kumpulan studi kasus hi

Upload: tri-yandi-ferdiansyah

Post on 18-Jul-2015

2.210 views

Category:

Documents


38 download

TRANSCRIPT

YURISDIKSI NEGARAATTORNEY GENERAL V. EICHMANN (DISTRICT COURT OF JERUSALEM 1961)

Fakta-Fakta Hukum1.Adolf Eichmann, lahir di Solingen, Jerman, pada tanggal 19 Maret 1906. Pada bulan November 1932, Eichmann diterima sebagai anggota tetap SS. Tahun berikutnya, Eichmann diterima sebagai anggota Algemeine SS dan bekerja sebagai penggerak bentuk operasi dari Salzburg. 2.Pada tahun 1937, Eichmann dikirim ke Palestina yang waktu itu menjadi wilayah mandatnya Inggris, dengan pemimpinnya Herbert Hagen untuk dapat mengetahui kemungkinan-kemungkinan emigrasi secara besar-besaran orang Yahudi, dari Jerman ke Palestina. 3.Tahun 1938, Eichmann ditugaskan ke Austria untuk membantu mengorganisir pasukan keamanan SS di Vienna setelah terjadinya peristiwa Anschluss di Austria menuju Jerman. Eichmann kemudian dipromosikan sebagai SS Orbersturmfuhrer (Letnan I), dan di akhir tahun 1938 Eichmann diangkat sebagai pemimpin SS untuk membentuk Kantor Pusat untuk Emigrasi Yahudi. 4.Eichmann kembali ke Berlin pada tahun 1939 setelah membentuk RSHA. Pada bulan Desember 1939, Eichmann diangkat menjadi kepala RSHA Refreat IV B4, Departemen RSHA yang setuju dengan hubungan dan evakuasi orang Yahudi. 5.Pada bulan Agustus 1940, Eichmann membuat Proyek Madagaskar, sebuah rencana untuk menghukum deportasi orang Yahudi yang tidak pernah di sahkan.

Permasalahan HukumPada musim gugur tahun 1941, Heydrich memberi perintah kepada Eichmann bahwa orang Yahudi yang ada di Eropa yang berada di bawah kekuasaan Jerman, harus dihukum. Tahun 1942, Heydrich memerintahkan Eichmann untuk menghadiri pertemuan Wannsee

sebagai sekretaris, dimana anti semitik Jerman dimasukkan ke dalam aturan resmi genosida. Eichmann diberi posisi pengurus transportasi dari jalan akhir terhadap permasalahan Yahudi, yang membuat dia berwenang atas semua kereta yang membawa orang Yahudi ke kamp kematian di wilayah yang telah diokupasi dari Polandia. Tahun 1944, Eichmann dikirim ke Hongaria setelah Jerman mengokupasi negaranegara yang takut dengan invasi soviet. Pada suatu ketika, Eichmann bekerja untuk mendeportasi orang Yahudi dan mengirim 430.000 orang Hongaria kepada kematian dengan kamar gas. Tahun 1945, Heinrich Himmler memerintahkan untuk penghentian pembasmian ras Yahudi dan menghilangkan bukti dari tindakan terakhir terhadap pembasmian masal ras tersebut, namun perintah tersebut tidak dilaksanakan oleh Eichmann. Tahun 1959, Mossad mengumumkan bahwa Eichmann berada di Buenos Aires yang diketahui bernama Ricardo Clement dan memulai pencaharian dimana lokasi Eichmann yang sebenarnya. Akhirnya disimpulkan bahwa Ricardo Clement tersebut adalah Adolf Eichmann. Pemerintah Israel menyetujui misi penangkapan Eichmann untuk dibawa ke pengadilan Jerussalem untuk diadili terkait dengan kejahatan perang. Agen dari Mossad tetap melanjutkan pengintaiannya kepada Eichmann sampai keadaan benar-benar memungkinkan untuk menangkapnya. Eichmann ditemukan oleh tim Mossad dan Shabak sebuah agen yang berada di pinggiran kota Boeinos Aires pada tanggal 11 Mei 1960 yang menjadi bagian dari operasi tersebut. Agen-agen Mossad datang pada bulan April 1960 setelah identitas dari Eichmann diberitahukan. Pada tanggal 21 Mei 1960, Eichmann dibawa keluar dari Argentina dengan penerbangan komersil menuju Israel. Pemerintah Israel hanya mengakui bahwa penculikan Eichmann tersbut dilakukan oleh orang-orang Yahudi yang menjadi relawan dan membawanya ke pemerintah Israel. Negosiasi akhirnya dilakukan antara Israel yang diwakili oleh perdana menteri David Ben-Gurion dengan Presiden Argentina Arturo Frondizi. Pada bulan Juni 1960, setelah kegagalan terhadap perundingan rahasia dengan Israel, Argentina meminta rapat tertutup dengan Dewan Keamanan PBB, untuk mengajukan apa yang menjadi keberatan yang diakui oleh Argentina sebagai pelanggaran terhadap hak-hak berdaulat dari Republik Argentina. Dalam debat tersebut, Israel diwakili oleh Golda Meir yang

berargumentasi bahwa kejadian tersebut hanyalah merupakan pelanggaran hukum Argentina secara diam-diam ketika yang melakukan penculikan tersebut bukanlah agen Israel melainkan hanyalah warga sipil biasa. Akhirnya Dewan mengeluarkan suatu resolusi yang meminta Israel untuk membuat ganti rugi yang tepat, ketika menyatakan bahwa Eichmann seharusnya dibawa ke pengadilan yang berwenang terhadap kejahatan yang dipersalahkan kepadanya dan resolusi ini seharusnya tidak bisa ditafsirkan sebagai pengampunan terhadap kejahatan yang berdasarkan kebencian dimana Eichmann dipersalahkan. Setelah perundingan yang panjang, pada tanggal 3 Agustus, Israel dan Argentina menyetujui untuk mengakhiri masalah mereka dengan membuat pernyataan bersama bahwa Pemerintahan Israel dan Republik Argentina, dengan itikad baik akan melaksanakan Resolusi Dewan Keamanan tanggal 23 Juni 1960, yang menandakan bahwa hubungan diplomatik secara tradisional diantara dua negara akan dilanjutkan dan telah memutuskan untuk menutup kejadian yang ditimbulkan dari perbuatan Israel yang pada dasarnya melanggar dasar-dasar dari hak berdaulat Argentina.

Putusan dan Dasar Pertimbangan MahkamahPada dasarnya, Israel mau mengadili Eichmann dengan alasan bahwa yang selama ini dilakukan oleh Eichmann adalah kejahatan internasional yang memiliki yurisdiksi universal, yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap orang-orang Yahudi. Persidangan terhadap Eichmann dilaksanakan pada tanggal 11 April 1961. Dia didakwa melakukan 15 jenis kejahatan, termasuk di dalamnya kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan terhadap orang-orang Yahudi, dan Eichmann merupakan anggota dari organisasi terlarang. Persidangan dilangsungkan di Beit Haam, di tengah kota Jerussalem. Persidangan ini menimbulkan berbagai polemik internasional. Pemerintah Israel menyiarkan langsung di TV persidangan Eichmann tersebut. Persidangan dimulai dengan menghadirkan berbagai saksi, termasuk di dalamnya orang-orang yang selamat dari peristiwa Holocaust yang memberian kesaksian melawan Eichmann dan aturannya mengenai transportasi bagi korbankorban untuk diantarkan ke kamp konsentrasi. Akhirnya pada tanggal 11 Desember, tiga hakim yang mengadili Eichmann tersebut menyatakan bahwa Eichmann terbukti melakukan semua kejahatan yang didakwakan terhadapnya. Pada tanggal 15 Desember, Eichmann divonis mati oleh hakim pengadilan Israel tersebut. Eichmann mengajukan banding terhadap putusan hakim tersebut mengenai yurisdiksi Israel dalam mengadili Eichmann serta kesalahan-kesalahan yang didakwakan kepadanya.

Eichmann berdalih terhadap prinsip-prinsip Act of State dan Superior Orders. Pada tanggal 29 Mei 1962, Supreme Court Israel bertindak sebagai pengadilan banding menolak banding dari Eichmann dan membenarkan putusan pengadilan negeri yaitu memvonis mati Eichmann. Supreme Court menolak segala pembelaan Eichmann yaitu mengikuti perintah. Tetapi Supreme Court tidak mempertimbangkan putusan itu karena Eichmann memiliki kewenangan dalam memberikan perintah terhadap penyelesaian akhir kepada orang-orang yahudi. Pada tanggal 31 Mei 1962, presiden Israel Yitzhak Ben-Zvi menolak pengampunan yang diajukan oleh Eichmann. Eichmann akhirnya dieksekusi pada tanggal 31 Mei 1962 di kota Ramla, Israel.

REGINA V. BOW STREET METROPOLITAN STIPENDIARY MAGISTRATE, EX PARTE PINOCHET UGARTE (AMNESTY

INTERNATIONAL AND OTHERS INTERVENING, 2000)

Fakta-Fakta Hukum1.Dalam masa pemerintahannya, Pinnochet diduga telah banyak melakukan kejahatan serius diantaranya pembunuhan, penculikan, pelenyapan dan penyiksaan secara massal, penyelundupan senjata illegal dan perdagangan narkotika ( kokain). 2.Korban kediktatoran Pinnochet tidak hanya warga negara lokal tetapi juga mencakup diantaranya adalah warga negara Spanyol dan Argentina. 3.Ketika sedang berada di Inggris, ia ditangkap dan ditahan atas dasar International arrest warrant yang dipengaruhi oleh permintaan ekstradisi ke Spanyol oleh Baltazar Garzon yang adalah Hakim Spanyol yang tuduhannya berupa 94 kasus penyiksaan terhadap Warga Negara Spanyol. 4.Pinnochet memiliki kekebalan dari penuntutan berdasarkan State of Immunity Act tahun 1978 yang merupakan implementasi dari Konvensi Uni Eropa mengenai State Immunity tahun 1972. 5.Spanyol ( requesting state ) dan Inggris ( requested state ) merasa berhak untuk mengadili Pinnochet berdasarkan yurisdiksi universal dimana setiap negara berhak untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku kejahatan Internasional yang serius yaitu genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.yang mana mereka telah meratifikasi konvensi anti penyiksaan yang memberikan kewajiban bagi mereka untuk melaksanakan yurisdiksi universal terhadap kejahatan Internasional tersebut. 6.Mahkamah Agung Inggris berpendapat bahwa Spanyol dan Inggris berhak menuntut dan menghukum atau pula mengekstradisi Pinnochet atas dasar bahwa kejahatan Internasional merupakan kejahatan serius yang mengancam eksistensi umat manusia sekaligus melanggar norma tertinggi hukum internasional dan juga menolak pembelaan Pinnochet atas hak imunitas yang ia miliki ( State Immunity Act 1978 ) sehingga si pelaku tidak dapat berlindung dibalik imunitasnya terhadap kejahatan internasional yang dilakukan..

Masalah Hukum Pinochet adalah seorang presiden dan diktator Chile. Ia juga adalah seorang Jenderal

Militer yang bertugas sebagai kepala staff dan komandan pasukan militer. Dia memimpin kudeta menggulingkan pemerintahan sosialis milik Presiden Salvador Allende pada September 1973. Sebagai pemimpin dari 4 Dewan Militer, ia melakukan penangkapan secara massal dan bertanggungjawab mengembalikan terhadap banyak terbunuhnya yang lebih dari 2000 dan orang politikus. Dia juga sector bisnis dinasionalisasi pertanian kepada

swasta/perorangan. Di luar dari kebrutalan yang ia lakukan, rezimnya dipuji karena pertumbuhan ekonomi yang baik. Setelah kekalahannya dari seorang negarawan plebisit pada tahun 1989, jabatannya sebagai Presiden diganti oleh Patricio Aylwin. Pinnochet tetap menjadi pemimpin militer sampai tahun 1998 ketika ia diangkat menjadi senator seumur hidup yang membuatnya kebal terhadap tuntutan hukum. Pada kunjungannya ke London dalam tahun yang sama, ia ditangkap atas permintaan dari pemerintah Spanyol atas tuduhan pembunuhan dan penyiksaan yang memungkinkannya untuk diekstradisi ke Spanyol. Pada tahun 1999, hakim Mahkamah Agung Inggris menyatakan bahwa ia harus diekstradisi, namun Pinnochet kemudian dilepaskan karena alasan kesehatan dan akhirnya kembali ke Chile. Pada tahun 2000, kekebalan yang ia miliki itu dicopot dan kemudian dimintakan pertanggungjawabannya atas keterlibatannya dalam penculikan dan pembunuhan yang muncul setelah kudeta. Penuntutan tersebut dihentikan, akibat kegagalannya dalam menghadiri persidangan dikarenakan kondisi kesehatannya yang tidak memungkinkan dia untuk mengikuti persidangan. Hal ini ditegaskan sendiri oleh Mahkamah Agung Chile. Masalah hukum yang kemudian terjadi adalah apakah Inggris dan Spanyol berwenang menuntut dan menghukum Pinnochet berdasarkan yurisdiksi universal terkait hak imunitas yang diklaim oleh Pinnochet ?

Putusan dan Dasar Pertimbangan Mahkamah Agung InggrisMahkamah Agung Inggris memutuskan bahwa Pinnochet tidak memiliki hak kekebalan dari tuntutan hukum atas dasar bahwa kejahatan yang dilakukan merupakan kejahatan internasional serius yang tunduk pada yurisdiksi universal dan juga sekaligus menolak pembelaan Pinnochet yang mengklaim hak imunitas. Inggris telah meratifikasi konvensi anti penyiksaan yang berarti telah memberi kewajiban kepada Inggris untuk melaksanakan yurisdiksi universal. Keputusan tersebut didasari oleh 3 pertimbangan, yaitu: 1. Penjelasan atau uraian dalam UU Inggris mengenai kejahatan yang dapat diekstradisi menurut UU Ekstradisi Inggris tahun 1989. Dalam konteks ini, aturan mengenai double criminality dan definisi mengenai kejahatan yang dapat diekstradisi sebagai suatu

tindakan untuk menentukan suatu kejahatan menurut UU Spanyol dan juga UU Inggris memainkan peranan yang sangat penting: 2. Penafsiran torture sebagai suatu kejahatan Internasional yang diberlakukan di Inggris pada 29 September 1988 berdasarkan Torture Convention 1984, memberikan suatu kewajiban yurisdiksi universal dan menetapkan kejahatan penyiksaan yang dilakukan di luar Inggris sebagai suatu tindak pidana baru yang membawa kepada pertanggungjawaban pidana menurut UU Inggris; 3. Menolak kekebalan bekas kepala negara terhadap International Crime of Torture . Hakim Inggris pada intinya menekankan bahwa larangan terhadap torture merupakan sebuah aturan hukum kebiasaan internasional dan juga sebagai sebuah norma yang mengikat semua subyek hukum internasional tanpa mempertimbangkan apakah sebuah negara telah menandatangani atau meratifikasi Torture Convention atau perjanjian lain yang terkait dengan kejahatan tersebut. Lord Hutton dan Phillips kemudian menyatakan bahwa torture berada diluar ruang lingkup dari fungsi seorang kepala negara. Dalam Pasal 7 ayat (1) Torture Covention ditetapkan suatu kewajiban bagi negara untuk menuntut atau mengekstradisi orang yang diduga melakukan torture, sehingga Spanyol dan Inggris memiliki yurisdiksi criminal untuk mengadili Pinnochet. Sebagai bagian dari hukum kebiasaan Internasional, yurisdiksi universal terhadap kejahatan kemanusiaan memberi kuasa kepada pengadilan nasional untuk menuntut dan menghukum pelaku dalam keadaan apapun . Atas dasar tersebut akhirnya Bow Street Magistrate memerintahkan agar Pinnochet diekstradisi ke Spanyol, namun karena alasan kesehatan yang makin memburuk maka ia dipulangkan ke Chile.

THE LOTUS CASE (PCIJ, 1927)

Fakta-Fakta Hukum1.Pada tanggal 2 Agustus 1926, terjadi tabrakan di lokasi antara 5-6 mil utara Tanjung Sigri (laut lepas) dimana kapal Perancis, Lotus menabrak kapal Turki, Boz-kourt. 2.Tabrakan tersebut menyebabkan kapal Boz-kourt tenggelam dan mengakibatkan meninggalnya 8 orang awak kapal Boz-kourt yang merupakan warga negara Turki. 3.Lotus berhasil menyelamatkan 10 orang awak Boz-kourt dan melanjutkan perjalanannya menuju Konstantinopel, dan setibanya di Konstantinopel, kapten kapal Boz-kourt, Demons segera ditangkap dan diadili oleh pihak Turki. 4.Pada tanggal 3 Agustus, Demons resmi dijadikan tersangka dalam kasus Lotus oleh Pengadilan Turki tanpa peberitahuan kepada Konsulat Jenderal Perancis di Turki. 5.Pada tanggal 4 Agustus, Konsulat Jenderal Perancis menerima laporan pengaduan dari kapten kapal Lotus. 6.Pada tanggal 28 Agustus, Demons mengajukan keberatan dalam persidangan karena Pengadilan Turki dianggap tidak berwenang untuk mengadili karena kasus terjadi di laut lepas dimana tidak ada kedaulatan satu negarapun yang berlaku. 7.Pada tanggal 15 September, Pengadilan Negeri Turki menjatuhi hukuman 80 hari penjara dan denda kepada Letnan Demons dan Hassan Bey, kapten kapal Boz-kourt atas kelalaiannya karena tidak memiliki izin mengemudikan kapal. Putusan ini diprotes keras oleh Perancis. 8.Pada tanggal 26 Oktober 1926, Perancis dan Turki sepakat untuk membawa masalah ini ke PCIJ dengan Special Agreement.

Masalah HukumMasalah hukum yang terjadi dalam kasus ini adalah mengenai sengketa mengadili berdasarkan yurisdiksi negara antara Perancis dengan Turki. Dalam kasus ini, ada dua pendapat yang berbeda dari kedua negara yang menjadi persoalan utama yakni Perancis berpendapat bahwa bila terjadi tubrukan di laut lepas, maka persoalannya tunduk pada wewenang eksklusif negara bendera dikarenakan hukum internasional belum mengatur tentang pelanggaran yang terjadi di laut lepas yang melibatkan dua negara. Sedangkan Turki berpendapat bahwa pengadilannya mempunyai wewenang untuk mengadili suatu perbuatan

yang terjadi di luar negeri oleh orang asing bila yang menjadi korban adalah orang Turki sendiri.

Putusan dan Dasar Pertimbangan Mahkamah Tetap InternasionalPada tanggal 7 September 1927, Mahkamah Tetap Internasional (PCIJ) memutuskan bahwa negara dapat memberikan wewenang yang dianggapnya perlu pada peradilannya bahkan untuk mengadili perbuatan yang terjadi di luar negeri kecuali jika ada pembatasan terhadap kedaulatan negara dalam memberikan wewenang tersebut. Jadi, Mahkamah membenarkan tindakan Turki, walaupun menimbulkan protes di banyak negara dan akhirnya dengan Konvensi Bruxelles tanggal 10 Mei 1952 membenarkan pendapat Perancis. Konvensi hanya memberikan wewenang eksklusif kepada negara bendera untuk mengambil tindakan administratif atau hukum kepada warga negaranya yang bertanggung jawab terhadap terjadinya suatu tubrukan. Tetapi Konvensi juga menambahkan, bila tubrukan tersebut terjadi di satu pelabuhan atau laut wilayah negara asing, maka yurisdiksi negara asing inilah yang berlaku. Prinsip ini kemudian ditegaskan pada pasal 97 ayat (1) Konvensi yang berbunyi Bila terjadi suatu tubrukan atau insiden pelayaran lain apapun yang menyangkut suatu kapal di laut lepas, berkaitan dengan tanggung jawab pidana atau disiplin nakhoda atau setiap orang lainnya dalam dinas kapal, tidak boleh diadakan tuntutan pidana atau disiplin terhadap orang-orang tersebut kecuali di hadapan pejabat-pejabat hukum atau adminstratif negara bendera atau negara dimana orang-orang itu berkebangsaan. Mahkamah Tetap Internasional menitikberatkan putusannya pada hasil Konvensi Lausanne tahun 1923 yang mengatur bahwa Turki memiliki yurisdiksi atas segala hal yang terjadi di wilayah teritorial mereka.

IN RE WESTERLING, SINGAPORE SUPREME COURT, 1951

Fakta-Fakta Hukum1.Raymond Pierre Paul Westerling (lahir di Istanbul, Turki, 31 Agustus 1919) adalah komandan pasukan Belanda yang memimpin Pembantaian Westerling (1946-1947) di Sulawesi Selatan dan pemberontakan APRA di Jawa Barat. 2.Pada tanggal 15 Desember 1943, Westerling ditugaskan ke India dan bertugas di Komando Asia Tenggara yang ditempatkan di Kedgaon, 60 km utara kota Poona. Kemudian pada tanggal 20 Juli 1946, Westerling diangkat menjadi komandan pasukan khusus DST karena berhasil menumpas perlawanan rakyat Sulawesi Selatan. 3.Westerling tiba di Makassar pada tanggal 5 Desember 1946 dengan memimpin 120 orang pasukan DST dan kemudian menumpas perlawanan rakyat Makassar tanpa menghiraukan peraturan perlindungan kepada warga sipil sehingga mengakibatkan banyak warga sipil tidak bersalah yang menjadi korban. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Pembantaian Westerling. Selain itu, Westerling juga banyak membantai penduduk sipil di daerah Tasikmalaya dan Ciamis yang menyebabkan Belanda melakukan investigasi terhadap Westerling dan pasukannya. 4.Pada tanggal 14 November 1948, Westerling diberhentikan dari jabatannya dan juga dari dinas kemiliteran. Kemudian, pada bulan November 1949, Westerling membentuk organisasi rahasia bernama Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) untuk kemudian merencanakan kudeta terhadap RI bersama dengan DI/ TII pada tanggal 23 Januari 1950 dengan cara membunuh setiap prajurit TNI yang mereka temukan. Peristiwa ini menyebabkan tewasnya 94 perwira TNI, termasuk Kolonel Limbong. 5.Pihak Belanda berusaha menyelamatkan Westerling dari tuntutan hukum karena dianggap sebagai pahlawan sehingga kemudian merencanakan upaya pelarian Westerling dari Indonesia menuju Eropa melalui Singapura. 6.Pada tanggal 26 Februari 1950, polisi Inggris menangkap Westerling yang sedang bersembunyi di rumah temannya di Singapura. Indonesia kemudian meminta Westerling diekstradisi.

Masalah Hukum

Masalah hukum yang terjadi dalam kasus ini adalah sengketa mengadili Westerling antara Indonesia, Singapura, dan Belanda. Setelah mendengar bahwa Westerling telah ditangkap oleh Polisi Inggris di Singapura, Pemerintah RIS mengajukan permintaan kepada otoritas di Singapura agar Westerling diekstradisi ke Indonesia karena menurut prinsip yurisdiksi nasionalitas pasif, Westerling dapat diadili di Indonesia karena korban-korbannya adalah WNI. Pada 15 Agustus 1950, dalam sidang Pengadilan Tinggi di Singapura, Hakim Evans memutuskan bahwa Westerling sebagai warga negara Belanda tidak dapat diekstradisi ke Indonesia. Sebelumnya, sidang kabinet Belanda pada 7 Agustus telah memutuskan bahwa setibanya di Belanda, Westerling akan segera ditahan. Pada 21 Agustus, Westerling meninggalkan Singapura sebagai orang bebas dengan menumpang pesawat Australia Quantas dan ditemani oleh Konsul Jenderal Belanda untuk Singapura, Mr. R. van der Gaag. Awal April 1952, secara diam-diam Westerling masuk ke Belanda. Keberadaannya tidak dapat disembunyikan dan segera diketahui, dan pada 16 April, Westerling ditangkap di rumah Graaf A.S.H. van Rechteren. Mendengar berita penangkapan Westerling di Belanda, pada 12 Mei 1952 Komisaris Tinggi Indonesia di Belanda Susanto meminta agar Westerling diekstradisi ke Indonesia, namun ditolak oleh Pemerintah Belanda, dan bahkan sehari setelah permintaan ekstradisi itu, pada 13 Mei Westerling dibebaskan dari tahanan. Putusan Mahkamah Agung Belanda pada 31 Oktober 1952, menyatakan bahwa Westerling adalah warganegara Belanda sehingga tidak akan diekstradisi ke Indonesia.

Putusan dan Dasar Pertimbangan MahkamahPengadilan Tinggi Singapura melalui Hakim Evans memutuskan bahwa Westerling sebagai warga negara Belanda tidak dapat diekstradisi ke Indonesia sehingga permintaan Indonesia untuk mengekstradisi Westerling ditolak oleh Singapura. Dasar pertimbangan hakim adalah prinsip yuriskdiksi teritorial dimana Westerling ditangkap di Singapura sehingga Singapura yang berhak mengadilinya. Begitu pula ketika Westerling ditangkap di Belanda pada bulan April 1952, Mahkamah Agung Belanda menolak permintaan ekstradisi dari Indonesia dengan alasan Westerling adalah warga negara Belanda sehingga menurut prinsip yurisdiksi nasionalitas aktif, Belanda yang berhak untuk mengadili Westerling.

HUBUNGAN HUKUM NASIONAL DAN HUKUM

INTERNASIONALBREMEN TOBACCO CASE 1959

Fakta-Fakta Hukum1.Pada tahun 1958, pemerintah Indonesia menasionalisasi perusahaan-perusahaan perkebunan milik Belanda di Sumatera Utara. 2.Tindakan ini oleh Belanda dianggap merupakan tindakan yang prima facie, yaitu tindakan yang melanggar hukum internasional yang memberikan perlindungan kepada orang asing dan miliknya. 3.Pihak Belanda, dalam hal ini De Verenigde Deli Maatschapijen mendalilkan bahwa tindakan nasionalisasi pemerintah Indonesia itu tidak sah karena tidak disertai dengan ganti rugi atau karena ganti rugi yang ditawarkan tidak memenuhi apa yang oleh pihak De Verenigde Deli Maatschapijen dianggap sebagai dalil hukum internasional, yaitu bahwa ganti rugi itu harus prompt, effective, and adequate. 4.Pihak pemerintah RI dengan Maskapai Tembakau Jerman-Indonesia (DeutschIndonesia Tabaks Handels G.m.b.H) beralasan bahwa tindakan pengambilalihan dan nasionalisasi itu merupakan tindakan suatu negara berdaulat dalam rangka perubahan struktur ekonomi bangsa Indonesia dari struktur ekonomi kolonial ke ekonomi nasional.

Masalah HukumMasalah hukum yang terjadi dalam kasus Bremen Tobacco antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Belanda adalah keabsahan (legality) tindakan pemerintah Indonesia dalam mengambil alih dan kemudian menasionalisasikan perusahaan perkebunan tembakau Belanda di Indonesia pada waktu itu. Dalam perkara Bremen ini, berhadapan hukum nasional yaitu undang-undang Republik Indonesia tentang nasionalisasi perusahaan Belanda beserta peraturan pelaksanaannya dengan hukum internasional yaitu ketentuan hukum internasional mengenai perlindungan hak milik orang asing di suatu negara. Pihak Belanda, dalam hal ini De Verenigde Deli Maatschapijen mendalilkan bahwa tindakan nasionalisasi pemerintah Indonesia itu tidak sah karena tidak disertai dengan gantirugi atau karena gantirugi yang ditawarkan tidak memenuhi apa yang oleh pihak De Verenigde Deli

Maatschapijen dianggap sebagai dalil hukum internasional, yaitu bahwa gantirugi itu harus prompt, effective, and adequate. Dalil ini dibantah oleh pihak tergugat, yakni die DeutschIndonesischen Tabaks HandelsG.m.b.H. (Perusahaan Tembakau Jerman-Indonesia) yang dibantu oleh Pemerintah RI, dengan memperbantukan tiga orang pada pihak DeutschIndonesischen Tabaks Handels G.m.b.H. Pihak perusahaan tembakau Jerman-Indonesia dan pemerintah RI membantah dalil Belanda yang dikemukakan di atas dengan mengatakan bahwa nasonalisasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah usaha untuk mengubah struktur ekonomi Indonesia dari ekonomi kolonial ke ekonomi yang bersifat nasional secara radikal. Tentang keharusan ganti rugi tersebut, dikemukakan dalil bahwa yang dikemukakan oleh pihak Belanda yaitu bahwa ganti rugi itu harus prompt, effective, and adequate tidak dapat diterima karena seandainya dalil itu diterima, tidak mungkin suatu negara muda yang berkembang di mana pun akan mengubah struktur ekonominya, sehingga dalil itu tidak mungkin dipenuhi. Pengambilalihan suatu perusahaan asing adalah suatu pelanggaran hukum, namun demikian dalam hal-hal tertentu tindakan ini dapat pula dianggap dibenarkan apabila dipenuhinya syarat-syarat, yaitu : 1. Untuk kepentingan umum (public purposes); 2. Ganti rugi yang tepat (appropriate compensation); 3. Non diskriminasi (non-discrimination).

Putusan Pengadilan Tinggi BremenPengadilan Bremen kemudian memutuskan bahwa pengadilan tidak mempersoalkan keabsahan tindakan nasionalisasi pemerintah Indonesia yang kemudian diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Bremen tanggal 21 Agustus 1959 secara tidak langsung menyatakan bahwa tindakan nasonalisasi pemerintah Indonesia atas perkebunan Belanda adalah sah

Dasar Pertimbangan Pengadilan Tinggi BremenDasar pertimbangan Pengadilan Tinggi Bremen mengesahkan tindakan Indonesia ini dikarenakan ganti kerugian yang disediakan oleh pemerintah RI sebagai pihak yang melakukan expropriation nasional lain sifat dan bentuknya. Dengan PP No.9 tahun 1959, ditentukan bahwa dari hasil penjualan hasil perkebunan tembakau dan perkebunan lainnya akan disisihkan suatu presentasi tertentu untuk disediakan pembayaran ganti rugi. Dengan demikian, pemerintah RI hendak menunjukkan bahwa ia tidak melanggar prinsip ganti kerugian, hanya pembayaran ganti kerugian itu cara maupun jumlahnya disesuaikan dengan kemampuannya sebagai negara

merdeka yang baru berkembang. Kasus Bremen Tobacco ini merupakan suatu peristiwa yang memerlukan penyimpangan dari ketentuan hukum internasional mengenai perlindungan milik asing. Walaupun dengan keputusan Pengadilan Bremen ini tidak dapat dikatakan bahwa kaidah hukum internasional tentang nasionalisasi milik asing telah berubah, namun keputusan ini ternyata telah menarik perhatian dunia dan memiliki peranan yang besar dalam proses perubahan kaidah hukum internasional yang mengatur mengenai nasionalisasi.

MORTENSEN V. PETERS (COURT OF JUSTICIARY, SCOTLAND,1906)

Fakta-Fakta Hukum1. North Sea Fisheries Convention 1883, dimana Inggris dan Denmark termasuk pihak dalam perjanjian, namun tidak demikian dengan Norwegia, mengatur bahwa nelayan memiliki hak eksklusif dalam kegiatannya yang dapat diterapkan di teluk yang lebarnya kurang dari 10 mil. 2. Sekitar tahun 1898, sekelompok nelayan yang menaiki kapal pukat berbendera Norwegia melakukan kegiatan penangkapan ikan di Moray Firth dengan menggunakan bom air yang dilarang oleh Sea Fisheries Acts dan Herring Fisheries Act Skotlandia dimana kedua undang-undang tersebut mengatur bahwa tidak ada satu pihak pun boleh melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bom air, kecuali telah mendapat izin dari otoritas Skotlandia di sekitar Moray Firth meliputi garis pantai dari Duncansby Head sampai Rattray Point (berjarak 75 mil dari muara Moray Firth). 3. Kapal-kapal pukat Norwegia tersebut kemudian ditahan oleh pihak otoritas Norwegia, dan para awaknya dijerat dengan kedua undang-undang tersebut karena melakukan aktivitas penangkapan ikan dengan cara-cara yang dilarang oleh undang-undang Norwegia. 4. Pada tahun 1905, Mahkamah Skotlandia menerima banding dari para nelayan Norwegia yang diwakili oleh Mortensen, seorang warga negara Denmark yang berdomisili di Grimsby, Inggris, yang menjadi kapten dari salah satu kapal pukat yang ditahan oleh otoritas Skotlandia, yang menangkap ikan di wilayah yang berjarak sekitar 3-10 mil dari mulut teluk Moray Firth. 5. Wilayah yang dimasuki oleh Mortensen dalam kegiatan penangkapan ikannya merupakan bagian dari Moray Firth yang berjarak lebih dari 3 mil dari daratan dan bukan termasuk wilayah kedaulatan Inggris berdasarkan North Sea Convention. Mortensen dianggap bersalah oleh Sheriff, yang kemudian menghukumnya dengan hukuman 50 hari penjara. Mortensen menyatakan keberatannya dikarenakan Sea Fisheries Acts hanya dapat diberlakukan bagi orang Inggris atau orang asing yang berada di wilayah teritorial Inggris, sementara berdasarkan hukum internasional, wilayah tersebut berada diluar teritorial Inggris. 6. Pihak otoritas Skotlandia yang diwakili oleh Mr. Peters, menyatakan bahwa maksud dari

undang-undang tersebut bersifat universal dan sudah jelas Walaupun tidak dinyatakan dalam hukum internasional, tetapi Moray Firth tetap dapat dikatakan sebagai laut teritorial yang termasuk intra fauces terrae. Selain itu, walaupun Moray Firth bukan merupakan wilayah teritorial Inggris, tetapi pihak berwenang Skotlandia tetap dapat menjerat Mortensen berdasarkan Undang-Undang Perlindungan yang ditujukan untuk melindungi kegiatan penangkapan ikan di laut.

Masalah HukumMasalah hukum yang kemudian terjadi adalah pertentangan antara Mortensen yang menganggap tindakannya adalah legal berdasarkan hukum internasional dan tempat kejadian berada diluar teritorial Inggris sehingga ia tidak bisa dijerat dengan undang-undang nasional Inggris karena ia bukan orang Inggris dan tidak berada dalam teritorial Inggris dengan Mr. Peters selaku pihak otoritas Skotlandia yang menangkap Mortensen, yang beranggapan Mortensen telah melakukan pelanggaran di Moray Firth yang dianggap merupakan teritorial Inggris. Mortensen melakukan banding dan menyatakan tindakannya dibenarkan berdasarkan North Sea Convention 1883 yang mengatur hak eksklusif nelayan. Namun, Mr. Peters beralasan, Mortensen juga dapat dijerat dengan undang-undang perlindungan kegiatan perikanan.

Putusan Mahkamah Tinggi SkotlandiaMahkamah Tinggi Skotlandia (Court of Justiciary Scotland) pada tahun 1906 setelah mempertimbangkan alasan kedua belah pihak, melalui Majelis Hakim yang beranggotakan tiga orang Hakim yaitu Lord Justice-General Dunedin, Lord Kyllachy, dan Lord Salvesen memutuskan untuk mengabulkan banding dari Mortensen.

Dasar Pertimbangan MahkamahMahkamah Tinggi Skotlandia berpendapat bahwa undang-undang nasional tidak dapat diterapkan terhadap orang asing yang tidak berada dalam wilayah teritorial Inggris dimana untuk kasus seperti ini, hukum internasional yang berlaku. Mahkamah tidak dapat melakukan apapun terhadap pertanyaan mengenai kewenangan badan legislatif terhadap pihak asing. Mahkamah hanya dapat memutuskan apakah Act of Legislature tersebut ultra vires atau bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum umum dalam hukum internasional. Mahkamah berpendapat bahwa Act of Parliament merupakan lembaga tertinggi yang dibentuk dan disetujui oleh Raja sehingga Mahkamah tidak dapat melampaui kewenangannya. Mahkamah

mempertimbangkan banding yang diajukan Mortensen dimana ia menyatakan maksud dari undang-undang tersebut adalah undang-undang Inggris hanya dapat diterapkan pada orang Inggris atau pada orang asing yang berada di wilayah teritorial Inggris. Mortensen bukan merupakan orang Inggris dan tempat terjadinya kasus (locus delicti) yang berada dalam jarak lebih dari 3 mil, bukan termasuk teritorial Inggris, sehingga Mortensen berpendapat bahwa ia tidak dapat dijerat dengan undang-undang tersebut. Dasar pertimbangan Mahkamah adalah bahwa Moray Firth seharusnya dipandang sebagai common heritage of mankind dan berlaku hukum internasional sehingga hukum nasional Inggris tidak dapat diberlakukan di wilayah tersebut karena Inggris tidak memiliki kedaulatan terhadap Moray Firth.

FILARTIGA PENA-IRALA, COURT OF APPEALS 2ND CIRCUIT, 1980

Fakta-Fakta Hukum1. Kasus ini terjadi pada 29 Maret 1976 dan diadili pada tahun 1978. 2. Kasusnya terjadi di Asuncion, Paraguay dan didili di Brooklyn, Amerika Serikat. 3. Doly Fillartiga dan Joel Fillartiga mengajukan tuntutan terhadap Pena Iralla yang telah membunuh Joelito (adik dari Doly, anak dari Joel) yang disekap terlebih dahulu dan disiksa hingga tewas. 4. Ketika kasus ini dibawa ke pengadilan Paraguay kasus ini tidak menimbulkan keadilan sama sekali, hal ini disebabkan oleh dihukum matinya pengacara keluarga Fillartiga dengan sebab yang tidak jelas. 5. Lalu keluarga Fillartiga meminta suaka politik ke Amerika.

Masalah HukumPermasalahan hukum yang timbul dari kasus ini adalah tentang kewenangan Pengadilan Amerika Serikat untuk mengadili kasus yang terjadi di Negara lain dengan menggunakan hukum yang berlaku di Amerika Serikat, dikarenakan Kasus Fillartiga dan Pena Iralla adalah kasus yang terjadi di Paraguay.

Putusan PengadilanPengadilan CJA (Center for Justice and Accountability) mengabulkan tuntutan ganti rugi 10,4 juta Dollar US yang dimintakan keluarga Fillartiga terhadap Pena Iralla.

Dasar Pertimbangan PengadilanPengadilan Amerika menganggap bahwa kasus penganiayaan dan penyiksaan adalah kasus yang sudah diatur dalam Deklarasi HAM, Piagam PBB , Deklarasi hak dan kewajiban manusia Amerika, dan kebiasaan Internasional. Pengadilan Amerika memiliki kewenangan

untuk mengadili kasus tersebut walaupun kasus tersebut terjadi di luar Amerika. Hal ini didukung lagi oleh karena pada saat itu Pena sedang berada di Amerika begitu juga Fillartiga. Kebiasaan Internasional juga mengatakan kasus penganiayaan dan penyiksaan merupakan pelanggaran yang harus dihukum di manapun hal itu terjadi dan negara manapun bisa menghukum hal tersebut.

MABO V. QUEENSLAND, HIGH COURT OF AUSTRALIA, 1992

Fakta-Fakta Hukum1.Pihak-pihak yang terlibat dalam kasus Mabo vs Queensland ini adalah kaum pribumi Aborigin yang tinggal di Pulau Murray, Selat Torres yang disebut orang-orang Meriam, yang diwakili oleh Eddie Mabo dengan pemerintah negara bagian Queensland, Australia yang memiliki yurisdiksi atas Pulau Murray sebagai koloni dari Inggris. 2.Kasus Mabo v. Queensland terjadi di Pulau Murray yang terletak di Selat Torres yang termasuk dalam wilayah teritorial Queensland, Australia. 3.Kasus Mabo v. Queensland ini merupakan banding dari kasus terdahulu yang telah diputus oleh Pengadilan Distrik Queensland pada tahun 1988 dimana dalam putusan sebelumnya, Majelis Hakim memenangkan pihak pemerintah Queensland atas hak tanah adat milik penduduk Meriam. 4.Kasus ini terjadi karena penduduk lokal di Pulau Murray yaitu orang-orang Meriam menolak Queensland Amendment Act 1982 yang dianggap bersifat diskriminatif dan melanggar hukum kebiasaan internasional yang mengakui hak-hak milik adat penduduk pribumi. 5.Pada tahun 1985, pemerintah Queensland mengeluarkan Queensland Coast Island Declaratory Act 1985 yang menaytakan bahwa aneksasi terhadap Pulau Murray pada tahun 1879 bebas dari hak atau kepentingan manapun sehingga dapat disimpulkan undang-undang ini tidak mengakui hak-hak penduduk Pulau Murray, dan dalam putusannya pada kasus pertama tahun 1988, Pengadilan Tinggi Queensland menganggap undang-undang ini bertentangan dengan Racial Discrimination Act tahun 1975. Pemerintah Queensland berargumen bahwa semua tanah koloni yang berada dibawah yurisdiksi Inggris secara mutlak menjadi milik Inggris.

Masalah HukumMasalah hukum yang kemudian terjadi adalah apakah hukum kebiasaan internasional yang memberikan pengakuan terhadap hak-hak adat penduduk setempat dapat diterapkan dalam kasus ini, mengingat undang-undang nasional Australia tidak mengakui adanya hak milik tanah adat?

Putusan Mahkamah Tinggi AustraliaMajelis Hakim dari Mahkamah Tinggi Australia yang beranggotakan Hakim Brennan, Hakim Deane, Hakim Gaudron, Hakim Toohey, Hakim Dawson, Hakim McHugh, dan Hakim Ketua Mason memutuskan mengabulkan banding Mabo dan penduduk Pulau Murray yang menuntut untuk memberikan hak kepemilikan, penguasaan, dan pengelolaan tanah di seluruh Pulau Murray kepada orang-orang Meriam sebagai penduduk asli yang mendiami wilayah tersebut. Mahkamah juga menolak istilah terra nullius yang digunakan Inggris ketika mengokupasi wilayah tersebut pada tahun 1788.

Dasar Pertimbangan Mahkamah Tinggi AustraliaMahkamah mengabulkan banding dari Mabo karena berdasarkan pernyataan Hakim Moynihan dari Supreme Court of Queensland yaitu orang-orang Meriam memiliki keterikatan batin dengan Pulau Murray tempat mereka tinggal sehingga mereka memiliki hak atas tanah mereka. Semua hakim, kecuali Hakim Dawson, setuju bahwa : Terdapat konsep hak milik adat dalam hukum kebiasaan internasional. Sumber dari hak milik adat berhubungan secara tradisional dengan penguasaan tanah adat. Makna dari hak milik adat berdasarkan karakter dari hubungan atau penguasaan dalam hukum adat atau kebiasaan. Hak milik adat dapat dikesampingkan oleh kebijakan pemerintah yang memiliki dasar dan pertimbangan hukum yang kuat berdasarkan perundang-undangan nasional. Mahkamah juga menyatakan bahwa hak milik Inggris atas tanah koloni bukan mutlak,

melainkan hanya hak radikal dan harus memperhatikan juga hak-hak penduduk setempat.

Analisis KasusDalam kasus ini, kelompok kami melihat adanya hubungan antara hukum nasional yaitu undang-undang Queensland dengan hukum internasional yang dalam kasus ini adalah hukum kebiasaan internasional. Kelompok kami menilai, berdasarkan putusan hakim, maka hukum kebiasaan internasional yang mengatur tentang hak milik adat dapat saling mengisi dengan hukum kepemilikan yang merupakan produk hukum nasional.

NEGARA (PERSONALITY)

INDONESIA CASE, 1946

Fakta-Fakta Hukum1.Pada tanggal 17 Agustus 1945, Republik Indonesia memproklamasikan

kemerdekaannya dari Belanda dengan ditandai pembacaan proklamasi kemerdekaan oleh Ir. Sukarno dan Drs. Moh. Hatta di Jakarta. 2.Kasus ini merupakan sengketa pengakuan kedaulatan antara Indonesia sebagai negara yang baru berdiri dengan Belanda sebagai penjajah Indonesia yang tidak mengakui kemerdekaan Indonesia. 3.Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia karena Indonesia dianggap belum memenuhi negara lain. 4.Indonesia berargumen bahwa mereka telah memenuhi unsur-unsur negara sesuai dengan Konvensi Montevideo tahun 1930 yaitu wilayah, penduduk, pemerintahan yang berdaulat, dan kemampuan untuk mengadakan hubungan internasional, yang telah diatur dalam UUD 1945 sebagai konstitusi tertinggi Indonesia, walaupun pada waktu itu belum terbentuk lembaga-lembaga negara beserta kekuasaannya. 5.Belanda sendiri sebenarnya secara de facto telah mengakui kedaulatan Indonesia melalui Perundingan Linggarjati pada tahun 1946, yang diantaranya menyebutkan syarat-syarat untuk diakui sebagai negara, salah satunya adalah kemampuan (capacity) untuk mengadakan hubungan internasional dengan negara-

bahwa The Nederlands Government recognizes the government of the Republic of Indonesia as exercising de facto authority over Java, Madura, and Sumatera. The areas occupied by Allied or Netherlands forces shall be included gradually, through mutual cooperation in republic territory.

Masalah HukumMasalah hukum yang kemudian terjadi adalah : 1.Apakah Indonesia dapat dikatakan telah memenuhi unsur-unsur negara sesuai dengan Konvensi Montevideo 1933, mengingat pada saat itu Indonesia belum memiliki pemerintahan yang secara nyata berdaulat dan juga belum melakukan hubungan internasional dengan negara lain? 2.Apakah protes dari Belanda dapat mempengaruhi status Indonesia sebagai sebuah negara, mengingat dalam hukum internasional, pengakuan kedaulatan dari negara lain bukan merupakan syarat mutlak bagi sebuah negara selama negara tersebut tidak melanggar prinsip anti kekerasan dalam hukum internasional?

Hasil Konferensi Meja Bundar 1949 Sejak Belanda melancarkan agresi militernya yang pertama yang diakhiri dengan Perjanjian Linggarjati pada tahun 1946 dimana Belanda mengakui Indonesia hanya sebatas wilayah Sumatra, Jawa, dan Madura, Indonesia dan Belanda telah berulangkali terlibat dalam konflik bersenjata hingga PBB kemudian turun tangan dengan mengutus Australia, Belgia, dan Amerika Serikat yang tergabung dalam Komisi Tiga Negara (KTN) untuk mengajak Indonesia dan Belanda kembali ke meja perundingan. Kemudian, atas prakarsa PBB melalui UNCI, Indonesia dan Belanda sepakat untuk menghadiri perundingan damai Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun 1949, dimana konferensi ini menghasilkan pernyataan pengakuan kedaulatan Indonesia secara penuh kecuali Irian Barat oleh Belanda yang serentak ditandatangani di Belanda dan Indonesia.

Analisis HukumMenurut kelompok kami, dalam Indonesia Case ini, Belanda tidak dapat mengajukan keberatannya secara hukum atas berdirinya negara Indonesia karena menurut Konvensi

Montevideo tahun 1933, Indonesia telah memenuhi syarat-syarat untuk dinyatakan sebagai negara yaitu wilayah (defined territory), penduduk (permanent population), pemerintahan yang berdaulat (government) meskipun pada saat itu Indonesia belum memiliki lembaga-lembaga negara yang tetap, namun telah diatur dalam UUD 1945 sebagai dasar konstitusional, serta kemampuan untuk mengadakan hubungan internasional dengan negara lain (capacity to enter into relations with other states) dimana hal ini juga telah diatur dalam UUD 1945 pasal 11 dan Indonesia sendiri sejak proklamasi kemerdekaan telah mulai mengadakan hubungan luar negeri dengan negara-negara lain diantaranya seperti India dan Mesir. Selain itu, protes dari Belanda juga tidak mempengaruhi eksistensi Indonesia sebagai sebuah negara karena dalam hukum internasional, pengakuan bukanlah syarat mutlak untuk diakui sebagai sebuah negara berdasarkan doktrin Estrada dimana penolakan pengakuan dianggap sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan suatu negara dan dianggap juga mencampuri urusan dalam negeri negara lain.

WESTERN SAHARA OPINION, ICJ REPORT 1975

Fakta-Fakta Hukum1. Semenjak kemerdekaannya pada tahun 1956, Maroko berkeinginan untuk memasukkan suatu daerah bekas kolonial Spanyol yaitu Sahara Barat ke dalam wilayah teritorial Maroko. 2. Pada tahun 1958, tentara Maroko berperang dengan tentara Spanyol dalam peperangan Ifni. 3. Setelah mendapatkan dukungan dari Prancis, Spanyol kembali menguasai wilayah tersebut, tetapi Spanyol mengembalikan beberapa daerah ke Maroko, yaitu daerah Tarfaya dan Tantan. 4. Maroko terus meminta pengembalian beberapa wilayah-wilayah yang tersisa, yaitu Ifni, Saguia el-Hamra dan Rio De Oro dan beberapa wilayah yang dijajah oleh Prancis. 5. Selama tahun 1960an, Maroko berhasil mendapatkan Sahara Barat untuk dijadikan wilayah jajahan mereka. 6. Tanggal 20 Desember 1966, Resolusi Majelis Umum PBB 2229 meminta Spanyol untuk mengadakan referendum dalam menentukan nasib sendiri di wilayah Sahara Barat. 7. Setelah awal perlawan dan semua pernyataan dari Maroko dan Mauritania (yang juga memulai membuat pernyataan kepemilikan Sahara Barat), Spanyol mengumumkan pada Tanggal 20 Agustus 1974, sebuah referendum dalam menentukan nasib sendiri

akan diadakan pada enam bulan pertama tahun 1975. 8. Maroko mengeluarkan pernyataan bahwa tidak dapat menerima referendum yang akan memasukkan sebuah pilihan untuk kemerdekaan dan meminta kembali untuk menggabungkan propinsi Sagui el-Hamra dan Rio De Oro ke dalam wilayah kedaulatan mereka. 9. Pada tanggal 17 Septmber 1974, Raja Hassan II mengumumkan keinginannya untuk membawa masalah ini ke ICJ. Pada bulan Desember, Spanyol menyetujui untuk menunda referendum di Sahara selama masalah ini sedang diselesaikan oleh ICJ. Kasus ini hanya berbentuk advisory opinion yang tidak memiliki kekuatan yang mengikat.

Masalah HukumApakah Spanyol berhak untuk mengadakan referendum untuk menentukan nasib sendiri di wilayah Sahara Barat yang selama ini diperebutkan oleh Spanyol dan Maroko untuk dijadikan ke dalam wilayah territorial mereka masing-masing?

Putusan PengadilanICJ tidak dapat membuat suatu keputusan dalam permasalahan ini, karena pada waktu penjajahan berlangsung di wilayah Sahara Barat, daerah tersebut bukan merupakan suatu wilayah Terra Nullius.

Dasar Pertimbangan PengadilanSahara Barat bukanlah Terra Nullius karena pada waktu penjajahannya terdapat berbagai bentuk hubungan yang ada antara suku-suku dan emirat-emirat Sahara di abad ke-19. Mahkamah juga menyatakan bahwa pada waktu itu belum ada semacam organ atau entitas yuridik yang berbeda dari kelompok-kelompok masyarakat yang ada. Oleh karena itu, menurut pendapat Mahkamah di Sahara Barat pada waktu itu belum ada struktur pemerintahan dank arena itu belum ada negara.

NEGARA DAN KEDAULATAN TERITORIAL (TERRITORIAL SOVEREIGNTY)SIPADAN & LIGITAN, ICJ REPORTS, 2002

Fakta-Fakta Hukum1. Pihak dari kasus ini adalah antara Indonesia dengan Malaysia. 2. Pada tahun 1967, Indonesia dan Malaysia mengadakan pertemuan mengenai teknis hukum laut antara kedua negara, dimana masing-masing negara menempatkan pulau Sipadan dan Ligitan ke dalam batas wilayah masing-masing negara. 3. Kedua negara bersepakat untuk menjadikan pulau Sipadan dan Ligitan ke dalam status quo yang ternyata interpretasi dari kedua negara ini adalah berbeda. Malaysia mengartikan status quo sebagai pulau tersebut tetap berada dibawah kedaulatan Malaysia yang membangun berbagai objek wisata hingga sengketa tersebut selesai, sementara Indonesia mengartikan status quo adalah bahwa pulau ini tidak boleh ditempati hingga sengketa ini selesai. 4. Pada tahun 1969, Malaysia secara sepihak memasukan pulau Sipadan dan Ligitan ke

dalam peta nasionalnya. 5. Berbagai cara penyelesaian sengketa secara diplomatik diantaranya melalui Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia 1976 untuk membentuk Dewan Tinggi ASEAN yang berfungsi dalam penyelesaian sengketa antar anggota ASEAN namun gagal. 6. Pada tahun 1991, Malaysia menempatkan beberapa pasukan Polisi Hutan untuk mengusir seluruh warga negara Indonesia dan meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas kedaulatan terhadap pulau Sipadan dan Ligitan. 7. Pada tahun 1997, Indonesia dan Malaysia membuat suatu perjanian yang menyepakati bahwa sengketa ini akan dibawa ke Mahkamah Internasional. 8. Pada tahun 1998, masalah mengenai sengketa kedaulatan terhadap pulau Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia dibawa ke Mahkamah Internasional.

Masalah HukumSiapakah yang berhak memiliki hak atas kedaulatan terhadap pulau Sipadan dan Ligitan setelah adanya klaim dari masing-masing pihak mengenai kedaulatan terhadap kedua pulau tersebut, apakah Indonesia atau Malaysia?

Putusan Mahkamah InternasionalPada hari Selasa, tanggal 17 Desember 2002, Mahkamah Internasional memutuskan bahwa Malaysia memiliki hak atas kedaulatan terhadap pulau Sipadan Dan Ligitan.

Dasar Pertimbangan Mahkamah InternasionalMahkamah menilai bahwa dalam sengketa antara Indonesia dengan Malaysia mengenai kepemilikan pulau Sipadan dan Ligitan, Malaysia dimenangkan atas dasar pertimbangan effectivity, yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif berupa penerbitan undang-undang mengenai perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu semenjak tahun 1930 dan operasi mercusuar tahun 1960. Malaysia juga telah dianggap telah melakukan effective occupation dan sovereignty exercise

terhadap pulau Sipadan dan Ligitan dengan cara membangun berbagai resort dan objek pariwisata serta menerapkan berbagai aturan-aturan pajak di pulau tersebut.

Analisis KasusDalam kasus ini, Malaysia dimenangkan oleh Mahkamah karena pada dasarnya, jika suatu negara ingin memiliki suatu kedaulatan terhadap suatu wilayah, maka Negara tersebut harus melakukan yang namanya dua hal, yaitu: Effective occupation, Exercise of sovereignty. Indonesia dianggap tidak pernah melakukan dua hal itu terhadap pulau Sipadan dan Ligitan semenjak dari Indonesia dijajah oleh Belanda, hingga sampai Indonesia merdeka dari Belanda. Indonesia baru menyadari bahwa Sipadan dan Ligitan termasuk ke dalam wilayah kedaulatan Indonesia pada saat pertemuan dengan Malaysia mengenai teknis hukum laut. Sementara Malaysia, melalui pemerintahan kolonialnya Inggris, telah memulai menduduki wilayah Sipadan dan Ligitan semenjak tahun 1930 hingga sampai Malaysia merdeka dari Inggris. Perbandingan dengan kasus Island of Palmas 1928, bahwa dahulu Island of Palmas atau Miangas telah diduduki oleh Pemerintahan Kolonial Belanda semenjak 2 abad yang lalu. Walaupun Spanyol (penjajah Filipina) telah menyerahkan daerah jajahannya kepada Amerika Serikat melalui sebuah perjanjian damai. Tetapi Amerika Serikat baru menyadari adanya Miangas semenjak tahun 1927. PCIJ memutus bahwa Island of Palmas diberikan kepada pemerintahan Kolonial Belanda karena adanya penerimaan kedaulatan oleh masyarakat setempat dalam waktu yang lama tanpa adanya keberatan dari penduduk Miangas. Jadi antara Sipadan dan Ligitan dengan Island of Palamas ada suatu kesamaan dalam memiliki sebuah kedaulatan, yaitu adanya effective occupation, dan kedaulatan itu dalam waktu yang lama telah diterima tanpa adanya keberatan dari penduduk di daerah tersebut.

SOVEREIGNTY OF PEDRA BRANCA/ PULAU BATU PUTEH, MIDDLE ROCKS & SOUTH LEDGE, MALAYSIA/ SINGAPORE, 2008

Fakta-Fakta Hukum1.Pedra Branca atau Pulau Batu Puteh merupakan sebuah pulau kecil yang terletak di perbatasan antara Malaysia dengan Singapura, tepatnya sekitar 24 mil sebelah timur Selat Singapura. Sementara Middle Rocks adalah dua buah pulau karang yang terletak di 0,6 mil selatan Pedra Branca dan South Ledge adalah sebuah dermaga kecil yang terletak 2,1 mil selatan Pedra Branca. 2.Sengketa ini melibatkan pihak Singapura yang pada tanggal 14 Februari 1980 memprotes tindakan Malaysia yang menyatakan bahwa Pulau Batu Puteh merupakan bagian dari kedaulatan teritorial Malaysia. Sementara, Middle Rocks dan South Ledge menjadi sengketa pada tanggal 6 Februari 1993 dan dimasukkan kedalam objek sengketa bersama dengan Pedra Branca sebagai satu kesatuan, namun Singapura tidak memasukkan Middle Rocks dan South Ledge dalam Notification tanggal 14 Februari 1980.

3.Pada tanggal 24 Juli 2003, Malaysia dan Singapura sepakat untuk membawa masalah ini ke ICJ melalui Special Agreement dengan agenda pembahasan kedaulatan antara Malaysia dengan Singapura terhadap Pedra Branca, Middle Rocks, dan South Ledge. 4.Singapura beralasan bahwa Pedra Branca merupakan terra nullius dan memiliki peranan penting dalam lalu lintas pelayaran internasional di Selat Singapura dimana Singapura telah melakukan tindakan effective occupation untuk membuktikan kedaulatannya sejak tahun 1847 hingga 1979 dibuktikan dengan adanya pembangunan mercusuar Horsburgh dan instalasi komunikasi militer di pulau itu dan juga menyatakan bahwa status kedaulatan yang muncul dalam Pulau Batu Puteh juga berlaku sama terhadap Middle Rocks, dan South Ledge. 5.Malaysia tidak pernah melakukan tindakan apapun untuk membuktikan kedaulatannya di Pedra Branca, namun pada tahun 1953, Malaysia mengklaim diri sebagai pemilik Pedra Branca. Malaysia juga beralasan bahwa Pedra Branca dan sekitarnya dahulu merupakan bagian dari Kesultanan Johor sehingga anggapan bahwa Pedra Branca merupakan terra nullius adalah salah. 6.Alasan Malaysia tersebut juga diperkuat dengan Crawfurd Treaty tahun 1874 tentang penyerahan kedaulatan terhadap Pulau Singapura dan sekitarnya dari Kesultanan Johor ke East India Company (Inggris) dimana Pulau Batu Puteh letaknya justru lebih dekat ke Malaysia dibanding Singapura. 7.Malaysia juga menyatakan bahwa mercusuar Horsburgh yang ada di Pedra Branca dibangun oleh East India Company pada tahun 1851 sebagai bagian dari sistem navigasi di Selat Singapura.

Masalah HukumMasalah hukum yang kemudian terjadi adalah : 1.Bagaimana putusan ICJ terhadap masalah ini mengingat Singapura telah melakukan tindakan effective occupation terhadap Pedra Branca sejak lama untuk membuktikan kedaulatannya, sedangkan Malaysia menggunakan pendekatan sejarah Kesultanan Johor sebagai pemilik terdahulu dari Pedra Branca?

2.Apakah status hukum dari Pulau Batu Puteh, Middle Rocks, dan South Ledge dapat diklaim secara bersamaan menjadi satu kesatuan atau ketiganya berdiri secara terpisah?

Putusan Mahkamah InternasionalPada tanggal 23 Mei 2008, Mahkamah Internasional akhirnya memutuskan bahwa Singapura adalah pemilik kedaulatan di Pedra Branca, Middle Rocks menjadi milik Malaysia, dan South Ledge menjadi milik negara yang memiliki laut teritorial tempat South Ledge berada.

Dasar Pertimbangan Mahkamah InternasionalMahkamah Internasional memutuskan Pedra Branca menjadi miliki Singapura karena Malaysia tidak melakukan tindakan apapun untuk membuktikan kedaulatannya di Pedra Branca meskipun ICJ sependapat dengan argumen Malaysia mengenai latar belakang sejarah kepemilikan Pedra Branca yang merupakan bagian dari Kesultanan Johor dan bukan terra nullius seperti yang dinyatakan oleh Singapura, namun alasan sejarah saja tidak dapat memperkuat argumen Malaysia. Mahkamah juga mengatakan bahwa tindakan effective occupation yang dilakukan oleh Singapura merupakan exercised continous sovereignty over the island untuk membuktikan adanya tindakan untuk memperoleh kedaulatan terhadap wilayah tersebut, sementara Malaysia tidak pernah melakukan tindakan apapun untuk membuktikan kedaulatannya di Pedra Branca.

Analisis KasusMenurut kelompok kami, dalam kasus ini Mahkamah Internasional memenangkan pihak Singapura atas kedaulatan di Pedra Branca/ Pulau Batu Puteh karena Singapura melakukan dua tindakan yang yang diperlukan bagi suatu negara untuk memperoleh wilayah secara preskripsi yaitu effective occupation dan exercises continous sovereignty over the island. Dalam kasus ini, pihak Malaysia tidak pernah melakukan kedua tindakan tersebut dalam bentuk apapun walaupun secara historis pendapat Malaysia dapat dibenarkan, namun pendekatan historis saja tidak dapat dijadikan argumen yang kuat dalam masalah hukum internasional,

terutama yang menyangkut kedaulatan teritorial. Kasus ini memiliki kesamaan dengan kasus Island of Palmas tahun 1928 dimana dahulu Island of Palmas atau Miangas telah diduduki oleh Pemerintahan Kolonial Belanda semenjak 2 abad yang lalu. Spanyol sebagai penjajah Filipina telah menyerahkan daerah jajahannya kepada Amerika Serikat melalui sebuah perjanjian damai, namun Amerika Serikat baru menyadari adanya Miangas semenjak tahun 1927. PCIJ kemudian memutus bahwa Island of Palmas diberikan kepada pemerintahan Kolonial Belanda karena adanya penerimaan kedaulatan oleh masyarakat setempat dalam waktu yang lama tanpa adanya keberatan dari penduduk Miangas (preskripsi). Dalam kasus ini, Malaysia baru memasukkan Pedra Branca kedalam wilayah teritorialnya pada tahun 1953 tanpa melakukan effective occupation sebelumnya, sementara Singapura telah melakukan effective occupation atas Pedra Branca sejak tahun 1847 tanpa ada protes dari pihak Malaysia (Kesultanan Johor).

LINGKUNGANTRAIL SMELTER ARBITRATION, ARBITRAL TRIBUNAL, 3 R.I.A.A., 1938 & 1941

Fakta-Fakta Hukum1. Para pihak dari kasus ini adalah Amerika Serikat melawan Kanada pada tahun 1937. 2. Pada tahun 1937, pabrik smelter / biji besi di kota Trail propinsi British Columbia, Kanada, memproduksi asap beracun yang mengandung sulfur dioksida. 3. Cerobong dari pabrik biji besi tersebut sangat tinggi sehingga asap dari aktifitas pabrik yang mengandung sulfur dioksida tersebut terbang ke udara dan sampai ke negara

bagian Washington State di Amerika Serikat. 4. Asap tersebut menimbulkan kerugian di kota Seattle berupa korosi atap rumah, dan berbagai kerugian pada tumbuhan yang ada di kota tersebut, sehingga petani-petani setempat menderita kerugian. 5. Oleh karena kejadian tersebut, Amerika Serikat menggugat Kanada di Permanent Court of Arbitration.

Masalah HukumApakah tindakan yang dilakukan oleh pabrik biji besi yang terletak di kota Trail, Propinsi British Columbia, Kanada tersebut adalah tindakan yang merugikan lingkungan hidup yang bersifat transboundary, sehingga Kanada harus membayar ganti rugi kepada Amerika?

Putusan PCAPermanent Court of Arbitration memutuskan bahwa Kanada telah merugikan dan mencemari lingkungan hidup Amerika Serikat dan memerintahkan Kanada untuk membayar ganti rugi kepada Amerika Serikat.

Dasar Pertimbangan PCA1. Berdasarkan prinsip hukum internasional yaitu Good Neighbourlines, tidak ada negara yang boleh melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan kerugian di negara lain. 2. Suatu negara bertanggung jawab atas perbuatan penduduk di wilayahnya yang menimbulkan kerugian bagi negara lain. 3. Pemerintah Kanada tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab dengan alasan bahwa tidak ada hukum yang mengatur mengenai ketinggian cerobong asap dari pabrik biji besi tersebut.

Analisis Dengan Kasus PembandingDi dalam wilayah kedaulatannya, negara dapat melakukan kegiatan apa saja dan tidak ada negara lain yang bisa melarang suatu negara untuk melakukan aktifitas di wilayah kedaulatannya tersebut. Akan tetapi pada kasus Trial Smelter Arbitration ini, aktifitas dari Kanada telah menimbulkan dampak yang merugikan bagi Amerika Serikat. Siapapun yang melakukan suatu kegiatan di wilayah kedaulatannya, maka negara tersebut haruslah bertanggung jawab terhadap yang melakukan kegiatan tersebut jika kegiatan tersebut menimbulkan kerugian bagi negara lain. Tanggung jawab negara tersebut dapat pembayaran dari ganti rugi kepada negara yang dirugikan dari perbuatan yang awalnya berasal dari dalam kedaulatan suatu negara. Dalam kasus Trial Smelter Arbitration, Kanada dinyatakan bersalah oleh PCA karena pencemaran udara yang terjadi di wilayahnya menyebabkan kerugian pada Amerika Serikat. Mereka melanggar salah satu prinsip hukum lingkungan yaitu prinsip Good Neighbourlines, bahwa kegiatan yang dilakukan oleh suatu negara tidak boleh menimbulkan dampak yang merugikan bagi negara lain. Dalam kasus US Supreme Court Greenhouse Gas Regulation, US Supreme Court memerintahkan Environmental Protection Agency (EPA) untuk meninjau kembali keputusannya pada kasus Massachusetts V. EPA yang menolak pemberlakuan Greenhouse Gas Emissions From Motor Vehicle Regulation yang faktanya berakibat buruk bagi lingkungan Amerika sendiri dan juga bagi negara-negara lainnya karena dapat menyebabkan perubahan iklim akibat dari menumpuknya karbon dioksida di lapisan ozon bumi. Dalam putusan US Supreme Court dapat dilihat bahwa seharusnya EPA

memberlakukan suatu regulasi yang dapat mengontrol pencemaran udara dari kendaraan bermotor di Amerika sehingga lingkungan Amerika pun menjadi bersih. Akan tetapi Supreme Court juga mempertimbangkan dampaknya bagi negara-negara lain karena jangan sampai EPA tidak mau memberlakukan suatu regulasi yang nantinya berdampak pada dunia internasional akibat dari masalah Amerika sendiri. Hal ini sama dengan prinsip Good Neighbourlines seperti kasus Trial Smelter Arbitration.

LPEZ OSTRA v. SPAIN, 1994

Fakta-Fakta Hukum :1. Mrs. Georgia Lopez Ostra, seorang kebangsaan Spanyol, beserta suami dan kedua anak perempuannya tinggal di distrik Diputacion del Rio, el Lugarico, Lorca ( murcia ), beberapa ratus meter jaraknya dari pusat kota. Kota Lorcamempunyai konsentrasi yang sangat tinggi terhadap industri kulit. Beberapa industri tersebut dimiliki oleh perusahaan terbatas SACURSA. Perusahaan ini mempunyai sebuah industri, yang dibangun dengan

subsidi pemerintah, untuk mengolah limbah padat dan cair dari industri kulit tersebut di sebuah lahan milik negara yang jaraknya 12 meter jauhnya dari rumah Mrs. Lopez. 2. Industri untuk pengelolaan limbah dari industri kulit tersebut mulai dioperasikan pada Juli 1988 tanpa adanya lisensi dari pejabat yang berwenang seperti yang diharuskan oleh Regulation 6 of the 1961 regulations on activities classified as causing nuisance and being unhealthy, noxious and dangerous ("the 1961 regulations"), dan tanpa adanya prosedur yang seharusnya dijalankan berdasarkan regulasi tersebut. 3. Tak lama setelah industri tersebut dijalankan, industri tersebut mengakibatkan masalah kesehatan dan masalah lainnya yang diakibatkan oleh pengelolaan limbah terebut terhadap banyak penduduk lokal, termasuk keluarga Mrs. Lopez. Hal ini menyebabkan pemerintah harus mengevakuasi penduduk yang tinggal di sekitar pengelolaan limbah tersebut,dan setelah itu ada saran dari pejabat yang berwenang bahwa operasi pengelolaan limbah terseut harus dihentikan. Namun, peneglolaan air limbah yang terkontaminasi dengan chromium tersebut tetap dilanjutkan. 4. Setelah kembali lagi ke rumahnya, Mrs. Lopez dan keluarganya terus mengalami gangguan kesehatan dan kehilangan kesempatan untuk menikmati kualitas hidup yang sehat. Pada tanggal 13 Oktober 1988 Mrs. Lopez mengajukan tuntutan ke the Administrative Division of the Murcia Audiencia Territorial, untuk meminta perlindungan terhadap hak fundamentalnya berdasarkan section 1 of Law 62/1978 of 26 December 1978 on the protection of fundamental rights ("Law 62/1978"). Dia mengajukan komplain, inter alia, atas situasi tidak diinginkan yang melawan hukum yang terjadi rumahnya dan haknya untuk dapat menikmati hidup damai di dalamnya, sebuah pelanggaran terhadaphaknya untuk memilih secara bebas tempat ia ingin tinggal, gangguan terhadap integritas secara fisik dan mental, dan perbuatan melawan haknya yang dijamin secara hukum atas kebebasan dan keamanannya (Articles 15, 17 para. 1, 18 para. 2 and 19 of the Constitution ) mengingat tindakan pasif dari pemerintah yang berwenang dalam menangani gangguan dan resiko yang terjadi dari industripengelolaan sampah tersebut. Mrs. Lopez juga meminta agar pengadilan mengeluarkan putusan untuk menghentikan operasi pengelolaan limbah tersebut baik sementara maupun permanen. 5. Pengadilan memutuskan bahwa Murcia Audiencia Territorial telah menerima bahwa tanpa mengkonstitusikan keresahan resiko kesehatan, gangguan-gangguan pada isu yang merusak kualitas hidup para penduduk yang tinggal di daerah itu, tetapi kerusakan

tersebut belum cukup besar untuk dikatakan melawan hak fundamental seseorang yang dijamin oleh hukum seperti yang diakui oleh Konstitusi. Pengadilan bahkan berpendapat bahwa polusi lingkungan yang sangat jelek dapat mengakibatkan efek pada kehidupan masing-masing individu dan mencegahnya untuk dapat menikmati rumahnya,kehidupan pribadi serta keluarganya, namun tanpa membahayakan kesehatan mereka. 6. Pada tanggal 10 Februari 1989 Mrs.Lopez mengajukan gugatan ke Supreme Court (tribunal Supremo). Dia menekankan bahwa sejumlah saksi dan ahli telah mengindikasikan bahwa industri peneglolaan samapah tersebut adalah sumber dari bau berpolusi, wabah penyakit, bau tidak sedap, dan bunyi bising yang telah mengakibatkan gangguan kesehatan baginya dan kedua putrinya. 7. Pada tanggal 27 Juli 1989 Pengadilan memutuskan untuk tidak mengabulkan gugatan Mrs.Lopez dengan alasan tidak ada public official yang datang ke rumahnya dan mengganggu integrita hidupnya. Walaupun ada gangguan, Mrs. Lopez bebas untuk pindah kemana saja. Kegagalan industri untuk mematuhi lisensi dapat diproses melalui proses peradilan biasa. 8. Pada tanggal 20 Oktober 1989 Mrs Lopez kembali mengajukan gugatan ke Pengadilan Konstitusi, atas dasar telah terjadi pelanggaran terhadap Pasal 15 tentang hak untuk mendapat phisycal integrity, dan pasal 18 (right to private life and to inviolability of the family home) dan Pasal 19 (right to choose freely a place of residence) dari konstitusi, namun gagal lagi. 9. Pada tahun 1990, 2 saudara ipar Mrs. Ostra yang tinggal satu bangunan dengannya, mengajukan keberatan atas pemerintah Lorca dan SACURSA ke Administrative Division of the Murcia High Court (Tribunal Superior de Justicia), meyakinkan bahwa industri pengolahan limbah tersebut telah dioperasikan tidak sesuai hukum. pada tanggal 18 september 1991 Pengadilan memutuskan bahwa kerusakan lingkungan yang terjadi tetap berkelanjutan samapi setelah tanggal 9 september 1988, dan karena indusrti tersebut tidak mempunyai lisensi yang seharusnya dimiliki, maka industri tersebut harus ditutup sampai mendapatkan lisensi yang seharusnya.

Masalah HukumDapatkah kerusakan lingkungan yang berefek pada kehidupan sebuah keluarga yang diakibatkan oleh sebuah industri yang dimiliki pemerintah dimintai pertanggungjawabannya?

Putusan Hakim

Pada tanggal 8 Juli 1992 Pengadilan memutuskan bahwa memang benar telah terjadi pelanggaran terhadap Article 8 tapi bukan terhadap Article 3.

Analisis KasusMenurut kami, suatu badan yang bergerak dalam wewenang pemerintah seharusnya menjalankan kegiatannya berdasarkan prosedur yang berlaku, agar jikalau di kemudian hari terjadi sesuatu sengketa lebih mudah untuk menunjuk siapa yang bertanggungjawab atas kerusakan yang terjadi. seperti pada kasus di atas, dimana industri pengolahan limbah yang dibangun dari subsidi pemerintah, namun ternyata tidak memiliki lisensi yang seharusnya dimiliki. Sehingga ketika terjadi pencemaran lingkungan, sangat sulit untuk dimintai pertanggungjawabannya.

U.S. SUPREME COURT GREENHOUSE GAS REGULATION & FOREIGN POLICY CONSIDERATIONS, 2007

Fakta-Fakta Hukum1. Tahun 1999, 19 organisasi privat mengajukan petisi yang meminta Environmental Protection Agency (EPA) untuk mengatur/membuat peraturan standard 4 senyawa gas rumah kaca yang dipencarkan oleh kendaraan bermotor, yaitu : karbondioksida, metana, nitrogen oksida dan hidroklorokarbon. 2. Pemohon petisi tersebut menyatakan bahwa gas emisi tersebut adalah

pollutant (pencemar) udara yang dapat berbahaya bagi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, dan karena mereka menyebabkan efek terhadap perubahan iklim maka harus dibuat peraturan berdasarkan Pasal 202 (a) (1) Clean Air Act . 3. EPA menolak petisi tersebut dengan alasan mereka tidak mempunyai wewenang untuk membuat peraturan mengenai gas emisi rumah kaca tersebut. 4. 12 Negara bagian, pemerintah lokal dan beberapa asosiasi lingkungan menentang peniolakan EPA dan menuntut mereka di US Court of Appeals for district of Columbia Circuit. 5. Dengan keputusan 2 banding 1 dan 3 pendapat terpisah, Pengadilan memutuskan bahwa memberikan pertimbangan EPA dalam menyangkal petisi tersebut dapat dibenarkan. 6. 26 Juni 2006, Massachusetts dan berbagai asosiasi lingkungan membawa masalah ini ke US supreme court. Dalam tahap ini, penolakan EPA didukung oleh Alliance of Automobile Manufacturers, CO2 Litigation Group, Engine Manufacturers Association, National Automobile Dealers Association, Truck Manufacturers Association, Utility Air Regulatory Group dan 10 negara bagian. 7. 2 April 2007, US supreme court memenangkan Massachusetts dan mengharuskan EPA membuat peraturan emisi gas rumah kaca yang dapat menyebabkan pencemaran udara dan berbahaya bagi kesehatan dan kesejahteraaan mensyarakat berdasarkan Clean Air Act

Permasalahan Hukum1.Apakah EPA dapat menolak membuat peraturan standar emisi untuk kendaraaan bermotor berdasarkan pertimbangan kebijakan yang tidak diatur dalam Pasal 202 (a) (1) Clean Air Act? 2.Apakah EPA mempunyai kewenangan untuk membuat pengaturan terhadap karbondioksida dan pollutant lainnya berhubungan dengan masalah perubahan iklim yang diatur dalam Pasal 202 (a) (1) Clean Air Act?

Putusan PengadilanPengadilan memutuskan bahwa EPA dapat menolak membuat peratuan emisi gas rumah kaca hanya jika EPA dapat menentukan bahwa gas rumah kaca tersebut tidak menyebabkan perubahan iklim atau jika EPA dapat memberi penjelasan yang layak. Lebih lanjut, Pengadilan menetukan bahwa EPA harus membuat peraturan tertulis mengenai tindakan apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh EPA. Hukum yang ada mengharuskan EPA membuat peraturan mengenai pollutant/pencemar udara yang dapat menyebabkan pencemaran udara dan berbahaya bagi kesehatan dan kesejahteraan publik.

Dasar Pertimbangan PutusanPasal 202 (a) (1) Clean Air Act menghendaki EPA untuk mengumumkan/mengeluarkan peraturan mengenai standar minimum emisi kendaraan bermotor yang dapat mencemari udara dan berbahaya bagi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Clean Air Act mendefinisikan pencemar udara, termasuk berbagai media perantara pencemar udara, berbagai jenis fisik dan unsur kimia yang dipencarkan ke udara. Hakim memutuskan berdasarkan pertimbangannya dan melihat hasil data ilmiah, bahwa karbondioksida dan emisi gas rumah kaca lainnya adalah merupakan pollutant yang dapat menyebabkan pencemaran udara dan berbahaya bagi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Sehingga mengacu pada ketentuan mengenai tindakan mencegah perubahan iklim dalam Clean Air Act, EPA diharuskan membuat peraturan untuk membatasi emisi gas rumah kaca dan pollutant lainnya yang dipakai dalam kendaraan bermotor.

Analisis PutusanDalam kasus ini, EPA menolak petisi pembuatan peraturan yang mengatur emisi gas rumah kaca pada kendaraan bermotor dengan alasan mereka tidak berwenang untuk membuat peraturan tersebut. Mereka berargumen bahwa meskipun mereka berwenang, EPA tidak akan membuat peraturan keras yang bertentangan dengan kebijakan administrasi lain maupun kebijakan berkenaan dengan program pemerintah lainnya. Pada proses pemeriksaan di US supreme court, EPA beranggapan bahwa

kerugian/kerusakan yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca terlalu luas dan tidak cukup spesifik untuk diajukan untuk diperiksa dalam jurisdiksi Federal Court oleh Massachusetts dan perkumpulan asosiasi lingkungan berdasarkan Pasal 3 kostitusi Amerika. Mengenai hal ini, hakim tidak setuju, karena :

1. Massachusetts memiliki posisi khusus dan bertindak atas nama penduduknya. 2. Kerusakan/kerugian yang berhubungan dengan perubahan iklim merupakan masalah serius dan merupakan salah satu tanggungjawab negara diatur dalam hukum internasional. 3. Penolakan EPA untuk membuat peraturan yang meminimumkan emisi karbon dari mobil-mobil baru menyebabkan kerusakan/kerugian di Massachusetts Coastal lands. 4. Efektifitas yang tertunda dari pengaturan tersebut dengan dalih bahwa penyebab terbesar terjadinya perubahan iklim adalah negara-negara berkembang, tidak berarti membenarkan EPA untuk memperlambat/menunda pembuatan peraturan mengenai masalan pemanasan global ini. Pengadilan menemukan bahwa penolakan EPA untuk mengatur emisi gas rumah kaca mengakibatkan resiko yang merugikan Massachusetts secara nyata dan segera terjadi. Pengadilan juga menyimpulkan bahwa dimungkinkan adanya permintaan pembuatan peraturan oleh EPA untuk mengurangi resiko tersebut secara tidak langsung. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka Pengadilan menyatakan bahwa Massachusetts berwenang mengajukan permohonan peninjauan kembali kasus ini oleh US supreme court, sedangkan pemohon lainnya dinyatakan tidak berwenang. Pengadilan juga menemukan bahwa Clean Air Act mendefinisikan pencemar udara (pollutant) termasuk semua senyawa yang terdapat diudara dan dapat menyebabkan perubahan iklim. Pengadilan dengan tegas membatasi pertimbangan EPA untuk menahan peraturan emisi gas rumah kaca berdasarkan Pasal 202 (a) (1). Pengadilan menyatakan bahwa hukum mengharuskan EPA untuk mengatur pencemar udara jika ia berkontribusi menyebabkan pencemaran udara dan dapat membahayakan kesehatan dan kesejahteraan publik. Dari kasus ini, terlihat bahwa suatu hal yang menjadi perhatian masyarakat internasional dapat memaksa suatu negara untuk membuat peraturan yang mengatur masalah tersebut (dalam hal ini adalah masalah lingkungan berkaitan dengan pencemaran udara dari efek rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim). Hukum internasional dapat memaksa suatu negara membuat peraturan dalam rangka menjaga lingkungannya dan mengurangi pemanasan global, meskipun peraturan tersebut merugikan atau ditolak oleh warga negaranya, perusahaan-perusahaan yang ada di negara itu maupun oleh pihak-pihak lainnya. Dalam hal ini, semakin terlihat jelas bahwa pada intinya setiap negara mempuyai

tanggungjawab internasional tidak hanya dalam upaya menjaga keamanan dan perdamaian dunia, tetapi juga mengenai masalah lingkungan hidup yang telah menjadi issue global (perhatian masyarakat internasional).

TANGGUNG JAWAB NEGARATHE BARCELONA TRACTION, LIGHT AND POWER COMPANY CASE

Fakta-Fakta Hukum Barcelona Traction adalah suatu perusahaan yang mengawasi kegunaan cahaya dan

energi di Spanyol dan disatukan di Toronto. Pada tanggal 12 september 1911 didirikan oleh Frederick Pearson. Tujuan dari perusahaan ini adalah Untuk kepentingan menciptakan dan

mengembangkan suatu produksi tenaga listrik dan distribusi sistem membentuk sejumlah cabang perusahaan di Catalonia ( Spanyol). Perusahaan ini mempunyai beberapa cabang yang sebagian terdaftar resmi di Canada dan sebagian lagi di Spanyol. Perusahaan ini beroperasi di Spanyol tetapi yang menjadi pemegang saham terbesar adalah orang Belgia. Pada tahun 1936 anak cabang perusahaan tersebut menjadi penyuplai utama tenaga listrik di Catalonia, Spanyol. Pada tahun 1960 an pemerintah Spanyol mempersulit urusan bisnis bagi investor asing di Spanyol. Pemegang saham (Orang-orang Belgia) perusahaan listrik di Spanyol tersebut kehilangan uangnya dan ingin melakukan penuntutan ke International Court of Justice (ICJ). Tetapi di Pengadilan, hakim Judge Fornier ternyata berpihak pada Spanyol dan menyatakan bahwa hanya warga negara dari perusahaan tersebut yaitu Canada (Canadian) yang dapat melakukan penuntutan. Menurut Pemerintah Belgia, beberapa tahun setelah perang dunia pertama bagian saham Barcelona Traction menjadi sangat besar yang dikelola kebangsaan Belgia, tetapi Pemerintah Spanyol menentang bahwa pemegang saham kebangsaan Belgia adalah tidak terbukti. Kemudian pemeliharaan (menyangkut) Obligasi Barcelona Traction tertunda karena perang saudara Spanyol. Setelah peperangan itu, pengendalian devisa otoritas Spanyol menolak untuk memberi hak perpindahan dari mata uang asing yang penting bagi penerusan dari pemeliharaan uang sterling obligasi.sesudah itu,ketika Pemerintah Belgia mengeluh tentang ini, Pemerintah Spanyol menyatakan bahwa perpindahan tidak bisa diberi hak kecuali jika

ini akan menunjukkan mata uang asing dapat digunakan untuk membayar kembali hutang timbul dari barang impor modal asing yang asli ke dalam Spanyol dan bahwa ini belum ditetapkan. Di tahun 1948 tiga pemilik Spanyol dari Barcelona Traction memperoleh obligasi uang sterling dan mengajukan petisi ke pengadilan ( Provinsi Tarragona) untuk suatu deklarasi memvonis perusahaan bangkrut, oleh karena kegagalan untuk membayar bunga pada obligasi itu. Pada tanggal 12 Februari 1948, suatu keputusan diberikan dan mengumumkan perusahaan yang bangkrut dan memerintahkan perampasan dari aset Barcelona Traction dan juga dua cabang perusahaannya. Patuh pada putusan Ini personil manajemen utama dari dua perusahaan dipecat atau dibubarkan dan para direktur Spanyol ditetapkan. Pemerintah Belgia menentang karena penerbitan dan pemberitahuan tidak mematuhi relevan ketentuan hukum dan batas waktu delapan hari itu tidak pernah dimulai. Kepemimpinan Spanyol di tahun 1960 membuat bisnis lebih sulit untuk orang asing di Spanyol. Pemegang saham Belgia kehilangan uang dan ingin menggugat di Mahkamah internasional, tetapi pengadilan berpihak pada sisi Spanyol, memegang bahwa hanya kebangsaan dari perusahaan (Kanada) yang dapat menggugat. Kasus Negeri Belgia vs. Spanyol diputuskan di tahun 1970. Klaim yang diajukan pada tanggal 19 Juni 1962, muncul dari putusan hakim mengenai kebangkrutan di Spanyol yaitu Barcelona Traction, suatu perusahaan yang bekerjasama dengan Kanada. Obyek nya akan mencari perbaikan untuk kemungkinan kerusakan yang dituduh oleh Negara Belgia untuk ditopang oleh pemegang saham kebangsaan Belgia di perusahaan, sebagai hasil tindakan dikatakan bertentangan dengan hukum internasional dilakukan ke perusahaan dari negara Spanyol.

Masalah HukumMasalah hukum yang terjadi dalam kasus ini adalah apakah Belgia berhak mengajukan

tuntutan atas kerugian yang diderita oleh Warga negaranya di Negara Spanyol?

Putusan MahkamahPengadilan memandang pada jumlah yang agung pada bukti dalam bentuk dokumen, yang disampaikan oleh parties dan secara penuh menghargai pentingnya permasalahan yang diangkat dari undang-undang yang mana adalah akar dari klaim Belgia dan terkait pengingkaran terhadap keadilan menurut dugaan orang yang dilakukan oleh bagian dari negara Spanyol itu.Bagaimanapun, pemilikan oleh Pemerintah Belgia dari suatu hak perlindungan adalah suatu syarat mutlak untuk pengujian permasalahan seperti itu semenjak tidak ada jus standi sebelum pengadilan menetapkan.

Dasar Pertimbangan MahkamahYang menjadi dasar pertimbangan Mahkamah dalam putusannya adalah : 1. Apabila penanaman modal itu menjadi bagian dari sumber-sumber daya ekonomi nasional suatu negara dan hal yang merugikan terhadap penanaman modal ini membawa akibat yang bertentangan terhadap hak-hak negara tersebut untuk memungkinkan para warga negaranya menikmati beberapa standar perlakuan tertentu, maka negara yang bersangkutan dapat mengajukan klaim karena pelanggaran hukum internasional yang dilakukan terhadapnya. Suatu klaim yang memiliki sifat demikian harus didasarkan atas traktat atau perjanjian khusus, yang mana hal ini tidak ada diantara Belgia dan Spanyol. 2. Karena alasan-alasan keadilan (equity), suatu negara akan memiliki hak dalam beberapa kasus untuk melakukan perlindungan terhadap warga negaranya yang menjadi pemegang saham-saham dalam suatu perusahaan, yang menjadi korban pelanggaran hukum internasional. Suatu alasan pembenar bagi keadilan yang dikemukakan, itu akan membuka pintu bagi klaim-klaim yang bersaing di pihak negara-

negara yang berbeda, yang dengan itu menciptakan ketiadaan jaminan dalam hubungan-hubungan ekonomi internasional. Pengaruh yang menguntungkan dari keputusan Mahkamah tersebut selanjutnya adalah bahwa pengadilan internasional mesti segan untuk menebus selubung perusahaan dengan maksud untuk memperbolehkan suatu negara selain negara kebangsaan perusahaan mengupayakan ganti rugi karena suatu kesalahan internasional telah dilakukan terhadap perusahaan tersebut, maka, pengadilan menolak klaim Pemerintah Belgia oleh 15 suara menjadi 1, 12 suara mayoritas yang didasarkan pada pertimbangan diperkenalkan di atas.

Analisis KasusKasus ini memiliki peranan penting dalam perkembangan hukum internasional mengenai tanggung jawab negara karena memperlihatkan adanya konsep perlindungan diplomatik dibawah hukum internasional dapat diterapkan tidak hanya pada individual tetapi juga pada korporasi dan juga memperluas kewajiban Erga Omnes yang terdapat dalam masyarakat internasional. Perusahaan atau individu mengatasnamakan negara berhak mengajukan tuntutan internasional terutama warga negaranya dan dapat pula meliputi subjeksubjek yang dilindungi, seperti orang-orang yang ditempatkan dibawah perlindungan diplomatik negara itu, dan orang-orang asing yang telah memenuhi hampir semua persyaratan naturalisasi Dalam sejumlah kasus pengadilan arbitrase internasional telah menerapkan kaidah bahwa orang yang dirugikan harus memiliki kebangsaan dari negara yang mengajukan klaim atau status lain yang diakui pada saat kerugian tersebut diderita dan harus mempertahankan status tersebut sampai saat klaim itu diputus, tetapi persyaratan-persyaratan dan perbaikanperbaikan lain dalam kaitan kebangsaan pihak yang dirugikan juga telah diterapkan oleh arbitorarbitor lain. Jika pihak yang dirugikan itu adalah suatu perusahaan atau korporasi, maka masalah itu juga diatur oleh norma nasionalitas dari tuntutan hanya negara yang menjadi kebangsaannya yang berhak mendukung klaim perusahaan atau korporasi itu.

CORFU CHANNEL CASE, ICJ REPORTS, 1949

Fakta-Fakta Hukum1.Pihak yang bersengketa adalah antara Inggris dengan Albania. 2.Sengketa yang terjadi adalah tentang rusaknya kapal perang Inggris Saumarez dan Volage dimana kedua kapal perang Inggris tersebut terkena ranjau-ranjau laut yang disebar di sepanjang Selat Corfu oleh Albania ketika kapal-kapal tersebut melewatinya sehingga kapal-kapal tersebut tenggelam. 3.Kasus ini terjadi di Selat Corfu yang merupakan laut teritorial Albania. 4.Inggris kemudian melakukan protes kepada Albania dan menuntut Albania mengganti kerugian yang diderita Inggris akibat tenggelamnya kedua kapal tersebut. 5.Albania menolak gugatan Inggris dengan alasan wilayah Selat Corfu merupakan laut teritorial Albania sehingga Inggris dianggap telah melanggar kedaulatan teritorial Albania dengan mengirim kapal perangnya ke selat tersebut. 6.Inggris dan Albania kemudian sepakat untuk membawa masalah ini ke ICJ pada tahun 1949.

Masalah HukumMasalah hukum yang kemudian terjadi dalam kasus ini adalah apakah Albania diharuskan menurut hukum internasional untuk bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh kapal asing yang melewati perairan teritorialnya?

Putusan Mahkamah InternasionalMahkamah Internasional pada tahun 1949 kemudian memutuskan mengabulkan gugatan Inggris dan menyatakan bahwa Albania bersalah telah menyebarkan ranjau-ranjau laut sisa Perang Dunia II di Selat Corfu dan tidak memberitahukan sebelumnya kepada kapal-kapal asing yang akan melewati selat tersebut dimana selat tersebut termasuk selat internasional sehingga menyebabkan tenggelamnya dua kapal perang Inggris.

Dasar Pertimbangan Mahkamah InternasionalDasar pertimbangan Mahkamah Internasional dalam mengeluarkan putusannya adalah bahwa kerusakan, kerugian serta meninggalnya beberapa awak kapal Inggris ketika melintasi selat tersebut disebabkan karena kelalaian yang nyata pemerintah Albania yang tidak memberitahukan adanya ranjau-ranjau laut di sepanjang perairannya. Oleh karena itu, Albania harus bertanggung jawab atas terjadinya insiden tersebut. Pendapat Mahkamah tersebut berbunyi: These grave omissions involve the international responsibility of Albania. The court therefore reaches the conclusion that Albania is responsible under international law fro the damage and loss of human life which resulted from, and that there is a duty upon Albania to pay compensation to the United Kingdom. Putusan Mahkamah Internasional ini kemudian melahirkan suatu prinsip tanggung jawab negara dimana suatu negara (Albania) yang mengetahui adanya ranjau di perairan teritorialnya (di Selat Corfu) berkewajiban untuk memberitahukan dan mengingatkan kapal-kapal yang lewat. Apabila kewajiban ini tidak dilaksanakan dan mengakibatkan kerugian terhadap kapal asing, maka negara yang bersangkutan wajib mengganti kerugian terhadap akibat yang ditimbulkannya. Dalam kaitannya dengan hubungan bertetangga antar negara, prinsip yang lahir yaitu bahwa sudah menjadi prinsip hukum internasional yang diakui umum bahwa setiap negara berkewajiban untuk tidak membiarkan wilayahnya digunakan untuk tindakan-tindakan yang mengganggu hak negara lainnya (not to allow knowingly its territory to be used for acts contrary to the rights of other states).

Analisis KasusMenurut kelompok kami, dalam kasus ini putusan Mahkamah sudah tepat dimana

Albania berdasarkan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) dimana tanggung jawab negara adalah selalu mutlak (strict); manakala suatu pejabat atau agen negara telah melakukan tindakan yang merugikan orang (asing) lain, maka negara bertanggung jawab menurut hukum internasional tanpa dibuktikan apakah tindakan tersebut terdapat unsur kesalahan atau kelalaian, bertanggung jawab atas tenggelamnya dua kapal perang Inggris akibat ranjau laut yang ditebarkan pihak Albania di Selat Corfu tanpa perlu dibuktikan kesalahannya.

LA GRAND CASE, GERMANY v. USA., ICJ REPORTS., 2001Fakta Hukum Para pihak dalam kasus ini adalah Jerman dan Amerika Serikat. Karl dan Walter LaGrand merupakan warga negara Jerman yang menetap di Amerika Serikat sejak kecil. Pada 1982 mereka ditangkap di Arizona karena terlibat dalam perampokan bank dan pembunuhan. Pada 1984 pengadilan Arizona menyatakan mereka bersalah atas pembunuhan dan serangkaian kejahatan lainnya, dan menjatuhkan hukuman mati pada keduanya. Karena Karl dan Walter LaGrand merupakan warga negara Jerman maka sesuai Konvensi Wina mengenai Hubungan Konsuler pejabat berwenang AS wajib memberitahukan tanpa menunda, hak LaGrand bersaudara untuk berkomunikasi dengan konsulat Jerman. Pihak AS menyadari hal ini namun tidak melaksanakan kewajibannya tersebut. Konsulat Jerman baru mengetahui kasus ini pada 1992 dari LaGrand bersaudara sendiri yang menyadari hak mereka dari pihak lain selain pejabat AS. LaGrand bersaudara berusaha untuk mengajukan upaya hukum terhadap putusan mati mereka atas dasar pelanggaran terhadap hak mereka yang dilindungi oleh Konvensi Wina. Namun usaha tersebut terhadalang oleh doktrin procedural default dalam sistem hukum AS. Karl LaGrand dieksekusi pada 24 Februari 1999. Pada 2 Maret 1999, sehari sebelum jadwal eksekusi terhadap Walter LaGrand, Jerman mengajukan kasus ini ke Mahkamah Internasional. Pada 3 Maret 1999 Mahkamah mengeluarkan perintah agar AS melakukan segala upaya yang dimungkinkan untuk menunda pelaksanaan eksekusi terhadap Walter LaGrand hingga Mahkamah mengeluarkan putusan terhadap kasus ini. Akan tetapi pada hari yang sama Walter

tetap dieksekusi.

Permasalahan HukumAda beberapa permasalahan hukum yang diajukan oleh Jerman kepada Mahkamah: Bahwa AS telah melanggar kewajiban internasionalnya kepada Jerman dalam hal hak negara Jerman dan hak perlindungan diplomatik kepada warga negara Jerman sesuai pasal 5 dan 36 ayat 1 Konvensi Wina mengenai Hubungan Konsuler. Bahwa AS dengan menerapkan hukum domestiknya, khususnya doktrin procedural default, telah melanggar kewajiban internasionalnya kepada Jerman. Bahwa AS telah melanggar kewajibannya untuk menaati perintah Mahkamah dengan kegagalannya melakukan tindakan-tindakan tertentu yang diperlukan untuk memastikan penundaan eksekusi Karl LaGrand. Bahwa AS harus memberikan jaminan kepada Jerman bahwa AS tidak akan mengulangi tindakan melawan hukumnya tersebut, dan apabila di kemudian hari ada penahanan atau proses hukum terhadap warga negara Jerman, AS akan menjamin pelaksanaan hak dalam pasal 36 Konvensi Wina tentang Hubungan Konsuler.

Putusan Mahkamah Dengan suara 14 berbanding 1, Mahkamah menyatakan bahwa dengan tidak memberitahukan kepada Walter dan Karl LaGrand seketika saat penangkapan mereka mengenai hak mereka dalam pasal 36 ayat 1 (b) Konvensi Wina tentang Hubungan Konsuler, dan karena itu menyebabkan Jerman tidak dapat memberikan bantuan kepada mereka sesuai Konvensi, AS telah melanggar kewajibannya kepada Jerman dan LaGrand bersaudara dalam Konvensi Wina pasal 36 ayat 1. Dengan suara 14 berbanding 1, Mahkamah menyatakan bahwa dengan menolak peninjauan dan pertimbangan kembali, berdasarkan hak dalam Konvensi, terhadap tuntutan dan putusan yang dijatuhkan kepada LaGrand bersaudara AS telah melanggar kewajibannya kepada Jerman dan LaGrand bersaudara dalam pasal 36 ayat 2 Konvensi Wina. Dengan suara 13 berbanding 2, Mahkamah menyatakan bahwa dengan kegagalannya mengambil tindakan untuk memastikan Walter LaGrand tidak dieksekusi hingga didapatkan putusan final dari Mahkamah mengenai kasus ini, AS telah melanggar kewajibannya untuk menaati perintah Mahkamah (court order).

Dengan suara bulat, Mahkamah menyatakan bahwa komitmen AS untuk menjamin implementasi tindakan-tindakan yang spesifik dalam rangka menaati kewajibannya dalam pasal 36 ayat 1 (b) Konvensi Wina, telah memenuhi permintaan Jerman untuk suatu jaminan tidak terulangnya kejadian ini.

Dengan suara 14 berbanding 1, Mahkamah menyatakan bahwa apabila warga negara Jerman dijatuhi hukuman berat, tanpa ada pemberitahuan kepada warga negara tersebut mengenai haknya dalam Konvensi Wina, maka AS dengan cara yang dipilihnya harus mengizinkan dilakukannya peninjauan dan pertimbangan kembali atas tuntutan dan putusan yang dijatuhkan secara melanggar hak yang tercantum dalam Konvensi Wina.

Dasar Pertimbangan Putusan Mahkamah berpendapat bahwa pelanggaran terhadap ayat 1 (b) dari pasal 36 Konvensi Wina tidak harus selalu menyebabkan pelanggaran terhadap ketentuan lainnya dalam pasal ini. Akan tetapi dalam kasus ini, pelanggaran AS terhadap ketentuan ayat 1 (b) ternyata berakibat pada pelanggaran terhadap ketentuan ayat 1 (a) dan (c). Ayat 1 pasal 36 tersebut memuat ketentuan yang menjadi dasar implementasi sistem perlindungan konsuler. Apabila suatu negara tidak mengetahui ada warga negaranya yang menjalani proses hukum karena tidak diberitahukan oleh negara penerima maka negara pengirim tidak dapat melaksanakan haknya sesuai pasal 36. Kemudian Mahkamah memeriksa argumen para pihak mengenai hak yang timbul dari ketentuan pasal 36. Jerman menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan tersebut mengakibatkan pelanggaran terhadap hak invividu LaGrand bersaudara. Sementara AS menyatakan bahwa hak pemberitahuan dan akses kepada pejabat konsuler adalah hak negara dan bukan hak individu. Berdasarkan teks pasal 36 ayat 1 Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan pasal tersebut menciptakan suatu hak individu yang dapat diterapkan oleh negara asal warga negara yang ditahan. Hak-hak ini telah dilanggar dalam kasus ini. Mahkamah mengutip pasal 36 ayat 2 yang menyatakan bahwa hak yang tercantum dalam ayat 1 harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum nasional dari negara penerima. Mahkamah tidak dapat menerima argumen AS bahwa ketentuan ayat 2 tersebut hanya berlaku untuk hak negara dan tidak untuk hak individu (warga negara pengirim yang ditahan). Sebagaimana telah disebutkan

bahwa ketentuan ayat 1 menciptakan pula suatu hak individu maka ketentuan dalam ayat 2 tidak hanya berlaku untuk hak negara tetapi juga hak individu. Mahkamah menyatakan bahwa ketentuan procedural default