kritik terhadap penerimaan dan periwayatan hadits

24
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hadits adalah sumber ajaran Islam kedua setelah Al- Qur’an. Dilihat dari segi periwayatannya, Hadits berbeda dengan Al-Qur’an. Untuk Al-Qur’an, semua periwayatan ayatnya berlangsung secara mutawatir 1 (berurutan). Sedangkan Hadits Nabi sebagian periwayatannya berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung secara ahad. 2 Karenanya, Al-Qur’an dilihat dari segi periwayatannya mempunyai kedudukan qath’iy al-wurud (pasti sebab turunnya) atau qath’iy as-tsubut (kebenaran sumber yang pasti) di mana seluruh ayat telah diakui keasliannya. Sedangkan Hadits, terutama yang dikategorikan Hadits ahad masih diperlukan pengkajian serius untuk memperoleh kepastian periwayatannya; apakah berasal dari Nabi atau bukan. Hadits dilihat dari segi periwayatannya berkedudukan 1 Mutawatir adalah tatabu’, berurutan, yang dalam ilmu Hadits disebut sebagai berita yang diriwayatkan oleh orang banyak pada setiap tingkat periwayat, mulai dari tingkat sahabat sampai dengan mukharrij, yang menurut ukuran akal dan adat kebiasaan mustahil para periwat itu bersepakat dahulu untuk berdusta. Sedangkan Hadits ahad dalam ilmu Hadits adalah Hadits yang memiliki jumlah periwayat yang tidak mencapai tingkat mutawatir. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, (Bandung: Angkasa, 1991), H lm .135-141 2 Yusuf Al-Qardhawi, Al-Madkhal li Dirasah As-Sunnah An-Nabawiyyah, Terj. Agus Suyadi Raharusun, Dede Rodin; Pengantar Studi Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), Hlm. 105. M Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadits, (Yogyakarta: Perum POLRI Gowok, 2010), H lm .105 1

Upload: eko

Post on 17-Dec-2015

241 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

studi hadits

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUANA. Latar Belakang

Hadits adalah sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Quran. Dilihat dari segi periwayatannya, Hadits berbeda dengan Al-Quran. Untuk Al-Quran, semua periwayatan ayatnya berlangsung secaramutawatir (berurutan). Sedangkan Hadits Nabi sebagian periwayatannya berlangsung secaramutawatirdan sebagian lagi berlangsung secaraahad. Karenanya, Al-Quran dilihat dari segi periwayatannya mempunyai kedudukanqathiy al-wurud(pasti sebab turunnya) atau qathiy as-tsubut(kebenaran sumber yang pasti) di mana seluruh ayat telah diakui keasliannya. Sedangkan Hadits, terutama yang dikategorikan Hadits ahadmasih diperlukan pengkajian serius untuk memperoleh kepastian periwayatannya; apakah berasal dari Nabi atau bukan. Hadits dilihat dari segi periwayatannya berkedudukan sebagaizhanniy al-wurud(penukilan nash-nash yang belum jelas kebenarannya) atauzhanniy as-tsubut (kebenaran sumber yang masih diragukan).Selama perjalanan waktu pasca rasul SAW hingga sekarang ini banyak Hadits telah terkontaminasi oleh pemalsuan karena berbagai kepentingan seperti politikdan fanatik aliran. Pada sisi lain, fatwa para ulama pasca Rasulullah menjadi rujukan yang didokumentasi pada masanya. Maka pekerjaan mendokumentasi Hadits Nabi dituntut memilah mana yang berasal dari Rasulullah dan mana yang bukan. Dokumen atau catatan Hadits karena tidak terlepas dari keragaman daya tangkap para periwayat, maka kualitas Haditsnya-pun beragam. Maka munculnya aksi kritik Hadits tidak dimaksudkan menguji ajaran Rasulullah, tetapi menguji daya tangkap dan kejujuran para perowi. Menolak Hadits bukan berarti menolak Rasulullah, tetapi menolak klaim bahwa riwayat itu dari Rasulullah. Maka kritik Hadits memberikan kontribusi pemilahan Hadits yang berasal dari Rasulullah atau bukan.Oleh karenanya, sejak zaman sahabat pasca Rasul SAW, sudah ada langkah-langkah kritis terhadap penerimaan Hadits tersebut. Para ulama yang menerima Hadits akan membandingkannya dengan Hadits-Hadits yang telah dihafalnya, baik yang dihafal oleh dirinya atau dengan yang telah dihafal oleh para sahabat lainnya. Mereka sangat teliti dan saling menjaga sunnah Nabi saw tersebut. Jika datang suatu Hadits yang ternyata selaras dengan hafalan mereka, maka diterima, namun jika Hadits yang datang itu nyeleneh (bertentangan) atau disampaikan dari orang yang tidak terpercaya, maka Hadits tersebut pasti ditolaknya.Kajian-kajian yang banyak dilakukan umat Islam terhadap Al-Quran adalah untuk memahami kandungannya dan berusaha mengamalkannya. Terhadap Hadits, kajian mereka tidak hanya menyangkut pemahaman kandungan dan pengamalannya, tetapi juga periwayatannya. Karenanya, kajian terhadap periwayatan Hadits inilah kemudian melahirkan disiplin ilmu tersendiri yang dikenal denganIlmu ad-Dirayah.

Oleh karenanya, dalam makalah ini akan disampaikan hal yang terkait denan kritik periwayatan dan penerimaan Hadits untuk mengetahui Hadits yang memiliki derajat yang baik, shahih dan yang bukan.BAB IIPEMBAHASAN

A. Pengertian, Persamaan, dan PerbedaanAr-RiwayahdanAs-SyahadahSebelum masuk pada pembahasan kritik periwayatan dan penerimaan Hadits, maka perlu kiranya kita mengetahui pengertian, persamaan, dan perbedaanAr-RiwayahdanAs-Syahadah dalam istilah dalam ilmu Hadits.1. PengertianAr-RiwayahdanAs-SyahadahSecara etimologi, Ar-Riwayah berasal dari kata rawa-yarwi-riwayatan, yang berarti naqalawa dzakara, yakni membawa atau mengutip; memindahkan ataU menyebutkan. Dari sini kemudian dipakairiwayat al-Haditsyang artinya menyampaikan Hadits. Semakna dengan itu adalah menyampaikan, menceritakan, dan menyebarkan Hadits kepada orang lain,

Menurut istilah seperti yang dikutip Al-Fatih dalam Hasbi Ash-Shidiqi, bahwa HaditsAr-Riwayahadalah memindahkan dari seorang guru kepada orang lain atau membukukannya kedalam buku Hadits. Orang yang melakukan kegiatan ini disebut rawi, yaitu orang yang menyampaikan atau menuliskan Hadits yang diterima dari gurunya kedalam sebuah buku. Dari beberapa pengertian tersebut, penulis menarik benang merah bahwa Ar-Riwayah adalah orang yang menyampaikan suatu Hadits baik secara lisan maupun melalui tulisan.As-Syahadahsecara bahasa berasal dari kata akhbara bikadza khayran qathian,yakni memberikan sesuatu dengan sebenar-benarnya. Sedangkan menurut Hasbi ash-Shaddieqy,as-Syahadahberarti hadir, memberi kabar, dan mengetahui. Semakna dengan makna al-Bayyinah wa al-yamiin,yaitu bukti dan sumpah atau kesaksian. Dengan begitu As-Syahadah adalah penyaksian seseorang dengan sebenar-benarnya tanpa adanya perubahan terhadap sesuatu yang ia saksikan, ia lihat dan yang ia alami secara langsung.Dengan pengertian keduanya, maka hubungan keduanya dalam ilmu Hadits dapat memberikan pemahaman bahwa dalam kaitannya dengan periwayatan Hadits, kesahihan Hadits jika dilihat dari segi periwayatan terletak pada siapa dan bagaimana keadaan/kondisi orang yang menyampaikan Hadits tersebut. Hal ini karena Hadits hanya diriwayatkan/disampaikan, tidak harus membutuhkan sumpah atas kebenaran yang dikandungnya. Sekalipun demikian, diantara Ar-Riwayah dan As-Syahadah juga memiliki persamaan dan perbedaan.2. Persamaan Ar-RiwayahdanAs-SyahadahMenurut Ibn Asir Al-Jazari dan Syuhudi Ismail menyatakan pendapat para ulama bahwa persamaanAr-RiwayahdenganAs-Syahadahterdapat pada empat hal dari sisi perawi, yaitu:

a. Beragama Islam,

b. Mukallaf (baligh dan berakal),

c. Adil dan

d. Dhabith.

Keempat hal itu berkaitan langsung dengan syarat syahnya periwayat dan saksi.3. Perbedaan Ar-RiwayahdanAs-SyahadahAdapun perbedaan antara periwayatan dan kesaksian jumlahnya cukup banyak. Menurut al-Ghazali, enam di antaranya adalah sebagai berikut:NoPerbedaan

Ar-RiwayahAs-Syahadah

1.Periwayat boleh dilakukan oleh hambah sahaya.As-Syahadah harus dilakukan oleh orang merdeka.

2.Periwayat syah saja dilakukan oleh laki-laki ataupun wanita.As-Syahadah lebih diutamakan laki-laki.

3.Periwayat boleh memiliki hubungan kekerabatan dengan orang yang dijelaskan dalam riwayat yang dikumukakannyaAs-Syahadah tidak boleh dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan orang yang memberikan kesaksian perkaranya.

4.Periwayat asalkan pendengarannya baik, syah dilakukan oleh orang buta.As-Syahadah tidak diperkenankan dari seorang yang buta.

5.Bilangan periwayat tidak menjadi persyaratan syahnya periwayatanAs-Syahadah untuk peristiwa-peristiwa tentu haruslah lebih satu orang.

6.Periwayat dapat mempunyai hubungan permusuhan dengan orang yang disinggung dalam berita yang diriwayatkannya.As-Syahadah tidak boleh dilakukan oleh oarng yang mempunyai hubungan permusuhan dengan orang yang disaksikan perkaranya.

Jadi, As-Syahadahmemiliki pengertian yang cakupan, lebih spesifik dan khusus, sedangkan Ar-Riwayah memiliki pengertian cakupan yang lebih luas dan umum. B. Ketentuan Penerimaan dan Periwayatan HaditsDalam hal yang berkaitan dengan Hadits tidaklah keluar dari pembahasan rawi, sanad dan matan. Namun pada fokus kajian dalam makalah ini hanya ditekankan pada kegiatan meriwayatkan dan keadaan rawi. Syarat penerimaan dan periwayatan Hadits telah ditetapkan oleh para ahli Hadits semata-mata bertujuan untuk memelihara Hadits dari tindak pemalsuan. Menurut para ulama, secara umum, terdapat perbedaan antara syarat-syarat penerimaan dan syarat-syarat periwayatan Hadits. Mereka pada umumnya memperbolehkan penerimaan Hadits dilakukan oleh orang kafir dan anak-anak, asalkan ketika meriawatkannya ia telah masuk Islam dan mukallaf, dengan kata lain semua muslim bisa dan diperbolehkan menerima Hadits yang disampaikan. Syarat-syarat yang telah ditetapkan untuk periwayatan Hadits menurut Al-Fatih Suryadilaga adalah sebagai berikut:1. Islam2. Baligh3. Berakal

4. Tidak fasik

5. Terhindar dari tingkah laku yang mengurangi dan menghilangkan kehormatan

6. Mampu menyampaikan Hadits yang telah dihafalnya

7. Jika periwayat itu memiliki catatan maka catatannya ini dapat dipercaya

8. Sangat mengetahui hal-hal yang merusak maksud Hadits yang diriwayatkannya secara makna.

Sedangkan menurut Muhammad Al-Ghazali menyampaikan bahwa ada empat persyaratan untuk menerima baik Hadits Nabi SAW, dua diantaranya berkenaan dengan sanad, dan dua lainnya berkenaan dengan matan, yaitu:

1. Setiap perawi dalam sanad suatu Hadits haruslah seorang yang dikenal sebagai penghafal yang cerdas dan teliti serta benar-benar memahami apa yang didengarnya, setelah itu ia meriwayatkannya sesuai yang ia dapatkan.

2. Setiap perawi haruslah orang yang mantap kepribadian dan bertaqwa kepada Allah, serta menolak dengan tegas setiap pemalsuan dan atau penyimpangan Hadits.3. Matan Hadits tersebut harus terhindar dari syadz

4. Hadits tersebut harus bersih dari illah qadihah

Poin no 1 dan 2 harus dimiliki oleh masing-masing perowi dalam seluruh rangkaian para perowi suatu Hadits. Jika hal itu tidak terpenuhi pada diri seseorang saja dari mereka, maka Hadits tersebut tidak mencapai derajat shahih. Namun sekalipun demikan, keempat poin tersebut penting kiranya ada didalam suatu Hadits, tidak bisa diterima suatu Hadits dengan derajat shohih sekalipun perawinya mencapai derajat mutawatir, namun matan Haditsnya dijumpai ada cacat. Seperti halnya Ibn sad seorang Penghafal Hadits dan seorang ahli fiqh sejarah yang terpercaya (Tsiqah) yang juga menulis sebuah Hadits yang tertolak di dalam kitabnya Ath-Thabaqat Al-Kubra dan mengulang-ulangnya dengan sanad yang berbeda, salah satu diantaranya adalah Hadits yang diriwayatkan dari Tsabit dari Anas bin Malik bahwa ketika Umar bin Khatab ditikam.

Diriwayatkan dari Tsabit dari Anas bin Malik bahwa ketika Umar bin Khatab ditikam oleh pembunuhnya, Hafhsah (putri Umar) menjerit dan meratap, maka berkatalahh Umar Hai Hafhsah, tidakkah engkau dengar Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa orang yang diratapi akan tersiksa karena ratapan keluarganya itu?. Maka dengan tegas dan jelas Aisyah ra. menolak Hadits itu, dan bahkan bersumpah bahwa Nabi tidak pernah mengucapkan Hadits tersebut, Dengan menggunakan hujjah Qs. Al-Anam 164, yaitu tidaklah seseorang menanggung dosa orang lain

Telah jelas bahwa dalam menentukan sahihnya suatu Hadits dilihat dari sanad dan matannya diperlukan ilmu yang mendalam tentang Al-Quran serta kesimpulan-kesimpulan yang dapat ditarik dari ayat-ayatnya, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Juga ilmu tentang berbagai riwayat lainnya, agar dengan itu semua dapat dilakukan perbandingan antara yang satu dengan yang lainnya, ditinjau dari segi kuat atau lemahnya msing-masing.Lebih jelas lagi Yusuf Al-Qardawi menambahkan bahwa sekalipun telah memiliki silsilah sanad yang terdiri dari nama-nama tsiqah dan bersambung kepada sahabat, dan sahabat bersambung kepada Nabi, tetap tidak menerimanya sebelum terpenuhi beberapa syarat berikut:

1. Setiap perawi harus diketahui jelas kepribadian dan keadaannya, atau kepribadian dan biografinya. Tidak boleh meriwayatkan yang terdapat nama perawi yang tidak diketahui (rawi majhul), baik majhul ain (tidak diketahui identitasnya sama sekali), majhul al-hal (tidak diketahui karakteristiknya, baik batiniah maupun lahiriahnya), mastur (tidak diketahui karakteristik batiniahnya, tetapi secara lahiriah ia termasuk rawi yang adil).

2. Setiap perawi harus adil, selalu menjalankan perintah agama, berakhlak yang baik, terpercaya, tidak berbohong atau menambah-nambah dalam meriwayatkan Hadits (Hadits maudhu atau madzub).3. Seorang perawi harus tsiqoh, yaitu memiliki sifat adil, takwa, amanah, dhabit baik hafalannya maupun tulisannya.4. Seluruh sanadnya harus bersambung dari awal sampai akhir, tidak boleh terputus (Hadits dhaif).

5. Haditsnya tidak menandung syadz, yaitu ada pertentengan antara rawi yang tsiqah dengan rawi yang lebih tsiqah darinya.

6. Haditsnya tidak mengandung illat (cacat).

Kaitannya dalam susunan rawi yang dijadikan tolok ukur rawi yang mutawatir, Nuruddin menjelaskan ada enam tingkatan rawi, yatu:

1. Al-Musnid

Orang yang meriwayatkan Hadits beserta sanadnya, baik ia mengetahui kandungan Hadits yang diriwayatkannya atau hanya sekedar meriwayatkan.

2. Al-Muhaddits

Orang yang mencurahkan perhatiannya terhadap Hadits baik dari segi riwayah maupun dirayah, hafal identitas dan karakteristik para rawi, mengetahui keadaan mayoritas rawi pada zamannya beserta Hadits-Hadits yang mereka riwayatkan, memiliki pendirian dan ketelitian yang kuat.

3. Al-HafidzGelar ini lebih tinggi dari gelar Al-Muhaddits. Al-Hafidz adalah orang yang sangat luas wawasan pengetahuannya tentang Hadits dan ilmu-ilmunya. Ibnu Al-Jazari berkata Al-Hafidz adalah orang yang meriwayatkan semua Hadits yang diterimanya dan hafal akan Hadits yang dibutuhkan darinya. Berikut ini adalah gelar bagi ulama Hafidz dalam kesenioritasannya dalam bidang Hadits:

a. AL-Hujjah

Yaitu Al-Hafidz yang sangat tekun, kuat dan rinci hafalannya akan sanad dan matan Hadits dan hafal tiga ribu Hadits beserta sanadnya dan matannya.

b. Al-Hakim

Yaitu Al-Hafidz yang menguasai semua Hadits sehingga hanya sedikit Hadits yan terlewatkan darinyac. Amir Al-Mumin fii Al-HaditsMerupakan gelar tertinggi yang diberikan kepada orang yang memiliki kemampuan melebihi semua orang yang memiliki gelar sebelumnya diatas, baik hafalannya maupun kedalaman pengetahuannya tentang Hadits dan illat-illatnya sehingga ia menjadi rujukan bagi para hakim dan hafidz serta lainnya. Diantara ulama yang memilik gelar ini diantaranya adalah Sufyan Ats-Sauri, Syubah bin Al-Hajjaj, Hammad bin Salamah, Abdullah bin Al-Mubarak, Ahmad bin Hambal, Bukhari, Muslim, Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani.Dari penjelasan tentang rawi dan kemampuannya, maka tampak bahwa syarat-syarat yang ditetapkan ulama terhadap periwayat yang melakukan kegiatan periwayatan Hadits lebih ketat daripada persyaratan ketika menerima Hadits. Namun demikian, menurut Syuhudi Ismail, orang yang menerima Hadits paling tidak harus memenuhi dua syarat, yaitu:1. Sehat akal pikirannya, dan 2. Secara fisik dan mental orang tersebut mampu memahami dengan baik riwayat Hadits yang diterimanya.

C. Metode Penerimaan dan Periwayatan Hadits NabiMenurut istilah ilmu Hadits, yang dimaksud periwayatan ialah kegiatan penerimaan dan penyampaian Hadits serta menyandarkannya kepada rangkaian para periwayat Hadits itu dengan bentuk-bentuk tertentu. Dalam hal ini, ada tiga unsur yang harus dipenuhi dalam meriwayatkan Hadits, yaitu:

1. Kegiatan menerima Hadits dari periwayatnya

2. Kegiatan menyampaikan Hadits kepada orang lain

3. Ketika Hadits itu disampaikan kepada orang lain, disebutkan susunan rangkaian periwayatnya.

Di dalam menyebutkan rangkaian para periwayat Hadits yang disampaikan kepada orang lain itu, terdapat kata-kata atau huruf yang dipakai para periwayat Hadits dalam rangkaian periwayat Hadits yang ia riwayatkan sekaligus menetapkan beberapa macam metode penerimaan dan penyampaian Hadits yang terekam di dalam kata-kata itu. Kata-kata atau huruf yang telah mereka identifikasikan itu bisa dibagi ke dalam beberapa kelompok:

1. As Sama'

Yaitu seorang guru membacakan sebuah Hadits baik dari hafalan ataupun dari kitabnya sedang hadirin mendengarkannya, Menurut mayoritas ulama, metode ini berada pada peringkat tertinggi. Ada juga yang berpendapat bahwa mendengar Hadits dari seorang guru yang disertai penulisannya lebih tinggi dari pada mendengar saja. Sebab sang guru membacakan Hadits, sang murid menulisnya. Sehingga keduanya lebih terhindar dari kelalaian dan lebih dekat pada kebenaran. Kata-kata yang biasa digunakannya diantaranya adalah: a. samitu

d. haddatsanab. haddatsaniy

e. akhbaranac. qaala lanaadan

f. dzakara lanaa.

2. Al-Qiroah atau Al-ArdhYakni suatu cara penerimaan Hadits dengan cara seseorang membacakan Hadits dihadapan gurunya, baik dia sendiri yang membacakan maupun orang lain, sedang sang guru mendengarkan atau menyimaknya, baik sang guru hafal ataupun tidak tetapi dia memegang kitabnya atau mengetahui tulisannya dan dia tergolong tsiqah. Kata-kata yang sering digunakan diantaranya adalah:a. qaratu ala fulaninb. qaratu ala fulanin wa anaa asmau fa aqrabahu.3. Al-IjazahYaitu suatu metode penerimaan dan periwayatan Hadits dengan metodeijazah, yaitu pemberian izin oleh seorang guru kepada murid untuk meriwayatkan sebuah kitab Hadits tanpa membaca Hadits tersebut satu per satu. Kata-kata yang digunakan diantaranya adalah:

a. haddatsana ijazatanb. akhbarana ijazatan.kebanyakan para muhaddistin tidak memperkenankan meriwayatkan dengan ijazah, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Hazm yang dikutip oleh Mundzier Suparta mengatakan bahwa meriwayatkan Hadits dengan menggunakan ijazah ini dianggap bid'ah dan tidak diperbolehkan. Sedang ulama yang memperbolehkan cara ijazah syaratnya hendaknya sang guru benar-benar mengerti tentang apa yang diijazahkan dan naskah muridnya menyamai dengan yang lain, sehingga seolah-oleh naskah tersebut adalah aslinya serta hendaknya guru yang memberi ijazah itu benar-benar ahli ilmu.4. Al-Munawalah

Maksudnya, seorang ahli Hadits memberikan sebuah Hadits, beberapa Hadits atau sebuah kitab kepada muridnya. Misalnya seorang guru memberikan sebuah kitab kepada muridnya seraya berkata: Inilah Hadits-Hadits yang sudah saya dengar dari seseorang, maka riwayatkanlah Hadits itu dariku. Metode ini mempunyai dua tipe :

a. Pertama, dengan dibarengi ijazah. Misalnya, setelah sang guru menyerahkan kitab asli atau salinannya, lalu mengatakan: "Riwayatkanlah dari saya ini". Periwayatan tersebut diperkenankan dan bahkan ada yang berpendapat kebolehannya itu secara ijma', karena tidak ragu lagi kewajiban untuk mengamalkannya. Lafadznya diantaranya :

Hadza samaai aw riwaayatii an fulanin farwihi (ini adalah pendengaranku atau periwayatanku dari seseorang, riwayatkanlah!)

b. Kedua, Tanpa dibarengi ijazah. Yakni ketika naskah asli atau turunnya diberikan kepada muridnya dengan dikatankan bahwa itu adalah apa yang didengar si fulan, tanpa diikuti dengan suatu perintah untuk mengamalkannya. Lafadznya diantaranya:

Hadza samaai aw min riwaayatii (inilah hasil pendengaranku atau berasal dari periwayatanku).

Kata-kata yang digunakan dalam meriwayatkan kembali diantaranya adalah:a. haddatsana munawalatan wa aradhanb. akhbarana munawalatan5. Al-Mukatabah

Yaitu seorang guru menulis dengan tangannya sendiri atau meminta orang lain menulis dirinya sebagai Haditsnya untuk seorang murid yang ada dihadapannya atau murid yang berada ditempat lain lalu guru itu mengirimkannya kepada sang murid bersama orang yang bisa dipercaya. mukhatabah ini memiliki dua bagian :

a. Pertama, disertai ijazah. Misalnya guru menulis beberapa Hadits untuk sang murid seraya memberikan ijazah kepadanya. Jenis ini setara dengan munawalah yang disertai dengan ijazah dalam keshahihan dan kekuatan. Lafadznya:

Ajaztu laka maa katabtuhu ilaiik (kuizinkan apa-apa yang kutulis padamu)

b. Kedua, tanpa disertai ijazah. Ada sekelompok ulama yang melarang meriwayatkan Hadits darinya. Namun pendapat yang shahih memperbolehkan, sebab pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama mutaqaddimin dan muta'akhkhirin. Lafadznya:

Qoola haddatsanaa fulaanun (telah memberitahukan seseorang padaku)Kata-kata yang digunakan dalam meriwayatkan kembali diantaranya adalah:

a. kataba ila fulanin(fulan telah menulis)

b. akhbarana mukatabatan(seorang penulis telah mengabarkan kepada kami)

c. akhbarani bihi kitabatan (kami telah dikabarkan sebah kitab)

6. Wijadah

Memperoleh tulisan Hadits dari orang lain yang tidak diriwayatkannya, baik dengan lafadz sama', qira'ah dan lainnya, dari pemilik Hadits atau tulisan tersebut. Ulama Malikiyah tidak memperkenankan, tapi As-Syafi'e memperbolehkannya. Lafadznya diantaranya :

a. Qorotu bi khoti fulaan (saya telah membaca khat seseorang)

b. Wajadtu bi khoti fulaan (kudapati khat seseorang)

7. WashiyahYakni guru meninggalkan pesan kepada orang lain untuk meriwayatkan Hadits atau kitabnya. Menurut jumhur cara ini lemah, sementara Ibnu Sirin memperbolehkan mengamalkan Hadits yang diriwayatkan. Lafadznya:

Ausho ila fulaannun bikitaabi, qoola fiihi haddatsanaa fiih (seorang telah berwasiat dengan sebuah kitab, dan berkata sifulan)

8. I'lamYakni pemberitahuan seorang guru kepada muridnya, bahwa kitab atau Hadits yang diriwayatkannya diterima dari seorang guru, dengan tanpa memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkannya. Hadits dengan cara ini tidak sah, karena adanya kemungkinan bahwa sang guru mengetahui bahwa dalam Hadits tersebut ada cacatnya. Lafadznya:

Aalamanii fulaanun, qoola haddatsana (seseorang telah memberitahukan kepadaku, telah berkata kepada kami).BAB IIIPENUTUP

Kesimpulan

Kaitannya dengan periwayatan Hadits, berbeda dengan Syahadah (sumpah). Sekalipun demikian diantara keduanya memiliki kesamaan dalam segi penyampai dimana ada beberapa syarat dan ketentuan bagi penyampai, baik itu riwayah ataukah syahadah, yaitu: a. Beragama Islam,

b. Mukallaf (baligh dan berakal),

c. Adil dan

d. Dhabith.

Keempat syarat inilah yang menjadi syarat syahnya periwayat dan saksi. Disamping itu, hadits yang diriwayatkan memiliki kreteria tertentu, apakah hadits itu diterima atau tidak. Diterima atau tidaknya dalam pembahasan ini tidak terlepas dari kualitas rawi, sanad dan matan. Sehingga ketiganya memiliki korelasi yang sangat erat. Dimana hubungan atara rawi, sanad dan matan saling menunjang bagi hadits tersebut untuk mencapai derajat hadits mutawatir yang diakui kesahihannya, diantaranya adalah:1. Perawi haruslah Dhabit.2. Perawi haruslah memiliki kepribadian yang baik dan bertaqwa kepada Allah dan tidak berbohong.3. Matan Hadits tersebut harus terhindar dari syadz.4. Hadits tersebut harus bersih dari illah qadihah.5. Sanad Hadits tidak terputus dan selalu bersambung hingga pada sahabat dan Nabi.6. Seorang perawi harus tsiqoh, yaitu memiliki sifat adil, takwa, amanah, dhabit baik hafalannya maupun tulisannya.Dan didalam meriwayatkan ataupun menerima Hadits dengan menggunakan metode yang telah menjadi kesepakatan para jumhur ulama didalam menerima dan meriwayatkan Hadits, diantaranya:

1. As Sama'2. Al-Qiroah atau Al-Ardh3. Al-Ijazah4. Al-Munawalah5. Al-Mukatabah6. Wijadah7. Washiyah8. I'lam Mutawatir adalah tatabu, berurutan, yang dalam ilmu Hadits disebut sebagai berita yang diriwayatkan oleh orang banyak pada setiap tingkat periwayat, mulai dari tingkat sahabat sampai dengan mukharrij, yang menurut ukuran akal dan adat kebiasaan mustahil para periwat itu bersepakat dahulu untuk berdusta. Sedangkan Hadits ahad dalam ilmu Hadits adalah Hadits yang memiliki jumlah periwayat yang tidak mencapai tingkat mutawatir. Syuhudi Ismail,Pengantar Ilmu Hadits, (Bandung: Angkasa, 1991), Hlm.135-141

Yusuf Al-Qardhawi, Al-Madkhal li Dirasah As-Sunnah An-Nabawiyyah, Terj. Agus Suyadi Raharusun, Dede Rodin; Pengantar Studi Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), Hlm. 105. M Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadits,(Yogyakarta: Perum POLRI Gowok, 2010), Hlm.105

Ilmu Hadits Dirayah adalah ilm Hadits yang membahas pedoman-pedoman yang dengannya dapat diketahui keadaan sanad dan matan. Nuruddin, Ulumul Hadits, (Bandung: Rosda Karya, 2012), Hlm. 21. M Alfatih suryadilaga, Ulumul Hadits, Hlm.105-106

M Alfatih suryadilaga, Ulumul Hadits, Hlm. 105-106

M Alfatih suryadilaga, Ulumul Hadits, Hlm. 107

M Alfatih suryadilaga, Ulumul Hadits, Hlm. 107

M Alfatih suryadilaga, Ulumul Hadits, Hlm. 107

M Alfatih suryadilaga, Ulumul Hadits, Hlm. 109

Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Studi Kritis atas Hadits Nabi SAW, terj. Muhammad Al-Baqir, (Bandung: Mizan, 1996), hlm.26

Yakni seorang perawinya bertentangan dalam periwayatannya dengan perawi lainnya yang dianggap lebih akurat dan lebih data dipercaya.

Yakni cacat yang diketahui oleh para ahli Hadits, sehingga mereka menolaknya.

Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Studi Kritis atas Hadits Nabi SAW, terj. Muhammad Al-Baqir, (Bandung: Mizan, 1996), hlm.29

Yusuf Al-Qardhawi, Al-Madkhal li Dirasah As-Sunnah An-Nabawiyyah, Terj. Agus Suyadi Raharusun, Dede Rodin; Pengantar Studi Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), Hlm. 122. M Alfatih suryadilaga, Ulumul Hadits, Hlm. 129-130. Nuruddin, Ulumul Hadits, (Bandung: Rosda Karya, 2012), Hlm.70-83

M Alfatih suryadilaga, Ulumul Hadits, Hlml.130.

Nuruddin, Ulumul Hadits, (Bandung: Rosda Karya, 2012), Hlm. 61-63

Ilmu Hadits Riwayah adalah ilmu Hadits yang membahas ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan Nabi Saw, perwayatannya, pencatatannya dan penelitian lafal-lafanya. Nuruddin, Ulumul Hadits, (Bandung: Rosda Karya, 2012), Hlm. 19

Syuhudi Ismail, Kaedah-Kaedah Kesahihan Sanad, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), Hlm. 57

Syuhudi Ismail, Kaedah-Kaedah, Hlm. 23-24

M Alfatih suryadilaga, Ulumul Hadits, Hlm.. 110-112, 127-128. Nuruddin, Ulumul Hadits, (Bandung: Rosda Karya, 2012), Hlm. 209-221

Mundzier Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003),

11