kso jo aspek perpajakan suatu catatan pemikiran

29
www.futurumcorfinan.com Page 1 Bentuk Kerja Sama Operasi (KSO)/Joint Operation (JO): Suatu Catatan Pemikiran atas Pengenaan sebagai Subjek PPN Pendahuluan Istilah Kerja Sama Operasi (disingkat KSO) atau Joint Operation (disingkat JO) seringkali kita temukan dalam kegiatan usaha di Indonesia. Kata JO/KSO cenderung menjadi kata yang umum atau generik. Dimana ada dua pihak atau badan usaha yang melakukan kerjasama operasional guna menyelesaikan suatu proyek, akan cenderung dipersepsikan sebagai bentuk KSO/JO. Kata KSO/JO diawali dengan kata-kata “Kerja Sama”, suatu yang merupakan keniscayaan pada saat ini dengan makin mengglobalnya dunia ini. Slogan seperti borderless world”, global village”, only the sky is the limit”, dan “the world is flat”, think globally, act locally, go internationally or dietampaknya mewakili kondisi dan semangat pelaku dunia bisnis Sukarnen DILARANG MENG-COPY, MENYALIN, ATAU MENDISTRIBUSIKAN SEBAGIAN ATAU SELURUH TULISAN INI TANPA PERSETUJUAN TERTULIS DARI PENULIS Untuk pertanyaan atau komentar bisa diposting melalui website www.futurumcorfinan.com

Upload: futurum2

Post on 09-Jan-2017

1.562 views

Category:

Economy & Finance


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kso jo aspek perpajakan suatu catatan pemikiran

www.futurumcorfinan.com

Page 1

Bentuk Kerja Sama Operasi (KSO)/Joint

Operation (JO): Suatu Catatan Pemikiran atas

Pengenaan sebagai Subjek PPN

Pendahuluan

Istilah Kerja Sama Operasi (disingkat KSO) atau Joint Operation (disingkat JO) seringkali

kita temukan dalam kegiatan usaha di Indonesia. Kata JO/KSO cenderung menjadi kata

yang umum atau generik. Dimana ada dua pihak atau badan usaha yang melakukan

kerjasama operasional guna menyelesaikan suatu proyek, akan cenderung dipersepsikan

sebagai bentuk KSO/JO.

Kata KSO/JO diawali dengan kata-kata “Kerja Sama”, suatu yang merupakan keniscayaan

pada saat ini dengan makin mengglobalnya dunia ini. Slogan seperti “borderless world”,

“global village”, “only the sky is the limit”, dan “the world is flat”, “think globally, act locally”,

“go internationally or die” tampaknya mewakili kondisi dan semangat pelaku dunia bisnis

Sukarnen

DILARANG MENG-COPY, MENYALIN,

ATAU MENDISTRIBUSIKAN

SEBAGIAN ATAU SELURUH TULISAN

INI TANPA PERSETUJUAN TERTULIS

DARI PENULIS

Untuk pertanyaan atau komentar bisa

diposting melalui website

www.futurumcorfinan.com

Page 2: Kso jo aspek perpajakan suatu catatan pemikiran

www.futurumcorfinan.com

Page 2

saat ini. Bahkan Bapak Akio Morita, chairman dari Sony pernah mengatakan “No company

is an island. In an interdependent world, every company has to think in terms of working

with others if it wants to compete in the global market place”1.

Dalam konteks bisnis internasional, KSO/JO atau joint venture adalah salah satu metode

pengembangan bisnis internasional, disamping pemberian lisensi, franchising, akuisisi

perusahaan yang sudah berjalan maupun mendirikan entitas anak yang baru2. KSO/JO

atau joint venture umumnya dipahami sebagai suatu ventura yang bersama-sama dimiliki

dan dioperasikan oleh 2 (dua) atau lebih perusahaan. Banyak perusahaan yang melakukan

penetrasi pasar di negara lain dengan membentuk KSO/JO atau joint venture dengan

perusahaan lokal yang sudah berpengalaman melakukan kegiatan usaha di pasar

domestik tersebut, tentunya dengan menggabungkan keunggulan komparatif dari kedua

belah pihak, baik untuk menjalankan suatu proyek atau yang bersifat jangka panjang atau

permanen. Dalam KSO/JO atau joint venture, tentunya masing- masing investor akan

membawa sumberdaya tertentu kedalam KSO/JO atau joint venture guna mencapai tujuan

bisnis tertentu. Misalnya, seorang investor akan membawa sumber keuangan guna

membiayai kegiatan operasional dan investor lainnya memberikan kontribusi berupa aset

tetap, teknologi tertentu atau know-how terkait kendali mutu produk

Pembentukan KSO/JO adalah salah satu bagian dari berbagai cara untuk pertumbuhan

atau peningkatan nilai (terutama nilai pemegang saham – shareholders’ value), dimana

termasuk didalamnya pertumbuhan internal, penggabungan usaha, investasi saham

minoritas atau non-pengendali, pembentukan aliansi (strategis) dan perjanjian kontraktual

lainnya.

Pembentukan KSO/JO bisa juga dilihat sebagai suatu ikhtiar untuk mencari pertumbuhan

(the search for business growth), dan untuk itu perusahaan meningkatkan toleransinya

terhadap resiko. Hal ini bisa tampak dari bekerja sama dengan perusahaan lain terkait

mencari dan mengembangkan proyek-proyek baru, meningkatkan penggunaan

infrastruktur yang mahal kalau dikelola sendiri, dan bahkan hingga bekerja sama untuk

1 Komunikasi pribadi sebagai catatan kaki No. 3 Bab 1 “The World of Alliances” dalam suatu

interview pribadi dengan Michael Y. Yoshino tertanggal 10 Agustus 1989. Yoshino, Michael Y., dan U. Srinivasa Rangan. Strategic Alliances: An Entrepreneurial Approach to Globalization. Boston (Massachusetts): Harvard Business School Press. 1995. Halaman 3. 2 Madura, Jeff. International Corporate Finance. Edisi kedelapan. Ohio: Thomson South-Western.

2006. Halaman 10-12.

Page 3: Kso jo aspek perpajakan suatu catatan pemikiran

www.futurumcorfinan.com

Page 3

memitigasi resiko politik atau teknis dan memastikan dipenuhinya ketentuan peraturan di

mana usaha tersebut berada. Untuk itu, bentuk-bentuk KSO/JO akan selalu ditemukan dan

umum dalam praktik bisnis.

Contoh-contoh kerja sama ini bisa mencakup berbagai hal, misalnya:

Kerja sama jaringan distribusi produk

Konsorsium untuk produksi suatu produk (bisanya pesawat terbang komersial dan

kapal laut)

Manajemen, pengembangan dan investasi properti

Perusahaan farmasi berbagi riset

Berbagi penggunaan aset (misalnya yang ditemukan di usaha eksplorasi dan

eksploitasi minyak bumi dan gas, untuk pipa saluran)

Alasannya di belakang pembentukan kerja sama guna menjalankan usaha bisa bermacam-

macam, misalnya:

mempercepat pengembangan teknologi baru

merubah teknologi yang ada saat ini menjadi produk yang siap dipasarkan

memasuki pasar atau industri baru

melakukan perluasan usaha ke daerah-daerah geografis baru

melindungi supply chain dan kapasitas produksi

mengkomersialkan hak kekayaan intelektual yang dimiliki pihak lain

mendistribusikan resiko

menyediakan alternatif terkait pembiayaan usaha, di luar pinjaman bank atau

pembiayaan modal saham

memberikan akses kepada keahlian dan ketrampilan yang ada

memenuhi ketentuan peraturan dari pemerintah suatu negara

mengfasilitasi distribusi produk

langkah awal sebelum akuisisi bisnis

Walaupun banyak alasan di belakang pembentukan KSO/JO, menurut hemat penulis, ada

3 alasan utama yang perlu menjadi catatan tersendiri.

Pertama, semakin terbatasnya kemungkinan satu pihak untuk memiliki semua sumber

daya yang diperlukan di tengah-tengah makin tingginya tingkat kompetisi di dunia usaha

Page 4: Kso jo aspek perpajakan suatu catatan pemikiran

www.futurumcorfinan.com

Page 4

dan semakin pendeknya siklus hidup produk. Sumber daya di sini bisa mencakup baik

sumber daya fisik (seperti bahan baku, tanah 3 ) maupun sumber daya non-fisik

(pengetahuan, know-how, teknologi, ketrampilan sumber daya manusia, jaringan distribusi).

Termasuk di sini, proyek kerja sama tersebut akan memperoleh manfaat dari skala

ekonomis jika dua atau lebih pihak terlibat di dalamnya, ataupun memang perlu kerja sama

dari beberapa pihak mengingat ukuran dari proyek tersebut jauh di atas kemampuan salah

satu pihak untuk bisa menggarapnya.

Kedua, mitigasi dan berbagi risiko. Tentunya dengan melibatkan sumber daya (baik dana,

pengalaman, pengetahuan, know-how, organisasi, manajemen, jaringan distribusi,

pemasaran dan penjualan, dan lain-lain) dari berbagai partisipan dalam suatu KSO/JO atau

joint venture, dari sudut pandang seorang investor, risiko berbisnis, terutama memasuki

bidang usaha yang baru atau area geografis yang baru, dapat dimitigasi, atau dapat

dilakukan dengan jumlah investasi yang lebih kecil dibandingkan apabila didanai sendiri.

Hal ini jelas tampak dalam kegiatan usaha yang umumnya memiliki tingkat risiko yang

relatif tinggi, misalnya dalam eksplorasi minyak dan gas bumi, pertambangan dan

pengembangan produk-produk kimia.

Ketiga, ketentuan regulasi (termasuk di dalamnya, ketentuan perpajakan). Misalnya, dalam

peraturan di Indonesia mengenai jasa konstruksi (Misalnya Peraturan Menteri Pekerjaan

Umum No. 05/PRT/M/2011 tertanggal 28 Maret 2011 tentang Pedoman Persyaratan

Pemberian Izin Perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing) mewajibkan perusahaan

asing menggandeng perusahaan kontraktor nasional/lokal dalam pengerjaan suatu proyek

di Indonesia. Dalam rangka pemenuhan ketentuan regulasi ini, bentuk KSO/JO banyak

ditemukan terkait jasa konstruksi.

Jadi tujuan pembentukan KSO/JO dapat mengarah mencetak laba (motif laba) atau

berbagi biaya dan resiko, dan yang menarik adalah bentuk KSO/JO yang disepakati bisa

berbentuk berbadan hukum (incorporated form) atau tidak berbadan hukum

3 Di dunia usaha real estat atau properti, bentuk KSO/JO menjadi relevan, mengingat bahwa

kepemilikan tanah dibatasi. Pelaku usaha bisnis real estat belum tentu dapat dengan cepat membeli tanah mengingat harga tanah yang cukup cepat berkembang, terutama di area-area penyangga kota. Mereka agak mengusahakan kerjasama dengan pemilik lahan tanah yang sudah ada, mengembangkan lahan tersebut secara bersama-sama, atau menjual bersama-sama, tanah dan bangunan agar memberikan nilai tambah yang lebih tinggi baik bagi pembeli maupun pelaku usaha.

Page 5: Kso jo aspek perpajakan suatu catatan pemikiran

www.futurumcorfinan.com

Page 5

(unincorporated form). Di samping itu, bentuk KSO/JO seringkali juga dipersepsikan

sebagai Joint Venture (JV).

Pembatasan Pembahasan

Terlepas, nama yang digunakan, apakah KSO/JO atau JV, sebagai pembatasan untuk

pembahasan di sini, penulis fokus pada bentuk KSO/JO atau JV yang tidak berbadan

hukum terpisah, artinya KSO/JO atau JV tidak diformalkan dalam suatu perusahaan,

perseroan, perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, firma,

dan kongsi. Jadi dalam bentuk paling sederhananya, bentuk KSO/JO, atau JV ini tidak

berujung pada dibentuknya entitas terpisah (separate entity) sama sekali. Dalam hal ini,

apa yang dinamakan “aliansi strategis” dimana para pihak (bisa orang pribadi atau

perusahaan/perseroan/persekutuan) setuju untuk bekerja sama guna mempromosikan

produk atau jasa pihak tertentu, dapat masuk dalam kategori ini.

Bentuk KSO/JO : Subjek PPN

Bagaimana ketentuan perpajakan yang ada terkait bentuk KSO/JO ini?

Kita awali dengan Pasal 1 Angka 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun

2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak

Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN)

dimana “Badan” disebutkan sebagai sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan

kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi:

perseroan terbatas,

perseroan komanditer,

perseroan lainnya,

badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam

bentuk apapun,

firma,

kongsi,

koperasi,

dana pensiun,

persekutuan,

Page 6: Kso jo aspek perpajakan suatu catatan pemikiran

www.futurumcorfinan.com

Page 6

perkumpulan,

yayasan,

organisasi masa,

organisasi sosial politik, atau

organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi

kolektif dan bentuk usaha tetap.

Kata-kata “bentuk kerja sama operasi” (catatan: penulis mengartikan bahwa ini bisa

disingkat KSO, atau Joint Operation4), ada disebutkan dalam Pasal 3 Ayat (1) dalam

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan UU

PPN (PP No. 1/2012), dimana dikatakan bahwa bentuk kerja sama operasi merupakan

bagian dari bentuk badan lainnya sebagaimana dimaksud dalam pengertian Badan

dalam Pasal 1 angka 13 UU PPN. Selanjutnya, dalam Ayat (2), diatur bahwa bentuk kerja

sama operasi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) wajib melaporkan usahanya untuk

dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dalam hal melakukan penyerahan

Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) atas nama bentuk kerja sama

operasi.

PP No. 1/2012 dalam Penjelasan Pasal 3 Ayat (2) di atas memberikan contoh sebagai

berikut.

Contoh bentuk kerja sama operasi (joint operation) yang wajib dikukuhkan

sebagai Pengusaha Kena Pajak:

PT ABC dan PT DEF membuat perjanjian kerja dengan pelanggan (pemilik

proyek). Untuk melaksanakan proyek tersebut, PT ABC dan PT DEF

membentuk joint operation.

4 Kata-kata “Joint Operation” yang disamakan dengan bentuk Kerja Sama Operasi justru ditemukan

dalam Penjelasan Pasal 3 Ayat (2), dan bukan pada Batang Tubuh Peraturan Pemerintah No. 1/2012. Menurut hemat penulis, sebaiknya dicantumkan dalam Batang Tubuh kalau memang yang dimaksudkan, adalah badan yang sama. Di sini penulis menginterpretasikan bahwa kata-kata KSO atau JO akan sama yang dimaksudkan PP No. 1/2012. Perbedaannya, yang satu Bahasa Indonesia, dan satunya Bahasa Inggris.

Page 7: Kso jo aspek perpajakan suatu catatan pemikiran

www.futurumcorfinan.com

Page 7

Dalam perjanjian kerja dengan pelanggan (pemilik proyek) diatur bahwa

semua transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak

kepada pelanggan (pemilik proyek) dilakukan atas nama joint operation.

Berdasarkan hal di atas:

a. Joint operation wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;

b. Atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada

pelanggan (pemilik proyek), joint operation wajib menerbitkan Faktur

Pajak.

c. Apabila dalam rangka joint operation tersebut, PT ABC atau PT DEF

atas nama joint operation melakukan penyerahan langsung kepada

pelanggan (pemilik proyek), maka penyerahan tersebut dianggap

sebagai penyerahan dari PT ABC atau PT DEF kepada joint operation,

sehingga PT ABC atau PT DEF harus membuat Faktur Pajak kepada

joint operation dan joint operation membuat Faktur Pajak kepada

pelanggan (pemilik proyek).

Contoh bentuk kerja sama operasi (joint operation) yang tidak wajib untuk

dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak:

PT X dan PT Y membuat perjanjian kerja sama dengan pelanggan (pemilik

proyek). Untuk melaksanakan proyek tersebut, PT X dan PT Y membentuk

joint operation.

Namun demikian, dalam pelaksanaannya semua transaksi dan dokumen

terkait dengan perjanjian kerja sama dengan pelanggan (pemilik proyek)

tersebut secara nyata hanya dilakukan atas nama PT X.

Karena joint operation secara nyata tidak melakukan penyerahan Barang

Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pihak lain, maka dalam hal ini

joint operation tidak wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Dari bacaan di atas, terdapat beberapa hal yang perlu dicatat.

Page 8: Kso jo aspek perpajakan suatu catatan pemikiran

www.futurumcorfinan.com

Page 8

Pertama, walaupun kata-kata “bentuk kerja sama operasi atau joint operation” disebutkan

berkali-kali, tidak terdapat definisi mengenai apa yang dimaksud dengan bentuk “KSO/JO”

ini, kecuali disebutkan bahwa KSO/JO merupakan bagian dari bentuk badan lainnya

sebagaimana dimaksud dalam pengertian Badan dalam Pasal 1 angka 13 UU PPN. Jadi

KSO/JO dilihat sebagai suatu “badan” dan bukan “orang pribadi”. Kemungkinan

diinterpretasikan sebagai “badan” karena dilihat sebagai “kesatuan” dari para anggota

[pembentuk] KSO/JO.

Menurut hemat penulis, baiknya suatu bentuk badan lainnya yang demikian spesifik,

apalagi dijadikan Subjek PPN, seyogianya ada definisi yang diberikan oleh undang-undang

perpajakan, atau minimal undang-undang perpajakan bisa mengacu ke undang-undang

atau ketentuan hukum yang sudah ada. Sebagai contoh, bentuk Kontrak Investasi Kolektif

(KIK) yang bisa kita temukan definisinya dalam ketentuan peraturan pasar modal di

Indonesia.

Mengapa definisi ini menjadi penting untuk dihadirkan?

Permasalahan yang ada terkait bentuk KSO/JO sampai sekarang belum terlalu jelas5,

padahal PP No. 1/2012 sudah menentukan bahwa bentuk KSO/JO adalah Subjek PPN dan

apabila melakukan penyerahan BKP/JKP atas nama KSO/JO, wajib dikukuhkan sebagai

PKP. Masalah yang lain, begitu bervariasinya berbagai bentuk dan struktur yang berbeda

terkait dengan bentuk KSO/JO dalam praktik bisnis tidak jarang ditemukan. Bahkan bisa

jadi, digunakan kata-kata “KSO/JO” dalam suatu perjanjian tidak serta merta dapat

diartikan sebagai suatu “bentuk KSO/JO” menurut pemahaman pihak pajak atau dari pihak

akuntan. Dan sebaliknya, suatu perjanjian yang tidak ada embel-embel “KSO/JO”

sesungguhnya merupakan bentuk KSO/JO menurut pemahaman pihak pajak atau pihak

akuntan.

Penulis tidak menemukan “dasar” pertimbangan yang digunakan oleh pihak pemerintah

dalam PP No. 1/2012 terkait bahwa bentuk KSO/JO adalah Subjek PPN. Penulis mencoba

mempertimbangkan mengapa bentuk KSO/JO dihadirkan sebagai Subjek PPN.

5 Dari googling di internet, penulis menemukan ada pembagian secara umum atas JO, yaitu JO

Admin dan JO Non-Admin. Menurut hemat penulis, istilah JO Admin dan JO Non-Admin tidak terlalu membantu dalam mengklarifikasi apa yang dimaksudkan dengan bentuk JO itu sendiri.

Page 9: Kso jo aspek perpajakan suatu catatan pemikiran

www.futurumcorfinan.com

Page 9

Dalam Penjelasan Pasal 3 Ayat (2) PP No. 1/2012 disebutkan bahwa:

Dalam perjanjian kerja dengan pelanggan (pemilik proyek) diatur bahwa semua

transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pelanggan

(pemilik proyek) dilakukan atas nama joint operation.

Jadi terdapat 3 (tiga) syarat bahwa bentuk KSO/JO ditentukan sebagai Subjek PPN, yaitu:

(1) Adanya perjanjian kerja antara anggota KSO/JO dengan pelanggan (pemilik

proyek), dan

(2) Adanya perjanjian kerja tersebut yang mengatur bahwa adanya penyerahan

BKP/JKP, serta

(3) Adanya penyerahan BKP/JKP tersebut dilakukan atas nama KSO/JO.

Jadi di sini, dari Pasal 3 Ayat (2) PP No. 1/2012, kita menyimpulkan bahwa karena bentuk

KSO/JO punya kegiatan usaha dan juga melakukan penyerahan BKP/JKP kepada pihak

ketika, maka bentuk KSO/JO ini adalah Subjek PPN dan wajib dikukuhkan menjadi PKP. Di

samping itu, hadirnya kontrak atau perjanjian kerja yang tertulis ini menjadi titik sangat

kritikal dan penyerahan BKP/JKP atas nama KSO/JO menjadikan secara eksplisit di

hadapan pelanggan atau pemilik proyek, mereka berurusan dengan KSO/JO, dan bukan

dengan anggota KSO/JO.

Dari pembacaan contoh yang diberikan dalam PP No. 1/2012, menurut hemat penulis, ada

hal yang kurang jelas, mengingat terdapat kemungkinan perjanjian atau kontrak kerja

dengan pemilik proyek atau pelanggan bisa distrukturkan dalam bentuk salah satunya:

(a) perjanjian atau kontrak kerja dilakukan antara anggota KSO/JO dengan pemilik

proyek atau pelanggan, namun dalam perjanjian kerja tersebut ada disebutkan

bahwa pelaksanaan kerja proyek (termasuk penyerahan BKP/JKP) dilakukan

melalui bentuk KSO/JO.

(b) Perjanjian atau kontrak kerja langsung dilakukan antara KSO/JO (sebagai

kesatuan) dengan pemilik proyek atau pelanggan, namun dalam perjanjian kerja

tersebut ada disebutkan nama anggota KSO/JO yang terlibat (mengingat bahwa

nama bentuk KSO/JO tidak selalu harus menggunakan gabungan nama-nama

anggota KSO/JO).

Page 10: Kso jo aspek perpajakan suatu catatan pemikiran

www.futurumcorfinan.com

Page 10

Apakah (a) atau (b) di atas yang sebetulnya dimaksudkan oleh Penjelasan Angka 3 Ayat

(2) PP No. 1/2012? Kalau dibaca kata per kata, yaitu “PT ABC dan PT DEF membuat

perjanjian kerja dengan pelanggan (pemilik proyek). Untuk melaksanakan proyek

tersebut, PT ABC dan PT DEF membentuk joint operation”, tampaknya struktur yang

dimaksud adalah (a) di atas. Pembentukan KSO/JO jelas diketahui dan disetujui oleh

pihak pemilik proyek atau pelanggan.

Namun apabila yang dimaksud adalah struktur (a) di atas, malah hal ini membingungkan

mengingat bahwa PP No. 1/2012 dalam Batang Tubuhnya yaitu Pasal 3 Ayat (1) justru

menyebutkan bahwa bentuk KSO/JO adalah merupakan bagian dari bentuk badan lainnya

sebagaimana dimaksud dalam pengertian Badan dalam Pasal 1 angka 13 UU PPN. Badan

sendiri adalah perkumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan. Sedangkan

menilik contoh yang diberikan dalam Penjelasan Pasal 3 Ayat (2) dimana perjanjian kerja

dilakukan oleh masing-masing anggota KSO/JO dengan pemilik proyek atau

pelanggan, dan guna pelaksanaan proyek tersebut, anggota KSO/JO (dalam hal ini

PT ABC dan PT DEF) membentuk KSO/JO, maka hadirnya bentuk KSO/JO hanya semata-

mata untuk pelaksanaan proyek (apakah untuk koordinasi proyek, dan lain-lain). Dengan

demikian, malah ini bertentangan dengan pemahaman “badan sebagai kesatuan” itu

sendiri. Hadirnya KSO/JO adalah semata-mata guna pelaksanaan proyek, dan tidak

otomatis dibentuk suatu “badan sebagai kesatuan sendiri”.

Di samping itu, menurut hemat penulis, kata kunci bahwa bentuk KSO/JO diatur sebagai

Subjek PPN ditemukan dalam kalimat berikutnya dalam contoh Penjelasan Pasal 3 Ayat

(2) PP No. 1/2012, yaitu:

Dalam perjanjian kerja dengan pelanggan (pemilik proyek) diatur bahwa semua transaksi

penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pelanggan

(pemilik proyek) dilakukan atas nama joint operation.

Jadi dalam perjanjian kerja yang dibuat antara anggota KSO/JO dengan pemilik proyek

atau pelanggan, terdapat pengaturan tertulis bahwa penyerahan BKP/JKP dilakukan

atas nama KSO/JO.

Page 11: Kso jo aspek perpajakan suatu catatan pemikiran

www.futurumcorfinan.com

Page 11

Tanpa kehadiran ketiga syarat secara sekaligus bersamaan tersebut, bentuk KSO/JO

tidak otomatis menjadi Subjek PPN. Misalkan terdapat salah satu syarat yang tidak

terpenuhi, maka, bentuk KSO/JO ini tidak dapat secara otomatis diartikan bahwa

merupakan subjek PPN. Misalnya, ada perjanjian kerja dengan pemilik proyek atau

pelanggan, namun dalam perjanjian atau kontrak kerja tersebut disebutkan bahwa

penyerahan BKP/JKP dilakukan atas nama masing-masing anggota KSO/JO (dan

bukan atas nama KSO/JO)6. Karena penyerahan BKP/JKP tidak dilakukan oleh bentuk

KSO/JO, maka bentuk KSO/JO tidak merupakan Subjek PPN.

Bahkan pemahaman di atas dipertegas sendiri oleh PP No. 1/2012 dalam contoh

Penjelasan Pasal 3 Ayat (2), dimana bentuk KSO/JO tidak [selalu] wajib untuk dikukuhkan

sebagai PKP.

Penulis kutip lagi secara utuh, supaya pembaca bisa membacanya secara lengkap.

Contoh bentuk kerja sama operasi (joint operation) yang tidak wajib untuk

dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak:

PT X dan PT Y7 membuat perjanjian kerja sama dengan pelanggan (pemilik

proyek). Untuk melaksanakan proyek tersebut, PT X dan PT Y membentuk

joint operation.

Namun demikian, dalam pelaksanaannya semua transaksi dan dokumen

terkait dengan perjanjian kerja sama dengan pelanggan (pemilik proyek)

tersebut secara nyata hanya dilakukan atas nama PT X.

Menilik isi Penjelasan Pasal 3 Ayat (2) PP No. 1/2012 di atas dapat timbul beberapa

interpretasi.

Pertama, dalam hal perjanjian atau kontrak kerja dengan pemilik proyek atau pelanggan

tidak memuat pengaturan apakah penyerahan BKP/JKP mesti dilakukan oleh KSO/JO ini,

maka perlu dilihat ke fakta-fakta yang ada yaitu apakah semua transaksi dan dokumen

6 Sebagai catatan, asas kebebasan berkontrak dalam hukum kontrak memungkinkan bahwa

aturan terkait penyerahan BKP/JKP yang disepakati oleh para anggota KSO/JO dan akan dijalankan nantinya tidak mesti dilakukan oleh KSO/JO. 7 Catatan penulis: kembali di sini perjanjian kerja dilakukan antara anggota KSO/JO dengan pemilik

proyek atau pelanggan, dan bukan antara bentuk KSO/JO dengan pemilik proyek atau pelanggan.

Page 12: Kso jo aspek perpajakan suatu catatan pemikiran

www.futurumcorfinan.com

Page 12

terkait dengan kerja sama dengan pemilik proyek atau pelanggan secara nyata (baca :

secara riil, sesuai faktanya, apa yang sesungguhnya terjadi) hanya dilakukan atas nama

PT X. PT X di sini adalah anggota KSO/JO. Bisa juga penyerahan tersebut atas nama

PT Y.

Di sini bisa timbul interpretasi bercabang lagi, sebagai berikut:

Apakah semua transaksi dan dokumen untuk penyerahan BKP/JKP mesti atas

nama salah satu anggota KSO/JO?

Bagaimana kalau sebagian transaksi dan dokumen untuk penyerahan BKP/JKP

dilakukan atas nama PT X, dan sebagian lagi atas nama PT Y?

Bagaimana kalau sebagian transaksi dan dokumen untuk penyerahan BKP/JKP

dilakukan atas nama PT X, sebagian atas nama PT Y, dan sebagian lagi atas nama

KSO/JO?

Kata-kata “Semua” dan hanya disebutkan bahwa penyerahan dilakukan oleh “PT X” dalam

contoh Penjelasan Pasal 3 ayat (2) PP No. 1/2012 mengakibatkan munculnya interpretasi

berbeda.

Namun, hadirnya paragraf berikutnya dalam contoh yaitu “Karena joint operation secara

nyata tidak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada

pihak lain, maka dalam hal ini joint operation tidak wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha

Kena Pajak.”, bisa diartikan bahwa PP No. 1/2012 lebih menekankan bahwa yang penting

bentuk KSO/JO tersebut secara nyata tidak melakukan penyerahan BKP/JKP, maka

KSO/JO tidak wajib dikukuhkan sebagai PKP. Apakah ini berarti pihak pajak lebih

menekankan substance over form? Mengapa demikian, karena adanya kalimat “namun

demikian, dalam pelaksanaannya semua transaksi dan dokumen terkait kerja sama

dengan pelanggan (pemilik proyek) tersebut secara nyata hanya dilakukan atas nama PT

X.” PT X di sini adalah anggota KSO/JO.

Di lain pihak, dalam kenyataan, tidak menutup kemungkinan, bahwa dalam perjanjian kerja

antara anggota KSO/JO atau antara KSO/JO dengan pemilik proyek atau pelanggan, diatur

bahwa:

Untuk penyerahan BKP/JKP tertentu, dilakukan oleh KSO/JO;

Page 13: Kso jo aspek perpajakan suatu catatan pemikiran

www.futurumcorfinan.com

Page 13

Untuk penyerahan BKP/JKP tertentu lainnya, dilakukan oleh anggota KSO/JO

tertentu (katakan PT X); dan

Untuk penyerahan BKP/JKP tertentu lainnya, dilakukan oleh anggota KSO/JO

lainnya (katakan PT Y).

Dan bahkan dimungkinkan dibentuk KSO/JO di dalam KSO/JO. Misalkan katakan

ada KSO/JO A, dan KSO/JO ABC, dimana dibentuk oleh KSO/JO A dengan PT B

dan PT C. KSO/JO A dan KSO/JO ABC, dituangkan dalam satu perjanjian kerja

sama dengan pihak pemilik proyek atau pelanggan, dimana output dan sumberdaya

dari KSO/JO A diperjanjikan dan diatur mesti diserahkan kepada KSO/JO ABC

guna pelaksanaan dan penyelesaian proyek dengan pemilik proyek atau pelanggan.

Penulis menangkap bahwa secara implisit Penjelasan Pasal 3 Ayat (2), memaksudkan

bahwa hanya ada satu alternatif saja yang diterima oleh PP No. 1/2012, yaitu bahwa

penyerahan BKP/JKP hanya dapat dilakukan oleh bentuk KSO/JO atau tidak sama

sekali. Jadi tidak dapat dalam satu perjanjian kerja, ada satu BKP/JKP yang diserahkan

oleh KSO/JO dan BKP/JKP lainnya diserahkan oleh anggota KSO/JO. Hal ini tampak

dalam kata-kata “dianggap” yang diberikan dalam paragraf berikut ini:

Apabila dalam rangka joint operation tersebut, PT ABC atau PT DEF atas

nama joint operation melakukan penyerahan langsung kepada pelanggan

(pemilik proyek), maka penyerahan tersebut dianggap sebagai penyerahan

dari PT ABC atau PT DEF kepada joint operation, sehingga PT ABC atau

PT DEF harus membuat Faktur Pajak kepada joint operation dan joint

operation membuat Faktur Pajak kepada pelanggan (pemilik proyek).

Menurut hemat penulis, ketentuan perpajakan sebaiknya tidak dapat meniadakan asas

kebebasan berkontrak (dalam hukum kontrak), fakta-fakta dan dokumen serta transaksi

yang sesungguhnya terjadi. Para anggota [pembentuk] KSO/JO tetap dapat mengatur

bahwa penyerahan untuk BKP/JKP tertentu dilakukan oleh anggota KSO/JO kepada

pihak pemilik proyek atau pelanggan dalam kontrak atau perjanjian kerja yang disepakati

dengan anggota KSO/JO lainnya dan dengan pemilik proyek atau pelanggan. Penyerahan

BKP/JKP yang memang dilakukan oleh anggota KSO/JO dan diatur demikian dalam

kontrak atau perjanjian dengan pihak pemilik proyek atau pelanggan, apakah bisa

ditiadakan oleh pihak pajak? Kata-kata “dianggap” menurut hemat penulis, menimbulkan

Page 14: Kso jo aspek perpajakan suatu catatan pemikiran

www.futurumcorfinan.com

Page 14

ketidakpastian, karena pihak pajak “secara sepihak” tanpa mempertimbangkan fakta dan

dokumen serta transaksi yang ada, dengan hanya berdasarkan ketentuan PP No. 1/2012

menyatakan bahwa penyerahan BKP/JKP yang dilakukan oleh anggota KSO/JO kepada

pemilik proyek atau pelanggan, tidak terjadi demikian, dan sebaliknya, “dianggap”

penyerahan BKP/JKP tersebut dari anggota KSO/JO kepada bentuk KSO/JO dan baru dari

KSO/JO kepada pihak pemilik proyek atau pelanggan. Apakah demikian hal yang terjadi

dalam kenyataannya?

Pemikiran penulis ini juga dilandasi bahwa bagaimanapun bentuk KSO/JO adalah suatu

bentuk kontrak, dan sama seperti kontrak pada umumnya, terdapat 5 (lima) asas yang

dikenal dalam ilmu hukum perdata, yaitu8:

Asas kebebasan berkontrak

Asas konsensualisme

Asas kepastian hukum (pacta sunt servanda)

Asas itikad baik (good faith, geode trouw)

Asas kepribadian (personalitas)

Disebutkan bahwa asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338

ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Asas ini merupakan suatu asas

yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:

(1) membuat atau tidak membuat perjanjian;

(2) mengadakan perjanjian dengan siapa pun;

(3) menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta

(4) menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.

Asas kebebasan berkontrak yang dianut dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, para

pihak yang sepakat melakukan perjanjian dianggap mempunyai kedudukan yang seimbang

serta berada dalam situasi dan kondisi yang bebas menentukan kehendaknya untuk

melakukan perjanjian. Pasal tersebut seolah-olah membuat suatu pernyataan bahwa para

pihak diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat para pihak

8 H.S., Salim. Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika. 2003.

Halaman 9.

Page 15: Kso jo aspek perpajakan suatu catatan pemikiran

www.futurumcorfinan.com

Page 15

yang sepakat sebagaimana mengikatnya undang-undang9.

Hal kedua, terkait penyerahan BKP/JKP yang ditentukan dilakukan atas nama KSO/JO.

Bagaimana kita bisa sampai kepada kesimpulan demikian bahwa KSO/JO melakukan

penyerahan BKP/JKP?

Dalam dokumen dengan pihak pemilik proyek atau pelanggan, bisa saja digunakan “nama”

KSO yang memang mencantumkan nama [semua atau gabungan] anggota KSO/JO,

apakah ini lalu dapat diartikan bahwa penyerahan BKP/JKP dilakukan oleh KSO/JO?

Isu ini akan membawa kita kembali kepada pertanyaan, apakah bentuk KSO/JO yang

dimaksud PP No. 1/2012 dan apakah bentuk demikian dapat melakukan penyerahan

BKP/JKP.

Penulis mencoba melihat permasalahan ini pertama, dari sudut akuntansi dan pengenaan

pajak penghasilan terlebih dahulu, dan kedua dari sudut legal atau hukum berdasarkan

bacaan yang penulis temukan.

Pertama, dari sudut akuntansi dan pengenaan pajak penghasilan terlebih dahulu.

Kalau memang bentuk KSO/JO adalah pihak yang melakukan penyerahan BKP/JKP

berarti atas penyerahan tersebut perlu dibukukan dalam pembukuan KSO/JO yang secara

umum akan diartikan sebagai pendapatan yang diakui.

Bicara pendapatan, mau tidak mau, kita akan sampai pada apakah ada penghasilan kena

pajak? Penulis mendapatkan ketidakkonsistenan dalam hal ini.

Kecuali Kontrak Investasi Kolektif (KIK), Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) Huruf b Undang-

undang No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-undang No. 7

Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) tidak secara spesifik menyebutkan

bentuk apa saja yang termasuk dalam pengertian Bentuk Badan Lainnya sebagai Subyek

Pajak, namun dalam surat-surat penegasan yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal

9 Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. Seri Hukum Perikatan: Perikatan yang Lahir dari Perjanjian.

Jakarta, PT RajaGrafindo Persada. 2003. Halaman 34.

Page 16: Kso jo aspek perpajakan suatu catatan pemikiran

www.futurumcorfinan.com

Page 16

Pajak (Dirjen Pajak) yang bersifat private ruling, dinyatakan bahwa JO bukan merupakan

Subyek PPh Badan sehingga tidak diwajibkan menyampaikan SPT PPh Badan. Hal ini

berarti Pajak Penghasilan atas bentuk KSO/JO akan dikenakan pada level anggota

KSO/JO.

Bentuk KSO/JO yang bukan merupakan Subjek PPh Badan menurut surat Dirjen Pajak,

apakah memang karena pihak pajak menyadari walaupun bentuk KSO/JO yang

mempunyai kegiatan usaha (berbadan usaha, dan melakukan penyerahan BKP/JKP

sehingga merupakan Subjek PPN), namun karena tidak memiliki badan hukum terpisah,

maka PPh Badan tidak dapat dikenakan pada level bentuk KSO/JO? Artinya perlu ada

kegiatan usaha (dan karenanya mempunyai pendapatan dan penghasilan) ditambah

kegiatan usaha tersebut dilakukan dalam bentuk badan hukum terpisah, baru dapat

merupakan Subjek PPh Badan.

Mengingat bahwa bentuk KSO/JO merupakan bentuk kerja sama yang tidak memiliki

badan hukum terpisah dari para anggotanya, maka bentuk KSO/JO tidak termasuk

dalam pengertian Subjek PPh sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) UU PPh, dimana

Subjek Pajak Penghasilan adalah terdiri dari (i) Orang Pribadi, (ii) Warisan yang belum

terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak; (iii) Badan; dan (iv) Bentuk

Usaha Tetap.

Dengan demikian, Pajak Penghasilan akan dikenakan pada level anggota KSO/JO. Hal ini

tampak juga pada Huruf E angka 1e dalam Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-

30/PJ/2013 tanggal 3 Juli 2013 tentang Pelaksanaan Pajak Penghasilan yang Bersifat

Final atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang Diterima

atau Diperoleh Wajib Pajak yang Usaha Pokoknya Melakukan Pengalihan Hak atas Tanah

dan/atau Bangunan dan Penentuan Jumlah Bruto Nilai Pengalihan Hak atas Tanah

dan/atau Bangunan oleh Wajib Pajak yang Melakukan Pengalihan Hak atas Tanah

dan/atau Bangunan, dimana disebutkan bahwa:

Dalam hal terdapat dua atau lebih Wajib Pajak yang usaha pokoknya

melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan bekerja sama

membentuk Kerja Sama Operasi (KSO)/Joint Operation (JO) melakukan

pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan maka PPh Final atas

pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dibayar oleh masing-

Page 17: Kso jo aspek perpajakan suatu catatan pemikiran

www.futurumcorfinan.com

Page 17

masing anggota KSO sesuai dengan bagian penghasilan yang diterima

masing-masing anggota.

Jadi di sini, jelas melalui SE-30/PJ/2013 tanggal 3 Juli 2013 ini, pihak pajak mengatur

bahwa bentuk KSO/JO tidak dapat dikenakan PPh Badan. Ini bisa kita simpulkan bahwa

pihak pajakpun tidak melihat bentuk KSO/JO sebagai suatu persekutuan perdata,

persekutuan firma, atau persekutuan komanditer. Kalau ia diperlakukan sebagai

persekutuan perdata, persekutuan firma, atau persekutuan komanditer, PPh akan

dikenakan di level persekutuan perdata, persekutuan firma, atau persekutuan komanditer,

dan bukan di level anggota persekutuan perdata, persekutuan firma, atau persekutuan

komanditer.

Secara implisit, apakah hal ini berarti, pihak pajak mengakui bahwa bentuk KSO/JO

merupakan bentuk yang tidak memiliki badan hukum terpisah dari para anggota KSO/JO?

Tetapi pertanyaan berikutnya, mengapa bentuk KSO/JO, yang tidak memiliki badan

hukum terpisah dari para anggota KSO/JO, bisa “dianggap” melakukan penyerahan

BKP/JKP kepada pihak ketiga?

Kita mau tidak mau melihat bagaimana bentuk KSO/JO ini dari sudut legal atau hukum.

Bentuk KSO/JO ini jelas merupakan kerja sama komersial berdasarkan kontraktual

(contractual non-equity partnership) dan bukan berdasarkan modal (equity partnership),

dimana para pihak dalam kerja sama ini (dapat terdiri dari orang pribadi maupun

perusahaan) dan kerja sama tersebut terjadi dalam bentuk hubungan kontraktual dan

bukan melalui pembentukan badan hukum/perusahaan terbatas yang dibentuk

khusus.

Untuk sudut pandang legal, penulis menggunakan riset tesis Christian F. Sinatra10, dimana

disebutkan bahwa:

10

Sinatra, Christian F. Joint Operation Sebagai Subyek Dalam Kepailitan (Studi Kasus: Perkara No. 42/Pailit/2010/PN.JKT.PST jo. No. 740 K/PDT.SUS/2010). Fakultas Hukum Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Jakarta. Juni 2012. Halaman 7 dan 62. Catatan penulis: penulis tidak menggunakan banyak tesis karena untuk tujuan penulisan artikel ini, penulis hanya berhasil menemukan satu tesis terkait dengan pembahasan bentuk KSO/JO.

Page 18: Kso jo aspek perpajakan suatu catatan pemikiran

www.futurumcorfinan.com

Page 18

Sampai dengan saat ini, pengaturan mengenai bentuk badan usaha Joint

Operation belum diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan di

Indonesia. Oleh karena itu banyak pendapat mempersepsikan bentuk badan

usaha Joint Operation disamakan dengan bentuk-bentuk badan usaha yang

sudah ada yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Kitab

Undang-undang Hukum Dagang.

…….. jelas terdapat kekosongan hukum mengenai pengaturan Joint

Operation. Tidak ada ketentuan hukum yang mengatur tentang status hukum

Joint Operation dan aturan hubungan hukumnya dengan pihak ketiga.

Bapak Christian F. Sinatra mengutarakan adanya 3 (tiga) pendapat yang berbeda terkait

bentuk hukum KSO/JO ini:

Pertama, menurut Putusan Mahkamah Agung No. 01 K/N/1999 tanggal 23 Februari

1999.11

Menimbang, bahwa dengan memperhatikan cara-cara pembentukan hukum pembentukan

Hutama Bina Maint Joint Operation yakni merupakan usaha bersama yang tidak berbadan

hukum antara PT. Hutama Karya dan PT. Bina Maint dengan tujuan mencari keuntungan

bersama dan masing-masing dengan perbandingan 60% dan 40%. Mahkamah Agung

berpendapat bahwa usaha bersama tersebut dapat dikategorikan sebagai sebuah

perseroan (yang tidak berbentuk badan hukum) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan

pasal 1618 BW, dan apabila diperhatikan cara penggunaan nama bersama yaitu Hutama

Bina Maint Joint Operation, maka perseroan yang merupakan usaha bersama dari para

Termohon kasasi dapat dikategorikan sebagai perseroan Firma sebagaimana dimaksud

dalam pasal 16 KUH Dagang.

Kedua, menurut Bapak M. Yahya Harahap12:

11

Himpunan Putusan-putusan Mahkamah Agung Dalam Perkara Kepailitan Jilid 2 (Januari s/d April 1999). Jakarta: PT Tata Nusa. 1999. Halaman 9-10. 12

Mantan Hakim Agung pada Mahkamah Agung RI di depan persidangan perkara kepailitan No. 42/Pailit/2010/PN.Jkt.Pst tanggal 14 Juli 2010, antara Penta Ocean Co. Ltd sebagai Pemohon melawan PT. Bali Turtle Island Development sebagai Termohon diajukan ahli dari Termohon untuk menjelaskan mengenai badan usaha Joint Operation.

Page 19: Kso jo aspek perpajakan suatu catatan pemikiran

www.futurumcorfinan.com

Page 19

Ditinjau dari segi hukum perdata, JO hampir sama bentuknya dengan Persekutuan Perdata

(bugerlijke maatschap, civil partnership) yang diatur pada buku ketiga, bab ketujuh (Ps.

1618-1652 KUH Perdata).

Pada dasarnya JO bentuk dan strukturnya hampir sama dengan Persekutuan Perdata

(bugerlijke maatschap, civil partnership), dengan demikian JO dapat bertindak sebagai

person yang terpisah dari para peserta yang terikat dalam JOA (Joint Operation

Agreement). Oleh karena itu JO dapat bertindak mengadakan perikatan/perjanjian dengan

pihak ketiga untuk dan atas nama JO.

Dari dua pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Joint Operation adalah suatu

badan usaha tersendiri yang dibentuk oleh dua atau lebih badan usaha (catatan penulis,

kata yang digunakan adalah badan usaha tersendiri, dan bukan badan hukum

tersendiri).

Ketiga, menurut Majelis Hakim yang memeriksa perkara No.

42/Pailit/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst jo. Putusan kasasi No. 740 K/Pdt.Sus.2010, berpendapat

bahwa Joint Operation adalah (terdiri dari) dua badan hukum yang berbeda yang memiliki

kewajiban dan hak-hak yang sama terhadap Pemohon dan bukan melahirkan suatu

badan hukum yang baru (bukan badan hukum ketiga), melainkan kedua badan hukum

di atas hanya bergabung untuk bekerja sama dalam melakukan pekerjaan yang namanya

disingkat menjadi Penta-SPU Joint Operation (JO). Di sini, majelis hakim lebih

menitikberatkan penjelasan Joint Operation pada aspek ada tidaknya badan hukum dari

Joint Operation, sedangkan pendapat dari kedua mantan Hakim Agung di atas, lebih

menitikberatkan pada aspek adanya suatu badan usaha tersendiri.

Jadi dari bacaan di atas, apakah ini dapat disimpulkan bahwa bentuk KSO/JO sampai

sekarang belum jelas di mata hukum?

Dari kedua sudut pandang di atas, apakah bisa kita simpulkan bahwa kita belum dapat

menyatakan secara tegas bahwa bentuk KSO/JO dapat melakukan penyerahan BKP/JKP,

mengingat bentuk KSO/JO tidak secara badan hukum terpisah dari para anggota KSO/JO.

Page 20: Kso jo aspek perpajakan suatu catatan pemikiran

www.futurumcorfinan.com

Page 20

Selanjutnya, penulis ingin menilik lebih jauh terkait bagaimana akuntan melihat bentuk

KSO/JO ini dan bagaimana perlakukan akuntansi atas transaksi antara anggota KSO/JO

dengan KSO/JO itu sendiri.

Di sini, penulis berpijak pada International Financial Reporting Standards (IFRS) yang saat

ini sudah dan sedang diadopsi ke dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK).

Sebagai latar belakang, pada bulan Mei 2011, International Accounting Standards Board

menerbitkan IFRS 11 berjudul Joint Arrangements, dimana IFRS kemudian diadopsi di

Indonesia dengan judul PSAK No. 66 berjudul “Pengaturan Bersama”. IFRS 11

menggantikan IAS 31 Interests in Joint Ventures yang sudah ada sejak tahun 1990 dengan

beberapa perubahan terakhir pada tahun 2003. IAS 31 ini diadopsi ke PSAK No. 12 (revisi

2009) berjudul “Bagian Partisipasi dalam Ventura Bersama”. PSAK 66 menggantikan

PSAK 12 (revisi 2009).

Alasan penggantian IAS 31/PSAK 12 (revisi 2009) dengan IFRS 11/PSAK 66 adalah

karena IAS 31/PSAK 12 (revisi 2009) memiliki kelemahan dimana struktur dari joint venture

menjadi satu-satunya penentu bagi perlakuan akuntansinya. Kalau joint venture

melibatkan pendirian suatu perseroan terbatas, persekutuan, atau entitas lainnya (catatan:

terpisah secara hukum dari para venturer) yang mana setiap venturer mempunyai bagian

partisipasi, maka joint venture tersebut disebut sebagai Pengendalian Bersama Entitas

(PBE, jointly controlled entity). Sedangkan, kalau tidak melibatkan pendirian suatu

perseroan terbatas, persekutuan, atau entitas lainnya, atau suatu struktur keuangan yang

terpidah dari pihak venturer, maka ia masuk dalam kategori Pengendalian Bersama

Operasi (PBO, jointly controlled operation) dan Pengendalian Bersama Aset (PBA, jointly

controlled assets), sebagaimana ditunjukkan di bawah ini13.

13

Presentasi IFRS 11 Joint Arrangements. Project Summary and Feedback Statement. May 2011.

Halaman 5.

Page 21: Kso jo aspek perpajakan suatu catatan pemikiran

www.futurumcorfinan.com

Page 21

Joint arrangement sendiri menurut ketentuan IFRS 11/PSAK 66 memiliki karakteristik

bahwa:

(a) para pihak terikat oleh suatu pengaturan kontraktual (contractual arrangement);

dan

(b) pengaturan kontraktual memberikan pengendalian bersama (joint control) kepada

dua atau lebih pihak dalam pengaturan tersebut. Pengendalian bersama

didefinisikan sebagai persetujuan kontraktual untuk berbagi pengendalian atas

suatu pengaturan, yang ada hanya ketika keputusan mengenai aktivitas relevan

mensyaratkan persetujuan dengan suara bulat dari seluruh pihak yang berbagi

pengendalian.

Jadi joint arrangement dalam IFRS 11/PSAK 66 mensyaratkan kehadiran pengaturan

kontraktual dan joint control14. Adanya 2 syarat ini kemungkinan mengakibatkan banyak

14

Di sini penulis tidak akan membahas panjang lebar terkait kehadiran joint control dalam joint arrangement, karena menurut penulis, ini adalah hal yang sewajarnya ada kalau memang yang dimaksud adalah KSO/JO sesungguhnya (atau istilah penulis “true KSO/JO”). Dalam praktik bisnis, pertukaran kepentingan para pihak senantiasa dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis mengingat setiap langkah bisnis adalah langkah hukum. Upaya mencari makna proporsionalitas merupakan proses yang tidak mudah, bahkan seringkali tumpah tindih dalam pemahamannya dengan asas keseimbangan. Pada hakekatnya asas keseimbangan dan asas

Page 22: Kso jo aspek perpajakan suatu catatan pemikiran

www.futurumcorfinan.com

Page 22

bentuk KSO/JO yang kita kenal dalam praktik, belum tentu masuk kategori KSO/JO atau

Joint Venture menurut ketentuan IFRS 11/PSAK 66.

Sesuatu yang baru dalam IFRS 11/PSAK 66, dibandingkan IAS 31/PSAK 12 (revisi 2009),

adalah bahwa dalam IFRS 11/PSAK 66 memungkinkan bahwa joint arrangement yang

proporsionalitas tidak dapat dipisahkan keberadaannya dalam perjanjian Kerjasama Operasional (KSO). Perjanjian KSO yang bersubstansi asas proporsionalitas adalah perjanjian yang memberikan pengakuan terhadap hak, peluang dan kesempatan yang sama kepada para pihak yang menentukan pertukaran yang adil bagi semua pihak. Kesamaan bukan dalam arti kesamaan hasil melainkan pada posisi para pihak yang mengandaikan kesetaraan kedudukan dan hak (equitability) atau prinsip kesamaan dan kesetaraan hak. Perlu digarisbawahi bahwa keadilan tidak selalu berarti para pihak harus selalu memperoleh sesuatu dalam jumlah yang sama. Dalam perjanjian KSO dimungkinkan adanya hasil akhir yang berbeda. Dengan asumsi dasar bahwa karakter perjanjian KSO sebagai suatu perjanjian komersial yang menempatkan posisi para pihak yang mengikatkan diri pada kesetaraan hak dan kewajiban yang proporsional. Dengan demikian, tujuan dari para pihak yang berorientasi pada keuntungan bisnis dapat terwujud. (Catatan: lihat Tesis Bapak Dody Safnul dari Universitas Sumatera Utama berjudul “Kedudukan Para Pihak Dalam Kerjasama Operasional Antara PT. Adhi Karya (PERSERO) Tbk Dengan PT. Duta Graha Indah Tbk Terhadap Pekerjaan Taxiway Pembangunan Bandar Udara Internasional - Kuala Namu” tertanggal 25 Juli 2011. Bab II. Kedudukan PT. Adhi Karya (Persero) Tbk dengan PT. Duta Graha Indah Tbk sebagai Para Pihak dalam Perjanjian Kerjasama Operasional (KSO) Pekerjaan Taxiway Pembangunan Bandara Internasional Kuala Namu. Diunduh pada tanggal 16 Oktober 2014 dari situs http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/27973/3/Chapter%20II.pdf.) Hadirnya pengendalian bersama (joint control) dalam perjanjian KSO/JO (baca : KSO/JO sesungguhnya) mestinya secara alami hadir dalam bentuk KSO/JO, karena kalau tidak, berarti salah satu pihak sebagai pengendali, atau kemungkinan semua pihak tidak memiliki pengendalian mutlak, atau hanya memiliki pengaruh signifikan atau bahkan sekedar merupakan investasi saja. Hadirnya joint control tampak juga dalam definisi joint venture dari Black’s Law Dictionary, sebagai berikut: Joint venture: a business undertaking by two or more persons engaged in a single defined project. The necessary elements are: (1) an express or implied agreement; (2) a common purpose that the group intends to carry out; (3) shared profits and losses; and (4) each member’s equal voice in controlling the project. Also terms joint adventure; joint enterprise. Cf Partnership; Strategic Alliance; Venture [Cases: Joint Adventure]. “There is some difficulty in determing when the legal relationship of joint venture exists, with authorities disagreeing as to the essential elements….The joint venture is not as much o an entity as is a partnership.” Henry G. Henn & John R. Alexander, Laws of Corporations. 49, at 106 (3d ed. 1983). Garner, Bryan A. (Editor in Chief). Black’s Law Dictionary. Edisi kesembilan. St. Paul (USA): West Publishing Co., a Thomson Reuters business. 2009. Halaman 915.

Page 23: Kso jo aspek perpajakan suatu catatan pemikiran

www.futurumcorfinan.com

Page 23

pembentukannya melibatkan kendaraan terpisah (separate vehicle) untuk dikategorikan

sebagai joint operation atau joint venture. Sedangkan joint arrangement yang tidak

dibentuk melalui kendaraan terpisah (separate vehicle) pasti merupakan operasi

bersama (joint operation), sebagaimana tergambar di bawah ini15.

Kendaraan terpisah (separate vehicle) didefinisikan sebagai bentuk struktur keuangan

yang dapat diidentifikasikan secara terpisah, mencakup entitas hukum terpisah atau

entitas yang diakui oleh undang-undang, terlepas dari apakah entitas tersebut memiliki

subjek hukum. Apakah ini dapat diartikan bahwa “separate vehicle” dimaksudkan lebih luas

dari semata-mata “separate legal entity”? Tampaknya dapat disimpulkan demikian.

Sebagaimana diutarakan di atas, joint arrangement yang aset dan liabilitas yang terkait

dengan pengaturan dimiliki dalam kendaraan terpisah, dapat berupa ventura bersama (joint

venture) atau operasi bersama (joint operation). Ketika para pihak membentuk suatu joint

arrangement dalam kendaraan terpisah, para pihak harus menaksir apakah bentuk hukum

15

Presentasi IFRS 11 Joint Arrangements. Project Summary and Feedback Statement. May 2011. Halaman 7.

Page 24: Kso jo aspek perpajakan suatu catatan pemikiran

www.futurumcorfinan.com

Page 24

atas kendaraan terpisah, persyaratan pengaturan kontraktual dan jika relevan, fakta dan

keadaan lain apakah memberikan kepada para pihak venturer:

Hak atas aset, dan kewajiban atas liabilitas, yang terkait dengan pengaturan

(kalau iya, dalam hal ini berarti joint arrangement tersebut adalah operasi bersama

(joint operation)); atau

Hak atas aset neto pengaturan (kalau iya, dalam hal ini berarti joint arrangement

tersebut adalah ventura bersama (joint venture)).

Dengan demikian, kita melihat bahwa:

Operasi bersama (joint operation) adalah pengaturan bersama yang mengatur

bahwa para pihak yang memiliki pengendalian bersama atas pengaturan memiliki

hak atas aset dan kewajiban terhadap liabilitas terkait dengan pengaturan

tersebut. Dalam kasus tersebut, pengaturan kontraktual membentuk hak para pihak

atas aset dan kewajibannya terhadap liabilitas yang terkait dengan pengaturan, dan

hak para pihak atas pendapatannya terkait dan kewajiban terhadap beban terkait.

Ventura bersama (joint venture) adalah pengaturan bersama yang mengatur bahwa

para pihak yang memiliki pengendalian bersama atas pengaturan memiliki hak atas

aset neto pengaturan tersebut.

Sesuai dengan pembatasan masalah, penulis akan fokus kepada bentuk KSO/JO saja, dan

tidak pada Joint Venture. Perlu diperhatikan di sini bahwa IFRS 11/PSAK 66 membedakan

antara KSO/JO dengan Joint Venture. Jadi mereka adalah 2 hal yang sangat berbeda.

Bentuk KSO/JO bisa mencakup bentuk PBO dan PBA, atau bahkan PBE dalam IAS 31

atau PSAK 12 (revisi 2009).

Selanjutnya, kita lihat bagaimana perlakuan akuntansi kalau ada transaksi yang terjadi

antara pihak anggota KSO/JO dengan KSO/JO-nya sendiri.

IFRS 11/PSAK 66 menyebutkan ada 2 pengaturan akuntansi untuk transaksi antara

anggota KSO/JO dengan KSO/JO-nya, yaitu:

Page 25: Kso jo aspek perpajakan suatu catatan pemikiran

www.futurumcorfinan.com

Page 25

Terkait penjualan atau kontribusi aset dari anggota KSO/JO kepada KSO/JO (atau

dikenal sebagai transaksi “downstream”)16.

Diatur bahwa ketika joint operator (yaitu anggota KSO/JO, misalkan PT A)

melakukan transaksi dengan KSO/JO (misalkan KSO/JO ini dibentuk oleh 2 joint

operator, yaitu PT A dan PT B), maka joint operator tersebut melakukan transaksi

dengan pihak lain (yaitu anggota KSO/JO lainnya, misalkan PT B) dalam KSO/JO

tersebut, dan, dengan demikian, joint operator PT A tersebut mengakui keuntungan

dan kerugian yang dihasilkan dari transaksi tersebut hanya sebatas kepentingan

para pihak (dalam hal ini PT B) dalam KSO/JO.

Terkait pembelian aset oleh anggota KSO/JO dari KSO/JO (atau umum dikenal

sebagai transaksi “upstream”).

Diatur bahwa ketika joint operator KSO/JO (misalkan PT A sebagai anggota

KSO/JO) melakukan transaksi dengan KSO/JO, PT A tersebut tidak dapat

mengakui bagian keuntungan dan kerugiannya sampai PT A menjual kembali aset

tersebut kepada pihak ketiga.

Dari ketentuan akuntansi di atas, dapat kita lihat bahwa:

Dalam hal terjadi transaksi penjualan dari anggota KSO/JO ke KSO/JO maka ini

diperlakukan seperti transaksi antara satu anggota KSO/JO dengan anggota

KSO/JO lainnya, dan bukan seperti transaksi antara anggota KSO/JO dengan

KSO/JO itu sendiri.

Dalam hal terjadi penjualan dari KSO/JO ke anggota KSO/JO maka ini diperlakukan

seperti transfer antara satu departemen atau bagian ke departmen atau bagian

16

Kalau diperhatikan ketentuan akuntansi untuk transaksi “downstream” dalam IFRS 11 atau PSAK 66 mengalami perubahan dibandingkan dengan IAS 31 atau PSAK 12 (revisi 2009), dimana dalam PSAK yang lama mewajibkan adanya pengalihan manfaat dan risiko (risks and rewards), namun karena ini sudah tidak sesuai dengan model berbasis pengendalian (a control-based model) yang prinsip mana digunakan dalam IFRS 10 “Consolidated Financial Statements”/PSAK 65 dan IFRS 11/PSAK 66. Jika venturer mengkontribusikan atau menjual aset kepada ventura bersama, maka pengakuan bagian keuntungan atau kerugian dari transaksi mencerminkan substansi dari transaksi tersebut. Ketika aset dipertahankan oleh ventura bersama, dan dengan syarat venturer telah mengalihkan manfaat dan risiko signifikan dari kepemilikan aset, maka venturer hanya mengakui bagian keuntungan atau kerugian yang dapat diatribuskan ke bagian partisipasi venturer lainnya. [paragraf 44 PSAK 12 (revisi 2009)]

Page 26: Kso jo aspek perpajakan suatu catatan pemikiran

www.futurumcorfinan.com

Page 26

lainnya dalam satu perusahaan yang sama, sehingga tidak boleh dilakukan

pengakuan laba atau rugi dari penjualan tersebut hingga anggota KSO/JO

menjualnya kembali ke pihak ketiga. Dengan demikian, pengakuan laba atau rugi

tersebut perlu ditunda hingga keseluruhan laba atau rugi dari transaksi internal itu

sebelumnya menjadi terealisasi (realized), yaitu aset dijual keluar dari anggota

KSO/JO tersebut.

Kedua, bagaimana dengan pembukuan KSO/JO sendiri?

Dalam IFRS 11/PSAK 66, penulis tidak menemukan ketentuan terkait pembukuan KSO/JO.

Namun demikian, kita bisa melihat hal ini secara implisit dari ketentuan paragraf 21 PSAK

66 dimana menyebutkan bahwa operator bersama (joint operator) mencatat aset, liabilitas,

pendapatan dan beban terkait dengan kepentingannya dalam joint operation sesuai

dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang dapat diterapkan untuk aset, liabilitas,

pendapatan dan beban tertentu. Dengan demikian, dari sudut pandang joint operator, aset,

liabilitas, pendapatan dan beban dalam pembukuan KSO/JO akan merupakan juga aset,

liabilitas, pendapatan dan beban joint operator sesuai dengan hak dan kewajiban yang

diatur dalam pengaturan kontraktual, dan tidak perlu ada penyesuaian (adjustment) apa-

apa.

Di samping itu, karena joint operator dapat saja menggunakan asetnya sendiri dalam

KSO/JO, dan ia tetap mempertahankan kepemilikan atau kendali penuh atas aset tersebut

dan secara pribadi bertanggungjawab atas kewajiban yang ada, maka tidak akan ada

pengaruh akuntansi atas joint operator mengingat bahwa ia mempertahankan aset dan

liabilitas tersebut dalam neraca joint operator.

Namun demikian, dalam PSAK 12 (revisi 2009) atau IAS 31, ada diatur khusus pembukuan

Pengendalian Bersama Operasi dan Pengendalian Bersama Aset yang dalam PSAK 66

atau IFRS 11 akan masuk dalam kategori KSO/JO, sebagaimana ditunjukkan di bawah

ini17.

17

EY Issue 1/May 2011. IASB Issues Three New Standards: Consolidated Financial Statements, Joint Arrangements, and Disclosures of Interests in Other Entities. Halaman 3.

Page 27: Kso jo aspek perpajakan suatu catatan pemikiran

www.futurumcorfinan.com

Page 27

Terkait catatan akuntansi dan laporan keuangan Pengendalian Bersama Operasi, PSAK 12

(revisi 2009) paragraf 14 menjelaskan bahwa:

Catatan akuntansi terpisah dapat tidak disyaratkan;

Laporan keuangan PBO dapat tidak disusun; dan

Pihak venturer dapat menyusun pertanggung-jawaban manajemen (management

reporting) untuk aktivitas PBO sehingga pihak venturer dapat menilai kinerja joint

venture tersebut untuk 1 (satu) periode atau beberapa periode.

Terkait catatan akuntansi dan laporan keuangan Pengendalian Bersama Aset (PBA),

PSAK 12 (revisi 2009) paragraf 20 menjelaskan bahwa perlakuan atas PBA mencerminkan

substansi dan realitas ekonomi dan, biasanya, bentuk hukum dari joint venture. Di samping

itu,

Catatan akuntansi terpisah untuk PBA dapat dibatasi untuk beban bersama venturer,

dan pada akhirnya ditanggung oleh venturer sesuai dengan bagian yang disetujui.

Laporan keuangan dapat tidak disusun untuk joint venture, meskipun venturer

dapat menyusun laporan pertanggungjawaban manajemen sehingga pihak venturer

dapat menilai kinerja joint venture tersebut untuk 1 (satu) periode atau beberapa

periode.

Di sini, mengingat laporan pertanggung-jawaban manajemen bersifat laporan internal,

maka bentuk, format, isi, dan periode pertanggung-jawaban dapat disesuaikan dengan

kesepakatan para venturer, termasuk apakah PBO atau PBA tersebut diperlakukan

Page 28: Kso jo aspek perpajakan suatu catatan pemikiran

www.futurumcorfinan.com

Page 28

sebagai suatu pusat pendapatan (revenue centre), pusat biaya (cost centre) atau pusat

laba (profit centre).

Dari hal yang diutarakan di atas, tampak bahwa bentuk KSO/JO tidak ada kewajiban untuk

membuat pembukuan, dan kalaupun dibuat, ini semata-mata untuk laporan

pertanggungjawaban manajemen untuk keperluan ke pihak anggota KSO/JO.

Kesimpulan

Dari keseluruhan pembahasan di atas, termasuk dari melihat peraturan perpajakan yang

terkait, beberapa pertimbangan majelis hakim dan ahli saksi serta standar akuntansi yang

berlaku saat ini (IFRS dan PSAK), penulis belum mendapatkan suatu landasan yang kuat

untuk memahami mengapa pihak pemerintah melalui PP No. 1/2012 bisa menyatakan

bahwa bentuk KSO/JO adalah Subjek PPN.

Menurut hemat penulis, hendaknya pengaturan perpajakan bisa selalu mempertimbangkan

aspek-aspek di luar ranah perpajakan, termasuk pengakuan badan hukum serta akuntansi.

Perlu dipertimbangkan mengingat bahwa bentuk KSO/JO karena tidak berbentuk badan

hukum terpisah dari para anggota KSO/JO, maka pengenaan PPN hanya dikenakan pada

anggota KSO/JO, sama seperti pengenaan PPh pada level anggota KSO/JO yang sudah

diatur oleh ketentuan pajak yang ada.

~~~~~~ ####### ~~~~~~

Page 29: Kso jo aspek perpajakan suatu catatan pemikiran

www.futurumcorfinan.com

Page 29

Disclaimer

This material was produced by and the opinions expressed are those of FUTURUM as of the date of

writing and are subject to change. The information and analysis contained in this publication have

been compiled or arrived at from sources believed to be reliable but FUTURUM does not make any

representation as to their accuracy or completeness and does not accept liability for any loss arising

from the use hereof. This material has been prepared for general informational purposes only and is

not intended to be relied upon as accounting, tax, or other professional advice. Please refer to your

advisors for specific advice.

This document may not be reproduced either in whole, or in part, without the written permission of

the authors and FUTURUM. For any questions or comments, please post it at

www.futurumcorfinan.com

© FUTURUM. All Rights Reserved