kurikulum (14th chapter report)

27
KURIKULUM Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk Menyelesaikan Mata Kuliah Landasan Pedagogik (PS701) yang diampu oleh Dr. Ocih Setiasih, M. Pd. Syakti Perdana Sriyansyah Nim. 1302448 Program Studi Pendidikan Fisika Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Bandung 2014

Upload: syakti-sriyansyah

Post on 19-Oct-2015

168 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

Tinjauan Kurikulum dan Dasar Penyusunannya dengan latar belakang pendidikaan di Amerika

TRANSCRIPT

  • KURIKULUM

    Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk Menyelesaikan

    Mata Kuliah Landasan Pedagogik (PS701) yang diampu oleh

    Dr. Ocih Setiasih, M. Pd.

    Syakti Perdana Sriyansyah

    Nim. 1302448

    Program Studi Pendidikan Fisika

    Sekolah Pascasarjana

    Universitas Pendidikan Indonesia

    Bandung

    2014

  • KURIKULUM 14

    th Chapter Report

    Penulis: Syakti Perdana Sriyansyah

    Copyright2014 oleh Syakti Perdana Sriyansyah

    All right reserved

    Hak penerbitan pada Syakti P. Sriyansyah

    Cetakan I, Januari 2014

    Diterbitkan oleh Syakti P. Sriyahsyah

    Jl.Pak Gatot V No. KPAD 10H RT 01/RW 02

    Geger Kalong, Bandung, 40153

    Telp. +6281917130062

    email: [email protected]

    Desain sampul: Syada

    2013 by Syakti Perdana S.

    Indonesia University of Education

    Postgraduate School

    Department of Physics

    Bandung

  • KATA PENGANTAR

    Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan

    karunia-Nya, makalah yang berjudul KURIKULUM 14th Chapter Report

    dapat terselesaikan dengan baik.

    Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi

    sebagian dari syarat untuk menyelesaikan mata kuliah Landasan Pedagogik

    (PS701) yang diampu oleh Dr. Ocih Setiasih, M.Pd. pada Program Studi

    Pendidikan Fisika Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Tugas

    mandiri ini mengulas tentang pengorganisasian kurikulum yang mengambil latar

    pendidikan di Amerika Serikat. Pembahasan kurikulum ini juga mengulas tentang

    perjalanan kurikulum di Indonesia ditinjau dari perspektif yang sama seperti yang

    dijelaskan pada pengorganisasian kurikulum di Amerika.

    Teriring ucapan terima kasih kepada Dr. Ocih Setiasih, M.Pd. yang

    telah membimbing dengan sabar selama perkuliahan, rekan-rekan mahasiswa

    fisika pascasarjana angkatan 2013, dan semua pihak yang telah membantu hingga

    terselesaikannya tugas ini tepat pada waktunya.

    Penulis menyadari tugas ini masih banyak kekurangannya. Untuk itu kritik

    dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan

    tulisan berikutnya. Penulis juga berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat

    untuk semua pihak. Amiin.

    Bandung, 1 Januari 2014

    Penulis,

    Syakti Perdana Sriyansyah

    Nim. 1302448

  • DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i

    KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii

    DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii

    ISI ........................................................................................................................ 1

    BAB I PENDAHULUAN

    A. Deskripsi Umum ...................................................................................... 1

    B. FokusUraian ............................................................................................. 2

    BAB II PENYUSUNAN KURIKULUM

    A. Kurikulum Berpusat padaMata Pelajaran ................................................ 3

    B. Kurikulum Berpusat pada Siswa .............................................................. 8

    C. Kurikulum: Sebuah Ulasan ..................................................................... 12

    BAB III PEMBAHASAN DAN SIMPULAN

    A. Pembahasan ............................................................................................. 15

    B. Simpulan ................................................................................................. 22

    DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 23

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Deskripsi Umum

    Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan,

    isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman

    penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan

    tertentu (UU nomor 20 tahun 2003; PP nomor 19 tahun 2005). Kurikulum sebagai

    rancangan pendidikan memiliki kedudukan yang sangat strategis dalam seluruh

    aspek kegiatan penyelenggaraan pendidikan. Mengingat arti pentingnya peranan

    kurikulum dalam pendidikan, maka dalam penyusunan kurikulum tidak bisa

    dilakukan tanpa memiliki dasar penyusunan yang jelas.

    Penyusunan kurikulum dapat ditinjau dari dua perspektif, satu

    menekankan pada pelajaran yang diajarkan dan yang lainnya menekankan pada

    siswa. Perspektif pertama meninjau kurikulum sebagai sebuah kesatuan isi atau

    mata pelajaran yang mengarahkan pada suatu prestasi atau sebuah hasil.

    Perspektif kedua mendefinisikan kurikulum berdasarkan kebutuhan dan minat

    siswa. Perspektif ini lebih berkaitan dengan proses bagaimana siswa membangun

    kemampuannya sendiri untuk mendapatkan pengetahuan baru.

    Kedua perspektif yang akan diuraikan secara jelas dalam makalah ini

    mengambil latar belakang kurikulum pendidikan di Amerika Serikat. Beberapa

    pendekatan yang digunakan dalam menyusun kurikulum pada masing-masing

    perspektif juga akan dipaparkan dengan jelas beserta alasan yang mendukung atau

    menolak penggunaan dari masing-masing pendekatan tersebut. Pada bagian akhir

    makalah ini, orientasi penyusunan kurikulum yang digunakan di Amerika akan

    dijadikan acuan untuk melihat lebih jauh fakta perkembangan kurikulum di

    Indonesia, dari massa kemerdekaan sampai dengan kurikulum 2013 sekarang.

    Penulis mengambil kurikulum Sekolah Menengah Atas (SMA) sebagai bahan

    perbandingan untuk melihat orientasi penyusunan kurikulum yang digunakan di

    Indonesia.

  • 2

    Uraian tentang penyusunan kurikulum ini merupakan bagian dari tema

    utama yang membahas tentang fondasi kurikulum. Pada bab 13 sebelumnya, telah

    dijelaskan tentang perubahan tujuan pendidikan Amerika sebagai bentuk adaptasi

    dan kebutuhan dari masyarakat yang dinamis. Uraian dalam makalah ini sebagai

    lanjutan dari materi bab 13 tersebut, dimana apabila tujuan pendidikan sebuah

    Negara berubah, maka konsekuensinya adalah diperlukan orientasi penyusunan

    kurikulum yang sesuai dengan tujuan perubahan tersebut. Orientasi inilah yang

    dijadikan pedoman dalam menyusun kurikulum dengan menggunakan berbagai

    macam pendekatan.

    B. Fokus Uraian

    Uraian dalam makalah ini akan memfokuskan pada masalah berikut:

    1. Bagaimana orientasi pendekatan yang digunakan oleh Amerika dalam

    menyusun kurikulum pendidikan?

    2. Bagaimana tinjauan orientasi pendekatan kurikulum di Indonesia dari masa ke

    masa dilihat dari dua perspektif penyusunan kurikulum di Amerika?

  • 3

    BAB II

    PENYUSUNAN KURIKULUM

    Kita dapat melihat berbagai tipe penyusunan kurikulum di sekolah-sekolah

    di Amerika dari dua sudut pandang. Salah satu menekankan kepada subjek yang

    diajarkan; sudut pandang lainnya menekankan kepada siswa. Sudut pandang yang

    pertama memandang kurikulum sebagai suatu kumpulan isi (konten), atau materi

    pelajaran, untuk mencapai hasil prestasi atau produk tertentu. Yang kedua

    mendefinisikan kurikulum dalam hubungannya dengan kebutuhan dan minat

    siswa; inilah yang paling berkaitan dengan prosesdengan kata lain, bagaimana

    siswa mengembangkan kemampuannya untuk memperoleh pengetahuan baru.

    Beberapa sekolah menggunakan pendekatan yang murni berpusat pada mata

    pelajaran (subject-centered) atau murni berpusat pada siswa (student-centered)

    dalam pengembangan kurikulum sekolah dan proses belajar-mengajar. Kita dapat

    menemukan bahwa meskipun sebagian besar guru cenderung menekankan pada

    satu pendekatan daripada pendekatan lainnya, mereka menggabungkan kedua

    pilihan tersebut dalam pembuatan keputusan yang mereka buat secara

    professional mengenai apa yang terjadi di kelas.

    A. Kurikulum yang Berpusat Mata Pelajaran

    Mata pelajaran merupakan yang paling lama dan biasanya paling banyak

    digunakan sebagai kerangka penyusunan kurikulum. Mata pelajaran adalah

    pendekatan yang melekat secara mendalam terutama karena ini tidak

    menyusahkan. Meskipun di sekolah dasar, dimana terdapat sebuah kelas yang

    diampu sendiri oleh guru, juga memaksa guru untuk melakukan generalisasi,

    kurikulum biasanya disusun berdasarkan mata pelajaran atau disilpin akademik.

    Penganjur kurikulum berbasis mata pelajaran beralasan bahwa mata

    pelajaran menyajikan dasar pemikiran logis untuk menyusun dan menafsirkan

    informasi, guru-guru juga dilatih sebagai spesialis mata pelajaran, dan buku teks

    serta bahan ajar lain biasanya disusun berdasarkan mata pelajaran. Para kritikus

    mengakui bahwa kurikulum berbasis mata pelajaran seringkali merupakan suatu

  • 4

    kumpulan fakta dan konsep yang dipelajari secara tertutup. Mereka melihat

    kurikulum jenis ini sebagai sebuah penurunan penekanan terhadap pengalaman-

    pengalaman hidup kontemporer dan kegagalan dalam memenuhi kebutuhan dan

    minat siswa. Dalam kurikulum berbasis mata pelajaran, para kritikus beralasan

    bahwa guru adalah penguasa dan mendominasi percakapan di kelas serta hanya

    memberikan sedikit kesempatan bagi siswa untuk memberi masukan.

    Berikut ini akan dibahas beberapa variasi pendekatan dalam kurikulum

    yang berpusat pada mata pelajaran, seperti pendekatan subject-area, back to

    basics, dan kurikulum inti (core curriculum). Banyak sekolah dan guru

    menggabungkan pendekatan-pendekatan ini dengan menggunakan lebih dari satu

    pendekatan.

    A.1 Pendekatan Kurikulum Area Mata Pelajaran

    Pendekatan area mata pelajaran (subject-area approach) adalah bentuk

    yang paling luas digunakan dalam penyusunan kurikulum. Pendekatan yang telah

    berdiri lama ini berakar pada tujuh seni liberal klasik dari Yunanni dan Roma: tata

    bahasa, retorika, dialektika, aritmetika, geometri, astronomi, dan musik. Meskipun

    telah ada lebih dari satu abad, kelompok mata pelajaran tersebut masih cocok

    digunakan hingga hari ini. Sebagai siswa, dulu kita kemungkinan besar

    diperkenalkan kepada aljabar dan tata bahasa Inggris, membaca dan

    menulis, sama baiknya dengan geografi dan sejarah dalam satu bentuk atau

    bentuk lainnya.

    Kurikulum area mata pelajaran modern memperlakukan mata pelajaran

    sebagai suatu pengetahuan yang terspesialisasi dan secara luas merupakan

    kumpulan pengetahuan. Mata pelajaran bermakna sebagai dasar yang dipandang

    esensial untuk seluruh siswa; ini biasanya mencakup tiga Rs di level dasar dan

    bahasa Inggris, sejarah, sains, dan matematika di level menengah. Mata pelajaran

    khusus lainnya mengembangkan pengetahuan dan keterampilan untuk pekerjaan

    atau profesi khusus - contoh, matematika bisnis dan fisika. Pada akhirnya,

    pemilihan konten mata pelajaran membuka tawaran pilihan untuk siswa,

    seringkali dikhususkan untuk minat dan kebutuhan siswa.

  • 5

    Mata pelajaran eksploratori (Exploratory Subject) adalah mata pelajaran

    yang boleh dipilih siswa dari sebuah daftar rangkaian mata pelajaran yang

    didesain cocok dengan gaya belajar, kemampuan, dan minat. Kelas ini dapat

    mencakup mata pelajaran seperti tari, teknologi, penulisan kreatif, dan drama,

    mengizinkan sekolah memberikan ragam tawaran dan memberikan siswa

    kesempatan untuk mengeksplorasi topik yang mungkin menstimulasi minat siswa

    diluar mata pelajaran tradisional. Mereka seringkali muncul paling banyak di

    kurikulum sekolah menengah dan akhir sekolah dasar. Sekolah-sekolah yang

    memasukkan mata pelajaran eksploratori dalam kurikulumnya, cenderung lebih

    terlihat berkembang daripada sekolah-sekolah yang masih menerapkan mata

    pelajaran akademik tradisional.

    A.2 Pengaruh Perennialist dan Essentialist terhadap Kurikulum.

    Dua teori yang merupakan dasar pemusatan mata pelajaran adalah

    perennialism dan essentialism. Berdasar pada tujuan utama pendidikan, yaitu

    menanamkan intelektulitas, maka perennialist mengkonsentrasikan kurikulum

    mereka pada tiga Rs, Latin, tata bahasa, retorika, dan logika pada level dasar, serta

    menambahkan pelajaran sastra di level menengah. Asumsi dari kurikulum yang

    dipengaruhi perennialist, mengacu pada pendapat Robert M.Hutchins, yang

    mengatakan bahwa yang terbaik dari masa lalusesuatu yang dinamakan

    pelajaran permanen, atau klasikmasih tetap valid untuk masa kini karena mereka

    mampu menjawab pertanyaan dasar yang relevan sepanjang waktu.

    Essentialist percaya bahwa kurikulum sekolah dasar seharusnya berisi tiga

    Rs dan kurikulum sekolah menengah atas terdiri dari lima atau enam disiplin ilmu

    utama: Bahasa Inggris (tata bahasa, literatur, dan menulis), matematika, sains,

    sejarah, bahasa asing, dan geografi. Pengikut kurikulum yang dipengaruhi

    essentialist percaya mata pelajaran-mata pelajaran ini merupakan cara terbaik

    menyusun informasi dan menjaga ledakan pengetahuan masa kini. Mereka

    beralasan bahwa adalah terdapat informasi yang esensial yang telah dipelajari

    orang dewasa dan harus diberikan kepada anak-anak. Siswa membutuhkan suatu

  • 6

    dasar pengetahuan akademikpengetahuan esensialuntuk menemukan ide-ide

    baru dan mengatasi tantangan yang akan menghadang mereka di masa depan.

    Essentialism berbagi gagasan dengan perennialism bahwa seharusnya

    kurikulum berfokus pada pelatihan intelektual yang tepat, pelatihan yang mungkin

    hanya melalui pembelajaran pada mata pelajaran tertentu. Baik penganut

    perennialisme dan essensialisme menganjurkan untuk meritokrasi pendidikan.

    Mereka menetapkan standar akademik yang tinggi dan suatu sistem yang ketat

    dalam kenaikan tingkat dan tes untuk membantu sekolah memilah siswa

    berdasarkan kemampuan. Saat ini terdapat banyak sekolah yang menekankan pada

    beragam aspek dari kurikulum perennialisme dan essensialisme.

    A.3 Pendekatan Kurikulum Back-to-Basics.

    Pada 1980-an, banyak pendidik dan orang awam menyebut kurikulum

    back-to-basic. Seperti pengaruh kurikulum esensialis, back-to-basic memberi

    penekanan yang berat pada membaca, menulis, dan matematika. Apa yang disebut

    dengan mata pelajaran yang padatbahasa Inggris, sejarah, sains, dan

    matematikadiwajibkan untuk semua jenjang kelas, dan penganjur back-to-basic

    bahkan lebih menentang daripada esensialis dalam hal mencoba memperluas

    kurikulum melalui dasar yang kuat ini; pilihan-pilihan tidak dianjurkan. Para

    kritikus pendekatan ini khawatir bahwa memfokuskan pada dasar akan menahan

    kreativitas siswa dan memangkas domain lain dari pembelajaran, mendukung

    konformitas dan ketergantngan terhadap kekuasaan.

    Para penganjur back-to-basics menitikberatkan pada kebutuhan untuk

    mencapai standar minimal. Komponen utama dari back-to-basic ditandai dengan

    tes kompetensi minimum (minimum competency tests). Tes ini diimplementasikan

    pada mayoritas negara bagian pada rentang waktu tersebut di Amerika. Tes ini

    bertujuan untuk mengetahui ketercapaian keterampilan minimal yang wajib

    dimiliki siswa untuk lulus dari sekolah menengah atas. Para penganjur

    memandang bahwa tes semacam itu akan lebih memvalidasi lulusan sekolah

    tinggi diploma dan sekolah menengah atas, sehingga siswa akan memiliki satu set

    keterampilan minimal yang berguna untuk memasuki dunia kerja. Hasil tes

  • 7

    kompetensi minimum ini akan menjadi sebuah tolak ukur penilaian keberhasilan

    sekolah secara luas.

    Pendekatan Kurikulum Inti (core curriculum)

    Pentingnya mata pelajaran dasar dalam kurikulum juga dinyatakan dengan

    istilah kurikulum inti. Sayangnya, setelah Perang Dunia II, istilah ini digunakan

    untuk menggambarkan dua pendekatan berbeda untuk menyusun kurikulum.

    Pendekatan pertama, yang akan kita sebut kurikulum inti, meraih

    popularitas dalam 1930-an dan 1940-an dan memiliki pengaruh terbesar pada

    tingkat sekolah menengah pertama. Dalam pendekatan ini, siswa mempelajari

    pelajaran dalam suatu cara yang terintegrasi, biasanya melalui pembelajaran isu

    atau tema sosial-personal yang memiliki irisan antar mata pelajaran (sebagai

    contoh, suatu pengujian interdisipliner dari suatu masalah lingkungan lokal). Guru

    menyusun langkah-langkah pembelajaran dalam suatu cara yang interdisipliner,

    menunjukkan bagaimana berbagai mata pelajaran terkait satu sama lain.

    Pendekatan ini, sering disusun dalam satu waktu yang berkelanjutan, kadang-

    kadang terdiri dari dua atau tiga periode dari hari sekolah, menggunakan

    penyelesaian masalah sebagai metode utama dari pengajaran dan menghubungkan

    pada teori pendidikan.

    Pendekatan kedua, sebaliknya, lahir pada peralihan bentuk pendidikan

    1980-an dan merefleksikan teori esensialisme yang lebih konservatif. Dalam versi

    ini, apa yang kita sebut kurikulum inti baru atau pendekatan mata pelajaran

    inti (core subjects approach), siswa mempelajari suatu kumpulan mata pelajaran

    wajibmata pelajaran yang dinggap sebagai pusat pendidikan bagi seluruh siswa.

    Sebagaimana diuraikan dalam Bab 13 Perubahan Tujuan Pendidikan Amerika,

    pendorong kurikulum inti adalah pemberitaan tentang pembaharuan Negara

    dalam Resiko. Siswa dipandang tidak cukup memadai untuk mempersiapkan

    hidup setelah lulus sekolah, apakah itu di perguruan tinggi atau di dunia kerja.

    Berita mengkritisi kurikulum gaya kafetaria, dimana siswa lebih menyukai

    makanan penutup atau makanan pembuka (yang merupakan pembelajaran yang

    lebih tidak kaku) daripada yang mendalam, mata pelajaran inti. Pengulangan dari

  • 8

    defisiensi ini adalah sebuah peningkatan pelajaran wajib untuk kelulusan. Mata

    pelajaran pilihan kurang ditekankan, dan mata pelajaran wajibmatematika,

    sejarah, Bahasa Inggris, dan sainsharus diwajibkan dalam rangka menjamin

    siswa mencapai pengetahuan penting untuk sukses dalam kelulusan.

    Pendekatan kurikulum inti baru telah mendapat kritik yang sama yang

    ditujukan pada kurikulum back-to-basics. Hari ini, lebih banyak siswa berniat

    melanjutkan ke perguruan tinggi, namun sebuat penelitian terkini mengusulkan

    bahwa versi kontemporer dari kurikulum inti tradisional ini gagal untuk

    memenuhi persiapan siswa SMA menuju perguruan tinggi. Siswa mungkin

    mengambil sejumlah mata pelajaran dengan tepat di sekolah namun kualitas dari

    kurikulum inti harus ditingkatkan untuk memberikan siswa suatu kesempatan

    untuk sukses, apakah diperguruan tinggi ataupun di pekerjaan.

    Kritik lainnya masih akan menyanggah kurikulum inti ini, dengan hanya

    berfokus pada mata pelajaran dan konten, mengabaikan sebuah komponen penting

    dari pendidikansiswa. Bagian selanjutnya, akan menguji pendekatan-pendekatan

    dan teori-teori yang meletakkan pemikiran mengenai siswa sebagai pusat

    kurikulum.

    B. Kurikulum Berpusat pada Siswa

    Bertolak belakang secara langsung dengan kurikulum berpusat mata

    pelajaran, berbagai tipe kurikulum berpusat siswa menekankan pada minat dan

    kebutuhan siswa, mencakup aspek afektif pembelajaran. Pada kondisi ekstrimnya,

    pendekatan berpusat siswa berakar pada filosofi Jean Jacques Rousseau, yang

    menganjurkan ekspresi diri pada masa anak-anak. Secara implisit dalam filosofi

    Rousseau dijelaskan bahwa perlu untuk membiarkan anak dengan peralatan

    mereka sendiri, memberikan mereka esensi kreativitas dan kebebasan untuk

    berkembang.

    Pendidikan progresif memberikan daya pendorong menuju kurikulum

    berpusat siswa. Para pendidik progresif percaya bahwa ketika minat dan

    kebutuhan siswa dimasukkan ke dalam kurikulum, siswa pada hakikatnya akan

    termotivasi dan pembelajaran akan lebih sukses. Ini tidak berarti bahwa siswa

  • 9

    akan mendikte kurikulum. Tetapi, satu kritik untuk kurikulum berpusat siswa

    adalah bahwa mereka kadang-kadang melupakan konten akademik yang penting.

    John Dewey, seorang pimpinan penganjur kurikulum berpusat pada siswa,

    mencoba membuat suatu kurikulum yang menyeimbangkan mata pelajaran

    dengan minat dan kebutuhan siswa. Sejak awal 1902, dia menunjukkan

    kegagalan. Siswa bukanlah seekor hewan yang patuh pada fakta atau pun titik

    mula, pusat, dan akhir dan kegiatan sekolah. Dewey mencoba menekankan

    kebutuhan akan keseimbangan ketika mengkreasikan kurikulum yang akan

    mempersiapkan anak untuk dunia demokratis yang modern.

    Setidaknya terdapat lima pendekatan utama untuk menyusun kurikulum

    berpusat pada siswa yang telah diidentifikasi: pendekatan berpusat kegiatan

    (activity-centered approach), kurikulum relevan (relevant curriculum),

    pendekatan humanistic (the humanictic approach), sekolah gratis atau alternatif

    (alternative or free scholls), dan kurikulum berpusat nilai (values-centered

    curricula).

    B.1 Pendekatan Berpusat Kegiatan.

    Peralihan menuju kurikulum berpusat kegiatan telah memberi pengaruh

    yang kuat pada sekolah dasar umum. William Kilpatrick, satu dari kolega Dewey,

    adalah pemimpin tertua. Berkebalikan dengan Dewey, Kilpatrick percaya bahwa

    guru tidak dapat mengantisipasi minat dan kebutuhan siswa, yang membuat

    semua rencana awal kurikulum menjadi tidak mungkin. Jadi, dia menilai

    kurikulum sekolah tradisional sebagai sesuatu yang terpisah dan tak terhubung

    dengan masalah-masalah di kehidupan nyata.

    B.2 Kurikulum Relevan.

    Sejak 1930-an, beberapa pembaharu paham progresif mengeluhkan

    kurikulum sekolah tradisional telah menjadi tidak relevan. Kurikulum telah gagal

    menyesuaikan dengan perubahan sosial dan oleh karena menekankan pada

    keterampilan dan pengetahuan yang tidak berkaitan dengan masyarakat

    demokratis modern yang tengah dilanda krisis. Tahun 1960-an dan 1970-an

    memperlihatkan suatu pembaharuan berkaitan dengan kurikulum relevan, tetapi

  • 10

    dengan penekanan yang berbeda. Kritikus menyatakan bahwa kurikulum

    harusnya lebih sedikit merefleksikan kondisi perubahan sosial dan lebih banyak

    menjadi relevan untuk kebutuhan dan minat personal siswa.

    Pendukung pendekatan ini mengusulkan bahwa kurikulum ini akan

    menghasilkan keuntungan terbaik bagi siswa. Para pendidik

    mengimplementasikan pendekatan ini dalam beberapa cara: (1) individualisasi

    pengajaran melalui suatu metode pembelajaran seperti inkuiri bebas dan proyek

    khusus; (2) meninjau kembali pelajaran yang ada dan mengembangkan pelajaran

    baru pada topik tertentu yang diperhatikan siswa seperti proteksi lingkungan,

    kecanduan obat-obatan, kemiskinan, dan intoleransi; (3) menyediakan alternatif

    pendidikan (seperti mata pelajaran pilihan dan kelas terbuka) yang memberikan

    lebih banyak kebebasan memilih dan memenuhi kebutuhan siswa dalam keadaan

    khusus, seperti tunawisma; dan (4) memperluas kurikulum di luar dinding

    sekolah, seperti melalui proyek pelayanan komunitas dan perjalanan ke daerah.

    B.3 Pendekatan Kurikulum Humanistik

    Suatu pendekatan kurikulum humanistik menekankan hasil afektif,

    yang menunjukkan sikap dan emosi, sebagai tambahan hasil kognitif. Kurikulum

    ini mengikutsertakan hasil kerja dari para psikolog seperti Abraham Maslow, Carl

    Rogers, dan Arthur Combs. Penganjur kurikulum humanistik berpendapat bahwa

    kurikulum sekolah kontemporer telah gagal dengan sangat buruk, bahwa guru dan

    siswa diputuskan untuk menekan perilaku kognitif dan untuk mengontrol siswa,

    bukan untuk kebaikan siswa tetapi untuk keuntungan orang dewasa. Pendidik

    humanistik menekankan lebih dari proses afektif; mereka mencari domain yang

    lebih tinggi dari spiritual, kesadaran, estetika, dan moral. Mereka menekankan

    lebih banyak hubungan bermakna antara siswa dan guru, kebebasan dan

    pengarahan diri siswa, dan penerimaan yang lebih besar terhadap diri dan orang

    lain. Peran guru dari pendekatan humanistik akan membantu siswa

    menanggulangi kebutuhan psikologis mereka, untuk mengembangkan lingkungan

    kelas yang positif yang membantu perkembangan penghargaan diri, dan untuk

  • 11

    memfasilitasi pemahaman diri di antara siswa dalam rangka membuat

    kemungkinan pembelajaran yang lebih efektif.

    B.4 Program Sekolah Alternatif atau Gratis.

    Kita kemungkinan akan menemukan program kurikulum berpusat siswa di

    sekolah alternatif atau gratis, seringkali private atau institusi percobaan, beberapa

    diatur oleh orang tua dan guru yang tidak puas dengan sekolah umum. Sekolah-

    sekolah ini memiliki ciri khas dimana lebih banyak kebebasan siswa, kelas yang

    ribut, dan lingkungan belajar, seringkali tidak terstruktur, dimana siswa bebas

    mengeksplorasi minat mereka. Sebagian besar berpikir radikal dan anti

    pembangunan, meskipun banyak ide mereka yang berakar pada kepopuleran

    doktrin progresivisme kurikulum berpusat siswa.

    B.5 Kurikulum Berpusat Nilai.

    Suatu kurikulum berpusat nilailebih dikenal sebagai pendidikan

    karaktermenempati penekanan khusus pada pengembangan moral dan etika.

    Pendidikan karakter mengajukan pendapat bahwa jumlah pertumbuhan anak-anak

    adalah menunjukkan perilaku dan sikap bermasalah dan untuk alasan ini,

    program-program untuk untuk saling menghargai dalam kelas adalah perlu.

    Banyak cara yang dapat dilakukan untuk menerapkan program pendidikan

    karakter di sekolah. Misalnya, sekolah memberikan penghargaan kepada siswa

    yang menunjukkan karakter positif, menuliskan profil siswa yang berkarakter

    dalam buletin sekolah, dan memberikan pelajaran dan teladan tentang bagaimana

    sikap saling menghargai. Selain itu, juga dengan menunjukkan karakter positif

    dalam pergaulan di sekolah seperti disiplin, menghargai, dan jujur.

    Beberapa yang menolak untuk pendidikan karakter beralasan bahwa

    program yang dikembangkan untuk sekolah tersebut secara sederhana dapat

    dipandang sebagai indoktrinasi. Siswa justru dilatih keras bagaimana cara untuk

    beretika bukannya dididik untuk dapat berpikir kritis tentang bagaimana menjadi

    beretika. Terkadang, program sekolah berkarakter dilandasi oleh insentif,

    sehingga siswa termotivasi untuk memperoleh penghargaan dibanding dengan

    berperilaku seharusnya sesuai etika. Alasan lainnya juga menyatakan bahwa

  • 12

    program karakter dalam kurikulum tidak efektif dan mengalihkan waktu dari misi

    akademik sekolah seharusnya.

    C. Kurikulum : Sebuah Ulasan

    Kurikulum yang berorientasi pada mata pelajaran dan kebutuhan siswa

    memang keduanya saling bertolak belakang, tapi dalam pelaksanaanya banyak

    sekolah yang berada di antara keduanya. Menjaga keseimbangan antara materi

    pelajaran dan kebutuhan siswa, antara perkembangan dimensi kognitif dan afektif.

    Keputusan tentang apa yang seharusnya diajarkan dan bagaimana

    kurikulum disusun akan dipengaruhi oleh orientasi filosofis sistem suatu sekolah.

    Banyak sekolah tradisional yang menganut filosofi perenialis dan essensialis

    menerapkan kurikulum berpusat pada materi pelajaran. Sedangkan sekolah yang

    lebih menuju pendidikan progresif cenderung menggunakan pendekatan berpusat

    pada siswa. Berikut disajikan ringkasan pendekatan yang digunakan dalam

    penyusunan kurikulum, teori dan filosofi yang mendasari, penekanan konten, dan

    penekanan pengajarannya dalam tabel di bawah ini.

    Tabel 1. Ringkasan pendekatan yang digunakan dalam penyusunan kurikulum

    Pendekatan

    Kurikulum

    Kesesuaian Teori

    atau Filosofi Penekanan Konten

    Penekanan

    Pengajaran

    Berpusat Pada Mata Pelajaran (Subject-Centered)

    Area Pelajaran

    (Subject-area)

    Perennialism,

    essentialism

    Tiga Rs; akademik,

    vokasional, dan mata

    pelajaran pilihan

    Pengetahuan,

    konsep, dan

    prinsip;

    pengetahuan

    khusus

    Parennialist Perennialism

    Tiga Rs; seni bebas;

    klasik; nilai abadi;

    kekakuan akademik

    Ingatan di luar

    kepala;

    pengetahuan

    khusus;

    pelajaran mental

  • 13

    Tabel 1. Ringkasan pendekatan dalam penyusunan kurikulum (lanjutan)

    Pendekatan

    Kurikulum

    Kesesuaian Teori

    atau Filosofi Penekanan Konten

    Penekanan

    Pengajaran

    Essentialist Essentialism

    Tiga Rs; seni bebas

    dan sains; mata

    pelajaran akademik;

    keunggulan

    akademik

    Konsep dan

    prinsip;

    penyelesaian

    masalah;

    keterampilan

    penting

    Back-to-basics Essentialism Tiga Rs; mata

    pelajaran akademik

    Pengetahuan dan

    keterampilan

    spesifik; latihan;

    pencapaian

    penilaian atau

    kompetensi akhir

    Kurikulum inti

    baru (mata

    pelajaran inti)

    core subject

    Perennialism,

    essentialism

    Kurikulum umum

    untuk seluruh siswa;

    fokus pada

    akademik

    Pengetahuan

    umum,

    keterampilan dan

    konsep intelektual;

    isu nilai dan moral

    Berpusat Siswa (Student-Centered)

    Berpusat

    Kegiatan Progressivism

    Kebutuhan dan

    minat siswa;

    kegiatan siswa;

    aktivitas komunitas

    sekolah

    Aktif, lingkungan

    percobaan; metode

    proyek; kehidupan

    efektif

    Relevan

    Progressivism,

    social

    reconstructionism

    Pengalaman dan

    kegiatan siswa;

    kebutuhan

    Masalah sosial dan

    personal; berpikir

    reflektif

    Humanistik

    Progressivism,

    social

    reconstructionism,

    existentialism

    Introspeksi; pilihan;

    proses afektif

    Pembelajaran

    individual dan

    kelompok;

    fleksibel, artistik,

    metode psikologis;

    realisasi diri

    Sekolah

    alternatif atau

    bebas

    Progressivism

    Kebutuhan dan

    minat siswa;

    pengalaman siswa

    Orientasi bermain;

    ekspresi kreatif;

    lingkungan belajar

    bebas

  • 14

    Tabel 1. Ringkasan pendekatan dalam penyusunan kurikulum (lanjutan)

    Pendekatan

    Kurikulum

    Kesesuaian Teori

    atau Filosofi Penekanan Konten

    Penekanan

    Pengajaran

    Berpusat nilai

    (pendidikan

    karakter)

    Social

    reconstructionism,

    existentialism

    Nilai

    demokratis,nilai

    etis dan maral;

    nilai lintas

    budaya dan nilai

    universal; pilihan

    dan kebebasan

    Perasaan, sikap,

    dan emosi;

    berpikir eksistensi,

    pembuatan

    keputusan

    Terlepas dari apakah suatu kurikulum berpusat pada pelajaran atau siswa,

    proses pengembangan kurikulum melibatkan (1) menilai kebutuhan dan

    kapabilitas seluruh siswa, dan (2) memilih atau membuat materi dan kegiatan

    pembelajaran yang mampu memenuhi kebutuhan tersebut. Pengembangan

    kurikulum harus memperhatikan seluruh aspek yang mendukung pendidikan dan

    juga mempertimbangkan aspek yang dapat merusak tujuan pendidikan. Salahs

    satu isu yang patut diperhatikan dalam pengembangan kurikulum adalah tentang

    ketentuan sensor.

    Ketentuan sensor ini sangatlah penting, mengingat pada era sekang ini

    hampir di setiap materi pembelajaran berisi pesan politik maupun ekonomi,

    gender, seksualitas, dan kekerasan. Hal ini menunjukkan arti pentingnya

    ketentuan sensor yang harus diberlakukan pada seluruh materi pembelajaran,

    termasuk salah satunya yang berpengaruh adalah buku teks. Buku teks ini dapat

    langsung dipergunakan oleh siswa. Apabila muatan yang terkandung dalam buku

    teks tidak disensor terlebih dahulu, dan di dalamnya terdapat konten yang tidak

    seharusnya diketahui oleh siswa, maka akan menjadi masalah yang serius.

    Kejadian ini pernah terjadi di Indonesia, dimana terdapat muatan yang

    mengandung unsur pornografi dalam buku teks yang digunakan oleh siswa. Hal

    ini tentu saja mengundang reaksi dari seluruh pihak. Tidak adanya ketentuan

    sensor sebelumnya dan pengawasan yang lemah menjadi penyebab hal ini dapat

    terjadi.

  • 15

    BAB III

    PEMBAHASAN DAN SIMPULAN

    A. Pembahasan

    Berdasarkan uraian sebelumnya, secara garis besar orientasi penyusunan

    kurikulum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kurikulum yang berorientasi pada

    pelajaran dan kurikulum yang berorientasi pada kebutuhan dan minat siswa.

    Kurikulum yang berpusat pada pelajaran menggunakan filosofis perenialis dan

    esensialis sebagai dasar, sedangkan kurikulum yang berpusat pada siswa

    menggunakan filosofis progresif. Keduanya tentu akan mempengaruhi cara

    menyelenggarakan pendidikan di suatu sistem pendidikan.

    Apabila diperhatikan, kedua orientasi penyusunan ini sangat bertolak

    belakang namun keduanya pada dasarnya menekankan pada tujuan yang sama

    dengan cara pencapaian yang berbeda, yaitu sama-sama menginginkan agar siswa

    memiliki suatu pengetahuan minimal yang dapat digunakan untuk menyelesaikan

    masalah dalam kehidupannya, baik di dunia kerja maupun bermasyarakat

    Kurikulum berpusat pada pelajaran meraih ini dengan jalan telah menentukan

    terlebih dahulu pelajaran-pelajaran yang mesti dipelajari siswa dan pelajaran ini

    dipandang sangat esensial yang mesti dimiliki oleh siswa. Kurikulum jenis ini

    memandang bahwa cara logis untuk menyampaikan pengetahuan kepada siswa

    adalah dengan menyajikannya berdasarkan mata pelajaran. Siswa dianggap telah

    memiliki bekal pengetahuan yang cukup setelah lulus dari sekolah apabila

    mempelajari pelajaran yang esensial ini dan siap menjalani kehidupan masyarakat

    yang dinamis.

    Berlainan dengan itu, kurikulum berpusat pada siswa justru langsung

    menekankan pada apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh siswa dan mengarahkan

    kemana minat dan bakat siswa secara langsung. Orientasi ini menitikberatkan

    pada siswa sebagai pembelajar aktif dimana dengan mengikutsertakan minat

    siswa dalam pembelajaran maka siswa akan lebih termotivasi untuk belajar.

  • 16

    Pelajaran yang harus dipelajari dipandang adalah yang kontekstual dan apa yang

    mereka lebih butuhkan.

    Kedua orientasi penyusunan kurikulum ini memiliki kelebihan dan

    kekurangan masing-masing. Kurikulum berpusat pada pelajaran terlihat lebih

    mengutamakan konten akademik pada aspek kognitif sedangkan yang berpusat

    pada siswa menekankan aspek afektif, padahal idealnya kedua aspek tersebut

    harus ada dalam suatu pembelajaran. Ketika lebih menekankan pada aspek

    kognitif akan nampak bahwa kurikulum hanya dipenuhi muatan konten dimana

    guru lebih mendominasi pelajaran, sedangkan ketika menekankan pada aspek

    afektif dimana siswa dianggap sebagai pembelajar aktif justru kadang hal ini

    mengurangi muatan konten akademiknya. Berdasarkan tinjauan tersebut, maka

    dalam proses pelaksanaannya di sekolah, terkadang guru menerapkan keduanya

    dalam proses pembelajaran. Sekalipun memang kurikulum yang sedang

    digunakan adalah menekankan pada salah satu orientasi, baik pelajaran maupun

    siswa.

    Hal yang menarik adalah berkaitan dengan standar asesmen pada

    kurikulum berpusat pada pelajaran dan pendidikan karakter pada kurikulum

    berpusat pada siswa. Untuk mengetahui ketercapaian dan kualitas siswa yang

    dihasilkan, pada kurikulum berpusat pada mata pelajaran dipandang perlu untuk

    melakukan ujian kualifikasi akhir dengan standar yang telah ditentukan

    sebelumnya sebagai syarat lulus dari sekolah. Hal ini sama dengan isu ujian akhir

    nasional (UAN) yang masih saja dibahas sampai sekarang. Kalau kita perhatikan,

    kurikulum yang berpusat pada pelajaran lebih menekankan aspek kognitif,

    sehingga ujian kualifikasi akhirnya lebih mengacu pada hasil bukan menilai

    proses. Isu ini menjadi perbincangan menarik di semua kalangan.

    Pihak yang mendukung berpendapat bahwa ujian akhir perlu karena (1)

    untuk melihat apakah pembelajaran di kelas sudah mampu mengajarkan konten

    inti pada siswa, (2) untuk menghasilkan keluaran sumber daya manusia yang

    berkualitas dan dapat diterima di dunia kerja, (3) ujian akhir juga dapat

    menunjukkan akuntabilitas performa dan kinerja dari sebuah sekolah, (4) dengan

    meningkatnya akuntabilitas, siswa akan memperoleh pendidikan yang semakin

  • 17

    berkualitas, dan (5) dari data hasil ujian yang diperoleh, pendidik dapat

    mengetahui letak masalah pendidikan secara keseluruhan, kebijakan akan dirubah

    berdasarkan pertimbangan tersebut, dan kurikulum dapat didesain ulang untuk

    mengatasi masalah yang dihadapi.

    Bertolak belakang dengan itu, pihak yang menetang menilai bahwa ujian

    akhir itu (1) berat dan butuh biaya banyak untuk dilakukan sementara tidak

    membawa pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan kualitas pendidikan,

    (2) tidak adil bila harus menyamakan tes antara siswa sekolah kualitas tinggi

    dengan siswa sekolah yang kualitas rendah, ketika mereka tida lulus maka tentu

    ini telah merusak prospek pendidikan mereka selanjutnya, (3) terdapat penurunan

    pada fleksibilitas tawaran kurikulum di sekolah tinggi karena siswa hanya fokus

    pada pelajaran yang diujikan saja, (4) menambah kesulitan yang harus dihadapi

    siswa untuk memperoleh kelulusan dan tidak jarang membuatnya semakin merasa

    takut, dan (5) kebanyakan guru telah mengetahui dimana letak kesulitan yang

    dihadapi oleh siswa selama ujian, sehingga guru dapat mengajarkan tes tersebut

    kemudian untuk mengatasi kesulitan yang dialami siswa . Dengan demikian, data

    yang diperoleh dari ujian tersebut tidak berarti.

    Bukan hanya masalah ujian akhir saja, pendidikan berkarakter pun

    sebenarnya telah jadi perbincangan di Amerika, seperti halnya di Indonesia. Ada

    yang mendukung dan ada juga yang menentang. Pihak yang mendukung

    memandang bahwa semakin meningkatnya jumlah pertumbuhan anak justru

    menunjukkan sikap dan perilaku bermasalah. Selain itu, dipandang bahwa

    masalah-masalah yang cenderung timbul dalam masyarakat global berhubungan

    erat dengan karakter dari manusianya, seperti keserakahan, korupsi, dan narkoba.

    Dari sudut pandang inilah dinilai perlunya suatu pendidikan karakter. Sedangkan

    pihak yang menentang adanya pendidikan karakter ini menilai bahwa program

    karakter yang dikembangkan secara sederhana dapat dipandang sebagai

    indoktrinasi. Siswa justru dilatih keras bagaimana cara untuk beretika bukannya

    dididik untuk dapat berpikir kritis tentang bagaimana menjadi beretika.

    Terkadang, program sekolah berkarakter dilandasi oleh insentif, sehingga siswa

    termotivasi untuk memperoleh penghargaan dibanding dengan berperilaku

  • 18

    seharusnya sesuai etika. Alasan lainnya juga menyatakan bahwa program karakter

    dalam kurikulum tidak efektif dan mengalihkan waktu dari misi akademik sekolah

    seharusnya.

    Memang tidak dapat dipungkiri masalah-masalah tersebut di atas muncul

    di dunia pendidikan. Justru hal itulah yang semakin menuntut eksistensi dan

    esensi dari pendidikan. Banyak pihak yang mendukung dan tidak sedikit yang

    menolak, tetapi semua pihak berharap pendidikan yang terbaik untuk semua.

    Apabila dilihat dari masa ke masa, sejarah perkembangan kurikulum

    Indonesia menunjukkan hal yang hampir sama bahkan problematika yang sama

    dengan perkembangan kurikulum di Amerika. Hal ini mungkin menjelaskan

    bahwa kurikulum di Indonesia dibangun dengan mengacu pada kurikulum

    Amerika. Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan

    nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968,

    1975, 1984, 1994, 2004, 2006, dan 2013. Perubahan tersebut merupakan

    konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya,

    ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum

    sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis

    sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Semua

    kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila

    dan UUD 1945, perbedaanya pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta

    pendekatan dalam merealisasikannya.

    Awalnya pada tahun 1947, kurikulum saat itu diberi nama Rentjana

    Pelajaran 1947. Pada saat itu, kurikulum pendidikan di Indonesia masih

    dipengaruhi sistem pendidikan kolonial Belanda dan Jepang, sehingga hanya

    meneruskan yang pernah digunakan sebelumnya. Rentjana Pelajaran 1947 boleh

    dikatakan sebagai pengganti sistem pendidikan kolonial Belanda. Karena suasana

    kehidupan berbangsa saat itu masih dalam semangat juang merebut kemerdekaan

    maka pendidikan sebagai development conformism lebih menekankan pada

    pembentukan karakter manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat dan sejajar

    dengan bangsa lain di muka bumi ini. Kurikulum ini dapat dipandang sebagai

    pendekatan berpusat pada siswa karena yang menjadi orientasi pendidikan pada

  • 19

    saat itu adalah siswa, dimana siswa dipandang sangat membutuhkan suatu

    pembentukan karakter manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat.

    Setelah Rentjana Pelajaran 1947, pada tahun 1952 kurikulum di Indonesia

    mengalami penyempurnaan. Pada tahun 1952 ini diberi nama Rentjana Pelajaran

    Terurai 1952. Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan

    nasional. Yang paling menonjol dan sekaligus ciri dari kurikulum 1952 ini bahwa

    setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan

    dengan kehidupan sehari-hari. Hal ini menunjukkan pada tahun 1952 ini,

    pemerintah mulai menggunakan orientasi pendekatan berpusat pelajaran (subject-

    area approach) dalam menyusun kurikulum. Usai tahun 1952, menjelang tahun

    1964, pemerintah kembali menyempurnakan sistem kurikulum di Indonesia. Kali

    ini diberi nama Rentjana Pendidikan 1964. Pokok-pokok pikiran kurikulum 1964

    yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah bahwa pemerintah mempunyai

    keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada

    jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana,

    yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan (kerajinan

    tangan), dan jasmani.

    Kurikulum 1968 merupakan pembaharuan dari Kurikulum 1964, yaitu

    dilakukannya perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana

    menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus.

    Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada

    pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Dari segi tujuan pendidikan,

    Kurikulum 1968 bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada upaya untuk

    membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi

    kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan

    beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan

    keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat. Sampai pada

    perkembangan kurikulum 1968, secara garis besar pemerintah masih

    menggunakan orientasi pendekatan yang berpusat pada siswa dengan pendekatan

    pendidikan karakter. Namun demikian, tidak dapat dikatakan bahwa sepenuhnya

    berorientasi pada karakter siswa, orientasi pada pelajaran juga masuk ke dalam

  • 20

    pertimbangan penyusunan kurikulum tersebut, hanya saja yang lebih

    diprioritaskan saat itu adalah kebutuhan dalam rangka membangun karakter

    pribadi rakyat Indonesia yang baik dan siap menghadapi tantangan untuk mengisi

    kemerdekaan.

    Kurikulum 1975 sebagai pengganti kurikulum 1968 menggunakan

    pendekatan-pendekatan, di antaranya: (1) Berorientasi pada tujuan, menganut

    pendekatan integratif dalam arti bahwa setiap pelajaran memiliki arti dan peranan

    yang menunjang kepada tercapainya tujuan-tujuan yang lebih integratif; (2)

    menekankan kepada efisiensi dan efektivitas dalam hal daya dan waktu; (3)

    menganut pendekatan sistem instruksional yang dikenal dengan Prosedur

    Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Sistem yang senantiasa mengarah

    kepada tercapainya tujuan yang spesifik, dapat diukur dan dirumuskan dalam

    bentuk tingkah laku siswa; dan (4) dipengaruhi psikologi tingkah laku dengan

    menekankan kepada stimulus respon (rangsang-jawab) dan latihan (drill).

    Kurikulum 1975 hingga menjelang tahun 1983 dianggap sudah tidak mampu lagi

    memenuhi kebutuhan masyarakat dan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi.

    Karena itulah pada tahun 1984 pemerintah menetapkan pergantian kurikulum

    1975 oleh kurikulum 1984. Kurikulum 1984 masih sama dengan kurikulum 1975

    yang berpuast pada mata pelajaran. Kurikulum ini memiliki ciri-ciri, antara lain:

    (1) berorientasi kepada tujuan instruksional; (2) pendekatan pengajarannya

    berpusat pada anak didik melalui cara belajar siswa aktif (CBSA;(3) materi

    pelajaran dikemas dengan nenggunakan pendekatan spiral; (4) menanamkan

    pengertian terlebih dahulu sebelum diberikan latihan; (5) materi disajikan

    berdasarkan tingkat kesiapan atau kematangan siswa; dan (6) menggunakan

    pendekatan keterampilan proses.

    Pada kurikulum 1984, proses pembelajaran menekankan pada pola

    pengajaran yang berorientasi pada teori belajar mengajar dengan kurang

    memperhatikan muatan (isi) pelajaran. Akibatnya, pada saat itu dibentuklah Tim

    Basic Science yang salah satu tugasnya ikut mengembangkan kurikulum di

    sekolah. Tim ini memandang bahwa materi (isi) pelajaran harus diberikan cukup

    banyak kepada siswa, sehingga siswa selesai mengikuti pelajaran pada periode

  • 21

    tertentu akan mendapatkan materi pelajaran yang cukup banyak. Oleh karena itu,

    muncullah kurikulum 1994 sebagai pengganti kurikulum 1984.

    Kurikulum 1994 dibuat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984 Ciri yang

    menonjol pada kurikulum ini adalah pembelajaran di sekolah lebih menekankan

    materi pelajaran yang cukup padat (berorientasi kepada materi pelajaran/isi).

    Kurikulum 1994 bersifat populis, yaitu yang memberlakukan satu sistem

    kurikulum untuk semua siswa di seluruh Indonesia. Kurikulum ini bersifat

    kurikulum inti sehingga daerah yang khusus dapat mengembangkan pengajaran

    sendiri disesuaikan dengan lingkungan dan kebutuhan masyarakat sekitar. Selama

    dilaksanakannya kurikulum 1994 muncul beberapa permasalahan, terutama

    sebagai akibat dari kecenderungan kepada pendekatan penguasaan materi (content

    oriented), di antaranya: (1) beban belajar siswa terlalu berat karena banyaknya

    mata pelajaran dan banyaknya materi/substansi setiap mata pelajaran; (2) materi

    pelajaran dianggap terlalu sukar karena kurang relevan dengan tingkat

    perkembangan berpikir siswa, dan kurang bermakna karena kurang terkait dengan

    aplikasi kehidupan sehari-hari. Permasalahan di atas terasa saat berlangsungnya

    pelaksanaan kurikulum 1994. Hal ini mendorong para pembuat kebijakan untuk

    menyempurnakan kurikulum tersebut. Salah satu upaya penyempurnaan itu

    diberlakukannya Suplemen Kurikulum 1994. Penyempurnaan kurikulum

    dilakukan untuk memperoleh kebenaran substansi materi pelajaran dan kesesuaian

    dengan tingkat perkembangan siswa. Hal ini menunjukkan bahwa kurikulum 1994

    dan suplemen 1994 secara jelas menggunakan pendekatan berpusat pada

    pelajaran.

    Baru pada perkembangan berikutnya, pemerintah mengganti pendekatan

    yang digunakan dalam menyusun kurikulum, yaitu menggunakan pendekatan

    berpusat pada siswa. Kurikulum 1994 perlu disempurnakan lagi menjadi

    Kurikulum Berbasis Kompetensi (versi 2002 dan 2004). Pendidikan berbasis

    kompetensi menitikberatkan pada pengembangan kemampuan untuk melakukan

    (kompetensi) tugas-tugas tertentu sesuai dengan standar kinerja yang telah

    ditetapkan. Pada perkembangan kurikulum selanjutnya, kurikulum berbasis

    kompetensi ini diganti dengan kurikulum 2006 yang disebut kurikulum tingkat

  • 22

    satuan pendidikan. Secara substansial, esensi isi dan arah pengembangan

    pembelajaran Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tetap masih

    bercirikan tercapainya paket-paket kompetensi (dan bukan pada tuntas tidaknya

    sebuah materi pelajaran). Perkembangan kurikulum selanjutnya sampai dengan

    kurikulum 2013 tetap berorientasi pada kebutuhan siswa. Tetapi, hal ini seperti

    yang dijelaskan sebelumnya bahwa sekalipun suatu sistem menekankan pada

    penggunaan salah satu dari dua pendekatan kurikulum yang ada, baik berpusat

    pada pelajaran maupun pada siswa, tetap dalam pelaksanaannya guru senantiasa

    menggunakan keduanya dalam pengambilan keputusan secara profesional.

    B. Simpulan

    Kurikulum yang berorientasi pada mata pelajaran dan kebutuhan siswa

    memang keduanya saling bertolak belakang, tapi dalam pelaksanaanya banyak

    sekolah yang berada di antara keduanya. Menjaga keseimbangan antara materi

    pelajaran dan kebutuhan siswa, antara perkembangan dimensi kognitif dan afektif.

    Apabila segala perubahan kurikulum di Indonesia dicermati dan dipelajari, banyak

    hal yang bisa dijadikan sebagai pelajaran dan pengalaman dalam perjalanan hidup

    bangsa Indonesia untuk membangun sumber daya manusia yang diharapkannya

    pada setiap periode tertentu. Sekaligus, hal itu juga dapat menjadi bahan atau

    informasi yang berharga dalam merancang kurikulum di masa-masa akan datang.

    Keberhasilan dan kegagalan dalam pelaksanaan suatu kurikulum akan

    dipengaruhi oleh banyak faktor, baik internal maupun eksternal. Meskipun

    kurikulum sudah dirancang sebaik mungkin, namun di dalam pelaksanaannya

    akan tergantung kepada kemampuan para kepala sekolah dan guru untuk

    menjabarkannya lebih lanjut di tingkat sekolah dan kelas. Selain itu juga,

    implementasi kurikulum akan sangat tergantung kepada dukungan para birokrasi

    dan pembina pendidikan di lapangan dengan kebijakan-kebijakan operasionalnya.

  • 23

    DAFTAR PUSTAKA

    Ornstein, A.C., Levine, D.U, Gutek, G.L. 2011. Foundation of Education.

    Belmont: Wadsworth.

    Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional

    Pendidikan.

    Somantrie, H. 2010. Perkembangan kurikulum sekolah menengah di Indonesia

    (Suatu perspektif historis dari masa ke masa). Jakarta: Kementerian

    Pendidikan Nasional Balitbang Pusat Kurikulum.

    Undang - Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.