laporan kasus bronkiolitis dwi akbarini

51
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) masih merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian balita di Indonesia. Tergolong ke dalam ISPA adalah Bronkiolitis yang secara anatomik merupakan salah satu ISPA bawah. 1,2 Bronkiolitis diartikan sebagai penyakit obstruktif akibat inflamasi akut pada saluran nafas kecil (bronkioli). Sering terjadi pada anak berusia di bawah 2 tahun dengan insiden tertinggi umur 2-8 bulan 1 . Respiratory Syncytial Virus merupakan agen penyebab pada 50 – 90 % kasus, sisanya oleh virus para influenza, mikoplasma, adenovirus dan virus lainnya. Infeksi primer oleh bakteri penyebab belum dilaporkan. 1-4 Perbandingan insiden antara laki-laki dan wanita sekitar 1,5 : 1. Lebih sering mengenai kelompok sosial ekonomi rendah, keadaan tempat tinggal yang penuh sesak dan lingkungan perokok. Penularannya dapat melalui droplets, kontak dengan benda yang telah terkontaminasi seperti pakaian, perabot atau infeksi nosokomial. 5 Walaupun gejala bronkiolitis dapat menghilang dalam waktu 1 – 3 hari, pada beberapa kasus dapat lebih berat, bahkan dapat menyebabkan kematian. Mortalitasnya kurang

Upload: al-tamira

Post on 23-Oct-2015

889 views

Category:

Documents


223 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) masih merupakan penyebab utama

kesakitan dan kematian balita di Indonesia. Tergolong ke dalam ISPA adalah

Bronkiolitis yang secara anatomik merupakan salah satu ISPA bawah.1,2

Bronkiolitis diartikan sebagai penyakit obstruktif akibat inflamasi akut pada

saluran nafas kecil (bronkioli). Sering terjadi pada anak berusia di bawah 2 tahun

dengan insiden tertinggi umur 2-8 bulan1. Respiratory Syncytial Virus merupakan

agen penyebab pada 50 – 90 % kasus, sisanya oleh virus para influenza, mikoplasma,

adenovirus dan virus lainnya. Infeksi primer oleh bakteri penyebab belum

dilaporkan.1-4 Perbandingan insiden antara laki-laki dan wanita sekitar 1,5 : 1. Lebih

sering mengenai kelompok sosial ekonomi rendah, keadaan tempat tinggal yang

penuh sesak dan lingkungan perokok. Penularannya dapat melalui droplets, kontak

dengan benda yang telah terkontaminasi seperti pakaian, perabot atau infeksi

nosokomial.5

Walaupun gejala bronkiolitis dapat menghilang dalam waktu 1 – 3 hari, pada

beberapa kasus dapat lebih berat, bahkan dapat menyebabkan kematian.

Mortalitasnya kurang dari 1 %, biasanya meninggal karena jatuh dalam keadaan

apnu yang lama, asidosis respiratorik yang tidak terkoreksi, atau karena dehidrasi

yang disebabkan oleh takipnu dan kurang makan - minum. Disamping itu dapat pula

memberikan dampak jangka panjang berupa batuk berulang, mengi, hiperreaktivitas

bronkus sampai beberapa tahun, bronkiolitis obliterasi, dan sindrom paru hiperlusen

unilateral (Swyer-James Syndrome).6

Berikut ini laporan kasus mengenai bronkiolitis dengan gizi baik pada

seorang anak lai-laki berumur 8 bulan yang dirawat bangsal anak RSUD Palembang

BARI dari tanggal 17 September 2012.

B. TUJUAN

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui cara mendiagnosis dan

mengelola penderita dengan bronkiolitis, sekaligus mencoba membandingkan

tindakan yang diberikan berdasarkan kepustakaan yang ada, sehingga dapat

mengarah kepada penatalaksanaan yang lebih tepat dan rasional.

C. MANFAAT

Laporan ini diharapkan dapat membantu mahasiswa kedokteran untuk belajar

mendiagnosis dan mengelola penderita bronkiolitis akut.

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Bronkiolitis

Bronkiolitis adalah penyakit saluran pernafasan bagian bawah dengan

karakteristik klinis berupa batuk, takipnea, wheezing, dan / atau rhonki. Bronkiolitis

adalah sebuah kelainan saluran penafasan bagian bawah yang biasanya menyerang

anak-anak kecil dan disebabkan oleh infeksi virus-virus musiman seperti RSV.

Walaupun kata bronkiolitis berarti inflamasi bronkioles, hal ini jarang ditemukan

secara langsung, tapi diduga pada anak kecil dengan distres pernafasan yang

memiliki tanda-tanda infeksi virus.4

Di United Kingdom, kata ini digunakan secara lebih spesifik. Penulis

penelitian dari Universitas Nottingham mengambil definisi konsensus dari “penyakit

virus musiman dengan karakteristik demam, nasal discharge, dan batuk kering dan

berbunyi menciut. Pada pemeriksaan ada crackles inspirasi halus dan / atau wheezing

ekspirasi nyaring. Di Amerika Utara, bronkiolitis biasanya digunakan secara lebih

luas, tapi berhubungan dengan penemuan spesifik berupa wheezing.4

Pedoman APP (American Academy of Pediatrics) mendefinisikan bronkiolitis

sebagai “sebuah kumpulan gejala-gejala dan tanda-tanda klinis termasuk prodromal

virus pernafasan atas, diikuti peningkatan wheezing dan usaha bernafas dari anak-

anak kurang dari 2 tahun”. Perbedaan ini penting, karena wheezing berulang pada

anak-anak yang lebih besar sering dicetuskan oleh virus-virus yang khas untuk

saluran pernafasan bagian atas, seperti rhinovirus.5

2.2 Etilogi

Bronkiolitis terutama disebabkan oleh Respiratory Syncitial Virus (RSV),

60–90% dari kasus, dan sisanya disebabkan oleh virus Parainfluenzae tipe 1,2, dan 3,

Influenzae B, Adenovirus tipe 1,2, dan 5, atau Mycoplasma.1

RSV adalah single stranded RNA virus yang berukuran sedang (80-350 nm),

termasuk paramyxovirus. Terdapat dua glikoprotein permukaan yang merupakan

bagian penting dari RSV untuk menginfeksi sel, yaitu protein G (attachment protein )

yang mengikat sel dan protein F (fusion protein) yang menghubungkan partikel virus

dengan sel target dan sel tetangganya. Kedua protein ini merangsang antibodi

neutralisasi protektif pada host. Terdapat dua macam strain antigen RSV yaitu A dan

B. RSV strain A menyebabkan gejala yang pernapasan yang lebih berat dan

menimbulkan sekuele. Masa inkubasi RSV 2 - 5 hari.1

Sejumlah virus dikenal sebagai penyebab bronkiolitis telah secara nyata

diperluas dengan keberadaan tes diagnosis yang sensitif dengan menggunakan teknik

molekular tambahan. RSV tetap menjadi penyebab 50 % – 80 % kasus. Penyebab

lain termasuk virus parainfluenza, terutama parainfluenza tipe 3, influenza, dan

human metapneumovirus (HMPV). HMPV ditaksir menyebabkan 3 % – 19 % kasus

bronkiolitis. Kebanyakan anak-anak terinfeksi selama epidemik luas musim dingin

tahunan.5

Teknik diagnosis molekular juga telah mengungkapkan bahwa anak-anak

kecil dengan bronkiolitis dan penyakit-penyakit respirasi akut lainnya sering

diinfeksi oleh lebih dari satu virus. Jumlah coinfeksi ini sekitar 10 % – 30 % pada

sampel anak-anak yang dirawat di rumah sakit, kebanyakan oleh RSV dan salah satu

dari HMPV atau rhinovirus.5

2.3 Epidemiologi

RSV adalah penyebab utama bronkiolitis dan merupakan satu-satunya

penyebab yang dapat menimbulkan epidemi. Hayden dkk (2004) mendapatkan

bahwa infeksi RSV menyebabkan bronkiolitis sebanyak 45%-90% dan menyebabkan

pneumonia sebanyak 40%.5

Bronkiolitis sering mengenai anak usia dibawah 2 tahun dengan insiden

tertinggi pada bayi usia 6 bulan.1,3 Pada daerah yang penduduknya padat insiden

bronkiolitis oleh karena RSV terbanyak pada usia 2 bulan. Makin muda umur bayi

menderita bronkiolitis biasanya akan makin berat penyakitnya. Bayi yang menderita

bronkiolitis berat mungkin oleh karena kadar antibodi maternal (maternal

neutralizing antibody) yang rendah. Selain usia, bayi dan anak dengan penyakit

jantung bawaan, bronchopulmonary dysplasia, prematuritas, kelainan neurologis dan

immunocompromized mempunyai resiko yang lebih besar untuk terjadinya penyakit

4

yang lebih berat. Insiden infeksi RSV sama pada laki-Iaki dan wanita, namun

bronkiolitis berat lebih sering terjadi pada laki-Iaki.5

2.4 Patofisiologi

Virus bereplikasi di dalam nasofaring kemudian menyebar dari saluran nafas

atas ke saluran nafas bawah melalui penyebaran langsung pada epitel saluran nafas

dan melalui aspirasi sekresi nasofaring. RSV mempengaruhi sistem saluran napas

melalui kolonisasi dan replikasi virus pada mukosa bronkus dan bronkiolus yang

memberi gambaran patologi awal berupa nekrosis sel epitel silia. Nekrosis sel epitel

saluran napas menyebabkan terjadi edema submukosa dan pelepasan debris dan

fibrin kedalam lumen bronkiolus .2

Gambar 1. Respon inflamasi selular pada infeksi virus saluran nafas 2

5

(Sumber : The Internet Journal of Pediatricsnand Neonatology 2)

Virus yang merusak epitel bersilia juga mengganggu gerakan mukosilier,

mukus tertimbun di dalam bronkiolus. Kerusakan sel epitel saluran napas juga

mengakibatkan saraf aferen lebih terpapar terhadap alergen/iritan, sehingga

dilepaskan beberapa neuropeptida (neurokinin, substance P) yang menyebabkan

kontraksi otot polos saluran napas. Pada akhirnya kerusakan epitel saluran napas juga

meningkatkan ekspresi Intercellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) dan produksi

sitokin yang akan menarik eosinofil dan sel-sel inflamasi. Jadi, bronkiolus menjadi

sempit karena kombinasi dari proses inflamasi, edema saluran nafas, akumulasi sel-

sel debris dan mukus serta spasme otot polos saluran napas.

Adapun respon paru ialah dengan meningkatkan kapasitas fungsi residu,

menurunkan compliance, meningkatkan tahanan saluran napas, dead space serta

meningkatkan shunt. Semua faktor-faktor tersebut menyebabkan peningkatan kerja

sistem pernapasan, batuk, wheezing, obstruksi saluran napas, hiperaerasi, atelektasis,

hipoksia, hiperkapnea, asidosis metabolik sampai gagal napas.5

Karena tahanan/resistensi terhadap aliran udara di dalam saluran besarnya

berbanding terbalik dengan radius/jari-jari pangkat empat, maka penebalan yang

sedikit sekalipun pada dinding bronkhiolus bayi dapat sangat mempengaruhi aliran

udara.

Tahanan pada saluran udara kecil bertambah selama fase inspirasi dan fase

ekspirasi, namun karena selama ekspirasi radius jalan nafas menjadi lebih kecil,

maka hasilnya adalah obstruksi pernafasan katup bola yang menimbulkan perangkap

udara awal dan overinflasi. Volume dada pada akhir ekspirasi meningkat hampir 2

kali di atas normal. Atelektasis dapat terjadi ketika obstruksi menjadi total dan udara

yang terperangkap di absorbsi.1

Proses patologis mengganggu pertukaran gas normal di dalam paru. Perfusi

ventilasi yang tidak sepadan menimbulkan hipoksemia, yang terjadi pada awal

perjalanannya. Retensi karbondioksida (hiperkapnea) biasanya tidak terjadi kecuali

pada penderita yang terkena berat. Makin tinggi frekuensi pernafasan makin rendah

tekanan oksigen arteri. Hiperkapnea biasanya tidak terjadi sampai pernafasan

6

melebihi 60 kali/menit; selanjutnya proporsi hiperkapnea ini bertambah menjadi

takipnea.1

Gambar 2. Pembengkakan bronkioli pada bronkiolitis 6

Anak yang lebih besar dan orang dewasa jarang mengalami bronkiolitis bila

terserang infeksi virus. Perbedaan anatomi antara paru-paru bayi muda dan anak

yang lebih besar mungkin merupakan kontribusi terhadap hal ini. Respon proteksi

imunologi terhadap RSV bersifat transien dan tidak lengkap. Infeksi yang berulang

pada saluran napas bawah akan meningkatkan resistensi terhadap penyakit. Akibat

infeksi yang berulang-ulang, terjadi cumulatif immunity sehingga pada anak yang

lebih besar dan orang dewasa cenderung lebih tahan terhadap infeksi bronkiolitis dan

pneumonia karena RSV.5

7

Penurunan ventilasi dari bagian paru-paru menyebabkan ventilasi / perfusi

mismatching, mengakibatkan hipoksia. Selama fase ekspirasi respirasi, dinamis lebih

lanjut penyempitan saluran udara menghasilkan penurunan aliran udara yang tidak

proporsional dan menyaring udara yang dihasilkan. Kerja pernapasan meningkat

karena volume paru-paru meningkat akhir-ekspirasi dan penurunan kepatuhan paru-

paru. Penyembuhan bronkiolitis akut diawali dengan regenerasi epitel bronkus dalam

3-4 hari, sedangkan regenerasi dari silia berlangsung setelah 2 minggu. Jaringan mati

(debris) akan dibersihkan oleh makrofag.7

Infeksi RSV dapat menstimulasi respon imun humoral dan selular. Respon

antibodi sistemik terjadi bersamaan dengan respon imun lokal. Bayi usia muda

mempunyai respon imun yang lebih buruk. 1

Glezen dkk (dikutip dari Bar-on, 1996) mendapatkan bahwa terjadi hubungan

terbalik antara titer antibodi neutralizing dengan resiko reinfeksi. Tujuh puluh

sampai delapan puluh persen anak dengan infeksi RSV memproduksi IgE dalam 6

hari perjalanan penyakit dan dapat bertahan sampai 34 hari. IgE-RSV ditemukan

dalam sekret nasofaring 45% anak yang terinfeksi RSV dengan mengi, tapi tidak

pada anak tanpa mengi. Bronkiolitis yang disebabkan RSV pada usia dini akan

berkembang menjadi asma bila ditemukan IgE spesifik RSV .5

2.5 Manifestasi Klinis

Mula-mula bayi menderita gejala ISPA atas ringan berupa pilek yang encer dan

bersin. Gejala ini berlangsung beberapa hari, kadang-kadang disertai demam dan

nafsu makan berkurang. Kemudian timbul distres nafas yang ditandai oleh batuk

paroksismal, wheezing, sesak napas. Bayi-bayi akan menjadi rewel, muntah serta

sulit makan dan minum. Bronkiolitis biasanya terjadi setelah kontak dengan orang

dewasa atau anak besar yang menderita infeksi saluran nafas atas yang ringan.Bayi

mengalami demam ringan atau tidak demam sama sekali dan bahkan ada yang

mengalami hipotermi. 1,3,6

Terjadi distress nafas dengan frekuensi nafas lebih dari 60 kali per menit,

kadang-kadang disertai sianosis, nadi juga biasanya meningkat.

8

Terdapat nafas cuping hidung, penggunaan otot bantu pernafasan dan

retraksi. Retraksi biasanya tidak dalam karena adanya hiperinflasi paru

(terperangkapnya udara dalam paru).

Terdapat ekspirasi yang memanjang , wheezing yang dapat terdengar dengan

ataupun tanpa stetoskop, serta terdapat crackles.

Hepar dan lien teraba akibat pendorongan diafragma karena tertekan oleh

paru yang hiperinflasi.

Sering terjadi hipoksia dengan saturasi oksigen <92% pada udara kamar.

Pada beberapa pasien dengan bronkiolitis didapatkan konjungtivitis ringan,

otitis media serta faringitis.

Ada bentuk kronis bronkiolitis, biasanya disebabkan oleh karena adenovirus

atau inhalasi zat toksis (hydrochloric, nitric acids ,sulfur dioxide).

Karakteristiknya:

o gambaran klinis & radiologis hilang timbul dalam beberapa minggu

atau bulan dengan episode atelektasis, pneumonia dan wheezing yang

berulang.

o Proses penyembuhan, mengarah ke penyakit paru kronis.

o Histopatologi: hipertrofi dan timbunan infiltrat meluas ke

peribronkial, destruksi dan deorganisasi jaringan otot dan elastis

dinding mukosa. Terminal bronkiolus tersumbat dan dilatasi. Alveoli

overdistensi, atelektasis dan fibrosis.

2.6 Penegakkan Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Pertama sekali dapat

dicatat bahwa bayi dengan bronkiolitis menderita suatu infeksi ringan yang mengenai

saluran pernapasan bagian atas disertai pengeluaran sekret-sekret encer dari hidung

dan bersin-bersin. Gejala-gejala ini biasanya akan berlangsung selama beberapa hari

dan disertai demam dari 38,50C hingga 390C, akan tetapi bisa juga tidak disertai

demam, bahkan pasien bisa mengalami hipotermi. Pasien mengalami penurunan

nafsu makan, kemudian ditemukan kesukaran pernafasan yang akan berkembang

9

perlahan-lahan dan ditandai dengan timbulnya batuk-batuk, bersin paroksimal,

dispneu, dan iritabilitas. Pada kasus ringan gejala akan menghilang dalam waktu 1-3

hari. Kadang-kadang, pada penderita yang terserang lebih berat, gejala-gejala dapat

berkembang hanya dalam beberapa jam serta perjalaan penyakitnya akan

berlangsung berkepanjangan. Keluhan muntah-muntah dan diare biasanya tidak

didapatkan pada pasien ini.1

Kebanyakan bayi-bayi dengan penyakit tersebut, mempunyai riwayat

keberadaan mereka diasuh oleh orang dewasa yang menderita penyakit saluran

pernafasan ringan pada minggu sebelum awitan tersebut terjadi pada mereka.

Disamping itu, kita juga harus menyingkirkan pneumonia atau riwayat atopi yang

dapat menyebabkan wheezing.8

Pemeriksaan fisik memperlihatkan seorang bayi mengalami distres nafas

dengan frekuensi nafas lebih dari 60 kali per menit (takipneu), kadang-kadang

disertai sianosis, dan nadi juga biasanya meningkat. Terdapat nafas cuping hidung,

penggunaan otot pembantu pernafasan yang mengakibatkan terjadinya retraksi pada

daerah interkostal dan daerah sub kostal. Retraksi biasanya tidak dalam karena

adanya hiperinflasi paru (terperangkapnya udara dalam paru). Terdapat ekspirasi

yang memanjang , wheezing yang dapat terdengar dengan ataupun tanpa stetoskop,

serta terdapat crackles.1

Hepar dan lien akan teraba beberapa cm dibawah tepi batas bawah tulang iga.

Keadaan ini terjadi akibatt pendorongan diafragma kebawah karena tertekan oleh

paru yang hiperinflasi. Suara riak-riak halus yang tersebar luas juga dapat terdengar

pada bagian akhir inspirasi. Fase ekspirasi pernafasan akan memanjang dan suara-

suara pernapasan juga bisa hampir tidak terdengar jika sudah berada dalam kasus

yang berat.1

Untuk menilai kegawatan penderita dapat dipakai skor Respiratory Distress

Assessment Instrument (RDAI), yang menilai distres napas berdasarkan 2 variabel

respirasi yaitu wheezing dan retraksi. Bila skor lebih dari 15 dimasukkan kategori

berat, bila skor kurang 3 dimasukkan dalam kategori ringan.Pulse oximetry

merupakan alat yang tidak invasif dan berguna untuk menilai derajat keparahan

10

penderita. Saturasi oksigen < 95% merupakan tanda terjadinya hipoksia dan

merupakan indikasi untuk rawat inap.6

Tes laboratorium rutin tidak spesifik. Jumlah dan hitung jenis lekosit

biasanya normal. Limfopenia yang biasanya berhubungan dengan penyakit-penyakit

virus, tidak ditemukan pada penyakit ini. Biakan-biakan bahan yang berasal dari

nasofaring akan menunjukkan flora normal. Virus dapat dapat diperlihatkan di dalam

sekresi nasofaring melalui fluresensi imunologis dalam suatu peningkatan titer-titer

darah atau dalam biakan.1

Gambaran radiologik mungkin masih normal bila bronkiolitis ringan.

Umumnya terlihat paru-paru mengembang ( hyperaerated ). Bisa juga didapatkan

bercak-bercak yang tersebar, mungkin atelektasis ( patchy atelectasis ) atau

pneumonia ( patchy infiltrates ). Pada rontgen -foto lateral, didapatkan diameter AP

yang bertambah dan diafragma tertekan ke bawah. Pada pemeriksaan rontgen foto

dada, dikatakan hyperaerated apabila kita mendapatkan: siluet jantung yang

menyempit, jantung terangkat,diafragma lebih rendah dan mendatar, diameter

anteroposterior dada bertambah, ruang retrosternal lebih lusen, iga horizontal,

pembuluh darah paru tampak tersebar.1

Untuk menentukan penyebab bronkiolitis, dibutuhkan pemeriksaan aspirasi

atau bilasan nasofaring. Pada bahan ini dapat dilakukan kultur virus tetapi

memerlukan waktu yang lama, dan hanya memberikan hasil positif pada 50% kasus.

Ada cara lain yaitu dengan melakukan pemeriksaan antigen RSV dengan

menggunakan cara imunofluoresen atau ELISA. Sensitifitas pemeriksaan ini adalah

80-90%.8

Tabel 1. Skor Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI)

  SKOR Skor

maksimal0 1 2 3 4

11

Wheezing :

-Ekspirasi

-Inspirasi

-Lokasi

 

(-)

(-)

(-)

 

Akhir

Sebagian

2 dr 4 lap

paru

 

Semua

3 dr 4 lap

paru

   

Semua

 

4

2

2

Retraksi :

-Supraklavikular

-Interkostal

-Subkostal

 

(-)

(-)

(-)

 

Ringan

Ringan

Ringan

 

Sedang

Sedang

Sedang

 

Berat

Berat

Berat

   

3

3

3

TOTAL 17

2.7 Penatalaksanaan

Sebagian besar tatalaksana bronkiolitis pada bayi bersifat suportif yaitu

pemberian oksigen, minimal handling pada bayi, cairan intravena, dan kecukupan

cairan, penyesuaian suhu lingkungan agar konsumsi oksigen minimal, tunjangan

respirasi bila perlu, dan nutrisi. Setelah itu barulah digunakan bronkodilator, anti

inflamasi seperti kortikosteroid, antiviral seperti ribavirin, dan pencegahan dengan

vaksin RSV, RSV immunoglobulin ( polyclonal ) atau Humanis RSV monoclonal

antibody ( palivizumab ).7

Terapi oksigen harus diberikan kepada semua penderita kecuali untuk kasus-

kasus yang sangat ringan. Saturasi oksigen menggambarkan kejenuhan afinitas

haemoglobin terhadap oksigen di dalam darah. Oksigen dapat diberikan melalui

nasal prongs (2 liter/menit) , masker (minimum 4 liter/menit) atau head box. Terapi

oksigen dihentikan bila pemeriksaan saturasi oksigen dengan pulse oximetry (SaO2)

pada suhu ruangan stabil diatas 94%. Pemberian oksigen pada saat masuk sangat

berpengaruh pada skor beratnya penyakit dan lama perawatan di rumah sakit.

Pemberian cairan dan kalori yang cukup (bila perlu dapat dengan infuse dan

diet sonde/nasogastrik). Jumlah cairan disesuaikan dengan berat badan, kenaikan

suhu dan status hidrasi. Cairan intravena diberikan bila pasien muntah dan tidak

dapat minum, panas, distress napas untuk mencegah terjadinya dehidrasi. Dapat

dibenarkan pemberian retriksi cairan 2/3 dari kebutuhan rumatan, untuk mencegah

12

edema paru dan edema otak akibat SIADH (Syndrome of Inappropriate Anti Diuretic

Hormone). Selanjutnya perlu dilakukan koreksi terhadap kelainan asam basa dan

elektrolit yang mungkin timbul.

Apabila terdapat perubahan pada kondisi umum penderita, peningkatan

leukosit atau pergeseran hitung jenis, atau tersangka sepsis maka diperiksa kultur

darah, urine, feses dan cairan serebrospinal, secepatnya diberikan antibiotika yang

memiliki spectrum luas. Pemberian antibiotik secara rutin tidak menunjukkan

pengaruh terhadap perjalanan bronkiolitis. Akan tetapi keterlambatan dalam

mengetahui virus RSV atau virus lain sebagai penyebab bronkiolitis dan menyadari

bahwa infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder dapat

menjadi alasan diberikan antibiotika.

Ribavirin adalah purin nucleoside derivate guanosine sintetik, bekerja

mempengaruhi pengeluaran messenger RNA (mRNA). Ribavirin menghambat

translasi mRNA virus kedalam protein virus dan menekan aktivitas polymerase

RNA. Titer RSV bisa meningkat dalam tiga hari setelah gejala timbul atau sepuluh

hari setelah terkena virus. Karena mekanisme ribavirin menghambat replikasi virus

selama fase replikasi aktif, maka pemberian ribavirin lebih bermanfaat pada fase

awal infeksi. 1-2

Penggunaan bronkodilator untuk terapi bronkiolitis telah lama diperdebatkan

selama hampir 40 tahun.Terapi farmakologis yang paling sering diberikan untuk

pengobatan bronkiolitis adalah bronkodilator dan kortiko steroid. Dapat diberikan

nebulasi β agonis (salbutamol 0,1mg/kgBB/dosis, 4-6 x/hari) diencerkan dengan

salin normal untuk memperbaiki kebersihan mukosilier.

Kortikosteroid yang digunakan adalah prednison, metilprrednisolon,

hidrokortison, dan deksametason. Untuk penyamaan dilakukan konversi rata-rata

dosis per hari serta rata-rata total paparan obat tersebut dengan ekuivalen mg/kgBB

prednison. Rata-rata dosis per hari berkisar antara 0,6-6,3 mg/kgBB, dan rata-rata

total paparan antara 3,0-18,9 mg/kgBB. Cara pemberian adalah secara oral,

intramuskular, dan intravena. Tidak ada efek merugikan yang dilaporkan.7

13

GAMBAR 3. TATALAKSANA BRONKIOLOITIS

14

Peranan edukasi sangat penting dalam mengurangi morbiditas dan mortalitas

akibat penyakit yang diderita serta mencegah kekambuhan di masa mendatang.

Edukasi yang diberikan meliputi upaya preventif, promotif dan rehabilitatif.

a. Preventif. 14,15

Menjaga higiene dan sanitasi lingkungan rumah, serta kebersihan

bahan/alat-alat makan.

Menghindari kontak dengan penderita batuk, pilek dan perokok.

Mencegah terjadinya penyebaran nosokomial dengan memperhatikan teknik

asepsis dalam merawat penderita.

b. Promotif.14

Meningkatkan daya tahan tubuh dengan cara menjaga kualitas dan kuantitas

makanan agar tetap sesuai dengan angka kecukupan gizi, baik bagi ibu

maupun penderita, serta melakukan imunisasi sesuai jadwal.

Segera membawa ke tempat pelayanan kesehatan jika anak sakit.

Menciptakan rumah yang sehat dengan memperbaiki ventilasi dan merubah

perilaku hidup sehat yang masih kurang.

c. Rehabilitatif.14

Melakukan latihan pengeluaran lendir saluran pernafasan dengan postural

drainase (penderita dalam posisi tengkurap dan dilakukan masase/tepuk-

tepuk pada punggung).

Melakukan mobilisasi terhadap penderita secara bertahap.

15

2.8 Prognosis1,2

Pada penderita ini, prognosis untuk kehidupannya (quo ad vitam) adalah ad

bonam, karena walaupun datang dengan distres respirasi, dapat ditangani dengan

segera dan tepat, sehingga masa-masa kritisnya terlewati. Sedangkan prognosis

untuk kesembuhan (quo ad sanam) adalah ad bonam, dikarenakan pengelolaan

terhadap penderita rasional dan menyeluruh meliputi aspek keperawatan,

medikamentosa, dietetik dan edukatif.

Infeksi bronkiolitis akut berat pada bayi bisa berkembang menjadi asma.

Ehlenfield dkk mengatakan jumlah eosinofil pada saat bronkiolitis lebih banyak

pada bayi yang nantinya akan menderita mengi pada usia 7 tahun, yaitu median

98 sel/mm3. Adanya eosinofilia dimungkinkan bahwa mengi akan berlanjut pada

masa kanak-kanak. Kriteria yang menjadi faktor risiko asma adalah

didapatkannya 2 faktor risiko mayor atau 1 faktor resiko mayor + 2 faktor risiko

minor. 1,15

- Faktor risiko major yaitu asma pada orang tua dan eksema pada anak.

- Faktor risiko minor adalah Rinitis alergi, mengi diluar selesma dan eosinofilia.

Pada pasien ini kemungkinan belum bisa berkembang menjadi asma. Hal

ini dapat disebabkan karena hanya memenuhi 1 kriteria minor yaitu pasien

mengalami riwayat wheezing pada usia < 2 tahun.

Faktor resiko gejala yang berulang sehingga kemungkinan dapat

berkembang menjadi asma : sosial ekonomi yang rendah, lingkungan rumah yang

tidak sehat, jumlah anggota keluarga yang besar tinggal dalam 1 rumah, ayah

seorang perokok aktif dan anak tidak mendapatkan ASI sejak lahir karena puting

susu terbenam.

16

.

BAB III

PENYAJIAN KASUS

A. IDENTITAS PENDERITA

Nama : By. M. Firnando

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : 11 bulan/ 15 Januari 2012

Alamat : Jln. Gerinting Kertapati

Masuk RS : 17 September 2012, pukul 14.00 WIB

IDENTITAS ORANG TUA

Nama Ayah : Tn S

Umur : 46 tahun

Pendidikan : STM

Pekerjaan : Pegawai swasta

Nama Ibu : Ny A

Umur : 41 tahun

Pendidikan : SMK

Pekerjaan : Tidak bekerja

B. DATA DASAR

1. Anamnesis

Alloanamnesis dengan orangtua penderita tanggal 18 September 2012 pukul

14.00 WIB

a. Keluhan utama : sesak nafas

b. Riwayat penyakit sekarang :

Sejak kurang lebih 5 hari SMRS anak batuk (+), dahak (+) tidak dapat

dikeluarkan, pilek ada , terlihat sesak, suara mengik tidak ada, demam tidak

terlalu panas tapi tidak pernah kembali ke suhu normal, bintik-bintik merah seperti

digigit nyamuk (-), gusi berdarah (-), mimisan (-), keluar cairan dari telinga (-),

17

BAB dan BAK tidak ada kelainan, anak masih bermain seperti biasa, makan dan

minum menyusui berkurang.

Sejak kurang lebih 1 hari SMRS anak masih batuk dan makin bertambah parah,

dahak tidak dapat dikeluarkan, sesak (+), sesak tidak berkurang dengan

perubahan posisi dan cuaca (+), dan tidak bertambah saat bermain, biru-biru

disekitar mulut (-), demam (+) tidak terlalu tinggi tapi terus menerus, bintik-bintik

merah seperti digigit nyamuk (-), gusi berdarah (-), mimisan (-), keluar cairan dari

telinga (-), nyeri tekan belakang telinga (-), nyeri telan (-), anak rewel (+), nafsu

makan dan minum susu anak terganggu, buang air besar dan buang biasa.

c. Riwayat penyakit dahulu :

Riwayat alergi telur (+)

Riwayat tersedak sebelumnya disangkal

Riwayat sesak sebelumnya dan nafas berbunyi (mengi) disangkal.

Riwayat bepergian ke daerah endemis malaria (-)

Tidak pernah sakit batuk lama, tidak ada riwayat sering berkeringat malam

hari, tidak ada keluhan berat badan turun atau sulit naik.

Riwayat ruam /alergi susu saat bayi disangkal.

Riwayat batuk/bersin saat pagi hari/subuh (-)

d. Riwayat penyakit keluarga :

Tidak ada anggota keluarga yang sakit seperti ini atau batuk-batuk lama.

Ayah pasien alergi telur (+), ayah perokok aktif (+).

Riwayat asma pada anggota keluarga.

Lingkungan : memelihara binatang (+), karpet (-).

e. Riwayat sosial ekonomi :

Ayah bekerja sebagai pegawai swasta. Ibu tidak bekerja. Menanggung 5 orang.

Kesan : ekonomi kurang

18

f. Riwayat persalinan.

No Kehamilan dan Persalinan Tgl lahir

Laki-laki lahir dari seorang ibu G1P0A0 20 tahun, umur kehamilan 9 bulan, lahir spontan, langsung menangis, biru-biru (-), ditolong bidan, berat lahir 3000 gram. Panjang badan lahir 49 cm

g. Riwayat pemeliharaan post natal :

Pemeliharaan postnatal di posyandu, keadaan anak sehat.

h. Riwayat keluarga berencana :

Ibu mengikuti program KB hormonal suntik 3 bulan.

i. Riwayat imunisasi :BCG : 1 kali, umur 1 bulan, skar positif.

Polio : 4 kali, umur 0,2,4,6 bulan.

Hepatitis : 3 kali, umur 2,4,6 bulan.

Dipteri : 3 kali, umur 2,4,6 bulan

Pertusis : 3 kali, umur 2,4,6 bulan

Tetanus : 3 kali, umur 2,4,6 bulan

Kesan : imunisasi dasar lengkap.

j. Riwayat makan dan minum :

Umur 0 – 1 bulan : Anak mendapat Asi sesuai kemauan bayi

Umur 0 – 6 bulan : Anak diberi SGM 1 10-12x/hari @ 90 cc (3 sendok

takar habis) sesuai keinginan anak

Umur 6 bulan- sekarang : Anak diberi susu SGM II 8-10x sehari @ 120 cc -

habis dan bubur susu 3 x sehari @ ½ mangkuk kecil -

habis.

Umur 6 - 8 bulan : Anak diberi bubur susu ½ bungkus 3x/hari habis.

Umur 8- sekarang : Anak diberikan nasi tim 3x/hari ½ mangkuk kecil

19

Kesan : kualitas dan kuantitas cukup

k. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan anak :

Pertumbuhan :

Berat badan lahir 3000 gram, panjang badan lahir 49 cm, lingkar kepala

waktu lahir tidak tahu.

Berat badan bulan lalu 6 kg. Berat badan sekarang 6,4 kg, panjang badan

sekarang 67 cm, lingkar kepala 52 cm (mesosefal).

Status Gizi

BB/U = 6,4/8,8 x 100% = 90

PB/U = 67/70 x 100% = 92

PB/TB = 6,4 / 6,8 x 100% = 91

Kesan : Gizi baik, perawakan normal

Perkembangan :

NO KPSP Pada Anak Umur 12 Bulan Ya Tidak1 Pada waktu bayi telentang, apakah ia dapat mengikuti gerakan anda

dengan menggerakkan kepala sepenuhnya dari satu sisi ke sisi yang lain?√

2 Dapatkah bayi mempertahankan posisi kepala dalam keadaan tegak clan stabil? Jawab TIDAK bila kepala bayi cenderung jatuh ke kanan/kiri atau ke dadanya ?

3 Sentuhkan pensil di punggung tangan atau ujung jari bayi. (jangan meletakkan di atas telapak tangan bayi). Apakah bayi dapat menggenggam pensil itu selama beberapa detik?

4 Ketika bayi telungkup di alas datar, apakah ia dapat mengangkat dada dengan kedua lengannya sebagai penyangga seperti padA gambar ?

5 Pernahkah bayi mengeluarkan suara gembira bernada tinggi atau memekik √

20

tetapi bukan menangis?

6 Pernahkah bayi berbalik paling sedikit dua kali, dari telentang ke telungkup atau sebaliknya?

7 Pernahkah anda melihat bayi tersenyurn ketika melihat mainan yang lucu, gambar atau binatang peliharaan pada saat ia bermain sendiri?

8 Dapatkah bayi mengarahkan matanya pada benda kecil sebesar kacang, kismis atau uang logam? Jawab TIDAK jika ia tidak dapat mengarahkan matanya.

9 Dapatkah bayi meraih mainan yang diletakkan agak jauh namun masih berada dalam jangkauan tangannya?

10 Pada posisi bayi telentang, pegang kedua tangannya lalu tarik perlahan-lahan ke posisi clucluk. Dapatkah bayi mempertahankan lehernya secara kaku seperti gambar di sebelah kiri ? Jawab TIDAK bila kepala bayi jatuh kembali seperti gambar sebelah kanan.

Kesan : perkembangan anak sesuai dengan tahap perkembanganya

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada tanggal 20 September 2012 , pukul 14.30 WIB

Seorang anak laki-laki, umur 8 bulan, berat badan 6,4 kg, panjang badan 67 cm.

Kesan umum : sadar, tampak sesak , tidak sianosis , ada napas spontan , adekuat.

Tanda vital : Nadi : 124 x/menit, isi dan tegangan cukup.

21

RR : 55 x/menit

Suhu : 37C

Kepala : mesosefal, ubun-ubun besar datar dan belum menutup.

-Rambut : hitam, tidak mudah dicabut.

-Mata : konjungtiva palpebra anemis (-), sklera tidak

ikterik, pupil isokor diameter 2 mm/2 mm, reflek cahaya (+) N /

(+) N

- Hidung : nafas cuping hidung (+), tidak ada sekret.

-Telinga : tidak ada sekret .

-Mulut :bibir tidak sianosis, selaput lendir tidak kering,

Lidah tidak kotor, gusi tidak berdarah, rhagaden (-)

-Tenggorok : T1-T1, faring tidak hiperemis.

-Leher : simetris, tidak ada pembesaran kelenjar limfe.

-Kulit : tidak ikterus, turgor normal

Thoraks : simetris, ada retraksi epigastrial.

Paru depan : I : simetris, statis, dinamis.

Pa : stem fremitus kanan = kiri

Pe : sonor seluruh lapangan paru

A : suara dasar vesikuler normal

suara tambahan : ronkhi basah (-)/(-)

wheezing (+)/(+)

hantaran (+)/(+)

eksperium memanjang (+)/(+)

Paru belakang: I : simetris, statis, dinamis.

Pa : stem fremitus kanan = kiri

Pe : sonor seluruh lapangan paru

A : suara dasar vesikuler normal

suara tambahan : ronkhi (+)/(+)

wheezing (+)/(+)

hantaran (+)/(+)

Eksperium memanjang (+)/(+)

22

Jantung : Suara jantung I-II normal, tidak ada bising, tidak ada gallop, irama

reguler, frekuensi jantung 120 x / menit,

Abdomen : I : datar, tidak ada venektasi.

Pa : datar, lemas, tidak nyeri tekan.

Hepar : tidak teraba

Lien : tidak teraba

Pe : timpani, pekak sisi (+) normal, tidak ada pekak alih.

A : bising usus (+) normal.

Alat kelamin : laki-laki, testis (+) 2 buah, epispadi (-),

hipospadia (-), fimosis (-), hiperemis (-)

Ekstremitas : superior inferior

Sianosis (-)/(-) (-)/(-)

Oedem (-)/(-) (-)/(-)

Akral dingin (-)/(-) (-)/(-)

Cap. refill <2’’ <2’’

Reflek fisiologis (+)N/(+)N (+)N/(+)N

Reflek patologis (-)/(-)

Clonus (-)/(-)

Kekuatan 555 555

Tonus (+)N/(+)N (+)N/(+)N

Kelainan lain :

Tidak ada

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan darah (tanggal 19 September 2012)

Hemoglobin : 10,5 gram /dl

Hematokrit : 34 %

Lekosit : 11.500 /mm3

23

Trombosit : 470.000 /mm3

LED : 28

Kesan : Trombositosis

Preparat darah hapus (tanggal 19 September 2012) :

Eosinofil : 0 %

Basofil : 0 %

Batang : 2 %

Segmen : 58 %

Limfosit : 36 %

Monosit : 3 %

Kesan : Dalam batas normal

4. Diagnosis Banding

1. IRA

2. Bronkopneumonia

3. Bronkiolitis

5. Diagnosis Kerja

Bronkiolitis Akut

6. Penatalaksanaan

A. Medikamentosa

- Infus IVFD D5+ NaCl 15 % 9 tetes mikro/menit

- Injeksi Gentamicin 2 x 12 mg

24

- Injeksi Dexamethason 3 x 1 mg

- Nebu Ventolin + NaCl 3 cc 2x/hari

- O2 Nasal 1L/m

- Ambroxsol 3 x 4 mg

B. Non-Medikamentosa

a. Pengawasan keadaan umum, tanda vital, distress respirasi, dan pengawasan

jalan napas ( isap lendir jika perlu)

b. Penjelasan kepada keluaraga tentang penyakit, prosedur pengobatan serta

prognosis penderita

c. Edukasi mengenai perlunya menjaga kebersihan lingkungan rumah dan badan

penderita

d. Edukasi tentang penghindaran dari asap rokok serta kurang nya ventilasi udara

dirumah

7. Prognosis

Fungtionam : Dubia ad bonam

Vitam : Dubia ad bonam

25

F. CATATAN KEMAJUAN

Tanggal Pemeriksaan Fisik Laboratorim, Konsul Assesment Terapi, Program19-9-2012 Keluhan

Keadaan umum

Pemeriksaan Fisik TV : nadi RR Suhu

Kepala

Mata

HidungMulut

TenggorokLeherThorak

JantungPulmo

Abdomen

HeparLienEkstremitas

Sesak napas (+),batuk (+)sadar, kurang aktif, sianosis(-),napas spontan(+) , adekuat

124x/menit, i/t cukup55 x/menit37C

Konjungtiva palpebra anemis (-), sklera ikterik (-), Nafas cuping (+), sekret (+)Bibir sianosis (-), selaput lendir kering (-), lidah kotor (-)T1-1, faring hiperemis (-)Simetris, pembesaran limfonodi (-).Simetris, statis, dinamis, retraksi epigastrial (+).

BJ I-II normal, bising (-), gallop(-)SD vesikuler, ronkhi kasar(+/+), wheezing (+/+), suara hantaran (+/+), eksperium memanjang (+)/(+)Datar, lemas, venektasi (-), bising usus (+) normal. tak teraba. tak teraba. Sup Inf

Sianosis -/- -/-Akral dingin -/- -/-

Hemoglobin : 10,5 gram /dl

Hematokrit : 34 %

Lekosit : 11.500 /mm3

Trombosit : 470.000

/mm3

LED : 28

Kesan : Trombositosis

Preparat darah hapus :

Eosinofil : 0 %

Basofil : 0 %

Batang : 2 %

Segmen : 58 %

Limfosit : 36 %

Monosit : 3 %

Kesan : Dalam batas normal

Assesment : Bronkiolitis Akut

- Infus IVFD D5+ NaCl 15 % 9

tetes mikro/menit

- Injeksi Gentamicin 2 x 12

mg

- Injeksi Dexamethason 3 x 1

mg

- Nebu Ventolin + NaCl 3 cc

2x/hari

- O2 Nasal 1L/m

Tanggal Pemeriksaan Fisik Laboratorim, Konsul Assesment Terapi, ProgramRefleks Capillary refil < 2 II < 2 II

Reflek Fisiologi s + / + + /+ ReflekPatologis -/- Clonus -/-Kekuatan 555 555Tonus +N/+N +N/+N

20-9-2012 Keluhan: Keadaan umum

Pemeriksaan Fisik

TV: Nadi RR Suhu

Kepala

Mata

HidungMulut

TenggorokLeher

Thorak

JantungPulmo

Abdomen

Hepar

Sesak napas (+) menurun, batuk(+)sadar, aktif, napas spontan, adekuat(+), sianosis (-).

120/menit, i/t cukup45x/menit36,5ºC

Normochepali, UUB datar,

Konjungtiva palpebra anemis (-), sklera ikterik (-), Nafas cuping (-), sekret (-)Bibir sianosis (-), selaput lendir kering (-), lidah kotor (-), gusi berdarah (-)T1-1 ,faring hiperemis (-) Simetris, pembesaran limfonodi (-). Simetris,statis, dinamis, retraksi epigastrial (+).

BJ I-II normal, bising (-), gallop(-)SD vesikuler, ronkhi (+/+)menurun, wheezing (+/+), suara hantaran (+/+)Datar, lemas, venektasi (-), bising usus (+) normal.Tak teraba.

Assesment : Bronkiolitis Akut

- Infus IVFD D5+ NaCl 15 % 9

tetes mikro/menit

- Injeksi Gentamicin 2 x 12 mg

- Injeksi Dexamethason 3 x 1 mg

- Nebu Ventolin + NaCl 3 cc

2x/hari

- O2 Nasal 1L/m

- Ambroxsol 3 x 4 mg

Tanggal Pemeriksaan Fisik Laboratorim, Konsul Assesment Terapi, ProgramLienEkstrmitas

Tak teraba. Sup Inf Sianosis - / - - / -Akral dingin - / - - / -Capillary refil < 2 II < 2 II Reflek fisiologis + / + + / + Reflek patologis - / - - / - Clonus -/-Kekuatan 555 555Tonus +N/+N +N/+N

21-9-2012 Keluhan: Keadaan umum

Pemeriksaan Fisik

TV: Nadi RR Suhu

Kepala

Mata

HidungMulut

TenggorokLeherThorak

Jantung Pulmo

Abdomen

Batuk (+), sesak (-), sadar, aktif, napas spontan, adekuat(+), sianosis (-).

110/menit, i/t cukup30x/menit36,8ºC

Mesosefal, LK:45 cm, UUB datar, belum menutupKonjungtiva palpebra anemis (-), sklera ikterik (-), Nafas cuping (-), sekret (-)Bibir sianosis (-), selaput lendir kering (-), lidah kotor (-), gusi berdarah (-)T1-1 ,faring hiperemis (-) Simetris, pembesaran limfonodi (-).Simetris, statis, dinamis, retraksi suprasternal (-), intercostal (-),epigastrial (-).BJ I-II normal, bising (-), gallop(-)SD vesikuler, ronkhi (+/+), wheezing (-/-), suara hantaran (-/-)

datar, lemas, venektasi (-),

Assesment : Bronkiolitis Akut

- Infus IVFD D5+ NaCl 15 % 9

tetes mikro/menit

- - Injeksi Gentamicin 2 x 12

mg

- Injeksi Dexamethason 3 x 1

mg

- Nebu Ventolin + NaCl 3 cc

2x/hari

- O2 Nasal 1L/m

- Ambroxsol 3 x 4 mg

Tanggal Pemeriksaan Fisik Laboratorim, Konsul Assesment Terapi, Program

HeparLienEkstremitas

bising usus (+) normal. tak teraba. tak teraba Sup Inf Sianosis -/- -/-Akral dingin -/- -/-Capillary refil < 2 II < 2 II Reflekfisiologis + / + + /+ Reflekpatologis -/- -/- Clonus -/-Kekuatan 555 555Tonus +N/+N +N/+N

30

BAB III

PEMBAHASAN

Bronkiolitis diartikan sebagai penyakit obstruktif akibat inflamasi akut pada saluran

nafas kecil (bronkioli) yang sering terjadi pada anak di bawah 2 tahun dengan insiden

tertinggi umur 2-8 bulan. Pada kasus terjadi pada anak yang berusia 8 bulan.

Pada penderita ini data-data yang mendukung diagnosis bronkiolitis adalah riwayat

batuk pilek sebelumnya, ada panas subfibril, sesak, tetapi tidak tampak sianosis dan tidak ada

riwayat mengi sebelumnya.

Pemeriksaan fisik didapatkan dispenu dengan frekuensi pernafasan 55x /menit, suhu

37 oC, terdapat retraksi epigastrial. Pada auskultasi paru terdapat ronchi kasar, wheezing,

hantaran, eksperium memanjang. Pada pemeriksaan laboratorium terdapat trombositosis,

lekosit dan hitung jenis terdapat kesan limfosit teraktivasi dan gambaran infeksi virus.

Diagnosis banding yang paling lazim dari bronkiolitis adalah asma bronkiale dan

bronkopneumoni. Diagnosis banding asma bronkiale dapat disingkirkan atas dasar bahwa

pada penderita ini tidak dijumpai keadaan yang mendukung asma berupa : serangan/episode

sesak yang berulang-ulang, mulainya mendadak tanpa infeksi yang mendahului, ekspirasi

yang sangat memanjang. Asma juga jarang terjadi pada umur kurang dari satu tahun dan

memberikan respon yang baik terhadap suntikan adrenalin atau albuterol aerosol, tetapi

penderita memiliki keluarga yang menderita asma bronkial.

Sedangkan diagnosis banding bronkopneumoni memang cukup sulit, namun keadaan

klinis dan laboratoris tidak mendukung ke arah bronkopneumoni, yaitu pada bonkopneumoni

panasnya tinggi, dari auskultasi paru didapatkan ronki basah halus nyaring, jarang atau tidak

dijumpai wheezing maupun eksperium memanjang. Derajat sesaknya juga sesuai dengan

temuan klinis (banyaknya infiltrat paru), sedangkan penderita ini terjadi sesak tanpa sianosis.

Bronkopneumoni tidak berespon terhadap pemberian kortikosteroid.

Pemeriksaan penunjang lain pada penderita ini belum diperlukan. Analisa gas darah

(BGA) tidak dilakukan dengan alasan sudah terjadi perbaikan klinis setelah pemberian

nebulizer. Deteksi agen penyebab dengan serologi masih jarang dilakukan. Demikian pula

screening tuberkulosis dengan PPD 5 TU atau BCG tes tidak dilakukan karena anamnesis

maupun pemeriksaan fisik tidak mendukung.

31

Pada penatalaksanaan pada kasus ini diberikan :

Oksigen yang dilembabkan, kecepatan aliran 1 – 2 liter/menit atau konsentrasi 28 %,

bertujuan untuk mengatasi hipoksemia, mengurangi kehilangan air insensibel akibat takipnu,

mengurangi dispnu, menghilangkan kecemasan dan kegelisahan. Jika keadaannya lebih berat,

oksigen sebaiknya diberikan dengan konsentrasi 40 % menggunakan head box yang dipantau

dengan pulse oximetri, dan kemudian konsentrasi oksigen diturunkan sesuai perbaikan

saturasinya. Penderita ini tidak terdapat sesak nafas yang hebat, tidak sampai sianosis,

sehingga diberikan oksigen 28% dengan masker atau nasal canul.

Menjamin hidrasi yang adekuat melalui cairan parenteral maupun enteral untuk

mengimbangi pengaruh dehidrasi akibat takipnu. Penderita ini selama sakit makan dan

minumnya berkurang, sehingga diberi cairan parenteral berupa infus Infus IVFD D5+ NaCl

15 % 9 tetes mikro/menit.

Pemberian kortikosteroid sampai saat ini masih kontroversial. Umumnya diberikan pada

kasus yang gawat / kritis.Titik tangkap kortikosteroid adalah sebagai anti inflamasi sehingga

dapat meringankan obstruksi pada bronkioli. Obat yang dipilih adalah deksametason inisial

0,5 mg/KgBB, dilanjutkan 0,5 mg/KgBB/hari dibagi 3 – 4 dosis, atau hidrokortison 5 – 10

mg/KgBB/hari tiap 6 – 8 jam sampai klinis membaik. Pada kasus diberikan Injeksi

Dexamethason 3 x 1 mg.

Penderita ini datang dengan distres respirasi, maka diberikan bronkodilator nebulizer

salbutamol ditambah NaCl 3 cc diberikan 2 kali perhari.

Obat mukolitik dipertimbangkan pemberiannya dalam kaitannya dengan adanya

hipersekresi mukus. Penderita ini diberi ambroksol 3 x 4 mg. Ambroksol adalah suatu

benzylamin derivat vasicine, berguna dalam meningkatkan sekresi mukus dan mengurangi

viskositas/kekentalannya serta memperbaiki transport mukosilier.

Antibiotika sebenarnya tidak mempunyai nilai terapeutis, tetapi karena sulit dibedakan

dengan pneumonia bakteri, antibiotika tetap diberikan secara empris, terutama pada keadaan

umum yang kurang membaik dan kecurigaan adanya infeksi sekunder. Biasanya diberikan

kloramphenicol atau gentamicin dan dilanjutkan peroral jika sesak hilang, dosis disesuaikan.

Bila dapat diberikan langsung peroral eritromisin 30-50 mg/kgBB/24 jan dalam 2-3 dosis.

Pada penderita diberikan gentamicin 2 x 12 mg perhari.

32

BAB IV

RINGKASAN

Pada tulisan ini dilaporkan kasus seorang anak dengan bronkiolitis dan gizi baik

dengan pembahasan, diagnosis, pengelolaan dan prognosisnya.

Telah dilaporkan seorang anak laki-laki, 8 bulan, BB 6400 gram, PB 67 cm. Pada

anamnesis didapatkan bahwa anak mengalami batuk dan sesak yang dalam 7 hari terus

bertambah.

Pada pemeriksaan fisik, didapatkan anak sadar, tampak sesak, tidak ada sianosis,

napas spontan adekuat. Anak panas , laju pernapasan meningkat, retraksi epigastrial. Pada

pemeriksaan paru didapatkan suara hantaran, wheezing, eksperium memanjang di kedua

lapangan paru. Pemeriksaan jantung dan lain-lain dalam batas normal.

Pada pemeriksaan laboratorium darah ditemukan gambaran trombositosis. Pada

pemeriksaan antropometri dengan Z score, anak digolongkan sebagai gizi baik .

Berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan yang dilakukan, anak didiagnosis

bronkiolitis. Pengelolaan pada penderita ini secara umum terdiri dari keperawatan,

medikamentosa dan pemberian diet. Selama perawatan didapatkan perbaikan keadaan

umum penderita. Edukasi diberikan pada keluarga penderita mengenai segala usaha untuk

mencegah kemungkinan timbulnya penyakit yang sama atau penyakit yang lainnya.

33

DAFTAR PUSTAKA

1. Sidhartani M. Bronkiolitis. Dalam : Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi pertama.

Jakarta: UKK Respirologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008: 333-347

2. Wastoro D. Infeksi pernafasan akut pada anak. Dalam : Kuliah pulmonologi tahun

1996. Semarang. Bagian IKA FK UNDIP. 1996 : 1 – 8

3. Staf Pengajar FK UI. Bronkiolitis akut. Dalam : Buku kuliah ilmu kesehatan anak jilid

3. Jakarta. Bagian IKA FK UI. 1991 : 1233 – 1234

4. Trastotenojo MS, Sidhartani M, Wastoro D. Pulmonologi anak. Dalam : Hartantyo I,

Susanto R, Tamam M dkk editor. Pedoman pelayanan medik anak edisi kedua.

Semarang. Bagian IKA FK UNDIP. 1997 : 83 – 85

5. Mansjoer, Suprohaita, dkk. Bronkiolitis akut. Dalam : Kapita selekta kedokteran jilid

2. Jakarta. Media Ausculapius FK UI. 2000 : 468 – 469

6. A. P. Uyan, H. Ozyurek, M. Keskin, Y. Afsar & E. Yilmaz : Comparison Of Two

Different Bronchodilators In The Treatment Of Acute Bronchiolitis . The Internet

Journal of Pediatrics and Neonatology. 2003 Volume 3 Number 1

7. Setiawati Landia, MS Makmuri. Tatalaksana Bronkiolitis (Treatment Bronchiolitis).

Dalam Continuing Education, Ilmu Kesehatan Anak XXXV, Kapita Selekta Ilmu

Kesehatan Anak IV, Hot Topics in Pediatrics; FK UNAIR, Surabaya : 2005. Diunduh

dari www.pediatrik.com

8. Zorc JJ, Hall CB, Bronchiolitis: recent evidence on diagnosis and management.

Paediatrics 2010; 125; 342-49.

9. Carroll KN, et.all. increasing burden and risk factor for bronchiolitis. Related medical

visits in infants enrolled in a state health care insurance plan. Pediatrics 2008; 122;

58-64.

10. Louden Mark. Pediatrik, bronchiolitis. Diunduh dari www. emedicine.medscape.com

11. Zain, Magdalena sidhartani.Bronkiolitis. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi pertama.

Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010. Hal. 334-343

12. DeNicola CL. Bronchiolitis. 2010 (cited 5 Mei 2010). Diunduh dari

http://emedicine.medscape.com/article/961963-overview

13. Orenstein DM. Bronkiolitis. Dalam : Behrman, Kliegman, Arvin editor. Nelson, ilmu

kesehatan anak edisi 15. Jakarta. EGC. 2000 : 1484 – 1486

14. McIntosh K. Virus sinsitial respiratori. Dalam : Behrman, Kliegman, Arvin editor.

Nelson, ilmu kesehatan anak edisi 15. Jakarta. EGC. 2000 : 1112 – 1114

34

15. Guyton. Buku ajar fisiologi kedokteran jilid II edisi 7. Jakarta. EGC. 1994 : 158 –

159

16. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi jilid II edisi 4. Jakarta. EGC. 1995 : 645 – 648

17. Soemantri AG, Tamam M. Hematologi – Onkologi . Dalam : Hartantyo I, Susanto R,

Tamam M dkk editor. Pedoman pelayanan medik anak edisi kedua. Semarang. Bagian

IKA FK UNDIP. 1997 : 149 – 172