kti - fix - revisi 2

13
Faktor Resiko dan Penatalaksanaan Bifosfonat pada Osteoporosis Adrian Christianto Yusuf, Alexandro Wiyanda, Bio Swadi Ghutama, Beatrix Flora Siregar, Hans Christian, Ksatria Putra Abadi Kabakoran, Kelvin Arifin, Octaviana Dewi Ayu Puspita, Stefany, Viboy Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510 Abstract Osteoporosis is a chronic disease characterized by reduction of bone mass. Factors which affect such as family history, physical activity, nutritional status and habits of high calcium foods. The incidence of osteoporosis are likely to get in women than men, due to the initial levels of the hormone estrogen levels decline hearts starter body since the age of 35 years while the male hormone testosterone down- pada pada age 65 years. Amino-bisphosphonate therapy is the first line of treatment most patients with osteoporosis, with the success of its been proven ditulang Rear Reduce the risk of fracture , hip , non- vertebral bone and others . Bisphosphonates can reduce bone resorption by osteoclasts Posted pada How to bind bone surface and inhibit osteoclast work with How to Reduce Production Under protons and lysosomal enzyme of osteoclasts Keywords :osteoporosis, management, bisphosponates Abstrak Osteoporosis merupakan penyakit kronik yang ditandai dengan pengurangan massa tulang. Faktor yang berpengaruh antara lain riwayat keluarga, aktifitas fisik, status gizi dan kebiasaan 1

Upload: alexandro-wiyanda

Post on 16-Sep-2015

221 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

karya ilmiah

TRANSCRIPT

Faktor Resiko dan Penatalaksanaan Bifosfonat pada OsteoporosisAdrian Christianto Yusuf, Alexandro Wiyanda, Bio Swadi Ghutama, Beatrix Flora Siregar, Hans Christian, Ksatria Putra Abadi Kabakoran, Kelvin Arifin, Octaviana Dewi Ayu Puspita, Stefany, ViboyFakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJalan Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510

AbstractOsteoporosis is a chronic disease characterized by reduction of bone mass. Factors which affect such as family history, physical activity, nutritional status and habits of high calcium foods. The incidence of osteoporosis are likely to get in women than men, due to the initial levels of the hormone estrogen levels decline hearts starter body since the age of 35 years while the male hormone testosterone down- pada pada age 65 years. Amino-bisphosphonate therapy is the first line of treatment most patients with osteoporosis, with the success of its been proven ditulang Rear Reduce the risk of fracture , hip , non- vertebral bone and others . Bisphosphonates can reduce bone resorption by osteoclasts Posted pada How to bind bone surface and inhibit osteoclast work with How to Reduce Production Under protons and lysosomal enzyme of osteoclastsKeywords :osteoporosis, management, bisphosponates

AbstrakOsteoporosis merupakan penyakit kronik yang ditandai dengan pengurangan massa tulang. Faktor yang berpengaruh antara lain riwayat keluarga, aktifitas fisik, status gizi dan kebiasaan mengkonsumsi makanan berkalsium tinggi. Insiden osteoporosis lebih banyak pada wanita daripada pria, ini disebabkan kadar hormon estrogen yang mulai menurun kadarnya dalam tubuh sejak usia 35 tahun sedangkan pada pria hormon testoteron turun pada usia 65 tahun. Amino-bifosfonat adalah terapi lini pertama untuk pengobatan kebanyakan pasien dengan osteoporosis, dengan keberhasilan yang telah terbukti mengurangi risiko patah ditulang belakang, pinggul, dan tulang non vertebral lainnya. Bisfosfonat dapat mengurangi resorpsi tulang oleh osteoklas dengan cara berikatan pada permukaan tulang dan menghambat kerja osteoklas dengan cara mengurangi produksi proton dan enzim lisosomal dibawah osteoklas.Kata Kunci :osteoporosis, tatalaksana, bifosfonatPendahuluanOsteoporosis adalah penyakit tulang metabolik yang ditandai oleh penurunan densitas tulang yang masif sehingga mudah terjadi fraktur tulang. Osteoporosis terjadi apabila kecepatan resorpsi tulang sangat melebihi kecepatan pembentukan tulang (formasi tulang). Tulang yang dibentuk normal; akan tetapi, karena jumlah tulang terlalu sedikit, tulang menjadi lemah. Semua tulang dapat mengalami osteoporosis, walaupun osteoporosis biasanya terjadi di tulang pangkal paha, panggul, pergelangan tangan, dan collumna vertebralis.1Osteoporosis PrimerMerupakan tipe osteoporosis yang paling banyak, dengan penderita sekitar 95%. Osteoporosis primer, kemudian dibagi lagi menjadi osteoporosis primer tipe 1 dan osteoporosis primer tipe 2.Osteoporosis primer tipe 1 (post menopause) : Merupakan tipe yang paling sering ditemukan, yang ditandai dengan meningkatkan aktivitas remodeling tulang. Peningkatan remodeling tulang ini, menyebabkan hilangnya kepadatan tulang-tulang trabekular. Onset dari tipe 1 ini berkaitan dengan kehilangan hormone estrogen, jadi secara tidak langsung, penyakit tipe 1 ini lebih banyak di derita oleh wanita dibandingkan dengan pria. Efek langsung dari hilangnya kepadatan tulang trabekular adalah dapat menyebabkan tulang menjadi lebih mudah fraktur. Fraktur tulang vertebra, pergelangan tangan dan ankle adalah jenis fraktur yang paling sering terjadi. Fraktur pada vertebra biasanya menyebabkan deformitas dan sakit. Pasien biasanya akan semakin mengecil karena kehilangan sekitar 25% dari tinggi vertebra mereka.2Osteoporosis primer tipe 2 (senile osteoporosis): osteoporosis ini terjadi karena kaitannya dengan usia dan bisa menyerang baik wanita maupun pria yang berusia di atas 70 tahun, walaupun dalam kenyataannya, wanita lebih berisiko 2 kali lebih banyak terkena osteoporosis tipe 2 ini dibandingkan dengan pria. Osteoporosis tipe 2 ini, hilangnya kepadatan tulang terjadi secara perlahan, dimulai sejak umur 40 tahun dan terus berlanjut selama beberapa dekade kemudian. Tidak seperti tipe 1 yang hanya kehilangan tulang trabekular, tipe 2 mengalami kehilangan tulang trabekular dan kortikal dalam jumlah yang sama. Dalam prosesnya, osteoklas dalam tulang melakukan resorpsi dalam batas yang normal, tetapi karena aktivitas dari osteoblas terganggu, sehingga aktivitasnya di bawah normal sehingga produksi matriks tulang menurun, maka sebagai hasilnya, tulang trabekular secara perlahan menjadi lebih tipis dan tebal dari korteks tulang kortikal menurun. Fraktur yang paling sering terjadi adalah fraktur pada panggul ( hip / coxae ), tulang humerus proksimal, tibia proksimal dan pelvis.2,3

Osteoporosis SekunderDapat terjadi pada tiap kelompok umur. Penyebabnya meliputi hipertirodisme, multipel mieloma, malnutrisi, defisiensi estrogen, hiperparatiroidisme, faktor genetik, dan obat-obatan.3Faktor RisikoRisiko osteoporosis meningkat dengan semakin menuanya usia. Osteoporosis senilis merupakan osteoporosis yang paling sering mengenai manusia yang berumur 70 tahun atau lebih, sedangkan untuk osteoporosis post menopause, paling tinggi menyerang wanita berusia 50-70 tahun. Risiko osteoporosis juga meningkat sesuai dengan faktor seks (kelamin). Wanita lebih memiliki risiko osteoporosis dibandingkan dengan pria. Menurut badan penelitian di Amerika, 80% wanita dari 10 juta manusia yang mengalami osteoporosis adalah wanita.Faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian massa tulang puncak adalah genetik, lingkungan, ras, sex, aktifitas fisik, diet masukan kalsium, hormonal dan vitamin D. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kehilangan massa tulang diantaranya hormonal, aktifitas defisiensi kalsium dan vit D. Laju kehilangan massa tulang akibat defisiensi hormon steroid sex (estrogen) bersifat eksponensial sedangkan bila terjadi akibat faktor lain bersifat bertahap (gradual).Hal-hal lain yang dapat mempengaruhi percepatan kehilangan massa tulang adalah alkohol, merokok, nutrisi, mobilisasi dan aktifitas fisik.3Tabel 1. Prevalensi Osteoporosis Menurut RasRace/EthnicitySex (age 50 y)% Estimated to have osteoporosis% Estimated to have low bone mass

Non-Hispanic white; AsianWomen15,852,6

Men3,936

Non-Hispanic blackWomen7,736,2

Men1,321,3

HispanicWomen20,447,8

Men5,938,3

Sumber : http://emedicine.medscape.com/article/330598-overviewManifestasi KlinisGejala awal tersering adalah nyeri pinggang tanpa tanda-tanda sebelumnya, biasanya nyeri ini timbul sesudah mengangkat barang berat. Sifat nyeri tersebut tajam atau seperti terbakar, yang bertambah hebat bila bergerak membungkuk, mengangkat beban lebih berat, melompat, atau tanpa trauma sedikit pun. Keadaan ini menunjukkan adanya fraktur kompresi pada korpus vertebra. Vertebra yang paling sering terkena adalah T12 dan L1.4Osteoporosis tidak menyebabkan deformitas pada ekstremitas, kecuali bila ada fraktur. Deformitas collumna vertebralis akan terjadi sesudah fraktur kompresi yang berulang-ulang. Terkadang deformitas muncul tanpa ada nyeri pinggang yang nyata. Deformitas tersebut meliputi: Penurunan tinggi badan: adanya fraktur kompresi ini menyebabkan tinggi badan dapat berkurang beberapa sentimeter apabila proses tersebut mengenai beberapa corpus vertebra. Kifosis: kelainan ini muncul sebagai gejala khas adanya proses osteoporosis. Fraktur. Fraktur patologis pada ekstremitas dapat menyebabkan deformitas. Tempat yang paling sering terkena fraktur akibat dari osteoporosis adalah colum femoris dan radius distalis yang terjadi karena jatuh.4

BifosfonatDari banyak uji klinik, terbukti bahwa golongan obat bifosfonat menduduki posisi penting dalam pencegahan dan terapi osteoporosis. Golongan obat ini dikenal sebagai obat antiresorpsi karena secara aktif menghambat resorpsi tulang, menghambat kerja dan juga menyebabkan apoptosis osteoklas. Secara in vitro, telah dibuktikan bahwa bifosfonat mempunyai efek anabolic pada osteoblas, ini menyimpulkan bahwa selain menghambat osteoklas, bifostonat juga merupakan promoter proliferasi dan maturasi osteoblas.5,6Secara farmakodinamik, absorpsi bisfosfonat sangat buruk, sehingga harus diberikan dalam keadaan perut kosong dengan dibarengi 2 gelas air putih (240 ml) dan setelah itu penderita harus dalam posisi tegak selama 30 menit. Sementara jenis minuman lain seperti kopi, teh, susu dan jus buah justru akan menghambat absorpsi obat-obatan golongan bifosfonat. Bisfosfonat generasi I juga memiliki efek samping lain, yaitu mengganggu mineralisasi tulang, sehingga tidak boleh diberikan secara kontinu, harus siklik, misalnya etidronat dan klodronat. Efek samping bisfosfonat adalah refluks esofagitis dan hipokalsemia. Oleh sebab itu, penderita yang memperoleh asupan bisfosfonat harus diperhatikan asupan kalsiumnya.7Dari berbagai penelitian dengan bisfosfonat, ternyata obat ini juga mempunyai efek yang baik untuk pencegahan dan pengobatan osteoporosis akibat steroid karena dapat meningkatkan BMD pada daerah lumbal. Hasil perbaikan massa tulang baru tampak setelah 2-3 bulan.6,7Cara Kerja BifosfonatBisfosfonat dapat mengurangi resorpsi tulang oleh osteoklas dengan cara berikatan pada permukaan tulang dan menghambat kerja osteoklas dengan cara mengurangi produksi proton dan enzim lisosomal dibawah osteoklas. Selain itu, beberapa bisfosfonat juga dapat mempengaruhi aktifasi prekursor osteoklas, diferensiasi prekursor osteoklas menjadi osteoklas yang matang, kemotaksis, perlekatan osteoklas pada permukaan tulang dan apoptosis osteoklas. Bisfosfonat juga memiliki efek tak langsung terhadap osteoklas dengan cara merangsang osteoblas menghasilkan substansi yang dapat menghambat osteoklas dan menurunkan kadar stimulator osteoklas. Beberapa penelitian juga mendapatkan bahwa bisfosfonat dapat meningkatkan jumlah dan diferensiasi osteoblas. Dengan mengurangi aktifitas osteoklas, maka pemberian bisfosfonat akan memberikan keseimbangan yang positif pada unit remodeling tulang.7,8Pemberian bisfosfonat oral akan diabsorpsi di usus halus dan absorpsinya sangat buruk, kurang dari 5% dari dosis yang diminum. Jumlah yang diabsorpsi juga tergantung pada dosis yang diminum. Absorpsi juga akan terhambat bila bisfosfonat diberikan bersama-sama dengan kalsium, kation divalen lainnya dan berbagai minuman kecuali air. Bisfosfonat harus diminum dengan air, idealnya pada pagi hari pada waktu bangun tidur dalam keadaan perut kosong.Setelah itu penderita tidak diperkenankan makan apapun, minimal selama 30 menit dan selama itu penderita harus dalam posisi tegak, tidak boleh berbaring. Khusus untuk etidronat, dapat diberikan 2 jam sebelum atau 2 jam setelah makan, karena absorpsinya tidak terlalu dipengaruhi oleh makanan.8,9Sekitar 20-50% bisfosfonat yang diabsorpsi, akan melekat pada permukaan tulang setelah 12-24 jam. Setelah berikatan dengan tulang dan beraksi terhadap osteoklas, bisfosfonat akan tetap berada didalam tulang selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, tetapi tidak aktif lagi.Bisfosfonat yang tidak melekat pada tulang, tidak akan mengalami metabolisme didalam tubuh dan akan diekskresikan dalam bentuk utuh melalui ginjal, sehingga pemberiannya pada penderita gagal ginjal harus berhati-hati.9

Penggunaan Bifosfonat dan Dosis Terapeutik EtidronatUntuk terapi osteoporosis, etidronat dapat diberikan dengan dosis 400 mg/hari selama 2 minggu, dilanjutkan dengan suplementasi kalsium 500 mg/hari selama 76 hari. Siklus ini diulang tiap 3 bulan. Pemberian secara siklik bertujuan untuk mengatasi gangguan mineralisasi akibat pemberian etidronat jangka panjang terus menerus.10,11

KlodronatUntuk osteoporosis, klodronat dapat diberikan dengan dosis 400 mg/hari selama 1 bulan dilanjutkan dengan suplementasi kalsium selama 2 bulan. Siklus ini dapat diulang setiap 3 bulan. Sama halnya dengan etidronat, pemberian klodronat jangka panjang terus menerus juga akan mengganggu mineralisasi tulang.11

PamidronatPamidronat biasanya diberikan melalui infus intravena. Untuk penyakit Paget, diberikan dengan dosis 60 mg/kali selama 4 jam drip intravena, sedangkan untuk hiperkalsemia akibat keganasan dapat diberikan sampai 90 mg/kali selama 6 jam drip intravena.12

AlendronatAlendronat merupakan aminobisfosfonat yang sangat poten.Untuk terapi osteoporosis, dapat diberikan dengan dosis 10 mg/hari setiap hari secara kontinyu, karena tidak mengganggu mineralisasi tulang.13

RisedronatRisedronat juga merupakan bisfosfonat generasi ketiga yang poten. Untuk terapi osteoporosis diperlukan dosis 5 mg/hari secara kontinyu. Berbagai penelitian membuktikan bahwa risedronat merupakan obat yang efektif untuk mengatasi osteoporosis dan mengurangi risiko fraktur pada wanita dengan osteoporosis pasca menopause dan wanita dengan menopause artifisial akibat pengobatan karsinoma payudara.14

Efek Samping BifosfonatDapat mengganggu mineralisasi tulang, dengan akibat akumulasi osteoid yang tidak mengalami mineralisasi yang akan memberikan gambaran klinik dan histologik seperti osteomalasia, yaitu nyeri tulang yang difus dan risiko fraktur.Nausea dan vomitus juga sering didapat pada penderita yang mendapat etidronat dosis untuk penyakit paget, tetapi jarang didapatkan pada dosis untuk osteoporosis. Gangguan gastrointestinal atas juga sering didapatkan pada pemberian aminobisfosfonat, yaitu alendronat, karena dapat mengiritasi esofagus dan menyebabkan esofagitis erosif. Oleh sebab itu alendronat harus diminum dengan air yang cukup banyak dan tidak boleh diberikan pada penderita dengan gangguan esofagus, misalnya striktura esofagus, akalasia, dismotilitas esofagus, dan juga pada penderita-penderita yang tidak dapat tegak.15

KesimpulanTujuan pengelolaan osteoporosis bukan hanya untuk menurunkan resorpsi tulang dan meningkatkan densitas tulang, tetapi yang terpenting adalah mencegah fraktur. Latihan dan program rehabilitasi sangat penting bagi penderita osteoporosis karena dengan latihan yang teratur, penderita akan menjadi lebih lincah, tangkas dan kuat otot-ototnya sehingga tidak mudah terjatuh. Selain itu latihan juga akan mencegah perburukan osteoporosis karena terdapat rangsangan biofisikoelektrokemikal yang akan meningkatkan remodeling tulang. Penatalaksanaan pada osteoporosis sekarang tidak diperbolehkan menggunakan terapi hormonal, dikarenakan dapat menjadi pemicu terjadinya tumor payudara dan serviks. Preparat bifosfonat yang paling sering digunakan adalah Alendronat karena merupakan agen bifosfonat yang lebih poten sebagai antiresorpsi dan antimineralisasi sehingga lebih efektif dalam menekan turnover tulang tanpa resiko osteomalacia. Obat ini telah disetujui penggunaannya oleh FDA untuk terapi pencegahan dan pengobatan osteoporosis menopause maupun osteoporosis akibat terapi glukokortikoid.

Daftar Pustaka1. Stabler H, Catherine A. Osteoporosis : from pathophysiology to treatment. America: American Association for Clinical Chemisty, Inc., 2006.p.22-8.2. Ramadai M. Faktor-faktor resiko osteoporosis dan upaya pencegahannya. Jurnal Kesehatan Masyarakat 2010;4(2):111-3.3. Bethel M. Osteoporosis. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/330598-overview. Diakses pada tanggal 3 April 2015. 4. Pujiastuti SS. Fisioterapi pada osteoporosis. Jakarta: EGC, 2005.h.83-5.5. Rang HP, Dale MM, Ritter JM, et al. Rang and dale's pharmacology international edition. London; Elsevier Churchill Livingstone;2007.p.426-9.6. Kawiyana IKS. Osteoporosis, patogenesis, diagnosis dan penanganan terkini. Diunduh dari: http:// portalgaruda.org/article.php?article=13198. Diakses pada tanggal 6 April 2015.7. Wells BG, Dipiro JT, Schwinghammer TL, Dipiro CV. Clinical pharmacotherapy.8th ed. USA; McGraw-Hill Companies, Inc;2009.p.25-7.8. Rachman IA. Manfaat klinis pengobatan bifosfonat pada osteoporosis post menopause. Jurnal kesehatan masyarakat 2010;4(3):17-9.9. Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ. Basic and clinical pharmacology. 11th ed. USA; McGraw-Hill Companies, Inc;2009.p.758-9.10. Ehrenpreis S, Ehrenpreis ED. Clinian's handbook of prescription drugs.McGraw-Hill companies, inc; 2008. p. 255-60.11. Reiner B, Frisch B. Biphosponates in medical practice. Springer-verlag berlin heilderberg, 2007. p. 45-50.12. Ponte FSD. Biphosponates and osteonecrosis.Springer-Verlag italy.2012.p 49-54.13. Cooper C, Gehlbach SH, Lindsay R. Prevention and treatment of osteoporosis. Taylor & francis, 2006. p. 64-7.14. Bartl R, Frisch B. Osteoporosis: diagnosis, prevention, and therapy. Springer-Berlag. 2005. p.80-90.15. Duque G, Kiel DP. Osteoporosis and older persons. Springer-Verlag london. 2009. p. 143-7.16. Slovik DM. Osteoporosis : a guide and treatment.Harvad health publication. 2010. p. 28-30.17. Adler RA. Osteopororsis: pathophysiology and clinical management. Humana press. 2010.p. 124-30.1

5