makalah gambut.docx

Upload: romadondidit

Post on 14-Jan-2016

19 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

MAKALAHPENGELOLAAN LAHAN KERINGDiajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Tugas Mata PSDAP (Pengelolaan Sumber Daya Alam Pertanian)

DINA ARYATI4.122.5.14.31.0015

UNIVERSITAS WINAYA MUKTI (UNWIM)2014KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUANLahan kering adalah bagian dari ekosistem teresterial yang luasnya relatif luasdibandingkan dengan lahan basah (Odum, 1971).Selanjutnya menurut Hidayat dkk (2000) lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah digenangi air atau tergenang air pada sebagian waktu selama setahun.Lahan kering secara keseluruhan memiliki luas lebih kurang 70 %.Pada saat ini pemanfaatan lahan kering untukkeperluan pertanian baik tanaman semusim maupun tanaman tahunan/ perkebunan sudah sangat berkembang.Pertambahan jumlah penduduk yang terjadi dengan sangat cepat menyebabkan kebutuhan akan bahan pangan dan perumahan juga akan meningkat.Sejalan dengan itu pengembangan lahan keringuntuk pertanian tanaman pangan dan perkebunan untuk memenuhi kebutuhan sudah merupakan keharusan.Usaha intensifikasi dengan pola usaha tani belum bisa memenuhi kebutuhan.Upaya lainnya dengan pembukaan lahan barusudah tidakterelakkan lagi.Sejak akhir abad ke 19 perkembangan pertanian lahan kering khususnya di pulau Jawa dirasakan sangat pesat dan sampai saat ini sudah menyebar ke luar pulau Jawa.Antara tahun 1875 1925 (50 tahun) peningkatannya mencapai lebih dari 350persen (Lombart, 2000).Hal ini terjadi akibat ketersediaan lahan basahdi dataran rendah bagi kebanyakan petani yang memanfaatkannya sebagai lahan pertanian pangan semakin berkurang.Sebagian lagi penyusutan lahan basah didataran rendah akibat konversi lahan menjadi lahan non pertanian yang tidak terkendali.Lahan keringdapat dibagi dalam dua golongan yaitu lahan kering dataran rendah yang berada pada ketinggian antara 0 700 meter dpl dan lahan kering dataran tinggi barada pada ketinggi diatas 700 meter dpl (Hidayat, 2000).Lahan kering di Indonesia menempati lahan tanpa pembatas, kesuburan rendah, lahan dengan tanah retak-retak, lahan dengan tanah dangkal dan lahan dengan perbukitan.Relieftanah ikut menentukan mudah dan tidaknya pengelolaan lahan kering.Menurut Subagio dkk (2000) relief tanah sangat ditentukan oleh kelerengan dan perbedaan ketinggian.Ditinjau dari bentuk, kesuburandan sifat fisik lainnya, pengelolaan lahan kering relatif lebih berat dibandingkan dengan lahan basah (sawah).Hinnga saat ini perhatian berbagai pihak terhadap pengelolaan lahan kering secara berkelanjutan relatif rendah dibandingkan dengan pengelolaan lahan sawah dataran rendah (Irawan dan Pranadji, 2002).Pemanfaatan lahan kering di daerah perbukitan dan pegunungan untuk pertanian semusim untuk menghasilkan bahan pangan banyak dijumpai dan dilakukan penduduk yang bermukim di pedesaan.Dengan pemanfaatan lahan kering di pegunungan dan perbukitan secara terus menerus tanpa memperhatikan kaidah konservasi akan menyebabkan terjadinyaerosi dan penurunan kesuburan yang berat.Di negara sedang berkembang termasuk Indonesia, kerusakan lahan ini umumnya bertmuara pada merebaknya kemiskinan dankelaparan.Sedangkan secara ekologi akan mengganggu keseimbangan ekosistim terjadipenurunan kekayaan hayati yang berat(Scherr, 2003).

II. DEFINISI LAHAN KERINGLahan kering didefinisikan secara umum dalam hal iklim sebagai tanah dengan curah hujan terbatas. Ditandai dengan rendahnya curah hujan yang berkisar antara 100-600 mm/tahun, tidak menentu dan sangat tidak konsisten. Ciri utama dari kekeringan adalah rendahnya persediaan antara curah hujan tahunan dan evapotranspirasi. Curah hujan yang rendah, tidak dapat diandalkan dan terkonsentrasi selama musim hujan yang pendek, dengan waktu yang tersisa cenderung relatif kering. Suhu tinggi selama musim hujan menyebabkan sebagian besar curah hujan yang akan hilang dalam penguapan (IFAD 2000). Lahan kering mencakup sekitar 40% permukaan tanah di bumi. Lahan kering rentan terhadap degradasi penggurunan, tanah dan kekeringan. Populasi, pertanian dan ekosistem rentan terhadap perubahan iklim dan variabilitas (Kate et al., 2008). Lahan kering secara fisik tidak diairi atau tidak mendapatkan pelayanan irigasi sehingga sumber air utama adalah curah hujan dan sebagian kecil yang berasal dari air tanah atau pomponisasi (Muku, 2002). Lahan kering tergolong sub optimal karena tanahnya kurang subur, bereaksi masam, mengandung Al, Fe, dan atau Mn dalam jumlah tinggi sehingga dapat meracuni tanaman. Lahan masam pada umumnya miskin bahan organik dan hara makro N, P, K, Ca, dan Mg. Pemberian bahan kapur, bahan organik, dan pemupukan N, P, dan K merupakan kunci untuk memperbaiki kesuburan lahan kering masam. Menurut Notohadiprawiro (2006) lahan kering masam didominasi oleh tanah Ultisol, yang dicirikan oleh kapasitas tukar kation (KTK) dan kemampuan memegang atau menyimpan air yang rendah, tetapi kadar Al dan Mn tinggi. Kesuburan tanah Ultisol sering kali hanya ditentukan oleh kadar bahan organik pada lapisan atas, dan bila lapisan ini tererosi maka tanah menjadi miskin hara dan bahan organik. Pentingnya pengelolaan lahan kering dapat diartikan sebagai segala upaya untuk memelihara dan meningkatkan kesuburan tanah pada lahan kering agar usaha pertanaian dapat secara berkelanjutan dilaksanakan tanpa merusak kelestarian lingkungan. Sementara Muku (2002) pada tingkat pengelolaan yang kurang memadai akan menimbulkan gangguan keseimbangan sumber daya alam sehingga degredasi lahan akan dipercepat.III. AGROEKOSISTEM LAHAN KERINGAgroekosistem kebanyakan dipakai oleh negara atau masyarakat yang berperadaban agraris.Kata agro atau pertanian menunjukan adanya aktifitas atau campur tangan masyarakat pertanian terhadap alam atau ekosistem.Istilah pertaniandapat diberi makna sebagai kegiatan masyarakat yang mengambil manfaat dari alam atau tanah untuk mendapatkan bahan pangan, energidan bahan lain yang dapat digunakan untuk kelangsungan hidupnya (Pranaji, 2006).Dalam mengambil manfaat ini masyarakat dapat mengambil secara langsung dari alam,ataupun terlebih dahulu mengolah atau memodifikasinya.Jadi suatu agroekosistem sudah mengandung campur tangan masyarakat yang merubah keseimbangan alam atau ekosistem untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Penciri agroekosistem tidak hanya mencakup unsur-unsur alami seperti iklim, topografi, altitude, fauna, flora, jenis tanah dan sebagainya akan tetapi juga mencakup unsur-unsur buatan lainnya. Agroekosistem lahan kering dimaknai sebagai wilayah atau kawasan pertanian yang usaha taninya berbasis komoditas lahan kering selain padi sawah. Kadekoh (2010) mendefinisikan lahan kering sebagai lahan dimana pemenuhan kebutuhan air tanaman tergantung sepenuhnya pada air hujan dan tidak pernah tergenang sepanjang tahun. Pada umumnya istilah yang digunakan untuk pertanian lahan kering adalah pertanian tanah darat, tegalan, tadah hujan dan huma. Potensi pemanfaatan lahan kering biasanya untuk komoditas pangan seperti jagung, padi gogo, kedelai, sorghum, dan palawija lainnya. Untuk pengembangan komoditas perkebunan, dapat dikatakan bahwa hamper semua komoditas perkebunan yang produksinya berorientasi ekspor dihasilkan dari usaha tani lahan kering.

Gambar Agroekosistem Lahan KeringProspek agroekosistem lahan kering untuk pengembangan peternakan cukup baik (Bamualim,2004). Lahan kering mempunyai potensi besar untuk pertanian, baik tanaman pangan, hortikultura, maupun tanaman perkebunan. Pengembangan berbagai komoditas pertanian di lahan kering merupakan salah satu pilihan strategis untuk meningkatkan produksi dan mendukung ketahanan pangan nasional (Mulyani dkk, 2006). Namun demikian, tipe lahan ini umumnya memiliki produktivitas rendah, kecuali pada lahan yang dimanfaatkan untuk tanaman tahunan atau perkebunan. Pada usaha tani lahan kering dengan tanaman semusim, produktivitas relatif rendah serta menghadapi masalah sosial ekonomi seperti tekanan penduduk yang terus meningkat dan masalah biofisik (Sukmana, dalam Syam, 2003).Para pakar lingkungan di Indonesiamembagi Agroekosistem lahan kering kedalam beberapa kategori berdasarkan iklim,ketinggian tempat dari permukaan laut dan jenis tanah dengan ketentuan sebagai berikut : Berdasarkan Iklim.1. Lahan kering iklim basah (LKIB) yaitu daerah yang memiliki curah hujan diatas 2500 mm/tahun2. Lahan kering iklim kering (LKIK)yaitu daerah yang memiliki curah hujan dibawah 2000 mm/ tahun Berdasarkan ketinggian tempat.1. Lahan kering dataran tinggi (LKDT) yaitu daerah yang berada pada ketinggian diatas 700 meter dpl.2. Lahan kering dataran rendah (LKDR) yaitu daerah yang berada pada ketinggian0 700 meter dpl. Berdasarkan Jenis tanah.1. Oxisol,merupakan tanah-tanah yangtelah mengalamiperkembangansangat lanjut, penampang tanahnya dalam, bertektur liat sampai liat berat, porositasnya tergolong tinggi, daya menahan air kecil dan didominasi mineral liat kaolinit, oksida besi dan alumunium. Tanah ini relatif resisten terhadap erosi.2. Inceptisol,Tanah ini tergolong masih muda dan sifat tanahnya bervariasi, tergantung bahan induknya (tekstur halus dari pasir halus berlempung, sangat masam sampai netral).Termasuk kedalam jenis-jenis utama lahan pertanian lahan kering.3. Ultisol,Tanah memiliki kejenuhan basa kecil dari 35 % pada kedalaman 125 cm.Tanah ini telah mengalami pelapukan lanjut dan terjadi tranlokasi liat pada bahan induk yang umumnya terdiri atas bahan kaya alumunium-silika dengan iklim basah.4. Andisol.Tanah andisol mempunyai sifat- sifat andik dengan bahan induk berupa abu volkan yang kaya gelas volkan dan mineral mudah lapuk.Sifat sifatnya antara lain berat isi ringan, kaya bahan organik, kaya gelas volkan yang mengandung mineral amorf (alofan),mempunyai sifat tidak balik terhadap kekeringan, daya menahan airnya tinggi sekali dan resisten terhadap erosi.Tekstur tanah bervariasidari berliat sampai berlempung kasar.Reaksi tanah umumnya agak masamPengelolaan lahan pertanian khususnya lahan kering yang lestari dan berkelanjutan memerlukan penanganan yang profesional dan mengikuti kaidah lingkungan.Menurut Goenadi (2002)pengelolaan lahan pertanian berkelanjutan memiliki lima pilar penyangga, yaitu Produktifitas, keamanan, proteksi, viabilitas danakseptibilitas.Pada lahan miring dengan kemiringan diatas 15 % aapabila tanah tidak dikelola dengan baik/ditanami,maka sangat rentan terhadap terjadinya erosi diwaktu hujan.Hal ini terjadi karena tanah tidak mampu meresapkan air hujan kedalam tanah, sehingga terjadi aliran permukaan (Run of) yang menghanyutkan butiran-butiran tanah sehingga tanah menjadi tidak subur lagi.Menurut Sutono dkk (2007)akibat erosi yang terjadi selama musim hujan tidak hanya menghanyutkan butiran-butiran tanah akan tetapi juga menghanyutkan pupuk dan kompos yang diberikan ketanah juga ikut hanyut sehingga tanah menjadi kurus,oleh sebab itu erosi harus dicegah sedini mungkin.Dampak dari terjaninya erosi ini adalah di daerah bagian bawah terjadinya pendangkalan pada daerah aliran sungai (DAS) yang berakibat terjadinya gangguan keseimbangan ekosistim air setempat.Erosi adalah sebagai akibat dari penggarapan lahan yang tidak tepat maka untuk penggunaan lahan harus menerapkan teknik konservasi (Shaxson, 1988).Erosi menyebabkan berkurangnya lapisan perakaran efektif, ketersediaan air untuk tanaman, cadangan hara, bahan orgnik dan rusaknya struktur tanah (Lal, 1988).Masalah utama yang dihadapi pada lahan kering beriklim basah bergelombang antara lain mudah tererosi, bereaksi masam, miskin akan hara makro esensialdan tingkat keracunan aluminium yang tinggi (Cook, 1988). Selanjutnya dinyatakan bahwa daerah tropis merupakan medan dimana bertemunya dua kepentingan, yang pertama kegiatan untuk mencapai dan mempertahankan swasembada pangan sedang yang kedua yang tidak kalah pentingnya adalah usaha pelestarian lingkungan.Mengingat lahan merupakan sumber daya yang terbatas dan tidak dapat diperbarui, maka untuk memenuhi kebutuhan pangan tidak ada pilihan lain selain mengembalikan kesuburan lahan yang sudah tererosi.IV. UPAYA PENGELOLAAN LAHAN KERINGPengelolaanagrokosistem lahan kering dipandang sebagai bagian dari pengelolaan ekosistem sumberdaya alam oleh masyarakat petani yang menempati areal dimana mereka menetap.Masyarakat petani menanami lahan pertanian dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dapat dikatakan sebagai bagian dari pengelolaan agroekosistem lahan kering di daerahnya.Menurut Soerianegara (1977) pengelolaanagroekosistem lahan keringmerupakan bagian dari interaksi atau kerja sama masyarakat dengan agroekosistem sumberdaya alam.Pengelolaan agroekosistem lahan keringmerupakan usaha atau upaya masyarakan pedesaan dalam mengubah atau memodifikasi ekosistem sumberdaya alamagar bisa diperolehmanfaat yang maksimal dengan mengusahakan kontinuitas produksinya.Komoditas yang diusahatan tentunya disesuaikan dengan kondisi setempat dan manfaat ekonomi termasuk pemasaran.Dalam pembangunan pertanian berkelanjutan pengelolaan agroekosistem lahan kering dapat dipandang sebagai upaya memperbaiki dan memperbaharui sumberdaya alam yang bisa dipulihkan (renewable resourses) di daerahnya.Dalam pemanfaatan sumberdaya lahan kering untuk pertanian berkelanjutan memerlukan pendekatan lingkungan dan mengikuti kaidah pelestarian lingkungan.4.1 Konservasi LahanKeringParadigma pembangunan yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi telah memacu pemanfaatan sumberdaya alam secara berlebihan sehingga eksploitasi sumberdaya alam semakin meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan kebutuhan manusia. Akibatnya, sumberdaya alam semakin langka dan semakin menurun kualitas dan kuantitasnya. Tanah yang rusak/kritis sangat sulit untuk dimanfaatkan menjadi lahan yang bermanfaat, karena keterbatasan-keterbatasan dari lahan kritis itu sendiri. Tanah yang rusak dengan kekurangannya sulit untuk menjaga lengas tanah, yang berakibat pada sulitnya mendapatkan pada saat musim kemarau. Sementara itu, tanah rusak tidak dapat menyimpan air di waktu musim penghujan, sehingga hujan yang terjadi sebagian besar menjadi aliran permukaan yang dapat menyebabkan erosi permukaan.Data Areal lahan kering di Indonesia menurut Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat dalam Haryati (2002) tahun 1992 menunjukkan bahwa luas lahan usahatani kritis telah mencapai 18 juta hektar. Setelah hampir 13 tahun, lahan kritis pada tahun 2005 cukup luas yaitu mencapai 52,5 juta ha yang tersebar di pulau Jawa dan Bali (7,1 juta ha), Sumatera (14,8 juta ha), Kalimantan (7,4 juta ha), Sulawesi (5,1 juta ha), Maluku dan Nusa Tenggara (6,2 juta ha), dan Irian Jaya (11,8 juta ha).Potensi yang demikian besar harus dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Namun, pemanfaatan lahan kering tersebut harus berhati-hati karena sebagian besar lahan kering tersebut tersebar di hulu DAS yang bentuk wilayahnya berbukit dengan curah hujan yang cukup tinggi. Kondisi demikian akan memicu erosi yang berakibat pada degradasi lahan. Lahan kering umumnya menjadikan air sebagai faktor pembatas yang utama dalam pengelolaannya. Oleh karena itu, ketersediaan air menjadi sesuatu yang sangat penting dalam pengelolaan lahan kering.Untuk dapat menjamin adanya ketersediaan air baik di musim penghujan dan musim kemarau (iklim tropis) diperlukan beberapa teknogi yangapplicabledan hemat biaya karena petani lahan kering umumnya miskin. Beberapa penelitian konservasi air telah dilakukan dan diujicobakan pada berbagai tempat untuk dapat memaksimalkan simpanan air hujan dan mengoptimalkan manfaat sumberdaya air terutama di musim kemarau. Tulisan ini berusaha untuk menguraikan teknik konservasi air yang dapat diterapkan pada lahan kering.Terjadinya lahan-lahan kritis yang pada dasarnya berada di wilayah DAS (Daerah Aliran Sungai) tidak saja menyebabkan menurunnya produktivitas tanah ditempat terjadinya lahan kritis itu sendiri, tetapi juga menyebabkan rusaknya fungsi hidrologis DAS dalam menahan, menyimpan dan meresapkan air hujan yang jatuh pada kawasan DAS tersebut. Kegiatan rehabilitasi dan konservasi lahan terpadu pada lahan kering kritis pada wilayah DAS ini sangat relevan dalam mendukung GNKPA (Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air) yang telah dicanangkan oleh Bapak Presiden Republik Indonesia pada tanggal 28 April 2005. Gerakan ini merupakan gerakan nasional terpadu antar sektor dan pemangku kepentingan lainnya yang bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan siklus hidrologi pada seluruh wilayah DAS di Indonesia. Tulisan ini berusaha untuk menguraikan teknik konservasi air yang dapat diterapkan pada lahan kering.4.1.1 Metode Konservasi1. Metode VegetatifMetode vegetatif yaitu metoda konservasi dengan menanam berbagai jenis tanaman seperti tanaman penutup tanah, tanaman penguat teras, penanaman dalam strip, pergiliran tanaman serta penggunaan pupuk organik dan mulsa. Pengelolaan tanah secara vegetatif dapat menjamin keberlangsungan keberadaan tanah dan air karena memiliki sifat: (1) memelihara kestabilan struktur tanah melalui sistem perakaran dengan memperbesar granulasi tanah, (2) penutupan lahan oleh seresah dan tajuk mengurangi evaporasi, (3) disamping itu dapat meningkatkan aktifitas mikroorganisme yang mengakibatkan peningkatan porositas tanah, sehingga memperbesar jumlah infiltrasi dan mencegah terjadinya erosi. Fungsi lain daripada vegetasi berupa tanaman kehutanan yang tak kalah pentingnya yaitu memiliki nilai ekonomi sehingga dapat menambah penghasilan petani.

2. Metode Sipil TeknisMetode sipil teknis yaitu suatu metoda konservasi dengan mengatur aliran permukaan sehingga tidak merusak lapisan olah tanah (Top Soil) yang bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman. Usaha konservasi dengan metoda sipil teknis ini yaitu membuat bangunan-bangunan konservaasi antara lain pengo-lahan tanah menurut kontur, pembuatan guludan, teras, dan saluran air (Saluran Pembuanga air, Terjunan dan Rorak).4.1.2 Aplikasi Konservasi1. Pendekatan Vegetatif Sistem Pertanaman LorongSistem pertanaman lorong ialah suatu sistem di mana tanaman pangan ditanam pada lorong di antara barisan tanaman pagar. Sangat bermanfaat dalam mengurangi laju limpasan permukaan dan erosi, dan merupakan sumber bahan organik dan hara terutama N untuk tanaman lorong.Pada budidaya lorong konvensional, tanaman pertanian ditanam pada lorong-lorong di antara barisan tanaman pagar yang ditanam menurut kontur.Barisan tanaman pagar yang rapat diharapkan dapat menahan aliran permukaan serta erosi yang terjadi pada areal tanaman budidaya, sedangkan akarnya yang dalam dapat menyerap unsur hara dari lapisan tanah yang lebih dalam untuk kemudian dikembalikan ke permukaan melalui pengembalian sisa tanaman hasil pangkasan tanaman pagar. Sistem Pertanaman Strip RumputSistem Pertanaman Strip Rumput ialah sistem pertanaman yang hampir sama dengan pertanaman lorong, tetapi tanaman pagarnya adalah rumput. Strip rumput dibuat mengikuti kontur dengan lebar strip 0,5 m atau lebih. Semakin lebar strip semakin efektif mengendalikan erosi. Sistem ini dapat diintegrasikan dengan ternak. Penanaman dilakukan menurut garis kontur dengan letak penanaman dibuat selang-seling agar rumput dapat tumbuh baik, usahakan penanamannya pada awal musim hujan. Tanaman Penutup TanahMerupakan tanaman yang ditanam tersendiri atau bersamaan dengan tanaman pokok. Tanaman penutup tanah berperan: (1) menahan atau mengurangi daya perusak butir-butir hujan yang jatuh dan aliran air di atas permukaan tanah, (2) menambah bahan organik tanah melalui batang, ranting dan daun mati yang jatuh, dan (3) melakukan transpirasi, yang mengurangi kandungan air tanah. Peranan tanaman penutup tanah tersebut menyebabkan berkurangnya kekuatan dispersi air hujan, mengurangi jumlah serta kecepatan aliran permukaan dan memperbesar infiltrasi air ke dalam tanah, sehingga mengurangi erosi. Ada 4 (empat) jenis tanaman penutup tanah, yaitu :a. Jenis merambat (rendah) contoh : Colopogonium moconoides, Centrosoma sp, Ageratum conizoides,Pueraria sp.b. Jenis perdu/semak (sedang) contoh : Crotalaria sp, Acasia vilosa,c. Jenis pohon (tinggi) contoh Leucaena leucephala (lamtoro gung), Leucaena glauca (lamtoro lokal), Ablizia falcatariad. Jenis kacang-kacangan contoh : Vigna sinensis, Doli-chos lablab (komak). MulsaMulsa ialah bahan-bahan (sisa-sisa panen, plastik, dan lain-lain) yang disebar atau digunakan untuk menutup permukaan tanah.Bermanfaat untuk mengurangi penguapan (evaporasi) serta melindungi tanah dari pukulan langsung butir-butir hujan yang akan mengurangi kepadatan tanah. Macam Mulsa dapat berupa, mulsa sisa tanaman, lembaran plastki dan mulsa batu. Mulsa sisa tanaman ini terdiri dari bahan organik sisa tanaman (jerami padi, batang jagung), pangkasan dari tanaman pagar, daun-daun dan ranting tanaman.Pada sistem agribisnis yang intensif, dengan jenis tanaman bernilai ekonomis tinggi, sering digunakan mulsa plastik untuk mengurangi penguapan air dari tanah dan menekan hama dan penyakit serta gulma. Lembaran plastik dibentangkan di atas permukaan tanah untuk melindungi tanaman. Di pegunungan batu-batu cukup banyak tersedia sehingga bisa dipakai sebagai mulsa untuk tanaman pohon-pohonan. Permukaan tanah ditutup dengan batu yang disusun rapat hingga tidak terlihat lagi. Ukuran batu-batu berkisar antara 2-10 cm. Thamrin dan Hanafi (1992) telah melakukan penelitian pengaruh mulsa terhadap tanah di lahan kering. Mulsa yang digunakan adalah seresah tanaman.Hasilnya menunjukkan bahwa pemberian mulsa dapat menghemat lengas tanah dari proses penguapan, sehingga kebutuhan tanaman akan lengas tanah terutama musim kering dapat terjamin. Selain itu, pemberian mulsa juga dapat menghambat pertumbuhan gulma yang mengganggu tanaman sehingga konsumsi air lebih rendah. Pengelompokan tanaman dalam suatu bentang alam (landscape) Pengelompokan tanaman dalam suatu bentang alam (landscape) mengikuti kebutuhan air yang sama, sehingga irigasi dapat dikelompokkan sesuai kebutuhan tanaman. Teknik ini dilakukan dengan cara mengelompokkan tanaman yang memiliki kebutuhan air yang sama dalam satu landscape. Pengelompokkan tanaman tersebut akan memberikan kemudahan dalam melakukan pengaturan air. Air irigasi yang dialirkan hanya diberikan sesuai kebutuhan tanaman, sehingga air dapat dihemat. Penyesuaian jenis tanaman dengan karakteristik wilayah.Teknik konservasi air ini dilakukan dengan cara mengembangkan kemampuan dalam menentukan berbagai tanaman alternatif yang sesuai dengan tingkat kekeringan yang dapat terjadi di masing-masing daerah. Sebagai contoh, tanaman jagung yang hanya membutuhkan air 0,8 kali padi sawah akan tepat jika ditanam sebagai pengganti padi sawah untuk antisipasi kekeringan. Pada daerah hulu DAS yang merupakan daerah yang berkelerengan tinggi, tanaman kehutanan menjadi komoditas utama. Penentuan pola tanam yang tepat.Penentuan pola tanam yang tepat, baik untuk areal yang datar ataupun berlereng. Pola tanam disesuaikan dengan kondisi curah hujan setempat untuk mengurangi deficit air pada musim kemarau. Besarnya kebutuhan air beberapa jenis tanaman dapat menjadi acuan dalam membuat pola tanam yang optimal.2. Pendekatan Sipil Teknis Pembuatan teras pada lahan dengan lereng yang curam.Pembuatan teras dilakukan, jika budidaya tanaman dilakukan pada lahan dengan kemiringan > 8%. Namun demikian, budidaya tanaman semusim sebaiknya menghindari daerah berlereng curam. Jenis-jenis teras untuk konservasi air juga merupakan teras untuk konservasi tanah, antara lain: teras gulud, teras buntu (rorak), teras kredit, teras individu, teras datar, teras batu, teras bangku, SPA, dan hillside ditches.Teras gulud umumnya dibuat pada lahan yang berkemiringan 10-15 yang biasanya dilengkapi dengan Saluran Pembuangan Air yang tujuannya untuk mengurangi kecepatan air yang mengalir pada waktu hujan sehingga erosi dapat dicegah dan penyerapan air dapat diperbesar. Teras Bangku adalah teras yang dibuat dengan cara memotong lereng dan meratakan dengan di bidang olah sehingga terjadi deretan menyerupai tangga. Bermanfaat sebagai pengendali aliran permukaan dan erosi.Guludan adalah suatu sistem di mana tanaman pangan ditanam pada lorong di antara barisan tanaman pagar. Sangat bermanfaat dalam mengurangi laju limpasan permukaan dan erosi, dan merupakan sumber bahan organik dan hara terutama N untuk tanaman lorong, Bermanfaat untuk (1) memperbesar peresapan air ke dalam tanah; (2) memperlambat limpasan air pada saluran peresapan; dan (3) sebagai pengumpul tanah yang tererosi, sehingga sedimen tanah lebih mudah dikembalikan ke bidang olah Rorak adalah lubang atau penampang yang dibuat memotong lereng yang berfungsi untuk menampung dan meresapkan air aliran permukaan. Wind breakWind break dibuat untuk mengurangi kecepatan angin sehingga mengurangi kehilangan air melalui permukaan tanah dan tanaman selama irigasi (evapotranspirasi). Kombinasi tanaman dengan tajuk yang berbeda sangat mendukung metode ini. Pola stage bouw (tajuk bertingkat) seperti di pekarangan tradisional adalah contoh yang baik untuk diterapkan.a. Pemanenan Air hujanPemanenan air hujan merupakan salah satu alternatif dalam menyimpan air hujan pada musim penghujan, dan untuk dapat digunakan pada musim kemarau. Beberapa teknik pemanenan air hujan yang telah dilakukan di beberapa negara yang beriklim kering (Timur Tengah dan Afrika Utara) adalah Bangunan teras, Penanaman searah kontur, DAM, Tadah Hujan, Kanal, Waduk, Mata Air galian dangkal dan berlubang-lubang, irigasi Pompa kecil dan wadi Bank.Teknik pemanenan air yang telah dilakukan di Indonesia, antara lain embung dan channel reservoir. Embung merupakan suatu bangunan konservasi air yang berbentuk kolam untuk menampung air hujan dan air limpahan atau rembesan di lahan sawah tadah hujan berdrainase baik. Embung sangat tepat diterapkan pada kelerengan0-30% dengan curah hujan 500-1.000 mm/tahun,bermanfaat untuk menyediakan air pada musim kemarau.Agar pengisian dan pendistribusian air lebih cepat dan mudah, embung hendaknya dibangun dekat dengan saluran air dan pada lahan dengan kemiringan 5-30%.Tanah-tanah bertekstur liat dan atau lempung sangat cocok untuk pembuatan embung.Teknik konservasi air dengan embung banyak diterapkan di lahan tadah hujan bercurah hujan rendah.b. Dam ParitAdalah suatu cara mengumpulkan atau membendung aliran air pada suatu parit dengan tujuan untuk menampung aliran air permukaan, sehingga dapat digunakan untuk mengairi lahan di sekitarnya. Dam parit dapat menurunkan aliran permukaan, erosi, dan sedimentasi.

Keunggulan:a) Menampung air dalam volume besar akibat terbendungnya aliran air di saluran/parit.b) Tidak menggunakan areal/lahan pertanian yang produktif.c) Mengairi lahan cukup luas, karena dibangun berseri di seluruh daerah aliran sungai (DAS).d) Menurunkan kecepatan aliran permukaan, sehingga mengurangi erosi dan hilangnya lapisan tanah atas yang subur serta sedimentasi.e) Memberikan kesempatan agar air meresap ke dalam tanah di seluruh wilayah DAS, sehingga mengurangi risiko kekeringan pada musim kemarau.f) Biaya pembuatan lebih murah, sehingga dapat dijangkau petani.3. Konservasi Lahan Kering sebagai Pendukung GNKPAUsaha konservasi air merupakan salah satu aspek pengelolaan air dalam usaha untuk meningkatkan pendayagunaan pemanfaatan air di bidang usahatani yang berkaitan dengan massa air yang masuk dan meninggalkan tubuh tanah. Konservasi air merupakan hal yang sangat relevan untuk meningkatkan produktivitas lahan kering, mencegah bahaya banjir, kekeringan, dan tanah longsor.Prinsip dasar dari konservasi air adalah menyimpan sebanyak-banyaknya air pada musim hujan dan memanfaatkan kembali pada musim kemarau. Meskipun cukup banyak teknik konservasi air yang dapat diimplementasikan di lahan kering, tetapi keberhasilannya sangat ditentukan oleh kondisi biofisik, sosial ekonomi, dan keinginan petani. Hal tersebut perlu dicermati mengingat tidak ada satupun teknik konservasi air yang sempurna. Setiap teknik konservasi air konservasi membutuhkan persyaratan tertentu agar teknik tersebut efektif. Hal yang paling penting dari penerapan suatu teknik konservasi dalam pengembangan lahan kering adalah kondisi sosial ekonomi masyarakat.Masyarakat di daerah berlahan kering umumnya merupakan masyarakat miskin, terbelakang, beraksesibilitas rendah, tidak berdaya dan sebagainya. Dengan kondisi sosial ekonomi demikian, maka seringkali teknik konservasi air agak sulit dibangun dan diterapkan. Andaikan dapat diterapkan seringkali tidak dapat berlangsung secara berkelanjutan. Pemahaman para perencana dan peneliti dalam pengembangan lahan kering seringkali menyederhanakan persoalan lahan kering hanya pada persoalan kondisi biofisik semata. Padahal persoalan utama dalam pengembangan lahan kering adalah persoalan sosial ekonomi selain ketersediaan air. Untuk itu, maka penerapan teknik konservasi air pada lahan kering harus mempertimbangkan kondisi biofisik, sosial ekonomi, kelembagaan, dan pilihan petani.Hal terakhir ini seringkali dilupakan oleh para pengelola lahan kering. Petani berhak memilih teknik konservasi air yang paling dapat diterima dan menguntungkan dimata petani. Akomodasi kepentingan dan keinginan petani ini akan dapat lebih menjamin kelangsungan pengembangan lahan kering. Untuk dapat melakukan hal tersebut, pemberdayaan petani menjadi salah satu prioritas utama bersamaan dengan penerapan teknik konservasi air. Adanya keterpaduan kegiatan yang mencakup aspek biofisik, sosial ekonomi, kelembagaan, dan keinginan petani, maka konservasi air dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif pengembangan lahan kering sebagai upaya pendukung Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air.4.2 Pengaturan Pola Tanam.Lahan kering yang murni hanya mengandalkan ketersediaan air dari curah hujan dalam proses produksipertanian,dimana pengaturan sistim pertanaman diatur dalam bentuk tumpang sari menggunakan tanaman dengan umur panen yang berbeda dandalam pertumbuhannya tidak banyak memerlukan air danmerupakan salah satu alternatif untuk memecahkan masalah keterbatasan air. Lahan kering pada umumnya rawan terhadap erosi baik oleh air maupun oleh angin.Salah satu alternatif teknologi untuk mengatasi erosi yaitu menggunakan sistim pertanaman lorong. Fungsi lainnya dari pertanaman lorong adalah untuk menciptakan iklim mikro di lahan kering iklim kering dan tanamanyang digunakan disesuaikan dengan tanaman yang biasa ditanam petani dan tentunya memiliki pangsa pasar. Hasil penelitian Wisnu dkk (2005)menyatakan dengan mengkombinasikan beberapa tanaman panganubi kayu,jagung,kacang tanah,kedelaidan kacang hijauyang disusun dalam suatu pertanaman tumpang sari dapat memberikan keuntungan dan dapat memberikan kestabilan cukup baik dalam menghadapi keterbatasan curah hujan.Dibidang ekonomimampu memberikan kesinambungan pendapatan selama satu tahun kepada petani.4.3 EmbungEmbungatau tandon air adalah waduk berukuran mikrodilahan pertanian (small farm reservoir) yang dibangun untuk menampung kelebihan air hujandiwaktu musim hujan dan menggunakannya jika diperlukantanaman pada waktu musim kemarau.Teknik penggunaannya demikian sesuai bagi ekosistem lahan tadah hujan yang memiliki intensitas dan distribusi curah hujan yang tidak pasti (Syamsiah dan Fagi, 2004).Pembuatan embung dan penerapannya di lahan kering bagi petani sudah banyak dilakukan khususnya di Indonesia bagiagian timur yang memiliki iklim kering dengan keterbatasan air.Di Lombok Timur sebagai daerah yang beriklim kering penggunaan embung sudah menjadi kebiasaan bagi sebagian besar petani.Jumlah embung milik rakyat saat ini adalah 1.458 buah dengan luas keseluruhan 755,58 ha berupa genangan dan 3.083 ha berupa irigasi, rata-rata luas pemilikan embung setiap petani di Lombok Timur adalah 0,51 ha.Hasil penelitianWisnu dkk ( 2005) dibeberapa Desa di Lombok Timur dengan komoditi tembakau pada musim kering I (MK I) memperlihatkan bahwa dengan penerapan / pemanfaatan embung sebagai sumber air yang dicampur dengan dengan pupuk (ngecor) maka penggunaan airmenjadi lebih efisiendan biaya tenaga kerja dapat ditekan karena penyiraman dan pemupukan dilakukansecara bersamaan.

4.4 Pemakaian Pupuk Organik.Pengolahan lahan untuk pertanian secara terus menerus akan menyebabkan lahan menjadi kurus sehingga untuk usahataniselanjutnya perlu input yang banyak untuk mengembalikan hara tanahyang sudah banyak diserap tanaman.Pemakaian pupuk an organik yang tidak seimbang secara terus menerusuntuk proses produksi dapat merusak lahan dan dalam jangka panjang lahan menjadi tidak efektif lagi untuk usaha pertanian.Salah satu alternatif untuk menyelamatkan keberlanjutan penggunaan lahan adalah dengan mengurangi input yang berasal dari bahan kimia dan beralih kepada pemakaian pupuk organik yang berasal dari bahan organik sisa tanaman atau limbah.Secara umum saat ini permasalahan yang dihadapi petani di Indonesia adalah kesulitan mendapatkan pupuk an organik yang kebutuhannya cendrung meningkat.Kesulitan ini sebagian akibat ketersediaan yang tidak mencukupi maupun sistem pendistribusian yang kurang tepat dan faktor faktor lainnya.Sebagai gambaran Produksi nasional tahun 2008 sekitar 6 juta ton sedangkan kebutuhan mencapai 9 juta ton.Kendala ini berimbas kapada penurunan produktifitas lahan dan produksi berbagai komoditas pertanian secara nasional.Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi kelangkaan pupuk dan mengurangi ketergantunganakan pupuk an organik adalah dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam yang tersedia secara lokal.Pemanfaatan limbah pertanian yang selama ini belum menjadi perhatian sebagai bahan dasar pupuk organik diharapkandapat memperkecil ketergantungan terhadap pupuk an organik.Dilain pihak pemanfaatanlimbah pertanian dapat menciptakan efisisnsi penggunaan lahan yang ketersediaannya semakin terbatas serta dapat menjaga kelestarian lingkungan.Limbah pertanian adalah bagian atau sisa produksi pertanian yang tidak dapat dimanfaatkan secara langsung.Limbah iniapabila telah mengalami proses dekomposisi banyak mengandung unsur hara yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman.Apabila tanaman mati, maka selanjutnya terjadi proses dekomposisi akibat aktifitas mikroorganisme dengan hasil akhir berupa humus (Sutanto, 2002).

DAFTAR PUSTAKAAgus, dkk. 2002.Teknologi Hemat air dan Irigasi Suplemen Teknologi Pengelolaan Lahan Kering.Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat Balitbang Pertanian Departemen Pertanian.Anonim. 1995.Lahan Kering dan Permasalahannya, Seri Usahatani Lahan Kering.Jakarta: Departemen Pertanian.Asdak, C. 1995.Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.Yogyakarta: Gadjah MadaUniversity Press.Badan Litbang Pertanian. 1998.Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Alam dan Teknologi untuk Pengembangan Sektor Pertanian Dalam Pelita VII.Jakarta: Kerjasama Proyek Pembangunan Penelitian Pertanian Nasional dengan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.Basri., IH, A.Darmadi, Yanfirwan Yanuar, D.Aprizal, W.Mikasari. 2001.Pengkajian Teknologi Konservasi Metode Vegetatif pada Perkebunan Kopi Rakyat. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu. Laporan Hasil Penelitian (tidak dipublikasikan).Darmadi., A, Yanfirwan Yanuar, Sri Suryani Rambe, D.Aprizal, W.Mikasari. 2000.Pengkajian Teknologi Konservasi Metode Vegetatif pada Perkebunan Kopi Rakyat. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu. Laporan Hasil Penelitian (tidak dipublikasikan).Hidayat, A., Hikmatullah, dan D. Santoso. 2000. Poternsi dan Pengelolaan Lahan Kering Dataran Rendah.Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian. Bogor.Irawan, B dan T. Pranaji.2002. Kebijakan Pemberdayaan Lahan Kering Untuk mendukung Pengembangan Agribisnis dan Peetanian Berkelanjutan.Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.Lal, R. 1988.Soil Erosion Research on Steep Lands,in (Moldenhauer and Hudson Eds). Conservation Farming on Steep Lands, World Association of Soil and Water Conservation Ankeny Iowa.P: 45-53.Lombart, D. 2000.Nusa Jawa : Silang Budaya, Warisan Kerajaan kerajaan Konsentris. Penerbit. P.T. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.Odum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. W.B. Saunder Company. Philadelphia.Pranaji,T. 2006.Pengembangan Kelembagaan dan Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air.Analisis Kebijakan Pertanian, 3(3) : 236-255.Ratmini, N.P.S, R. Purnamayani dan Subowo. 2005. Karakteristik dan Potensi Lahan Kering Dataran Rendah Mendukung Ketahanan Pangan Sumatera Selatan. ProsidingSeminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Mendukung Pembangunan Pertanian Lahan Kering. Kerjasama. PSE dan UNIB. 27 hal.Scherr, S.J. 2003.Hunger, Proverty and Biodiversityin Developing Countries. A. Paper for the Mexico Summit, 2-3 June 2003, Mexico.Scherr, S.J. 2003.Hunger, Proverty and Biodiversityin Developing Countries. A. Paper for the Mexico Summit, 2-3 June 2003, Mexico.Shaxson, T.F. 1988.Conservation Soil by Stealthin (Moldenhauer and Hudson Eds). Conservation Farming on Steep Lands, World Association of Soil and Water Conservation Ankeny Iowa. P: 9-17.Subagyo, H., N. Suharta, dan A.B. Siswanto.2000. Tanah-tanah Pertanian di Indonesia. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.Sudharto, T., N. Efram, E. Sunarto,Suriatinah, A. Hartono, dan R.L. Watung, 1996.Sistem Usahatani Budidaya Lorong untuk Mendukung Tanaman Pangan dan Buah-buahan di Lahan Kering di Wilayah Gunung Mas, Kalimantan Tengahdalam Prosiding Lokakarya Evaluasi Hasil Penelitian Usahatani Lahan Kering, Palangkaraya, 16 Desember 1996. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.Sutanto, R. 2002.Penerapan Pertanian Organik. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.Syamsiah, I. dan A.M Fagi. 1997.Teknologi Embung.Sumberdaya Air dan Iklim dalam mewujutkan Pertanian Efisien.Kerjasama Departemen Pertanian dengan Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia (PERHIMPI).Wisnu, I.M.W, I. Basuki dan Johanes. 2005.Alternatif Sistem Usahatani dan Pengelolaan sumberdaya air dalam pengembangan lahan kering di NTB. ProsidingSeminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Mendukung Pembangunan Pertanian Lahan Kering. Kerjasama.PSE dan UNIB. 33 hal.BP2TPDAS-IBB. 2002.Pedoman Praktik Konservasi Tanah dan air Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Indonesia Bagian Barat.Surakarta: Balitbang Kehutanan.