laporan kelompok 3 modul 1 skenario 1 bercak merah pada kulit
DESCRIPTION
tutorialTRANSCRIPT
Laporan Kelompok PBL
Sistem Imunologi
MODUL 1
”BERCAK MERAH PADA KULIT”
Disusun Oleh :
KELOMPOK 3
Tutor :
dr. WD. Sitti Asfiah Udu, M.Sc
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2015
ANGGOTA KELOMPOK 3
1. NUR RAHMA K1A1 12 091
2. YUNITA YUSUF K1A1 12 103
3. WISNA ANDRIANI K1A1 12 117
4. RISKA K1A1 12 118
5. MELAHA RAY K1A1 12 134
6. NURUL ANUGRAH WULANDARI K1A1 12 135
7. AHMAD ARIEF J.B K1A1 13 002
8. A.M AKRAMULLAH DENDI. J K1A1 13 004
9. REFI FARADILAH K1A1 13 049
KATA PENGANTAR
Assalamualikum wr wb
Alhamdulillah hirobbil’alamin, Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT,
tuhan pencipta seluruh alam semesta besarta isinya, karena telah memberikan rahmat dan
hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan ini tepat pada waktunya, tak lupa
salawat dan salam kami junjungkan kepada Rasulullah SAW, yang telah membawa kita
semua dari zaman jahiliyah kepada zaman yang terang benderang.
Dalam rangka melengkapi tugas tutorial I sistem Imunologi kami membuat laporan
ini. Ucapan terimakasih sebesar-besarnya kami berikan kepada tutor kami yaitu dr. WD.Sitti
Asfiah, M.Sc, yang telah membimbing kami selama tutorial, dan teman-teman kelompok 3
yang telah kompak berusaha untuk menyelesaikan laporan ini. Memang bukanlah hal yang
mudah dalam menyusun laporan ini, namun kami telah berusa semaksimal mungkin dan
bersungguh-sungguh dalam menyelesaikannya.
Kami pun menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam pembuatan laporan ini,
baik dari segi penulisan, isi maupun informasi yang terdapat dalam laporan ini, oleh karena
itu kami mohon maaf yang sebesar-besarnya, dan mohon saran, kritik dan masukan dari para
pembaca sekalian sehingga dapat meyempurnakan dalam proses pembuatan laporan
selanjutnya.
Akhir kata, kami sangat berterima kasih kepada para pembaca, teristimewa kepada
mereka yang berkenan memberikan kritik dan sarannya. Harapan kami , semoga laporan ini
bermanfaat untuk kita semua. Amin ya robbal’alamin.
Wassalamualikum wr wb
Kendari, Februari 2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULAN
Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari lingkungan
hidup manusia. Luas kulit orang dewasa 1,5 m² dengan berat kira-kira 15 % berat badan.
Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta merupakan cermin kesehatan dan
kehidupan. Kulit juga sangat kompleks, elastis dan sensitif, bervariasi pada keadaan iklim,
umur seks, ras dan juga bergantung pada lokasi tubuh.
Warna kulit berbeda-beda, dari kulit yang berwarna terang (fair skin), pirang dan
hitam, warma merah muda pada telapa kaki dan tangan bayi, serta warna hitam kecoklatan
pada genitalia orang dewasa. Demikian pula kulit bervariasi mengenai lembut tipis dan
tebalnya ; kulit yang elastis dan longgar terdapat pada palpebra, bibir dan preputium, kulit
yang tebal dan tegang terdapat di telapak kaki dan tangan dewasa. Kulit yang tipis terdapat
pada muka, yang lembut pada leher dan badan dan yang berambut kasar terdapat pada kepala.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah selesai mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menyebutkan
reaksi hipersensitif yang menyebabkan bercak merah pada kulit dan menjelaskan tentang
penyebab, petomekanisme reaksi yang bersangkutan, terutama imunopatogenesis terjadinya
reaksi ini, kerusakan jaringan, tanda/gejala yang ditemukan, cara diagnosis penunjang, serta
penatalaksanaan kasus yang bersangkutan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 SKENARIO
Seorang ibu rumah tangga berumur 20 tahun datang ke dokter praktek swata dengan
keluhan bercak kemerahan berbatas tegas di pergelangan tangan. Muncul 4 hari yang lalu.
Bercak tersebut agak hangat pada perabaan, terasa gatal dan tidak ada nyeri pada penekanan.
Kelainan ini sifatnya kambuhan terutama setelah mencuci. Lokasi kelainannya bisa di sela –
sela jari tangan atau di sela jari kaki.
2.2 KATA KUNCI
Ibu rumah tangga 20 tahun
Bercak kemerahan
Berbatas tegas di pergelangan tangan
Muncul 4 hari yang lalu
Terasa hangat, gatal dan tidak nyeri bila ditekan
Sifatnya kambuhan terutama setelah mencuci
Lokasi bisa di sela jari tangan dan kaki
2.3 PERTANYAAN
1. Bagaimana anatomi, histologi dan fisiologi kulit?
2. Jelaskan definisi hipersensitivitas dan sebutkan pembagiannya?
3. Difential Diagnosis dan Diagnosi Sementara?
4. Jelaskan mekanisme hipersensitivitas tipe 1?
5. Etiologi dari Diagnosi Sementara?
6. Epidemiologi Diagnosi Sementara?
7. Pemeriksaan penunjang Diagnosi Sementara?
8. Penatalaksanaan Diagnosi Sementara?
9. Komplikasi dan prognosis dari Diagnosi Sementara?
2.4 JAWABAN PERTANYAAN
1. ANATOMI, HISTOLOGI DAN FISIOLOGI KULIT
ANATOMI KULIT
Kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama yaitu:
a. Lapisan epidermis atau kutikel
b. Lapisan dermis (korium, kutis vera, true skin)
c. Lapisan subkutis (hipodermis)
Tidak ada garis tegas yang memisahkan dermis dan subkutis, subkutis ditandai
dengan adanya jaringan ikat longgar dan adanya sel dan jaringan lemak.
1. Lapisan epidermis terdiri atas : stratum korneum, stratum lusidum,
stratum granulosum, stratum spinosum, dan stratum basale.
Stratum korneum (lapisan tanduk) adalah lapisan kulit yang paling luar
dan terdiri atas beberapa lapis sel-sel gepeng yang mati, tidak berinti, dan
protoplasmanya telah berubah menjadi keratin (zat tanduk).
Stratum lusidum terdapat langsung dibawah lapisan korneum merupakan
lapisan sel-sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah
menjadi protein yang disebut eleidin. Lapisan tersebut tampak lebih jelas
di telapak tangan
dan kaki.
Stratum granulosum (lapisan keratohialin) merupakan 2 atau 3 lapis sel-
sel gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti diantaranya.
Butir-butir kasar ini terdiri atas keratohialin. Mukosa biasanya tidak
mempunyai lapisan ini. Stratum granulosum juga tampak jelas di telapak
tangan dan kaki.
Stratum spinosum (stratum malpighi) atau disebut pula prickle cell layer
(lapisan akanta) terdiri atas beberapa lapis sel yang berbentuk pollgonal
yang besarnya berbeda-beda karena adanya proses mitosis.
Protoplasmanya jernih karena banyak mengandung glikoigen, dan inti
terletak di tengah-tengah. Sel sel ini makin dekat ke permukaan makin
gepeng bentuknya. Di antara sel-sel stratum spinoisum terdapat jembatan-
jembatan antar sel (intercelullar bridges) yang terdiri atas protoplasma
dan tonofibril atau keratin. Perlekatan antar jembatan-jembatan ini
membentuk penebalan bulat kecil yang disebut nodulus Bizzozero. Di
antaranya sel-sel spinoisum terdapat pula sel Langerhans. Sel-sel Stratum
spinosum mengandung banyak glikogen.
Stratum basale terdiri atas sel-sel berbentuk kubus (kolumnar) yang
tersusun vertikal pada perbatasan dermo-epidermal berbaris seperti pagar
(palisade). Lapisan ini merupakan lapisan epidermis yang paling bawah.
Sel-sel basal ini mengadakan mitosis dan berfungsi reproduksi. Lapisan
ini terdiri atas dua jenis sel yaitu:
a. Sel-sel yang berbentuk kolumnar dengan protoplasma basofilik
inti lonjong dan besar, dihubungkan satudengan yang lain oleh
jembatan antar sel.
b. Sel pembentuk melanin (melanosit) atau clear cell merupakan
sel-sel berwarna muda, dengan sitoplasmabasofilik dan inti gelap,
dan mengandung butir pigmen (melanosomes).
2. Lapisan dermis adalah lapisan di bawah epidermis yang jauh lebih tebal
daripada epidermis. Lapisan ini terdiri atas lapisan elastik dan fibrosa padat
dengan elemen-elemen selular dan folikel rambut. Secaragaris besar dibagi
menjadi dua bagian yakni :
Pars papilare, yaitu bagian yang menonjol ke epidermis, berisi ujung
serabut saraf dan pembuluh darah
Pars retikulare, yaitu bagian di bawah yang menonjol ke arah
subkutan, bagian ini terdiri atas serabut-serabut penunjang misalnya
serabut kolagen, elastin, dan retikulin. Dasar (matriks) lapisan ini
terdiri atas cairan kental asam hialuronat dan kondritin sulfat, di bagian
ini terdapat pula fibroblas. Serabut kolagen dibentuk oleh fibroblas,
membentuk ikatan (bunde) yang mengandung hidroksiprolin dan
hidrosisilin. Kolagen muda bersiat lentur dengan bertambahnya umur
menjadi kurang larut sehingga makin stabil. Retikulin mirip kolagen
muda. Serabut elastin biasanya bergelombang, berbentuk amorf dan
mudah mengembang serta lebih elastis.
3. Lapisan subkutis adalah kelanjutan dermis, terdiri atas jaringan ikat
longgar beris sel-sel lemak didalamnya. Sel-sel lemak merupakn sel bulat,
besar,dengan inti terdesak ke pinggir sitoplasma lemak yang bertambah. Sel-
sel ini membentuk kelompok yang dipisahkan satu dengan yang lain oleh
trabekula yang fibrosa. Lapisan sel-sel lemak disebut panikulus adiposa,
berfungsi sebagai cadangan makanan. Di lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf
tepi, pembuluh darah, dan getah bening. Tebal tipisnya jaringan lemak tidak
sama bergantung pada lokalisasinya. Di abdomen dapat mencapai ketebalan 3
cm, di daerah kelopak mata dan penis sangat sedikit. Lapisan lemak ini juga
merupakan bantalan. Vaskularisasi di kulit duatur oleh 2 pleksus, yaitu pleksus
yang terletak di bagian atas dermis (pleksus superfisial) dan yang terletak di
subkutis (pleksus profunda). pleksus yang di dermis bagian atas mengadakan
anastomosis di papil dermis, pleksus yang di subkutis dan di pars retikulare
juga mengadakan anastomosis, di bagian ini pembuluh darah berukuran lebih
besar. Bergandengan dengan pembuluh darah terdapat saluran getah bening.
FISIOLOGI KULIT
a. Fungsi proteksi
Kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisis atau mekanis, misalnya
tekanan, gesekan, tarikina, gangguan kimiawi, terutama yang bersifat iritan. Contohnya lisol,
karbon, asam dan alkali kuat lainnya. Gangguan yang bersifat panas misalnya, radiasi,
sengatan sinar ultra violet. Gangguan infeksi luar misalnya kuman, bakteri, maupun jamur.
Hal di atas kemungkinan besar karna ada bantalan lemak,tebalnya lapisan kulit dan serabut
serabut jaringan penunjang yang berperan sebagai pelindung dari gangguan fisis.
b. Fungsi absorspsi
Kulit yang sehat tidak mudah meresap air, larutan dan benda padat.tetapi cairan yg
mudah menguap lebih mudah di serap, begitupun larut lemak. Permeabilitas kulit terhadap
O2, dan Co2,dan uap air memungkinkan kulit ikut mengambil bagian dalam fungsi respirasi.
Kemampuan absoprbsi kulit di pengaruhi oleh tebal tipisnya kulit, hidrasi kelembapan,
metaboloisme dan jenis vehikulum. Penyerapan dapat berlangsung melalui celah antara
sel,menembus sel epidermis, atau melalui muara saluran kelenjar. Tetapi lebih banyak yang
melalui sel epidermis dari pada melalui muara kelenjar.
c. Fungsi ekskresi
Kelenjar-kelenjar kulit mengeluarkan zat yang tidak bergunaisa metabolism dalam
tubuh berupa NaCl, urea, asam urat, dan ammonia. Kelenjar lemak pada fetus atas pengaruh
hormone androgen dari ibunya.memproduksi sebum untuk melindungi kulitnya terhadap
cairan amnion, pada waktu lahir di jumpai sebagai vermix caseosa. Sebum di produksi
melindungi kulit karena lapisan sebum ini selain meminyaki kulit juga menahan evapurasi air
yang berlebihan sehingga kulit tidak menjadi kering.
d. Fungsi persepsi .
Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensoris di dermis subkulit. Terhadap ransangan
panas di perankan oleh badan Ruffini di dermis dan sub kutis. Terhadap dingin di perankan
oleh badan-badan Krause yang terletak di dermis. Badan taktil meisner terletak di papilla
dermis berperan terhadap perabaan, demikian pula pada badan merkel renvier, yang terletak
di epidermis.
e. Fungsi pengaturan suhu tubuh
Kulit melakukan peranan ini dengan cara mengeluarkan keringat dan mengerutkan
otot pembuluh darah kulit. Kulit kaya akan pembuluh darah sehingga memungkinkan kulit
mendapat nutrisi yang cukup baik. Tonus vaskuler di pengaruhi oleh saraf simpatis . pada
bayi biasanya dinding pembuluh darah belum terbentuk sempurna sehingga terjadi ekstra
vasasi cairan karna itu kulit bayi tampak lebih edematosa karna lebih banyak mengandung air
dan Na.
f. Fungsi pembentukan pigmen
Sel pembentuk pigmen , terletak di lapisan basal dan sel ini berasal dari rigil saraf.
Pembandingan jumlah sel basal melanosit adalah 10 : 1. Jumlah menositdan jumlah serta
besarnya butiran pigmen.
g. Fungsi keratinasi
Lapisan kulit orang dewasa mempunya 3 jenis lapisan sel utama yaitu keratinosit, sel
langerhans, melanosit. Keratinosit di mulai dari sel basal yang mengadakan pembelahan. Sel
basal yang lain akan berpindak ke atas dan berubah bentuk menjadi sel spinosum, makin ke
atas sel makin gepeng dan bergranula menjadi sel granulosum. Makin lama inti menghilang ,
dan keratinosit ini menjadi sel tanduk yang amoft, proses ini berlansung terus menerus
seumur hidup, dan sampai sekarang belum sepenuhnya di ketahui.
h. Fungsi pembentukan vitamin D
Dengan mengubah 7 dehidruksi kolesterol dengan pertolongan sinar matahari, tetapi
kebutuhan tubuh akan vitamin D akan cukup tidak cukup hanya dari hal tersebut sehingga
pemberian vitamin D sistemik masih sangat di perlukan.
2. Hipersensitivitas
1. Reaksi tipe I Reaksi cepat
Disebut juga reaksi cepat, reaksi anfilaksis atau reaksi alergi dikenal sebagai reaksi
yang segera timbul sesudah alewrgen masuk ke dalam tubuh. Istilah alergi yang pertama kali
digunakan Von Pirquet pada tahun 1906 diartikan sebagai reaksi pejamu yang berubah bila
terjadi kontak dengan bahan yang sama untuk kedua kali atau lebih.
Antigen yang masuk dalam tubuh akan ditangkap oleh fagosit, diprosesnya lalu
dipresentasekan ke sel Th 2. Sel yang akhirnya melepas sitokin yang merangsang sel B untuk
membentuk Ig E. Ig E akan diikat oleh sel yang memiliki reseptor untuk Ig E seperti sel mast,
basofil dan eusinofil. Bila tubuh terpajang ulang dengan alergen yang sama, alergen yang
masuk di dalam tubuh bakan diikat oleh Ig M pada permukaan sel mast yang menimbulkan
degranulasi sel mast. Degranulasi tersebut mengeluarkan mediator antara lain histamin yang
didapat di dalam granul-granul sel dan minim,bulkan gejala pada reaksi hipersensitivitas tipe
I.
Penyakit-penyakit yang timbul segera sesudah tubuh terpajang dengan alergen adalah
asma brongkhial, rhinitis, urtikaria dan dermatitis atopik. Disamping histamin, mediator lain
seperti prostaglandin dan leukotrin (SRS-A) yang dihasilkan metabolisme asam arakhidonat,
berperan pada fase lambat dari reaksi tipe I yang sering timbul beberapa jam sesudah kontak
dengan alergen
2. Reaksi tipe II Reaksi sititoksik
Reaksi tipe II disebut juga reaksi sitotoksik, terjadi oleh karena dibentuk antibodi
jenis Ig G atau Ig M terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Ikatan antibodi
dengan antigen yang merupakan bagian dari sel pejamu tersebut dapat mengaktifkan
komplement dan menimbulkan lisis. Lisis sel dapat pula terjadi melalui sensitasi sel NK
sebagai efektor antibodi dependentt sel sitotoksisiti. Contoh reaksi tipe II adalah dekstruksi
sel darah merah akibat reaksi transfusi dan penyakit anemia hemolitik pada bayi yang b aru
dilahirkan dan dewasa. Sebagioan kerusakan jaringan pada penyakit auto imun seperti
miastenia gravis dan tirotoksikosis juga ditimbulkan melalui mekanisme reaksi tipe II.
Anemia hemolitik dapat ditimbulkan oleh obat seperti penisilin, kinin dan sulfonamid.
3. Reaksi tipe III atau reaksi kompleks imun
Reaksi tipe III atau reaksi kompleks imun terjadi akibat endapan kompleks antigen
antibodi dalam jaringan atau pembuluh darah. Antibodi disini biasanya jenis Ig G atau Ig M.
Kompleks tersebut mengaktifkan komplement yang kemudian melepas berbagai mediator
terutama macrophage chemotactic factor. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut akan
merusak jaringan sekitar tempat tersebut. Antigen dapat berasal dari infeksi kuman patogen
yang persisten (malaria), bahan yang terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis
ekstrinsik alergi) atau jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi tersebut disertai dengan
antigen dalam jumlah yang berlebihan, tetapi tidak disertai dengan respon antibodi efektif.
Antigen (Ag) dan antibodi (Ab) bersatu membentuk kompleks imun. Selanjutnya
kompleks imun mengaktikan C yang melepas C 3a dan C 5a dan merangsang basofil dan
trombosit melepas berbagai mediator antara lain histamin yang mengikat permeabilitas
vaskular.
Dalam keadaan normal kompleks imun dimusnahkan oleh sel fagosit mononuklear
terutama dalam hati, limfa dan paru tanpa bantuan komplemen. Dalam proses tersebut,
ukuran kompleks imun merupakan faktor penting. Pada umumnya kompleks yang besar,
mudah dan cepat dimusnahkan dalam hati. Kompleks yang larut terjadi bila antigen
ditemukan jauh lebih banyak dari pada antibodi yang sulit untuk dimusnahkan dan oleh
karena itu dapat lebih lama ada dalam sirkulasi. Komplek imun yang ada daalm sirkulasi
meskipun dalam waktu yang lama, biasanya tidak berbahaya. Permasalahan akan timbul bila
kompleks imun menembus didnding pembuluh darah dan mengendap di jaringan. Gangguan
fungsi fagosit didiga dapat merupakan sebab mengapa kompleks imun sulit dimusnahkan.
4. Reaksi Tipe IV Reaksi hipersensitivitas lambat
Reaksi tipe IV yang juga disebut reaksi hipersensitivitas lambat, timbul dari 24 jam
setelah tubuh terpajang dengan antigen. Dewasa ini, reaksi tipe IV dibagi dalam delayed tipe
hiper-sensitiviti yang terjadi melalui CD 4 dan T cell mediated sitolisis yang terjadi melalui sel
CD 8.
Pada Delayed Type Hypersensitivity sel CD 4 yang mengaktiofkan makrofag berperan
sebagai sel efektor. CD 4 Th 1 melepas sitokin (IFN γ ) yang mengaktifkan makrofag dan
menginduksi inflamasi. Contoh-contoh reaksi DTH adalah sebagai berikut:
1) Reaksi tuberkulinyaitu reaksi dermal yang berbeda dengan reaksi dermatitis kontak yang
terjadi 20 jam setelah terpajang dengan antigen. Reaksi terdiri atas infiltrasi sel mononuklear
(50%) adalah limfosit dan sisanya mosnosit.
2) Dermatitis kontak. Reaksi DTH dapat terjadi sebagai respon terhadap bahan yang tidak
berbahaya dalam lingkungan seperti nikel yang menimbulkan dermatitis kontak sel
langerhans sebagai antigen presenting sel atau APC, sel Th 1 dan makrofag memegang
peranan pada reaksi tersebut.
3) Reaksi granuloma pada keadaan yang paling menguntungkan DTH berakhir dengan
hancurnya mikroorganisme oleh enzim lisosom dan produk makrofag lainnya seperti teroksit
radikal dan superoksid.
T Cell Medeiated Cytolisis. Dalam kerusakan terjadi melalui CD 8 / sitotoksis T lympocite
(CTL/Tc) yang langsung membunuh sel sasaran. Penyakih hipersensitivitas selular disuga merupakan
sebab auto imunitas. Oleh karena itu, penyakit yang ditimbulkan hypersensitivitas selular cenderung
terbatas kepada beberapa organ saja dan biasanya tidak sistemik. Pada penyakit virus hepatitis, virus
sendiri tidak sitopatik, tetapi kerusakan ditimbulkan oleh respon CTL terhadap hepatosit yang
terinfeksi.
Sel CD 8 spesifik untuk antigen atau sel autologus dapat membunuh sel dengan langsung.
Pada banyak penyakit autoimun yang terjasi melalui mekanisme selular, biasanya ditemukan baik sel
CD 4 maupun CD 8 spesifik self antigen dan kedua jenis sel tersebut dapat menimbulkan kerusakan.
3. DIFENTIAL DIAGNOSIS
No Gejala klinis DKA DKI URTIKARIA 1 Wanita 20 tahun + + + 2 Bercak merah berbatas tegas
di pergelangan tangan+ + -
3 Hangat pada perabaan + + - 4 Gatal + + + 5 Tidak ada nyeri penekanan + + - 6 Kambuhan setelah mencuci +/- + +/- 7 Lokasi disela2 jari tangan
dan kaki + + -
4. DERMATITIS KONTAK ALERGI
EPIDEMIOLOGI
Bila dibandingkan dengan DKI,jumlah penderita DKA lebih sedikit karena hanya
mengenai orang yang keadaan kulitnya sangat peka (hypersensityvity).diramalkan bahwa
jumlah DKA maupun DKI makin bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah produk
yang mengandung bahan kimia yang dipakai oleh masyarakat.namun informasi mengenai
prevalensi dan insiden DKA di masyarakat sangat sedikit,sehingga berapa angka yang
mendekati kebenaran belum didapat.
Dahulu diperkirakan bahwa kejadiaan DKI akibat kerja sebanyak 80% dan DKA
20%,tetap8i data baru dari inggris dan AS menunjukkan bahwa dermatitis kontak akibat kerja
karena alergi ternyata cukup tinggi yaitu berkisar antara 50 dan 60%.Sedangkan satu
penelitian menemukan frekuensi DKA bukan diakibatkan kerja 3 hari lebih sering daripada
DKA akibat kerja.
ETIOLOGI
Penyebab DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat molekul umumnya
rendah (>1000 dalton),merupan alergen yang belum diproses,disebut hapten,bersifat
lipofilik,sangat reaktif,dapat menembus stratu korneum sehingga mencapai sel epidermis di
bawahnya (sel hidup).Berbagai faktor pengaruh dalam timbulnya DKA,misalnya,potensi
sensitisasi alergen,dosis per unit area, luas daerah yang terkena ,lama pajanan, koklusi, suhu
dan kelembaban lingkungan,sehikulum,dan pH.Juga faktor individu,misalnya keadaan kulit
pada lokasi kontak (keadaan stratum korneum,ketebalan epidermis),status immunologi
(misalnya sedang menderita sakit,terpajan sinar matahari).
PATOMEKANISME
Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada DKA adalah mengikuti respon imun yang
diperantarai oleh sel atau reaksi imunologik tipe IV, suatu hipersensitivitas tipe lambat.
Reaksi ini terjadi melalui dua fase, yaitu fase sensitasi dan fase elisitasi. Hanya individu yang
mengalami sensitasi dapat menderita DKA.
a. Fase Sensitisasi
Hapten yang mask kedalam epidermis melewati stratum korneum akan di tangkap
oleh sel langerhans dengan cara pinositosis, atau diproses secara kimiawi oleh enzim lisosom
atau sitosol serta di konjugasikan pada molekul HLA-DR menjadi antigen lengkap. Pada
awalnya sel langerhans dalam keadaan istirahat, dan hanya berfungsi sebagai makrofag
dangan sedikit kemampuan menstimulasi sel T. Tetapi, setelah kreatinosit terpajan oleh
hapten juga mempunyai sifat iritan, akan melepaskan sitokin yang akan mengaktifkan sel
langerhans sehingga mampu menstimulasi sel T. Aktivasi tersebut akan mengubah fenotip sel
langerhans dan meningkatkan sekresi sitokin tertentu serta ekspresi molekul permukaan sel
termasuk MHC kelas 1 dan 2, ICAM-1, LFA-3, dan B7. Sitokin pro inflamasi lain yang
dilepaskan oleh keratinosit yaitu TNF α, yang dapat mengaktifasi sel T , makrofag dan
granulosit , menginduksi perubahan molekul adhesi sel dan pelepasan sitokin juga
meningkatakan MHC kelas 1 dan 2.
TNFα Menekan produksi E-cadherin yang mengikat sel Langerhans pada epidermis,
juga menginduksi aktivitas Gelatinolisis sehingga memperlancar sel langerhans lewati
mebran Basalis bermigrasi ke kelenjar getah bening setempat melalui saluran limfe. Didalam
kelenjar Limfe sel langerhans mempersentasekan kompleks HLA-DR antigen kepada sel T
penolong spesifik, yaitu yang mengekspresikan molekul CD4 yang mengenali HLA-DR sel
langerhans , dan kompleks reseptor sel T CD3 yang mengenali antigen yang telah diproses.
Ada atau tidak adanya sel T spesifik ditentukan secara Genetik.
Sel langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi untuk menseksresi IL-2 , Dan
mengespreseikan reseptor IL-2, Sitokin ini akan menstimulasi proliferasi sel T Spesifik,
senhingga menjadi lebih banyak. Turunan sel ini yaitu sel T memori akan meninggalkan
kelenjar getah bening dan beredar keseluruh tubuh. Pada saat tersebut individu menjadi
tersensitisasi. Fase ini rata-rata berlangsung selama 2-3 minggu.
Menurut konsep ‘danger’ signal bahwa signal antigenic murni suatu hapten
cenderung menyebabkan toleransi , sedangkan sinyal iritannya menimbulkan sensitisasi.
Dengan demikian terjadinya sensitisasi kontak bergantung pada adanya sinyal iritan yang
dapat berasal dari allergen kontak sendiri, dari ambang rangsang yang rendah terhadap respon
iritan , dari bahan kimia infamasi pada kulita yang meradang atau kombinasi dari ketiganya.
b. Fase Elisitasi
Fase kedua adalah elisitasi Hipersensitivitas tipe lambat erjadi pada pajanan ulang
allergen seperti pada fase sensitisasi , hapten akan ditangkap oleh sel langerhans dan diproes
secara kimiawi menjadi antigen, diikat oleh HLA-DR kemudian diekpresikan dipermukaan
sel. Selanjutnya kompleks HLA-DR antigen akan dipresentasekan kepada sel T yang telah
tersensitisassi baik dikulit maupun dikelenjar limfe, sehingga terjadi proses aktivasi. Dikulit
proses aktivasi lebih kompleks dengan hadirnya sel-sel lain. Sel langerhans mensekresi IL-1
yang menstimulasi sel T untuk memproduksi IL-2, dan mengeskspresi IL-2R, yang akan
menyebabkan proliferasi dan ekspansi populasi sel T dikulit. Sel T teraktivasi juga
mengeluarka IFN-y yang akan mengaktifkan keratinosit mengekspresi ICAM-1 Dan HLA-
DR adanya ICAM-1 Memungkinkan keratinosit untuk berinteraksi dengan sel T, dan
Leukosit yang lain yang mengekspresi molekul LFA-1 . sedangkan HLA-DR memungkinkan
keratinosit untuk berinteraksi langsung dengan sel T CD4 , dan juga memungkinkan
presentase antigen kepada sel tersebut. HLA-DR Juga dapat merupakan target sel T sitotoksik
pada keratinosit. Keratinosit menghasilka sejumlah sitokin antara IL-1 , IL-6, TNF α, dan
GMCSF, semuanya dapat mengaktivasi sel T . IL-1 dapat menstimulasi keratinosit
menghasilkan eikosanoid. sitokin dan eikosaniod akan mengaktifkan sell mass dan makrofag.
Sel mass yang berada di dekat pembuluh darah dermis akan melepaskan antara lain
histamine, berbagai jenis factor kemotaktik, PGE2 dan PGD2, dan leukotrin B4. Eikosanoid
baik yang berasal dari sel mas maupun dari keratinosit atau leukosit menyebabkan dilatasi
vascular dan meningkatkan permeabilitas sehingga molekul larut seperti komplemen dan
kinin mudah berdifusi ke dalam dermis dan epidermis. Selain itu factor kemotaktik dan
eikosanoid akan menarik neutrofil, monosit dan sel darah lain dari dalam pembuluh darah
masuk kdalam dermis. Rentetan kejadian tersebut akan menimbulkan respons klinik DKA.
Fase elisitasi umumnya berlangsung antara 24-48 jam.
GEJALA KLINIS
Penderita umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada keparahan
dermatitis dan lokalisasinya. Pada yang akut dimuai dengan bercak eritematosa yang
nberbatas jelas kemudian diikuti edema, papulo vesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula
dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi. DKA akut di tempat tertentu misalnya kelopak
mata, penis, skrotum, eritema dan edema lebih dominan daripada vesikel. Pada yang ktonis
terlihat kulit kering berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga fisur, batasnya tidak
jelas. Kelainan ini sulit dibedakan dengan Dermatitis kontak iritan kronis yang mungkin
penyebabnya juga campuran. DKA Dapat meluas ketempat lain, misalnya dengan cara
autosensitisasi skalp, telapak tangan dan kaki relatif resisten terhadap DKA.
DIAGNOSIS
Diagnosis di dasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan pemeriksaan klinis yang
teliti. Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan kelainan kulit yang
ditemukan.misalnya,ada kelainan kulit yang berukuran nummular di sekitar umbilicus berupa
hiperpigmentasi,likenivikasi,dengan papul dan erosi,maka perlu ditanyakan apakah penderita
memakai kancing celana atau kepala ikat pinggang yang terbuat dari logam(nikel).data yang
berasal dari anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan,hobi,obat topical yang pernah
digunakan,obat sistemik,kosmetika,bahan-bahan yang diketahui menimbulkan alergi,penyakit
kulit yang pernah dialami,riwayat atopi,baik dari yang bersangkutan maupun keluarganya.
Pemeriksaan fisis sangat penting,karena dengan melihat lokasi dan pola kelainan kulit sering
kali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya,misalnya,diketiak oleh
deodorant,dipergelangan tangan,oleh jam tangan,dikedua kaki oleh sepatu atau
sandal.pemeriksaan hendaknya dilakukan di tempat yang cukup terang,pada seluruh kulit
untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain karna sebab-sebab endogen.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Untuk memastika diagnosis maka diperlukan pemeriksaan penunjang, salah satu
pemeriksaan yang dilakukan yaitu Uji Tempel.
Untuk melakukan uji temple diperlukan antigen,biasanya antigen standar buatan
pabrik,misalnya finn chamber system kit dan.T.R.U.E.bahan yang digunakan untuk uji
temple misalnya kosmetik pelembab,produk yang diketahui bersifat iritan misalnya
deterjen,hanya boleh diuji bila diduga keras penyebab alergi perlu di ingat bahwa hasil positif
dengan allergen bukan standar perlu control (5-10 orang),untuk menyingkirkan kemungkinan
karna iritasi.
Uji tempel biasa dilakukan selama 48 jam setelah itu uji tempeldilepas.pembacaan
pertama dilakukan 15-30 menit setelah dilepas, agar efek tekanan bahan yang di uji telah
menghilang atau minimal.hasilnya sebagai berikut:
1 = reaksi lemah (non vesicular): eritema,infiltrate,papul (+)
2 = reaksi kuat:edema atau vesikel (++)
3 = reaksi sangat kuat (ekstrim): bula atau ulkus (+++)
4 = meragukan:hanya macula eritematosa
5 = iritasi: seperti terbakar,pustule atau purpura (ir)
6 = reaksi negative (-)
7 = excited skin
8 = tidak di tes (NT=not tested)
untuk menginterpretasi hasil uji temple tidak mudah.respon alergi biasanya menjadi
lebih jelas antara pembacaan ke satu dan kedua,berawal dari +/- ke + atau ++bahkan ke +++
sedangkan respon iritan cenderung menurun.
Reaksi positif palsu dapat terjadi bila konsentrasi terlalu tinggi,atau bahan tersebut
bersifat iritan bila dalam keadaan tertutup ini disebabkan karena efek tekan,terjadi bila
menggunakan bahan padat.
Reaksi negative palsu dapat terjadi misalnya konsentrasi terlalu rendah,vehikulum
tidak tepat,bahan uji tempel tidak melekat dengan baik,atau longgar akibat pergerakan,kurang
cukup waktu penghentian pemakaian kortikosteroid sistemik atau topical poten yang lama
dipakai pada area uji temple dilakukan.
PENATALAKSANAAN (Pencegahan dan Pengobatan)
Hal yang perlu di perhatikan pada pengobatan dermatitis kontak kembali dengan
allergen penyebab, dan menekan kelainan kulit yang timbul. Kortikosteroid dapat diberikan
dalam jangka pendek untuk mengatasi peradangan pada DKA akut yang di tandai dengan
eritema,edema,vesikel atau bula,serta eksidatif (madidans),misalnya prednisone
30mg/hari.umumnya kelainan kulit akan mereda setelah beberapa hari.sedangkan kelainan
kulitnya cukup di kompres dengan larutan garam faal atau larutan air salisil 1:1000.
PROGNOSIS
Prognosis DKA umumnya baik,sejauh bahan kontaknya dapat disingkirkan.prognosis
kurang baik dan menjadi kronis bila terjadi bersamaan dengan dermatitis oleh factor endogen
(dermatitis atopic,dermatitis numularis,atau psoriasis),atau terpajan oleh allergen yang tidak
mungkin dihindari,misalnya berhubungan denga pekerjaan tertentu atau yang terdapat
lingkungan penderita.
5. DERMATITIS KONTAK IRIRTAN
EPIDEMIOLOGI
Dermatitis kontak iritan dapat diderita oleh semua orang dari berbagai golongan umur,ras dan
jenis kelamin. Jumlah pendenderita DKI deperkirakan cukup banyak,terutama yang berhubungan
dengan pekerjaan (DKI akibat kerja) namun angkanya secara tepat sulit diketahui,hal ini disebabkan
antara lain oleh banyak penderita dengan kelainan ringan tidak datang berobat atau bahkan tidak
datang mengeluh.
ETIOLOGI
Penyebab munculnya dermatitis jenis ini ialah bahan yang bersifat iritan, misalnya bahan
pelarut, detergen, minyak pelumas, asam alkali dan serbuk kayu. Kelainan kulit yang terjadi selain
ditentukan oleh ukuran molekul, daya larut, konsentrasi bahan tersebut dan vehikulum juga
dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor yang dimaksud yaitu: lama kontak, kekerapan (terus menerus atau
berselang), adanya oklusi menyebabkan kulit lebih permeable, demikian pula gesekan dan trauma
fisis. Suhu dan kelembaban juga ikut berperan. Faktor individu juga ikut berpengaruh pada DKI,
misalnya perbedaan ketebalan kulit di berbagai tempat menyebabkan perbedaan permeabilitas, usia
(anak dibawah 8 tahun dan usia lanjut lebih mudah teriritasi), ras (kulit hitam lebih tahan dibanding
kulit putih), jenis kelamin ( insiden DKI lebih banyak pada wanita), penyakit kulit yang pernah atau
sedang dialami (ambang rangsang terhadap bahan iritan menurun), misalnya dermatitis atopik.
PATOMEKANISME
Kelainan kulit akibat kerusakan sel yang di sebabkan karena bahan iritan melalui
kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin,
menyingkirkan lemak lapisan tanduk, dan mengubah daya ikat air kulit. Kebanyakan bahan
iritan atau toksin merusak membrane lemak keratinosit, tetapi sebagian dapat menembus
membrane sel dan merusak lisosom, mitokondria, atau komponen inti. Kerusakan membrane
mengaktifkan fosfolifase dan melepaskan asam arakidonat, diasilgliserida, platelet activating
factor dan inositida. AA di rubah menjadi prostaglandin dan leukotrin. PG dan LT
menginduksi vasodilatasi, dan meningkatkan permeabilitas vaskuler sehingga mempemudah
transsudasi komplemen dan kinin. PG dan LT juga bertindak sebagai kemoatraktan kuat
untuk limpsit dan neutrofil, serta mengakifasi sel mas melepaskan histamine LT dan PG Lain,
dan PAF, sehingga memperkuat perubahan vascular. DAG dan second messenger lain
menstimulasi ekspresi gen dan sintesis protein, misalnya interleukin-1 dan granulocyte
machrophage colony stimulatunsf factor. IL 1 mengaktifkan sel T penolong mengeluarkan IL
2 dan mengekspresi reseptor IL 2, yang menimbulkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel
tersebut. Kreatinosit membuat molekul permukaan HLA-DR dan adhesi intra sel 1. Pada
kontak dengan iritan, keratinosit juga melepaskan TNF α, suatu sitokin proinflamasi yang
dapat mengakifkan sel T, makrofag dan granulosit menginduksi ekspresi molekul adhesi sel
dan pelepasan sitokin.
GEJALA KLINIS
Kelainan kulit yang terjadi sangat beragam, bergantung pada sifat iritan. Iritan kuat memberi
gejala akut sedang iritan lemah memberi gejala kronis. Selain itu juga banyak faktor yang
mempengaruihi sebagai mana yang telah di sebutakan yaitu faktor individu (misalnya ras, usia, lokasi,
atopi, penyakit kulit lain), faktor lingkungan (misalnya suhu dan kelembaban udara, oklusi).
Berdasrkan penyebab dan pengaruh faktor-faktor tersebut ada yang mengklisifikasi DKI
menjadi 10 macam yaitu : DKI akut, lambat akut (akut delayed ICD), reaksi iritan, kumulatif, trauma
teratif, eksikasi ekzeamatik, push tuler dan agneformis, noneritematosa dan subyektif. Ada pula yang
membagi 2 kategori yaitu kategori mayoor terdiri atas DKI akut termasuk luka bakar kimiawi, dan
DKI kumulatif. Kategori lain terdiri atas : DKI lambat akut, reaksi iritasi, DKI traumatik DKI
eriteatosa, dan DKI subyektif.
c. DKI akut
Luka bakar oleh bahan kima juga termasuk dermatitis kontak iritan akut.
Penyebab DKI akut adalah iritan kuat, misalnya larutan asam sulfat dan asam hidroklorida
atau basa kuat, misalnya natrium dan kaliumhidrosksida. Bisanya terjadi akibat kecelakaan
dan reaksi segera timbul. Intensitas reaksi sebanding dengan konsentrasi dan lamnya kontak
dengan iritan terbatas pada kontak tempat kulit terasa pedih, panas, rasa terbakar, kelainan
yang terlihat berupa eritema edema, bulla, munkin juga bisa nekrosis. Pinggir kelainan kulit
berbatas tegas dan pada umumnya asimetris
d. DKI akut lambat
Gambaran klinis dan gejala sama dengan DKI akut tetapi, baru mucul 8-24 jam atau
setelah kontak. Bahan iritan yang dapat menyebabkan iritan dan dapat menyebabkan DKI
akut lambat, misalnya pedofilin, antralin, tretinoin, etilen oksida, benzalkonium klorida asam
hidro flurat.contohnya adalah dermatitis yang di sebabkan oleh bulu serangga yang terbang
pada malam hari ( dermatitis venenata) penderita baru merasa pedih esok harinya, pada
awalnya terlihat eritema, dan soe harinya sudah menjadi vesukel atau bahan nekrosis.
e. DKI kumulatif
Jenis dermatitis kontak ini paling sering terjadi, nama lain ialah DKI kronis
penyebnya adalah kontak berulan-ulang dengan iritan lemah (faktor fisis, misalnya gesekan,
trauma mikro, kelembaban rendah, panas atau dingin, juga bahan misanlmnya detergen,
sabun, pelarut, tanah, bahkan juga air). DKI kumulatif mungin terjadi karena kerja sama
berbagai faktor. Bisa jadi suatu bahan secara sendiri tidak cukup kuat menyebabkan
dermatitis iritan, tetapi baru mampu bergabung dengan faktor lain. Kelainan baru nyata
setelah kontak berminggu-minggu atau bulan atau bisa bertahun-tahun kemudian, sehingga
waktu rentetan kontak merupakan faktor penting
Gejala klasik berupa kulit kering,eritema,skuama lambat laun kulit tebal
(hyperkereatosis)dan Likenifikasi,difus.bila kontak terus berlangsung akhirnya kulit dapat
retak (visur),misalnya pada klit tumit tukang cuci yang mengalami kontak terus-menerus
dengan detergen,dengan detergen.keluhan –penderita umunya rasa gatal atau nyeri karena
kulit retak (visur),ada kalanya kelainan hanya berupa kulit kering atau skuama tanpa
eritema,senhingga diabaikan oleh penderita.setelah dirasakan mengganggu,baru mendapat
perhatian.
DKI komulatif sering berhubungan dengan pekerjaan,oleh karena itu banyak
ditemukan ditangan di bandingkan di bagian lain tubuh.contoh pekerjaan yang berisiko tinggi
untuk DKI komulatif yaitu : tukang cuci,kuli bangunan,montir di bengkel,juru masak,tukang
kebun,penata rambut.
DIAGNOSIS
Diagnosis DKI berdasarkan anamnesis yang cermat dan pengamatan gambaran
klinis.DKI akut lebih mudah di ketahua karna munculnya lebih cepat sehingga penderita pada
umumnya masih ingat apa yang menjadi penyebabnya.sebaliknya,DKI kronis timbulnya
lambat serta mempunya variasi gambaran klinis yang luas,sehingga ada kalanya sulit
dibedakan dengan dermatitis kontak alergi.untuk ini diperlukan uji temple dengan bahan yang
di curigai.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Untuk memastika diagnosis maka diperlukan pemeriksaan penunjang, salah satu
pemeriksaan yang dilakukan yaitu Uji Tempel.
Untuk melakukan uji temple diperlukan antigen,biasanya antigen standar buatan
pabrik,misalnya finn chamber system kit dan.T.R.U.E.bahan yang digunakan untuk uji
temple misalnya kosmetik pelembab,produk yang diketahui bersifat iritan misalnya
deterjen,hanya boleh diuji bila diduga keras penyebab alergi perlu di ingat bahwa hasil positif
dengan allergen bukan standar perlu control (5-10 orang),untuk menyingkirkan kemungkinan
karna iritasi.
Uji tempel biasa dilakukan selama 48 jam setelah itu uji tempeldilepas.pembacaan
pertama dilakukan 15-30 menit setelah dilepas, agar efek tekanan bahan yang di uji telah
menghilang atau minimal.hasilnya sebagai berikut:
1 = reaksi lemah (non vesicular): eritema,infiltrate,papul (+)
2 = reaksi kuat:edema atau vesikel (++)
3 = reaksi sangat kuat (ekstrim): bula atau ulkus (+++)
4 = meragukan:hanya macula eritematosa
5 = iritasi: seperti terbakar,pustule atau purpura (ir)
6 = reaksi negative (-)
7 = excited skin
8 = tidak di tes (NT=not tested)
untuk menginterpretasi hasil uji temple tidak mudah.respon alergi biasanya menjadi
lebih jelas antara pembacaan ke satu dan kedua,berawal dari +/- ke + atau ++bahkan ke +++
sedangkan respon iritan cenderung menurun.
Reaksi positif palsu dapat terjadi bila konsentrasi terlalu tinggi,atau bahan tersebut
bersifat iritan bila dalam keadaan tertutup ini disebabkan karena efek tekan,terjadi bila
menggunakan bahan padat.
Reaksi negative palsu dapat terjadi misalnya konsentrasi terlalu rendah,vehikulum
tidak tepat,bahan uji tempel tidak melekat dengan baik,atau longgar akibat pergerakan,kurang
cukup waktu penghentian pemakaian kortikosteroid sistemik atau topical poten yang lama
dipakai pada area uji temple dilakukan.
PENATALAKSANAAN (Pencegahan dan Pengobatan)
Upaya pengobatan DKI yang terpenting adalah menghindari perjalanan bahan
iritan,baik yang bersifat mekanik,fisis maupun kimiawi,serta menyingkirkan factor yang
memperberat.bila hal ini dapat dilaksanakan dengan sempurna dan tidak terjadi
komplikasi,maka DKI tersebut akan sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan
topikal,mungkin cukup dengan pelembab untuk memperbaiki kulit yang kering. Apabila
diperlukan,untuk mengatasi peradangan dapat diberikan kortikosteroid topical,misalnya
hidrocortison,atau untuk kelainan yang kronis dapat diawali dengan kortikosteroid yang lebih
kuat. Pemakain alat pelindung diri yang adekuat diperlukan bagi mereka yang bekerja dengan
bahan iritan,sebagai salah satu upaya pencegahan
PROGNOSIS
Bila bahan iritan penyebab dermatitis tersebut tidak dapat di singkirkan dengan
sempurna,maka prognosisnya kurang baik,keadaan ini sering terjadi pada DKI kronis yang
penyebabnya multi factor,juga pada penderita atopi
DAFTAR PUSTAKA
Adhi Juanda, 2009. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. FKUI
Karnen, 2009. IMMUNOLOGI DASAR. FK UI
Sherwood, Lauralee. 2012 . Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem
Jakarta : EGC