobatan simtomatik, meskipun sedapat-dapatnya perlu

dicari penyebabnya. Pada penyakit ini biasanya dapat diberikan pengobatan

kortikosteroid per oral, misalnya berupa prednison 3 x 10 mg sehari. Manajemen

eritema multiforme melibatkan penentuan etiologi bila mungkin.

a. Terapi secara sistemik

Menghindari faktor penyebab atau mengobatinya, terutama karena adanya reaksi

hipersensitivitas karena pemakaian obat .

EM Tipe minor yaitu dengan pemberian kortikosteroid oral antara 20-40 mg/hari

selama 4-6 hari lalu diberikan secara tapering dosis tak lebih dari 2 minggu. Pada EM

tipe mayor perlu pemberian antara 40-80 mg/hari selama 2-3 minggu. Pemberian

antibiotik untuk menghindari infeksi sekunder (Laskaris, 2005).

Obat-obat antivirus diindikasikan untuk pasien HAEM, dengan pemberian acyclovir

200 mg, lima kali sehari sejak terlihat pertamakali munculnya lesi atau 400 mg, empat

kali sehari selama 6 bln atau melanjutkan terapi menggunakan valacyclovir, pemberian

500 mg dua kali sehari disarankan sebagai profilaksis

Page 22: Laporan Sk 2

22

b. Terapi secara topikal.

Pengobatan simptomatik meliputi pemberian analgesic atau NSAID; kompres

dingin dengan menggunakan larutan saline;pengobatan oral seperti saline kumur;

lidokain dan diphenhydramine.

Pada kasus-kasus berat, dapat diberikan kortikosteroid (prednisolon) dengan

dosis awal 30-60 mg/hari, kemudian dosis diturunkan dalam 1-4 minggu. Kegunaan

kortikosteroid hingga saat ini masih diperdebatkan, namun perbaikan gejala sistemik

seperti demam dapat tercapai dengan kortikosteroid.

Langkah pertama adalah untuk mengobati kecurigaan penyakit menular atau untuk

menghentikan obat kausal.

Pengobatan topikal berupa antiseptik topikal untuk lesi kulit yang telah erosi dan

bilasan antiseptik/antihistamin dan anestetik lokal untuk lesi mukosa. Penggunaan

cairan antiseptik, seperti klorhexidin 0.05% saat mandi dapat mencegah superinfeksi.

Antihistamin oral dan steroid topikal dapat digunakan untuk gejala relief. Antihistamin

oral selama 3-4 hari dapat mengurangi rasa perih dan terbakar pada kulit. Pada kasus-

kasus yang berat dengan gangguan fungsi, terapi awal dengan kortikosteroid sistemik

(prednison [0.5–1 mg/kg/hr]) atau metilprednisolon [1 mg/kg/hr untuk 3 hari]) haruslah

dipertimbangkan. Prednison dapat digunakan pada pasien dengan lesi banyak dengan

dosis 40 sampai 80 mg per hari selama satu sampai dua minggu kemudian dosis

diturunkan.

Terapi simtomatik hanya digunakan jika terbentuk bulla dan papul yang terlokalisir.

Pada pasien yang hidup bersama atau baru terinfeksi HSV, pengobatan dini dengan

asiklovir oral (Zovirax®) dapat mengurangi jumlah dan durasi lesi kulit. Pada individu

dengan EM terkait-HSV dengan tingkat rekurensi yang tinggi, profilaksis minimal 6

bulan dengan asiklovir oral (10 mg/kg/hr dalam dosis terbagi, biasanya 200mg dalam 5

kali sehari selama 5 hari), valasiklovir (500-1000 mg/hr, dengan dosis tergantung

frekuensi rekurensi), atau famsiklovir (250 mg dua kali sehari) haruslah dipikirkan.

Jika tetap terjadi rekurensi, dibutuhkan dosis rendah berlanjut dari asiklovir oral.

Asiklovir oral telah ditunjukkan efektif dalam mencegah EM terkait-HSV yang rekuren

dan protokol pengobatannya berupa 200-800 mg/hari selama 26 minggu. Jika asiklovir

gagal, valasiklovir dapat digunakan (500 mg, dua kali sehari). Penggunaan yang

terakhir ini memiliki bioavaliabilitas oral yang lebih besar dan lebih efektif dalam

Page 23: Laporan Sk 2

23

menekan EM terkait HSV yang rekuren.

Rencana perawatan dengan Kortikosteroid

a)kortikosteroid sistemik

Apabila keaadaan umum pasien dalam keadaan sedang dan lesi tidak menyeluruh

cukup diobati dengan kortikosteroid sistemik berupa prednisone 30-50 mg 3 kali sehari

dengan cara tapering off (dimulai dari dosis awal lalu dikurangi secara perlahan

lahan)dapat membantu mempersingkat masa penyembuhan.

Penggunaan obat kortikosteroid sistemik merupakan tindakan life-saving.Pada

keadaan umum yang berat biasanya digunakan deksametason atau metilprednisolon

secara intravena dengan dosis permulaan 5mg 4-6 kali sehari.Pada umumnya masa

kritis dapat diatasi dalam beberapa hari (2-3 hari).Proses penyembuhan eritema

multiformis mayor ini berlangsung selama 3-6 minggu.

b)Kortikosteroid Topikal

Bila keadaan kering dapat diberikan bedak salisilat 2% dan bila keadaan basah perlu

kompres larutan salin 1%.Kortikosteroid topical tidak diperbolehkan digunakan pada

lesi kulit yang basah.Bila di kulit dirawat dengan kompres basah larutan burrow atau

salin.Untuk lesi di mulut dapat diberikan kenalog in orabase dan betadine gargle.Obat

kumur anastesi topical berguna untuk mengurangi rasa nyeri dan luka yang dirasakan

dimulut.Pada kulit atau epidermis yang mengalami nekrosis dapat dilakukan

debridement.Untuk lesi di kulit yang erosive dapat diberikan sofratulle atau krim

sufadiazin.

Antibiotik

Pada saat penurunan dosis kortikosteroid sistemik dapat timbul miliaria kristalina yang

sering diduga sebagai lesi baru, penanganan yang dilakukan ialah dosis kortikosteroid

tetap diturunkan dan diberikan antibiotic untuk mencegah terjadinya infeksi. .

Antibiotic yang paling beresiko tinggi adalah β-lactam dan sulfa jangan digunakan

untuk terapi awal.

Untuk mengatasi infeksi diberikan antibiotika spectrum luas, biasanya dipergunakan

gentamisin 5mg/kgBB/hari intramuscular dalam dua dosis. Pemberian antibiotic

Page 24: Laporan Sk 2

24

selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan

darah. Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menyebabkan alergi,

berspektrum luas, bersifat bakterisidal (antibiotik yang mempengaruhi pembentukan

dinding sel atau permeabilitas yang membunuh mikroorganisme) dan tidak atau sedikit

nefrotoksik. Obat yang memenuhi syarat tersebut misalnya siprofloksasin 400 mg 2

kali sehari intravena, klindamisin 600 mg 2 kali sehari intra vena.

Bila tapering off kortikosteroid tidak lancer maka sebaiknya dicari faktor penyebabnya

mungkin terjadi alergi terhadap antibiotik yang diberikan sehingga menimbulkan lesi

yang baru oleh karena itu perlu dilakukan penghentian pemakaian antibiotik tersebut

dan mengganti dengan antibiotik yang lain. Selain disebabkan oleh alergi obat dapat

juga disebabkan infeksi sehingga perlu dilakukan pengkulturan darah.

Didapatkan data bahwa Herpes- accociated erythema multiforme (HAEM) nampak

pada 20 % - 25 % dari kasus Eritema Multiformis, dimana herpes virus (HSV) menjadi

penyebab utama dari eritema multiformis. HAEM ini merupakan suatu reaksi

hipersensitivitas yang nampak akibat dari reaksi cell –mediated immune saat

berasosiasi dengan antigen HSV. Eritema multiformis yang berhubungan dengan

herpes simplex virus ini memerlukan terapi antiviral. Walaupun penyakit tampak

selesai dalam 10 – 20 hari, pasien dapat terkena lagi atau mengalami rekurensi dalam

waktu 1 tahun, dan durasi penyakit ini bisa sampai 10 tahun. Terapi antiviral yang biasa

digunakan dan efektif untuk mencegah rekurensi dari HAEM adalah acyclovir oral 200

– 800 mg per hari selama 26 minggu, terdapat sumber yang mengatakan untuk

penggunaan acyclovir oral bisa diberikan sebanyak 400 mg dua kali sehari selama 4 - 6

bulan. Apabila acyclovir tidak efektif, dapat diganti dengan terapi antiviral yang lain

yaitu valacyclovir 500 mg per hari selama 4 - 6 minggu atau famciclovir 250 mg dua

kali sehari selama 4- 6 bulan.