laporan kasus 2 erupsi akibat obat
DESCRIPTION
Dari dokter IGD Os diberi obat. Setelah satu hari Os meminum obat dari RS, Os mengeluhakan timbul bentol-bentol kemerah di seluruh tubuh dan terasa gatal.Setelah dirawat di rumah sakit koja, os ada meminum obat kembali, dan setelah meminum obat tersebut, bentol-bentol diseluh tubuh muncul kembali dan sedikit lebih parah.TRANSCRIPT
Putri Chairan
112014007
Erupsi Obat Alergik
Definisi
Erupsi obat alergi atau produk diagnostik merupakan kasus yang sering diitemukan dokter dalam
tatalaksana pasien sehari-hari. Erupsi Obat Alergik adalah reaksi alergik pada kulit atau daerah
mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang biasanya sistemik. Merupakan
reaksi hipersensitivitas yang ditandai oleh satu atau lebih makula yang berbatas jelas, berbentuk
bulat atau oval dengan ukuran lesi bervariasidari beberapa milimeter sampai beberapa
sentimeter. Terdapat dua jenis reaksi simpangan obat yaitu reaksi simpang obat, yaitu reaksi tipe
A yang dapat dipredileksi karena sifat farmakologi obatnya, dan tipe B yaitu reaksi yang tidak
dapat diprediksi dan terjadi pada populasi tertentu, misalnya idiosinkrasi dan reaksi
hipersensitivitas.
Epidemiologi
Angka kejadian erupsi obat alergi meningkat, disebabkan konsumsi obat meningkat pada
masyarakat, insiden erupsi obat alergi sekitar 6-10 % dari keseluruhan reaksi simpang obat yang
dilaporkan.
Etiologi
Jenis obat penyebab alergi sangat
Tingginya angka kejadian alergi obat tampak berhubungan erat dengan kekerapan
pemakaian obat tersebut.
Diduga risiko terjadinya reaksi alergi sekitar 1 – 3% terhadap sebagian besar jenis obat.
Pada umumnya laporan tentang obat tersering penyebab alergi adalah golongan penisilin,
sulfa, salisilat dan pirazolon.
Obat lain yang sering pula dilaporkan adalah analgetik lain (asam mefenamat),
antikonvulsan (dilantin, mesantoin, tridion), sedatif (terutama luminal) dan trankuilizer
(fenotiazin, fenergan, klorpromazin, meprobamat).
Tetapi, alergi obat dengan gejala klinis berat paling sering dihubungkan dengan penisilin
dan sulfa.
Patofisiologi
Mekanisme terjadinya erupsi alergi obat dapat terjadi secara nonimunologik dan
imunologik (alergik), tetapi sebagian besar merupakan reaksi imunologik. Pada
mekanisme imunologik, erupsi alergi obat terjadi pada pemberian obat kepada pasien
yang sudah tersensitasi dengan obat tersebut. Obat dengan berat molekul yang rendah
awalnya berperan sebagai antigen yang tidak lengkap (hapten). Obat atau metabolitnya
yang berupa hapten ini harus berkonjugasi dahulu dengan protein, misalnya jaringan,
serum atau protein dari membran sel untuk membentuk antigen yaitu kompleks hapten
protein. Obat dengan berat molekul yang tinggi dapat berfungsi langsung sebagai antigen
lengkap. Sehingga mengakibatkan terjadinya erupsi obat
MANIFESTASI KLINIS
Tipe I (Hipersensivitas Tipe Cepat)
Manifestasi yang terjadi merupakan efek mediator kimia akibat reaksi antigen dengan
IgE yang telah terbentuk menyebabkan kontraksi otot polos. Meningkatnya permeabilitas
kapiler serta hipersekresi kelenjar mukus.
a) Kejang bronkus gejalanya berupa sesak, kadang – kadang kejang bronkus disertai
kejang laring. Bila disertai edema laring keadaan karena pasien tidak dapat atau sangat
sulit bernapas
b) Urtikaria
c) Angiodema
d) Pingsan dan hipotensi
Pada tipe I ini terjadi beberapa fase yaitu :
a. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE;
b. Fase aktivasi yaitu fase yang terjadi karena paparan ulang antigen spesifik. Akibat
aktivasi ini sel mast basofil mengeluarkan kandungan yang berbentuk granual yang dapat
menimbulkan reaksi;
c. Fase efektor yaitu fase terjadinya respon imun yang kompleks akibat pelepasan
mediator.
Hipersensitivitas tipe 2
Reaksi hipersensivitas tipe II atau reaksi sitotaksik terjadi karena terbentuknya IgM atau
IgG oleh pajanan antigen. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel – sel yang memiliki
reseptornya (FcgR).
Manifestasi klinis reaksi alergi tipe II umumnya berupa kelainan darah seperti anemia
hemolitik, trombositopena, eosinofilia dan granulasitopenia. Nefritis interstisial dapat
juga merupakan reaksi alergi tipe ini.
Hipersentivitas Tipe 3
Reaksi ini disebut reaksi kompleks imun dan akan terjadi bila kompleks ini mengendap pada
jaringan. Antibodi yang berperan di sini ialah IgM dan IgG. Kompleks ini akan mengaktifkan
pertahanan tubuh yaitu dengan penglepasan komplemen.
a. Demam;
b. Limfadenopati;
c. Kelainan sendi, artralgia dan efusi sendi;
d. Urtikaria, angiodema, eritema, makulopapula, eritema multiforme. Gejala tersebut
sering disertai pruritis;
e. Lainnnya seperti kejang perut, mual, neuritis optik, glomerulonefritis, sindrom lupus
eritematosus sistemk serta vaskulitis.
Gejala tadi timbul 5 – 20 hari setelah pemberian obat, tetapi bila sebelumnya pernah
mendapat obat tersebut gejalanya dalam waktu 1 – 5 hari.
Hipersensitivitas Tipe 4
Reaksi tipe IV disebut Delayed Type Hypersensitivity (DTH) juga dikenal sebagai Cell Mediated
Imunity (reaksi imun seluler). Pada reaksi ini tidak ada peranan antibodi. Reaksi terjadi karena
respon sel T yang telah disensitasi oleh antigen tertentu. Manifestasi klinis reaksi alergi tipe IV
dapat berupa reaksi paru akut seperti demam, sesak, batuk, infiltrat paru dan efusi pleura.
Berbagai jenis Delayed Type Hypersensitivity (DTH) antara lain :
a. Cutaneous Basophil Hypersensitivity;
b. Hipersensivitas kontak (kontak dermatits);
c. Reaksi tuberkulin;
d. Reaksi granuloma.
Penatalaksanaan
A. Melindungi kulit, pemberian obat yang diduga menjadi penyebab erupsi kulit harus
dihentikan segera;
B. Menjaga kondisi pasien dengan selalu melakukan pengawasan untuk mendeteksi
kemungkinan timbulnya erupsi yang lebih parah atau relaps setelah berada pada fase pemulihan;
C. Menjaga kondisi fisik pasien termasuk asupan nutrisi dan cairan tubuhnya. Berikan cairan via
infus bila perlu. Pengaturan keseimbangan cairan elektrolit dan nutrisi penting karena pasien
sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan tenggorok serta kesadaran dapat
menurun. Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya berupa glukosa 5% dan larutan Darrow
Sistemik
1) . Kortikosteroid
Pada EOA ringan dapat diberikan kortikosteroid 0,5 mg/kgbb/hari, sedangkan pada EOA berat
dapat diberikan kortikosteroid 1- 4 mg/kgbb/hari. Selama pemberian kortikosteroid waspadai
efek samping yang terjadi .
2). Antihistamin
Antihistamin terutama diberikan EOA tipe urtikaria dan angioderma. Dapat dberikan sebagai
terapi simtomatis pada EOA berat, misalnya eritroderma atau eksantermatosa
Topikal
Pengobatan topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering atau basah. Jika dalam
keadaan kering dapat diberikan bedak salisilat 2% ditambah dengan obat antipruritus seperti
mentol ½ - 1% untuk mengurangi rasa gatal. Jika dalam keadaan basah perlu digunakan
kompres, misalnya larutan asam salisilat 1%.