ksatria negeri salju oleh : sujoko€¦ · putih kembali hadir di depannya. lelaki yang paling...

66
Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO Prolog Seorang bocah lelaki berusia sepuluh tahun membongkar lemari tua milik kakeknya. Dari dandanan yang dipakainya tampak ia adalah seorang anak sekolahan. “Di sini tidak ada buku itu kek!” “Cari aja disitu! Pasti ketemu,” ujar kakeknya yang sudah berusia enam puluhan tapi masih terlihat gagah, dan dari tampilannya semua orangpun tahu ia seorang sastrawan. Dan di Kanglam ini siapa yang tidak mengenal Ouwyang Sim, guru besar para sastrawan. “Eh ini gambar siapakah kong-kong?” Kakek itu melirik kain yang dipegang si bocah. Sebuah gambar wajah lelaki tampan berbaju putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat sekaligus guru kong-kong, namanya......ksatria salju.” “Eh ini ada puisinya!” Kemudian bocah itu, yang bernama Ouwyang Siu membaca puisi dengan penuh penghayatan. Lelaki berbaju putih berjalan di atas rumput Berapa ilalang lagi harus kau susuri hei ksatria Berapa badai lagi mesti kau lalui Dan kau terus berjalan, menyusuri padang bunga, lembah delapan rembulan, puncak- puncak salju abadi Apakah yang kau cari? Ksatria Pengelana Siapa pesilat yang tak mengenalmu? Berbekal pedang sedingin salju Puluhan pesilat menghadangmu Tak satupun pernah menyentuh tubuhmu Pengembara hanya bernyanyi Syair merdu tentang burung-burung yang terbang di langit biru Anak-anakpun mengiringimu dengan lagu ceria itu www.rajaebookgratis.com

Upload: others

Post on 27-Oct-2020

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

Ksatria Negeri Salju

Oleh : SUJOKO

Prolog

Seorang bocah lelaki berusia sepuluh tahun membongkar lemari tua milik kakeknya. Dari

dandanan yang dipakainya tampak ia adalah seorang anak sekolahan.

“Di sini tidak ada buku itu kek!”

“Cari aja disitu! Pasti ketemu,” ujar kakeknya yang sudah berusia enam puluhan tapi masih

terlihat gagah, dan dari tampilannya semua orangpun tahu ia seorang sastrawan. Dan di Kanglam

ini siapa yang tidak mengenal Ouwyang Sim, guru besar para sastrawan.

“Eh ini gambar siapakah kong-kong?”

Kakek itu melirik kain yang dipegang si bocah. Sebuah gambar wajah lelaki tampan berbaju

putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri

Ouwyang Bun.

“A Siu ini adalah lukisan sahabat sekaligus guru kong-kong, namanya......ksatria salju.”

“Eh ini ada puisinya!”

Kemudian bocah itu, yang bernama Ouwyang Siu membaca puisi dengan penuh

penghayatan.

Lelaki berbaju putih berjalan di atas rumput

Berapa ilalang lagi harus kau susuri hei ksatria

Berapa badai lagi mesti kau lalui

Dan kau terus berjalan, menyusuri padang bunga, lembah delapan rembulan, puncak-

puncak salju abadi

Apakah yang kau cari?

Ksatria Pengelana

Siapa pesilat yang tak mengenalmu?

Berbekal pedang sedingin salju

Puluhan pesilat menghadangmu

Tak satupun pernah menyentuh tubuhmu

Pengembara hanya bernyanyi

Syair merdu tentang burung-burung yang terbang di langit biru

Anak-anakpun mengiringimu dengan lagu ceria itu

www.rajaebookgratis.com

Page 2: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

Tapi siapa tak tahu mendung terus menggantung di hatimu

Ksatria salju berjalan di atas awan

Ketika senja yang paling ungu mekar di puncak Gongga

Bukankah engkau tahu wahai sang guru

Jarak terjauh yang pernah ada di semesta ini

Adalah masa lalu?

Seribu tahunpun tak kan pernah kau bertemu

Air mata sang kakekpun meleleh tanpa usaha untuk mencegahnya.

Puisi itu mengingatkannya pada kisah sepenggal perjalanan hidup ksatria salju muda, Tiong

Gi. Bersama dengan Chien Ce, Souw Mei dan Liu Siang, mereka sama-sama berjuang

mengungkapkan jati dirinya. Mereka memiliki sejarah masa kecil yang berbeda, namun

kemudian dibesarkan pada dunia yang serupa, dunia yang mendidiknya menjadi ksatria sejati.

Seringkali mereka dihadapkan pada situasi yang menuntut mereka berbuat di luar kemampuan

sewajarnya. Maka ketika bocah itu memintanya agar ia bercerita, kakek itupun dengan penuh

semangat menuturkan kisah ini.

Bab 1. Yu Liang Pay

Pegunungan Fan Cing san merupakan pegunungan yang sangat terkenal di Cina Tengah.

Salah satu daya tarik pegunungan ini adalah puncak awan merah atau Hung Huang Teng yang

merupakan salah satu dari tiga puncak pegunungan yang berada di sebelah utara kota Kwei Yang

yang termasuk propinsi Kwei chow (Guizhou). Jika ada awan yang berarak ke puncak ini pawa

waktu fajar atau sore, tampaklah semburat kemerah-merahan pada awan itu. Pada jaman kisah

ini dituturkan yaitu masa dinasti Sung utara, puncak ini juga dikenal dengan nama puncak Tiong

Kiam atau pedang tengah, karena memiliki pemandangan yang unik di puncak yaitu adanya

bukit pagoda, yang menjulang di antara bebukitan. Pada waktu awan berarak dan menyelimuti

bebukitan, maka puncak ini dilihat dari kejauhan seperti pedang raksasa yang tinggi menembus

langit.

Memandang jauh kebawah dari puncak ini terlihat bentang alam yang sungguh mempesona.

Bagian dasar pegunungan yang hijau rapat oleh belantara hutan subtropis, bagian atasnya

ditumbuhi hutan campuran luruh daun, bagian tengah yang ditumbuhi pohon pinus dan bagian

www.rajaebookgratis.com

Page 3: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

puncak tumbuh pohonan yang mulai jarang diselingi semak dan rerumputan disela-selanya yang

pada musim panas menghijau bak beludru.

Pucak Tiong Kiam berketinggian 340 m dan diameter 50 m dari pangkal punggung suatu

bukit. Puncak ini dikelilingi bebukitan. Bukit-bukit di sebelah barat dan di sebelah timur dibelah

oleh sungai Wu (anak sungai Yang Ce Kiang) yang mengalir dari pegunungan Shao Tong san di

wilayah Kwei chow selatan menuju ke kota Chuan Sing, dan bertemu dengan sungai Yang Ce

Kiang di timur kota ini, terlihat dari puncak seperti lekuk tubuh naga. Sungai ini pula yang

memisahkan propinsi Hunan disebelah timur dengan Propinsi Kwei chow di sebelah barat. Dari

puncak ini di sebelah timur meski berjarak ribuan li masih terlihat kota Shao Yang, di sebelah

selatan terdapat kota Kwei Yang, yang merupakan kota terbesar di wilayah Kwei chow.

Berlawanan dengan tamasya alam disekelilingnya yang demikian penuh pesona.

Pemandangan di bukit pedang itu sendiri sungguh mengerikan. Pada akhir jaman Tang, orang-

orang Tionggoan sangat gemar membentuk sekte-sekte magis. Sekte-sekte seperti ini belum

mengenal mengubur mayat atau membakarnya secara layak. Mereka memang mengubur badan

namun setelah sepuluh tahun lebih, kuburan tersebut dibongkar, dan tengkoraknya dibuatkan

lubang-lubang pada dinding bukit pedang, dan menjadikan puncak pedang sebagai berhala

sesembahan.

Karena letaknya yang ditengah-tengah dan dianggap strategis, selama ratusan tahun

pengunungan ini dijadikan rebutan untuk menjadi markas perkumpulan kaum bulim dan

kangouw. Sudah berpuluh perkumpulan atau partai muncul dan runtuh di pegunungan ini.

Karena selalu jadi rebutan, tak terhitung pula berapa ribu manusia telah binasa menjadi korban

nafsu angkara ingin mendapatkan posisi di tengah ini, meski pada kenyataannya dibandingkan

keuntungan lebih banyak kerugian yang ditangguk oleh mereka yang tinggal di pegunungan ini.

Satu dapat, yang lain beramai-ramai mengeroyoknya bagaikan seekor harimau dikeroyok

puluhan serigala. Dengan melihat deretan relung tengkorak di bukit pedang yang sangat tinggi

bagai jendela-jendala pagoda, orang akan tahu betapa di tempat yang mestinya damai itu telah

banyak nyawa manusia melayang. Maka lambat laun karena sudah terlalu bosan dan lelah,

puncak ini akhirnya ditinggalkan oleh rombongan penghuni terakhir dari sekte Shin.

Setelah puluhan tahun kosong, di akhir dinasti Tang puncak ini kembali di datangi oleh

berbagai golongan karena terjadi pergolakan di mana-mana. Kelompok yang tidak ingin terlibat

dalam pertikaian akhirnya kembali berbondong-bondong ke Fan Cing san. Salah satu rombongan

www.rajaebookgratis.com

Page 4: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

yang kembali datang adalah orang-orang dari sekte Shin yang dipimpin oleh Huang Shin. Dulu

Huang Shin muda dan kawan-kawannya termasuk yang menolak untuk meninggalkan Fan Cing

san, namun tak mampu menolak keputusan tetua. Rombongan lainnya berasal dari berbagai kota.

Dua rombongan yang terbesar adalah golongan Duang yang dipimpin oleh Tan Hong Bu dari

Siang Tan dan golongan Im Yang Pay yang dipimpin Kang Kiu Yang dari Kwei Yang. Untuk

menghindari perebutan demi perebutan Huang Shin, memutuskan untuk menyatukan berbagai

golongan yang berebut itu. Huang Shin membagi wilayah-wilayah yang bisa ditempati dengan

cukup adil, dan menawarkan kepada tiga kelompok terbesar untuk menyatu membentuk satu

perkumpulan besar. Huang Shin membangun pusat perkumpulan di puncak bukit di sebelah

selatan Tiong Kiam. Singkat cerita terbentuklah satu perkumpulan besar gabungan beberapa

golongan yang dipimpin tiga golongan, yang bernama Yu-liang-pay.

Untuk menghindari bentrokan maka Huang Shin membuat peraturan bahwa ketua partai

harus dijabat secara bergiliran dari ketiga golongan. Dengan urutan sekte Ming, Duan dan Im

Yang. Adapun para anggota dibebaskan untuk mempelajari ilmu dari ketiga perkumpulan itu.

Untuk menyatukan berbagai kelompok, maka selama beberapa tahun Huang Shin bersama kedua

tetua yang lain menciptakan suatu ilmu pedang baru yang dinamakan Yu Liang Kiamhoat. Pada

masa inilah tradisi menyimpan tengkorak di dinding bukit dihapuskan. Itulah sekilas sejarah Yu-

liang-pay, tempat kisah ini dimulai.

Pagi itu, tanggal ke enam bulan ke lima, tahun 978 merupakan suatu pagi yang cerah di

musim semi. Burung-burung yang beterbangan, kupu-kupu yang menari disela-sela semak dan

bunga-bunga yang bermekaran, kesegaran udara musim semi yang melapangkan dada dan urat-

urat kepala. Beberapa pepohonan yang semula tinggal batang dan ranting seperti bayi yang bugil,

kembali dihiasi daun-daun baru. Sedangkan pohon yang lain menyambut datangnya musim semi

dengan menumbuhkan kuncuk-kuncup bunga yang sebagian telah bermekaran. Bagi mereka

yang pernah mengujungi keindahan musim semi di puncak ini tak heranlah mengapa tempat ini

menjadi rebutan. Fan Cing san adalah gunung yang menyimpan keragaman bunga yang paling

tinggi seluruh daratan Cina waktu itu, lebih dari empat per lima bunga yang ada di Tionggoan

dapat dijumpai di sini, mulai bunga siang, bunga lee, bunga kiok, bunga anggrek, bunga jit dan

yang lainnya. Namun kedamaian pagi itu terusik dengan suara kaki-kaki manusia yang menapaki

puncak secara berombongan. Berbondong-bondong rombongan orang berpakaian singsat

menaiki dari berbagai jurusan. Sebagian naik dengan berjalan lambat sambil menikmati wisata

www.rajaebookgratis.com

Page 5: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

alam gunung Fan Cing san yang sangat indah. Kelompok yang datang belakangan menaiki

punggung bukit dengan gerakan yang sangat gesit. Beberapa orang dari setiap kelompok terlihat

membawa pedang atau golok. Dari gerakan dan dandanan, tampak mereka adalah orang-orang

kangouw yang berkepandaian. Ada apakah yang terjadi di puncak sana?

Di awal musim semi ini, Yu-liang-pay mengadakan pesta ulang tahunnya yang ke 100. Ulang

tahun yang spesial sehingga dirayakan cukup meriah oleh Yu-liang-pay. Tamu dari berbagai

golongan semua diundang dalam pesta itu. Dari rombongan putih terlihat tamu dari Siauw-lim

Pay, Kun-lun-pay, dan Kong Thong Pay, ketiga perguruan ini merupkan perguruan tua yang

sudah berdiri pada masa itu. Dari rombongan lain dari berbagai golongan, sedangkan dari

golongan hitam juga ikut menghadiri pesta yang berasal dari kelompok Pek Tung Pang, Ang

Lian Pang, Hek In Pang, dan Tok Nan-hai Pang. Saat itu di halaman depan Yu-liang-pay yang

luas telah dipasang tenda, dan ditata kursi secara setelah lingkaran. Tanpa dipersilakan para tamu

langsung mengambil posisi duduk masing-masing, seolah-oleh sudah tahu dimana tempat

mereka seharusnya. Kelompok hitam dan putih tanpa dikomandopun mengambil posisi yang

memisah, kelompok pendekar berada di sebelah kanan sedang kelompok penjahat berada di

sebelah kiri. Riuh rendah obrolan yang diucapkan oleh semua orang seperti pasar. Harap maklum

mereka jarang sekali dapat kesempatan bertemu dengan anggota partai atau perguruan lain,

apalagi dalam jumlah yang boleh dikatakan lengkap seperti saat itu. Obrolan paling hangat tentu

saja kabar burung mengenai ilmu pedang Yu Liang Kiamhoat yang berhasil disempurnakan oleh

Yu Liang Pangcu. Seperti apakah gerangan ilmu pedang Yu Liang Kiamhoat itulah yang

membuat penasaran kaum kangouw, sehingga mereka rela berlelah-lelah menempuh perjalanan

ribuan li. Di tengah-tengah ruangan yang bertenda berdiri sebuah panggung, tempat berbagai

pertunjukan.

Pada waktu itu Yu-liang-pay dipimpin oleh Kwan Liong Ping, generasi ke empat dari

golongan Duang. Jika melihat betapa besarnya Yu-liang-pay yang memiliki banyak anggota,

area gedung-gedung yang luas dan usia yang cukup tua untuk ukuran partai saat itu, maka para

tetamu memandang heran dengan penampilan Yu Liang Pangcu Kwan Liong Ping ini. Usia

Liong Ping saat itu tidak lebih dari lima puluh lima tahun, suatu umur yang termasuk sangat

muda untuk ukuran pemimpin partai besar saat itu. Sebagai perbandingan ketua Siauw-lim Pay

sudah berusia seratus sepuluh tahun, sedangkan ketua Kong Thong Pay berusia sembilan puluh

lima tahun.

www.rajaebookgratis.com

Page 6: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

Setelah tamu berdatangan Liong Ping memasuki ruangan dan duduk di kursi yang telah

disediakan. Ia memakai jubah sutera biru tua yang bersulam, tampak gagah berwibawa. Sinar

matahari pagi yang mulai terang membuat wajah ketua ini tampak dengan jelas oleh seluruh

hadirin. Meskipun sudah berusia di atas lima puluh tahun, namun wajah itu masih tampak

tampan dan padat. Janggut dan kumis pria yang agak kurus dan jangkung tetapi masih kelihatan

gagah bersemangat ini dicukur rapi. Rambutnya disisir rapi dan kelimis, disanggul ke belakang,

dan ditali kain yang menjuntai. Di sebelah kirinya duduk Sam Pangcu Siong Hok Cu seorang

laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun yang bermuka mulus, berjenggot tipis dan

bertubuh tinggi gagah. Kepalanya ditutup kopyah pada bagian belakang terlihat mencuat ke

samping khas gaya Tang. Sedangkan di sebelah kanan duduk Ji Pangcu Lauw Kian Bu, pria

berusia lima puluh tiga tahun, berwajah dusun berbaju hijau tua sederhana dari kain katun. Di

belakang ketiga orang ketua ini duduk para tetua yang berusia lebih dari enampuluh tahun

dengan sikap keren, semuanya berbaju hitam dan berpenutup kepala kain warna merah. Mereka

tokoh kawakan dari generasi tua. Setelah hampir semua perwakilan yang diundang datang, Ji

Pangcu menaiki panggung dan berkata dengan lantang:

“Cuwi sekalian, mewakili tuan rumah kami mengucapkan terima kasih yang sangat

mendalam atas kehadiran cuwi memenuhi undangan kami. Perkenalkanlah saat ini kami bertiga

adalah pimpinan di Yu-liang-pay, toa pangcu kami adalah Kwan Liong Ping, aku sendiri ji

pangcu dan yang duduk di samping kiri toa pangcu adalah sam pangcu Siong Hok Cu.

Berbahagia sekali pada kesempatan yang baik ini kami dapat merayakan ulang tahun Yu-liang-

pay yang ke seratus. Pertama-tama perkenankanlah kami untuk menghormati leluhur kami

terutama adalah sucouw kami Huang Shin.”

Dengan dipimpin oleh Kwan Liong Ping yang membawa tiga biting dupa, para murid Yu-

liang-pay kemudian berlutut menghormat meja sembah yang di atasnya masih disimpan abu

Huang Shin dan kedua pendiri lainnya. Pada bagian yang biasa ditempati cermin pada meja itu

ditempel gambar Huang Shin dalam ukuran cukup besar. Setelah selesai bersembahyang ji

pangcu berseru:

“Silahkan dicicipi hidangan arak dan makanan yang telah kami siapkan, dan hiburan tari-

tarian yang sebentar lagi akan kami panggungkan.”

Setelah semua tamu menghaturkan selamat dan memuji keberhasilan Yu-liang-pay

membentuk partai yang besar dan kuat, mereka kembali duduk ke tempat masing-masing sambil

www.rajaebookgratis.com

Page 7: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

terus saling bercerita tentang pengalaman mereka di dunia persilatan. Dengan cekatan pelayan

mengedarkan arak dan makanan. Mereka semua makan minum dengan gembira sambil

menikmati hiburan tari-tarian baik tarian yang berasal dari timur maupun dari barat. Sampai

kemudian terdengan celetukan dari salah seorang tamu.

“Wahh...kapan pertunjukkan Kiamhoatnya?”

Celetukan itu segera ditingkahi berbagai cecowetan tamu lainnya. Toa pangcu memberi kode

pada seorang murid. Selanjutnya seorang murid wanita maju ke atas panggung. Ia berumuran

tigapuluh tahunan, wajahnya terlihat cukup cantik dan montok, namun baju hitam dan pedang

yang berwarna gelap pekat yang dikenakannya membuat kesan yang menggiriskan. Setelah

memberi hormat ke semua sisi dengan bersoja, mulailah ia memainkan ilmu pedang Yu Liang

Kiamhoat. Gerakannya mula-mula lembut dan indah, seperti tarian bidadari, tapi lama-kelamaan

gerakannya makin hebat, amat sukar diduga perubahannya sehingga pandang mata penonton

yang tingkat ilmunya rendah berkunang-kunang dan silau dibuatnya. Sinar pedang gelap itu

bergulung-gulung dan membentuk lingkaran-lingkaran panjang dan luas seperti seekor naga

hendak membelit tubuh mangsanya. Ujung pedangpun seolah berubah menjadi puluhan banyak

saking cepat dan tak terduga. Gerakan itu seakan-akan memancarkan hawa magis yang dasyat

sehingga penonton yang jaraknya jauh terlihat menggoyang kepala dan badannya karena seakan-

akan serangan pedang itu mengarah ke dirinya. Pada jurus ke enampuluh setelah bersalto dua

kali secepat kilat wanita itu berteriak sambli melontarkan pedangnya ke belakang.

“Hiaaat......! Crat….!” Pedang itu tepat menembus tengah-tengah papan kayu tebal yang

sengaja disiapkan. Ujung pedang amblas hampir separohnya.

Diantara decak kagum penonton, Toa pangcu berdiri dari tempat duduknya dan berseru:

“Maafkan kalau pertunjukan ilmu pedang murid tingkat dua kami tidak memuaskan. Harap

maklum jurus-jurusnya masih belum sempurna!”

Ucapan ini sepertinya berendah hati, namun tamu yang sudah kenyang makan asam garam

rimba persilatan maklum belaka bahwa ketua Yu-liang-pay sedang membanggakan ilmu

pedangnya. Baru murid tingkat dua saja sudah sedasyat itu ilmu pedangnya, apalagi murid

tingkat satu atau pimpinannya sendiri.

Baru saja wanita itu mencabut pedangnya dan bersoja ke empat penjuru, sekonyong-konyang

seorang laki-laki meloncat ke panggung menghadapinya. Laki-laki itu berumur sekitar empat

puluh tahunan, tubuhnya kekar, kumis dan janggutnya tak terawat, wajahnya kecoklatan. Ia

www.rajaebookgratis.com

Page 8: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

adalah murid termuda dari Hek In Pangcu (ketua perkumpulan awan hitam) dari bukit awan

hitam. Sambil cengar-cengir ia coba merayu.

“Nona, ilmu pedangmu sangat indah, bolehlah aku coba merasai belaiannya.”

Ucapan pria setengah baya itu sungguh enak didengar tapi sangat tidak sopan diucapkan

kepada wanita, apalagi kehadirannya di panggung tanpa permisi lebih dahulu. Wanita itu

menoleh ke Liong Ping dan dibalas dengan anggukan meski sambil berdehem dua kali. Dengan

dingin ia kemudia membalas ucapan lelaki setengah baya dihadapannya:

“Ambil senjatamu di rak sana! Pedangku tak bermata maka siaplah rasakan setiap

goresannya!”

Para tamu sekejab jadi melongo melihat sebuah golok panjang tiba-tiba sudah ada di tangan

laki-laki ini. Rupanya ia masih menyimpan senjata meskipun sudah melewati pemeriksaan.

Namun wanita yang jadi lawannya tidak membiarkan orang berlama-lama heran. Selesai

mengucapkan jawaban itu tubuhnya langsung meloncat melancarkan serangan pertama. Golok di

tangan lelaki itu segera disilangkan untuk menangkis serangan pertama

“Cring......!” bunga api berpijar disertai suara yang menggores di telinga. Laki-laki itu

terkesiap demi merasakan tangannya tergetar hebat. Tak disangka bahwa wanita itu memiliki

sinkang yang sedemikian kuatnya. Namun ia tidak punya banyak kesempatan untuk melamun,

karena serangan demi serangan segera mengurungnya. Berkali-kali ia hanya mampu menangkis

sambil mundur. Peluh di dahi lelaki itu sudah meleleh membasahi mukanya. Terkurung serangan

sedasyat itu seolah-oleh tubuhnya lemas lunglai. Tiba-tiba pada jurus ke duapuluh dengan

gerakan naga sakti mengibaskan ekor, pedang di tangan wanita itu seakan-akan mencongkel

pangkal golok yang digenggam lelaki, dalam waktu bersamaan kaki kirinya mengait kaki kanan

lawan.

“Brugg......! Crapp.....! Ayyaaaaaa..........”

Tak ayal, tanpa dapat dicegah, lelaki itu roboh dan goloknya jatuh tepat di telinga, sehingga

daun telinga lelaki itu terbelah. Penonton yang lain hanya dapat menahan napas, hanya dalam

waktu dua puluh jurus seorang murid perkumpulan awan hitam yang sangat terkenal di utara

dapat dikalahkan. Jie Kung sute ketiga dari Hek In Pangcu yang memimpin rombongan dari

awan hitam, dengan sigap melompat ke panggung. Tangannya langsung mencekal baju di bagian

punggung dan melontarkan tubuh anak buahnya itu ke belakang, anggota hek in pang dengan

sigap menyambut lontaran.

www.rajaebookgratis.com

Page 9: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

Jie Kung berusia paling banyak sepuluh tahun di atas murid Hek In Pangcu yang dilontarkan.

Dengan wajah keruh ia memelototkan matanya seperti hendak meloncat keluar.

“Hari ini penghinaan Yu-liang-pay hanya bisa ditebus dengan nyawa!”

Tanpa dikomando wanita yang tadi mengalahkan murid awan hitam mundur, digantikan oleh

seorang pemuda. Pemuda itu adalah putera sam-pangcu Siong Hok Cu, yang bernama Siong

Chen. Siong Chen berusia kurang lebih duapuluh lima tahun, wajahnya tampan dan berdandan

perlente.

“Perkenalkan namaku Siong Chen, putera dari sampangcu Siong Hok Cu. Apakah ada

tindakan kami yang tidak adil? Kami masih belum memberi kesempatan pada tamu untuk maju

memberi wawasan pada kami. Mohon loheng menjelaskan apa maksud loheng dengan

penghinaan?”

Jie Kung tidak melayani jawaban Siong Chen, ia justru berkata lantang kepada Toa-pangcu.

“Liong Ping pangcu, apakah kau merasa terlalu rendah untuk berbicara pada kami, mengapa

mesti bocah ingusan ini yang kau sodorkan padaku?”

Diacuhkan seperti ini membuat Siong Chen mendongkol juga, segera ia jawab.

“Loheng, kau mau adu mulut apa adu silat? Silahkan pilih tangan kosong apa pakai senjata!”

“Bocah sombong, kalau aku tidak bisa merobek mulutmu, aku bersumpah tak kan pernah

menginjakkan kakiku di Fan Cing san. Bersiaplah!”

Jie Kung segera menyerang dengan tangan kosong, akan tetapi biarpun hanya memukul

dengan tangan kosong, lelaki ini diam-diam telah melumuri kedua tangannya dengan racun yang

selalu dibawanya. Sesuai dengan julukan perkumpulan awan hitam, anggota tingkat satu

perkumpulan ini semua memiliki keahlian menggunakan racun. Kini kedua tangannya itu

mengeluarkan asap hitam dan racun yang dipakai di kedua tangannya amat jahat karena

jangankan sampai lawan yang terpukul robek kulitnya sehingga racun itu dapat meracuni darah,

bahkan baru tersentuh saja, racun ini dapat meresap melalui lubang-lubang kulit dan membuat

daging menjadi membusuk dalam waktu singkat!

Hebat sekali serangan yang dilancarkan Jie Kung, tangannya menyambar-nyambar seperti

sambaran geledek di antara kepulan awan hitam. Siong Chen tak berani memandang rendah,

dengan gerakan ginkang yang sudah mencapai tingkatan tinggi ia lebih banyak menghindar

sambil mencari kelemahan lawan. Siong Chen berlaku cerdik. Ia tidak mau menangkis serangan

lawan, namun berusaha menyerang bagian tubuh lain. Jurus demi jurus sudah berlalu, melihat

www.rajaebookgratis.com

Page 10: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

lawannya selalu menghindar Jie Kung mengira lawannya takut, maka dia makin memperkuat

serangannya. Tak dinyana, pada jurus ke tiga puluh Siong Chen melompat tinggi dan menyerang

dengan kakinya. Jurus tendangan bayangan budha yang dilancarkan dari udara benar-benar

dasyat. Baru angin yang ditebarkan saja sudah membuat rambut Jie Kung berkibar-kibar. Jie

Kung menyambut serangan dengan tangkisan berbentuk cakar harimau.

“Desss.......!”

Hebat sekali hasil pertemuan kaki dan tangan. Jie Kung terdorong tiga langkah ke belakang,

ia merasakan hawa pukulannya membalik. Meski tidak berat, tapi cukup membuat dadanya

serasa sesak. Siong Chen bersalto dua kali, dan turun dengan ringan.

“Wuss......!” dari belakang anak buah awan hitam melontarkan golok yang telah diambil dari

rak. Jie Kung menangkap gagangnya. Dadanya terasa nyeri. Ia sudah tidak mungkin lagi

menyerang dengan tangan kosong. Satu-satunya niatan dalam hatinya hanya mengalahkan

dengan senjata, atau mati bersama. Tapi justru inilah kesalahan terbesarnya. Yu-liang-pay

terkenal baru saja menyempurnakan ilmu pedang. Baru murid tingkat dua saja sudah mampu

merobohkan murid tingkat satu Hek-in-pang, apalagi yang dihadapi adalah murid langsung toa-

pangcu.

Jie Kung mulai melancarkan serangan-serangannya. Mula-mula serangan yang dilancarkan

cukup hati-hati namun lama-lama makin ganas. Siong Chen menghadapi dengan hati-hati namun

jurus-jurus pedangnya makin lama makin kuat dengan hawa magis yang jauh lebih hebat dari

wanita yang tampil sebelumnya. Sebaliknya posisi Jie Kung makin lemah, napasnya makin

memburu dan pandang matanya mulai berkunang, kepalanya terasa pening. Adapun dua orang

muda itu yang melihat keadaan lawan makin lemah, terus mendesaknya. Pedangnya makin ganas

saja menyambar-nyambar.

"Anak muda, biar aku mengadu nyawa denganmu!" Tiba-tiba Jie Kung yang sudah pening

dan sudah gelap pandang matanya itu mengeluarkan suara melengking keras dan tubuhnya

melayang naik terus meluncur seperti burung garuda menyambar ke arah Siong Chen dengan

golok di depan. Golok ini menusuk ke arah tubuh lawannya. Inilah jurusnya yang terakhir, jurus

terlihai akan tetapi juga merupakan jurus bunuh diri atau mengajak lawan mati bersama. Julukan

ini bernama Hui-seng-coan-in (Bintang Terbang Menembus Awan). Serangan yang dilakukan

dengan tubuh melayang dengan luncuran kilat ini takkan dapat ditangkis atau dielakkan lagi oleh

lawan, karena tangkisan lawan tentu akan dibarengi dengan pukulan tangan kiri, sedangkan

www.rajaebookgratis.com

Page 11: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

elakan tak mungkin dilakukan karena golok dapat digerakkan mengejar tubuh lawan. Kalau

lawan berkepandaian tinggi, jalan satu-satunya bagi lawan hanya membarengi dengan serangan

balasan terhadap tubuh melayang yang tidak memperdulikan akan penjagaan diri melainkan

sepenuhnya dicurahkan untuk menyerang itu.

Tak ayal, Siong Chen dibuat bingung dengan serangan ini, namun telinganya menangkap

bisikan dari suhunya. “Tangkis golok dengan cara menyampok, jatuhkan badanmu, tendang

perut lawan sekuat tenaga dari bawah.” Bisikan itu sungguh halus, sehingga hanya Siong Chen

yang mendengar. Maka begitu kata-kata suhunya diikuti, golok Jie Kung dapat disampok,

pukulan tangan kiri dapat di tangkis dengan pedang, sedang tendangan kakinya membuat lawan

terjengkang.

“Proook........! Bruug! Krontang....!”

Tangan kiri Jie Kung putus sebatas ujung lengan, tubuhnya roboh muntah darah dan langsung

pingsan. Anak buah Hek In Pang segera merubung dan membopong susiok mereka. Siong Chen

segera merangkapkan tangan dan berkata:

“Maafkan kami, tak kukira tokoh Hek In Pang bisa bertindak senekat itu!”

Anak buah awan hitam yang berjumlah lima belas hanya mendengus, dan segera berlalu dari

ruangan. Kejadian dua pertarungan yang dilihat itu membuat gusar sebagian besar penonton,

sehingga seorang tokoh dari Kun-lun-pay, Bhok Kian Tosu bangkit dan berseru:

“Sungguh penasaran, kami para tamu yang diundang jauh-jauh untuk berkenan mengikuti

ulang tahun partai, ternyata disuguhi berbagai kesombongan Yu-liang-pay. Entah sudah setinggi

apa gunung Fan Cing yang menjulang di puncak keseratusnya. Biarlah aku mewakili Kun Lun,

maju untuk meminta pelajaran.”

Bhok Kian Tosu, adalah pentolan Kun Lun yang sudah sering malang melintang di dunia

persilatan. Usianya sekitar lima puluh tahunan. Ia datang bersama tujuh tosu yang lainnya. Ki

Liang Tosu, yang menjadi pimpinan rombongan hanya hanya memandang diam saja ketika

sutenya maju. Bhok Kian Tosu memang paling berangasan dibandingkan saudara-saudaranya.

Betapa gusar ia dibuat ketiga dari pihak tuan rumah menurunkan murid yang lebih muda dari

pada Siong Chen.

“Totiang, perkenalkan saya Kwan Tiong San, sebagai orang muda saya mohon petunjuk

totiang!”

www.rajaebookgratis.com

Page 12: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

“Hmmm...anak muda, jangan dianggap aku menghinamu, tapi tak tahu kenapa Yu Liang

menurunkan kamu untuk melawan aku.”

“Marilah kita mulai totiang! Silahkan sebagai tamu totiang menyerang dahulu.”

Merah muka Bhok Kian Tosu, dalam peraturan tak tertulis di dunia persilatan menyerang

lebih dulu biasa dilakukan oleh pihak yang kedudukannya lebih rendah. Namun sudah kepalang

basah maka mulailah Bhok Kian Tosu menggerakkan tangan dan kakinya mulai menyerang

Tiong San. Serangan pembukaan Bhok Kian Tosu sangat hebat karena ia menggunakan jurus

Lao Seng Yikai In (Nabi Lao menghalau awan). Tiong San tak berani langsung menangkis dari

depan, ia bergerak cepat kekanan. Serangan Bhok Kian Tosu terpaksa dibelokkan, otomatis

tenaga serangannya menurun. Dari samping Tiong San menangkis.

“Plaaak.....!”

dari pertemuan dua lengan, Tiong San dapat merasakan tenaga sinkang lawan sangat kuat. Ia

terdorong selangkah ke belakang, sedang tangan Bhok Kian Tosu tergetar, pertanda selisih

sinkang mereka cukup tipis. Kembali Bhok Kian melancarkan serangan demi serangan yang

sangat kuat. Tangannya bergerak semakin cepat, seperti awan menindih bukit. Tiong hanya

mampu menangkis dan menghindar. Namun begitu sudah tiga puluh jurus lewat, masih belum

ada pukulan telak yang mengenai tubuhnya. Ketika dapat kesempatan menyerang, segera Tiong

San melompat tinggi hendak melancarkan serangan tendangan budha tanpa bayangan.

Sayangnya, karena sudah melihat pertarungan Siong Chen dengan Jie Kung, Bhok Kian Tosu

bersiap menerima tendangan dengan menggerakkan tubuhnya seperti kitiran.

“Plak...plaak...dessss!”

Hasilnya luar biasa, Tiong San terlempar lima langkah, sedangkan Bhok Kian mundur tiga

langkah. Meskipun ringan namun Tiong San merasakan dadanya sedikit nyeri, tanda ia telah

terluka.

“Sraattt......!” Tiong San meloloskan pedang dari sarungnya yang terikat di pinggang.

“Dalam pertarungan tangan kosong, saya mengaku kalah, tapi sebelum totiang bisa

mengalahkan ilmu pedang kami, saya belum menyerah.”

“Majulah anak muda, Kun Lun juga memiliki ilmu pedang yang tak kalah bagusnya dengan

Yu Liang Kiamhoat, ujar Bhok Kian sambil menangkap pedang yang dilontarkan kepadanya.

Tiong San mulai melancarkan serangan-serangannya. Mula-mula serangan yang dilancarkan

cukup hati-hati namun lama-lama makin kuat. Bhok Kian tosu menghadapi dengan hati-hati

www.rajaebookgratis.com

Page 13: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

namun jurus-jurus pedangnya mampu mengimbangi gerakan Tiong San. Makin lama gerakan

pedang Bhok Kian tosu makin cepat menderu-deru. Hadirin yang duduk di belakangpun dapat

merasakan angin sambarannya. Sebaliknya posisi Tiong San makin lemah. Hanya dengan daya

tahan yang sangat itu ia mampu melayani sampai lebih dari seratus jurus. Adapun melihat lawan

mulai melemah, Bhok Kian makin memperkuat gerakan pedangnya, bahkan sampai terdengan

suara mencicit-cicit seperti anak tikus mencari induknya, tanpa menyadari bahwa napasnya

mulai memburu. Pedangnya makin kuat saja menyambar-nyambar sedangkan gerakan pedang

Tiong San makin mengecil. Pada jurus ke seratus sepuluh, Tiong San mengubah gerakan,

mulailah ia merapalkan matera gerakan pedang magis. Tubuhnya merendah hampir jongkok,

pedangnya berputar seperti kitiran, semua serangan Bhok Kian dapat tertangkis dengan baik.

Pada suatu kesempatan, sekonyong-konyong Tiong San melompat tinggi tubuhnya jungkir balik

di udara, dan mulailah ia menyerang dari atas.

“Criiing...criiing! crok....plak!

Bhok Kian Tosu dua kali menangkis serangan, namun masih belum mampu menghalau jurus

Hui-liong-coan-san (naga terbang menembus bukit), maka tak ayal pada serangan ke tiga,

pedang Tiong San hampir menebas kepala. Hanya dengan gerakan miringkan kepala, Bhok Kian

mampu menghindar dan hanya pundaknya yang tertusuk, namun tangan kirinya mampu

menohok punggung lawan. Tubuh Tiong San terbanting, mulutnya mengeluarkan darah, tanda ia

telah terluka. Namun Bhok Kian juga terluka, dan pedangnya terlepas.

“Hmmm.....biarlah hari ini pinto menerima kekalahan ini, lain kali kami akan datang lagi

meminta tambahan pelajaran dari ketua Yu-liang-pay.

Bhok Kian tosu membalikkan badan dan dengan dipapah oleh tosu-tosu yang lain ia

meninggalkan Yu-liang-pay. Suasana menjadi riuh rendah dan tidak enak bagi ketiga ketua Yu-

liang-pay.

“Omitohud, tidak kami sangka Yu-liang-pay sudah sedemikian pesat majunya, sehingga tidak

memandang mata kepada para tamu,” ucapan yang cukup nyaring dari seorang biksu membuat

semua hadirin terdiam. Biksu yang barusan berkata ternyata pimpinan rombongan dari Siauw-

lim, Bu Sian Taisu.

Kwan Liong Ping maju kedepan merangkapkan tangan bersoja dan berseru:

“Cuwi sekalian mohon dimaafkan sikap kami, ketahuilah bahwa dua orang murid kami Siong

Chen dan Tiong San, juga sempat belajar pada couw-su kami, maka kedudukannya tidak

www.rajaebookgratis.com

Page 14: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

berselisih jauh dari tingkatan kami. Namun demikian, untuk menghibur biarlah kami tampilkan

pertunjukkan tari lagi agar hilanglah segala ketegangan. Lagi pula, pihak kami hanya menerima

tantangan dari tamu. Sungguh posisi kami sangat terdesak”

Meskipun dalam hati sebagian tamu menggerutu dan mengomel, namun tak dapat disangkal

pernyataan Yu-liang-pay tak ada yang keliru. Dan tak dipungkiri sebagai para pesilat, tak ada

adegan yang lebih menyenangkan selain melihat orang berpibu. Tiba-tiba salah seorang tamu

yang berasal dari kelompok kiri berseru lantang:

“Ahh..bosan pertunjukan tarian bebek melulu, kami akan maafkan Yu Liang , kalau dua

murid Yu Liang diadu ketangkasan kiamhoat itu.”

Kwan Liong Ping terperangah, sekejap tidak mengucapkan sepatah kata, hanya melirik ke

kedua belah muridnya.

Siong Chen mengajak Kwan Tiong San untuk naik kembali ke panggung.

“San te, kalau tamu menghendaki marilah kita bermain-main sebentar.”

Pertarungan Siong Chen dan Kwan Tiong San berjalan seperti berlatih. Masing-masing

menggunakan pedang yang biasa dipakai untuk berlatih. Gerakannya keduanya mula-mula

kelihatan lambat namun pedang-pedang itu seolah-olah berubah menjadi dua ekor naga putih

berebut mustika. Amat indah tampaknya, seolah-olah sepasang dewa yang sedang menari-nari.

Namun sesungguhnya di dalam keindahan "tarian" ini tersembunyi tenaga sinkang yang

menyambar-nyambar dahsyat, dan hawa magis yang tersembunyi. Makin lama, ternyata

pertarungan berlangsung sungguh-sungguh. Di satu kesempatan Siong Chen sengaja bergerak

lambat. Sadar pukulan tangan kirinya bisa mengenai lawan, Tiong San menarik tenaga

sinkangnya, dan memperlemah pukulannya. Siong Chen waspada, sedetik setelah pukulan Tiong

San mengenai dadanya, secepat kilat ia balas memukul dengan sungguh-sungguh. Akibatnya

Tiong San terdorong tiga langkah. Meski pukulan itu tak terlalu berat, tapi tetap saja

menimbulkan luka dalam. Siong Chen segera berseru:

“San-te, apa kau tak apa-apa?” secepatnya ia merangkul Tiong San dan langsung

memapahnya masuk ke dalam. Dengan semedi sebentar dan perawatan yang dilakukan oleh Sam

Pangcu, maka sekejap, Tiong San sudah pulih.

Bab 2. Huru-hara di Yu Liang Pay

www.rajaebookgratis.com

Page 15: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

Pada malamnya kembali perjamuan diadakan. Pesta malam diadakan di taman. Berbagai

lampion digantungkan di tiang-tiang, sebagian diletakkan di dekat bunga-bunga yang

bermekaran. Para tamu duduk melingkar pada meja-meja yang disediakan. Ditengah-tengahnya

dipasang lilin yang besar. Masing-masing meja diisi empat sampai lima kursi. Makanan dan arak

dihidangkan. Toa pangcu duduk semeja dengan Bu Sian taisu, dan pimpinan Kong Thong Pay.

Setelah semua tamu duduk, sambil memegang cawan arak Liong Ping berpidato:

“Cuwi sekalian, pada malam yang spesial ini, kami akan persembahkan berbagai hidangan

dan hiburan, marilah kita nikmati keindahan musim semi di temaraman malam di taman cemara

biru ini. untuk itu, kami pertama-tama mari kita cicipi arak wangi yan-tai-jing dari Kwei Yang,

mari Bersulang!”

Para tamu mengikuti bersulang, dan dilanjutkan dengan makan minum menikmati hiburan

yang ada. Tiong San dan istrinya semeja dengan tamu-tamu muda yang berpasangan. Mereka

semua makan minum ditingkahi lantunan musik yang meriah. Makin malam makin ramai,

apalagi sebagian ada yang mulai mabuk, maka omongan yang diucapkan juga makin ngelantur.

Saat malam makin larut dan pesta semakin meriah, sekonyong-konyong terdengar jeritan seorang

wanita. Semua tamu mengarahkan pandangan ke Liem Bi Lian, istri Tiong San yang sedang

memegangi suaminya.

“Dia keracunan!” tamu yang di dekat Tiong San berteriak. Tampak mulut Tiong San berbusa

namun tubuhnya kaku. Dengan sigap Ji pangcu yang ada di dekatnya menyambar tubuh Tiong

San dan dibopong masuk menuju ke kamar. Seorang nenek dan Bu Sian taisu tergopoh-gopoh

memasuki kamar.

“Saya bisa sedikit pengobatan, biar saya periksa” ujar biksu itu lembut. Namun ji pangcu

menggeleng.

“Terlambat!”

Nenek yang berwajah bundar yang datang belakangan dengan berseru keras:

“Dia tertotok!” serunya sambil membuka punggung Tiong San.

“Ilmu totok delapan belas jari iblis!” hampir bersamaan biksu Siauw-lim dan nenek berwajah

bundar itu berteriak mengagetkan.

“Omitohud.....takdir tuhan tak bisa diubah! Semoga Budha memberkati! Sungguh aneh, ilmu

ini sudah lama tidak muncul di Tionggoan, hari ini kemunculannya pasti akan menimbulkan

kehbohan-kehebohan”

www.rajaebookgratis.com

Page 16: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

Secepat kilat nenek itu berkelebat ke taman tempat pesta. Ketika ia datang suasana sudah

berubah ramai. Semua tamu berdiri dengan sikap waspada. Liong Ping berusaha menenangkan

suasana, namun teriakan nenek yang baru datang membuyarkan usaha Liong Ping.

“Ada pengkhianat datang! Hai orang-orang tengkorak hitam majulah! Lawanlah aku secara

terang-terangan! Huh beraninya hanya membokong, pengecut!”

Teriakan yang disertai khikang bagai guntur itu membuat semua orang terpana. Para tamu

menjadi ribut, masing-masing bergabung ke kelompoknya, pedang dan semua senjata yang

tersusun di rak-rak sudah berpindah digenggaman secara erat di tangan masing-masing, semua

mata memandang awas kekanan-kekiri.

Tiba-tiba terdengar gema jawaban dari kejauhan:

“He he heh.......Tung Nio. Hari ini kami cukup puas menjadi saksi maut satu nyawa orang

Dalu. Masih untung aku tidak membunuh dia. Aku hanya membantu saja, niatan jahat ada pada

anak buahmu sendiri. Kalau kamu tidak puas datang saja sendiri ke bukit tengkorak salju!”

Dengan berkelebat secepat hantu Tung Nio, melompat tinggi dan menghilang dibalik tembok

pagar. Teriakan Liong Ping dari bawah tak dihiraukannya. Tubuh para tamu tergetar melihat

pemandangan yang sehebat itu, hampir tak pernah mimpi mereka melihat pameran ginkang yang

sedemikian sempurna. Tembok setinggi dua tombak dengan enteng dilompati begitu saja. Bu

Sian taisu dari Siauw-lim juga diam-diam mengakui ilmunya masih belum dapat menandingi

nenek itu.

“Istrikuuu....... hati-hatilah menghadapi musuh berilmu tinggi!”

Suasana gempar, dan di sela-selanya sekonyong-konyong terdengar teriakan seorang pemuda.

Ada pengkhianat di dalam rumah kita. Tangkap seluruh pelayan dapur!” seru Siong Chen

secara mendadak, sepertinya ia melihat bahwa besar kemungkinan pelayan terlibat.

Seorang pelayan yang beberapa waktu sebelumnya menyajikan minuman ke Tiong San

terlihat kaget, dan tak menduga akan menghadapi suasana seperti itu. Tidak sempat berpikir

banyak, ia hanya berkeinginan lolos secepatnya. Pelayan itu cepat berkelebat lari ke bagian

belakang. Tidak berlebihan dugaan Siong Chen, pelayan yang biasanya berjalan lemah gemulai

sekonyong-konyong bisa melompat gesit. Namun untung, usaha pelayan untuk melarikan diri

diketahui Siong Chen, dan ketika sampai di lorong menuju pintu belakang Siong Chen berhasil

mencegat pelayan itu.

www.rajaebookgratis.com

Page 17: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

“Mau minggat kemana kau pengkhianat!” jengek Siong Chen sambil menusukkan

pedangnya. "Trangg!" Terdengar dentingan pedang beradu belati yang memekakkan ketika

pelayan itu menangkis serangan Siong Chen. Tangannya tergetar hebat dan kakinya terdorong

dua langkah. Tak henti disitu saja, Siong Chen segera melancarkan serangan-serangan susulan

yang mengarah pada titik-titik yang mematikan. Pelayan itu terus terdesak mundur hanya mampu

menangkis, tanpa mampu membalas sedikitpun, tangannya tergetar sampai linu. Karena terus

mundur tak terasa posisi pelayan itu menghadapi lampu penerangan, sehingga terlihat jelaslah

mukanya. Demi melihat secara pasti wajah itu timbul senyum mengejek di wajah Siong Chen.

Pada jurus ke enam, dengan gerakan tipu pelangi menyongsong rembulan Siong Chen memutar

pedangnya seakan-akan mengarah ke jantung, ketika pelayan itu berusaha menangkis secepat

kilat Siong Chen memindah pedangnya ke tangan kiri, sedangkan tangan kanan dikibaskan untuk

menyampok belatinya dan "Cratt!...aiiiih!" pelayan yang bernama Cu Hoa Naynay itu

mengeluarkan jerit pendek ketika pedang di tangan kiri Siong Chen berhasil menusuk mata

kanannya. Dengan mata berlumuran darah dia masih terus berusaha bertahan sambil mundur.

Sadar bahwa dirinya sudah terkurung, dia nekad untuk mengadu jiwa. Serangan-serangannya

mengarah ke titik-titik maut tanpa mempedulikan keselamatan dirinya. Sementara itu mendengar

jeritan seorang wanita para murid tingkat dua cepat berlari ke arah lorong, menyongsong pelayan

itu dari belakang. Tak disangka justru kedatangan para murid ini mempermudah jalan dia

meloloskan diri. Dengan berpoksai dia menjadikan bahu-bahu mereka pijakan, meski beberapa

tusukan mengenai kakinya, namun untuk sementara ia bisa lolos. Ketika melesat ke pinggir

bangunan, demi melihat jendela masih terbuka, cepat pelayan melompat masuk ke dalam. Kamar

yang dimasukinya ternyata kamar dayang pengasuh anak. Seorang dayang hanya mempu

menjerit kecil ketika tanpa aba-aba Cu Hoa menebaskan belati ke lehernya. Demi melihat dayang

pengasuh anak, terbersit gagasan licik di pikiran Cu Hoa.

Sementara itu gerakan Siong Chen terhambat kehadiran murid-murid tingkat dua yang baru

datang. "Minggir...minggir, biarkan aku dulu yang masuk!" Ketika Siong Chen berhasil masuk

dia hanya sempat melihat tubuh dayang roboh bersimbah darah, sedangkan Cu Hoa yang dikejar

sudah mendobrak pintu kamar. Di luar kamar terdapat taman bermain, tempat para dayang

mengasuh bayi dan anak-anak. Meskipun sudah malam, karena suasana pesta anak-anak masih

bermain di luar kamar. Demi melihat sasaran di depan mata, secepat kilat Cu Hoa menyambar

www.rajaebookgratis.com

Page 18: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

salah seorang bayi berusia satu tahunan, dan menempelkan belatinya ke lehernya, sambil

berteriak ke Siong Chen

"Berhenti! Jangan halangi aku, atau anakmu menyusul mampus dayangnya!"

Sesaat Siong Chen memandang tertegun mendengar teriakan Cu Hoa. Dalam keadaan yang

ramang-remang sulit sekali memastikan siapa bayi yang direnggut Cu Hoa.

"Hei lepaskan dia!" teriak Siong Chen sambil matanya jelalatan mencari-cari bayi yang lain

dengan harapan anak yang dipondongan Cu Hoa bukan anaknya. Namun secepat kilat suasana di

taman itu telah berubah onar, karena para dayang lari serabutan, ditingkahi jeritan dan tangis

anak-anak.

Kekagetan Siong Chen yang tak menduga Cu Hoa punya jalan pikiran gila, membuat Cu Hoa

lebih leluasa meloloskan diri. Ketika bisa keluar dari bangunan, meskipun dicegat beberapa

murid yang bahkan dipimpin langsung oleh Ji Pangcu Lauw Kian Bu, Cu Hoa berhasil

menggertak

"Jangan halangi aku, atau bayi Siong Chen mampus!"

Siasat Cu Hoa berhasil, para pencegatnya sejenak terperangah tak mampu bertindak apa-apa.

Waktu yang meski singkat tapi cukup berharga bagi Cu Hoa untuk meloloskan diri. Setelah

keluar dari kawasan Yu Liang Pai, Cu Hoa tahu kemana dia harus lari. Seperti sudah

merencanakan jalan lolos, Cu Hoa berlari menyusuri jalan yang baru bukan jalan yang umum

dipakai. Meski dikejar-kejar, karena jalanan menurun dan banyak pepohonan Cu Hoa selalu lolos

dari serangan gelap dari belakang, baik pukulan maupun sambitan senjata rahasia. Jalanan

menurun itu memiliki satu tujuan yang sudah dipersiapkan Cu Hoa. Sesampainya di tepi sungai,

sungguh mujur nasib Cu Hoa karena ada satu perahu yang menganggur. Segera ia melompat ke

dalam dan mendayungnya cepat.

Orang-orang yang mengejar Cu Hoa berhenti di tepi sungai. Ji Pangcu Kian Bu segera

membentak: “Hayo engkau lekas balik kemari, kalau tidak, segera kucabut nyawamu!”

Sudah tentu Cu Hoa tak gubris pada teriakannya, ia mendayung lebih keras malah. Kian Bu

menjadi murka, cepat ia jemput sepotong batu terus menimpuk, menyusul tangan yang lain

sambar sepotong batu lagi dan segera disambitkan pula.

Cu Hoa sendiripun sedang curahkan antero perhatiannya terhadap batu sambitan pangcu itu

sambil tetap mendayung se-kuat2nya. Batu pertama dengan mudah dapat dihindarkannya dengan

merendahkan tubuh, tapi batu kedua menyambar datang dengan sangat rendah, serendah badan

www.rajaebookgratis.com

Page 19: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

perahunya, terpaksa Cu Hoa merebahkan diri kelantai perahu hingga batu itu persis menyambar

lewat di atas telinganya, selisihnya cuma beberapa senti saja. Dan baru saja ia berbangkit, se-

konyong2 batu lain menyambar tiba pula, “plok”. Dengan tepat batu itu kena dihaluan perahu

hingga kayu bubuk bertebaran, papan haluan perahu telah sempal sebagian.

Tapi kini jaraknya sudah makin jauh, berturut2 sambitan batu Ji Pangcu diikuti oleh murid-

murid yang mengikutinya itu. Karena cuaca gelap maka sambilatn itu dilakukan secara serabutan

tak tentu arah, hanya suara tangis bayi saja yang dijadikan patokan. Meski satu dua tepat

mengenai sasarannya, namun cuma menghancurkan sedikit papan dan dinding perahu saja,

karena jarak sudah mulai jauh. Aliran sungai Wu di bagian itu cukup deras karena berada di

perbukitan, dan setelah kelokan amanlah Cu Hoa dari kejaran.

Keruan rombongan pengejar yang dipimpin oleh Ji Pangcu bertambah gopoh ingin lekas2

dapat membekuk Cu Hoa. Ji Pangcu semakin mendongkol ketika melihat perempuan itu dapat

menghindarkan setiap timpukannya.

Ji Pangcu masih tidak rela melepaskan Cu Hoa begitu saja, ia harus mengejar menyusur tepi

sungai. Begitu cepat larinya hingga sampan Cu Hoa kalah cepat meluncurnya. Cuma sayang

rombongan mengejar sisi timur, sebaliknya Cu Hoa mendayung perahunya menyorong ketepi

barat. Meski kejaran mereka dapat melampaui perahunya Cu Hoa, tapi jaraknya juga bertambah

jauh.

Biasanya lalu-lintas perahu dan sampan disungai Wu itu sangat banyak, untung Cu Hoa

karena sepanjang beberapa li dipantai timur sana tiada sebuah perahupun yang berlabuh di sana.

Maka selama itu para pengejar takdapat berbuat apa2. Setelah mentari diufuk mulai

menunjukkan semburat cahayanya sebagai pertanda fajar telah menyingsing. mereka baru

kembali ke markas. Begitu cepat segala sesuatu berubah, baru saja sore itu mereka bersuka ria

dalam pesta, namun tengah malam langsung berubah menjadi duka. tetamu yang sebelumnya

menyampaikan ucapan selamat juga berubah menjadi ucapan bela sungkawa. Bukankah benar

kata orang-orang bijak bahwa dunia itu tempat yang fana? Lantas mau menunggu apa kita kalau

tidak segera berbuat kebajikan sebanyak-banyaknya?

Baik Ji pangcu maupun Tung Nio kembali dengan tangan hampa. Para tamupun tak beranjak

pamit dari Yu-liang pay. Mereka masih terus mengikuti peristiwa demi peristiwa yang cukup

mendebarkan, peristiwa yang memang menjadi kejaran kaum kang-ouw. Berita yang mereka

peroleh akan menjadi bahan rapat yang sangat berharga bagi tiap-tiap perkumpulan mereka.

www.rajaebookgratis.com

Page 20: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

Siapakah sebenarnya Cu Hoa? Setelah jauh dari pengejarnya, perlahan-lahan Cu Hoa

membalut matanya dan kakinya. Baru sekarang terasa sakit di sekujur tubuhnya, terutama di

mata kanannya. Tapi sakit di tubuhnya masih tak seberapa dibandingkan dengan sakit di hatinya

akibat dikhianati oleh Siong Chen.

Empat tahun yang silam Cu Hoa disusupkan oleh Hek In Pang ke Yu-liang-pay. Cita-citanya

adalah mempelajari ilmu-ilmu Yu-liang-pay, terutama ilmu pedangnya yang sangat terkenal. Ia

diterima menjadi murid tingkat tiga, setelah mengorbankan tubuhnya kepada Kwan Liong Ping,

ketua pertama yang pemogoran itu. Dia sama sekali tak mengira Yu-liang-pay yang di seluruh

pelosok kangouw terkenal sebagai partai aliran putih memiliki pemimpin mata keranjang yang

doyan perempuan. Tak heran kalau semenjak Liong Ping memimpin partai ini menerima murid-

murid perempuan. Tujuan utama kedatangan Cu Hoa adalah mencuri ilmu pedang Yu Liang

kiamhoat. Untuk menjalankan siasatnya Cu Hoa mencoba mendekati dua orang muda calon

pengganti Liong Ping. Dari perkenalan dan pengamatan, Cu Hoa tertarik pada Tiong San yang

memiliki wajah khas, kulit putih dan agak pendiam. Tiong san berumur tiga puluh tahun lebih

waktu itu. Meski agak pendek namun tubuhnya kekar, sehingga mengesankan sebagai lelaki

yang jantan. Namun berbeda dengan ayahnya, Tiong San bukan tipe lelaki hidung belang. Ia

termasuk lelaki yang cinta pada keluarganya. Karena kepribadiannya yang penuh pesona, Cu

Hoa justru makin tergila-gila. Di saat sendirian seringkali ia termenung memikirkan Tiong San.

Siong Chen selalu mengamati perilaku Cu Hoa. Dia tahu Cu Hoa bukan gadis baik-baik, namun

kecantikan dan kemontokan tubuhnya membuat Siong Chen mengilar. Meskipun sudah punya

tiga istri Siong Chen tak pernah puas memenuhi nafsu syahwatnya. Sungguh aneh memang, ayah

Siong Chen, yaitu Sam Pangcu Siong Hok Cu terkenal sebagai lelaki yang alim, namun anaknya

justru menurun tabiat dari Toa Pangcu Liong Ping. Namun kalau ditelisik lebih dalam, hal ini

sangatlah beralasan. Siong Chen selain belajar dari ayahnya juga berguru pada Liong Ping, dan

perilaku Liong Ping lebih banyak mempengaruhinya. Sebaliknya Tiong San, meskipun belajar

pada Liong Ping, dia tidak cocok pada tabiat ayahnya. Oleh karena itulah maka ia lebih banyak

menghabiskan waktunya berguru pada Ji Pangcu Lauw Kian Bu.

Melihat kesempatan yang ada mulailah Siong Chen mendekati Cu Hoa. Karena pada

dasarnya bukan gadis baik-baik, rayuan Siong Chen ditanggapi oleh Cu Hoa, bak gayung

bersambut. Dengan menjanjikan akan mengajarkan ilmu pedang Yu Liang Kiamhoat, Siong

Chen benar-benar dapat memenuhi hasratnya. Selama beberapa bulan mereka menjalin

www.rajaebookgratis.com

Page 21: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

hubungan, selama itu Siong Chen mengajarkan ilmu pedang kepada Cu Hoa. Biasanya setelah

Siong Chen pergi, Cu Hoa menuliskan kembali gerakan-gerakan ilmu pedang yang dipelajarinya.

Karena hubungan mulai dekat, pelan-pelan Cu Hoa tahu kalau Siong Chen ada perasaan iri

kepada Tiong San. Siong Chen merasa iri dengan bakat Tiong San yang cepat mempelajari ilmu

silat. Selain itu, dia juga khawatir jika Liong Ping berumur panjang dan setelah ia meninggal

kelak, Ji Pangcu yang berhak menggantikan posisinya sudah merasa tua, maka bisa saja Ji

Pangcu memilih Tiong San, mengingat Ji Pangcu tidak menikah dan sangat sayang pada Tiong

San.

Di suatu malam, ketika Siong Chen menginab di kamarnya, Cu Hoa sengaja memancingnya

dan mulailah Siong Chen mengungkapkan kebenciannya

Karena perbincangan seperti inilah Cu Hoa menyampaikan niatnya

“Chen ko, aku tahu kau tidak suka pada Tiong San, maka bagaimakah pendapatmu kalau kita

bekerja sama untuk menyingkirkannya?”

“Hoa moy, bagaimanakah ide kamu?”

“Aku ingin menghancurkan keluarga Tiong San”

“Dan bagaimanakah caranya?”

“Tiong San sangat mencintai keluarganya. Kita bunuh istrinya, pasti dia akan kehilangan dan

hancurlah hidupnya!”

“Ide gila! Bagaimana caranya?”

“Dekatkan telingamu Chen ko!”

Berbisik-bisiklah dua orang itu merencakan suatu kejahatan. Diluar penglihatan Cu Hoa,

Siong Chen menyungging senyuman. Senyum yang mengandung ejekan. Cu Hoa masih ingat

seluruh pembicaraan di malam itu. Mereka bersepakat untuk meracuni istri Tiong San. Untuk

menyelamurkan siasatnya sengaja mereka menunggu acara ulang tahun Yu-liang-pay, sehingga

kecurigaan bisa ditimpakan ke pihak tamu. Namun siapa kira Siong Chen berkhianat. “Hmmm....

sudah jelas bubuk yang diberikan Siong Chen dimasukkan ke makanan yang dihantarkan ke

Liem Bi Lian, dan dengan mata kepala sendiri dia lihat Liem Bi Lian menyantap daharan yang

diserahkan, lalu mengapa yang jadi korban adalah Tiong San? Ah betapa bodohnya aku! Pasti

bubuk yang aku bawa bukan bubuk racun tapi bubuk penawar, pantas saja Siong Chen sengaja

mengajak Tiong San bertanding, agar tubuhnya lemah sehingga pengaruh racunnya dapat

www.rajaebookgratis.com

Page 22: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

mematikan. Sungguh siasat yang sangat culas, awas Siong Chen...tunggu saja pembalasanku

kelak......

Setelah lebih dari seperempat malam, lamunan Cu Hoa terputus oleh suara gemuruh air di

kejauhan. Tergagap-gagap Cu Hoa memutar balik haluan demi menyadari di depannya ada air

terjun. Gerakannya membuat tangisan bayi yang dipangkunya. Ia meletakkan bayi ke buritan dan

mengamati wajah bayi dengan seksama. – ohhh ternyata dia bukan anak Siong Chen, dia...dia...-

tak terasa Cu Hoa terkejut seperti disengat kalajengking demi menyadari bahwa bayi yang

diculik adalah anak Tiong San. Sekejap Cu Hoa diam mematung. Timbul gejolak di hatinya, mau

diapakan anak itu. –Apa sebaiknya aku ceburkan aja di sungai ini, biar kelak tidak menjadi duri

dalam daging - namun buru-buru Cu Hoa tersenyum. – aku akan titipkan dulu pada orang di

kampung depan, kelak aku akan ambil kembali untuk mendidiknya. Keterkejutan dan kegalauan

membuat Cu Hoa tak sadar makin dalam masuk ke arus sungai yang semain melaju. Ketika

sudah sadarpun terlambat, meski sekuat tenaga berusaha mengayuh dayung kembali ke hulu, apa

daya kekuatan alam tak mampu di lawannya.

”Aaaa...................................” Dengan lengkingan yang tinggi Cu Hoa, sampan dan bayi yang

diculiknya terjatuh ke dasar air terseret arus dan terjun ke dasar yang sangat dalam. Bagi orang

biasa, jatuh ke jurang seperti itu tentu kecil kemungkinan masih hidup, namun hidup mati semua

orang ada di tangan Tuhan. Kalau Tuhan belum menghendaki, meskipun menghadapi perang dan

diserang ratusan senjata mudah saja seseorang lolos dari kematian. Sebaliknya, meskipun

bersembunyi di dalam benteng yang kokoh, kalau kematian sudah datang, tak seorangpun bisa

menolaknya, sekalipun ia adalah kaisar. Cu Hoa jatuh dan terseret air ratusan li jauhnya, namun

beruntung ia selamat, meski sekujur tubuhnya penuh benjolan luka luar. Dengan tertatih-tatih ia

berhasil keluar sungai, dan selama satu bulan bersembunyi di suatu goa dalam hutan yang lebat.

Adapun bayi yang diculik Cu Hoa beruntung hanya terseret satu dua li dan tersangkut pada

jala yang dipasang nelayan sungai. Ketika pada pagi harinya nelayan setengah baya hendak

mengambil jalanya, betapa terkejutnya dan sekaligus bersyukur karena ia sendiri sudah belasan

tahun menikah tak dikaruniai anak. Maka ia kemudian mengangkat bayi yang kemudian diberi

nama Tiong Gi.

Setelah pulih dari luka, Cu Hoa berkelana menyusuri sungai dan mencari bayi yang dulu

diculiknya. Di desa-desa sekitar air terjun itu selama berbulan-bulan ia mencuri dengan

informasi tentang bayi yang hanyut di sungai. Usahanya tak sia-sia, dalam tempo setengah tahun

www.rajaebookgratis.com

Page 23: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

ia sudah menemukan titik terang. Namun Cu Hoa, cukup cerdik ia tidak mengambil tindakan saat

itu, ia dengan sabar menunggu empat tahun lagi.

Kita tinggalkan dulu Cu Hoa dan Tiong Gi, marilah kita lihat situasi di tempat lain. Jauh di

sebelah barat, di pegunungan yang sangat tinggi. Pegunungan yang puncak-puncaknya

berselimut salju abadi dan jarang sekali dikunjungi manusia. Bahkan ada anggapan pegunungan

tersebut merupakan tempat bersemayam para dewa. Pegunungan yang memiliki luas hampir

menyamai Borneo. Inilah tempat yang dikenal dengan nama Kun Lun San.

Di salah satu dataran rendah di pegunungan itu, berdiri sekumpulun bangunan kota

berarsitektur tibet. Meskipun di sebut dataran rendah, karena tempat itu terletak di kaki-kaki

pegunungan, namun ketinggiannya tidak kurang dari 3500 m. Di tempat setinggi itu, sejauh mata

memandang hanya bisa menemukan padang rumput, semak dan hutan yang didominasi oleh

pinus. Tak ada lagi jenis pepohonan yang mampu tumbuh di ketinggian itu. Di tempat yang

sangat sepi dan jarang dikunjungi manusia ini berdiri kokoh sebuah partai yang tidak hanya

terkenal di bagian barat, namun juga sangat dikenal di Tiong goan: Kun Lun Pai.

Pada saat itu di di bangsal utama tempat biasa para tosu belajar agama. Ketua Kun-lun-pay

Giok Yang Cinjin, tampak sedang memberi pelajaran To bagi murid-muridnya. Tosu yang

berwajah teduh ini berumur hampir sembilan puluh tahun. Kumis dan jenggotnya yang sudah

memutih dibiarkan panjang, sedangkan rambutnya disanggul ke atas khas sanggulan agama To.

Selanjutnya dengan suara penuh kesabaran, Giok Yang Cinjin memberi wejangan kepada

murid-murid Kun-lun-pai, menegaskan bahwa sebagai penganut To dan murid Kun-lun-pai yang

gagah perkasa dan bijaksana mereka harus menyerahkan segala peristiwa kepada kekuasaan

alam berdasarkan kewajaran. Hanya bergerak untuk menghadapi dan menanggulangi keadaan

sebagai akibat. Jangan sekali-kali menjadi sebab timbulnya sesuatu ketegangan. Hal ini hanya

mudah dicapai dengan sikap diam dan tidak mencampuri urusan yang tidak menyangkut diri

pribadi.

Suasana belajar yang penuh kedamaian ini pecah ketika tiba-tiba serombongan tosu yang

dipimpin Ki Liang tosu masuk. Dilihat dari pakaiannya yang berdebu dan wajahnya yang kusut,

tampat mereka baru datang dari tempat yang jauh. Dan yang membuat suasana menjadi gaduh

adalah sebuah tandu yang diusung rombongan. Begitu datang ketua rombongan langsung buka

tutup tandu. Semua yang melihat terperanjat, di dalam tandu itu Bhok Kian tosu tampak sedang

terkena demam tinggi.

www.rajaebookgratis.com

Page 24: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

“Suhu, taecu Ki Liang, mohon perkenan untuk melaporkan hasil kunjungan ke Yu-liang-

pay!”

“Ahhh…Ki Liang kamu tenanglah, biar pinto berusaha untuk mengobati Bhok Kian dulu”

ucap Giok Yang tosu dengan tenang meskipun wajahnya berubah pucat ketika menyambut

kedatangan muridnya di tandu.

Selanjutnya Giok Yang menotok jalan darah sana-sini, dan menyalurkan tenaga sinkangnya.

Wajah tosu yang biasanya tenang ini dibuat berkerut-kerut tanda ada keganjilan dalam peristiwa

yang dihadapinya.

“Lukanya tidak berbahaya, tapi dia perlu istirahat tiga bulan untuk memulihkan

kesehatannya. Siapakah yang melukainya dengan tusukan beracun ini Ki Liang?”

Selanjutnya Ki Liang menceritakan pengalamannya di Yu-liang-pay. Sebagai murid langsung

ketua Kun Lun, Ki Liang sangat dipercaya untuk menghadapi urusan luar Kun Lun. Cerita yang

disampaikan Ki Liang membuat semua murid terperanjat. Sulit sekali dipercaya, murid ketua

yang memiliki kelihaian sangat tinggi, bahkan tidak selisih jauh dari suhengnya yang calon

ketua, dapat dikalahkan oleh murid Yu Liang yang barusia tak lebih dari dua puluh lima.

“Hmmm.....sungguh aneh, sejak kapan Yu-liang-pay menggunakan racun pada senjatanya,”

sungut ketua Kun-lun-pay sambil mengelus-elus jenggotnya.

Bhok Kian yang baru saja baikan, segera menjawab, “Suhu, banyak sekali keganjilan yang

taecu temui di sana, kita harus membalaskan sakit hati ini dan yang lebih penting kita musti

menyelidikinya. Suhu perkenankanlah taecu membawa beberapa susiok untuk kembali ke sana.”

“Hmmm...tidak baik....tidak baik......, kau harus istirahat dulu Bhok Kian. Lagi pula tidak

baik memendam rasa dendam. Berita ini justru harus menjadi cambuk bagi kita untuk lebih giat

belajar dan berlatih. Ilmu Kun Lun tidak kalah dengan partai manapun, asal kita bersungguh-

sungguh mempelajarinya.”

“Kalau suhu tidak mengijinkan aku mengajak susiok, aku akan menemui pamanku, Kun Lun

sam lojin.”

Giok Yang tosu, Ki Liang tosu, tosu-tosu yang lain terkejut mendengar ucapan Bhok Kian.

“Ah, Bhok Kian sungguh hatimu telah dibakar oleh kesumat. Semoga Thian selalu memberi

petunjuk padamu. Aku tidak bisa melarangmu menemui pamanmu, dan Kun-lun-pay tidak ikut

campur urusan kalian.”

www.rajaebookgratis.com

Page 25: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

Pertemuan itu bubar. Namun tanpa sepengetahuan mereka semua ada seseorang yang

menguping seluruh pembicaraan yang terjadi. Semua wejangan dan percakapan yang terjadi di

ruangan belajar yang luas itu didengarkan penuh perhatian oleh seorang anak laki-laki yang

sedang bekerja membersihkan jendela-jendela dan pintu-pintu dengan kain kuning.

Bab 3. Chien Ce si putra salju

Anak laki-laki ini berusia kurang lebih enam tahun, berwajah tampan dan berpakaian

sederhana, dari kain katun kasar. Yang menarik pada anak ini adalah sepasang matanya, karena

pandang matanya amat tajam, dengan biji mata yang terang jarang bergerak, membayangkan

pikiran yang dalam, pandangan luas dan penuh pengertian.

Bocah yang menjadi kacung (pelayan) di kuil besar Kun-lun-pai ini adalah Shu Chien Ce,

dan sudah tiga tahun dia berada di kuil itu. Dia adalah seorang anak yatim piatu, karena

keluarganya, ayah-bundanya dan saudara-saudaranya, semua dikabarkan telah tewas dalam

perjalanan pergi ke luar daerah. Ki Liang tosu menemukannya tergeletak pingsan di dekat

gelimangan mayat pada usia dua tahunan. Chien Ce sendiri beruntung bisa sembunyi pada saat

kejadian. Tosu ini sedang melakukan perjalanan merantau dalam melaksanakan tugasnya sebagai

seorang pendekar dan penyebar Agama To ke bagian utara Tai Swat shan. Tai Swat shan

merupakan dataran tinggi di sebelah timur pegunungan Kun Lun.

Ki Liang tosu sendiri tidak melihat kejadiannya. Hanya satu tanda yang bisa menjadi

petunjuk yang kemudian disimpan oleh tosu ini, yaitu keping besi berwarna hitam berbentuk

seperti tengkorak manusia. Kemudian oleh Ki Liang tosu yang merasa kasihan melihat Chien Ce,

anak itu diajak ke Kun-lun-san dan disitu ia bekerja sebagai seorang kacung. Sebetulnya, Chien

Ce hendak dijadikan murid Kun-lun-pai, akan tetapi bocah ini masih terlalu kecil untuk menjadi

tokong (calon tosu). Pada waktu itu, murid Kun-lun-pai haruslah seorang calon yang memegang

keras peraturan, yaitu setiap orang murid Kun-lun-pai haruslah seorang calon tosu.

Karena sudah tidak mempunyai keluarga maka ia bekerja sebagai seorang kacung. Dia rajin

sekali, semua pekerjaan dia pegang, apa saja yang diperlukan, tanpa diperintah dia kerjakan.

Mengisi tempat air, membersihkan kuil, menyapu lantai dan kebun, merawat bunga, bahkan

menggembala kerbau milik kuil yang dipergunakn untuk meluku sawah, semua dia kerjakan

dengan tekun dan rajin.

www.rajaebookgratis.com

Page 26: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

Di malam hari, karena para tosu yang sayang kepadanya, dia boleh ikut belajar baca tulis

yang diperuntukkan bagi tokong. Ia juga diijinkan memasuki kamar perpustakaan dan membaca

kitab-kitab. Semenjak kecil, saat pulang dari perjalanan jauh, Ki Liang pasti mengajarinya.

sungguh hubungan merka bagaikan anak dan ayah, bahkan bisa lebih dekat lagi seperti sahabat.

Kitab-kitab tentang filsafat kebatinan, pelajaran-pelajaran Tao, juga kitab-kitab pelajaran dasar

ilmu silat Kun-lun, semua dia baca di usia yang sangat dini enam tahun. Tentu saja karena tidak

ada gurunya, dia hanya bisa membaca tanpa dapat menangkap jelas inti sarinya.

Chien Ce sedang membersihkan daun-daun pintu dan jendela yang terkena debu ketika

rombongan Ki Liang tosu datang disongsong oleh Giok Yang Cinjin dan anak muridnya yang

berkumpul di ruangan belajar. Karena dia tidak diusir dan memang dia bekerja tanpa

mengeluarkan suara, maka Chien Ce dapat melihat dan mendengar semua. Suasana di ruangan

belajar itu amat hening dan para murid mendengarkan wejangan guru mereka dengan penuh

hormat dan kesungguhan, membuat Chien Ce makin hati-hati agar tidak mengganggu, namun dia

kadang-kadang sampai lupa akan pekerjaannya karena mendengar hal-hal yang amat menarik

hatinya. Ia mendengarkan terus.

Chien Ce sudah lama ingin sekali jalan-jalan keluar kuil, apalagi Ki Liang tosu yang

membawanya adalah tosu urusan luar, sehingga punya kebiasaaan jalan-jalan. Dan di waktu

kembali dari perjalanan tosu itu selalu mempunyai banyak cerita untuknya. Maka demi

mendengar tosu itu hendak menemui Kun Lun sam lojin, tergerakkan Chien Ce untuk

mengikutinya.

Sebulan setengah setelah peristiwa itu, Bhok Kian sudah sehat kembali, meskipun wajahnya

masih pucat. Pada pagi itu cuaca cukup hangat, karena musim panas telah tiba. Setelah mandi

Bhok Kian tampak berkemas hendak berangkat.

Chien Ce dari tadi sudah mengawasi Bhok Kian. Dan ketika tosu itu berangkat iapun

mengikutinya. Lewat sepeminuman teh, Bhok Kian sadar perjalanannya diikuti, namun betapa

kagetnya ia ketika sembunyi untuk coba menengok ternyata yang mengikutinya adalah Chien

Ce. Selama ini ia jarang mengamati kacung kecil ini, maka bisa dibayangkan kekagetannya.

Betapa terperanjatnya Chien Ce ketika pundaknya ditepuk seseorang, ketika ia membalikkan

badan, ia hanya bisa tersenyum malu.

“Kenapa engkau mengikutiku bocah, hei bukankah engkau kacung kecil yang dibawa Ki

Liang suheng?”

www.rajaebookgratis.com

Page 27: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

“Totiang, aku ingin jalan-jalan, kalau perjalananmu kali ini tidak jauh ajaklah aku. Aku

berjanji tidak akan mengeluh dan memberatimu.”

“Ehhh....kau ingin jalan-jalan?, Hei tahukah kamu aku tidak hendak berpesiar ke taman

binatang bicah, aku sedang melakukan tugas yang sangat penting!”

“Aku tidak peduli kemanapun totiang pergi, asal tidak jauh aku pasti tidak akan kecapaian.”

Bhok Kian sebenarnya malas untuk mengajak anak itu, namun tak kuasa menolak

permintaannya, lagipula ia tidak sedang tergesa-gesa, dan perjalanannya paling lama setengah

hari.

“Baiklah kau boleh ikut, tapi harus berjanji ketika aku bertemu dengan orang lain, kau tidak

boleh ikut berbicara.”

“Baik totiang, aku berjanji.”

Maka berangkatlah mereka menuju ke suatu puncak bukit di sebelah utara Kun-lun-pay. Di

sepanjang perjalanan Bhok Kian lebih terkesima lagi dengan wawasan yang dimiliki oleh anak

sekecil itu. Chien Ce berbicara banyak hal, mulai dari barang permainan sampai karya sastera.

Banyaknya puisi dan ujar-ujar kuno yang dihapal Chien Ce sungguh membuat Bhok Kian tidak

menyesal mengajak anak itu, meskipun dia tetap sok jual mahal. Lewat seperempat hari tibalah

mereka di sebuah pintu goa. Di depan pintu goa, Bhok Kian berseru:

“Samwi locianpwe, siauwte Bhok Kian mohon menghadap!”

Lama tak terdengar suara. Bhok Kian tosu sampai mengulang tiga kali, baru kemudian

muncul suara balasan yang sangat pelan:

“Kian-ji, ada maksud apa kau mengunjungi kami? Siapa yang kamu bawa?”

Bhok Kian tertegun, sikap Kun-lun sam-lojin tidak seperti biasanya. Biasanya sebelum

sampai di goa, dari kejauhan Bhok Kian sudah melihat pamannya menyambut di depan pintu

goa.

“Siuwte membawa kacung Kun-lun-pay, ah dia ini masih anak kecil. Siauwte punya urusan

yang sangat penting.”

Tiba-tiba seorang kakek sudah berdiri di depan pintu goa. Tubuh kakek ini kurus sekali,

wajahnya tirus, mukanya cekung, bicaranya serak-serak basah.

“Masuklah kalian!”

Chien Ce tidak melihat kakek itu membuka mulut, tapi ada suara parau yang tiba-tiba keluar.

Sebelum menyadari kejadian selanjutnya, sekonyong-konyong ia merasakan ada tenaga tarikan

www.rajaebookgratis.com

Page 28: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

yang sangat kuat. Chien Ce dan Bhok Kian tersedot tenaga yang keluar dari tubuh kakek itu, dan

tiba-tiba mereka sudah berada di suatu ruangan yang cukup terang. Di ruangan itu duduk dua

orang kakek yang bentuk tubuh dan penampilannya sangat aneh. Keduanya susah ditaksir berapa

umurnya. Yang pertama bertubuh pendek bulat seperti jai la hud, wajahnya selalu berseri,

tangannya membawa kipas bulat, kepalanya pelontos tanpa kumis maupun janggut, hanya cawat

yang menutupi tubuhnya inilah orang kedua dari Kun-lun sam-lojin. Yang kedua bertubuh tinggi,

berkulit putih, rambut, alis, kumis maupun janggutnya dibiarkan panjang menjuntai, matanya

selalu mengatup, pakaiannya lengkap semodel dengan pakaian Bhok Kian tosu, di tangan

kanannya ia memegang sebatang tongkat bambu yang sudah tua.

Bhok Kian kemudian berlutut di hadapan tiga kakek tua ini.

“Taecu Bhok Kian mohon maaf mengganggu ketenangan sam-wi locianpwe, terus terang saja

ada taecu ingin memohon pertolongan, karena ada hal yang sangat menganggu.”

“Hal apakah itu Liang ji, katakanlah kepada kami!” tanya sam lojin menyelidik.

Selanjutnya Bhok Kian menceritakan dari mulai datangnya undangan dari Yu-liang-pay,

sampai dengan peristiwa yang terjadi di sana. Tak lupa keracunan yang dialami juga turut

disampaikan. Ketiga pertapa tua tersebut menyimak cerita Bhok Kian dengan penuh perhatian.

Bhok Kian mengakhiri cerita dengan satu permintaan.

“Demikianlah yang terjadi, karenanya mohon kesediaan sam-wi locianpwe membantu kami

menyelidiki Yu-liang pay, rasanya ada yang nggak beres di sana!”

Beberapa saat suasana hening. Bergantian Chien Ce memandangi wajah ketiga pertapa yang

namanya menjulang tinggi lebih dari enam puluh tahun yang lalu. Ketiga-tiganya memeramkan

matanya, seperti berusaha mengingat-ingat sesuatu. Tiba-tiba keheningan itu dipecahkan oleh

suara lirih namun bening.

“Hmmm.....Yu-liang Kiamhoat baru diciptakan oleh Huang Shin ketika aku masih muda,

mungkin sekitar sembilan puluh tahun lalu. Sebenarnya tidak ada sesuatu yang istimewa dari

ilmu pedang ini, kecuali perkembangan jurus-jurusnya yang sangat banyak. Namun jika

dibandingkan dengan Kun-lun Kiamhoat yang sangat kuat dalam pertahanan dan penyerangan

serta lebih murni. Sebenarnya Yu Liang Kiamhoat masih belum bisa menandinginya. Aku agak

heran kalah ilmu pedang seperti itu bisa digabung dengan unsur magis. Hanya ada dua

kemungkinan. Pelakunya dibekingi oleh dukun atau pelakunya kesurupan.” papar toa lojin

sambil tetap memejamkan mata.

www.rajaebookgratis.com

Page 29: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

“Dukunnn.....wah kurang ajar sekali Yu-liang pay berani-beraninya sekarang berkongsi

dengan segala dukun.”

“Ilmu sihir seperti itu hanya dimiliki oleh dua kelompok, himalaya atau india,” ujar ji lojin.

Bhok Kian, maupun Chien Ce mengikuti tutur kedua lojin itu dengan mulut terbuka. Bhok

Kian yang sudah belasan tahun terjun ke dunia persilatan masih merasa asing dengan segala

macam sihir yang bisa menggerakkan orang lain. Selama ini Bhok Kian hanya pernah

berhadapan denga tukang sihir yang hanya memengaruhi pikiran seseorang. Kekuatan seperti ini

mudah dipunahkan jika pihak yang diserang memiliki sinkang yang kuat. Di lain pihak, Chien

Ce yang masih kanak-kanak tak bisa mencerna apa yang dibicarakan. Dia hanya tertarik

membayangkan tempat-tempat yang jauh yang belum pernah dikunjunginya. Sementara kedua

orang tamunya masih melamun dengan pikiran masing-masing, sam lojin berujar.

“Begini saja, Bhok Kian, aku akan menemaniku kembali kesana, biar dibuktikan sendiri apa

yang sebenarnya terjadi dan siapa dalang dibalik perubahan gaya pedang Yi Liang Pay. Sekarang

kalian kembalilah, sebulan lagi setelah kesehatanmu benar-benar pulih aku tunggu kamu di

lembah bunga mawar.

Bhok Kian dan Chien Ce membalikkan badan dan hendak meninggalkan ruang itu. Namun

belum ada tiga langkah, sekonyong-konyong Ji-lojin berseru, “Tunggu!”

Bhok Kian dan Chien Ce berhenti dan membalikkan badan.

“Bhok Kian, apakah anak yang kau bawa ini murid Kun-lun?” tanya ji lojin penuh selidik.

“Emm...dia ini, dia belum diangkat sebagai murid Kun-lun, masih seorang kacung.

Mengapakah locianpwe menanyakan hal ini?”

Ji lojin bukannya menjawab pertanyaan Bhok Kian, dia justru mendekat ke Chien Ce,

memegang pundak dan tangannya.

“Tulang bagus....tulang bagus......., toako bukankah cukup pantas kalau kita minta imbalan

atas bantuan kita ke Bhok Kian dengan meminta anak ini jadi pewaris ilmu kita, selama ini dia

selalu jual mahal kalau ditawari oleh sam-te.”

“Jite, kamu belum bertanya ke anak itu, apakah dia mau jadi murid kita?”

Chien Ce yang masih kanak-kanak cukup cerdas untuk mencerna pembicaraan mereka.

Namun dengan polos ia menjawab, “Mau..mau...tapi aku ingin belajar sambil jalan-jalan ke kota

atau ke India, aku mau beli permen, apa suhu bisa mengajak aku kesana?”

www.rajaebookgratis.com

Page 30: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

Segera ji-lojin berujar sambil melirik Bhok Kian “Nahh...anak ini ternyata berotak lebih

encer dari majikannya, bukan begitu sam-te?”

Sam-lojin yang diajak bicara ji lojin memandang tajam keponakannya. Bhok Kian yang jadi

pusat perhatian hanya tersenyum hambar. Beberapa kali dia memang pernah diminta pamannya

untuk mewarisi kepandian Kun-lun-sam-lojin. Namun Bhok Kian punya pandangan lain, ia

sudah merasa nyaman menjadi tosu di Kun-lun-pay. Dan Kun-lun-pay punya peraturan ketat

yang melarang murid Kun-lun-pay mempelajari ilmu dari sumber lain. Sebagai murid yang

bercita-cita tinggi ingin menjadi yang terbaik di Kun-lun-pay, Bhok Kian tentu saja menolak

segala tawaran dari ‘sumber lain’. untuk melepas rasa tidak enaknya maka dengan muka yang

diramah-ramahkan ia mengucapkan selamat ke Chien Ce, “Kionghi Ce-ji......engkau kini murid

tiga suhu yang paling sakti di kolong langit”.

“Siauwte mengucapkan terima kasih kepada sam-wi locianpwe, namun demikian saya harus

melapor dulu ke pimpinan di Kun Lun, supaya hubungan kita tetap baik. Sebulan lagi biar

siauwte datang kembali kesini mengantar anak ini dan menjemput sam-lojin. Nah, kami mohon

diri" Tosu itu kemudian mengandeng tangan Chien Ce untuk kembali ke Kun-lun-pay.

Sebulan kemudian Bhok Kian tosu kembali ke goa itu mengantar Chien Ce dan mengajak

sam lojin yang juga pamanya ke Yu-liang-pay. Mulai saat ini Chien Ce belajar dengan tekun

dibawah bimbingan toa-lojin dan ji-lojin. Berbagai ilmu silat tingkat tinggi dipelajarinya dengan

kesungguhan.

Kita tinggalkan dulu Chien Ce yang sedang belajar di goa di bukit sebelah utara Kun-lun-pay,

marilah kita ikuti petualangan Bhok Kian dan sam-lojin di Yu-liang-pay.

Bhok Kian dan sam-lojin melakukan perjalanan cepat ke pegunungan Fan Cing san tempat

Yu-liang-pay. Pagi-pagi ketika mereka tiba di pintu gerbang, mereka disambut penjaga dengan

wajah yang galak dan tegang. Dua orang penjaga itu begitu melihat dua orang tamu yang

berkunjung bertampang orang persilatan, langsung mencabut pedang, dan dengan kerennya

mereka membentak; “Siapa kalian dan ada urusan apa datang ke sini!”

Sam-lojin yang banyak pengalaman menggoda, langsung menjawab; “Hei kami ini tukang

sulap yang diundang untuk menghibur majikan kalian, maka tidak lekas laporkan majikan

tunggu apa lagi.”

Tiba-tiba pedang di tangan penjaga kedua tersedot oleh tenaga yang tersembunyi kemudia

bergerak sendiri hendak menusuk penjaga pertama yang bicara. Bak dipatuk ular, dalam

www.rajaebookgratis.com

Page 31: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

kekagetan penjaga pertama tadi mundur hingga tubuhnya membentur pintu. Temannya hanya

mampu menonton sambil mulutnya mangap.

Mengetahui bahwa yang datang adalah lawan yang berkepandaian. Kedua penjaga hendak

membunyikan kentongan. Tapi terlambat usaha mereka ternyata diketahui oleh dua orang tamu,

sehingga dengan mudah kentongan direbut. Namun keributan itu tidak berlangsung lama, karena

Bhok Kian sudah berteriak mengirimkan suara ke penghuni gedung utama.

Pintu utama dibuka dari dalam. Lima orang murid tingkat dua dipimpin seorang wanita

menyambut kedatangan tamu.

“Ji wi totiang siapakah? Mohon sebutkan nama dan keperluan!” bentak wanita yang dulu

pernah memamerkan ilmu pedang Yu Liang Kiamhoat itu galak.

“He he he heh..., nona katakan saja kepada pangcumu, aku Bhok Kian tosu ingin bertemu!”

“Ooooh rupanya tosu dari Kun Lun, apakah dulu gebukan kami kurang keras!” kalimat

ejekan yang dilontarkan wanita ini sungguh membuat muka Bhok Kian memerah, matanya

melotot, giginya menggeletuk.

“Bangsat sundal! Suruh keluar Liong Ping menghadapi kami, jangan hanya mengandalkan

bangsat kunyuk seperti kalian!” bentak Bhok Kian dengan suara menggelegar. Bentakan ini

ditimpali dengan ketukan tongkat sam lojin lima kali ke lantai di depannya. Luar biasa sekali

akibat dari lima kali ketukan ini karena dari masing-masing ketukan keluar hawa pukulan yang

dapat menjalar di lantai dan menyerang lima murid Yu-liang-pay. Akibatnya empat orang

langsung terlempar tiga tombak ke belakang dan jatuh terjengkang. Sedangkan wanita yang

memimpinnya hanya terhuyung empat langkah, wajahnya yang semula keras dan galak kini

memucat.

“Sekonyong-konyong terdengar suara yang menggetarkan; “A Hui, ajaklah tamu ke lian bu

thia, kami menunggu di sana.”

Demi mendengar suara ini, wanita yang bernama Lian Hui ini lantas menjawab; “Baiklah

pangcu.” Disusul dengan ajakan ke dua tamu, dengan nada suara yang lebih ramah. “Silahkan

jiwi ikuti aku.”

Bhok Kian memasuki ruangan lian bu thia. Hatinya terkejut dan kagum. Ruangan itu luas,

akan tetapi kini dikelilingi pagar hidup berupa anak murid Yu-liang-pay yang berdiri dengan

disiplin baik, tidak ada yang bicara, namun dengan sikap siap siaga dan penuh kewaspadaan

semua mata ditujukan kepada mereka. Jumlah anak murid yang berkumpul disitu dia taksir tidak

www.rajaebookgratis.com

Page 32: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

kurang dari seratus orang! Bhok Kian tidak tahu bahwa belum sebulan berselang Yu-liang-pay

juga dikunjungi lima tokoh dari Hek-in-pang, masing-masing. Mereka menuntut keadilan.

Namun untunglah pada saat kunjungan mereka, toa-pangcu Liong Ping sedang tidak ada,

sehingga mereka ditemui ji-pangcu yang lebih sabar. Ji-pangcu menjanjikan akan menyelesaikan

masalah satu tahun lagi, di puncak bukit Yuan Ling san, sebelah utara Fan Cing san. Masing-

masing akan diwakili tiga orang.

Dari dalam kemudian muncullah dua ketua Yu-liang-pay, yang langsung menyambutnya

dengan keramahan; “Ahh kiranya Bhok Kian toyu yang berkunjung, ada keperluan apakah

kunjungan jiwi ke sini, dan siapakah totiang ini?” ujar Liong Ping sambil tersenyum. Senyuman

sinis yang penuh nuansa ejekan.

“Liong Ping! Tidak perlu kita berbasa-basi. Kedatangan pinto dengan pamanku ini tidak lain

hendak menuntut pertanggung jawaban kalian.”

“Kiranya Kun Lun sam-lojin, toyu ini orang keberapakah?” potong Liong Ping.

“Aku sam-lojin,” jawab sam-lojin pendek, parau dan nyaris tak terdengar beda vokal dan

konsonan dalam kata-katanya.

Baik aku lanjutkan. Dulu kalian hendak mencelakai aku dengan racun. Apakah memang Yu-

liang-pay hendak menantang Kun-lun-pay?” Bhok Kian berkata dengan berapi-api. Wajahnya

memerah penuh hawa kemarahan.

“Ahhh begitukah kiranya? Maafkan aku Liang toyu, sungguh peristiwa ini perlu kami

selidiki, karena terus terang kejadian itu diluar sepengetahuanku, lagi pula bagi kami apakah

untungnya memusuhi kalangan kang-ouw?”

“Aku adalah Bhok Kian, bukan Ki Liang. Kalau pangcu masih memandang muka Kun-lun-

pay, panggillah murid yang dulu melukai pinto. Kami ingin bicara langsung dengannya!” pinta

Bhok Kian tosu dengan nada tegas.

Liong Ping menatap kedua tamunya dengan pandangan penuh selidik, kemudian lirih

menjawab; “Pada hari itu pula kami juga kehilangan anak murid kami Tiong San. Siapa

pelakunya sampai saat ini masih kabur bagi kami.”

Kali ini giliran Bhok Kian tosu dan sam-lojin yang terperanjat, karena waktu itu buru-buru

Bhok Kian mengundurkan diri maka kejadian selanjutnya tidak dia ketahui.

www.rajaebookgratis.com

Page 33: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

“Kalau memang demikian, maka kini tuntutan kami yang kedua, kami meminta pancu

menuliskan surat permohonan maaf secara resmi ke pihak Kun-lun-pay, yang ditulis pangcu

sendiri dan akan kami bawa sendiri ke Kun Lun.”

Sejenak Liong Ping terdiam sambil memicingkan matanya, lantas ia menjawab seolah sedang

bergumam; “Kalah menang dalam sebuah pibu adalah hal yang sudah sewajarnya, bukankah

begitu anak-anak? Entah kalau di Kun-lun ada aturan yang berbeda.”

Jawaban toa-pangcu ini kontan disambut ramai oleh anak-anak murid Yu-liang-pay, beberapa

mengeluarkan ucapan-ucapan ledekan yang menghina.

“Kalau memang Yu-liang-pay tidak berkenan meminta maaf, jangan tanggung-tanggung

pamanku juga ingin meminta pelajaran dari pangcu.”

“Ooo...begitu rupanya. Huh...di sarang naga, kura-kura meminta naga tak berbasa-basi siapa

sangka kura-kura menyampaikan hajat dengan berbelit-belit. Kenapa tidak terus terang saja dari

tadi! Sam-pangcu silakan layani lotiang ini!” Liong Ping menoleh ke Sam-pangcu dan

menyuruhnya melayani tamu bersilat.

Sam-pangcu melompat ke depan dengan gagah, dan berkata dengan lantang; “Silahkan

lotiang memulai, aku tuan rumah akan melayani berapa jurus yang kau kehendaki!”

Dihadapi hanya oleh orang ketiga membuat wajah sam-lojin sebentar merah sebentar pucat.

Meskipun sudah berpuluh tahun menenangkan diri, melatih kesabaran, sebagai manusia biasa

sam-lojin juga masih memiliki perasaan termasuk rasa amarah.

“Sam-pangcu menurut kedudukan mestinya gurumu yang menyambut aku. Dulu mendiang

Hong Bu pangcu juga tidak akan gegabah menghadapiku. Biarlah aku mulai menyerang,

barangkali saja memang ilmumu sudah melampaui kepandaian guru kalian.”

“Hiaaattttt...” sam-lojin segera melontarkan sebuah pukulan pembuka. Pada pukulan pertama

ini sengaja ia ingin menguji kekuatan sinkang lawan.

“Plaak....." pukulan sam-lojin ditangkis. Akibatnya sam-pangcu terdorong dua langkah,

sedang sam-lojin merasakan kesemutan. Keduanya terkejut. Sam-lojin tidak menyangka pukulan

yang dilancarkan tiga perempat tenaga hanya mampu mendorong lawan dua langkah. Lebih

terkejut lagi adalah sam-pangcu. Selama ini ia telah giat belajar memperdalam sinkang, kiranya

masih jauh dari kesempurnaan. Ia memang belum mengenal Kun-lun-sam-lojin, pendekar sakti

yang sudah lebih dari tiga puluh tahun mengundurkan diri. Tak pelak sam-pangcu kemudian

mencabut pedangnya.

www.rajaebookgratis.com

Page 34: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

“Sratt! Sambil menghunus pedang sam-pangcu berseru; “Marilah kita main-main sebentar

dengan senjata, lotiang!”

“Aku sudah siap pangcu!” jawab sam-lojin sambil mementang kaki membentuk kuda-kuda

yang kokoh.

"Lihat serangan!" Sam-pangcu membentak dan pedangnya menyambar, menjadi sinar

keperakan menebas ke arah leher sam-lojin. Sam-lojin ini melihat bahwa gerakan lawannya

cukup kuat dan cepat baginya. Ia merendahkan tubuh dengan menekuk kedua lutut sehingga ia

tahu bahwa pedang itu akan melewati atas kepalanya dan langsung ia membalas dengan gerakan

tongkatnya menyerampang kaki lawan. Cepat sekali gerakannya itu, hampir bersamaan dengan

serangan sam-pangcu sehingga ketua ketiga Yu-liang-pay ini terkejut dan cepat meloncat sabil

miringkan tubuh dan dia pun meniru

lawan untuk bergerak cepat, secepat kilat ia gerakkan pedangnya memutar untuk menangkis

serangan dari bawah.

"Trang!" pedang sam-pangcu sudah menangkis serangan tongkat itu. Hampir saja pedang di

tangannya lepas, kalau saja tidak dia genggam erat-erat. Namun sam-pangcu adalah orang yang

cerdik dan sudah cukup banyak pengalaman. Sungguhpun dari getaran yang melalui pedang

mereka itu jelas membuktikan bahwa tenaga sinkang orang tua ini seperti yang sudah dia ketahui

amat kuat, namun pedangnya yang terpental itu diikuti dengan tubuh, dan ia kini melompat ke

kiri.

Cepat sekali sam-pangcu kembali melancarkan serangan-serangannya. Pedang ditangannya

diputar membentuk gulungan sinar yang menyilaukan, kemudian tubuhnya berkelebat lenyap

dan yang tampak hanyalah sinar pedang tebal meluncur ke arah sam-lojin. Dengan tenang sam-

lojin kembali menangkis serangan pedang. Jurus demi jurus telah dilalui, tampaknya serangan

demi serangan pedang sam-pangcu selalu terbentur tembok pertahanan tongkat yang sangat kuat,

hingga akhirnya pada jurus ke lima belas.

“Traang....” kembali terdengar suara benturan yang sangat keras. Namun kali ini wajah sam-

lojin berubah pucat. Dari tangkisan ini ia merasakan getaran aneh, seperti suara yang menusuk-

nusuk dadanya. Ia melompat ke belakang, sambil menyapu pandangan ke bagian tembok di

belakang. Dengan perasaannya yang sudah sangat terasah, ia tahu asal-usul hawa magis yang

menyerangnya. Maka ketika dia mendapat kesempatan menyerang, digerakkanlah tongkatnya

dengan hebatnya, menyerang kepala sam-pangcu. Sam-pangcu tidak berani gegabah menyambut

www.rajaebookgratis.com

Page 35: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

serangan. Ia merendahkan tubuhnya, dan balas menyerang bagian perut sam-lojin. Gerakan ini

sepertinya sudah diduga oleh sam-lojin, karena secepat kilat kakinya menotol pedang yang

sedang menyambar. Sam-lojin menggunakan tenaga totolan kaki untuk meloncat jauh ke

belakang, menuju tembok, dan langsung menusuk tembok dengan tongkat.

“Bruaaakkkk..!” tusukan tongkat di tangan sam-lojin menyebabkan bunyi ledakan yang

keras, diikuti ambrolnya tembok meninggalkan lubang seukuran tubuh lembu muda. Semua

orang terkejut tak tahu apa yang terjadi. Mereka mengira tubuh sam-lojin terlontar sampai

menubruk tembok. Benar saja dugaan sam-lojin, dukun pembokong ada di balik tembok, terlihat

dari tanda-tanda, adanya dupa yang masih menyala. Namun sayang pelakunya sudah keburu

melesat. Sam-lojin hanya sempat melihat kelebatannya saja. Pada waktu yang sesingkat itu

bebagai pikiran berkelebat di benak sam-lojin. Secepat kilat ia sudah memutuskan untuk

mencongkel dupa, dan menyambar dengan tangannya. Kemudian dengan gerakan melompat ia

sudah kembali ke arena. Namun pada saat itu, toa-pangcu sudah memberikan komando ke

seluruh murid; “Bentuk formasi lima elemen, kepung dan tangkap mereka berdua!”

Secepat kilat murid-murid sudah membentuk barisan yang rapi dan langsung mengirimkan

serangan. Bhok Kian tosu hampir terlambat menyadari perubahan yang terjadi. Ketika ia mulai

menangkis serangan pedang yang bertubi-tubi, sekonyong-konyong tubuhnya dicongkel oleh

tongkat sam-lojin dan dilontarkan ke luar. Sam-lojin sendiri terkurung oleh serbuan pedang.

Dengan mengandalkan kekebalan ia terima tusukan-tusukan pedang. Sengaja ia mengarahkan

tenaga luncurannya ketika mencongkel Bhok Kian, ke arah murid-murid tingkat dua, sehingga

tusukan yang diterimanya tidak sampai melukai tubuh. Begitu menyentuh tanah sam-lojin

melakukan gerakan mengibas-ngibas, seperti anjing bangun dari tidur, dan akibatnya sungguh

luar biasa. Puluhan murid tingkat dua terlempar ke kanan ke kiri seperti debu yang ditepuk sapu.

Secepat kilat sam-lojin menotolkan tongkatnya dan melompat jauh.

Dengan dua kali loncatan ia sudah keluar dari kompleks gedung Yu-liang-pay dan dengan

menyambar tubuh Bhok Kian bersama-sama mereka menuruni bukit dan menghilang di atas

sungai, persis kejadian lolosnya Cu Hoa.

Hanya sepenanakan nasi mereka mendayung perahu, setelah menemukan desa mereka

menyeberang, dan melanjutkan perjalanan ke barat. Setelah senja tiba, dan langit memerah

mereka sampai di padang bunga merah. Padang bunga merah ini padang yang sangat luas, jauh

www.rajaebookgratis.com

Page 36: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

dari desa atau pemukiman penduduk. Karena sudah menjelang malam, mereka akhirnya

memutuskan untuk bermalam di dekat telaga kecil di padang itu.

Bhok Kian, kita beristirahat dan bermalam di sini!" Kata sam-lojin sambil melempar tubuh di

atas rumput hijau. Senja telah berlalu dan keadaan cuaca di padang bunga itu sudah remang-

remang. Bhok Kian tosu lalu menyalakan api dan membuat api unggun sehingga di situ selain

hangat dan tidak diganggu nyamuk, juga agak terang. Sedangkan sam-lojin duduk bersamadi.

Sepenanakan nasi kemudian Bhok Kian memanggang daging kelinci yang berhasil ditangkap,

dan sambil menikmati tak lupa menawarkan ke sam-lojin. Sam-lojin membuka mata. Ia

mengambil sedikit daging yang disodorkan Bhok Kian.

Malam itu cuaca berawan, separo rembulan tanggal tujuhan sudah dari sore muncul-

sembunyi sehingga cahayanya redup.

“Dunia persilatan dalam bahaya Liang ji. Aku melihat sekelebatan sosok yang berada di

belakang layar.”

“Siapakan dia paman?” tanya Bhok Kian penasaran.

“Di dunia ini aku hanya mengenal dua orang dukun sihir yang mahir pula bersilat. Yang

pertama adalah Pek-mau Say-ong (Raja singa berambut putih), yang kedua adalah Vicitra

Rahwananda. Yang pertama berdarah campuran, yang kedua asli India. Aku menduga salah

seorang yang kulihat sekelebatan.”

“Fitnah besar akan segera melanda kang-ouw. Tugas kamu makin berat Liang-ji.”

”Kira-kira bagaimana kita bisa menga.......” belum selesai Bhok Kian bertanya. Sam-lojin

memberi tanda supaya dia tidak bersuara. Dengan berbisik sam-lojin berkata; ”Ada yang

datang.” Dengan wajah serius sam-lojin konsentrasi mendengarkan suara yang masih jauh.

”Siapakah mereka dan berapa jumlahnya?” tanya Bhok Kian dengan wajah menegang karena

ia sendiri belum mendengar apa-apa.

”Aku mendengar lebih dari sepuluh ekor kuda. Cepat matikan api unggunnya!” jawab sam-

lojin.

Bhok Kian segera mematikan api unggun. Setelah sepeminuman teh suara itu makin jelas

terdengar. Ketika sosok-sosok mereka sudah mulai terlihat tiba-tiba saja berhenti. Tiba-tiba

terlihat nyala api, dari satu kemudian bertambah banyak sampai enam buah.

Bhok Kian melihat pemandangan yang remang-remang dengan muka tegang. Selama belasan

tahun terjun ke dunia persilatan, baru kali ini ia merasakan suatu ketegangan yang sangat

www.rajaebookgratis.com

Page 37: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

mencekam. Mendung yang menebal dan suara lolongan anjing dari kejauhan menambah nuansa

seram yang dirasakan, seakan-akan ratusan iblis hendak mengepung padang itu. Hal itu tak lain

akibat tertular sikap sam-lojin yang sangat hati-hati.

Sekonyong-konyong terdengar bunyi menjepret, dan tak sampai sedetik sebuah panah api

melesat mendekati tempat istirahat mereka. Sam-lojin menyambar tangan Bhok Kian tosu dan

mengajaknya berlari. Belum sampai sepuluh langkah, tiba-tiba terdengar bunyi kuda berlari

cepat ke arah mereka. Rupanya mereka sudah mengetahui kehadiran dua orang buruan. Merasa

usahanya bakal sia-sia Bhok Kian dan sam-lojin berhenti kemudian berbalik. Mereka terkesiap

melihat sepuluh ekor kuda sudah mengelilingi dari berbagai arah. Masing-masing dinaiki oleh

seorang bertopeng, dan memakai caping. Tanpa kata-kata kemudian mereka mulai menyerang.

Gerakan mereka sangat tangkas. Hal yang membuat Bhok Kian dan sam-lojin kaget setengah

mati adalah, tingkat kepandaian mereka yang sangat tinggi. Karena kesulitan menyerang dari

kuda, akhirnya mereka turun dan mengepung dua orang sasaran. Mulailah terjadi pertarungan

yang sangat seru dan mati-matian. Dari gerakan silat mereka, Bhok Kian dan sam-lojin dapat

menduga bahwa lawan yang mengeroyok berasal dari Yu-liang-pay. Yang luar biasa adalah

tingkat kepandaian mereka yang tidak disebelah bawah sam-pangcu. Pertarungan ini sungguh

sangat seru. Semak dan rerumputan pada jarak empat tombak sudah roboh seperti tertiup angin

topan. Bunyi dentingan dan pijaran bunga api dari jauh seolah-olah sedang ada pesta kembang

api. Lewat tiga puluh jurus terlihat pihak Bhok Kian mulai kewalahan dan terus terdesak. Namun

mereka berdua seakan bersepakat untuk terus melawan sampai titik darah penghabisan. Tongkat

di tangan sam-lojin terus berputaran dengan cepatnya, bunyi mengaung-ngaung cukup

memekakkan telinga mereka yang memiliki sinkang rendahan. Pada jurus ke empat puluh dua

orang dari pihak pengejar roboh bersimbah darah. Namun serangan yang ditujukan ke dua

sasaran justru makin meningkat. Hingga pada jurus ke seratus, sam-lojin mulai terhuyung-

huyung. Ia sangat kepayahan, karena selain berusaha melindungi diri sendiri dia juga ingin

melindungi keponakannya.

”Ha...ha...ha.. sekarang mampuslah kalian, hiaatttt!” seorang yang paling tinggi di antara

penyerang menyambitkan puluhan jarum-jarum beracun. Bhok Kian berusaha menangkis.

Beberapa mampu ditangkisnya tapi ada sebagian yang dihindari. Celakanya, karena posisi

bersatu punggung, jarum-jarum rahasia yang dihindari mengenai tubuh sam-lojin. Pada saat yang

hampir bersamaan, serangan pedang lawan juga sangat hebat. Sabetan dari samping yang

www.rajaebookgratis.com

Page 38: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

mengarah ke leher, hanya mampu ditangkisnya lemah, namun pukulan susulan yang dilancarkan

tak sanggup lagi ditangkisnya, karena ia berkonsentrasi menghadapi serangan dari depan. Kali

ini ia bertekad mengeluarkan tenaga terakhirnya.

”Desss...croott....auurrggg.......!”

Jerit parau melengking yang keluar dari mulut sam-lojin adalah jerit kematian. Pukulan dan

hujaman pedang tiga orang musuh yang mengepungnya tak sanggup dilawan semuanya. Namun

satu pukulan terakhirnya juga tak mampu dihindari lawan.

”Paman...pamaann.....!” seru Bhok Kian tosu pilu. Tubuhnya limbung. Tusukan pedang ke

arah punggungnya berkelebat cepat.

”Triingg......! sejengkal sebelum ujung pedang itu menyentuh tubuh Bhok Kian, sebuah pisau

kecil terbang menyampoknya.

”Jangan bunuh dia!” ujar orang bertubuh paling tinggi yang melontarkan pisau kecil itu.

Segera ia mendekati Bhok Kian, dan mengayunkan pedang ke pangkal lengan kiri Bhok Kian.

”Crooott....! auggghhh....! lengan kiri Bhok Kian putus. Bhok Kian bukannya tidak tahu kalau

sedang dibokong, namun karena konsentasinya terpecah ke pamannya, ia seakan tak mampu

menggerakkan seluruh tubuhnya. Darah bercucuran keluar dari luka. Lelaki yang bertubuh tinggi

bertopeng setan merah itu menotok beberapa bagian tubuhnya. Anehnya ia memerintahkan anak

buah untuk menaburi luka itu dengan obat dan membalut lukanya. Setelah luka itu terbalut,

dengan paksa laki-laki itu mencekoki Bhok Kian dengan suatu cairan. Tubuh Bhok Kian lunglai

dan pingsan tak sadarkan diri.

Setelah menuangkan isi botol kecil itu, lelaki bertubuh tinggi itu memerintahkan penguburan

sam-lojin. Dengan cekatan anak buahnya menjalankan perintah itu. Kemudian orang itu

mengajak anak buahnya pulang. Namun seseorang yang bertubuh agak pendek berkata agak

mencela; “Foi sicu, kenapa engkau tidak binasakan saja tosu keparat itu sekarang juga?

Sesungguhnya kalau dibiarkan dia bisa bocorkan rahasia kita!”

Lelaki bertubuh tinggi itu menoleh ke orang yang baru saja bicara, wajahnya yang bertopeng

melawan sorotan sinar rembulan yang baru muncul dari balik awan kelam, orang yang bertanya

dapat melihat betapa dingin tatapan matanya, hingga membuat bulu kuduk meremang. “Aku

sudah meracuninya! Begitu bangun dia akan kehilangan ingatannya. Aku sengaja membiarkan

dia hidup, agar menjadi fitnah bagi dunia persilatan. Selama ini dunia persilatan hanya mengenal

racun perampas ingatan yang dimiliki klan Tok Nan-hai pang (Perkumpulan racun dari Nan-hai).

www.rajaebookgratis.com

Page 39: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

Kebetulan aku dapat resep membuat racun itu dari perwira Sung yang menjadi murid iblis timur.

Sekaligus aku memang ingin mencoba khasiatnya. Lagian kalaupun racun itu tidak ces pleng,

takut apa sama Kun-lun-pay!”

Ucapan ini sungguh jumawa. Apalagi disampaikan oleh orang bertopeng yang jelas-jelas tak

ingin identitasnya diketahui. Namun tak seorangpun membantahnya. Maka perlahan-lahan

mereka kembali naik dan keprak kudanya. Kemudian rombongan penyerang itu dengan cepat

meninggalkan tempat pertarungan, sambil membawa mayat tiga orang saudaranya. Dan padang

bungapun kembali sunyi, hanya bunyi jangkerik dan suara serangga malam yang terdengar.

Dua bulan setelah peristiwa di padang bunga merah itu, di depan goa tempat bersemayam

Kun-lun-sam-lojin terjadi obrolan serius dua kakek penunggu goa itu di atas sebuah dahan. Tak

jauh dari tempat mereka kangkauw-kangkauw seorang anak lelaki sedang melakukan gerakan-

gerakan silat.

“Ji-te, sudah lebih dari dua bulan sam-te dan Bhok Kian pergi menyelidiki Yu-liang-pay.

Namun sampai saat ini, tak ada kabar beritanya. Apakah engkau keberatan mengunjungi Kun-

lun-pay, menanyakan kepada para tosu kabar berita mereka berdua?”

Yang ditanya sambil tersenyum menjawab; “Sama sekali tidak loheng, akupun hendak

menyampaikan hal ini kepadamu. Akupun khawatir terjadi sesuatu atas mereka. Biarlah sekarang

juga aku mencari berita mereka berdua.”

“Benar, menurut perhitunganku mereka tak kan lebih dari dua minggu berkunjung ke sana.

Dengan tingkat kelihaian sute

Tanpa berpamit, dengan sekali ayun bagaikan terbang kakek bertubuh gembul ini telah

berkelebat ke arah selatan.

Dua minggu setelah kepergiannya, ia kembali dengan wajah kusut. “Berita tak baik loheng.

Di Kun Lun tak seorangpun mendengar berita Bhok Kian. Sedang di Yu Liang mereka berdua

pernah bentrok dengan anak-anak murid Yu-liang-pay, dan kemudian melarikan diri. Di

sepanjang perjalanan, aku tidak pernah mendengar ada orang yang melihat kepulangan mereka.”

“Siancay....siancay.....kehendak Thian tak seorangpun yang tahu. Kita tidak pernah sayang

pada nyawa, tapi kalau hilang tanpa jejak juga akan membuat orang penasaran. Biarlah kita

menunggu saja kabar berita dari tosu Kun-lun-pay. Jika kelak memang ada sesuatu musibah yang

menimpa mereka, kita punya murid yang bisa mengemban tugas ini.”

www.rajaebookgratis.com

Page 40: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

Ucapan yang damai dari toa-lojin ini membuat suasana kembali tenang. Chien Ce juga sudah

tidak pernah lagi bertanya tentang keadaan mereka berdua. Dia tetap bersemangat berlatih silat

dibawah bimbingan dua pendekar tua yang namanya sangat mashur puluhan tahun silam.

Bab 4. Lukisan misterius

Sepuluh tahun tak terasa berlalu sejak peristiwa kegemparan di Yu-liang Pay. Jauh di sebelah

timur pegunungan Fan Cing san. Di kota Heng Yang. Kota yang saat itu menjadi ibu kota

propinsi Hu-Nan. Pada suatu malam yang kelam, terjadilah suatu peristiwa yang

menggemparkan. Malam ditemukannya sebuah lukisan misterius.

Malam itu, di musim dingin yang sangat menusuk tulang. Hujan es bercampur salju dari sore

turun dengan lebat disertai kilat yang menyambar-nyambar. Saat semua orang terlelap dalam

bilik masing-masing terbungkus selimut tebal. Di depan gedung tua yang cukup megah di kota

Heng Yang terdengar suara keras beradunya kapak dengan batang kayu.

“Praakk...praaak..prakk......!”

Enam orang tampak sedang mencoba untuk menebang batang pohon hek siong yang sangat

besar berukuran lebih dari dua orang dewasa.

Pada waktu itu di propinsi Hu-Nan, sedang mengalami bencana salah musim yang parah,

pada saat musim semi dan panas terjadi kekeringan yang sangat, dan diikuti kekurangan pangan.

Dan pada musim dingin terjadi badai yang luar biasa, tak heran jika dingin yang dirasakan semua

orang sangat menusuk hingga terasa ke tulang belulang. Penduduk menebangi berbagai pohon

untuk dijadikan kayu bakar. Bahkan pohon hek siong semacam pinus yang batangnya berwarna

hitam yang berada di depan sebuah gedung tua yang berarsitektur sangat indah, kuno dan unik

tak luput dari penebangan itu. Sungguh berani sekali tindakan penebang itu karena gedung tua

itu adalah gedung gudang senjata tentara gubernur Heng Yang. Pohon ini sebenarnya cukup

mahal untuk dijadikan kayu bakar. Namun di musim seperti ini, orang sudah tidak lagi

memedulikan jenis pohon. Anehnya malam itu tak seorang prajuritpun yang menjaga di luar

gedung dan keadaan di luar gedung itupun gelap gulita.

“Prakk....ting!” tiba-tiba terdengar suara nyaring beradunya dua logam.

“Hei suara apa itu....Hentikan!” seorang tua yang menjadi pemimpin penebang pohon berseru

begitu mendengar suara aneh. Dia lantas menyelidiki sumber suara.

www.rajaebookgratis.com

Page 41: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

“Ada logam seperti perak.....seruling perak......!” teriak salah seorang anak buah yang

kapaknya beradu dengan logam tadi. teman-teman yang lainnya kontan langsung merubungi.

“Ehh.. bukan seruling tapi hanya tabung saja”, teman yang lainnya menimpali.

A Cin yang memimpin penebangan pohon hek su gi di depan gedung tua itu melihat

ditemukannya tabung perak sepanjang dua jengkal. Tabung yang berukuran seperti suling itu

memang bukan suling. A Cin segera berlari menuju emperan sebuah toko yang sudah dari sore

tutup. Ketika A Cin coba putar-putar ternyata tabung terbuka. Di dalamnya terdapat selembar

kain.

“Seperti lukisan!” anak buah yang menemukan berseru. Di bawah cahaya lampion yang

remang-remang ia dapat melihat memang itu lukisan adanya. Lukisan tua yang aneh pada bagian

bawah ada lukisan pemandangan alam yang cukup indah namun bagian latarnya terdapat

coretan-coretan mirip cacing menuju lubang. Lukisan itu meskipun sudah lusuh dimakan usia,

namun masih terlihat jelas menggambarkan suasana pegunungan. Dibawahnya terdapat danau

yang bening, pepohonan yang rindang salah satunya pohon hek siong dan angsa yang saling

berkejaran. Beberapa perahu tampak sedang terapung-apaung di tengah danau tersebut. Pada

bagian bawah lukisan tertulis “siapa mendapatkan lukisan ini sungguh akan sangat beruntung”.

Celakanya A Cin dan kawan-kawannya tidak pernah makan sekolahan, jadi tidak bisa membaca

isi tulisan itu. Bagi yang berpengetahuan sekilas latar belakang itu mirip peta. Karena sempat

terpercik air, ada sedikit bagian gambar yang menjadi luntur.

“Cin ko, apa yang harus kita lakukan? apa perlu kita sampaikan lukisan ini ke Kong tauke?”

salah seorang dari mereka bertanya.

“Tidak! Ini adalah rejeki kita! Kita hanya bertugas menebang kayu dan besok kita lanjutkan

lagi memotong-motong kayu ini. Ayo kembali lagi bekerja!” tegas A Cin, sambil memasukkan

kembali lukisan ke tabung perak dan mengantonginya dengan cepat.

***

Esok harinya, di depan gedung itu juragan Kong tampak sedang berbincang serius dengan

komandan prajurit penjaga gedung. Rupanya mereka sedang tawar menawar harga kayu yang

roboh itu. Juragan Kong minta harga yang rendah, sedang komandan prajurit yang tahu kelicikan

juragan Kong minta harga tinggi, akhirnya disepakati harga tengah-tengah dengan catatan ang-

pao prajurit ditanggung si juragan. Maka dengan enteng keenam penebang itu melanjutkan

pekerjaannya. Prajurit penjaga gedung yang bertugas jaga hanya dapat bersungut-sungut ketika

www.rajaebookgratis.com

Page 42: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

mereka berkilah bahwa pohon itu sudah terlanjur roboh akibat disambar petir. Padahal prajurit

itu tahu belaka bahwa dari bekasnya pohon itu roboh ditebang. Toh sebentar lagi mereka akan

tersenyum kalau sudah kecipratan ang-pao dari Kong tauke. Si juragan kayu ini memang pandai

sekali merayu komandan tamtama agar diperkenankan mengambil kayu dari pohon-pohon yang

roboh, tak peduli dengan cara bagaimana pohon itu roboh. Ia juga tidak pelit memberi persen

bagi para prajurit jaga. Namun bagi prajurit jaga yang biasa ternaungi oleh pohon itu sudah

kebayang hari-hari kedepan di musim panas adalah hari jaga yang bakalan berat.

Tak berselang hari, kabar penemuan lukisan ini sudah tersiar luas ke seluruh penjuru kota.

Mulailah orang-orang ramai berdatangan ke rumah A Cin, untuk melihat seperti apa adanya

lukisan aneh itu. Beberapa orang bahkan menawarnya itu dengan harga yang cukup tinggi,

namun A Cin masih menolaknya. Maklumlah meskipun mereka tinggal di kota, namun pola pikir

jaman itu sangat dalam sekali oleh pengaruh mistik dan budaya. Semua melihat lukisan itu

seperti kucing kelaparan melihat mangsa.

Setelah ada tawaran yang besar, A Cin segera menjual lukisan itu ke Hung tauke. Ia

menerima tiga tail emas untuk lukisan itu. Bagi orang seperti Hung tauke yang bergelimang

harta, tiga tail emas tidak seberapa dibandingkan dengan hoki yang dipercaya datang dari lukisan

itu. Namun bagi A Cin, ia justru harus membayar mahal, opas-opas Kong taukue, juragannya,

beberapa kali menterornya. Tak tahan mendapat teror terus menerus, A Cin memutuskan untuk

menjual rumah dan pindah ke kota lain.

***

Seminggu setelah kejadian itu, kota Heng Yang ramai dikunjungi orang-orang luar daerah,

orang-orang yang perpenampilan asing dengan berbagai logat. Mereka rata-rata berpakaian gelap

dan ringkas, kadang satu dua terlihat membawa senjata seperti golok atau pedang. Meski dari

berbagai wilayah namun kedatangan yang berbarengan menunjukkan ada persamaan tujuan. Tak

lain adalah lukisan misterius.

Pada malam harinya, ketika hujan kembali tercurah dari angkasa. Di suatu gedung megah di

pinggir jalan utama kota Heng Yang. Rumah yang biasanya banyak dihiasi lampu-lampion yang

besar dan indah. Akan tetapi, pada malam hari itu, keadaan di sekeliling rumah tampak amat

menyeramkan karena ada bayangan-bayangan yang berkelebatan, begitu cepat gerakan

bayangan-bayangan itu sehingga agaknya iblis-iblis sendiri yang sedang sibuk mencari korban.

Akan tetapi kalau diperhatikan, bayangan-bayangan itu sama sekali bukanlah setan melainkan

www.rajaebookgratis.com

Page 43: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

manusia-manusia, sungguhpun manusia-manusia yang menyeramkan karena mereka yang

berjumlah lima orang itu bertubuh tinggi besar, bersikap kasar dan berwajah liar. Mereka

melompati gedung tinggi itu dengan menggunakan tangga tali.

Hujan yang masih cukup deras mengaburkan pemandangan ini. Namun, beberapa saat setelah

kelebatan manusia-manusia itu dari kejauhan orang akan mendengar teriakan-teriakan disertai

suara beradunya senjata tajam, dan jeritan histeris perempuan. Rumah itu bukan lain milik Hung

tauke. Serombongan pencuri bertopeng seram menyatroni rumahnya, menggasak harta benda,

memaksa juragan Hung menyerahkan lukisan misterius. Tak ketinggalan cucu Hung tauke yang

baru berusia dua belas tahunpun tak lepas dari sasaran penculikan. Opas-opas Hung tauke yang

hanya jagoan kandang pagi-pagi sudah terkapar di halaman rumah. Yang paling mengenaskan

nasib Hung Chi Yi, cucunya yang diculik itu, pagi harinya, setelah fajar menyingsing

diketemukan pedagang tergeletak di tepi sungai Cho. Rambutnya awut-awutan, sekujur tubuh

penuh lebam bekas pukulan, pakaiannya tak karu-karuan, perutnya dan bawahnya berlumuran

darah. Sekilas saja orang sudah menebak apa yang terjadi.

Siapakah pelaku perampokan di rumah Hung tauke? Tak ada seorang pendudukpun tahu.

Melihat kelihaiannya, jelaslah mereka bukan tergolong pencuri kampung. Berbeda dengan

penduduk, orang-orang berwajah luar daerah yang datang ke kota Heng Yang, pagi-pagi setelah

kejadian langsung bergerak mengejar pelaku. Pelaku pencurian dan pengejarnya rupanya

memang telah mempersiapkan diri dengan baik. Mereka telah menyiapkan kuda untuk

meloloskan diri.

***

Dua hari setelah kejadian itu, di sebuah kuil tua yang berdiri di tepi Sungai Pei-ho, di lembah

antara Pegunungan Lian-san, di sebelah selatan kota Siauw-koan, kota kecil di sebelah selatan

Heng Yang. Suatu tempat yang sunyi dan kuno sehingga kuil yang amat kuno dan sudah bobrok

itu cocok sekali dengan keadaan alam yang sunyi dan liar di sekelilingnya. Berbeda dengan

Heng Yang, kota Siauw-koan ini tidak mendapat serangan badai musim dingin, sehingga masih

banyak pepohonan yang rimbun menghijau. Biasanya, kuil ini kosong dan bagi yang percaya,

tempat seperti itu paling cocok menjadi tempat tinggal setan iblis dan siluman.

Namun di pagi buta itu, meski matahari belum terbit, sehingga cuaca masih gelap karena

awan mendung belum luruh semuanya menyirami bumi. Kuil ini mulai didatangi beberapa

www.rajaebookgratis.com

Page 44: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

rombongan. Rombongan yang pertama datang adalah lima orang yang rata-rata berusia di atas

tiga puluh lima tahunan.

Gerakan mereka tidak seperti orang biasa, karena selain cepat juga membayangkan kekuatan

yang jauh lebih daripada manusia-manusia biasa. Pedang dan golok yang terselip di pinggang

lima orang tinggi gagah itu menandakan bahwa mereka adalah orang-orang yang sudah biasa

mengandalkan ilmu silat dan senjata mereka. Rombongan ini dipimpin oleh orang paling muda

yang berpakaian perlente.

Memang sesungguhnyalah bahwa lima orang tinggi besar ini bukan orang-orang

sembarangan. Mereka adalah lima orang tokoh dari Yu Liang Pay, yang dipimpin oleh Siong

Chen. Kepandaian mereka amat tinggi karena mereka ini adalah murid-murid tingkat satu.

Apalagi sejak peristiwa kegemparan di Yu Liang Pay, Siong Chen selalu memperdalam ilmu

pedangnya, maka bisa dibayangkan tingkat kelihaiannya dibandingkan dengan yang dulu. Sejak

tadi lima orang ini berkelebatan di sekitar kuil tua, seperti hendak menyelidiki keadaan kuil yang

sunyi dan kelihatan kosong itu. Namun ketika hendak mencoba mendekat, Siong Chen berseru

mencegahnya, “Tahaann!”

Sebelum Siong Chen menjelaskan, orang yang diseru bertanya, “Chen-te, tidak kelirukah

kita? Apakah benar kuil ini yang dijadikan tempat sembunyi pencuri dari Nan-hay itu?! Tiba-tiba

seorang di antara mereka, yang mempunyai tahi lalat besar di dagunya, bertanya kepada Siong

Chen.

“Tidak salah lagi!” jawab Siong Chen yang kini usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun

itu sambil memandang ke arah kuil tua. “Lihat di sekeliling kuil bertebaran bubuk racun warna

putih. Akan tetapi sungguh heran, mengapa kelihatan sunyi dan kosong?! Apakah sepagi ini

mereka sudah meninggalkan kuil? Namun kita tidak menemukan jejaknya”

“Lebih baik kita serbu saja ke dalam!!” kata Si Tahi Lalat sambil mencabut goloknya.

“Tunggu! Kalau memang ingin menyerbu sebaiknya kita cari dahan-dahan pohon kita buat

batu loncatan atau jembatan. Kalain tidak tahu kehebatan racun putih tepung setan itu. Meskipun

kita bisa melompatinya tanpa jembatan atau tangga yang tinggi kita pasti kena racun itu. Uap

racun itu masih berbahaya pada jarak satu tombak di atas tanah.”

“Ahhh....!” hampir semua anak buah Siong Chen berseru terheran-heran. Mereka benar-benar

merasa kagum atas pengetahuan Siong Chen. Dan betapa merindingnya mereka melihat tebaran

tepung kasar seperti garam di sekitar kuil yang cukup lebar, hampir setombak lebarnya.

www.rajaebookgratis.com

Page 45: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

Dengan golok dan pedang dengan cepat mereka menebangi pohon.

“Chen-te, apakah benar kata desas-desus bahwa lukisan itu berisi peta rahasia penyimpanan

harta karun Lau Cin Shan. Apakah orang itu memang benar-benar ada?” salah seorang yang

berhidung mancung bertanya.

“Menurut toa-pangcu begitu. Lukisan itu berisi petunjuk warisan Lau Cin San. Hanya yang

masih belum jelas apa warisan yang disimpan dalam tempat di peta itu. Lau Cin Shan bukan

hanya tokoh dongeng, ia memang benar-benar pernah ada. Ia seorang pelukis dan pesilat besar

jaman Tang. Bahkan ia dipercaya sebagai arsitek terakhir pembangunan patung budha terbesar di

Secuan, meskipun tidak sampai selesai namun tempat kematiannya berada di bukit di seberang

patung itu, sehingga seakan-akan rohnya tetap memantau pembangunan” papar Siong Chen.

Patung budha yang dimaksud adalah patung budha berukuran tinggi sepuluh tombak berada di

selatan menghadap sungai Toa-tu dan sungai Beng. Patung ini dibangun selama sembilan puluh

tahun pada jaman dinasti Tang, pada tahun 713 – 803.

Siapakah sebenarnya Lau Cin San?

Kota Heng Yang yang terletak ribuan li di sebelah timur Fan Cing san. Dahulu, di masa

keemasan dinasti Tang, merupakan kota yang sangat terkenal sebagai pusat kebudayaan dan

kesenian. Berbagai hasil barang-barang seni tingkat tinggi seperti keramik, terakota, patung-

patung kayu dan batu, lampion, diproduksi oleh berbagai pengrajin. Pertunjukan seni dan taripun

mudah di jumpai di berbagai gedung teater, dengan minat menonton masyarakat yang sangat

tinggi. Tak heran kalau dari tempat seperti ini ratusan tahun silam pernah lahir seorang maestro

besar. Pria yang merupakan seorang sastrawan sekaligus pelukis sekaligus pesilat yang sangat

terkenal seantero Tionggoan. Di kota Heng Yang, nama Lau Cin Shan sang maestro bahkan jauh

lebih terkenal dibandingkan dengan nama gubernur atau kaisar sekalipun. Bukan hanya

kepandaiannya melukis yang mebuat namanya demikian menjulang, namun juga kepandaian

silat, sastra, ilmu perang, ilmu perbintangan bahkan ilmu nujum, dan yang lebih membuat ibu-

ibu atau anak gadis kepincut adalah ketampanan rupa dan keromantisannya. Tak terhitung berapa

puluh wanita yang pernah menjadi isterinya yang tersebar di berbagai kota sepanjang propinsi

Hu-Nan sampai Secuan, namun begitu Lau Cin Shan tetap mampu melakukan tugas-tugas

sebagai pelukis, sastrawan dan penasihat gubernur maupun raja. Satu hal yang membuat

kekecewaan dan kegusaran istri-istri Lau Cin Shan adalah karena tak seorangpun dari mereka

yang dapat mengandung. Maka satu per satu karena pupusnya harapan, banyak yang

www.rajaebookgratis.com

Page 46: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

meninggalkan Lau Cin Shan, hingga akhirnya di usia yang lima puluhan hanya tiga orang yang

masih setia mendampingi sang maestro, hingga yang maestro harus pergi berjuang sebagai

penasihat perang ke wilayah Secuan dan tak pernah kembali lagi selamanya.

Setelah dinasti Tang jatuh, propinsi Hu-Nan merupakan propinsi paling selatan dari dinasti

Sung, dan langsung berbatasan dengan wilayah yang dikuasai kerajaan Tayli. Sebagai propinsi di

daerah perbatasan maka Hu-Nan menjadi daerah yang kurang aman, sering bergolak, dan

menjadi sarang berbagai kelompok yang anti pemerintah pimpinan Tio Kuang Yi, termasuk

bambu putih.

“Bukankah pembuatnya bernama Cong taisu?” timpal lelaki bermata lebar.

“Cong taisu adalah Lau Cin Shan itu sendiri, nama aliasnya!” jelas Siong Chen.

“Apakah lukisan yang dicuri orang-orang Nan-hay peta asli?” kembali si hidung mancung

bertanya.

“Biarlah nanti toa-pangcu yang memutuskan!” jawab Siong Chen.

Setelah lebih dari sepuluh batang ditebang, mulailah mereka menancapkan tonggak-tonggak

dahan sebesar betis orang dewasa berjajar. Mereka harus menancapkan tonggal-tonggak itu di

dekat kuil. Namun ketiga mereka masih sibuk meruncingi ujung dahan yang hendak ditancapkan

dengan cara dilepar dari atas tonggal luar. Sekonyong-konyong terdengan suara ribut

berdengung-dengung dari kejauhan. Seketika mereka membalikkan badan. Dari kejauhan terlihat

daun-daun dan ranting pepohonan bergoyang-goyang. Mereka tidak tahu apa yang bergerak itu,

hanya menduga bahwa mereka adalah rombongan musuh. Aneh, mereka bisa bergerak tanpa

menjejakkan kaki di tanah. Hal itu sudah membuat hati mereka bergetar. Setelah dekat mereka

kemudian bertengger di pohon-pohon yang masih tersisa, membentuk posisi mengelilingi kuil,

jumlahnya ada belasan. Berbeda dengan kakak-kakak seperguruannya, Siong Chen yang

mengenali rombongan mereka sebagai kelompok bambu putih segera berseru,

“Ha...ha...ha..ha.....lihat suko, monyet-monyet kudisan macam mereka berani bersaing dengan

kita! Sungguh menjemukan!! Bambunya saja yang mengerikan, tapi nyalinya tak ada, coba aja

kalau berani menginjak tanah! Mana ada hak mereka mengaku-aku ahli waris Lau Cin Shan!”

Teriakan ini segera ditimpali tertawa pihak Yu-liang pay.

Golongan yang kedua datang ini terdiri dari orang-orang berumur campuran ada yang masih

muda ada yang sudah tua, ada laki-laki ada perempuan semuanya berpakaian putih dan memakai

caping dari bambu yang dicat putih. Mendengar ejekan dari Siong Chen, mata mereka sudah

www.rajaebookgratis.com

Page 47: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

melotot. Namun pemimpin rombongan yang memakai rompi cokelat berpikir cerdik, ia tidak

mau melayani olok-olok pihak Yu-liang pay, dan langsung memberi komando kepada anak

buahnya. Ternyata pimpinan rombongan klan bambu putih berpandangan tajam juga, begitu

melihat rombongan pertama hendak memasang tonggak-tonggak, ia tahu lawan hendak

menyeberangi pembatas taburan racun dengan tonggok-tonggak itu. “Pasang formasi perisai

bambu!”

“Wuusss.....wusss.....wuss.....clap....clap........clap....” nampak sinar putih meluncur secepat

kilat dari atas pohon. Rupanya orang-orang bambu putih melontarkan bambu putihnya.

“Awaass.....! Siong Chen berteriak memperingatkan kawan-kawannya. Pihak Yu-liang Pay

dibuat terkejut terkejut. Awalnya mereka menyangka musuh hendak menyerang tapi ternyata

mereka lontarkan bambu-bambu ke sekeliling kuil. Puluhan bambu yang kedua ujungnya runcing

menancap mengelilingi bangunan kuil seperti pagar. Bambu-bambu itu berwarna putih seperti

dicat. Tapi bagi yang mengenal tahu belaka bahwa bubuk putih yang dilaburkan ke bambu bukan

cat melainkan racun. Meskipun bahannya berbeda dengan racun yang ditaburkan pihak Nan-hay,

namun kelihaiannya tak kalah mengerikan.

Dengan tertancapnya puluhan bambu di sekitar kuil, maka gerakan Yu-liang untuk

melompati sungai racun jadi terhambat. Kontan aja mereka jadi kebakaran jenggot. Gantian

pimpinan bambu putih berseru, “Kawan-kawan lihat sekawanan tikus kanibal kehilangan liang,

betapa lucunya, kuperingatkan kalian agar hait-hati berhadapan dengan mereka. Dengan saudara

sendiri saja tega memangsanya apalagi orang lain!” Teriakan ini segera ditimpali tertawa pihak

bambu putih.

Tiba-tiba, “Sret...srett...sreett......” orang-orang dari Yu-liang pay sudah mencabut senjata

masing-masing. Sedangkan lima orang dari pihak bambu putih mulai turun. Suasana menjadi

penuh ketegangan. Senjata-senjata sudah ditangan. Semua mata melotot dengan waspada.

Tiba-tiba suasana sunyi itu dipecahkan oleh bunyi kentut dari orang bertahi lalat besar.

Sungguh bunyi yang sangat tak sopan. Siong Chen-pun menjadi malu. Semua menahan nafas,

bahkan beberapa menutup hidung sambil mengipas-ngipaskan tangannya. Namun sebelum ada

salah seorang yang mau mengumpat sekonyong-konyong terdengar suara derap kuda, dari

kejauhan. “Enam orang!” bisik masing-masing yang berilmu tinggi.

Mereka yang sudah tegang menjadi lebih terhanyut suasana yang makin menegangkan lagi.

Tak berselang lama muncullah rombongan ketiga, rombongan yang terdiri dari tiga orang, yang

www.rajaebookgratis.com

Page 48: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

berbaju seperti nelayan. Mereka adalah rombongan Nan-hai yang sedang mencari kuda

pengganti. Betapa kagetnya ketika melihat banyak orang sudah mengelilingi kuil. Muka tiga

orang ini berubah pucat, demi mengetahui yang datang dari Yu-liang pay dan bambu putih.

Namun, pimpinan rombongan ini masih mencoba bersikap tenang.

“Kalian siapakah dan mau apa bergerombol di depan kuil kami? Kami tidak punya uang

receh untuk gelandangan-gelandangan seperti kalian. Ayo pergi!”

“He...he...he...orang-orang Nan-hay dari dulu tidak pernah memandang sebelah mata pada

orang lain. Hmmm...hendak kulihat apakah hari ini kalian bisa lolos dari kepungan dengan

membawa peta itu,” jawab Siong Chen sambil tersenyum mengejek. Siong Chen yang cerdik

tahu, bahwa kawan-kawan rombongan yang baru datang ini masih ada di dalam kuil, kalau

dilihat dari jumlah kuda yang datang mestinya yang didalam berjumlah tiga. Dari hitung-

hitungan kalau mereka mengepung mereka pasti kemenangan berada di pihaknya. Urusan

dengan bambu putih bisa diselesaikan belakangan. Kalaupun salah satu mereka mendapatkannya,

perjalanan pulang memerlukan waktu cukup lama, dan itu berarti cukup waktu untuk

memperebutkannya. Namun jika orang-orang Nan-hay dibiarkan maka dalam waktu sehari

perjalanan kuda mereka akan sampai ke daerah kekuasaannya di laut selatan.

“Ha-ha-ha, tidak salah, tidak salah kabar orang! Kabarnya Yu-liang pay amat sombong, dan

ternyata ucapan mereka besar-besar. Aku ingin tahu apa yang akan kalian lakukan,” laki-laki

berkulit hitam pemimpin rombongan Nan-hay balik mengejek.

“Kami tunggu disinipun kawan kalian yang di dalam akan dapat pasokan makanan dari

mana?” jawab Siong Chen cerdas. Tiga orang yang baru datang ini tampak tereheran namun

tidak terkejut, sedang ketua rombongan sudah mampu menenangkan diri. Katanya,

“Ha..ha..ha...waktu sesingkat itupun cukup bagi bala bantuan kami datang dari Nan-hay, lagi

pula hanya beberapa li dari sini sudah masuk wilayah kekuasaan kami, kalian mau apa?”

“Kepung mereka!” ujar pimpinan rombongan dari bambu putih.

“Kalian bisa mengepung kami, tapi belum tentu kalian mampu mengalahkan kami, kami

masih mempunyai kawan di dalam, mereka masih mampu keluar membantu kami.”

“Mana mungkin, apakah kalian tak bisa lihat, kuil itu sudah dikepung bambu putih!” seru

salah seorang anggota bambu putih.

“Apa susahnya kami keluar lewat genting?” jawab ketua rombongan Nan-hay.

www.rajaebookgratis.com

Page 49: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

Siong Chen mengikuti perdebatan itu dengan bersungut-sungut. Posisi mereka masih belum

jelas. Meskipun jumlah orang-orang Nan-hay yang di luar hanya tiga, namun mereka paham

medan, sehingga bisa menguasai pertandingan. Karena itu maka Siong Chen berkata, “Can Seng!

Dengan jumlah anak buah paling sedikit bagaimana kamu masih bisa berlagak, ayo serahkan saja

peta itu pada kami! Saat ini, jadi posisi kalian sebenarnya sudah diujung jurang.”

“Hei..hei...Siong Chen, kamu tidak boleh sok jago, kalian anggap kami ini sebagai apa. Mana

bisa seenak perutmu sendiri kau meminta peta itu diserahkan padamu. Pihakku paling banyak

jumlahnya dan paling berhak atas peta itu!” ujar pimpinan rombongan bambu putih yang

bernama Tik Coan Kok. Ucapan ini segera ditimpali oleh anak buah rombongan bambu putih.

Tak mau kalah gertak, rombongan Yu-liang Pay juga membalas adu mulut dengan tak kalah

berbusanya. Sehingga suasana mirip pasar. Can Seng memandang dengan tersenyum. Sebagai

orang yang paling tua diantara mereka pengalamannya lebih banyak. Dan ia tahu posisinya lebih

di atas angin daripada kedua rombongan yang dihadapi. Ketika kedua belah pihak sudah hendak

saling serang, terdengar teriakan seorang wanita dari pihak bambu putih: “ Sudah cukup! Cih

kaum lelaki tak tahu malu. Peta belum di tangan sudah hendak adu nyawa. Apa hendak menjadi

anjing memperebutkan tulang!”

Siong Chen maupun Coan Kok tersadar, dan tanpa dikomando keduanya memandang Can

Seng dengan mata melotot. “Kita bereskan dulu ikan-ikan kerapu amis ini! Baru nanti kalau peta

sudah ada kita selesaikan sengketa kita,” seru Siong Chen.

Can Seng yang tahu gelagat menjulurkan tangan ke depan dengan telapak terbuka, “Tunggu!

Biarlah kami yang mengajukan usul!”

“Apa usulmu?” sergah Coan Kok.

Pimpinan rombongan diam sejenak, ia memandangi dua orang kawannya, namun semuanya

geleng-geleng kepala. Setelah beberapa saat dilanda kebingunan, si pimpinan rombongan itu

berkata, “Begini saja, kami mengajukan dua jago, kalian masing-masing satu jago. Kalau salah

satu jagon kami kalah, maka pihak pemenang bertarung untuk menyelesaikan pertandingan. Jika

kedua jago kami kalah, jago kalian berdua harus untuk menentukan pemenang untuk

menghadapi aku. Kalau aku sudah terkalahkan, aku akan berikan obat pemunah racun tepung

setan. Kalau jago kalian kalah dalam satu babak, maka kalian harus enyah dari sini!”

“Mana bisa seperti itu, itu tak adil, kalian mengajukan dua jago, kami harus dua kali

mengalahkan kalian, tapi kalian minta sekali kalah kami haruh enyah, enak di kalian, tak enak di

www.rajaebookgratis.com

Page 50: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

kami, sungguh itu sama dengan bo-ceng-li, emangnya kami orang-orang bodoh. Kalian dua,

kami masing-masing juga dua, itu baru adil.”

“Hmmm..baiklah, siapakah masing-masing wakil kalian?”

Dua orang dari bambu putih maju, salah satunya adalah pimpinan. Demikian pula dari Yu-

liang-pay yang muncul juga dua, salah satunya Siong Chen.

Dua orang dari Nan-hay pun maju kedepan. Rupanya mereka telah saling kenal satu dengan

yang lain.

“Siong Chen, mari hadapi aku, sudah lama aku dengar kelihaian pedangmu!” kata lawan

Siong Chen yang bernama Ma Ciu.

“Ma Ciu, dulu guru besar kalian memang pernah menakhlukkan ilmu pedang kami, tapi

setelah ilmu pedang itu kami sempurnakan, kau bukan lagi lawanku.”

“Gan Hung, hadapi orang she Ma ini!” perintah Siong Chen.

Akhirnya Ma Ciu berhadapan dengan Gan Hung, sedang saudaranya yang bernama Ma Kun

bertanding dengan orang kedua dari bambu putih. Setelah saling berhadap-hadapan maka

dimulailah pertandingan. Pertarungan itu cukup seru, karena kedua pasangan yang cukup

seimbang ilmunya. Gerakan-gerakan mereka cukup tangkas dan kuat. Serangan pedang dan

golok bergantian meluncur dari kedua belah pihak. Namun setelah bertanding empat puluh jurus,

tampak pihak Nan-hay mulai terdesak dan hampir berbarengan keduanya roboh tersungkur.

Untung luka mereka tidak terlalu parah. Melihat kedua jagoannya roboh, wajah pimpinan Nan-

hay terlihat gelisah. Namun dengan sigap ia segera memberi pertolongan dan mendekatkan

mereka dengan kuda yang ditambat dibelakang. Mereka berdua kemudian melakukan siulian

untuk memulihkan luka. Tak seorangpun dari pihak lawan yang mengganggunya. Siong Chen

mulai tak sabar melihat musuh yang bekerja klemar-klemer segera berseru “Ha..ha..ha Can Seng!

Jagoanmu ternyata tak lebih tukang pukul kampung nelayan, nah sekarang kau boleh pilih:

menyerahkan peta kemudian bunuh diri atau menyerah kupenggal!”

Sungguh hebat sekali hinaan yang dilontarkan Siong Chen. Mata lelaki tinggi besar bermuka

brewok yang dipanggil Can Seng itu sudah menyala, tanda kemarahannya sudah melonjak.

“Hmmm...apakah kalian hendak mengeroyokku? Silahkan-silahkan, majulah!” seru lelaki itu.

Can Seng meskipun bertampang kasar namun cukup cerdik. Dalam kondisi terdesak seperti itu ia

masih mampu berpikir jernih. Tantangannya membuat kedua lawannya tidak segera menyerang,

mereka berdua sejenak hanya saling tatap. Sebagai pimpinan rombongan tentu saja malu untuk

www.rajaebookgratis.com

Page 51: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

mengeroyok, namun untuk menentukan siapa yang harus menghadapi lawan merekapun tidak

ada yang mau berinisiatif, karena mereka tahu siapa yang maju duluan tenaganya akan terkuras.

Karena pimpinan bambu putih hanya menatap saja, mau tak mau Siong Chen merasa pihaknya

yang harus maju, karena rombongannya hanya sedikit, posisi tawarnya lemah. Maka sambil

melontarkan ejekan ia maju ke depan dan berkata:

“Ha..ha..ha...kalau bambu putih tak berani melawanmu hayoh kau lawanlah aku Can Seng!”

“Baguslah kalau memang kamu maju sendiri, hayo lawanlah aku dengan tangan kosong kalau

kau berani!” jawab Can Seng sambil tersenyum mengejek. Sungguh cerdik sekali tantangan Can

Seng ini. Ia tahu pihak Yu-liang Pay sangat hebat ilmu pedangnya, sedang dia lebih hebat ilmu

tangan kosongnya karena kelompok Nan-hay sangat terkenal dengan jurus-jurus tangan

beracunnya. Ini membuat posisi Siong Chen di bawah angin. Tapi Can Seng keliru menilai Siong

Chen, kalau dia takut. Sejak kejadian di Yu-liang Pay, Siong Chen sudah mendapat kemajuan

yang hebat. Ilmunya sudah tidak kalah dengan paman-paman gurunya.

“Ayo majulah!” seru Can Seng. Sebagai murid ketiga Tok Ciang Sin Kwi, dedengkot setan

tangan beracun dari Nan-hay, Can Seng hampir mewarisi seluruh ilmu gurunya, sehingga

kehebatannya tidak usah diragukan. Maka mulailah keduanya memasang kuda-kuda dan mulai

saling serang. Berbeda dengan pertandingan sebelumnya. Kini pertarungan kedua belah pihak

jauh lebih seru. Berbagai pukulan yang dilontarkan Can Seng sangat kuat, tangannya yang

berubah keputihan penuh dengan hawa racun. Seujung kukupun jika terkena akan mengalami

gatal yang hebat dan bisa segera menjalar ke seluruh tubuh, hingga seluruh kulit seperti terkena

bulu-bulu ulat. Jika sehari saja tidak dapat pertolongan maka yang kulit yang bersangkutan akan

terkelupas semua bahkan daging di bawah kulit akan segera membusuk. Sungguh racun yang

sangat jahat.

Siong Chen menghadapi pukulan itu dengan pukulan yang tak kalah hebatnya. Dengan

menggunakan ilmu Fan cing san ang in ciang hoat, tangannya seakan-akan diselimuti halimun

merah yang mampu meredam serangan racun dari pukulan-pukulan Can Seng. Setelah tiga puluh

jurus berlalu, tampak posisi Can Seng mulai terdesak. Meskipun ia menang pengalaman dan

banyak memiliki gerak tipu, namun yang dihadapi adalah pendekar Yu-liang Pay yang sudah

matang, bukan anak hijau lagi. Maka mulailah satu dua pukulan Siong Chen mengenai tubuhnya.

Ketika saat-saat kekalahan Can Seng sudah didepan mata sekonyong-konyong terdengar suara

ledakan keras di angkasa, ledakan seperti kembang api berwarna merah itu seakan genderang

www.rajaebookgratis.com

Page 52: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

bagi Can Seng dan kawan-kawannya, karena dengan secepat kilat mereka memanfaatkan

keterkejutan lawan untuk angkat kaki secepatnya. Kedua rombongan lawan menjadi

kebingungan. Bagaimana dua lawan mereka yang tadi masih bersiulian tiba-tiba saja sudah

meloncat ke atas kuda dan segera membedal kuda mereka. Di tengah situasi yang

membingungkan Coan Kok berteriak, “Hentikan mereka! Formasi biting salju!”

Anak buah bambu putih yang sebagian masih bergelantungan segera mengejar lawan. Sambil

melompati pepohonan mereka melontarkan biting-biting berwarna putih. Hebat sekali akibatnya,

karena dalam jarak yang sudah cukup jauh masih ada satu biting yang mengenai punggung

lawan. Celaka sekali Ma Kiu yang terkena biting itu, karena biting yang kelihatan terbuat dari

bambu itu ujungnya terbuat dari besi yang direndam larutan racun yang sangat hebat. Begitu

terjungkal ia langsung diserbu oleh rombongan yang mengejar mereka. Coan Kok sendiri

bersama dua orang anak buahnya termasuk seorang wanita mengejar tiga ekor kuda yang

berlarian tak karuan ditinggal oleh si empunya, rombongan dari Nan-hay. Begitu kuda tertangkap

segeralah mereka membedal kuda, sambil berseru pada anak buahnya, “Gu Tian pimpin lima

orang tetap jaga di sini, yang lain ikuti jejak kami!”

Melihat gelagat keanehan, Siong Chen melarang anak buahnya mengejar Can Seng, Ia

berlaku cerdik, diperintahkannya rombongan dari Yu-liang Pay mengejar arah kembang api.

Baru saja dua puluh tombak mereka berlari, dari pinggir lereng mereka melihat gundukan tanah

bekas galian. “Gan Hung periksa bekas galian itu kami akan terus mengejar!”

Gan Hung yang memeriksa gundukan tanah itu terperanjat. Gundukan tanah itu ternyata

berasal dari sebuah lorong bawah tanah yang berasal dari kuil. “Celaka orang-orang Nan-hay

ternyata menggunakan kesempatan membuat lorong bawah tanah dan keluar dari lorong itu,”

pikir Gan Hung.

Kejar mengejar tak terhindarkan lagi. Rombongan berkuda dikejar oleh tiga orang dari

bambu putih yang juga berkuda, sedang rombongan yang tak berkuda juga dikejar yang tak

berkuda. Kedua rombongan ini terpisah. Celaka bagi rombongan Nan-hay yang tak berkuda,

karena tergesa-gesa tak mereka tak memikirkan arah, akibatnya justru mereka berbalik arah ke

Heng Yang. Lewat sepeminuman teh kedua rombongan ini sampai di sebuah padang rumput

yang sudah terkepung prajurit. Begitu mereka hendak berbalik, tiba-tiba saja barisan prajurit

yang lain juga sudah mengepung di belakang mereka.

www.rajaebookgratis.com

Page 53: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

"Tihu-tayjin tiba, siapapun dilarang bergerak!” seorang komandan prajurit berteriak. Maka

dari barisan prajurit keluarlah seorang lelaki dengan pakaian kebesaran. Lelaki itu bukan lain

adalah gubernur Heng Yang itu sendiri, disampingnya berdiri Hung tauke dengan muka

memerah penuh kesumat.

“Kalian telah berbuat keonaran di Heng Yang. Untuk itu serahkan kembali lukisan itu kepada

kami dan menyerahlah!” ucap gubernur tegas.

Laki-laki pemimpin rombongan Nan-hay mencoba bersikap tenang, tapi keringat sebesar biji

jagung sudah deras keluar dari dahinya. Sementara Siong Chen yang melihat gelagat tidak baik

segera berkata, “Tahan dulu, tayjin ijinkan hamba menyampaikan pendapat terlebih dahulu!”

“Siapakah kamu anak muda? Bajumu berbeda dengan mereka, apakah rombonganmu bukan

bagian dari mereka? Jangan kawatir, jika terbukti tak bersalah kalian akan dibebaskan!”

“Hmm..bukan begitu gubernur, tapi ini adalah urusan kaum persilatan, kami tidak melakukan

tindakan makar, mengapa harus menghadapi prajurit? Urusan kaum kang ouw biarlah

diselesaikan dengan cari kami.”

“Hmmm....urusan kang ouw? Sejak kapan kalian menganggap Hung tauke sebagai pesilat?”

jawab gubernur sinis.

“Tapi bukankah lukisan ini miliki Lau Cin Shan? Sedangkan dia adalah guru besar kaum

persilatan.”

“Kalau kaum kang ouw dibiarkan seenaknya bertindak pada orang awam maka rusaklah

tatanan masyarakat, untuk apa gubernur punya tentara kalau tak sanggup melindungi rakyatnya!”

Melihat suatu gelagat tak baik, dari tadi orang-orang Nan-hay saling berdekatan dan berbisik-

bisik tanpa menolehkan mukanya. Sekejab mata kemudian pimpinan rombongan Nan-hay

melempar tabung perak ke arah prajurit bagian belakang, sambil berteriak menggunakan

kiekhangnya, “Nih kuserahkan lukisan yang tak ada harganya!”

Mendapatkan lontaran seperti itu para prajurit jadi gelagapan. Sebagian berusaha menangkap

peta yang terlontar cukup jauh ke belakang. Sedikit lowongan itu dimanfaatkan sebaik-baiknya

oleh orang-orang Nan-hay. Secepat kilat mereka menerobos lowongan. Adapun rombongan

Siong Chen juga ikut mengejar ke arah lontaran tabung perak. Suasana kemudian menjadi kacau.

Orang-oang Nan-hay berusaha melarikan diri. Sementara banyak prajurit yang berebut tabung

berisi lukisan dengan rombongan dari Yu-liang Pay, Hung tauke hanya bisa berteriak-teriak

supaya prajurit ada yang mengejar rombongan Nan-hay.

www.rajaebookgratis.com

Page 54: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

Sekuat apapun Siong Chen berusaha merebut tabung perak, tiga prajurit telah terjungkal

bermandikan darah. Namun serangan dari prajurit berturut-turut tak mampu dilawan. Akhirnya

setelah dua anggotanya roboh bermandikan darah iapun melompat melarikan diri beserta satu

saudaranya yang masih hidup. Akhirnya lukisan itu jatuh ke tangan gubernur Heng Yang. Lama

sekali gubernur Heng Yang mempelajari gambar di lukisan itu namun tak ada petunjuk yang bisa

menjelaskan letak penininggalan Lau Cin Shan.

Bab 5. Tiong Gi mendapatkan lukisan kedua

Kita tinggalkan dulu kota Heng Yang yang perlahan-lahan kembali pulih dari badai, marilah

kita tengok keadaan tempat lain di perbukitan yang berada di tepi barat sungai Wu. Di akhir

dingin yang sangat berat di Tiongoan ini, dua bulan sejak peristiwa di Heng Yang, di pinggiran

suatu hutan yang sangat lebat, suatu tempat yang sangat sunyi di perbukitan yang agak berkabut

ada peristiwa yang menarik untuk diikuti. Angin berhembus cukup kencang menggoyang

rumpun bambu di tepian sungai. Suasana pagi yang dingin seperti ini biasanya orang lebih suka

bergerombol mengelilingi tungku api atau meringkuk di atas ranjang. Jangankan manusia,

sedangkan hewan saja masih bermalas-malasan untuk mencari makan di pagi sedingin itu.

Namun, sungguh aneh dari dalam hutan yang lebat itu terdengar suara pedang berdenting

nyaring diselingi teriakan seorang bocah dan bentakan wanita. Suara beradunya pedang dan

teriakan kedua belah pihak menandai adanya pertarungan di situ. Di balik rimbun pepohonan,

tepat di atas tanah lapang seluas satu petak yang hanya ditumbuhi rerumputan pendek tampak

dua tubuh manusia berkelebat saling serang. Pertarungan itu tampaknya seimbang, karena yang

satu adalah seorang anak laki-laki berusia sebelas tahunan, sedangkan lawannya adalah wanita

setengah baya. Si anak laki-laki memainkan jurus-jurus serangan dengan sangat agresif dengan

pedangnya, sedangkan wanita berusaha menangkis dan balik menyerang saat terlihat ada gerakan

yang lowong. Sudah lebih dari seperempat hari mereka bertarung belum terlihat tanda-tanda

pihak yang kalah atau yang menang. Lewat beberapa waktu setelah matahari mulai meninggi,

barulah terdengar suara dentingan makin melemah dan diakhiri dengan suara.

“Ciattt......hup...hiaaahhh......trang...trang!”

“Aahh...aduhhh.....! Bibi, seranganmu sungguh sulit kutangkis, engkau belum pernah

mengajarkan jurus ini,” teriak bocah laki-laki sambil meringis memegangi pahanya yang terluka.

Di depannya seorang wanita setengah baya berbaju hitam, melihatnya dengan pandangan bengis.

www.rajaebookgratis.com

Page 55: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

Meski sudah siang, cahaya matahari buram terhalang tirai kabut yang berarak dihembus angin,

menimpa wajah wanita yang berumuran empat puluh tahunan. Kalau diperhatikan lebih dekat di

wajah itu masih tampak bekas garis kecantikan meskipun sudah mulai keriput. Namun sayang

mata sebelah kanan tertutup kain hitam.

Bagi orang yang mengikuti peristiwa kegemparan di Yu-liang, maka bisa menebak wanita itu

adalah murid yang bersekongkol dengan Siong Chen, membunuh Tiong San, dan bocah yang

dilatihnya adalah yang putera Tiong San yang diculiknya. Namun wajah wanita paruh baya yang

mestinya masih menyimpan daya tarik itu sungguh tambah mengerikan dengan adanya satu garis

panjang di pipi kiri sampai ke bibir atas bekas goresan pedang makin menambah kesan angker

sehingga tampak seperti layaknya wajah bajak laut. Sambil beristirahat tangan kanan wanita itu

merogoh obat luka dan melemparkannya ke depan si bocah dan berujar.

“Gi-ji, gerakanmu sudah cukup bagus, namun masih lambat, kau harus belajar giat kalau

ingin menjadi orang yang berguna.”

“Bibi...sebenarnya untuk apa kita bercapai-capai berlatih silat ini. Aku selalu kesulitan

mengatur nafasku!” jawab bocah itu penasaran. Bagaimana tidak penasaran sudah lima tahun ia

diculik oleh wanita yang mengaku sebagai bibinya dan dibawa ke tempat-tempat sepi untuk

menerima hajaran yang dikatakan sebagai latihan silat. Anak itu sebenarnya lebih suka kembali

lagi ke kampung halamannya.

“Bibi Ciu...aku ingin pulang aja, antarkan aku pulang bibi! Seru si bocah merengek.

“Anak bodoh! Sudah berapa kali kukatakan petani itu bukan orang tua kamu. Akulah satu-

satunya keluargamu yang masih hidup. Karena itu kamu harus patuh pada bibimu, tahu!

“Bibi...sebenarnya siapakah ayah ibuku?

Wanita itu terdiam sejenak hanya berusaha memaksa menyunggingkan senyuman. Namun

lekuk senyum yang terbentuk dari bibirnya lebih mirip senyuman sinis yang mengejek meski di

dasar hati perempuan ini sebenarnya keadaanya telah terkoyak. Belakangan ini, setiap ada

kesempatan, Tiong Gi, si bocah, selalu menanyakan soal yang itu-itu juga. Masalah yang Cu Hoa

Nionio enggan membicarakannya. Sebelumnya ia selalu menyatakan bahwa ayahnya adalah

kakak kandungnya. Namun belum pernah ia menceritakan dimana dan siapa orang tua Tiong Gi.

Peristiwa yang menyebabkan dia harus kehilangan mata kanannya itu tak pernah seharipun rehat

dari pikirannya.

www.rajaebookgratis.com

Page 56: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

Gi-ji, sudah kukatakan berkali-kali padamu, kamu harus pandai bermain silat dulu, baru aku

akan ceritakan tentang orang tuamu. Ilmu silat yang kamu pelajari masih cetek. Kena segebrakan

dengan pendekar kelas tigapun pasti kau sudah terkapar, ujar Cu Hoa sambil meraba pipi kirinya.

Matanya memerah, nafasnya memburu demi mengingat kejadian peristiwa delapan tahun yang

lalu.

“Bibi, kalau kau gak mau menceritakannya, aku tidak mau belajar silat lagi,” bantah Tiong Gi

sambil membanting pedangnya. Anak itu kemudian tertatih-tatih lari turun bukit sambil menyeka

pipinya. Meskipun tidak mengeluarkan suara tapi Cu Hoa yang mengaku ke Tiong Gi bernama

Ciu Hong tahu kalau Tiong Gi menangis. Pukulannya ke paha tadi memang cukup keras palagi

disertai pengerahan dua pertiga bagian sinkangnya. Akhir-akhir ini tiap kali berlatih selalu ia

mengakhirinya dengan melukai badan Tiong Gi, karena sudah tidak mampu lagi

mengalahkannya dengan membuat pedang Tiong Gi atau menotoknya. “Anak itu sudah mulai

hafal caraku menotoknya atau menyampok tangannya agar pedangnya terlepas. Sudah sebulan

Tiong Gi mengalami kemajuan gerakan silat yang pesat, meskipun kemampuan menghimpun

hawa murninya payah. Peristiwa terceburnya mereka ke air terjun dulu sepertinya menyebabkan

sumbatan ke beberapa pembuluh darah Tiong Gi.

Karena masih kanak-kanak sifatnya tak mau kalah. Kalau sudah terdesak Tiong Gi sering

tidak mengindahkan teknik jurus yang diajarkan dan menyerang membabi-buta sehingga

mengenai tubuh Cu Hong. Sebagai guru yang membutuhkan penghargaan dari muridnya, Cu

Hong juga ingin dihormati oleh Tiong Gi. Namun harapan itu makin lama makin memupus

seiring makin besarnya Tiong Gi. Sungguh lima tahun bersama Tiong Gi, merupakan waktu

yang sangat berat. Sudah saatnya Tiong Gi belajar pada guru yang lain. Tapi demi mengingat

anak itu masih polos dan sebentar lagi akan menjadi anak dewasa, ngilar Cu Hoa dibuatnya.

Perempuan seperti Cu Hoa yang menghamba pada nafsu, takkan sanggup untuk bertobat meski

wajahnya sudah lebih mirip hantu dibandingkan manusia. “Wajahnya cukup tampan meski agak

berbeda dengan wajah orang kebanyakan dan daya tahan tubuhnya juga sangat kuat”, batin Cu

Hoa sambil terkekeh.

Perlahan-lahan Cu Hoa memasuki gua dan merebahkan diri di tumpukan jerami yang dipakai

untuk alas tidur. Dengan tingkat sinkang yang dimiliki cuaca dingin di luar tidak lagi terasa,

namun suara gemerisik daun-daun bambu di kejauhan sungguh seperti irama yang menyayat-

nyayat hatinya.

www.rajaebookgratis.com

Page 57: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

Dua tahun semenjak melarikan diri dari Fan Cing san, bersama suhu, susiok dan dua orang

suhengnya, Cu Hoa mempelajari catatan ilmu pedang Yu-liang Kiamhoat yang dipelajari dari

Siong Chen. Dari gerakan-gerakan yang diperagakan Cu Hoa, guru mereka kemudian mencoba

mempalajari kelemahan-kelemahan ilmu pedang itu. Setelah dua tahun berlatih mereka

menantang pihak Yu-liang Pay. Pada pertemuan itu Pihak awan hitam yang diwakili susiok dan

dua suheng Cu Hoa, sedangkan dari Yu-liang Pay diwakili Ji Pangcu, Siong Chen dan Pat Sun.

Dalam bentrokan sebelumnya meski pihak awan hitam kalah dan kehilangan seorang murid

namun ketiga musuh yang waktu itu diwakili oleh Sam Pangcu, Siong Chen dan Tiong San juga

terluka. Namun siapa sangka meski sudah mempelajari ilmu pedang Yu-liang Kiamsut, tetap saja

pihak awan hitam kalah, bahkan harus kehilangan susiok mereka. Hek in Loco guru Cu Hoa

sampai dibuat gusar, dan menyalahkan kekalahan mereka pada Cu Hoa

“Dasar perempuan sundal berotak kerbau, empat tahun bercokol di sana masih tidak bisa

menyerap ilmu pedang yang benar, apa saja yang telah kau lakukan!” Semprot gurunya.

“Suhu ampunkan taecu, taecu sudah berusaha dan berkorban banyak hal, namun tak kukira

bahwa ilmu pedang yang diajarkan Siong Ceng hanya sebagiannya ilmu pedang mereka”

“Dasar tolol” bentak Hek Shin Loco sambil menendang perut Cu Hoa.Tidak berhenti sampai

di sini, tanpa memberi aba-aba ketika Cu Hoa kembali bangkit secepat kilat Hek in Loco

mencabut pedangnya dan menyayat pipi Cu Hoa.

“Ini ampunan yang setimpal untuk murid bodoh yang tak berguna!”

Hembusan angin yang datang tiba-tiba menyapu mukanya, sekan-akan pisau yang mengoyak

pipi Cu Hong. Masih melekat rasa sakit yang dialaminya waktu itu. Namun sakit di pipi masih

belum seberapa di bandingkan sakit hatinya terhadap gurunya, dan terlebih lagi Siong Chen yang

telah menggombalinya.

Dengan membawa luka hati yang berdarah-darah Cu Hoa minggat dari puncak awan hitam,

satu-satunya harapannya adalah mendidik Tiong Gi, untuk diajak bersama-sama membalaskan

dendamnya dan hidup berdua selamanya. Namun dengan tingkat kepandaian seperti ini

bagaimana mungkin mereka akan mampu membalaskan sakit hati itu? Harapan Cu Hoa agar

suatu ketika Tiong Gi dapat diambil oleh seorang locianpwe yang maha sakti dan kelak

membantunya melunasi hutang-hutang Siong Chen, semakin hari semakin memudar. Ia

menyadari bahwa harapan itu sangatlah tipis. Siapakah locianpwe yang ilmunya lebih tinggi dari

Yu-liang Pangcu? Suhunya sendiri mungkin tidak ada setengah kepandaian ketua pertama Yu-

www.rajaebookgratis.com

Page 58: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

liang Pay itu. Ketua Siauw Lim saja belum tentu lebih tinggi tingkatannya dibandingkan Kwan

Liong Ping.

Kenapa Liong ping demikian sakti dari mana ilmunya? Jangankan Cu Hoa, sedangkan murid

Yu-liang Pay saja tidak banyak yang tahu kalau ketua terakhir sebelum Liong Ping telah

memperbaiki ilmu pedangnya dengan mencampurkan unsur magis. Ketua yang bernama Hong

Bu, menyempurnakan ilmu pedang itu dibantu sahabatnya seorang dukun yang berasal dari

India, Vicitra Rahwananda, sehingga ilmu pedang Yu-liang kiamhoat yang baru, memiliki

gerakan-gerakan tertentu yang bisa didukung oleh hawa magis yang luar biasa. Unsur magis

inilah yang tidak diajarkan oleh Siong Chen, sehingga meskipun ilmu pedangnya sudah cukup

bagus tapi tetap belum mencapai kesempurnaan ilmu pedang.

Sekonyong-konyong sinar matahari menerobos ke pintu gua, memendarkan sinar yang lebih

terang dibandingkan sebelumnya. Cahaya yang bagaikan kilat membawa ingatan Cu Hong pada

seorang tokoh raja siluman penukar rupa Hoan Bin Kwi Ong Tian Ce Ting, yang merupakan

sahabat gurunya. Dulu ia masih ingat, siluman yang berwajah mirip kera itu sering menggodanya

ketika ia masih gadis, dan ia pernah melayani siliman itu dengan baik. “Hmmm sekarang saatnya

aku menagih bayarannya”.

Seketika bangkit kembali semangat Cu Hoa. Namun ketika bangkit baru terasa perutnya dari

tadi berkukuruyuk. “Ahh bocah itu pasti lebih lapar lagi. Aku harus mendekatinya kembali.”

Cu Hoa tahu tempat biasanya Tiong Gi menyendiri. Perlahan-lahan Cu Hoa mendekati sungai

kecil di bawah bukit. Dari kejauhan terlihat tubuh seorang bocah yang sudah mulai gede.

“Gi-ji aku mau pergi ke pasar, sudah lima hari ini kita hanya makan dari sayuran di kebun

kita. Hati-hati jaga diri!” ujar Cu Hoa begitu dekat dengan Tiong Gi. Yang dimaksud dengan

kebun tidaklah seperti kebun yang sering kita lihat, karena Tiong Gi menanam sayuran di antara

semak-semak yang ada di bagian lembah di dekat sungai secara sembarangan, sehingga seolah-

olah sayuran yang di tamannya bagian dari semak-semak tersebut. Tiong Gi biasa menaman

lobak dan kubis.

“Iya!” balas Tiong Gi dingin.

Di tempatnya berdiam, desir angin tidaklah sekencang di goa. Gerakan pohon-pohon bambu

selalu mampu mengusir kegusaran bocah itu. Akhir-akhir ini ia merasakan adanya kejanggalan-

kejanggalan hidup dengan Ciu Hong, orang yang mengaku sebagai bibinya. Masih segar

diingatannya ia hidup damai dengan ayah dan ibu yang menyayanginya, hidup sebagai petani

www.rajaebookgratis.com

Page 59: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

dan nelayan. Ia ingat diajak ayahnya mencari ikan, atau mencari katak di sawah buat dimasak

swike. Kini keadaan yang dialami sungguh sangat jauh berbeda, bagaikan langit dan bumi. Ia

sering dimarahi, dilukai, bahkan kadang-kadang pada malam hari bibinya sering berbuat aneh.

Ciu Hong sering meraba-raba tubuhnya, bahkan menciuminya. Sebelumnya Tiong Gi tidak

merasakan suatu keanehan, namun sudah sebulanan ia merasakan bahwa itu hal yang aneh.

Bibinya menciuminya dengan nafas memburu dan mulut yang mendesah. Kadang kala bibinya

minta ia meraba-raba selangkangannya. Sungguh kasihan nasib Tiong Gi, sejak kecil sudah

menjadi budak pelecehan seksual bibi palsunya.

Beberapa waktu berselang, dari tempat menyendiri Tiong Gi mendengar suara dentingan

pedang dan teriakan beberapa orang seperti sedang terjadi perkelahian. Tiong Gi perlahan-lahan

mendekat hendak melihat apa gerangan yang terjadi. Tiong Gi menyelinap di balik gerumbulan

semak-semak. Dari balik semak-semak itu, ia dapat mendengar apa yang dipertengkarkan oleh

dua kelompok itu.

“Cun Kak tosu, sebaiknya kau serahkan lukisan itu pada kami!”

“He..he...heh....mana ada aturan itu, kami yang merebutnya dari bukit menjangan salju.

Kalian orang-orang racun timur mau enaknya saja minta lukisan ini, huh enyahlah!”

Rupanya mereka senang memperebutkan sebuah gulungan kertas. Ada sekitar sepuluh orang,

enam lawan empat. Pihak yang membawa gulungan kertas berjumlah empat berpakaian tosu,

dikeroyok oleh enam orang dari Tok Nan-hay pang. Setelah kegagalan mendapatkan lukisan

yang dirampas oleh pasukan gubernur, Tok Nan-hay pang yang sudah memiliki salinan lukisan

itu berusaha mencari peninggalan Lau Cin San, tapi betapa terkejutnya mereka, karena ternyata

salinan lukisan itu sudah beredar luas di kalangan kang ouw, sehingga mereka mendapat banyak

pesaiang. Bahkan, suatu ketika mereka mendengar kabar, ada lukisan yang sama anehnya

ditemukan orang di bukit menjangan salju, maka bergegaslah mereka menuju ke bukit itu. Siapa

sangka ketika mereka datang, tempat itu sudah sepi, hanya suara cecowetan burung-burung

pemangsa sedang memperebutkan bangkai manusia. Maka, dengan penuh gopoh mereka coba

mengejar jejak rombongan terakhir. Dari lacakan tahulah mereka sedang berhadapan dengan

tosu-tosu dari Kong-thong pay.

“Tosu muka kadal, kalau kalian tidak mau serahkan itu lukisan, rasakanlah ini!”

Serentak pihak Tok Nan-hay pang memulai menyerang. Meskipun perbandingannya tidak

imbang namun pertarungan berlangsung seru. Lewat lima puluh jurus tiga orang sudah roboh

www.rajaebookgratis.com

Page 60: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

bermandikan darah. Dua dari pihak lawan satu dari pihak pembawa gulungan. Pihak lawan terus

merangsek pembawa gulungan. Melihat keadaan sangat mendesak, dan karena tak ingin

menyerah begitu saja, sekonyong-konyong terdengar lemparan gulungan kertas.

Ternyata, entah angin apa yang menghembusnya, gulungan kertas itu mengarah ke Tiong Gi.

Terperanjat Tiong Gi demi melihat gulungan kertas itu melayang ke arahnya. karena rasa

penasaran dan rasa gusar demi menyaksikan orang-orang itu merusak kebunnya, Tiong Gi

langsung sambar gulungan kertas itu dan dengan sigap memutar tubuh berbalik kanan untuk

kabur. Namun, akibat tergesa-gesa tak sadar kaki kanan Tiong Gi terantuk batu dan dia kecebur

dalam kali. Untunglah kali itu hanya sedalam paha, sehingga dengan kegesitannya Tiong Gi

segera naik ke tepi dan kabur di balik tikungan pepohonan. Kejadian ini malah menguntungkan

Tiong Gi, karena orang-orang yang berebut gulungan hanya mendengar kecipakan air dan

menyangka gulungan kertas tersebut jatuh ke dalam air. Anehnya, meski sebelumnya mereka

sekali sudah saling berebut dan dengan sendirinya saling baku hantam, namun ketika gulungan

kertas itu terlepas dan dikira jatuh ke sungai, bergegas mereka meninggalkan gelanggang

beramai-ramai.

“Peta itu jatuh kesini!” ...Ahhh...tidak....pasti sudah terhanyut aliran kali.......”

“Kejar.......! Ikuti aliran sungai ini....!”seru yang lain.

Bergegas mereka berebut mengikuti aliran sungai. Dari hulu sampai hilir.

Di dalam gua Tiong Gi membuka gulungan kertas itu yang ternyata adalah sebuah lukisan.

Lukisan itu menggambarkan suatu perkampungan di suatu lembah. Anehnya, rumah-rumah yang

ada di gambar itu berbentuk seperti tempurung kelapa. Di bagian tepi terlihat ada telaga yang

jernih, dan sebuah pohon miok berdaun merah. Ketika kertas itu dibalik terlihatlah bercak-bercak

air yang seperti mengandung tulisan. “Ah....kiranya kertas ini harus di basahi dulu dengan air

supaya gambarnya bisa terlihat”. Maka segera kertas itu dibasahi dengan air yang menetes-netes

dari langit gua. Namun bukan gambar yang muncul tapi tulisan. karena bukan orang sekolahan

Tiong Gi tidak bisa membaca tulisan di balik lukisan tersebut, namun dia tahu bahwa itu adalah

suatu tulisan. Tiong Gi sering melihat lembaran-lembaran tulisan yang dimiliki oleh bibinya atau

yang “Hmm....kalau gitu aku tunggu saja Ciu Hong Nionio untuk menanyakan isi tulisan

ini”....begitu pikir Tiong Gi. Namun teringat bahwa gambar itu habis diperebutkan, Tiong Gi

punya firasat bahwa gambar itu berisi suatu rahasia. “Ah tidak, Ciu Hong Nionio sangat pelit,

pasti kalau lukisan ini harganya mahal hasilnya dimakan sendiri. Aku harus menyimpannya.”

www.rajaebookgratis.com

Page 61: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

Dicarilah bagian dinding goa yang agak lunak kemudian Tiong Gi membuat lubang. Sebelum

lukisan dimasukkan, terlebih dahulu ditaruh di sebuah bambu seukuran suling.

Sekembalinya dari pasar, Cu Hoa mendapatkan Tiong Gi merengek-rengek minta sekolah.

“Bibi, aku ingin sekolah! Antarkan aku ke sekolah bibi!”

“Sekolah? Buat apa sekolah? Untuk jadi orang hebat yang penting bisa silat! Tidak perlu

sekolah, ngabisin duit!”

“Bibi, aku pingin jadi anak pintar yang bisa baca tulis!”

“Sudahlah kau belajar padaku saja, aku akan mengajarimu!”

“Benar bi?”

“Tentu saja, hayo cari kertas dan alat tulis!”

Tiong Gi diam saja. Cu Hoa juga membatin, kertas dan alat tulis? Dari mana bis didapatkan?

“Ini neh....uang buat beli kertas dan pit!”

Sejak hari itu mulailah Tiong Gi belajar baca dan tulis. Namun karena tidak berbakat

mengajar, itu mengajari dengan cara yang buruk. Huruf yang diajarkan tidak berurutan. Sehingga

justru memusingkan yang diajari.

Lewat dua bulan, Tiong Gi menjadi bosan dan malas. Sesekali ia berjalan ke kampung ia

suka melihat anak-anak sedang belajar di sekolah. Sekolah itu terletak di pinggiran desa. Anak-

anak belajar di sebuah pendopo. Mereka duduk bersila bersaf-saf dengan teratur. Di depan

masing-masing anak ada meja kecil. Semua pakai baju seragam berwarna putih dengan rompi

warna biru, rambut kepalanya disanggul, tampak perlente dan berwibawa. Ketika guru

mengucapkan sesuatu mereka mengikutinya.

Sudah dua kali Tiong Gi melihat pemandangan seperti itu, dan kini keinginannya untuk

bersekolah tak bisa dibendung lagi, maka ia lantas sampaikan ke Cu Hoa, “Bibi, aku ingin

bersekolah seperti anak-anak yang lain, mengapa aku tidak seperti mereka?”

“Mereka itu anak-anak orang kaya, tuan tanah, cukong, yang kerjanya memerah tenaga

orang-orang kecil seperti kita. Kamu tidak perlu bergaul sama mereka!”

“Aku tak peduli....aku mau sekolah....!”

“Plok!” sebuah gamparan mendarat di pipi Tiong Gi. Biasanya Tiong Gi diam saja atau

menangis. Kini dengan mata memerah ia merangsek dan memukul dengan kedua tangan

sekenanya ke Cu Hoa. Cu Hoa dibuat kerepotan karenanya.

www.rajaebookgratis.com

Page 62: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

“Anak setan.....pergi...pergi kau!” Cu Hoa membalas pukulan dengan pukulan dan tendangan

dengan tendangan yang lebih keras lagi. Tiong Gi jatuh berguling-guling dan bergegas pergi.

Sehari kemudian Cu Hoa mengira Tiong Gi akan kembali, namun ditunggu-tunggu sampai

sore, ia belum juga kembali. Cu Hoa mulai khawatir, meski sudah merasa jenuh dan bosan

menjaga Tiong Gi, namun ia masih belum rela melepaskannya. Tiong Gi adalah satu-satunya

harapannya. Keesokan harinya Tiong Gi masih belum juga datang. Cu Hoa lantas mulai mencari-

cari. Tak sulit mencari Tiong Gi, karena ia tidk pergi jauh. Di pojok pasar, ia ditemukan

meringkuk di bawah kios tua yang ditutupi oleh daun-daun oleh Tiong Gi sendiri. Dengan

setengah menyeret Cu Hoa menggelandang Tiong Gi.

“Kamu benar-benar mau sekolah? Baiklah ayo kita cari baju seragam dan alat tulismu.”

“Benarkan?” tanya Tiong Gi dengan mata berbinar. Cu Hoa hanya tersenyum sinis. Ia

kemudian menuju ke warung pakaian, dengan gerak tangan yang tak kentara ia mengambil

begitu saja dagangan yang dijual. Karena pembeli pagi itu sedang ramai, penjual tidak

melihatnya. Demikian juga waktu di toko alat tulis, Cu Hoa melakukan hal yang sama. Tiong Gi

hanya memandangi saja.

“Heh, Tiong Gi kalau kamu sudah besar nanti, kau harus hati-hati kalau mau ambil barang

pedagang. Kalau ketauan mereka bisa pukuli kau sampai babak belur, tahu?”

Tiong Gi tak menjawab sepatah katapun, pikirannya sudah melayangjauh ke sekolah di tepi

desa, dekat sawah yang sedang menghijau.

Hari itu musim dingin sudah mulai berangsur pergi, matahari muncul dengan cerahnya. Di

sekolah Siauw Can Bun Tiong Gi mulai bersekolah. Ia duduk di bangku paling belakang. Guru

Tien memperkenalkannya pada seluruh teman yang ada. Guru Tien cukup ramah namun tegas.

Kemudian mulaiah Tiong Gi belajar. Ia mengikuti apa yang diucapkan oleh Guru Tien:

berbakti pada orang tua, berbakti pada negara

anak Siauw Can Bun bersikap ksatria dan berbudi luhur

rajin belajar dan bekerja

demi mengabdi pada yang mulia Tio Kuan Yi

Tiong Gi dan kawan-kawan yang lain mengulanginya berkali-kali. Kemudian guru Tien

menunjuk salah seorang untuk menghapalkannya secara bergantian. Demikianlah satu bait kata-

kata bijak selesai diganti dengan bait yang lain. Kemudian beristirahatlah anak-anak itu. Pada

waktu itu, mereka biasanya memakan makanannya.

www.rajaebookgratis.com

Page 63: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

Tiong Gi tidak membawa makanan. Melihat kawan-kawannya makan, tumbuhlah

keinginannya untuk makan juga. Maka berkatalah ia pada salah seorang dari mereka.

“A Sun, berilah aku separoh bakpaomu!” pinta Tiong Gi dengan penuh harap. Sun Kian

adalah anak tauke beras di desa itu, tubuhnya tambun wajahnya bulat. Saat itu ia sedang duduk

agak jauh dari kawan-kawan yang lain.

“Apaa....minta....huh, gembel busuk anak petani kudisan! Neh makan bakpaomu,” ucapnya

sambil melempar segumpal rumput dan serasah ke arah muka Tiong Gi. Seketika itu kemarahan

Tiong Gi meluap. Dengan beringas ia menendang Sun Kian. Sun Kian sebenarnya sedikit-sedikit

belajar silat, namun ia anak yang pemalas. Meskipun sempat menghindar tendangan pertama, ia

tak mampu menangkis tonjokan tangan kanan Tiong Gi.

“Buggg” sebuah tonjokkan tangan mengenai lambung kiri Sun Kian. Kontak perut Sun Kian

menjadi mulas dibuatnya. Dan ia tak bisa menahan laju makanan keluar dari kerongkongannya.

“Hoeekkk.......!”

Begitu melihat keributan anak-anak bergerombol mengerumuni mereka. Sebagian bersorak

memberi semangat.

Dengan tergopoh-gopoh guru Tien mendatangi mereka mencoba untuk melerainya.

Terlambat. Meski hanya mendapat tiga kali bogem mentah, namun Sun Kian sudah KO. Guru

Tien memandang Tiong Gi dengan berapi-api, Tiong Gi mundur beberapa langkah. Dengan

menahan amarah guru Tien berkata ketus, “Bocah pembawa sial, kenapa kamu pukuli Sun Kian?

Dasar anak baru yang tak tahu diri! Besok kamu tak usah masuk sekolah lagi.” Habis berkata-

kata guru Tien menolong Sun Kian, dan mengantarnya pulang. Kelaspun dibubarkan.

Keesokan harinya, kembali Tiong Gi ke sekolah. Ia tidak peduli dengan larangan guru Tien.

Bagaimana ia bisa paham, di rumah maksudnya di goa ia dididik dengan cara-cara yang

mengandalkan kekerasan, mana bisa berubah dalam sekejap mata.

Celakanya, di sekolah itu pagi-pagi sekali seorang pria setengah baya bertubuh tinggi

brewokan sudah menghadang. Disampingnya berdiri Sun Kian dengan wajah masih lembam.

Begitu Tiong Gi datang langsung disemprot si centeng dengan kata-kata, “Bocah sial, beraninya

kamu pukul Kian kongcu, putera majikanku, apa yang kau andalkan?” begitu selesai bicara

langsung tangannya bergerak menonjok. Dengan sigap Tiong Gi menangkis.

“Plaakk....”!

“Ehh..kau bisa berkelahi rupanya!”

www.rajaebookgratis.com

Page 64: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

Merasa pukulannya bisa dihindarkan, centeng itu makin bertambah kalap, dan mulai

melancarkan serangan demi serangan. Sebagai centeng cukong terkenal di desa Cong Bun pria

itu sedikit pernah belajar silat. Dengan tenaga yang sangat kuat tentu saja, satu dua pukulannya

menembus pertahanan Tiong Gi. Pada jurus yang ke sepuluh tiba-tiba saja Tiong Gi menarik

baju lelaki itu sehingga keduanya terguling ke tanah. Karena posisi centeng itu berada di atas, dia

menang angin, sehingga lebih leluasa memukuli Tiong Gi.

“Buk...buk....! Plok...plok...plok...plok” bunyi pukulan demi pukulan ke muka Tiong Gi

ditingkahi tepuk tangan Sun Kian dan beberapa teman-temannya yang baru datang. Namun tepuk

tangan mereka tidak berlangsung lama, karena sekonyong-konyong terdengar jeritan menyayat.

“Aaaaaagggggghhh........! Tubuh centeng itu tiba-tiba saja terguling, tangannya mendekap ulu

hatinya yang telah menucurkan darah segar. Pada detik itu pula Tiong Gi telah berhasil

meloloskan diri. Memang dialah yang menusuk si centeng dengan golok milik centeng itu

sendiri. Sungguh seperti peribahasa senjata makan tuan. Kegembiraan memukuli korbannya

membuat si centeng kehilangan kewaspadaan sehingga tidak sempat mencegah ketika tangan

Tiong Gi menarik golok di pinggang kirinya dan menusuk ulu hati. Jeritan si centeng ditimpali

jeritan siswa sekolah itu. Sun Kian hanya melongo dan dengan ketakukan lari lintang pukang.

Jeritan siswa terdengar ke rumah-rumah di dekat sekolah sehingga beberapa penduduk

berdatangan. Rata-rata adalah petani. Tapi begitu melihat korban mereka hanya diam seribu

basa. Bahkan kalau ada yang mendekat akan terdengarlah bisik-bisik yang menunjukkan

perasaan lega dan gosip nyukurin korban. Memang si centeng Sun tauke terkenal galak ke petani.

Sungguh malang nasib si centeng.

Tiong Gi merasa terkejut sekali dengan perbuatannya. Maka larilah ia sekencangnya keluar

dari desa itu. Ia tidak ingin kembali ke bibinya, karena ia tahu pasti akan dimarahi. Yang ia tahu

hanyalah berlari secepatnya kemanapun ke arah timur, menjauhi goa tempat tinggal dia yang

berada di barat.

Setelah seharian penuh ia berlari sampailah ia pada kota kecil Tee-kim. Kota ini berada di

tepi sungai Yang ce kiang. Kalau Tiong Gi tahu arah mata angin sebenarnya ia bisa belok ke

selatan menuju ke arah hulu dari sungai ini untuk kembali ke petani yang dulu mengasuhnya

yang disangkanya sebagai orang tua. Namun saat itu keinginannya adalah pergi jauh, sejauh kaki

bisa melangkah. Akhirnya di ujung desa di depan kuil yang cukup besar ia terjatuh kelelahan dan

langsung tertidur. Biksu muda yang menjumpainya berteriak membuat seisi kuil keluar. Ada

www.rajaebookgratis.com

Page 65: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

lima orang biksu yang berada di kuil itu. Empat biksu muda dan satu biksu tua yang sekaligus

biksu kepala biara.

“Omitohuud, Bin bin ada apa engkau berteriak seperti itu?” biksu kepala yang bertubuh

pendek gemuk itu berseru. Ia lantas mendekat Bin bin.

“Ehhh ada bocah yang tergolek di sini, siapa dia?” kata biksu itu penuh tanda tanya, sambil

kepalanya tengok ke kanan dan ke kiri, coba melihat barangkali ada seseorang yang mencari

anak itu.

“Ah sebaiknya kita tolong saja dulu, mari kalian angkat bocah ini.” Empat orang biksu murid

bersama-sama kemudian angkat tubuh Tiong Gi dan dibawa masuk ke dalam untuk mendapat

perawatan sekedarnya. Tiong Gi masih tetap dalam posisi tertidur. Pada malam harinya tubuhnya

terkena demam, dan beberapa kali ia mengigau. Empat biksu menjadi kelabakan dibuatnya.

Maka dengan bahan seadanya atas petunjuk biksu kepala mereka merebus obat dan

meminumkannya pada Tiong Gi.

Saat terbangun di pagi hari Tiong Gi menemukan dirinya tergolek di sebuah dipan.

Kemudian ia bangkit dari dipan itu. Sekujur tubuhnya terasa penat luar biasa. Dengan tertatih-

tatih ia mencoba keluar dari kamar. Di lorong salah seorang biksu yang kemaren

membopongnya, menyapa, “Selamat pagi siauw kongcu, kongcu sudah bangun rupanya, tapi

tubuh kongcu masih lemah, sebaiknya beristirahat saja.

“Aku...aku...lapar....beri aku makan siauw suhu!”

Biksu itu tersenyum. Lalu dengan sopan ia kemudian masuk ke dapur mempersiapkan

semangkuk bubur, dan sayur kubis.

“Silahkan kongcu ini disantap sarapannya”

Tiong Gi makan dengan lahapnya karena sudah seharian kemaren ia belum makan. Tak

peduli ada lauknya apa tidak, bubur itu disantapnya sampai tandas.

Setelah dua hari tinggal di kuil itu kesehatan Tiong Gi mulai pulih. Pagi itu seorang biksu

muda mengajaknya menghadap ke biksu kepala. Sambil berjalan Tiong Gi berpikir apa yang

harus dia ceritakan, ia mesti menutupi peristiwa penusukan itu, agar ia tidak ketahuan, namun

bajunya yang compang camping dan terlihat ada percikan darah sungguh mencurigakan.

Di ruang tengah, seorang biksu tua sudah menunggu sambil berliamkeng. Ketika Tiong Gi

masuk menghadap ia berhenti berliamkeng dan membuka matanya. Sekejap terjadi perubahan

raut muka di wajah teduh itu.

www.rajaebookgratis.com

Page 66: Ksatria Negeri Salju Oleh : SUJOKO€¦ · putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun. “A Siu ini adalah lukisan sahabat

“Omitohud, kongcu sudah bangun. Bagus sekali pagi yang cerah ini pinceng bisa

menerimamu, siapakah nama dan dari mana asal usul siauw kongcu?” tanya biksu kepala itu

dengan ramah.

“Saya bernama Tiong Gi, berasal dari barat. Saya tidak punya orang tua lagi, selama ini saya

tinggal bersama bibi. Namun bibi saya galak sekali dan sering memukuli. Pagi itu karena saya

membuat ulah di sekolah bibi memukuli saya hingga babak belur. Mohon losuhu tidak

memberitahukan keberadaan saya jika bibi saya datang.”

“Apakah nama desa siauw kongcu?”

“Aku tinggal di desa Cong Bun.”

Biksu kepala itu yang bergelar Kim-sim hosiang menggeleng-gelengkan kepala. Sebagai

biksu yang sudah berpuluh tahun menyebarkan ajaran budha di wilayah itu ia tahu betapa

jauhnya desa Cong Bun. Pengalaman itu pula yang menjadikan dia memiliki kepekaan luar biasa

terhadap sifat seseorang. Dan sekali melihat ia merasakan aura kegelapan menyelimuti wajah

yang masih kanak itu.

“Lalu kemanakah tujuanmu sekarang?”

“Aku hanya ingin menuruti langkah kakiku, aku ingin pergi jauh dari bibi Ciu.”

“Kalau demikian rencana kongcu, pinceng hanya bisa berpesan agar kongcu hati-hati. Tiga

tael perak ini mungkin bisa membantu kongcu dalam perjalanan. Kalau kongcu berjalan lurus

memasuki desa nanti akan bertemu pasar beloklah ke kiri, kau akan menemukan sungai.

Barangkali saja ada perahu yang berlayar menuju ke timur. Kalau kongcu belum menetapkan

tujuan, tak ada salahnya kongcu mampir ke kuil suheng pinceng Kong-sim hosiang di desa Sin

heng, desa di pinggiran kota Yi chang.”

“Iya.....” singkat sekali jawaban Tiong Gi, dan tanpa permisi ia lantas meninggalkan kuil itu,

mengikuti petunjuk Kim-sim hosiang menuju ke dermaga kecil di desa itu.

www.rajaebookgratis.com