langkah weekly 3rd edition

5

Upload: langkah-travel-magazine

Post on 23-Mar-2016

244 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Pulau Samalona, Eksotisme Bahari dari Selat Makassar

TRANSCRIPT

Eksotisme Baharidi Selat Makassar

Pulau Samalona,

February I 2014

Tentang LangkahPembuatan “Langkah” bukan untuk mencari keuntungan. Saya hanya ingin berbagi pengalaman saja. Harapan saya sederhana, semoga pembaca ter-hibur dan terbantu dalam menentukan destinasi wisata. Saya sendiri bukan fotografer atau penulis profesional. Sehingga hasil jepretan dan tulisan saya jauh dari sempurna. Semuanya murni berawal dari keisengan untuk mengisi waktu luang. Jika memang karya saya dirasa layak baca, “Langkah” bebas untuk dishare dan dibaca siapapun. Untuk perbaikan ke depan, silakan kontak saya di surel [email protected]. depan, silakan kontak saya di surel [email protected].

“Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”Raden Ajeng Kartini

Peralatan snorkle dapat disewa di Pulau Samalona (atas), beberapa rumah penduduk dengan gaya rumah panggung (tengah),

February I 2014

1

pantai pasir putih dengan air laut yang jernih memanjakan para wisatawan (foto ini).

“Saya tak menyangka ada tempat setenang ini tak jauh dari kota terbesar di Indonesia bagian timur. Ini adalah tempat sem-purna untuk lari sejenak dari kebisingan dan kepenatan kota

besar, dan kembali lagi segera setelahnya.”

2

Pandangan saya masih lurus menuju lautan lepas, ke arah Selat Makassar. Tak ada yang mengusik saya siang itu. Kecuali panas matahari yang terik menimpa kulit saya. Beberapa burung tampak beterbangan di pinggir pantai. Terbang rendah seolah ingin menangkap sesuatu di bawah air. Saya menunduk ke bawah, melihat kaki saya yang menghitam menyisakan segaris loreng bekas talitali sandal jepit yang saya kenakan. Kamera yang saya genggam mengangur sedari tadi. Saya lebih memilih untuk duduk diam di atas dipan bambu ini dibanding memotret sana-sini. Ya, untuk saat ini saya mengizinkan diri saya untuk diam saja. Mendengarkan debur ombak dan gesekan daun kelapa, dan sesekali suara angin yang tipis terdengar di telinga.Saya sedang berada di Pulau Samalona. Sebuah

tempat eksotis yang secara menakjubkan, letaknya tak jauh dari Kota Makassar. Kota terbesar di Indonesia bela-han timur. Cukup setengah jam kita tempuh naik kapal cepat dari pelabuhan di depan Benteng Rotterdam. Bila ombak sedang tinggi, perjalanan laut menuju Pulau Sa-malona bisa mencapai satu jam. Pulau ini berada kurang lebih 15 kilometer di sebelah barat daya Kota Makassar berdekatan dengan beberapa pulau kecil lainnya yang tergabung dalam Kepulauan Spermonde. Pulau Samalo-na menjadi primadona di antara pulau-pulau lain di gugu-san Kepulauan Spermonde karena fasilitas di sini cukup lengkap. Ada beberapa rumah penduduk di sini yang menyewakan kamar mandi, menjual makanan kecil atau besar, dan juga menyediakan peralatan snorkeling dan selam bagi yang ingin menyewa. Letaknya yang tidak jauh dari Makassar dan akses yang mudah, menjadikan-nya cukup diminati penikmat wisata bahari di akhir pekan. Siang itu saya sedang mengunjungi Pulau Samalona

terkait sebuah kegiatan fieldtrip mengenai karbonat modern, atau biasa kita sebut batu karang. Saya ber-sama rombongan dari Jakarta sempat terbius ketika kami pertama kali menginjakkan kaki kami di dataran berpasir putih yang lembut. Saya sendiri sempat tak percaya bila dengan jarak yang tak jauh dari Makassar, saya sudah bisabisa menemukan tempat laksana “hidden paradise” begini. Batuan karang di Pulau Samalona cukup terjaga dengan baik. Saya sempat melakukan aktivitas snor-keling di sisi selatan pulau. Eksotis! Memang kita tidak bisa membandingkannya dengan spot-spot diving lain yang lebih “wah” di Indonesia, namun Pulau Samalona dengan segala kemudahan akses dan biaya untuk mengunjunginya, cukup memberikan pemandangan bawah laut yang elok. Setelah puas ber-snorkle ria, saya memutuskan untuk

berpisah dari rombongan. Pulau Samalona yang luasnya hanya sekitar 2 hektar, sangat mudah untuk dijelajahi. Saya mengawalinya dengan berjalan di sisi timur pulau, tempat di mana kapal kami berlabuh. Pasir putih memen-uhi pandangan mata saya. Ditambah dengan curah cahaya matahari yang tinggi, membuat saya berpikir dua kalikali untuk bertelanjang kaki ketika berjalan di atasnya. Berderet pohon perindang tumbuh di pantai timur ini, ber-sanding dengan sebuah mushola kecil yang menampung jamaah beberapa rumah penduduk yang mendiami pulau. Berjalan ke utara, saya menjumpau sebuah rerun-tuhan dermaga yang cukup panjang. Entah apa yang membuat dermaga ini tidak digunakan lagi. Yang tersisia hanyalah dua baris tiang penyangga yang menerus dan berujung di pinggir pantai. Di dermaga itu juga dapat kita temu sebuah papan yang bertuliskan “Pemiliki Pulau Sa-malona”. Ternyata pulau ini dimiliki oeh beberapa orang sekaligus. Untuk menegaskan kepemilikin mereka, dibuatlah papan nama tersebut. Matahari semakin terik di atas saya. Membuat saya beride untuk berjalan lebih ke darat, mencari pepohonan. Saya lanjutkan penjelajahan

February I 2014

“mini” saya ke sebelah utara pulau yang pantainya lebih curam. Tidak landau dengan pasir putih yang berlimpah seperti di bagian pulau yang lain. Di sini kita jumpai be-berapa rumah penduduk dengan corak rumah pang-gung. Dinding rumah terbuat dari kayu dan beratapkan seng. Model rumah seperti ini sangat khas pesisir. Be-berapa di antaranya dapat disewa oleh pengunjung untuk bermalam di pulau. Saya kembali berjalan menuju sisi barat pulau, namun

kali ini saya berbelok ke arah tengah pulau untuk menen-gok sebuah pendopo yang cukup rindang terlindung sebuah pohon besar. Ternyata yang saya temukan adalah sebuah makam yang saya kira cukup dikeram-atkan oleh warga setempat. Saya terus berjalan ke barat, dan saya bertemu dengan seorang bapak yang sedang membakar ikan. Ya, warga setempat hidup dari kegiatan pariwisata di Pulau Samalona. Mereka menyediakan jasa untuk memasak berbagai hidangan laut yang lang-sung diolah di pinggir pantai seperti ini. Sungguh sensasi makan seafood yang luar biasa! Perjalanan saya menge-lili Pulau Samalona usai di setelah saya bertemu lagi dengan pantai tempat saya melakukan snorkeling tadi. Total hanya butuh waktu 20 menit untuk menikmati selu-ruh pesisir pantai pulau ini. Menginjak siang saya diajak teman-teman untuk ber-

santap siang. Menunya? Tentu segala macam olahan hasil laut! Sungguh nikmat sekali makan hidangan laut dengan bumbu sederhana, dan kita santap di pinggir pantai seperti ini. Makanan yang spesial tentu kan lebih spesial bila kita menyantapnya di tempat yang spesial. Matahari mulai condong ke barat ketika saya didatangi

oleh seorang ibu penduduk asli Pulau Samalona. “Mas, saya mengingatkan saja, kalau menyeberang ke Makas-sar jangan kesorean, nanti ombak semakin tinggi. Kalau udah begitu, nanti kapal bakal susah nyebrangnya,” kata si Ibu tadi mendatangi saya yang sedang memeriksa hasil jepretan saya seharian ini. “Oh iya Bu. Nanti saya bilanginbilangin ke teman-teman yang lain. Makasih ya Bu.” Dan jadilah saya dan rombongan segera bergegas untuk kembali pulang ke Makassar. Sungguh cukup berat men-inggalkan segala ketenangan yang ada di sini. Dengan sepoi angina yang membuai dan menyenangkan. Namun kami harus kembali sebelum ombak meninggi. Dan jadilah saya sudahi petualangan di Pulau Samalona hari itu. Untuk mengunjungi Kepulauan Spermonde, baiknya

kita berangkat dari dermaga di depan Benteng Rotter-dam sejak hari masih pagi. Jadi kita bisa puas menjela-jah pulau. Bahkan jika kita masih punya waktu, bisa juga kita kunjungi pulau-pulau lain dalam gugus Kepualaun Spermonde yang memiliki daya tarik masing-masing.

3

Relaksasi: duduk santai menghadap laut lepas.

Kami meninggalkan Pulau Samalona.

February I 2014