laporan sk 2
DESCRIPTION
jTRANSCRIPT
1
SKENARIO
Seorang laki-laki berusia 30 tahun datang ke RSGM FKG Universitas Jember datang
dengan keluhan luka pada mulut. Berdasarkan anamnesis luka tersebut timbul 2 hari yang
lalu, riwayat pasien dikonfirmasi mengonsumsi obat Carbamazepin yang diperoleh dari
dokter syaraf dikarenakan pasien didiagnosis Trigeminal Neuralgia 10 hari yang lalu, pasien
juga mengonsumsi Amoksisilin dan Asam Mefenamat dari dokter gigi karena mengalami
abses bukal. Pada pemeriksaan ekstra oral bibir atas dan bawah dijumpai krusta merah
kehitaman dengan kondisi bibir mudah berdarah. Pada pemriksaan intra oral mukosa bukal
dekstra-sinistra dan mukosa labial atas dan bawah dijumpai erosi meluas disertai
pseudomembran putih kekuningan, dijumpai bula dan ulcer bentuk oval ukuran ± (5x7) mm,
tengah putih kekuningan, tepi eritema, regular, batas jelas. Pasien mempunyai riwayat alergi
makanan laut (udang, tongkol), telur ayam, dan debu tungau.
STEP 1
1. Carbamazepin :
Golongan obat yang berfungsi untuk mengobati kejang, menstabilkan syaraf, dan obat
pada penderita Trigeminal Neuralgia dimana efek dari obat ini adalah menyebabkan
dekstruksi dari keratosit.
2. Amoksisilin :
Antibiotik yang paling umum digunakan dimana memiliki efek samping yaitu jika
penggunaan terlalu lama dan dosis terlalu tinggi dapat membunuh bakteri fisiologis
dalam tubuh. Contoh : golongan penisilin dapat menghalangi bakteri untuk membelah
diri.
3. Erosi :
Terkelupasnya jaringan yang terbatas pada lapisan epidermis dan tidak menimbulkan
perdarahan.
4. Pseudomembran :
Suatu keadaan semu/ bentukan mirip membran dimana ini merupakan jaringan yang
tipis dan bukan jaringan yang sebenarnya.
5. Krusta :
Cairan eksudat pada luka yang tertutupi oleh suatu kerak. Cairan eksudat ini biasanya
berwarna kekuningan dan kemerahan.
2
6. Asam Mefenamat :
Anti inflamasi non steroid yang memiliki efek menghilangkan nyeri (analgesik
antipiretik) dimana obat ini menghambat enzim siklooksigenase yang dapat
menurunkan prostaglandin.
7. Ulcer :
Lesi di mukosa rongga mulut yang perluasannya ke arah bawah dan bersifat erosif
disertai adanya pseudomembran.
8. Eritema :
Kemerahan pada kulit dan mukosa yang disebabkan pelebaran pembuluh darah
kapiler serta peningkatan aliran darah dan adanya inflamasi akut pada kulit dan
mukosa.
9. Trigeminal Neuralgia :
Nyeri pada wajah yang episodik oleh karena kerusaan Nervus Trigeminus.
10. Abses :
Rongga patologis yang berisi cairan (pus) yang mengandung bakteri serta jaringan
nekrotik.
STEP 2
1. Apakah hubungan obat yang dikonsumsi pasien dengan gejala yang timbul ?
2. Apakah hubungan penyakit sistemik dengan gambaran ekstra oral serta intraoral pada
pasien?
3. Apakah dimungkinkan adanya diagnosa yang berbeda dari gambaran klinis ekstra oral
dan intra oral ?
4. Dari gambaran klinis pasien apakah bisa diperoleh diagnosa tetap secara langsung
ataukah diagnosa tersebut merupakan manifestasi dari penyakit lain?
5. Apakah diagnosa dari penyakit diatas dilihat dari gambaran klinis ekstra oral dan intra
oral?
6. Apakah etiologi dari diagnosa tersebut?
7. Apakah diagnosa banding dari penyakit tersebut?
8. Bagaimana ciri-ciri lesi dapat dikatakan memiliki prognosis baik/buruk? Dan apakah
semua lesi reversible?
9. Bagaimana rencana perawatan untuk pasien tersebut?
10. Apakah ada hubungan antara alergi pada pasien dengan obat yang dikonsumsi?
3
11. Apakah perbedaan dari penyakit mulut oleh karena penyakit sistemik dengan penyakit
sistemik karena faktor lokal ?
12. Apa pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosa tetap pada skenario diatas?
STEP 3
1. Pasien menderita Trigeminal Neuralgia sehingga diberi Carbamazepin. Obat tersebut
dapat mengakibatkan reaksi alergi tipe II dan tipe III. Reaki alergi tipe III diperantarai
oleh IgG dan IgM yang akan mengaktifkan sitolitik secara langsung oleh komplemen
yang akan merangsang basofil untuk melepaskan ke jaringan granul lalu akan
mengendap pada kulit dan mukosa.
2. Penyakit sistemik tidak berhubungan dengan adanya gejala klinis, namun pengobatan
dari penyakit sistemik tersebut yang menimbulkan adanya beberapa gejala klinis
tersebut. Contohnya Carbamazepin sebagai obat dair Trigeminal Neuralagia.
3. Dibahas di LO
4. Dibahas di LO
5. Eritema multiformis, karena adanya gejala klinis berupa krusta merah yang mudah
berdarah.
6. a) Infeksi virus
· Herpes simpleks
· Pneumonia atipikal primer, infeksi mikoplasma
· AIDS
· Adenovirus
· Cytomegalovirus
· Hepatitis B
· Mononukleasis infeksius
· Limfogranuloma inguinal
· Milker’s nodes
· Mumps
· Orf
· Poliomyelitis
· Psittacosis
· Variola
· Vaccinia
· Varicella
4
b) Infeksi bakteri
· Rickettsia
c) Infeksi jamur
· Histoplasmosis
· Vaksinasi
d) reaksi obat
e) reaksi kontak
f) Karsinoma, limfoma, leukemia
g) Lupus eritematosus (Rowell’s syndrome)
h) Poliarteritis nodosa
i) Pregnansi, premenstrual,’dermatitis progesteron autoimun’
j) Sarkoidosis
k) Wegener’s granulomatosis
l) X-ray terapi
m) Tidak diketahui
Untuk No. 7-12 dibahas di step 7.
5
STEP 4 ( Mapping )
STEP 5 ( Learning Objective)
1. Mampu memahami dan menjelaskan cara diagnosa pada penyakit mulut
(khususnya Eritema Multiformis).
2. Mampu memahami dan menjelaskan pemeriksaan penunjang pada penyakit
mulut.
PEMERIKSAAN
OBJEKTIF SUBJEKTIF
DIAGNOSA SEMENTARA DAN
DIAGNOSA BANDING
PEMERIKSAAN PENUNJANG
DIAGNOSIS TETAP
RENCANA PERAWATAN
PROGNOSIS
6
3. Mampu memahami dan menjelaskan perawatan pada penyakit mulut.
STEP 7 ( Pembahasan Learning Objective )
1. Mampu memahami dan menjelaskan cara diagnosa pada penyakit mulut
(khususnya Eritema Multiformis).
Cara Menentukan Diagnosis
Diagnosis merupakan suatu proses penilaian kesehatan pasien dan juga boleh
dikatakan sebagai suatu formulasi hasil pemikiran klinisi. Untuk menentukan
keputusan diagnostik yang tepat diperlukan cara pendekatan yang sistematis terhadap
berbagai masalah yang timbul pada setiap pasien. Pendekatan yang paling efektif
untuk menentukan berbagai keputusan klinik dilakukan dengan menggunakan metode
ilmiah yang dikenal sebagai metode diagnostik.
Proses analisis informasi klinis dalam diagnosis penyakit merupakan pengumpulan
informasi yang dilakukan dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratoris. Untuk menentukan diferensial diagnosis informasi yang
terkumpul dari pemeriksaan tersebut akan dianalisis, dan lebih lanjut akan
menghasilkan diagnosis sementara atau diagnosis kerja.
7
Langkah awal metode diagnostik ialah mengumpulkan informasi diagnostik yang
meliputi riwayat kesehatan rinci dari pasien, temuan hasil pemeriksaan klinis, dan
hasil pemeriksaan penunjang diagnostik lain seperti pemeriksaan labotaorium. Perlu
diperhatikan bahwa selama mengumpulkan informasi ini klinisi harus tetap bersifat
obyektif. Pendapat atau pemikiran yang terlalu awal dapat menyebabkan kekeliruan
diagnostik yang justru dapat menganggu persepsi dan akurasi informasi yang telah
dikumpulkan.
Informasi yang telah dikumpulkan dari seorang pasien disebut sebagai
diagnostic database, merupakan suatu fakta atau data dasar mengenai status awal
pasien yang dapat digunakan sebagai pembanding untuk evaluasi perkembangan
penyakit atau efektifitas perawatan maupun perkembangan abnormalitas yang baru.
Tahap ke dua dalam proses diagnostik ialah mengorganisir dan menentukan
arti klinis dari berbagai informasi yang telah dikumpulkan, antara lain dengan
membandingkan berbagai temuan klinis dengan pengetahuan dasar seperti anatomi,
fisiologi, patologi dan berbagai pengalaman klinis yang telah diperoleh sebelumnya.
Temuan-temuan yang tidak lazim akan dikorelasikan untuk diidentifikasi
keterkaitannya dan persamaan dalam susunan atau suatu pola yang mengisyaratkan
pada tanda-tanda penyakit tertentu. Dalam evaluasi ini harus dikaji mengenai ketepatan
informasi yang diperoleh dan untuk hal-hal yang kontradiktif perlu dicari penjelasan
lebih lanjut. Tidak jarang perlu informasi tambahan dengan melakukan pengulangan
beberapa prosedure diagnostik seperti anamnesis atau pemeriksaan klinis, bahkan
kadang harus dilakukan tes atau pemeriksaan tambahan yang lebih khusus.
Data diagnostik dari riwayat pasien, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan
penunjang lain umumnya direkam dalam kartu status berdasarkan kelompok
pemeriksaan. Selanjutnya dilakukan pengelompokan untuk sejumlah temuan klinis
yang mempunyai kaitan penting dengan perubahan fisiologis atau tanda gejala
penyakit tertentu. Pada tahapan ini akan diseleksi apakah informasi tersebut banyak
memberikan kontribusi untuk masalah medik, dental, atau masalah nondental.
Beberapa temuan atau suatu penampiIan spesifik dapat berhubungan dengan lebih
dari satu katagori masalah tersebut.
8
Setelah berbagai kombinasi informasi dikumpulkan klinisi harus mengambil
keputusan awal untuk setiap persoalan diagnostik yang terkait. Untuk identifikasi
masalah diagnostik pasien dan menentukan cara pendekatan ke arah diagnosis. maka
pemahaman tentang relasi, reliabilitas, konsistensi, dan anti klinis dari informasi
yang telah dikumpulkan sangat diperlukan.
Tahapan pemeriksaan :
Pemeriksaan Subjektif :
Anamnesis merupakan percakapan professional antara dokter dengan pasien
untuk mendapatkan data/riwayat penyakit yang dikeluhkan pasien.
Informasi tentang riwayat pasien dibagi menjadi 4 bagian :
1. Identitas pasien
2. Keluhan Utama
3. Riwayat sosial
4. Dental dan medis
Riwayat ini memberikan informasi yang berguna merupakan dasar dari
rencana perawatan
Pemeriksaan Objektif :
1. Pemeriksaan Ekstra-oral
Setiap kelainan ektraoral yang nampak yang dicatat selama pencatatan
riwayatdapat diperiksa lebih lanjut. Penampilan umum-besar dan berat,
cara berjalan, corak kulit, mata, bibir, simetri wajah, dan kelenjar
limfe.
2. Pemeriksaan Intra-oral
Merupakan suatu pemeriksaan yang digunakan untuk melihat kondisi
RM ( Rongga Mulut pasien ) dimana hal ini dilakukan dalam upaya
menegakkan hasil dari pemeriksaan subjektif yang telah dilakukan
sebelumnya
o Jaringan lunak : mukosa pipi, bibir, lidah, tonsil, palatum lunak,
palatum
kerasdan gingival.
o Gigi : kebersihan mulut, keadaan gigi-gigi, posisi gigi-gigi-
crowding, spasing
9
Erythema multiforme (EM)
Erythema multiforme (EM) adalah suatu kondisi kulit akut, self-
limited, dan kadang-kadang recurrent karena reaksi hipersensitivitas tipe IV
yang berhubungan dengan infeksi, medikasi, dan berbagai pemicu lain.
Erythema multiforme dapat muncul dalam spectrum keparahan yang luas.
Erythema multiforme minor menunjukkan erupsi kulit yang terlokalisasi
dengan keterlibatan mukosa yang minimal atau tidak ada sama sekali;
erythema multiforme mayor dan Steven-Johnson syndrome (SJS) lebih
parah, dan berpotensi mengancam jiwa.
Baru-baru ini, erythema multiforme telah diklasifikasikan sebagai minor,
mayor, Stevens-Johnson syndrome (SJS) dan nekrolisis epidermal toksik, di
mana erythema multiforme minor adalah tipe lesi paling ringan dan
nekrolisis epidermal toksik adalah yang paling berat.
Table 1: Perbedaan ciri-ciri erythema multiforme minor, erythema multiforme mayor,
Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis3
Kategori
erythema
multiforme
Perbedaan
Erythema
multiforme
minor
Lesi target yang khas, target lesi atipikal
yang meninggi/membentuk bentolan,
keterlibatan membrane mukosa minimal dan,
ketika muncul, hanya pada satu sisi (paling
umum di mulut.
Lesi oral; erythema ringan sampai berat,
erosi dan ulserasi.
Kadang-kadang dapat berefek hanya
pada mukosa oral.
< 10% permukaan tubuh yang terlibat.
Erythema
multiforme
mayor
Lesi kutaneus dan setidaknya 2 sisi
mukosa (biasanya mukosa oral) yang terkena.
Target lesi yang terdistribusi secara
simetris, tipikal (khas) maupun atipikal.
10
Lesi oral biasanya menyebar dan berat.
Stevens-
Johnson
syndrome
Perbedaan utama dari erythema
multiforme mayor adalah berdasarkan
typology dan lokasi lesi dan adanya gejala
sistemik.
< 10% permukaan tubuh yang terlibat.
Terutama lesi berupa lesi target datar
atipikal dan makula daripada lesi target klasik.
Secara umum menyebar daripada hanya
melibatkan area akral. Adanya keterlibatan
mukosa yang multiple, dengan scar pada lesi
mukosa.
Gejala sistemik mirip-flu prodromal
(prodromal flu-like systemic symptoms) juga
umum.
Overlapping
Stevens-
Johnson
syndrome
and toxic
epidermal
necrolysis
Tidak ada target tipikal; muncul target
atipikal yang datar.
Sampai dengan 10% – 30% permukaan
tubuh terlibat.
Gejala sistemik mirip-flu prodromal
(prodromal flu-like systemic symptoms) juga
umum.
Nekrolisis
epidermal
toksik
Pada kasus di mana muncul spot
muncul, ditandai oleh epidermal detachment
dari > 30% permukaan tubuh dan macula
purpuric yang menyebar (widespread purpuric
macules) atau target atipikal yang datar.
Pada kasus di mana tidak ada spot yang
muncul, ditandai oleh epidermal detachment >
10% permukaan tubuh, large epidermal sheets
dan tidak ada macula ataupun lesi target.
Terdapat perbedaan pendapat dalam literature tentang definisi klinis erythema
multiforme dan SJS, apakah keduanya merupakan penyakit yang berbeda, ataukah
keduanya menunjukkan spectrum dari satu proses penyakit yang sama. Komisi
internasional telah mengusulkan bahwa erythema multiforme dan SJS dapat dipisahkan
11
menjadi 2 gangguan klinis yang berbeda dengan reaksi mukosa yang serupa, namun
dengan pola lesi kulit yang berbeda.
Ciri-ciri Eritema Multiformis
1. Eritema multiformis minor : terdapat lesi target yang khas, minimal
melibatkan satu lokasi membran mukosa. Ciri lesi oral: terdapat eritema ringan sampai
berat, erosi dan ulcer. Kadang dapat mempengaruhi hanya mukosa mulut. Permukaan
tubuh yang terkena <10%.
2. Eritema multiformis mayor : lesi cutaneous yang melibatkan minimal dua
lokasi membran mukosa. Biasanya memengaruhi mukosa mulut. Luas permukaan
tubuh yang terlibat <10%, lesi target yang khas atau atipikal terdistribusi simetris, lesi
oral biasanya meluas dan parah.
3. Sindrom Stevens-Johnson : Perbedaan utama dari eritema multiformis mayor
didasarkan pada tipologi dan lokasi lesi dan adanya gejala sistemik. Luas permukaan
tubuh terlibat <10%. Biasanya lesi target atipikal datar dan berbentuk makula dari pada
lesi target yang klasik. Lesi umumnya luas dari pada hanya melibatkan daerah acral.
Banyak lokasi mukosa yang terlibat, dengan jaringan parut dan lesi mukosa. Umumnya
dengan gejala sistemik seperti flu prodromal.
4. Overlapping Sindrom Stevens-Johnson : Tidak ada target yang khas, target
atipikal datar. Luas permukaan tubuh yang terkena 10% -30%. Gejala sistemik umum
seperti flu prodromal.
5. Toxic epidermal necrolysis : Bintik-bintik yang muncul ditandai dengan
detasemen epidermis > 30% permukaan tubuh dan terdapat makula, purpura yang luas
atau target atipikal datar. Dengan tidak adanya bintik-bintik, ditandai dengan detasemen
epidermis > 10% permukaan tubuh dan tidak ada makula atau lesi target.
Differential Diagnosis EM
1. Urtikaria : secara klinis, melibatkan edema dari mukosa
sedangkan secara patologis, terjadi infiltrasi dari eosinofil, limfosit, sel mast, dan
neutrofil.
12
2. Steven-Johnson Syndrome : secara klinis, terlihat eritema yang meluas,
keterlibatan mukosa yang parah, dan terdapat gejala-gejala umum, sedangkan secara
patologis, terjadi kekurangan dari sel-sel inflamasi.
3. Pemphigoid Bullosa : secara klinis, terjadi keterlibatan dari mukosa
sedangkan secara patologis, terdapat sejumlah sel-sel eosinofil.
4. Pamphigus Paraneoplastic : secara klinis, terjadi keterlibatan dari mukosa
yang parah dan dapat mengarah ke keganasan sedangkan secara patologis, terdapat
adanya acantholisis.
5. Sweet’s Syndrome : secara klinis, terdapat edematous dan
keterlibatan dari mukosa sedangkan secara patologis, terjadi infiltrasi dari sel-sel
neutrofil.
6. Rowell’s Syndrome : secara klinis, lesi target berukuran besar
sedangkan secara patologis, terjadi dermatitis.
7. Cutaneous small-vessel vasculitis : secara klinis, terdapat purpura yang dapat
dipalpasi, sedangkan secara patologis, terjadi leukocytcolastic vasculitis.
Pemeriksaan Klinis
Erosi
Erosi merupakan suatu kerusakan yang masih dangkal, sebagian permukaan
epitelium hilang namun tidang meliputi jaringan ikat di bawahnya.
Jika kita menemui single atau multiple erosi, kita dapat memulai diagnosis
dengan memilih salah satu dari diagram berikut:
MULTIPLE
UNILATERAL
EROSIONS
GENERALISED
WIDESPREAD
EROSIONS
SINGLE OR MULTIPLE
LOCALISED EROSIONS
13
Gambar 1.1 Multiple Unilateral Erosion
Gambar 1.2 Single Erosion
Gambar 1.3 Generalised Widespread Erosions
14
Generalised Widespread Erosions
15
Multiple Ulcers
16
2. Mampu memahami dan menjelaskan pemeriksaan penunjang pada penyakit
mulut.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang adalah pemeriksaan lanjutan yang dilakukan setelah
pemeriksaan fisik pada penderita. Spesimen yang diperoleh dari pasien akan
mengalami berbagai macam pemeriksaan mikroskopik, biokimia, mikrobiologi
maupun imunofluoresensi. Dengan semakin bervariasinya kelainan jaringan lunak
mulut, maka diperlukan informasi tambahan dari pemeriksaan laboratorium untuk
menentukan diagnosis lesi. Pemeriksaan laboratorium saja belum dapat digunakan
untuk mengetahui sifat lesi ataupun menentukan diagnosis. Masih perlu lagi
dikumpulkan informasi dari bio data pasien, riwayat kesehatan umumnya, riwayat lesi
yang dikeluhkan, pemeriksaan klinis ekstra oral maupun intra oral. Suatu diagnosis
yang tepat juga akan dapat menghasilkan perawatan yang tepat. Untuk itu dilakukan
pemeriksaan penunjang agar diagnosis dapat ditentukan dengan yakin, sehingga tidak
ada keraguan dalam memberikan perawatan.
Pemeriksaan Radiologi
Ada beberapa teknik radiologi yang dapat dilakukan untuk melihat gambaran rongga
mulut, tergantung pada jenis lesi yang ditemukan. Contohnya adalah antero-posterior view,
cephalometri, panoramic, x-ray periapikal, occlusal foto. Untuk lesi jaringan lunak mulut, jenis
pemeriksaan radiologi yang sering diperlukan adalah occlusal foto. Teknik ini dapat digunakan
untuk mengetahui letak dari batu kelenjar liur yang biasanya ditemukan pada saluran kelenjar
liur submandibula. Untuk melihat gambaran regio ini, maka teknik yang paling tepat adalah
occlusal foto. Dengan cara ini letak batu dapat diketahui ada di mana, jauh atau dekat dengan
muara duktus kelenjar liur. Letak batu berpengaruh pada jenis perawatan yang akan dilakukan.
Bila dekat dengan permukaan dapat dilakukan massage untuk mengeluarkan batu. Jika batu
terletak di dalam kelenjar atau jauh dari permukaan tentunya perlu dilakukan tindakan operasi
untuk mengeluarkan batu tersebut.
17
Gb 1. Benjolan di dasar mulut yang merupakan batu
kelenjar liur (Cawson dan Odell, 2008).
Gb 2. Dengan occlusal foto letak batu kelenjar liur dapat
diketahui lokasinya (Neville dkk, 1999).
Pemeriksaan biopsi
Biopsi eksisi
Biopsi eksisi adalah pengambilan jaringan yang dilakukan untuk pemeriksaan histopatologi
lebih lanjut. Biopsi dilakukan bila ditemukan lesi yang mencurigakan atau bila diagnosis tetap
belum dapat ditentukan. Biasanya tindakan ini dilakukan pada lesi yang berdiri sendiri, dan
spesimen harus cukup besar (lebih dari 1 x 0,5 cm) untuk keperluan pemeriksaan histopatologi.
Cara ini dilakukan bila operator yakin bahwa lesi tersebut jinak. Ada risiko terlepasnya sel
ganas bila diagnosis kerja berupa lesi jinak ternyata salah. Meskipun demikian, nilai klinis
suatu biopsi jauh lebih besar dibandingkan risiko tersebut. Biopsi eksisi dapat membantu
menentukan perawatan yang tepat bila diagnosis lesi jinak ternyata benar. Untuk spesimen
tersebut, perlu diperhatikan supaya terhindar dari tekanan, robekan ataupun terbakar (Birnbaum
dan Dunee, 2000).
Biopsi insisi
Biopsi insisi dilakukan untuk lesi yang besar atau bila diduga ada keganasan. Cara ini
memiliki risiko berupa terlepasnya sel ganas. Biopsi insisi tidak dilakukan pada lesi pigmentasi
18
ataupun vaskular, karena melanoma sangat metastatik dan lesi vaskular akan menimbulkan
perdarahan berlebihan. Di dalam status pasien sebaiknya dicatat letak lesi, ukurannya dan
bentuknya.
Pada biopsi insisi ini hanya sebagian kecil dari lesi yang diambil beserta jaringan sehat di
dekatnya. Pengambilan lesi dapat dilakukan dengan menggunakan scalpel, menggunakan alat
punch (punch biopsy), menggunakan jarum suntik (needle biopsy), dan biopsi aspirasi.
Punch biopsy
Pada punch biopsy ini instrumen operasi digunakan untuk mendorong keluar sebagian
jaringan yang dapat mewakili lesi. Oleh karena spesimen yang dihasilkan seringkali rusak
akibat prosedur ini, maka biopsi yang menggunakan scalpel lebih disukai.
Gb 4. Brush diletakkan dan diputar untuk men-
dapatkan sel-sel epitel (Marx dan Stern, 2003).
Needle biopsy
Teknik ini telah digunakan untuk biopsi pada lesi fibro-osseous yang letaknya dalam.
Spesimen yang dihasilkan kecil, sehingga tidak dapat mewakili lesi yang terlibat dan dapat
rusak akibat prosedur yang digunakan, karena itu tidak banyak digunakan.
Biopsi aspirasi
Biopsi aspirasi digunakan untuk lesi berupa kista dan mengandung cairan. Cara ini lebih
disukai
dibandingkan biopsi insisi pada lesi vaskular karena adanya risiko terjadi perdarahan
berlebihan. Aspirasi udara yang terjadi di daerah molar rahang atas menunjukkan bahwa jarum
berada di dalam sinus
maksilaris. Aspirasi darah menunjukkan adanya suatu hematoma, hemangioma ataupun
pembuluh darah. Aspirasi pus menunjukkan adanya suatu abses atau kista yang terinfeksi
(Birnbaum dan Dunne, 2000).
19
Gb 6. Biopsi aspirasi untuk pus (Lamey
dan Lewis, 1991).
Pemeriksaan sitologi (oral cytological smear)
Pemeriksaan sitologi adalah suatu pemeriksaan mikroskopik pada sel-sel yang dilepaskan
atau dikerok di permukaan lesi. Cara ini merupakan pemeriksaan tambahan untuk biopsi, bukan
pengganti biopsi. Pemeriksaan ini dilakukan bila biopsi tidak dapat dilaksanakan, pasien
menolak biopsi, ada lesi multipel yang harus diperiksa. Permukaan lesi tidak perlu dikeringkan,
kecuali untuk melepaskan jaringan nekrotik. Permukaan lesi dibiarkan agar tetap basah, lalu
dikerok dengan tepi plastic instrument yang steril atau spatel lidah yang basah. Kerokan
dilakukan beberapa kali dalam arah yang sama. Slide spesimen yang sudah diberi label
disiapkan, hasil kerokan diletakkan di atas slide, kemudian disebarkan ke samping
menggunakan slide lain. Spesimen difiksasi dengan formalin (formol saline) 10% dalam botol
tertutup .
Pemeriksaan Mikrobiologi
Dua jenis pemeriksan mikrobiologi yang sering dilakukan untuk lesi jaringan lunak mulut
adalah: oral mycological smear dan oral bacteriological smear.
Oral Mycological Smear
Oral mycological smear dilakukan untuk membuktikan adanya infeksi jamur pada lesi
yang ditemukan. Pemeriksaan ini diawali dengan melakukan swab pada mukosa mulut yang
dicurigai, dengan menggunakan cotton swab. Kemudian dengan cotton swab dan spesimen
yang didapat, dilakukan streaking pada permukaan media Sabouraud Dextrose Agar (SDA)
dalam cawan petri. Setelah itu cawan petri tersebut dimasukkan ke dalam inkubator selama 24
– 48 jam untuk membiakkan jamurnya. Seseudah 48 jam akan tumbuh koloni jamur berwarna
putih- kekuningan.
20
Gb 7. Inkubator yang digunakan untuk membiakkan
Candida albicans (Rasyad, 1995).
Gb 8. Koloni Candida yang tumbuh setelah diinkubasi
selama 48 jam (Rasyad, 1995).
Langkah selanjutnya adalah melakukan streaking lagi pada petri lain untuk mengekstraksi
Candida albicans. Setelah tumbuh koloni, lakukan streaking lagi pada agar yang miskin nutrisi.
Dalam agar ini Candida albicans akan membentuk klamidospora. Hasil akhirnya adalah
Candida albicans murni.
Oral Bacteriological Smear
Bahan yang akan diperiksa diambil dari permukaan gigi, kemudian dioleskan di atas slide
spesimen. Kemudian difiksasi di atas nyala api spiritus. Berikutnya dituangi dengan pewarna
carbol fuchsin, dibiarkan 10 menit. Lalu dituangi dengan pewarna methylene blue, biarkan 10
menit. Setelah kering, dilihat di bawah mikroskop cahaya untuk mengetahui adanya bakteri:
Contoh Borrelia vincentii dan Bacillus fusiformis. Bila hasilnya positif, maka benar lesi yang
dihadapi adalah acute necrotizing ulcerative gingivostomatitis.
Pemeriksaan Darah
Venepuncture dilakukan untuk melakukan pemeriksaan sel darah merah, sel darah putih dan
trombosit. Biasanya darah dikumpulkan ke dalam tabung EDTA. Untuk pemeriksaan ESR dan
prothrombin time, biasanya darah dikumpulkan ke dalam tabung sitrasi. Darah diambil dari
lengan bagian dalam. Untuk pemeriksaan darah lengkap, yang diperiksa adalah: red cell count,
21
hemoglobim, hematokrit, mean cell volume, mean cell hemoglobin, mean cell hemoglobin
concentration, white cell count dan platelet count.
3. Mampu memahami dan menjelaskan perawatan pada penyakit mulut.
PENATALAKSANAAN
Prinsip perawatan ada beberapa macam :
1. Perawatan Kausatif (menghiangkan penyebab)
2. Perawatan Simptomatif (Menghilangkan Gejala)
3. Perawatan Supportif (meningkatkan daya tahantubuh pasien)
Semua bentuk eritema multiforme, penanganan yang paling penting adalah penanganan
simtomatik, yaitu antihistamin oral, analgesik, perawatan kulit, dan soothing
mouthwashes (yaitu dengan membilas mulut dengan warm saline water atau dicampur
dengan difenhidramin, xylocaine, dan kaopectate).
Pada kasus ringan diberi pengobatan simtomatik, meskipun sedapat-dapatnya perlu
dicari penyebabnya. Pada penyakit ini biasanya dapat diberikan pengobatan
kortikosteroid per oral, misalnya berupa prednison 3 x 10 mg sehari. Manajemen
eritema multiforme melibatkan penentuan etiologi bila mungkin.
a. Terapi secara sistemik
Menghindari faktor penyebab atau mengobatinya, terutama karena adanya reaksi
hipersensitivitas karena pemakaian obat .
EM Tipe minor yaitu dengan pemberian kortikosteroid oral antara 20-40 mg/hari
selama 4-6 hari lalu diberikan secara tapering dosis tak lebih dari 2 minggu. Pada EM
tipe mayor perlu pemberian antara 40-80 mg/hari selama 2-3 minggu. Pemberian
antibiotik untuk menghindari infeksi sekunder (Laskaris, 2005).
Obat-obat antivirus diindikasikan untuk pasien HAEM, dengan pemberian acyclovir
200 mg, lima kali sehari sejak terlihat pertamakali munculnya lesi atau 400 mg, empat
kali sehari selama 6 bln atau melanjutkan terapi menggunakan valacyclovir, pemberian
500 mg dua kali sehari disarankan sebagai profilaksis
22
b. Terapi secara topikal.
Pengobatan simptomatik meliputi pemberian analgesic atau NSAID; kompres
dingin dengan menggunakan larutan saline;pengobatan oral seperti saline kumur;
lidokain dan diphenhydramine.
Pada kasus-kasus berat, dapat diberikan kortikosteroid (prednisolon) dengan
dosis awal 30-60 mg/hari, kemudian dosis diturunkan dalam 1-4 minggu. Kegunaan
kortikosteroid hingga saat ini masih diperdebatkan, namun perbaikan gejala sistemik
seperti demam dapat tercapai dengan kortikosteroid.
Langkah pertama adalah untuk mengobati kecurigaan penyakit menular atau untuk
menghentikan obat kausal.
Pengobatan topikal berupa antiseptik topikal untuk lesi kulit yang telah erosi dan
bilasan antiseptik/antihistamin dan anestetik lokal untuk lesi mukosa. Penggunaan
cairan antiseptik, seperti klorhexidin 0.05% saat mandi dapat mencegah superinfeksi.
Antihistamin oral dan steroid topikal dapat digunakan untuk gejala relief. Antihistamin
oral selama 3-4 hari dapat mengurangi rasa perih dan terbakar pada kulit. Pada kasus-
kasus yang berat dengan gangguan fungsi, terapi awal dengan kortikosteroid sistemik
(prednison [0.5–1 mg/kg/hr]) atau metilprednisolon [1 mg/kg/hr untuk 3 hari]) haruslah
dipertimbangkan. Prednison dapat digunakan pada pasien dengan lesi banyak dengan
dosis 40 sampai 80 mg per hari selama satu sampai dua minggu kemudian dosis
diturunkan.
Terapi simtomatik hanya digunakan jika terbentuk bulla dan papul yang terlokalisir.
Pada pasien yang hidup bersama atau baru terinfeksi HSV, pengobatan dini dengan
asiklovir oral (Zovirax®) dapat mengurangi jumlah dan durasi lesi kulit. Pada individu
dengan EM terkait-HSV dengan tingkat rekurensi yang tinggi, profilaksis minimal 6
bulan dengan asiklovir oral (10 mg/kg/hr dalam dosis terbagi, biasanya 200mg dalam 5
kali sehari selama 5 hari), valasiklovir (500-1000 mg/hr, dengan dosis tergantung
frekuensi rekurensi), atau famsiklovir (250 mg dua kali sehari) haruslah dipikirkan.
Jika tetap terjadi rekurensi, dibutuhkan dosis rendah berlanjut dari asiklovir oral.
Asiklovir oral telah ditunjukkan efektif dalam mencegah EM terkait-HSV yang rekuren
dan protokol pengobatannya berupa 200-800 mg/hari selama 26 minggu. Jika asiklovir
gagal, valasiklovir dapat digunakan (500 mg, dua kali sehari). Penggunaan yang
terakhir ini memiliki bioavaliabilitas oral yang lebih besar dan lebih efektif dalam
23
menekan EM terkait HSV yang rekuren.
Rencana perawatan dengan Kortikosteroid
a)kortikosteroid sistemik
Apabila keaadaan umum pasien dalam keadaan sedang dan lesi tidak menyeluruh
cukup diobati dengan kortikosteroid sistemik berupa prednisone 30-50 mg 3 kali sehari
dengan cara tapering off (dimulai dari dosis awal lalu dikurangi secara perlahan
lahan)dapat membantu mempersingkat masa penyembuhan.
Penggunaan obat kortikosteroid sistemik merupakan tindakan life-saving.Pada
keadaan umum yang berat biasanya digunakan deksametason atau metilprednisolon
secara intravena dengan dosis permulaan 5mg 4-6 kali sehari.Pada umumnya masa
kritis dapat diatasi dalam beberapa hari (2-3 hari).Proses penyembuhan eritema
multiformis mayor ini berlangsung selama 3-6 minggu.
b)Kortikosteroid Topikal
Bila keadaan kering dapat diberikan bedak salisilat 2% dan bila keadaan basah perlu
kompres larutan salin 1%.Kortikosteroid topical tidak diperbolehkan digunakan pada
lesi kulit yang basah.Bila di kulit dirawat dengan kompres basah larutan burrow atau
salin.Untuk lesi di mulut dapat diberikan kenalog in orabase dan betadine gargle.Obat
kumur anastesi topical berguna untuk mengurangi rasa nyeri dan luka yang dirasakan
dimulut.Pada kulit atau epidermis yang mengalami nekrosis dapat dilakukan
debridement.Untuk lesi di kulit yang erosive dapat diberikan sofratulle atau krim
sufadiazin.
Antibiotik
Pada saat penurunan dosis kortikosteroid sistemik dapat timbul miliaria kristalina yang
sering diduga sebagai lesi baru, penanganan yang dilakukan ialah dosis kortikosteroid
tetap diturunkan dan diberikan antibiotic untuk mencegah terjadinya infeksi. .
Antibiotic yang paling beresiko tinggi adalah β-lactam dan sulfa jangan digunakan
untuk terapi awal.
Untuk mengatasi infeksi diberikan antibiotika spectrum luas, biasanya dipergunakan
gentamisin 5mg/kgBB/hari intramuscular dalam dua dosis. Pemberian antibiotic
24
selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan
darah. Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menyebabkan alergi,
berspektrum luas, bersifat bakterisidal (antibiotik yang mempengaruhi pembentukan
dinding sel atau permeabilitas yang membunuh mikroorganisme) dan tidak atau sedikit
nefrotoksik. Obat yang memenuhi syarat tersebut misalnya siprofloksasin 400 mg 2
kali sehari intravena, klindamisin 600 mg 2 kali sehari intra vena.
Bila tapering off kortikosteroid tidak lancer maka sebaiknya dicari faktor penyebabnya
mungkin terjadi alergi terhadap antibiotik yang diberikan sehingga menimbulkan lesi
yang baru oleh karena itu perlu dilakukan penghentian pemakaian antibiotik tersebut
dan mengganti dengan antibiotik yang lain. Selain disebabkan oleh alergi obat dapat
juga disebabkan infeksi sehingga perlu dilakukan pengkulturan darah.
Didapatkan data bahwa Herpes- accociated erythema multiforme (HAEM) nampak
pada 20 % - 25 % dari kasus Eritema Multiformis, dimana herpes virus (HSV) menjadi
penyebab utama dari eritema multiformis. HAEM ini merupakan suatu reaksi
hipersensitivitas yang nampak akibat dari reaksi cell –mediated immune saat
berasosiasi dengan antigen HSV. Eritema multiformis yang berhubungan dengan
herpes simplex virus ini memerlukan terapi antiviral. Walaupun penyakit tampak
selesai dalam 10 – 20 hari, pasien dapat terkena lagi atau mengalami rekurensi dalam
waktu 1 tahun, dan durasi penyakit ini bisa sampai 10 tahun. Terapi antiviral yang biasa
digunakan dan efektif untuk mencegah rekurensi dari HAEM adalah acyclovir oral 200
– 800 mg per hari selama 26 minggu, terdapat sumber yang mengatakan untuk
penggunaan acyclovir oral bisa diberikan sebanyak 400 mg dua kali sehari selama 4 - 6
bulan. Apabila acyclovir tidak efektif, dapat diganti dengan terapi antiviral yang lain
yaitu valacyclovir 500 mg per hari selama 4 - 6 minggu atau famciclovir 250 mg dua
kali sehari selama 4- 6 bulan.