bab 2 landasan teori - library & knowledge...
TRANSCRIPT
17
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Definisi Arsitektur Berkelanjutan
Menurut Avinash Shivajirao Pawar (2012:1) mengenai arsitektur
berkelanjutan yaitu, bangunan yang berkelanjutan atau bangunan hijau
merupakan hasil dari sebuah desain yang berfokus pada peningkatan
efisiensi penggunaan sumber energi, air, dan material, dan mereduksi
dampak negatif bangunan terhadap kesehatan manusia selama bangunan
tersebut berdiri, melalui desain yang baik, konstruksi, pengoprasian,
perawatan, dan pembuangan limbah bangunan. Maka dari itu, penulis akan
melakukan penelitian dan perancangan rumah susun dengan berfokus pada
pemanfaatan air hujan sebagai sumber air alternative untuk penghuni
rumah susun.
2.2 Rumah Susun
2.2.1 Definisi Rumah Susun
Menurut Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011
Tentang Rumah Susun, merumuskan bahwa rumah susun adalah bangunan
gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi
dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam
arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang
masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama
untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda
bersama, dan tanah bersama.
2.2.2 Tujuan Rumah Susun
Menurut Pasal 3 Ayat 7 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011,
Penyelenggaraan rumah susun bertujuan untuk menjamin terpenuhinya
kebutuhan rumah susun yang layak dan terjangkau, terutama bagi MBR
dalam lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan dalam
suatu sistem tata kelola perumahan dan permukiman yang terpadu.
18
Sedangkan tujuan dari peremajaan Rumah Susun Penjaringan menurut
Dinas Perumahan dan Gedung (2014), adalah untuk memenuhi kebutuhan
rumah yang diperuntukan hanya bagi MBR (Masyarakat Berpenghasilan
Rendah) dengan sistem sewa, sehingga diharapkan ada peningkatan secara
ekonomi bagi penguninya dan dapat digantikan oleh warga MBR lainnya
yang terkena program pemprov DKI Jakarta.
2.2.2.1 Masyarakat Berpenghasilan Rendah
Pengertian Masyarakat Berpenghasilan Rendah
Menurut Permenpera No.5/PERMEN/M/2007, MBR adalah
masyarakat dengan penghasilan dibawah dua juta lima ratus ribu rupiah
perbulan
Pola Hidup Masyarakat Berpenghasilan Rendah
Menurut Paulus Hariyono dalam bukunya yang berjudul Sosiologi
Kota Untuk Arsitek, masyarakat golongan ini biasanya hidup secara
outdoor living. Untuk mengisi waktu luang, biasanya mencari hiburan
yang tidak membutuhkan biaya seperti mengobrol dengan tetangga dekat..
Selain sebagai hiburan, kegiatan ini juga memperat ikatan masyarakatnya
sehingga mereka menjadi mudah apabila membutuhkan bantuan dan
pertolongan. Pola hidup seperti ini disebut sebagai pola hidup komunal.
2.2.3 Klasifikasi Rumah Susun
Berdasarkan hak kepemilikan, rumah susun dibedakan menjadi 2 jenis,
yaitu :
a. Rumah Susun Sederhana Sewa ( Rusunawa ), adalah rumah
susun sederhana yang disewakan kepada masyarakat perkotaan
yang tidak mampu untuk membeli rumah atau yang ingin
tinggal untuk sementara waktu misalnya para mahasiswa,
pekerja temporer dan lain lainnya.
b. Rumah Susun Sederhana Milik ( Rusunami ), adalah rumah
susun dengan sistem kepenghunian melalui mekanisme
kepemilikan secara Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
19
2. Berdasarkan ketinggian lantai, menurut Perda DKI Jakarta No. 7/1991
tentang bangunan dalam Wilayah DKI Jakarta dan (Paul,2001):
a. Bangunan Rendah ( Low Rise Building ) : memiliki ketinggian
2-6 lantai dan menggunakan tangga sebagai sarana sirkulasi
vertikalnya. Jenis ini dikenal dengan sebutan walk-up flat.
b. Bangunan Sedang ( Medium Rise Building ) : memiliki
ketinggian di atas 9 lantai dan harus menggunakan elevator
listrik sebagai sarana sirkulasi vertikalnya.
c. Bangunan Tinggi ( High Rise Building ) : memiliki ketinggian
di atas 9 lantai dan harus menggunakan elevator listrik sebagai
sarana sirkulasi vertikalnya.
2.2.4 Persyaratan Teknis Pembangunan Rumah Susun
Standar perencanaan Rusun diperlukan agar harga jual/sewa Rusun
dapat terjangkau oleh kelompok sasaran yang dituju, tanpa mengurangi
asas kemanfaatan, keselamatan, keseimbangan, keserasian Rusun dengan
tata bangunan dan lingkungan kota. Berdasarkan PP nomor 4/ 1988
mengenai Persyaratan Teknis Pembangunan Rumah Susun yang harus
dipenuhi dalam pembangunan rumah susun, adalah sebagai berikut:
1. Kepadatan Bangunan
Dalam mengatur kepadatan (intensitas) bangunan diperlukan
perbandingan yang tepat meliputi luas lahan peruntukan, kepadatan
bangunan, Koefisien Dasar Bangunan (KDB) dan Koefisien Lantai
Bangunan (KLB).
2. Lokasi
Rusun dibangun di lokasi yang sesuai rencana tata ruang,
rencana tata bangunan dan lingkungan, terjangkau layanan
transportasi umum, serta dengan mempertimbangkan keserasian
dengan lingkungan sekitarnya
3. Tata Letak
Tata letak Rusun harus mempertimbangkan keterpaduan
bangunan, lingkungan, kawasan dan ruang, serta dengan
memperhatikan faktor-faktor kemanfaatan, keselamatan,
keseimbangan dan keserasian.
20
4. Jarak Antar Bangunan dan Ketinggian
Jarak antar bangunan dan ketinggian ditentukan berdasarkan
persyaratan terhadap bahaya kebakaran, pencahayaan dan
pertukaran udara secara alami, kenyamanan, serta kepadatan
bangunan sesuai tata ruang kota.
5. Jenis Fungsi Rumah Susun
Jenis fungsi peruntukkan Rusun adalah untuk hunian dan
dimungkinkan dalam satu Rusun/ kawasan Rusun memiliki jenis
kombinasi fungsi hunian dan fungsi usaha.
6. Luasan Satuan Rumah Susun
Ukuran ruang hunian untuk beraktivitas dan sirkulasi
disesuaikan dengan standar hunian 9m2/orang. Luas sarusun
minimum 21 m2, dengan fungsi utama sebagai ruang tidur/ruang
serbaguna dan dilengkapi dengan kamar mandi dan dapur.
Tipe Unit Fasilitas
Tipe 21 m2 Tipe 24 m2 Tipe ini biasanya untuk keluarga muda atau seseorang yang belum memiliki keluarga
- 1 kamar tidur - ruang tamu/keluarga - kamar mandi - dapur/pantry
Tipe 30 m2 Tipe 36 m2 Tipe 42 m2 Tipe 50 m2
Tipe ini untuk keluarga yang sudah memiliki anak
- 2 kamar tidur - ruang tamu / keluarga - kamar mandi / WC - dapur / pantry - ruang makan
7. Kelengkapan Rumah Susun
Rusun harus dilengkapi prasarana, sarana dan utilitas yang
menunjang kesejahteraan, kelancaran dan kemudahan penghuni
dalam menjalankan kegiatan sehari-hari.
8. Transportasi Vertikal
• Rusun bertingkat rendah dengan jumlah lantai maksimum
6 lantai, menggunakan tangga sebagai transportasi vertikal;
• Rusun bertingkat tinggi dengan jumlah lantai lebih dari 6
lantai, menggunakan lift sebagai transportasi vertikal.
Tabel 2.1 Tipe Unit Rumah Susun
Sumber : Rosfian, 2009
21
Arsitektur Gedung Rumah Susun
Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor :
05/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Susun
Sederhana Bertingkat Tinggi, dibuatlah ketentuan sebagai berikut :
1. Persyaratan Penampilan Bangunan Gedung
a. Bentuk denah bangunan gedung rusuna bertingkat tinggi sedapat
mungkin simetris dan sederhana, guna mengantisipasi kerusakan
yang diakibatkan oleh gempa.
b. Dalam hal denah bangunan gedung berbentuk T, L, atau U, atau
panjang lebih dari 50 m, maka harus dilakukan pemisahan struktur
atau delatasi untuk mencegah terjadinya kerusakan akibat gempa
atau penurunan tanah.
c. Denah bangunan gedung berbentuk simetris (bujursangkar,
segibanyak, atau lingkaran) lebih baik daripada denah bangunan
yang berbentuk memanjang dalam mengantisipasi terjadinya
kerusakan akibat gempa.
d. Atap bangunan gedung harus dibuat dari konstruksi dan bahan
yang ringan untuk mengurangi intensitas kerusakan akibat gempa.
Gambar 2.1 Contoh Denah Bangunan Rumah Susun Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 05/PRT/M/2007
22
2. Perancangan Ruang Dalam
a. Bangunan rusuna bertingkat tinggi sekurang-kurangnya memiliki
ruang-ruang fungsi utama yang mewadahi kegiatan pribadi,
kegiatan keluarga/ bersama dan kegiatan pelayanan
b. Satuan rumah susun sekurang-kurangnya harus dilengkapi dengan
dapur, kamar mandi dan kakus/WC
3. Persyaratan Tapak Besmen Terhadap Lingkungan
a. Kebutuhan besmen dan besaran koefisien tapak besmen (KTB)
ditetapkan berdasarkan rencana peruntukan lahan, ketentuan
teknis, dan kebijaksanaan daerah setempat.
b. Untuk keperluan penyediaan Ruang Terbuka Hijau Pekarangan
(RTHP) yang memadai, lantai besmen pertama (B-1) tidak
dibenarkan keluar dari tapak bangunan (di atas tanah) dan atap
besmen kedua (B-2) yang di luar tapak bangunan harus
berkedalaman sekurangnya 2 (dua) meter dari permukaan tanah
tempat penanaman.
4. Sirkulasi dan Fasilitas Parkir
a. Sirkulasi harus memberikan pencapaian yang mudah, jelas dan
terintegrasi dengan sarana transportasi baik yang bersifat
pelayanan publik maupun pribadi.
b. Sistem sirkulasi yang direncanakan harus telah memperhatikan
kepentingan bagi aksesibilitas pejalan kaki termasuk penyandang
cacat dan lanjut usia.
c. Sirkulasi harus memungkinkan adanya ruang gerak vertikal
(clearance) dan lebar jalan yang sesuai untuk pencapaian darurat
oleh kendaraan pemadam kebakaran, dan kendaraan pelayanan
lainnya.
d. Sirkulasi perlu diberi perlengkapan seperti tanda penunjuk jalan,
rambu-rambu, papan informasi sirkulasi, elemen pengarah
sirkulasi (dapat berupa elemen perkerasan maupun tanaman), guna
mendukung sistem sirkulasi yang jelas dan efisien serta
memperhatikan unsur estetika.
23
e. Setiap bangunan rusuna bertingkat tinggi diwajibkan menyediakan
area parkir dengan rasio 1 (satu) lot parkir kendaraan roda 4 untuk
setiap 5 (lima) unit hunian yang dibangun.
f. Penyediaan parkir di pekarangan tidak boleh mengurangi daerah
penghijauan yang telah ditetapkan.
g. Perletakan Prasarana parkir bangunan rusuna bertingkat tinggi
tidak diperbolehkan mengganggu kelancaran lalu lintas, atau
mengganggu lingkungan di sekitarnya.
5. Pertandaan ( Signage )
a. Penempatan pertandaan (signage), termasuk papan iklan/reklame,
harus membantu orientasi tetapi tidak mengganggu karakter
lingkungan yang ingin diciptakan/dipertahankan, baik yang
penempatannya pada bangunan, kaveling, pagar, atau ruang
publik.
b. Untuk penataan bangunan dan lingkungan yang baik untuk
lingkungan/kawasan tertentu, Kepala Daerah dapat mengatur
pembatasan-pembatasan ukuran, bahan, motif, dan lokasi dari
signage.
6. Pencahayaan Ruang Luar Bangunan Gedung
a. Pencahayaan ruang luar bangunan harus disediakan dengan
memperhatikan karakter lingkungan, fungsi dan arsitektur
bangunan.
b. Pencahayaan yang dihasilkan harus memenuhi keserasian dengan
pencahayaan dari dalam bangunan dan pencahayaan dari jalan
umum.
c. Pencahayaan yang dihasilkan dengan telah menghindari
penerangan ruang luar yang berlebihan, silau, visual yang tidak
menarik, dan telah memperhatikan aspek operasi dan
pemeliharaan.
24
2.2.5 Fasilitas Lingkungan Rumah Susun
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia SNI 03-7013-2004 tentang
Tata Cara Perencanaan Fasilitas Lingkungan Rumah Susun Sederhana,
fasilitas di lingkungan rumah susun merupakan fasilitas penunjang yang
berfungsi untuk penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan ekonomi,
sosial dan budaya, yang antara lain dapat berupa bangunan perniagaan atau
perbelanjaan (aspek ekonomi), lapangan terbuka, pendidikan, kesehatan,
peribadatan, fasilitas pemerintahan dan pelayanan umum, pertamanan serta
pemakaman (lokasi diluar lingkungan rumah susun atau sesuai rencana
tata ruang kota).
Perancangan Fasilitas Rumah Susun
Dalam melakukan perancangan fasilitas lingkungan pada rumah susun
sederhana, terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan guna memenuhi
kebutuhan penghuni. Hal ini telah dijelaskan pula dalam Standar Nasional
Indonesia, yaitu bahwa fasilitas lingkungan yang ditempatkan pada lantai
bangunan rumah susun harus memenuhi kebutuhan sebagai berikut :
a. Maksimal 30% dari jumlah luas lantai bangunan
b. Tidak ditempatkan lebih dari lantai 3 (tiga) bangunan rumah susun.
Atas ketentuan tersebut maka luasan lahan yang digunakan untuk
fasilitas lingkungan rumah susun harus diperhatikan. Luas lahan yang
diperuntukan sebagai fasilitas lingkungan harus memenuhi ketentuan :
a. Luas lahan untuk fasilitas rumah susun seluas-luasnya 30% dari
luas seluruhnya.
b. Luas lahan untuk fasilitas ruang terbuka, berupa taman sebagai
penghijauan, tempat bermain anak, dan atau lapangan olah raga
seluas-luasnya 20% dari luas lahan fasilitas lingkungan rumah
susun
25
Jenis Fasilitas Rumah Susun
Lingkungan rumah susun harus dilengkapi dengan fasilitas
Iingkungan berupa ruang dan atau bangunan sesuai dengan tabel dibawah
ini yang telah ditetapkan oleh Standar Nasional Indonesia.
No. Jenis Fasilitas Lingkungan Fasilitas Yang Tersedia 1 Fasilitas niaga - Warung
- Toko-toko perusahaan dan dagang - Pusat perbelanjaan
2 Fasilitas pendidikan - Ruang belajar untuk pra belajar - Ruang belajar untuk sekolah dasar - Ruang belajar untuk sekolah
lanjutan tingkat pertama - Ruang belajar untuk sekolah
menengah umum 3 Fasilitas kesehatan - Posyandu
- Balai pengobatan - BKIA dan ruamah bersalin - Puskesmas - Praktek dokter - Apotek
4 Fasilitas peribadatan - Musola - Masjid kecil
5 Fasilitas pelayanan umum - Kantor RT - Kantor/balai RW - Post hansip/siskamling - Pos Polisi - Telepon umum - Gedung serba guna - Ruang duka - Kotak Surat
6 Ruang terbuka - Taman - Tempat bermain - Lapangan olah raga - Peralatan usaha - Sirkulasi - Parkir
No Jenis Peruntukan Luas Lahan
Maksimum (%)
Minimum (%)
1 Bangunan untuk hunian 50 -
2 Bangunan fasilitas 10 -
3 Ruang Terbuka - 20
4 Prasarana Lingkungan - 20
Tabel 2.3 Fasilitas Lingkungan Rumah Susun
Tabel 2.2 Peruntukan Luas Lahan Rumah Susun
Sumber : Standar Nasional Indonesia (SNI 03-7013-2004)
Sumber : Standar Nasional Indonesia (SNI 03-7013-2004)
26
Tinjauan Sarana
Tinjauan sarana berdasarkan SNI-03-1733-2004 tentang Tata Cara
Perencanaan Fasilitas Lingkungan Rumah Susun Sederhana, yaitu :
a. Fasilitas Niaga ( Warung )
- Maksimal penghuni yang dapat dilayani adalah 250 penghuni
- Berfungsi sebagai penjual sembilan bahan pokok pangan.
- Lokasi di pusat lingkungan rumah susun dan mempunyai
radius 300m
- Luas lantai minimal adalah sama dengan luas satuan unit
rumah susun sederhana dan maksimal 36m2 ( termasuk
gudang kecil )
b. Fasilitas Pendidikan (tingkat Pra Belajar)
- Maksimal penghuni yang dapat dilayani adalah 1000 penghuni
dimana anak-anak usia 5-6 tahun sebanyak 8%.
- Berfungsi untuk menampung pelaksanaan pendidikan pra
sekolah usia 5-6 tahun.
- Berada di tengah-tengah kelompok keluarga/digabung dengan
taman-taman tempat bermain di RT/RW.
- Luas lantai yang dibutuhkan sekitar 125 m2 (1,5 m2/siswa).
c. Fasilitas Kesehatan.
- Maksimal penghuni yang dilayani adalah 1000 penghuni.
- Berfungsi memberikan pelayanan kesehatan untuk anak-anak
usia Balita.
- Berada di tengah-tengah lingkungan keluarga dan menyatu
dengan kantor RT/RW.
- Kebutuhan minimal ruang 30 m2, yaitu ruangan yang
menampung segala aktivitas.
d. Fasilitas Peribadatan.
Fasilitas peribadatan harus disediakan di setiap blok untuk kegiatan
peribadatan harian, dapat disatukan dengan ruang serbaguna atau
komunal, dengan ketentuan:
27
- Jumlah penghuni minimal yang mendukung adalah 40 KK
untuk setiap satu musholla. Di salah satu lantai bangunan
dapat disediakan satu musholla untuk tiap satu blok, dengan
luas lantai 9 – 36 m2. Jumlah penghuni minimal untuk setiap
satu masjid kecil adalah 400 KK.
e. Fasilitas Pemerintahan dan Pelayanan Umum.
- Siskamling.
o Jumlah maksimal penghuni yang dapat dilayani adalah
200 orang.
o Dapat berada pada lantai unit hunian.
o Luas lantai minimal adalah sama dengan unit hunian
terkecil.
- Gedung Sebaguna.
o Jumlah maksimal yang dapat dilayani adalah 1000
orang.
o Dapat berada pada tengah-tengah lingkungan dan di
lantai dasar.
o Luas lantai minimal 250 m2.
- Kantor Pengelola.
f. Fasilitas Ruang Terbuka.
- Tempat Bermain.
o Maksimal dapat melayani 12 – 30 anak.
o Berada antara bangunan atau pada ujung-ujung cluster
yang mudah diawasi.
o Luas area minimal 75 – 180 m2.
- Tempat Parkir
o Berfungsi untuk menyimpan kendaraan penghuni (roda
2 dan 4).
o Jarak maksimal dari tempat parkir roda 2 ke blok
hunian terjauh 100 m, sedangkan untuk roda 4 ke blok
hunian terjauh 400 m.
28
o Tempat parkir 1 kendaraan roda 4 disediakan untuk
setiap 5 keluarga, sedang roda 2 untuk setiap 3
keluarga.
o 2 m² tiap kendaraan roda 4; 1,2 m² untuk kendaraan
roda 2 dan satu tamu menggunakan kendaraan roda 4
untuk tiap 10 KK.
2.3 Air
2.3.1 Definisi Air
Definisi air berdasarkan SNI 19-6728.1-2002 tentang Penyusunan neraca
sumber daya – Bagian 1: Sumber daya air spasial, menyebutkan bahwa air
adalah semua air yang terdapat di dalam dan berasal dari sumber-sumber
air, baik yang terdapat di atas maupun di bawah permukaan tanah, tidak
termasuk dalam pengertian ini air yang terdapat di laut. Air dibedakan
menjadi tiga jenis yaitu air baku, air bersih, dan air minum.
a. Air Baku
Berdasar SNI 6773:2008 tentang Spesifikasi unit paket Instalasi
pengolahan air dan SNI 6774:2008 tentang Tata cara perencanaan unit
paket instalasi pengolahan air, yang disebut dengan Air Baku adalah air
yang berasal dari sumber air pemukaan, cekungan air tanah dan atau air
hujan yang memenuhi ketentuan baku mutu tertentu sebagai air baku untuk
air minum. Tidak semua air baku bisa diolah, oleh karena itu dibuatlah
ketentuan sebagai standar kualitas air baku yang bisa diolah.
Karakteristik Air Baku
Standar kualitas air adalah baku mutu yang ditetapkan berdasarkan sifat-
sifat fisik, kimia, radioaktif maupun bakteriologis yang menunjukkan
persyaratan kualitas air tersebut. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
No. 82 Tahun 2001Tentang Pengelolaan Kualitas Air Dan Pengendalian
Pencemaran Air, air menurut kegunaannya digolongkan menjadi :
Kelas I : Air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air
minum atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang
sama dengan kegunaan tersebut.
29
Kelas II : Air yang peruntukannya dapat digunakan untuk
prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar,
Peternakan, air untuk mengairi pertanaman atau peruntukan lain yang
mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
Kelas III : Air yang peruntukannya dapat digunakan untuk
pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi
pertanaman atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air
yang sama dengan kegunaan tersebut
b. Air Bersih
Air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari dan akan
menjadi air minum setelah dimasak terlebih dahulu. Sebagai batasannya,
air bersih adalah air yang memenuhi persyaratan bagi sistem penyediaan
air minum, dimana persyaratan yang dimaksud adalah persyaratan dari
segi kualitas air yang meliputi kualitas fisik, kimia, biologis dan
radiologis, sehingga apabila dikonsumsi tidak menimbulkan efek samping
(Ketentuan Umum Permenkes No.416/Menkes/PER/IX/1990)
Kebutuhan Air Bersih
Kebutuhan air dapat didefinisikan sebagai jumlah air yang dibutuhkan
untuk keperluan rumah tangga, industri, pengelolaan kota dan lain-
lain. Untuk memproyeksi jumlah kebutuhan air bersih dapat dilakukan
berdasarkan perkiraan kebutuhan air untuk berbagai macam tujuan
ditambah perkiraan kehilangan air. Standar kebutuhan air ada 2 macam
yaitu : (Ditjen Cipta Karya, 2000)
− Kebutuhan Domestik
Standar kebutuhan air domestik yaitu kebutuhan air yang
digunakan pada tempat-tempat hunian pribadi untuk memenuhi
keperluan sehari-hari seperti ; memasak, minum, mencuci dan
keperluan rumah tangga lainnya.
30
No Penggunaan Gedung Pemakaian
Air (Liter/hari)
Keterangan
1. Rumah Biasa 60-250 2. Rumah Mewah 250 atau lebih
3. Rumah Susun / Apartemen 100-250 - Bujangan 120 L - Kelas menengah 180L - Kelas mewah 250 L
*( 1 L = 0.264172 Gallon )
− Kebutuhan non domestik
Standar kebutuhan air non domestik adalah kebutuhan air bersih
diluar keperluan rumah tangga. Kebutuhan air non domestik
antara lain :
• Penggunaan komersil dan industri
Yaitu penggunaan air oleh badan-badan komersil dan
industri.
• Penggunaan umum
Yaitu penggunaan air untuk bangunan-bangunan
pemerintah, rumah sakit, sekolah-sekolah dan tempat-
tempat ibadah.
Penggunaan Air Liter Galon Persentase Mandi 38 10.03 13% Bilas toilet 10 2.64 3.5% Cuci Pakaian 26 6.87 8% Cuci Piring 18 4.76 6% Kebersihan Rumah Tangga 32 8.45 11% Cuci Mobil 22 5.81 7% Siram Taman 10 2.64 3.5% Minum dan Masak 9 2.38 3% Jumlah 165 43.59 55% Kehilangan (Leak) 135 35.66 45% Jumlah 300 79.25 100%
Sumber : RSNI T-01-2003
Tabel 2.5 Standar Kebutuhan Air Rumah Tangga Orang/hari
Tabel 2.4 Pemakaian Air Domestik per Orang
Sumber : Dasar-dasar Arstitektur Ekologis, 2006.
31
c. Air Minum
Pengertian air minum adalah air yang kualitasnya memenuhi syarat-
syarat kesehatan yang dapat diminum. Alasan dan teknis yang
mendasari penentuan standar kualitas air minum adalah efek-efek dari
setiap parameter jika melebihi dosis yang telah ditetapkan. Pengertian
dari standar kualitas air minum adalah batas operasional dari criteria
kualitas air dengan memasukkan pertimbangan non teknis, misalnya
kondisi sosial-ekonomi, target atau tingkat kualitas produksi, tingkat
kesehatan yang ada dan teknologi yang tersedia. Sedangkan criteria
kualitas air merupakan putusan ilmiah yang mengekspresikan
hubungan dosis dan respon efek, yang diperkirakan terjadi kapan dan
dimana saja unsur-unsur pengotor mencapai atau melebihi batas
maksimum yang ditetapkan, dalam waktu tertentu. Dengan demikian,
maka criteria kualitas air merupakan referensi dari standar kualitas air.
Berdasarkan Permenkes No.416/Menkes/Per/IX/1990, yang
membedakan antara kualitas air bersih dan air minum adalah standar
kualitas setiap parameter fisik, kimia, biologis, dan radiologis
maksimum yang diperbolehkan.
2.4 Konservasi Air
Penghematan air atau konservasi air adalah perilaku yang disengaja
dengan tujuan mengurangi penggunaan air segar, melalui metode
teknologi atau perilaku sosial. Penggunaan air bersih secara umum
adalah untuk memenuhi kegiatan mandi, cuci, kakus, minum, dan irigasi
lansekap. Menurut KepMenKes No. 907/MENKES/SK/VII/2002, bahwa
diwajibkan melakukan pengelolaan dan pengawasan sumber mata air,
dengan cara sebagai berikut :
2.4.1 Pengurangan Pemakaian Air
Penggunaan air untuk kegiatan sanitasi masih sangat diperlukan
karena keberadaan air identik dengan kebersihan. Untuk fixture sanitasi,
selain tiga tipe dasar toilet yang umum (gravity, valve, dan pressured) juga
ada peturasan (urinal) untuk tempat buang air kecil bagi lakilaki. Untuk
sistem keran, termasuk bentuk keran tembok (faucets) dan keran wastafel
32
(lavatory). Sedangkan untuk mandi, penggunaan fixtures adalah dalam
bentuk shower (Fadem and Conant, 2008). Kondisi pemborosan air juga
dipengaruhi kurangnya kesadaran dan perilaku hemat air, seperti lupa
menutup keran dan kurangnya perawatan pada water fixtures. Usaha untuk
melaksanakan penghematan air kini semakin berkembang dengan
banyaknya produk peralatan plambing yang semakin menekankan
penghematan air. Upaya penghematan air dari teknologi keran dan toilet
cukup berperan dalam menghemat penggunaan air bisa sekitar 30% dari
total kebutuhan air domestik. Penggunaan air bersih untuk menyiram toilet
kini juga disadari tidak perlu dilakukan.
2.4.2 Sumber Air Alternatif
a. Daur Ulang Air Limbah
Daur ulang air adalah penggunaan kembali air bekas pakai yang
melalui pengolahan air kotor untuk menghilangkan kontaminan
menjadi air yang dapat digunakan kembali (Maczulak, 2010). Air kotor
(greywater) yang dapat diproses kembali menjadi air bersih berasal
dari wastafel dan shower, dan dapat dikumpulkan kembali serta
ditampung dalam tangki di bawah tanah (basement) atau di lantai
dasar. Air ini dapat digunakan untuk menggelontor toilet, make up
cooling water, dan irigasi lansekap. Air hujan untuk irigasi tidak
perlu diolah sebagai upaya reuse. Namun, kondisi hujan yang tidak
menentu terkadang membuat ketersediaannya menjadi berkurang
sehingga tetap memerlukan penyiraman manual. Penggunaan air dari
sumber daur ulang air limbah gedung untuk mengurangi kebutuhan air
dari sumber air utama.
b. Pengumpulan Air Hujan.
Indonesia secara umum memiliki curah hujan yang relatif tinggi
serta bulan basah yang relatif panjang sehingga potensial untuk
dijadikan salah satu sumber air. Tapi, pada kenyataannya, air hujan
hanya dibuang ke saluran kota dan tidak dapat diserapkan kembali ke
tanah. Saluran kota pun memiliki kemampuan yang terbatas
sehingga ketika musim hujan tiba sering terjadi bencana banjir.
33
Pemanfaatan air hujan sebagai sumber air harus didorong karena
rendahnya kualitas sumber air bersih permukaan dan upaya
mengonservasi sumber air bawah tanah.
c. Sumur Resapan
Pemakaian air tanah harus mempertimbangkan faktor kelestarian air
tanah yang meliputi faktor kualitas dan kuantitas air. Salah satu
cara mempertahankan kuantitas air tanah adalah dengan menerapkan
sumur resapan. Untuk membangun sumur resapan agar dapat
memberikan kontribusi yang optimum diperlukan metoda perhitungan
berikut (Sunjoto, 1992): 28
2.5 Sistem Pemanenan Air Hujan
2.5.1 Air Hujan
Hujan adalah sebuah proses kondensasi uap air di atmosfer menjadi butir
air yang cukup berat untuk jatuh di permukaan. (Wibowo, H. 2008). Air
hujan disebut juga dengan air angkasa. Beberapa sifat kualitas dari air
hujan, yaitu :
− Bersifat lunak karena tidak mengandung larutan garam dan zat-zat
mineral.
− Air hujan pada umumnya bersifat lebih bersih
− Dapat bersifat korosif karena mengandung zat-zat yang terdapat di
udara seperti NH3CO2 agresif, ataupun SO2. Adanya konsentrasi
SO2 yang tinggi di udara yang bercampur dengan air hujan akan
menyebabkan terjadinya hujan asam (acid rain).
Berdasarkan BMKG, curah hujan mempunyai satuan dalam milimeter.
Curah hujan adalah jumlah air yang jatuh di permukaan tanah datar selama
periode tertentu yang diukur dengan satuan tinggi milimeter (mm) di atas
permukaan horizontal. Dalam penjelasan lain curah hujan juga dapat
diartikan sebagai ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang
datar, tidak menguap, tidak meresap dan tidak mengalir. Atau sejumlah air
hujan yang jatuh sebanyak 1 liter/m², sebagai ilustrasi :
34
− Curah hujan 10 mm pada luasan 100 m²
= 1000 liter air
= 1 meter kubik air
− Curah hujan 100 mm pada luasan 1 km²
= 100 juta liter air
= 100 ribu meter kubik air
Dari segi kuantitas, air hujan tergantung pada besar kecilnya curah
hujan. Sehingga air hujan tidak mencukupi untuk persediaan umum karena
jumlahnya berfluktuasi. Begitu pula bila dilihat dari segi kontinuitasnya,
air hujan tidak dapat diambil secara terus menerus, karena tergantung pada
musim. Pada musim kemarau kemungkinan air akan menurun karena tidak
ada penambahan air hujan. Menurut pedoman penentuan tebal perkerasan
lentur dengan metode analisa komponen yang dikeluarkan oleh Dirjend
Bina Marga, kategori curah hujan dibagi menjadi 2, yaitu :
− Curah hujan tinggi > 600 mm / tahun
− Curah hujan rendah < 600 mm / tahun
Untuk data curah hujan pada wilayah Penjaringan, Jakarta Utara
diambil dari hasil penelitian curah hujan pada Stasiun BMKG Kemayoran,
Jakarta Pusat, dan dapat dilihat pada Lampiran 1.
2.5.2 Sistem Pemanenan Air Hujan
Pemanenan air hujan (PAH) merupakan metode atau teknologi yang
digunakan untuk mengumpulkan air hujan yang berasal dari atap
bangunan, permukaan tanah, jalan atau perbukitan batu dan dimanfaatkan
sebagai salah satu sumber suplai air bersih. (Budi Harsoyo, 2010: 33-35).
Dilihat dari ruang lingkup implementasinya, teknik ini dapat
digolongkan dalam 2 (dua) kategori, yaitu :
1. Teknik pemanenan air hujan dengan atap bangunan (roof top rain
waterharvesting), dan
2. Teknik pemanenan air hujan (dan aliran permukaan) dengan
bangunan reservoir, seperti dam parit, embung, kolam, situ,
waduk, dan sebagainya.
35
Perbedaan dari kedua kategori di atas adalah bahwa untuk kategori
yang pertama, ruang lingkup implementasinya adalah pada skala individu
bangunan rumah dalam suatu wilayah permukiman ataupun perkotaan,
sementara untuk kategori yang kedua skalanya lebih luas lagi, biasanya
untuk suatu lahan pertanian dalam suatu wilayah Daerah Aliran Sungai
(DAS) ataupun subDAS.
2.5.3 Komponen Sistem Pemanenan Air Hujan
Sistem PAH umumnya terdiri dari beberapa sistem yaitu: tempat
menangkap hujan (catchment area), saluran air hujan yang mengalirkan
air hujan dari tempat menangkap hujan ke tangki penyimpanan
(conveyance), filter, reservoir (storage tank), saluran pembuangan, dan
pompa. Gambar 2.2 menunjukkan skema ilustrasi sistem PAH dengan
menggunakan atap rumah
a. Area Penangkap (Catchment Area)
Area penangkapan air hujan (catchment area) merupakan
tempat penangkapan air hujan dan bahan yang digunakan dalam
konstruksi permukaan tempat penangkapan air hujan mempengaruhi
efisiensi pengumpulan dan kualitas air hujan. Bahan-bahan yang
digunakan untuk permukaan tangkapan hujan harus tidak beracun dan
tidak mengandung bahan-bahan yang dapat menurunkan kualitas air
Gambar 2.2 Skema Teknik Panen Hujan dengan Atap Rumah Sumber: Harsoyo, Budi, 2011
36
hujan. Umumnya bahan yang digunakan adalah bahan anti karat
seperti alumunium, besi galvanis, beton, fiber-glass shingles, dll.
Pada area penangkap air hujan perlu diperhatikan koefisien
runoff atau aliran airnya yang tergantung dari pemakaian bahan.
Semakin tinggi koefisien runoff nya semakin air dapat mengalir
sehingga dapat mengambil air hujan secara maksimal pada permukaan
penangkap air tersebut.
Ada beberapa jenis elemen bangunan yang dapat digunakan
sebagai area tangkapan air hujan, diantaranya adalah sebagai berikut :
• Atap Bangunan
Elemen ini merupakan elemen yang lazim digunakan
untuk menangkap air hujan. Sesuai dengan namanya, teknik
pemanenan air hujan dengan atap bangunan pada prinsipnya
dilakukan dengan memanfaatkan atap bangunan (rumah,
gedung perkantoran atau industri) sebagai daerah tangkapan
airnya (catchment area) dimana air hujan yang jatuh di atas
atap kemudian disalurkan melalui talang untuk selanjutnya
dikumpulkan dan ditampung ke dalam tangki, seperti terlihat
pada gambar 2.4. Menggunakan atap rumah secara individual
memungkinkan air yang akan terkumpul tidak terlalu
signifikan, namun apabila diterapkan seecara masal maka air
yang terkumpul akan sangat melimpah.
Gambar 2.3 Runoff Coefficients Sumber : Harvesting Rainwater for Landscape Use, Patricia H, 2006
37
Menurut Renhata Katili, 2012, keuntungan dari
penggunaan atap sebagai pengumpul air hujan adalah air
yang terkumpul akan lebih sedikit terkontaminasi karena
posisinya berada diatas bangunan. Selain itu, tidak
membutuhkan biaya tambahan untuk menangkap air hujan
karena atap itu sendiri sudah pasti tersedia di setiap rumah.
Namun, ada beberapa kekurangan tipe pengumpulan
air hujan dengan menggunakan atap yaitu ukurannya yang
terbatas. Dan akan sangat mahal apabila atap ini dibuat ekstra
sendiri untuk menangkap air hujan (tidak ada dalam
eksisting).
• Permukaan Tanah
Menggunakan permukaan tanah merupakan metode
yang sangat sederhana untuk mengumpulkan air hujan.
Dibandingkan dengan sistem atap, PAH dengan sistem ini
lebih banyak mengumpulkan air hujan dari daerah tangkapan
yang lebih luas. Air hujan yang terkumpul dengan sistem ini
lebih cocok digunakan untuk pertanian, karena kualitas air
yang rendah. Air ini dapat ditampung dalam embung atau
danau kecil. Namun, ada kemungkinan sebagian air yang
tertampung akan meresap ke dalam tanah.
Gambar 2.4 Ilustrasi Sistem PAH Menggunakan Atap Sumber : Anie, 2011
38
• Balkon
Pada acara The Rainwater Utilization Idea Contest, ada
beberapa ide yang memikirkan air hujan akan mengalir di
dinding bangunan. Kazuo Nagado mengusulkan
mengumpulkan air hujan ini dengan membangun atap di lantai
pertama. (Sumber: Rainwater and You,1995)
Gambar 2.5 Ground Catchment Sumber : Anie, 2011
Gambar 2.6 Penangkap Air Hujan Menggunakan Balkon dan Kanopi Sumber : Rainwater and You, 1995.
39
• Blooming Flowers
Apa yang dimaksud dengan "rain-blooming flowers?"
Jika anda memiliki payung vinil ekstra yang dibeli pada saat
hujan yang tak terduga, mengapa tidak memanfaatkan ekstra
baiknya dari kelebihan tersebut. Yuko Kanbayashi muncul
dengan ide kreatif. Pertama, membuat dua lubang di batang
payung hanya di mana ia bergabung dengan pipa penghubung.
Kemudian, potong sekitar 1 cm dari ujung poros. Pasang
tabung vinyl pada ujung poros tersebut. Cukup
menggantungkannya secara terbalik, payung ini akan
mengumpulkan air hujan yang akan mengalir melalui tabung
vinyl. Dengan cara ini pengumpulan air hujan sangat mudah
dilakukan bahkan di kompleks perumahan. (Sumber:
Rainwater and You,1995)
Gambar 2.7 Blooming Flowers Sumber : Rainwater and You, 1995.
40
Ada anggota lain yang memiliki gagasan rain-
blooming flowers, Kaoru Hotta dan putranya. Mereka
mengubah tenda kerai di balkon menjadi tangkapan air hujan.
Yang perlu dilakukan hanya memperbaiki ujung tenda menjadi
polyvinyl chloride selokan, dan bergabung dengan pipa
fleksibel (bukan downspout) ke selokan. Baru-baru ini, desain
tenda yang sangat berwarna-warni, jadi jika banyak jenis
rainwater-cathchment-flowers mekar pada balkon, akan
menyenangkan pandangan. (Sumber: Rainwater and
You,1995)
• Dinding Bangunan
Mengumpulkan air hujan dari atap dan atap
menghadap langit adalah umum, tetapi air hujan juga dapat
dikumpulkan dari permukaan vertikal bangunan karena hujan
biasanya tidak jatuh tepat vertikal. dalam banyak kasus, itu
jatuh pada miring dan dalam beberapa kasus, "jatuh bangun".
Jumlah air hujan yang dikumpulkan dari permukaan vertikal
bangunan seperti yang telah dianggap sebagai 50% dari yang
Gambar 2.8 Blooming Flowers Sumber : Rainwater and You, 1995.
41
dari permukaan horizontal dari daerah yang sama, tetapi ada
laporan bahwa itu benar-benar diukur 7%. Bahkan jika itu
hanya 7% jumlah total air hujan yang dikumpulkan akan
menjadi besar karena bahkan salah satu dinding bangunan
beberapa kali lebih besar atap dan ada banyak gedung-gedung
tinggi di daerah perkotaan. (Sumber: Rainwater and You,1995)
b. Sistem Pengalir Air Hujan
Sistem pengaliran air hujan (conveyance system) biasanya
terdiri dari saluran pengumpul atau pipa yang mengalirkan air hujan
yang turun di atap ke tangki penyimpanan (cistern or tanks). Saluran
pengumpul atau pipa mempunyai ukuran, kemiringan dan dipasang
sedemikian rupa agar kuantitas air hujan dapat tertampung
semaksimal mungkin/Ukuran saluran penampung bergantung pada
luas area tangkapan hujan, biasanya diameter saluran penampung
berukuran 20-50 cm (Abdulla et al., 2009).
Gambar 2.9 Tangkapan Air Hujan Menggunakan Dinding Sumber : Rainwater and You, 1995.
42
c. Filter
Filter dibutuhkan untuk menyaring sampah (daun, plastik,
ranting, dll) yang ikut bersama air hujan dalam saluran penampung
(Gambar 2.12) sehingga kualitas air hujan terjaga. Dalam kondisi
tertentu, filter harus bisa dilepas dengan mudah dan dibersihkan
dari sampah.
Gambar 2.10 Saluran Pengumpul Sumber : Anie, 2011
Gambar 2.12 Filter Sumber : Anie, 2011
Gambar 2.11 Pipa Pengumpul dan Dop Cap Sumber : Anie, 2011
43
d. Tangki (Cistern or tank)
Tangki alami (kolam atau dam) dan tangki buatan (Cistern or
tank) merupakan tempat untuk menyimpan air hujan. Berdasarkan
buku panduan Rainwater Harvesting Guidebook Planning and Design
(2009), penempatan tempat penyimpanan air dibagi menjadi 3, yaitu :
• Penyimpanan air atas tanah ( Above-Ground Storage )
Teknik penympanan tangki atas tanah adalah dengan
meletakkan tangki air di atas tanah. Air hujan dialirkan dengan
daya gravitasi.
Gambar 2.13 Filtrasi Air Hujan Sumber : Tatyalfiah, 2012
Gambar 2.14 Sistem Tangki Penyimpanan Atas Tanah Sumber : Guidelines for Installing a Rainwater Collection and
Utilization System, 2009.
44
• Penyimpanan air bawah tanah ( Below-Ground Storage )
Metode tangki penyimpanan bawah tanah adalah
dimana tangki air ditempatkan di dalam tanah seperti pada
Gambar 2.15. Air hujan digunakan kembali menggunakan
pompa.
• Penyimpanan di permukaan bangunan (Surface Storage)
Untuk metode penyimpanan air di permukaan
bangunan, air hujan bisa ditampung di atas atap yang rata.
Atap bangunan ini harus menggunakan bahan yang tidak
mudah larut dan tidak mudah bocor. Aplikasi ini jika
digunakan dalam area perumahan akan terbatas dan lebih
sesuai digunakan di bangunan institusi, komersial dan industri.
Gambar 2.15 Sistem Tangki Penyimpanan Bawah Tanah Sumber : Guidelines for Installing a Rainwater Collection and
Utilization System, 2009.
Gambar 2.16 Sistem Tangki Penyimpanan Bawah Tanah Sumber : Sistem Pengumpulan dan Penggunaan Semula Air Hujan, 2012.
45
Sistem pemanenan air hujan di rumah susun telah
dilaksanakan di flat biaya rendah Proyek Perumahan Rakyat
Sri Stulang, Johor Baru, Malaysia seperti dalam Gambar 2.19.
Tangki beton dibangun sebagai bagian dari struktur bangunan
dan air hujan digunakan untuk mencuci tangga dan lantai.
Gambar 2.17 Sistem Tangki Penyimpanan Permukaan Bangunan Sumber : Guidelines for Installing a Rainwater Collection and
Utilization System, 2009.
Gambar 2.18 Sistem Tangki Penyimpanan Permukaan Bangunan Sumber : Renhata Katili, 2009.
Gambar 2.19 Bentuk Tangki Penyimpanan Air Hujan Dekat Area Tangga Sumber : Sistem Pengumpulan dan Penggunaan Semula Air Hujan, 2012.
46
Tangki pada gambar 2.20 disebut juga sebagai "tangki
air hujan ultra tipis". Tangki ini terbuat dari blok beton dan
tampak seperti hanya sebuah dinding blok beton biasa.
Namun, masing-masing blok berlubang sehingga air hujan
dapat disimpan di dalamnya. Blok seharusnya tidak memiliki
partisi dalam, tidak ada ujung tersembunyi dan juga sebaiknya
harus tahan air. Blok harus ditempatkan secara bergantian di
atas pondasi beton bertulang yang berlabuh oleh tulangan di
setiap sudut dinding dan setiap 1,8 m. Blok berlabuh oleh
tulangan harus diisi dengan beton. Pipa untuk bergabung
setiap bagian blok harus dimasukkan ke dalam lapisan
terendah.
e. First Flush Device
First flush device: apabila kualitas air hujan merupakan
prioritas, saluran pembuang air hujan yang tertampung pada menit-
menit awal harus dibuang. Tujuan fasilitas ini adalah untuk
meminimalkan polutan yang ikut bersama air hujan.
f. Pompa (Pump)
Pompa (Pump) dibutuhkan apabila tangki penampung air
hujan berada di bawah tanah.
Gambar 2.20 Sistem Tangki Penyimpanan Permukaan Bangunan Sumber : Rainwater and You, 1995.
47
2.5.4 Pembahasan Perhitungan Jumlah Air yang Dapat Dipanen
Heryani (2009) dalam tulisannya yang berjudul Teknik Panen Hujan :
Salah Satu Alternatif Untuk Memenuhi Kebutuhan Air Domestik
menjelaskan bahwa potensi jumlah air yang dapat dipanen (the water
harvesting potential) dari suatu bangunan atap dapat diketahui melalui
perhitungan secara sederhana, sebagai berikut:
(Q) Debit air yang dapat dipanen (m³) = (C) Koefisien Run Off x (I)
Intensitas Air Hujan (mm) x (A) Luas area (m²)
Sebagai ilustrasi (seperti disajikan pada Gambar 2.21), untuk suatu
areal tangkapan hujan dengan luas 200 m², curah hujan tahunan 500 mm,
maka jumlah air yang dapat dipanen ditetapkan sebagai berikut :
• Dengan luas area = 200 m2 dan jumlah curah hujan tahunan = 500
mm, maka volume air hujan yang jatuh di area tersebut:
= 20.000 dm2 x 5 dm = 100.000 liter
• Dengan asumsi hanya 80% dari total hujan yang dapat dipanen (20%
hilang karena evaporasi atau kebocoran), maka volume yang dapat
dipanen :
= 100.000 x 0.8 = 80.000 liter/tahun.
Gambar 2.21 Ilustrasi bangunan penampung air hujan dari atap rumah Sumber: Harsoyo, Budi, 2011
48
Berikut di bawah ini dibuat ilustrasi lebih lanjut untuk menunjukkan
bagaimana teknik Pemanenan Air Hujan dapat memberikan kontribusi
dengan hasil yang cukup signifikan untuk dijadikan sebagai solusi
alternatif terhadap permasalahan krisis ketersediaan air baku di Jakarta :
Misalnya, untuk suatu atap bangunan dengan luas area 100 m2 (=
10.000dm2); dan Jumlah curah hujan tahunan untuk wilayah DKI Jakarta
berdasarkan data pada Tabel 2.7 adalah 1.929 mm/tahun (19,29 dm); maka
Volume air hujan yang jatuh di satu atap rumah dengan luas atap 100 m2
dalam satu tahun adalah sebanyak :
= 10.000 dm2x 19,29 dm = 192.900 liter/tahun
Dengan asumsi hanya 80% dari total hujan yang dapat dipanen (sesuai
Ilustrasi pada Gambar 2.12 sebelumnya; 20% hilang karena evaporasi atau
kebocoran), maka volume air yang dapat dipanen :
= 80% x 192.900 liter = 154.320 liter/tahun.
Dari volume air tampungan yang dapat dipanen sebanyak 154.320
liter/tahun atau setara dengan 40.763 galon air (1 liter= 0,264 galon), jika
air galonan diasumsikan seharga Rp.1.000,00 galon air saja, maka dari segi
pengeluaran satu keluarga sudah terjadi penghematan sebanyak
Rp.40.763.000,000/ tahun.
Tabel 2.7 Curah Hujan Historis (1989-2008) DAS Ciliwung
Sumber : UPT Hujan Buatan – BPPT. 2008
49
− Menghitung penyimpanan dan sisa pemakaian air yang
ditampung
Menghitung air sisa pemakaian yang ditampung di tangki yang
akan digunakan pada saat musim kemarau dan tidak ada hujan.
2.6 Studi Banding
2.6.1 Studi Banding Proyek Sejenis
Studi banding dilakukan pada Rumah Susun Sindang, Jakarta Utara dan
Rumah Susun Tambora, Jakarta Barat. Studi banding dilakukan untuk
mengetahui standar luasan ruang yang ada di rumah susun yang ada di
Jakarta beserta masalah ada pada bangunan rumah susun tersebut.
Tabel 2.8 Sample Storage and Use Worksheet
Tabel 2.8 Sample Storage and Use Worksheet Sumber : Harvesting Rainwater for Landscape Use, Patricia H, 2006
50
51
52
53
2.6.2 Studi Banding Sistem Pemanenan Air Hujan
a. Pusat Kesenian Kota oleh KAMJZ Architects
Arsitek : KAMJZ Architects
Lokasi : Taichung, Taiwan
Klien : Taichung City
Project Leader : Maciej Jakub Zawadzki
Partner in Charge : Marek Kuryłowicz
Collaboration : Buro Happold
Chief Design Consultant: Prof. Ewa Kuryłowicz
Tim : Bartosz Świniarski, Michał Polak, Łukasz
Wenclewski, Bogusz Ostalski, Zuzanna Góra, Magdalena Mularzuk
Ukuran : 63,000 sqm
Proposal desain Pusat Kesenian Kota Taichung oleh KAMJZ
Arcihtects ini bertujuan untuk memberikan peluang untuk
menggunakan fitur lokal untuk melindungi lokasi itu sendiri,
mengubah faktor-faktor pembatas yang ada menjadi sebuah fitur
proyek yang menarik. Dengan curah hujan tahunan rata-rata 2500 mm
dan iklim sangat dipengaruhi oleh musim hujan, Taiwan merupakan
negara yang menerimabanyak air hujan. Oleh karena itu, para arsitek
berfokus pada agenda pengendalian air lokal, ‘Water Damper Towers’,
dengan bangunan sebagai perwujudannya.
Gambar 2.22 City Cultural Center by KAMJZ Architects
Sumber: archdaily.com diakses pada 29 Mei 2014
54
Taiwan secara resmi diklasifikasikan oleh PBB sebagai ‘negara defisit
air’ dengan jumlah air hujan per orang hanya 1/6 dari rata-rata dunia
dan kekurangan air biasanya muncul setiap tahun antara bulan Maret
dan Mei. Dikarenakan populasi yang tinggi, dan juga topografi dengan
bukit yang terjal menyebabkan air mengalir ke laut dan distribusi hujan
terdistribusi tidak merata, dan hanya 20% dari air yang tersisa untuk
konsumsi air, hal ini membuat air hujan sebagai sumber daya yang
sangat penting dan berharga di pulau itu. Jika sumber daya air tidak
dapat dialokasikan dengan baik, masalah-masalah lain yang terkait
akan terus bertambah.
Gempa Bumi – Permasalahan Besar Negara Taiwan
Taiwan merupakan zona seismik aktif, pada Pacific Ring of Fire di
tepi barat dari piringan pantai Filipina. Para geologis telah
mengidentifikasi 42 kejanggalan aktif pada pulau ini. Gempa bumi
paling sering terjadi di pantai timur dan menyebabkan kerusakan kecil
namun gempa yang lebih kecil di bawah pulau itu sendiri secara
historis ternyata terbukti lebih merusak. Diantara tahun 1901 dan tahun
2000, telah terjadi 91 gempa bumi besar di Negara Taiwan, 48
diantaranya mengakibatkan korban jiwa. Gempa bumi yang paling
terakhir terjadi adalah berupa 921 gempa bumi, yang menyerang pada
tanggal 21 September 1999, dan memakan 2415 korban jiwa.
Pemantauan potensi bencana saja tidak cukup. Standar konstruksi yang
buruk telah disalahkan atas korban-korban yang disebabkan oleh
gempa bumi besar ini. Banyak bangunan dan fasilitas modern di
Taiwan yang telah dibangun dengan pemikiran konstruksi yang aman
dari gempa bumi tetapi kesluruhan strategi diterapkan dari bawah ke
atas yang dapat membantu untuk meningkatkan ketahanan gempa dari
seluruh kepentingan kota untuk bangkit.
55
Untuk mencapai standar Zero Carbon and Energi Plus dan
mengamankan keselamatan bangunan, banyak perangkat teknologi
yang digunakan. Biaya produksi mereka mahal dan terkadang tidak
berkelanjutan. Di Taichung City Cultural Center mereka mengusulkan
sebuah bangunan yang melalui kinerjanya mengumpulkan sumber
daya, menghasilkan energi dan dengan melakukan hal ini merupakan
langkah pertahanan terhadap kondisi lingkungan yang bermusuhan ini.
Semua faktor pembatas seperti udara terlalu panas dan polusi akan
diperangi dengan cara alami dengan angin dan air.
Mitigasi Bencana – Melawan Gempa dengan Mengumpulkan Air.
Dengan mengumpulkan air, bangunan dapat terlindungi dari bencana
lokal. Massa bangunan ini akan berperan sebagai mekanisme defensif
peredam gempa. Gelombang dan berat air yang bergerak di dalam
tangki tertutup terbukti menjadi penyeimbang kekuatan gempa dan
membantu untuk mengatur osilasi dari struktur bangunan. Dibarengi
dengan sistem struktur primitif, meminimalkan koneksi diagonal,
profil tinggi dan bentuk bertingkat yang berperan terbaik di lokasi
seismic, fasilitas tersebut akan menjadi bangunan tahan bencana.
Gambar 2.23 City Cultural Center by KAMJZ Architects Sumber: archdaily.com diakses pada 29 Mei 2014
56
Pertahanan Sumber Daya – Bangunan sebagai Ladang Air
Keberlanjutan dalam arsitektur selalu dimasukkan ke dalam
pendekatan top-down, dimana bangunan tersebut menerima asupan-
asupan yang berkelanjutan untuk mendapatkan produksi energi. Dalam
rangka untuk menghasilkan sistem energi yang optimal, desain harus
memiliki pendekatan bottom-up yang lebih. Seluruh daerah mungkin
dan harus digunakan untuk memanen air. Keuntungan yang paling baik
di permukaan akan jauh lebih besar jika tidak ada bangunan sama
sekali. Untuk meningkatkan hal ini sebanyak mungkin, di TCCC
bangunan dirancang untuk meminimalkan rasio cakupan. Dengan
mengangkat bagian dari lansekap, seluruh kompleks diperhalus dari
penggalian bawah tanah yang meningkatkan ketahanan air dan
menyediakan ruang hijau sebanyak mungkin. Plaza utama, seluruh
jalan masuk dan trotoar dan area lantai dasar dengan sistem
pengumpulan multi-layer memiliki desain berpori permeable untuk
menyimpan air.
Teras Air – Sebuah Tipologi Bangunan Baru
Bangunan ini akan dibangun dengan kompilasi bertulang antara kolam
bertingkat beton membentuk sistem pengumpulan air hujan, rantai
kolektor akan bermula pada plaza yang diangkat. Area lantai dasar
akan bebas dan terbuka yang dimana akan memaksimalkan keuntungan
dari air sebanyak mungkin. Plaza ini akan menampilkan serangkaian
bukaan yang akan diperlukan untuk menurunkan air terhadap lapisan
lantai dasar.
Gambar 2.24 City Cultural Center by KAMJZ Architects Sumber: archdaily.com diakses pada 29 Mei 2014
57
Konsep bentuk Pragmatic Formless – Pergerakan Air sebagai
Inspirasi Utama.
Fasad dirancang untuk estetis yang menarik namun praktis,
menempatkan fokus yang kuat pada pengumpulan air hujan dan
perbaikan terhadap kualitasnya pula. Terdiri dari serangkaian patung
dengan bentuk cair, yang mendorong gerakan alami dari air dengan
menyalurkan ke teras, dimana hal ini akan berperan sebagai satu set
talang besar hujan di bagian atas dan kolam di bagian bawah dari
bangunan mengumpulkan limpasan air yang akan bergerak terus
menerus.
Rangkaian modifikasi permukaan spiral akan membentuk jalan air
untuk mendorong air untuk beperan secara alami. Pergerakan air
tergantung pada kecepatan itu dan cara jatuh bisa menciptakan ambient
berbeda dan armosfer di tempat-tempat itu akan diperlukan. Aliran
yang deras akan memperkeras suara yang dihasilkan dan tidak tepat
bila ditempatkan di area membaca dimana aliran air yang lambat akan
lebih dibutuhkan sebagai contoh. Dari setiap tingkatan air akan
disimpan dan dipindahkan ke core utama dimana akana di filtrasi di
tangki air. Ketika terjadi air yang ditampung terlalu banyak oleh kolam
tunggal, air limpasan akan tumpah keluar dan kaskade akan turun
menuju teras selanjutnya atau ke plaza utama yang berlubang yang
nantinya akan mengarah ke lantai dasar.
Gambar 2.25 City Cultural Center by KAMJZ Architects Sumber: archdaily.com diakses pada 29 Mei 2014
58
Water Circulation / Gathering / Cooling
Air hujan aiakan ditangkap oleh atap dan teras bangunan. Ruang baca,
Ruang pameran, dan ruang arsip dengan tumpukan buku dan karya
seni yang berharga akan dipisahkan menggunakan fasad dari aliran air
yang memungkinkan untuk menciptakan dan memelihara iklim mikro
yang diinginkan. Fasad air yang akan berperan sebagai perangkat
pendingin dan membawa sinar matahari siang di tempat-tempat
khusus. Hal ini akan menampilkan tingkat di mana air akan dikirim
langsung ke tangki inti yang akan disaring dan didaur ulang. Air dari
atap akan mengalir ke tangki peredam yan gjuga akan tampil sebagai
filtering dan perangkat penyimpanan. Ekstra limpasan air akan jatuh ke
plaza dan kemudian melalui lubang pada lapisan penahan di lantai
dasar. Air yang telah disaring kemudian akan mengalir ke tangki
pengumpul air di tingkat bawah tanah yang juga akan menggunakan
tenaga hidrolik untuk mengusir kotoran dari air kota yang melayang
selama musim topan. Pada saat yang sama tidak akan mempengaruhi
pasokan air hilir dan kapasitasnya. Daur ulang air yang tersimpan akan
digunakan untuk membilas toilet dan penyiram api. ( Sumber :
Archdaily.com, 2014)
Gambar 2.26 Section Sumber: archdaily.com diakses pada 29 Mei 2014
59
b. Capture The Rain
Duo Ryszard Rychlicki dan Agnieszka Nowak, dari H3AR,
dianugerahi penghargaan khusus untuk usulan mereka dalam kompetisi
2010 pencakar langit eVolo. Kompetisi eVolo menarik desainer
inovatif dan telah menerima ratusan proposal eksentrik. Untuk proyek
ini, dirancang oleh mahasiswa tahun ke-4, pencakar langit ini terdiri
dari sistem talang untuk menangkap curah hujan sebanyak mungkin.
Air ditangkap dan diproses oleh gedung dapat digunakan untuk
pembilasan toilet, mesin cuci, menyiram tanaman, membersihkan
lantai dan aplikasi domestik lainnya.
Gambar 2.27 City Cultural Center by KAMJZ Architects Sumber: archdaily.com diakses pada 29 Mei 2014
Gambar 2.28 Capture The Rain by H3AR Sumber: archdaily.com diakses pada 29 Mei 2014
60
Air yang telah dipanen oleh bangunan akan memasok 85 litres air
hujan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari penduduk ( masing-
masing rata-rata penggunaan air harian 150 liter/hari )
Awalnya, dalam merancang menara, siswa difokuskan pada
membentuk dan pemodelan permukaan atap untuk mengoptimalkan
air hujan yang dikumpulkan. Namun setelah bekerja dengan sistem
atap, siswa mengembangkan skin treatment untuk membuat bangunan
berubah menjadi mesin raincollecting yang kohesif.
Gambar 2.29 Capture The Rain by H3AR Sumber: archdaily.com diakses pada 29 Mei 2014
Gambar 2.30 Capture The Rain by H3AR Sumber: archdaily.com diakses pada 29 Mei 2014
61
Di bawah permukaan atap, penampungan air dalam bentuk corong
besar dan bidang buluh, berfungsi sebagai unit pengolahan air hydro
botanic. Unit memproses air menjadi air yang dapat digunakan yang
selanjutnya ditransmisikan ke apartemen. (Sumber : Archdaily.com,
2014)
Gambar 2.31 Capture The Rain by H3AR Sumber: archdaily.com diakses pada 29 Mei 2014
Gambar 2.32 Capture The Rain by H3AR Sumber: archdaily.com diakses pada 29 Mei 2014
Gambar 2.33 Capture The Rain by H3AR Sumber: archdaily.com diakses pada 29 Mei 2014
62
Kesimpulan :
Dari 2 proyek diatas yang menggunakan sistem pemanenan air hujan,
dapat disimpulkan bahwa air hujan mampu ditangkap oleh berbagai
macam elemen-elemen bangunan dari mulai atap, fasad, plat lantai dan
sebagainya, serta perletakan penyimpanan air hujan tersebut yang fleksibel
seperti yang terdapat pada Pusat Kesenian Kota di Taiwan yang
meletakkannya pada core bangunan sekaligus sebagai elemen yang
mempercantik ruangan.
2.7 Hipotesa
Berdasarkan studi literatur dan studi banding yang dilakukan, dapat
ditarik suatu hipotesa bahwa, untuk dapat menghimpun air hujan
diperlukan tangkapan yang dapat berupa elemen-elemen bangunan, seperti
atap, fasad, plat lantai dan sebagainya. Dalam penggunaan sistem
pemanenan air hujan, variabel yang digunakan adalah curah hujan yang
turun pada daerah tersebut, luas penampang penangkap air hujan yang
dirancang, serta kebutuhan air yang akan digantikan oleh air hujan. Bentuk
dan material atap yang digunakan juga akan mempengaruhi debit air hujan
yang dapat dihimpun. Itu semua pada akhirnya akan mempengaruhi luasan
tangki yang diperlukan untuk menyimpan air yang telah dihimpun.
Sehingga, perlu diperhatikan pula bentuk tangkapan air hujan dan material
yang digunakan di perancangan rumah susun ini.
Dalam penelitian ini, penulis akan mencoba merancang sistem
pemanenan air hujan yang akan diterapkan pada rumah susun Penjaringan.
Kemudian diprediksikan jumlah air yang dihasilkan atau dihimpun oleh
sistem pemanenan air hujan pada rumah susun Penjaringan mampu
memenuhi kebutuhan bilas toilet para penghuni rumah susun Penjaringan,
Jakarta Utara sepanjang tahun, baik saat musim penghujan maupun musim
kemarau.