kutipan pasal 113 -...

54

Upload: nguyentuyen

Post on 03-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm
Page 2: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta, sebagaimana yang telah diatur dan diubah dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002, bahwa:

Kutipan Pasal 113 (1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).

(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).

(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 4.000.000.000,- (empat miliar rupiah).

Page 3: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

Dr. Muhamad Arif, M.Pd.

PADA

LANGIT CINTA

Sebuah Novel Perjalanan

PARA CITA MADINA

Page 4: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

PADA LANGIT CINTA Sebuah Novel Perjalanan

Penulis: Dr. Muhamad Arif, M.Pd. Editor: Dr. Zulfiani, M.Pd. Layout: Mahmudin Design Cover: Muhammad Sholeh

Katalog Dalam Terbitan

PADA LANGIT CINTA Sebuah Novel Perjalanan.–/ Dr. Muhamad Arif, M.Pd..– Depok: PARA CITA MADINA, 2018. x, 440 hal.; 15,5 x 24 cm ISBN 978-602-52697-0-7

1. Buku I. Judul 2. Majalah Ilmiah 3. Standar

ISBN 978-602-52697-0-7 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang memperbanyak dan menerjemahkan sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Diterbitkan: PARA CITA MADINA Pamulang Elok Jl. Melati Blok A No. 9 Pondok Petir, Bojongsari - Depok Email: [email protected] Fb: Paracita Press

Page 5: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

P R O L O G

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Tulisan yang ada pada tangan Anda ini pada dasarnya hanyalah catatan kecil, yang disarikan dari kisah perjalanan dari kalangan orang-orang kecil, dan oleh karenanya diniatkan sebagai persembahan bagi siapa saja yang merasa kecil dan terkucil. Maka, jujur saja, penulis sungguh tidak percaya diri dengan penyebutan novel terhadap tulisan ini. Namun demikian, sekecil apapun nilai tulisan ini, sungguh merupakan hal yang sangat penulis syukuri. Dan, sebagai salah satu pengeja-wantahan rasa syukur itu, izinkan saya untuk menyampaikan beberapa hal sebagai berikut.

Sengaja penulis mengawali kisah perjalanan ini dari sebuah kota kecil, Ngawi. Sebuah kota di mana hal-ihwal yang bersinggungan dengan kemiskinan, keterbatasan, keminderan, kebersahajaan, dan (mungkin juga) ketertinggalan telah tersaji sedemikian berserak nyaris di seluruh pelosok-nya. Dari latar tempat seperti inilah penulis memunculkan figur Tama, pelaku utama dalam novel ini, seorang pemuda yang pada dirinya bersemat segala rupa kelemahan dalam arti yang sesungguhnya. Seorang pemuda yang sejak masa kanak-kanak tumbuh sebagai lelaki yang ringkih fisiknya, under estimate dan rapuh kejiwaannya, serta lemah latar belakang ekonomi-nya, sehingga menyulitkan untuk menyusun (terlebih) merealisasikan apa yang sering disebut sebagai sebuah rencana. Maka, perjalanan seorang Tama untuk keluar dari segala rupa kelemahan, berikut dukungan keluarga yang senantiasa meniupkan spirit bernuansa historis dan religius, menjadi pesan penting yang ingin penulis sisipkan samberi menarasikan betapa pentingnya penguatan etos hidup.

Perjumpaan Tama (tanpa sengaja) dengan Listia yang menghasilkan model persahabatan berbalur cinta yang muskil, sengaja penulis eksplor untuk menyajikan sisi-sisi humanis dalam novel ini. Demikian pula dengan pertemuan Tama dengan Esti yang menumbuhkan cinta yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, cinta yang membekaskan kesan yang sangat mendalam, sekaligus memberikan konflik psikologis yang tak akan pernah dilupakan di sepanjang perjalanan hidupnya. Cinta yang melemparkannya pada fase yang sebegitu nadir, sekaligus cinta yang menggugahnya untuk selalu tengadah pada langit yang setinggi-tingginya.

Pada Langit Cinta v

Page 6: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

Latar tempat yang dominan dieksplor dalam novel ini, yakni Singaraja-Bali, tak lain merupakan ketakjuban dan sekaligus keberpihakan penulis terhadap realitas kota Singaraja-Bali pada khususnya, dan realitas Indonesia pada umumnya, yang multikultural. Atmosfir kehidupan yang toleran, lengkap dengan tutur sapa yang sejuk dan damai dalam kehidupan masyarakat kota Singaraja-Bali yang multietnik, multiagama, dan multi-kultur, sungguh telah memberikan rasa syukur yang sangat. Pengalaman tinggal di kota Singaraja seolah telah membekalkan sikap toleran dan nilai inklusivitas yang sungguh sayang jika tidak ditulis. Betapapun sederhana-nya novel ini, sungguh bahan-bahannya telah diperoleh melalui proses research yang panjang dan cukup intensif, sehingga kearifan lokal yang terkait dengan praktik-praktik kehidupan yang harmoni di tengah keberbedaan yang nyata. Rupanya, relasi antara berbagai etnik (Bali, Jawa, Bugis, Lombok, Arab, Cina, dan sebagainya) di kota Singaraja-Bali yang harmonis itu telah berlangsung selama ratusan tahun yang silam, dengan prinsip menyama braya, yakni sebuah sikap yang menempatkan orang lain tak ubahnya sebagai saudara sendiri. Hemat penulis, menyama braya merupakan kearifan lokal yang sekaligus menjadi model harmoni sosial yang penting untuk dikedepankan.

Seperti yang dijelaskan pada awal prolog ini, bahwa novel ini merupa-kan sebuah kisah perjalanan, di mana Tama, Listia, dan Esti, tokoh-tokoh utama yang dinarasikan dalam novel ini, telah melalui romantisme yang penuh dengan nuansa heroik dan sekaligus tragik. Heroik dalam kaitannya dengan daya dan upaya mereka mengejar cita. Tragik dalam kaitannya dengan ketidakberdayaan mereka dalam menjalani kisah cinta yang tak berujung. Kisah cinta yang membuat mereka tak bisa lain kecuali menengadahkan wajah ke langit tertinggi, meluruhkan cinta mereka ke haribaan Penguasa Langit.

Prolog ini akan penulis akhiri dengan sebuah pengakuan bahwa menulis novel, sungguh, bukan pekerjaan yang sederhana. Menulis novel, ternyata memerlukan konsentrasi yang sedemikian menguras energi. Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. Energi untuk mengundang kembali kenangan-kenangan masa silam. Energi untuk me-milah dan memilih bagian-bagian yang memungkinkan untuk dinarasikan. Energi untuk menyisipkan secara inklusif, nilai demi nilai. Energi untuk memungut inspirasi yang berserak di segala sisi. Ini baru menyangkut ―apa‖ yang hendak diformulasikan dalam sebuah novel. Belum bicara tentang ―bagaimana‖ memformulasikannya menjadi sebuah novel, yang (tentu saja) memerlukan energi untuk memilah dan memilih kosa kata yang tepat, memerlukan energi untuk merangkai kata-kata menjadi kalimat-kalimat yang menghadirkan nuansa sapa, bukan nuansa paksa. Jika

vi Pada Langit Cinta

Page 7: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

ditanya perihal hikmah yang dapat dipetik dari proses penulisan novel ini, maka jawabannya adalah tumbuhnya kesadaran akan keterbatasan. Keter-batasan bahwa kita memang bukanlah siapa-siapa. Kita baru akan memiliki kemungkinan menjadi ―siapa‖ manakala saling menjaga harmoni dengan sesama.

Untuk kedua orang tuaku (Bapak Imam Supangat dan Embok Tasmiatun di Ngawi, juga alm Bapak Abdullah Mahruzi Amir dan Ibu Siti Khuriyah di Bandung) yang tak henti-hentinya meniupkan doa dan restu: salam ta‘zim yang setulus-tulusnya untuk panjenengan sedoyo. Untuk para kakak dan adikku (Abdul Fattah, Siti Fatimah, alm Wildan Suyuti, Wahid Hasyim, dan Agus Mundzir) yang telah melukiskan kebersamaan yang tak akan pernah terkatakan: novel ini terlahir karena rasa bangga dan syukurku akan kalian. Untuk para kakak dan adik ipar (Mbak Fitri-Mas Prima, Mbak Ifa-Mas Sidik, Mas Fuad-Mbak Yuda, serta Taufik-Nina): tidak pernah kuingkari betapa tinggi rasa takjubku pada kalian. Untuk Zulfiani (istriku sekaligus kawan setiaku), Ibrahim Arif (anak lelakiku), dan Aisya Aulia Arif (anak perempuanku): mendekatlah kemari, bukankah kalian pernah mendengar kata seorang pujangga bahwa tak pernah ada manusia yang sempurna, dan kalian pun mafhum jika aku bukanlah pengecualiannya. Maka, mari kita baluri ketidaksempurnaan itu dengan cinta yang setulus-tulusnya, dengan cita yang setinggi-tingginya, dengan upaya yang sekuat-kuatnya, serta dengan doa yang sekhusyuk-khusyuknya. Semoga hari-hari kita akan selalu ditaburi harmoni dan keindahan. Dan, semoga langkah-langkah kita akan diridhoi dalam menembus pintu-pintu bahagia. InsyaAllah…

Wallahu a’lam bis-shawab.

Pamulang, 17 Agustus 2018

Muhamad Arif

Pada Langit Cinta vii

Page 8: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm
Page 9: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

DAFTAR ISI

Prolog ______________________________________________ v Daftar Isi ____________________________________________ vii 1. Berangkat ________________________________________ 1 2. Bunda __________________________________________ 9 3. Listia ___________________________________________ 19 4. Wirid Cinta ______________________________________ 40 5. Gapura Bali ______________________________________ 52 6. Di Kampus Bukit __________________________________ 64 7. Sahabat _________________________________________ 75 8. Gang Harjuna 11 __________________________________ 89 9. Merak 9 _________________________________________ 99 10. Para Cita ________________________________________ 109 11. Kosong __________________________________________ 125 12. Realistis _________________________________________ 138 13. Harapan _________________________________________ 147 14. Rindu Jauh _______________________________________ 161 15. Pendakian _______________________________________ 171 16. Laskar Himaprodise ________________________________ 184 17. Liburan Akhir Tahun _______________________________ 195 18. Surat Listia _______________________________________ 203 19. Sabar ___________________________________________ 217 20. History Run ______________________________________ 229 21. Pada Gerimis Pagi _________________________________ 244 22. Seraut Wajah _____________________________________ 254 23. Pada Monumen Jagaraga ____________________________ 266 24. Malam Pentas Seni _________________________________ 278 25. Kata Hati ________________________________________ 293 26. Nyama Selam _____________________________________ 311 27. Kelana Sunyi _____________________________________ 326 28. Pegayaman _______________________________________ 338 29. Pada Wisuda _____________________________________ 347 30. Luka ____________________________________________ 364 31. Menjelang Pulang __________________________________ 382 32. Saling Silang ______________________________________ 399 33. Pupus ___________________________________________ 419 34. Langit Cinta ______________________________________ 436 Tentang Penulis _______________________________________ 439

Pada Langit Cinta ix

Page 10: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

x Pada Langit Cinta

Page 11: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

1

BERANGKAT

Ini adalah pengalaman pertamanya menunggu kereta. Tak disangka, betapa

lama dia harus menghabiskan waktu untuk itu. Ada rasa cemas, jangan-jangan kereta batal tiba. Ada rasa gemas, mengapa harus begitu lama. Ada rasa sesal, mestinya

dia tidak datang terlalu cepat. Ada rasa takut, jangan-jangan dia ketinggalan kereta. Dan, segala rupa rasa lain yang serba

tidak enak. Betapa tidak? Hingga pukul 13.57 kereta belum kunjung tiba. Padahal dia sudah

sampai di stasiun itu sejak pukul 09.17. Memang, dia terlalu cepat datang karena didorong oleh harapannya yang terlalu besar untuk tidak keting-galan kereta. Tetapi, daripada batal berangkat akibat ketinggalan kereta, lebih baik datang lebih awal meski harus membuang waktu sebegitu lama, begitu pikirnya untuk berdamai dengan perasaannya yang semakin gelisah.

Sekali lagi dia melirik jam dinding di atas loket, kini menunjukkan pukul 14.03. Kecemasan telah mendorongnya untuk mendatangi sese-orang yang sedang bertugas di loket jaga.

―Maaf, Pak. Kereta Bangun Karta jurusan Surabaya berangkat jam berapa ya, Pak?‖ tanyanya pada petugas loket dengan tingkat kesantunan yang murni sebagai anak kampung.

Petugas loket tampak sibuk menghisap sebatang rokok, menghembus-kan asapnya sehingga tampak bergulung-gulung, menghisap lagi, menghem-buskan lagi, dengan raut muka yang acuh, seolah tak mendengar apa-apa. Mulutnya yang hitam, menyembunyikan gigi-giginya yang tampak kuning kecoklatan pada bagian depan, menegaskan kapasitasnya sebagai perokok karatan.

―Sabar saja! Nanti juga datang!‖ jawabnya nyaris tanpa ekspresi. Dingin. Cuek. Satu sikap yang segera membunuh keinginannya untuk ber-tanya lebih lanjut.

Dia kembali ke ruang tunggu. Kursi-kursi penuh sesak oleh calon-calon penumpang yang malang. Aneka rupa barang bawaan bergeletakan di mana-mana. Kardus-kardus yang diikat dengan rafia, kantong-kantong plastik yang entah berisi apa, juga berbagai macam tas merek kaki lima, jelas menggambarkan lapisan rakyat jelata yang penuh dengan gelimang kehidupan yang dekil dan duka.

Tak secuilpun ruang tunggu yang tersisa untuknya. Begitu penuh dan sesaknya stasiun ini, seakan hendak menjelaskan betapa tinggi tingkat

Pada Langit Cinta 1

Page 12: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

kebutuhan rakyat akan moda transportasi kereta kelas rombengan itu. Pada sisi yang lain, juga menjelaskan bahwa moda transportasi yang mulai beroperasi sejak zaman kolonial itu masih merupakan satu-satunya pilihan yang paling pas bagi masyarakat kelas kere macam dirinya, tentu.

Tak ada pilihan lain baginya, kecuali hanya bersandar pada salah satu sisi dinding yang tersisa. Sebisa mungkin dia berusaha merasa apa yang seharusnya dirasa, juga berusaha menerima apa yang seharusnya diterima. Mungkin, kenyataan seperti ini merupakan konsekuensi awal yang tak seberapa bila dibandingkan dengan konsekuensi-konsekuensi lain sehu-bungan dengan keputusannya untuk berangkat. Maka, memang hanya tersedia satu pilihan, yakni membulatkan hati dan pasrah terhadap apapun yang akan terjadi.

Toh, pada akhirnya kereta yang ditunggu-tunggu itu pun tiba. Sungguh mencengangkan, ternyata deru mesinnya tak seperti yang di-bayangkan sebelumnya. Selama ini dia mengira bahwa kereta akan meluncur dengan kecepatan tinggi sehingga menimbulkan suara mirip desau pesawat latih tempur yang bermarkas di Maospati yang sering mengudara di atas perkampungannya. Kenyataannya, penampilan kereta itu tampak begitu kumuh. Kedatangannya yang perlahan mengingatkannya pada seekor induk ayam yang mengendap-endap saat berjalan menuju petarangan tempatnya mengeram. Roda-roda besinya yang berderak-derak menerbitkan suara yang bergemeratak, melebihi riuhnya suara guruh di penghujung musim penghujan. Juga, suara lengking peluit itu, entah mengapa, seperti mengingatkannya pada teriakan-teriakan Bunda agar dia segera pulang jika petang mulai merengkuhkan sayap-sayapnya.

Ratusan penumpang bersicepat untuk bangkit, menyambar berbagai macam bawaan, lalu berhamburan menuju pintu-pintu kereta terdekat. Tak seorang pun berpikir untuk mengalah. Semua menunjukkan ke-sigapannya untuk berebut dahulu dengan menyusup pada celah-celah pintu yang telah begitu sarat oleh jejalan kaki-kaki penumpang. Itulah kaki-kaki yang menopang para lelaki pinggiran yang terus-menerus berusaha berdamai dengan nasibnya yang dekil.

Menaklukkan pintu-pintu kereta yang melintas di stasiun-stasiun kecil tak ayal membutuhkan perjuangan yang tidak sederhana. Memang, pada stasiun kecil seperti Stasiun Paron ini, hanya kereta api kelas ekonomi sajalah yang mau berhenti. Para penumpangnya pun tak kurang sebagai pelanggan tetap, untuk tidak menyebutnya sebagai pelanggan fanatik. Bukan karena kenyamanan yang ditawarkan oleh sang kereta, melainkan karena harganya yang terjangkau menurut ukuran kantong-kantong mereka. Bahkan, kalau terpaksa, tidak sedikit di antara penumpang yang menyelinap masuk meski tanpa tiket sekalipun. Perihal urusan dengan petugas kereta, gimana nanti sajalah, begitu biasanya mereka berkilah.

2 Berangkat

Page 13: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

Maka, kesigapan dan ketangkasan saja rasanya belum cukup. Diperlukan kenekatan dan, tidak jarang juga, ketegaan untuk main sikut dan sekaligus main sikat, demi merebut kesempatan. Jika tidak nekat, atau, jika tidak tega, mana mungkin memperoleh peluang untuk menerobos pintu kereta, pikir mereka. Gagal menerobos pintu kereka sama artinya dengan gagal berangkat. Gagal berangkat sama artinya dengan pulang. Dan, pulang sama artinya dengan kengerian untuk berhadapan dengan pahit dan getirnya kemiskinan yang meng-gerogoti seisi rumah, lanjutnya.

Itulah sebabnya, para calon penumpang yang nota bena merupakan perantau-perantau nekat itu sudah mafhum adanya, bahwa perjuangan untuk menerobos pintu kereta sama sekali belum seberapa jika dibanding-kan dengan perjuangan yang harus dilakukan di perantauan. Maka, jangan pernah menganggap enteng perjuangan mereka, jangan pernah sepelekan keberadaan mereka.

Di ambang pintu kereta, di sela-sela kerumunan yang menjubal, Tama tampak melongok-longokkan mata, seolah ingin segera memperoleh kepastian untuk bisa meloncat ke dalam kereta. Namun, penumpang yang berjejalan segera meluruhkan nyalinya.

Bagaimana mungkin aku bisa memasuki pintu kereta itu? Kalaupun bisa, bagaimana mungkin aku tertampung di dalam gerbong yang penuh sesak itu? Lalu, bagaimana mungkin aku bertahan di dalam kereta yang penuh sesak, sementara jarak yang akan titempuh begitu panjang? Masih banyak pertanyaan lain yang menggerus nyalinya. Pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk memenuhi dada, semakin menjadikannya sangsi akan kemungkinan keberangkatan-nya. Tetapi, akan bergunakah memelihara rasa sangsi dalam keadaan seperti ini? Kesangsian begitu dekat pengertiannya dengan keraguan. Keraguan sering bersahabat dengan ketakutan. Sementara, ketakutan merupakan indikasi awal dari kegagalan. Hah! Gagal?

Tidak! Tidak mungkin dia membiarkan dirinya terseret dalam arus yang berujung pada kegagalan. Jadi, tak ada pilihan terbaik kecuali terus melangkah maju. Bukankah langkahnya telah disokong oleh berbagai macam argumentasi yang terlalu tangguh untuk dibantah? Setiap kali teringat akan berbagai argumen yang melatarbelakangi keberangkatan itu, pantang rasanya berpikir untuk surut. Sekilas ingatannya mengelebat pada sosok-sosok tentara yang berlatih menjelang peringatan Agustusan di alun-alun kota Ngawi, yang sering dilihat pada masa-masa es-pe-ge dulu. Terlintas teriakan-teriakan mereka yang heroik: Prajurit pejuang! Sekali tandang ke gelanggang, pantang pulang sebelum menang! Hem, betapa kuatnya energi yang tersimpan pada yel-yel seperti itu.

Maka, seperti terhipnotis oleh kenangan seperti itu, dia segera menyingsingkan lengan baju. Tas hitam yang bertengger di balik punggung diposisikan sedemikian rupa agar tidak terasa terlalu menekan. Tas hitam

Pada Langit Cinta 3

Page 14: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

itu memang sarat dengan berbagai macam bekal yang saling berdesakan di dalamnya. Beberapa potong pakaian, handuk, sarung, beberapa judul buku, termasuk bekal makanan yang disiapkan oleh bunda, seolah saling berdamai dalam ruang yang begitu terbatas.

Sekonyong-konyong terdengar raungan terompet, disusul deru mesin dari arah lokomotif yang menghentak, seperti sebuah tengara bagi segenap penumpang agar secepatnya memasuki kereta. Petugas stasiun menyem-purnakan keadaan itu dengan aba-aba yang lantang untuk memastikan bahwa tak seorang penumpang pun yang tertinggal. Memang, kereta nan panjang itu segera menebarkan suara mesin yang berdentam-dentam. Perlahan, tapi pasti, kereta mulai bergerak menuju arah timur, seperti hendak menyempurnakan penjelajahannya ke berbagai kota di bagian timur Pulau Jawa: Madiun, Nganjuk, Kertosono, Jombang, Mojokerto, untuk kemudian Surabaya. Bagai teriakan seorang komandan di front terdepan, dentaman-dentaman lokomotif itu tak kurang sebagai perintah kepada para penumpang yang masih di luar agar bersicepat memasuki kereta.

Itulah sebabnya Tama mulai berlari-lari kecil di samping pintu kereta. Tas punggungnya tampak terguncang-guncang seiring dengan derap langkah kakinya yang berloncatan. Sementara di depannya, tepatnya di samping pintu kereta, seorang lelaki tua berperawakan kurus, tengah ber-upaya menggapai handle sambil menjingkat-jingkatkan kaki guna memper-oleh pijakan.

“Monggo, Pak! Loncat! Ya, loncat, Pak!!!‖ Teriaknya lantang, mengesankan bahwa kepanikan mulai menghantui

perasaannya. Seperti seorang pendekar yang sedang melatih pencak silat, dia terus berteriak-teriak, memberikan aba-aba agar penumpang tua nan kurus itu segera menambah kecepatan dan sekaligus ketepatan kakinya dalam meloncat dan menapak pada tangga pintu kereta yang sesak.

Mesin kereta semakin menghentak. Dentamannya semakin garang, seiring dengan pergerakan kereta yang semakin cepat. Dia pun menambah kecepatan berlari. Terlalu besar kecemasannya jika gagal memasuki pintu kereta. Terlalu besar harapannya untuk tidak ketinggalan kereta. Namun, sungguh sayang, para penggelantung yang berjejalan itu seperti tak memberi peluang untuk mengusir kecemasan, para penggelantung itu seperti tak memberi kesempatan untuk menuai harapan. Persaingan seolah telah melemparkan nilai-nilai keramahan layaknya sampah yang terkoyak dan berserakan. Sementara, egoisme, sikap acuh tak acuh, sikap tak peduli, dan mau menangnya sendiri, seolah menjadi satu-satunya pilihan yang mendatangkan keuntungan.

4 Berangkat

Page 15: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

Butir-butir keringat mulai menyembul dari segenap pori. Bulir demi bulirnya menyatu dan meleleh, membasahi kening, wajah, leher, kerah baju, dan bahkan punggungnya. Dia terus berlari, bahkan semakin menambah kecepatannya berlari, sambil menggapai-gapai handle pintu kereta yang tersembunyi di balik berpasang-pasang kaki. Dan, terima kasih Tuhan, keberuntungan rupanya masih berpihak padanya, tangan kanannya berhasil meraih handle pintu kereta. Tak mau ambil risiko, handle itu dicengkeram kuat-kuat dan, hups, secepat kilat dia meloncat.

Kini, rasa lega seperti menjelma bagai Dewi Fortuna yang menden-dangkan puja dan puji cinta nan syahdu. Membalurkan rasa lega di sekujur tubuhnya yang basah oleh keringat. Kecemasan dan kekhawatiran jika ketinggalan kereta, telah sirna tiada berbekas. Harapannya serasa menyatu dengan kenyataan. Itulah sebabnya, berulang kali terdengar hamdalah dari mulutnya yang tampak nyaris selalu tersenyum.

Akan tetapi, disela hamdalah yang dengan lirih digumamkan, se-konyong-konyong seseorang menyemprotkan satu kalimat lengkap dengan tatap tajam sepasang mata yang melotot.

“Hei, hei, hei, sikil iku!!! Ngawur ae kon iku!!!”1 bentak lelaki berkulit gelap dan kumis melintang dengan logat Surabayanya yang ketal.

Pilihan kata, intonasi, gerak mulut yang tersembunyi di balik kumis, berikut tatapan mata yang tajam itu, tentu segera merontokkan anasir-anasir yang pernah membuatnya nyaris selalu tersenyum itu. Ada rasa bersalah yang tumpang tindih dengan rasa terpojok sekaligus. Itulah sebab-nya, dengan senyum kecut, untuk tidak menyebut meringis, dia meminta maaf, untuk kemudian mencari-cari celah yang memberikan peluang bagi kedua telapak kakinya berpijak. Dan, ketika tatap matanya menemukan celah kecil di bagian ujung tangga pintu kereta, maka dengan serta-merta dia memindahkan ujung kaki kanannya ke sana.

Kini dia memperoleh kemungkinan untuk memperpanjang rasa lega. Betapa tidak? Bersinggungan secara langsung dengan sosok-sosok perantau, lengkap dengan atmosfer persaingan yang lugas seperti itu, benar-benar merupakan pengalaman pertama dan sekaligus pengalaman penting baginya. Bayangan bahwa para perantau merupakan sekumpulan orang yang serba solider karena rasa senasib dan sepenanggungan, mau tak mau harus dikoreksi secara proporsional. Dia seperti disuguhkan oleh sisi lain dari perantauan, yakni satu tampilan tentang kompetisi yang menuntut sikap yang lugas dan keras. Okelah. Wajah dunia memang tak selalu menampilkan bunga-bunga yang bermekaran lengkap dengan seri senyum

1Bahasa Jawa ngoko yang berarti: ―Hei, hei, hei kaki itu!!! Sembarangan saja kamu

itu!!!‖

Pada Langit Cinta 5

Page 16: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

yang menawan. Ada kalanya dunia menampilkan seringainya yang buas dan ganas. Lalu, bagaimana dengan perantauan di mana dia akan memper-taruhkan segenap diri dan masa depannya nanti? Baiklah. Apapun yang terjadi, bagaimanapun keadaannya, akan dihadapi dan dijalani dengan setulus-tulusnya. Bahwa tak ada tujuan lain dari perantauannya selain belajar. Ya belajar. Itulah ketetapan hatinya, kini.

Angin bertiup dalam kecepatan yang menyapa. Semilirnya seperti irama padang pasir yang mendendang di kejauhan. Sepoinya seperti suara Bunda saat melantunkan lagu-lagu nina bobok. Menjadikan ingatannya mengelebat kesana-kemari. Seolah dirinya sendiri yang sedang terbang menghampiri beberapa penggal dari perjalanan hidupnya yang telah silam.

Dia pun teringat pada suatu subuh yang gulita, belasan tahun yang lalu. Ketika belum seekor burung pun yang mulai berkicau guna menyambut lahirnya hari baru. Saat itu Tama sudah berkemas untuk kemudian bergegas menuju sekolah. Langkahnya sungguh tergopoh karena ingin secepat-cepatnya sampai di pusat desa, tempat di mana mitsubishi colt kusam, angkutan andalan untuk pergi dan pulang sekolah itu, menunggu. Untuk urusan berangkat ke sekolah dia memang selalu tampak tergesa-gesa, bukan untuk memenangkan persaingan mendapatkan tempat duduk di dalam colt, melainkan sekedar untuk memastikan bahwa dirinya tidak terlambat. Jok-jok di dalam mobil itu cukuplah untuk anak-anak perem-puan, sementara, untuk menuju sekolah sejauh delapan kilo meter itu, dengan senang hati anak-anak lelaki akan bergelantungan di pintu mobil. Sungguh dia tak pernah menduga jika pengalaman bergelantungan itu kini menemukan faedahnya. Kaki, tangan, dan sekaligus mentalnya tak perlu diragukan. Dan, dengan cara seperti itulah kereta itu membawanya berangkat menuju suatu tempat yang…. entah seperti apa wujudnya nanti.

Kereta itu terus melaju. Hembusan angin terasa sebagai sebuah pesan untuk terus-menerus menguatkan hati. Seperti digerakkan oleh kekuatan bawah sadar, Tama mengarahkan pandangan matanya ke ufuk barat. Gumpalan-gumpalan awan putih tampak berarak, melambai-lambai di sela-sela pepohonan yang berkelebatan. Tampak pula pegunungan biru yang timbul-tenggelam di balik awan. Juga, Gunung Lawu yang biru, seolah menampilkan pesonanya yang anggun, mengingatkannya pada Bunda, lengkap dengan daya rengkuh yang selalu ditaburi doa. Gumpalan awan putih yang menyelimuti Gunung Lawu yang biru itu, seolah memahatkan selaksa rindu. Rindu?

Masih terlalu jauh dia untuk sampai di tujuan, bahkan masih begitu dekat dia dengan kampung halaman. Namun, entah kenapa, kerinduan seperti menjelma sebagai guyuran air hujan yang membasahi sekujur tubuh. Dia menggigil oleh rasa rindu yang sangat. Kegalauan seperti hembusan angin yang tak pernah berhenti. Sementara, dia kembali

6 Berangkat

Page 17: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

merenungkan perjalannya yang masih teramat jauh di depan sana. Tuhan... ulurkan tangan-Mu, rengkuh aku...

Tatapan matanya masih begitu. Seperti itu. Menerawang. Jauh. Seolah ingin menangkap berbagai peristiwa di balik perbukitan yang bertebaran di bagian timur Gunung Lawu. Ya, pada lereng-lereng gunung nan biru, di balik awan-awan putih nan syahdu, kampung halamannya yang permai berada. Terbayang olehnya akan Ayah dan Bunda, sanak-saudara, karib-kerabat, handai-taulan, dan semua yang pernah menjadi bagian dari kehidupannya. Ada rasa getir karena dia telah meninggalkan semuanya. Ada rasa rindu untuk segera menjumpainya. Dan, getir itu, rindu itu, kini terasa seperti menghempas, menyeruak, dan menyusup begitu dalam di dasar hatinya.

Dia masih melemparkan pandangan matanya ke sana, ke pegunungan yang biru itu, seolah ingin menangkap kembali selaksa kisah yang pernah mengisi masa kanak-kanak dan masa remajanya. Tentang pepohonan yang tak pernah habis menyediakan daun-daun dan kayu bakar. Tentang ladang-ladang hijau yang selalu menyuguhkan berbagai umbi dan rerumputan. Tentang hamparan sawah-sawah yang tiada henti menyediakan padi-padian. Tentang masjid dan madrasah tempat mencari bermacam ilmu dan cerita keteladanan. Tentang sungai-sungai dengan air jernih yang senantiasa mengalir. Tentang desau angin yang menerobos di sela-sela pepohonan pinus. Dan, tentang awan tipis yang menjadikan kampungnya bagai sebuah negeri di atas awan.

Matahari yang mulai condong ke barat, seolah menjadi sebuah tengara bahwa siang akan segera berganti malam, melewati sebuah celah sempit yang bernama senja. Begitulah waktu. Dia akan terus berlalu. Memberi peluang bagi tumbuh dan berkembangnya tunas-tunas muda untuk bersemi, sekaligus menjadi persilahan bagi tonggak-tonggak tua untuk berhenti di ruang-ruang mati.

Dia yang berada dalam sebuah perjalanan panjang. Dialah sang musafir. Si kembara yang tak hendak berhenti untuk menuju hari-hari yang baru. Perjalanannya adalah perjuangannya. Perjuangannya adalah ketetapan hatinya. Ketetapan hatinya adalah kebahagiaannya. Kebahagia-annya adalah masa depannya. Maka, bagai roda-roda kereta yang terus berputar, dia pun akan terus berjalan, akan terus menuju ke depan. Dikuatkan hatinya untuk tidak pilu saat diterpa rasa rindu. Jikalau kerinduan yang tak pernah diundang itu datang, maka dia akan segera membalurinya dengan selaksa doa. Doa yang menjadikan tapak langkah-nya semakin anggun dan gagah. Tak ada perjuangan tanpa pengorbanan. Tak ada keberhasilan tanpa ujian. Dan, tak ada kejadian tanpa kehendak Tuhan. Maka, dengan menyebut nama Tuhan, dia melanjutkan per-jalanan. Kesadarannya menangkap salah satu pesan yang pernah disampai-

Pada Langit Cinta 7

Page 18: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

kan oleh Ayah: “Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu pengetahuan, maka dengan sebab perbuatannya itu Allah akan menempuhkan suatu jalan untuknya guna menuju ke surga.‖2

***

2Hadits Riwayat Muslim.

8 Berangkat

Page 19: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

10

PARA CITA

Singaraja, pada malam itu, adalah kota yang gulita. Dan, mati lampu-lah yang menjadi muasal dari kegulitaan itu. Gulita yang menyuguh-kan pekat. Pekat yang menghadirkan gelisah.

Entah sudah berapa lama Tama hanya bisa gulang-guling di kamarnya yang sempit. Suasana gerah sungguh terasa lebih dari biasanya, seolah menjebaknya dalam sebuah ruang yang pengap.

Bosan dengan gulang-gulingnya yang tak menentu, Tama mencoba bangkit, membuka pintu, melangkah keluar, mendongakkan kepala ke langit, lalu menarik napas dalam-dalam guna mencari sensasi segar. Nun di atas sana, langit tampak hitam pekat. Tak satupun bintang yang tampak berkedip, seolah takut pada gumpalan-gumpalan awan hitam yang urung menjadi hujan.

Desah itu, meski terdengar begitu samar, tetapi cukup menjelaskan bahwa kegelisahan seperti sedang bersemayam di dasar hatinya. Sorot matanya yang sayu menegaskan keinginannya yang kuat untuk menangkap tanda-tanda kehidupan yang ada di kiri, kanan, depan, dan bahkan belakangnya. Tak ada. Tak ada tanda-tanda kehidupan yang bisa ditang-kap. Kecuali suara jengkrik yang mengerik, seolah hanya memberikan torehan rasa perih di dasar hatinya. Juga, suara kambing-kambing yang mengembik dari rumah dekil berbahan kayu yang bertengger di pinggiran sungai kecil di seberang komplek kos. Embikan kambing-kambing itu men-jadikan hatinya terasa semakin tersayat.

Sebuah kursi kayu yang menempel di sisi teralis segera menariknya untuk duduk. Dia hanya terpekur. Begitu lama. Dia tahu, hatinya sedang menangis, meskipun tidak dengan matanya. Ada rasa sedih yang nyata, mengendap-endap di dalam hati, meski tidak terlalu jelas apa gerangan yang menghadirkan kesedihan itu. Senyatanya ini merupakan masalah hati. Dan, tidak jarang, hati bekerja dengan misterinya sendiri. Itulah sebabnya dia memilih untuk tetap duduk, terpekur, mengikuti suasana hati yang bergerak bagai gelombang lautan, kadang datang, kadang pergi.

Direbahkan tubuhnya di atas kursi. Kini, segenap ingatannyalah yang sekonyong-konyong bekerja. Begitu asyik menerawang, begitu masyuk mem-bayang, pada sosok-sosok terdekat yang kini saling berjauhan.

Terbayang olehnya derai tawa segenap saudara kandungnya yang begitu hangat. Kini, saudara-saudara kandung itu, nyaris seluruhnya telah

Pada Langit Cinta 109

Page 20: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

pergi merantau, meninggalkan ayah dan bunda di rumah. Sementara, seperti yang disaksikan sebelum keberangkatannya ke kota ini, ayah dan bunda terlihat semakin sepuh. Selayaknya, dalam kondisi seperti itu, ayah dan bunda bisa menjalani kehidupan secara lebih rilek. Selayaknya memang begitu. Seperti itu. Akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Kenangan terhadap ayah dan bunda, berikut saudara-saudaranya itulah yang membuat hati dan pikirannya terasa gelisah. Dan, diiringi dengan dzikir yang sesekali dibisikkannya secara lirih, dia menekuri mereka, satu persatu.

Tama adalah anak keempat dari enam bersaudara. Dan, dari enam bersaudara itu, baru seorang saja, yakni sulungnya, Ganjar Pratomo, yang terbilang sudah bekerja secara mapan, yakni sebagai seorang bintara polisi yang ditugaskan di suatu kota di Borneo. Seorang lainnya, yakni Jalal Wicaksono, kakak ketiganya, meski sudah jauh-jauh ikut merantau ke Borneo, belum memperoleh pekerjaan yang pasti. Sementara keempat yang lain, termasuk dirinya sendiri, masih tersebar di berbagai lembaga pen-didikan, baik pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, mau-pun pendidikan tinggi.

Agus Prastowo, si bungsu, masih duduk di bangku kelas lima es-de di kampung. Dialah satu-satunya yang menemani ayah dan bunda di rumah. Setiap kali teringat kepada si bungsu, selalu saja muncul berbagai per-tanyaan. Mungkinkah anak sekecil itu mampu berpikir untuk meringan-kan pekerjaan ayah dan bunda di rumah? Mungkinkah dia sanggup berpikir untuk membantu merawat kambing-kambing yang menbutuhkan kesabaran dan sekaligus ketelatenan itu?

Eko Santoso, adik persisnya, kini memasuki tahun kedua pada salah satu madrasah aliyah program khusus yang ada di kota Jember. Perihal sekolah adiknya yang di madrasah aliyah takhassus itu memang terbilang sebagai sebuah prestasi yang prestisius. Betapa tidak? Siapapun yang ingin diterima sebagai salah satu siswa di madrasah „aliyah takhassus haruslah me-lalui seleksi yang ketat. Dan, Eka Santoso si anak udik itu, berhasil mele-wati seluruh proses seleksi dengan baik. Otaknya yang cemerlang memang memungkinkan untuk lolos dan sekaligus mengikuti program-program pendidikan pada sebuah institusi yang sepenuhnya dibiayai negara itu. Entah kenapa, setiap mengenang adiknya yang satu itu, Tama selalu menangkap kesan optimisme tersendiri.

Sementara Siti Utami, kakak dan sekaligus satu-satunya saudara perempuan di keluarganya, sedang menyelesaikan kuliahnya pada salah satu perguruan tinggi Islam negeri yang ada di Yogyakarta. Kabarnya dia sedang berkonsentrasi untuk melaksanakan penelitian skripsi. Untuk itu diperlukan biaya yang agak berlebih dari sebelum-sebelumnya. Duh, Gusti…

110 Para Cita

Page 21: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

Kembali angan Tama membumbung tinggi, untuk kemudian hinggap menuju kampung halaman, lalu menyelinap ke rumah. Wajah ayah dan bunda yang tirus seolah kembali hadir. Wajah yang selalu mengguratkan semangat dalam kerja, khusyu‟ dalam doa, optimis dalam memandang bentang kehidupan yang tak berbatas, sekaligus tulus dan ikhlas dalam menunaikan pengabdian, baik kepada sesama hidup maupun ke haribaan Gusti Ingkang Murbeng Dumadi.

Tentu saja tidak ada pilihan lain bagi ayah dan bunda, kecuali cancut taliwondo,1 berpikir lebih cerdas, bekerja lebih keras, dan memanjatkan doa lebih tinggi. Menanam dan merawat padi di sawah, menengok ladang dengan singkong serta berbagai macam tanaman kerasnya, dan, tak ter-kecuali juga ngarit, mencari rumput di sawah dan tegalan, atau angon, menggembalakan kambing, yang biasa dilakukan di mbaon2 atau di per-sawahan jika musim panen telah usai.

Angon, ya, kata ini mengingatkan Tama pada satu peristiwa, terutama terkait dengan urusan penggembalaan kambing di mbaon, yakni hutan pinus yang membentang di bagian barat perkampungannya. Satu hal yang paling diingat adalah kewaspadaan yang harus benar-benar ekstra. Itulah sebabnya, setiap kali menggembalakan kambing di mbaon, dia dan juga teman-teman lainnya, selalu saja menyimpan sensasi dag-dig-dug. Jika terlihat olehnya seorang polisi hutan, yang sering disebut dengan Pak Mandor itu, berkelebat, atau jika mendengar teriakan “Mandor! Mandor! Mandor!” maka dengan segera mereka berlari secara lintang pukang, menyeret-nyeret kambing-kambing mereka agar segera masuk kandang secepat yang bisa dilakukan. Terlambat sedikit saja akan berarti tertangkap basah oleh Pak Mandor yang amat mereka segani dan sekaligus takuti itu. Ya, mereka memang amat takut jika didukani, dimarahi oleh polisi hutan yang ber-badan tegap lengkap dengan kumisnya yang tebal melintang itu.

Kini, setelah tinggal di Singaraja sejak beberapa bulan yang lalu, entah mengapa bayangan-bayangan seperti itu begitu sering mengelebat. Sering-kali bayangan-bayangan seperti itu menghadirkan rasa trenyuh yang dalam. Bahkan kadang kala dia merasa seperti mau menangis. Kini, setelah tinggal di Singaraja, ternyata ada juga kecemasan yang setara dengan kecemasan-nya seperti ketika tertangkap oleh polisi hutan itu. Maka, seperti anak kecil yang terjebak pada romansa kemanjaan ketika ditinggal oleh ayah atau bunda, tiba-tiba dia merasa sangat memerlukan sebuah rengkuhan, yang memberinya rasa aman dan nyaman dari lintasan-lintasan yang mencemas-kan seperti itu.

1Istilah dalam bahasa Jawa yang berarti berusaha sekuat tenaga atau berusaha semaksimal

mungkin. 2Mbaon merupakan lahan hutan produksi yang dikelola oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan

Produksi (KPHK) Dinas Kehutanan setempat (Red, Penulis).

Pada Langit Cinta 111

Page 22: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

Maka, pada malam yang pekat itu, di sebuah kota yang begitu jauh dari kampung halaman, dia merasa begitu jauh. Teramat jauh. Rasa jauh yang telah memisahkan terhadap semua yang pernah dekat. Dan, keter-pisahan itu kini bagai terompet yang membangkitkan rasa rindu. Rindu, ya, kini dia sedang diamuk oleh rasa rindu. Rindu yang gelisah. Gelisah yang semakin menerbangkan angannya sebegitu jauh, menyusuri hari-hari-nya yang telah silam.

*** Saat itu adalah saat di mana Tama mengawali sekolah di bangku es-em-

pe, saat pertama kali menjalani kehidupan sebagai anak kos, saat pertama kali mengemal hari-hari yang penuh haru dan sekaligus pilu.

Saat itu, segera setelah dia tiba di kosan, meletakkan tas dan karung kecil berisi beras di sudut kamar, dia segera terpana, seolah sedang ter-kurung pada suasana kamar yang sepi yang senyap. Tahulah dia bahwa senyap telah menjadikannya merasa amat sendiri, seolah ditinggalkan sejauh-jauhnya oleh siapapun yang pernah menyayangi. Bagai seekor anak burung yang terhempas angin dan terjatuh dari sarangnya di musim peng-hujan, dan tak memiliki daya kecuali mencicit-cicit sambil mengepak-kepakkan sayapnya yang lemah. Sementara, angin dan air hujan terus menerpa tanpa sedikitpun menyisakan ampun.

Tentu saja romansa kemanjaan yang dirasakan pada saat ini sungguh berbeda. Jika dulu dia merasa tidak sanggup berjauhan dengan Ayah dan Bunda, kini justru sebaliknya, dia merasa tidak tega telah meninggalkan keduanya. Dia merasa begitu sedih ketika harus meninggalkan kedua orang tua yang nyaris menghabiskan waktu di sepanjang hidupnya untuk mem-bangun ribuan harapan, berjuang agar harapan-harapan tersebut dapat mewujud dalam kenyataan, serta memunajatkannya dalam lantunan-lan-tunan doa.

Dia sering terbuai oleh kisah-kisah pilu yang, secara sporadis, di-tangkap dari penuturan-penuturan ayah dan bunda ketika sedang berada di meja makan. Telah begitu banyak cerita kehidupan ayah dan bunda yang berhasil dirangkai. Kini, kisah-kisah pilu itu seolah menyusup dalam-dalam dan terpatri kuat-kuat di lubuk hati. Dan, satu hal yang selalu ter-kenang, adalah tetes-tetes air mata bunda atau desah nafas ayah, ketika menuturkan kisah tentang masa-masa mereka.

*** Bunda tidak benar-benar ingat, bagaimana warna hari-hari sepanjang

lima tahun pertama pada masa kecilnya. Tetapi ada yang tak pernah bunda lupa, tentang ramuan yang dioleskan oleh embah putri pada puting susu, suatu tindakan yang membuatnya gibrah-gibrah, benar-benar menjaga jarak dan kapok untuk ngempeng, karena puting susu yang biasanya menumpah-kan cairan manis dan lezat itu tiba-tiba terasa amat pahit. (Belakangan

112 Para Cita

Page 23: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

bunda menuturkan bahwa ramuan itu dibuat dari sejenis tanaman obat tradisional, brotowali namanya. Brotowali memang memiliki rasa pahit dengan kadar kepahitan yang benar-benar pilih tanding. Kandungan rasa pahit yang teramat sangat itulah yang sering dimanfaatkan oleh kaum ibu, terutama pada masyarakat Jawa tradisional, untuk digunakan sebagai alat nyapih yang handal bagi anak-anak mereka yang dianggap sudah tidak pantas lagi untuk ngempeng, atau, karena alasan lain yang tidak kalah pentingnya, misalnya karena sang anak sudah memiliki adik yang perlu mendapatkan jatah air susu ibu dengan kualitas dan kuantitas yang memadai). Rasa pahit itu pulalah yang membuat bunda kecil rela untuk tidak lagi berebut ngempeng dengan adiknya, yang nyaris hanya terpaut satu setengah tahun saja jarak umur kronologisnya.

Masih menurut bunda, setelah peristiwa nyapih, masa kanak-kanak bunda segera diwarnai dengan tugas-tugas yang tidak sederhana, yakni mengasuh adik-adiknya yang lahir nyaris setiap dua atau tiga tahun sekali itu. Setelah Komsatun yang lahir pada tahun 1945, secara berturut-turut lahir adik-adiknya yang lain, yakni Samini (lahir tahun 1947), Asmiati (lahir tahun 1951), Tohari (lahir tahun 1954), Widayat (lahir tahun 1958), Sri Lestari (lahir tahun 1961), Tasmiratin (lahir tahun 1964), dan si bungsu Endang Sirni (lahir tahun 1966). Kegiatan mengasuh adik-adik tentu merupakan kelaziman bagi anak-anak petani desa, seperti halnya yang dialami oleh bunda kecil, mengingat orang tuanya memang nyaris menghabiskan waktu dan tenaga guna mengurus sawah dan tegalan.

Saat bunda kecil bertanya, mengapa posturnya tidak sebesar dan setinggi kedelapan adik-adiknya? Terhadap pertanyaan seperti itu embah putri justru bercerita panjang lebar tentang masa-masa sulit yang pernah dialami. Masa-masa sulit itu seakan datang dan menyergap begitu saja sejak hari pertama kelahirannya.

Menurut embah putri, bunda lahir pada tahun kedua setelah ke-datangan tentara Nippon3 di tanah Jawa. Tentara Nippon, yang semula

3 Pada tanggal 7 Desember 1941 terjadi pengeboman Jepang ke pangkalan militer Amerika

Serikat di Pearl Horbour sehingga memicu terjadinya Perang Asia Timur Raya. Untuk mendukung mesin perang, Jepang sangat berambisi menguasai Indonesia dalam rangka mendapatkan cadangan logistik dan bahan industri perang, seperti: minyak tanah, timah, dan almunium. Pada tanggal 11 Januari 1942, Jepang menduduki daerah minyak dengan mendarat di Tarakan Kalimantan Timur, dilanjutkan ke Balikpapan, Pontianak, Samarinda, dan Banjarmasin. Pada tanggal 16 Februari 1942, Jepang menduduki Palembang. Selanjutnya, pada tanggal 1 Maret 1942, di bawah pimpinan Letjen Hitoshi Immamura, Jepang mendarat di Pulau Jawa, tepatnya di Teluk Banten, Indramayu, dan Banjarnegara. Sebenarnya Belanda sudah mengantisipasi kedatangan tentara Jepang dengan: (1) mem-bentuk komandu gabungan yang terdiri dari tentara Amerika, Inggris, Blanda, dan Australia yang dikenal dengan istilah ABDACOM, (2) menyiagakan satu Kompi Akademi Militer Kerajaan dan Korps Pendidikan Perwira Cadangan di Jawa Barat, (3) menyiagakan 4 batalion infanteri di Jawa Tengah, serta (4) menyiagakan 3 batalion pasukan bantuan Indonesia dan 1 batalion marinir yang dibantu oleh tentara Inggris dan Amerika di Jawa Timur. Akan tetapi, tentara Jepang yang mendarat di Jawa memang sangat besar, sehingga pasukan Belanda tidak sanggup memberikan perlawanan. Pasukan Jepang dengan cepat menyerbu pusat-pusat kekuatan tentara Belanda di Jawa. Tanggal 5 Maret 1942

Pada Langit Cinta 113

Page 24: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

dielu-elukan sebagai sedulur tuwo atau si jago kate itu, telah mengumbar janji untuk mengusir londo-londo jangkung yang selama ratusan tahun berulah tak ubahnya harimau lapar yang bergentayangan untuk mencari mangsa. Namun ternyata, lambat laun si jago kate itu menampakkan sifat dan watak aslinya. Lambat laun Nippon berulah tak ubahnya sekawanan setan gundul. Kebanyakan tentara Nippon, yang mencukur kepala mereka hingga gundul itu, memang gemar menempeleng siapa pun yang dianggap keras kepala terhadap kebijakan pemerintah pendudukan Jepang.

Selain itu, lambat laun Nippon juga menampakkan sifatnya yang rakus. Hasil bumi terbaik dari keringat para petani dirampas tanpa me-ninggalkan sisa yang dapat mencukupi kebutuhan pangan bagi rakyat kecil. Kehidupan menjadi semakin sulit dan menghimpit.4 Berbagai bahan pangan seperti beras, jagung, dan singkong semakin langka. Oleh karena itu, bangsa Indonesia harus rela mengkonsumsi apa saja yang penting bisa mengisi perut-perut yang keroncongan. Tak ayal tangkal papaya, tangkal pisang, jonjot singkong, dan sejenisnya segera menjadi menu untuk dilahap. Itu pun belum tentu dapat ditemukan saban hari.

Tentu, tidak sulit bagi Tama untuk menarik kesimpulan bahwa bunda tidak mendapatkan asupan gizi yang cukup untuk menopang masa-masa awal dari pertumbuhan fisik maupun perkembangan mentalnya. Bahkan sejak berada di dalam kandungan sekalipun. Penuturan-penuturan embah puteri seperti itu, pada akhirnya membuat bunda menjadi mafhum dan tidak pernah lagi berminat untuk mengusik kembali masa-masa sulit yang nyinyir seperti itu.

Sepenuhnya bunda telah rela dengan keadaan yang menimpa. Bukankah dengan tinggi badan seratus lima puluh tiga senti meter, postur tubuh bunda masih cukup normal jika dibandingkan dengan rata-rata postur tubuh kaum wanita Indonesia pada umumnya? Lagi pula, bunda

Batavia jatuh ke tangan Jepang, yang dilanjutkan denganjatuhnya kota Buitenzorg (Bogor) dan kota-kota lain di sekitarnya. Akhirnya pada tanggal 8 Maret 1942 Jenderal Ter Poorten atas nama koman-dan pasukan Belanda/Sekutu menandatangani penyerahan tidak bersyarat kepada Jepang yang diwakili Letjen Hitoshi Immamura. Penandatanganan ini dilaksanakan di Kalijati, Subang. Dengan demikian berakhirlah penjajahan Belanda di Indonesia, dengan diambil alih oleh pemerintah pendudukan Jepang. (Disarikan dari berbagai sukmber, Penulis).

4 Meskipun Jepang menjajah Indonesia hanya kurang-lebih 3 tahun saja (1942-1945), namun bangsa Indonesia mengalami penderitaan yang sangat dalam, antara lain sebagai berikut. Pertama, Jepang merampas seluruh hasil pertanian rakyat, seperti: beras, jagung, teh, kopi, rempah-rempah, dan sebagainya sehingga menimbulkan bencana kelaparan, wabah penyakit, dan bahkan kematian di kalangan rakyat Indonesia. Kedua, Jepang menerapkan sistem kerja paksa tanpa dibayar yang dikenal dengan istilah romusha. Sebagian besar rakyat Indonesia yang direkrut sebagai romusha menderita sakit dan bahkan meninggal dunia di perantauan. Ketiga, Jepang juga memberlakukan sistem tanam paksa di mana rakyat Indonesia harus menanam tanaman sesuai dengan kehendak pemerintah pendudukan Jepang. Keempat, pemerintah pendudukan Jepang juga mewajibkan rakyat Indonesia untuk membayar pajak ketika memanfaatkan fasilitas umum, seperti ketika melewati jembatan, melewati jalan raya, atau menggunakan fasilitas umum lainnya, sehingga menambah penderitaan rakyat Indonesia. (Disarikan dari berbagai sumber, Penulis).

114 Para Cita

Page 25: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

sering menerima sanjungan dari embah putri sebagai gadis yang cantik. Dan, ini yang membuat bunda merasa berbesar hati, guru-gurunya di sekolah dasar juga sering menyanjungnya sebagai bocah pinter. Sanjungan-sanjungan seperti itu selalu disampaikan oleh para gurunya sambil tak henti-henti memberikan dorongan agar kelak bunda dapat melanjutkan sekolah setinggi-tingginya.

Sanjungan para guru itu tentu bukan tanpa alasan. Sejak kecil bunda memang gemar dengan segala macam yang berhubungan dengan kegiatan membaca, menulis, dan berhitung. Setiap akhir catur wulan, bunda nyaris selalu menerima salut berupa tepuk tangan meriah dan seri senyum dari teman-teman sekelas sebagai wujud respek terhadap prestasi bunda yang selalu berada di posisi puncak.

Akan tetapi, jika kemudian bunda membulatkan tekat dan memutus-kan untuk tetap bersekolah, tentu bukan semata-mata karena sanjungan para guru atau tepuk tangan teman-teman sekelas seperti itu. Sekali lagi tidak!

*** Bunda dilahirkan di Dusun Gowok, sebuah dusun terpencil di bagian

timur lereng Gunung Lawu, sekitar tiga kilo meter arah selatan Desa Narayudan.

Sesuai dengan namanya, Gowok, yang secara harfiah berarti celah sempit di sela-sela pepohonan lapuk yang sering dimanfaatkan oleh burung gelatik untuk membuat sarang dan beranak pinak, adalah sebuah hunian yang menyempil di sela-sela perbukitan yang sarat dengan bebatuan, leng-kap dengan pepohonan yang menyelimutinya. Bisa dibayangkan bagai-manakah corak kehidupan masyarakat di sebuah kampung dengan suasana alam seperti itu.

Fajar menyingsing akan segera diramaikan oleh derit pintu-pintu bambu yang ditarik oleh tangan-tangan yang bertelapak kasar. Air yang mengucur dari pancuran bambu di sela-sela bebatuan akan segera ramai oleh hiruk-pikuk warga yang masing-masing memegang oncor5 penerang. Bunga-bunga api pada masing-masing oncor akan tampak mobat-mabit oleh hembusan angin, seolah menandai awal kehidupan di pagi buta pada sebuah dusun yang tersembunyi di balik bukit.

Sepagi itu, masyarakat Dusun Gowok dengan sabar akan duduk angkruk-angkruk6 di antara bebatuan di sisi kali. Selalu. Seperti itu. Mereka mengantri. Untuk mandi, untuk mencuci beras dan sayuran yang akan di-

5Oncor adalah istilah lain dari obor, Penulis. 6Istilah masyarakat setempat untuk menunjukkan posisi jongkok.

Pada Langit Cinta 115

Page 26: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

tanak, untuk mencuci ubi atau talas yang akan direbus, untuk mengisi jun7 dengan air pancuran yang akan dituang pada gentong-gentong yang ditaruh di sisi dapur, untuk em-ce-ka, untuk berwudlu guna menyucikan badan, dan berbagai macam aktivitas pagi lainnya.

Bagi yang sudah rapi, mereka selalu tampak bergegas menuju Langgar guna menunaikan shalat shubuh. Dan, lantunan puji-pujian yang ber-kumandang itu adalah cara mereka untuk menunggu jama‘ah lain dan/ atau menunggu sang imam. Puji-pujian yang dilantunkan di tengah ke-sunyian, selalu saja menerbitkan getar suara yang mengumandang dan membumbung ke langit yang tinggi, untuk kemudian menggema pada bukit-bukit yang mengitari dusun. Dalam keadaan seperti itu, tampak pula beberapa warga masih sibuk mencari tempat yang nyaman di sepanjang aliran sungai yang bergemiricik, juga di sela-sela bebatuan, apalagi kalau bukan untuk ngising alias be-a-be.

Fase kedua dari aktivitas pagi, setidaknya yang terjadi di lingkungan keluarga embah kakung dan embah putri, adalah duduk-duduk melingkar bersama keluarga, menikmati hidangan khas berupa kopi atau teh pahit yang disisipi sekeping gula aren, sambil menikmati ubi atau talas rebus yang masih hangat dan mengepulkan cita rasanya yang gurih. Kegiatan seperti itu, selain menciptakan suasana hangat di lingkungan keluarga, juga boleh dikatakan sebagai sebuah persiapan untuk cancut taliwondo, menyingsing-kan lengan baju, guna mengolah lahan-lahan sawah dan tegalan yang selalu menanti. Itulah rutinitas yang terus menerus bergulir, dari pagi kembali menuju pagi, bagi warga Dusun Gowok pada saat itu.

*** ―Kalian semua adalah anak-anak cerdas yang dilahirkan di kampung

ini. Apakah kalian tidak ingin memajukan kampung ini? Apakah kalian tega membiarkan kampung kalian akan terus menerus hanya seperti ini?‖

Begitu pertanyaan Pak Sunyoto yang disampaikan pada sebuah kesem-patan belajar di kelas. Suaranya yang lantang, kalimatnya yang jelas, serta intonasinya yang tegas, seolah menguatkan karakternya yang berwibawa. Bunda tak akan pernah sanggup melupakan tatapan mata Pak Sunyoto yang selalu mengesankan optimisme.

Seperti biasa, tak seorangpun dari dua puluh tiga teman sekelas bunda yang sanggup menjawab, tak terkecuali bunda, meski sesungguhnya jawaban itu jelas terngiang dalam kesadaran bunda.

―Babad alas! Ya, kalian semua adalah murid-murid pertama yang bapak harap akan bisa melakukan babad alas, membersihkan berbagai ke-bodohan dan ketertinggalan yang membebani kampung kalian sejak

7Jun adalah alat penampung air tradisional, semacam jerigen, yang terbuat dari tanah liat dan berbentuk bulat lonjong. Pada umumnya jun digunakan oleh masyarakat tradisional untuk mengambil air dari sungai untuk dituangkan pada tempat penampungan air di rumah-rumah.

116 Para Cita

Page 27: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

ratusan tahun yang lalu,‖ kalimat Pak Sunyoto berhenti. Pandang matanya kembali menyapu seisi kelas, seolah meminta pertanggung-jawaban para siswa dan siswi untuk mendedikasikan hidup demi kemajuan.

―Apakah kalian sudah merasa cukup sampai di sini? Apakah kalian tidak ingin melanjutkan sekolah yang lebih tinggi? Itu tidak mengapa. Asalkan kelak kalian dapat mengamalkan ilmu yang telah kalian dapatkan dari sekolah ini demi kemajuan keluarga dan kampung kalian. Tetapi bagi kalian yang masih menggantungkan cita-cita melebihi bintang-bintang di langit, masih tetap bersemangat untuk melanjutkan sekolah guna meng-gapai cita-cita yang tinggi, tentu itu akan lebih baik. Dengan ilmu yang tinggi kalian tidak hanya akan dapat memajukan kampung kalian, tetapi juga bisa memajukan bangsa dan negara kalian. Bapak akan membantu mencarikan dan mendaftarkan kalian pada sekolah yang terbaik jika kalian mau. Nah, sekarang bapak ingin bertanya, siapakah di antara kalian yang ingin melanjutkan sekolah?‖

Pak Sunyoto mengakhiri ceramahnya dengan sebuah pertanyaan yang disampaikan dengan nada lembut. Namun tatap mata yang menyapu seisi kelas itu jelas menyiratkan maksud dan tujuan yang demikian tegas. Lagi-lagi, tak seorang pun yang berani angkat bicara. Seisi kelas hanya diam. Bahkan beberapa di antaranya, termasuk bunda, tak sanggup menatap wajah Pak Sunyoto yang penuh dengan pancaran kewibawaan.

Untuk beberapa saat lamanya para siswa masih terdiam. Suasana kelas pun terasa begitu hening. Tetapi tidak demikian dengan suasana hati bunda yang bergemuruh oleh degup jantung yang terpacu kencang. Kalimat-kalimat Pak Sunyoto memang sering menjadikan jantung bunda berdegup begitu kencang. Sampai detik-detik terakhir di sekolah dasar itu, para siswa masih saja merasa sebagai bocah-bocah isinan, anak-anak yang tak kunjung berani mengutarakan isi hati meski gelora di dalam dada bagai riak-riak gelombang samudera. Setelah sekian lama tak seorang pun yang berani mengacungkan tangan, sekonyong-konyong Kusen, putra salah se-orang guru ngaji di Kampung Kudusan, mengacungkan tangan sambil mengutarakan uneg-uneg-nya secara pasti: ―Saya, Pak!‖

Pak Sunyoto menatap Kusen dengan senyum penuh kelegaan. Tetapi tak ada kata yang terucap, tatap mata beliau seolah berubah menjadi tatap mata yang teduh. Tatap mata itu masih menyapu pada seluruh siswa yang bersikap tak ubahnya domba-domba yang menunggu halauan sang penggembala. Beberapa detik berikutnya, Suprih, sahabat karib bunda yang setiap pulang sekolah harus membantu orang tuanya yang perajin anyaman bambu itu, berusaha menyeruak kesenyapan dengan mengacung-kan tangan dan berkata: ―Saya juga, Pak!‖

Keberanian Kusen dan terutama Suprih dalam mengambil keputusan untuk melanjutkan sekolah belum sanggup memompa keberanian bunda

Pada Langit Cinta 117

Page 28: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

untuk mengacungkan tangan dan menyatakan tekatnya dalam hal nuprih ngelmu. Tatapan Pak Sunyoto tak lagi menyapu seisi kelas. Kini tatap mata beliau hanya tertuju pada bunda untuk beberapa saat lamanya, untuk kemudian bertanya: ―Kamu tidak ingin melanjutkan sekolah seperti kedua temanmu, Nduk?‖

Ingin sekali bunda menyatakan keinginannya untuk terus bersekolah, tetapi bunda masih harus berdamai dengan degup jantungnya yang kian kencang. Pak Sunyoto menatap bunda dengan sorot mata prihatin, prihatin jika bunda harus berhenti sekolah, sebuah tatapan yang akhirnya membangkitkan keberanian bunda untuk membuat pernyataan penting, meski diutarakan dengan rasa gugup dan tutur kata yang terbata: ―InsyaAllah, Pak. Saya akan melanjutkan sekolah pada jenjang yang lebih tinggi.‖

Seperti yang bunda sangka, jawaban itu segera menyembulkan senyum Pak Sunyoto yang terpahat pada tulang rahangnya yang tajam. Harapan Pak Sunyoto seolah terjawab. Kini ada tiga di antara sekian siswanya yang menyatakan keinginan untuk melanjutkan sekolah, dan itu dirasa cukup. Bukankah para siswa adalah anak-anak dusun yang bukan saja bingung oleh pertanyaan: dengan apa kami akan sekolah, bagaimana kami akan memilih sekolah, tetapi juga bingung dengan pertanyaan: mengapa kami harus sekolah, atau, untuk apa kami harus sekolah? Jadi, jika kini ada tiga siswa yang sanggup mengambil keputusan untuk terus bersekolah, itu sudah lebih dari cukup.

Begitulah akhirnya Pak Sunyoto menutup pertemuan pagi itu sambil berkata: ―Baiklah. Kalian bertiga: Kusen, Suprih, dan Tasmia, bapak tunggu di kantor pada saat ngaso8 nanti‖.

*** Seperti biasa, bunda pulang sekolah dengan menyusuri jalan-jalan

tikus di sela-sela perladangan, sendiri. Sepanjang perjalanan itu, bunda me-nyimpan perasaan yang tidak biasanya bersemat di dalam dada. Bunda merasa mongkog, semacam rasa bangga dan sekaligus haru yang tak terkira-kan. Betapa tidak?

Sewaktu bunda dan kedua temannya, Kusen dan Suprih, menghadap Pak Sunyato di ruang kerjanya yang sederhana, Pak Sunyoto menyatakan rasa syukur dan sekaligus bangganya kepada bunda dan kedua temannya. Bukan hanya terhadap keberanian mereka untuk memutuskan melanjut-kan sekolah, tetapi lebih dari itu, bunda dan kedua temannya diibaratkan sebagai kencono wingko,9 ratna mutu manikam, yang terpendam di lumpur-

8Ngaso dalah istilah dalam Bahasa Jawa yang berarti istirahat. 9Kencono dan wingko keduanga merupakan istilah dalam Bahasa Jawa. Kencono berarti emas,

sedangkan wingko berarti pecahan periuk. Kencono melambangkan sesuatu yang sangat berharga atau sangat bernilai, sementara wingko melambangkan sesuatu yang tidak bernilai sehingga sering dipandang

118 Para Cita

Page 29: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

lumpur pedalaman kampung. Dan, yang membuat dada bunda semakin bergemuruh adalah saat-saat Pak Sunyoto memanjatkan doa sembari me-niup tangan, untuk kemudian mengusapkannya pada ubun-ubun bunda berikut kedua temannya. Bunda merasakan, betapa doa itu telah membuat-nya serasa begitu dekat dengan harapan-harapan di masa depan, merasa begitu dekat dengan Pak Sunyoto dengan hatinya yang tulus, juga merasa begitu dekat dengan Gusti Pangeran Ingkan Murbeng Dumadi, Allah SWT. Rasa haru itu pulalah yang telah membuat air mata bunda berlinang. Bunda melirik Suprih yang duduk di sampingnya, tampak tangannya mengusap-usap kedua matanya yang basah. Sementara Kusen justru menampakkan wajah yang berbinar, seolah mengekspresikan rasa optimis dalam menyongsong masa depan.

Jalan tikus itu penuh dengan semak-semak yang merimbuni lahan tegalan yang menghampar pada sisi kiri dan kanannya. Jika bunda memilih jalan lurus dan sedikit menanjak, maka barang satu kilo meter lagi akan sampai di rumah. Tetapi, sebagaimana biasanya, bunda enggan melakukan-nya. Bunda selalu memilih untuk mengambil kelokan mendatar ke arah kanan. Sekitar empat ratus meter dari situ Bunda akan segera bertemu dengan embah kakung dan embah putri yang masih sibuk di tegalan, menyiangi rumput-rumput liar agar segala rupa tanaman seperti telo, gude, uwi, suweg, tales, gembili, enthik, gadung, dan sejenisnya semakin terjamin per-tumbuhannya. Tidak hanya itu, biasanya embah kakung masih menyempat-kan memanjat pohon Aren, memeriksa bumbung-bumbung yang dipasang pada pucuk-pucuk manggar10 yang telah dipotong. Bumbung-bumbung itu akan dipungut jika dirasa cukup terisi oleh air nira, bahan baku untuk membuat gula aren yang manis itu.

Kesibukan embah kakung dan embah putri seperti itu nyaris berlangsung dari pukul delapan pagi sampai pukul empat sore. Itulah sebabnya bunda enggan untuk langsung pulang ke rumah setelah jam belajar di sekolah usai. Bunda selalu menyusul ke tegalan, mencari embah putri yang jarang tersenyum itu. (Perihal embah putri yang jarang tersenyum, mungkin karena embah putri lebih menginginkan agar bunda segera pulang untuk mem-bantu adiknya, Komsatun, menjaga adik-adiknya yang lain. Tetapi tampak-nya embah putri bisa memahami alasan bunda, bahwa jika di rumah bunda tidak bisa mengulang pelajaran dengan konsentrasi yang memadai. Di tegalan itu pula bunda telah menemukan tempat favorit untuk belajar, yakni berupa sebongkah batu besar, tepatnya berada di bawah naungan pohon manggis yang rimbun).

sepele. Pada umumnya masyarakat Jawa memandang anak-anak mereka sebagai kencono wingko, dalam pengertian, seburuk dan serendah apapun sang anak, tetap saja akan dipandang sebagai sesuatu yang sangat bernilai dan bahkan tak ternilai harganya bagi orang tuanya.

10Manggar adalah istilah Jawa untuk menyebut bunga kelapa yang mulai mekar.

Pada Langit Cinta 119

Page 30: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

Meski bunda nyaris tak pernah menemukan senyum embah putri, bunda selalu merasa seperti menemukan kelegaan tersendiri manakala bertemu dengan embah putri. Bertemu embah putri yang selalu sibuk dengan rumput-rumput ilalang itu, selalu terasa seperti menemukan jawaban atas kelengangan hatinya. Pernah suatu ketika, bunda mencoba mengambil jalan lurus yang menanjak itu dan langsung pulang ke rumah. Namun yang bunda dapatkan di rumah adalah sebuah perasaan asing. Suara cenggeret11 yang bersahutan dari pepohonan seperti berubah menjadi kekuatan dahsyat yang melemparkan seisi rumah ke lembah yang gelap dan lengang, dan bunda merasa sangat tersiksa karenanya.

Bunda pernah mencoba mengusir rasa aneh seperti itu dengan mem-baca buku keras-keras, menyanyikan lagu-lagu dolanan bersama adik-adik-nya, atau mencoba melakukan beberapa pekerjaan kecil, menata kayu bakar di samping pawon misalnya. Tetapi seluruh yang dilakukan seperti berakhir dengan sia-sia. Bunda merasa kehilangan begitu banyak waktu untuk mengulang pelajaran dari sekolah. Sesore itu bunda menangis sese-nggukan oleh terkaman kelengangan dan perasaan sia-sia. Itulah sebabnya, bagi bunda, betapa berartinya menyusul embah kakung dan embah putri di tegalan sepulang sekolah, meskipun jarang sekali Bunda mendapatkan senyum.

*** Sore itu, seperti halnya sore-sore sebelumnya, bunda, embah kakung,

dan embah putri, bergegas pulang ke rumah. Embah kakung memikul delapan bumbung nira yang siap diolah menjadi legen dan gula aren. Sementara embah putri menggendong sak senik enthik, satu bakul talas, satu dari sekian banyak jenis umbi-umbian yang tersedia secara alami sebagai bahan kuda-pan bagi warga Dusun Gowok. Mereka bergegas pulang untuk mengejar waktu shalat ashar.

Memang, pada umumnya masyarakat Dusun Gowok menghabiskan seluruh waktu siangnya di sawah atau ladang. Biasanya mereka menunai-kan shalat dzuhur di gubuk-gubuk yang memang sengaja dibangun untuk

11Cenggeret adalah istilah lain dari tonggeret, yakni sebutan untuk segala jenis serangga anggota

ordo Cicadomorpha dan ordo Hemiptera. Istilah lain dari tonggeret adalah gareng pung. Serangga jenis ini biasanya hingga di pepohonan dan mengeluarkan suara yang sangat nyaring yang biasanya terjadi pada akhir musim penghujan. Pada awal musim hujan, tonggeret akan keluar dari bawah permukaan tanah untuk melakukan ritual musim kawin. Setelah kawin, tonggeret betina akan meletakkan telur di tanah untuk kemudian mati. Tonggeret memiliki fase metamorfosa yang menakjubkan, karena selama 17 tahun hidup dalam fase larva, sebelum akhirnya dalam 3 hari menjadi serangga dewasa untuk mema -suki fase repoduksi. Beberapa minggu setelah perkawinan tonggeret akan mati. Serangga ini mempunyai sepasang mata faset yang letaknya terpisah jauh di kepalanya dan biasanya juga memiliki sayap yang tembus pandang. Bentuknya kadang-kadang seperti lalat yang besar, meskipun ada tonggeret yang ber-ukuran kecil. Tonggeret hidup di daerah beriklim sedang hingga tropis dan sangat mudah dikenali di antara serangga lainnya, terutama karena tubuhnya yang besar dan akustik luar biasa yang dihasilkan dari alat penghasil suara di bawah sayapnya. (Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Tonggeret. Tersedia: rabu, 23-11-2016)

120 Para Cita

Page 31: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

maksud seperti itu. Tentu gubuk-gubuk itu juga sangat berguna untuk rehat setelah bermandi peluh karena olah tani yang mereka lakukan sekali-gus untuk melepas rasa lapar dan dahaga dengan bekal makanan dan minuman yang telah mereka siapkan.

Sekitar jam empat sore, ketika kelelahan mereka sudah sampai pada puncaknya, mereka bergegas pulang untuk mandi, shalat ashar, dan makan sore. Pada umumnya mereka, para petani itu, tidak mengenal tradisi makan malam. Bukan berarti makan malam merupakan suatu hal yang tabu bagi mereka, sebab, ada kalanya mereka menyempatkan makan tam-bahan pada waktu malam yang dikenal dengan istilah menthong. Bagi yang tidak menthong tentu ada pilihan lain yang tidak kalah menarik, yakni menyantap umbi-umbian yang dikukus sambil menyeruput kopi kental pahit yang dipadu dengan sepotong gula aren. Bagi kaum lelaki, baik yang tua ataupun yang muda, tidak jarang juga anak-anak, akan melengkapi acara kudapan tersebut dengan klecas-klecis menyedot dan menghembuskan asap rokok klobot yang dilinting dhewe alias dibuat sendiri dengan cara meng-gulung tembakau dan cengkih dengan klobot yang selalu tersedia. Barang-kali, saat-saat seperti itulah yang dianggap sebagai saat yang paling mem-bahagiakan bagi para petani di Dusun Gowok. Dan, dalam suasana hati yang longgar seperti itulah bunda memberanikan diri untuk menyampai-kan hasil pembicaraan dengan Pak Guru Sunyoto di sekolah.

Bunda menarik napas secukupnya untuk menjinakkan hatinya yang mulai berdebar. Rangkaian kata yang sudah dipersiapkan seolah lepas satu demi satu dari kepala. Entah kenapa, selalu saja ada yang terasa sulit jika bunda akan memulai pembicaraan dengan embah kakung. Tetapi sesulit apapun, tak ada pilihan buat bunda selain menyampaikan apa yang harus disampaikan. Maka, dengan nada yang lirih, bunda mencoba merangkai kalimat penting yang, rasanya, tidak bisa dibilang pendek. Sengaja bunda melakukan itu dengan harapan agar dapat memberikan gambaran yang semasuk akal mungkin sehingga embah kakung bisa legowo terhadap apa yang akan bunda sampaikan.

Pertama, bunda menceritakan sesuatu yang, bunda kira, akan mem-buat embah kakung dan embah putri bangga, yakni tentang pujian dan penghargaan yang diberikan oleh Pak Sunyoto kepada bunda atas predikat sebagai lulusan terbaik di sekolah. Dan, perkiraan seperti itu memang terbukti benar, meski embah kakung dan embah putri tidak tersenyum, tetapi bunda menyaksikan sorot mata keduanya yang berbinar. Embah kakung menatap bunda agak lama, sedangkan embah putri, di luar perkiraan sebe-lumnya, memeluk bunda sambil mengusap air mata tipisnya. Ketika bunda berusaha menatap wajah embah putri, tidak ditemukan rona kesedihan, bahkan bunda berhasil menangkap wajah embah putri yang nyaris

Pada Langit Cinta 121

Page 32: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

tersenyum. Oi, alangkah istimewanya rasa bahagia bunda malam itu. Embah kakung, embah putri, dan bunda tidak melewatkan rasa bahagia seperti itu begitu saja. Embah kakung segera menyeruput kopi pahitnya disusul dengan gigitan gula aren yang manis. Embah putri kembali menoleh kepada bunda, kali ini lengkap dengan senyumnya.

Pada saat seperti itulah bunda berusaha menyampaikan hal kedua yang, karena dianggap begitu pentingnya, sehingga menjadikan penuturan bunda yang terbata-bata. Bahwa bersama kedua temannya, Kusen dan Suprih, bunda bermaksud meneruskan sekolah ke es-ge-a. Bunda juga menyampaikan bahwa Pak Sunyoto sendiri yang akan mencarikan sekolah yang baik, mendaftarkan, dan sekaligus mencarikan pemondokan bila-mana diperlukan nanti. Sampai di sini bunda sempat menyaksikan wajah embah putri yang sumringah, senyumnya lebih lebar dari sebelumnya. Tetapi senyum embah putri yang amat jarang itu tak bertahan lama. Tanpa diduga sama sekali, embah kakung naik pitam oleh penuturan bunda yang dianggap lancang.

“Opo, Nduk?! Kowe arek neruske sekolah menyang es-ge-a?! Kamu pikir kamu itu siapa!? Kamu pikir sekolah itu gratis apa, ha?! Ora! Ora keno!!! Aku ra bakal ngidini, Nduk. Dikoyo ngopo wae cah wedok tetep cah wedok. Sekolah Rakyat limang tahun wis cukup kanggo cah wedok, Nduk! Mau mencari apa lagi kamu. Ingin menjadi apa memangnya kamu, ha?!‖

Penolakan embah kakung dengan tekanan emosi yang tinggi itu mem-buat dada bunda serasa bagai dihantam alu.12 Bunda merasa seperti sulit bernapas. Ada sesuatu yang tersekat dan menyesakkan dada. Impian yang telah lama bunda gantungkan jauh di atas bintang itu kini hancur tak ter-bilang. Bunda hanya bisa menundukkan kepala dalam-dalam. Ingin rasa-nya bunda menahan air mata, namun apa hendak dikata, air mata itu terlalu sulit untuk dibendung. Meski telah berkali-kali punggung tangan bunda mengusap, tetapi derainya tak kunjung berhenti.

Bunda begitu mengenal embah kakung, meski tak kurang sebagai petani desa yang baik, taat beribadah, dan yang jelas sangat sayang pada anak-anaknya, tetapi kalau sudah berkata tidak itu sama artinya dengan tidak sama sekali. Tak pernah menyisakan kompromi. Sorot dimar yang berkelebatan oleh angin yang bertiup melalui celah-celah gedhek, seolah menampilkan jiwa bunda yang terombang-ambing. Terbayang olehnya wajah Pak Sunyoto yang tulus, yang tiada hentinya berusaha membangun-kan kesadaran akan pentingnya sekolah. Terbayang olehnya wajah Kusen yang cerah dan optimis, juga wajah Suprih yang kesederhanaannya menge-

12Alu atau antan merupakan alat pendamping lesung atau lumpang dalam proses pemisahan sekam dari beras. Biasanya alu dibuat dari kayu. Bentuk alu memanjang seperti tabung dengan diameter sekitar 7 cm. Alu digunakan sebagai penumbuk gabah, sehingga beras terpisah dari sekam secara mekanik.

122 Para Cita

Page 33: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

sankan ketekunan dan keuletan. Bunda tidak sampai hati jika kedua sahabatnya, Kusen dan Suprih, memiliki nasib seperti yang dialaminya. Dalam kepedihan yang sangat itu bunda hanya bisa menggumamkan sepotong doa, kiranya semangat kedua sahabatnya untuk meneruskan sekolah akan menemukan jalannya. Bunda merasa semakin sedih ketika mengingat Pak Sunyoto, lengkap dengan berbagai dorongan yang di-berikan untuk melanjutkan sekolah, dan mengejar cita-cita yang tergan-tung di langit tertinggi. Dan, kesedihan bunda semakin tak terkira mana-kala mendapati cita-citanya yang menggantung, dan hanya menggantung, di langit yang tinggi.

*** Pada malam yang pekat itu, Tama hanyut oleh semilir angin, seolah

terbuai oleh kisah bunda tentang cita-cita yang kandas dan layu sebelum berkembang. Maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai. Dibayangkan wajah bunda yang pendiam itu, seolah menyembunyikan pengalaman hidupnya yang kelam. Nalurinya segera menuntunnya untuk melafalkan ummul kitab Al-Fatihah untuk bunda yang terpaksa harus mem-biarkan cita-citanya tetap menggantung di sela-sela bintang di langit. Nyaris tanpa disadari, tangan kanannya sibuk mengusap-usap kedua matanya yang hangat dan basah. Masih sambil membisikkan Al-Fatihah, dan sambil terus-menerus menatap langit malam di Kota Singaraja yang masih pekat, kendatipun sudah mulai tampak satu dua bintang yang berkedip. Angan Tama masih penuh oleh kisah tentang cita-cita bunda yang menggantung dan belum tergapai di atas sana, di langit yang tinggi. Begitu tinggi.

Sesekali dia berusaha menarik napas panjang sambil menyebut-sebut nama bunda. Entah untuk kali yang ke berapa. Dan, malam itu, ada janji yang terpatri dalam diri dengan segenap kesadarannya, untuk mengejar dan meraih cita-cita yang setinggi-tingginya, demi bunda. Meskipun dia tahu betul bahwa daya dan upaya yang dimiliki begitu ringkih. Sejujurnya dia belum terlalu paham seperti apa daya dan upaya yang harus dilalukan sehubungan dengan kapasitasnya sebagai mahasiswa kelak.

Begitu besar harapannya untuk dapat meraih cita-cita. Dia tahu, cita-citanya bukanlah sembarang cita-cita. Cita-citanya adalah cita-cita yang dibangun di atas kepingan-kepingan cita-cita bunda. Cita-citanya adalah cita-cita yang begitu agung. Cita-cita di atas cita-cita. Dan, dia menamai semua itu dengan istilah paracita. Ya, paracita. Sementara, pada saat yang sama, kisah tentang kegagalan bunda kembali menyeruak. Kemiskinan, kekurangan, dan keterbatasan terlalu sering menohoknya tanpa ampun hingga sering membuat dirinya merasa lunglai dan terhuyung di ruang-ruang yang sempit.

Dia masih menekuri malam. Merenungkan keberadaannya di tengah-tengah Kota Singaraja, merenungkan kapasitasnya sebagai mahasiswa baru,

Pada Langit Cinta 123

Page 34: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

membayangkan kegiatan kampus yang bakal ditempuh, membayangkan dana yang mestinya tersedia. Ah, selalu saja dia merasa begitu kecil. Mem-bayangkan semuanya, justru menjadikannya serasa tiada.

Sekali lagi dia menarik napas panjang, disimpan dan ditahan bebe-rapa saat di dalam perut, lalu dihembuskan perlahan melalui mulut sambil menyebut asma Allah berkali-kali. Segera setelah itu dia tampak bergegas bangkit dan melangkah menuju sumur, mengambil air wudlu, lalu melang-kah menuju mushalla. Ingin rasanya dia segera memunajatkan segala cita-cita yang telah dirangkai sebegitu agung ke hadirat Allah. Ingin rasanya dia menghadap dan memohon ridlo-Nya dengan sepenuh harap. Wahai Allah Yang Mahatinggi. Wahai Allah Yang Mahatahu. Wahai Allah Yang Maha-melihat. Wahai Allah Yang Mahamendengar. Wahai Allah Yang Maha-penyantun. Lihatlah di sini, aku, dan segala cita-citaku… bisiknya berulang kali, seolah Tuhan terasa begitu dekat. Begitu dekat.

***

124 Para Cita

137

Page 35: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

26

NYAMA SELAM

Rabu, Medio Maret 1994. Aula kampus penuh sesak. Nyaris seluruh mahasiswa

semester tujuh, dari seluruh prodi, sedang menerima pembekalan ka-ka-en, kuliah kerja nyata. Kegiatan yang dimaksud-kan agar setiap peserta ka-ka-en memiliki kesiapan dan

kesanggupan untuk melaksanakan kuliah kerja nyata – dengan mengacu pada tri dharma per-guruan tinggi — tersebut ternyata tidak berjalan seperti yang diharapkan karena beberapa faktor sebagai berikut.

Pertama, peserta ka-ka-en periode Maret 1994 memang sangat banyak, nyaris seluruh mahasiswa semester tujuh dari seluruh prodi, yang tidak kurang dari tiga ratus mahasiswa itu. Jika ada sekian banyak orang ber-kumpul pada tempat, waktu, dan tujuan yang sama, maka bisa dibayang-kan satu sama lain berusaha untuk saling mencari tahu tentang ini dan itu di seputar ka-ka-en. Di mana tempat ka-ka-en-nya? Siapa saja rombongannya? Seperti apa karakteristik daerahnya? Bagaimana dengan karakteristik masya-rakatnya? Apa saja yang akan dilakukan di sana? Apakah ada sponsor yang akan mendukung kekegiatan ka-ka-en nanti? Bagaimana bisa berkoordinasi dengan peserta ka-ka-en yang berasal dari fakultas lain? Dan, masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang tak henti-hentinya ditanyakan satu sama lain sehingga menimbulkan suasana menggeremang yang nyaris mustahil dapat diken-dalikan.

Kedua, dari seluruh nara sumber yang hadir, nyaris tak satupun yang berhasil mengendalikan suasana. Untungnya, masing-masing nara sumber tampaknya telah memiliki kesadaran yang sangat tinggi untuk merelakan penjelasan-perjelasannya lenyap ditelan oleh geremangan seisi ruang.

―Kamu dapat dimana, Tama?‖ ―Di Abuan, Bangli. Dayu di mana?‖ ―Banjar,‖ Dayu Tika memperlihatkan daftar rombongan ka-ka-en yang

tertera pada lampiran buku pedoman ka-ka-en yang dipegang: ―Lihat, Tama! Selain dari ef-ka-i-pe, ada juga dari hukum, pertanian, ekonomi, fisip, seni rupa dan desain, dan peternakan. Semua ada 16 orang. Aduh! Gimana nanti ya?‖ keluh Dayu Tika seperti berkecil hati ketika harus bersamaan dengan sekian mahasiswa dari berbagai fakultas di lingkungan Universitas Udayana.

―Nyantai saja, Dayu,‖ kata Tama sambil memperhatikan wajah Dayu Tika yang pias: ―Saat ini mereka semua juga sedang menerima pembekalan

Pada Langit Cinta 311

Page 36: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

di Kampus Denpasar. Saya yakin, mereka juga memiliki problem yang sama, yakni sama-sama memikirkan seperti apa daerah tujuan ka-ka-en, program apa saja yang akan dilakukan, siapa-siapa saja teman-teman rom-bongannya, dan seterusnya. Sama, Dayu.‖

―Tapi apa yang harus kita lakukan, Tama? Mereka ‗kan dari fakultas-fakultas umum, sedangkan kita dari fakultas keguruan dan ilmu pen-didikan? Jangan-jangan mereka...‖

―Dayu,‖ potong Tama sambil tersenyum: ―Sudah nyantai saja. Program kerja ka-ka-en memang ditekankan pada kegiatan pengabdian kepada masyarakat. Tetapi, sesuai dengan tri dharma perguruan tinggi, program kerja kita harus dilengkapi dengan komponen pendidikan dan pem-belajaran serta komponen penelitian. Anggota rombongan yang berfariasi dari berbagai fakultas, saya kira memang disengaja agar mereka bisa saling berkolaborasi, sehingga program kerja ka-ka-en bersifat terpadu dan menyentuh masalah-masalah dalam kehidupan masyarakat secara kongkrit.

―Misalnya. Kita yang dari ef-ka-i-pe, akan lebih relevan jika membuat program kerja di sekitar pendidikan dan pembelajaran di sekolah, meng-inisiasi program pemberantasan buta huruf, melakukan program pember-dayaan masyarakat, dan sejenisnya. Teman yang berasal dari fakultas per-tanian, mungkin akan lebih relevan jika membuat kegiatan penyuluhan pertanian, pembinaan kegiatan pertanian, termasuk pendampingan-pen-dampingan jika diperlukan. Teman yang berasal dari fakultas hukum akan lebih relevan membuat program kerja di sekitar pembinaan kesadaran hukum, dan seterusnya. Jadi intinya, Dayu, kita buat program sesuai dengan kompetensi kita, untuk kemudian program tersebut kita koor-dinasikan secara tim. Nanti ‗kan ada koordinator yang dipilih di lapangan,‖ jelas Tama sambil memperhatikan wajah Dayu Tika yang semakin cerah.

―Jadi kita buat program pendidikan dan pembelajaran di sekolah-sekolah atau membuka kursus baca tulis, seperti itu ya, Tama.‖

―Persis. Kira-kira seperti itulah. Hanya kita harus koordinasi sebaik-baiknya dengan teman satu tim kita, sehingga program kita benar-benar berbasis pada masalah nyata yang ada di tengah-tengah masyatakat. Itu yang pertama. Yang kedua, program kita dan program-program tim kita secara keseluruhan, merupakan program yang utuh dan terpadu, sehingga masyarakat akan merasakan, kalau perlu merindukan, kehadiran kita di sana.‖

―Kenapa kita tidak satu kelompok saja ya, Tama?‖ sahut Dayu sambil tersenyum.

―Bisa. Bisa saja, Dayu,‖ seloroh Tama juga sambil tersenyum. ―Masa? Saya bisa gabung dengan kelompokmu, Tama?‖ sahut Dayu

antusias.

312 Nyama Selam

Page 37: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

―Bisa. Maksudnya bisa dimarahi oleh penanggung jawab. Bisa ditolak seketika. Bisa kec...‖

―Iiih, Tama! Ada-ada saja!‖ sergah Dayu Tika sambil meninju bahu Tama yang disambut dengan tawanya yang terkekeh-kekeh.

Demikianlah. Kegiatan pembekalan itu benar-benar tak kurang dari sebuah arena tempat sekian ratus orang yang saling menggeremang. Tahu-tahu pembekalan ka-ka-en itu selesai dan acara ditutup dengan salam damai: “Om, santi, santi, santi. Om...” Para calon peserta ka-ka-en pun segera berhamburan keluar melalui pintu-pintu yang sama, mengingatkan pada laron-laron yang berebut liang pada musim penghujan.

*** ―Permisi, Pak! Selamat siang! Saya Widyatama dari Universitas

Udayana, mendapat tugas ka-ka-en di desa ini. Maaf, apakah benar ini Desa Abuan, Pak?‖ tanya Tama pada seorang perangkat desa yang kebetulan sedang melangkah keluar kantor.

―Oiya? Ka-ka-en? Universitas Udayana?‖ perangkat desa itu seperti tengah bertanya pada dirinya sendiri: ―Sebentar, Dik. Tolong tunggu sebentar ya,‖ lanjut sang perangkat desa sambil memutar dan bergegas memasuki kantor.

Sejurus kemudian perangkat desa tersebut keluar bersama seseorang dengan seragam yang sama, tetapi emblem yang dipasang pada bagian atas saku bajunya cukup menjelaskan bahwa seorang yang bernama I Made Sukendra tersebut berstatus sebagai Kepala Desa Abuan.

―Selamat siang, Pak! Saya Widyatama, salah satu peserta ka-ka-en dari Universitas Udayana yang ditugaskan di desa ini,‖ dengan ramah Tama memperkenalkan diri.

―Selamat, siang. Saya Made, Kepala Desa Abuan ini. Ini Pak Ketut Rugeg, Sekretaris Desa Abuan,‖ pandang mata Pak Made mengarah pada Pak Ketut: ―Silahkan dilanjut, Pak Ketut! Tolong sekalian cari informasi di kecamatan, perihal kegiatan ka-ka-en di desa kita!‖

―Baik, Pak,‖ jawab Pak Ketut sambil membungkuk hormat untuk kemudian pergi dengan motor bebeknya.

―Oiya, siapa tadi namanya, Dik?‖ tanya Pak Made setelah Pak Ketut lenyap di balik pagar desa.

―Tama, Pak. Widyatama.‖ ―Ya, ya. Semester berapa sekarang?‖ ―Semester delapan, Pak‖ jawab Tama: ―Secara teori mahasiswa semes-

ter delapan sudah menuntaskan seluruh perkuliahan yang bersifat teoritis. Tinggal ka-ka-en dan skripsi saja, Pak.‖

―Ya, ya. Dik Tama, sambil menunggu teman-teman ka-ka-en lainnya, mari kita lanjutkan pembicaraan di dalam saja. Mari!‖ ajak Pak Made sam-bil mulai melangkah: ―Oiya, Dik Tama aslinya dari mana?‖

Pada Langit Cinta 313

Page 38: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

―Saya dari Ngawi, Pak. Jawa Timur.‖ ―Oiya! Naik apa tadi ke sini?‖ ―Angkutan umum, Pak. Dari Singaraja pakai bis tujuan Bangli, lalu

nyambung angkutan desa dan ojek hingga sampai di sini.‖ ―Jauh ya? Silahkan! Silahkan duduk dulu, Dik!‖ Pak Made mem-

persilahkan Tama untuk duduk di kursi tamu, selanjutnya beliau tampak mendekati seorang perangkat desa yang sedang sibuk mempelajari berkas, berbisik-bisik untuk beberapa saat, kemudian lawan bicaranya pergi me-ninggalkan tempat.

―Kebetulan belum ada informasi tentang ka-ka-en di desa kami. Biasa-nya kalau memang ada ka-ka-en pasti ada surat tembusan sehingga kami bisa melakukan persiapan sebelumnya. Tetapi barangkali suratnya terlam-bat atau masih ada di kantor kecamatan. Jadi sebaiknya kita tunggu saja kedatangan Pak Sekdes. Tadi beliau saya minta mencari informasi tentang ka-ka-en ke kantor kecamatan. Ngomong-ngomong sejak tahun berapa adik kuliah di Udayana?‖ tanya Pak Kepala Desa dengan ramah.

―Sejak tahun 1990, Pak. Jadi sekarang merupakan tahun keempat saya di Bali.‖

―Bagaimana? Adik betah tinggal di Bali?‖ ―Alhamdulillah, Pak. Bali sudah saya anggap seperti rumah sendiri.

Teman-teman di sini ramah-ramah, seperti layaknya saudara sendiri.‖ ―Syukurlah kalau begitu. Memang di mana-mana itu tergantung

bagaimana sikap dan pembawaan kita, Dik. Kalau kita bersikap baik, ramah, dan sopan, pasti kita akan diterima dengan baik. Sebaliknya kalau,‖ pembicaraan Pak Kepala Desa terhenti sejenak oleh datangnya seseorang yang membawa dua gelas teh hangat, lengkap dengan piring-piring berisi kue-kue khas Bali: ―Nah, ini, sekedar untuk penghilang haus saja. Adik pasti lelah dan haus setelah perjalanan dari Singaraja. Ayo, silahkan di-minum tehnya, Dik!‖ ajak Pak Kepala Desa sambil memulai minum teh dilanjutkan dengan menikmati kue yang tersedia.

Tama mengikuti dengan senang hati. Tenggorokannya memang nyaris kering setelah perjalanan jauh. Sementara, perutnya pun mulai keron-congan. Tanpa basa-basi dia pun menikmati beberapa potong kue yang tersedia. Keramahan yang ditunjukkan oleh Pak Kepala Desa menjadikan pembicaraan itu berlangsung secara hangat, seperti layaknya dua orang yang telah saling kenal sejak lama.

―Nah, itu, Pak Sekdes datang,‖ pandangan matanya menuju Pak Sekretaris Desa yang baru saja memasuki ruangan kantor: ―Bagaimana, Tut? Apakah memang ada ka-ka-en di desa kita?‖

―Perihal ka-ka-en saya sudah menanyakan di kantor kecamatan, bahkan saya juga diperlihatkan data tentang desa-desa yang menjadi sasaran ka-ka-en dari Universitas Udayana,‖ Pak Sekdes memulai penjelasannya.

314 Nyama Selam

Page 39: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

―Terus bagaimana informasinya?‖ potong Pak Kepala Desa. ―Memang ada program ka-ka-en di Desa Abuan, tapi yang di

Kecamatan Kintamani, bukan Kecamatan Susut, Pak Made,‖ jelas Pak Sekretaris Desa sambil mengarahkan pandangan menuju Tama. Rona mukanya mengesankan simpati terhadap Tama yang diduga keras telah salah alamat itu.

―O,‖ seru Pak Kepala Desa seolah memperoleh jawaban atas rasa penasaran yang sedari tadi disimpan dalam hati: ―Saya kira adik ditem-patkan di Desa Abuan, Kecamatan Kintamani. Bukan di sini,‖ lanjut Pak Kepala Desa menyiratkan senyum tipis.

―Berarti saya tersesat ya, Pak, he.he.he.‖ timpal Tama tersenyum kecut.

―Tidak apa-apa, Dik. Gampang. Nanti saya antar ke sana. Tunggu di sini sebentar ya!‖ Pak Kepala Desa berdiri: ―Tapi silahkan diminum dulu tehnya, Dik. Kuenya juga. Ayo, silahkan! Tidak perlu sungkan-sungkan,‖ dengan ramah Pak Kepala Desa mempersilahkan Tama untuk menikmati hidangan, untuk kemudian pergi entah kemana.

―Apa tadi tidak bareng dengan rombongan dari kampus, Dik?‖ tanya Pak Sekdes memecah keheningan.

―Betul, Pak. Memang seharusnya kami berempat dari Singaraja. Tetapi karena kami sama-sama sibuk persiapan sehingga lupa tidak saling janjian. Sebenarnya pagi tadi saya sempat menunggu teman-teman di kampus. Setelah lebih dari satu jam akhirnya saya tahu bahwa saya ter-lambat. Teman-teman sudah pada berangkat pakai motor. Selanjutnya saya menyusul mereka pakai bis. E, rupanya malah salah alamat, Pak, he.he.he.‖ jawab Tama sambil menertawakan dirinya sendiri.

―Tidak apa-apa, Dik. Justru adik punya pengalaman berkunjung di Desa Abuan, Kecamatan Susut ini. Ya, ‗kan?‖ dengan ekspresi bersahabat, Pak Sekdes menghibur Tama.

―Terima kasih banyak atas kebaikan Bapak kepada saya. Memang saya telah tersesat di desa ini, tetapi saya beruntung dan bersyukur diterima dengan baik di kantor desa ini.‖

―Sama-sama, Dik. Bukannya tolong-menolong sudah menjadi ke-wajiban kita, Dik? Bagi kami orang Bali, ada keyakinan tentang tat-twan-asi, bahwa aku adalah kamu dan kamu adalah aku. Jika kita berbuat kebaikan kepada orang lain, pada dasarnya kita sedang berbuat kebaikan kepada diri sendiri. Sebaliknya, jika kita berbuat kejahatan kepada orang lain, akan sama artinya dengan berbuat kejahatan pada diri sendiri. Bukankah dalam agama Islam juga ada ajaran seperti itu, Dik?‖

―Betul, Pak. Sekecil apapun kebaikan yang kita lakukan, pasti akibat baiknya akan kita rasakan. Dan, sekecil apapun kejahatan yang kita

Pada Langit Cinta 315

Page 40: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

lakukan, pasti akibat buruknya juga akan kembali kepada kita. Kira-kira begitu, Pak.‖

―Be! Rupanya lagi berbincang hangat ini!‖ seru Pak Kepala Desa yang tampak menenteng dua helem: ―Mari, Dik. Saya antar ke sana.‖

Sungguh. Tama merasa sangat surprise terhadap sikap Pak Kepala Desa yang begitu baik.

―Apakah saya tidak merepotkan, Bapak? Biarlah saya naik ojek atau kendaraan umum saja, Pak,‖ kata Tama berbasa-basi.

―Be! Jangan, Dik! Jaraknya cukup jauh. Lagi pula tidak ada kendaraan umum pada siang hari seperti ini. Sudah menjadi kewajiban kami untuk mengantarkan adik sampai ke sana. Mari!‖ sahut Pak Kepala Desa sambil melangkah keluar menuju motornya yang diparkir nyaris di depan pintu kantor desa: ―Silahkan, Dik!‖ lanjutnya setelah mesin motor itu menderu.

Di sepanjang perjalanan perasaan Tama tak henti-hentinya menang-kap satu fakta tentang kebaikan Pak Made Sukendra. Seorang penganut Hindu-Bali yang tak hanya toleran, tetapi juga menyempurnakannya dengan luhurnya budi pekerti berupa saling tolong menolong. Kenyataan yang membuatnya berpikir tentang akhlakul karimah, akhlak mulia, sebagai-mana yang dicontohkan oleh Baginda Rasulullah SAW, bahwa umat manusia hendaknya selalu berbuat baik kepada sesama, hablum minannas.

―Kita istirahat dulu, Dik,‖ kata Pak Made sambil menghentikan laju sepeda motornya tepat di depan sebuah warung makan: ―Mari,‖ ajaknya sambil melangkah menuju warung.

Tidak seperti di Singaraja, menjelang sore, suhu udara di tempat pemberhentian itu terasa sangat dingin. Tama mengikuti langkah Pak Made memasuki warung. Ketika dia mendengar Pak Made memesan dua porsi ayam betuhu dan dua mangkok sup buah, Tama segera berkata: ―Maaf, Pak Made. Sekali lagi maaf. Kebetulan saya belum lapar. Di kantor tadi saya sudah banyak makan kue. Saya kira nasinya cukup satu porsi saja untuk Pak Made. Saya cukup sup buah saja.‖

―Lho, kenapa, Dik? Mari makan sama saya! Adik ‗kan masih sangat muda, masih perlu makan banyak he.he.he.‖ sahut Pak Made serius.

―Benar, Pak. Saya masih sangat kenyang he.he.he. Saya cukup dengan sup buah saja ya, Pak. Silahkan Pak Made makan,‖ pinta Tama sambil ter-senyum.

Tentu saja perut yang masih kenyang bukanlah alasan yang sebenar-nya. Alasan perut yang masih kenyang sengaja dipilih, selain agar tidak mengecewakan Pak Made, juga sebagai bentuk penghargaannya yang sangat terhadap segala budi baik Pak Made. Kalau boleh jujur, sesung-guhnya perutnya pun sudah mulai keroncongan. Tetapi, ketika terlihat beberapa ekor anjing dan satu dua ekor babi berkiaran di dapur, ingatannya mengelebat pada masalah cara penyembelihan sekaligus cara

316 Nyama Selam

Page 41: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

pengolahan ayam di warung ini. Sebagai seorang Muslim, sedapat mungkin dia akan berdisiplin dalam mengikuti ketentuan-ketentuan dalam agama-nya, termasuk perihal cara penyembelihan dan cara pengolahan ayam.

―Maaf, Pak Made. Danau yang di seberang itu, apakah itu Danau Batur? Betapa indah danau itu, Pak Made,‖ tanya Tama sambil menikmati danau nun jauh di seberang sana.

―Ya, betul. Itu Danau Batur. Kita sedang di Puncak Kintamani sekarang,‖ jawab Pak Made sambil menikmati nasi plus ayam betuhu-nya.

―Kalau Desa Trunyan di sebelah mana kira-kira posisinya, Pak?‖ ―Persis di pinggir danau. Adik belum pernah ke sana? Tu, perkam-

pungan kecil yang menempel di pinggir danau itu!‖ Pak Made meng-arahkan telunjuknya ke arah titik-titik berwarna merah kecokelatan di pinggir danau. Sementara, di sekitarnya terlihat pemandangan yang serba hijau bergradasi dengan warna biru kehitaman.

―Itulah Desa Trunyan. Kalau bisa, sebelum adik wisuda, adik harus pergi ke sana. Mumpung masih di Bali, Dik!‖ tambah Pak Made.

―InsyaAllah, Pak Made. Setelah ka-ka-en, atau kalau perlu selama ka-ka-en, saya harus menyempatkan untuk pergi ke sana, Pak. Sungguh, suatu pemandangan yang menakjubkan.‖

Selesai makan, Tama kembali dibonceng Pak Made, menyusuri jalanan yang terus-menerus menurun, hingga kemudian: ―Ini, Dik. Kita sudah sampai di Desa Abuan, Kecamatan Kintamani. Itu, teman ka-ka-en adik sudah mendapat pengarahan dari Bapak Kepala Desa. Silahkan adik bergabung. Semoga lancar dan sukses ya,‖ kata Pak Made tulus.

―Terima kasih banyak, Pak Made. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Kuasa membalas segala kebaikan Pak Made. Sekali lagi terima kasih,‖ Tama menyalami tangan Pak Made, untuk kemudian bergegas ber-gabung dengan teman-teman ka-ka-en-nya.

*** Awal Maret 2004, saat penanggal ping pisan sasih kedasa, yakni tanggal 1

bulan ke-10 tahun Saka, sebagaimana umat Hindu lainnya di Pulau Dewata, masyarakat Desa Abuan pun merayakan Nyepi. Sejak matahari terbit hingga matahari terbit keesokan harinya, situasi dan kondisi Desa Abuan benar-benar hening. Aktivitas duniawi seolah terhenti karena seluruh warga sedang menjalankan catur brata penyepian.

―Sebagai ritual keagamaan, sebenarnya rangkaian kegiatan perayaan Nyepi secara keseluruhan itu meliputi apa saja sih, Gus?‖ tanya Tama kepada Ida Bagus Dharma Putra, salah seorang rekan ka-ka-en-nya dari ef-es-er-de itu.

―Begini, Tama. Bagi umat Hindu, perayaan Nyepi mengandung makna yang sangat dalam. Pada dasarnya, seluruh rangkaian Nyepi merupakan sebuah dialog spiritual guna mewujudkan kehidupan yang

Pada Langit Cinta 317

Page 42: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

harmonis, penuh dengan ketenangan dan kedamaian. Adapun rangkaian perayaan Nyepi secara berturut-turut meliputi Melasti, Tawur, Catur Berata Penyepian, dan Ngembak Geni.‖

―Maaf, Gus. Tolong ulangi, apa saja kegiatannya tadi?‖ pinta Tama mengingat istilah-istilah yang yang disampaikan oleh Gus Tung, begitu sapaan akrab Ida Bagus Dharma Putera, yang belum familier bagi telinga-nya.

“Melasti, Tawur, Catur Berata Penyepian, dan Ngembak Geni,‖ ulang Gus Tung sambil tersenyum.

―Boleh dijelaskan satu persatu, Gus?‖ ―Tentu saja boleh, Tama. Bahkan, menurut saya, saling berbagi

pengetahuan dan pengalaman spiritual merupakan suatu hal yang positif. Bukan begitu, Tama?‖

―Setuju, Gus,‖ Tama mengacungkan jempol sambil tersenyum yang dibalas dengan senyum pula.

―Nah, yang pertama,‖ Gus Tung berhenti sebentar, seolah sedang sibuk memilih kata yang tepat untuk memulai penjelasan: ―Sehari sebelum Nyepi, seperti yang Tama saksikan kemarin, kami umat Hindu melakukan Buta Yadnya di perempatan jalan dan di lingkungan rumah masing-masing, dengan mengambil salah satu dari jenis-jenis caru menurut kemampuan masing-masing. Buta Yadnya itu masing-masing bernama Pañca Sata (kecil), Pañca Sanak (sedang), dan Tawur Agung (besar). Pecaruan atau Tawur me-rupakan penyucian (pemarisuda) Buta Kala sehingga segala leteh (kotoran) diharapkan bisa sirna semuanya. Secara filosofi, Pecaruan atau Tawur bermakna mengembalikan sari-sari alam yang telah digunakan manusia. Agar terjadi keseimbangan maka sari-sari alam itu dikembalikan dengan upacara Pecaruan atau Tawur yang dipersembahkan kepada Buta Kala se-hingga tidak mengganggu manusia, melainkan bisa hidup secara harmonis.

―Setelah Tawur dilakukan upacara Pengerupukan, yaitu menyebar-nyebar nasi tawur, mengobor-obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesiu, serta memukul kentongan atau benda apa saja sehingga menimbulkan suasana yang ramai. Pada malam pengerupukan inilah Ogoh-ogoh, yang merupakan perwujudan dari Buta Kala, akan diarak keliling desa diiringi berbagai suara mulai dari kulkul, petasan, dan keplug-keplugan, yaitu sebuah bom khas Bali yang mengeluarkan suara keras dan menggelegar. Tujuannya sama, yaitu untuk mengusir Buta Kala dari lingkungan sekitar.

―Tahap selanjutnya adalah melasti, yaitu menghanyutkan segala leteh (kotoran) ke laut, serta menyucikan pretima. Upacara ini dilakukan di laut, karena laut dianggap sebagai sumber amerta. Selambat-lambatnya pada tilem sore, melasti harus selesai. Melasti, pada dasarnya merupakan rang-

318 Nyama Selam

Page 43: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

kaian upacara Nyepi yang bertujuan untuk membersihkan segala kotoran, baik yang bersifat jasmani maupun rohani. Seperti yang Tama lihat dan lakukan kemarin, biasanya pelaksanaan Melasti dilakukan dengan mem-bawa arca, pretima, dan barong yang merupakan simbolis untuk memuja manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang diarak oleh umat Hindu menuju laut atau sumber air guna memohon pembersihan dan tirta amertha.

―Nah, berikutnya adalah Nyepi itu sendiri, di mana umat Hindu melakukan Catur Brata Penyepian, yakni amati geni, amati lelanguan, amati karya, dan amati lelungan. Amati geni berarti tidak boleh menyalakan api atau tidak melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan api. Makna dari amati geni adalah mengendalikan sikap dan perilaku agar tidak di-pengaruhi oleh api amarah dan api serakah. Oleh karena itu, amati geni merupakan simbol pengendalian diri.

―Amati lelanguan, artinya tidak boleh bersenang-senang. Amati lelanguan dilakukan agar umat Hindu dapat mulat sarira atau nawas diri terhadap kegiatan yang berkaitan dengan wacika, yakni perkataan yang benar. Dalam hal ini umat Hindu diajarkan agar tetap melaksanakan tapa, brata, yoga, samadhi untuk mengadakan koreksi total pada diri sendiri, serta menilai pelaksanaan trikaya.‖

―Maaf, Gus. Trikaya itu sendiri apa maksudnya, Gus?‖ ―Trikaya itu, em, gimana ya? Em, bisa dikatakan trikaya merupakan

tiga dimensi kepribadian yang meliputi manacika atau pikiran, wacika atau perkataan, dan kayika atau perbuatan. Nah, ketiga hal itulah yang harus dikoreksi secara total, untuk kemudian merencanakan trikaya parisudha atau trikaya yang suci untuk masa-masa yang akan datang. Pada dasarnya, trikaya parisudha itulah yang akan menata sikap perilaku seseorang agar hidup ini aman dan bahagia.

―Amati karya, artinya tidak boleh bekerja, yang bermakna sebagai evaluasi diri dalam kaitan dengan kerja, yakni merenungkan apakah hasil kerja dalam setahun sebelumnya sudah bermanfaat bagi kehidupan manusia atau belum. Apakah aktivitas kerja tersebut sudah berlandaskan dharma atau sebaliknya. Bagi kami umat Hindu, pekerjaan yang baik dapat membuat manusia terhindar dari penderitaan. Selanjutnya, amati lelungan, yang berarti tidak boleh bepergian. Dalam konteks yang lebih luas, amati lelungan berarti evaluasi diri dan pengendalian diri.

―Selanjutnya, ngembak geni, yang merupakan akhir dari upacara Nyepi, bahwa tapa brata yang dilaksanakan selama 24 jam bisa diakhiri dan kembali beraktifitas seperti biasa. Ngembak geni dilaksanakan pada tanggal ping pisan sasih kedasa, yakni saat di mana tahun baru Saka dimulai. Pada saat ngembak geni, umat Hindu bersilaturahmi dengan keluarga besar dan

Pada Langit Cinta 319

Page 44: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

tetangga, saling maaf memaafkan satu sama lain. Pada dasarnya ngembak geni bermakna sebagai memulai kehidupan baru dengan hati putih bersih.―

*** Malam itu adalah malam yang bertepatan dengan penanggal ping pisan

sasih kedasa. Malam di mana umat Hindu tetap bertahan di kediaman untuk melakukan catur brata penyepian.

Suasana sungguh gulita. Rumah-rumah penduduk, pekarangan-pekarangan, jalan-jalan, banjar dan kantor desa, seolah berselimutkan gelap dan pekat. Gelap yang menyuguhkan sunyi dan senyap. Sementara, sunyi dan senyap itu, adalah kekuatan dahsyat yang menghadirkan hening. Dan, hening itu, adalah gerbang yang mengundang seisi alam untuk berdendang, melantunkan nyanyian-nyanyian sunyi. Jengkerik-jengkerik semakin nyaring mengerik. Belalang seperi tak pernah berhenti bersahut-sahutan. Kawanan kelelawar saling mengepak mencari mangsa. Anjing-anjing yang melolong di sana-sini. Juga, aneka satwa lain yang bertingkah seolah memperoleh kebebasan surga.

Maka, sunyi itu adalah sunyi yang syahdu. Sunyi yang menggerakkan setiap jiwa untuk berkelana menuju berbagai penjuru alam maya, menyu-supi relung-relung ruhani, menyeberangi titian tak terbatas, hingga nun jauh di ufuk sana.

Tama masih bersimpuh di atas sajadah merah yang digelar pada salah satu sudut ruang di Banjar Desa Abuan. Saat rekan-rekan ka-ka-en-nya sedang melaksanakan catur brata penyepian, dia pun khusyu‘ menunaikan shalat tarawih, seorang diri. Yah, Hari Raya Nyepi kali ini memang bertepatan dengan Bulan Suci Ramadhan. Tentu, sebagai seorang Muslim, dia akan melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Berpuasa selama se-bulan penuh, shalat tarawih di malam hari, juga membaca Al-Qur‘an ukuran kecil yang senantiasa disimpan di saku baju. Semua dilakukan sebegitu rupa sehingga tak seorang pun di antara rekan-rekannya yang merasa terganggu. Dia beribadah dalam sunyi, sebagaimana layaknya se-orang kelana sunyi. Pengalaman spiritualnya berkata, kesunyian adalah salah satu pembuka gerbang yang memungkinkannya untuk masuk dan berbicara dengan Tuhan Seru Sekalian Alam.

*** ―Baiklah kawan-kawan semua, saya pargi dulu ya. Tolong jaga baik-

baik markas kita,‖ pamit Tama setengah bercanda sambil menyalami segenap rekan ka-ka-en-nya satu demi satu.

―Gua juga mau lebaran, nih,‖ seloroh Iwan seolah mengikuti langkah Tama.

―Oke, Tama, Iwan. Selamat berlebaran deh. Maaf lahir dan batin ya,‖ sela Dayu Mirah sambil tersenyum.

320 Nyama Selam

Page 45: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

―Hei, belum saatnya maaf-maafan. Kan lebarannya masih beberapa hari lagi?‖ sergah Komang Suadnyana juga sambil tersenyum.

―Tidak apa-apa lagi. Saling memaafkan kan bisa dilakukan setiap saat. Bukan begitu, Tama?‖ Martin tak mau kalah. Nama lengkap mahasiswa fi-sip itu adalah I Made Martina Putra, namun lebih senang dengan dipanggil Martin saja.

―Betul. Maaf-memaafkan bisa dan perlu dilakukan kapan saja,‖ jawab Tama sambil tersenyum: “Thanks semuanya ya. Sampai ketemu besok lusa.‖

Tama bergegas meninggalkan rekan-rekannya, diikuti Iwan Riawan, salah satu rekan asal Lombok yang juga Muslim. Setelah melewati gerbang

Banjar Desa Abuan, keduanya bergegas melangkah ke kiri, ke arah barat, melalui jalan desa yang menghubungkan dengan Kecamatan Kintamani.

―Kalian berdua jadi ke Singaraja?‖ seseorang menyapa dari arah yang belum jelas. Tetapi Tama sungguh mengenali pemilik suara itu.

Benar saja. Setelah memutar badan Tama melihat Pak Bekel yang tampak tergopoh-gopoh keluar dari gerbang Banjar Desa Abuan untuk mendekatinya.

―Betul, Pak Bekel. Seperti yang kami sampaikan tadi malam. Saya mohon izin dalam tiga atau empat hari ini,‖ jawab Tama sambil menyalami tangan Pak Bekel yang ramah itu.

―Jadi kalian berdua mau berlebaran di Singaraja? Tidak pulang kam-pung menemui orang tua dan sanak famili?‖ tambah Pak Bekel antusias.

―Maunya sih begitu, Pak Bekel. Tetapi untuk pulang ke Ngawi atau Lombok perlu waktu yang lama, Pak. Kami harus fokus untuk menye-lesaikan ka-ka-en terlebih dahulu. Izin tiga atau empat hari sudah lebih dari cukup bagi kami, Pak Bekel. Terima kasih banyak atas perkenan dan izin yang Bapak berikan kepada kami berdua.‖

―Iya. Iya, Tama, Iwan. Kalau begitu saya mengucapkan selamat ber-lebaran dan hati-hati di jalan ya,‖ Pak Bekel seperti tak pernah berhenti tersenyum. Seri wajahnya mencerminkan ketulusan hati.

―Terima kasih banyak, Pak Bekel. Mari.‖ Kembali Tama dan Iwan melangkah ke arah barat. Sekitar satu kilo

meter ke depan ada pangkalan ojek yang biasa mengantar siapa saja yang bepergian ke Kintamani dan sekitarnya. Ke arah pangkalan ojek itulah langkah kaki mereka hendak menuju. Namun, sekonyong-konyong sebuah Honda Tiger anyar warna merah berjalan perlahan di samping kanannya.

―Hei, kalian mau naik apa sekarang?‖ ―Kamu, Tjok? Saya kira siapa. Mau naik ojek seperti biasa,‖ sahut

Iwan yang sering mendapat giliran belanja kebutuhan dapur ke Pasar Kintamani. Beberapa kali Iwan memang harus memesan ojek jika tak ada lagi motor yang tersisa di sekretariat.

Pada Langit Cinta 321

Page 46: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

―Ngapain naik ojek segala? Hayo naik!‖ pinta seseorang yang dipanggil Tjok itu layaknya seorang bos yang murah hati: ―Lagian aku juga ingin jalan-jalan ke Puncak. Refreshing he.he.he...‖

―Alhamdulillah... pucuk dipinta ulam tiba ha.ha.ha.‖ sahut Iwan sambil bergegas meletakkan pantatnya ke atas jok. Badannya yang mungil seolah tertutup oleh badan Tjok dan badan Tama yang mengapitnya di bagian depan dan belakang.

―Tama! Tolong rada mundur sedikit dong! Bisa sesak napas gua nih!‖ teriak Iwan sekedar menerbitkan suasana seru.

―Sudah biarin, Tama! Biar pingsan sekalian dia ha.ha.ha.‖ sahut Tjok bercanda.

Beberapa saat berikutnya Honda Tiger warna merah itu segera melaju dengan kecepatan di atas rata-rata.

―Wah, ini baru pembalap namanya. Hayo Tjok tancap teruusss!‖ seloroh Iwan samberi menyembunyikan kecemasannya yang tak terperikan.

―Ini dapat minjem dari adikku. Baru tiga bulan ini on the road dan untuk wilayah Kota Denpasar baru ada dua yang memiliki,‖ jelas Tjok sambil memacu motornya kencang-kencang.

Tjok, Tjokorda Agung Pemayun nama lengkapnya, adalah mahasiswa Fakultas Hukum yang sangat tajir. Anak seorang pengusaha sukses di Kota Denpasar itu amat rajin untuk urusan traktir-mentraktir, layaknya seorang bos yang murah hati. Jika keadaan memungkinkan, Tjok mengajak Tama dan Iwan untuk sekedar jalan-jalan melihat suasana Kota Denpasar dengan menggunakan mobil kesayangannya, Honda Cicic warna putih keluaran terbaru. Sesekali Tjok juga mengajak Tama dan Iwan untuk menyaksikan keindahan Puncak Kintamani atau menyewa perahu boot di Danau Batur. Sungguh seorang rekan ka-ka-en yang tajir.

―Oke, di sini saja ya, Tama, Iwan. Tuh, bis arah Kota Singaraja sudah menunggu,‖ Desa Abuan dan Kecamatan Kintamani yang berjarak sekitar tujuh kilometer itu terasa hanya sekejab. Mungkin karena laju motor yang terlalu cepat, mungkin karena Tama dan Iwan sibuk dengan kecemasan, sehingga perjalanan itu sendiri seperti tak berapa lamanya.

―Terima kasih banyak, Tjok. Eloh memang sahabat gua yang paling baik deh,‖ kata Iwan jujur meskipun rada lebay.

―Sudah sana! Nanti ketinggalan kereta baru tahu rasa kamu,‖ sahut Tjok sok dingin.

―Kereta? Bis!‖ seru Iwan nyaris bersamaan dengan Tama. ―Iya, iya. Kalian hati-hati, ya. Selamat berlebaran ya. Maaf lahir-batin!‖

pungkas Tjok kini diimbuhi dengan senyum sambil bergegas balik arah. ―Terima kasih banyak, Tjok!‖ teriak Tama dan Iwan bersamaan,

seolah tak mau kalah dengan deru mesin motor yang segera berlari. Dalam sekejab bayangan Tjok segera lenyap di balik tikungan dan turunan. Terima

322 Nyama Selam

Page 47: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

kasih, Tuhan. Kau Maha Baik dan selalu mengirimkan kebaikan tepat pada waktunya, batin Tama tiada henti.

*** ―Assalamu‘alaikum,‖ sapa Tama pada sesosok pemuda berambut

lurus, berkumis tipis, yang sedang termangu di sudut meja. Pandangan matanya menerawang jauh ke depan, rona wajahnya sungguh redup, seolah menegaskan suasana hatinya yang suntuk. Dialah Surip. Suripto Hadi, nama lengkapnya. Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris semester sepuluh yang baru mengambil ka-ka-en. Konon, tingkat kesulitan belajar bahasa dan sastra Inggris setara dengan kimia, fisika, dan matematika. Sama-sama bikin pusing, katanya.

―Wa‘alaikum salam. Hei, Tama, sore amat? Jam berapa dari sana?‖ jawabnya sambil menatap Tama dalam-dalam. Ada seri yang perlahan ter-pancar pada ekspresi wajahnya.

―Gimana nggak lama wong tiga kali ganti bis, Mas! Untung masih nyampai sini he.he.he.‖ sahut Tama seolah menertawakan nasib per-jalanannya yang bertele-tele.

“Oalah sakno temen, Nda-Nda. Yo wislah sing penting tekan kene,” Mas Surip sok bijak. Pakai menghibur segala.

―Lha, Mas Alit mana? Belum datang ya?‖ Tama menanyakan salah satu teman kosnya yang berperawakan kecil. Sama seperti Surip, Alit juga berasal dari Kediri, sama-sama ngambil Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris, sama-sama semester sepuluh, dan sama-sama baru ngambil ka-ka-en. Lebaran tahun ini, sama-sama tak bisa pulang kampung, melain-kan terperangkap dalam suasana kos yang kini terasa amat sangat sepi.

Dengan tekanan suara yang ditahan, plus jari telunjuk yang ditempel pada mulutnya, Mas Surip menjawab: ―Ssst! Jangan keras-keras. Dia ada di kamar. Wonge lagi mbrebes mili…‖

―Lho. Ada masalah apa?‖ Tama tak sabar. “Ssst! Jok seru-seru, Nda! Biasa, gak kuwat dek‟e. Pingin mulih. Nyusu

mbok‟e hi.hi.hi.” sahut Mas Surip tak sanggup menahan cekikikannya. Tentu lebih bermakna menertawakan dirinya sendiri daripada menertawa-kan Mas Alit. Sebab, rona wajah dan sorot matanya juga menyiratkan ke-rinduan yang tak terperikan. Tak berapa lama kemudian terdengar gerutu Mas Surip: “Oalah nasib, nasib. Assem tenan, Nda, Nda!”

Tama melangkah menuju kamarnya yang berada di ujung kiri dalam posisi menjorok ke dalam. Sebuah kamar kecil di Jalan Ahmad Yani No. 4 Singaraja yang dihuni sejak setahun yang lalu, yakni setelah kepindahan-nya dari Merak 9. Sebelum membuka pintu dia berhenti sejenak, meng-amati kamar demi kamar, semuanya tampak rapat terkunci. Para penghuni-nya sudah pada pulang kampung untuk berlebaran bersama keluarga tercinta. Di rumah induk, Pak Ketut dan segenap anggota keluarga

Pada Langit Cinta 323

Page 48: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

besarnya memilih untuk berlibur ke Desa Sangsit. Sebuah rumah besar yang disambung dengan deretan kamar-kamar kos, seolah hanya menyisa-kan nuansa sepi ketika ditinggalkan oleh para penghuninya. Tama segera merogoh anak kunci dari dalam tas, membuka pintu kamar, untuk kemudian memasuki atmosfir kamar yang kini terasa amat berbeda. Tiba-tiba dia merasakan kerinduan yang sangat, sementara kamarnya yang kecil tak mungkin sanggup memberikan penawarnya. Sebaliknya, kamar itu terasa layaknya sebuah sel dengan dirinya sendiri yang tersekap sebagai nara pidana.

Tama mengamati kasur di kamarnya yang tak bersprei. Tak tahan rasanya dia untuk tidak segera rebah di atasnya. Ingin rasanya dia segera dapat menetralisir atmosfir kejiwaannya yang berat agar menjadi ringan. Ingin rasanya dia memanggil segenap potensi kejiwaannya menuju dimensi yang tenang. Akan tetapi, semakin dia menginginkan ketenangan, semakin jiwanya beterbangan, seolah berkelana menuju dimensinya yang paling sunyi.

Dalam kelana, dia temukan kampung halamannya yang meriah menyambut kedatangan hari nan fitri esok hari. Tentang ayah yang mungkin saja sedang memotong seekor ayam di halaman dapur. Tentang bunda yang mungkin sedang sibuk memasak ini dan itu seorang diri. Tentang kayu-kayu bakar dan tungku yang selalu menimbulkan jelaga, yang hitamnya selalu membekas pada kain atau lengan baju yang dikenakan bunda. Tentang ayah yang bergegas menuju masjid, memimpin para lelaki dewasa untuk beramai-ramai membersihkan masjid dan sekaligus mem-benahi sisi-sisinya yang kusam. Tentang beduk yang senantiasa ditabuh bertalu-talu. Beduk itu selalu saja menjadi tengara tentang kehadiran hari yang teramat istimewa, yakni Hari Raya Idul Fitri. Hari di mana segenap umat manusia kembali pada fitrahnya yang suci. Allahu akbar. Allahu akbar. Allahu akbar. La ilaha illahllahu Allahu akbar. Allahu akbar walillahilhamdu. Tentang anak-anak yang tak sabar menunggu pagi untuk segera menge-nakan baju baru yang hanya dimiliki dalam setahun sekali.

Ingin rasanya dia ada di tengah-tengah suasana nan fitri seperti itu. Ingin rasanya dia merengkuh semua yang berkaitan dengan ksyahduan berikut gegap-gempitanya Hari Raya Idul Fitri. Ingin rasanya dia berbagi rasa bersama keluarga besar dan segenap handai taulan. Ingin rasanya dia takbir, tahlil dan tahmid bersama mereka dengan penuh hikmat. Ingin rasanya...

―Tama. Cari ta‟jil, yuk! Ngesok lebaran, Nda, golek panganan nggo mayoran sitik-sitiklah!‖

Suara Mas Surip seolah menghentikan pengembaraan batinnya. Cepat-cepat dia menelungkupkan wajahnya di atas bantal, berharap agar air matanya yang berlelehan segera terserap tanpa bekas. Baginya, air mata

324 Nyama Selam

Page 49: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

merupakan bagian dari privasi yang tak boleh seorangpun tahu selain diri-nya sendiri.

―Saya mandi dulu ya, Mas,‖ jawab Tama sambil membayangkan per-jalanan Bangli-Singaraja yang penuh dengan tetes keringat. Sedari tadi, cuci muka pun belum sempat dia lakukan.

“Alah ndadak adus barang. Masio ra adus nek ancene ganteng tetep ganteng, Nda,” sahut Mas Surip sambil bergegas kembali ke kamarnya: “Yo wis tak tunggu ya, Nda! Alit wis nunggu neng ngarep ket mau!”

Tama bergegas bangun, berlari-lari kecil menuju kamar mandi di ujung deretan kamar, mengambil air wudlu, kembali berlari-lari menuju kamar, shalat ‗ashar dengan do‘a yang terbilang buru-buru, mengunci pintu kamar dengan gerakan sebat, untuk kemudian berlari-lari kecil menuju halaman depan di mana kedua teman senasibnya mulai tak sabar menunggu.

“Suwe men to, Nda, Nda!” seru Mas Surip dengan ekspresi bersungut-sungut. Tangan kanannya tampak sibuk membuka pagar teralis.

“Sabar... wong sabar kinasihe Gusti Allah. Sing sumeh tur ora mecucu ben pantes disawang,” timpal Tama sambil tersenyum. Diliriknya wajah Mas Alit yang juga tersenyum.

“Alah kakehan omong! Ayo ndang mangkat! Selak ketinggalan sepur mengko!” sahut Mas Surip lengkap dengan ekspresi lucunya. Tama dan Mas Alit terpingkal-pingkal karenanya.

Begitulah. Dalam sepi yang nestapa, mereka masih bisa tertawa. Tawa yang segera tertelan oleh kerinduan yang tak terkira. Kerinduan yang ter-perangkap pada ruang sunyi. Dan, mereka semakin paham, betapa berat-nya menahan rindu dalam susana yang sunyi.

***

Pada Langit Cinta 325 337

Page 50: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

34

LANGIT CINTA

Ngawi, pertengahan Juli 1999. Langitnya yang biru cerah, seolah sedang memayungi wajah dunia

yang serba berbinar. Birunya yang cerah adalah biru yang mengibarkan semangat. Semangat untuk menjelajahi wilayah-wilayah terjauh. Semangat untuk mendaki tempat-tempat tertinggi. Semangat untuk menyusuri negeri-negeri yang belum pernah terjangkau. Sementara, angin yang ber-tiup sepoi adalah senyum tulus seorang sahabat yang menyapa guna mem-beri penguat di kala suka dan memberi penawar di kala duka.

Pada langit yang biru dan cerah Tama mendongakkan kepala, melepas pandang sejauh-jauhnya menuju angkasa raya. Selalu saja terpahat wajah Esti di sela-sela mega, dengan keping-keping cinta yang bertaburan di sekitarnya. Dikenangnya kembali cintanya yang kini serasa makin mem-bumbung menuju langit tertinggi. Tak pernah dikira sebelumnya bahwa harapannya untuk menemupadukan cita dan cinta dalam kehidupan yang panjang bersama Esti akan terbang bersama hembusan angin. Tak pernah diduga sebelumnya bahwa keinginannya untuk menjadi ayah dari anak-anak yang solih dan solihah, dengan Esti yang berhati lembut sebagai bundanya, akan melayang di angkasa raya. Tak pernah disangka sebelum-nya bahwa keinginanya untuk menjalani masa-masa tua bersama Esti yang tetap berambut panjang akan lenyap tak berbekas. Tak pernah dinyana sebelumnya bahwa berpisah dengan cinta adalah nestapa yang tak terkira. Sama sekali tak pernah terpikir sebelumnya bahwa kebersamaannya ber-sama Esti bakal berakhir ketika perjalanan yang panjang itu baru saja hen-dak dimulai.

Kini Tama menundukkan kepala. Disebutnya asma-asma Tuhan Yang Mahaagung, Dzat yang menyimpan selaksa hikmah, Dzat yang tak mungkin membiarkan dirinya terlunta-lunta dalam menempuh perjalanan yang masih panjang. Ingin rasanya dia tersenyum, bukan untuk menyem-bunyikan luka mengingat rasa perihnya memang masih tak terkira, melain-kan karena pemahaman bahwa bahagia mustahil dapat diraih tanpa mele-wati serangkaian luka. Seperti halnya rasa pahit yang menawarkan obat, seperti halnya rasa sakit yang menjadikan kuat, seperti halnya rasa takut yang menumbuhkan berani, seperti halnya patah yang memicu tumbuh, seperti halnya kematian yang bergantikan kehidupan. Maka, sekali lagi di-sebutnya asma-asma Tuhan Yang Mahakuasa, Dzat yang selalu menitipkan

436 Langit Cinta

Page 51: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

senyum di balik kepedihan, Dzat yang selalu menyusupkan harapan di balik keputus-asaan.

Kembali Tama mendongakkan kepala ke arah langit yang terbentang di atas sana. Awan putih tampak layaknya goresan tipis yang menghiasi bentang langit yang membiru. Dia tahu bahwa biru langit itu adalah ben-tangan jarak sejauh kesanggupan bola matanya melepas pandangan. Ya Tuhan… Itukah langit? Begitukah langit? Hal mana, sejauh kemampuan matanya memandang, tak akan mungkin sanggup menjangkau keseluruhan bentangannya. Setinggi apapun ilmu yang dicapai oleh manusia, tak akan mungkin sanggup menembusi kejauhannya. Maka, betapa kecilnya manusia di hadapan Allah Yang Mahabesar. Betapa ringkihnya manusia di hadapan Allah Yang Mahaperkasa. Betapa bodohnya manusia di hadapan Allah Yang Mahatahu. Betapa lemahnya manusia di hadapan Allah Yang Maha-perkasa. Betapa hinanya manusia di hadapan Allah Yang Mahamulia.

Katakanlah (Muhammad): Dialah Allah Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. (Allah) tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang serupa dengan Dia (Q.S. Al-Ikhlas: 1-4).1

Tama masih mengamati langit. Ingin rasanya dia menemukan kem-bali keping-keping cintanya yang kini bertaburan di angkasa raya. Betapa cinta adalah makhluk yang tak mudah untuk diuraikan. Betapa cinta adalah sosok yang tak sederhana untuk dilukiskan. Sungguh, cinta memang terlalu agung untuk dapat diuraikan dengan kata. Cinta memang terlalu perkasa untuk dilukiskan di atas kanvas. Semakin kuat keinginannya untuk mengurai cinta, semakin dia kehilangan kata-kata. Semakin keras keinginannya untuk melukis cinta, semakin dia kehilangan pewarna.

Kini, Tama hanya bisa menunduk. Jiwanya adalah jiwa yang pasrah. Tak ada yang bisa diperbuat selain memohon petunjuk kepada Sang Pem-beri Petunjuk. Tak ada bisa diejawantahkan selain berserah kepada Yang Maha Gagah. Tak ada yang bisa dilakukan selain membiarkan cinta tetap sebagai misteri yang bertaburan di langit yang tinggi. Tak ada yang akan di-minta dalam kegelapan selain cahaya yang bakal menerangi jalan hidup-nya. Tak ada yang bisa dipilih selain terus berusaha mencari cinta yang serba misteri. Tak ada yang bisa disimpulkan dari cinta selain pencariannya yang tak hendak dihentikan.

Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya, seperti sebuah lubang yang tidak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu ada di dalam tabung kaca, (dan) tabung kaca itu bagaikan bintang yang berkilauan, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur tidak pula di barat, yang minyaknya

1Ustadz Teteng Sopian (Penyusun Materi), Ustadz Makbul dkk. (Editor), 2013, Al-

Qur‘an Tajwid & Terjemah (Al-Qur‘an Tafsir Al-Hadits), Bandung: cij cordoba, h. 604.

Pada Langit Cinta 437

Page 52: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

(saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi orang yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (Q.S. An-Nuur: 35).2

Ditafakuri olehnya cinta, yang terlukis laksana sungai yang tak pernah berhenti mengalir. Di mana, bunga-bunga indah di tepian sungai tak akan mampu menggiurnya dalam pesta pora. Segala sampah dan sumpah sera-pah yang menimpa tak akan sanggup menjebaknya dalam gelimang duka nestapa. Tebing-tebing curam dalam perjalannya tak akan mampu men-cengkeramnya dalam keputus-asaan. Cinta adalah semangat yang tak pernah mengenal lelah. Cinta adalah keberanian yang tak pernah menge-nal ngeri. Cinta adalah kepasrahan yang total dan tulus. Cinta adalah per-jalanan yang tak berkesudahan. Cinta adalah kesabaran yang tak ter-katakan.

Direnungi olehnya cinta, yang tumbuh laksana pohon kehidupan. Akarnya adalah pencarian yang tak pernah berhenti. Batangnya adalah keteguhan dikala menyongsong suka. Dahannya adalah ketabahan kala dirundung duka. Rantingnya adalah spirit kala menyemai cita. Dedaunan hijaunya adalah kasih dan sayang guna menebar suka. Tunas-tunasnya adalah harapan-harapan dalam merangkai bahagia. Daun-daun keringnya adalah kecemasan kala tertimpa mara bahaya. Bunga-bunga dan buah-buahnya adalah pengabdian pada sesama.

Kembali, dia tengadahkan kepala ke angkasa raya. Dipandanginya langit yang birunya serasa menyimpan cahaya. Diamatinya awan-gemawan yang putihnya selaksa tebaran mutiara. Ditemukannya keping-keping cintanya yang masih bertaburan pada bentangan langit yang biru, di sela-sela awan putih. Ditekurinya langit biru yang menyimpan cinta yang selalu berbalut rindu. Itulah langit cinta yang kini dituai dan disimpan di dalam dada. Itulah langit cinta yang tak akan pernah terlupa. Itulah langit cinta yang akan selalu digenggam di sepanjang perjalanan hidupnya.

*** BERSAMBUNG PADA NOVEL JIDIL 2: MENGERTI CINTA

2Ustadz Teteng Sopian (Penyusun Materi), Ustadz Makbul dkk. (Editor), 2013, Al-

Qur‘an Tajwid & Terjemah (Al-Qur‘an Tafsir Al-Hadits), Bandung: cij cordoba, h. 354.

438 Langit Cinta

Page 53: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

TENTANG PENULIS

Dr. Muhamad Arif, M.Pd, sosok kelahiran Ngawi, 6 Juni 1970 ini menamatkan seluruh pendidikan dasar dan menengahnya di kota kelahirannya. Selanjutnya secara berturut-turut: (1) menyelesaikan Program S-1 Prodi Pendidikan Sejarah pada FKIP UNUD (sekarang UNDIKSHA Singaraja) tahun 1995, (2) menyelesaikan Program S-2 Prodi Pendidikan IPS pada Program Pascasarjana UPI Bandung tahun 2002, dan (3) menye-lesaikan Program S-3 Prodi Pendidikan IPS pada Sekolah Pascasarjana UPI Bandung tahun 2008.

Pengalaman mengajarnya telah dimulai sejak umur belasan tahun, yakni: (1) mengajar di SDN Ngrayudan I (1989-1990), (2) mengajar di SMA Windu Wacana Cirebon (1995-1998), (3) mengajar di SMPN 2 Beber, Kabupaten Cirebon (1996-2009), dan (4) saat ini mengajar di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2009-sekarang). Saat mengajar pada jejang pendidikan dasar dan menengah, beberapa kali penulis menjadi finalis dan sekaligus menjuarai lomba karya tulis ilmiah tingkat nasional yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan kebudayaan.

Didorong oleh rasa syukur atas status dan perannya sebagai pengajar, saat ini penulis tengah menikmati Tri Dharma Perguruan Tinggi yang kini tengah diemban. Antara lain dengan memaksimalkan kegiatan pendidikan dan pengajaran, kegiatan penelitian, maupun kegiatan pengabdian kepada masyarakat. Dalam hal pendidikan dan pengajaran, penulis pernah ditah-biskan sebagai dosen teladan oleh lembaga tempatnya mengajar saat ini. Dalam hal penelitian, beberapa tahun terakhir ini penulis cukup concern untuk melakukan penelitian dalam rangka menggali model-model keru-

Pada Langit Cinta 439

Page 54: Kutipan Pasal 113 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42720/2/PADA... · Energi untuk mengenang perjalanan yang begitu panjang. ... juga alm

kunan sosial pada masyarakat multikultural, sekaligus menggali faktor-faktor integrasi sosial pada masyarakat multikultural, yang — dalam per-spektif historis maupun sosiologis — banyak ditemukan dalam kehidupan bangsa Indonesia.

Dalam hal pengabdian kepada masyarakat, penulis sering terngiang oleh sebuah hadits: Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesama (HR Thabari dari Ibnu Umar). Itulah sebabnya, penulis berusaha untuk melakukan sesuatu yang mendatangkan manfaat. Dalam hal ini penulis telah memulai menulis sejak di bangku mahasiswa, yakni dengan menulis artikel dan cerpen untuk media koran. Selanjutnya penulis juga menulis dan mengedit beberapa buku mata pelajaran untuk para siswa di ling-kungan pendidikan dasar dan menengah, terutama yang terkait dengan buku-buku mata pelajaran IPS, Sejarah, dan Sosiologi. Dalam kapasitasnya sebagai pengajar di sebuah perguruan tinggi, penulis telah menghasilkan beberapa buku referensi, antara lain ―Pengantar Kajian Sejarah‖ dan ―Revolusi Nasional Indonesia (Perspektif Pendidikan Karakter).‖ Novel PADA LANGIT CINTA yang ada di tangan Anda ini merupakan novel pertama dari trilogi novel cinta. Kedua novel berikutnya, yakni MENGERTI CINTA dan PURNAMA CINTA sedang dalam proses penajaman. Wallahu a‟lam bis-shawab.

440 Tentang Penulis