laporan kasus demam berdarah faruq
TRANSCRIPT
LAPORAN KASUS
Disusun oleh:
Faruq Akbar Al Rosyad
072011101064
Dokter Pembimbing:
dr. Arif Suseno, Sp.PD
Disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya
SMF Ilmu Penyakit Dalam di RSUD dr.Soebandi Jember
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2013
A. Identitas Pasien
Nama : Sdr YH
Umur : 16 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat :Rinjani RT1/8 Karangrejo-Jember
Status : Belum menikah
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Pelajar
Suku : Jawa-Madura
Agama : Islam
Tanggal MRS : 4 Mei 2013
Tanggal pemeriksaan : 7 Mei 2013
Tanggal KRS : 8 Mei 2013
No. RM : 43.63.29
B. Anamnesis
Autoanamnesis dan heteroanamnesis dilakukan kepada pasien dan ibu
pasien pada tanggal 7 Mei 2013 di Ruang Anturium RSD dr. Subandi
Keluhan Utama
Demam
Riwayat Penyakit sekarang
Pasien datang ke IGD rujukan dari PKM. Pasien datang dengan
keluhan demam 5 hari. Pada awal demam, tidak disertai dengan mual
maupun muntah. Pasien juga mengaku lemas dan sedikit pusing. Pasien
hari pertama demam sempat pergi ke mantri dan mendapat obat penurun
panas, namun tetap tidak ada hasil. Pasien demam hari ke empat, kondisi
semakin menurun, nafsu makan juga berkurang serta mengeluh pusing dan
nyeri kepala, lalu dibawa ke PKM. Di sana demam pasien turun, tapi
kondisi pasien tidak membaik sehingga pasien dirujuk ke RSD dr
Soebandi. Pasien adalah salah seorang santri di pondok pesantren dan
pasien tidak pernah keluar pulau dalam beberapa bulan terakhir.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit demam thyfoid 5 tahun yang lalu.
Riwayat demam berdarah disangkal
Riwayat penyakit keluarga
Di keluarga pasien tidak ada yang menderita penyakit yang sama,
namun saat ini pasien sedang menjalani pendidikan di pondok pesantren
dan teman pondok pasien 2 orang terkena demam berdarah.
Riwayat Pengobatan
Obat penurun panas dari mantri
Riwayat Sosial Ekonomi Dan Lingkungan
Pasien adalah seorang pelajar setingkat SMP yang saat ini
menjalani pendidikan pondok pesantren. Pasien sehari-hari beraktivitas
dan tinggal di pesantren tersebut.
Pasien adalah anak dari seorang pekerja bengkel dan buruh tani,
penghasilan perbulan tidaklah tetap, namun hanya berkisar antara 300
ribu-500 ribu rupiah. Rumah pasien berukuran 5x6 meter dengan 2 kamar
tidur , 1 kamar tamu dan 1 dapur. Dinding terbuat dari tembok dan alas
semen.
Kesan : Riwayat sosial lingkungan dan ekonomi kurang.
Anamnesis sistem
Kepala : pusing /nyeri kepala(+), demam (-).
Leher : nyeri telan (-).
Sistem dermis : kulit sawo matang, luka (-), gatal (-)
Sistem kardiovaskular : palpitasi (-), nyeri dada (-)
Sistem pernapasan : sesak (-), batuk (-),
Sistem gastrointestinal : nafsu makan turun (+) mual (-), muntah (-),
nyeri perut (-), sulit BAB (-) Diare (-)
Sistem urogenital : BAK lancar, tidak ada keluhan
Sistem integumentum : turgor kulit normal, tidak ada keluhan
Sistem muskuloskeletal : odema (-), atrofi (-), tidak ada keluhan
Kesan : Pada pasien terdapat Nyeri kepala/pusing dan Nafsu makan
menurun
C. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan Umum
1. Keadaan Umum : cukup
2. Kesadaran : komposmentis (GCS = 4-5-6)
3. Tanda vital : TD : 100/70 mmHg
N : 64 x/mnt
RR : 18 x/mnt
Tax : 36,80C
4. Kulit : Turgor kulit normal,
elastisitas baik, tidak ada ruam
5. Kelenjar Limfe : Limfonodi leher, aksila, dan
inguinal tidak membesar.
6. Otot : Dalam batas normal,
atrofi (-), spastik (-)
7. Tulang : Tidak ada deformitas,
krepitasi ataupun false movement pada tulang
tubuh.
8. Kesimpulan : keadaan umum cukup,
kesadaran komposmentis dan pemeriksaan
fisik secara umum dalam batas normal
Pemeriksaan khusus
Kepala
Bentuk : bulat, simetris
Rambut : pendek, warna hitam, tidak mudah dicabut
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, tidak
terdapat edema palpebra pada kedua mata, mata tidak
cowong, Hematom peripalpebra -/-. Reflek cahaya +/+
Hidung : tidak ada sekret, tidak bau, tidak perdarahan
pernafasan cuping hidung (-)
Telinga : tidak ada sekret, tidak bau, tidak perdarahan
Mulut/Bibir : sianosis (-) pada gusi ditemukan perdarahan.
Lidah : tidak kotor, tidak hiperemi
Kesan : pada pasien ditemukan perdarahan pada gusi
Leher
Inspeksi : simetris, tidak tampak pembesaran KGB leher
Palpasi : tidak teraba pembesaran KGB leher
Kaku kuduk : tidak ada
JVP : tidak meningkat
Kesan : tidak didapatkan kelainan pada leher
Dada
Jantung :
Inspeksi : Ictus Cordis tak terlihat
Palpasi : Ictus Cordis tidak teraba
Perkusi : Batas kanan : redup pada ICS IV PSL D
Batas kiri : redup pada ICS V MCL S
Auskultasi : S1S2 tunggal
Kesan: tidak didapatkan kelainan pada jantung
Pulmo :
Anterior Posterior
I Simetris, retraksi -/-,
ketinggalan gerak -/-
Simetris, retraksi -/-
Ketinggalan gerak -/-
P Fremitus raba +/+ normal Fremitus raba +/+ normal
P Sonor +/+ Sonor +/+
A Vesikuler, Rh-/-, Wh -/- Vesikuler, Rh-/-,Wh -/-
Kesan: tidak didapatkan kelainan pada paru
Abdomen
Inspeksi : flat, massa (-), lesi (-)
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba, tidak ada nyeri
tekan, soepel, turgor kulit normal
Perkusi : timpani
Auskultasi : Bising usus (+) 12x/menit
Anogenital : anus (+), genital laki-laki
Ekstremitas : Superior : akral hangat +/+, edema -/-
Inferior : akral hangat +/+, edema +/+
Kesan : Abdomen, Anogenital dan ekstrimitas dalam batas normal
Pemeriksaan khusus
Dilakukan uji torniket pada pasien, hasil (+)
Keterangan : hasil (+) apabila ptechie yang ditemukan >10 dalam
lingkaran diameter pemeriksaan.
Kesan : uji Torniket (rumple leed) à (+)
D. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium (5 Mei 2013)
Jenis pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
Hematologi
Hemoglobin 16,4 13,4 – 17,7
Laju endap darah 10/17 0 – 15 mm/jam
Lekosit 4,8 4,3 – 10,3
Hematokrit 47,3 38 – 42 %
Trombosit 22 150 – 450
Faal hati
Bilirubin direk 0,19 0,2-0,4 mg/dl
Bilirubin total 0,45 3,5-5 mg/dl
SGOT 50 10 – 35
SGPT 17 9 – 43
Albumin 4,0 3,4 – 4,8
Jenis pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
Faal ginjal
Kreatinin serum 0,9 0,6 – 1,3
BUN 19 6 - 20
Urea 41 10 – 50
Asam urat 4,8 3,4 – 7
Elektrolit
Natrium 137,9 135 – 155
Kalium 4,26 3,5 – 5,0
Chloride 105,3 90 – 110
Calsium 2,23 2,15 – 2,57
Pemeriksaan laboratorium (6 Mei 2013)
Jenis pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
Hematologi
Hemoglobin 14,4 13,4 – 17,7
Laju endap darah 12/32 0 – 15 mm/jam
Lekosit 5,6 4,3 – 10,3
Hitung jenis 11/-/-/22/54/13 0-4/0-1/3-5/
54/62/25-33/3-5
Hematokrit 40,3 38 – 42 %
Trombosit 54 150 – 450
Pemeriksaan laboratorium (7 Mei 2013)
Jenis pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
Hematologi
Hemoglobin 13,7 13,4 – 17,7
Laju endap darah 17/40 0 – 15 mm/jam
Lekosit 5,9 4,3 – 10,3
Hitung jenis 14/-/-/27/48/11 0-4/0-1/3-5/
54/62/25-33/3-5
Hematokrit 39,4 38 – 42 %
Trombosit 114 150 – 450
E. Resume
Pasien laki-laki berumur 16 tahun datang dengan keluhan demam 5
hari, badan lemas, pusing atau nyeri kepala dan nafsu makan menurun.
Pasien tekanan darahnya cenderung rendah. Terdapat perdarahan
spontan pada gusi. Pada uji torniket didapatkan hasil (+)
Hasil lab menunjukkan penurunan trombosit dan peningkatan
hematokrit.
F. Diagnosis Kerja
Dengue Hemorragic fever grade II
G. Penatalaksanaan
Infus RL / D5 28 tpm
Inj cefotaxim 3x1 gr
Inj Norages 3x1 amp
Inj Ranitidin 3x1 amp
Inj Ondansentron 3x1 amp
P/o Hepamax 3x1
Inj Methylprednisolon 3x62,5 mg
Transfusi TC 3 kolf
Follow Up tgl 4 Mei 2013 (H1MRS)
Pemeriksaan Terapi
S: Lemas, pusing/nyeri kepala, Infus RL / D5 28 tpm
nafsu makan menurun, demam
turun hari pertama.
O:
KU= lemah
Kes= CM
TD= 100/70 mmHg RR =
20x/menit
N = 88 x/menit tax= 36,2°
C
K/l = a/i/c/d = -/-/-/-
Tho=
C= I= IC ≠ tampak
P= IC ≠ teraba
P= redup
A= S1S2 tunggal
Abd= Ekstremitas= +
+
I= cembung Akral hangat +
+
P= BU +
P= tympani Oedem - -
A= soepel - -
A: Obs febris H5 e.c DHF
Inj cefotaxim 3x1 gr (H1)
Inj Norages 3x1 amp
Inj Ranitidin 3x1 amp
Inj Ondansentron 3x1 amp
Follow Up tgl 5 Mei 2013 (H2MRS)
Pemeriksaan Terapi
S: Lemas, Gusi berdarah
O:
KU= lemah
Kes= CM
TD= 90/60 mmHg RR =
25x/menit
N = 90 x/menit tax= 36,4°
C
K/l = a/i/c/d = -/-/-/-
Tho=
C= I= IC ≠ tampak
P= IC ≠ teraba
P= redup
A= S1S2 tunggal
Abd= Ekstremitas= +
+
I= cembung Akral hangat +
+
P= BU +
P= tympani Oedem - -
A= soepel - -
A: Obs febris H6 e.c DHF
Infus RL / D5 28 tpm
Inj cefotaxim 3x1 gr (H2)
Inj Norages 3x1 amp
Inj Ranitidin 3x1 amp
Inj Ondansentron 3x1 amp
Follow Up tgl 6 Mei 2013 (H3MRS)
Pemeriksaan Terapi
S: Gusi berdarah,minimal sebelah
graham kanan bawah
O:
KU= lemah
Kes= CM
TD= 90/50 mmHg RR =
20x/menit
N = 98 x/menit tax= 36,2°
C
K/l = a/i/c/d = -/-/-/-
Tho=
C= I= IC ≠ tampak
P= IC ≠ teraba
P= redup
A= S1S2 tunggal
Abd= Ekstremitas= +
+
I= cembung Akral hangat +
+
P= BU +
P= tympani Oedem - -
A= soepel - -
A: Obs febris H7 e.c DHF
Infus RL / D5 28 tpm
Inj cefotaxim 3x1 gr (H3)
Inj Norages 3x1 amp
Inj Ranitidin 3x1 amp
Inj Ondansentron 3x1 amp
P/o Hepamax 3x1
Inj Methylprednisolon 3x62,5 mg
Transfusi TC 3 kolf
Follow Up tgl 7 Mei 2013 (H4MRS)
Pemeriksaan Terapi
S: Perdarahan Gusi (-)
O:
KU= cukup
Kes= CM
TD= 100/70 mmHg RR =
18x/menit
N = 70 x/menit tax= 36,4°
C
K/l = a/i/c/d = -/-/-/-
Tho=
C= I= IC ≠ tampak
P= IC ≠ teraba
P= redup
A= S1S2 tunggal
Abd= Ekstremitas= +
+
I= cembung Akral hangat +
+
P= BU +
P= tympani Oedem - -
A= soepel - -
A: Obs febris H8 e.c DHF
Infus RL / D5 28 tpm
Inj cefotaxim 3x1 gr (H4)
Inj Norages 3x1 amp
Inj Ranitidin 3x1 amp
Inj Ondansentron 3x1 amp
P/o Hepamax 3x1
Inj Methylprednisolon 3x62,5 mg
Follow Up tgl 8 Mei 2013 (H5MRS)
Pemeriksaan Terapi
S: tidak ada keluhan
O:
KU= cukup
Kes= CM
TD= 100/70 mmHg RR =
20x/menit
N = 88 x/menit tax= 36,2°
C
K/l = a/i/c/d = -/-/-/-
Tho=
C= I= IC ≠ tampak
P= IC ≠ teraba
P= redup
A= S1S2 tunggal
Abd= Ekstremitas= +
+
I= cembung Akral hangat +
+
P= BU +
P= tympani Oedem - -
A= soepel - -
Infus RL / D5 28 tpm
Inj cefotaxim 3x1 gr (H5)
Inj Norages 3x1 amp
Inj Ranitidin 3x1 amp
Inj Ondansentron 3x1 amp
P/o Hepamax 3x1
Inj Methylprednisolon 3x62,5 mg
pasien KRS
A: Obs febris H9 e.c DHF
PEMBAHASAN
Dengue Hemmoragic Fever
A. Definisi
Demam dengue atau dengue fever (DF) dan demam berdarah dengue (DBD)
atau dengue haemorrhagic fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh virus dengue yang disebarkan oleh nyamuk aedes aegypti dengan manifestasi
klinis demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang disertai leucopenia, ruam,
limfadenopati, trombositopenia, dan diatesis hemoragik (Suhendro, 2006). Pada
DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi
(peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom
renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang
ditandai oleh renjatan/syok.
B. Epidemiologi
Pada tahun 2005, virus dengue dan nyamuk aedes aegypti telah menyebar
di daerah tropis dimana terdapat 2.5 miliar orang berisiko terkena penyakit ini di
daerah endemik (Gubler, 2002).
Secara umum, demam dengue menyebabkan angka kesakitan dan kematian
lebih besar disbanding dengan infeksi arbovirus yang lainnya pada manusia.
Setiap tahun diperkirakan terdapat 50-100 juta kejadian infeksi dengue yang mana
ratusan ribu kasus demam berdarah dengue terjadi, tergantung dari aktifitas
epidemiknya (WHO, 2000).
Depkes RI melaporkan bahwa pada tahun 2010 di Indonesia tercatat 14.875
orang terkena DBD dengan kematian 167 penderita. Daerah yang perlu
diwaspadai adalah DKI Jakarta, Bali,dan NTB.
C. Etiologi
Demam dengue dan DHF disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk
dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan
diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul
4x106 (Suhendro, 2006). Virus ini termasuk genus flavivirus dari family
Flaviviridae. Ada 4 serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Serotipe
DEN-3 merupakan jenis yang sering dihubungkan dengan kasus-kasus parah.
Infeksi oleh salah satu jenis serotipe ini akan memberikan kekebalan seumur
hidup tetapi tidak menimbulkan kekebalan terhadap serotipe yang lain. Sehingga
seseorang yang hidup di daerah endemis DHF dapat mengalami infeksi sebanyak
4 kali seumur hidupnya.
Dengue adalah penyakit daerah tropis dan ditularkan oleh nyamuk Aedes
aegypti. Nyamuk ini adalah nyamuk rumah yang menggigit pada siang hari.
Faktor risiko penting pada DHF adalah serotipe virus, dan faktor penderita seperti
umur, status imunitas, dan predisposisi genetis. Vektor utama penyakit DBD
adalah nyamuk Aedes aegypti (diderah perkotaan) dan Aedes albopictus (didaerah
pedesaan). Ciri-ciri nyamuk Aedes aegypti adalah :
Sayap dan badannya belang-belang atau bergaris-garis putih
Berkembang biak di air jernih yang tidak beralaskan tanah seperti bak mandi,
WC, tempayan, drum, dan barang-barang yang menampung air seperti
kaleng, pot tanaman, tempat minum burung, dan lain – lain.
Jarak terbang ± 100 meter
Nyamuk betina bersifat ‘ multiple biters’ (mengigit beberapa orang karena
sebelum nyamuk tersebut kenyang sudah berpindah tempat)
Tahan dalam suhu panas dan kelembapan tinggi
D. Patogenesis
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue sampai saat ini masih
diperdebatkan. Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa
mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue
dan sindrom renjatan dengue (Suhendro, 2006).
Virus dengue (Aedes aegypti), setelah memasuki tubuh akan melekat pada
monosit dan masuk ke dalam monosit. Kemudian terbentuk mekanisme aferen
(penempelan beberapa segmen dari sehingga terbentuk reseptor Fc). Monosit yang
mengandung virus menyebar ke hati, limpa, usus, sumsum tulang, dan terjadi
viremia (mekanisme eferen). Pada saat yang bersamaan sel monosit yang telah
terinfeksi akan mengadakan interaksi dengan berbagai system humoral, seperti
system komplemen, yang akan mengeluarkan substansi inflamasi, pengeluaran
sitokin, dan tromboplastin yang mempengaruhi permeabilitas kapiler dan
mengaktifasi faktor koagulasi. Mekanisme ini disebut mekanisme efektor.
Selain itu masuknya virus dengue akan membangkitakn respons imun
melalui system pertahanan alamiah (innate immune system), pada system ini
komplemen memegang peran utama. Aktifitas komplemen tersebut dapat memalui
monnosa-binding protein, maupun melaui antibody. Komponen berperan sebagai
opsonin yang meningkatkan fagositosis, dekstruksi dan lisis virus dengue.
Untuk menghambat laju intervensi virus dengue, interferon α dan interferon
β berusaha mencegah replikasi virus dengue di intraselular. Pada sisi lain limfosit
B, sel plasma akan merespons melalui pembentukan antibodi. Limfosit T
mengalami ekpresi oleh indikator berbagai molekul yang berperan sebagai
regulator dan efektor.
Limfosit T yang teraktivasi mengakibatkan ekspresi protein permukaan
yang disebut ligan CD40, yang kemudian mengikat CD40 pada limfosit B,
makrofag, sel dendritik, sel endotel serta mengaktivasi berbagai tersebut. CD40L
merupakan mediator penting terhadap berbagai fungsi efektor sel T helper,
termasuk menstimulasi sel B memproduksi antibodi dan aktivasi makrofag untuk
menghancurkan virus dengue.
Infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang memfagositosis
kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga virus bereplikasi di makrofag.
Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T helper
dan T sitotoksik sehingga diproduksi limfokin dan interferon gamma. Interferon
gamma akn mengaktivasi monosit sehingga disekresi berbagai mediator radang
seperti TNF-, IL-1, PAF (platelet activating factor), IL-6 dan histamin yang
menyebabkan terjadinya disfungsi endotel dan terjadi kebocoran plasma.
Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi kompleks virus-antibodi yang
dapat mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma.
E. Gambaran Klinis
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimptomatik, atau
dapat berupa demam yang tidak khas, demam, demam berdarah dengue, atau
syndrome syok dengue (SSD).
Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti
oleh fase kritis selam 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam,
akan tetapi mempunyai risiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat
pengobatan yang adekuat (Suhendro, 2006). Bintik-bintik perdarahan di kulit
sering terjadi, kadang disertai bintik-bintik perdarahan di farings dan konjungtiva.
Penderita juga sering mengeluh nyeri menelan, tidak enak di ulu hati, nyeri di
tulang rusuk kanan dan nyeri seluruh perut.
DHF adalah komplikasi serius dengue yang dapat mengancam jiwa
penderitanya, ditandai oleh :
demam tinggi yang terjadi tiba-tiba
manifestasi perdarahan
hepatomegali/pembesaran hati kadang-kadang terjadi syok manifestasi
perdarahan pada DHF dimulai dari tes torniquet positif dan bintik-bintik
perdarahan di kulit (ptechiae). Ptechiae ini bisa terlihat di seluruh anggota
gerak, ketiak, wajah dan gusi, juga bisa terjadi perdarahan hidung, perdarahan
gusi, perdarahan dari saluran cerna dan perdarahan dalam urin.
F. Langkah Diagnostik
Diagnosis dari infeksi dengue dapat ditegakkan melalui tes laboratorium
dengan cara mengisolasi virus, mendeteksi sequence RNA-spesifik virus dengue
dengan tes amplifikasi nukleotida, atau dengan mendeteksi antibody pada serum
pasien (Guzman, 2004).
Langkah diagnostik demam dengue dapat dilakukan melalui:
a. Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka
demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit,
jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis
relative disertai gambaran limfosit plasma biru.
Diangnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture)
ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reverse
Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih
rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibody spesifik terhadap
dengue berupa antibody total, IgM maupun IgG lebih banyak.
Parameter laboratorium yang dapat diperiksa antara lain :
Leukosit
Dapat normal atau menurun. Mulai hari ke 3 dapat ditemukan limfositosis
relative (>45% dari leukosit) disertai adanya lifosit plasma biru (LPB) > 15%
dari jumlah total leukosit pada fase syok akan meningkat.
Trombosit
Umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.
Hematokrit
Kebocoran plasma dibuktikan peningkatan hematokrin ≥ 20% dari hematokrin
awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam
Hemostasis
Dilakukan pemeriksaan AP, APTT, Fibrinogen, D- Dimer atau FDP pada
keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.
Protein/albumin
Dapat terjadi hipoalbuminemia akibat kebocoran plasma
Elektrolit
Sebagai parameter pemantauan pemberian cairan
Serelogi
Dilakukan pemeriksaan serologi IgM dan IgG terhadap dengue, yaitu:
- IgM muncul pada hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3, menghilang
setelah 60-90 hari
- IgG terdeteksi mulai hari ke 14 (infeksi primer), hari ke 2 (infeksi
sekunder).
NS1
Antigen NS1 dapat terdeteksi pada awal demam hari pertama sampai hari
kedelapan. Sensitivitas sama tingginya dengan spesitifitas gold standart kultur
virus. Hasil negatif antigen NS1 tidak menyingkirkan adanya infeksi virus
dengue.
b. Pemeriksaan Radiologis
Pada foto dada didpatkan efusi pleura, terutama pada hematoraks kanan
tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai kedua
hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral
dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi
pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG.
Masa inkubasi dalam tubuh mausia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari),
timbuk gejala prodormal yag tidak khas seperti nyeri kepala, nyeri tulang,
belakang dan perasaan lelah.
G. Diagnosis
Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari),
timbul gejala prodormal yang tidak khas, seperti nyeri kepala, nyeri tulang
belakang dan perasaan lelah.
Klasifikasi derajat penyakit Infeksi Virus Dengue, dapat dilihat pada table berikut:
DD/DBD Derajat Gejala Lab
DD Demam disertasi
2 atau lebih
tanda : sakit
kepala, nyeri
retro-orbital,
mialgia, artralgia
Leukopenia
Trombositopenia,
tdk ada kebocoran
plasma
Serologi
dengue
(+)
DBD I Gejala diatas,
ditambah dgn uji
bendung (+)
Trombositopenia
(<100.000), bukti
ada kebocoran
plasma
II Gejala diatas,
ditambah dgn
perdarahan
spontan
Trombositopenia
(<100.000), bukti
ada kebocoran
plasma
III Gejala diatas
ditambah
Trombositopenia
(<100.000), bukti
dengan
kegagalan
sirkulasi (kulit
dingin dan
lembab, serta
gelisah)
ada kebocoran
plasma
IV Syok berat
disertai dengan
tekanan darah
dan nadi tidak
terukur
Trombositopenia
(<100.000), bukti
ada kebocoran
plasma
Sementara untuk diagnosis Sindrom Syok Dengue (SSD) adalah
ditemukannya semua kriteria di atas untuk DBD disertai kegagalan sirkulasi
dengan manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun (≤20 mmHg),
hipotensi dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin dan lembab serta gelisah.
H. Tata Laksana
Protokol dibagi dalam 5 kategori :
1. Protokol 1: Penanganan Tersangka (Probable) DBD Dewasa tanpa Syok
Protokol ini digunakan sebagai petunjuk dalam pemberian pertolongan pertama
pada penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat Darurat dan
juga dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat.
Seseorang yang tersangka menderita DBD Unit Gawat Darurat dilakukan
pemeriksaan hemonglonin (Hb), hematokrin (Ht), dan trombosit, bila :
Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000, pasien
dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke Poliklinik
dalam waktu 24 jam berikutnya (dilakukan pemriksaan Hb, Ht, leukosit dan
trombosit tiap 24 jam) atau bila keadaan penderita memburuk segera
kembali ke Unit Gawat Darurat.
Hb, Ht normal tetapi trombosit , 100.000 dianjurkan untuk dirawat
Hb, Ht meningkat dan tombosit normal atau turun juga dianjurka untuk
dirawat
2. Protokol 2. Pemberian Cairan pada Tersangka DBD Dewasa di Ruanag
Rawat
Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masih dan tanpa
syok maka di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah
seperti rumus berikut ini :
Volume cairan kristaloid / hari yang diperkukan, sesuai rumus berikut :
1500+ (20 x (BB dalam kg – 20 )
Setelah pemberian cairan dilakukan dilakukan pemberian Hb, Ht tiap 24
jam:
Bila Hb, Ht meningkan 10-20% dan tombosit < 100.000 jumlah
pemberian cairan tetap seperti rumus diatas tetapi pemantauan Hb, Ht,
trombo dilakukan tiap 12 jam.
Bila Hb, Ht meningkat > 20% dan trombosit <100.000 maka pemberian
cairan sesuai dengan protocol penatalaksanaan DBD dengan
peningkatan Ht >20%.
3. Protokol 3. Penatalaksaan DBD dengan Peningkatan Ht > 20%
Meningkatnya Ht > 20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit
cairan sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah
dengan memberikan infus cairan kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam. Pasien
kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila terjadi
perbaikkan perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda hematokrin turun,
frekuensi nadi turun tekanan darah stabil, produksi urin meningkat maka
jumlah cairan infuse dikurangimenjadi 5 ml/KgBB/jam. Dua jam kemudian
dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan tetap menunjukkan
perbaikkan maka jumlah cairan infuse dikurangi 3ml/KgBB/jam. Bila dalam
pemantauan keadaan tetap membaik cairan dapat dihentikan24-48 jam
kemudian.
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/KgBB/jam dalam tapi
keadaan tetap tidak membaik, yang ditndai dengan Ht dan nadi meningkat,
tekanan nadi menurun < 20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus
menaikkan jumlah cairan infuse menjadi 10 ml/kgBB/jam. Dua jam
kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan menunjukkan
perbaikkan maka jumlah cairan dikuarangi menjadi 5 ml/KgBB/jam tetapi
bila keadaan tidak menunjukkan perbaikkan maka jumlaah cairan infuse
dinaikkan 15ml/KgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi
menjadi memburuk dan didapatkn tanda-tanda syok maka pasien
ditananganisesuai protocol tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa.
Bila syok telah teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi
pemberian cairan
4. Protokol 4. Penatalaksaan Perdarahan Spontan pada DBD Dewasa
Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah :
perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan
tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau
hematoskesia), perdarahan saluran kencing ( hematuria, perdarahan otak
atau perdarahan sembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5
ml/KgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian
cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok. Pemeriksaan TD, nadi,
pernapasan, dan jumlah urin dilakukan sesering mungkin dengan
kewaspadaan Hb, Ht, dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam.
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris
didapatkan tanda-tanda koagulasi intravaskuler diseminata (KID). Taranfusi
komponen darah diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan
defisiensi factor-faktor pembekuan darah (PT dan aPTT) yang memanjang),
PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dl. Transfusi trombosit hanya
diberikan pada pasien DBD yang perdarahan spontan dan massif dengan
jumlah tromboit <100.000/mm3 disertai atau tanpa KID
5. Protokol 5. Tatalaksanaan Sindrom Syok Dengue pada Dewasa
Bila berhadapan dengan SSD maka hal pertama yang harus diingat adalah
renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian cairan
dilakukan intravaskuler yang hilang harus segera dilakukan. Angka
kematian SSD 10 kali lipat dibandingakan dengan penderita DBD tanpa
renjatan. Dan renjatan dapat terjadi karena kerelambatan penderita DBD
mendapat pertolongan.
Pada kasus SSD cairan kritaloid adalah pilihan utama yang diberikan.
Penderita juga diberikan O2 2-4 liter/menit. Pemeriksaan yang harus
dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostalisi,
analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan
kreatinin.
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20ml/kgBB dan
evaluasi 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi ( ditandai dengan TD
sistolik 100mmHg dan tekanan nadi > 20mmHg, frekuensi nadi <100
x/menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak
pucat srta dieresis 0,5-1 ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi 7
ml/kgBB/jam. Biala dalam waktu 60-120 menit keadaan tetap stabil
pemberian cairan menjadi 5ml/kgBB/jam. Bila dam waktu 60-120 menit
keadaan tetap stabil pemberian cairan dikurangi 3 ml/kgBB/jam. Bila 23-48
jam setelag renjatan teratasi tanda-tanda vital, hematokrin tetap stabil srta
dieresis cukup maka pemberian cairan perinfus dihentikan.
Pengawan dini tetap dilakukan tertama dalam 24 jam pertama sejak terjadi
renjatan. Oleh karena itu untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi
dengan baik, diperlukan pemantauan tanda vital, pembesaran hati, nyeri
tekan didaerah hipokondrium kana dan epigastrium serta jumlah dieresis
(diusahakan 2ml/kgBB/jam). Pemantauan DPL dipergunakan untuk
pemantauan perjalanan penyakit.
Bila fase awal pemberian ternyata renjatan belum teratasi, maka pemberan
cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30ml/kgBB, dan kemudian
dievaluasi setelah 20-30 menit.
Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan nilai Ht.
Bila Ht meningkat berarti perembesan plasma masih berlangsung maka
pemberian cairan koloid merupakan pilihan.
- Pemberian koloid mula-mula diberikan 10-20ml.kgBB dan
dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi
maka pemantaun cairan dilakukan pemasangan kateter vena sentral,
dan pmberian dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30ml/kgBB
( maksimal 1-1,5µ/hari) dengan sasaran tekanan vena sentral 15-
18cmH2O
- Bila keadaan belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan
koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia,
anemia, KID, infeksi sekunder.
- Bila tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapu
renjatan tetap belum teratasi maka dapat diberikan obat inotropik /
vasopresor.
Bila Ht menurun, berarti terjadi perdarahan (internal bleeding) maka
pada penderita diberikan transfuse darah segar 10ml/kgBB dan dapat
diulang sesuai kebutuhan.
I. Prognosis
Pada DBD yang ditangani dengan cepat, prognosisnya akan baik. Namun
jika terlambat dan sudah mengalami syok serta perdarahan hebat, maka akan
menjadi buruk.