penelitian matan hadits

Upload: wahdi-ucak

Post on 09-Jul-2015

285 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

PENELITIAN MATAN HADITS DENGAN PENDEKATAN HADITS SHAHIH, AL QURAN, BAHASA I. PENDAHULUAN Perkataan, kepribadian dan perbuatan Nabi Muhammad Saw merupakan pegangan, dan uswah (tauladan) bagi kita kaum mislimin. Selain itu, sejarah perjuangannya pun dijadikan motivasi bagi ummat Islam sedunia dalam melanjutkan dakwah menyebarkan amar maruf dan nahi mungkar . Oleh karena itu, siapa saja yang ingin mengetahui manhaj (metodologi) keberhasilan perjuangan, karakteristik dan pokok-pokok ajaran Nabi muhammad Saw. Maka hal itu dapat kita pelajri bersama dalam sunnah al Nabawiyyah. Penelitian kualitas hadis perlu dilakukan, bukan berarti meragukan hadis Nabi Muhammad saw, tetapi melihat keterbatasan perawi hadis sebagai manusia, yang ada kalnnya melakukan kesalahan, baik karena lupa maupun karena didorong oleh kepentingan tertentu . Keberadan perawi hadis sangat menentukan kualitas hadis, baik kualitas sanad maupun kualitas matan hadis. Obyek terpenting dalam rangka penilitian hadis ada dua macam, yaitu : (1) materi hadis itu sendiri (matn al hadis) dan (2) rangkaian terhadap sejumlah periwayat yang menyampaikan riwayat hadis (sanad al hadis) II. RUMUSAN MASALAH a. Bagaiman penelitian matan hadits dengan pendekatan hadits shahih? b. Bagaiman penelitian matan hadits dengan pendekatan Al quran ? c. Bagaiman penelitian matan hadits dengan pendekatan bahasa ? III. PEMBAHASAN A. PENELITIAN MATAN Konstruksi hadist secara sederhana tersusun atas pengantar pemberitaan (sanad) dan inti berita (matan). Sanad berfungsi membuktikan proses kesejarahan terjadinya hadist, Sedang matan mempresentasikan konsep ajaran yang terbalut dalam bahasa ungkapan hadist yang diasosiakan kepada sumbernya. Konsekuensi hadist yang demikian menuntut kesadaran bahwa penelitian matan hadist tidak hanya berada dalam wilayah keilmuan semata, melainkan langsung berhubungan dengan ajaran dan keyakinan agama islam. Derajat kebenaran agama islam bertaraf adi kodrati (absolut) karena terjamin oleh otoritas sumbernya, maka kedudukan hadist sebagai wahana untuk memperoleh informasi keislaman perlu diimbangi dengan membatasi ruang gerak penelitian matan agar tidak menjangkau uji kebenaran materi pemberitaan hadist nabawi yang lebih menuntut sikap kedudukan hamba (taabudi). Dengan demikian, aplikasi metodologis penelitian matan bersandar pada kriteria maqbul (diterima) atau mardud (ditolak) untuk kepentingan melandasi pemikiran keagamaan, bukan bersandar pada kriteria benar atau salah menurut penilaian keilmuan rasional atau empiris. Tujuan dari penelitian matan adalah memperoleh data teks yang mempertahankan formula keshahihan makna dan keutuhan kehendak dengan mengeliminir unsur sisipan, tambahan yang mengganggu serta paling minim kesalahan redaksinya. Sebagai konsekuensi arah tujuan kritik matan maka gejala kerancuan bahasa masih bisa ditolerir, berbeda dengan kerancuan dalam makna (konsep ajaran). Penelitian matan yang tidak hanya berada dalam wilayah keilmuan

semata, tapi langsung berhubungan dengan ajaran dan keyakinan agama maka diperlukan metodologi yang tepat. Dalam memasuki langkah penelitian matan hadist ada beberapa hal yang cukup fundamental penting dikemukakan yaitu 1) obyek forma penelitian 2) potensi bahasa teks matan 4) status marfu dan mawquf hadist. Obyek forma penelitian matan disini yaitu mencakup uji ketetapan nisbah ungkapan matan, uji validitas komposisi dan struktur bahasa pengantar matanatau uji teks redaksi serta uji taraf koherensi konsep yang terkandung dalam formula matan hadist. Mengenahi hipotesa dalam penelitian, selama ini kita mengenal bahwa tiap-tiap hadist itu dibagi kepada dua urusan yaitu uruan sanad dan urusan matan. Walaupun keduanya sangat erat kaitannya tetapi perlu diketahui Bahwa antara sanad dan matan tidak mesti ada hubungannya, yakni kalau sanad sudah sah belum tentu matannya pun turut sah begitupun sebaliknya. Tetapi diantaranya hadist hadist riwayat ada yang sah sanad dan matannya ada yang tidak. B. PENELITIAN MATAN HADIS DENGAN PENDEKATAN HADIS SAHIH Selain membandingkan hadis yang mempunyai sanad yang sama dalam melakukan kritik matan, juga membandingkan hadis-hadis yang satu tema namun berbeda sanadnya. Berikut ini akan dibandingkan dua hadis yang berbeda sanadnya yang berisi tentang larangan mengenakan sarung sampai dabawah mata kaki atau memanjangkan sarung. Shahih muslim, kitab iman : Tiga jenis manusia, yang kelak, pada hari kiamat, tidak akan diajak bicara oleh Allah: pertama, seorang manusia (pemberi) tidak memberi sesuatu kecuali untuk diungkit-ungkit; kedua, seorang pedagang yang berusaha melariskan barang dagangannya dengan mengucapkan sumpah-sumpah bohong, dan ketiga,seorang yang membiarkan sarungnya terjulur sampai dibawahkedua mata kakinya, Hadis di atas secara umum mengancam orang yang membiarkan sarungnya terjulur sampai dibawah kedua mata kakinya. Dari hadis tersebut,timbul pertanyaan,apa di balik pelarangan tersebut? Untuk mengetahui kandungan hadis tersebut perlu diperbandingkan dengan hadis-hadis semakna. Salah satu hadis yang semakna dengan hadis di atas adalah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhori, sebagai berikut: Shahih Al bukhari, kitab Al-libas,bab man jarra izarah : Barang siapa menyeret sarungnya (yakni menjulurkannya sampai menyentuh atau hampir menyentuh tanah) karena sombong, maka Allah tidak akan memandang kepadanya pada hari kiamat. Abu bakr bertanya kepada beliau: Ya Rosulullah, salah atu sisi sarungku selalu terjulur

ke bawah, namun saya sering-sering membetulkan letaknya.Nabi Muhammad Saw. Berkata kepadanya: engkau tidak termasuk orang-orang yang mlakukannya karena kesombongan. Setelah dilakukan perbandingan dua hadis yang semakna, maka dapat disimpulkan bahwa larangan menjulurkan sarung sampaimenyentuh tanah adalah yang dilakukan karena ada unsur kesombongan. Kesombongan merupakan salah satu sifat yang sangat dibenci Allah, maka pantaslah Rosulullah mengingatkan umatnya agar tidak melakukan aktivitas yang disertai dengan kesombongan termasuk dalam berpakaian. Memanjangjan sarung, pakaian yang lain,gaun dan celana adalah merupakan tradisi para raja. Pada acara kerajaan, mereka menggunakan pakaian yang mahal,panjang bahkan menjulur ke tanah. Pakaian raja tersebut melambangkan khebatan, kelebihan, dan sekaligus kesombongan terhadap rakyat dan budaknya. Menurut muhaddistin, sekiranya kandungan suatu matan hadis bertntangan dengan matan hadis lainnya, maka perlu diadakan pengecekan secara cermat.sebab, Nabi Muhammad Saw. Tidak mungkin melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan perbuatan yang lainnya, atau mengucapkan suatu kata yang bertentangan dengan perkataan yang lain,demikian pula dengan Alquran. Pada dasarnya, kandungan matan hadis tidak ada yang bertentangan, baik dengan hadis maupun dengan Alquran. Apabila ditemukan ada pertentangan antara keduanya, maka perlu dikaji, apakah pertentangan itu sesungguhnya ataukah pertentangan itu hanya pada lahirnya saja. Hadis yang pada lahirnya bertentangan dapat diselesaikan melalui pendekatan ilmu mukhtalif al hadis. Imam syafiI menulis buku berjudul ikhtilaf al hadis, kemudian disusul oleh ibn Qutaybah dengan bukunya tawil mukhtalif al hadis. Keduanya berusaha menyelesaikan hadis-hadis yang kelihatannya saling bertentangan. Imam SyafiI mengemukakan 4 jalan keluar : pertama, mengandung makna universal (mujmal) dan lainnya terperinci (mufassar); kedua, mengandung makna umum (am) dan lainnya khusus ; ketiga, mengandung makna menghapus (al nasikh) dan lainnya dihapus (mansukh); dan keempat, kedua duanya mungkin dapat diamalkan. Untuk menyatakan suatu hadis bertentangan hadislainnya,diprlukan pengkajian yang mendalam guna menyeleksi hadis yang bermakna univrsal dari yang khusus, hadis yang nasikh dari dari yang mansukh.Ibn Qutaybah menambahkan, bahwa untuk menilai suatu matan hadis baru menggunakan ilmu asbab warud al hadis. Sementara Sihab Al din Abu Al Abbas Ahmad ibn Idris Al Qarafi (w.684 H) menempuh metode al tarjih, yaitudngan cara mencari petunjuk yang mempunyai alasan yang kuat. Dengan metode ini dimungkinkan akan ditempuh cara naikh waal mansukh dan al jamu . Lain halnya dengan Ibn Al Saleh dan Fashih Al Hawari (w. 837 H), yang menempuh tiga metode : al jamu, al Nasikh wa al mansukh, dan al Tarjih . Sementara ibn Hajar Al Asqolani menempuh empat cara, yaitu al jamu, al Nasikh wa al Mansukh al tarjih dan al Tawqif. C. PENELITIAN MATAN HADIS DENGAN PENDEKATAN AL QURAN Penelitian dengan pendekatan ini adalah dilatar belakangi oleh pemahaman bahwa Al quran adalah sebagai sumber pertama dan utama dalam islam untuk melaksanakan berbagai ajaran, baik yang usul maupun yang furu, maka Al quran haruslah berfungsi sebagai penentu hadis yang dapat diterima dan bukan sebaliknya. Hadis yang tidak sejalan dengan Al quran haruslah ditinggalkan sekalipun sanadnya sahih. Hadis yang dapat dibandingkan dengan Alquran hanyalah hadis yang sudah dipastikan kesahihannya, baik dari segi sanad maupun dari matan. Oleh karena itu, menurut Al Syafii tidak

mungkin hadis bertentangan dengan Al Quran. Argumen tersebut didasari oleh pemahaman bahwa Alquran adalah wahyu Allah dan hadis juga wahyu Allah tetapi dalam bentuk lain, maka mustahil sama-sama wahyu saling bertentangan. Cara yang ditempuh mereka untuk meloloskan matan hadis yang kelihatannya bertentangan dengan teks Alquran adalah dengan mentawil atau menrapkan ilmu mukhtalif al hadis. Oleh karena itu, kita akan kesulitan menemukan hadis yang dipertentangkan dengan Alquran dalam buku-buku hadis atau hadis yang sahih dari segi sanad dibatalkan karena bertentangan dengan Alquran. Hadis yang menjelaskan tentang mayit disiksa karena tangisan keluarganya terdapat dalam delapan kitab hadis dengan 37 jalur sanad. Masing-masing dalam Sahih Al Bukhari 5 jalur, Shohih Muslim 7 jalur, Sunan Al Turmuzi 3 jalur, Sunan Al Nasai 6 jalur, Sunan Abu Dawut 1 jalur, Sunan Ibn Majah 1 jalur, Musnad Ahmad 13 jalur, dan dalam muata malik 1 jalur. Hadis yang terdapatdalam Sahih Al Bukhari, terdapat dalam kitab janaiz, bab al mayyit yu azzab bibukai ahlih : . Orang yang meninggal diazab karna di tangisi yang hidup (keluarganya) Hadis diatas telah memenuhi kriteria kesahihan sanad, baik dilihat dari kebersambungan sanad maupun dari kapasitas dan kwalitas parawi, dan sanad hadis tersbut mmiliki musyahid dan muttabi . Dngan adanya jalur pendukung baik pada tingkat sahabat (musyahid) maupun pada tingkat (mutabi) sampai pada tingkat musanif , maka sanad hadis tersebut semakin baik dan kuat. Dari 37 jalur sanad hadis yang di teliti terlihat bahwa redaksi matan hadis tersbut memiliki perbdaan satu dengan lainnya, maka dapat disimpulkan bahwa hadis itu diriwayatkan secara makna. Sementara menurut Muhammad Al Ghazali, dari 37 jalur sanad hadis diatas hanya dua jalur yang dapat diterima, yaitu jalur kelima dan ketujuh yang terdapat dalam sahih muslim . riwayat dari Aisyah, dan yang lainnya harus ditolak. Argumen Muhammad Al Ghazali ini didasari oleh pendapat Aisyah yang mengkritik sahabat yang meriwayatkan hadis diatas.Menurut Aisyah riwayat mereka bertentangan dengan pesan Alquran surat Al Anam : 164 . : ( .. Tidaklah seseorang menanggung dosa orang lain (Q.S al anam:164) Dalam riwayat aisyah disebutkan bahwa mayit yang disiksa dalam kubur adalah orang yahudi, bukan orang mukmin. Karena itu Muhammad Al- ghazali, metode yang ditempuh oleh aisyah dapat dijadikan dasar untuk menguji kesahihan disebuah hadis, yaitu menghadapkannya dnganh nas-nas Alquran. Demikianlah aisyah dengan tegas dan berani menolak periwayatan suatu hadis yang bertentang dengan Alquran. Metode yang ditempuh aisyah dalam menentukan kualitas hadis kemudian oleh ulama hadis dikembangkannya menjadi metode kritik matan hadis. Pada masa sahabat, kegiatan kritik matan hadis berupa perbandingan atau mencocokkan matan hadis yang diketahui oleh seorang sahabat dengan sahabat yang lainnya, atau membandingkannya dengan Alquran. Apabila hadis yang diperbandingkan itu sama redaksinya, maka dikumpulkan bahwa hadis itu diriwayatkan bi allafaz. Sebaliknya apabila redaksi matan hadis itu memiliki perbedaan dan perbedaan itu tidak

menyebabkan perubahan makna itulah kemudian yang dikenal dengan hadis riwayat bi al-mana. Menurut Muhammmad Al-ghazali, muhadditsin klasik justru meletakkan hadis sebagai penjelasan wahyu yang tidak mungkin salah dan tidak mungkin dibatalakan oleh Alquran. Sebagai pelapor pendapat tersebut, menurut Al-Ghazali adalah imam al-syafii. Al syafii dengan ikhtilaf al hadis-nya, berusaha mentawil hadis-hadis yang kelihatan bertentangan, baik terhadap sesama hadis maupun dengan Alquran, kemudian menyimpulkan bahwa tidak ada hadis yang bertentangan. Muhammad Al-Ghazali berusaha meluruskan pendapat yang mengutamakan hadis dari pada Alquran. Didalam karya-karyanya kelihatan betul bahwa ia ingin membawa hadis kembali kebawah pengayoman prinsip-prinsip Alquran. Sementara menurut Ali Mustafa Yaqub, hadis diatas mempunyai dua versi. Versi Umar dan versi Aisyah. Versi Umar, seorang yang mati akan disiksa apabila ia ditangisi oleh keluarganya, baik yang mati itu muslim atau kafir.Versi Aisyah, mayat yang disiksa itu apabila kafir, sedangkan mayat muslim tidak disiksa. Karna baik Umar maupun Aisyah tidak mungkin dusta, kedua versi hadis ini tetap diterima sebagai hadis sahih. Pendapat Muhammad Al-Ghazali melahirkan pujian sekaligus kritik. Kritik beranggapan bahwa penggunaan Alquran untuk membatalkan hadis sahih tidak memiliki basis yang kuat dalam tradisi intelektual islam. Lagi pula, pendapat satu periwayat (dalam hal ini Aisyah ) bukan merupakan dasar cukup kuat untuk menolak sebuah hadis yang telah terbukti kesahihhannya. Semestinya, Muhammad Al-Ghazali mendamaikan riwayat-riwayat sahih yang kelihatannya bertentangan, dengan berbagai pendekatan. D.PENELITIAN MATAN HADIS DENGAN PENDEKATAN BAHASA Penelitian bahasa dalam upaya mengetahui kualitas hadis tertuju pada beberapa objek: pertama, struktur bahasa; artinya apakah susunan kata dalam matan hadis yang menjadi objek penelitian sesuai dengan kaidah bahasa arab atau tidak? Kedua, kata-kata yang terdapat dalam matan hadis, apakah menggunakan kata-kata yang lumrah dipergunakan bangsa arab pada masa Nabi Muhammad Saw. Atau menggunakan kata-kata baru, yang muncul dan dipergunakan dalam literatur arab modern? Ketiga, matan hadis tersebut menggambarkan bahasa kenabian. Keempat, menelusuri makna kata-kata yang terdapat dalam matan hadis, dan apakah makna kata tersebut ketika diucapkan oleh Nabi Muhammad Saw. Sama makna yang dipahami oleh pembaca atau peneliti. Dengan penelusuran bahasa, muhadditsin dapat membersihkan hadis Saw. Dari pemalsuan hadis, yang muncul karena komplik politik dan perbedaan pendapat dalam bidang fiqih dan kalam. Melalui penelitian bahasa, pembaca dapat mengetahui makna dan tujuan hadis Nabi Muhammad Saw. E. PENELITIAN MATAN HADIS DENGAN PENDEKATAN SEJARAH Salah satu langkah yang ditempuh muhadditsin untuk melakukan penlitian matan hadis adalah mngetahui peristiwa yang melatarbelakangi munculnya suatu hadis (asbab wurud al hadits ). Sebenarnya, asbab wurud al hadis tidak ada pengaruhnya secara langsung dengan kualitas suatu hadis. Namun, yang tepat adalah mngetahui asbab wurud mempermudah memahami kandungan hadis. Mengikatkan diri dengan asbab wurud al hadits dalam melakukan kritik hadis akan memprsempit wilayah kajian, karena sangat sedikit hadis yang diketahui memiliki asbab wurud . Oleh karena itu, tema pembahasan ini dinamakan pendekatan sejarah . Fungsi asbab wurud al hadits ada 3.pertama, mnjelaskan makna hadis mlalui tahshish al am, taqyidal muthlaq, tafsil al mujmal,al naikh wa almansukh,bayan illat al-hukm,dan tawdhihalmusykil. Kedua,mengetahui kedudukan Rasulullah pada saat kemunculan hadis, apakah sebagai

rasul, sebagai qadhi dan mufti,sebagai pemimpin suatu masyarakat, atau sebagai manusia biasa.ketiga, mengetahui situasi dan kondisi masyarakat saat hadis itu disampaikan. IV. KESIMPULAN Dengan memahami uraian pemakalah diatas, untuk meniliti suatu matan hadits dapat menggunakan beberapa pendekatan, sebagai berikut : 1. Penelitian matan hadits dengan pendekatan hadis shahih 2. Penelitian matah hadits dengan pendekatan Alquran 3. Penelitian matan hadits edengan pendekatan bahasa 4.Penelitian matan hadits dengan pendekatan sejarah V. PENUTUP Demikian makalah yang dapat kami sampaikan. Semoga kita dapat mengambil hikmah dan manfaat dari makalah ini. Kami menyadari bahwasannya isi dari makalah ini masih jauh dari kesempurnan. Untuk itu saran dan kritik yang mambangun dari pembaca sangat kami harapkan demi perbaikan makalah ini. Akhirnya hanya kata maaf yang dapat kami haturkan. VI. DAFTAR PUSTAKA Yusuf Qardawi, kayfa Nata amal maa al sunnah al- nabawiyah, terjemah Muhmmad al Baqir (Bandung: Karisma,19940, cet ke 3 Hadari Nawawi , Metode peniluitian bidang sosial , Gajah mada University Press, yogya, 1998 Metode krirtik Matan, Modul praktikum penelitian Tafsir Hadis, STAIN Kudus Abu abdullah Muhammad Idris al-SyafiI, Kitab Ikhtilaf al Hadits bairut dar al fikr, 1403 H/1973 M, Syihab al Din abu al abbas Ahmad ibn Idris Al Qarafi, Syrah tanqih al fusul , Dar la Fikr, 1393 H/1973 M, Ahmad ibn Ali ibn Hajar al asqalani, Nuzatun Nazar Syarh Nukhbat al Fikr, Maktabah al Munawwar, Muhammad al Ghazali, dustur al wahdah al saqafiyah bayn al muslimin, (Damaskus: Dar al Qalam. 1996) Muhammad Al Ghazali , al Sunnah al Nabawiyah, Orang islam tidak di bunuh karna membunuh orang kafir Hadis ini trdapat dalam tujuh kitab hadis dengan enam belas jalur sanad. Masing-masing trdapat dalam Shahih Al- Bukhari tiga jalur, Sunan Al- Turmuzi satu jalur, Sunan Al- Nasai empat jalur, Sunan abu dawud empat jalur, sunan ibn majah satu jalur, musnad ahmad dua jalur,dan dalam sunan al darini satu jalur sanad. Keenam belas jalur sanad tersebut semuanya mauquf. Sementara menurut muhammad al ghazali hadis ini berkualitas shahih. Dalam hal ini muhammad al ghazali keliru dalam menilai hadis satu ini. Di dalam kitabnya, ia mengatakan bahwa sanad hadi ini shahih. Padahal, tidak ada sanad hadis tersebut yang memenuhi kriteria keshahihan sanad hadis. Penulis tidak tahu apakah muhammad al ghazali betul-betul telah menelitinya atau mengutip dari kitab fiqih? Di kalangan ulama ada yang tidak mengamalkan hadis ini. Diantaranya adalah abu hanifah. Ia menolak hadis ini bukan karena sanadnya lemah, tetapi ia menolaknya karena hadis ini di anggap bertentangan dengan sejarah. Didalam sejarah disebutkan bahwa apabila kaum kafir memerangi kaum muslimin,maka kaum muslimin diperintahkan memeranginya. Jika ia terbunuh, tidak ada hukuman apapun atas pembunuhan itu. Berbeda dengan ahl al-zimmi (orang kafir yang terikat

perjanjian keamanan dengan kaum muslimin). Apabila seorang membunuhnya, maka ia dijatuhi hukum qishas. Hadis yang diteliti tidak memenuhi kriteria keshahihan hadis, baik dari segi sanad maupun dari segi matan hadis. Dari segi sanad hadis di atas mauquf tidak mencapai drajat marfu (tidak diandarkan kepada Nabi, hanya sampai sahabat) dan dari segi matan dengan pendekatan sejarah, hadis tersbut tidak menggambarkan praktik hukum Rosulullah.

Kritik Matan Hadist Shahih Bukhari vs Al Qur'anMENGUJI KESHAHIHAN HADIST DARI MATANNYA Bagaimanakah kita menguji validitas atau ke-shahih-an sebuah hadis? Untuk kepentingan penelitian terhadap sumber kedua Islam ini, ulama hadis menetapkan lima syarat yang harus dipenuhi oleh suatu hadis; Sanad-nya bersambung (muttashil), periwayatnya adil (adl), dhabith, tidak terdapat kejanggalan (syudzudz), dan tidak terdapat cacat (illah). Tiga syarat pertama berkaitan dengan sanad, dan dua syarat terakhir, di samping berkaitan dengan sanad, juga berkenaan dengan matan. Mayoritas ulama hadis menyepakati lima hal tersebut sebagai syarat yang harus dipenuhi dalam menetapkan ke-shahih-an sebuah hadis. Yang mendasari perlunya kritik matan hadist, adalah: I. Firman Allah QS Al Ahqaaf (46:9): Artinya: Katakanlah: "Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara Rasul-rasul dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan". II. Mukhadimah Kitab Hadist dalam Fashal ke-32 Tidak ada satupun daripada kitab-kitab hadist yang tidak terdapat didalamnya hadist-hadist lemah. Ada yang sedikit dan ada yang banyak, kecuali Bukhari dan Muslim dapat dikatakan bahwa hampir semua hadist yang tersebut dalam dua kitab itu, shahihur-riwayat walaupun ada hadist-hadist yang maknanya perlu diperbincangkan Kritik terhadap sanad hadis sebenarnya telah dilakukan sejak awal terjadinya periwayatan hadis. Pada masa Nabi, para sahabat biasa meriwayatkan hadis yang didengar atau yang diterimanya dari Nabi kepada para sahabat lainnya yang tidak hadir dalam majlis-majlis Nabi. Apabila seorang sahabat meriwayatkan hadis, sementara dia tidak melihat secara langsung atau mendengar sendiri dari Nabi, maka dengan sendirinya dia akan menyebutkan periwayat yang menjadi sumber hadis tersebut. Dan para sahabat memiliki kriteria masing-masing dalam menilai kredibilitas seorang periwayat yang menyampaikan hadis kepada mereka. Selanjutnya, kritik sanad ini mengalami perkembangan menjelang akhir abad 1 H. Peristiwa fitnah atau terbunuhnya Usman Bin Affan pada tahun 36 H., kemudian Husein bin Ali pada tahun 61 H., yang menyebabkan lahirnya faksi-faksi politik di kalangan umat Islam, mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan kritik hadis, khususnya kritik sanad. Hal ini karena setiap kelompok berusaha mengemukakan pernyataan-pernyataan yang dinisbatkan kepada Nabi Saw., untuk memperoleh legitimasi atau dukungan terhadap kelompok mereka. Dalam kondisi seperti ini, kritik sanad hadis menjadi salah satu bagian yang sangat penting dalam menetapkan keotentikan hadis Nabi Saw., sehingga dalam perkembangan selanjutnya telah melahirkan cabang ilmu khusus dalam ilmu hadis yang disebut al-jarh wa al-tadil. Ilmu inilah yang digunakan ulama untuk menilai kualitas para periwayat dalam sebuah sanad dalam kaitannya

dengan diterima atau tidaknya sebuah hadis. Sementara itu, penelitian terhadap matan hadis belum banyak dilakukan oleh ulama hadis. Hal ini bisa dilihat dari masih minimnya kitab-kitab yang membahas kritik matan secara khusus. Tampaknya, para ulama lebih memfokuskan diri dalam penelitian sanad hadis dan menyusun kitab-kitab yang berkaitan dengannya. Bila dalam penelitian sanad hadis para ulama telah menyusun berbagai kitab yang secara khusus membahas hal itu, maka dalam penelitian matan, selain masih memerlukan pengembangan kajian Sebenarnya, kritik matan hadis bukan merupakan hal baru. Kritik yang dilakukan oleh Umm almukminin Aisyah, Umar bin al-Khattab, dan beberapa sahabat lainnya menunjukkan bahwa kritik matan hadis telah terjadi sejak masa Nabi Saw. dan para sahabatnya. Pada masa ini, metode kritik matan masih simple, karena Nabi masih hidup dan otentitas sebuah hadis ditentukan langsung oleh Nabi Saw. Para sahabat yang tidak mendengar hadis secara langsung dari Nabi, dapat menanyakan dan meminta penjelasan langsung dari Nabi Saw. Akan tetapi setelah Nabi wafat, hal itu tidak dapat lagi dilakukan. Metodologi kritik matan yang digunakan para sahabat setelah Nabi wafat adalah dengan menanyakan kepada sahabat lain yang ikut mendengarkan hadis dari Nabi Saw. atau membandingkannya dengan ayat-ayat Alquran. Metode yang disebutkan terakhir ini rupanya masih dijadikan pegangan oleh beberapa ulama modern dalam melakukan kritik terhadap matan hadis. Mereka beranggapan bahwa terdapat banyak hadis yang dari segi sanad termasuk kategori shahih, namun dari segi matan dianggap bertentangan dengan Alquran. Karena bertentangan dengan Alquran itulah, maka hadis tersebut dianggap dlaif atau diduga dlaif, meskipun sanadnya shahih dan termaktub dalam kitab-kitab yang dikenal hanya memuat hadis-hadis shahih, seperti shahih al-Bukhari dan shahih Muslim. Secara umum, beberapa tokoh tersebut berkesimpulan bahwa sejauh ini penelitian terhadap hadis hanya dititikberatkan pada al-naqd al-khariji (kritik ekstern), yaitu sanad, dan bukan pada alnaqd al-dakhili (kritik intern), yaitu matan hadis. Dalam penelitian hadis, sanad dan matan mempunyai kedudukan yang sama penting. Ke-shahihan sebuah hadis tidak dapat hanya ditentukan oleh ke-shahih-an sanad, tetapi juga harus disertai dengan matan yang sama shahih, karena, menurut para ahli hadis, ke-shahih-an sanad tidak menjamin ke-shahih-an matan dan demikian pula sebaliknya. Bila sebuah hadis sanadnya shahih, tapi matannya tidak shahih, atau sebaliknya, maka hadis tersebut tidak dapat dihukumi shahih. Dengan kata lain, sebuah hadis hanya dapat dinyatakan berkualitas shahih, apabila telah betulbetul diteliti dan diketahui tidak ada syadz maupun illah dalam matan dan sanad hadis tersebut. Kaidah mayor dalam penelitian matan hadis ada dua macam, yaitu tidak terjadi syadz dan tidak terdapat illah. Dua hal ini merupakan kaidah umum yang disepakati ulama dalam menilai keshahih-an suatu matan hadis. Namun para ulama tidak mengemukakan klasifikasi unsur-unsur kaidah minornya secara rinci dan sistematik sebagaimana mereka jelaskan dalam klasifikasi untuk sanad. Secara umum, kerangka metodologis kritik matan dapat dijelaskan dalam beberapa langkah berikut: Pertama, meneliti matan dengan terlebih dahulu melihat kualitas sanadnya. Dalam urutan

kegiatan penelitian hadis, kritik sanad didahulukan dari kritik matan. Tapi tidak berarti bahwa sanad lebih penting dari matan. Kedua bagian riwayat itu tetap sama-sama penting. Hanya saja, penelitian terhadap matan baru dianggap perlu apabila sanad dari matan hadis yang bersangkutan itu telah jelas qualified. Tanpa adanya sanad, suatu matan tidak dapat dijamin otentisitasnya sebagai sabda Nabi Saw. Kedua, meneliti susunan redaksional matan hadis-hadis yang semakna. Dalam periwayatan hadis terjadi periwayatan secara makna (al-riwayah bi al-mana). Hal ini dibuktikan dengan banyak matan hadis yang kandungan maknanya sama dengan sanad yang sama shahih-nya pula, namun tersusun dengan redaksi yang berbeda. Menurut ulama hadis, perbedaan lafadz yang tidak sampai mengakibatkan perbedaan makna, sepanjang sanadnya sama-sama shahih, masih dapat diterima. Di samping itu, perbedaan redaksional dalam hadis-hadis Nabi bisa juga disebabkan terjadinya kesalahan dalam periwayatan. Betatapun tsiqah seorang periwayat, ia tetap manusia biasa yang dapat melakukan kekeliruan dalam meriwayatkan hadis. Jadi, untuk meneliti keshahih-an sebuah matan hadis, diperlukan metode komparatif (muqaranah), yaitu membandingkan otentisitas suatu matan dengan matan-matan hadis lainnya yang semakna dan sama-sama mempunyai sanad yang shahih. Ketiga, meneliti kandungan matan hadis. Dalam hal ini, seorang peneliti perlu memperhatikan matan-matan dan dalil-dalil lain yang mempunyai topik masalah yang sama. Apabila kandungan matan hadis yang dikomparasikan ternyata sama dengan matan-matan lainnya atau dalil-dalil lain yang kuat atau minimal tidak bertentangan, maka kegiatan penelitian telah dapat dianggap selesai. Akan tetapi bila yang terjadi sebaliknya, yaitu kandungan matan tersebut tampak bertentangan dengan matan atau dalil lain yang kuat, maka kegiatan penelitian diarahkan pada upaya penyelesaian hadis yang tampak bertentangan tersebut. Saya meyakini bahwa tidak mungkin sebuah hadis Nabi yang shahih bertentangan dengan hadis Nabi yang lain yang sama-sama shahih ataupun dalil-dalil Alquran, sebab semua yang disampaikan oleh Nabi, baik berupa hadis maupun ayat-ayat Alquran sama-sama merupakan kebenaran yang berasal dari Allah Swt. Apabila terdapat sejumlah hadis Nabi yang tampak secara tekstual bertentangan dengan hadis yang lain atau dengan ayat Alquran, maka perlu dilakukan penyelesaian dengan menggunakan metode-metode yang telah dirumuskan dan diterapkan oleh ulama hadis dalam ilmu mukhtalaf al-hadis. Keempat, langkah terakhir yang harus dilakukan oleh seorang peneliti adalah menyimpulkan hasil penelitian matan. Kesimpulan tentang ke-shahih-an atau ke-dlaif-an suatu matan yang diteliti mesti didasarkan pada argumen-argumen yang jelas. Apabila matan dan sanad memiliki kualitas yang sama, baik sama-sama dlaif atau shahih, maka dalam kesimpulan harus disebutkan kualitas hadis tersebut, berdasarkan penelitian terhadap kualitas sanad dan matannya. Ke-shahihan sebuah hadis tidak dapat hanya ditentukan dengan otentisitas sanad, tapi juga validitas matannya. Dengan kata lain, kritik sanad dan matan dilakukan secara bersamaan dalam menentukan keshahihan sebuah hadis Nabi Saw. Hadis-hadis yang berstatus mutawatir sehingga nilai kepastian wurudnya sama seperti Alquran. Dan bila orang mengingkari hadis-hadis mutawatir ini, maka ia telah keluar dari Islam dengan kata lain, bila seorang mengingkari Alquran sebagai wahyu dari Allah Swt. atau mengingkari

hadis-hadis mutawatir, maka hal itu menyebabkan ia menjadi kafir. Tetapi meragukan keabsahan hadis-hadis ahad sebagai ucapan yang betul-betul disampaikan Nabi Saw tidak akan membuat seseorang menjadi kafir. Bila seseorang mempersoalkan otentisitas dan validitas suatu hadis dengan argumen-argumen yang kuat maka hal itu merupakan sikap kritis yang tidak semestinya dihalangi, karena bukan sesuatu yang tabu. Dan sikap seperti itu bukan hal baru di kalangan ulama Islam. Rata-rata ulama pernah menolak suatu hadis yang dianggapnya tidak shahih dengan alasan-alasan tertentu yang jelas dan dapat diterima meskipun sebagian ulama lainnya menilai hadis tersebut shahih. Wallahu alam. AL QURAN SEBAGAI SUMBER UTAMA HUKUM ISLAM Sekalipun al-Qur'an dan as-Sunnah/al-Hadits sebagai sumber hukum Islam namun di antara keduanya terdapat perbedaan-perbedaan yang cukup prinsipil. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain: 1. Al-Qur'an nilai kebenarannya adalah qath'i (absolut), sedangkan al-Hadits adalah zhanni (kecuali hadits mutawatir). 2. Seluruh ayat al-Qur'an mesti dijadikan sebagai pedoman hidup, tetapi tidak semua hadits kita jadikan sebagai pedoman hidup. Sebab di samping ada sunnah yang tasyri' ada juga sunnah yang ghairu tasyri'. Di samping ada hadits yang shahih (kuat) ada pula hadits yang dha'if (lemah),dan seterusnya. 3. Al-Qur'an sudah pasti otentik lafazh dan maknanya, sedangkan hadits tidak. 4. Apabila al-Qur'an berbicara tentang masalah-masalah aqidah atau hal-hal yang ghaib maka setiap Muslim wajib mengimaninya, tetapi tidak demikian apabila masalah-masalah tersebut diungkapkan oleh hadits (ada yang wajib diimani dan ada yang tidak). Di samping itu tidak sedikit pula kesalahan-kesalahan yang berkembang di kalangan masyarakat Islam, berupa anggapan terhadap pepatah-pepatah dalam bahasa Arab yang dinilai mereka sebagai hadits. Walaupun ditinjau dari isi materinya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam, tetapi kita tetap tidak boleh mengatakan bahwa sesuatu ucapan itu sebagai ucapan Rasulullah kalau memang bukan sabda Rasulullah. Sebab sabda Rasulullah dalam Shahih Bukhari hadist No.80 Dari Abu Hurairah ra.,: katanya Nabi saw. bersabda: Namailah dirimu dengan namaku dan jangan memakai gelarku. Siapa yang bermimpi melihat aku dalam tidurnya, sebenarnyalah ia melihatku, karena setan tidak mampu menjelma seperti aku. "Dan siapa yang sengaja berdusta atas nmakau maka biarkalah dia menempati tempatnya di neraka." Dalam memahami hadist (perkataan Muhammad saw.) segala apa yang diucapkannya sematamata mengikuti wahyu, seperti dalam Firman Allah QS Al Ahqaaf (46:9): Artinya: Katakanlah: "Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara Rasul-rasul dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan". Dalam Mukadimah Kitab Hadist Pasal ke-32: Kitab ash-Shahih Bukhari dan Kitab ash-Shahih

Muslim dapat dijamin keshahihannya ditinjau dari segi sanad dan rawi. Sedang dari segi matan masih perlu diperbincangkan; yaitu kita dapat memberikan seleksinya dengan pedomanpedoman di atas. Beberapa langkah praktis dalam usaha seleksi hadits, Suatu materi hadits dapat dinilai baik apabila materi hadits itu tidak bertentangan dengan al-Qur'an atau hadits lain yang lebih kuat, realita, fakta sejarah, dan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam. Untuk sekedar contoh dapat kita perhatikan hadits-hadits yang dinilai baik tapi bertentangan isi materinya dengan alQur'an: i. Hadits yang mengatakan bahwa "Seorang mayat akan disiksa Tuhan karena ratap tangis ahli warisnya", adalah bertentangan dengan firman Allah "Wala taziru waziratun wizra ukhra" yang artinya "Dan seseorang tidak akan memikul dosa orang lain" (al-An'am:164). ii. Hadits yang mengatakan "Barangsiapa yang meninggal dunia dalam keadaan meninggalkan hutang puasa, maka hendaklah dipuasakan oleh walinya", adalah bertentangan dengan firman Allah " wa allaisa lil insani illa ma-sa'a", yang artinya "dan seseorang tidak akan mendapat pahala apa-apa kecuali dari apa yang dikerjakan dia sendiri" (an-Najm: 39).

KRITIK MATAN HADIS (Studi Komparatif Pemikiran Ibn Qayyim al-Jauziyyah dan Muhammad al-Ghazali) Skripsi/Undergraduate Theses from digilib-uinsuka / 2009-07-30 13:17:13 By : Thoha Saputro - 04531776, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Created : 2009-07-30, with 1 files Keyword : kritik matan hadis ABSTRAK Ibn Qayyim al-Jauziyyah dan Muhammad al-Ghazali adalah dua dari sekian pemikir yang mencoba mengkaji hadis dengan menekankan pada kajian matan dari pada kajian sanad. Menurut kedua tokoh ini, penelitian suatu hadis tidak selalu harus dimulai dengan kritik sanad, melainkan dapat diawali dengan melakukan penelitian matan hadis. Keduanya tidak terpaku dengan sistematika kaidah-kaidah kesahihan sanad hadis. Dengan kata lain, penelitian suatu hadis tidak selalu harus dimulai dengan kritik sanad, melainkan dapat diawali dengan melakukan penelitian matan hadis. Bahkan, tidak jarang Muhammad al-Ghazali menolak hadis yang berkualitas sahih karena tidak sesuai dengan prinsip-prinsip umum ajaran al-Qur'an dan argumen rasional. Sebaliknya, meskipun hadis Nabi dari segi sanadnya dhaif, namun Muhammad al-Ghazali lebih cenderung menerima hadis tersebut karena memiliki kesesuaian dengan ruh ajaran Islam dan akal sehat manusia. Asumsinya, rumusan kaedah, metode, dan pendekatan dari kedua tokoh tersebut memiliki perbedaan dan persamaan yang menjadi karakteristik tersendiri. Bagaimana pokok-pokok pemikiran Ibn Qayyim al-Jauziyyah dan Muhammad al-Ghazali tentang studi kritik matan hadis? Apa persamaan dan perbedaan yang menjadi karakteristik tersendiri dari pemikiran Ibn Qayyim al-Jauziyyah dan Muhammad alGhazali tentang kritik matan hadis? Adalah pertanyaan yang dibahas dalam skripsi ini. Penelitian ini termasuk penelitian literer, metode yang ditempuh adalah metode deskriptif, yakni suatu penelitian yang menggunakan buku-buku sebagai sumber datanya.Sedang bila dilihat dari sifatnya, penelitian ini termasuk bersifat deskriptif-analitikkomparatif dan interpretasi. Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosiohistoris. Hasil sumber data kemudian dianalisa dengan metode analisa isi. Hasil penelitian menunjukkan: pertama, Baik Ibn Qayyim al-Jauziyyah dan Muhammad al-Ghazali sama-sama menekankan pada pentingnya penelitian matan hadis. Adapun tolok ukur kesahihan matan hadis dalam pandangan Ibn Qayyim al-Jauziyyah adalah: matan hadis tidak mengandung illat, syaz, kemungkaran, dan perawinya tidak menyalahi perawi siqah lainnya. Ibn Qayyim al-Jauziyyah juga menetapkan tiga belas kriteria tanda kepalsuan hadis yang jika dipahami secara diametral (kebalikanya) juga berguna untuk mengetahui tanda-tanda kesahihan matan hadis. Sementara itu, Tolok ukur kesahihan matan hadis dari Muhammad al-Ghazali lebih ringkas, yakni: (1) hadis tidak bertentangan dengan al-Qur'an, (2) hadis tidak bertentangan dengan rasio, (3) hadis tidak bertentangan dengan hadis yang lebih sahih, (4) hadis tidak menyalahi fakta-fakta sejarah. Secara umum, kaidah-kaidah kritik matan yang diajukan baik oleh Ibn Qayyim al- Jauziyyah maupun Muhammad al-Ghazali di atas sama-sama bertujuan untuk menemukan kualitas matan hadis apakah ia sahih atau tidak. Menurut Ibn Qayyim al Jauziyyah dalam mensikapi hadis Nabi yang tampak bertentangan dapat ditempuh dengan cara al-naskh, al-tarjih. Hal ini berbeda dengan

Muhammad al-Ghazali yang menempuh tiga langkah; pertama, menghimpun hadis yang berada dalam satu tema. Kedua, menelaah dan mengkaji asbab al-wurud-nya dengan tetap memperhatikan kondisi sosial budaya dan kesejarahan hadis. Ketiga, mengambil kesimpulan yang terkandung dalam matn hadis. Sementara itu, dilihat dari pendekatan dalam memahami hadis, baik Ibn Qayyim al-Jauziyyah maupun Muhammad al-Ghazali sama-sama menggunakan pendekatan kontekstual.Kedua, karakteristik pemikiran Ibn qayim adalah dominanya pendekatan sejarah historical approah dan al-ta'wil al-qarib wa gair al-mukallafah, sedangkan karakteristik pemikiran Muhammad al-Ghazali adalah pendekatan dan analisis historis, sosiologis, dan antropologis yang senantiasa dikembalikan kepada maksud dan tujuan dari kandungan al-Qur'an.

KAIDAH PENELITIAN MATAN HADIS: Tolok Ukur Kritik Matan, Analisis Teks, Pola Pemahaman dan Pendayagunaan Hadis sebagai Hujjah Syari'ah Research Report from HUBPTAIN / 2009-04-27 13:40:52 Oleh : Drs. H. Hasjim Abbas, Dosen_Fak_Ushuluddin_IAIN_SA Dibuat : 2005-04-11, dengan 1 file Keyword : Hadis - Penelitian Url : http:// Fakta akan keragaman teks matan hadis (struktur ungkapan kalimatnya) bila ditelusuri lewat pola dasar dokumentasi oleh para kolektor hadis,demikian pula muatan substansi doktrinalnya ternyata belum tentu seirama dan saling mendukung terhadap substansi hadis atau dalil-dalil syara' yang lain jika hendak diamalkan sebagai hujjah syari'ah, dan dari kajian historisnya bisa mengundang keraguan. Berdasarkan fakta tersebut penelitian ini diadakan untuk menghimpun kaidah-kaidah kritik internal hadis (naqd dakhili/naqd bathini) yang bersubjek matan hadis. Terapan kritik dikembangkan mulai dari aspek penyandaran (nisbah) informasi kehadisan, uji validitas teks, dan uji kelayakan pakai substansi doktrinal untuk kepentingan merumuskan hujjah syari'ah. Hasil temuan diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmiah bersifat teoritik pragmatis bagi langkah-langkah mempersiapkan pendayagunaan hadis secara optimal sebagai refrensi syari'ah. Metode penelitian yang digunakan adalah studi kepustakaan dengan pendekatan content analitis, deskriptif dan kajian perbandingan. Kajian penelitian ini selanjutnya dibahas dalam 3 bagian yaitu: (1) kritik hadis dan sejarah perkembangannya, sejarah singkat pertumbuhan dan perkembangan kritik hadis, dan opini ulama tenatng kritik hadis pada masa sekarang, (2) Metode kritik matan hadis yang mendata berbagai asas metodologi kritik, kaidah mayor dan instrumen pendekatan kaidah miornya, serta teknik penyimpulan hasil aplikasi metodologis dengan berbagai kemungkinan tindak lanjut dari hasil tersebut. (3) perbandingan tolak ukur (miqyas) kritik matan hadis yang menjadi kecenderungan muhaddisin pada umumnya dan mi'yar yang setara kaidah mayor kritik matan hadis pegangan para fuqaha. Deskripsi Alternatif : Fakta akan keragaman teks matan hadis (struktur ungkapan kalimatnya) bila ditelusuri lewat pola dasar dokumentasi oleh para kolektor hadis,demikian pula muatan substansi doktrinalnya ternyata belum tentu seirama dan saling mendukung terhadap substansi hadis atau dalil-dalil syara' yang lain jika hendak diamalkan sebagai hujjah syari'ah, dan dari kajian historisnya bisa mengundang keraguan. Berdasarkan fakta tersebut penelitian ini diadakan untuk menghimpun kaidah-kaidah kritik internal hadis (naqd dakhili/naqd bathini) yang bersubjek matan hadis. Terapan kritik dikembangkan mulai dari aspek penyandaran (nisbah) informasi kehadisan, uji validitas teks, dan uji kelayakan pakai substansi doktrinal untuk kepentingan merumuskan hujjah syari'ah. Hasil temuan diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmiah bersifat teoritik pragmatis bagi langkah-langkah mempersiapkan pendayagunaan hadis secara optimal sebagai refrensi syari'ah. Metode penelitian yang digunakan adalah studi kepustakaan dengan pendekatan content analitis, deskriptif dan kajian perbandingan. Kajian penelitian ini selanjutnya dibahas dalam 3 bagian yaitu: (1) kritik hadis dan sejarah perkembangannya, sejarah singkat pertumbuhan dan perkembangan kritik hadis, dan opini ulama tenatng kritik

hadis pada masa sekarang, (2) Metode kritik matan hadis yang mendata berbagai asas metodologi kritik, kaidah mayor dan instrumen pendekatan kaidah miornya, serta teknik penyimpulan hasil aplikasi metodologis dengan berbagai kemungkinan tindak lanjut dari hasil tersebut. (3) perbandingan tolak ukur (miqyas) kritik matan hadis yang menjadi kecenderungan muhaddisin pada umumnya dan mi'yar yang setara kaidah mayor kritik matan hadis pegangan para fuqaha.

KRITIK ORIENTALIS TERHADAP HADITS (Telaah Atas Kritik Ignaz Goldziher, Joseph Schacht dan Jyunboll)="ProgId" content="Word.Document"> A. Pendahuluan Hadits Nabi Saw. diyakini oleh mayoritas umat Islam sebagai bentuk ajaran yang paling nyata dan merupakan realisasi dari ajaran Islam yang terkandung dalam al-Quran. Dalam hubungan antara keduanya, hadits berfungsi sebagai penjelas al-Quran. Interpretasi terhadap petunjuk Allah ini diwujudkan dalam bentuk nyata dalam kehidupan Nabi. Sabda, perilaku, dan sikapnya terhadap segala sesuatu, terkadang menjadi hukum tersendiri yang tidak ditemukan dalam al-Quran. Oleh karena sedemikian sentralnya keberadaan hadits nabi itu, banyak musuh-musuh Islam berupaya meruntuhkan ajaran Islam dengan cara mengkaji dan meneliti hadits dengan satu tujuan untuk meragukan dasar-dasar validitas hadits sebagai dalil / dasar argumentasi. Penelitian dan kajian-kajian yang dilakukan oleh musuh-musuh islam itu (diantaranya sebagaian dilakukan oleh orientalis) itu sebenarnya mengajak umat islam untuk meragukan kebenaran dari hadits. Dengan diragukannya hadits-hadits yang ada dalam kitab-kitab hadits karya ulama masa lalu, maka robohlah sudah satu pilar agama Islam . Sehingga umat Islam tidak memiliki kesatuan atau keseragaman dalam memahami al-quran dan lebih jauh dalam mengaplikasikan ajaran-ajaran syariat Islam tentunya. Inilah tujuan utama kegiatan orientalis dalam mengkaji hadits. Yusuf Qardlawiy telah menengarai kelompok (musuh-musuh Islam) itu terdiri dari para missionaris dan orientalis dan sebagian lagi murid-murid termasuk orang-orang yang terpesona dengan metode ilmiah yang mereka peragakan itu. Di antara sekian banyak orientalis yang mengkaji, ada 3 nama besar yang berpengaruh dalam kegiatan penelitian hadis. Mereka itu adalah Goldziher , Schahct dan jyunboll. Berikut ini akan dibahas pola pemikiran mereka terhadap kesahihan hadis-hadis nabi saw. Pengertian Kritik dan Orientalis Dua kata kritik dan orientalis dalam khazanah bahasa Indonesia sudah tidak asing lagi. Keduanya merupakan bahasa serapan dari bahasa asing. Karena itu, dalam tataran praktis, kedua kata itu kadang-kadang menyimpang dari pengertian terminologi yang seharusnya. Akibatnya terjadi misundestanding antara nara sumber dan penerimanya. Dari

sinilah, penulis merasa perlu memposisikan pengertian dua kata tersebut sebelum pembahasan yang lain. Kritik berasal dari bahasa Inggris critic yang artinya pengecam, pengkritik, pengupas, pembahas. Secara terminologi, kritik berarti upaya-upaya untuk menemukan kesalahan, atau menurut versi W.J.S. Purwodarminto mengkritik diartikan dengan memberi pertimbangan dengan menunjukkan yang salah. Sedang Kritik dalam Bahasa Arab adalah naqd yang diterjemahkan dengan kritik dan kecaman. Yang dapat kita pahami dari pengertian diatas adalah bahwa kritik/ mengkritik adalah upaya untuk menunjukkan / mendahulukan kesalahan daripada mencari kebenarannya. Dengan demikian, maka dalam benak kita ketika memahami kritik akan dipenuhi dengan suudzan, dan bisa jadi karena sibuk dengan mencari kesalahan, maka kebenaran yang adapun tidak tampak. Karena itu, menurut hemat penulis, kritik berarti meneliti dengan cermat tentang benar tidaknya sesuatu dengan menggunakan standart yang sesuai. Dengan pengertian ini, maka yang dilakukan orang ketika mengkritik hadits dan ilmu hadits adalah menilai dan mengomentarinya dengan mendahulukan kebenaran yang ada daripada kesalahannya, dengan menggunakan parameter hadits atau ilmu hadits. Sedangkan kata orientalis berasal dari kata orient yang berarti Asia Timur; atau berasal dari kata oriental yang berarti orang Timur atau Asia. Secara geografis kata orient bermakna dunia belahan timur dan secara etnologis berarti bangsa-bangsa timur. Sedangkan dalam kamus ilmiah populer orientalis adalah ahli Barat yang mempelajari Timur. Dilihat dari segi terminologinya, Ismail Yakub menyatakan bahwa orientalis adalah orang yang ahli tentang soal-soal ketimuran, yakni segala sesuatu mengenai negeri-negeri Timur, terutama Negeri-negeri Arab pada umumnya dan Islam pada khususnya, tentang kebudayaannya, agamanya, peradabannya, kehidupannya dan lain-lain. Dan dalam kata orientalis terkandung sifat umum nama pelaku atau ahli-ahli ketimuran, artinya dalam beberapa hal siapapun orangnya apakah ia muslim atau non muslim, apabila ia telah luas pengetahuannya tentang ketimuran maka ia seringkali terkategorikan secara langsung sebagai orientalis, seperti dinyatakan oleh kelompok Oxford bahwa orientalis adalah semua orang yang telah luas pengetahuannya tentang bahasa-bahasa Timur serta kesustraannya. Definisi ini dibantah oleh sebagian pakar dengan hanya

membatasi pengertian orientalis hanya pada orang Barat (Eropa dan Amerika) yang nonmuslim. Jadi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Hanafi bahwa orientalis adalah segolongan sarjana-sarjana Barat yang mendalami bahasa-bahasa dunia Timur dan kesustraannya, dan mereka menaruh perhatian besar terhadap agama-agama dunia Timur; sejarahnya, adat istiadatnya dan ilmu-ilmunya. Kritik Orientalis terhadap Hadits Biografi ketiga orientalis Ignaz Goldziher Ignaz Goldziher adalah termasuk orientalis terkemuka yang mendalami ilmuilmu Islam. Ia lahir pada 22 Juni 1850, di Hongaria. Ia berasal dari keluarga Yahudi yang terpandang. Pendidikannya dimulai dari Budhapest kemudian melanjutkan ke Berlin pada tahun 1869 dan pindah lagi ke Universitas Leipzig. Goldziher dalam studinya dibimbing oleh orientalis terkemuka saat itu yaitu Fleisser, pakar filologi (ilmu tentang asal-usul kata). Goldziher memperoleh gelar doktoral tingkat pertama pada tahun 1870 dengan karyanya : Penafsir Taurat yang Berasal dari Tokoh Yahudi Abad Tengah. Ia kemudian kembali ke Budapest dan ditunjuk sebagai asisten Guru Besar di Univeritas Budhapest pada tahun 1872. Ia tidak lama mengajar, dan lalu meneruskan studinya di Wina dan Leiden. Setelah itu ia mengadakan perjalanan ke Timur Tengah, Suriah dan Palestina dan kemudian menetap di Kairo. Ketika di Universitas Budapest, ia banyak menekankan kajian peradaban Arab, khususnya agama Islam. Pada tahun 1894, ia diangkat menjadi profesor kajian bahasa Semit. Goldziher memang sangat cerdas. Pada usia 16 tahun, ia telah sanggup menerjemahkan dua buah kisah Turki ke dalam bahasa Hongaria. Saat itu ia juga biasa membaca buku-buku tebal dan memberikan ulasannya. Buku klasik pertama yang menjadi kajiannya adalah Azh Zhahiriyah: Madzhabuhum wa Tarikhuhum. Ia kemudian mendalami kajian fikih dan ushul fikih. Pada tahun 1889 ia menulis karangan tentang hadits berjudul Dirasah Islamiyah, dua juz. Dalam bukunya Al Aqidah was Syariah fil Islam Goldziher banyak melakukan tuduhan-tuduhan menyimpang kepada Muhammad saw. Prof.

Ahmad Muhammad Jamal mengkritik keras karyanya ini. Menurut Jamal, pada halaman 12, Goldziher melontarkan tuduhan bahwa Islam merupakan himpunan pengetahuan dan pandangan agama-agama lain yang sengaja dipilih Muhammad.. hal ini diketahui dan ditimba oleh Muhammad karena hubungannya dengan oknumoknum Yahudi, Nasrani dan lain-lainnya. Ignaz Goldziher meninggal pada tahun 1921. Josepht Schahct Sementara Josepht Schahct adalah seorang profesor yang lahir di Rottbur Jerman, 15 Maret 1902. Ia mulai studi di perguruan tinggi dengan mendalami filologi klasik, teologi dan bahasa-bahasa Timur di Universitas Prusia dan Leipzig. Tahun 1923, ia memperoleh gelar sarjana muda di Universitas Prusia dan menjadi guu besar pada 1929. Schacht menjadi dosen di Universitas Frayburg, Jerman. Pada tahun 1934 ia diundang untuk mengajar di Universitas Kairo, Mesir. Di Mesir,ia mengajar fikih, bahasa Arab dan bahasa Suryani, di jurusan Bahasa Arab, Fakultas Sastra. Ia mengajar di Universitas Mesir hingga 1939. Ketika terjadi Perang Dunia II pada September 1939, Schacht pindah dari Mesir ke London dan bekerja di Radio BBC, London. Di situ ia berperanan melancarkan propaganda melawan nazi Jerman. Di Inggris itu Schacht melanjutkan studinya di Universitas Oxford dan memperoleh gelar Magister pada tahun 1948, serta gelar Doktor pada tahun 1952. Ia diangkat sebagau guru besar di seluruh universitas yang ada di kerajaan Inggris. Pada tahun 1954, ia pakar fikih Islam ini, menjadi guru besar di Universitas Leiden sampai 1959. Ia dengan kawan-kawannya mengedit cetakan kedua Dairat al Maarif al Islamiyah. Kemudian ia ke New York dan menjadi guru besar di Universitas Columbia dan meninggal di Amerika pada Agustus 1969. Dalam bidang Fikih, karya Schacht antara lain: Al Khoshaf aL Kitab al Hiyal wa al-Makharij (1932), Abu Hatim al Qazwini: Kitab al Khiyal fi al Fiqih (1924), Ath Thabari: Ikhtilaf al Fuqaha (1933) dan lain-lain. Karyanya yang menonjol dan kontroversial adalah bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford,1950). Karya Schacht ini banyak mengambil rujukan Ar Risalahnya Imam Syafii.

Jyunboll Adapun G.H.A Jyunboll adalah pendukung setia kedua orientalis di atas. Karya-karyanya antara lain : The Authenticity of The Tradition Literature; Discussion in Modern Egypt, juga tentang On The Origin of Arabic Prose Reflection on Authenticity, termasuk juga Muslim Tradition : Studies in Cronology Provenance and Authorship of Early Hadith dan The Date of The Great Fitna. Sejak di bangku S1 di Leiden, Belanda, Juynboll sudah begitu gigih mencurahkan segenap upayanya melakukan penelitian terhadap otentifikasi hadits. Tak ayal, setelah tiga puluh tahun lebih, sejarah dan perkembangan hadits dapat dia kuasai dengan baik. Mulai dari hadits klasik hingga yang kontemporer. The Authenticity of the Tradition Literature, adalah salah satu bukti karya original, hasil penelitiannya terhadap pandangan para teolog Mesir tentang keshahihan sebuah hadits. Pemikiran dan kritik ketiga orientalis tentang otentisitas hadits Nabi. Ignaz Goldziher Untuk memahami pemikiran dan kritik Goldziher tentang hadits adalah hal yang tidak mungkin kita lakukan, jika kita lewatkan begitu saja apa yang ia uraikan dalam Mohammedanische Studien yang terbit pada tahun 1890 dalam bahasa Jerman dan kemudian diterjemahkan oleh C.R. Barber dan S.M. Stern ke dalam bahasa Inggris yaitu Muslim Studies. Dalam karya terbesar itu seluruh pemikirannya tentang hadits tertuang secara sempurna. Menurut Azami sarjana Barat yang pertama kali melakukan kajian tentang hadis adalah ignaz goldziher dalam bukunya : Muhammadanische Studies, dia mengatakan:bagian terbesar dari hadis tak lain adalah hasil perkembangan Islam pada abad pertama dan kedua baik dalam bidang keagamaan, politik maupun sosial. Tidaklah benar pendapat yang menyatakan bahwa hadis merupakan dokumen Islam yang sudah ada sejak masa dini (masa pertumbuhan) melainkan ia adalah pengaruh perkembangan Islam pada masa kematangan. Karena buku itu (Muhammadanische Studies), dianggaplah kitab suci tentang hadits di kalangan orientalis. Mustafa Yaqub mengatakan bahwa buku tersebut mempunyai posisi tersendiri dan cukup berpengaruh di kalangan orientalis

dan para sarjana khususnya dalam masalah hadits di mana ia merupakan satu-satunya rujukan di kalangan mereka. Karena buku ini juga, Goldziher dipandang sebagai orang pertama yang meletakkan dasar kajian skeptik terhadap hadits yang telah diterima oleh banyak kalangan sarjana Barat. Berbeda dengan keyakinan yang telah diterima secara umum tadi, menarik juga untuk disimak, A.J. Wensick dalam The Importance of Tradition for Studies of Islam, menegaskan bahwa yang pertama kali mengkaji otentisitas hadits adalah Snouck Hurgronjee. Terlepas dari kontroversi tersebut, hal yang terpenting adalah bahwa ternyata Goldziher telah berhasil meragukan otentisitas hadist dengan dilengkapi studi-studi ilmiah yang dia lakukan. Hadits yang dalam konsep Islam merupakan Corpus yang berisikan perkataan, perbuatan ataupun taqrir yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad Saw. menurut Goldziher tidak lebih sekedar catatan atas kemajuan yang dicapai Islam di bidang agama, sejarah dan sosial pada abad pertama dan kedua Hijriyah, hampir tidak mungkin untuk meyakinkan bahwa hadits dapat dinyatakan sebagai asli dari Muhammad atau generasi Sahabat Rasul. Nampak dari ungkapan Ignaz ini adanya keraguan untuk meyakini otentisitas hadis sudah ada pada masa Nabi, Shahabat ataupun masa tabiin. Hadis tidak lain adalah karya-karya ulama masa sesudah wafat Nabi yang diedarkan pada fenomenafenomena sosial dan kasus-kasus aktual yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Adapun argumentasi yang digunakan Goldziher untuk membuktikan keaslian hadis Nabi adalah berdasarkan pada sebuah riwayat yang berkenaan dengan kasus penulisan hadis yang dilakukan oleh Ibn Syihab al-Zuhri. Menurut Goldziher al-Zuhri mengatakan: (Sesungguhnya para pejabat itu (Umar bin Abdul Aziz/Hisyam bin Abdul Malik) telah memaksa kami untuk menulis beberapa hadis) Kata-kata ahadis dalam kutipan Goldziher tanpa memakai al yang dalam bahasa arab menunjukkan sesuatu yang sudah definitif (marifah) sementara dalam teks yang aslli seperti terdapat pada kitab Ibn Saad dan Ibn Asyakir adalah al Ahadis yang berarti hadis-hadis yang sudah dimaklumi secara definitif yakni hadis-hdis yang berasal dari Nabi Saw. Jadi pengertian ucapan al-Zuhri yang asli adalah para pejabat itu telah memaksanya untuk menuliskan hadis-hadis Nabi yang pada saat itu sudah ada , akan tetapi belum

terhimpun dalma satu buku. sementara pengertian ucapannya dalam kutipan Goldziher adalah para pejabat itu telah memaksanya untuk menulis hadis yang belum pernah ada pada saat itu. Ignaz Goldziher juga menuduh bahwa penelitian hadits yang dilakukan oleh ulama klasik tak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena kelemahan metodenya. Hal ini karena para ulama lebih banyak menggunakan metode kritik sanad dan kurang menggunakan metode kritik matan, karenanya Goldziher kemudian menawarkan metode kritik baru yaitu kritik pada matan. Menurutnya kritik matan hadis itu mencakup berbagai aspek seperti politik, sains, sosio kultural dll. Mengingat bahwa beberapa pepatah hukum yang berasal dari adat kebiasaan Yahudi dan Nasrani bahkan juga pemikiran filsafat Yunani diriwayatkan telah disabdakan oleh Nabi Saw. Contoh kasus dapat ditemukan pada sebuah hadis yang artinya berbunyi : Tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, Masjid al Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al Aqsha Menurut Goldziher Abdul Malik Ibn Marwan (Khalifah Dinasti Ummayah di Damaskus) merasa khawatir apabila Abdullah bin Zubair (opposannya di Makkah) mengambil kesempatan dengan menyuruh orang-orang Syam (syria dan sekitarnya) yang sedang melakukan ibadah haji di Makkah untuk berbaiat kepadanya. Karenanya, Abdul Malik bin Marwan berusaha agar orang-orang Syam tidak lagi pergi ke Makkah, akan tetapi cukup hanya pergi ke Qubbah Sakhra di al Quds (Palestina) yang pada saat itu masuk dalam kekuasaan wilayah Syam. Dalam rangka mewujudkan usaha yang bersifat politis ini, Abdul Malik bin Marwan menugaskan al-Zuhri agar membuat hadis dengan sanad yang bersambung ke Nabi Saw dimana isinya umat Islam tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, Masjid al Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al-Aqsha. Jadi kesimpulannya hadis tersebut tidak shahih karena ia merupakan bikinan ibn Shihab al-Zuhri dan bukan sabda Nabi Saw, meskipun hadits tersebut tercantum dalam kitab shahih al Bukhari yang diakui otentisitasnya oleh ummat Islam, bahkan diakui sebagai kitab yang paling otentik sesudah al- quran. Dari sini rasanya tidak tertalu sulit untuk menetapkan bahwa tujuan Ignaz Goldziher adalah untuk meruntuhkan kepercayaan umat Islam terhadap kredibilitas Imam Bukhari yang selam ini telah terbina kokoh sejak abad ketiga hijriah sampai sekarang.

Pemikiran Barat yang ilmiah ini ternyata berdampak sangat luas terhadap sleuruh kajian-kajian tentnag Islam. Pengaruhnya bukan saja di kalangan orientalis saja melainkan juga di kalanagan pemikir muslim, misalnya Ahmad Amin, dalam bukunya Fajrul Islam juga terkecoh dengan meragukan beberapa hadis akibat teorinya Ignaz tersebut. Begitu pula dengan Mahmud Abu Rayyah dalam bukunya Adhwa Ala as Sunnah al Muhammadiyah ia juga banyak mengikuti metodemetode kritik hadis versi goldziher. Demikian juga Dr. Thoha Husein, Syaikh Muhammad al Ghazaliy, Fazlurrahman dan lain-lain meski dalam batas dan kualitas yang berbeda-beda. Joseph Schacht Orientalis berikutnya yang meragukan otentisitas hadis adalah Josepht Schahct, secara umum dapat disimpulkan bahwa pemikiran Josepht Schahct atas hadis banyak bertumpu pada teori-teori yang digagas oleh pendahulunya yakni Goldziher. Hanya saja perbedaannya adalah jika Goldziher meragukan otentisitas hadis, Josepht Schahct sampai pada kesimpulan bahwa sebagian besar adalah palsu. Pandangan Schacht secara keseluruhan adalah bahwa sistem isnad mungkin valid untuk melacak hadits-hadits sampai pada ulama abad kedua, tapi rantai periwayatan yang merentang ke belakang sampai kepada Nabi Saw. dan para sahabat adalah palsu. Argumennya dapat diringkas dalam enam poin: Sistem isnad dimulai pada awal abad kedua atau, paling awal, akhir abad pertama. Isnad-isnad itu diletakkan secara sembarangan dan sewenang-wenang oleh mereka yang ingin memproyeksikan ke belakang doktrin-doktrin mereka sampai kepada sumber-sumber klasik. Isnad-isnad secara bertahap meningkat oleh pemalsuan; isnad-isnad yang terdahulu tidak lengkap, tapi semua kesenjangan dilengkapi pada masa koleksi-koleksi klasik. Sumber-sumber tambahan diciptakan pada masa SyafiI untuk menjawab penolakanpenolakan yang dibuat untuk hadits-hadits yang dilacak ke belakang sampai kepada satu sumber. isnad-isnad keluarga adalah palsu, dan demikian pula materi yang disampaikan di dalam isnad-isnad itu.

Keberadaan comman narrator dalam rantai periwayatan itu merupakan indikasi bahwa hadits itu berasal dari masa periwayat itu. Dalam rangka membuktikan dasar-dasar pemikirannya tentang kepalsuan hadis Nabi SAW, Josepht Schahct menyusun beberapa teori berikut ini: Teori Projecting Back Maksudnya adalah untuk melihat keaslian hadis bisa direkonstruksikan lewat penelusuran sejarah hubungan antara hukum islam dengan apa yang disebut hadis Nabi. Menurutnya hukum islam belum eksis pada masa al Syabi (110 H). Oleh karena itu jika ada hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum islam, maka itu adalah bikinan orang-orang sesudah al Syabi. Hukum islam baru eksis ketika ada kebijakan khalifah Ummayah mengangkat para hakim. Teori E Silentio Sebuah teori yang disusun berdasarkan asumsi bahwa bila seseroang sarjana (ulama/perawi) pada waktu tertentu tidak cermat terhadap adanya sebuah hadis dan gagal menyebutkannya/ jika satu hadis oleh sarjana (ulama/perawi) yang datang kemudian yang mana para sarjana sebelumnya menggunakan hadis tersebut, maka berarti hadis tersebut tidak pernah ada. Jika satu hadis ditemukan pertama kali tanpa sanad yang komplit dan kemudian ditulis dengan isnad yang komplit, maka isnad itu juga dipalsukan. Dengan kata lain untuk membuktikan hadis itu eksis/ tidak cukup dengan menunjukkan bahwa hadis tersebut tidak pernah dipergunakan sebagai dalil dalam diskusi para fuqaha. Sebab seandainya hadis itu pernah ada pasti hal itu akan dijadikan sebagai refrensi. Teori Common Link Yakni sebuah teori yang beranggapan bahwa dalam sebuah susunan sanad kadang terdapat tambahan tokoh-tokoh tertentu untuk mendukung keabsahan sebuah riwayat. Semua sanad yang terdiri dari hubungan keluarga (antara bapak dan anaknya) adalah palsu. Isnad keluarga tidak menjamin keaslian bahkan dipakai sebagai alat untuk membuat sebuah hadis kelihatan tanpa cacat. Sehingga isnad atas dasar famili adalah isnad buatan yang digunakan untuk jalur penghubung antara satu kelompok perawi dengan perawi lainnya.

Paling tidak ada tiga tesis besar seperti uraian diatas yang diajukan Schacht yang menarik perhatian para sarjana, diantaranya tesis tentang hadits Nabi dilihat dari materinya, atau tentang otentisitas sanad hadits yang terakumulasi dalam teori Projecting back, yang berkaitan juga dengan lahirnya hukum Islam. Pikiran-pikiran tersebut, kalau kita lihat secara keseluruhan, ternyata saling berkaitan, hanya saja karena dia seorang ahli hukum, pembahasan otentisitas hadits di bawah ini nampaknya tidak dapat dihindari dari pembahasan lainnya tentang hukum. Jyunboll Adapaun pemikiran orientalis yang ketiga adalah G.H. A. Jyunboll, dalam beberapa karyanya seperti Muslim Tradition : Studies in Cronology Provenance and Authorship of Early Hadith dan The Date of The Great Fitna, Jyunboll melakukan kritik hadits yang sejatinya kritik-kritiknya itu tidak lebih dari mengulang-ulang atau mendukung gagasan Schacht dalam bukunya the Origin of Muhammadans Yurisprudence. Menurut muhadisin, isnad baru dipergunakan secara cermat setelah terjadinya fitnah tragedi pembunuhan khalifah ustman (656 M) Jyunbolll menolak anggapan ini dengan bersandarkan pada karya ibn Sirin, bahwa penggunaan isnad baru dimulai ketika fitnah tragedi peperangan antara Abdullah bin Zubair dengan dinasti Ummayah yang pada akhirnya berdampak pada banyaknya hadis-hadis palsu. Seperti hadis man kadzaba... Jyunboll menemukan sekurang-kurangnya 5 jalur sanad yang disandarkan pada Abu hanifah. Dia beranggapan hadis itu disusun pada saat-saat tertentu setelah Abu hanifah wafat. Hal ini sangat rasional mengingat Abu hanifah adalah merupakan tokoh yang sering mengenyampingkan hadis. Oleh karena itu jika ada koleksi hadis yang menggunakan namanya, maka hal tersebut harus dipandang sebagai hasil dari suatu usaha dari para pendukung mazhab Hanafi untuk mengkompromikan perbedaan antara madrasah ahl al-ray dengan madrasah ahl al-hadits.

Jyunboll mendukung teori E-silentionya Schacht sembari menambahkan bahwa kolektor hadis (mukharrij) yang koleksi hadisnya berbeda atau tidak menemukan hadis yang dikoleksi oleh kolektor sebelumnya atau sesudahnya padahal hadis itu terkenal, dapat dijadikan alasan untuk meniadakan kebenaran hadits itu. Demikian juga dengan teori Common Linknya Schacht dia menyebutnya sebagai teori yang

brilliant sekaligus mendukungnya dengan menyimpulkan bahwa pertama, fenomena (tokoh penghubung) merupakan gambaran riel bagi ahl al-hadis abad pertengahan, kedua, ulama muhadisin tidak pernah menjadikan fenomena (tokoh penghubung) itu sebagai alat untuk menyelidiki kepalsuan suatu hadis. Common link adalah istilah yang dipakai untuk seorang periwayat hadits yang mendengar suatu hadits dari (jarang lebih dari) seorang yang berwenang, lalu mengajarkannya kepada sejumlah murid yang pada gilirannya kebanyakan dari mereka mengajarkannya (lagi) kepada dua atau lebih dari muridnya. Dengan kata lain, common link adalah periwayat tertua yang disebut dalam berkas isnad yang meneruskan hadits kepada lebih dari satu murid. Dengan demikian, ketika berkas isnad hadits itu mulai menyebar untuk pertama kalinya, di sanalah ditemukan common link-nya. Kesimpulannya, teori ini berangkat dari asumsi, bahwa semakin banyak jalur periwayatan yang bertemu pada seorang rawi (periwayat hadits), semakin besar pula jalur periwayatan tersebut mempunyai klaim kesejarahan, shahih. Artinya, jalur periwayatan yang dapat dipercaya secara autentik adalah jalur periwayatan yang bercabang ke lebih dari satu jalur. Sementara yang bercabang ke (hanya) satu jalur (single strand), tidak dapat dipercaya secara mutlak kebenarannya dhaif. Sebelum Juynboll, fenomena common link ini sesungguhnya sudah dibicarakan oleh Ignaz Goldziher (1850-1921) dan Joseph Schacht (1902-1969) yang mengklaim dirinya sebagai generasi penerus Goldziher dalam teori common link ini. The Origins of Muhammadan Jurisprudence, terbitan Oxford adalah salah katu karyanya. Nah, dari kedua tokoh besar inilah, Juynboll (pakar sejarah Islam klasik dan hadits) melakukan eksplorasi lebih lanjut terhadap teori common link. Terlepas dari pro dan kontra yang meliputinya, teori ini telah menghadirkan nuansa baru dalam wacana intelektualitas kita. Sebab, dengan menggunakan metode common link Juynboll ini, kita dapat melacak dan menemukan asal-usul hadits, kapan dan oleh siapa hadits tersebut disebarkan pertama kalinya. Di samping itu, teori common link juga menjadi wacana yang cukup menghangat. Sebuah wacana yang sangat radikal, fenomenal, sekaligus memancing perdebatan bagi setiap orang yang membacanya.

D. Bantahan Ulama terhadap kritik Orientalis Bantahan untuk Ignaz Goldziher Pendapat Goldziher bahwa hadits belum merupakan dokumen sejarah yang muncul pada masa-masa awal peertumbuhan Islam disanggah oleh bebrapa pakar hadits. Mereka itu di antaranya : Prof. Dr. Musthofa as Sibaiy (as Sunnah wa Makanatuha fi at Tasyriil Islam) Prof. Dr. Ajjaj al Khatib (as Sunnah Qabla Tadwin) dan Prof. Dr. M. Musthofa al Azhami (Studies in Early Hadith Literature). Menurut ketiga ulama ini pendapat Goldziher lemah baik dari sisi metodologisnya maupun kebenaran materi sejarahnya. Alasan mereka adalah karena ketidaktahuan mereka (kekurang percayaan) pada bukti-bukti sejarah. Orientalis lain seperti Nabia Abbot, justru mengajukan bukti-bukti yang cukup valid tentang keberadaan pencatan hadits pada awal-awal periode Islam, dalam bukunya Studies in Arabic Literary Papyri: Quranic Commentary and Tradition (1957). Abbot menyimpulkan bahwa penulisan hadits bisa direkonstruksikan dalam 4 fase: pertama, masa Nabi hidup, kedua, masa wafat Nabi sampai masa Ummayah, ketiga, pada masa Ummayah dengan titik sentral bahasan pada peran ibn Syihab al-Zuhri dan keempat adalah periode kodifikasi hadits kedalam buku-buku fiqh. Sisi metodologi yang dikritik Azami adalah bahwa kesalahan orientalis yang tidak konsisten dalam mendiskusikakan perkembangan hadis Nabi yang berkaitan dengan hukum, sebab bukunya memfokuskan diri pada masalah hukum, mereka malah memasukkan hadishadis ritual. Sebagai contoh dari 47 hadis yang diklaimnya berasal dari Nabi sebagiannya tidak berasal dari Nabi, dan tidak juga berkaitan dengan hukum hanya seperempat yang relevan dengan topik yang didiskusikan. Berkenaan dengan pernyataan ibn Syihab al-Zuhri, Azami menyatakan bahwa tidak ada bukti-bukti historis yang memperkuat teori Goldziher, bahkan justru sebaliknya. Ternyata Goldziher merubah teks yang seharusnya berbunyi al-hadis, akan tetapi ditulis dengan lafaz hadis saja. Demikian juga ternyata tesis Goldziher bahwa al-Zuhri dipaksa khalifah abdul malik bin marwan (yang bermusuhan dengan ibn Zubair) untuk membuat hadis, adalah palsu belaka. Hal ini mengingat al-Zuhri semasa hidupnya tidak pernah bertemu dengan Abdul Malik, kecuali sesudah 7 tahun dari wafatnya ibn Zubair. Pada saat itu umur al Zuhri sekitar 10-18 tahun sehingga tidak rasional pemuda seperti itu memiliki reputasi dan otoritas yang kuat untuk mempengaruhi masyarakat di sekitarnya. Bahkan as-

Sibai menantang abdul Qadir profesornya untuk membuktikan kebenaran teks al Zuhri. Pada akhirnya terbukti bahwa Abdul Qadir salah dan berpegang pada argumen-argumen yang tidak ilmiah. Argumen lain yang juga dapat meruntuhkan teori Goldziher adalah teks hadis itu sendiri. Sebagaimana termaktub dalam kitab Shahih Bukhari, hadis tersebut tidak memberikan isyarat apapun yang bisa menunjukkan bahwa ibadah haji dapat dilakukan di alQuds (Yurussalem) yang ada hanya isyarat pemberian keistimewaan kepada masjid al Aqsha, dan hal ini wajar mengingat masjid itu pernah dijadikan qiblat pertama bagi ummat islam. Sementara itu tawaran Goldziher agar hadis tidak semata-mata didekati lewat perspektif sanad akan tetapi juga lewat kritik matan, perlu dicermati. Sebenarnya semenjak awal para shahabat dan generasi sesudahnya sudah mempraktekkan metode kritik matan. Penjelasan argumentatif telah disajikan oleh Subkhi as Shalih bahwa ulama dalam mengkaji hadis juga bertumpu pada matan. Bantahan untuk Josep Schacht Berikutnya adalah bantahan terhadap kritik Joseph Schahcht sebagaimana yang dia gagas dalam teori Projecting Back-nya. Menurut Azami kekeliruan Schacht adalah bahwa dia keliru ketika menjadikan kitab-kitab sirah Nabi dan kitab-kitab fiqh sebagai dasar postulat /asumsi penyusunan teorinya itu. Kitab Muwattha Imam Malik dan al Syaibaniy serta risalahnya Imam as Syafii tidak bisa dijadiakan sebagai alat analisis eksistensi atau embrio kelahiran hadis Nabi. Sebab kitab-kitab tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Oleh karena itu untuk meneliti hadis Nabi sebaiknya menggunakan dan berpedoman pada kitab-kitab hadis. Azami dalam rangka meruntuhkan teorinya Schacht telah melakukan penelitian terhadap beberapa naskah hadits dengan sanad abu hurairah, abu shalih, suhaildst, yang ternyata dari hasil kajiannya sangat mustahil hadis bisa dipalsukan begitu saja. Sementara teori Argumenta e Silentionya schacht dikritk oleh Jafar Ishaq Anshari dalam buku beliau : The Authenticity of Tradition, A Critique of Joseph Schachts Argument e Silention, begitu pula Azami dalam sanggahannya terhadap The Origins of Muhammadan Jurisprudence karya Schacht, Keduanya berkesimpulan bahwa Schacht melakukan kontradiksi dalam berargumen, sebab dalam bukunya schacht mengecualikan teorinya itu

terhadap referensi yang berasal dari 2 generasi di belakang syafii, kenyataannya schacht justru menggunakan muwathanya Imam Malik dan Syaibaniy sebagai data-datanya yang itu adalah referensi yang valid menurutnya. Muwatha adalah suatu karya yang justru oleh Ignaz Goldziher sendiri dikritik sebagai bukan kitab hadis dengan alasan (1) belum mencakup seluruh hadis yang ada (2) lebih menekankan pada aspek hukum, kurang fokus pada penyelidikan penghimpunann hadis (3) campuran qaul Nabi, Shahabat dan tabiin. Selain itu, temuan Anshari justru membuktikan kebalikan dari teori Argumenta e Silentio. Setelah melakukan verifikasi berdasarkan empat koleksi hadis : al-Muwatha karya Imam Malik dan asy-Syaibani dan al-Atsar karya abu Yusuf dan asy-Syatibi, ia menemukan bahwa ternyata ada sejumlah hadis dalam koleksi-koleksi awal yang tidak ditemukan dalam koleksi-koleksi hadis belakangan. Misalnya, sejumlah hadis yang terdapat dalam alMuwatha karya Imam Malik tidak ada dalam asy-Syaibani, meskipun al-Muwatha karya asy-Syaibani adalah koleksi yang lebih muda. Demikian juga sejumlah hadis yang terdapat di al-Atsar Abu Yusuf tidak dijumpai dalam al-Atsar asy-Syaibani, walaupun al-Atsar asySyaibani ini lebih muda daripada al-Atsar Abu Yusuf. Temuan Anshari berdasarkan empat koleksi hadis ini paling tidak mampu mengoreksi asumsi dasar teori Argumenta e Silentio. Hal ini juga menyadarkan para pengkaji hadis untuk mempertimbangkan adanya faktor-faktor lain, selain faktor ketiadaan, yang menyebabkan mengapa seorang ahli hukum merasa cukup untuk menghimpun doktrin fiqih tertentu tanpa mencantumkan hadis-hadis yang mendukungnya. Karena tujuan para ahli hukum yang utama bukanlah untuk menghimpun hadis, melainkan untuk menghimpun berbagai doktrin aliran fiqih yang sudah disepakati dan diterima secara umum serta diikuti oleh para pendahulu mereka. Oleh karena itu, sering kali penyebutan sebuah hadis utuk mendukung berbagai doktrin fiqih dipandang tidak begitu penting. Akibatnya, merka tidak selalu menyebutkan hadis-hadis yang relevan dengan doktrin-doktrin hukum yang dihimpun meskipun dalam faktanya hadis-hadis tersebut ada. Di samping itu Azami membuktikan bahwa tidak adanya sebuah hadis pada masa kemudian, padahal pada masa-masa awal hadis itu dicatat oleh perawi, disebabkan pengarangnya menghapus/menasakh hadis tersebut, sehingga ia tidak menulisnya dalam karya-karya terbaru. Ketidakkonsistenan Schacht terbukti ketika dia mengkritik hadis-hadis

hukum adalah palsu, ternyata ia mendasarkan teorinya itu pada hadis-hadis ritual (ibadah) yang jika diteliti lebih dalam lagi ternyata tidak bersambung ke Nabi. Kemudian untuk membantah teori yang dikemukakan oleh para orientalis yang lain, khususnya Schacht, yang meneliti dari aspek sejarah, maka M.M. Azami membantah teori Schacht ini juga melalui penelitian sejarah, khususnya sejarah Hadis. Azami melakukan penelitian khusus tentang Hadis-Hadis Nabi yang terdapat dalam naskah-naskah klasik. Di antaranya adalah naskah milik Suhail bin Abi Shaleh (w.138 H). Abu Shaleh (ayah Suhail) adalah murid Abu Hurairah shahabat Nabi saw. Naskah suhail ini berisi 49 Hadis. Sementara Azami meneliti perawi Hadis itu sampai kepada generasi Suhail, yaitu jenjang ketiga (althabaqah altsalitsah). Termasuk jumlah dan domisili mereka. Azami membuktikan bahwa pada jenjang ketiga, jumlah perawi berkisar 20 sampai 30 orang, sementara domisili mereka terpencar-pencar dan berjauhan, antara India sampai Maroko, antara Turki sampai Yaman. Sementara teks hadis yang mereka riwayatkan redaksinya sama. Dengan demikian apa yang dikembangkan oleh Schacht dengan teorinya Projecting Back, yang mengemukakan bahwa sanad Hadis itu baru terbentuk belakangan dan merupakan pelegitimasian pendapat para qadhi dalam menetapkan suatu hukum, adalah masih dipertanyakan keabsahannya, hal ini dibantah oleh Azami dengan penelitiannya bahwa sanad Hadis itu memang muttashil sampai kepada rasulullah Saw. melalui jalur-jalur yang telah disebutkan di atas. Dan membuktikan juga bahwa Hadis-hadis yang berkembang sekarang bukanlah buatan para generasi terdahulu, tetapi merupakan perbuatan atau ucapan yang datang dari Rasul Saw. sebagai seorang Nabi dan panutan umat Islam. Bantahan untuk Jyunboll Tokoh ketiga yang tak luput dari perbincangan para sarjana muslim adalah Jyunboll dengan teori common link-nya. Diantara yang menanggapinya adalah Azami, baginya teori common link bukanlah hanya patut dipertanyakan namun ia pula meragukan validitas teori tersebut. Azami cenderung manyimpulkan bahwa metode common link dan semua metode yang dihasilkannya tidak relevan. Bagi Azami, teori common link banyak yang perlu dipertanyakan. Sebagai contoh misalnya, jika memang ditemukan seorang periwayat seperti al-Zuhri, yang menjadi

periwayat satu-satunya yang meriwayatkan hadis pada muridnya, tetapi telah diakui ketsiqah-an dirinya oleh para kritikus hadis maka tidak ada alasan untuk menuduhnya sebagai seorang yang memalsukan hadis. Para ahli hadis sendiri telah menyadari adanya periwayatan hadis secara infirad (menyendiri) dan implikasinya. Akan tetapi, itu semua bergantung pada kualitas para periwayat hadis pada isnad-nya. Pada tempat lain, Azami menunjukkan bahwa jika seseorang tidak melihat secara keseluruhan jalur isnad maka ia akan salah dalam mengidentifikasi seorang periwayat sebagai common link. Hal ini tentunya agar penemuan akan sanad hadis itu tidak parsial. Sebab, bisa jadi yang dianggap oleh peneliti hadis sebagai common link sebenarnya hanya seeming atau artificial common link. Ini disebabkan karena jalur yang dihimpun hanya sebagian saja sehingga tidak bisa menggambarkan jalur isnad secara lebih akurat. KESIMPULAN Bagaimanapun kritik hadis merupakan usaha yang sebenarnya lebih dulu dilakukan oleh kaum muslim sendiri. Tradisi lisan atau verbal dalam transmisi hadis tidak menafikan adanya tradisi tulis-menulis. Adanya fenomena pemalsuan hadis adalah akibat adanya intervensi pendapat-pendapat pribadi dan adanya kasus iltibas. Namun dari fenomena tersebut, melahirkan tradisi kritik hadis untuk mengecek validitas hadis. Di samping itu, dengan adanya formalisasi penulisan hadis pada abad ke-2 H, telah mengubah orientasi pemeliharaan hadis. Dan tradisi penulisan menghadirkan beberapa karya monumental yang memuat kumpulan hadis sebagai upaya selektif dari masing-masing tokoh yang telah menulisnya. Dalam perkembangnya kritik inipun menjadi bahan yang menarik bagi orang non islam yang disebut sebagai The Outsiders maupun Orientalis. Kajian mereka ini tidaklah harus ditanggapi dengan emosi yang menghilangkan nilai ilmiah bagi sebuah penelitian. Bahkan secara eksplisit karena merekalah saat ini umat muslim mencoba bangkit dan berani mengkoreksi nashnash yang telah dianggap sakral dan tidak bisa tersentuh dari kritik. Pengkoreksian ini bukanlah berarti menggap bahwa tesis yang dihasilkan para orientalis ini merupakan sebuah hasil yang harus diterima secara mentah-mentah, namun harus juga ditanggapi denga objektif, data yang valid serta metodologi yang juga bisa diterima oleh kalangan akademis.

Sehingga sebenarnya para sarjana muslim sendiri bersikap berbeda dalam memandang kegiatan para orientalis. Diantaranya ada yang memandang sebagai murni kajian keilmuan namun disisi lain lebih banyak yang menganggap sebagai sebuah propaganda melawan Islam. Dari keseluruhan gerakan orientalisme tersebut dalam berbagai bentuknya dari awal hingga akhir ini, Edward Said menyimpulkan dalam 3 poin yaitu: 1) Bahwa orientalisme itu lebih merupakan gambaran tentang pengalaman manusia Barat ketimbang tentang manusia Timur (orient). 2) Bahwa Orientalisme itu telah menghasilkan gambaran yang salah tentang kebudayaan Arab dan Islam. 3) Bahwa meskipun kajian orientalis nampak obyektif dan tanpa interes (kepentingan), namun ia berfungsi untuk tujuan politik. Namun harus diakui bahwa selain dari bidang-bidang pemahaman dan penafsiran Islam, para oritentalis banyak yang berjasa dalam kerja-kerja ilmiah lainnya dan cukup dirasakan manfaatnya, seperti misalnya dalam penyusunan lexicon, kamus-kamus, encyclopedia, kompilasi hadis dan sebagainya. Oleh karena itu umat Islam perlu bersikap bijaksana, tidak melulu apresiatif yang berlebihan dan tidak pula bersikap apriori secara membabi buta. Umat Islam perlu bersikap kritis dan profesional dalam mengkaji dan menanggapi karya-karya orientalis itu. REFERENSI Badri Khaeruman, Otentisitas Hadits Studi Kritis atas Kajian Hadits Kontemporer. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004. Jhon M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia. 1992. Tim Lintas Media, Kamus Indonesia-Arab dan Arab Indonesia. Jombang: Lintas Media, tt.. Wahyudin Darmalaksana, Hadits di mata Orientalis Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Josep Schacht. Bandung: Benang Merah Press, 2004. M. dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer . Surabaya: Arkola, 2001. Rifqie, Kritik orientalis Terhadap Hadis, dalam internet website: http://rifqiemaulana.wordpress.com/ diakses pada tanggal 27 Desember 2009. Hafsa Mutazz, Sosok Orientalisme dan Kiprahnya, dalam internet website: http://www.gaulislam.com/sosok-orientalisme-dan-kiprahnya, diakses pada tanggal 27 Desember 2009. ..... Saat Orientalis Mengkritisi Hadits Teori Common Link G.H.A. Juynboll, Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, lihat di website: http://www.compasiana.com/sunangunungdjati. Khoirul Asfiyak, Otentisitas Hadits dimata Orientalist dalam internet website:http://faiunisma-malang.blogspot.com/2009/01/otentisitas-hadits-di-mata-orientalist_10.html, diakses tanggal 27 Desember 2009. M.M Azami, Menguji Keaslian hadits-hadits hukum. Jakarta:Pustaka Firdaus, 2004.

..... Saat Orientalis Mengkritisi Hadits Teori Common Link G.H.A. Juynboll, Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, lihat di website: http://www.compasiana.com/sunangunungdjati. Labib Syauqi Akifahadi, Tanggapan sarjana Muslim Terhadap Kajian Hadits Orientalist, dalam internet website:http://lenterahadits.com/index.php?option=com_content&view=category&la yout=blog&id=36&Itemid=57, diakses tanggal 27 Desember 2009.Badri Khaeruman, Otentisitas Hadits Studi Kritis atas Kajian Hadits Kontemporer Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 27. Ibid., Jhon M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia, 1992), hal. 155. Tim Lintas Media, Kamus Indonesia-Arab dan Arab Indonesia (Jombang: Lintas Media, tt..), 443. Jhon M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, hal. 408. Wahyudin Darmalaksana, Hadits di mata Orientalis Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Josep Schacht (Bandung: Benang Merah Press, 2004), hal. 51. M. dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, 2001), hal. 548. Rifqie, Kritik orientalis Terhadap Hadis, dalam internet website: http://rifqiemaulana.wordpress.com/ diakses pada tanggal 27 Desember 2009. Wahyudin Darmalaksana, Hadits di mata Orientalis Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Josep Schacht..., hal. 54. Ibid., Ibid., Hafsa Mutazz, Sosok Orientalisme dan Kiprahnya, dalam internet website: http://www.gaulislam.com/sosok-orientalisme-dan-kiprahnya, diakses pada tanggal 27 Desember 2009. Ibid., ..... Saat Orientalis Mengkritisi Hadits Teori Common Link G.H.A. Juynboll, Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, lihat di website: http://www.compasiana.com/sunangunungdjati. Wahyudin Darmalaksana, Hadits di mata Orientalis Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Josep Schacht..., hal. 88. Khoirul Asfiyak, Otentisitas Hadits dimata Orientalist dalam internet website:http://fai-unismamalang.blogspot.com/2009/01/otentisitas-hadits-di-mata-orientalist_10.html, diakses tanggal 27 Desember 2009. Wahyudin,.....hal. 88. Khoirul Asfiyak, Otentisitas Hadits dimata Orientalist... Ibid., Ibid., Ibid., M.M Azami, Menguji Keaslian hadits-hadits hukum (Jakarta:Pustaka Firdaus, 2004), hal. 232-233. Wahyudin, Hadits di mata Orientalis.......hal. 108-109. Khoirul Asfiyak, Otentisitas hadits di mata Orientalist Ibid., ..... Saat Orientalis Mengkritisi Hadits Teori Common Link G.H.A. Juynboll, Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, lihat di website: http://www.compasiana.com/sunangunungdjati. Khoirul Asfiyak, Labib Syauqi Akifahadi, Tanggapan sarjana Muslim Terhadap Kajian Hadits Orientalist, dalam internet website:http://lenterahadits.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=36&Itemid=57, diakses tanggal 27 Desember 2009. Ibid., Ibid., Ibid., Ibid., Ibid., Ibid.,

Ibid.