kualitas intubasi dan respons hemodinamik …/kualitas... · terhadap dunia kedokteran secara umum,...
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
KUALITAS INTUBASI DAN RESPONS HEMODINAMIK PADA INTUBASI
ENDOTRAKEAL ANTARA BLOK SUPERIOR LARINGEUS DAN
TRANSTRAKEAL DIBANDING PELUMPUH OTOT
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Kesehatan
Program Studi Magister Kedokteran Keluarga
Minat Utama Ilmu Biomedik
Oleh :
Hanggia Primadita
S500109022
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Hanggia Primadita
NIM : S500109022
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Tesis berjudul :
Kualitas Intubasi Dan Respons Hemodinamik Pada Intubasi Endotrakeal Antara
Blok Superior Laringeus Dan Transtrakeal Dibanding Pelumpuh Otot adalah
sebenar-benarnya karya saya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam tesis ini
saya beri tanda citasi dan saya tunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia
menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh.
Surakarta, Februari 2012
Yang membuat pernyataan,
Hanggia Primadita
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Alloh SWT yang memberikan rahmat tidak
terhingga dan memberikan penulis kemampuan, kemauan dan kemudahan dalam
menyelesaikan proposal penelitian dengan judul “Kualitas Intubasi dan Respons
Hemodinamik pada Intubasi Endotrakeal antara Blok Superior Laringeus dan
Transtrakeal Dibanding Pelumpuh Otot”. Penulis berharap proposal penelitian ini
akan menjadi awal penelitian-penelitian lanjutan yang akan memberikan kemanfaatan
terhadap dunia kedokteran secara umum, dan perkembangan ilmu dan tehnik klinis
anestesiologi khususnya, sekaligus memenuhi persyaratan mendapatkan gelar
magister. Penulis berterima kasih pada pihak-pihak yang ikut serta dalam
penyelesaian proposal ini, yaitu:
1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, MS selaku Rektor UNS.
2. Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS selaku Direktur Program Pascasarjana UNS.
3. Dr. Hari Wujoso, dr., SpF., MM selaku Ketua Program Studi Magister
Kedokteran Keluarga Program Pascasarjana UNS.
4. Prof. Dr. Harsono Salimo, dr., SpA(K) selaku Ketua Minat Ilmu Biomedik
Program Pascasarjana UNS.
5. Prof. Bhisma Murti, dr., MSc., MPH., PhD selaku pembimbing metodologi
yang telah meluangkan waktu disela kesibukan beliau.
6. Sugeng Budi Santosa, dr., SpAn., KMN selaku pembimbing substansi dan
pembimbing akademik yang dengan semangat dan ide-ide beliau lah tesis ini
dapat terwujud.
7. Marthunus Judin, dr., SpAn., KAP selaku Kepala SMF Ilmu Anestesi dan
Terapi Intensif FK UNS/RSDM atas bimbingan dan doanya.
8. M.H Sudjito dr., SpAn., KNA selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter
Spesialis Anestesi dan Terapi Intensif FK UNS/RSDM atas nasehat-nasehat
dan ilmu beliau.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
9. Seluruh staf SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNS/RSDM; dr.
Soemartanto, SpAn. KIC, dr. Purwoko, SpAn. KAKV, dr. RTh. Supraptomo,
SpAn, dr. Eko S, SpAn. KIC, dr. Heri Dwi P, SpAn, dr. Ardana, SpAn, dan
dr. Fitri, SpAn, mbak Nuning, mbak Retno, mas Wawan, dan mbak Naily atas
bimbingan, ilmu, dan wawasan luas yang membuka dasa netra jadi waspada.
10. Keluarga tercinta; suami hebatku Rio Risandiansyah; ayah-ayahku: papa
Achmad Taqwa Zakaria dan daddy Aris Widodo; ibunda-ibundaku: mama
Ellsy Triswandijaningsih dan mommy Aisyah, atas semangat, doa, dan kasih
sayang yang tidak berbatas.
11. Teman-teman residen anestesi FK UNS/RSDM yang baik hati dan lucu-lucu.
12. Pihak-pihak yang tidak mampu penulis sebutkan satu-persatu yang ikut
memberi saran maupun semangat dalam penyusunan penelitian ini.
Semoga Alloh SWT membalas amal dan ilmu yang diberikan. Penulis berharap dan
menghargai kritik dan saran dari pembaca untuk lebih menyempurnakan tulisan ini.
Surakarta, Februari 2012.
Penulis
Hanggia Primadita
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
ABSTRAK
Hanggia Primadita, S500109022, 2012. Kualitas Intubasi dan Respons Hemodinamik
pada Intubasi Endotrakeal Antara Blok Superior Laringeus Dan Transtrakeal Dibanding
Pelumpuh Otot. Pembimbing I: Prof. Bhisma Murti, dr., MSc., MPH., PhD; Pembimbing
II: Sugeng Budi Santosa, dr., SpAn., KMN. Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran, Program Pasca Sarjana, Program Studi Magister Kedokteran Keluarga,
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Latar Belakang : Laringoskopi intubasi endotrakeal merupakan tindakan invasif yang
menstimulasi berbagai respons seperti batuk dan bergolak, spasme laring dan bronkus,
dan menyebabkan peningkatan hemodinamik yang dapat membahayakan pasien.
Pemakaian obat pelumpuh otot untuk memudahkan intubasi lumrah digunakan, namun
tidak menekan respons hemodinamik yang terjadi. Blok superior laringeus dan
transtrakeal pada pasien yang telah diinduksi diduga memiliki kualias intubasi yang
setara dengan pelumpuh otot dan mampu mencegah timbulnya peningkatan
hemodinamik akibat laringoskopi intubasi endotrakeal.
Tujuan : Meneliti perbandingan kualitas intubasi dan respons hemodinamik yang
dihasilkan oleh blok nervus superior laringeus dan transtrakeal dibandingkan dengan obat
pelumpuh otot.
Metode : Penelitian dilakukan pada 34 pasien yang akan dianestesi umum dan
laringoskopi intubasi endotrakeal. Pasien dirandomisasi kedalam 2 grup, grup pelumpuh
otot (17 pasien) diinduksi dan laringoskopi intubasi dengan obat pelumpuh otot dosis
intubasi, dan grup blok (17 pasien) diinduksi dan laringoskopi intubasi dengan blok
superior laringeus dan transtrakeal. Kemudian diukur kualitas intubasi dengan alat ukur
rancangan Helbo-Hansen Raulo dan Trap Anderson, juga tekanan darah sistolik,
diastolik, MAP, denyut nadi, dan saturasi sesaat sebelum intubasi dan sesaat setelah
intubasi.
Hasil : Tidak didapatkan perbedaan bermakna (p=0,310) dalam kualitas intubasi, dengan
seluruh laringoskopi intubasi pada grup pelumpuh otot dapat diterima (n=17(100%)) dan
hanya satu pasien (n=1(5,9%)) pada grup blok yang tidak dapat diterima. Hemodinamik
sesaat setelah intubasi pada kedua grup (pelumpuh otot vs blok) berbeda secara signifikan
dengan nilai p=<0,001 (148,35±26,33 vs 109,53 15,98) untuk sistolik, nilai p=<0,001
(94,88±20,18 vs 68,00±15,54) untuk diastolik, nilai p=<0,001 (109,65±21,18 vs
79,94±16,94) untuk MAP, nilai p=0,030 (101,71±16,34 vs 87,47±20,03) untuk nadi,
kecuali saturasi p=1,000 (99,35±0,79 vs 99,35±0,99) tidak didapatkan perbedaan yang
bermakna.
Kesimpulan : Kualitas intubasi antara yang difasilitasi dengan obat pelumpuh otot dan
blok relatif sama, namun respons hemodinamik berupa peningkatan tekanan darah dan
denyut nadi akibat tindakan laringoskopi intubasi endotrakeal lebih baik pada yang
difasilitasi oleh blok daripada yang difasilitasi oleh obat pelumpuh otot
Kata kunci : kualitas intubasi, respons hemodinamik, blok superior laringeus, blok
transtrakeal, pelumpuh otot.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
ABSTRACT
Hanggia Primadita, S500109022, 2012. Intubation Quality and Haemodynamic
Response in Endotracheal Intubation after Superior Laryngeal and Transtracheal
Block Compared to Muscle Relaxant. Adviser I: Prof. Bhisma Murti, dr., MSc.,
MPH., PhD; Adviser II: Sugeng Budi Santosa, dr., SpAn., KMN. Anesthesiology dan
Intensive Therapy Medical Faculty, Post-Graduate Programe, Study Programe
Magister of Family Medicine, Sebelas Maret University Surakarta.
Background: Endotracheal intubation laryngoscopy is an invasive measure which
stimulates responses such as coughing and bucking, bronchial and laryngeal spasm
and hemodynamic changes which endangers the patient. Muscle relaxants is
commonly used to ease intubation, but is unable to suppress response which occurs.
Superior laryngeus and transtracheal block in inducted patients is suspected to be able
to suppress hemodynamic changes due to endotracheal intubation laryngoscopy,
while maintaining intubation quality.
Objective: This research aims to compare intubation quality and hemodynamic
response from superior laryngeus and transtracheal block and muscle relaxants.
Method: This research is conducted using 34 patients receiving general anesthesia
and endotracheal intubation laryngoscopy. The patients were randomized into two
groups: muscle relaxant group (17 patients), where the patients were given muscle
relaxants in intubation dosage, and block group (17 patients), in which the patients
received laryngeus superior and transtracheal block prior to induction and
laryngoscopy. The quality of the intubation is assessed using Helbo-Hansen Raulo
and Trap Anderson measurements, and systolic, diastolic, MAP, pulse and saturation
were measured a moment before and after intubation.
Results: There is no significant difference (p = 0.310) in the intubation quality
between two groups, in which all in the muscle relaxants group’s laryngoscopy
intubation was acceptable (n = 17, 100%), and only one in the block group (n = 1,
5.9%) was not acceptable. The hemodynamic after intubation in both groups were
significantly different (p=<0.001) for systolics (148.35±26.33 vs 109.53±15.98),
diastolics (94.88±20.18 vs 68.00±15.54), MAP (109.65±21.18 vs 79.94±16.94), and
p=0.030 for pulse (101.71±16.34 vs 87.47±20.03), for the muscle relaxants and block
group, respectively. Saturation (99.35±0.79 vs 99.35±0.99, respectively) was not
significantly different.
Conclusion: The intubation quality between both groups was equally acceptable, but
the hemodynamic response due to intubation (increased blood pressure and heart rate)
was more managed by block compared to muscle relaxant administration.
Keywords: Intubation quality, hemodynamic response, superior laryngeus block,
transtracheal block, muscle relaxant.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL .......... .................................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................................... ii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ........................................................................ iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .......................................................... iv
KATA PENGANTAR ...................................................................................... v
ABSTRAK .......................................................................................................... vii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ x
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xii
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah ....................................................................... 4
1.3. Tujuan penelitian ............................................................................ 4
1.4. Manfaat Penelitian ......................................................................... 5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 6
2.1. Laringoskopi Intubasi Endotrakeal ................................................ 6
2.2. Obat Pelumpuh Otot Sebagai Fasilitasi Intubasi ............................ 8
2.3. Blok Saraf Perifer Sebagai Fasilitasi Intubasi ................................ 12
2.4. Kerangka Konsep ........................................................................... 17
2.5. Hipotesis ......................................................................................... 18
BAB III. METODE PENELITIAN ................................................................... 19
3.1. Desain Penelitian ............................................................................ 19
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................ 20
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
3.3. Populasi .......................................................................................... 20
3.4. Sampel dan Cara Pemilihan Sampel .............................................. 20
3.5. Ijin Subyek Penelitian ...................................................................... 22
3.6. Identifikasi Variabel Penelitian ...................................................... 22
3.7. Definisi Operasional dan Cara Pengukuran ................................... 22
3.8. Alur Penelitian dan Cara Kerja ........................................................ 25
3.9. Pengolahan Data ............................................................................. 27
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................... 28
4.1. Hasil ................................................................................................ 28
4.2. Pembahasan ..................................................................................... 39
BAB V. PENUTUP ............................................................................................ 46
5.1. Kesimpulan ..................................................................................... 46
5.2. Saran ................................................................................................ 46
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 47
Lampiran - lampiran ........................................................................................... 50
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Persarafan laring............................................................................. 13
Gambar 2.2. Penanda lokasi dan blok n. Superior laringeus .............................. 14
Gambar 2.3. Penanda lokasi dan blok transtrakeal ............................................. 16
Gambar 2.4. Kerangka konsep ............................................................................ 17
Gambar 3.1. Desain penelitian............................................................................ 19
Gambar 3.2. Alur penelitian................................................................................ 25
Gambar 4.1. Grafik perbandingan skor kriteria kualitas intubasi antara grup
pelumpuh otot dan blok ................................................................. 31
Gambar 4.2. Grafik perbandingan kriteria kualitas intubasi antara grup
pelumpuh otot dan blok ................................................................. 33
Gambar 4.3. Grafik perbandingan mean tekanan darah sistolik sebelum dan
setelah laringoskopi intubasi endotrakeal antara grup pelumpuh
otot dan blok .................................................................................. 36
Gambar 4.4. Grafik perbandingan mean tekanan darah diastolik sebelum dan
setelah laringoskopi intubasi endotrakeal antara grup pelumpuh
otot dan blok .................................................................................. 36
Gambar 4.5. Grafik perbandingan mean MAP sebelum dan setelah laringoskopi
intubasi endotrakeal antara grup pelumpuh otot dan blok ............ 37
Gambar 4.6. Grafik perbandingan mean denyut nadi sebelum dan setelah
laringoskopi intubasi endotrakeal antara grup pelumpuh otot
dan blok ......................................................................................... 38
Gambar 4.7. Grafik perbandingan mean saturasi sebelum dan setelah
laringoskopi intubasi endotrakeal antara grup pelumpuh otot
dan blok ......................................................................................... 38
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Efek samping succinycholine............................................................ 10
Tabel 2.2. Klasifikasi obat pelumpuh otot non-depolarisasi berdasarkan
durasi aksi setelah dosis dua kali dosis efektif (dosis intubasi) ...... 11
Tabel 2.3. Perbandingan farmakologi obat pelumpuh otot non-depolarisasi..... 11
Tabel 3.1. Skor kriteria kualitias intubasi .......................................................... 24
Tabel 4.1. Karakteristik sampel penelitian (data kontinu) ................................. 29
Tabel 4.2. Karakteristik sampel penelitian (data kategorikal) .......................... 30
Tabel 4.3. Hasil skor kualitas intubasi .............................................................. 31
Tabel 4.4. Hasil kriteria kualitas intubasi ......................................................... 32
Tabel 4.5. Hasil analisis chi square terhadap perbedaan kualitas intubasi grup
pelumpuh otot dan blok .................................................................... 34
Tabel 4.6. Hasil analisis uji t terhadap perbedaan respons hemodinamik setelah
intubasi antara pelumpuh otot dan blok ........................................... 35
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Jadwal kegiatan penelitian............................................................. 50
Lampiran 2. Perhitungan sampel dengan program Open Epi versi 2.2 ............. 51
Lampiran 3. Surat kelaikan etik ......................................................................... 52
Lampiran 4. Informed Consent Tindakan Pembiusan........................................ 53
Lampiran 5. Surat pernyataan persetujuan disertakan dalam penelitian............ 54
Lampiran 6. Lembar pengambilan data ............................................................. 55
Lampiran 7. Analisis karakteristik sampel......................................................... 56
Lampiran 8. Analisis kualitas intubasi antara grup pelumpuh otot dan blok..... 61
Lampiran 9. Analisis respons hemodinamik setelah intubasi antara grup
pelumpuh otot dan blok.................................................................. 62
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Laringoskopi dan intubasi merupakan tindakan melihat glotis secara langsung
dengan bantuan laringoskopi dan dilanjutkan dengan memasukkan pipa endotrakeal
kedalam trakea. Hal ini biasa dilakukan dalam praktek anestesi umum untuk menjaga
jalan nafas, ventilasi mekanik, dan untuk fasilitasi pemberian gas anestesi. Intubasi
endotrakeal menstimulasi refleks batuk, spasme laring, dan sistem saraf simpatis
sehingga terjadi peningkatan kadar katekolamin yang berakibat meningkatnya
tekanan darah dan denyut nadi yang menyulitkan anestesiolog sehingga dibutuhkan
obat-obat intravena, topikal, maupun regional untuk mempermudah tindakan ini
(Morgan, 2006).
Obat-obatan pelumpuh otot, sering digunakan sebagai fasilitasi untuk
memudahkan anestesiolog dalam melakukan laringoskopi intubasi. Obat-obat
pelumpuh otot non-depolarisasi memiliki efek samping hipotensi, takikardi, disritmi,
bradikardi, bahkan henti jantung, serta dapat terjadi bronkokonstriksi dan reaksi
alergi hingga syok anafilaktik. Sementara obat-obat pelumpuh otot depolarisasi
memiliki efek samping bradikardi, disritmi ventrikel, hiperkalemi, peningkatan
tekanan intraokuler, peningkatan tekanan intragastrik, mialgia, spasme otot masseter,
dual blok dan merupakan pencetus hipertermi maligna (Miller, 2010).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
Dibutuhkan dosis obat pelumpuh otot yang lebih besar, yaitu tiga kali lipat
dosis pemeliharaan, untuk melakukan intubasi (Stoelting, 2006; Miller, 2010). Pada
pembedahan singkat yang membutuhkan intubasi endotrakeal, tidak jarang dilakukan
reversal dengan obat-obat anticholinesterase untuk mendapatkan kembali nafas
spontan pasien setelah dosis besar intubasi tersebut. Obat-obat anticholinesterase ini
memiliki efek samping seperti bradikardi dan hipotensi, serta nausea dan vomiting,
juga pemberian reversal yang tidak adekuat dapat menyebabkan rekurarisasi atau
kelumpuhan otot kembali akibat sisa pelumpuh otot yang belum termetabolisme
dalam sirkulasi ( Morgan 2005; Miller, 2010).
Sejumlah tehnik anestesi topikal dan regional telah dikembangkan untuk
fasilitasi intubasi. Tehnik-tehnik ini menekan refleks-refleks dengan tujuan
mengurangi bahkan menumpulkan sensasi terhadap serabut saraf spesifik yang
terlibat dalam dalam tindakan laringoskopi dan intubasi dengan menggunakan obat
anestesi lokal (Hadzic, 2007). Obat anestesi lokal bekerja dengan cara mencegah
transmisi impuls saraf (blokade konduksi) dengan menghambat kanal natrium
membran saraf, menyebabkan hambatan depolarisasi sehingga tidak terjadi aksi
potensial (Stoelting, 2006). Pada nervus superior laringeus, blokade impuls saraf ini
mengakibatkan hilangnya sensasi pada epiglotis sampai pita suara, dan merelaksasi
pita suara sehingga memudahkan intubasi endotrakeal saat pipa endotrakeal melewati
pita suara, dan bila dikombinasikan dengan blok transtrakeal untuk menumpulkan
sensasi bagian bawah pita suara, maka obat anestesi lokal dapat menjadi pilihan
fasilitasi intubasi yang lebih aman (Morgan, 2005; Hadzic, 2007).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
Pada tahun 1977, DeMeester et al., berhasil melakukan intubasi endotrakeal
yang memuaskan dengan premedikasi minimal dan blok nervus superior laringeus
untuk fasilitasi bronkoskopi pada 313 dari 500 pasien yang dilakukan blok nervus
glossofaringeus untuk esofagoskopi (DeMeester, 1977). Kemudian Vannier et al., 10
tahun kemudian di Perancis, pada tahun 1988, melakukan endoskopi pada 31 orang
dengan fasilitasi blok nervus superior laringeus. Dimana 24 orang diantaranya pita
suara berhasil terblok dengan sempurna dan tanpa gejolak hemodinamik saat intubasi
(Vannier, 1988). Penelitian terbaru pada tahun 2010 oleh Gunawan et al.
membuktikan bahwa blok nervus glossofaringeus, blok nervus superior laringeus, dan
pungsi transtrakeal sebanding dengan midazolam 0,05 mg/kgBB dan fentanyl 2
µg/kgBB dalam menjaga stabilitas hemodinamik pada 60 pasien yang dilakukan
intubasi endotrakeal (Gunawan, 2010).
Dari penelitian-penelitian diatas belum ada yang membandingkan tentang
bagaimana kualitas intubasi yang dihasilkan oleh blok jalan nafas dibanding dengan
obat pelumpuh otot yang selama ini dilakukan. Juga pada penelitian tentang
perbedaan hemodinamik antara blok jalan nafas dan intubasi dengan obat intravena
oleh Gunawan et al. menunjukkan hasil yang tidak signifikan karena diukur pada
beberapa waktu pengambilan yang memungkinkan untuk memperdalam derajat
anestesi sehingga respon hemodinamik menghilang baik pada grup kontrol maupun
perlakuan. Maka, penelitian ini mencoba membandingkan kualitas intubasi dan
respons hemodinamik sesaat sebelum intubasi dengan sesaat setelah intubasi yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
dihasilkan oleh blok nervus superior laringeus dan transtrakeal dengan obat pelumpuh
otot.
1.2. Perumusan Masalah
Bagaimanakah perbedaan kualitas intubasi dan respons hemodinamik antara
laringoskopi intubasi endotrakeal yang difasilitasi oleh blok nervus superior laringeus
dan transtrakeal dibanding dengan yang difasilitasi oleh obat pelumpuh otot?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan Umum :
Meneliti perbedaan kualitas intubasi dan respons hemodinamik yang dihasilkan
oleh blok nervus superior laringeus dan transtrakeal dibandingkan dengan obat
pelumpuh otot.
Tujuan Khusus :
1. Menganalisis perbedaan kualitas intubasi yang dihasilkan oleh blok nervus
superior laringeus dan transtrakeal dengan obat pelumpuh otot
2. Menganalisis perbedaan respons hemodinamik yang dihasilkan oleh blok
nervus superior laringeus dan transtrakeal dengan obat pelumpuh otot
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat Teoritis :
Memberikan bukti ilmiah tentang perbandingan kualitas intubasi dan respons
hemodinamik antara yang difasilitasi oleh blok nervus superior laringeus dan
transtrakeal dengan yang difasilitasi oleh obat pelumpuh otot
Manfaat Praktis :
Memberikan bukti kualitas intubasi dan respon hemodinamik tindakan
laringoskopi intubasi endotrakeal yang difasilitasi oleh blok superior laringeus
dan transtrakeal yang dapat digunakan pada pasien dengan kontraindikasi obat
pelumpuh otot ataupun saat obat pelumpuh otot tidak tersedia, pasien dengan
kesulitan intubasi yang akan diintubasi sadar, maupun pasien dengan masalah
hemodinamik dimana peningkatan hemodinamik akibat laringoskopi intubasi
endotrakeal dapat berakibat fatal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Laringoskopi Intubasi Endotrakeal
Tehnik intubasi endotrakeal merupakan prosedur yang paling banyak
menyelamatkan nyawa saat ini. Indikasi untuk melakukan intubasi adalah untuk
kepentingan : (1) alat bantu nafas (mekanis atau assisted); (2) menjaga patensi jalan
nafas; (3) melindungi jalan nafas; (4) anestesi dan pembedahan; dan (5) suctioning
(Finucane, 2011). Intubasi endotrakeal adalah memasukkan pipa ke dalam trakea
melalui mulut (intubasi orotrakeal) ataupun melalui hidung (intubasi nasotrakeal)
dengan bantuan laringoskopi. Laringoskopi berupa bilah besi dengan lampu yang
digunakan untuk melihat glotis atau laring secara langsung untuk memastikan letak
pintu masuk trakea sebagai bantuan untuk memasukkan pipa endotrakeal (Morgan,
2005).
Intubasi bukanlah prosedur tanpa risiko. Laring, yang menerima manipulasi
paling banyak saat pelaksanaan tindakan laringoskopi intubasi, merupakan komponen
penting jalan nafas dan spinkter yang terkuat dalam tubuh yang didesain sebagai
katup proteksi untuk mencegah makanan atau benda asing lain memasuki traktus
respiratorius (Morgan, 2005; Finucane, 2011). Laring juga memiliki suplai saraf
aferen terbanyak pada jalan nafas. Refleks-refleks jalan nafas dan respons otonom
yang sangat kuat dapat timbul saat menempatkan, pemeliharaan, dan melepas segala
alat jalan nafas, termasuk laringoskopi dan intubasi (Hagberg, 2005).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
Refleks-refleks jalan nafas maupun respons otonom yang dapat terjadi akibat
tindakan laringoskopi intubasi, berupa :
1. Perubahan hemodinamik
Laringoskopi intubasi menstimulasi laring dan trakea secara mekanis,
memicu respons simpatis, menyebabkan takikardi, hipertensi dan disritmia.
Respons simpatis ini tampak lebih jelas pada pasien dengan riwayat hipertensi
sebelumnya, yang bahkan bisa memicu terjadinya iskemia miokard, pecahnya
aneurisma dan stroke hemoragis. Sedasi yang cukup dalam dan obat anestesi
lokal dapat mencegah perubahan hemodinamik yang besar pada laringoskopi
intubasi (Hagberg, 2005).
2. Laringospasme dan bronkospasme
Akibat refleks jalan nafas terhadap benda asing, laringospasme dapat
timbul saat intubasi. Laringospasme adalah penutupan spastik pita suara dan
kontraksi seluruh otot laring menyebabkan menutupnya lipatan aryepiglotis ke
arah glotis mengakibatkan udara tidak dapat melewati pita suara untuk masuk
ke dalam trakea. Sedangkan bronkospasme dapat timbul akibat iritasi trakea
yang terjadi saat memasukkan pipa endotrakeal maupun saat pengembangan
balon, yang cukup kuat untuk menghambat pergerakan udara ke paru (Hagberg,
2005;Finucane, 2011).
3. Batuk dan bergolak
Batuk dan bergolak merupakan respons intubasi yang memiliki potensial
membahayakan dalam hal meningkatkan tekanan intrakranial, membahayakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
anomali vaskuler intrakranial, pada operasi mata, atau kasus-kasus dimana
peningkatan tekanan intrabdomen dapat merobek atau merusak irisan abdominal
(Hagberg, 2005).
4. Peningkatan tekanan intraokuler dan intrakranial
Peningkatan tekanan intraokuler dan intrakranial dapat timbul saat
laringoskopi dan intubasi tergantung obat-obatan anestesi yg dipakai
(succinylcholine) dan respons refleks jalan nafas dan simpatis yang terjadi,
dimana batuk dapat meningkatkan tekanan intraokuler dan hipertensi maupun
takikardi dapat meningkatkan tekanan intrakranial (Hagberg, 2005; Morgan,
2005).
2.2. Obat Pelumpuh Otot Sebagai Fasilitasi Intubasi
Prinsip penggunaan obat pelumpuh otot adalah menyediakan relaksasi otot
skelet untuk memfasilitasi intubasi endotrakeal dan untuk mempermudah kerja
pembedahan dalam prosedur anestesi umum. Dimana untuk memfasilitasi intubasi
endotrakeal direkomendasikan dosis 2 sampai 3 kali lipat dosis obat pelumpuh otot
non depolarisasi untuk memfasilitasi pembedahan. Karena onset blokade
neuromuskuler setelah pemberian obat pelumpuh otot terhadap otot laring (pita suara)
lebih cepat namun kurang kuat dibanding otot perifer, dan dosis yang dibutuhkan
untuk mengeblok diafragma 2 kali lebih besar dari dosis yang dibutuhkan untuk
melumpuhkan otot-otot ibu jari (Stoelting, 2006). Obat-obat pelumpuh otot
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
menghasilkan paralisis, namun tidak menghasilkan perubahan tingkat kesadaran,
amnesia, atau analgesia (Morgan, 2005).
Obat pelumpuh otot secara farmakologik bekerja dengan cara menginterupsi
transmisi impuls saraf pada neuromuscular junction. Berdasarkan perbedaan
elektrofisiologis mekanisme aksinya, obat-obat ini dibedakan menjadi obat pelumpuh
otot depolarisasi (meniru aksi asetilkolin) dan obat pelumpuh otot nondepolarisasi
(mengganggu aksi asetilkolin), sedangkan berdasarkan durasi aksinya dibagi menjadi
obat pelumpuh otot aksi pendek, sedang dan panjang (Stoelting, 2006).
Obat Pelumpuh Otot Depolarisasi
Satu-satunya obat pelumpuh otot depolarisasi yang digunakan secara klinis
adalah Succinylcholine. Succinylcholine bekerja dengan cara meniru aksi asetilkolin,
menempati α-subunit kemudian mendepolarisasi membran postjunctional. Namun
dibandingkan dengan asetilkolin, succinylcholine dihidrolisa dengan lambat, sehingga
depolarisasi (terbukanya) reseptor kanal ion tetap terjadi. Blokade neuromuskuler
terjadi karena membran postjunctional yang terdepolarisasi tersebut tidak dapat
merespons asetilkolin yang datang berikutnya (blokade neuromuskuler depolarisasi).
Dosis 1 mg/kgBB mampu menghasilkan paralisis kuat (dalam 30-60 detik) dan durasi
yang pendek (3-5 menit). Karakteristik ini menjadikan succinylcholine obat pilihan
untuk relaksasi otot pada intubasi endotrakeal. Namun, succinylcholine dihubungkan
dengan sejumlah efek samping yang dapat membatasi bahkan menghentikan
penggunaannya secara luas.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
Tabel 2.1. Efek Samping Succinylcholine
Efek Samping Succinylcholine
Disritmia jantung (sinus bradikardi)
Hiperkalemia
Mialgia
Mioglobinuria
Peningkatan tekanan intragastrik
Peningkatan tekanan intraokuler
Peningkatan tekanan intrakranial
Kontraksi otot rangka yang terus-menerus (khususnya pada anak)
Hipertermi maligna
(Sumber : Stoelting, 2006; Miller, 2010)
Obat Pelumpuh Otot Nondepolarisasi
Obat pelumpuh otot nondepolarisasi bekerja secara kompetitif dengan
asetilkolin menempati α-subunit membran postjunctional tanpa menyebabkan
perubahan konfigurasi reseptor tersebut. Blokade neuromuskuler terjadi jika 80-90%
reseptor ditempati oleh obat pelumpuh otot, sehingga transmisi neuromuskuler gagal
(Stoelting, 2006). Blokade obat pelumpuh otot nondepolarisasi dapat diantagonis oleh
obat-obat antikolinesterase seperti edrophonium, neostigmine, atau pyridostigmine
(Miller, 2010).
Tidak ada satupun obat pelumpuh otot nondepolarisasi yang ada saat ini yang
mampu menyamai cepatnya onset dan pendeknya durasi succinylcholine; namun,
onset obat pelumpuh otot nondepolarisasi dapat dipercepat dengan menggunakan
dosis yang lebih besar atau dosis awalan lima menit sebelum dosis penuh. Dosis dua
hingga tiga kali lebih besar dari dosis efektif biasa digunakan untuk intubasi.
Meskipun dosis besar untuk intubasi ini mempercepat onset, namun meningkatkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
risiko timbulnya efek samping yang lebih besar dan memperpanjang durasi blokade
neuromuskuler. Konsekuensi dari durasi yang memanjang ini menyebabkan sulitnya
reversing blokade secara total dan meningkatkan kejadian komplikasi paru
postoperasi, khususnya pada pasien manula dan pada kasus-kasus bedah abdomen
(Morgan, 2005).
Tabel 2.2. Klasifikasi obat pelumpuh otot nondepolarisasi berdasarkan durasi aksi
setelah dosis dua kali dosis efektif (dosis intubasi).
Durasi Klinis Golongan
pelumpuh otot Aksi panjang
(>50mnt)
Aksi sedang
(20-50mnt)
Aksi pendek
(15-20mnt)
Steroid Pancuronium
Pipecuronium
Vecuronium
Rocuronium
Benzysoquinolinium d-Tubocurarine
Metocurine
Doxacurium
Atracurium
Cisatracurium
Mivacurium
(Sumber : Miller, 2010)
Tabel 2.3. Perbandingan farmakologi obat pelumpuh otot nondepolarisasi .
Durasi setelah
Dosis efektif
(mg/kg)
Dosis
intubasi
(mg/kg)
Onset
(mnt) Dosis
efektif
(mnt)
Dosis
intubasi
(mnt)
Pancuronium 0,03-0,06 0,08-0,12 3-5 60-90 130-220
Doxacurium 0,015-0,03 0,05-0,08 4-6 60-90
Pipecuronium 0,03-0,06 0,07-0,09 3-5 60-90
Atracurium 0,2-0,4 0,4-0,6 3-5 20-35 55-80
Vecuronium 0,03-0,05 0,1-0,2 3-5 20-35 50-80
Rocuronium 0,2-0,4 0,6-1,2 1-2 20-35 55-80
Cisatracurium 0,03-0,05 0,15-0,2 3-5 20-35 60-90
Mivacurium 0,08-0,1 0,15-0,25 2-3 12-20 25-40
(Sumber : Ezekiel, 2005; Stoelting, 2006)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
Obat pelumpuh otot nondepolarisasi memiliki efek samping yang berbeda-
beda. Pancuronium memiliki atropine-like effect yang dapat meningkatkan denyut
jantung 10-15% serta meningkatkan saraf simpatis bahkan dapat memicu timbulnya
atrial fibrilasi. Atracurium menghasilkan metabolit laudanosine yang merupakan
stimulan susunan saraf pusat yang dapat memicu bangkitan kejang, meningkatkan
kebutuhan obat inhalasi, serta pelepasan histamin setelah dosis besar (dosis intubasi)
atracurium maupun mivacurium dapat menyebabkan vasodilatasi perifer, hipotensi,
bronkospasme, reaksi alergi bahkan syok anafilaksis (Stoelting, 2006).
2.3. Blok Saraf Perifer Sebagai Fasilitasi Intubasi
Tehnik blok saraf perifer (PNB) telah dipopulerkan sejak ditemukannya obat
anestesi lokal, yang diinjeksikan di daerah sekitar saraf, yang mampu menghambat
nyeri dengan cara mencegah transmisi impuls saraf (blokade konduksi) dengan
menghambat kanal natrium membran saraf, menyebabkan hambatan depolarisasi
sehingga tidak terjadi aksi potensial di ujung saraf yang diblok (Stoelting, 2006).
Blok saraf perifer yang dapat dilakukan untuk mengatasi sensasi atau nyeri yang
timbul saat tindakan intubasi dengan menggunakan laringoskopi, yaitu blok superior
laringeus dan blok transtrakeal. Blok ini bertujuan untuk menghilangkan atau
menumpulkan berbagai refleks jalan nafas seperti laringospasme, batuk, dan refleks-
refleks kardiovaskuler yang tidak diinginkan seperti peningkatan tekanan darah dan
denyut nadi yang sering timbul selama pelaksanaan prosedur seperti laringoskopi
intubasi yang melibatkan manipulasi di jalan nafas (Chelly, 2004; Hadzic, 2007).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
Gambar 2.1. Persarafan laring (Sumber : Hadzic, 2007).
Blok Superior Laringeus
Indikasi
Untuk mengeblok cabang interna (sensoris) dari n. superior laringeus,
menghasilkan relaksasi pita suara, hilangnya refleks batuk dan muntah serta respons
hemodinamik saat manipulasi jalan nafas menggunakan laringoskopi dan
memasukkan pipa endotrakeal ke trakea melewati pita suara (Chelly, 2004; Hadzic,
2007).
Obat anestesi lokal yang dipakai adalah 3 mL Lidokain 2%, dengan ataupun
tanpa epinefrin (Chelly, 2004).
Anatomi
Suplai saraf pada laring sebagian besar melalui n. superior laringeus yang
merupakan percabangan dari n.vagus dan sedikit dari n. reccurent laringeus. Saraf ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
melewati bagian lateral faring dan berjalan bersama a. carotis interna dan bercabang
ke bagian interna dan eksterna os hyoid. Cabang interna mempersarafi sensoris dasar
lidah, bagian superior epiglotis, lipatan ariepiglotis, aritenoid, dan mukosa laring
sampai ke pita suara, sedangkan cabang eksterna mempersarafi motorik m.
cricotiroid. Umumnya, cabang saraf ini berada sekitar 2-4 mm inferior cornu mayor
os hyoid (Chelly, 2004; Brown, 2006).
Tehnik
Anestesiolog berada pada sisi ipsilateral leher yang akan di blok. Kepala
pasien diekstensikan kemudian dilakukan palpasi os hyoid dengan ibu jari dan jari
telunjuk dibawah angulus mandibula dan dianterior a. carotis. Untuk memfasilitasi
identifikasi, os hyoid digeser ke arah yang akan diblok. Kemudian dilakukan insersi
tepat dibawah cornu mayor os hyoid kearah anterocaudal atau kearah ligamen tiroid
sampai menembus ligamen sedalam 1-2 cm, setelah aspirasi negatif darah ataupun
udara, obat anestesi lokal diinjeksikan. Blok dilakukan juga pada sisi sebelahnya
(Chelly, 2004; Brown, 2006; Hadzic, 2007).
Gambar 2.2. Penanda lokasi dan blok n. superior laringeus
(Sumber : Brown, 2006; Hadzic, 2007).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
Blok Transtrakeal
Indikasi
Injeksi transtrakeal dilakukan untuk mengeblok nervus recurrent laringeus
untuk menghilangkan refleks batuk, respons hemodinamik, refleks menahan nafas
dan laringospasme saat pipa endotrakeal memasuki lumen trakea melewati pita suara.
Tindakan ini juga dapat mengurangi rasa tidak nyaman pada trakea akibat
pengembangan balon pipa endotrakeal pada pasien pasca operasi (Chelly, 2004;
Hadzic, 2007).
Obat anestesi lokal yang dipakai adalah 2 mL Lidokain 2%, dengan ataupun
tanpa epinefrin. Perlu diperhatikan total dosis obat anestesi lokal dari beberapa tehnik
yang dipakai agar tidak melebihi dosis toksis (5 mg/kgBB untuk Lidokain tanpa
epinefrin, 7 mg/kgBB dengan epinefrin) (Chelly, 2004; Stoelting 2006).
Anatomi
Blok transtrakeal sering digunakan untuk menganestesi secara topikal mukosa
laringotrakea yang diinervasi oleh n.vagus. Jalan nafas bagian distal pita suara juga
dipersarafi oleh cabang n. vagus (seperti laring bagian atas pita suara oleh n. superior
laringeus) yaitu n. recurrent laringeus. Nervus ini mempersarafi sensoris pita suara
dan trakea, dan motoris pita suara (Chelly, 2004; Brown, 2006).
Tehnik
Informasikan pada pasien tentang prosedur yang akan dilakukan, bahwa akan
ada refleks batuk saat obat anestesi lokal diinjeksikan. Tempatkan jari telunjuk dan
jari tangah pada ruang antara kartilago tiroid dan krikoid (pada membran krikotiroid).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
Injeksi obat lokal anestesi dilakukan pada garis tengah di membran krikotiroid ke
dalam trakea setelah aspirasi udara positif. Umumnya pasien batuk pada saat obat
anestesi lokal disuntikkan, refleks batuk ini berguna untuk menyebarkan obat lokal
anestesi ke seluruh permukaan trakea (Chelly, 2004; Brown, 2006; Hadzic, 2007).
Gambar 2.3. Penanda lokasi dan blok transtrakeal
(Sumber : Chelly, 2004; Brown, 2006).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
2.4.Kerangka Konsep
Keterangan :
Induksi dan pelumpuh otot sebagai fasilitasi intubasi membuat relaksasi
rahang dan pita suara sehingga memudahkan melihat glotis dengan laringoskopi dan
kemudian melakukan intubasi. Tindakan laringoskopi dan intubasi memberi rangsang
benda asing dan nyeri pada laring dan trakea yang kemudian akan menyebabkan
batuk dan bergolak, laringospasme, dan bronkospasme yang tetap terjadi namun tidak
akan tampak pada dosis besar obat pelumpuh otot, namun respons simpatis seperti
peningkatan denyut nadi dan tekanan darah akan tetap tampak.
(-)
(-)
(-)
(-)
Relaksasi rahang
Relaksasi pita suara
Induksi
Obat Pelumpuh otot
Laringoskopi
Intubasi
Rangsang pada laring dan trakea
Batuk dan bergolak
Laringospasme
Bronkospasme
Respons simpatis
↑ Denyut nadi
↑ Tekanan darah
Induksi
Blok superior laringeus
Blok transtrakeal
Gambar 2.4. Kerangka Konsep
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
Induksi dan blok superior laringeus serta transtrakeal sebagai fasilitasi
intubasi cukup mampu untuk merelaksasi rahang dan memberikan relaksasi pita suara
yang adekuat untuk memudahkan laringoskopi dan intubasi. Blok superior laringeus
dan transtrakeal menumpulkan sensasi pada laring dan trakea sehingga tidak akan
terjadi rangsang laring dan trakea yang mengakibatkan batuk, bergolak,
laringospasme, bronkospasme, respons simpatis seperti peningkatan denyut nadi dan
tekanan darah.
2.5.Hipotesis
1. Kualitas intubasi yang difasilitasi oleh blok nervus superior laringeus dan
transtrakeal setara dengan yang difasilitasi oleh obat pelumpuh otot, namun
2. Respons hemodinamik yang dihasilkan oleh intubasi endotrakeal yang
difasilitasi oleh blok nervus superior laringeus dan transtrakeal lebih baik
dibandingkan dengan yang difasilitasi oleh obat pelumpuh otot.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental uji klinis dengan cara
Single Blind Randomized Control Trial, dimana pasien tidak tahu akan dimasukkan
dalam grup mana, kontrol atau perlakuan. Penelitian ini tidak dapat dilakukan secara
double blind karena peneliti yang melakukan tindakan blok, dokter yang melakukan
laringoskopi intubasi endotrakeal, dan perawat anestesi yang mencatat hemodinamik
berada pada satu ruangan pada saat tindakan berlangsung.
Pasien yang memenuhi kriteria inklusi akan dirandomisasi dengan koin untuk
menentukan apakah pasien dimasukkan dalam grup kontrol (intubasi endotrakeal
dengan fasilitasi pelumpuh otot) atau grup perlakuan (intubasi endotrakeal dengan
fasilitasi blok superior laringeus dan transtrakeal). Kemudian pasien masing-masing
grup akan diukur kualitas intubasi dan respons hemodinamiknya.
Subyek yang
memenuhi
kriteria
inklusi
Randomisasi
Kontrol
Perlakuan
Pengukuran
Pengukuran
Gambar 3.1. Desain Penelitian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Instalasi Bedah Sentral Rumah Sakit Dr. Moewardi
Surakarta selama bulan November dan Desember hingga jumlah sampel terpenuhi.
3.3. Populasi
Populasi Target : Seluruh pasien dewasa yang dilakukan pengelolaan anestesi
umum dengan laringoskopi intubasi endotrakeal.
Populasi Terjangkau : Seluruh pasien dewasa yang dilakukan pengelolaan
anestesi umum dengan laringoskopi intubasi endotrakeal di Instalasi Bedah
Sentral Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta.
3.4. Sampel dan Cara Pemilihan Sampel
Sampel penelitian ini adalah pasien yang akan dioperasi elektif dengan
anestesi umum dan laringoskopi intubasi endotrakeal di Instalasi Bedah Sentral
RSDM yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang kemudian akan dipilih
secara randomisasi dengan koin untuk dimasukkan dalam grup kontrol (intubasi
endotrakeal dengan fasilitasi pelumpuh otot) atau grup perlakuan (intubasi
endotrakeal dengan fasilitasi blok superior laringeus dan transtrakeal).
Kriteria Inklusi :
- Pasien dewasa usia 18-60 tahun yang akan menjalani pembedahan dengan
anestesi umum dengan laringoskopi intubasi endotrakeal
- Status fisik ASA I-II
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
- Bersedia menjadi peserta penelitian dan menandatangani informed consent
Kriteria Eksklusi :
- Tindakan intubasi dilakukan lebih dari 2 kali
- Waktu yang diperlukan untuk laringoskopi dan intubasi lebih dari 45 menit
- Kontraindikasi atau terjadi reaksi alergi terhadap anestesi lokal.
Apabila kriteria eksklusi terpenuhi maka pasien akan dikeluarkan dari
penelitian.
Besar Sampel
Besar sampel dihitung menggunakan rumus ukuran sampel untuk uji hipotesis
dua sisi tentang perbedaan dua mean dari dua populasi (Murti, 2006) :
2σ2[Z1-α/2 + Z1-β]
2
n = (µ1 – µ2)
2
Berdasarkan penelitian pendahulu oleh Gunawan et al. dengan judul The
Efektiveness of Combination of Glossopharyngeal Block, Laryngeal Superior Block
and Transtracheal Puncture to Attenuate Haemodinamic Response Due to
Endotracheal Intubation, dimana didapatkan nilai mean ± SD tekanan darah diastolik
72.97 ± 9.56 untuk kelompok kontrol dan 81.89 ± 8.90 untuk kelompok perlakuan,
dengan interval kepercayaan 95% dan kekuatan 80%, dihitung dengan bantuan
program OpenEpi versi 2.2 dan didapatkan ukuran sampel untuk masing-masing grup
sebesar 17.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
3.5. Ijin Subyek Penelitian
Setelah mendapatkan surat kelaikan etik dari panitia kelaikan etik RS Dr.
Moewardi, penelitian ini dilakukan dengan persetujuan pasien atau keluarga yang
diajukan oleh peneliti, setelah sebelumnya mendapat penjelasan mengenai tujuan
dan manfaat dari penelitian tersebut.
3.6. Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel Bebas
- Obat pelumpuh otot intravena.
- Blok superior laringeus dan blok transtrakeal.
Variabel Terikat
- Kualitas Intubasi
- Respons Hemodinamik
3.7. Definisi Operasional dan Cara Pengukuran
Definisi Operasional
1. Laringoskopi intubasi endotrakeal adalah tindakan melihat glotis / laring
dengan alat laringoskopi yang dilanjutkan dengan memasukkan pipa
endotrakeal ke dalam trakea melewati pita suara.
2. Blok superior laringeus dan blok transtrakeal adalah usaha untuk
menumpulkan atau menghilangkan sensasi pada laring dan trakea sehingga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
saat dilakukan manipulasi jalan nafas seperti laringoskopi intubasi
endotrakeal, bronkoskopi maupun esofagoskopi, pasien tetap merasa nyaman
dan refleks-refleks jalan nafas yang tidak diinginkan dapat dihindari.
3. Obat pelumpuh otot adalah obat yang dipakai untuk melumpuhkan otot skelet
sehingga memudahkan dokter untuk melakukan berbagai tindakan yang
memerlukan pasien dalam keadaan relaksasi penuh dan tidak bergerak.
4. Kualitas intubasi adalah derajat baik-buruknya suatu tindakan intubasi yang
dilakukan yang dinilai berdasarkan keadaan pasien saat akan diintubasi
maupun saat pipa endotrakeal memasuki laring dan trakea.
Jenis Data : Kategorikal
Alat Ukur : Alat skoring kualitas intubasi rancangan Helbo-Hansen Raulo
dan Trap Anderson.
5. Respons Hemodinamik adalah respon peningkatan tekanan darah, denyut
nadi, dan saturasi oksigen perifer yang terjadi akibat tindakan laringoskopi
intubasi endotrakeal.
Jenis Data : Kontinu
Alat Ukur : Bedside Monitor buatan Spacelabs Healthcare seri Ultraview
SL versi 2.02.06 didalam kamar operasi yang digunakan
untuk mengukur tanda-tanda vital selama operasi dan
anestesi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
Cara Pengukuran
1. Kualitas Intubasi diukur dengan alat ukur kualitas intubasi rancangan Helbo-
Hansen Raulo dan Trap Anderson (Shaikh, 2010).
Tabel 3.1. Skor kriteria kualitas intubasi rancangan Helbo-Hansen Raulo dan
Trap Anderson
Skor Kualitas Intubasi Kriteria
1 2 3 4
Relaksasi rahang Sempurna Cukup Tegang Kaku
Laringoskopi Mudah Cukup Sulit Tidak bisa
Pita suara Terbuka Bergerak Menutup Tertutup
Batuk Tidak ada Ringan Sedang Berat
Kualitas intubasi berdasarkan skor diatas :
3-4 Sangat baik
5-8 Baik } Dapat diterima
9-12 Buruk
13-16 Sangat buruk } Tidak dapat diterima
2. Peningkatan tekanan darah (sistolik, diastolik, dan MAP) dalam satuan mmHg
(milimeter air raksa) diukur selisih antara sesaat sebelum laringoskopi intubasi
endotrakeal dan sesaat setelah laringoskopi intubasi endotrakeal.
3. Peningkatan denyut nadi dalam satuan kali per menit diukur selisih antara
sesaat sebelum laringoskopi intubasi endotrakeal dan sesaat setelah
laringoskopi intubasi endotrakeal.
4. Saturasi oksigen perifer dalam satuan persen diukur dan dibandingakan antara
sesaat sebelum laringoskopi intubasi endotrakeal dan sesaat setelah
laringoskopi intubasi endotrakeal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
4.8. Alur Penelitian dan Cara Kerja
Cara Kerja :
1. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi datang ke instalasi bedah sentral RSDM,
dilakukan informed consent oleh peneliti atau residen anestesi lain, kemudian
pasien dirandomisasi untuk menentukan akan diberi perlakuan atau masuk grup
kontrol.
Randomisasi
Grup Kontrol :
Induksi
Pelumpuh otot
Grup Blok :
Induksi
Blok
Kriteria inklusi
Pengukuran tanda vital
sesaat sebelum intubasi
Pengukuran tanda vital
sesaat setelah intubasi
Kriteria eksklusi
Pengukuran kualitas intubasi Laringoskopi
Intubasi
Laringoskopi
Intubasi
A n a l i s i s D a t a
Gambar 3.2. Alur Penelitian
Pasien bedah di RSDM
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
2. Pasien masuk ke dalam kamar operasi, dipasangi alat pengukur tekanan darah,
elektrokardiogram dan alat pengukur saturasi sesuai dengan bedside monitor
yang ada dalam kamar operasi.
3. Jika perlu dilakukan premedikasi, pasien dipremedikasi sesuai kebutuhan
pasien.
4. Pasien diinduksi dengan Propofol 1-2 mg/kgBB, diijinkan penambahan
koinduksi dengan Fentanil 1-2 µg/kgBB (tidak boleh >2 µg/kgBB) atau Petidin
0,5-1 µg/kgBB, saat refleks bulu mata hilang pasien mulai di sungkup dengan
oksigen dan obat inhalasi Halotan, Isofluran atau Sevofluran 1-2 MAC.
5. a. Pasien grup A diberi dosis intubasi obat pelumpuh otot Atracurium atau
Vecuronium, jalan nafas pasien dijaga dengan triple maneuver airway dan
nafas pasien dikontrol oleh dokter hingga onset obat pelumpuh otot
tercapai dan pasien apneu.
b. Pasien grup B disuntik obat lokal anestesi Lidocain 2% sesuai cara blok
superior laringeus kanan dan kiri masing-masing 1,5 mL dan blok
transtrakeal 2 mL, kemudian ditunggu onset obat anestesi lokal selama 10
menit. Pasien dieksklusikan pada tahap ini apabila terdapat tanda-tanda
alergi terhadap obat lokal anestesi yang disuntikkan, seperti kemerahan
pada kulit, bronkospasme, atau syok anafilaktik.
6. Setelah onset tercapai dilakukan pencatatan tekanan darah dan denyut nadi
sesaat sebelum intubasi sesuai yang tertera pada bedside monitor.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
7. Intubasi dilakukan oleh residen anestesi semester 3 atau lebih, sambil
memperkirakan skor relaksasi rahang, kemudahan laringoskopi, keadaan pita
suara dan ada-tidaknya refleks batuk saat dilakukan intubasi sesuai dengan skor
kualitas intubasi rancangan Helbo-Hansen Raulo dan Trap Anderson (Tabel
3.1). Pasien dieksklusikan pada tahap ini apabila percobaan intubasi terjadi
lebih dari dua kali atau usaha intubasi membutuhkan waktu lebih dari 45 menit.
8. Setelah intubasi berhasil, dilakukan pencatatan tekanan darah dan denyut nadi
sesaat setelah intubasi sesuai yang tertera pada bedside monitor.
9. Data yang didapatkan dikumpulkan kepada peneliti.
3.9. Pengolahan Data
Data yang didapatkan dianalisis dengan program SPSS versi 17 dalam sistem
operasi Windows XP. Data kontinu dianalisis menggunakan independent-samples
t test, sedangkan data kategorikal dianalisis menggunakan descriptive statistic
cross-tabulation chi square.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Penelitian ini merupakan Single Blind Randomized Control Trial, uji klinis
yang mengikut sertakan 34 pasien yang akan menjalani anestesi umum, yang
kemudian dirandomisasi untuk dilakukan intubasi dengan fasilitasi obat pelumpuh
otot (kontrol) atau intubasi dengan fasilitasi blok superior laringeus dan transtrakeal
(perlakuan). Pasien dipasangi bedside monitor dan diberi obat-obatan induksi maupun
analgesia yang sama antara kedua grup. Kemudian pasien diukur respons
hemodinamiknya berupa tekanan darah, denyut nadi, dan saturasi pada sesaat
sebelum dan sesaat setelah laringoskopi intubasi endotrakeal. Serta dilakukan
penilaian skor kualitas intubasi oleh dokter residen anestesi yang melakukan
laringoskopi intubasi endotrakeal.
Data yang didapatkan kemudian dianalisis menggunakan program SPSS versi
17 dalam sistem operasi Windows XP. Untuk data kontinu dianalisis menggunakan
independent-samples t test untuk mendapatkan nilai mean dan standar deviasi serta
nilai t dan nilai p. Sedangkan untuk data kategorikal dianalisis menggunakan
descriptive statistic cross-tabulation chi square untuk mendapatkan nilai persentase,
χ2, dan nilai p.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
Karakteristik sampel penelitian.
Sampel dirandomisasi dengan harapan mendapatkan kesempatan yang sama
untuk dimasukkan dalam grup pelumpuh otot (kontrol) maupun grup blok
(perlakuan). Sejumlah 34 sampel, 17 untuk setiap grup, diambil data dasar berupa
jenis kelamin, berat badan, umur, dan status fisik ASA. Serta untuk melengkapi data
homogenitas sampel, data hemodinamik sesaat sebelum laringoskopi intubasi
endotrakeal juga dilakukan analisis sebagai karakteristik sampel.
Karakteristik sampel penelitian yang berupa data kontinu dianalisis
menggunakan independent-samples t test, sedangkan data kategorikal dianalisis
menggunakan descriptive statistic cross-tabulation chi square.
Tabel 4.1. Karakteristik sampel penelitian (data kontinu)
Pelumpuh otot Blok Variabel
n Mean SD n Mean SD t p
Berat badan (kg) 17 55,76 11,94 17 56,88 12,04 -0,27 0,788
Umur (th) 17 46,41 11,29 17 40,59 10,71 1,54 0,133
Sistolik pre intubasi 17 97,12 12,50 17 98,65 8,07 -0,42 0,675
Diastolik pre intubasi 17 58,65 10,34 17 60,24 9,66 -0,46 0,647
MAP pre intubasi 17 70,24 11,02 17 71,47 9,52 -0,35 0,729
Nadi pre intubasi 17 77,41 14,29 17 80,29 17,05 -0,53 0,597
Saturasi pre intubasi 17 98,82 1,33 17 99,12 1,17 -0,68 0,499
Keterangan : n = jumlah
SD = standar deviasi
t = nilai t test
p = nilai p, secara signifikan bermakna jika p < 0,05
Perbandingan berat badan dan umur antara grup pelumpuh otot dan grup blok
tidak bermakna, hal ini dapat dilihat dari nilai p=0,788 (p>0,05) untuk perbandingan
berat badan antara grup pelumpuh otot dan grup blok, dan nilai p=0,133 (p>0,05)
untuk perbandingan umur antara grup pelumpuh otot dan grup blok.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
Perbandingan keadaan hemodinamik sesaat sebelum intubasi antara kedua
grup juga tidak bermakna. Nilai p=0,675 (p>0,05) untuk perbandingan tekanan darah
sistolik sesaat sebelum intubasi, p=0,647 (p>0,05) untuk perbandingan tekanan darah
diastolik sesaat sebelum intubasi, p=0,729 (p>0,05) untuk perbandingan MAP sesaat
sebelum intubasi, p=0,597 (p>0,05) untuk perbandingan denyut nadi sesaat sebelum
intubasi, dan p=0,499 (p>0,05) untuk perbandingan saturasi sesaat sebelum intubasi.
Tabel 4.2. Karakteristik sampel penelitian (data kategorikal)
Pelumpuh otot Blok Variabel
n (%) n (%)
Total
n (%) χ
2 p
Jenis kelamin
- Laki-laki 5 (45,5) 6 (54,5) 11 (100)
- Perempuan 12 (52,2) 11 (47,8) 23 (100) 0,13 0,714
Status fisik ASA
- I 3 (37,5) 5 (62,5) 8 (100)
- II 14 (53,8) 12 (46,2) 26 (100) 0,654 0,419
Keterangan : n = jumlah
χ2 = nilai chi square
p = nilai p, secara signifikan bermakna jika p < 0,05
Perbandingan distribusi jenis kelamin antara grup pelumpuh otot dan grup
blok tidak didapatkan berbedaan yang bermakna p=0,714 (p>0,05), demikian juga
perbandingan distribusi status fisik ASA antara kedua grup p=0,419 (p>0,05).
Berdasarkan Tabel 4.1 dan 4.2 tentang kerakteristik sampel penelitian data
kontinu maupun kategorikal yang kesemuanya tidak didapatkan perbedaan yang
bermakna, maka dapat disimpulkan bahwa distribusi sampel pada penelitian ini
homogen dan layak untuk dibandingkan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
Kualitas Intubasi
Data kualitas intubasi diambil berdasarkan alat ukur rancangan Helbo-Hansen
Raulo dan Trap Anderson (Tabel 3.1) kemudian dihitung jumlah skornya dan
dikategorikan dalam kriteria sangat baik, baik, buruk, atau sangat buruk. Dimana,
kriteria intubasi sangat baik dan baik dianggap sebagai intubasi yang dapat diterima
sedangkan kriteria intubasi buruk dan sangat buruk dianggap sebagai intubasi yang
tidak dapat diterima.
Tabel 4.3. Hasil skor kualitas intubasi
Rahang Laringoskopi Pita suara Batuk Grup
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Pelumpuh otot (n) 17 0 0 0 17 0 0 0 17 0 0 0 16 1 0 0
Blok (n) 16 1 0 0 16 1 0 0 14 1 2 0 9 3 5 0
Keterangan : n = jumlah
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Relaksasi rahang Laringoskopi Pita suara Batuk
jum
lah
pasi
en
Pelumpuh otot
Blok
Gambar 4.1. Grafik perbandingan skor kualitas intubasi
antara grup pelumpuh otot dan blok
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Pada grup pelumpuh otot seluruh pasien mengalami relaksasi rahang yang
sempurna. Sedangkan pada grup blok relaksasi rahang yang sempurna didapatkan
pada 16 pasien dimana 1 pasien didapatkan relaksasi rahang yang cukup.
Laringoskopi pada grup pelumpuh otot semuanya mudah dilakukan,
sedangkan pada grup blok didapatkan 1 pasien dengan kemudahan laringoskopi yang
cukup sementara 16 pasien lainnya mudah.
Pita suara pada grup pelumpuh otot terbuka seluruhnya. Sementara pada grup
blok terdapat 1 pasien yang pita suaranya masih bergerak, dan 2 pasien yang pita
suaranya masih menutup.
Enam belas pasien pada grup pelumpuh otot tidak didapatkan reflek batuk,
namun masih didapatkan batuk ringan pada satu orang pasien. Sementara pada grup
blok, batuk ringan didapatkan pada 3 pasien, batuk sedang pada 5 pasien, dan 9 orang
sisanya tidak didapatkan refleks batuk.
Setelah dihitung jumlah skor kualitas intubasi masing-masing sampel,
kemudian dikategorikan dalam kriteria kualitas intubasi sangat baik, baik, buruk, atau
sangat buruk.
Tabel 4.4. Hasil kriteria kualitas intubasi
Grup
Skor 3-4
Sangat baik
n (%)
Skor 5-8
Baik
n (%)
Skor 9-12
Buruk
n (%)
Skor 13-16
Sangat buruk
n (%)
Total
n (%)
Pelumpuh otot 16 (94,1) 1 (5,9) 0 (0) 0 (0) 17 (100)
Blok 9 (53,9) 7 (41,2) 1 (5,9) 0 (0) 17 (100)
Keterangan : n = jumlah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
sangat baik baik buruk sangat buruk
jum
lah
pasi
en
Pelumpuh otot
Blok
Gambar 4.2. Grafik perbandingan kriteria kualitas intubasi
antara grup pelumpuh otot dan blok
Pada grup pelumpuh otot didapatkan 16 (94,1%) pasien dengan kriteria
kualitas intubasi yang sangat baik, dan 1 (5,9%) pasien dengan kriteria kualitas
intubasi yang baik. Sementara pada grup blok didapatkan 9 (53,9%) pasien dengan
kriteria kualitas intubasi yang sangat baik, 7 (41,2%) pasien dengan kriteria kualitas
intubasi yang baik, dan terdapat 1 (5,9%) pasien dengan kriteria kualitas intubasi
yang buruk.
Setelah dikategorikan dalam kriteria sangat baik, baik, buruk, dan sangat
buruk, kemudian dikelompokkan dalam intubasi yang dapat diterima untuk kualitas
intubasi yang sangat baik dan baik, sedangkan kualitas intubasi yang buruk dan
sangat buruk dikelompokkan dalam intubasi yang tidak dapat diterima.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Tabel 4.5. Hasil analisis chi square terhadap perbedaan kualitas intubasi grup
pelumpuh otot dan blok
Kualitas intubasi
Variabel Dapat diterima
n (%)
Tidak dapat
diterima
n (%)
Total
n (%) χ
2 p
Pelumpuh otot 17 (100) 0 (0) 17 (100)
Blok 16 (94,1) 1 (5,9) 17 (100) 1,030 0,310
Keterangan : n = jumlah
χ2 = nilai chi square
p = nilai p, secara signifikan bermakna jika p < 0,05
Didapatkan 17 intubasi yang dapat diterima dan tidak ada intubasi yang tidak
dapat diterima pada grup pelumpuh otot. Sementara pada grup blok didapatkan 16
intubasi yang dapat diterima dan 1 intubasi yang tidak dapat diterima. Dengan nilai
p=0,310 (p>0,05) yang berarti tidak ada perbedaan bermakna dalam hal dapat
diterima atau tidaknya kualitas intubasi antara grup pelumpuh otot dan grup blok.
Respons Hemodinamik
Tekanan darah sistolik, diastolik, MAP, denyut nadi, dan saturasi pasien dari
masing-masing grup diukur sesaat sebelum intubasi dan sesaat setelah intubasi. Nilai
tekanan darah, denyut nadi, dan saturasi sesaat sebelum intubasi dimasukkan dalam
data karakteristik pasien dan dianalisis statistik untuk membandingkan homogenitas
antara kedua grup. Nilai tekanan darah, denyut nadi, dan saturasi sesaat setelah
intubasi dibandingkan antara grup pelumpuh otot dengan grup blok menggunakan
independent-samples t test.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
Tabel 4.6. Hasil analisis uji t terhadap perbedaan respons hemodinamik setelah
intubasi antara pelumpuh otot dan blok
Pelumpuh otot Blok Variabel
n Mean SD n Mean SD t p
Sistolik post intubasi 17 148,35 26,33 17 109,53 15,98 5,20 < 0,001
Diastolik post intubasi 17 94,88 20,18 17 68,00 15,54 4,35 < 0,001
MAP post intubasi 17 109,65 21,18 17 79,94 16,94 4,52 < 0,001
Nadi post intubasi 17 101,71 16,34 17 87,47 20,03 2,27 0,030
Saturasi post intubasi 17 99,35 0,79 17 99,35 0,99 0,00 1,000
Keterangan : n = jumlah
SD = standar deviasi
t = nilai t test
p = nilai p, secara signifikan bermakna jika p < 0,05
Didapatkan hasil yang signifikan berbeda pada seluruh respons hemodinamik
kecuali saturasi. Didapatkan nilai p<0,001 (p<0,05) pada perbandingan tekanan darah
sistolik, diastolik, maupun MAP kedua grup yang berarti terdapat perbedaan nilai
yang sangat bermakna. Sementara perbandingan nadi sesaat setelah intubasi
didapatkan p=0,03 (p<0,05) yang berarti didapatkan perbedaan bermakna antara
kedua grup. Sedangkan saturasi sesaat setelah intubasi antara grup pelumpuh otot dan
grup blok tidak didapatkan perbedaan yang bermakna dengan nilai p=1,000 (p>0,05).
Kemudian dibuat grafik untuk membandingkan respons hemodinamik sesaat
sebelum dan sesaat setelah laringoskopi intubasi endotrakeal antara grup pelumpuh
otot dan grup blok.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
97.12 98.65109.53
148.35
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
120.00
140.00
160.00
Pelumpuh otot Blok
mm
Hg Pre intubasi
Post intubasi
Gambar 4.3. Grafik perbandingan mean tekanan darah sistolik sebelum dan setelah
laringoskopi intubasi endotrakeal antara grup pelumpuh otot dan blok
Dari grafik perbandingan mean tekanan darah sistolik dapat terlihat
peningkatan yang mencolok dari tekanan darah sistolik sesaat sebelum intubasi dan
sesaat setelah intubasi pada grup pelumpuh otot. Sementara pada grup blok,
peningkatan tekanan darah sistolik terjadi minimal.
60.2458.65
94.88
68.00
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
120.00
Pelumpuh otot Blok
mm
Hg Pre intubasi
Post intubasi
Gambar 4.4. Grafik perbandingan mean tekanan darah diastolik sebelum dan setelah
laringoskopi intubasi endotrakeal antara grup pelumpuh otot dan blok
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
Dari grafik perbandingan mean tekanan darah diastolik terlihat bahwa
peningkatan diastolik antara sesaat sebelum dan sesaat setelah laringoskopi intubasi
endotrakeal pada grup pelumpuh otot terjadi peningkatan yang lebih tinggi
dibandingkan yang terjadi pada grup blok.
71.4770.2479.94
109.65
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
120.00
Pelumpuh otot Blok
mm
Hg Pre intubasi
Post intubasi
Gambar 4.5. Grafik perbandingan mean MAP sebelum dan setelah
laringoskopi intubasi endotrakeal antara grup pelumpuh otot dan blok
Dari grafik perbandingan mean MAP dapat dilihat bahwa peningkatan
tekanan arteri sesaat sebelum dan sesaat setelah intubasi pada grup pelumpuh otot
meningkat lebih tinggi dibanding pada grup blok yang relatif stabil pada angka tujuh
puluhan mmHg.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
71.4770.2479.94
109.65
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
120.00
Pelumpuh otot Blok
mm
Hg Pre intubasi
Post intubasi
Gambar 4.6. Grafik perbandingan mean denyut nadi sebelum dan setelah
laringoskopi intubasi endotrakeal antara grup pelumpuh otot dan blok.
Pada grafik diatas dapat dilihat bahwa peningkatan denyut nadi sesaat
sebelum dan sesaat setelah laringoskopi intubasi endotrakeal pada grup pelumpuh
otot mengalami peningkatan lebih tinggi dibandingkan peningkatan denyut nadi pada
grup blok.
99.1298.8299.3599.35
90.00
91.00
92.00
93.00
94.00
95.00
96.00
97.00
98.00
99.00
100.00
Pelumpuh otot Blok
%
Pre intubasi
Post intubasi
Gambar 4.7. Grafik perbandingan mean saturasi sebelum dan setelah
laringoskopi intubasi endotrakeal antara grup pelumpuh otot dan blok.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Mean saturasi sesaat sebelum maupun sesaat setelah intubasi hampir sama
pada kedua grup, tidak didapatkan perbedaan bermakna, seperti yang tergambar pada
grafik diatas.
4.2. Pembahasan
Penelitian ini merupakan uji klinis menggunakan randomized control trial,
diharapkan sampel yang diambil dari populasi terandomisasi secara homogen untuk
setiap grup, sehingga bias atau faktor perancu yang mungkin terjadi dapat terbagi rata
pada masing-masing grup dan tidak ada kecenderungan untuk mensuperiorkan satu
grup atas grup lainnya. Namun, penelitian ini hanya dapat dilakukan dengan single
blind dimana partisipan atau pasien tidak mengetahui akan dimasukkan dalam grup
mana, dan tidak dapat dilakukan double blind ataupun triple blind karena
keterbatasan ruangan dan fasilitas yang mengharuskan peneliti/yang melakukan
perlakuan dan pencatat/mengambil data untuk berada pada satu ruangan dan secara
bersama-sama menyaksikan saat perlakuan.
Tabel 4.1 dan 4.2 menunjukkan gambaran karakteristik sampel yang
digunakan dalam penielitian ini, dimana tidak didapatkan perbedaan yang bermakna
pada kedua grup dalam hal berat badan, umur, jenis kelamin, status fisik ASA,
tekanan darah sistolik, diastolik, MAP, denyut nadi, maupun saturasi sesaat sebelum
intubasi. Hal ini menggambarkan bahwa pasien-pasien yang disertakan dalam
penelitian ini homogen dan terandomisasi baik sehingga layak untuk dibandingkan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
Penelitian ini membandingkan kualitas intubasi dan respons hemodinamik
pasien yang dilakukan laringoskopi intubasi endotrakeal antara yang difasilitasi
dengan blok superior laringeus dan transtrakeal dibanding dengan yang difasilitasi
obat pelumpuh otot. Karena tindakan laringoskopi intubasi endotrakeal menstimulasi
refleks batuk, spasme laring, dan sistem saraf simpatis yang dapat memicu terjadinya
komplikasi-komplikasi yang tidak diinginkan, namun tindakan ini mutlak diperlukan
untuk menjaga jalan nafas, sehingga diperlukan obat-obatan intravena, lokal, maupun
topikal untuk membantu mengatasi refleks-refleks yang mungkin timbul (Hagberg,
2005; Morgan, 2005; Finucane, 2011).
Obat pelumpuh otot intravena menyediakan relaksasi otot skelet, namun tidak
menghasilkan analgesia, memudahkan laringoskopi intubasi endotrakeal namun tanpa
bantuan obat lain tidak mampu meredam respons hemodinamik yang terjadi akibat
laringoskopi intubasi endotrakeal (Morgan, 2005). Sedangkan blok superior laringeus
dan transtrakeal dengan menggunakan obat anestesi lokal yang diinjeksikan di daerah
sekitar saraf bekerja dengan cara menghambat transmisi impuls saraf (blokade
konduksi) sehingga menumpulkan sensari nyeri pada daerah yang dipersarafi nervus
superior laringeus dan reccurent laringeus saat dilakukan laringoskopi intubasi
endotrakeal (Stoelting,2006; Hadzic, 2007).
Belum ada penelitian sebelumnya yang membandingkan tentang kualitas
intubasi yang dihasilkan oleh pasien tersedasi yang dilakukan blok superior laringeus
dan transtrakeal untuk laringoskopi intubasi endotrakeal. Pada penelitian ini, pasien
yang telah diinduksi dilakukan blok superior laringeus dan transtrakeal kemudian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
dibandingkan kualitas intubasinya, menggunakan skor Helbo-Hansen Raulo dan Trap
Anderson, dengan pasien tersedasi yang dilakukan injeksi obat pelumpuh otot
intravena.
Dari Tabel 4.3 dan Gambar 4.1 dapat terlihat bahwa kualitas intubasi pada
grup pelumpuh otot hampir sempurna, hanya satu pasien yang mengalami batuk
ringan saat pipa endotrakeal dimasukkan ke dalam trakea. Sementara pada grup blok
masih didapatkan satu pasien dengan rahang yang belum membuka sempurna dan
proses laringoskopi yang cukup, juga didapatkan satu pasien dengan pita suara yang
masih bergerak dan dua pasien dengan pita suara menutup, serta refleks batuk ringan
masih didapatkan pada 2 pasien dan 5 pasien masih mengalami batuk sedang.
Hal ini dapat dikaitkan pada proses blok superior laringeus dan transtrakeal.
Dimana blok nervus superior laringeus kanan dan kiri dilakukan dengan cara blind
tanpa bantuan nerve stimulator hanya dari penanda lokasi sesuai buku teks. Sehingga
pada pasien gemuk atau pada pasien dengan leher pendek dimana os hyoid sulit
diraba, menyebabkan kesulitan penyuntikan di tempat yang tepat. Pada satu pasien
dengan relaksasi rahang yang belum sempurna, laringoskopi yang cukup, dan pita
suara yang masih menutup diperkirakan blok superior laringeus tidak terjadi atau
tidak sempurna.
Refleks batuk masih terjadi pada grup blok akibat tidak sempurnanya blok
transtrakeal. Blok transtrakeal dilakukan dengan menyuntikkan 2 mL lidokain 2%
kedalam trakea dengan tujuan untuk memberikan topikal anestesi ke permukaan
trakea, sehingga diharapkan terjadi penumpulan sensasi saat pipa endotrakeal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
menyentuh trakea dan tidak terjadi refleks batuk. Namun, kelemahan blok ini tidak
dapat melapisi seluruh permukaan trakea secara merata karena lokasi penyemprotan
hanya dari satu titik, sehingga diperkirakan masih ada bagian trakea yang dapat
merasakan sensasi saat pipa endotrakeal melewati trakea yang kemudian memicu
refleks batuk. Sementara pada grup pelumpuh otot didapatkan satu pasien yang
mengalami batuk ringan, dimungkinkan karena dosis yang kurang, karena dibutuhkan
dosis 3 kali lebih besar untuk melumpuhkan laring, atau onset obat pelumpuh otot
belum mencapai puncak saat dilakukan laringoskopi intubasi endotrakeal.
Kemudian skor tersebut dikelompokkan dalam kriteria kualitas intubasi,
dimana nilai skor 3-4 adalah sangat baik, 5-8 baik, 9-12 buruk, dan 13-16 sangat
buruk, seperti yang terlihat pada Tabel 4.4 dan Gambar 4.2. Yang kemudian dibagi
menjadi intubasi yang dapat diterima (kategori sangat baik dan baik) atau tidak dapat
diterima (kategori buruk dan sangat buruk) lalu dilakukan analisis statistik seperti
yang terlihat dalam Tabel 4.5.
Seluruh pasien (100%) dari grup pelumpuh otot memiliki kualitas intubasi
yang dapat diterima sementara satu pasien (5,9%) dari grup blok memiliki kualitas
intubasi yang tidak dapat diterima, dengan p=0,310 yang berarti perbedaan kualitas
intubasi antara grup pelumpuh otot dan grup blok tidak bermakna. Sesuai dengan
hipotesis penelitian ini yaitu kualitas intubasi yang difasilitasi oleh blok nervus
superior laringeus dan transtrakeal setara dengan yang difasilitasi oleh obat pelumpuh
otot. Juga sejalan dengan penelitian DeMeester et al. pada tahun 1977 yang berhasil
melakukan intubasi endotrakeal yang memuaskan dengan premedikasi minimal dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
blok superior laringeus pada 313 pasien yang di bronkoskopi, dan Vannier et al. pada
tahun 1988 yang berhasil mengeblok sempurna pita suara 24 orang yang akan
diintubasi dengan fasilitasi blok superior laringeus tanpa gejolak hemodinamik.
Penelitian sebelumnya oleh Gunawan et al. berjudul The Efektiveness of
Combination of Glossopharyngeal Block, Laryngeal Superior Block and
Transtracheal Puncture to Attenuate Haemodinamic Response Due to Endotracheal
Intubation membandingkan hemodinamik pasien yang dilakukan intubasi endotrakeal
antara kombinasi 3 blok dibandingkan obat intravena dan pelumpuh otot,
memberikan hasil peningkatan hemodinamik yang tidak signifikan karena diukur
setiap 2 menit hingga 10 menit setelah intubasi kemudian hasilnya dipersentase.
Sehingga ada waktu untuk mendalamkan tingkat anestesi dan menormalkan respons
hemodinamik yang terjadi. Maka, pada penelitian kali ini respons hemodinamik
hanya diukur pada sesaat sebelum dan sesaat setelah laringoskopi intubasi
endotrakeal agar respons hemodinamik yang terukur adalah murni respons akibat
laringoskopi intubasi endotrakeal.
Respons hemodinamik pada penelitian ini membandingkan tekanan darah
sistolik, diastolik, MAP, denyut nadi dan saturasi sesaat sebelum dan sesaat setelah
laringoskopi intubasi endotrakeal antara grup pelumpuh otot dan grup blok. Data
hemodinamik sesaat sebelum laringoskopi intubasi endotrakeal kedua grup
dimasukkan ke dalam analisis data karakteristik sampel untuk menunjukkan
gambaran bahwa keadaan hemodinamik seluruh sampel sebelum laringoskopi
intubasi endotrakeal homogen dan layak untuk dibandingkan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Data hemodinamik sesaat setelah laringoskopi intubasi kedua grup dianalisis
statistik pada Tabel 4.6 dimana didapatkan perbedaan yang sangat signifikan pada
tekanan darah sistolik, diastolik, dan MAP dengan nilai p=<0,001. Sementara denyut
nadi sesaat setelah intubasi kedua grup didapatkan perbedaan bermakna dengan nilai
p=0,03 (p<0,05). Hal ini sesuai dengan teori dimana blok superior laringeus dan
transtrakeal menumpulkan sensasi nyeri yang terjadi saat manipulasi jalan nafas
seperti laringoskopi intubasi endotrakeal sehingga tidak terjadi stimulasi simpatis
yang dapat menimbulkan respons hemodinamik berupa peningkatan tekanan darah
dan denyut nadi. Sedangkan obat pelumpuh otot intravena hanya merelaksasi otot
untuk memudahkan tindakan laringoskopi intubasi endotrakeal sehingga respons
hemodinamik berupa peningkatan tekanan darah dan denyut nadi tetap terjadi
(Morgan, 2005; Hadzic, 2007).
Seperti yang tergambar pada Gambar 4.3, 4.4, 4.5, dan 4.6 dimana mean
tekanan darah maupun denyut nadi sesaat sebelum intubasi dan sesaat setelah intubasi
pada grup pelumpuh otot meningkat lebih tajam dibanding mean tekanan darah
maupun denyut nadi pada grup blok. Sedangkan saturasi sesaat sebelum maupun
sesaat setelah laringoskopi intubasi endotrakeal pada kedua grup seperti yang
tergambar pada Gambar 4.7 dan Tabel 4.6 tidak mengalami perbedaan yang
bermakna, bahkan dapat dikatakan hampir serupa, dengan nilai p=1,000. Hal ini
dikarenakan sejak di induksi pasien telah di oksigenasi dengan sungkup wajah baik
pada grup pelumpuh otot maupun blok, sehingga tidak terjadi desaturasi di grup
manapun.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
Signifikasi respons hemodinamik ini sesuai dengan hipotesis bahwa respons
hemodinamik yang dihasilkan oleh laringoskopi intubasi endotrakeal yang difasilitasi
oleh blok nervus superior laringeus dan transtrakeal lebih baik dibandingkan dengan
yang difasilitasi oleh obat pelumpuh otot.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
1. Kualitas intubasi yang difasilitasi oleh blok nervus superior laringeus dan
transtrakeal setara dengan yang difasilitasi oleh obat pelumpuh otot.
2. Respons hemodinamik yang dihasilkan oleh intubasi endotrakeal yang
difasilitasi oleh blok nervus superior laringeus dan transtrakeal lebih baik
dibandingkan dengan yang difasilitasi oleh obat pelumpuh otot.
5.2. Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang dosis dan volume yang berbeda
untuk mendapatkan blok dengan kualitas intubasi yang lebih sempurna.
2. Perlu dilakukan penelitian tentang laringoskopi intubasi dengan fasilitasi blok
superior laringeus dan transtrakeal dibandingkan obat-obatan intravena yang
juga menumpulkan respon hemodinamik.
3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan metode double blind atau bahkan
triple blind.