landasan teori konsep pajak pengertian pajakthesis.binus.ac.id/doc/bab2/2011-2-00727-ak...

25
10 BAB II LANDASAN TEORI II.1 Konsep Pajak Bagian-bagian dari konsep pajak ini terdiri dari pengertian pajak, fungsi pajak, jenis pajak dan tata cara pemungutan pajak, utang pajak dan pajak yang terutang. II.1.1 Pengertian Pajak Banyak sekali pengertian atau batasan pajak yang telah dikemukakan oleh para ahli baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri, namun pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu dalam rangka merumuskan pengertian pajak sehingga mudah untuk dipahami. Menurut Rochmat Soemitro, dalam buku Mardiasmo (2001;1) Pajak adalah: ”Iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbale (kontra prestasi) yang langsung dapat ditinjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum”. Menurut Edwin RA Soligman (2007;2) pajak adalah “Kontribusi seseorang yang ditujukan kepada negara tanpa adanya manfaat yang ditujukan secara khusus kepada seseorang''.

Upload: phungxuyen

Post on 07-Mar-2019

232 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

10

BAB II

LANDASAN TEORI

II.1 Konsep Pajak

Bagian-bagian dari konsep pajak ini terdiri dari pengertian pajak, fungsi pajak,

jenis pajak dan tata cara pemungutan pajak, utang pajak dan pajak yang terutang.

II.1.1 Pengertian Pajak

Banyak sekali pengertian atau batasan pajak yang telah dikemukakan oleh para

ahli baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri, namun pada dasarnya memiliki

tujuan yang sama yaitu dalam rangka merumuskan pengertian pajak sehingga mudah

untuk dipahami.

Menurut Rochmat Soemitro, dalam buku Mardiasmo (2001;1) Pajak adalah:

”Iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat

dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbale (kontra prestasi) yang

langsung dapat ditinjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran

umum. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk

menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai

kesejahteraan umum”.

Menurut Edwin RA Soligman (2007;2) pajak adalah “Kontribusi seseorang yang

ditujukan kepada negara tanpa adanya manfaat yang ditujukan secara khusus kepada

seseorang''.

11

Pajak menurut Pasal 1 UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan

tata cara perpajakan adalah :

"Kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi

atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang,

dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan

untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Pengertian tersebut lebih condong ke bidang ekonomi, dengan peralihan

kekayaan dan kegunaan dalam masyarakat. Kalau ditinjau dari segi hukum, maka titik

beratnya terletak pada perikatan hak dan kewajiban. Sementara pemahaman pajak dari

perspektif hukum merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-

undang yang menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan

sejumlah penghasilan tertentu kepada negara, negara mempunyai kekuatan untuk

memaksa dan uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan

pemerintahan. Dari pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut

harus berdasarkan undang-undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik

bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar pajak.

II.1.2 Fungsi Pajak

Dalam beberapa tahun, dapat dilihat adanya perubahan dan perkembangan yang

terjadi di Indonesia, khususnya di bidang perpajakan. Berbagai perubahan dan

perkembangan itu merupakan penyesuaian terhadap perubahan dan perkembangan yang

terjadi secara global, sebagai konsekuensi dari koreksi yang ada, pengalaman di masa

lalu, dan demi terwujudnya fungsi dari system perpajakan di Indonesia, yaitu fungsi

budgetair dan fungsi regulerend

12

II.1.2.1 Fungsi Budgetair

Fungsi Budgetair adalah fungsi yang letaknya di sektor publik, yakni

untuk mengumpulkan uang pajak sebanyak-banyaknya sesuai undang-undang

yang berlaku pada waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran

negara, baik itu pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. Apabila

ada sisa (surplus) akan digunakan sebagai tabungan pemerintah untuk investasi

pemerintah. Fungsi ini juga tercermin dalam asas efficiency atau asas financial,

yaitu menekankan pada pemasukan yang sebesar-besarnya dengan pengeluaran

yang sekecil-kecilnya dari suatu penyelenggaraan perpajakan. Namun, rumusan

ini dianggap terlalu berlebihan karena mengumpulkan uang ”sebanyak-

banyaknya” ke kas negara tanpa memperhatikan undangundang perpajakan yang

berlaku dapat menimbulkan berbagai ekses.

Bahasa yang lebih tepat untuk fungsi budgetair ini adalah suatu fungsi

dalam mana pajak dipergunakan sebagai alat untuk memasukkan dana secara

optimal ke kas negara berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku.

II.1.2.2 Fungsi Regulerend

Fungsi regulerend, disebut juga fungsi tambahan, yaitu suatu fungsi

dalam mana pajak dipergunakan oleh pemerintah sebagai alat untuk mencapai

tujuan tertentu. Disebut sebagai fungsi tambahan karena fungsi ini hanya sebagai

pelengkap dari fungsi utama pajak, yakni fungsi budgetair. Fungsi regulerend ini

menyatakan pajak-pajak tersebut akan digunakan sebagai alat untuk mencapai

tujuan-tujuan tertentu yang letaknya di luar bidang keuangan.

13

Fungsi budgetair merupakan fungsi utama perpajakan, tetapi

sesungguhnya kedua fungsi pajak diatas merupakan satu kesatuan yang saling

melengkapi dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Walaupun pajak berfungsi

sebagai pendapatan negara, namun harus pula dipertimbangkan dampaknya pada

masyarakat. Demikian sebaliknya, apabila fungsi mengatur di bidang sosial,

ekonomi, maupun bidang lainnya, harus juga mempertimbangkan pengaruhnya

terhadap penerimaan negara.

II.1.3 Jenis pajak dan tata cara pemungutan pajak

II.1.3.1 Jenis pajak

Jenis pajak di Indonesia berdasarkan lembaga yang memungutnya

dibedakan atas dua diantaranya: (Agus Setiawan;2006)

1. Pajak negara (pusat)

Pajak yang dipungut pemerintah pusat dan merupakan tanggung jawab

Departemen Keuangan Republik Indonesia yang secara operasional

dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan

Cukai.

2. Pajak daerah

Pajak daerah akan dipungut dan digunakan oleh rumah tangga daerah masing-

masing, sehingga timbul pajak daerah propinsi dan pajak daerah

kabupaten/kotamadya.

Jenis pajak di Indonesia berdasarkan golongannya terdiri dari dua yaitu:.

1. Pajak langsung adalah pajak yang bebannya harus ditanggung sendiri oleh

wajib pajak yang bersangkutan dan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain.

Contohnya pajak penghasilan (PPh)

14

2. Pajak tidak langsung adalah pajak yang bebannya dapat dialihkan kepada

pihak lain. Contohnya pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas

barang mewah.

II.1.3.2 Tata cara pemungutan pajak

Dalam perpajakan terdapat beberapa tata cara pemungutan pajak yang

harus dilakasanakan dalam perpajakan, antara lain :

a. Stelsel pajak

Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan tiga stelsel diantaranya:

1. Stelsel nyata (riel stelsel)

Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata),

sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak,

yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui. Stelsel nyata

mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan stelsel nyata adalah

pajak yang dikenakan lebih realistis. Sedangkan kelemahannya adalah

pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan real

diketahui).

2. Stelsel Anggapan (fictive stelsel)

Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh

undang-undang. Misalnya, penghasilan suatu badan dianggap sama

dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat

ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan.

Kebaikan stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan,

tanpa harus menunggu pada akhir tahun. Sedangkan kelemahannya

15

adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang

sebenarnya.

3. Stelsel campuran

Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dengan stelsel

anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu

anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan

keadaan yang sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut kenyataan lebih

besar dari pada pajak menurut anggapan, maka Wajib Pajak harus

menambah. Sebaliknya, jika lebih kecil, kelebihannya akan diminta

kembali.

b. Asas Pemungutan Pajak

Dalam melakukan pemungutan pajak terdapat beberapa asas, yaitu

(Mardiasmo;2007) :

1. Asas domisili (asas tempat tinggal)

Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak

yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari

dalam maupun dari luar negeri. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak dalam

negeri.

2. Asas sumber

Negara berhak mengenakan penghasilan yang bersumber di wilayahnya

tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak.

3. Asas kebangsaan

Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu Negara.

Misalnya pajak bangsa asing di Indonesia dikenakan pada setiap orang

16

yang bukan berkebangsaan Indonesia bertempat tinggal di Indonesia.

Asas ini berlaku bagi Wajib Pajak luar negeri.

c. Sistem pemungutan pajak

System pemungutan pajak terdiri dari tiga jenis diantaranya:

(Mardiasmo;2007)

1. Official assessment system

Suatu sistem pemungutan pajak dimana besarnya pajak yang harus

dilunasi atau pajak yang terutang oleh Wajib Pajak ditentukan oleh fiskus.

2. Self assessment system

Suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan kepercayaan kepada

Wajib Pajak untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang,

sehingga Wajib Pajak harus aktif dalam memenuhi hak dan melaksanakan

kewajiban perpajakannya.

3. Witholding system

Suatu sistem pemungutan pajak dimana penghitungan besarnya pajak,

penyetoran dan pelaporan pajak yang terutang oleh Wajib Pajak

dilakukan oleh pihak ketiga, misalnya PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh

Pasal 23, dan PPh Pasal 26.

d. Syarat-syarat pemungutan pajak

Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka

pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut:

1. Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan)

17

Sesuai dengan tujuan hukum yakni mencapai keadilan, undang-undang

dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan

diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta

desesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedangkan adil dalam

pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi Wajib Pajak untuk

mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak.

2. Pemungutan pajak harus berdasarkan Undang-undang (syarat yuridis)

Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini

memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi

negaranya maupun bagi warganya.

3. Tidak mengganggu perekonomian (Syarat ekonomis)

Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi

maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan

perekonomian masyarakat.

4. Pemungutan pajak harus efisien (Syarat financial)

Sesuai dengan fungsi budgetair, biaya pemungutan harus dapat

ditekankan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya.

5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana

System pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong

masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Syarat ini telah

dipenuhi oleh undang-undang perpajakan yang baru.

Contoh:

a. Bea materai disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2 macam

tarif

18

b. Tarif PPN yang beragam disederhanakan menjadi hanya satu tarif,

yaitu 10 %

c. Pajak perseroan untuk badan dan pajak pendapatan untuk

perseorangan disederhanakan menjadi pajak penghasilan (PPh) yang

berlaku bagi badan maupun perseorangan (orang pribadi).

e. Hambatan pemungutan pajak

Hambatan terhadap pemungutan pajak dapat dikelompokkan menjadi:

1. Perlawanan aktif

Masyarakat enggan (pasif) membayar pajak, yang dapat disebabkan

antara lain:

a. system perpajakan yang mungkin sulit dipahami masyarakat

b. system control yang tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan

dengan baik.

2. Perlawanan pasif

Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan secara langsung

ditujukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak.

Bentuk perlawanan aktif antara lain:

a. tax avoidance, usaha meringankan beban pajak dengan tidak

melanggar undang-undang

b. tax evasion, usaha meringankan beban pajak dengan cara

malanggar undang-undang (menggelapkan pajak).

19

II.1.4 Utang Pajak dan Pajak Yang Terutang

II.1.4.1 Pengertian utang pajak dan pajak terutang

Pengertian utang dalam hukum perdata dapat mempunyai arti luas dan

sempit. Utang dalam arti luas bila dilihat secara umum merupakan segala sesuatu

yang harus dilakukan oleh yang berkewajiban sebagai konsekuensi perikatan

seperti menyerahkan barang, melakukan perbuatan tertentu, membayar barang dan

sebagainya.Sedangkan utang dalam arti sempit adalah perikatan sebagai akibat

perjanjian khusus yang disebut utang piutang yang mewajibkan debitur untuk

membayar kembali jumlah uang yang telah dipinjamnya dari kreditur. Jadi, utang

pajak bila dilihat dalam arti luas menurut hukum pajak merupakan suatu ikatan

yang terjadi karena perjanjian disatu pihak sebagai kreditur dan pihak lain sebagai

debitur yang melakukan suatu ikatan yang bukan hanya perjanjian tetapi karena

undang-undang, yang penagihannya dapat dipaksakan.

Utang pajak adalah pajak yang masih harus dibayar sebagai dasar

penagihan pajak, sedangkan pengertian Pajak yang terutang menurut P. Siahaan

(2004;124) adalah:

”Menurut Ketentuan Perpajakan Indonesia, Pajak yang terutang adalah

pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam masa pajak, dalam

tahun pajak atau dalam bagian tahun pajak menurut ketentuan

peraturan perundang-undangan perpajakan”

Untuk mengetahui besarnya pajak yang terutang adalah dengan

mengetahui unsur-unsur rumus pajak, yakni adanya tax base atau dasar

pengenaan pajak, tax rate atau tarif pajak dan adanya tax payer atau wajib

20

pajak. Earl R. Rolph sebagaimana dikutip oleh Safri Nurmantu (2003;40)

memberikan batasan tentang rumus terutangnya pajak:

”A tax formula contains at least three elements: the definition of the base,

the rate structure, and the identification of legal tax payer. The base

multiplied by the appropriate rate gives a product, called the tax liability,

which is the legal obligation that the taxpayer must meet at specified

data”.

II.1.4.2 Timbulnya utang pajak

Terdapat dua ajaran mengenai saat timbulnya utang pajak, yaitu : (Syafri

Nurmantu, 2003)

1. Ajaran Material

Menurut ajaran material, timbulnya utang pajak karena bunyi undang-

undang saja, tanpa diperlukan suatu perbuatan manusia (jadi sekalipun tidak

dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak oleh fiskus) asalkan dipenuhi syarat:

terdapatnya suatu tatbestand (keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan-

perbuatan dan peristiwa-peristiwa, yang dapat menimbulkan utang pajak).

2. Ajaran Formal

Menurut ajaran formal, timbulnya utang pajak apabila telah dikeluarkannya

Surat Ketetapan Pajak. Jadi, selama belum ada utang pajak tidak akan

dilakukan tindakan penagihan walaupun syarat subjek dan objek telah

terpenuhi.

21

II.1.4.3 Hapusnya utang pajak

Setiap peristiwa perikatan, termasuk utang pajak, pada akhirnya akan

jatuh tempo dan harus berakhir.Umumnya berakhirnya utang pajak karena dibayar

atau dilunasi. Dalam hukum pajak, ada beberapa cara berakhirnya utang pajak

antara lain:

1. Adanya pelunasan atau pembayaran

Utang pajak akan hapus apabila Wajib Pajak melakukan pembayaran atas

utang pajaknya ke kas negara. Dalam hukum pajak yang dimaksudkan adalah

pembayaran dengan menggunakan mata uang dari negara yang memungut

pajak ini. Pembayaran harus disetorkan ke kas negara atau tempat lain yang

ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dalam hal ini tempat lain misalnya bank

yang ditunjuk pemerintah, baik bank pemerintah atau swasta, kantor pos dan

giro.

2. Kompensasi

Kompensasi terjadi apabila Wajib Pajak mempunyai kelebihan pembayaran

pajak, sedangkan disisi lain terdapat kekurangan pembayaran pajak sehingga

jumlah kelebihan pembayaran pajak tersebut dapat dikompensasikan untuk

tahun atau masa pajak berikutnya. Contohnya kelebihan pembayaran Pajak

Pertambahan Nilai untuk bulan Maret 2009 dikompensasikan untuk

pembayaran pajak bulan April 2009.

3. Daluwarsa atau lewat waktu

Yang dimaksud dengan daluwarsa dalam hukum pajak adalah hilangnya atau

hapusnya atau gugurnya wewenang fiskus untuk melakukan penetapan dan

penagihan pajak, karena berlalunya suatu masa. Ada dua macam aliran

22

mengenai daluwarsa dalam hukum pajak, yakni aliran daya kuat (sterke

werking van de verjaring) dan aliran daya lemah (zwakke werking van de

verjaring). Menurut aliran daya kuat maka yang daluwarsa adalah baik

penetapan mapun penagihannya. Sedangkan menurut aliran daya lemah yang

daluwarsa adalah penagihannya saja.

Disini daluwarsa diartikan sebagai daluwarsa penagihan, dimana suatu utang

pajak yang sudah daluwarsa tidak dapat ditagih lagi oleh fiskus dan Wajib

Pajak berhak untuk tidak melunasi utang pajaknya yang sudah daluwarsa.

4. Pembebasan pajak

5. Penghapusan pajak.

II.2 Penagihan Pajak

II.2.1 Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa

Pengertian penagihan pajak menurut Undang-Undang Penagihan Pajak Dengan

Surat Paksa (PPSP) no 19 tahun 2000 adalah:

“Serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan

biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan,

melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat

Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan

penyanderaan, menjual barang yang telah disita”.

Dari definisi-definisi tersebut dapat diambil unsur-unsur pokok yang terdapat di

dalamnya, yaitu :

1. Serangkaian Tindakan

Bahwa penagihan pajak merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan oleh

Aparatur Direktorat Jenderal Pajak secara konsisten dan berkesinambungan kepada

23

Wajib Pajak yang tidak melakukan kewajibannya melunasi utang pajak dari mulai

penerbitan Surat Teguran sampai dengan penjualan barang-barang Wajib Pajak

yang disita melalui lelang.

2. Aparatur Direktorat Jenderal Pajak

Bahwa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan tindakan

penagihan pajak tersebut adalah jurusita pajak sebagaimana diuraikan dalam

Undang Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa No. 19 tahun 2000 pasal 1

angka 6.

3. Wajib Pajak yang tidak melunasi sebagian atau seluruh kewajiban pajak yang

terutang

Penagihan pajak merupakan langkah yang ditempuh oleh Direktorat Jenderal Pajak

bagi Wajib Pajak yang berdasarkan STP (Surat Tagihan Pajak), SKPKB (Surat

Ketetapan Pajak Kurang Bayar), SKPKBT(Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar

Tambahan), Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan dan Putusan

Banding masih terdapat kekurangan dalam pembayaran pajak yang terutang.

4. Menurut Undang-undang Perpajakan

Bahwa tindakan Penagihan Pajak yang dilakukan adalah dilandasi oleh hukum

formal yaitu melalui Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa No. 19

tahun 2000 Pasal 1 angka 9.

II.3 Tahapan Tindakan Penagihan Pajak

Dalam pelaksanaan tindak penagihan ada tahap-tahap yang harus dilakukan oleh

Jurusita Pajak adalah sebagai berikut :

24

Tabel 2.1. Jadwal Waktu Penagihan Pajak

No Jenis Tindakan Alasan Waktu

Pelaksanaan

1 Surat Teguran atau Surat

Peringatan atau surat lain

yang sejenis (Ps 8 - Ps 11

PMK No.24/PMK.03/2008)

Penanggung Pajak tidak

melunasi utang pajaknya

sampai dengan jatuh

tempo

Setelah 7 (tujuh)

hari sejak saat jatuh

tempo

2 Penerbitan Surat Paksa (Ps7

UU No.19/2000 ) Ps 15 -

23PMK

no.24/PMK.03/2008

telah dilakukan Surat

Teguran

Setelah lewat 21

hari

3 Penerbitan Surat Perintah

Melaksanakan Penyitaan

(Pasal 12 UU No.19/2000)

telah diberitahukan Surat

Paksa

Setelah lewat 2x 24

jam

4 Pengumuman Lelang Ps 26

PMK No. 24/PMK.03/2008)

Setelah pelaksanaan

penyitaan

Setelah lewat

waktu 14) hari

sejak sita

5 Penjualan/Pelelangan

Barang Sitaan (ps 26 UU

No.19/2000) (Ps28 PMK:

24/ PMK.03/2008)

Setelah pengumuman

lelang ternyata

Penangung Pajak tidak

melunasi utang pajaknya

Setelah lewat

waktu 14 hari sejak

Peng. Lelang

Sumber: Buku pedoman penagihan pajak 2009

25

II.3.1 Surat Teguran

II.3.1.1 Penagihan Pajak dengan Surat teguran

Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis adalah surat

yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur atau memperingatkan kepada Wajib

Pajak untuk melunasi utang pajaknya.

Dasar hukum surat teguran antara lain:

1. Pasal 1 angka 3 dan Pasal 5 KMK No. 561/KMK.04/2000 tgl 26 -12- 2000

untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2007 dan

sebelumnya

2. Pasal 1 angka 3 dan Pasal 8 PMK No. 24/PMK.03/2008 Tanggal 6 Februari

2008

3. Surat Teguran diterbitkan dalam jangka waktu setelah 7 hari sejak tanggal

jatuh tempo pembayaran pajak.

II.4 Pengertian dan Dasar Hukum Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (PPSP)

Surat Paksa menurut Pasal 1 angka 12 Undang-Undang PPSP dan pasal 1 angka

5 PMK-24/2008) adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan

pajak. Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung jawab pajak

melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan,

melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa,

mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyandraan,

menjual barang yang telah disita.

Dasar hukum Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa adalah Undang-Undang

Nomor 19 Tahun 1997 tentang penagihan pajak dengan surat paksa sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2000.

26

Surat paksa sekurang-kurangnya memuat :

1. Nama wajib pajak atau nama wajib pajak dan penanggung pajak .

2. Besarnya uang pajak .

3. Perintah untuk membayar.

Pengertian-pengertian lain yang berhubungan dengan surat paksa:

1. Penanggung pajak

Adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak,

termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban wajib pajak

menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

2. Biaya penagihan pajak

Adalah biaya pelaksanaan surat paksa, Surat perintah melaksanakan penyitaan,

pengumuman lelang, pembatalan lelang, jasa penilai, dan biaya lainnya

sehubungan dengan penagihan pajak.

Dilihat dari segi isinya, Surat Paksa memuat hal-hal sebagai berikut:

1. Berkepala kata-kata “ Atas Nama Keadilan” namun menurut UU No. 19 tahun

1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.19 tahun 2000

pasal 7 disesuaikan bunyinya menjadi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa “.

2. Nama Wajib Pajak/Penanggung Pajak, keterangan cukup tentang alasan yang

menjadi dasar penagihan, perintah membayar.

3. Dikeluarkan/ditandatangani oleh Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri

Keuangan/Kepala daerah.

Sedangkan dari segi karakteristiknya, surat paksa :

27

1. Mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan Grosse putusan hakim

dalam perkara perdata yang tidak dapat diminta banding lagi pada Hakim atasan.

2. Mempunyai kekuatan hukum yang pasti (in kracht van Gewijsde).

3. Mempunyai fungsi ganda yaitu menagih pajak dan menagih bukan pajak

(biaya-biaya penagihan).

4. Dapat dilanjutkan dengan tindakan penyitaan atau penyanderaan/

pencegahan.

Menurut Pasal 8 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 Jo Undang-Undang

Nomor 19 Tahun 2000 dinyatakan bahwa Surat Paksa diterbitkan apabila :

1. Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya telah diterbitkan Surat

Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis;

2. Terhadap Penanggung Pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus;

atau

3. Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam

keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.

Adapun yang dimaksud dengan biaya penagihan antara lain meliputi :

1.Biaya pemberitahuan surat paksa (Pelaksanaan Pasal 10 ayat (1) UU PPSP)

2.Biaya pelaksanaan penyampaian surat perintah melaksanakan penyitaan

(Pelaksanaan Pasal 12 ayat (2) UU PPSP;

3.Biaya Pengumuman Lelang;

4.Biaya tambahan penagihan pajak karena pelaksanaan lelang yaitu 1% (satu

persen) dari pokok lelang (Pasal 28 ayat (1a) UU PPSP); pengertian

28

“tambahan” ini mengandung maksud bahwa ada biaya lelang tersendiri diluar

biaya ini yang besarnya ditentukan oleh Peraturan Lelang;

5.Biaya tambahan penagihan apabila barang yang disita tidak dijual melalui lelang

yaitu sebesar 1% (satu persen) dari nilai barang untuk pelunasan utang pajak

tanpa lelang (Pasal 25 ayat (4) UU PPSP; dan

6.Biaya-biaya lain yang berhubungan dengan pelaksanaan penagihan pajak.

II.4.1 Penyitaan

Pengertian penyitaan menurut Undang-Undang No. 19 tahun 2000 tentang

Penagihan Pajak dengan Surat Paksa pasal 1 (14) adalah tindakan jurusita pajak untuk

menguasai barang Penanggung Pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang

pajak menurut peraturan perundang-undangan.

Objek sita adalah barang penanggung pajak yang dapat dijadikan jaminan utang

pajak. Tujuan penyitaan adalah memperoleh jaminan pelunasan utang pajak dari

penanggung pajak. Oleh karena itu, penyitaan dapat dilaksanakan terhadap semua

barang penanggung pajak, baik yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat

kedudukan penanggung pajak, atau di tempat lain sekalipun penguasannya berada di

tangan pihak lain, yang dapat berupa :

1. Barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai, dan deposito berjangka,

tabungan, saldo rekening koran, giro atau bentuk lainnya yang dipersamakan

dengan itu, obligasi saham atau surat berharga lainnya, piutang dan penyertaan

modal pada perusahaan lain;

2. Barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan, dan kapal dengan isi kotor

tertentu; dan atau

29

3. Hak lainnya yang dapat disita yang diatur dengan peraturan pemerintah.

Ketentuan ini diperlukan untuk menampung kemungkinan perluasan obyek sita

berupa hak lainnya.

Berita acara pelaksanaan sita ditandatangani oleh jurusita pajak, penanggung

pajak dan saksi-saksi. Penyitaan ini diatur dalam Undang-undang Penagihan Pajak

dengan Surat Paksa Pasal 14 ayat 1, 2, 3 sebagai berikut : Penyitaan dilaksanakan

terhadap barang milik Penanggung Pajak yang berada di tempat tinggal, tempat usaha,

tempat kedudukan, atau di tempat lain termasuk yang penguasaannya berada di tangan

pihak lain atau yang dijaminkan sebagai pelunasan utang tertentu yang dapat berupa:

1. Barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai, dan deposito berjangka,

tabungan, saldo rekening Koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan

dengan itu, obligasi, saham, atau surat berharga lainnya, piutang, dan penyertaan

modal pada perusahaan lain.

2. Barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan, dan kapal dengan isi kotor

tertentu.

Penyitaan tidak dapat dilaksanakan terhadap barang yang telah disita oleh

pengadilan negeri atau instasi lainya yang berwenang. Terhadap barang telah disita

tersebut, jurusita pajak menyampaikan surat paksa kepada pengadilan negeri atau instasi

lainnya yang berwenang. Pengadilan negeri dalam sidang berikutnya menetapkan barang

tersebut sebagai jaminan pelunasan utang pajak. Sedangkan instansi lainnya yang

berwenang, setelah menerima surat paksa menjadikan barang tersebut sebagai jaminan

pelunasan utang pajak. Pengadilan negeri atau instansi lainnya yang berwenang

menentukan pembagian hasil penjualan barang tersebut berdasarkan ketentuan hak

mendahulu negara untuk tagihan pajak.

30

Penyitaan tambahan dapat dilaksanakan apabila:

1. Nilai barang yang disita tidak cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan

utang pajak

2. Hasil lelang barang yang telah disita tidak cukup untuk melunasi biaya

penagihan pajak dan utang pajak.

II.4.2 Pelaksanaan Penyitaan

1. Penyitaan terhadap barang milik penanggung pajak dilaksanakan oleh jurusita

pajak berdasarkan surat perintah melaksanakan penyitaan yang diterbitkan oleh

pejabat, dalam hal utang pajak tidak dilunasi dalam jangka waktu 2 (dua) kali 24

(dua puluh empat) jam tehitung sejak tanggal surat paksa diberitahukan kepada

penanggung pajak.

2. Barang milik penanggung pajak yang dapat disita adalah barang yang berada di

tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan, atau di tempat lain, termasuk yang

penguasaannya berada di tangan pihak lain atau yang dibebani dengan hak

tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu.

3. Penyitaan dilaksanakan oleh jurusita pajak dengan disaksikan oleh sekurang

kurangnya 2 (dua) orang saksi yang telah dewasa, penduduk Indonesia, dikenal oleh

Jurusita Pajak dan dapat dipercaya.

4. Penolakan dan tidak hadirnya penanggung pajak dalam penyitaan

a. Dalam hal penanggung pajak menolak untuk menandatangani berita acara

pelaksanaan sita, jurusita pajak harus mencantumkan penolakan tersebut dalam

berita acara pelaksanaan sita, langsung ditandatangani oleh jurusita pajak dan

saksi-saksi, dan berita acara pelaksanaan sita tersebut tetap sah dan mempunyai

kekuatan mengikat.

31

b. Penyitaan tetap dapat dilaksanakan sekalipun penanggung pajak tidak

hadir, sepanjang salah seorang saksi berasal dari Pemerintah Daerah setempat,

sekurang kurangnya setingkat Kepala Kelurahan atau Kepala Desa.

5. Pelaksanaan penyitaan terhadap surat berharga yang tidak diperdagangkan di

bursa efek. Penyitaan terhadap surat berharga berupa obligasi, saham, dan sejenisnya

yang tidak diperdagangkan di bursa efek dilaksanakan sebagai berikut:

a. Melakukan inventarisasi dan membuat rincian tentang jenis, jumlah dan nilai

nominal atau perkiraan nilai lainnya dari surat berharga yang disita dalam suatu

daftar yang merupakan lampiran Berita Acara Pelaksanaan Sita;

b. Membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita;

c. Membuat berita acara pengalihan hak surat berharga atas nama dari Penanggung

Pajak kepada Pejabat.

II.4.3 Lelang

Lelang menurut mardiasmo (2003;50) adalah:

“Setiap penjualan barang dimuka umum dengan cara penawaran harga secara lisan

dan atau tertulis melalui usaha pengumpulan peminat atau calon pembeli. Apabila

utang pajak dan atau biaya penagihan pajak tidak dilunasi setelah dilaksanakan

penyitaan, pejabat berwenang melaksanakan penjualan barang secara lelang

terhadap barang yang disita melalui kantor lelang”.

Pengertian lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 17 Undang-Undang

Penagihan Pajak dengan Surat Paksa adalah setiap penjualan barang dimuka umum

dengan cara penawaran harga secara lisan dan atau tertulis melalui usaha pengumpulan

peminat atau calon pembeli.

32

Peristiwa lelang adalah peristiwa hukum tentang jual beli yang resmi yang

disaksikan oleh Pejabat Pemerintah yakni Pejabat Lelang, oleh karena itu diperlukan

bukti jual beli atau bukti otentik. Bukti otentik didalam lelang adalah berupa Berita

Acara Lelang yang sering disebut sebagai Risalah Lelang. Dalam ketentuan umum Pasal

1 angka 19 Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa Risalah Lelang adalah

Risalah Lelang adalah Berita Acara Pelaksanaan Lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang

atau kuasanya dalam bentuk yang ditentukan oleh ketentuan peraturan perundang-

undangan lelang.

II.4.4 Penyanderaan (Gijzeling)

Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan Penanggung Pajak

dengan menempatkannya di tempat tertentu. Penyanderaan hanya dapat dilakukan

terhadap penanggung Pajak yang mempunyai utang Pajak sekurang-kurangnya sebesar

Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi

utang pajak. Penyanderaan hanya dapat dilakukan berdasarkan surat Perintah

Penyanderaan yang diterbitkan oleh Pejabat setelah mendapat ijin tertulis dari Menteri

Keuangan atau Gurbernur Kepala daerah Propinsi. Masa penyanderaan paling lama 6

bulan dan dapat diperpanjang selama 6 bulan. Penyanderaan tidak boleh dilaksanakan

dalam hal penaggung Pajak sedang beribadah, atau sedang mengikuti sidang resmi, atau

sedang mengikuti Pemilihan Umum.

Penanggung Pajak yang disandera dilepaskan apabila :

1. Apabila utang Pajak dan biaya penagihan pajak telah dibayar lunas,

2. Apabila jangka waktu yang ditetapkan dalam surat perintah penyanderaan itu

telah terpenuhi

3. Berdasarkan putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap

33

4. Berdasarkan pertimbangan tertentu dari Menteri Keuangan atau Gubernur

Penanggung Pajak yang disandera dapat mengajukan gugatan terhadap

pelaksanaan penyanderaan hanya kepada Pengadilan Negeri. Dalam hal gugatan

Penanggung Pajak dikabulkan dan putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan

hukum tetap, Penanggung Pajak dapat memohon rehabilitasi nama baik dan ganti rugi

atas masa penyanderaan yang telah dijalaninya sebesar Rp 100.00,00 (seratus ribu

rupiah) setiap hari. Perubahan besarnya ganti rugi ditetapkan oleh Menteri keuangan.

Penanggung Pajak tidak dapat mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan penyanderaan

setelah masa penyanderaan setelah masa penyanderaan berakhir. Penyanderaan terhadap

penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya utang pajak dan terhentinya

pelaksanaan penagihan pajak.

34