laporan akhir penelitian strategis...

34
Kode/Nama Rumpun Ilmu : 424/Perencanaan Wilayah dan Kota Tema : Pengentasan Kemiskinan LAPORAN AKHIR PENELITIAN STRATEGIS NASIONAL PENGEMBANGAN MODEL KOLABORASI PROGRAM SKALA KOTA DENGAN SKALA LINGKUNGAN UNTUK MENDUKUNG KEBERHASILAN PROGRAM PENATAAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN BERBASIS KOMUNITAS (PLP-BK) Tahun ke 3 dari rencana 3 tahun Ketua Peneliti: DR. –Ing. Asnawi, ST (NIDN: 0024077103) Anggota Peneliti: Budi Setiyono, S.Sos., M. Pol. Admin., PhD (NIDN: 0011107102) Mohammad Muktiali, SE., MSi., MT (NIDN: 0024117101 ) UNIVERSITAS DIPONEGORO November 2015 Dibiayai oleh Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi

Upload: nguyenkhanh

Post on 09-Aug-2019

229 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Kode/Nama Rumpun Ilmu : 424/Perencanaan Wilayah dan Kota

Tema : Pengentasan Kemiskinan

LAPORAN AKHIR PENELITIAN

STRATEGIS NASIONAL

PENGEMBANGAN MODEL KOLABORASI PROGRAM SKALA KOTA DENGAN SKALA LINGKUNGAN UNTUK MENDUKUNG KEBERHASILAN

PROGRAM PENATAAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN BERBASIS KOMUNITAS (PLP-BK)

Tahun ke 3 dari rencana 3 tahun

Ketua Peneliti:

DR. –Ing. Asnawi, ST (NIDN: 0024077103)

Anggota Peneliti:

Budi Setiyono, S.Sos., M. Pol. Admin., PhD (NIDN: 0011107102)

Mohammad Muktiali, SE., MSi., MT (NIDN: 0024117101 )

rer

UNIVERSITAS DIPONEGORO November 2015

Dibiayai oleh Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi

i

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ...................................................................................................................................... i

ABSTRAK ........................................................................................................................................ ii

1 PENDAHULUAN......................................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang .................................................................................................................... 1

1.2 Tujuan Penelitian ................................................................................................................ 2

1.3 Luaran dan Sistematika Penelitian ....................................................................................... 3

2 METODE PENELITIAN .............................................................................................................. 5

2.1 Metode dan Pendekatan Penelitian ...................................................................................... 5

2.2 Teknik Pengumpulan Data dan Penentuan Sample ............................................................... 5

2.3 Teknik Analisis Data Interaktif ............................................................................................ 6

2.4 Instrumen Penelitian dan Pengumpulan Data ....................................................................... 7

3 JADWAL PENELITIAN .............................................................................................................. 9

4 LAPORAN KEGIATAN DAN HASIL PENELITIAN .................................................................10

ii

ABSTRAK

Dalam upaya pengentasan kemiskinan dan pengurangan permukiman kumuh, pemerintah (DPU Cipta Karya) telah memperkenalkan Program Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas (PLP-BK). Melalui program ini masyarakat diberdayakan untuk dapat menyusun rencana penataan lingkungan tempat tinggalnya dan mewujudkannya melalui kolaborasi (channeling) program baik dengan pemerintah daerah (kabupaten/kota), propinsi dan pusat dan juga dengan pihak swasta. Namun demikian dari hasil penelitian pendahuluan yang dilakukan menunjukkan bahwa pelaksanaan program PLP-BK ini belum berhasil dijalankan sebagaimana yang diharapkan. Rencana program pembangunan di tingkat kota (citywide development plan) yang disusun melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) dengan rencana program di tingkat desa (neighbourhood development plan) yang disusun melalui program Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas (PLP-BK) belum terkolaborasi secara berarti (significant). Demikian juga dengan pola pelaksanaan kerjasama dengan pihak swasta yang selama ini diterapkan dapat dikatakan masih belum terprogram dengan baik sehingga kurang berkelanjutan atau berdampak jangka panjang dalam upaya pengentasan kemiskinan. Penelitian yang dilaksanakan selama 3 (tiga) tahun ini bertujuan untuk mengembangkan model atau pendekatan program pembangunan kolaboratif baik antara masyarakat dengan pemerintah (APBD) dan tidak menutup kemungkinan juga dengan dunia usaha terutama untuk memanfaatkan dana corporate social responsibility (CSR). Penelitian tahun pertama (2013) telah menghasilkan suatu pemahaman tentang dinamika dan tantangan proses-proses kolaborasi di dalam perencanaan penataan lingkungan permukiman. Penelitian tahun ke dua (2014) telah menghasilkan bentuk-bentuk kolaborasi (sinergi) sumber daya (program) pada tahapan implementasi (perwujudan) rencana program. Pada tahun ke-3 ini kedua hasil penelitian ini akan menjadi masukan untuk menyusun pedoman dan instrumen yang dibutuhkan untuk mendukung atau meningkatkan kinerja program PLP-BK di masa yang akan datang Penelitian ini menggunakan metode penelitian studi kasus dengan mengambil 2 (dua) kasus pelaksana program PLP-BK yang tersebar di 2 kabupaten/kota di Jawa Tengah yaitu: Kelurahan Podosugih Kota Pekalongan dan Kelurahan Kebondalem Kabupaten Kendal. Kedua Kabupaten/Kota ini dipilih karena dinilai berhasil di dalam melaksanakan program PLP-BK ini. Kata kunci: Program Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas (PLP-BK), Lembaga Keswadayaan Masyarakat, dan Perencanaan dan Pembangunan Kolaboratif.

1

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Secara empirik pemenuhan kebutuhan hunian bagi masyarakat di tanah air hampir 90% dilakukan oleh masyarakat secara swadaya (Panuju, 1999). Bila dilihat secara positif, kenyataan ini menunjukkan bahwa sesungguhnya potensi atau peran serta masyarakat di dalam memenuhi kebutuhan huniannya secara mandiri sangatlah besar. Namun demikian secara umum produk hunian yang dibangun secara swadaya (informal) ini secara umum kurang memenuhi kelayakan baik secara teknis, administratif, maupun ekologis. Bahkan lingkungan hunian yang merupakan alternatif terakhir ruang tempat hidup kaum miskin ini sering dikategorikan sebagai lingkungan permukiman kumuh (slums areas) yang tidak hanya tidak layak secara teknis akan tetapi juga bahkan tidak dapat diterima (layak) secara sosial (socially not acceptable). Untuk mengelola permasalahan ini pemerintah (DPU Cipta Karya) akhir-akhir ini (2009) memperkenalkan Program Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas (PLP-BK). Program ini pada dasarnya adalah intervensi lanjut (program peningkatan) dari Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) yang sekarang disebut dengan PNPM Mandiri Perkotaan. Bila intervensi dari program-program P2KP yang dilaksanakan sejak tahun 1999 hingga kini lebih menitikberatkan pada pembangunan manusia maka di dalam program PLP-BK ini lebih menitikberatkan perhatian pada upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan kualitas lingkungan permukiman khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Sebagai intervensi tingkat lanjut, program P2KP Advance ini diharapkan akan dapat meningkatkan kapasitas masyarakat di dalam mengelola lingkungan huniannya secara mandiri. Kemandirian diartikan dimana masyarakat sudah dapat membangun kemitraan dengan berbagai pemangku kepentingan yang lain. Adapun untuk mencapai hal tersebut di dalam program PLP-BK diberikan kegiatan-kegiatan intervensi yang dibagi ke dalam 3 tahap kegiatan: pada tahap pertama masyarakat akan difasilitasi untuk menyusun rencana penataan lingkungan permukiman secara partisipatif dimana hasilnya berupa produk rencana tindak tata bangunan dan lingkungan permukiman. Pada tahap kedua masyarakat akan belajar mewujudkan rencana yang telah disusun tersebut dan tahap selanjutnya masyarakat diharapkan telah mampu membangun kerjasama secara eksternal dengan berbagai pihak baik pemerintah daerah maupun swasta. Dari kajian awal (preliminary study) yang dilakukan dapat diketahui bahwa pada tahapan perencanaan masyarakat telah berhasil menyusun rencana penataan lingkungannya dengan baik, namun demikian patut disayangkan bahwa kolaborasi program-program di tingkat kota (citywide development plan) dengan program di tingkat desa (neighbourhood development plan) belum terlihat secara signifikan. Sehingga hampir dapat dikatakan bahwa pelaksanaan Program PLP-BK tidak akan berpengaruh secara signifikan bagi upaya pengurangan angka kemiskinan atau penataan lingkungan permukiman kumuh di perkotaan. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah mengingat kemampuan sumber daya yang dimiliki masyarakat dan pemerintah daerah yang sangat terbatas maka perlu usaha yang lebih inovatif untuk mencari alternatif-alternatif sumber pembiayaan untuk merealisasi rencana yang disusun tersebut. Salah satunya adalah pemanfaatan program-program tanggungjawab sosial perusahaan yang akhir-akhir ini cukup gencar didorong untuk dapat diberdayakan. Dari latarbelakang pemikiran ini maka penelitian yang diusulkan ini bertujuan untuk mengembangkan model kolaborasi Program Skala Kota dengan Skala Lingkungan dan model kerjasama dunia usaha dan lembaga keswadayaan masyarakat lokal dalam memanfaatkan program-program tanggungjawab sosial perusahaan untuk Mendukung Keberhasilan Program Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas (PLP-BK).

2

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengembangkan model atau pendekatan program pembangunan kolaboratif baik antara masyarakat di tingkat desa (kelurahan) dengan pemerintah (daerah, propinsi, dan pusat) maupun dengan dunia usaha dengan pemanfaatan program-program tanggungjawab sosial perusahaan untuk mendukung keberhasilan program PLP-BK. Dari tujuan umum penelitian yang disebutkan di atas ada 3 (tiga) sasaran atau fokus penelitian yang akan dicapai selama 3 (tiga) tahun, yaitu: Tahun pertama, kajian dinamika dan tantangan proses-proses kolaborasi pada tahapan

perencanaan penataan bangunan dan lingkungan (PBL) antara pemda di tingkat kota (citywide development) dan masyarakat di tingkat desa (neighbourhood development);

Tahun kedua, merumuskan bentuk-bentuk kolaborasi (sinergi) sumber daya (penganggaran program) pada tahapan implementasi (perwujudan) rencana program PBL (pemanfaatan dan pengendalian) antara program pemda pada skala kota dengan program masyarakat (PLP-BK) pada skala lingkungan melalui mekanisme MUSRENBANG;

Tahun ketiga, penyusunan pedoman dan instrumen yang dibutuhkan di dalam tahap perencanaan dan pelaksanaan program secara kolaboratif untuk mendukung atau meningkatkan kinerja program PLP-BK di masa yang akan datang.

Penelitian ini mengambil 2 (dua) lokasi pelaksanaan Program Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas (PLP-BK) yang tersebar di 2 (dua) kabupaten di Jawa Tengah sebagai kasus penelitian. Kedua lokasi ini yaitu: Kelurahan Podosugih Kota Pekalongan dan Kelurahan Kebondalem Kabupaten Kendal. Semua Kota dan kabupaten ini merupakan pelaksana pilot proyek program nasional PLP-BK di Indonesia. Adapun secara substantif penelitian ini menitikberatkan pada kajian pola prosedur perencanaan program pembangunan di daerah atau di tingkat kota (citywide development plan) yang dilakukan melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) dan perencanaan program pembangunan di tingkat desa (neighbourhood development plan) yang dilakukan melalui program Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas (PLP-BK). Demikian juga dengan pola pelaksanaan kerjasama dengan pihak swasta yang selama ini diterapkan dengan berbagai program tanggungjawab sosial perusahaan (CSR). Dari hasil penelitian pendahuluan yang dilakukan dapat dikatakan masih belum ada sinergi program dari semua institusi tersebut sehingga sehingga kegiatan-kegiatan yang selama ini dilaksanaan belum terprogram dengan baik sehingga kurang berkelanjutan atau berdampak jangka panjang dalam upaya pengentasan kemiskinan.

3

Gambar 1: Lokasi Pelaksanaan PLP-BK di Jawa Tengah dan 2 Lokasi Studi

(dilingkari merah)

1.3 Luaran dan Sistematika Penelitian

Sesuai dengan tujuan dan sasaran penelitian yang telah diuraikan di atas maka luaran dari hasil penelitian ini secara substansi adalah tercapainya sasaran-sasaran penelitian sebagaimana telah diuraikan di atas. Adapun secara teknis luaran yang diharapkan adalah terpublikasinya hasil-hasil penelitian ini baik di dalam kegiatan-kegiatan seminar yang didokumentasikan di dalam proceeding seminar maupun di dalam jurnal ilmiah baik nasional maupun internasional dengan sistematika seperti terlihat di dalam gambar 2: Luaran dan Sistematika Pelaksanaan Penelitian setiap Tahun. Bersamaan dengan pelaksanaan penelitian ini, mahasiswa juga akan dilibatkan untuk membantu pelaksanaan penelitian ini dengan memberikan peluang keikutsertaan mahasiswa untuk mengambil beberapa topik (sub topik) yang terkait dengan penelitian ini sehingga diharapkan dapat mempercepat penyelesaian tugas akhir yang diambilnya. Setiap tahun ditargetkan ada 3 mahasiswa S1 atau gabungan dengan S2 yang dapat menyelesaikan tugas akhir atau tesis dengan topik yang terkait dengan penelitian ini.

4

Gambar 2: Luaran dan Sistematika Pelaksanaan Penelitian setiap Tahun

Kajian dinamika dan tantangan proses-proses kolaborasi pada tahapan perencanaan penataan bangunan dan lingkungan antara pemda di tingkat kota dan masyarakat di tingkat komunitas

Bentuk-bentuk kolaborasi sumber daya pada tahapan implementasi rencana program antara program skala kota dengan program masyarakat pada skala lingkungan melalui mekanisme MUSRENBANG

Penyusunan pedoman dan instrumen yang dibutuhkan di dalam tahap perencanaan dan pelaksanaan program secara kolaboratif untuk meningkatkan kinerja program PLP-BK

Fokus Penelitian Tiap Tahun:

Tahun:

Hasil dan Target Luaran:

2013 2014

1 Artikel Terpublikasi pada Jurnal Terakreditasi Nasional

3 Mahasiswa S1 telah Menyelesaikan Tugas Akhir dan Lulus

1 Artikel Terpublikasi pada Jurnal Terakreditasi Internasional

1 Artikel terdiseminasi pada Seminar Nasional/International

3 Mahasiswa S1 telah Menyelesaikan Tugas Akhir dan Lulus

1 Artikel Terpublikasi pada Jurnal Terakreditasi Nasional

1 Artikel terdiseminasi pada Seminar Nasional/International

Buku Pedoman dan Instrumen PLP-BK

3 Mahasiswa S1 Menyelesaikan Tugas Akhir dan Lulus

2015

Tahun I Tahun II Tahun III

5

2 METODE PENELITIAN

2.1 Metode dan Pendekatan Penelitian

Untuk mencapai tujuan penelitian, penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan metode penelitian studi kasus (case study research). Metode ini digunakan untuk menggali (to explore) secara mendalam (in depth) suatu fenomena melalui sebuah kasus (a case) atau beberapa kasus (multiple cases). Adapun yang menjadi objek (kasus) yang akan diteliti di dalam penelitian ini adalah proses-proses kolaborasi antara masyarakat lokal (local community) dan pemerintah daerah di dalam menata lingkungan permukiman umuh (sub standard) melalui program PLP-BK. Program PLP-BK ini dirancang untuk memediasi dan memfasilitasi kolaborasi ini mulai dari tahapan perencanaan tata bangunan dan lingkungan, tahapan pelaksanaan dan pemasaran untuk membangun kemitraan (channeling) dengan berbagai pemangku kementingan terkait terutama di sekitar lokasi studi kasus kegiatan PLP-BK: Kelurahan Podosugih, Kramatsari dan Kraton Kidul di Kota Pekalongan dan Kelurahan Kebondalem dan Kutoharjo di Kabupaten Kendal serta Kelurahan Pringapus Kabupaten Semarang.

No Kabupaten Kecamatan Desa/

Kelurahan Nama BKM

Waktu Pelaksanaan

1 Kab. Kendal Kota Kendal Kebondalem Sejahtera Mandiri 2008

2 Kota Pekalongan Pekalongan Barat Podosugih Podosugih 2008

3 Kab. Semarang Pringapus Pringapus Sedia Mulya 2008

4 Kab. Kendal Kaliwungu Kutoharjo Mulia 2009

5 Kab. Kendal Brangsong Sidorejo Sumber Makmur 2009

6 Kota Pekalongan Pekalongan Barat Kramatsari Barokah 2009

7 Kota Pekalongan Pekalongan Barat Kraton Kidul Aji Rasa 2009

Pertimbangan yang lain yang penting untuk dijadikan dasar pemilihan metode ini adalah ruang lingkupnya (scope of study) yang lebih menitikberatkan pada penelitian secara mendalam (in depth) suatu fenomena yang bersifat kontemporer di dalam suatu konteks kehidupan nyata tertentu (to understand a real-life phenomenon), khususnya ketika batasan antara fenomena dan konteksnya tidak terlihat dengan jelas (Yin, 2009). Oleh karena itu kegiatan penelitian ini akan dilaksanakan di wilayah pelaksana program PLP-BK di Jawa Tengah yang bersifat contemporer yakni terbatas pada ruang dan waktu. Kemudian sesuai dengan kaidah penelitian studi kasus maka peneliti akan terbuka terhadap berbagai sumber data yang diasumsikan dapat menjelaskan kasus tersebut sehingga di sini data akan diuji secara triangulasi. Penelitian ini tergolong ke dalam “instrumental case study” (Stake 1995 in Creswell, 1998, pp. 249-252) yang menitikberatkan perhatian pada permasalahan khusus (focusing on a specific issue) yang dalam hal ini terkait dengan peluang pemanfaatan CSR untuk mendukung program PLP-BK. Nara sumber yang dipilih dengan pendekatan sample bertujuan adalah masyarakat yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung pada program PLP-BK dan perusahaan yang berpotensi melaksanakan CSR dalam mendukung program PLP-BK.

2.2 Teknik Pengumpulan Data dan Penentuan Sample

Sebagaimana telah diuraikan di atas maka teknik pengumpulan data yang digunakan di dalam proses penelitian studi kasus ini adalah dengan berbagai pendekatan (multiple sources of evidence) baik melalui wawacara mendalam (in-depth interview), pengamatan langsung atau pengamatan partisipatif (direct or participant-observation) dan pengumpulan dokumen-dokumen terkait. Adapun sampel nara sumber (informan) yang akan diwawancara ditentukan secara bertujuan (purposive sampling). Sampling bertujuan ini dilakukan dengan mengambil orang-orang yang terpilih menurut sifat spesifik yang dimiliki oleh sampel tersebut. Hal ini berarti bahwa untuk menentukan

6

sampel secara bertujuan ini peneliti akan menjajagi terlebih dahulu siapa yang dianggap berkompeten untuk dijadikan nara sumber melalui diskusi yang dilakukan di lapangan dengan para calon nara sumber (masyarakat atau petugas perusahaan). Peneliti juga berusaha agar sampel yang dipilih meskipun jumlahnya kecil tetapi merupakan orang-orang yang dapat memberikan atau memenuhi informasi yang dibutuhkan peneliti. Adapun beberapa responden yang akan dijadikan sumber informasi kunci (key informan) dari pelaksanaan PLP-BK berdasarkan pedoman pelaksanaan PLP-BK dapat diidentifikasi seperti Asisten Kota Urban Planning (Ass. Urb. PL) dan atau Fasilitator P2KP (Faskel). Kemudian Faskel akan memberikan rekomendasi beberapa nara sumber yang terkait. Di samping itu, di dalam proses membangun model pemanfaatan CSR penelitian ini akan menggunakan metode penelitian tindak partisipatif (participatory action research). Di dalam penelitian tindak partisipatif ini berbeda dengan tradisi penelitian konvensional dimana kedudukan peneliti harus lepas dari objek yang ditelitinya akan tetapi di dalam metode penelitian ini penelitia tidak hanya sebagai pengamat (observer) saja tetapi juga ikut mengambil sebagian peran (partly participated) di dalam proses pelaksanaan kegiatan itu sendiri sehingga mampu memahami permasalahan praktek secara memadai.

2.3 Teknik Analisis Data Interaktif

Teknik analisis data kualitatif yang akan digunakan adalah teknik analisis data secara interaktif sebegaimana dijelaskan Miles dan Huberman (1994, pp. 10-12). Miles dan Huberman menjelaskan secara teknis ada berbagai aktifitas yang dilakukan oleh peneliti di dalam proses analisis data kualitatif. Aktifitas-aktifitas tersebut secara umum dikelompokkan ke dalam tiga jalur yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Ketiga jalur tersebut dilakukan secara interakitf atau dengan kata lain bahwa satu jalur dengan jalur yang lain betul-betul dirasakan menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan atau saling mendukung. Dengan demikian kesimpulan yang di ambil betul-betul berdasarkan data yang telah dianalisis pada tahapan reduksi dan penyajian data. Untuk mereduksi data tersebut peneliti akan menerapkan berbagai teknik memilih (selecting), mempertajam fokus, menyederhanakan, mengabstraksikan, merubah data yang muncul di dalam catatan-catatan lapangan yang telah ditulis dalam bentuk transkrip. Ketika proses ini selesai maka peneliti akan melakukan satu atau beberapa hal sebagai berikut menulis inti sari, mengkodifikasi, membuat pengelompokkan dan bahkan menulis memo. Sebelum melakukan proses analisis pada jalur reduksi data seorang peneliti juga baik sadar maupun tidak akan melakukan proses antisipasi dimana dia melakukan refleksi kembali kepada kerangka konseptual yang mendasari apa tujuan penelitian, apa pertanyaan atau fokus penelitian yang sedang dilakukan dan seterusnya. Hal ini membuat peneliti menyiapkan diri untuk melakukan reduksi data yang berjumlah besar dan beragam. Seperti telah diuraikan di atas proses reduksi ini terus berjalan berkelanjutan hingga penelitian ini membuahkan kesimpulan yang absah dan teruji (verified).

7

Adapun komponen dalam analisis data dapat dilihat sebagai berikut:

Gambar 3: Komponen Dalam Analisis Data Kualitatif

Sumber: Miles dan Huberman (1994, pp. 10-12)

2.4 Instrumen Penelitian dan Pengumpulan Data

Penentuan instrumen yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah untuk menentukan alat bantu atau pendukung yang akan digunakan dalam pelaksanaan penelitian (Arikunto, 2002). Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah panduan wawancara berupa form yang digunakan untuk menanyakan bagaimana strategi pelaksanaan program tanggungjawab social perusahaan yang dilaksanakan oleh perusahaan, selain itu tentu saja disesuaikan dengan tujuan penelitian. Untuk menggali lebih jauh mengenai peluang penerapan program tanggungjawab social perusahaan dalam mendukung program peningkatan kualitas lingkungan permukiman berbasis komunitas, peneliti juga mempersiapkan proposal yang telah disusun oleh masyarakat di desa studi. Sedangkan alat yang digunakan adalah, alat tulis menulis, dan recorder untuk merekam wawancara. Pada pelaksanaannya, untuk mempermudah peneliti dalam melakukan analisis terhadap hasil wawancara, maka form wawancara akan diklasifikasikan, sesuai dengan jenis informasi, kategori narasumber, nomor urut responden dan hari, tanggal dan tahun, nomor urut halaman. Selanjutnya hasil wawancara tersebut akan dikelompokkan berdasarkan jenis informasinya. Berikut adalah contoh pengkodean petikan wawancara yang akan dilakukan (Herdiansyah, 2010):

Sebelumnya, catatan maupun seluruh rekaman hasil petikan wawancara dituliskan ke dalam Transkrip Wawancara yang berisi seluruh hasil petikan wawancara. Kemudian selanjutnya hasil petikan wawancara yang berisi keterangan dan informasi yang diperoleh dari narasumber akan diklasifikasikan ke dalam kartu indeks untuk memudahkan pelaksanaan analisis terhadap petikan wawancara. Klasifikasi hasil petikan wawancara akan disesuaikan pula dengan tujuan yang akan dianalisis. Berikut adalah tabel transkrip wawancara:

Baris Pelaku Uraian Wawancara Tema

Inisial informan/W ke-/tanggal-bulan-tahun/Nomor urut halaman

8

Sumber: Herdiansyah, 2010

Kemudian transkrip hasil wawancara tersebut setelah dilakukan klasifikasi secara umum maka selanjutnya adalah kalkulasi terhadap tema-tema yang muncul dalam wawancara. Berikut tabel kalkulasi tema :

No Tema yang Muncul Frekuensi W1 W2 W3 W4

Sumber: Herdiansyah, 2010

Langkah selanjutnya adalah melakukan pengkodean dan kategorisasi hasil wawancara tersebut ke dalam tabel kategori dan pengkodean. Berikut adalah tabel kategori dan pengkodean hasil wawancara :

Kategori Tema Subkategori Tema Tema

Uraian Informan

Sumber: Herdiansyah, 2010

9

3 JADWAL PENELITIAN

Jadwal Kegiatan Penelitian Tahun Ketiga (2015): 10 Bulan

No

NAMA KEGIATAN

BULAN

I II III IV V VI VII VIII IX X 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

1 Penyusunan usulan penelitian

2 Survey Pendahuluan

3 Studi Literatur

4 Persiapan perangkat survei

5 Pengurusan perizinan

6 Survai instansional

7 Survei lapangan/wawancara

8 Analisis dan verifikasi data

9 Penyusunan laporan

10 Penyerahan hasil penelitian

10

4 LAPORAN KEGIATAN DAN HASIL PENELITIAN

Berbeda dengan penelitian tahun sebelumnya yang menitikberatkan pada aspek-aspek permasalahan (issues) kolaborasi pada pelaksanaan konsep Program PLP-BK yang telah ada baik pada tahapan perencanaan tata bangunan dan lingkungan (RTBL) sebagai fokus objek perencanaan ditinjau dari sisi proses-proses dan dinamikanya dan juga dari sisi bentuk-bentuk media yang memungkinkan proses-proses kolaboratif tersebut dapat berlangsung, selanjutnya pada tahun ke dua menekankan pada bentuk-bentuk kolaborasi (sinergi) sumberdaya (penganggaran) dalam rangka mewujudkan rencana-rencana program yang telah disusun pada tahapan perencanaan, maka pada tahun ketiga ini penelitian menitikberatkan pada upaya pengembangan atau perbaikan konsep penataan lingkungan permukiman yang telah ada.

Tentu saja perhatian penelitian ini ditujukan pada permasalahan kolaborasi antara pemerintah daerah dengan komunitas. Untuk mewujudkan tujuan penelitian di tahun ke-3 ini maka telah dikaji kembali konsep program PLP-BK yang telah ada selanjutnya berdasarkan pengalaman dan hasil penelitian di tahun pertama dan kedua konsep tersebut dapat diperbaiki atau dirubah sehingga dapat menjadi lebih baik dimasa yang akan datang. Sebagai dasar pertimbangan maka disini akan diuraikan terlebih dahulu secara singkat konsep yang telah ada kemudian akan digambarkan beberapa rumusan hasi penelitian untuk menjadi pertimbangan baikan konsep yang telah ada.

5.1 Gambaran Singkat Program Pengembangan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas

5.1.1 Latar Belakang dan Sejarah PLP-BK

Program Pengembangan Lingkungan Permukiman Berbasis Masyarakat (PLP-BK) pada dasarnya adalah intervensi lanjut dari serangkaian intervensi yang dijalankan oleh Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) yang disebut ”P2KP Advance”. Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) yang sekarang diganti namanya dengan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan telah berlangsung sejak tahun 1999 hingga kini. Bila intervensi kegiatan dalam program-program P2KP sebelumnya lebih menitikberatkan pada pembangunan manusia (sektor sosial dan ekonomi) maka di dalam P2KP Advance ini lebih menitikberatkan pada upaya untuk meningkatkan kualitas fisik lingkungan permukiman tentu saja bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Intervensi ini selanjutnya oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum yang memperkenanlkan program ini disebut program Pengembangan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas (PLP-BK) yang secara resmi mulai dilaksanakan pada tahun 2008.

Akan tetapi meskipun aspek lingkungan fisik hunian menjadi titik berat pada program PLP-BK tentu saja untuk mewujudkan tujuan program pengentasan kemiskinan tetap harus memperhatikan persoalan kemiskinan secara holistik. Oleh karena itu, di dalam PLP-BK konsep TRIDAYA yaitu keterpaduan antara pembangunan Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan (SEL) terus menjadi inti atau ruh dari program PLP-BK. Melalui serangkaian intervensi di dalam program-program P2KP diharapkan tujuan atau target pembangunan kapasitas masyarakat atau Transformasi Kondisi Sosial akan dapat dicapai secara bertahap dengan kriteria: Tahap Tidak Berdaya menjadi Tahap Berdaya, Tahap Mandiri dan Tahap Madani.

Pada tahap pertama masyarakat miskin yang diasumsikan sebagai ’masyarakat TIDAK BERDAYA’ yang tidak mampu dan belum memiliki pondasi kehidupannya yang kokoh sehingga tidak dapat dipercaya maka melalui sejumlah intervensi diharapkan akan berkembang menjadi’masyarakat BERDAYA’. Masyarakat berdaya adalah mereka yang dinilai telah dapat dipercaya dan mampu untuk mengelola berbagai bantuan atau dukungan yang diberikan pemerintah secara bertanggung jawab. Bantuan-bantuan tersebut diberikan melalui skema Bantuan Langsung Masyarakat (BLM). Pada tahap berikutnya setelah masyarakat dinilai ’berdaya’ maka orientasi program diarahkan untuk melakukan perubahan (transformasi) masyarakat berdaya menuju ’masyarakat MANDIRI’. Masyarakat mandiri adalah masyarakat yang sudah dapat

11

bermitra (bersinergi) dengan berbagai pihak lain melalui berbagai upaya membangun kemitraan (channelling program).

Selanjutnya, transformasi masyarakat mandiri menuju ’masyarakat MADANI’ yang dilakukan melalui intervensi untuk meningkatkan kemampuan masyarakat di dalam mengembangkan kualitas lingkungan permukiman secara berkelanjutan. Pengembangan komunitas menuju tatanan masyarakat madani ini merupakan upaya untuk membantu masyarakat lokal untuk bertanggung jawab membangun hubungan-hubungan dengan komunitas yang lebih luas dan terutama dengan lingkungan permukiman mereka secara harmonis. Semua intervensi ini dilakukan melalui serangkaian kegiatan di dalam Program Pengembangan Lingkungan Permukiman Berbasis Masyarakat (PLP-BK).

5.1.2 Strategi Pelaksanaan PLP-BK

Untuk mencapai pembangunan permukiman yang berkelanjutan sebagaimana diharapkan di dalam program PLP-BK ini, akan ditempuh strategi pelaksanaan melalui tiga jalur yaitu (1) Orientasi pada perubahan perilaku (attitude), (2) Orientasi pada pengelolaan oleh masyarakat sendiri (self community management), serta (3) Orientasi pada inovasi dan kreativitas masyarakat (entrepreneurship). Dari gambaran serangkaian intervensi ini maka dengan demikian, P2KP yang pada awalnya diperkenalkan melalui skema ‘proyek’ diharapkan di tingkat masyarakat dan pemerintah daerah akan mampu dikembangkan menjadi skema ‘program’ untuk mewujudkan lingkungan permukiman yang sehat, tertib, selaras, berjatidiri dan lestari menuju masyarakat yang sejahtera.

Seperti telah dijelaskan di atas Program PLP-BK ini merupakan kegiatan atau intervensi lanjut maka program ini hanya ’dapat diakses’ oleh lembaga masyarakat (BKM) yang telah mencapai kualifikasi “BKM Berdaya menuju Mandiri” atau “BKM Mandiri” salah satu cirinya adalah BKM yang dinilai telah/sedang melaksanakan kemitraan dengan Pemerintah Daerah atau dengan pihak lain (chanelling). Dengan demikian, melalui kegiatan ini diharapkan terjadi proses pembelajaran, pengembangan dan pelembagaan kemitraan sinergis antara saluran-saluran lembaga di tingkat lokal seperti masyarakat, pemerintah kelurahan, pemerintah daerah dan kelompok peduli setempat. Proses pelaksanaan PLP-BK lebih mengutamakan pada keswadayaan, kemandirian dan kerja keras untuk menggalang segenap potensi sumber daya yang dimiliki bersama secara internal dan mengakses berbagai sumber daya lain dari luar secara eksternal.

5.1.3 Tahapan Pelaksanaan Program PLP-BK

Terdapat empat tahapan pelaksanaan pengembangan lingkungan permukiman berbasis komunitas baik di tingkat nasional maupun lokal atau kelurahan sebagaimana diuraikan di bawah ini.

• Tahap Persiapan

Inti kegiatan dalam tahap ini adalah penetapan lokasi sasaran dan sosialisasi program melalui berbagai media dengan penekanan pada lokakarya orientasi program secara berjenjang dari tingkat nasional, propinsi dan daerah. Untuk hal-hal yang terkait dengan pengorganisasian pekerjaan dan kelembagaan akan diuraikan lebih lanjut di dalam Pedoman Teknis.

• Tahap Perencanaan Partisipatif

Inti kegiatan pada tahap ini adalah membangun kolaborasi perencanaan, dimana antar berbagai pihak (masyarakat, pemerintah, dan pelaku usaha/swasta) dapat saling terbuka berbagi informasi, melakukan dialog dan konsultasi, dan bersepakat terhadap aturan bangunan setempat dan pokok-pokok perencanaan dan pembangunan. Para pemangku kepentingan tersebut kemudian berupaya menyusun berbagai pengaturan yang diperlukan, dan melembagakannya melalui organisasi masing-masing untuk mewujudkan tata kepemerintahan yang baik (good governace). Dasar pijakannya tetap konsisten pada pelembagaan nilai-nilai luhur (value based development), prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik (good governance), serta prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

12

Tahap ini akan dibagi menjadi empat kelompok kegiatan sebagai berikut:

1. Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat,

2. Persiapan Proses Perencanaan Partisipatif,

3. Perencanaan Lingkungan Makro yang termasuk penyusunan aturan bangunan setempat sebagai dasar perencanaan pengembangan permukiman kelurahan dan penataan bangunan serta lingkungan kawasan prioritas berbasis komunitas, dan

4. Perencanaan Lingkungan Mikro (RTBL).

• Tahap Pemasaran Kawasan Prioritas

Inti kegiatan pada tahap ini adalah melakukan proses pemasaran kawasan yang akan ditata kembali dan telah tersedia RTBL-nya (Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan) kepada berbagai pihak seperti antara lain dinas/instansi pemerintah (sumber dana APBN/APBD) maupun lembaga/instansi non pemerintah seperti lembaga bisnis, sosial baik di tingkat nasional maupun multi nasional sehingga terjadi kerjasama yang saling menguntungkan atau kontribusi sepihak seperti “chanelling” dari dinas/sektor lain.

Untuk membantu masyarakat melakukan hal tersebut di atas bila diperlukan dapat merekrut tanaga ahli pemasaran untuk mempersiapkan dan melaksanakan pemasaran kawasan tersebut termasuk menyiapkan dokumen rencana kerja pemasaran sebagai persyaratan untuk mencairkan dara Bantuan Langsung Masyarakat (BLM ke-2). Pada tahap ini juga akan dilakukan pelaksanaan pembangunan fisik untuk mencoba dan memantapkan pola pengelolaan /manajemen pembangunan oleh atau ditingkat komunitas.

• Tahap Pelaksanaan Pembangunan

Inti kegiatan pada tahap ini adalah proses pelaksanaan pembangunan fisik hasil perencanaan mikro (RTBL) sebagai bentuk penyelesaian permasalahan dan atau pengembangan potensi yang dimiliki kelurahan. Proses ini pun dilakukan untuk menumbuh kembangkan kemampuan serta proses bekerja dan belajar masyarakat dalam pelaksanaan dan pengelolaan kegiatan konstruksi.

Untuk mewujudkan hal itu, tahap pelaksanaan kegiatan fisik di kelurahan akan dilakukan dalam dua tahapan sesuai dengan ketersediaan BLM yaitu BLM-3 dan BLM-4. Kedua tahapan ini akan melalui kegiatan-kegiatan yang serupa namun berbeda dalam waktu pelaksanaan.

5.1.4 Anggaran dan Organisasi Pelaksanaan Program PLP-BK

Adapun di dalam program PLP-BK ini Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) yang akan dimanfaatkan dan dikelola oleh masyarakat melalui Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) adalah secara keseluruhan berjumlah Rp. 1 Milyar. Dana tersebut akan disalurkan ke dalam 4 tahapan:

1. BLM 1 berjumlah Rp. 175.000.000,- yang diperuntukkan untuk menyusun Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) berbasis masyarakat. Produk rencana in diharapkan berisi Aturan Bersama (AB), Rencana Pengembangan Lingkungan Permukiman (RPP) dan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL).

2. BLM 2 berjumlah Rp. 225.000.000,- diperuntukkan untuk melakukan kegiatan pemasaran sosial dan berbagai pelatihan manajemen konstruksi untuk menyiapkan kapasitas masyarakat untuk mengembangkan kerjasama lebih luas dengan berbagai pemangku kepentingan terkait.

3. BLM 3 dan 4 berjumlah masing-masing Rp. 300.000.000,- adalah untuk membangun infrastruktur fisik dan mendukung berbagai kegiatan lainnya yang dinilai dapat membantu mewujudkan rencana tata bangunan dan lingkungan yang telah disusun secara partisipatif.

13

Bahkan diharapkan melalui kegiatan pemasaran, masyarakat telah mendapatkan berbagai bentuk kerjasama pendanaan lainnya.

Gambar 5.1 Kerangka waktu pelaksanaan kegiatan Uji coba

Sumber: Direktoral Jenderal Cipta Karya, 2008

Adapun dari sisi organisasi dan kelembagaan proyek pengelolaan pelaksanaan kegiatan PLP-BK dilakukan oleh Konsultan Manajemen Pusat (KMP) yang bertanggung jawab kepada Project Manajement Unit (PMU/SNVT Pusat P2KP). Secara operasional, pelaksanaan pengendalian di lapangan akan dibantu oleh sejumlah Konsultan Manajemen Wilayah (KMW). Di tingkat pusat (KMP), kegiatan PLP-BK ini akan dikelola oleh satu divisi tersendiri yang secara khusus bertanggung jawab pada perencanaan dan pengendalian kegiatan, melalui monitoring dan evaluasi. Di tingkat wilayah (KMW) kegiatan PLP-BK akan difasilitasi oleh Tenaga Ahli (TA) Kebijakan Publik dan di tingkat kota akan difasilitasi oleh Koordinator Kota (Korkot) dengan pendampingan khusus Asisten Korkot Urban Planner (Ass. Urb. PL) untuk lebih jelas dapat dilihat pada gambar 5.2.

14

Gambar 5.2 Struktur Organisasi Pelaksanaan PLP-BK

Sumber: pedoman pelaksanaan program pengembangan lingkungan permukiman berbasis komunitas (neighborhood development), DPU: Direktoral Jenderal Cipta Karya, 2008.

Sedangkan di tingkat lokasi sasaran (masyarakat Kelurahan) akan didampingi oleh satu orang Senior Fasilitator (SF) khusus PLP-BK dan Tenaga Ahli (TA) Pendamping yang kemudian dikenal dengan Tenaga Ahli Perencanaan Partisipatif (TAPP) PLP-BK (Lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 5.3).

Gambar 5.3 Struktur Organisasi Tingkat Operasional (lokasi sasaran)

Tim Inti Perencanaan Partisipatif (TIPP)

15

5.1.5 Produk Perencanaan Program PLP-BK: RTBL Berbasis Masyarakat?

Untuk membantu melakukan analisis di dalam penelitian ini penulis perlu menjelaskan bagaimana program PLP-BK dipahami dalam perspektif pedoman pelaksanaan program PLP-BK. Di dalam pedoman pelaksanaan Pengembangan Lingkungan Permukiman Berbasis Masyarakat (community based neighborhood development), program PLP-BK secara operasional diterjemahan ke dalam RTBL berbasis Komunitas. Dengan demikian penerima tugas PLP-BK yang dalam hal ini yang tergabung di dalam Tim Inti Perencanaan Partisipatif (TIPP) terutama Tenaga Ahli (TA) Pendamping PLP-BK yang belum pernah terlibat di dalam program P2KP akan memahami produk akhir dari kegiatan PLP-BK ini adalah berupa RTBL yang definisinya secara operasional mengacu pada PP Nomor 36 tahun 2005 Tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung, pasal 27 yang menyatakan bahwa:

Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) merupakan pengaturan persyaratan tata bangunan sebagai tindak lanjut RTRW Kabupaten/Kota dan atau Rencana Detail Tata Ruang yang digunakan sebagai instrumen dalam pengendalian pemanfaatan ruang suatu kawasan dan sebagai panduan rancangan kawasan untuk mewujudkan kesatuan karakter serta kualitas bangunan gedung dan lingkungan yang berkelanjutan. Selanjutnya disebutkan bahwa dokumen Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) memuat materi pokok ketentuan (1) tentang program bangunan dan lingkungan, (2) rencana umum dan panduan rancangan, (3) rencana investasi, (4) ketentuan pengendalian rencana dan (5) pedoman pengendalian pelaksanaan. Struktur dan sistematika dari dokumen RTBL dapat dilihat pada gambar 5.1.

Dokumen Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) disusun dengan maksud sebagai panduan spesifik yang menyeluruh dan memiliki kepastian hukum mengenai suatu perencanaan penataan bangunan dan lingkungan dari kawasan tertentu baik di perkotaan maupun pedesaan.

16

Gambar 5.4 Struktur dan Sistematika Dokumen RTBL

Sumber: Permen PU No. 26 tahun 2007 Tentang Pedoman Umum RTBL, sesuai dengan PP Nomor

36 tahun 2005 Tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung, pasal 27 ayat 2)

Kegiatan penataaan lingkungan di dalam tataran praktis selain bertujuan untuk mengembalikan rasa kebersamaan (sense of community) atau modal sosial (social capital) dari suatu masyarakat setempat (local community) pada akhirnya juga akan melibatkan usaha-usaha merancang

17

lingkungan yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan secara fisik. Adapun penataan lingkungan fisik ini meliputi beberapa kemungkinan pola penataan bangunan dan lingkungan yang secara hukum di Indonesia selama ini diatur dalam Permen PU NOMOR: 06 tahun 2007 TENTANG PEDOMAN UMUM RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN:

a. Perbaikan kawasan, seperti penataan lingkungan permukiman kumuh/nelayan (perbaikan kampung), perbaikan desa pusat pertumbuhan, perbaikan kawasan, serta pelestarian kawasan;

b. Pengembangan kembali kawasan, seperti peremajaan kawasan, pengembangan kawasan terpadu, revitalisasi kawasan, serta rehabilitasi dan rekonstruksi kawasan pascabencana;

c. Pembangunan baru kawasan, seperti pembangunan kawasan permukiman (Kawasan Siap Bangun/Lingkungan Siap Bangun – Berdiri Sendiri), pembangunan kawasan terpadu, pembangunan desa agropolitan, pembangunan kawasan terpilih pusat pertumbuhan desa (KTP2D), pembangunan kawasan perbatasan, dan pembangunan kawasan pengendalian ketat (high-control zone);

d. Pelestarian/pelindungan kawasan, seperti pengendalian kawasan pelestarian, revitalisasi kawasan, serta pengendalian kawasan rawan bencana.

Adapun penataan lingkungan fisik ini meliputi beberapa kemungkinan pola penataan bangunan dan lingkungan sebagai berikut:

• Perbaikan atau peningkatan kualitas lingkungan kumuh (slums up-grading) yaitu melakukan perbaikan atau peningkatan kualitas suatu lingkungan tanpa melakukan pembongkaran sesuatu yang sudah ada secara drastis melainkan menata beberapa komponen lingkungan dan bangunan sampai pada derajat yang paling memungkinkan. Seperti penataan saluran, jalan, pedestrian lingkungan permukiman kumuh untuk menciptakan lingkungan yang lebih sehat, nyaman dan asri. Beberapa contoh dari penerapan pola ini adalah dapat kita lihat pada program perbaikan kampong (Kampung Improvement Program) atau sering juga disebut peningkatan kualitas lingkungan kumuh (slums up-grading);

• Pengembangan kembali Kawasan atau Revitalisasi Kawasan (urban renewal atau urban redevelopment). Pola penataan suatu kawasan ini bertujuan agar suatu kawasan dapat berfungsi atau berkinerja sesuai dengan potensi yang dimiliki dari suatu kawasan (revitalization). Program-program yang sejalan dengan pola ini dapat kita lihat seperti program peremajaan kawasan (urban renewal), pengembangan kawasan terpadu, revitalisasi kawasan, serta rehabilitasi dan rekonstruksi kawasan pascabencana, perbaikan desa pusat pertumbuhan, perbaikan kawasan, serta pelestarian kawasan. Di dalam prakteknya pendekatan ini melibatakan kegiatan pembongkaran dan pembangunan kembali suatu kawasan baik yang bersifat menyeluruh yang dikenal dengan sebutan pembangunan kembali kasawan (urban redevelopment) atau hanya terkait dengan usaha menata kembali persil lahan yang sebelumnya dibangun secara tidak terencana menjadi lingkungan yang lebih teratur dan terencana. Model seperti ini sering disebut dengan urban land readjustment atau pembangunan kembali kawasan secara terpadu. Pembangunan kembali kawasan secara terpatu karena perkembangan pembangunan yang bergerak begitu cepat dan secara informal sering memunculkan ketidakterpaduan dari perbagai aspek fisik lingkungan seperti jaringan jalan, saluran, jaringan utilitas dan juga hubungan antar aktifitas di dalam suatu kota yang memungkinkan di satu sisi untuk meningkatkan produktifitas kota di sisi yang lain menghindari konflik berbagai aktifitas yang terjadi di dalam suatu zona yang dinilai tidak sesuai (not compatible).

• Penataan Kawasan Kumuh Berbasis Pengembangan Kawasan. Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah lokal di dalam mengatasi lingkungan kumuh adalah permasalahan pembiayaan. Salah satu pendekatan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan pendekatan peremajaan suatu kawasan kumuh yang sering dikenal dengan nama pendekatan LANDSHARING yaitu melakukan pembongkaran dan pembangunan kembali suatu kawasan dengan intensitas tata bangunan dan lingkungan yang lebih tinggi (vertical) pada lokasi yang sama. Dengan pola bangunan yang sebelum di tata berorientasi horizontal yang banyak

18

membutuhkan lahan maka dengan merubah orientasi bangunan secara vertical akan diperoleh sisa lahan yang sebagiannya dapat dijual atau disewakan kepada investor untuk membiayai kegiatan pembangunan. Para penghuni lama dari suatu lingkungan setelah dibangun kembali akan menghuni lingkungan yang dibangun kembali tersebut. Melakukan pembongkaran dan membangun kembali tetapi sebagai lahan dijual untuk membiayai rekonstruksi (land-sharing and reconstruction) dapat menjadi satu alternative di dalam memecahkan masalah pembiayaan dalam mengatasi kekumuhan di kawasan-kawasan yang berlokasi strategis dan atau bernilai lahan tinggi;

• Pembangunan lingkungan baru (new settlement development atau resettlement). Pengembangan lingkungan baru ini bila dikaitakan dengan kegiatan penataan lingkungan kumuh akan dilakukan melalui pemindahan (resettlement) masyarakat penghuni yang dulunya tinggal di suatu lingkungan yang berkualitas buruk ke lingkungan yang baru di lokasi lain yang telah disiapkan dengan kualitas yang lebih baik (biasanya tidak jauh dari lokasi sebelumnya). Pembangunan lingkungan atau kawasan permukiman baru seperti ini dapat kita lihat misalnya dalam program-program pembangunan Kawasan Siap Bangun (KASIBA) atau Lingkungan Siap Bangun (LISIBA) yang Berdiri Sendiri, pembangunan kawasan terpadu, pembangunan desa agropolitan, pembangunan kawasan terpilih pusat pertumbuhan desa (KTP2D), pembangunan kawasan perbatasan, dan pembangunan kawasan pengendalian ketat (high-control zone);

• Pelestarian atau perlindungan lingkungan berbasis kawasan (city wide neighborhood conservation). Pelestarian lingkungan ini terutama terkait dengan lingkungan atau kawasan yang memiliki nilai sejarah atau budaya yang bernilai tinggi sehingga bila tidak dijaga lama-kelamaan akan hilang. Perlindungan kawasan juga terkait dengan aspek-aspek lingkungan seperti perlindungan kawasan sempadan sungai, perlindungan kawasan hutan yang bila tidak dikelola sejak dini dapat dimanfaatkan dan berkembang secara tidak terkendali sehingga tidak merugikan lingkungan dan ekosistem dari suatu kawasan. Konsep-kosep pengembangan kawasan EkoWISATA (eco-tourism) salah satu cara yang paling efektif di dalam menjaga dan melestarikan lingkungan di satu sisi akan tetapi di sisi yang lain asset lingkungan yang berharga ini dapat dikembangkan sebagai kawasan wisata untuk meningkatkan pendapatan dari masyarakat di sekitar lokasi yang harus dijaga kelestariannya.

Semua usaha dan pola penataan lingkungan yang disebutkan di atas tentu saja menuntut kerjasama dan komitmen di antara berbagai pihak terkait di dalam mewujudkannya. Konsep-konsep Public Private Partnership (PPP) dan bahkan sekarang telah dikembangkan lagi menjadi konsep Publik Private Community Partnership (PPCP) merupakan alternative-alternatif jalan yang harus dipertimbangkan. Adapun untuk membuka dan mengembangkan kerjasama ini dibutuhkan suatu cara pandang terhadap suatu persoalan dalam perspektif yang lebih luas dan terpadu yang mampu mensinergikan entitas-entitas di masyarakat.

5.2 Pandangan Awal Masyarakat Terhadap Program PLP-BK

5.2.1. Rencana Tindak Mikro (micro action planning) dan Rencana Tindak Stategis (strategic action planning)

Dari hasil penelitian yang dilakukan ditemukan bahwa pada awal pelaksanaan program yaitu setelah lembaga masyarakat/ BKM disetujui oleh DPU CK Pusat, masyarakat penerima PLP-BK secara umum masih belum tahu atau salah di dalam memahami apa itu dan bagaimana program PLP-BK dilaksanakan. Masyarakat penerima PLP-BK menganggap bahwa program PLP-BK sama dengan program-program pemberdayaan masyarakat yang selama ini dilaksanakan melalui program P2KP atau PNPM Perkotaan. Program-program tersebut pada umumnya adalah program bantuan langsung kepada masyarakat berupa penyaluran dana baik untuk pembangunan fisik maupun non fisik yang bersifat mikro. Pendekatan perencanaan yang diterapkan adalah pendekatan perencanaan tindak mikro (micro action planning). Perencanaan tindak mikro ini bertujuan untuk memecahkan suatu permasalahan nyata yang sedang dihadapi secara langsung dan berjangka

19

pendek misalnya permasalahan sanitasi, air bersih, bajir, rumah tidak layak huni dan sebagainya. Karena program yang dilakukan ini bertumpu pada masyarakat maka sering disebut perencanaan tindak komunitas (community action planning).

5.2.2 Skema pemberdayaan sebagai instrumen (as a mean) dan sebagai tujuan (as an end)

Di samping itu bila ditinjau dari pendekatan pemberdayaan yang diterapkan lebih berorientasi pada upaya mengajak atau memobilisasi masyarakat lokal untuk ikut berswadaya di dalam memecahkan permasalahan yang sedang mereka hadapi. Pemberdayaan atau partisipasi masyarakat dilihat sebagai sarana (instrumental approach) untuk merangsang keikutsertaan masyarakat untuk berkontribusi secara sukarela (tenaga, waktu, pikiran dan bahkan uang) dengan bersama-sama (bergotong royong) dengan memanfaatkan dana hibah (stimulant) sebaik mungkin untuk memperbaiki kondisi fisik lingkungan mereka secara swadaya. Pendekatan ini sering juda disebut dengan program bantuan untuk keswadayaan (supported self-help programme).

Secara teoritis pendekatan pemberdayaan yang bersifat instrumental atau partisipasi sebagai alat (as a mean) lebih berorientasi pada keluaran (output) pada proyek yang sedang ditangani seperti perbaikan rumah tidak layak huni dan kegiatan yang berjangka pendek lainnya. Padahal sesuai dengan harapan dari program PLP-BK adalah bagaimana merubah pendekatan kegitan P2KP yang pada awalnya diperkenalkan melalui skema ‘proyek’ menjadi skema ‘program’ di dalam mewujudkan lingkungan permukiman sebagaimana yang diharapkan. Artinya PLP-BK adalah program yang lebih diarahkan pada pendekatan pemberdayaan (empowerment) sebagai tujuan (as an end). Berbeda dengan pemberdayaan sebagai instrumental (as a mean) yang lebih diarahkan pada upaya untuk mendapatkan keluaran (out put) yang lebih besar dari anggaran (input) yang kecil yang bersifat sebagai stimulan, pemberdayaan sebagai tujuan lebih diarahkan pada upaya melihat permasalahn dengan cara pandang yang lebih berjangka panjang (menengah) dengan orientasi pada hasil (outcome) dari suatu program. Melalui PLP-BK masyarakat dilatih untuk dapat melihat tidak hanya permasalahan misalnya secara fisik seperti pembangunan atau perbaikan fisik sarana akan tetapi juga melihat potensi yang dinilai dapat dikembangkan secara lebih berkelanjutan.

Disini masyarakat diberi kedaulatan yang lebih besar di dalam mengelola sumber daya. Karena masyarakat selama ini sudah sering diberi bantuan program dengan pendekatan instrumental maka masih banyak masyakarat belum memahami prinsip program PLP-BK yang lebih berorientasi pada program (outcomes) seperti cuplikan wawacara sebagi berikut:.

Ketika pertama masyarakat ya taunya mau ada bantuan sebesar 1 miliar wah ya senang sekali, tapi ternyata ga bisa langsung ada pembangunan harus ada perencanaan dulu gitu (Nur/27-06-10/….).

Hal ini telah membentuk pola pikir (mindset) di masyarakat sehingga masyarakat menjadi berfikir lebih pragmatis dengan target-target jangka pendek (short terms). Merubah pola pikir dan kebiasaan dari berpikir pragmatis dengan target kegiatan jangka pendek menjadi berpikir strategis konseptual dengan target jangka panjang yang membutuhkan proses untuk mewujudkannya tentu saja akan menjadi tidak mudah. Budaya untuk merencanakan terlebih dahulu sebelum melakukannya masih merupakan hal baru apalagi bila dikaitkan dengan perencanaan fisik lingkungan (pemanfaatan lahan dan penataan bangunan) dengan skala wilayah 1 kelurahan yang menjadi ruang lingkup wilayah perencanaan di dalam program PLP-BK.

Tanggapan masyarakat ketika pertama kali ada PLP-BK mereka sangat senang karena akan mendapat bantuan dana 1 miliar, mereka semangat sekali dan penasaran uang sebanyak itu akan digunakan untuk apa, tapi ternyata tidak langsung dibangun harus ada proses dulu, mereka juga mau mengerti (STr/29-06-10/….)

Permasalahan lain yang penting di dalam pelaksanaan program adalah pada awal disosialisasi program PLP-BK, hampir semua masyarakat tidak tahu apa itu tujuan dan keluaran (out put) dari tahapan perencanaan di dalam serangkaian program PLP-BK. Bagi masyarakat yang mereka pikirkan adalah bagaimana dana yang disalurkan sebesar Rp. 1 Milyar dapat dipergunakan langsung untuk memperbaiki infrastruktur. Setelah mengikuti beberapa kali pertemuan yang difasilitasi oleh seorang tenaga ahli perencanaan baru mereka menyadari bahwa meskipun di dalam

20

rangkaian program PLP-BK nantinya akan ada kegiatan pembangunan fisik akan tetapi masyarakat akan diajak terlibat terlebih dahulu untuk mengikuti serangkaian proses perencanaan lingkungan secara partisipatif.

5.3 Bentuk kegiatan PLP-BK dan pengembangan masyarakat

Dari data hasil wawancara dapat diLABELkan beberapa aktifitas yang dilakukan di dalam proses perencanaan yaitu: Rapat/Pertemuan, Sosialisasi, Pelatihan, Survey Kampung Sendiri (Pemetaan Swadaya), Analisis (Potensi dan Masalah), Presentasi Hasil, Pameran (media engangement/out reach). LABEL tersebut dapat dikelompokkan ke dalam kategori BENTUK KEGIATAN PLP-BK. Di samping kategori tersebut ditemukan juga 2 (dua) kategori yang lain yaitu PENGEMBANGAN MASYARAKAT dari peLABELan data: Pembelajaran Sosial, Mengangkat Potensi/Masalah Nyata, Melembagakan, Memperkuat Modal Sosial dan KUALITAS PRODUK LEBIH BAIK (Sweat equity dan relevan konteks lokal). Dari ketiga kategori tersebut dapat dijelaskan apa yang menjadi kelebihan (comparative advantages) dari pendekatan partisipasi (bottom up) di dalam kegiatan perencanaan dibandingkan dengan pendekatan konvensional (top down).

5.4 Keuntungan Penerapan Pendekatan Perencanaan Lingkungan Permukiman Berbasis Masyarakat

Meskipun pola pikir masyarakat yang masih sangat sederhana, namun pelibatan masyarakat di dalam proses perencanaan dapat memberikan manfaat yang berarti baik bagi penyusunan produk perencanaan di satu sisi dan pengembangan masyarakat di sisi yang lain. Salah satu hal menjadi perhatian penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan apa keuntungan atau kelebihan (comparative advantages) pendekatan partisipasi di dalam kegiatan perencanaan. Dalam sudut pandang Pengembangan Masyarakat (community development) dapat diuraikan beberapa Indikator Penilaian sebagai berikut:

5.4.1 Pemanfaatan potensi lokal (local assets) melalui pengembangan komunikasi warga

Salah satu tujuan Pengembangan Masyarakat adalah membangun kekuatan kolektif untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya secara lebih mandiri sesuai dengan potensi dan masalah atau kelemahan (terutama kapasitas) yang dimiliki masyarakat atau lingkungan. Pengalaman pelaksanaan program PLP-BK di wilayah studi secara umum menunjukkan bahwa pendekatan partisipatif dapat meningkatkan kapasitas lembaga masyarakat melalui kegiatan menemukenali permasalahan dan potensi lokal yang dilakukan secara bersama-sama. Melalui tahapan identifikasi masalah dan potensi yang mereka lakukan bersama mereka dapat belajar bersama dan menemukan berbagai potensi atau asset lokal yang belum tergali atau termanfaatkan secara optimal seperti lahan, sumber daya manusia, sumber daya alam, aksesibilitas ke sumberdaya kunci, jaringan dan sebagainya. Salah satu penyebab kurang tergali dan termanfaatkannya potensi tersebut adalah karena tidak adanya wadah diskusi atau komunikasi yang memadai antar sesama warga.

Melalui pendekatan partisipatif (rembug warga) di dalam program PLP-BK di wilayah studi komunikasi tersebut dapat dibangun. Berbagai manfaat dari komunikasi tersebut yang dapat dirasakan misalnya potensi lahan milik warga yang selama ini tidak dimanfaatkan akhirnya secara suka rela dihibahkan untuk kepentingan umum (jalan, sarana dan prasarana lingkungan). Secara internal salah satu potensi yang sangat besar yang selama ini belum digali dan dimanfaatkan adalah potensi generasi muda yang terdidik dan ternyata setelah mereka dimanfaatkan peran yang dimainkan mereka sangat berarti bagi kelancaran pelaksanaan program PLP-BK. Secara eksternal banyak juga potensi berupa orang-orang asli lokal yang telah sukses atau menjadi tokoh politik, pengusaha, birokrat yang menduduki posisi strategis dan memiliki akses ke sumberdaya kunci juga dapat dimanfaatkan untuk membantu pembangunan di wilayah studi.

21

…. potensi yang ada di sini bisa terangkat kayak lahan yang sebelumnya kosong ga terpakai jadi bisa dibangun dan bisa meningkatkan ekonomi lah… (Wis/27-06-10/126-129).

5.4.2 Mengembangkan Kelembagaan Lokal melalui PEMBELAJARAN SOSIAL

Pelibatan masyarakat di dalam proses pengambilan keputusan membuat masyarakat secara bersama-sama memiliki tanggungjawab untuk mewujudkannya. Salah satu makna penting dari pelibatan masyarakat di dalam proses pengambilan keputusan adalah adanya rasa tanggung jawab untuk menjalankannya. Disamping itu, masyarakat secara kelembagaan juga akan mengambil keputusan yang lebih sesuai dengan sumber daya atau kapasitas yang mereka miliki sehingga keputusan yang diambilpun akan lebih realistis untuk dijalankan. Mereka lebih memahami apa yang realistis untuk dicapai dan tindakan seperti apa yang paling tepat (efisien dan efektif) untuk diambil dan bagaimana melakukan tindakan dan membagi peran sesuai sumberdaya dan kompetensi lokal yang ada (siapa bertanggungjawab untuk tugas apa) untuk mewujudkan tujuan yang telah mereka sepakati tersebut.

.…program ND sudah bisa meningkatkan kualitas potensi lokal seperti Laskar, BKM, tokoh agama, selain itu juga dapat memperbaiki lahan tidur....(Sis/28-06-10/120-125).

Disamping sudut pandang kelembagaan secara organisatoris di atas pengembangan kelembagaan juga terjadi melalui internalisasi nilai baru di tengah masyarakat. Tentu saja tidak semua nilai-nilai yang berkembang di masyarakat itu baik. Ada nilai-nilai yang mentradisi di suatu masyarakat yang kurang mendorong terciptanya masyarakat yang lebih maju dan mandiri atau menghambat munculnya partisipasi masyarakat yang lebih luas untuk memajukan lingkungan mereka. Pendekatan partisipatif yang diterapkan di dalam PLP-BK telah memberi makna bagai proses pembelajaran sosial.

Berbeda dengan proses pembelajaran yang selama ini dilakukan secara individu yang menghasilkan pengetahuan hanya bagi individu saja, pembelajaran sosial di dalam kegitan ini menghasilkan pengetahuan lokal (local knowledge). Disini ada sisi membangun kebersamaan melalui proses saling memahami (permasalahan, menentukan prioritas dan strategi yang tepat untuk memecahkan masalah). Dengan pemahaman bersama ini akan mudah untuk bertindak secara bersama-sama pula (collective action). Melalui proses partisipatif berbagai pengetahuan dan kemampuan baru dapat dibangun. Hal ini sekaligus dapat mengembangkan kepercayaan diantara anggota masyarakat. Berdasarkan gambaran di lapangan tantangan yang dihadapi untuk dapat menjamin agar tindakan bersama terus terjaga adalah komitmen untuk terus menerus bertindak dan bersikap transparan. Karena dasar dari tindakan bersama ini adalah komitmen untuk saling tolong menolong sesuai dengan pembagian peran dan tugas yang telah disepakati.

Bila berbagai pengetahuan baru yang diperoleh ini ternyata memberikan manfaat secara praktis bagi masyarakat maka dia akan terlembagakan menjadi suatu sistem pengetahuan di masyarakat yang dapat membentuk nilai-nilai lokal baru di masyarakat.

….program ND ini punya manfaat untuk bisa meningkatkan potensi lokal misalnya peningkatan sarana dan prasarana, terus nilai kebersamaan dan gotong-royong itu masih terjaga untuk transfer ilmu juga sudah ada buktinya masyarakat sudah ada perubahan perilaku misalnya dari membuang sampah sembarangan jadi tidak sembarangan….(STr/29-06-10/61-70).

5.4.3 Mengembangkan Modal Sosial dan Kemitraan Sederajat

Secara teoritis konsep modal sosial dibangun dari 3 unsur pokok yaitu jaringan (network), kepercayaan (trust) dan norma atau nilai (norm). Dalam rangka membangun modal sosial ini dibutuhkan media interaksi yang memungkinkan terjadi komunikasi antara warga sehingga diharapkan bisa saling belajar mengenal satu dengan yang lain. Di dalam PLP-BK media ini dibangun melalui berbagai pertemuan di dalam proses pelaksanaan kegiatan PLP-BK sejak dini yaitu sejak dilakukan pertemuan sosialisasi pertama program PLP-BK kepada warga masyarakat di

22

Kelurahan. Berbeda dengan pendekatan partisipasi yang selama ini dikembangkan hanya sekedar seremonial dimana kegiatan atau projek sudah ditentukan dari atas dan warga hanya diminta untuk membantu, pendekatan partisipasi di dalam PLP-BK menempatkan masyarakat sebagai subjek dari kegiatan tersebut. Masyarakat difasilitasi untuk membuat rencana pengembangan desanya melalui proses perencanaan sejak awal.

Perdekatan partisipatif seperti ini jelas memiliki keuntungan dalam rangka membangun kapasitas kelembagaan di masyarakat dimana salah satunya adalah membangun modal sosial. Melalui rangkaian kegiatan di dalam proses perencanaan dimana warga berinteraksi dan secara intensif berdiskusi satu dengan yang lainnya telah memungkinakan terjalinnya rasa saling memahami (mutual understanding) dan berikutnya bila komunikasi ini terbangun dengan baik akan tercipta rasa saling tolong menolong (mutual self-help). Bila proses komunikasi setalh proses perencanaan dapat terus berlanjut hingga rencana dapat terlaksana seperti yang diharapkan bersama maka hal ini akan berpeluang bagi terciptanya rasa saling percaya (mutual trust). Selanjutnya bila masyarakat yang terlibat tersebut dapat memahami kepercayaan yang terbangun tersebut dalam rangka perwujudan suatu nilai atau norma yang lebih bersifat universal tidak hanya terbatas di dalam mewujudkan kegiatan proyek PLP-BK yang bersifat sesaat, misalnya nilai untuk menjunjung tinggi kejujuran dan kebenaran maka trust yang terbangun tersebut akan dapat bertahan lebih lama. Hal ini bila benar-benar terwujud dapat membentuk suatu kekuatan di masyarakat secara internal yang dikenal dengan kekuatan modal sosial (bonding social capital) yang lebih permanen. Kekuatan modal sosial secara internal ini selanjutnya dapat menjadi modal yang sangat penting untuk membangun kekuatan hubungan saling menguntungkan dengan dunia luar (bridging social capital). Pada lokasi studi kasus yang diteliti dapat diperoleh keterangan dari nara sumber warga yang terlibat dengan hasil wawancana sebagai berikut:

….Dengan banyaknya pertemuan-pertemuan jadi unsur kekeluargaan muncul, ada saling mengenal dari yang selama ini sama sekali ga kenal dengan ND ini bisa tau minimal nama lah. Pokoknya di sini jadi seneng banget bisa kumpul lagi sama laskar dari RW lain jadi kenal… (Riz/27-06-10/133-137)

5.4.4 Perubahan Konsep Power over menuju Power with (Kemitraan Sederajat)

Pada tahapan ini (bridging social capital) akan terjadi perubahan sudut pandang kekuasaan dari “power over” menjadi “power with”. Di sini terjadi perubahan konsep masyarakat mandiri. Selama ini elit kekuasaan memandang bahwa masyarakat (civil society) yang “mandiri” seolah-olah masyarakat yang tidak lagi tergantung dengan pihak lain atau tidak butuh lagi bantuan orang lain. Pengertian ini tentu saja sangat keliru dan pandangan ini berubah seiring dengan perjalanan proses partisipatif. Melalui interaksi di dalam proses partisipasi masyarakat mandiri selanjutnya akan berubah makna menjadi masyarakat yang dibutuhkan sebagai mitra pemerintah untuk mewujudkan tujuan bersama (pembangunan kota). Artinya masyarakat yang mandiri tidak lagi dimaknai sebagai suatu kondisi dimana masyarakat sudah tidak lagi membutuhkan orang lain akan tetapi suatu kondisi dimana mereka sudah mulai diakui keberadaannya sehingga muncul perspektif saling ketergantungan satu dengan yang lainnya.

5.4.5 Menghasilan Produk Rencana Yang Lebih Berkualitas

Disamping keuntungan yang bersifat sosial pelibatan masyarakat bila dilakukan dengan benar akan sangat membantu di dalam melakukan berbagai aktifitas di dalam proses perencanaan sehingga kualitas keluaran produk perencanaan akan menjadi lebih baik. Proses perencanaan pada hakekatnya adalah serangkaian aktifitas yang dilakukan untuk menemukan sebuah keputusan yang terbaik dalam rangka memastikan tujuan yang ditetapkan akan dapat diwujudkan di masa yang akan datang. Rangkaian kegiatan tersebut dapat berupa Pertemuan, Pelatihan, Sosialisasi, Survey dan Pendataan, Analisis, Presentasi, Uji Publik dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan tersebut tentu saja membutuhkan biaya dan waktu yang tidak kecil terutama untuk memperoleh data atau

23

kegiatan pendataan. Melalui partisipasi masyarakat baik berupa tenaga, waktu, pikiran, material dan sebagainya telah membatu meringankan biaya kegiatan perencanaan. Dengan demikian bila peran serta ini tinggi maka produk dari perencanaan yang dihasilkan akan jauh lebih baik dari perencanaan yang tidak ada partisipasi masyarakat di dalamnya.

Kualitas produk yang lebih baik tersebut dapat diukur dari kelengkapan data baik secara kuantitas maupun kualitas data yang dimiliki. Selanjutnya bila masyarakat juga dapat terlibat atau dapat membantu di dalam mentabulasikan data yang telah dikumpulkan dan bahkan menganalisis data tersebut sesuai kapasitas yang dimilikinya. Pengalaman PLP-BK di Kelurahan Pringapus menunjukkan bahwa data yang dikumpulkan melalui peran serta masyarakat sangat bermanfaat tidak hanya bagi kegiatan perencanaan di dalam program PLP-BK akan tetapi juga bagi kegiatan-kegiatan lainnya. Satu hal yang luar biasa sangat berarti adalah peran generasi muda yang terdidik yang menamakan dirinya dengan Laskar Noto Deso (Laskar: pejuang dan Noto Deso: penata lingkungan) telah sangat membantu di dalam melakukan tabulasi data dan bahkan menyajikan data secara baik (sesuai petunjuk tenaga ahli).

Dan satu hal lagi yang sangat mengejutkan ternyata generasi muda tersebut dapat dilatih untuk melakukan analisis masalah dan potensi dan bahkan analisis aspek-aspek terkait tata ruang. Pengalaman PLP-BK di Kelurahan Pringapus keluaran dari analisis data yang dilakukan generasi muda yang tergabung di dalam Laskar ND tersebut bahkan mampu mengungkap ke dalam makna dan sangat relefan dengan konteks lokal (interest, concerns dan preferensi masyarakat). Tentu saja masih dalam koridor dan prosedur analisis produk rencana yang bertanggung jawab (accountable autonomy) sesuai dengan arahan tanaga ahli perencana yang ditunjuk oleh komunitas untuk mendampingi mereka.

Hal ini dapat dinilai baik dari sudut pandang kualitas produk perencanaan maupun dampak lain yang sangat positif bila dibandingkan pendekatan konvensional. Manfaat yang dapat dirasakan adalah terjadinya proses pengembangan potensi (assets) dan masalah nyata dan memperkuat kelembagaan dan modal sosial serta proses pembelajaran sosial dan internalisasi nilai-nilai baru yang lebih positif untuk membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya perencanaan selanjutnya diharapkan dapat ditindaklajuti untuk diwujudkan atau dijalankan.

DISKUSI Ada juga desa yang memiliki potensi kaum perempuan dan sebagainya. Dengan pendekatan konvensional (top down) memang dapat dilakukan survey terhadap berbagai asset komunitas tersebut. Namun berbeda dengan pendekatan konvensional, pendekatan partisipatif dimana masyarakat dilibatkan di dalam mengungkapkan potensi dan asset yang mereka miliki mereka tidak hanya lebih tahu tetapi secara umum dapat dikatakan mereka sebagai “orang dalam” juga memiliki akses langsung kepada asset-asset tersebut. Artinya mereka tidak hanya tahu tetapi mengerti bagaimana asset tersebut dapat dimanfaatkan. Misalnya asset lahan, asset keahlian dari SDM lokal, asset modal dan sebagainya. Informasi ini sangat dibutuhkan di dalam pengambilan keputusan di dalam proses perencanaan.

Disamping itu mereka tahu dan memahami dengan baik permasalahan lingkungan mereka sehingga dapat memutuskan suatu tindakan yang lebih sesuai dan efektif untuk menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi dan yang tidak kalah penting adalah tidak hanya memahami permasalahan dengan baik juga karena itu masalah yang mereka rasakan langsung maka mereka akan dengan senang hati untuk ikut serta (sharing) dalam berbagai bentuk untuk mengatasi masalah tersebut.

5.5 Motivasi dan Faktor Pendorong Partisipasi

Disamping tema-tema dan katergori (sub tema) yang telah diuraikan di atas penelitian yang telah dilakukan juga telah diarahkan untuk menjawab pertanyaan apa saja potensi dan FAKTOR PENDORONG Keberhasilan PARTISIPASI di lokasi penelitian. Dari data hasil wawancara dapat diLABELkan beberapa fenomena yaitu: Laskar Generasi Muda, Budaya gotong-royong (Swadaya),

24

Masyarakat miskin, Dukungan Eksternal (BKM, Pemda), Ketersediaan Potensi (lahan masih luas). LABEL tersebut dapat dikelompokkan ke dalam kategori POTENSI PARTISIPASI. Disamping Kategori tersebut ditemukan juga kategori yang lain dari peLABELan data hasil wawancara sebagai berikut: Berharap “sesuatu”, Tanggungjawab lingkungan, Hal baru, Tidak enak dengan warga lain, Ketersediaan Potensi (lahan masih luas) Bahasa yang mudah dimengerti. Semua label-label tersebut dapat dikategori sebagai FAKTOR PENDORONG PARTISIPASI

Seperti telah diuraikan di atas bahwa kondisi atau karakteristik masyarakat di wilayah studi khususnya Kelurahan Pringapus dapat dikategorikan sebagai masyarakat transisional. Masyarakat yang secara kultural masih guyub (gemeinschaftlich) akan tetapi telah terbuka dengan berbagai perkembangan terutama penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini memiliki daya tarik tersendiri untuk berpartisipasi (pull factor) di dalam program PLP-BK. Beberapa potensi lokal yang menjadi dari tarik atau memotivasi masyarakat untuk berpartisipasi di dalam pelaksanaan program PLP-BK khususnya di Pringapus diantaranya: berharap mendapat “sesuatu” dari kegiatan PLP-BK, ketersediaan potensi generasi muda yang relatif besar (Laskar ND), Masyarakat yang guyub dengan budaya gotong-royong (swadaya) yang masih kuat, tingkat kepercayaan yang tinggi dan kepemimpinan yang kuat (BKM), ketersediaan potensi lahan yang masih luas dan sebagainya. Potensi ini telah memberikan rasa percaya masyarakat akan keberhasilan pelaksanaan program PLP-BK (self and collective efficacy), sehingga membuat mereka menjadi antusias untuk berpartisipasi di dalam program.

….yang paling utama adalah mereka ingin mendapatkan bantuan di lingkungannya…(Sis/28-06-10/62-68)

….Motivasinya ya jadi sangat aktif karena ada berharap “sesuatu”, misalnya pengen lingkungannya dapat bantuan…(Riz/27-06-10/109-114)

….Motivasi masyarakat bagi mereka merupakan hal yang menarik mereka ingin tau terutama lascar…(Sis/28-06-10/58-59)

….yang kami rasakan sama temen-temen dalam ND ini, ini merupakan hal baru kami merasa tertantang tapi juga ada rasa beban tanggung jawab moral untuk menata lingkungan….(Wis/27-06-10/97-102)

….Ada ND masyarakat sangat antusias karena nanti pembangunan, bisa menjaga nilai gotong-royong yang sudah ada karena untuk pembangunan yang lebih baik masyarakat antusias…(Spr/25-06-10/21-26)

….Antusias masyarakat juga tinggi karena ada BKM yang akan datang…(Spr/25-06-10/27-28)

….juga jika stakeholder yang kuat masyarakat akan mau mendukung, jadi mereka melihat dulu dari unsur mana yang mengajak… (Sis/28-06-10/59-61)

Disamping faktor-faktor potensi partisipasi atau daya tarik untuk berpartisipasi (pull factor) yang telah diuraikan di atas terdapat juga faktor pendorong (push factor) masyarakat untuk partisipasi yaitu, kondisi masyarakat yang relatif masih miskin, tekanan tanggungjawab terhadap lingkungan, perasaan sungkan menolak perintah tokoh masyarakat untuk berpartisipasi di dalam PLP-BK, rasa malu sendiri karena warga lain semuanya ikut berpartisipasi.

…ya sebetulnya kan kami istilahnya dikasih beban tanggungjawab buat memperjuangkan lingkungan kami… (Wis/27-06-10/63-66)

…Masyarakat yang terlibat adalah masyarakat miskin karena mereka merasa butuh tapi untuk yang kaya enggan terlibat. Motivasi laskar itu lebih ke memperjuangkan dari lingkungan masing-masing, kan mereka ditunjuk jadi ada beban tanggung jawab lah ga enak karena sudah ditunjuk… (Riz/27-06-10/30-35)

…kalau mereka tidak hadir, mereka akan merasa malu sendiri tidak enak dengan warga lain… (Spr/25-06-10/47-51)

25

Dalam melakukan rangkaian kegiatan di dalam proses perencanaan partisipatif, karakteristik masyarakat khususnya di Kelurahan Pringapus yang “transisional” tersebut memberikan pengaruh yang signifikan atas keberhasilan pelaksanaan program. BKM Sedya Mulya sebagai organisasi bentukan masyarakat telah berhasil membagi tugas dan tangungjawab penyelesaian rangkaian kegiatan PLP-BK sesuai dengan karakteristik potensi masyarakat Pringapus yang transisional tersebut, sehingga proses perencanaan bisa berjalan efektif (+ 6 bulan). Rangkaian kegiatan perencanaan yang di dalamnya memiliki tingkat kesulitan dan kebutuhan kapasitas dan intensitas partisipasi yang berbeda-beda: intensitas waktu, kemampuan berpikir, kekuatan memberi pengaruh dan kekuatan fisik dari partisipan (peserta) yang berbeda telah dapat dikelola dengan efektif. Misalnya untuk berdiskusi di dalam pertemuan, mengikuti pelatihan, sosialisasi, survey dan pendataan, melakukan analisis data, menyajikan dan mempresentasikan hasil temuan lapangan, melakukan public hearing dan sebagainya telah diperankan oleh individu yang berbeda-beda sesuai karakteristik individu dan kapasitas dan kompetensinya.

5.6 Hambatan dan Tantangan Pelaksanaan PLP-BK

Selanjutnya disamping Tema dan sub tema yang telah diuraikan di atas, penelitian ini juga dilakukan untuk menjawab pertanyaan bagaimana HAMBATAN DAN TANTANGAN PELAKSANAAN PLP-BK dan bagaimana Strategi dan Teknik untuk mengatasi Hambatan tersebut di lokasi penelitian. Hambatan adalah segala sesuatu kendala yang bersifat menghalangi atau melemahkan untuk mewujudkan suatu tujuan tertentu yang berasal dari dalam sendiri. Tantangan adalah merupakan suatu usaha yang bersifat menggugah kemampuan.

Dari data hasil wawancara dapat diLABELkan beberapa fenomena yaitu: Waktu terbatas (Timeframe), Pemahaman program kurang, Ketergantungan kepada dukungan Pemerintah Daerah, Kepentingan Keluarga. LABEL tersebut dapat dikelompokkan ke dalam kategori KENDALA Partisipasi. Di samping kategori tersebut ditemukan juga kategori yang lain dari peLABELan data hasil wawancara sebagai berikut: Jumlah dan Luas Wilayah Perencanaan, Manajemen SDM yang efektif Pemerintah kurang perhatian, Personil tidak tetap, Personil tidak berwenang, Keputusan berlarut-larut, Karakteristik Peserta Beragam, Tenaga ahli yang berkompeten, Kesiapan Modul dan alat bantu. Semua label-label tersebut dapat dikategori sebagai TANTANGAN.

Di samping manfaat yang diperoleh dari pelaksanaan program melalui pendekatan partisipatif ada beberapa kendala atau hambatan pelaksanaan PLP-BK diantaranya: Waktu terbatas (Timeframe), Pemahaman terhadap program kurang, Ketergantungan kepada dukungan Pemerintah Daerah, Kepentingan Keluarga, Jumlah dan Luas Wilayah Perencanaan, Manajemen SDM yang efektif, Pemerintah kurang perhatian, Personil tidak tetap, Personil tidak berwenang, Keputusan berlarut-larut, Karakteristik Peserta Beragam, Tenaga ahli yang berkompeten, Konflik antar stakeholder (TA, Askot, BKM, TIPP, Kades dsb), Kesiapan Modul dan alat bantu dan sebagainya.

5.7 Strategi dan Metode, Teknik dan Instrumen Partisipasi

Adapun hambatan atau kendala seperti yang diuraikan di atas telah diatasi melalui strategi dan metode yang berbeda-beda seperti: Pemilihan Waktu kegiatan yang sesuai (malam hari), pemanfaatan Pertemuan Yang Ada, Melakukan sosialisasi yang efektif, Pelibatan masyarakat sejak dini, Pelibatan sesuai tingkat kepentingan kegiatan, Audiensi ke Pemerintah, Memberi contoh konkrit, Pelibatan kaum muda, Menggunakan Masyarakat untuk sosialisasi, Seleksi TA yang transparan, Pemasangan Baliho, Lomba dan Membagi Tugas Proporsional

Sedangkan untuk menjalankan berbagai strategi di atas telah dikembangkan berbagai teknik dan instrumen partisipasi sebagai berikut: Penentuan kriteria kawasan prioritas, Pelatihan dengan Contoh konkrit (Best Practices), Memotivasi (ice breaking), Alat bantu paparan, Alat bantu survey, Diskusi/ seminar /lokakarya/workshop, Lokakarya Uji Publik PS, Pameran, Metaplan, Pohon masalah, Bahasa yang mudah dimengerti.

26

5.8 Perencanaan skala kota (city wide) vs. lingkungan (neighborhood scale)

Hal lain yang penting untuk menjadi bahan pertimbangan bagi program PLP-BK di masa yang akan datang adalah konsep RTBL yang dipahami di dalam tradisi perencanaan selama ini adalah memecahkan permasalahan untuk mendukung kebijakan atau kepentingan pembangunan di dalam skala kota (city wide). Dari penilaian di lapangan pemahaman skala perencanaan ini sering menjadi pemicu konflik. Bagi pemerintah kota program PLP-BK dapat menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan program yang berdimensi lebih luas (city wide) dan berjangka panjang seperti telah disebutkan diatas: kemacetan lalu lintas akibat PKL dan aspek-aspek pengaturan garis sempadan jalan, tata guna lahan, dan sebagainya. Sementara masyarakat lebih berharap pemecahalan masalah skala lingkungan (neigborhood scale) yang lebih terkait dengan kebutuhan keseharian mereka seperti peningkatan kualitas prasaran dan utilitas dasar (perbaikan saluran, penerangan jalan, tempat sampah) yang sering bukan menjadi titik perhatian pemerintah kota.

Menurut peneliti menterjemahkan produk perencanaan yang dihasilkan oleh program PLP-BK dengan penyusunan RTBL yang sudah lumrah digunakan oleh para konsultan perencana konvensional kurang tepat. Mengacu pengertian Lingkungan Bertetangga seperti diuraikan di dalam kajian literatur maka istilah RTBL yang selama ini dipahami lebih berdimensi kota harus dikonstruksi ulang dengan istilah yang lebih berdimensi lokal atau komunitas (neighborhood planning) misalnya Rencana Penataan Lingkungan Bertetangga (RPLB).

5.9. Review kebijakan dan dialog (Top down – Bottom up) yang lebih setara

Pengalaman lain yang diperoleh dari hasil penelitian ini dan perlu menjadi perhatian pelaksanaan PLP-BK di masa yang akan datang adalah kegiatan ”review kebijakan” sebagai wahana dialog antara top down dan bottom up planning seharusnya dilaksanakan setelah masyarakat selesai melakukan identifikasi (pemetaan swadaya) permasalahan dan potensi yang dimilikinya dan membahasnya secara intensif di tingkat komunitas baru kemudian melakukan kegiatan dialog review kebijakan dan strategi pembangunan di tingkat kota atau kabupaten. Hal ini perlu diperhatikan karena dengan demikian masyarakat akan dapat lebih siap dan berani menyampaikan pendapat secara lebih berarti di dalam kegiatan review kebijakan dengan pemerintah daerah.

Disamping itu untuk menggali masalah dan potensi yang ditemukan di dalam lingkungan mereka dalam skala mikro maka perlu dilakukan penguatan kapasitas masyarakat. Penguata ini perlu dilakukan agar masyarakat lokal juga dapat belajar untuk menjembatani hasil pemetaan swadaya dengan rencana yang telah disusun dari atas (top down) di dalam kegiatan ”Review Kebijakan”.

Sayangnya dari hasil pengamatan di dalam pelaksanaan PLP-BK di Pringapus ditemukan bahwa salah satu kendala pelaksanaan review kebijakan ini justru muncul dari Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) itu sendiri. Peserta yang ditunjuk untuk mengikuti proses review kebijakan bukan orang yang berkompeten atau memiliki otoritas untuk mengambil keputusan dan bahkan peserta yang mengikuti proses PLP-BK sering berganti-ganti orang sehingga harus dijelaskan berulang-ulang tentang kegiatan PLP-BK karena peserta yang baru tidak mengikuti proses sebelumnya. Persoalan internal di dalam SKPD ini sangat mengganggu proses review kebijakan di dalam kegiatan PLP-BK. Hal ini telah menyebabkan keputusan yang diambil di dalam kegiatan review kebijakan menjadi tidak efektif.

5.10. Konflik Menentukan Kawasan Prioritas

Salah satu persoalan lain yang paling sensitif di dalam kegiatan PLP-BK adalah persoalan penetapan Kawasan Prioritas. Penetapan Kawasan Prioritas ini merupakan salah satu tahapan yang harus dilakukan di dalam program PLP-BK. Bagi masyarakat, hasil nyata yang diharapkan dari PLP-BK adalah terletak pada dimana Kawasan Prioritas ini akan ditetapkan. Karena dana yang disiapkan program PLP-BK sebesar Rp. 600 juta (BLM 3 dan 4) akan digunakan untuk membiayai pembangunan fisik di kawasan prioritas ini. Hal ini menjadi sumber konflik di tengah masyarakat. Masyarakat masih sulit mempercayai bahwa disamping dana yang bersumber dari program PLP-

27

BK akan ada dukungan dana dari pihak lain yang akan diupayakan melalui tahapan setelah perencanaan selesai yaitu tahapan pemasaran sosial (channeling program).

Pembelajaran yang dapat dipetik dari pengalaman di Pringapus adalah karena ini masih menjadi Pilot Projek Nasional yang masih bersifat try and error, maka kriteria ata mekanisme menentuan Kawasan Prioritas belum diuraikan secara jelas di dalam Pedoman Pelaksanaan PLP-BK. Hal ini mempersulit penetapan kawasan prioritas di lapangan. Disamping itu bila kriteria penentuan kawasan prioritas yang sudah disesuai dengan kriteria yang disusun dan disepakati bersama oleh warga pun di dalam praktek masih sering terjadi perdebatan dikalangan manajemen program PLP-BK dengan perhatian (concerns) berbeda dengan masyarakat.

Hal lain yang sering menjadi pemicu ketidakpastian di masyarakat adalah tentang kelayakan suatu proyek. Meskipun sesuatu masalah telah menjadi prioritas masyarakat akan tetapi bila suatu usulan dinilai tidak realistis maka dia tidak layak untuk diusulkan dengan pertimbangan bahwa dana yang dimiliki tidak akan memungkinkan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Akan tetapi sebaliknya bila kebutuhan mendesak masyarakat ditetapkan adalah masalah sampah terutama pengadaan tempat pembuangan sementara (TPS) meskipun sudah dinilai layak namun karena Pemda setempat pernah menjanjikan akan mengatasi hal tersebut maka diharapkan PLP-BK tidak lagi memilih hal itu untuk menjadi prioritas kegiatannya karena kemungkinan akan didanai oleh pemerintah setempat.

KESIMPULAN

Dari temuan studi dan pembahasan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa pendekatan partisipasi di dalam pelaksanaan PLP-BK di wilayah studi telah memberikan wewenang yang cukup besar untuk menentukan arah kebijakan dan strategi pengembangan lingkungan mereka akan tetapi semua itu harus berada dalam koridor kaidah-kaidah penataan ruang. Adapun beberapa kendala dan tantangan yang penting ditemukan di dalam praktek diantaranya: Pertama, belum adanya pemahaman yang sama dari para aktor pelaku tentang ruang lingkup permasalahan yang ingin diselesaikan apakah skala kota/kawasan atau skala lingkungan. Kedua, pendekatan perencanaan partisipatif yang melibatkan banyak pihak maka munculnya konflik menjadi suatu hal yang tidak dapat dielakkan. Ketiga, dengan demikian kompetensi seorang Tenaga Ahli Perencana Partisipatif (TAPP) tidak cukup hanya menguasai bidang perencanaan Tata Ruang akan tetapi harus juga menguasai aspek-aspek metode dan teknik partisipatif di dalam proses penyusunan rencana. Meskipun demikian penelitian ini menilai ada dua hal yang menarik dari penerapan perndekatan partisipatif: Pertaman, produk rencana yang dihasilkan (di dalam studi kasus ini) memiliki kualitas yang jauh lebih baik dibandingkan dengan produk dari pendekatan konvensional. Kedua dengan bantuan pendampingan dari tenaga ahli perencanaan partisipatif masyarakat ternyata mampu dan dapat berperan di dalam penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL).

28

LAMPIRAN

Sesuai rencana hasil penelitian ini telah disubmit pada Jurnal Ilmiah Terakreditasi Nasional Tataloka, Jurnal PWK Undip, namun karena ternyata Jurnal ini dalam proses akreditasi kembali, maka penulis menarik kembali tertikel yang sudah disubmit tersebut. Sebagai gantinya artikel ini ditulis kembali ke dalam bahasa inggris telah disubmit pada Jurnal Ilmiah Internasional ter-Indeks SCOPUS: International Journal of Technology (IJTech). Saat ini dalam proses review. Adapun judul dan abstrak dari dari artikel tersebut adalah sebagai berikut:

Collaborative planning processes in community based neighborhood upgrading program in Indonesia: lessons from Podosugih village in Pekalongan city, Indonesia (in process Asnawi Manaf, Budi Setiyono, Imam Wahyudi Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Diponegoro, Semarang

Abstract Learning from various experiences and research results, many scholars suggest that collaboration among related stakeholders is important in solving social, economic and environmental problems recently. Considering the importance of collaboration, the government of Indonesia during last decade has been trying to apply collaborative planning approach in various programs particularly on poverty alleviation and slum up-grading programs. Among the program is community based neighborhood upgrading program. Although this program was successful in certain parts, the evaluation of this program states that this program has not been satisfactory in the implementation of collaborative approach as expected by the government. This article presents a case study of the implementation of collaborative planning approach in the community based neighborhood upgrading program in Kelurahan Podosugih City of Pekalongan which has been viewed as successful in implementing the program. This article discusses the dynamics and the challenges of collaborative processes in the planning phases and provides some suggestions to improve the program in the future particularly in the planning phases. The research was taken in 2013 using qualitative method (case study) by collecting data through direct observation, in-depth interview with key informants, and analyzing secondary documents. Keywords: Collaborative approach, spatial planning, community participation, community based neighborhood upgrading program.

29

Disamping itu pula pada awal bulan Mei 2015 ini hasil penelitian juga telah disubmit untuk dipublikasi sebagai bagian buku (book chapter) dengan judul

Pekalongan City’s Pro-Poor Planning: Restoring Trust and Alleviating Poverty Asnawi Manaf, Budi Setiyono, Imam Wahyudi Department of Urban and Regional Planning, Diponegoro University, Semarang Email: [email protected]

Abstract

Poverty and unequal distribution of wealth have been major problems, especially since the development of modern urban industrial society. This has given rise to a wide variety of political ideologies and programs, some, like Marxism-Leninism of revolutionary proportions. Economic theories have attempted to deal with the causes and the consequences of poverty and unequal distribution. Many of the “New States” in Asia that emerged from colonial domination after World War II were driven in part by Socialist ideas and ideologies that sought, among other things, to solve the problems of poverty and unequal distribution of wealth. Our case study deals with one specific local government attempt to plan for development, specifically by using plans than are “pro-poor.”

Keywords: Collaborative approach, spatial planning, community participation, community based neighborhood upgrading program

Selanjutnya pada awal Juni 2015 hasil penelitian juga telah disubmit untuk didiseminasi pada konferensi internasional yang akan diadakan oleh RC-CEHUD di Surabaya pada tanggal 25 September 2015. Artikel yang disubmit dengan judul sebagai berikut:

Community based strategic neighborhood action planning toward public-community collaborative partnership in slum up-grading program in Indonesia

Lessons from participatory action research in Kutoharjo Village, Kendal District, and Pringapus

Village, Semarang District, Indonesia

Asnawi Manaf, Budi Setiyono and Mohammad Muktiali Urban Development Laboratory, Department of Urban and Regional Planning

Engineering Faculty of Diponegoro University, Semarang -Indonesia

Abstract Since last decades the Community Based Development Approach has been widely discussed and even accepted in development activities not only in developing country but also in developed country. In Indonesia, for example, there is a Program called Community Based Neighborhood Development Program, which deals with the issues related to Infrastructure Development for low income informal Settlement. Unlike the tradition of action planning approach commonly applied in sub standard areas (more problem oriented), planning approach in this program is aimed at long-term goals and wider dimension of planning objective (more strategic oriented). Besides, this program is also lauched to

30

introduce a new perspective of partnership model that so called collaborative partnership between all related stakeholder particularly community and local government. This paper examines the practice of the Community Based Neighborhood Development Project in Kendal and Semarang District and outlines issues, challenges and constraints faced in the implementation process. The research conducted by qualitative research method (‘participatory action research’) concludes that the approaches can contribute to social learning process, enhance the capacity of the community, and build mutual-understanding between local government and the community. However, applying this approach needs social and political commitment/engagement of the local goverment.

Keywords: Community based neighborhood development program, strategic action planning, public-community collaborative partnership.