laporan penelitian pascasarjana universitas lampung

29
LAPORAN PENELITIAN PASCASARJANA UNIVERSITAS LAMPUNG REKAYASA MEDIA KULTUR BERBASIS TINGKAT KERJA OSMOSIS UNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei). Tim pengusul Dr. SUPONO, S.Pi. M.Si (NIDN 0002107003, SINTA ID: 258084) Dr. MUNTI SARIDA, S.Pi., M.Sc. (NIDN: 0023098301 SINTA ID:38287) REHULINA TRESIA PINEM, S.Pi. (NPM 20200410050 MANAJEMEN WILAYAH PERISISR DAN LAUT PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS LAMPUNG 2021

Upload: others

Post on 23-Mar-2022

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: LAPORAN PENELITIAN PASCASARJANA UNIVERSITAS LAMPUNG

LAPORAN PENELITIAN PASCASARJANA

UNIVERSITAS LAMPUNG

REKAYASA MEDIA KULTUR BERBASIS TINGKAT KERJA OSMOSIS UNTUK

MENINGKATKAN PRODUKSI UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei).

Tim pengusul

Dr. SUPONO, S.Pi. M.Si (NIDN 0002107003, SINTA ID: 258084)

Dr. MUNTI SARIDA, S.Pi., M.Sc. (NIDN: 0023098301 SINTA ID:38287)

REHULINA TRESIA PINEM, S.Pi. (NPM 20200410050

MANAJEMEN WILAYAH PERISISR DAN LAUT

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS LAMPUNG

2021

Page 2: LAPORAN PENELITIAN PASCASARJANA UNIVERSITAS LAMPUNG

RINGKASAN

Budidaya udang vaname telah berkembang pesat di Indonesia sejak tahun 2000. Teknologi

Budidaya udang vaname telah banyak dikembangkan seperti teknologi,biofloc, recirculating

aquaculture system (RAS), sistem heterotrof, sinbiotik, dan lain-lainnya. Input teknologipun

telah berkembang dengan pesat seperti penggunaan nano bubble untuk meningkatkan kandungan

oksigen terlarut dalam tambak. Sementara rekayasa yang berbasis kondisi fisiologis udang

sebagai kultivan masih jarang dilakukan Udang vaname merupakan spesies eurihalin yaitu

mampu beradaptasi pada rentang salinitas yang luas sehingga dapat hidup dengan baik pada

rentang salinitas rendah sampai tinggi. Permasalahan yang muncul di lapangan adalah

pertumbuhan udang vaname masih fluktuatif dan belum optimal. Salah satu yang diduga sebagai

penyebabnya adalah belum adanya manajemen budidaya yang berbasis tingkat kerja osmosis

udang. Padahal udang vaname akan tumbuh optimal pada kondisi isoosmosis dengan media

kultur. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, manajemen media kultur yang berbasis

pada Tingkat kerja osmosis (TKO) pada pembesaran udang vaname belum dilakukan. Salinitas

yang sesuai dengan TKO udang (isoosmosis) diduga dapat meningkatkan performa udang karena

energi untuk pertumbuhan tidak digunakan untuk adaptasi lingkungan. Tujuan dari penelitian ini

adalah: (1) mempelajari tingkat kinerja osmosis (TKO) udang vaname yang dipelihara pada

berbagai tingkat salinitas media dan (2) menganalisis pertumbuhan, tingkat kelangsungan hidup,

dan konversi pakan udang vaname yang dipelihara pada berbagai tingkat salinitas. Salinitas air

media budidaya berpengaruh terhadap pertumbuhan, survivalrate, biomasa, dan feed conversion

ratio udang vaname. Salinitas 15 menunjukkan performa terbaik untuk pertumbuhan, biomasa

dan FCR, sedangkan salinitas 20 menghasilkan tingkat kelangsungan hidup terbaik (79,3%).

Penambahan kalium 100 mg/l KCl pada media kultur udang vanname salinitas rendah

menghasilkan pertumbuhan dan sintasan udang yang terbaik. Mineral kalium KCl dengan

konsentrasi tersebut dapat menurunkan tingkat kerja osmotik, meningkatkan laju pertumbuhan,

kelangsungan hidup dan efisiensi pakan. Luaran yang telah dihasilkan dari penelitian ini antara

lain: artikel scopus Q3 (penelitian pendahuluan), Artikel yang telah diseminarkan pada Seminar

Internasionel 5st SHIELD, dan satu artikel untuk Seminar Nasional ICAI 2021 dan artikel jurnal

internasional.

Kata Kunci : Vaname, Isoosmosis, Tingkat kerja osmosis, eurihalin, salinitas media

Page 3: LAPORAN PENELITIAN PASCASARJANA UNIVERSITAS LAMPUNG
Page 4: LAPORAN PENELITIAN PASCASARJANA UNIVERSITAS LAMPUNG

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Budidaya udang vaname (Litopenaeus vannamei) telah berkembang pesat di di Indonesia

sejak diperkenalkan untuk pertama kalinya di tahun 2000 sehingga menempatkan Indonesia

sebagai produsen udang utama di dunia. Pertumbuhan cepat, tingat kelulushidupan tinggi,

kepadatan penebaran tinggi, serta konversi pakan yang rendah membuat udang jenis ini menjadi

primadona baru budidaya udang di Indonesia. Selain itu, udang vaname diminati pasar dunia

dengan harga yang tinggi sehingga berapapun udang yang dihasilkan sampai saat ini masih bisa

diserap di pasar dengan harga yang relatf stabil. Saat ini, udang vaname mendominasi tambak-

tambak intensif yang ada, sementara udang lokal seperti windu dipelihara di tambak-tambak

tradisional.

Teknologi Budidaya udang vaname telah banyak dikembangkan seperti teknologi,biofloc

(Avnimelech, 2015), recirculating aquaculture system (RAS), sistem heterotrof (Supono, 2014),

sinbiotik (Huynh et al., 2018), dan lain-lainnya. Input teknologipun telah berkembang dengan

pesat seperti penggunaan nano bubble untuk meningkatkan kandungan oksigen terlarut dalam

tambak. Sementara rekayasa yang berbasis kondisi fisiologis udang sebagai kultivan masih

jarang dilakukan.

Udang vaname merupakan spesies eurihalin yaitu mampu beradaptasi pada rentang

salinitas yang luas sehingga dapat hidup dengan baik pada rentang salinitas rendah sampai tinggi.

Udang vaname dapat mentolerir salinitas yang luas, dari 0,5-45 ppt. Hal ini yang

memungkinkan udang vaname dapat dipelihara jauh dari pesisir/pantai dengan produktivitas

yang masih baik. Budidaya udang dengan salinitas rendah dapat menurunkan virulensi (tingkat

keganasan) dari virus (Dayna et al., 2015). Meskipun mempunyai kemampuan beradaptasi

terhadap salinitas yang luas, udang vaname akan tumbuh optimal pada media isoosmotik dimana

salinitas media sama dengan tingkat kerja osmotik (TKO) udang.

Perbedaan salinitas media dengan osmolaritas cairan pada udang (hemolim) akan

menyebabkan kebutuhan energi meningkat untuk beradaptas sehingga pertumbuhan udang

mengalami perlambatan. Teknologi budidaya yang diterapkan seharusnya mengacu pada tingkat

kerja osmosis udang atau dalam kondisi isoosmosis, namun demikian sampai saat ini budidaya

udang vaname yang dilakukan oleh petambak udang tidak memperhatikan salinitas yang tepat

sesuai dengan tingkat kerja osmosis udang. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian

Page 5: LAPORAN PENELITIAN PASCASARJANA UNIVERSITAS LAMPUNG

mengenai rekayasa media kultur berdasarkan tingkat kerja osmosis untuk meningkatkan

performa udang vaname.

1.2. Tujuan Khusus

2. Mempelajari tingkat kinerja osmosis (TKO) udang vaname yang dipelihara pada

berbagai tingkat salinitas media

3. Menganalisis pertumbuhan, tingkat kelangsungan hidup, dan konversi pakan udang

vaname yang dipelihara pada berbagai tingkat salinitas.

1.3. Urgensi Penelitian

Saat ini perkembangan teknologi budidaya udang vaname telah berkembang pesat baik

peralatan maupun sistem yang digunakan. Namun demikian sampai saat ini budidaya udang

masih sering mengalami kegagalan karena pertumbuhan lambat, tingkat kelangsungan hidup

rendah, maupun karena penyakit. Budidaya udang berbasis pada fisiologis udang dan media

kultur perlu mendapatkan perhatian yang serius untuk dikembangkan mengingat udang vaname

merupakan spesies eurihalin yang dapat hidup pada rentang salinitas yang luas. Tingkat kerja

osmosis (TKO) udang vaname tentu akan mempengaruhi energi yang dikeluarkan jika dipelihara

pada media yang tidak isoosmosis sehingga perlu pemahaman TKO udang vaname pada

berbagai umur udang dan salinitas media. Dengan membudidayakan udang vaname pada

kondisi isoosmosis akan meningkatkan pertumbuhan udang maupun imunitas udang yang

akhirnya dapat menghasilkan biomasa udang yang maksimal.

1.4. Temuan yang diharapkan

Temuan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah teknologi budidaya udang vaname

berbasis tingkat kerja osmosis udang yang mampu menghasilkan pertumbuhan dan tingkat

keleulushidupan udang terbaik.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. State of the art

Budidaya udang vaname saat ini mendominasi spesies yang dibudidayakan di tambak

baik di dunia maupun di Indonesia. Budidaya udang vaname mayoritas mengunakan sistem semi

intensif dan intensif, bahkan beberapa petambak dengan modal besar mengunakan sistem supra

intensif. Penerapan teknologi telah banyak berkembang dan dilakukan oleh petambak seperti

teknologi biofloc (Avnimelech, 2015), recirculating aquaculture system (RAS) (Suantika et al.,

Page 6: LAPORAN PENELITIAN PASCASARJANA UNIVERSITAS LAMPUNG

2018), sinbiotik (Huynh et al., 2018), heterotroph system (Supono et al., 2014), maupun nano

bubble (Rahmawati et al., 2020). Pengunaan media kultur pun juga mengalami perkembangan

seperti kolam bundar (round pond), kolam beton, dan lining pond (Ranjan dan Boyd, 2018).

Penelitian tentang tingkat kerja osmosis (TKO) terhadap kultivan telah banyak dilakukan

oleh peneliti sebelumnya seperti Hamka et al (2013) yang meneliti TKO kerang hijau, Putri et

al. (2015) yang meneliti tentang TKO pada Bawal Bintang, dan (Temmy et al., 2017) yang

meneliti TKO pada berbagai salinitas media pada ikan kerapu tikus. Penelitian ringkat kerja

osmosis udang vaname telah dilakakukan oleh Herlinah dan Septiningsih (2014) pada sistem

biofloc yang menunjukkan bahwa TKO udang vaname sebesar 687,67 mOsm/kg sampai 780

mOsm/kg. Widodo et al. (2011) meneliti tentang pengaruf aplikasi Kalium terhadap tingkat

kerja osmosis udang vaname yang dipelihara pada media air tawar. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa penambahan kalium pada media kultur berpengaruh terhadap TKO udang

vaname. Salsabiela (2020) melakukan penelitian pada pembenihan udang yang diablasi pada

berbagai salinitas media. Media terbaik untuk ablasi udang vaname pada salinitas 25-29 ppt.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, manajemen media kultur yang berbasis

pada Tingkat kerja osmosis (TKO) pada pembesaran udang vaname belum dilakukan. Salinitas

yang sesuai dengan TKO udang (isoosmosis) diduga dapat meningkatkan performa udang karena

energy untuk pertumbuhan tidak digunakan untuk adaptasi lingkungan. Media kultur yang sesuai

dengan kebutuhan udang sangat penting dalam mendukung pertumbuhan, tinkat kelangsungan

hidup, maupun konversi pakan. Olh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang

media kultur yang isoosmosis pada budidaya udang vaname.

2.2. Biologi udang vaname

Pemberian nama ilmiah udang putih atau udang vaname pertama kali dilakukan oleh

Boone pada tahun 1931 dengan nama Penaeus vannamei (Holthuis, 1980). Nama lain udang

vaname menurut FAO adalah : whiteleg shrimp (Inggris), crevette pattes blanches (Prancis),

white shrimp (Mexico, Nicaragua, Costa Rica, Panama), langostino (Peru), camaron cafe

(Colombia), dan camaron patiblanco (Spanyol). Taksonomi udang vaname menurut

Holthuis (1980) adalah sebagai berikut:

Filum :Arthropoda

Kelas : Crustacea

Subkelas : Malacostraca

Page 7: LAPORAN PENELITIAN PASCASARJANA UNIVERSITAS LAMPUNG

Ordo : Decapoda

Subordo : Natantia

Infraordo : Penaeidea

Superfamili : Penaeoidea

Famili : Penaeidae

Genus : Penaeus

Subgenus : Litopenaeus

Spesies : Litopenaeus vannamei Boone, 1931

Distribusi udang vaname antara lain di perairan Pasifik Selatan meliputi Mexico, Peru

Selatan dan Utara, serta Sonora. Habitatnya berada di kedalaman 0-72m, dasar berlumpur,

udang dewasa berada di laut lepas, sementara fase juvenil hidup di estuarin. Panjang maksimal

udang vaname mencapai 230 mm dengan panjang carapace 90 mm.

Udang vaname termasuk dalam Ordo Decapoda Crustacean yang termasuk di dalamnya:

jenis udang, lobster, dan kepiting. Sebagai famili Penaeidae, udang vaname betina menyimpan

telur untuk dibuahi dan menetas pada stadia naupli. Udang vaname memiliki ciri khusus pada

rostrumnya dimana gigi rostrum atas (dorsal) berjumlah 8-9 dan bagian bawah (ventral)

berjumlah 2 buah, termasuk dalam subgenus Litopenaeus karena udang vaname betina memiliki

thelycum yang terbuka (Wyban dan Sweeney, 1991). Tubuh udang vaname terdiri dari 2 bagian

utama yaitu kepala dada (cephalothorax) dan perut (abdomen). Cephalotorax tertutup oleh

kelopak kepala yang disebut carapace. Udang vaname mempunyai 5 pasang kaki renang

(pleopod) dan 5 pasang kaki jalan (pereopod). Bagian tubuhnya terdiri dari carapace (kepala)

dan abdomen (perut). Cephalotorax terdiri dari 13 ruas (kepala: 5 ruas, dada : 8 ruas) dan

abdomen 6 ruas, terdapat ekor dibagian belakang. Pada cephalotorax terdapat anggota tubuh,

berturut-turut yaitu antenulla (sungut kecil), scophocerit (sirip kepala), antenna (sungut besar),

mandibula (rahang), 2 pasang maxilla (alat-alat pembantu rahang), 3 pasang maxilliped, 3

pasang pereiopoda (kaki jalan) yang ujung-ujungnya bercapit disebut chela. Insang terdapat di

bagian sisi kiri dan kanan kepala, tertutup oleh carapace. Pada bagian abdomen terdapat 5

pasang pleopoda (kaki renang) yaitu pada ruas ke-1 sampai 5. Sedangkan pada ruas ke-6 kaki

renang mengalami perubahan bentuk menjadi ekor kipas atau uropoda. Ujung ruas keenam ke

arah belakang terdapat telson.

Page 8: LAPORAN PENELITIAN PASCASARJANA UNIVERSITAS LAMPUNG

Pada awalnya, udang vaname termasuk omnivora atau pemakan detritus. Studi terbaru

berdasarkan isi usus menunjukkan bahwa udang vaname termasuk karnivora. Udang vaname di

alam memangsa udang kecil, moluska, dan cacing, sementara pada tambak intensif, makanan

tesebut tidak tersedia. Pertumbuhan udang vaname akan optimum pada tambak budidaya yang

memiliki komunitas bakateri.

Udang vaname termasuk hewan nocturnal, yaitu aktif makan pada malam hari. Udang

vanamei membutuhkan pakan dengan kandungan protein 35%, lebih rendah dari kebutuhan

udang yang lainnya seperti P. monodon dan P. japonicus. Penelitian menunjukkan bahwa

perlakuan protein 45% tidak menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan 35% (Wyban dan

Sweeney, 1991). Udang vaname juga termasuk continuous feeder, yaitu makan terus menerus.

4.4. Molting dan Pertumbuhan.

Pertumbuhan dan pertambahan ukuran udang merupakan fungsi dari frekuensi molting

(Solis, 1988). Semakin sering udang molting, semakin cepat pula pertumbuhan udang.

Frekuensi molting dipengaruhi oleh umur udang. Semakin besar udang semakin kecil frekuensi

moltingnya. Seperti halnya Filum Artropoda lainnya, pertumbuhan udang vaname dipengaruhi

oleh dua faktor, yaitu: frekuensi molting dan pertambahan berat setelah molting. Karena udang

dilindungi oleh carapace yang keras, untuk tumbuh harus mengalami pergantian carapace baru

yang lebih besar. Setelah molting, carapace yang baru lunak dan perlahan-lahan akan mengeras

tergantung ukuran udang. Udang kecil akan mengeras dalam beberapa jam, sedangkan udang

besar membutuhkan waktu 1-2 hari (Wyban dan Sweeney, 1991). Pada saat molting, nafsu

makan menurun tetapi akan meningkat drastis setelah carapace mengeras.

Frekuensi molting udang dipengaruhi oleh ukuran udang. Semakin besar ukuran udang,

semakin besar waktu antar molting (intermolt) atau semakin kecil frekuensi moltingnya. Pada

fase larva, molting terjadi setiap 30-40 jam (pada suhu 28oC). Udang ukuran 1-5 gram, juvenil

udang akan mengalami molting setiap 4-6 hari, sedangkan udang ukuran 15 gram juvenil udang

akan melakukan molting setiap 15 hari. Proses molting dikontrol oleh dua hormon yaitu molt-

inhibiting hormone (MIH) dan gonad inhibiting hormone. MIH dihasilkan oleh kelenjar sinus

organ X sementara GIH dihasilkan oleh sel neurosecretory organ X.

Kondisi lingkungan dan faktor nutrisi juga berpengaruh terhadap frekuensi molting.

Suhu yang lebih tinggi akan meningkatkan molting pada udang. Beberapa faktor lain yang dapat

mempengaruhi molting udang antara lain : cahaya, salinitas, dan photoperiod (Bishop dan

Page 9: LAPORAN PENELITIAN PASCASARJANA UNIVERSITAS LAMPUNG

Herrnkind, 1976). Penyerapan oksigen pada waktu molting kurang efisien sehingga kadang

ditemukan kematian karena kekurangan oksigen (hypoxia). Molting dianggap sebagai proses

fisiologis yang menyebabkan stres pada udang, sehingga petambak harus hati-hati untuk

memaksa udang melakukan molting. Setelah molting berlangsung, (carapace masih lunak),

udang lainnya akan menyerang bahkan memakannya (kanibal). Udang yang baru molting

biasanya akan membenamkan diri dalam lumpur di tengah tambak untuk menghindari gangguan

dari udang lainnya.

Siklus hidup udang vaname dianggap sebagai katadromus. Udang dewasa akan memijah

di laut lepas juvenil akan migrasi ke pantai. Di habitat alam, udang vaname dewasa mengalami

matang gonad dan memijah di laut lepas (offshore) dengan kedalaman sekitar 70m dengan

salinitas sekitar 35 ppt. Telur akan menetas menjadi larva dan berkembang di laut lepas sebagai

bagian dari zooplankton. Post larvae udang vaname akan bergerak terus ke arah pantai dan

menetap di dasar estuarin. Di daerah estuarin ini kaya akan nutrien, salinitas dan suhu

berfluktuasi. Setelah beberapa bulan di estuari, udang dewasa akan bergerak ke laut lepas

setelah organ seksual sempurna, matang gonad, dan melakukan pemijahan (Wyban dan

Sweeney, 1991).

Udang vaname memiliki karateristik yang sangat unik jika dibandingkan dengan jenis

udang yang lainnya. Pertumbuhan udang vaname berlangsung secara cepat sampai ukuran 20

gram dengan kenaikan 3 gram per minggu dengan kepadatan penebaran 100 ekor/m2, sementara

pertumbuhan setelah ukuran tersebut mengalami penurunan, yaitu sekitar 1 gram/minggu.

Udang vaname termasuk organisme eurihalin, yaitu tahan terhadap perubahan salinitas yang

luas. Udang vaname mampu hidup dengan baik pada salinitas 2 ppt sampai 40 ppt, tetapi akan

yumbuh dengan cepat pada salinitas yang lebih rendah ketika lingkungan dan cairan pada udang

(hemolim) berada dalam kondisi isoosmotik.

Rasa udang vaname pada salinitas rendah dan tinggi mengalami perbedaan. Udang

vaname yang dipelihara pada salinitas yang lebih tinggi akan memiliki kandungan asam amino

bebas yang lebih tinggi pula akibatnya memiliki rasa yang lebih manis. Pada pembesaran udang

vaname, ketika menjelang panen, diusahakan salinitas air ditingkatkan untuk memproleh rasa

yang lebih manis alami (Wyban dan Sweeney, 1991).

Page 10: LAPORAN PENELITIAN PASCASARJANA UNIVERSITAS LAMPUNG

Udang vaname sebagai organisme poikilotermal, aktivitasnya diperngaruhi suhu

lingkungan. Suhu tubuhnya mengikuti suhu lingkungan. Jika suhu lingkungan naik maka suhu

tubuhnya akan naik dan metabolismenya juga mengalami kenaikan, akibatnya nafsu makan akan

meningkat, begitu sebaliknya. Udang vaname akan mengalami kematian jika suhu air turun

sampai 15oC atau di atas 33

oC selama 24 jam atau lebih (Wyban dan Sweeney, 1991).

2.3. Sistem Budidaya

Tingkatan sistem budidaya udang tergantung dari input teknologi yang digunakan dan

kepadatan penebaran. Sistem budidaya udang vaname secara umum terbagi menjadi 4, yaitu:

ektensif/tradisional, semi intensif, intensif dan supra intensif. Menurut FAO, perbedaan keempat

sistem tersebut adalah:

1. Ekstensif, memiliki kriteria: luas lahan 5-10 ha, kedalaman 0,7-1,2 m, kepadatan

penebaran 4-10 ekor/m2, mengandalkan pakan alami, udang dipelihara selama 4-5

bulan dengan berat 11-12 gram, dan produktivitas kolam 150-500 kg/ha/siklus.

2. Semi intensif, memiliki kriteria: Luas lahan 1-5 ha, kedalaman 1,0-1,2 m, kepadatan

penebaran 10-60 ekor/m2, pakan alami dan buatan, produktivitas 500 - 2.000

kg/ha/siklus, dan mulai ada penambahan aerasi

3. Intensif, memiliki kriteria: Luas lahan 0,1-1,0 ha, kedalaman tambak > 1,5 m,

kepadatan penebaran 60 – 300 ekor/m2, menggunakan pakan buatan dengan frekuensi

4-5 kali/hari, menggunakan aerasi yang kuat (1 HP menopang 500 kg udang), FCR

1,4-1,8, dan produktivitas mencapai 7-20.000 kg/ha/siklus.

4. Super intensif, memiliki kriteria: kepadatan penebaran 300-450 ekor/m2,

Menggunakan aerasi kuat, produktivitas 28.000 – 68.000 kg/ha/siklus.

Berbeda dengan udang jenis lainnya, udang vaname memiliki banyak keunggulan

sehingga sangat potensial sekali sebagai kultivan untuk dipelihara di tambak. Produktivitas

yang tinggi, marketable, dan mudah dibudidayakan menjadi alasan utama petambak udang

beralih membudidayakannya. Berikut ini adalah keunggulan udang vaname sebagai kultivan

pada tambak air payau:

2.4. Spesies Eurihalin

Kemampuan organisme air beradaptasi terhadap perubahan salinitas berbeda-beda.

Berdasarkan kemampuan dalam beradaptasi terhadap lingkungan, organisme akuatik terbagi

Page 11: LAPORAN PENELITIAN PASCASARJANA UNIVERSITAS LAMPUNG

menjadi dua golongan, yaitu stenohalin dan eurihalin. Organisme akuatik yang tergabung dalam

kelompok stenohalin mempunyai kemampuan terbatas terhadap perubahan salinitas sehingga

hanya mampu hidup pada media dengan rentang salinitas yang terbatas, misalnya udang windu

(Penaeus monodon). Sementara organisme akuatik yang termasuk golongan eurihalin

mempunyai kemampuan beradaptasi terhadap rentang salinitas yang luas, misalnya udang

vaname atau vaname (Penaeus vannamei). Meskipun mempunyai kemampuan beradaptasi

terhadap salinitas yang luas, udang vaname akan tumbuh optimal paada media isoosmotik

dimana salinitas media sama dengan tingkat kerja osmotik (TKO) udang. Tingkat kerja osmotik

udang vaname pada fase intermolt adalah 861,00 mOSM/l H2O atau setara dengan 29,5 ppt

(Supono et al., 2014).

Udang vaname secara luas telah dibudidayakan menggantikan udang windu yang banyak

mengalami permasalahan penyakit dan survival rate yang rendah. Udang vaname dapat

dibudidayakan dengan densitas yang tinggi meskipun tanpa ganti air. L. vannamei merupakan

spesies eurhalin dan dapat dibudidayakan pada salinitas 0-50 ppt, meskipun pertumbuhan terbaik

diperoleh pada salinitas 10-25 ppt.

Page 12: LAPORAN PENELITIAN PASCASARJANA UNIVERSITAS LAMPUNG

BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1. Road Map

Budidaya udang yang

berkelanjutan dan menguntungkan

Budidaya Udang Vaname

Salinitas rendah di Lampung

Timur

Budidaya Udang vaname dengan

sistem biofloc pada fase pendederan

Aplikasi Teknologi Biofloc berbasis

Mikroorganisme Lokal untuk

meningkatkan produksi Udang

Vaname (L. vannamei)

International Journal of waste

Resources 2014

AACL BIOFLUX (Q3) Jurnal Sinta 3

Rekayasa Media Kultur Berbasis Tingkat Kerja Osmosis untuk Meningkatkan Produksi Udang

Vaname (Litopenaeus vannamei).

Budidaya Udang vaname

salinitas rendah pada kolam

beton

Bioremediasi Berbasis Mikroorganisme

Lokal untuk menanggulangi Limbah

Organik tambak Udang di Provinsi

Lampung

Kegiatan penelitian yang

diusulkan tahun 2021

International Conference of

Aquaculture Indonesia (ICAI 2017)

International Conference of

Aquaculture Indonesia (ICAI 2016)

Budidaya udang vaname pada

salinitas air tawar

Penambahan Berbagai Mineral pada budidaya

udang vaname pada media isoosmosis (2022)

Luaran :

-Artikel Jurnal Scopus Q3

- Artikel Seminar

internasional

- artikel Seminar LPPM

Unila

Gambar 1. Roadmap Penelitian

Page 13: LAPORAN PENELITIAN PASCASARJANA UNIVERSITAS LAMPUNG

3.2. Waktu dan Tempat

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Maret-Oktober 2021

bertempat di Laboratorium Budidaya Perairan Fakultas Pertanian, Universitas

Lampung. Pengujuan tingkat kerja osmosis udang dilakukan di laboratorium

Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung.

3.3. Bahan dan Alat

Bahan yang diperlukan paada penelitian ini terdapat pada Tabel 1.

Tabel 1. Bahan penelitian

No Bahan Kegunaan

1 Udang PL 10 Hewan uji

2 Air laut Media kultur

3 Air tawar Dilusi air laut

4 Dolomit Meningkatkan alkalinitas

5 Kaporit Sterilisasi air

6

Peralatan yang diperlukan paada penelitian ini terdapat pada Tabel 2

Tabel 2. Peralatan penelitian.

No Bahan Kegunaan

1 Kontainer Vol 100 L (20 unit) Hewan uji

2 Water quality checker Pengujian DO, suhu

3 pH meter Mengukur pH air

4 automatic micro-osmometer Mengukur tingkat kerja osmosis

udang

5 Blower 100 watt Suplai oksigen terlarut

6 Selang dan batu aerasi Suplai oksigen terlarut

3.4. Tahapan Penelitian

1. Tahap I : Pengukuran Tingkat kerja osmosis udang windu PL 10 dan

ukuran 3 gram

2. Tahap II : Pemeliharaan udang vaname pada media isooosmosis, salinitas

5 ppt, 10 ppt, 15 ppt, 20 ppt, dan 25 ppt

Page 14: LAPORAN PENELITIAN PASCASARJANA UNIVERSITAS LAMPUNG

3.5. Pengumpulan data:

Data yang dikumpulkan meliputi: data tingkat kerja osmosis (TKO) udang

PL 10 dan ukuran 3 gram, TKO udang pada akhir penelitian pada masing-masing

perlakuan, data performa udang, data kualitas air (Amonia, Oksigen terlarut, suhu,

dan pH), dan data total vibrio count (TVC). Osmolaritas hemolim udang untuk

menentukan TKO diukur dengan menggunakan alat automatic micro-osmometer,

dengan menggunakan rumus (Anggoro dan Muryati, 2006) :

Salinitas (‰ ) = osmolaritas + 5,4081

29,3489

3.6. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan menggunakan rancangan acap lengkap dengan

5 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan penelitian (independent variable) terdiri

dari salinitas media kultur yang berbeda: 5 ppt, 10 ppt, 15 ppt, 20 ppt, dan 25 ppt.

Sedangkan dependent variable penelitian ini adalah: pertumbuhan (growth rate),

tingkat kelangsungan hidup (survival rate), feed conversion ratio (FCR).

3.7. Pemeliharaan udang vaname

Pemeliharaan udang dilakukan dalam wadah volume 70 liter dengan

kepadatan 1 ekor/l atau 70 ekor per wadah. Pemberian pakan dengan

menggunakan blind feeding program selama 35 hari pemeliharaan. Sebelum

digunakan, air disterilkan dengan menggunakan kaporit/klorin dengan konsentrasi

30 mg/l. Salinitas air media diatur sesuai dengan perlakuan yang telah ditetapkan.

Pengenceran air laut menggunakan rumus seperti yang dilakukan oleh Akbar

(2012): :

Sn = (S1 x V1) + (S2 x V2)

V1 + V2

Page 15: LAPORAN PENELITIAN PASCASARJANA UNIVERSITAS LAMPUNG

Sn : salinitas yang dikendaki S1 : salinitas air laut

S2 : salinitas air pengencer

V1 : volume air laut

V2 : volume air pengencer

3.8. Analisis Data

Data tingkat kerja osmosis udang dan kualitas air (DO, suhu, pH, TVC)

dianalisis secara deskriptif, pertumbuhan, tingkat kelangsungan hidup, dan

konversi pakan dianalisis secara statistic dengan mengunakan Anova. Jika

terdapat perbedaan yang nyata, dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan.

3.9. Rincian tugas Pelaksana penelitian

No Tim Peneliti Tugas

1 Supono (Ketua) Mengkoordinir kegiatan penelitian

Budiaya udang vaname

Analsis data

Membuat laporan kegiatan

2 Munti Sarida (anggota) Uji osmolaritas udang

Pembahas tingkat kerja osmosis udang

Membuat laporan

3 Rehulina Tresia Pinem

(Mahasiswa)

Persiapan peralatan dan bahan penelitian

Membantu dalam uji osmolaritas udang

Membantu dalam proses budidaya udang

Analisis kualitas air (fisika, kimia, dan biologi)

Page 16: LAPORAN PENELITIAN PASCASARJANA UNIVERSITAS LAMPUNG

BAB 4. HASIL YANG DICAPAI

4.1. Kandungan Mineral air media kultur

Hasil pengukuran kandungan mineral pada air yang digunakan dalam penelitian

ini terdapat pada Tabel 3 berikut ini.

Tabel 3. Kandungan makromineral Air media penelitian

No Parameter uji Satuan Hasil Metode

1 Alkalinitas mg/L 140,0 EPA Metdod 310.1

2 Kalsium (Ca) mg/L 448,1 EPA 200.7 Revisi 5

3 Kalium (K) mg/L 410,2 EPA 200.7 Revisi 5

4 Magnesium (Mg) mg/L 823,8 EPA 200.7 Revisi 5

5 Natrium (Na) mg/L 7.644,8 EPA 200.7 Revisi 5

4.2. Performa udang vaname yang dipelihara pada salinitas berbeda

Pengujian terhadap udang vaname yang dipelihara pada berbagai salinitas

yang berbeda yaitu 5 ppt, 10 ppt, 15ppt, 20 ppt, dan 25 ppt menghasilkan

performa seperti yang terdapat pada Gambar 2 (pertumbuhan), Gambar 3

(pertumbuhan spesifik), Gambar 4 (survival rate), Gambar 5 (biomasa), dan

Gambar 6 (Feed conversion ratio).

Page 17: LAPORAN PENELITIAN PASCASARJANA UNIVERSITAS LAMPUNG

Gambar 2. Pertumbuhan udang vaname L. vannamei yang dipelihara pada

berbagai salinitas

Berdasarkan hasil uji statistik Anova pada selang kepercayaan 95% menunjukkan

bahwa pemeliharaan udang vaname pada media salinitas yang berbeda

berpengaruh nyata terhadap nilai berat mutlak udang vaname. Berdasrkan uji

Duncant diketahui bahwa perlakuan salinitas 15 ppt (C) berbeda nyata dengan

perlakuan salinitas 5 ppt (A), 10 ppt (B), 20 ppt (D) dan 25 ppt (E). Perlakuan

salinitas 15 ppt menghasilkan nilai berat mutlak tertinggi yaitu 2,8 ± 0,16 g/e.

0

0,5

1

1,5

2

2,5

3

3,5

A B C D E

ber

at m

utl

ak (

g/e)

PERLAKUAN A: 5 ppt, B: 10 ppt, C: 15 ppt, D: 20 ppt, E: 25 ppt

Berat Mutlak

0,56 ± 0,17a

1,4 ± 0,23c

2,8 ± 0,16d

0,86 ± 0,29ab 1,2 ± 0,11bc

Page 18: LAPORAN PENELITIAN PASCASARJANA UNIVERSITAS LAMPUNG

Gambar 3. Specific growth rate (SGR) udang vaname L. vannamei yang

dipelihara pada berbagai salinitas

Berdasarkan hasil uji statistik Anova pada selang kepercayaan 95% menunjukkan

bahwa pemeliharaan udang vaname pada media salinitas yang berbeda

berpengaruh nyata terhadap nilai SGR udang vaname. Berdasrkan uji Duncant

diketahui bahwa perlakuan salinitas 15 ppt (C) berbeda nyata dengan perlakuan

salinitas 5 ppt (A), 10 ppt (B), 20 ppt (D) dan 25 ppt (E). Perlakuan salinitas 15

ppt menghasilkan nilai SGR tertinggi yaitu 12,3 ± 0,14%.

0

2

4

6

8

10

12

14

A B C D E

SGR

(%

/har

i)

PERLAKUAN A: 5 ppt, B: 10 ppt, C: 15 ppt, D: 20 ppt, E: 25 ppt

SGR

8,35 ± 0,79a

10,64 ± 0,39c

12,3 ± 0,14d

9,38 ± 0,86ab 10,27 ± 0,24bc

Page 19: LAPORAN PENELITIAN PASCASARJANA UNIVERSITAS LAMPUNG

Gambar 4. Survival rate (SR) vaname L. vannamei yang dipelihara pada

berbagai salinitas

Berdasarkan hasil uji statistik Anova pada selang kepercayaan 95% menunjukkan

bahwa pemeliharaan udang vaname pada media salinitas yang berbeda

berpengaruh nyata terhadap nilai SR udang vaname. Berdasrkan uji Duncant

diketahui bahwa perlakuan salinitas 20 ppt (D) berbeda nyata dengan perlakuan

salinitas 5 ppt (A), 10 ppt (B), 15 ppt (C), dan 25 ppt (E). Perlakuan salinitas 20

ppt menhasilkan nilai SR tertinggi yaitu 79,33 ± 6,5%.

0

20

40

60

80

100

A B C D E

SUR

VIV

AL

RA

TE (

%)

PERLAKUAN A: 5 ppt, B: 10 ppt, C: 15 ppt, D: 20 ppt, E: 25 ppt

SURVIVAL RATE

47,67 ± 6,65a 56,67 ± 2,51ab

63,67 ± 11,84b 79,33 ± 6,5c

61,33 ± 2,51b

Page 20: LAPORAN PENELITIAN PASCASARJANA UNIVERSITAS LAMPUNG

Gambar 5. Biomasa udang vaname L. vannamei yang dipelihara pada berbagai

salinitas

Berdasarkan hasil uji statistik Anova pada selang kepercayaan 95% menunjukkan

bahwa pemeliharaan udang vaname pada media salinitas yang berbeda

berpengaruh nyata terhadap nilai biomassa udang vaname. Berdasrkan uji

Duncant diketahui bahwa perlakuan salinitas 15 ppt (C) berbeda nyata dengan

perlakuan salinitas 5 ppt (A), 10 ppt (B), 20 ppt (D) dan 25 ppt (E). Perlakuan

salinitas 15 ppt menghasilkan nilai biomassa tertinggi yaitu 251,33 ± 33,38 gram.

0

50

100

150

200

250

300

A B C D E

Bio

mas

sa (

g)

PERLAKUAN A: 5 ppt, B: 10 ppt, C: 15 ppt, D: 20 ppt, E: 25 ppt

Biomassa

40,67 ± 17,5a

114 ± 19,4b

251,33 ± 33,38c

98,33 ± 29,3b 106 ± 11,5b

Page 21: LAPORAN PENELITIAN PASCASARJANA UNIVERSITAS LAMPUNG

Gambar 6. Feed conversion ratio (FCR) udang vaname L. vannamei yang

dipelihara pada berbagai salinitas

Berdasarkan hasil uji statistik Anova pada selang kepercayaan 95% menunjukkan

bahwa pemeliharaan udang vaname pada media salinitas yang berbeda

berpengaruh nyata terhadap nilai FCR udang vaname. Berdasarkan uji Duncant

diketahui bahwa perlakuan salinitas 5 ppt (A) dan 10 ppt (B) berbeda nyata

dengan perlakuan salinitas 15 ppt (C), 20 ppt (D) dan 25 ppt (E). Perlakuan

salinitas 15 ppt menghasilkan nilai FCR terendah yaitu 1,5 ± 0,01.

Dari hasil analisis data tersebut, salinitas 15 ppt merupakan media yang

terbaik untuk pemeliharaan udang vaname karena menghasilkan performa yang

terbaik untuk pertumbuhan, biomasa, maupun feed conversion ratio (FCR).

Sementara untuk kelangsungan hidup terbaik terjadi pada salinitas media 20 ppt.

Udang vaname dapat mentolerir salinitas yaang luas, dari 0,5-45 ppt, tetapi

tumbuh sangat baik pada salinitas rendah sekitar 10-15 ppt (dimana lingkungan

dan hemolim udang berada dalam kondisi iso osmotic (Wyban dan Sweeny,

1991; Davis et al., 2002)

0,0

0,5

1,0

1,5

2,0

2,5

A B C D E

FCR

PERLAKUAN A: 5 ppt, B: 10 ppt, C: 15 ppt, D: 20 ppt, E: 25 ppt

FCR 1,9 ± 0,2b

1,8 ± 0,01b

1,5 ± 0,01a 1,6 ± 0,01a

1,8 ± 0,02b

Page 22: LAPORAN PENELITIAN PASCASARJANA UNIVERSITAS LAMPUNG

4.2. Penambahan Kalium (K) pada Media Salinitas Rendah

4.2.1. Tingkat Kelangsungan Hidup (SR)

Tingkat kelangsungan hidup atau survival rate (SR) udang vaname pada

penelitian perlakuan penambahan kalium pada media bersalinitas 5 ppt dapat

dilihat pada Gambar 7 di bawah ini. Berdasarkan uji statistik masing-masing nilai

tengah setiap perlakuan (ANOVA uji F- satu arah) pada tingkat kepercayaan 95%

(p<0,05) menunjukkan bahwa penambahan kalium dalam bentuk garam KCl

berpengaruh nyata terhadap kelangsungan hidup udang vanname (Lampiran 9).

Tingkat kelangsungan hidup tertinggi terdapat pada perlakuan penambahan KCl

dengan konsentrasi 100 mg/l, sedangkan tingkat kelangsungan hidup terendah

terdapat pada perlakuan tanpa penambahan KCl 0 mg/l.

Gambar 7. Tingkat Kelangsungan Hidup udang vaname

47,66 ± 6,65a

60,66 ± 2,51b

74,00 ± 7,93c

50,33 ± 3,51ab

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

0 50 100 150

Tin

gk

at

kel

an

gsu

ng

an

hid

up

(%

)

Konsentrasi kalium (mg/L)

Page 23: LAPORAN PENELITIAN PASCASARJANA UNIVERSITAS LAMPUNG

Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan pada tingkat kepercayaan 95% (p>0,05), perlakuan A (0

mg/l) menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan perlakuan B (50 mg/l), perlakuan C (100

mg/l) namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan D (150 mg/l). Perlakuan B (50 mg/l)

menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan perlakuan C (100 mg/l) namun tidak berbeda

nyata dengan perlakuan D (150 mg/l). Sedangkan, perlakuan C (100 mg/l) menunjukkan

hasil yang berbeda nyata dengan perlakuan D (150 mg/l).

4.2.2. Pertumbuhan Berat Mutlak

Pertumbuhan berat mutlak atau growth rate (GR) udang vanname selama perlakuan

dapat dilihat pada Gambar 8 dibawah ini. Berdasarkan uji statistik sidik masing-masing nilai

tengah populasi setiap perlakuan (ANOVA uji F- satu arah) pada tingkat kepercayaan 95%

(p<0,05) menunjukkan bahwa penambahan kalium dalam bentuk garam KCl berpengaruh nyata

terhadap pertumbuhan berat mutlak udang vaname. Pertumbuhan berat mutlak tertinggi terdapat

pada perlakuan penambahan KCl dengan konsentrasi 100 mg/l, sedangkan pertumbuhan berat

mutlak terendah terdapat pada perlakuan tanpa penambahan KCl 0 mg/l.

Gambar 8. Pertumbuhan berat mutlak udang vaname

Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan pada tingkat kepercayaan 95% (p>0,05), perlakuan A (0

mg/l) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan B (50 mg/l), namun

0,58 ± 0.17a

0,90 ± 0,10ab

1,38 ± 0,33c

0,97 ± 0,06b

0

0,2

0,4

0,6

0,8

1

1,2

1,4

1,6

1,8

0 50 100 150

Bob

ot

mu

tlak

(g/h

ari

)

Konsentrasi kalium (mg/L)

Page 24: LAPORAN PENELITIAN PASCASARJANA UNIVERSITAS LAMPUNG

berbeda nyata dengan perlakuan C (100 mg/l) dan perlakuan D (150 mg/l). Perlakuan B (50

mg/l) menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan perlakuan C (100 mg/l) namun tidak

berbeda nyata dengan perlakuan D (150 mg/l). Sedangkan, perlakuan C (100 mg/l) menunjukkan

hasil yang berbeda nyata dengan perlakuan D (150 mg/l).

4.2.3. Specific Growth Rate (SGR)

Nilai laju pertumbuhan spesifik atau spesific growth rate (SGR) udang vaname selama

pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 9. Berdasarkan analisa uji statistik masing-masing nilai

rata-rata populasi setiap perlakuan (ANOVA) pada tingkat kepercayaan 95% (p<0,05)

menunjukkan bahwa penambahan kalium dalam bentuk garam KCl berpengaruh nyata terhadap

laju pertumbuhan spesifik udang vaname. Laju pertumbuhan spesifik tertinggi terdapat pada

perlakuan penambahan KCl dengan konsentrasi 100 mg/l, sedangkan Laju pertumbuhan spesifik

terendah terdapat pada perlakuan tanpa penambahan KCl 0 mg/l.

Gambar 9. laju pertumbuhan spesifik udang vaname

Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan pada tingkat kepercayaan 95% (p>0,05), perlakuan A (0

mg/l) menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan perlakuan B (50 mg/l), perlakuan C (100

mg/l) dan perlakuan D (150 mg/l). Perlakuan B (50 mg/l) menunjukkan hasil yang tidak

8,37 ± 0,80a 9,47 ± 0,25b

10,47 ± 0,66b

9,67 ± 0,15b

0,00

2,00

4,00

6,00

8,00

10,00

12,00

0 50 100 150

Laju

per

tum

bu

han

sp

esif

ik (

%h

ari

)

Konsentrasi kalium (mg/L)

Page 25: LAPORAN PENELITIAN PASCASARJANA UNIVERSITAS LAMPUNG

berbeda nyata dengan perlakuan C (100 mg/l) dan perlakuan D (150 mg/l). Sedangkan,

perlakuan C (100 mg/l) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan D (150

mg/l).

4.2.4. Feed Conversion Ratio

Nilai konversi pakan atau feed convertion ratio (FCR) udang vaname selama pemeliharaan

dapat dilihat pada Gambar 10. Berdasarkan analisa statistik sidik ragam masing-masing nilai

rata-rata populasi setiap perlakuan (ANOVA) pada selang kepercayaan 95% (p<0,05), diperoleh

hasil bahwa perlakuan penambahan kalium dalam bentuk garam KCl berpengaruh nyata terhadap

nilai laju pertumbuhan harian udang vaname. Nilai konversi pakan tertinggi terdapat pada

perlakuan tanpa penambahan KCl dengan konsentrasi 0 mg/l, sedangkan nilai konversi pakan

terendah terdapat pada perlakuan penambahan KCl 100 mg/l.

Gambar 10. Feed convertion ratio (FCR)

Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan pada tingkat kepercayaan 95% (p>0,05), perlakuan A (0

mg/l) menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan perlakuan B (50 mg/l), perlakuan C (100

mg/l) dan perlakuan D (150 mg/l). Perlakuan B (50 mg/l) menunjukkan hasil yang tidak

berbeda nyata dengan perlakuan C (100 mg/l) dan perlakuan D (150 mg/l). Sedangkan,

perlakuan C (100 mg/l) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan D (150

mg/l).

1,9 ± 0,16b

1,3 ± 0,10a

1,2 ± 0,05a

1,4 ± 0,20a

0

0,5

1

1,5

2

2,5

0 50 100 150

Rasi

o k

on

ver

si p

ak

an

Konsentrasi kalium (mg/L)

Page 26: LAPORAN PENELITIAN PASCASARJANA UNIVERSITAS LAMPUNG

KESIMPULAN

1. Salinitas air media budidaya berpengaruh terhadap pertumbuhan, survivalrate, biomasa,

dan feed conversion ratio udang vaname. Salinitas 15 menunjukkan performa terbaik

untuk pertumbuhan, biomasa dan FCR, sedangkan salinitas 20 menghasilkan tingkat

kelangsungan hidup terbaik (79,3%).

2. Penambahan kalium 100 mg/l KCl pada media kultur udang vanname salinitas rendah

menghasilkan pertumbuhan dan sintasan udang yang terbaik. Mineral kalium KCl

dengan konsentrasi tersebut dapat menurunkan tingkat kerja osmotik, meningkatkan laju

pertumbuhan, kelangsungan hidup dan efisiensi pakan.

DAFTAR PUSTAKA

Avnimelech, Y. 2015. Biofloc Technology – A Practical Guide Book. Second edition. The World

Aquaculture Society, Baton Rounge, Louisiana, United State, 182 hal.

Davis, D. A., Saoud, I. P., McGraw, W. J., Rouse, D. B., 2002. Considerations for Litopenaeus

vannamei reared in inland low salinity waters. In: Cruz-Suárez, L. E., Ricque-Marie, D.,

Tapia-Salazar, M., Gaxiola-Cortés, M. G., Simoes, N. (Eds.). Avances en Nutrición

Acuícola VI. Memorias del VI Simposium Internacional de Nutrición Acuícola. 3 al 6 de

Septiembre del 2002. Cancún, Quintana Roo, México

Dayna, P., Raval,I.H., Joshi,N., Patel,N.P.,Haldar, S.,andMody,K.H.(2015). Influenceof

low salinity stress on virulence and biofilm formation potential in Vibrio

alginolyticus, isolated from the Gulf of Khambhat, Gujarat India. Aquatic

Living Resources, 28: 99–109

Hamka, Z Burhanuddin, Faisal 2013. Optimasi tingkat kerja osmotik benih ikan kerapu tikus

(Cromileptes altivelis) yang dipelihara pada salinitas berbeda. Octopus. 2 (1) : 135

Herlinah dan E. Septiningsih. Tingkat kerja osmotik udang vaname, Litopenaeus vannamei pada budidaya sistem intensif dengan aplikasi bioflok dan pergiliran pakan. Prosiding

Forum Inovasi Teknologi Akuakultur : 43-48.

Holthuis, L.B. 1980. FAO Species Catalogue Vol. 1. Shrimp and Prawn of the world. An

annotated catalogue of spesies of interest to fisheries. FAO Fish. Synop. 125 Vol. 1 :

271 hal.

Huynh TG, Cheng AC, Chi CC, Chiu KH, Liu CH. A synbiotic improves the immunity of white

shrimp, Litopenaeus vannamei: Metabolomic analysis reveal compelling evidence. Fish

Shellfish Immunol. 2018 Aug;79:284-293. doi: 10.1016/j.fsi.2018.05.031. Epub 2018

May 18. PMID: 29778843.

Putri A.K., SAnggoro, Djuwito. 2015. Tingkat Kerja Osmotik Dan Perkembangan Biomassa

Benih Bawal Bintang (Trachinotus Blochii) Yang Dikultivasi Pada Media Dengan

Page 27: LAPORAN PENELITIAN PASCASARJANA UNIVERSITAS LAMPUNG

Salinitas Berbeda." Jurnal Management of Aquatic Resources, vol. 4, no. 1, 2015, pp.

159-168.

Rahmawati S.I, Saputra R.N, Hidayatullah A., Dwiarto A., Junaedi H., Cahyadi D., i Saputra

H.K.H., Prabowo W.T., Kartamiharja U.K.A., Shafira H., Noviyanto A., Rochman

N.T.2020. Enhancement of Penaeus vannamei shrimp growth using nanobubble in

indoor raceway pond. Aquaculture and Fisheries.

https://doi.org/10.1016/j.aaf.2020.03.005

Ranjan A., Boyd C.E. 2018.. Appraising pond liners for shrimp culture. Global Aquaculture

Advocate. May.

Salsabiela, M. 2020. Pola Osmoregulasi Udang Vannamei (Litopenaeus Vannamei) Dewasa

Yang Diablasi dan Dikultivasi pada Berbagai Tingkat Salinitas.Gema Wiralodra, 11 (1):

143-153

Suantika G, Situmorang ML, Nurfathurahmi A, Taufik I, Aditiawati P. 2018. Application of

Indoor Recirculation Aquaculture System for White Shrimp (Litopenaeus vannamei)

Growout Super-Intensive Culture at Low Salinity Condition.J Aquac Res Development 9:

530. doi: 10.4172/2155-9546.1000530

Supono, J. Hutabarat, S.B. Prayitno, dan Y.S. Darmanto. 2014. White Shrimp (Litopenaeus

vannamei) Culture Using Heterotrophic aquaculture System on Nursery Phase.

International Journal of waste Resources 4 (2) :1000142

Temmy, S. Anggoro, N. Widyorini. 2017. Tingkat kerja osmotik dan pertumbuhan kerang hijau

perna viridis yang dikultivasi di perairan tambak lorok semarang. Journal of Maquares, 6

(2) : 164-172

Widodo A.F., B. Pantjara, N. B. Adhiyudanto, Rachmansyah. 2011. Performansi fisiologis udang

vaname, Litopenaeus vannamei yang dipelihara pada media air tawar dengan aplikasi

kalium. J. Ris. Akuakultur 6 (2): 225-241

Wyban, J.A, and J.N. Sweeney. 1991. Intensive shrimp production technology. The Ocean

Institute Honolulu, Hawai. 158 hal.

Page 28: LAPORAN PENELITIAN PASCASARJANA UNIVERSITAS LAMPUNG
Page 29: LAPORAN PENELITIAN PASCASARJANA UNIVERSITAS LAMPUNG

Lampiran 1. Surat Keterangan bimbingan mahasiswa aktif