laporan analisis obat dalam cairan hayati

21

Click here to load reader

Upload: diyanapusparini

Post on 18-Sep-2015

1.409 views

Category:

Documents


273 download

TRANSCRIPT

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOKINETIKA DASARPERCOBAAN 3ANALISIS OBAT DALAM CAIRAN HAYATI

Disusun Oleh:

Suci Baitul Sodiqomah (G1F013010)Feby Fitria Noor (G1F013012) Diyana Puspa Rini (G1F013014)Aliyah (G1F013016)Fahmi Haqi Agizza (G1F013026)

LABORATORIUM FARMASI KLINIKJURUSAN FARMASIFAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMANPURWOKERTO2015

Analisis Obat dalam Cairan Hayati

A. PENDAHULUAN1. Latar BelakangKetersediaan hayati suatu obat dapat diukur pada keadaan pasien yang bersangkutan (secara in vivo) dengan menentukan kadar dalam plasma darah setelah mencapai keseimbangan antara serum cairan tubuh (keadaan tunak). Ada kolerasi yang baik antara kadar obat dalam plasma dengan efek terapi. Ketersediaan hayati digunakan untuk memberikan gambaran mengenai keadaan dan kecepatan obat diabsorbsi dari bentuk sediaan dan digambarkan dengan kurva kadar waktu setelah obat diminum dan berada pada jaringan biologik atau larutan seperti darah dan urin. Data ketersediaan hayati dapat pula digunakan untuk menentukan :a. Jumlah atau bagian obat yang diabsorbsi dari bentuk sediaanb. Kecepatan obat diabsorbsic. Masa kerja obat berada didalam cairan biologik atau jaringan, bila dihubungkan dengan respon pasiend. Hubungan antara kadar obat dalam darah dengan efektivitas terapi/efektoksik (Anief, 2002).2. Dasar TeoriMetode pengukuran obat dalam media biologis semakin penting untuk banyak kelompok-kelompok sosial. Masalah-masalah yang berhubungan dengan bioavaibilitas, bioekivalensi, pengembangan obat baru, penyalahgunaan obat, farmakokinetika klinik, dan penelitian obat sangat bergantung pada metode analisis (Smith,1981). Dalam sebuah analisis obat dalam cairan hayati, ada hal-hal penting dalam rangka penelitian farmakokinetika yang digunakan sebagai parameter-parameter antara lain yaitu:2.1 tetapan (laju) invasi atau tetapan absorpsi.2.2 volume distribusi menghubungkan jumlah obat didalam tubuh dengan konsentrasi obat (C) di dalam darah atau plasma.2.3 ikatan protein2.4 tetapan (laju) eliminasi dan waktu paruh dalam plasma (t 1/2)2.5 klirens renal, ekstrarenal dan total2.6 luas dibawah kurva dalam plasma (AUC), dan2.7 ketersediaan hayati (Mutshler, 1991).Dalam penetapan kadar obat dalam darah (cairan tubuh), metode yang digunakan harus tepat, dan dalam pengerjaannya diperlukan statu ketelitian yang cukup tinggi agar diperoleh hasil yang akurat. Sehingga nantinya dapat menghindari kesalahan yang fatal. Dalam analisis ini, kesalahan hasil tidak boleh lebih dari 10% (tergantung pula alat apa yang digunakan dalam analisis). Akurasi yang baik untuk bahan obat dengan kadar kecil adalah 90-110%, akurasi untuk kadar obat yang lebih besar biasanya disepakati 95-105%, akurasi untuk bahan baku biasanya disepakati 98-102%, sedangkan untuk bioanalisis rentang akurasi 80-120% masih bisa diterima (Ritschel,1976). Dalam menaksir ketersediaan hayati ada tiga parameter yang biasanya diukur untuk menggambarkan profil konsentrasi obat dalam darah dan waktu dari obat yang diberikan, yaitu :a. Konsentrasi puncak (C max)Menggambarkan konsentrasi obat tertinggi dalam sirkulasi sistemik. Konsentrasi ini tergantung pada konstanta absorbsi, dosis volume distribusi dan waktu pencapaian konsentrasi obat maksimum dalam darah. Konsentrasi puncak harus di atas konsentrasi efektif minimum dan tidak melebihi konsentrasi toksik minimun.b. Waktu untuk konsentrasi puncak (t max)Menggambarkan lamanya waktu tersedia untuk mencapai konsentrasi puncak dari obat dalam sirkulasi sistemik. Parameter ini tergantung pada konstanta absorbsi yang menggambarkan permulaan dari level puncak oleh respon biologis dan bisa digunakan sebagai perkiraan kasar laju absorbsi.c. Luas daerah di bawah kurva (AUC)Total area di bawah kurva konsentrasi vs waktu yang menggambarkan perkiraan jumlah obat yang berada pada sirkulasi sistemik. Parameter ini menggambarkan jumlah ketersediaan hayati dan bisa digunakan sebagai perkiraan kasar jumlah obat diabsorbsi (Syukri, 2002).Validasi metode menurut United States Pharmacopeia (USP) dilakukan untuk menjamin bahwa metode analisis akurat, spesifik, reprodusibel, dan tahan pada kisaran analit yang akan dianalisis. Suatu metode analisis harus divalidasi untuk melakukan verifikasi bahwa parameter-parameter kinerjanya cukup mampu untuk mengatasi problem analisis, karenanya suatu metode harus divalidasi, ketika:a. Metode baru dikembangkan untuk mengatasi problem analisis tertentu.b. Metode yang sudah baku direvisi untuk menyesuaikan perkembangan atau karena munculnya suatu problem yang mengarahkan bahwa metode baku tersebut harus direvisi.c. Penjaminan mutu yang mengindikasikan bahwa metode baku telah berubah seiring dengan berjalannya waktu.d. Metode baku digunakan di laboratorium yang berbeda, dikerjakan oleh analis yang berbeda, atau dikerjakan dengan alat yang berbeda.e. Untuk mendemonstrasikan kesetaraan antar dua metode, seperti antara metode baru dan metode baku (Gandjar, 2007).3. Tujuan PercobaaanMemahami langkah-langkah analisis obat dalam cairan hayati.

B. ALAT DAN BAHANAlat yang digunakan dalam praktikum adalah labu takar 250 ml, pipet volumetrik, pipet ukur, tabung reaksi/flakon, spektrofotometer dan kuvet spektrofotometer, skaple/silet, alat pemusing/sentrifuge, vortex, stopwatch. Sedangkan bahan yang digunakan yaitu asam trikloroasetat (TCA 20%), natrium nitrit 0,1%, amonium sulfamat 0,5%, N(1-Naftil) etiledimin 0,1%, sulfametoksazol, antikoagulan, darah (tikus).

C. CARA KERJA1. Penentuan Kadar Sulfametoksazola. Prosedur penetapan Kadar Bratton-Marshall

Larutan Stok Sulfametoksazol

Ditimbang sulfametoksazol Dilarutkan NaOH 1 N Diencerkan dengan aquadest ad 100 ml Kurva Baku InternalDiperoleh kadar 25, 50, 100, 200 dan 400g/ml

Ditambah 250l larutan stok sulfametoksazol dalam darah Diperoleh kadar 0, 25, 50, 100, 200 dan 400400g/ml Dicampur homogen Ditambahkan 2,0 ml TCA Sampel Darah InvivoDivortex

Ditambah 250l auadest Dicampur homogen Ditambah 2,0 ml TCA 5% Divortex Disentrifuge selama 5 menit pada 2500 rpm Diambil beningan 1,50 ml Diencerkan dengan aquadest 2,0 ml Ditambahkan larutan NaNO (0,1 ml; 0,1%) Didiamkan 3 menit Ditambahkan larutan amonium sulfamat (0,2 ml; 0,5%) Didiamkan 2 menit Ditambahkan larutan N (1-naftil) etilendiamin (0,2 ml; 0,1) Dicampur Didiamkan 5 menit di tempat gelap HasilDipindahkan ke dalam kuvet dan dibaca intensitas warna pada spektrofotometer 545 nm

b. Mencari Waktu Larutan Sulfametoksazol dengan Memberikan Resapan Tetap

Larutan Sulfametoksazol kadar 100 dan 400g/ml

Diukur serapannya pada 545 nm setiap 5 menit selama 1 jam Dibuat kurva Ditetapkan waktu resapan

Hasil

c. Menetapkan Panjang Gelombang Larutan Sulfametoksazol dengan Resapan Maksimum

Intensitas warna larutan obat 100 dan 400g/ml

Diukur resapannya dari 500 s/d 580 nm

Hasil

d. Larutan sulfametoksazol (25 s/d 400g/mlMembuat Kurva Baku Sulfametoksazol

Diukur serapannya HasilDibuat kurva,persamaan garis dan dihitung nilai regresi

2. Menentukan Perolehan Kembali, Kesalahan Acak, dan Kesalahan Sistematik (West gard, 1978; Brettsheider dan Gloccke, 1983)

Larutan Sulfametoksazol dalam darah 50, 100 dan 300g/ml

Dibuat 3 replikasi Diambil 0,1 ml tiap kadar Ditambahkan air suling 3,9 ml Diproses Dihitung kadar HasilDihitung simpangan baku

D. HASIL PERCOBAANKlpkKadar (mcg/ml)absorbansiKadar terukur (mcg/ml)% recoveryKesalahan sistematik (%)Standar deviasi dan kesalahan acak

12000,218780390-290200 mcg/mlSD = 324,162Rata-rata = 480,2Kesalahan acak = 67,498 %

4000,273935233-133

6000,242847141-41

8000,205743928

10000,1225095149400 mcg/mlSD = 471,727Rata-rata = 728,8Kesalahan acak = 64,726 %

22000,154600300-200

4000,105461,9115-15

6000,065349,358,241,8

8000,098442,255,244,8600 mcg/mlSD =466,74Rata-rata = 630,05Kesalahan acak = 74,07 %

10000,053315,531,568,5

3200-0,05122,511,2588,75

4000,029233,858,4541,55

600-0,06149,324,8875,12800 mcg/mlSD = 388,691Rata-rata =348,205Kesalahan acak = 111,63%

800-0,064-14,08-1,76101,76

1000-0,087-78,87-7,887107,887

42000,125518,3259,15-159,15

4000,3971284,5321,125-221,1251000 mcg/mlSD = 283,3Rata-rata = 216,10Kesalahan acak = 131,33 %

6000,3581174,6195,77-95,77

8000,161619,777,4622,54

10000,084402,840,2859,72

E. PEMBAHASANKetersediaan hayati digunakan untuk memberikan gambaran mengenai keadaan dan kecepatan obat diabsorbsi dari bentuk sediaan dan digambarkan dengan kurva kadar waktu setelah obat diminum dan berada pada jaringan biologik atau larutan seperti darah dan urin. Obat yang digunakan adalah sulfametoksazol yang dianalisis dalam darah tikus.Sulfametoxazol merupakan suatu derivat dari sulfisoxazol yang memiliki daya absorpsi dan ekskresi yang lebih lambat. Sulfametoxazol mempunyai waktu paruh selama 8,6 jam. Dapat diabsorpsi dengan hampir sempurna, yaitu sebesar 95%. Konsentrasi maksimal dalam plasma akan tercapai 4 jam setelah pemberian. Pada waktu 24 jam setalah pemberian, 25-50% berada dalam dan setelah 78 jam, 85% akan diekskresikan melalui dalam bentuk utuh/aktif (Doller Y, 1991).Analisis ini diawali dengan membuat larutan stok sulfametoksazol dalam beberapa seri konsentrasi yaitu200,400,600,800 dan 1000g/ml. Pembuatan larutan stok dilakukan dengan cara sulfametoksazol yang telah ditimbang sesuai perhitungan dilarutkan dalam NaOH 1N. Hal ini dilakukan karena sulfametoxazol bersifat tidak larut dalam air, tetapi dapat larut dalam NaOH encer. Berdasarkan sifat kelarutannya, maka larutan obat ini dibuat dengan cara melarutkan terlebih dahulu sulfametoxazol dalam NaOH dan kemudian diencerkan dengan menggunakan aquadest hingga konsentrasi yang dikehendaki (Depkes RI, 1995).Kemudian darah (blanko) ditambahkan larutan stok sulfametoksazol dan ditambahkan TCA. Penambahan TCA berfungsi untuk memberikan suasana asam bagi reaksi diazotasi; sebagai donor proton untuk reaksi selanjutnya, serta merupakan senyawa yang dapat menghentikan kerja enzim yang dapat me-metabolisme obat sekaligus akan menyebabkan denaturasi protein plasma. TCA akan mengikat protein dan mengendapkannya saat sentrifugasi sehingga keberadaan protein tidak mengganggu pembacaan absorbansi (Elisa, 2013). Kemudian divortex untuk mempercepat proses homogenisasi dan disentrifugasi untuk menyempurnakan pengendapan. Setelah disentrifus akan didapatkan supernatan cairan bening. Cairan bening yang diambil harus tanpa endapan. Hal ini bertujuan untuk mengambil obat yang bebas dari protein plasma karena obat yang terikat pada protein plasma tidak akan aktif secara farmakologik sehingga tidak memiliki efek terapeutik atau dengan kata lain akan dapat menyebabkan data hasil pengamatan tidak valid (Anggraeni, 2010).Supernatan yang didapat ditambahkan NaNO dan didiamkan. Penambahan NaNO ini berfungsi sebagai reaksi diazotasi. Reaksi diazotasi yaitu pembentukan garam diazonium yang sangat reaktif. NaNOakan membentuk NaOH dan HNO2 dengan adanya H2O dalam darah. Lalu HNO2 terbentuk akan membentuk ion nitronium dengan adanya keasaman dari TCA. HNO2 bersifat oksidator, dapat mengoksidasi senyawa kopling hasil reaksi antara garam diazonium dengan N-1-naftil etilen diamin. Sehingga kelebihan HNO2 harus dihilangkan dengan cara menambahkan 0,2 ml ammonium sulfamat 0,5%. Ammoium sulfamat merupakan suatu reduktor sehingga dapat bereaksi redoks dengan HNO2 (Hart, 2003).Setelah itu ditambahkan N-1-naftil etilen diamin sehingga terbentuk senyawa kopling yang mempunyai ikatan rangkap terkonjugasi yang lebih panjang. Lalu ditempatkan ditempat gelap agar pembentukan warna lebih sempurna. Adanya cahaya dapat memutus ikatan konjugasinya sehingga ikatannya menjadi lebih pendek dan tidak dapat dideteksi dengan UV-Vis. Kemudian akan terbentuk warna ungu yang menandai adanya reaksi kopling. Mekanisme reaksi diazotasi dan pembentukan senyawa kopling :

(Hart, 2003).Setelah itu, dilakukan pengukuran panjang gelombang maksimum dan penentuan operating time. Namun, pada percobaan ini tidak dilakukan kedua hal tersebut hanya saja pada saat penambahan N-1-naftil etilen diamin didiamkan selama 5 menit yang diibaratkan sebagai operating time. Dan dilakukan pengukuran absorbansi menggunakan spektorofometer. Berdasarkan pengukuran agar nilai-nilai parameter kinetic obat dapat dipercaya, metode penetapan kadar harus memenuhi berbagai kriteria, yaitu: selektif atau spesifik, sensitive atau peka, teliti dan cepat. Dari data yang didapat kemudian dihitung menghitung nilai kesalahan sistemik, kesalahan acak, dan perolehan kembali. Nilai perolehan kembali (recovery) merupakan parameter atau tolak ukur efisiensi analisis yang menggambarkan akurasi (ketelitian) metode yang digunakan. Ketelitian ditunjukan oleh kemampuan metode memberikan hasil pengukuran sedekat mungkin dengan nilai sesungguhnya (true value). Ini dapat diketahui dari harga perolehan kembali (recovery) yang dinyatakan sebagai % error (harga sesungguhnya dikurangi harga uji dibagi harga sesungguhnya, dikali 100%). Perolehan kembali merupakan tolok ukur efisiensi analisis (Hakim, 2014; Pashladkk, 1986).

PK / Recovery = Kadar terukur x 100 % Kadar diketahui

Dari perhitungan didapat nilai perolehan kembali pada kadar 200, 400, 600, 800, dan 1000g/ml berturut-turut sebesar 51%, 300%, 115%, 58,2%, 55,2% dan 31,5%. Dari kelima nilai yang diperoleh tidak ada yang memenuhi syarat data akurasi. Karena agar mendapat akurasi yang baik nilai recovery yang didapat harus (75-90%) (Pasha dkk., 1986).Beberapa cara untuk menghindari kesalahan pada parameter nilai perolehan kembali: Sentrifugasi yang dilakukan harus mampu mengendapkan protein plasma dan tidak menyebabkan hemolisis pada sampel darah, yaitu pecahnya sel darah merah sehingga komponen-komponen intrasel keluar tercampur dengan plasma sehingga tidak mengganggu proses absorbansi sampel. Saat pengambilan supernatant hasil sentrifugasi, jangan sampai endapan ikut terambil. Pengukuran sampel dan latutan pereaksi harus tepat. Pemakaian alat yang baik dan benar sesuai prosedur kerja. Mengkondisikan sampel dan pereaksi tidak terkontaminasi.(Anggraeni, 2010)Syarat lain untuk mengetahui akurasi dapat dilihat dari nilai kesalahan sistemik. Kesalahan sistematik merupakan kesalahan yang mempunyai nilai definitif (nilai tertentu). Hasil percobaan dapat mengarah ke arah yang lebih kecil atau arah yang lebih besar dari rata-rata. Kesalahan sistematis bersifat konstan dan berhubungan dengan ketelitian (akurasi). Kesalahan jenis ini mengakibatkan penyimpangan tertentu dari mean . Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kesalahan sistematik, antara lain :1. Kesalahan personil dan operasi2. Kesalahan alat dan bahan3. Kesalahan metode(Gandjar, 2007)Persyaratan untuk kesalahan sistemik yaitu kurang dari10%. Namun pada praktikum ini nilai kesalahan sistemik yang didapat dari konsentrasi 200, 400, 600, 800, dan 1000g/ml adalah 49%; -200%; -15%; 41,8 %; 44,8% dan 68,5%. Dari nilai yang diperoleh hasil bahwa pengukuran belum memiliki akurasi yang baik karena kesalahan sistemik yang didapat lebihdari 10% (Pasha dkk., 1986).Selanjutnya dilakukan perhitungan kesalahan acak sebagai parameter untuk ketepatan analisis yaitu presisi. Kesalahan acak atau disebut juga kesalahan yang tidak tergantung (indeterminate error) merupakan kesalahan yang nilainya tidak dapat diramalakan dan tidak ada aturan yang mengaturnya, serta nilainya berfluktuasi. Kesalahan acak merupakan jenis kesalahan yang selalu terjadi sebagai akibat adanaya sedikit variasi yang tidak dapat dikontrol dalam pelaksanaan prosedur. Kesalahan acak dapat digambarkan sebagai kurva normal ( Gaussian curve ) (Gandjar,2007).Ketepatan (precision) menggambarkan hasil yang berulang-ulang tidak mengalami perbedaan hasil (reprodusibilitas data). Dengan kata lain, ketepatan menunjukkan kedekatan hasil-hasil pengukuran berulang. Ketepatan pengukuran hendaknya diperoleh melalui pengukuran ulang(replikasi) dari berbagai konsentrasi obat dan melalui pengukuran ulang kurva konsentrasi standar yang disiapkan secara terpisah pada hari yang sama. Nilai kesalahan acak yang diperoleh masing-masing dari konsentrasi 200, 400, 600, 800, dan 1000g/ml adalah 67,498%; 64,726%; 74,07%; 111,63%; 131,33%. Dari hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa pengukuran belum memiliki presisi yang baik. Hal ini disebabkan nilai kesalahan acak seharusnya kurang dari 10% untuk menghasilkan pengukuran dengan presisi yang baik (Pasha dkk., 1986).Dari perhitungan ketiga parameter di atas, didapatkan hasil yang jauh dari persyaratan parameter yang baik. Hal ini disebabkan karena ketidaktelitian praktikan.

F. SIMPULANDidapat nilai perolehan kembali pada kadar 200, 400, 600, 800, dan 1000g/ml berturut-turut sebesar 51%, 300%, 115%, 58,2%, 55,2% dan 31,5%. Nilai kesalahan sistemik yang didapat dari konsentrasi 200, 400, 600, 800, dan 1000g/ml adalah 49%; -200%; -15%; 41,8 %; 44,8% dan 68,5%. Nilai kesalahan acak yang diperoleh masing-masing dari konsentrasi 200, 400, 600, 800,dan 1000g/ml adalah 67,498%; 64,726%; 74,07%; 111,63%; 131,33%. Sehingga pengukuran yang dilakukan belum baik karena belum memenuhi persyaratan parameter.

Daftar PustakaAnggraeni, I. I., 2010, Penetapan kadar Medroksiprogesteron Asetat Dalam Plasma Secara In vitro Dengan KCKT, Skripsi, Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.Anief, M., 2002, Perjalanandan Nasib Obat dalam Badan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.Depkes RI, 1995, Farmakope Indonesia Edisi V, Depkes RI, Jakarta.Doller Y, 1991, Therapeutic Drugs, (I), Churchill Livingstone, Edinburg London.Elisa, 2013, Analisis Obat Dalam Berbagal Sampel Biologis, URL :www.elisa-ugm.ac.id diakses tanggal 15 Mei 2015.Gandjar I.G., danRohman A., 2007, Kimia FarmasiAnalisis, PustakaPelajar, Yogyakarta.Hakim, L., 2014, Farmakokinetika, Bursa Ilmu, Yogyakarta.Hart, H., 2003, Kimia Organik, Erlangga, Jakarta.Mutschler, E., 1991, Dinamika Obat : Buku Ajar Farmakologi dan Toksikologi, 36-38, ITB, Bandung.Pasha, L.A., Wright, D.S., danReinlods, D.L., 1986, Bioanalytic Consideration for Pharmacokinetik and Biopharmaceutic Studies, J. Clin, Pharmacol. Ritschel, W. A., 1976, Handbook of Basic Pharmacokinetics, 1st ed., 78, Drug Intelegence Publication Inc. Hamilton, USASmith, R. & Steavary, 1981, Textbook of Biopharmaceutics Analysis A Description of Methods for The Determination of Drug in Biological Fluid, 80, Les & Febiger, PhiladelphiaSyukri Y. 2002. Biofarmasetika. Yogyakarta: UII-Press