kritik matan hadits

22
Kritik Matan Hadits I. Pendahuluan Tidak perlu diragukan bahwa hadis merupakan sumber ajaran Islam di samping al-Qur'an. Mengingat begitu pentingnya hadis, maka studi atau kajian terhadap hadis akan terus dilakukan, bukan saja oleh umat Islam, tetapi oleh siapapun yang berkepentingan terhadapnya. Berbeda dengan ayat-ayat al-Qur'an yang semuanya dapat diterima, hadis tidak semuanya dapat dijadikan sebagai acuan atau hujah. Hadis ada yang dapat dipakai ada yang tidak. Di sinilah letak perlunya meneliti hadis. Agar dapat meneliti hadis secara baik diperlukan antara lain pengetahuan tentang kaidah dan atau metodenya. Atas dasar itulah, para ulama khususnya yang menekuni hadis telah berusaha merumuskan kaidah dan atau metode dalam studi hadis.[1] Buah dari pengabdian dan kerja keras mereka telah menghasilkan kaidah dan berbagai metode yang sangat bagus dalam studi hadis, terutama untuk meneliti para periwayat yang menjadi mata rantai dalam periwayatan hadis (sanad). Bahkan dapat dikatakan bahwa untuk studi sanad ini, secara metodologis sudah relatif mapan yang ditunjang dengan perangkat pendukungnya. Apalagi pada zaman sekarang, dengan memanfaatkan teknologi komputer, studi sanad hadis dapat dilakukan secara sangat efisien dan lebih akurat dengan kemampuan mengakses referensi yang jauh lebih banyak.

Upload: rahyu-wahyuningrat

Post on 25-Jul-2015

201 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kritik Matan Hadits

Kritik Matan Hadits

I. Pendahuluan

Tidak perlu diragukan bahwa hadis merupakan sumber ajaran Islam

di samping al-Qur'an. Mengingat begitu pentingnya hadis, maka studi atau

kajian terhadap hadis akan terus dilakukan, bukan saja oleh umat Islam,

tetapi oleh siapapun yang berkepentingan terhadapnya.

Berbeda dengan ayat-ayat al-Qur'an yang semuanya dapat

diterima, hadis tidak semuanya dapat dijadikan sebagai acuan atau hujah.

Hadis ada yang dapat dipakai ada yang tidak. Di sinilah letak perlunya

meneliti hadis. Agar dapat meneliti hadis secara baik diperlukan antara lain

pengetahuan tentang kaidah dan atau metodenya.

Atas dasar itulah, para ulama khususnya yang menekuni hadis telah

berusaha merumuskan kaidah dan atau metode dalam studi hadis.[1] Buah

dari pengabdian dan kerja keras mereka telah menghasilkan kaidah dan

berbagai metode yang sangat bagus dalam studi hadis, terutama untuk

meneliti para periwayat yang menjadi mata rantai dalam periwayatan hadis

(sanad). Bahkan dapat dikatakan bahwa untuk studi sanad ini, secara

metodologis sudah relatif mapan yang ditunjang dengan perangkat

pendukungnya. Apalagi pada zaman sekarang, dengan memanfaatkan

teknologi komputer, studi sanad hadis dapat dilakukan secara sangat efisien

dan lebih akurat dengan kemampuan mengakses referensi yang jauh lebih

banyak.

Sementara itu, untuk studi matan atau teks hadis yang di dalamnya

memuat informasi-informasi dari atau tentang Nabi Muhammad saw., secara

metodologis masih jauh tertinggal. Karena itulah, hendaknya terus dilakukan

upaya untuk megembangkan atau merumuskan kaidah dan metode untuk

studi matan hadis.

A. Pengertian Kritik Matan

Page 2: Kritik Matan Hadits

Yang disebut dengan matan hadits ialah pembicaraan (kalam) atau

materi berita yang diover oleh beberapa sanad, baik pembicaraan itu berasal

dari sabda Rasulullah saw., sahabat, ataupun tabi'in; baik isi pembicaraan itu

tentang perbuatan Nabi maupun perbuatan sahabat yang tidak disanggah

oleh Nabi.[2]

Dalam literatur Arab kata “an-naqd” dipakai untuk arti “kritik” atau

“memisahkan yang baik dari yang buruk. Kata “kritik”[3] berasal dari bahasa

Yunani krites yang artinya “seorang hakim, krinein berarti “menghakimi”,

kriterion berarti “dasar penghakiman”[4]. Dalam konteks tulisan ini kata

“kritik” dipakai untuk menunjuk kepada kata an-naqd dalam studi hadis.[5]

Dari arti kebahasaan tersebut, kata "Kritik" bisa diartikan upaya

membedakan antara yang benar (asli) dan yang salah (palsu) .Kata “an-

naqd” ini telah digunakan oleh beberapa ulama hadis sejak awal abad kedua

Hijriah, hanya saja istilah ini belum populer di kalangan mereka.

Berdasarkan pada perumusan definisi kritik hadits di atas

hakikatnya kritik hadits bukan digunakan untuk menilai salah atau

membuktikan ketidak benaran sabda Rasulullah Saw, karena otoritas

nubuwwah dan penerimaan mandat risalah dijamin terhindar dari salah

berkata atau melanggar norma.[6]

Sedangkan sebagai disiplin Ilmu Kritik hadits adalah:

اهله عند معلمه دالئل دات خاصة بألفاظ وتعديال تجريحا الرواة على الحكم

االشكال ولرفع تضيفها او لتصحيحها سندها صح التى االحادث متنون والنظر

دقيقه مقاييس بتطبيق بينها التعارض ودفع صحيحها من مشكل بدا عما

Penetapan status cacat atau adil pada perawi hadits dengan

mengunakan idiom khusus berdasarkan bukti-bukti yang mudah

diketahui oleh ahlinya, dan mencermati matam-matan hadits sepanjang

sahih sanadnya untuk tujuan mengakui validitas atau menilai lemah dan

Page 3: Kritik Matan Hadits

upayta menyingkap kemuskilan pada matan hadits yang shahih serta

mengatasi gejala kontradiksi antar matan dengan mengaplikasikan tolok

ukur yang detail.[7]

B. Kegelisahan Akademik Tentang Kritik Matan

Dari pengertian kata atau istilah kritik di atas, dapat ditegaskan

bahwa yang dimaksud dengan kritik matan hadis (naqd al-matn) dalam

konteks ini ialah usaha untuk menyeleksi matan-matan hadis sehingga dapat

ditentukan antara matan-matan hadis yang sahih atau lebih kuat dan yang

tidak.

Kesahihan yang berhasil diseleksi dalam kegiatan kritik matan

tahap pertama ini baru pada tahap menyatakan kesahihan matan menurut

eksistensinya. Pada tahap ini belum sampai pada pemaknaan matan hadis,

kendatipun unsur-unsur interpretasi matan boleh jadi ada terutama jika

menyeleksi matan dengan cara melihat tolok ukur kesahihan matan hadis.

[8]

Bila terdapat matan-matan hadis yang sangat rumit dikritik atau

diseleksi berkaitan dengan pemaknaannya, maka hal tersebut “diserahkan”

kepada studi matan hadis tahap kedua yang menangani interpretasi atau

pemaknaan matan hadis (ma’na al-hadits).[9]

Kritik hadits yang dilakukan para ahli hadits tidak hanya terbatas

pada sanad, seperti anggapan sebagian orang. Kritik juga meluas pada

matan dan makna hadits. Hal ini sudah dimulai sejak masa sahabat dan

tumbuh berkembang pada era berikutnya.

Karena jumlah periwayat yang tidak dapat dipercaya riwayatnya

semakin bertambah banyak. Perhatian ulama untuk meneliti matan dan

sanad hadis makin bertambah besar dan mereka pun merumuskan kaidah

dan cara untuk melakukan kritik atau seleksi hadis.

Page 4: Kritik Matan Hadits

Misalnya saja, untuk menyeleksi hadis-hadis yang sahih dan yang

maudu' para pakar hadis menetapkan ciri-ciri hadits maudu’ sebagai tolok

ukurnya, begitu juga dalam hadis palsu ulama hadits telah menetapkan

tanda-tanda matan hadis yang palsu[10].

Sedangkan kajian terhadap masalah-masalah yang menyangkut matan disebut naqd

al-matan (kritik matan) atau kritik intern. Disebut demikian karena yang dibahasnya adalah

materi hadis itu sendiri, yakni perkataan, perbuatan atau ketetapan Rasulullah SAW. Pokok

pembahasannyameliputi:

1. Rakhakhah al-lafz yakni kejanggalan-kejanggalan dari segi redaksi

2. Fasad al-ma'na, yakni terdapat cacat atau kejanggalan pada makna hadis karena bertentangan

dengan al-hiss (indera) dan akal, bertentangan dengan nash Al-Qur' an, dan bertentangan

dengan fakta sejarah yang terjadi pada masa Nabi SAW serta mencerminkan fanatisme

golongan yang berlebihan

3. kata-kata gharib (asing), yakni kata-kata yang tidak bisa dipahami berdasarkan maknanya

yang umum dikenal.

C. Para Generasi (sahabat, Tabi'in) dalam Kritik Hadits

1. Pada Masa Sahabat

Secara historis, sesungguhnya kritik atau seleksi (matan) hadis

dalam arti upaya untuk membedakan antara yang benar dan yang salah

telah ada dan dimulai pada masa Nabi masih hidup meskipun dalam bentuk

yang sederhana. Praktik penyelidikan atau pembuktian untuk meneliti hadis

Nabi pada masa itu tercermin dari kegiatan para sahabat pergi menemui

atau merujuk kepada Nabi untuk membuktikan apakah sesuatu benar-benar

telah dikatakan oleh beliau. Praktik tersebut antara lain pernah dilakukan

oleh Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab, ‘Abdullah bin ‘Amr, ‘Umar bin

Khattab, Zainab istri Ibn Mas’ud dan lain-lain.[11]

Pada periode sahabat menurut pengamatan Al-Hakim (w. 405

h. )dan al-Dzahabi (w. 748 h) adalah Abu Bakar al-Shiddiq (w. 13 h) sebagai

tokoh perintis pemberlakuan uji kebenara pemberlakuan hadits.[12] Motif

utama penerapan kritik hadits adalah dalam rangka melindungi agar tidak

Page 5: Kritik Matan Hadits

terjadi kedustaan dengan mengatasnamakan Rasulullah Saw. Motif seperti

itu terungkap pada pernyataan Umar Ibn Khatab kepada Abu Musa al-Az'ari:

"Saya sesungguhnya tidak mencurigai kamu, akan tetapi saya khawatir

orang (dengan seenaknya) memperkatakan sesuatu atas nama Rasulullah

Saw.[13]

Kaidah Kritik lebih tertuju pada uji kebenaran bahwa Rasulullah

benar-benar menginformasikan hadits tersebut. Namun apabila ada seorang

sahabat yang meriwayatkan hadits dengan kalimat yang berbeda namun

semakna (Syahid al-Hadits) maka cara yang dilakukan cukup meminta agar

sahabat periwayat hadits berhasil mendatangkan sahabat lain (sebagai

riwayat pendukung) yang memberikan kebenaran atas hadits Nabawi yang

ia beritakan. Langkah metodologis tersebut berkesan seakan akan kalangan

sahabat tidak bersedia menerima informasi hadits kecuali dibuktikan

minimal oleh dua orang yang sama-sama menerima hadits tersebut dari

Rasulullah Saw.[14]

Tradisi kritik Matan di lingkungan sahabat selain menerapkan

kaidah muqaranah[15] berlaku juga metode Mu'aradhah[16], namun

pengunaan metode Mu'aradhah pada periode sahabat belum sepesat

periode Tabi'in.[17]Langkah pencocokan dalam metode Mu'aradhah dengan

petunjuk eksplisit dari al-Quran (Zhahir al-Quran), pengetahuan kesejarahan

(sirah Nabawiah) dan dengan penalaran akal sehat.

Uji kecocokan hadits dengan petunjuk eksplisit al-Quran misalnya

pengakuan pribadi Fatimah binti Qais al-Quraisiah bahwa ketika dirinya

dinyatakan jatuh thalaq ba'in oleh suaminya. Rasulullah Saw Tidak

memberikan fasilitas nafakah maupun kediaman atas beban suaminya,

selama menjalani masa 'iddah (HR. Muslim dan Abu Dawud)[18]. Khalifah

Umar bin Khatab menolak pengakuan tersebut yang di asosiasikan kepada

Nabi Saw karena menurut keyakinan pribadinya informasi hadits tersebut

bertentangan dengan petunjuk eksplisit al-Quran seperti terbaca pada surah

at-Thalaq ayat 6.

Page 6: Kritik Matan Hadits

� �

Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut

kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk

menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah

ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga

mereka bersalin, Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu

untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah

di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui

kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.

Ketika dilakukan verifikasi data pada subjek Fatimah binti Qais

ternyata yang bersangkutan bermula mohon perkenaan Nabi untuk tidak

tinggal di rumah keluarga suami selama menjalani masa iddah dengan

pertimbangan di lokasi perkampungan mantan suami banyak berkeliaran

binatang buas. Seperti terungkap pada koleksi al-Bhukari, Ibnu Majah serta

Abu Dawud. Jadi pengakuan Fatimah binti Qais itu dari persepsi pribadinya

bahwa persetujuan Nabi Saw tidak mengisyaratkan adanya fasilitas nafaqah

dan tempat tinggal selama masa 'iddah pasca thalaq ba'in menimpanya.[19]

2. Periode Tabi'in

Pada periode pasca sahabat, mulai ditandai dengan penyebaran

hadis yang semakin banyak dan meluas, dan banyak bermunculan (matan-

matan)} hadis palsu (maudu’). Menanggapi keadaan seperti itu, bangkitlah

para ulama untuk melakukan kritik atau seleksi guna menentukan hadis-

hadis yang benar-benar berasal dari Nabi.[20]

Integritas keagamaan pembawa berita hadits mulai diteliti sejak

terjadi fitnah, yakni peristiwa terbunuhnya Usman bin Affan yang berlanjut

Page 7: Kritik Matan Hadits

dengan kejadian-kejadianlain sesudahnya. Fitnah tersebut melahirkan

berbagai pertentangan yang tajam di antara umat Islam, sehingga keutuhan

umat islam menjadi terpecah. Pemuka aliran sekterian itu memanfaatkan

institusi hadits sebagai propaganda dan upaya membentuk umat dengan

cara membuat hadits-hadits palsu.[21]

Fakta pemalsuan itu membangkitkan kesadaran Muhaditsin untuk

melembagakan sanad sebagai alat kontrol periwayatan hadits sekaligus

mencermati kecenderungan sikap keagamaan dan politik orang per-orang

yang menjadi mata rantai riwayat itu. Dalam rangka mengimbangi

pelembagaan sanad maka lahirlah kegiatan Jar wa-ta'dil[22]. Kegiatan Jarh

wa-ta'dil menurut pengamatan al-Dzahabi (w. 784 h) telah melibatkan 715

kritikus.[23]Data itu cukup mengisyaratkan bahwa penalsuan hadits tak

terbendung dan berlangsung dalam waktu yang lama (21 generasi) serta

bertempat di banyak daerah.

Sekalipun Kritik sanad telah memperoleh perhatian yang besar di

kalangan muhaddits generasi tabi'in, bukan berarti tradisi kritik matan di

hentikan, bahkan penerapan metode mu'aradhah (pencocokan) semakin

diperluas jangkauannya.

Sebagai bukti ketika Kuraib (seoarang murid Ibnu Abbas) membawa

hadits tentang pembetulan posisi berdiri Abdullah bin Abbas berada di

samping Nabi Saw saat makmum shalat malam di kediaman Maimunah,

menurut penuturan Imam Muslim bin al-Hajaj (w 261 h) dalam al-Tamyiz

telah di upayakan uji kebenaran redaksi matanya dengan melibatkan empat

orang murid kuraib dan sembilan murid hadits Ibnu Abbas yang seangkatan

masa belajarnya dengan kuraib.[24] Dari cara Mu'aradhah itu diperoleh

kepastian bahwa Nabi Saw memposisikan sikap berdiri Ibnu Abbas selaku

makmum tunggal di samping kanan badan Nabi Saw. Dengan hasil akhir

seperti itu, ungkapan matan yang melalui Yazid bin Ali Zinad dari khuraib

dinyatakan lemah (maghlub).

Page 8: Kritik Matan Hadits

Demikian pula kritik asal makna (konsep ajaran) yang dikandung

matan hadits makin berfariasi kaedah yang di terapkan. Perkembangan

Kritik Matan Hadits bergerak melalui spesialisasi keilmuan dan

kecenderungan pemikir hadits.[25]

Ulama hadits yang menekuni keahlian bahasa mencermati dan

memperbandingkan bahasa (gaya bahasa) teks matan hadits yang bersifat

Qauliy dengan ukuran bahasa tutur Nabi Saw dalam komunikasi sehari-hari

yang dikenal sanggat fasih. Ulama Hadits denga spesialisasi pendalaman

konsep doktrinal memperbandingkanya dengan konsep kandungan sesama

hadits (sunah) dan dengan al-Quran. Kritik oleh muhadits yang membidangi

akidah dan mutakalimin terfokus pada hadits-hadits bermateri sifat-sifat

Allah dan materi alam gaib dengan kaedah menyikapi gejala kemuskilan.

Kritikus hadits generasi mutakhir sibuk merespon sikap keragu-

raguan dalam memahami dan mengoperasionalkan ajaran hadits berhubung

dinamika ilmu pengetahuan dan teknologi serta kecenderungan bersikap

kritis umat masa kini.[26]

D. Perhatian Ahli Hadits Tentang Kritik Matan

Di antara bukti adanya usaha pengembangan metodologi studi

(kritik) matan hadis itu, terlihat dari terbitnya sejumlah buku. Misalnya, pada

tahun 1983 penerbit Dar al-Afaq di Beirut menerbitkan buku karya Salah ad-

Din al-Adlabi yang berjudul Manhaj Naqd al-Matn ‘inda al-Ulama’ al-Hadis an-

Nabawi. Setahun kemudian yakni 1984 di Riyad terbit buku karya Musfir

‘Azm Allah ad-Dumaini yang berjudul Maqayis Naqd al-Mutun as-Sunnah.

Tahun 1986 di Tunis, Muassasat Abdul Karim bin ‘Abd Allah menerbitkan

buku karya Muhamad Tahir al-Jawabi yang berjudul Juhud al-Muhaddisin fi

Naqd al-Mutun al-Hadis an-Nabawi asy-Syarif. Dan tahun 1989 al-Ma’had al-

Islami li al-Fikr al-Islmi, yang berkedudukan di Amerika menerbitkan buku

karya Yusuf al-Qardawi yang berjudul Kaifa Nata’amalu ma’a as-Sunnah an-

Nabawiyyah.[27]

Page 9: Kritik Matan Hadits

Dalam karya-karya tersebut di atas mereka telah berusaha

merumuskan metode studi (kritik) matan hadis, dalam konteks ini term kritik

dimaksudkan tidak sekedar seleksi atau koreksi teks/matan hadis, tetapi

juga pada aspek interpretasi atau pemaknaan teks/matan hadis.

Kritik matan hadis dalam pengertianya adalah melakukan seleksi

dan koreksi terhadap berbagai naskah kitab hadis sampai sekarang masih

banyak dipraktikkan, dengan model-model yang semakin bagus. Upaya kritik

matan yang dapat dikategorikan dalam konteks ini, misalnya terlihat dari

banyaknya kitab-kitab kumpulan hadis yang diterbitkan setelah dilakukan

penelitian berupa koreksi tahqiq[28] atau tadbit, pada umumnya dengan

memberikan komentar singkat dalam catatan kaki dan terkadang

memberikan takhrij[29] al-hadis-nya.

Misalnya, kritik teks yang dilakukan oleh Dr. Muhammad Ibrahim al-

Hifnawi, dosen mata kuliah ushul al-fiqh di Fakultas Syari’ah Kairo, terhadap

kitab an-Nasikh wa al-Mansukh min al-Hadits karya Abu Hafs Umar bin

Ahmad bin Syahin al-Bagdadi (w. 385 H) yang lebih dikenal dengan nama

Ibnu Syahin dan kitab Ikhbar Ahl ar-Rusukh fi al-Fiqh wa at-Tahdits bi Miqdar

al-Mansukh min al-Hadits karya Imam Abu al-Faraj Abd ar-Rahman bin al-

Jauzi (w. 597 H) yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Jauzi. Atau kritik yang

dilakukan oleh Dr. Mustafa al-A’zami terhadap naskah/teks kitab himpunan

hadis Sahih Ibn Khuzaimah.

E. Metode Apresiatif Untuk mendeteksi Matan Hadits

Dilihat dari objek kritiknya, model kritik teks/matan hadis Nabi

dapat dibagi menjadi dua macam :

1. kritik matan pra kodifikasi “semua” hadis, dalam kitab-kitab hadis. Dan

2. kritik matan pasca kodifikasi “semua” hadis.

Untuk kritik matan hadis model pertama pernah dilakukan oleh

sejumlah sahabat Nabi dan sejumlah ulama kritikus hadis. Karena perbedaan

keadaannya, tentu saja model pertama ini tidak dapat sepenuhnya dilakukan

Page 10: Kritik Matan Hadits

oleh para kritikus hadis pasca kodifikasi, termasuk zaman sekarang, apalagi

rentang waktunya sudah sangat jauh. Namun demikian, tidak menutup

kemungkinan sebagian metode atau teknik yang pernah diterapkan dalam

kritik teks/matan hadis pra kodifikasi hadis, dapat diaplikasikan untuk kritik

matan pasca kodifikasi hadis.

Pengklasifikasian ini diperlukan karena memiliki implikasi terhadap

metode atau teknik kritik matan hadis. Berikut ini akan diuraikan metode

kritik matan-matan hadis pra kodifikasi dan pasca kodifikasi.

a. Metode Kritik Matan Hadits prakodifikasi.

Dari berbagai teknik dalam kritik matan hadis periode ini secara

umum dapat dikategorikan memakai metode perbandingan (comparative).

Di antara teknik-teknik perbandingan yang tercatat pernah dipraktikkan

adalah dengan teknik sebagai berikut:

1. Membandingkan matan hadis dengan ayat al-Qur’an yang

berkaitan.

Teknik ini kerap kali dilakukan oleh sejumlah sahabat Nabi. Umar

bin Khattab misalnya, ia pernah mempertanyakan dan kemudian menolak

hadis yang diriwayatkan oleh Fatimah bin Qais yang menyatakan bahwa

wanita yang dicerai tidak berhak menerima uang nafkah (dari mantan

suaminya). Menurut Umar (matan) hadis tersebut, bila dibandingkan tidak

sejalan dengan bunyi ayat al-Qur'an.[30]

2. Membandingkan (matan-matan) hadis dalam dokumen tertulis

dengan hadis-hadis yang disampaikan dari hafalan.[31]

Imam Bukhari (w. 256 H=870 M) pernah melakukan teknik ini pada

saat menghadapi matan hadis tentang mengangkat tangan ketika akan ruku

dalam shalat, yang diriwayatkan oleh Sufyan melalui Ibnu Mas’ud. Setelah

membandingkannya, Bukhari memutuskan untuk memilih hadis yang

diriwayatkan oleh Yahya bin Adam yang teleh mengeceknya dari kitab

Page 11: Kritik Matan Hadits

‘Abdullah bin Idris (dalam versi tulisan), dan pada matan tersebut tidak

memuat redaksi yang mengundang perselisihan.

3. Perbandingan antara pernyataan dari seorang periwayat yang

disampaikan pada waktu yang berlainan.

Teknik perbandingan ini pernah dipraktikkan oleh ‘Aisyah salah

seorang istri nabi. Aisyah pernah meminta keponakannya, yaitu ‘Urwah bin

Zubair untuk menanyakan sebuah hadis, yaitu tentang ilmu dan

dihilangkannya ilmu dari dunia, kepada Abdullah bin ‘Amr bin al-‘As (w. 65

H=685 M) yang tengah menunaikan ibadah haji. ‘Abdullah pun

menyampaikan hadis yang ditanyakan itu. Karena Aisyah merasa tidak puas,

tahun berikutnya, ia meminta Urwah kembali menemui Abdullah yang naik

haji lagi dan menanyakan hadis yang telah ditanyakannya setahun yang lalu.

Ternyata lafal hadis yang disampaikan oleh Abdullah sama persis dengan

lafal yang disampaikannya setahun yang lalu.[32]

4. Membandingkan hadis-hadis dari beberapa murid yang mereka

terima dari satu guru.

Teknik ini misalnya dipraktikkan oleh (Yahya) Ibnu Ma’in (w.233

H=848 M) salah seorang ulama kritikus hadis terkemuka. Ia pernah

membandingkan karya Hammad bin Salamah (w. 167 H=784 M) seorang

kritikus terkenal dari Basrah, dengan cara menemui dan mencermati tulisan

delapan belas orang murid Hammad. Dari hasil perbandingan tersebut

ternyata Ibnu Ma’in menemukan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh

Hammad maupun murid-muridnya.

5. Melakukan rujuk silang antara satu periwayat dengan periwayat

lainnya.

Teknik ini pernah dilakukan oleh Marwan bin Hakam. Peristiwanya

bermula tatkala Marwan menerima hadis yang disampaikan oleh ‘Abd ar-

Rahman bin al-Mugirah bin Hisyam bin al-Mugirah yang bersumber dari

‘Aisyah dan Ummu Salamah yang menyatakan bahwa Rasulullah saw. Ketika

waktu fajar (salat Subuh) beliau dalam keadaan berhadas besar (karena

Page 12: Kritik Matan Hadits

pada malam harinya bersenggama dengan istri beliau). Kemudian beliau

mandi dan tetap berpuasa (pada hari itu). Mendengar hadis tersebut,

Marwan segera menyuruh ‘Abd ar-Rahman menemui Abu Hurairah, karena

Abu Hurairah pernah meriwayatkan hadis yang menyatakan bahwa apabila

sesorang pada waktu Subuh masih dalam keadaan berhadas besar karena

pada malam harinya bersenggama dengan istrinya, maka Nabi menyuruh

orang tersebut membuka puasanya. ‘Abd ar-Rahman menemui Abu Hurairah

di Zulhulaifah, dan menyampaikan kepadanya hadis yang diriwayatkan

melalui Aisyah dan Ummu Salah (tersebut di atas). Pada saat itu Abu

Hurairah menjelaskan bahwa ia menerima hadis tersebut tidak langsung dari

Nabi, melainkan dari al-Fadl bin ‘Abbas, sehingga menurut Abu Hurairah Fadl

lah yang lebih mengetahui hadis tersebut.[33]

b. Metode kritik matan hadis pasca kodifikasi.

Seperti halnya kritik matan hadis pra kodifikasi, untuk kritik matan

pasca kodifikasi pun metode perbandingan tetap masih dominan dan

relevan, hanya saja teknik-tekniknya perlu disesuaikan sebagaimana telah

disinggung sebelumnya. Secara rinci, dapat diuraikan bahwa teknik kritik

matan pada fase ini, termasuk zaman sekarang, dapat dilakukan antara lain

dengan teknik sebagai berikut:

1. Membandingkan matan-matan hadis dengan ayat al-Qur’an yang

terkait atau memiliki kedekatan susunan redaksi.

Dalam teknik ini sesungguhnya tidak lagi sekedar kritik

perbandingan teks, tetapi perlu melibatkan aspek pemahaman atau

pemaknaan teks. Membandingkan teks atau matan-matan hadis dengan

ayat-ayat al-Qur'an dari susunan redaksi adalah kurang proposional, karena

redaksi atau lafal-lafal al-Qur'an diriwayatkan secara mutawatir, sedangkan

matan-matan hadis hampir seluruhnya diriwayatkan menurut maknanya saja

(riwayah bi al-ma’na). Namun demikian, perbandingan teks ini bukanlah hal

yang mustahil dilakuan, dan analisis perbandingan matan-matan hadis

dengan al-Qur'an tetap membantu proses kritik, misalnya ketika terjadi

Page 13: Kritik Matan Hadits

perbandingan matan-matan hadis yang semakna dengan redaksi yang

berbeda, sementara terdapat ayat al-Qur'an yang memiliki kemiripan

(susunan redaksinya). Dalam konteks ini jelaslah bahwa keakuratan dalam

penujukan ayat yang menjadi pembandingnya merupakan prasyarat untuk

dapat melakukan kritik matan hadis melalui ayat al-Qur'an.

2. Membandingkan antara matan-matan hadis.

Agar dapat melakukan kritik matan hadis dengan teknik ini,

hendaknya didahului dengan langkah pertama yaitu menghimpun matan-

matan hadis. Untuk itulah penelusuran hadis-hadis (secara lengkap sanad

dan matannya) kepada sumber-sumber aslinya yang dikenal dengan istilah

takhrij al-hadis, dalam tahap ini sangatlah diperlukan.

Teknik-teknik perbandingan atau yang lainnya untuk melakukan

kritik matan, dapat terus dikembangkan. Dan hal ini bisa dilakukan dengan

terus melakukan latihan atau praktik.

F. Kesimpulan

Dari uraian di atas, perlu ditegaskan kembali bahwa kritik matan

hadis merupakan bagian yang sangat penting dan integral dalam proses

studi (matan) hadis. Secara praktis, kritik ini memang telah ada sejak para

sahabat Nabi, dan dilanjutkan oleh para kritikus hadis terutama pra

kodifikasi hadis.

Kesahihan yang berhasil diseleksi dalam kegiatan kritik matan

tahap pertama baru sampai pada tahap menyatakan kesahihan matan

menurut eksistensinya. Pada tahap ini belum sampai pada pemaknaan

matan hadis, kendatipun unsur-unsur interpretasi matan boleh jadi ada

terutama jika menyeleksi matan dengan cara melihat tolok ukur kesahihan

matan hadis.[34]

Bila terdapat matan-matan hadis yang sangat rumit dikritik atau

diseleksi berkaitan dengan pemaknaannya, maka hal tersebut “diserahkan”

Page 14: Kritik Matan Hadits

kepada studi matan hadis tahap kedua yang menangani interpretasi atau

pemaknaan matan hadis (ma’na al-hadits).[35]

Dan saat ini matan-matan hadis telah terkodifikasikan, tetapi masih

belum terumuskan kaidah-kaidah atau metode kritik matan. Oleh karena itu,

tulisan ini merupakan bagian dari usaha untuk mengembangkan studi kritik

matan hadis dari aspek motodenya.

Daftar Pustaka

Abu Dawud, Sunan Abi Dawud (Mesir : Maktabah Tijariah Kubro) th 1951.

indeks hadits 5184

Khudlari Byk, Tarikh al-Tasyri' al-Islami (Mesir: Dar Ihya' al-Kutub) Th 1964,

hlm 113

Abbas, Hasjim. Kritik Matan Hadits ( Yogyakarta : Teras) th 2004

Al-Asqalani, Ibnu Hajar. Fath al-Bari bi Syarh Sahih al-Bukhari. Juz III dan IV.

Diberi nomor oleh Muhamad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, dan dikoreksi oleh

Muhibuddin al-Khatib. t.k.: Maktabah as-Salafiyah, t.t.

Atar Semi, Kritik Sastra (Bandung: Angkasa) th. 1987

Azami, Muhammad Musthafa. Metodologi Kritik Hadis. Terj. A. Yamin. Jakarta:

Pustaka Hidayah, 1992.

CD (Compact Disk) Mausu’ah al-Hadis\ asy-Syarif .

http://elkhalil.multiply.com/journal/item/28

http://kafilahcinta.roomforum.com/al-hadist-f3/arti-sanad-dan-matan-hadis-

t9.htm

http://mandicahaya.blogspot.com/2009/02/study-matan-hadis.html

Page 15: Kritik Matan Hadits

http://myislam.blogspot.com/2007/01/kritik-matan-hadist-shahih-bukhari-

vs.html

http://opi.110mb.com/haditsweb/pendahuluan/sanad_dan_matan.htm

http://penulispinggiran.blogspot.com/2008/09/proses-dan-prosedur-

penelitian-matan.html

http://www.cybermq.com/pustaka/detail//98/ulumul-hadis-hadis-ar--ulum-al-

hadls

http://www.ustsarwat.com/search.php?id=1204143059

Ismail, M. Syuhudi. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan

Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang, 1988.

[1] http://elkhalil.multiply.com/journal/item/28

[2] http://kafilahcinta.roomforum.com/al-hadist-f3/arti-sanad-dan-matan-hadis-t9.htm

[3] Kata "kritik" berkonotasi pengertian bersifat tidak lekas percaya, tajam dalam penganalisaan, ada uraian baik buruk terhadap suatu karya. ( Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka) hlm. 466

[4] Atar Semi, Kritik Sastra (Bandung: Angkasa, 1987) hlm.7.

[5] http://elkhalil.multiply.com/journal/item/28

[6] Abbas, Hasjim. Kritik Matan Hadits ( Yogyakarta : Teras) hlm. 10

[7] Al-Jawabi, juhud al-Muhaditsin, hlm 94

[8] http://mandicahaya.blogspot.com/2009/02/study-matan-hadis.html

[9] http://elkhalil.multiply.com/journal/item/28

[10] ciri-ciri yang telah ditetapkan antara lain : Apabila susunan bahasanya rancu, isinya bertentangan dengan akal yang sehat dan sangat sulit diinterpretasikan secara rasional, isinya bertentangan dengan tujuan pokok ajaran Islam, isinya bertentangan dengan hukum alam (sunnatullah), isinya bertentangan dengan sejarah, isinya bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an atau hadis mutawatir yang telah mengandung petunjuk secara pasti, isinya berada di luar

Page 16: Kritik Matan Hadits

kewajaran bila diukur dari petunjuk ajaran Islam.(http://mandicahaya.blogspot.com/2009/02/study-matan-hadis.html)

[11] Setelah Nabi wafat (11 H=632 M), tradisi kritik hadis dilanjutkan oleh para sahabat. Pada periode ini, tercatat sejumlah sahabat perintis dalam bidang ini, yaitu Abu Bakar as-Siddiq (w. 13 H=634 M), yang diikuti oleh Umar bin Khattab (w. 234 H=644 M) dan Ali bin Abi Thalib (w. 40 H=661 M). Sahabat-sahabat lain yang dikenal pernah melakukan kritik hadis, misalnya ‘Aisyah (w. 58 H=678 M) istri Nabi, dan ‘Abd Allah bin ‘Umar bin al-Khattab (w. 73 H=687 M) Abbas, Hasjim. Kritik Matan Hadits ( Yogyakarta : Teras) hlm 27

[12] M.M. al-Azhami, Manhaj al-Naqd, Hlm 10-11 dan al-Jawabi, Juhud al- Muhadditsin, hlm 103

[13] Abu Dawud, Sunan Abi Dawud (Mesir : Maktabah Tijariah Kubro) th 1951. indeks hadits 5184

[14] Khudlari Byk, Tarikh al-Tasyri' al-Islami (Mesir: Dar Ihya' al-Kutub) Th 1964, hlm 113

[15] Muqaranah : perbandingan antar sesama riwayat dari sesama sahabat. Pola Muqaranah antar riwayat ini kelak menyerupai praktik iktibar guna mendapatkan data syahid al-Hadits agar asumsi kemandirian sahabat periwayat hadits bisa dibuktikan

[16] Metode Mu'aradhah adalah pencocokan konsep yang menjadi muatan pokok setiap matan hadits, agar tetap terpelihara keselarasan antar dalil syari'at dengan Hadits.

[17] MM. Al-A'zami, Manhaj al-Naqd, hlm 59

[18] Abu Dawud ,Sunan Abi Dawud, no. Indeks 2284 & 2290.

[19] Abbas, Hasjim. Kritik Matan Hadits ( Yogyakarta : Teras) hlm 30-33

[20] http://elkhalil.multiply.com/journal/item/28

[21] Hasjim Abbas. Kritik Matan Hadits ( Yogyakarta : Teras) hlm 34

[22] mencermati kecacatan pribadi perawi dan keterpujianya.

[23] Al-Jawabi, Juhud al-Muhadditsin, hlm 144

[24] MM. Al-A'zami, Manhaj al-Naqd, hlm 183-184

[25] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, hlm. 122

[26] Apabila pada periode sahabat kritik matan hadits dilakukan semata-mata guna memperoleh kemantapan pemberitaan, maka pada pasca fitnah, segala langkah metologis kritik sanad dan

Page 17: Kritik Matan Hadits

matan di orentasikan pada maksud dan tujuan pemikiran maqbul (diterima sebagai hujjah ) atau harus Mardud / ditolak. Hasjim Abbas. Kritik Matan Hadits ( Yogyakarta : Teras) hlm 37)

[27] http://elkhalil.multiply.com/journal/item/28

[28] Kata tahqiq ini memiliki dua pengertian yang pertama berma'na melihat sejauh mana kebenaran yang terkandung di dalam sebuah teks, yang kedua berma'na sebuah Ilmu yang mempelajari seluk beluk teks pada karya –karya peninggalan klasik

[29] Takhrij = Penelusuran atau pencarian hadits dalam berbagai kitab hadits.

[30] Demikian juga ‘Aisyah, dalam beberapa kasus ia pernah mengkritik sejumlah (matan) hadis yang disampaikan (diriwayatkan) oleh sahabat lainnya yang menurut pemahamannya tidak sejalan dengan kandungan ayat al-Qur'an. Sebagai contoh beliau mengkritik hadis yang disampaikan oleh Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas dan ibnu ‘Umar yang menyatakan bahwa orang yang meninggal dunia akan disiksa karena ratapan tangis keluarganya. Menurut ‘Aisyah hadis tersebut tidak sejalan dengan al-Qur'an. http://elkhalil.multiply.com/journal/item/28

[31] Dalam teknik ini apabila ada perbedaan antara versi tulisan dengan versi lisan, para ulama biasanya lebih memilih versi tulisan dari pada versi lisan, karena dianggap lebih kuat (ahfaz).

[32] Hal yang serupa juga pernah dilakukan oleh Marwan bin Hakam (w. 65 H= 685 M) yang pada saat itu sedang menjabat sebagai gubernur Madinah. Ia mengundang Abu Hurairah (w. 58 H=678M) untuk menyampaikan hadis yang pernah disampaikan beberapa waktu sebelumnya http://elkhalil.multiply.com/journal/item/28

[33] Jadi, dapat dinyatakan bahwa metode kritik model pertama ini lebih merupakan pengalaman sejarah, karena hadis-hadis Nabi sekarang ini telah dikodifikasikan. Namun demikian, sebagian metodenya, masih ada yang relevan untuk diterapkan terhadap model kedua dengan adanya modifikasi.

[34] http://mandicahaya.blogspot.com/2009/02/study-matan-hadis.html

[35] http://elkhalil.multiply.com/journal/item/28