lahan gambut.docx

33
Bab 1 Pendahuluan Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua (BB Litbang SDLP, 2008). Namun karena variabilitas lahan ini sangat tinggi, baik dari segi ketebalan gambut, kematangan maupun kesuburannya, tidak semua lahan gambut layak untuk dijadikan areal pertanian. Dari 18,3 juta ha lahan gambut di pulau-pulau utama Indonesia, hanya sekitar 6 juta ha yang layak untuk pertanian. Sebagian besar lahan gambut masih berupa tutupan hutan dan menjadi habitat bagi berbagai spesies fauna dan tanaman langka. Lebih penting lagi, lahan gambut menyimpan karbon (C) dalam jumlah besar. Gambut juga mempunyai daya menahan air yang tinggi sehingga berfungsi sebagai penyangga hidrologi areal sekelilingnya. Konversi lahan gambut akan mengganggu semua fungsi ekosistem lahan gambut tersebut. Dalam keadaan hutan alami, lahan gambut berfungsi sebagai penambat (sequester) karbon sehingga berkontribusi dalam mengurangi gas rumah kaca di atmosfer, walaupun proses penambatan berjalan sangat pelan setinggi 0- 3 mm gambut per tahun (Parish et al., 2007) atau setara dengan penambatan 0-5,4 t CO2 ha -1 tahun -1 (Agus, 2009). Apabila hutan gambut ditebang dan didrainase, maka karbon tersimpan pada gambut mudah teroksidasi menjadi gas CO2 (salah satu gas rumah kaca terpenting). Selain itu lahan gambut juga mudah mengalami penurunan permukaan (subsiden) apabila hutan gambut dibuka. Oleh karena itu diperlukan kehati-hatian dan perencanaan yang matang apabila akan mengkonversi hutan gambut. Perencanaan harus mengacu pada hasil studi yang mendalam mengenai karakteristik gambut setempat dan dampaknya bila hutan gambut

Upload: tarisaelen

Post on 08-Apr-2016

59 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Lahan Gambut.docx

Bab 1

Pendahuluan

Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua (BB Litbang SDLP, 2008). Namun karena variabilitas lahan ini sangat tinggi, baik dari segi ketebalan gambut, kematangan maupun kesuburannya, tidak semua lahan gambut layak untuk dijadikan areal pertanian. Dari 18,3 juta ha lahan gambut di pulau-pulau utama Indonesia, hanya sekitar 6 juta ha yang layak untuk pertanian.

Sebagian besar lahan gambut masih berupa tutupan hutan dan menjadi habitat bagi berbagai spesies fauna dan tanaman langka. Lebih penting lagi, lahan gambut menyimpan karbon (C) dalam jumlah besar. Gambut juga mempunyai daya menahan air yang tinggi sehingga berfungsi sebagai penyangga hidrologi areal sekelilingnya. Konversi lahan gambut akan mengganggu semua fungsi ekosistem lahan gambut tersebut.

Dalam keadaan hutan alami, lahan gambut berfungsi sebagai penambat (sequester) karbon sehingga berkontribusi dalam mengurangi gas rumah kaca di atmosfer, walaupun proses penambatan berjalan sangat pelan setinggi 0- 3 mm gambut per tahun (Parish et al., 2007) atau setara dengan penambatan 0-5,4 t CO2 ha-1 tahun-1 (Agus, 2009). Apabila hutan gambut ditebang dan didrainase, maka karbon tersimpan pada gambut mudah teroksidasi menjadi gas CO2 (salah satu gas rumah kaca terpenting). Selain itu lahan gambut juga mudah mengalami penurunan permukaan (subsiden) apabila hutan gambut dibuka. Oleh karena itu diperlukan kehati-hatian dan perencanaan yang matang apabila akan mengkonversi hutan gambut. Perencanaan harus mengacu pada hasil studi yang mendalam mengenai karakteristik gambut setempat dan dampaknya bila hutan gambut dikonversi.

Perluasan pemanfaatan lahan gambut meningkat pesat di beberapa propinsi yang memiliki areal gambut luas, seperti Riau, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Antara tahun 1982 sampai 2007 telah dikonversi seluas 1,83 juta ha atau 57% dari luas total hutan gambut seluas 3,2 juta ha di Provinsi Riau. Laju konversi lahan gambut cenderung meningkat dengan cepat, sedangkan untuk lahan non gambut peningkatannya relatif lebih lambat (WWF, 2008).

Ekosistem lahan gambut sangat penting dalam sistem hidrologi kawasan hilir suatu DAS karena mampu menyerap air sampai 13 kali lipat dari bobotnya. Selain itu, kawasan gambut juga merupakan penyimpan cadangan karbon yang sangat besar, baik di atas maupun di bawah permukaan tanah.

Page 2: Lahan Gambut.docx

Bab 2

Pembahasan

Lahan gambut mempunyai potensi yang cukup baik untuk usaha budidaya pertanian tetapi memiliki kendala cukup banyak yang dapat menyebabkan produktivitas rendah. Dengan mengetahui karakternya, dapat ditentukan cara pengelolaan yang bijak dan tepat sehingga usaha tani yang dikembangkan dapat menguntungkan tanpa membahayakan lingkungan.

2.1 Fisiografi Lahan Gambut

Lahan gambut di Indonesia pada umumnya membentuk kubah gambut (peat dome). Pada bagian pinggiran kubah, didominasi oleh tumbuhan kayu yang masih memperoleh pasokan hara dari air tanah dan sungai sehingga banyak jenisnya dan umumnya berdiameter besar. Hutan seperti itu, disebut hutan rawa campuran (mixedswamp forests).

Menuju ke bagian tengah, letak air tanah sudah terlalu dalam sehingga perakaran tumbuhan kayu hutan tidak mampu mencapainya. Akibatnya, vegetasi hutan hanya memperoleh sumber hara yang semata-mata berasal dari air hujan. Vegetasi hutan lambat laun berubah, jenis-jenis spesies kayu hutan semakin sedikit, vegetasi hutan relatif kurus dengan rata-rata berdiameter kecil. Vegetasi hutan seperti ini disebut hutan padang. Gambut tebal yang terbentuk, umumnya bersifat masam dan miskin hara sehingga memiliki kesuburan alami yang rendah sampai sangat rendah. Perubahan dari wilayah pinggiran gambut yang relatif kaya hara menjadi wilayah gambut ombrogen yang miskin, diperkirakan terjadi pada kedalaman gambut antara 200-300 cm.

Di kawasan Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Satu Juta Hektar Kalimantan Tengah, kubah gambut berbentuk hampir bujur telur, terletak di antara Sungai Kapuas dan Sungai Dadahup / Sungai Barito. Kubah gambutpertama, terletak di antara Sungai Kapuas dan Sungai Mantangai, berukuran sekitar 22 km x 17 km, dengan ketebalan gambut terdalam antara 8 - 9 m. Kubah gambut kedua, terletak diantara Sungai Mantangai dan Sungai Dadahup, berukuran lebih besar yaitu sekitar 45 km x 23 km, dengan ketebalan gambut terdalam mencapai 13 m.

Tanah gambut terbentuk di dataran rendah berawa-rawa. Sebagian kecil, ditemukan pada dataran pasang surut yang umumnya berupa gambut topogen dangkal sampai sedang. Sebagian besar tanah gambut dijumpai di dataran rendah sepanjang pantai di antara sungai-sungai besar dan umumnya berupa gambut ombrogen dengan kedalaman gambut sedang sampai sangat dalam. Luasnya di Indonesia diperkirakan sekitar 18,586 juta ha.

Page 3: Lahan Gambut.docx

Tabel 1. Penyebaran tanah gambut di setiap propinsi di Indonesia

2.2 Proses PembentukanGambut merupakan suatu ekosistem lahan basah yang dicirikan oleh adanya akumulasi

bahan organik yang berlangsung dalam kurun waktu lama. Akumulasi ini terjadi karena lambatnya laju dekomposisi dibandingkan dengan laju penimbunan bahan organik yang terdapat di lantai hutan lahan basah. Proses pembentukan gambut hampir selalu terjadi pada hutan dalam kondisi tergenang dengan produksi bahan organik dalam jumlah yang banyak.

Pembentukan gambut di beberapa daerah pantai Indonesia diperkirakan dimulai sejak

zaman glasial akhir, sekitar 3.000 - 5.000 tahun yang lalu. Proses pembentukan gambut pedalaman bahkan lebih lama lagi, yaitu sekitar 10.000 tahun yang lalu. Seperti gambut tropis lainnya, gambut di Indonesia dibentuk oleh akumulasi residu vegetasi tropis yang kaya kandungan lignin dan selulosa. Karena lambatnya proses dekomposisi, di ekosistem rawa gambut masih dapat dijumpai batang, cabang, dan akar tumbuhan yang besar.

Secara umum, pembentukan dan pematangan gambut berjalan melalui tiga proses yaitu pematangan fisik, pematangan kimia dan pematangan biologi. Kecepatan proses tersebut dipengaruhi oleh iklim (suhu dan curah hujan), susunan bahan organik, aktivitas organisme, dan waktu.

Pematangan gambut melalui proses pematangan fisik, kimia, dan biologi dapat digambarkan sebagai berikut:(1) Pematangan fisik terjadi dengan adanya pelepasan air (dehidrasi) karena drainase,

evaporasi (penguapan), dan dihisap oleh akar. Proses ini ditandai dengan penurunan dan perubahan warna tanah;

(2) Pematangan kimia terjadi melalui peruraian bahan-bahan organik menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana. Proses pematangan ini akan melepaskan senyawa-senyawa asam-asam organik yang beracun bagi tanaman dan membuat suasana tanah

Page 4: Lahan Gambut.docx

menjadi asam. Gambut yang telah mengalami pematangan kimia secara sempurna akhirnya akan membentuk bahan organik baru yang disebut sebagai humus;

(3) Pematangan biologi merupakan proses yang disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme tanah. Proses ini biasanya akan lebih cepat terjadi setelah pembuatan drainase karena tersedianya oksigen yang cukup menguntungkan bagi pertumbuhan mikroorganisme.

2.3 Sifat-Sifat Tanah Gambut

Sifat tanah gambut dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu sifat fisik dan kimia. Sifat-sifat fisik dan kimia gambut, tidak saja ditentukan oleh tingkat dekomposisi bahan organik tetapi juga oleh tipe vegetasi asal bahan organik.

Sifat Fisik

Sifat fisik gambut yang penting untuk diketahui antara lain tingkat kematangan, berat jenis, kapasitas menahan air, daya dukung (bearing capacity), penurunan tanah, daya hantar hidrolik, dan warna.

Tingkat Kematangan Gambut

Karena dibentuk dari bahan, kondisi lingkungan, dan waktu yang berbeda, tingkat kematangan gambut bervariasi. Gambut yang telah matang akan cenderung lebih halus dan lebih subur. Sebaliknya yang belum matang, banyak mengandung serat kasar dan kurang subur. Serat kasar merupakan bagian gambut yang tidak lolos saringan 100 mesh (100 lubang/inci persegi). Berdasarkan tingkat kematangan/dekomposis bahan organik, gambut dibedakan menjadi tiga yakni:

1) Fibrik, yaitu gambut dengan tingkat pelapukan awal (masih muda) dan lebih dari % bagian volumenya berupa serat segar (kasar). Cirinya, bila gambut diperas dengan telapak tangan dalam keadaaan basah, maka kandungan serat yang tertinggal di dalam telapak tangan setelah pemerasan adalah tiga perempat bagian atau lebih (>%);

2) Hemik, yaitu gambut yang mempunyai tingkat pelapukan sedang (setengah matang), sebagian bahan telah mengalami pelapukan dan sebagian lagi berupa serat. Bila diperas dengan telapak tangan dalam keadaan basah, gambut agak mudah melewati sela-sela jari-jari dankandungan serat yang tertinggal di dalam telapak tangan setelah pemerasan adalah antara kurang dari tiga perempat sampai seperempat bagian atau lebih (% dan <%); 3) Saprik, yaitu gambut yang tingkat pelapukannya sudah lanjut (matang). Bila diperas, gambut sangat mudah melewati sela jari-jari dan serat yang tertinggal dalam telapak tangan kurang dari seperempat bagian (<%).

Page 5: Lahan Gambut.docx

Gambar 1 Contoh gambut yang belum matang

Untuk mempercepat kematangan gambut, biasanya digunakan tanaman ubikayu, pemberian pupuk kandang atau kompos, pemberian pupuk organik cair, dan drainase. Tanaman ubikayu tahan terhadap keasaman tinggi, dan mikroorganisme (jasad renik) yang terdapat pada perakarannya akan mempercepat pematangan gambut. Demikian pula mikroorganisme yang terdapat dalam kompos, pupuk kandang, dan pupuk organik cair. Sedangkan drainase yang memadai akan memberikan suasana yang baik bagi perkembangbiakan mikroorganisme [catatan: drainase harus dilakukan secara ekstra hati-hati, yaitu dengan tetap mempertahankan tinggi muka air tanah gambut sesuai kebutuhan tanaman. Kondisi over-drainase akan sangat membahayakan, karena selain gambut akan menjadi kering dan rentan terhadap api, juga terjadi subsidence/amblasan pada tanah gambut yang dapat menumbangkan tanaman di atasnya sebagai akibat dari mencuatnya perakaran ke permukaan tanah gambut].

Warna

Mekipun bahan asal gambut berwarna kelabu, coklat atau kemerahan tetapi setelah

dekomposisi muncul senyawa-senyawa yang berwarna gelap sehingga gambut umumnya berwarna coklat sampai kehitaman. Warna gambut menjadi salah satu indikator kematangan gambut. Semakin matang, gambut semakin berwarna gelap. Fibrik berwarna coklat, hemik berwarna coklat tua, dan saprik berwarna hitam. Dalam keadaan basah, warna gambut biasanya semakin gelap.

Bobot Jenis (Bulk Density/BD)

Gambut memiliki berat jenis yang jauh lebih rendah dari pada tanah aluvial. Makin matang gambut, semakin besar berat jenisnya. Wahyunto et al., 2003 membuat klasifiksi nilai berat jenis atau bobot isi (bulk density) tanah gambut di Sumatera sebagai berikut: gambut saprik nilai bobot isinya sekitar 0,28 gr/cc, hemik 0,17 gr/cc dan fibrik 0,10 gr/cc. Akibat berat jenisnya yang ringan, gambut kering mudah tererosi/terapung terbawa aliran air.

Kapasitas Menahan Air

Page 6: Lahan Gambut.docx

Gambut memiliki porositas yang tinggi sehingga mempunyai daya menyerap air yang sangat besar. Apabila jenuh, kandungan air pada gambut saprik, hemik dan fibrik berturut-turut adalah <450%, 450 - 850%, dan >850% dari bobot keringnya atau 90% volumenya (Suhardjo dan Dreissen, 1975). Oleh sebab itu, gambut memiliki kemampuan sebagai penambat air (reservoir) yang dapat menahan banjir saat musim hujan dan melepaskan air saat musim kemarau sehingga intrusi air laut saat kemarau dapat dicegahnya.

Kering Tak Balik (Hydrophobia Irreversible)

Lahan gambut yang sudah dibuka dan telah didrainase dengan membuat parit atau kanal, kandungan airnya menurun secara berlebihan. Penurunan air permukaan akan menyebabkan lahan gambut menjadi kekeringan. Gambut mempunyai sifat kering tak balik. Artinya, gambut yang sudah mengalami kekeringan yang ekstrim, akan sulit menyerap air kembali. Gambut yang telah mengalami kekeringan ekstrim ini memiliki bobot isi yang sangat ringan sehingga mudah hanyut terbawa air hujan, strukturnya lepas-lepas seperti lembaran serasah, mudah terbakar, dan sulit ditanami kembali.

Daya Hantar Hidrolik

Gambut memiliki daya hantar hidrolik (penyaluran air) secara horisontal (mendatar) yang cepat sehingga memacu percepatan pencucian unsur-unsur hara ke saluran drainase. Sebaliknya, gambut memiliki daya hidrolik vertikal (ke atas) yang sangat lambat. Akibatnya, lapisan atas gambut sering mengalami kekeringan, meskipun lapisan bawahnya basah. Hal ini juga menyulitkan pasokan air ke lapisan perakaran. Daya hidrolik air ke atas hanya sekitar 40 - 50 cm. Untuk mengatasi perilaku ini, perlu dilakukan upaya untuk menjaga ketinggian air tanah pada kedalaman tertentu. Untuk tanaman semusim, kedalaman muka air tanah yang ideal adalah kurang dari 100 cm. Sedangkan untuk tanaman tahunan disarankan untuk mempertahankan muka air tanah pada kedalaman 150 cm. Pemadatan gambut sering pula dilakukan untuk memperkecil porositas tanah.

Daya Tumpu

Gambut memiliki daya dukung atau daya tumpu yang rendah karena mempunyai ruang pori yang besar sehingga kerapatan tanahnya rendah dan bobotnya ringan. Ruang pori total untuk bahan fibrik/hemik adalah 86 -91% (volume) dan untuk bahan hemik/saprik 88 - 92 %, atau rata-rata sekitar 90% volume. Sebagai akibatnya, pohon yang tumbuh di atasnya menjadi mudah rebah. Rendahnya daya tumpu akan menjadi masalah dalam pembuatan saluran irrigasi, jalan, pemukiman dan pencetakan sawah (kecuali gambut dengan kedalaman kurang dari 75 cm).

Penurunan Permukaan Tanah (Subsidence)

Page 7: Lahan Gambut.docx

Setelah dilakukan drainase atau reklamasi, gambut berangsur akan kempesdan mengalami subsidence/amblas yaitu penurunan permukaan tanah, kondisi ini disebabkan oleh proses pematangan gambut dan berkurangnya kandungan air. Lama dan kecepatan penurunan tersebut tergantung pada kedalaman gambut. Semakin tebal gambut, penurunan tersebut semakin cepat dan berlangsungnya semakin lama. Rata-rata kecepatan penurunan adalah 0,3 - 0,8 cm/bulan, dan terjadi selama 3 - 7 tahun setelah drainase dan pengolahan tanah.

Di Delta Upang Sumatera Selatan, penurunan permukaan terjadi selama 8 tahun dengan rata-rata penurunan antara 2 - 5 cm/tahun pada gambut-dangkal. Di Barambai, Kalimantan Selatan tercatat penurunan gambut dangkal sebesar 1,6- 5,5 cm/tahun dan lahan bergambut sebesar 2,4 - 3,2 cm/tahun. Kecepatan penurunan permukaan gambut rata-rata di Indonesia dan Malaysia, berdasarkan data terakhir adalah antara 2 - 4 cm/tahun, sesudah penurunan awal pada tahun-tahun pertama yang terkadang mencapai 60 cm/tahun. Akibat sifat gambut seperti ini mengakibatkan terjadinya genangan, pohon mudah rebah, dan konstruksi bangunan (jembatan, jalan, saluran drainase) akan cepat menggantung dan cepat roboh.

Masalah penurunan gambut pada tanaman tahunan, biasanya ditanggulangi dengan cara sebagai berikut:

1) Penanaman tanaman tahunan didahului dengan penanaman tanaman semusim minimal tiga kali musim tanam.

2) Dilakukan pemadatan sebelum penanaman tanaman tahunan.3) Membuat lubang tanam bertingkat.

Mudah Terbakar

Lahan gambut cenderung mudah terbakar karena kandungan bahan organik yang tinggi dan memiliki sifat kering tak balik, porositas tinggi, dan daya hantar hidrolik vertikal yang rendah. Kebakaran di tanah gambut sangat sulit untuk dipadamkan karena dapat menembus di bawah permukaan tanah. Bara api yang dikira sudah padam ternyata masih tersimpan di dalam tanah dan menjalar ke tempat-tempat sekitarnya tanpa disadari. Bara di lahangambut dalam biasanya hanya dapat dipadamkan oleh air hujan yang lebat. Oleh sebab itu, kebakaran gambut harus dicegah dengan cara tidak membakar lahan, tidak membuang bara api sekecil apapun seperti puntung rokok secara sembarangan terutama di musim kemarau, dan menjaga kelembaban tanah gambut dengan tidak membuat drainase secara berlebihan.

Kebakaran hutan dan lahan gambut mempunyai dampak negatif ekologi berupa musnahnya sebagian besar sumber keanekaragaman hayati; terbunuhnya ratusan satwa liar seperti Orang utan dan Beruang; polusi udara yang menyebabkan gangguan kesehatan, aktivitas ekonomi, dan transportasi. Polusi udara yang ditimbulkan, secara langsung meningkatkan jumlah penderita infeksi saluran pernapasan (ISPA).

Sifat Kimia

Page 8: Lahan Gambut.docx

Tabel 2. Kandungan hara pada tiga tipologi gambut

Sumber: Polak (1941; 1949)

Sifat kimia gambut yang penting untuk diketahui adalah tingkat kesuburan dan faktor-faktor yang mempengaruhi kesuburan tersebut.

Kesuburan Gambut

Friesher dalam Driessen dan Soepraptohardjo (1974) membagi gambut dalam tiga tingkatan kesuburan yaitu Eutropik (subur), mesotropik (sedang), dan oligotropik (tidak subur). Secara umum gambut topogen yang dangkal dan dipengaruhi air tanah dan sungai umumnya tergolong gambut mesotropik sampai eutropik sehingga mempunyai potensi kesuburan alami yang lebih baik dari pada gambut ombrogen (kesuburan hanya terpengaruh oleh air hujan) yang sebagian besar oligotropik.

Kadar abu merupakan petunjuk yang tepat untuk mengetahui keadaan tingkat kesuburan alami gambut. Suhardjo dan Driessen (1975) serta Suhardjo dan Widjaya-Adhi (1976) telah meneliti kadar abu tanah gambut untuk tujuan reklamasi lahan di daerah Riau. Pada umumnya gambut dangkal (<1 m) yang terdapat di bagian tepi kubah mempunyai kadar abu sekitar 15%, bagian lereng dengan kedalaman 1 - 3 meter berkadar abu sekitar 10%, sedangkan di pusat kubah yang dalamnya lebih dari 3 meter, berkadar abukurang dari 10% bahkan kadang-kadang kurang dari 5%. Hal ini sejalan dengan pengayaan oleh air sungai atau air laut atau kontak dengan dasar depresi. Sifat kimia indikatif gambut ombrogen dan topogen di Indonesia disajikan pada Tabel 6. Tanah gambut umumnya

memiliki kesuburan yang rendah, ditandai dengan pH rendah (masam), ketersediaan sejumlah unsur hara makro (K, Ca, Mg, P) dan mikro (Cu, Zn, Mn, dan Bo) yang rendah, mengandung asam-asam organik yang beracun, serta memiliki Kapasitas Tukar Kation (KTK) yang tinggi tetapi Kejenuhan Basa (KB) rendah.

KTK yang tinggi dan KB yang rendah menyebabkan pH rendah dan sejumlah pupuk yang diberikan ke dalam tanah relatif sulit diambil oleh tanaman. Pada umumnya lahan gambut tropis memiliki pH antara 3 - 4,5. Gambut dangkal mempunyai pH lebih tinggi (pH 4,0 - 5,1) dari pada gambut dalam (pH 3,1 - 3,9). Kandungan Al pada tanah gambut umumnya rendah sampai sedang, berkurang dengan menurunnya pH tanah. Kandungan N total termasuk tinggi, namun umumnya tidak tersedia bagi tanaman, oleh karena rasio C/N yang tinggi.

Dekomposisi bahan organik dalam suasana anaerob menghasilkan senyawa-senyawa organik seperti protein, asam-asam organik, dan senyawa pembentuk humus. Asam-asam organik tersebut berwarna hitam dan membuat suasana tanah menjadi masam dan beracun bagi tanaman. Kisaran pH tanah gambut antara 3 hingga 5. Rendahnya pH ini menyebabkan sejumlah unsur har

Page 9: Lahan Gambut.docx

seperti N, Ca, Mg, K, Bo, Cu, dan Mo tidak tersedia bagi tanaman. Unsur hara makro Fospat juga berada dalam jumlah yang rendah karena gambut sulit mengikat unsur ini sehingga mudah tercuci. Keasaman yang tinggi (pH rendah) juga menyebabkan tidak aktifnya mikroorganisme, terutama bakteri tanah, sehingga pertumbuhan cendawan merajalela dan reaksi tanah yang didukung oleh bakteri seperti fiksasi nitrogen dan mineralisasi gambut menjadi terhambat. Tingkat pH yang ideal bagi ketersediaan unsur hara di tanah gambut adalah 5 hingga 6,0 (FAO, 1999). Tetapi menjadikan pH tanah gambut lebih dari 5 membutuhkan biaya yang sangat besar, sehingga angka 5 dijadikan rujukan untuk budidaya pertanian.

Faktor kesuburan lainnya adalah Kapasitas Tukar Kation (KTK) dan Kejenuhan Basa (KB). KTK adalah kemampuan tanah untuk mengikat (menyerap) dan mempertukarkan kation yang dinyatakan dalam miliekuifalen per 100 gram tanah. Sedangkan kejenuhan basa adalah persentase kation basa (Ca, Mg, K, dan Na) yang dapat dipertukarkan terhadap nilai KTK-nya.

KTK tanah gambut umumnya tinggi dan meningkat dengan meningkatnya kandungan bahan organik. Tetapi KB-nya rendah karena jumlah kation basanya rendah. KB yang rendah menyebabkan pH rendah dan sejumlah pupuk yang diberikan ke dalam tanah sulit diambil oleh tanaman. Penambahan bahan yang mengandung Ca, Mg, K dan Na akan meningkatkan KB, meningkatkan pH, dan mengusir senyawa asam organik.

Page 10: Lahan Gambut.docx

Tabel 3. Faktor pembatas kesuburan di lahan gambut

Faktor yang Mempengaruhi Kesuburan

Tingkat kesuburan tanah gambut dipengaruhi oleh berbagai hal yaitu ketebalan gambut, bahan asal, kualitas air, kematangan gambut dan kondisi tanah di bawah gambut. Secara umum, gambut yang berasal dari tumbuhan berbatang lunak lebih subur dari pada gambut yang berasal dari tumbuhan berkayu. Gambut yang lebih matang lebih subur dari pada gambut yang belum matang. Gambut yang mendapat luapan air sungai atau air payau lebih subur dari pada gambut yang hanya memperoleh luapan atau curahan air hujan. Gambut yang terbentuk di atas lapisan liat/lumpur lebih subur dari pada yang terdapat di atas lapisan pasir. Gambut dangkal lebih subur dari pada gambut dalam.

Pembentukan gambut dangkal dipengaruhi oleh banjir sungai yang banyak membawa hara, sehingga lebih subur dari pada gambut dalam yang haranya semata-mata berasal dari air hujan dan dekomposisi reruntuhan vegetasi di atasnya. Penelitian Leiwakabessy dan Wahyudin (1979) menunjukkan bahwa pada tanah bergambut (ketebalan sekitar 20 cm) sampai gambut sedang (ketebalan 180 cm), produksi gabah kering semakin merosot dengan semakin tebalnya gambut. Semakin tebal gambut, kandungan abu (ash) semakin rendah, kandungan Ca dan Mg menurun dan reaksi tanahnya menjadi lebih masam.

Di bawah lapisan gambut di lahan pasang surut, sering terdapat lapisan pirit. Semakin dangkal letak lapisan pirit, maka gambutnya semakin tidak subur karena ancaman pirit teroksidasi semakin besar. Jika oksidasi terjadi, akar tanaman akan terganggu, unsur hara sulit diserap oleh tanaman, unsur besi dan aluminium akan larut hingga meracuni tanaman. Kondisi semacam ini akan berlangsung sangat lama, bertahun-tahun, sampai racun tersebut habis terbawa/tercuci oleh aliran air.

Untuk mengatasi masalah ini, hal pertama yang harus diperhatikan adalah tidak menggunakan tanah yang kedalaman piritnya terletak kurang dari 50 cm, kecuali dijamin dapat diairi/tersedianya air sepanjang tahun. Kedua, lapisan pirit harus selalu dijaga agar tidak kekeringan dengan cara mempertahankan kelembaban tanah sampai kedalaman lapisan pirit.

Tabel 3 memperlihatkan secara garis besar sifat-sifat fisik dan kimia tanah gambut yang menjadi faktor pembatas kesuburan gambut. Dengan mengetahui sifat-sifat ini maka setiap langkah yang akan diambil dalam rangka penyelenggaraan kegiatan

Page 11: Lahan Gambut.docx

(khususnya pertanian) di atasnya mesti mempertimbangkan kondisi ini secara mendalam.

2.4 Menanggulangi Perilaku Gambut

Perilaku gambut seperti yang telah diuraikan di atas, cenderung menjadi kendala bagi pengembangan pertanian. Untuk menjadikan gambut sebagai lahan pertanian yang produktif, berikut adalah langkah-langkah yang perlu dikerjakan:

1. Melakukan budidaya tanaman hanya di lahan gambut dengan kedalaman kurang dari 3 m. Semakin tipis gambutnya, semakin layak untuk pertanian;

2. Tidak menggunakan lahan gambut yang membentang di atas lapisan pasir dan tidak menggunakan lahan yang letak lapisan piritnya dangkal kecuali ada jaminan irigasi sepanjang tahun;

3. Pembangunan jaringan drainase harus disertai dengan pembangunan jaringan irigasi dan pintu-pintu yang dapat menjamin keberadaan air dalam jumlah memadai di lahan gambut;

4. Tidak melakukan penyiapan lahan dengan cara bakar, tidak melakukan pembakaran gambut, serta tidak membakar serasah dan membuang bara seperti puntung rokok secara sembarangan di lahan gambut;

5. Melakukan penataan lahan dan memilih jenis dan varietas tanaman yang sesuai dengan ketebalan gambut, kondisi air, dan kesuburan tanah;

6. Mengolah tanah dengan minimum tillage (olah tanah minimum). Sebelum dimanfaatkan terutama untuk tanaman tahunan, gambut perlu dipadatkan terlebih dahulu atau ditanami tanaman semusim;

7. Tanah gambut yang masih sulit ditanami karena belum matang, dapat ditanami ubikayu untuk mempercepat kematangan gambut. Tanaman ubikayu bisa beradaptasi dengan baik pada pH rendah dan mikroorganisme yang terdapat pada perakarannya mampu mempercepat peruraian gambut;

8. Menggunakan amelioran untuk memperbaiki sifat fisik dan kesuburan gambut, seperti pupuk kandang, kompos/bokasi, kapur, tanah mineral, lumpur, dan abu. Abu berasal dari serasah dan pangkasan gulma yang dibakar di tempat yang dikelilingi parit berair. Terutama untuk tanaman semusim, tanah perlu ditambah dengan pupuk mikro.

2.5 Potensi Lahan Gambut Untuk Pertanian

2.5.1 Potensi dan pengelolaan lahan gambut untuk tanaman pangan

2.5.1.1 Potensi lahan gambut untuk tanaman pangan semusim

Sesuai dengan arahan Departemen Pertanian (BB Litbang SDLP, 2008), lahan gambut yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman pangan disarankan pada gambut dangkal (< 100 cm). Dasar pertimbangannya adalah gambut dangkal memiliki tingkat kesuburan relatif lebih tinggi dan memiliki risiko lingkungan lebih rendah dibandingkan gambut dalam.

Page 12: Lahan Gambut.docx

Lahan gambut dengan kedalaman 1,4 - 2 m tergolong sesuai marjinal (kelas kesesuaian S3) untuk berbagai jenis tanaman pangan. Faktor pembatas utama adalah kondisi media perakaran dan unsur hara yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman. Tanaman pangan yang mampu beradaptasi antara lain padi, jagung, kedelai, ubikayu, kacang panjang dan berbagai jenis sayuran lainnya.

2.51.2 Pengelolaan air

Budidaya tanaman pangan di lahan gambut harus menerapkan teknologi pengelolaan air, yang disesuaikan dengan karakteristik gambut dan jenis tanaman.

Pembuatan saluran drainase mikro sedalam 10 - 50 cm diperlukan untuk pertumbuhan berbagai jenis tanaman pangan pada lahan gambut. Tanaman padi sawah pada lahan gambut hanya memerlukan parit sedalam 10-30 cm. Fungsi drainase adalah untuk membuang kelebihan air, menciptakan keadaan tidak jenuh untuk pernapasan akar tanaman, dan mencuci sebagian asam-asam organik. Semakin pendek interval/jarak antar parit drainase maka hasil tanaman semakin tinggi. Walaupun drainase penting untuk pertumbuhan tanaman, namun semakin dalam saluran drainase akan semakin cepat laju subsiden dan dekomposisi.

2.5.1.3 Pengelolaan kesuburan tanah

Tanah gambut bereaksi masam. Dengan demikian diperlukan upaya ameliorasi untuk meningkatkan pH sehingga memperbaiki media perakaran tanaman. Kapur, tanah mineral, pupuk kandang dan abu sisa pembakaran dapat diberikan sebagai bahan amelioran untuk meningkatkan pH dan basa-basa tanah.

Page 13: Lahan Gambut.docx

Gambar 2. Lahan gambut di Kalimantar Timur digunakan untuk sawah (atas) dan terong (bawah).

Tidak seperti tanah mineral, pH tanah gambut cukup ditingkatkan sampai pH 5 karena gambut tidak memiliki potensi Al yang beracun. Peningkatan pH sampai tidak lebih dari 5 dapat memperlambat laju dekomposisi gambut. Pengaruh buruk asam-asam organik beracun juga dapat dikurangi dengan menambahkan bahan-bahan amelioran yang banyak mengandung kation polivalen seperti terak baja, tanah mineral laterit atau lumpur sungai. Pemberian tanah mineral berkadar besi tinggi dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman padi.

Tabel 4. Dosis anjuran dan manfaat pemberian amelioran pada tanah gambut.

Jenis amelioran Dosis Manfaat(t ha-1 tahun-1)

Kapur 1– 2 Meningkatkan basa-basa dan pH tanah

Pupuk kandang 5 – 10 Memperkaya unsur hara makro/mikro

Terak baja 2– 5 Mengurangi fitotoksik asam organik,meningkatkan efisiensi pupuk P

Tanah mineral 10– 20 Mengurangi fitotoksik asam organik,meningkatkan kadar hara makro/mikro

Abu 10– 20 Meningkatkan basa-basa, dan pH tanah

Lumpur sungai 10– 20 Mengurangi fitotoksik asam organik,meningkatkan basa-basa, unsur hara

Keterangan: Bebarapa amelioran dapat menggantikan fungsi amelioran lainnya. Misalnya,

Page 14: Lahan Gambut.docx

dengan pemberian kapur, pemberian abu dapat dikurangi dan sebaliknya.

Pemupukan sangat dibutuhkan karena kandungan hara gambut sangat rendah. Jenis pupuk yang diperlukan adalah yang mengandung N, P, K, Ca dan Mg. Walaupun KTK gambut tinggi, namun daya pegangnya rendah terhadap kation yang dapat dipertukarkan sehingga pemupukan harus dilakukan beberapa kali (split application) dengan dosis rendah agar hara tidak banyak tercuci. Penggunaan pupuk yang tersedianya lambat seperti fosfat alam akan lebih baik dibandingkan dengan SP36, karena akan lebih efisien, harganya murah dan dapat meningkatkan pH tanah. Penambahan kation polivalen seperti Fe dan Al akan menciptakan tapak jerapan bagi ion fosfat sehingga bisa mengurangi kehilangan hara P melalui pencucian.

Tanah gambut juga kahat unsur mikro karena dikhelat (diikat) oleh bahan organik. Oleh karenanya diperlukan pemupukan unsur mikro seperti terusi, magnesium sulfat dan seng sulfat masing-masing 15 kg ha-1 tahun-1, mangan sulfat 7 kg ha-1 tahun-1, sodium molibdat dan borax masing-masing 0,5 kg ha-1 tahun-1. Kekurangan unsur mikro dapat menyebabkan kehampaan pada tanaman padi, tongkol kosong pada jagung atau polong hampa pada kacang tanah.

2.5.1.4 Strategi petani dalam meningkatkan kesuburan tanah gambut

Karena keterbatasan akses dan kemampuan untuk mendapatkan pupuk dan bahan amelioran, maka untuk meningkatkan kesuburan tanah, petani membakar seresah tanaman dan sebagian lapisan gambut kering sebelum bertanam. Praktek ini dapat ditemukan di kalangan petani yang menanam sayuran dan tanaman pangan secara tradisional di berbagai tempat di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan dan Jambi. Dengan cara ini petani mendapatkan amelioran berupa abu yang dapat memperbaiki produktivitas gambut. Namun abu hasil pembakaran mudah hanyut dan efektivitasnya terhadap peningkatan kesuburan tanah tidak berlangsung lama. Lagi pula cara ini sangat berbahaya karena bisa memicu kebakaran hutan dan lahan secara lebih luas, mempercepat subsiden, meningkatkan emisi CO 2 dan mendatangkan asap yang mengganggu kesehatan serta mempengaruhi lalu lintas.

Untuk menghindari kebakaran, maka pembakaran serasah harus dilakukan secara terkendali di satu tempat khusus berupa lubang yang dilapisi dengan tanah mineral sehingga api tidak sampai membakar gambut. Cara ini diterapkan dengan baik di lahan gambut di Pontianak, Kalimantan Barat. Bila pembakaran serasah harus dilakukan langsung di lapangan, maka harus dipastikan bahwa gambut di bawahnya jenuh air supaya gambutnya tidak ikut terbakar.

Dalam jangka panjang pembakaran serasah dan gambut perlu dicegah untuk menjaga keberlangsungan pertanian di lahan gambut. Untuk itu diperlukan bimbingan cara bertani tanpa bakar dan pemberian bantuan amelioran serta pupuk bagi petani.

2.5.2 Potensi dan pengelolaan lahan gambut untuk tanaman tahunan

Page 15: Lahan Gambut.docx

2.5.2.1 Potensi lahan gambut untuk tanaman tahunan

Lahan gambut dengan ketebalan antara 1,4-2 m tergolong sesuai marjinal (kelas kesesuaian S3) untuk beberapa tanaman tahunan seperti karet dan kelapa sawit, sedangkan gambut yang tipis termasuk agak sesuai (kelas kesesuaian S2). Gambut dengan ketebalan 2-3 m tidak sesuai untuk tanaman tahunan kecuali jika ada sisipan/pengkayaan lapisan tanah atau lumpur mineral. Gambut dengan ketebalan >3m diperuntukkan sebagai kawasan konservasi sesuai dengan Keputusan Presiden No. 32/1990. Hal ini disebabkan kondisi lingkungan lahan gambut dalam yang rapuh (fragile) apabila dikonversi menjadi lahan pertanian.

2.5.2.2 Pengelolaan air

Reklamasi gambut untuk pertanian tanaman tahunan memerlukan jaringan drainase makro yang dapat mengendalikan tata air dalam satu wilayah dan drainase mikro untuk mengendalikan tata air di tingkat lahan. Sistem drainase yang tepat dan benar sangat diperlukan pada lahan gambut, baik untuk tanaman pangan maupun perkebunan. Sistem drainase yang tidak tepat akan mempercepat kerusakan lahan gambut.

Salah satu komponen penting dalam pengaturan tata air lahan gambut adalah bangunan pengendali berupa pintu air di setiap saluran. Pintu air berfungsi untuk mengatur muka air tanah supaya tidak terlalu dangkal dan tidak terlalu dalam.

Tanaman tahunan memerlukan saluran drainase dengan kedalaman berbeda-beda. Tanaman karet memerlukan saluran drainase mikro sekitar 20 cm,tanaman kelapa sedalam 30-50 cm, sedangkan tanaman kelapa sawit memerlukan saluran drainase sedalam 50-80 cm. Gambut yang relatif tipis (<100 cm) dan subur juga dapat ditanami dengan tanaman kopi dan kakao dengan saluran drainase sedalam 30-50 cm.

Gambar 3 . Tanaman sagu yang tumbuh di rawa gambut tanpa memerlukan drainase.

Semakin dalam saluran drainase semakin cepat terjadi penurunan permukaan (subsiden) dan dekomposisi gambut sehingga ketebalan gambut akan cepat berkurang dan daya sangganya terhadap air menjadi menurun.

Page 16: Lahan Gambut.docx

Jika lahan gambut digunakan untuk perkebunan sagu atau nipah, pembuatan saluran drainase tidak diperlukan karena kedua jenis tanaman ini merupakan tanaman rawa yang toleran terhadap genangan. Sagu dapat menjadi alternatif tanaman sumber karbohidrat selain beras. Tanaman nipah menghasilkan nira, bahan baku gula dengan rendemen tinggi dan kualitas yang tidak kalah dibandingkan gula aren.

2.5.2.3 Pengelolaan kesuburan tanah

Unsur hara utama yang perlu ditambahkan untuk berbagai tanaman tahunan di lahan gambut terutama adalah unsur P dan K. Tanpa unsur tersebut pertumbuhan tanaman sangat merana dan hasil tanaman yang diperoleh sangat rendah. Sedangkan unsur hara lainnya seperti N dibutuhkan dalam jumlah yang relatif rendah karena bisa tersedia dari proses dekomposisi gambut.

2.6 Konservasi Lahan Gambut

Sebagaimana diuraikan pada bab terdahulu, ekosistem gambut merupakan penyangga hidrologi dan cadangan karbon yang sangat penting bagi lingkungan hidup. Oleh karenanya, ekosistem ini harus dilindungi agar fungsinya dapat dipertahankan sampai generasi mendatang.

Aspek legal mengenai konservasi lahan gambut diatur dalam Keputusan Presiden No. 32 tahun 1990 tentang kawasan lindung. Perlindungan terhadap kawasan gambut dimaksudkan untuk mengendalikan hidrologi wilayah, yang berfungsi sebagai penyimpan air dan pencegah banjir, serta melindungi ekosistem yang khas di kawasan yang bersangkutan. Konservasi lahan gambut juga dimaksudkan untuk meminimalkan teremisinya karbon tersimpan yang jumlahnya sangat besar.

Konservasi kawasan gambut sangat penting karena hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi penyusutan luasan gambut di beberapa tempat di Indonesia. Di kawasan Delta Pulau Petak pada tahun 1952 masih tercatat sekitar 51.360 ha lahan gambut. Pada tahun 1972 kawasan gambut di daerah tersebut menyusut menjadi 26.400 ha dan selanjutnya pada tahun 1992 menyusut lagi menjadi 9.600 ha. Hal ini menunjukkan bahwa laju kerusakan gambut berjalan sangat cepat. Selain hilangnya fungsi hidrologis lahan gambut, ada bahaya lain bila tanah mineral di bawah lapisan gambut adalah tanah mineral berpirit. Saat ini sebagian besar dari bekas kawasan gambut tersebut menjadi lahan sulfat masam aktual terlantar dan menjadi sumber pencemaran lingkungan perairan di daerah sekitarnya.

Semakin tebal gambut, semakin penting fungsinya dalam memberikan perlindungan terhadap lingkungan, dan sebaliknya semakin ringkih (fragile) jika dijadikan lahan pertanian. Pertanian di lahan gambut tebal lebih sulit pengelolaannya dan mahal biayanya karena kesuburannya rendah dan daya dukung (bearing capacity) tanahnya rendah sehingga sulit dilalui kendaraan pengangkut sarana pertanian dan hasil panen. Gambut tipis, tetapi

Page 17: Lahan Gambut.docx

berpotensi sulfat masam (mempunyai lapisan pirit relatif dangkal), juga sangat berbahaya kalau dikonversi menjadi lahan pertanian.

Gambut dengan ketebalan <3 m masih bisa digunakan untuk budidaya tanaman dengan syarat tidak masuk dalam kawasan lindung, substratumnya bukan pasir kuarsa dan tingkat kematangannya tidak saprik atau hemik (BB Litbang SDLP, 2008) serta tidak berpotensi sulfat masam. Untuk kawasan yang memenuhi syarat tersebut, dalam pemanfaatannya juga harus tetap berdasarkan pendekatan konservasi.

Widjaja-Adhi (1997) menyarankan agar wilayah ekosistem lahan gambut dibagi menjadi 2 kawasan yaitu: kawasan non-budidaya dan kawasan budidaya. Kawasan non-budidaya terdiri dari (a) jalur hijau sepanjang pantai dan tanggul sungai dan (b) areal tampung hujan yang luasnya minimal 1/3 dari seluruh kawasan.

Kawasan yang dijadikan sebagai areal tampung hujan adalah bagian kubah gambut (peat dome) sehingga harus menjadi kawasan konservasi. Kubah gambut berfungsi sebagai penyimpan air (resevoir) yang bisa mensuplai air bagi wilayah di sekitarnya, terutama pada musim kemarau, baik untuk air minum maupun usaha tani. Pada musim hujan kawasan ini berfungsi sebagai penampung air yang berlebihan sehingga mengurangi risiko banjir bagi wilayah di sekitarnya. Hal ini dimungkinkan karena gambut memiliki daya memegang air sangat besar yaitu sampai 13 kali bobot keringnya. Perlindungan terhadap kawasan tampung hujan akan menjamin kawasan sekitarnya menjadi lebih produktif.

Dengan mempertahankan kawasan lindung gambut petani mampu bertahan hidup dari usahatani di lahan gambut sejak puluhan tahun yang lalu. Namun kecenderungan membuka lahan gambut secara berlebihan sangat mengancam kehidupan tidak saja masyarakat yang hidup di lahan gambut tersebut, tetapi juga masyarakat di lingkungan yang lebih luas.

Apabila dikelola dengan baik dan benar lahan gambut bisa mendatangkan keuntungan ekonomi dan sekaligus mempertahankan karbon yang tersimpan serta memelihara keanekaragaman hayati. Pemanfaatan lahan gambut dengan merubah ekosistemnya tidak menjamin keuntungan ekonomi, bahkan seringkali mendatangkan kerugian bagi masyarakat, seperti yang terjadi pada lahan bekas PLG di Kalimantan Selatan. Untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dan lingkungan sekaligus dari lahan gambut diperlukan keseimbangan antara pemanfaatan dan perlindungan.

Ada beberapa pendekatan yang dapat ditempuh dalam rangka konservasi lahan gambut: (i) menanggulangi kebakaran hutan dan lahan gambut, (ii) penanaman kembali dengan tanaman penambat karbon tinggi (tanaman pohon-pohonan), (iii) pengaturan tinggi muka air tanah, (iv) memanfaatkan lahan semak belukar yang terlantar, (v) penguatan peraturan perundang-undangan dan pengawasan penggunaan dan pengelolaan lahan gambut, dan (vi) pemberian insentif dalam konservasi gambut.

2.6.1. Menanggulangi kebakaran hutan dan lahan gambut

Hutan dan lahan gambut dapat terbakar karena kesengajaan atau ketidaksengajaan. Faktor pemicu parahnya kebakaran hutan dan lahan gambut adalah kemarau yang ekstrim

Page 18: Lahan Gambut.docx

(misalnya pada tahun El-Nino) dan/atau penggalian drainase lahan gambut secara berlebihan.

Api dapat dicegah melalui perbaikan sistem pengelolaan air (meninggikan muka air tanah), peningkatan kewaspadaan terhadap api serta pengendalian api apabila terjadi kebakaran. Salah satu bentuk pengendalian kebakaran adalah dengan cara memblok saluran drainase yang sudah terlanjur digali, terutama pada lahan terlantar seperti di daerah eks Pengelolaan Lahan Gambut (PLG) sejuta ha, sehingga muka air tanah lebih dangkal.

Sistem pertanian tradisional di beberapa tempat di lahan gambut melakukan praktek pembakaran sebagai salah satu cara untuk menyuburkan tanah ini dapat menyebabkan emisi dan subsiden relatif tinggi. Praktek tersebut dilakukan karena petani tidak mempunyai sarana untuk mendapatkan pupuk dan/atau amelioran untuk meningkatkan kesuburan tanah. Oleh karena itu petani perlu dibantu untuk menerapkan sistem alternatif yang tidak melibatkan pembakaran gambut.

2.6.2. Penanaman kembali dengan tanaman penambat karbon

Tanaman pohon-pohonan menyumbangkan karbon lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman semusim. Penambatan karbon mendekati nol pada sistem padi dan sekitar 9 t CO2 ha-1 tahun-1 untuk tanaman sagu, karet atau sawit. Namun karena sawit memerlukan drainase yang relatif dalam, maka penambatan karbon oleh tanaman sawit jauh lebih rendah dibandingkan dengan emisi karena terdekomposisinya gambut. Dengan demikian, gabungan dari tanaman yang menambat CO2 dalam jumlah banyak serta yang toleran dengan drainase dangkal atau tanpa drainase, seperti sagu dan karet, merupakan pilihan utama dalam konservasi lahan gambut.

2.6.3. Pengaturan tinggi muka air tanah gambut

Penggunaan lahan yang memerlukan drainase dangkal seperti perkebunan karet, sagu, atau sawah dapat mengurangi jumlah emisi dibandingkan dengan sistem yang memerlukan drainase dalam. Selain itu lahan yang sudah terlanjur didrainase, apalagi lahan gambut yang terlantar, perlu dinaikkan kembali muka air tanahnya, misalnya dengan membuat pintu air sehingga proses dekomposisi aerob dapat dikurangi.

Page 19: Lahan Gambut.docx

Gambar 4. Pintu air tradisional untuk mengatur tinggi muka air.

Drainase sebidang lahan gambut tidak hanya berpengaruh pada bidang lahan yang didrainase saja, tetapi juga terhadap lahan dan hutan gambut di sekitarnya. Semakin dalam saluran drainase semakin besar dan luas pula pengaruhnya dalam menurunkan muka air lahan gambut sekitarnya, yang selanjutnya mempercepat emisi GRK. Oleh sebab itu konservasi lahan gambut melalui pendekatan hidrologi harus diterapkan pada seluruh hamparan (kubah) gambut.

2.6.4. Memanfaatkan lahan semak belukar yang terlantar

Tidak semua lahan yang mendapatkan konsesi penanaman sawit benar-benar digunakan untuk perkebunan kelapa sawit, sehingga berubah menjadi lahan terlantar. Lahan terlantar ini perlu diprioritaskan untuk perluasan areal pertanian. Dengan penggunaan semak belukar yang cadangan karbonnya sekitar 15 t C ha-1, akan dapat dikurangi emisi dari kebakaran dan dekomposisi biomassa sebanyak 85 t C ha-1 atau 312 t CO2 ha-1. Selain itu karena rendahnya jumlah biomassa yang dapat terbakar, maka ketebalan gambut yang terbakar sewaktu pembukaan lahan semak belukar juga dapat dikurangi.

2.6.5 Penguatan perundang-undangan dan pengawasan penggunaan dan pengelolaan lahan

Aspek legal mengenai konservasi lahan gambut diatur dalam Keputusan Presiden No. 32 tahun 1990 tentang kawasan lindung. Perlindungan terhadap kawasan gambut dimaksudkan untuk mengendalikan hidrologi wilayah, yang berfungsi sebagai penyimpan air dan pencegah banjir, serta melindungi ekosistem yang khas di kawasan yang bersangkutan. Konservasi lahan gambut juga dimaksudkan untuk meminimalkan teremisinya cadangan karbon. Namun Keputusan Presiden tersebut tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya pengawasan dan komitmen dari semua pihak terkait.

2.6.6. Insentif dalam konservasi karbon lahan gambut

2.6.6.1. Mekanisme perdagangan karbon

Lahan gambut penting sebagai penyimpan karbon di muka bumi agar tidak menjelma menjadi CO2. Karbon yang dikandungnya akan bertahan, bahkan bertambah banyak apabila lahan gambut tetap dipertahankan sebagai hutan alam. Namun di lain pihak lahan gambut juga berpotensi untuk dijadikan lahan pertanian, bahkan sebagian hutan gambut cocok dijadikan lahan perkebunan yang menjanjikan keuntungan ekonomi.

Pada lahan gambut yang sesuai untuk perkebunan kelapa sawit, petani berpeluang untuk mendapatkan keuntungan kini bersih (NPV = net present value) antara Rp. 216.000 – Rp. 2.076.000 ha-1 tahun-1 pada tingkat suku bunga 15% dan kisaran harga minyak sawit mentah (CPO = crude palm oil) antara Rp. 6.000 – Rp. 10.000 kg-1. Bila lahan dipertahankan sebagai hutan gambut sehingga karbon yang disimpannya dapat dipertahankan, berarti pemilik lahan kehilangan peluang untuk mendapatkan keuntungan (opportunity cost) senilai

Page 20: Lahan Gambut.docx

Rp. 216.000 – Rp. 2.076.000 ha-1 tahun-1 (Herman dan Agus, 2008).

Terlihat bahwa perkebunan sawit pada lahan gambut berpotensi mengeluarkan emisi CO 2 rata-rata sebanyak 71,4 t ha-1 tahun-1. Jika hutan gambut dipertahankan (tidak dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit) maka emisi dari hutan gambut sebanyak sebanyak 71,4 t ha-1 tahun-1 tersebut dapat dihindari.

Forum Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Penanggulangan Perubahan Iklim (UNFCCC = United Nations Framework Convention on Climate Change) tengah merumuskan mekanisme imbalan untuk jasa konservasi karbon melalui mekanisme yang disebut dengan REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation = pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan). Apabila tercapai kesempatan di kalangan negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) maka REDD akan diberlakukan pada tahun 2012. Selain REDD, kelihatannya mekanisme yang sudah dianut sekarang, yaitu AR-CDM (Afforestation Reforetation – Clean Development Mechanism = Penghijauan dan penghutanan kembali sebagai Mekanisme Pembangunan Bersih) akan tetap dipertahankan sehingga mekanisme pembayaran jasa karbon akan merupakan gabungan dari mekanisme REDD dan AR-CDM.

Nilai jasa pengurangan emisi atau penambatan (sequestration) gas rumah kaca yang berlaku sekarang di pasar karbon di negara maju mencapai lebih dari US$ 20 untuk setiap ton pengurangan emisi CO2. Untuk bidang pertanian dan bidang-bidang lain dengan tingkat ketidakyakinannya (uncertainty) cukup tinggi, kemauan membayar (willingness to pay) jasa karbon dari negara maju bisa jauh lebih rendah dari harga resmi yang diberlakukan di pasar internasional. Jika seandainya negara maju berkemauan membayar pada tingkat US$ 10 t-1

CO2, maka penyedia jasa karbon serta perangkat kelembagaan pendukungnya berpotensi menerima US$10 t-1 CO2 x 71.4 t CO2 ha-1 tahun-1 = US$ 714 ha-1 tahun-1 selama masa perjanjian (25 tahun atau lebih). Artinya, dengan mempertahankan hutan gambut tetap sebagai hutan, pemilik lahan berpotensi mendapatkan bayaran setara dengan tingkat keuntungan perkebunan kebun sawit. Uang pembayaran tersebut merupakan hak bagi pemilik lahan dan lembaga yang memfasilitasi serta memonitor penerapan perjanjian perdagangan karbon serta dapat dijadikan modal untuk bidang usaha lain oleh petani/pemilik lahan.

Mekanisme REDD ataupun AR-CDM merupakan perjanjian jangka panjang dengan banyak persyaratan. Perjanjian yang dibuat oleh pemerintah dan masyarakat pada saat ini harus dipatuhi oleh pemerintah dan masyarakat yang akan datang selama masa berlakunya perjanjian tersebut. Selain itu, dengan pembatasan konversi hutan pada suatu tempat, di tempat lain tidak boleh terjadi peningkatan (leakage) konversi hutan dan perluasan perkebunan. Jika perjanjian dilakukan pada suatu kabupaten, harus ada jaminan bahwa pada kabupaten lain tidak terjadi peningkatan konversi lahan di atas tingkat yang ada sekarang (baseline). Apabila ada pelanggaran terhadap isi perjanjian, maka pelanggar dikenakan sanksi sesuai dengan yang ditetapkan dalam perjanjian. Dengan demikian diperlukan kehati-hatian sebelum pemerintah dan masyarakat mengikat diri dalam perjanjian karbon. Jika pemerintah dan masyarakat yang ada sekarang tidak yakin bahwa pemerintah dan masyarakat yang akan datang bisa mentaati perjanjian, sebaiknya tidak terburu-buru mengikat diri dalam perjanjian ini. Negara mempunyai kedaulatan penuh untuk tidak mengikat diri dalam perjanjian, jika

Page 21: Lahan Gambut.docx

memang belum/tidak siap.

2.6.6.2. Mekanisme insentif lokal

Kerusakan hutan dan lahan gambut sebenarnya bukan semata-mata masalah internasional, akan tetapi merupakan masalah yang juga sangat berpengaruh kepada penduduk lokal. Pembukaan hutan gambut menyebabkan subsiden yang berpotensi menyebabkan daerah sekelilingnya rentan akan kebanjiran dan kebakaran. Dengan demikian perlu dihindari penggunaan lahan gambut melalui cara-cara yang dapat mempercepat emisi GRK, misalnya penanaman tanaman yang memerlukan drainase dalam atau pembakaran seresah di atas lahan gambut.

Perubahan cara pengelolaan atau sistem penggunaan lahan kemungkinan memerlukan tambahan biaya atau menurunkan tingkat keuntungan finansial. Untuk itu diperlukan insentif di tingkat lokal untuk merubah sistem pertanian tersebut.

Untuk mengendalikan cara yang merusak gambut dan lingkungan ini, dapat diberikan insentif, misalnya dalam bentuk subsidi pupuk yang disertai dengan teknologi pengelolaan kesuburan tanah.

Insentif agar petani lebih memilih bertanam karet yang lebih rendah tingkat emisinya dibandingkan dengan bertanam kelapa sawit dapat diberikan, misalnya dalam bentuk penyediaan bibit karet ’clone’ unggul dan penyederhanaan sistem pemasaran sehingga harga jual di tingkat petani lebih tinggi.

Page 22: Lahan Gambut.docx

Bab 3

Penutup

3.1 Kesimpulan

Lahan gambut di Indonesia pada umumnya membentuk kubah gambut (peat dome). Pada bagian pinggiran kubah, didominasi oleh tumbuhan kayu yang masih memperoleh pasokan hara dari air tanah dan sungai sehingga banyak jenisnya dan umumnya berdiameter besar. Hutan seperti itu, disebut hutan rawa campuran (mixedswamp forests).

Gambut merupakan suatu ekosistem lahan basah yang dicirikan oleh adanya akumulasi bahan organik yang berlangsung dalam kurun waktu lama. Secara umum, pembentukan dan pematangan gambut berjalan melalui tiga proses yaitu pematangan fisik, pematangan kimia dan pematangan biologi.

Sifat tanah gambut dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu sifat fisik dan kimia. Sifat-sifat fisik dan kimia gambut, tidak saja ditentukan oleh tingkat dekomposisi bahan organik tetapi juga oleh tipe vegetasi asal bahan organik.

Ada beberapa pendekatan yang dapat ditempuh dalam rangka konservasi lahan gambut: (i) menanggulangi kebakaran hutan dan lahan gambut, (ii) penanaman kembali dengan tanaman penambat karbon tinggi (tanaman pohon-pohonan), (iii) pengaturan tinggi muka air tanah, (iv) memanfaatkan lahan semak belukar yang terlantar, (v) penguatan peraturan perundang-undangan dan pengawasan penggunaan dan pengelolaan lahan gambut, dan (vi) pemberian insentif dalam konservasi gambut.

3.2 SaranApabila dikelola dengan baik dan benar lahan gambut bisa mendatangkan keuntungan

ekonomi dan sekaligus mempertahankan karbon yang tersimpan serta memelihara keanekaragaman hayati. Pemanfaatan lahan gambut dengan merubah ekosistemnya tidak menjamin keuntungan ekonomi, bahkan seringkali mendatangkan kerugian bagi masyarakat.

Untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dan lingkungan sekaligus dari lahan gambut diperlukan keseimbangan antara pemanfaatan dan perlindungan.

Page 23: Lahan Gambut.docx

Daftar Pustaka

Najiyati, Sri., Muslihat, Lili., Suryadiputra, I Nyoman N. 2005. Panduan Pengolahan Lahan Gambut untuk Pertanian Berkelanjutan. WetlandsInternational-Indonesia Programme : Bogor

www.scribd.com

www.kompas.com