kritik orientalis terhadap hadits

38
KRITIK ORIENTALIS TERHADAP HADITS (Telaah Atas Kritik Ignaz Goldziher, Joseph Schacht dan Jyunboll) A. Pendahuluan Hadits Nabi Saw. diyakini oleh mayoritas umat Islam sebagai bentuk ajaran yang paling nyata dan merupakan realisasi dari ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur’an. 1 Dalam hubungan antara keduanya, hadits berfungsi sebagai penjelas al-Qur’an. Interpretasi terhadap petunjuk Allah ini diwujudkan dalam bentuk nyata dalam kehidupan Nabi. Sabda, perilaku, dan sikapnya terhadap segala sesuatu, terkadang menjadi hukum tersendiri yang tidak ditemukan dalam al- Qur’an. 2 Oleh karena sedemikian sentralnya keberadaan hadits nabi itu, banyak musuh-musuh Islam berupaya meruntuhkan ajaran Islam dengan cara mengkaji dan meneliti hadits dengan satu tujuan untuk meragukan dasar-dasar validitas hadits sebagai dalil / dasar argumentasi. Penelitian dan kajian-kajian yang dilakukan oleh musuh-musuh islam itu (diantaranya 1 Badri Khaeruman, Otentisitas Hadits Studi Kritis atas Kajian Hadits Kontemporer Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 27. 2 Ibid.,

Upload: farida-ari

Post on 01-Jul-2015

933 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kritik Orientalis Terhadap Hadits

KRITIK ORIENTALIS TERHADAP HADITS

(Telaah Atas Kritik Ignaz Goldziher, Joseph Schacht dan Jyunboll)

A. Pendahuluan

Hadits Nabi Saw. diyakini oleh mayoritas umat Islam sebagai bentuk

ajaran yang paling nyata dan merupakan realisasi dari ajaran Islam yang

terkandung dalam al-Qur’an.1

Dalam hubungan antara keduanya, hadits berfungsi sebagai penjelas

al-Qur’an. Interpretasi terhadap petunjuk Allah ini diwujudkan dalam bentuk

nyata dalam kehidupan Nabi. Sabda, perilaku, dan sikapnya terhadap segala

sesuatu, terkadang menjadi hukum tersendiri yang tidak ditemukan dalam al-

Qur’an.2

Oleh karena sedemikian sentralnya keberadaan hadits nabi itu, banyak

musuh-musuh Islam berupaya meruntuhkan ajaran Islam dengan cara

mengkaji dan meneliti hadits dengan satu tujuan untuk meragukan dasar-dasar

validitas hadits sebagai dalil / dasar argumentasi. Penelitian dan kajian-kajian

yang dilakukan oleh musuh-musuh islam itu (diantaranya sebagaian dilakukan

oleh orientalis) itu sebenarnya mengajak umat islam untuk meragukan

kebenaran dari hadits. Dengan diragukannya hadits-hadits yang ada dalam

kitab-kitab hadits karya ulama masa lalu, maka robohlah sudah satu pilar

agama Islam . Sehingga umat Islam tidak memiliki kesatuan atau keseragaman

dalam memahami al-qur’an dan lebih jauh dalam mengaplikasikan ajaran-

ajaran syari’at Islam tentunya. Inilah tujuan utama kegiatan orientalis dalam

mengkaji hadits.

Yusuf Qardlawiy telah menengarai kelompok (musuh-musuh Islam)

itu terdiri dari para missionaris dan orientalis dan sebagian lagi murid-murid

termasuk orang-orang yang terpesona dengan “metode ilmiah” yang mereka

1 Badri Khaeruman, Otentisitas Hadits Studi Kritis atas Kajian Hadits Kontemporer Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 27.

2 Ibid.,

Page 2: Kritik Orientalis Terhadap Hadits

peragakan itu. Di antara sekian banyak orientalis yang mengkaji, ada 3 nama

besar yang berpengaruh dalam kegiatan penelitian hadis. Mereka itu adalah

Goldziher , Schahct dan jyunboll. Berikut ini akan dibahas pola pemikiran

mereka terhadap kesahihan hadis-hadis nabi saw.

B. Pengertian Kritik dan Orientalis

Dua kata “kritik” dan “orientalis” dalam khazanah bahasa Indonesia

sudah tidak asing lagi.  Keduanya merupakan bahasa serapan dari bahasa

asing. Karena itu, dalam tataran praktis, kedua kata itu kadang-kadang

menyimpang dari pengertian terminologi yang seharusnya. Akibatnya terjadi

misundestanding antara nara sumber dan penerimanya. Dari sinilah, penulis

merasa perlu memposisikan pengertian dua kata tersebut sebelum pembahasan

yang lain.

“Kritik” berasal dari bahasa Inggris “critic” yang artinya pengecam,

pengkritik, pengupas, pembahas.3 Secara terminologi, kritik berarti upaya-

upaya untuk menemukan kesalahan, atau menurut versi W.J.S. Purwodarminto

mengkritik diartikan dengan “memberi pertimbangan dengan menunjukkan

yang salah”. Sedang Kritik dalam Bahasa Arab adalah “naqd” yang

diterjemahkan dengan kritik dan kecaman.4

Yang dapat kita pahami dari pengertian diatas adalah bahwa kritik/

mengkritik adalah upaya untuk menunjukkan / mendahulukan kesalahan

daripada mencari kebenarannya. Dengan demikian, maka dalam benak kita

ketika memahami “kritik” akan dipenuhi dengan su’udzan, dan bisa jadi

karena sibuk dengan mencari kesalahan, maka kebenaran yang adapun tidak

tampak.

Karena itu, menurut hemat penulis, kritik berarti meneliti dengan

cermat tentang benar tidaknya sesuatu dengan menggunakan standart yang

sesuai. Dengan pengertian ini, maka yang dilakukan orang ketika mengkritik

hadits dan ilmu hadits adalah menilai dan mengomentarinya dengan

3 Jhon M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia, 1992), hal. 155.

4 Tim Lintas Media, Kamus Indonesia-Arab dan Arab Indonesia (Jombang: Lintas Media, tt..), 443.

Page 3: Kritik Orientalis Terhadap Hadits

mendahulukan kebenaran yang ada daripada kesalahannya, dengan

menggunakan parameter hadits atau ilmu hadits.

Sedangkan kata “orientalis” berasal dari kata orient yang berarti Asia

Timur; atau berasal dari kata oriental yang berarti orang Timur atau Asia.5

Secara geografis kata orient bermakna dunia belahan timur dan secara

etnologis berarti bangsa-bangsa timur.6 Sedangkan dalam kamus ilmiah

populer ”orientalis” adalah ahli Barat yang mempelajari Timur.7

Dilihat dari segi terminologinya, Ismail Ya’kub menyatakan bahwa

orientalis adalah orang yang ahli tentang soal-soal ketimuran, yakni segala

sesuatu mengenai negeri-negeri Timur, terutama Negeri-negeri Arab pada

umumnya dan Islam pada khususnya, tentang kebudayaannya, agamanya,

peradabannya, kehidupannya dan lain-lain.8

Dan dalam kata ”orientalis” terkandung sifat umum nama pelaku atau

ahli-ahli ketimuran, artinya dalam beberapa hal siapapun orangnya apakah ia

muslim atau non muslim, apabila ia telah luas pengetahuannya tentang

ketimuran maka ia seringkali terkategorikan secara langsung sebagai

orientalis, seperti dinyatakan oleh kelompok Oxford bahwa orientalis adalah

semua orang yang telah luas pengetahuannya tentang bahasa-bahasa Timur

serta kesustraannya.9 Definisi ini dibantah oleh sebagian pakar dengan hanya

membatasi pengertian orientalis hanya pada orang Barat (Eropa dan Amerika)

yang nonmuslim.10

Jadi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Hanafi bahwa orientalis

adalah segolongan sarjana-sarjana Barat yang mendalami bahasa-bahasa dunia

Timur dan kesustraannya, dan mereka menaruh perhatian besar terhadap

agama-agama dunia Timur; sejarahnya, adat istiadatnya dan ilmu-ilmunya.11

5 Jhon M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia…, hal. 408.6 Wahyudin Darmalaksana, Hadits di mata Orientalis Telaah atas Pandangan Ignaz

Goldziher dan Josep Schacht (Bandung: Benang Merah Press, 2004), hal. 51.7 M. dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, 2001), hal. 548.8 Rifqie, ”Kritik orientalis Terhadap Hadis”, dalam internet website:

http://rifqiemaulana.wordpress.com/ diakses pada tanggal 27 Desember 2009.9 Wahyudin Darmalaksana, Hadits di mata Orientalis Telaah atas Pandangan Ignaz

Goldziher dan Josep Schacht..., hal. 54.10 Ibid., 11 Ibid.,

Page 4: Kritik Orientalis Terhadap Hadits

C. Kritik Orientalis terhadap Hadits

1. Biografi ketiga orientalis

a. Ignaz Goldziher

Ignaz Goldziher adalah termasuk orientalis terkemuka yang

mendalami ilmu-ilmu Islam. Ia lahir pada 22 Juni 1850, di Hongaria.

Ia berasal dari keluarga Yahudi yang terpandang. Pendidikannya

dimulai dari Budhapest kemudian melanjutkan ke Berlin pada tahun

1869 dan pindah lagi ke Universitas Leipzig.

Goldziher dalam studinya dibimbing oleh orientalis terkemuka

saat itu yaitu Fleisser, pakar filologi (ilmu tentang asal-usul kata).

Goldziher memperoleh gelar doktoral tingkat pertama pada tahun 1870

dengan karyanya : “Penafsir Taurat yang Berasal dari Tokoh Yahudi

Abad Tengah.”

Ia kemudian kembali ke Budapest dan ditunjuk sebagai asisten

Guru Besar di Univeritas Budhapest pada tahun 1872. Ia tidak lama

mengajar, dan lalu meneruskan studinya di Wina dan Leiden. Setelah

itu ia mengadakan perjalanan ke Timur Tengah, Suriah dan Palestina

dan kemudian menetap di Kairo.

Ketika di Universitas Budapest, ia banyak menekankan kajian

peradaban Arab, khususnya agama Islam. Pada tahun 1894, ia diangkat

menjadi profesor kajian bahasa Semit. Goldziher memang sangat

cerdas. Pada usia 16 tahun, ia telah sanggup menerjemahkan dua buah

kisah Turki ke dalam bahasa Hongaria. Saat itu ia juga biasa membaca

buku-buku tebal dan memberikan ulasannya. Buku klasik pertama

yang menjadi kajiannya adalah Azh Zhahiriyah: Madzhabuhum wa

Tarikhuhum. Ia kemudian mendalami kajian fikih dan ushul fikih.

Pada tahun 1889 ia menulis karangan tentang hadits berjudul

Dirasah Islamiyah, dua juz. Dalam bukunya Al Aqidah was Syariah fil

Islam’ Goldziher banyak melakukan tuduhan-tuduhan menyimpang

kepada Muhammad saw. Prof. Ahmad Muhammad Jamal mengkritik

keras karyanya ini. Menurut Jamal, pada halaman 12, Goldziher

melontarkan tuduhan bahwa Islam merupakan himpunan pengetahuan

Page 5: Kritik Orientalis Terhadap Hadits

dan pandangan agama-agama lain yang sengaja dipilih Muhammad..

hal ini diketahui dan ditimba oleh Muhammad karena hubungannya

dengan oknum-oknum Yahudi, Nasrani dan lain-lainnya. Ignaz

Goldziher meninggal pada tahun 1921.12

b. Josepht Schahct

Sementara Josepht Schahct adalah seorang profesor yang lahir

di Rottbur Jerman, 15 Maret 1902. Ia mulai studi di perguruan tinggi

dengan mendalami filologi klasik, teologi dan bahasa-bahasa Timur di

Universitas Prusia dan Leipzig. Tahun 1923, ia memperoleh gelar

sarjana muda di Universitas Prusia dan menjadi guu besar pada 1929.

Schacht menjadi dosen di Universitas Frayburg, Jerman. Pada tahun

1934 ia diundang untuk mengajar di Universitas Kairo, Mesir.

Di Mesir,ia mengajar fikih, bahasa Arab dan bahasa Suryani, di

jurusan Bahasa Arab, Fakultas Sastra. Ia mengajar di Universitas

Mesir hingga 1939. Ketika terjadi Perang Dunia II pada September

1939, Schacht pindah dari Mesir ke London dan bekerja di Radio BBC,

London. Di situ ia berperanan melancarkan propaganda melawan nazi

Jerman.

Di Inggris itu Schacht melanjutkan studinya di Universitas

Oxford dan memperoleh gelar Magister pada tahun 1948, serta gelar

Doktor pada tahun 1952. Ia diangkat sebagau guru besar di seluruh

universitas yang ada di kerajaan Inggris. Pada tahun 1954, ia pakar

fikih Islam ini, menjadi guru besar di Universitas Leiden sampai 1959.

Ia dengan kawan-kawannya mengedit cetakan kedua Dairat al Ma’arif

al Islamiyah. Kemudian ia ke New York dan menjadi guru besar di

Universitas Columbia dan meninggal di Amerika pada Agustus 1969.

Dalam bidang Fikih, karya Schacht antara lain: Al Khoshaf aL

Kitab al Hiyal wa al-Makharij (1932), Abu Hatim al Qazwini: Kitab al

Khiyal fi al Fiqih (1924), Ath Thabari: Ikhtilaf al Fuqaha (1933) dan

lain-lain. Karyanya yang menonjol dan kontroversial adalah bukunya

12 Hafsa Mutazz, “Sosok Orientalisme dan Kiprahnya”, dalam internet website: http://www.gaulislam.com/sosok-orientalisme-dan-kiprahnya, diakses pada tanggal 27 Desember 2009.

Page 6: Kritik Orientalis Terhadap Hadits

The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford,1950). Karya

Schacht ini banyak mengambil rujukan Ar Risalahnya Imam Syafii.13

c. Jyunboll

Adapun G.H.A Jyunboll adalah pendukung setia kedua

orientalis di atas. Karya-karyanya antara lain : The Authenticity of The

Tradition Literature; Discussion in Modern Egypt, juga tentang On

The Origin of Arabic Prose Reflection on Authenticity, termasuk juga

Muslim Tradition : Studies in Cronology Provenance and Authorship

of Early Hadith dan The Date of The Great Fitna.

Sejak di bangku S1 di Leiden, Belanda, Juynboll sudah begitu

gigih mencurahkan segenap upayanya melakukan penelitian terhadap

otentifikasi hadits. Tak ayal, setelah tiga puluh tahun lebih, sejarah dan

perkembangan hadits dapat dia kuasai dengan baik. Mulai dari hadits

klasik hingga yang kontemporer. The Authenticity of the Tradition

Literature, adalah salah satu bukti karya original, hasil penelitiannya

terhadap pandangan para teolog Mesir tentang keshahihan sebuah

hadits.14

2. Pemikiran dan kritik ketiga orientalis tentang otentisitas hadits Nabi.

a. Ignaz Goldziher

Untuk memahami pemikiran dan kritik Goldziher tentang

hadits adalah hal yang tidak mungkin kita lakukan, jika kita lewatkan

begitu saja apa yang ia uraikan dalam Mohammedanische Studien yang

terbit pada tahun 1890 dalam bahasa Jerman dan kemudian

diterjemahkan oleh C.R. Barber dan S.M. Stern ke dalam bahasa

Inggris yaitu Muslim Studies. Dalam karya terbesar itu seluruh

pemikirannya tentang hadits tertuang secara sempurna.15

Menurut Azami sarjana Barat yang pertama kali melakukan

kajian tentang hadis adalah ignaz goldziher dalam bukunya : 13 Ibid., 14 .....” Saat Orientalis Mengkritisi Hadits Teori Common Link G.H.A. Juynboll,

Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, lihat di website: http://www.compasiana.com/sunangunungdjati.

15 Wahyudin Darmalaksana, Hadits di mata Orientalis Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Josep Schacht..., hal. 88.

Page 7: Kritik Orientalis Terhadap Hadits

Muhammadanische Studies, dia mengatakan:”bagian terbesar dari

hadis tak lain adalah hasil perkembangan Islam pada abad pertama dan

kedua baik dalam bidang keagamaan, politik maupun sosial. Tidaklah

benar pendapat yang menyatakan bahwa hadis merupakan dokumen

Islam yang sudah ada sejak masa dini (masa pertumbuhan) melainkan

ia adalah pengaruh perkembangan Islam pada masa kematangan”.16

Karena buku itu (Muhammadanische Studies), dianggaplah

”kitab suci” tentang hadits di kalangan orientalis. Mustafa Yaqub

mengatakan bahwa buku tersebut mempunyai posisi tersendiri dan

cukup berpengaruh di kalangan orientalis dan para sarjana khususnya

dalam masalah hadits di mana ia merupakan satu-satunya rujukan di

kalangan mereka. Karena buku ini juga, Goldziher dipandang sebagai

orang pertama yang meletakkan dasar kajian skeptik terhadap hadits

yang telah diterima oleh banyak kalangan sarjana Barat. Berbeda

dengan keyakinan yang telah diterima secara umum tadi, menarik juga

untuk disimak, A.J. Wensick dalam The Importance of Tradition for

Studies of Islam, menegaskan bahwa yang pertama kali mengkaji

otentisitas hadits adalah Snouck Hurgronjee.17

Terlepas dari kontroversi tersebut, hal yang terpenting adalah

bahwa ternyata Goldziher telah berhasil meragukan otentisitas hadist

dengan dilengkapi studi-studi ilmiah yang dia lakukan. Hadits yang

dalam konsep Islam merupakan Corpus yang berisikan perkataan,

perbuatan ataupun taqrir yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad

Saw. menurut Goldziher tidak lebih sekedar catatan atas kemajuan

yang dicapai Islam di bidang agama, sejarah dan sosial pada abad

pertama dan kedua Hijriyah, hampir tidak mungkin untuk meyakinkan

bahwa hadits dapat dinyatakan sebagai asli dari Muhammad atau

generasi Sahabat Rasul.

Nampak dari ungkapan Ignaz ini adanya keraguan untuk

meyakini otentisitas hadis sudah ada pada masa Nabi, Shahabat

16 Khoirul Asfiyak, “Otentisitas Hadits dimata Orientalist” dalam internet website:http://fai-unisma-malang.blogspot.com/2009/01/otentisitas-hadits-di-mata-orientalist_10.html, diakses tanggal 27 Desember 2009.

17 Wahyudin,.....hal. 88.

Page 8: Kritik Orientalis Terhadap Hadits

ataupun masa tabi’in. Hadis tidak lain adalah karya-karya ulama masa

sesudah wafat Nabi yang diedarkan pada fenomena-fenomena sosial

dan kasus-kasus aktual yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Adapun argumentasi yang digunakan Goldziher untuk membuktikan

keaslian hadis Nabi adalah berdasarkan pada sebuah riwayat yang

berkenaan dengan kasus penulisan hadis yang dilakukan oleh Ibn

Syihab al-Zuhri. Menurut Goldziher al-Zuhri mengatakan:

(Sesungguhnya para pejabat itu (Umar bin Abdul Aziz/Hisyam bin

Abdul Malik) telah “memaksa” kami untuk menulis beberapa “hadis”)

Kata-kata “ahadis” dalam kutipan Goldziher tanpa memakai “al” yang

dalam bahasa arab menunjukkan sesuatu yang sudah definitif

(ma’rifah) sementara dalam teks yang aslli seperti terdapat pada kitab

Ibn Sa’ad dan Ibn Asyakir adalah “al Ahadis” yang berarti hadis-hadis

yang sudah dimaklumi secara definitif yakni hadis-hdis yang berasal

dari Nabi Saw. Jadi pengertian ucapan al-Zuhri yang asli adalah para

pejabat itu telah memaksanya untuk menuliskan hadis-hadis Nabi yang

pada saat itu sudah ada , akan tetapi belum terhimpun dalma satu buku.

sementara pengertian ucapannya dalam kutipan Goldziher adalah para

pejabat itu telah memaksanya untuk menulis hadis yang belum pernah

ada pada saat itu.18

Ignaz Goldziher juga menuduh bahwa penelitian hadits yang

dilakukan oleh ulama klasik tak dapat dipertanggungjawabkan secara

ilmiah karena kelemahan metodenya. Hal ini karena para ulama lebih

banyak menggunakan metode kritik sanad dan kurang menggunakan

metode kritik matan, karenanya Goldziher kemudian menawarkan

metode kritik baru yaitu kritik pada matan. Menurutnya kritik matan

hadis itu mencakup berbagai aspek seperti politik, sains, sosio kultural

dll. Mengingat bahwa beberapa pepatah hukum yang berasal dari adat

kebiasaan Yahudi dan Nasrani bahkan juga pemikiran filsafat Yunani

diriwayatkan telah disabdakan oleh Nabi Saw. Contoh kasus dapat

ditemukan pada sebuah hadis yang artinya berbunyi : “Tidak

18 Khoirul Asfiyak, “Otentisitas Hadits dimata Orientalist...

Page 9: Kritik Orientalis Terhadap Hadits

diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, Masjid al Haram,

Masjid Nabawi dan Masjid al Aqsha” Menurut Goldziher Abdul Malik

Ibn Marwan (Khalifah Dinasti Ummayah di Damaskus) merasa

khawatir apabila Abdullah bin Zubair (opposannya di Makkah)

mengambil kesempatan dengan menyuruh orang-orang Syam (syria

dan sekitarnya) yang sedang melakukan ibadah haji di Makkah untuk

berbaiat kepadanya. Karenanya, Abdul Malik bin Marwan berusaha

agar orang-orang Syam tidak lagi pergi ke Makkah, akan tetapi cukup

hanya pergi ke Qubbah Sakhra di al Quds (Palestina) yang pada saat

itu masuk dalam kekuasaan wilayah Syam.19

Dalam rangka mewujudkan usaha yang bersifat politis ini,

Abdul Malik bin Marwan menugaskan al-Zuhri agar membuat hadis

dengan sanad yang bersambung ke Nabi Saw dimana isinya umat

Islam tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, Masjid al

Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al-Aqsha. Jadi kesimpulannya

hadis tersebut tidak shahih karena ia merupakan bikinan ibn Shihab al-

Zuhri dan bukan sabda Nabi Saw, meskipun hadits tersebut tercantum

dalam kitab shahih al Bukhari yang diakui otentisitasnya oleh ummat

Islam, bahkan diakui sebagai kitab yang paling otentik sesudah al-

qur’an. Dari sini rasanya tidak tertalu sulit untuk menetapkan bahwa

tujuan Ignaz Goldziher adalah untuk meruntuhkan kepercayaan umat

Islam terhadap kredibilitas Imam Bukhari yang selam ini telah terbina

kokoh sejak abad ketiga hijriah sampai sekarang. 20

Pemikiran Barat yang “ilmiah” ini ternyata berdampak sangat

luas terhadap sleuruh kajian-kajian tentnag Islam. Pengaruhnya bukan

saja di kalangan orientalis saja melainkan juga di kalanagan pemikir

muslim, misalnya Ahmad Amin, dalam bukunya “Fajrul Islam” juga

terkecoh dengan meragukan beberapa hadis akibat teorinya Ignaz

tersebut. Begitu pula dengan Mahmud Abu Rayyah dalam bukunya

“Adhwa ‘Ala as Sunnah al Muhammadiyah” ia juga banyak mengikuti

metode-metode kritik hadis versi goldziher. Demikian juga Dr. Thoha

19 Ibid., 20 Ibid.,

Page 10: Kritik Orientalis Terhadap Hadits

Husein, Syaikh Muhammad al Ghazaliy, Fazlurrahman dan lain-lain

meski dalam batas dan kualitas yang berbeda-beda.

b. Joseph Schacht

Orientalis berikutnya yang meragukan otentisitas hadis adalah

Josepht Schahct, secara umum dapat disimpulkan bahwa pemikiran

Josepht Schahct atas hadis banyak bertumpu pada teori-teori yang

digagas oleh pendahulunya yakni Goldziher. Hanya saja perbedaannya

adalah jika Goldziher meragukan otentisitas hadis, Josepht Schahct

sampai pada kesimpulan bahwa sebagian besar adalah palsu.21

Pandangan Schacht secara keseluruhan adalah bahwa sistem

isnad mungkin valid untuk melacak hadits-hadits sampai pada ulama

abad kedua, tapi rantai periwayatan yang merentang ke belakang

sampai kepada Nabi Saw. dan para sahabat adalah palsu. Argumennya

dapat diringkas dalam enam poin:22

1. Sistem isnad dimulai pada awal abad kedua atau, paling awal, akhir

abad pertama.

2. Isnad-isnad itu diletakkan secara sembarangan dan sewenang-

wenang oleh mereka yang ingin “memproyeksikan ke belakang”

doktrin-doktrin mereka sampai kepada sumber-sumber klasik.

3. Isnad-isnad secara bertahap “meningkat” oleh pemalsuan; isnad-

isnad yang terdahulu tidak lengkap, tapi semua kesenjangan

dilengkapi pada masa koleksi-koleksi klasik.

4. Sumber-sumber tambahan diciptakan pada masa Syafi’I untuk

menjawab penolakan-penolakan yang dibuat untuk hadits-hadits

yang dilacak ke belakang sampai kepada satu sumber. “isnad-isnad

keluarga” adalah palsu, dan demikian pula materi yang

disampaikan di dalam isnad-isnad itu.

5. Keberadaan comman narrator dalam rantai periwayatan itu

merupakan indikasi bahwa hadits itu berasal dari masa periwayat

itu.

21 Ibid., 22 M.M Azami, Menguji Keaslian hadits-hadits hukum (Jakarta:Pustaka Firdaus, 2004),

hal. 232-233.

Page 11: Kritik Orientalis Terhadap Hadits

Dalam rangka membuktikan dasar-dasar pemikirannya tentang

kepalsuan hadis Nabi SAW, Josepht Schahct menyusun beberapa teori

berikut ini:

1. Teori Projecting Back

Maksudnya adalah untuk melihat keaslian hadis bisa

direkonstruksikan lewat penelusuran sejarah hubungan antara

hukum islam dengan apa yang disebut hadis Nabi. Menurutnya

hukum islam belum eksis pada masa al Sya’bi (110 H). Oleh

karena itu jika ada hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum

islam, maka itu adalah bikinan orang-orang sesudah al Sya’bi.

Hukum islam baru eksis ketika ada kebijakan khalifah Ummayah

mengangkat para hakim.

2. Teori E Silentio

Sebuah teori yang disusun berdasarkan asumsi bahwa bila

seseroang sarjana (ulama/perawi) pada waktu tertentu tidak cermat

terhadap adanya sebuah hadis dan gagal menyebutkannya/ jika satu

hadis oleh sarjana (ulama/perawi) yang datang kemudian yang

mana para sarjana sebelumnya menggunakan hadis tersebut, maka

berarti hadis tersebut tidak pernah ada. Jika satu hadis ditemukan

pertama kali tanpa sanad yang komplit dan kemudian ditulis

dengan isnad yang komplit, maka isnad itu juga dipalsukan.

Dengan kata lain untuk membuktikan hadis itu eksis/ tidak cukup

dengan menunjukkan bahwa hadis tersebut tidak pernah

dipergunakan sebagai dalil dalam diskusi para fuqaha. Sebab

seandainya hadis itu pernah ada pasti hal itu akan dijadikan sebagai

refrensi.

3. Teori Common Link

Yakni sebuah teori yang beranggapan bahwa dalam sebuah

susunan sanad kadang terdapat tambahan tokoh-tokoh tertentu

untuk mendukung keabsahan sebuah riwayat. Semua sanad yang

terdiri dari hubungan keluarga (antara bapak dan anaknya) adalah

palsu. Isnad keluarga tidak menjamin keaslian bahkan dipakai

Page 12: Kritik Orientalis Terhadap Hadits

sebagai alat untuk membuat sebuah hadis kelihatan tanpa cacat.

Sehingga isnad atas dasar famili adalah isnad buatan yang

digunakan untuk jalur penghubung antara satu kelompok perawi

dengan perawi lainnya.

Paling tidak ada tiga tesis besar seperti uraian diatas yang

diajukan Schacht yang menarik perhatian para sarjana, diantaranya

tesis tentang hadits Nabi dilihat dari materinya, atau tentang otentisitas

sanad hadits yang terakumulasi dalam teori Projecting back, yang

berkaitan juga dengan lahirnya hukum Islam. Pikiran-pikiran tersebut,

kalau kita lihat secara keseluruhan, ternyata saling berkaitan, hanya

saja karena dia seorang ahli hukum, pembahasan otentisitas hadits di

bawah ini nampaknya tidak dapat dihindari dari pembahasan lainnya

tentang hukum.23

c. Jyunboll

Adapaun pemikiran orientalis yang ketiga adalah G.H. A.

Jyunboll, dalam beberapa karyanya seperti Muslim Tradition : Studies

in Cronology Provenance and Authorship of Early Hadith dan The

Date of The Great Fitna, Jyunboll melakukan kritik hadits yang

sejatinya kritik-kritiknya itu tidak lebih dari mengulang-ulang atau

mendukung gagasan Schacht dalam bukunya the Origin of

Muhammadans Yurisprudence. Menurut muhadisin, isnad baru

dipergunakan secara cermat setelah terjadinya ”fitnah” tragedi

pembunuhan khalifah ustman (656 M) Jyunbolll menolak anggapan ini

dengan bersandarkan pada karya ibn Sirin, bahwa penggunaan isnad

baru dimulai ketika “fitnah” tragedi peperangan antara Abdullah bin

Zubair dengan dinasti Ummayah yang pada akhirnya berdampak pada

banyaknya hadis-hadis palsu. Seperti hadis “man kadzaba...…”

Jyunboll menemukan sekurang-kurangnya 5 jalur sanad yang

disandarkan pada Abu hanifah. Dia beranggapan hadis itu disusun

pada saat-saat tertentu setelah Abu hanifah wafat. Hal ini sangat

23 Wahyudin, Hadits di mata Orientalis.......hal. 108-109.

Page 13: Kritik Orientalis Terhadap Hadits

rasional mengingat Abu hanifah adalah merupakan tokoh yang sering

mengenyampingkan hadis. 24

Oleh karena itu jika ada koleksi hadis yang menggunakan

namanya, maka hal tersebut harus dipandang sebagai hasil dari suatu

usaha dari para pendukung mazhab Hanafi untuk mengkompromikan

perbedaan antara madrasah ahl al-ra’y dengan madrasah ahl al-hadits.

Jyunboll mendukung teori E-silentionya Schacht sembari

menambahkan bahwa kolektor hadis (mukharrij) yang koleksi

hadisnya berbeda atau tidak menemukan hadis yang dikoleksi oleh

kolektor sebelumnya atau sesudahnya padahal hadis itu terkenal, dapat

dijadikan alasan untuk meniadakan kebenaran hadits itu. Demikian

juga dengan teori Common Linknya Schacht dia menyebutnya sebagai

teori yang brilliant sekaligus mendukungnya dengan menyimpulkan

bahwa pertama, fenomena (tokoh penghubung) merupakan gambaran

riel bagi ahl al-hadis abad pertengahan, kedua, ulama muhadisin tidak

pernah menjadikan fenomena (tokoh penghubung) itu sebagai alat

untuk menyelidiki kepalsuan suatu hadis.25

Common link adalah istilah yang dipakai untuk seorang

periwayat hadits yang mendengar suatu hadits dari (jarang lebih dari)

seorang yang berwenang, lalu mengajarkannya kepada sejumlah murid

yang pada gilirannya kebanyakan dari mereka mengajarkannya (lagi)

kepada dua atau lebih dari muridnya. Dengan kata lain, common link

adalah periwayat tertua yang disebut dalam berkas isnad yang

meneruskan hadits kepada lebih dari satu murid. Dengan demikian,

ketika berkas isnad hadits itu mulai menyebar untuk pertama kalinya,

di sanalah ditemukan common link-nya.26

Kesimpulannya, teori ini berangkat dari asumsi, bahwa

semakin banyak jalur periwayatan yang bertemu pada seorang rawi

(periwayat hadits), semakin besar pula jalur periwayatan tersebut 24 Khoirul Asfiyak, Otentisitas hadits di mata Orientalist…25 Ibid., 26 .....” Saat Orientalis Mengkritisi Hadits Teori Common Link G.H.A. Juynboll,

Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, lihat di website: http://www.compasiana.com/sunangunungdjati.

Page 14: Kritik Orientalis Terhadap Hadits

mempunyai klaim kesejarahan, shahih. Artinya, jalur periwayatan yang

dapat dipercaya secara autentik adalah jalur periwayatan yang

bercabang ke lebih dari satu jalur. Sementara yang bercabang ke

(hanya) satu jalur  (single strand), tidak dapat dipercaya secara mutlak

kebenarannya dha’if.

Sebelum Juynboll, fenomena common link ini sesungguhnya

sudah dibicarakan oleh Ignaz Goldziher (1850-1921) dan Joseph

Schacht (1902-1969) yang mengklaim  dirinya sebagai generasi

penerus Goldziher dalam teori common link ini. The Origins of

Muhammadan Jurisprudence, terbitan Oxford adalah salah katu

karyanya. Nah, dari kedua tokoh besar inilah, Juynboll (pakar sejarah

Islam klasik dan hadits) melakukan eksplorasi lebih lanjut terhadap

teori common link.

Terlepas dari pro dan kontra yang meliputinya, teori ini telah

menghadirkan nuansa baru dalam wacana intelektualitas kita. Sebab,

dengan menggunakan metode common link Juynboll ini, kita dapat

melacak dan menemukan asal-usul hadits, kapan dan oleh siapa hadits

tersebut disebarkan pertama kalinya. Di samping itu, teori common

link juga menjadi wacana yang cukup menghangat. Sebuah wacana

yang sangat radikal, fenomenal, sekaligus memancing perdebatan bagi

setiap orang yang membacanya.

D. Bantahan Ulama terhadap kritik Orientalis

1. Bantahan untuk Ignaz Goldziher

Pendapat Goldziher bahwa hadits belum merupakan dokumen sejarah

yang muncul pada masa-masa awal peertumbuhan Islam disanggah oleh

bebrapa pakar hadits. Mereka itu di antaranya : Prof. Dr. Musthofa as Siba’iy

(as Sunnah wa Makanatuha fi at Tasyri’il Islam) Prof. Dr. ‘Ajjaj al Khatib (as

Sunnah Qabla Tadwin) dan Prof. Dr. M. Musthofa al Azhami (Studies in

Page 15: Kritik Orientalis Terhadap Hadits

Early Hadith Literature). Menurut ketiga ulama ini pendapat Goldziher lemah

baik dari sisi metodologisnya maupun kebenaran materi sejarahnya.27

Alasan mereka adalah karena ketidaktahuan mereka (kekurang

percayaan) pada bukti-bukti sejarah. Orientalis lain seperti Nabia Abbot,

justru mengajukan bukti-bukti yang cukup valid tentang keberadaan pencatan

hadits pada awal-awal periode Islam, dalam bukunya Studies in Arabic

Literary Papyri: Qur’anic Commentary and Tradition (1957). Abbot

menyimpulkan bahwa penulisan hadits bisa direkonstruksikan dalam 4 fase:

pertama, masa Nabi hidup, kedua, masa wafat Nabi sampai masa Ummayah,

ketiga, pada masa Ummayah dengan titik sentral bahasan pada peran ibn

Syihab al-Zuhri dan keempat adalah periode kodifikasi hadits kedalam buku-

buku fiqh.28

Sisi metodologi yang dikritik Azami adalah bahwa kesalahan orientalis

yang tidak konsisten dalam mendiskusikakan perkembangan hadis Nabi yang

berkaitan dengan hukum, sebab bukunya memfokuskan diri pada masalah

hukum, mereka malah memasukkan hadis-hadis ritual. Sebagai contoh dari 47

hadis yang diklaimnya berasal dari Nabi sebagiannya tidak berasal dari Nabi,

dan tidak juga berkaitan dengan hukum hanya seperempat yang relevan

dengan topik yang didiskusikan.29

Berkenaan dengan pernyataan ibn Syihab al-Zuhri, Azami menyatakan

bahwa tidak ada bukti-bukti historis yang memperkuat teori Goldziher, bahkan

justru sebaliknya. Ternyata Goldziher merubah teks yang seharusnya berbunyi

al-hadis, akan tetapi ditulis dengan lafaz hadis saja. Demikian juga ternyata

tesis Goldziher bahwa al-Zuhri dipaksa khalifah abdul malik bin marwan

(yang bermusuhan dengan ibn Zubair) untuk membuat hadis, adalah palsu

belaka. Hal ini mengingat al-Zuhri semasa hidupnya tidak pernah bertemu

dengan Abdul Malik, kecuali sesudah 7 tahun dari wafatnya ibn Zubair. Pada

saat itu umur al Zuhri sekitar 10-18 tahun sehingga tidak rasional pemuda

seperti itu memiliki reputasi dan otoritas yang kuat untuk mempengaruhi

27 Khoirul Asfiyak,……28 Labib Syauqi Akifahadi, “Tanggapan sarjana Muslim Terhadap Kajian Hadits

Orientalist”, dalam internet website:http://lenterahadits.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=36&Itemid=57, diakses tanggal 27 Desember 2009.

29 Ibid.,

Page 16: Kritik Orientalis Terhadap Hadits

masyarakat di sekitarnya. Bahkan as-Sibai menantang abdul Qadir

profesornya untuk membuktikan kebenaran teks al Zuhri. Pada akhirnya

terbukti bahwa Abdul Qadir salah dan berpegang pada argumen-argumen

yang tidak ilmiah.30

Argumen lain yang juga dapat meruntuhkan teori Goldziher adalah

teks hadis itu sendiri. Sebagaimana termaktub dalam kitab Shahih Bukhari,

hadis tersebut tidak memberikan isyarat apapun yang bisa menunjukkan

bahwa ibadah haji dapat dilakukan di al-Quds (Yurussalem) yang ada hanya

isyarat pemberian keistimewaan kepada masjid al Aqsha, dan hal ini wajar

mengingat masjid itu pernah dijadikan qiblat pertama bagi ummat islam.

Sementara itu tawaran Goldziher agar hadis tidak semata-mata didekati lewat

perspektif sanad akan tetapi juga lewat kritik matan, perlu dicermati.

Sebenarnya semenjak awal para shahabat dan generasi sesudahnya sudah

mempraktekkan metode kritik matan. Penjelasan argumentatif telah disajikan

oleh Subkhi as Shalih bahwa ulama dalam mengkaji hadis juga bertumpu pada

matan.31

2. Bantahan untuk Josep Schacht

Berikutnya adalah bantahan terhadap kritik Joseph Schahcht

sebagaimana yang dia gagas dalam teori Projecting Back-nya. Menurut Azami

kekeliruan Schacht adalah bahwa dia keliru ketika menjadikan kitab-kitab

sirah Nabi dan kitab-kitab fiqh sebagai dasar postulat /asumsi penyusunan

teorinya itu. Kitab Muwattha’ Imam Malik dan al Syaibaniy serta risalahnya

Imam as Syafi’i tidak bisa dijadiakan sebagai alat analisis eksistensi atau

embrio kelahiran hadis Nabi. Sebab kitab-kitab tersebut memiliki karakteristik

yang berbeda-beda. Oleh karena itu untuk meneliti hadis Nabi sebaiknya

menggunakan dan berpedoman pada kitab-kitab hadis.32

Azami dalam rangka meruntuhkan teorinya Schacht telah melakukan

penelitian terhadap beberapa naskah hadits dengan sanad abu hurairah, abu

30 Ibid.,31 Ibid.,32 Ibid.,

Page 17: Kritik Orientalis Terhadap Hadits

shalih, suhail…dst, yang ternyata dari hasil kajiannya sangat mustahil hadis

bisa dipalsukan begitu saja.

Sementara teori Argumenta e Silentionya schacht dikritk oleh Ja’far

Ishaq Anshari dalam buku beliau : The Authenticity of Tradition, A Critique of

Joseph Schacht‘s Argument e Silention, begitu pula Azami dalam

sanggahannya terhadap The Origins of Muhammadan Jurisprudence karya

Schacht, Keduanya berkesimpulan bahwa Schacht melakukan kontradiksi

dalam berargumen, sebab dalam bukunya schacht mengecualikan teorinya itu

terhadap referensi yang berasal dari 2 generasi di belakang syafi’i,

kenyataannya schacht justru menggunakan muwatha’nya Imam Malik dan

Syaibaniy sebagai data-datanya yang itu adalah referensi yang valid

menurutnya. Muwatha’ adalah suatu karya yang justru oleh Ignaz Goldziher

sendiri dikritik sebagai bukan kitab hadis dengan alasan (1) belum mencakup

seluruh hadis yang ada (2) lebih menekankan pada aspek hukum, kurang fokus

pada penyelidikan penghimpunann hadis (3) campuran qaul Nabi, Shahabat

dan tabi’in.33

Selain itu, temuan Anshari justru membuktikan kebalikan dari teori

Argumenta e Silentio. Setelah melakukan verifikasi berdasarkan empat koleksi

hadis : al-Muwatha’ karya Imam Malik dan asy-Syaibani dan al-Atsar karya

abu Yusuf dan asy-Syatibi, ia menemukan bahwa ternyata ada sejumlah hadis

dalam koleksi-koleksi awal yang tidak ditemukan dalam koleksi-koleksi hadis

belakangan. Misalnya, sejumlah hadis yang terdapat dalam al-Muwatha’ karya

Imam Malik tidak ada dalam asy-Syaibani, meskipun al-Muwatha’ karya asy-

Syaibani adalah koleksi yang lebih muda. Demikian juga sejumlah hadis yang

terdapat di al-Atsar Abu Yusuf tidak dijumpai dalam al-Atsar asy-Syaibani,

walaupun al-Atsar asy-Syaibani ini lebih muda daripada al-Atsar Abu Yusuf.

Temuan Anshari berdasarkan empat koleksi hadis ini paling tidak

mampu mengoreksi asumsi dasar teori Argumenta e Silentio. Hal ini juga

menyadarkan para pengkaji hadis untuk mempertimbangkan adanya faktor-

faktor lain, selain faktor ketiadaan, yang menyebabkan mengapa seorang ahli

33 Ibid.,

Page 18: Kritik Orientalis Terhadap Hadits

hukum merasa cukup untuk menghimpun doktrin fiqih tertentu tanpa

mencantumkan hadis-hadis yang mendukungnya. Karena tujuan para ahli

hukum yang utama bukanlah untuk menghimpun hadis, melainkan untuk

menghimpun berbagai doktrin aliran fiqih yang sudah disepakati dan diterima

secara umum serta diikuti oleh para pendahulu mereka. Oleh karena itu, sering

kali penyebutan sebuah hadis utuk mendukung berbagai doktrin fiqih

dipandang tidak begitu penting. Akibatnya, merka tidak selalu menyebutkan

hadis-hadis yang relevan dengan doktrin-doktrin hukum yang dihimpun

meskipun dalam faktanya hadis-hadis tersebut ada.34

Di samping itu Azami membuktikan bahwa tidak adanya sebuah hadis

pada masa kemudian, padahal pada masa-masa awal hadis itu dicatat oleh

perawi, disebabkan pengarangnya menghapus/menasakh hadis tersebut,

sehingga ia tidak menulisnya dalam karya-karya terbaru. Ketidakkonsistenan

Schacht terbukti ketika dia mengkritik hadis-hadis hukum adalah palsu,

ternyata ia mendasarkan teorinya itu pada hadis-hadis ritual (ibadah) yang jika

diteliti lebih dalam lagi ternyata tidak bersambung ke Nabi.

Kemudian untuk membantah teori yang dikemukakan oleh para

orientalis yang lain, khususnya Schacht, yang meneliti dari aspek sejarah,

maka M.M. Azami membantah teori Schacht ini juga melalui penelitian

sejarah, khususnya sejarah Hadis. Azami melakukan penelitian khusus tentang

Hadis-Hadis Nabi yang terdapat dalam naskah-naskah klasik. Di antaranya

adalah naskah milik Suhail bin Abi Shaleh (w.138 H). Abu Shaleh (ayah

Suhail) adalah murid Abu Hurairah shahabat Nabi saw. Naskah suhail ini

berisi 49 Hadis. Sementara Azami meneliti perawi Hadis itu sampai kepada

generasi Suhail, yaitu jenjang ketiga (al-thabaqah altsalitsah). Termasuk

jumlah dan domisili mereka. Azami membuktikan bahwa pada jenjang ketiga,

jumlah perawi berkisar 20 sampai 30 orang, sementara domisili mereka

terpencar-pencar dan berjauhan, antara India sampai Maroko, antara Turki

sampai Yaman. Sementara teks hadis yang mereka riwayatkan redaksinya

sama.

34 Ibid.,

Page 19: Kritik Orientalis Terhadap Hadits

Dengan demikian apa yang dikembangkan oleh Schacht dengan

teorinya Projecting Back, yang mengemukakan bahwa sanad Hadis itu baru

terbentuk belakangan dan merupakan pelegitimasian pendapat para qadhi

dalam menetapkan suatu hukum, adalah masih dipertanyakan keabsahannya,

hal ini dibantah oleh Azami dengan penelitiannya bahwa sanad Hadis itu

memang muttashil sampai kepada rasulullah Saw. melalui jalur-jalur yang

telah disebutkan di atas. Dan membuktikan juga bahwa Hadis-hadis yang

berkembang sekarang bukanlah buatan para generasi terdahulu, tetapi

merupakan perbuatan atau ucapan yang datang dari Rasul Saw. sebagai

seorang Nabi dan panutan umat Islam. 

3. Bantahan untuk Jyunboll

Tokoh ketiga yang tak luput dari perbincangan para sarjana muslim

adalah Jyunboll dengan teori common link-nya. Diantara yang menanggapinya

adalah Azami, baginya teori common link bukanlah hanya patut dipertanyakan

namun ia pula meragukan validitas teori tersebut. Azami cenderung

manyimpulkan bahwa metode common link dan semua metode yang

dihasilkannya tidak relevan.

Bagi Azami, teori common link banyak yang perlu dipertanyakan.

Sebagai contoh misalnya, jika memang ditemukan seorang periwayat seperti

al-Zuhri, yang menjadi periwayat satu-satunya yang meriwayatkan hadis pada

muridnya, tetapi telah diakui ke-tsiqah-an dirinya oleh para kritikus hadis

maka tidak ada alasan untuk menuduhnya sebagai seorang yang memalsukan

hadis. Para ahli hadis sendiri telah menyadari adanya periwayatan hadis secara

infirad (menyendiri) dan implikasinya. Akan tetapi, itu semua bergantung

pada kualitas para periwayat hadis pada isnad-nya.35

Pada tempat lain, Azami menunjukkan bahwa jika seseorang tidak

melihat secara keseluruhan jalur isnad maka ia akan salah dalam

mengidentifikasi seorang periwayat sebagai common link. Hal ini tentunya

agar penemuan akan sanad hadis itu tidak parsial. Sebab, bisa jadi yang

35 Ibid.,

Page 20: Kritik Orientalis Terhadap Hadits

dianggap oleh peneliti hadis sebagai common link sebenarnya hanya seeming

atau artificial common link. Ini disebabkan karena jalur yang dihimpun hanya

sebagian saja sehingga tidak bisa menggambarkan jalur isnad secara lebih

akurat.

KESIMPULAN

Bagaimanapun kritik hadis merupakan usaha yang sebenarnya lebih dulu

dilakukan oleh kaum muslim sendiri. Tradisi lisan atau verbal dalam transmisi

hadis tidak menafikan adanya tradisi tulis-menulis. Adanya fenomena pemalsuan

hadis adalah akibat adanya intervensi pendapat-pendapat pribadi dan adanya kasus

iltibas. Namun dari fenomena tersebut, melahirkan tradisi kritik hadis untuk

Page 21: Kritik Orientalis Terhadap Hadits

mengecek validitas hadis. Di samping itu, dengan adanya formalisasi penulisan

hadis pada abad ke-2 H, telah mengubah orientasi pemeliharaan hadis. Dan tradisi

penulisan menghadirkan beberapa karya monumental yang memuat kumpulan

hadis sebagai upaya selektif dari masing-masing tokoh yang telah menulisnya.

Dalam perkembangnya kritik inipun menjadi bahan yang menarik bagi

orang non islam yang disebut sebagai The Outsiders maupun Orientalis. Kajian

mereka ini tidaklah harus ditanggapi dengan emosi yang menghilangkan nilai

ilmiah bagi sebuah penelitian. Bahkan secara eksplisit karena merekalah saat ini

umat muslim mencoba bangkit dan berani mengkoreksi nash-nash yang telah

dianggap sakral dan tidak bisa tersentuh dari kritik. Pengkoreksian ini bukanlah

berarti menggap bahwa tesis yang dihasilkan para orientalis ini merupakan sebuah

hasil yang harus diterima secara mentah-mentah, namun harus juga ditanggapi

denga objektif, data yang valid serta metodologi yang juga bisa diterima oleh

kalangan akademis.

Sehingga sebenarnya para sarjana muslim sendiri bersikap berbeda dalam

memandang kegiatan para orientalis. Diantaranya ada yang memandang sebagai

murni kajian keilmuan namun disisi lain lebih banyak yang menganggap sebagai

sebuah propaganda melawan Islam. Dari keseluruhan gerakan orientalisme

tersebut dalam berbagai bentuknya dari awal hingga akhir ini, Edward Said

menyimpulkan dalam 3 poin yaitu: 1) Bahwa orientalisme itu lebih merupakan

gambaran tentang pengalaman manusia Barat ketimbang tentang manusia Timur

(orient). 2) Bahwa Orientalisme itu telah menghasilkan gambaran yang salah

tentang kebudayaan Arab dan Islam. 3) Bahwa meskipun kajian orientalis nampak

obyektif dan tanpa interes (kepentingan), namun ia berfungsi untuk tujuan politik.

Namun harus diakui bahwa selain dari bidang-bidang pemahaman dan

penafsiran Islam, para oritentalis banyak yang berjasa dalam kerja-kerja ilmiah

lainnya dan cukup dirasakan manfaatnya, seperti misalnya dalam penyusunan

lexicon, kamus-kamus, encyclopedia, kompilasi hadis dan sebagainya. Oleh

karena itu umat Islam perlu bersikap bijaksana, tidak melulu apresiatif yang

berlebihan dan tidak pula bersikap apriori secara membabi buta. Umat Islam perlu

Page 22: Kritik Orientalis Terhadap Hadits

bersikap kritis dan profesional dalam mengkaji dan menanggapi karya-karya

orientalis itu.

REFERENSI

Badri Khaeruman, Otentisitas Hadits Studi Kritis atas Kajian Hadits Kontemporer. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004.

Jhon M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia. 1992.

Tim Lintas Media, Kamus Indonesia-Arab dan Arab Indonesia. Jombang: Lintas Media, tt..

Page 23: Kritik Orientalis Terhadap Hadits

Wahyudin Darmalaksana, Hadits di mata Orientalis Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Josep Schacht. Bandung: Benang Merah Press, 2004.

M. dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer . Surabaya: Arkola, 2001.

Rifqie, ”Kritik orientalis Terhadap Hadis”, dalam internet website: http://rifqiemaulana.wordpress.com/ diakses pada tanggal 27 Desember 2009.

Hafsa Mutazz, “Sosok Orientalisme dan Kiprahnya”, dalam internet website: http://www.gaulislam.com/sosok-orientalisme-dan-kiprahnya, diakses pada tanggal 27 Desember 2009.

.....” Saat Orientalis Mengkritisi Hadits Teori Common Link G.H.A. Juynboll, Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, lihat di website: http://www.compasiana.com/sunangunungdjati.

Khoirul Asfiyak, “Otentisitas Hadits dimata Orientalist” dalam internet website:http://fai-unisma-malang.blogspot.com/2009/01/otentisitas-hadits-di-mata-orientalist_10.html, diakses tanggal 27 Desember 2009.

M.M Azami, Menguji Keaslian hadits-hadits hukum. Jakarta:Pustaka Firdaus, 2004.

.....” Saat Orientalis Mengkritisi Hadits Teori Common Link G.H.A. Juynboll, Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, lihat di website: http://www.compasiana.com/sunangunungdjati.

Labib Syauqi Akifahadi, “Tanggapan sarjana Muslim Terhadap Kajian Hadits Orientalist”, dalam internet website:http://lenterahadits.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=36&Itemid=57, diakses tanggal 27 Desember 2009.

KRITIK ORIENTALIS TERHADAP HADITS

(Telaah Atas Kritik Ignaz Goldziher, Joseph Schacht dan Jyunboll)

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah:

Studi al-Qur’an dan Hadits

Page 24: Kritik Orientalis Terhadap Hadits

Disusun Oleh:

IMROATUL MUNFARIDAHNim: 095112097

Dosen Pengampu:Dr. H. Zuhad, MA.

MAGISTER ILMU FALAK

PROGRAM PASCA SARJANA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO

S E M A R A N G

2010