kritik riset i-ebnp.doc

27
PROPOSAL EVIDENCE BASED NURSING PRACTICE GROUP COGNITIVE BEHAVIOR THERAPY PADA PASIEN HIV A. Latar Belakang Masalah AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrom) merupakan kumpulan gejala penykit yang disebabkan oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus). Virus HIV ditemukan dalam cairan tubuh terutama pada darah, cairan sperma, cairan vagina, serta air susu ibu. Menurut WHO pada akhir tahun 2002 terdapat 42 juta orang yang hidup dengan HIV, dan 95% dari infeksi baru terjadi di negara berkembang dimana HIV belum menjadi prioritas karena terbatasnya dana. Di Asia Tenggara pada tahun 2002 diperkirakan terdapat 6,1 juta ODHA, sedangkan di Indonesia sendiri terdapat 90.000 – 130.000 ODHA (WHO, 2002). Sampai saat ini belum ditemukan obat untuk dapat membunuh virus HIV dalam tubuh yang terinfeksi. Individu yang terinfeksi sepanjang hidupnya akan hidup dengan HIV dalam tubuhnya. Kondisi hidup dengan HIV yang menekan system kekebalan tubuh, menyebabkan seseorang yang terinfeksi menjadi rentan terhadap sakit baik oleh mikroorganisme pathogen maupun komensal dari dalam dan luar tubuhnya. Mikroorganisme

Upload: andy-himawan

Post on 23-Jan-2016

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kritik Riset I-EBNP.doc

PROPOSAL

EVIDENCE BASED NURSING PRACTICE

GROUP COGNITIVE BEHAVIOR THERAPY PADA PASIEN HIV

A. Latar Belakang Masalah

AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrom) merupakan kumpulan gejala penykit

yang disebabkan oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus). Virus HIV ditemukan

dalam cairan tubuh terutama pada darah, cairan sperma, cairan vagina, serta air susu

ibu. Menurut WHO pada akhir tahun 2002 terdapat 42 juta orang yang hidup dengan

HIV, dan 95% dari infeksi baru terjadi di negara berkembang dimana HIV belum

menjadi prioritas karena terbatasnya dana. Di Asia Tenggara pada tahun 2002

diperkirakan terdapat 6,1 juta ODHA, sedangkan di Indonesia sendiri terdapat 90.000

– 130.000 ODHA (WHO, 2002). Sampai saat ini belum ditemukan obat untuk dapat

membunuh virus HIV dalam tubuh yang terinfeksi. Individu yang terinfeksi

sepanjang hidupnya akan hidup dengan HIV dalam tubuhnya. Kondisi hidup dengan

HIV yang menekan system kekebalan tubuh, menyebabkan seseorang yang terinfeksi

menjadi rentan terhadap sakit baik oleh mikroorganisme pathogen maupun komensal

dari dalam dan luar tubuhnya. Mikroorganisme tersebut menjadi stressor fisik yang

memerlukan strategi tubuh untuk mengatasinya.

Kondisi infeksi yang berkepanjangan disisi lain juga menjadi stressor psikologis yang

diantaranya berdampak terjadinya depresi. Depresi yang terjadi pada pasien HIV akan

lebih merugikan akibat dikeluarkannya hormone stress yang berlebihan menyebabkan

penekanan pada system imunitas pasien. Penekanan imunitas pada pasien HIV

semakin memperburuk ketidakefektifan perlindungan diri pasien terhadap penyakit

infeksi.

Stres didefinisikan sebagai kondisi disharmoni atau ancaman terhadap kondisi

homeostasis yang dicetuskan oleh stressor psikologis, fisik dan lingkungan (Black,

Page 2: Kritik Riset I-EBNP.doc

1994). Stressor juga dapat didefinisikan sebagai semua tantangan internal maupun

eksternal yang dapat memutuskan lingkungan internal manusia. Respon mamalia

terhadap stressor bervariasi dari gambaran mekanisme adaptasi fisiologis sampai

dengan perbaikan fungsi homeostasis. Respon fisiologi terhadap stressor utamanya

difasilitasi oleh 2 sistem meuroendokrin; sympathetic nervous system (SNS) dan

aksis hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA). Peningkatan katekolamin jaringan dan

plasma meningkatkan aktivasi SNS yang diinduksi oleh banyak stressor. Aktivasi

SNS menghasilkan pelepasan norepineprin local dari ujung saraf simpatis dan sekresi

hormone epinefrin dari sel kromafin dari medulla adrenal. Mekanisme katekolamin

mengatur respon imun dibuktikan dari penelitian in vitro maupun in vivo yang

menunjukan bahwa katekolamin memberikan dampak respon imun. Modulasi efek

katekolamin pada migrasi dan proliferasi limfosit, sekresi antibody, aktifitas

sitotoksik, dan aktifasi makrofag. Norepinefrin menghambat induksi sitokin, MHC

klas II, antigen expression pada APC (Sheridan, dkk. 1994).

Dampak stress psikologis terhadap depresi maupun mekanisme regulasi imunitas

sudah diketahui secara jelas. Depresi adalah suatu kondisi yang terdiri dari

sekumpulan gejala yang dapat dipahami sebagai istilah peralihan kognitif pasien.

Individu yang mengalami depresi memperlihatkan kondisi yang “kalah” dengan

dirinya sendiri (Neisser, 1976). Kondisi depresi pada pasien dapat diukur

menggunakan Beck Depression Inventory (BDI), Hamilton Rating Scale (HRS),

Hospital Anxiety and Depression Scale (HADS), dan SCL-90. Depresi memerlukan

penanganan komprehensif. Penanganan terhadap depresi dapat melalui psikoterapi

(terapi kognitif), terapi fisik (simple massage) dan terapi farmakologis, baik secara

sendiri-sendiri maupun digunakan secara bersama-sama.

Depresi pada pasien HIV dapat diatasi menggunakan terapi farmakologis

antidepresan maupun menggunakan perubahan gaya hidup. Modifikasi gaya hidup

yang dapat meringankan gejala depresi pasien HIV diantaranya latihan rutin,

peningkatan terhadap paparan sinar matahari, manajemen stres, konseling dan

peningkatan kebiasaan tidur.

Page 3: Kritik Riset I-EBNP.doc

Penelitian yang dilakukan oleh Blackburn (1981) membuktikan bahwa pasien depresi

yang diberikan terapi kognitif dan diberikan obat placebo, menunjukan penurunan

skor depresi dan menurunkan angka kekambuhan depresi. Penelitian Rosell (2006)

tentang terapi kognitif pada pasien dewasa dengan diabetus mellitus menunjukan

hasil yang bermakna untuk gejala depresi dan kecemasan, harga diri, keputusasaan,

penerimaan diri terhadap kondisi diabetus, dan control glukosa.

B. Rumusan Masalah

Prevalensi depresi pada pasien HIV berkisar pada 4,9% dan 17,9%. Pada penelitian

menunjukkan 20-37% pasien yang terinfeksi HIV terdiagnosa depresi. Dari 129 orang

pasien HIV AIDS yang menjadi responden penelitian sepertiganya mempunyai skor

back depression inventory 14 atau lebih tinggi (depresi ringan sampai sedang). 27%

memenuhi kriteria gangguan mood. Intervensi keperawatan yang dapat digunakan

untuk terapi depresi diantaranya konseling, terapi latihan, modifikasi perilaku dan

CBT/cognitif restructuring. Menarik untuk diterapkan dalam perawatan pasien HIV,

apakah cognitive restructuring menggunakan Cognitive Behavior Therapy (CBT)

dapat menurunkan kondisi depresi pada pasien HIV.

C. Tujuan

1. Tujuan umum

Mengetahui dampak Group Cognitive Behavior Therapy (CBT) dapat

menurunkan kondisi depresi pada pasien HIV

2. Tujuan khusus

a. Mengidentifikasi karakteristik pasien HIV (usia, jenis kelamin, factor

resiko)

b. Mengidentifikasi skor depresi pasien HIV menggunakan BDI

c. Mengetahui tingkat penerapan grup CBT pada pasien HIV

Page 4: Kritik Riset I-EBNP.doc

d. Mengetahui penurunan skor depresi setelah grup CBT

D. Manfaat

1. Manfaat untuk pasien

Pasien HIV/AIDS diharapkan mendapatkan intervensi holistik, yaitu terapi

farmakologi dan terapi nonfarmakologis menggunakan grup CBT.

2. Manfaat untuk pengembangan ilmu

Penerapan grup CBT pada pasien HIV/AIDS dapat ditindaklanjuti pada area

keilmuan imunologi untuk melihat dampak terhadap control imunitas maupun

control jumlah virus dalam darah pasien HIV/AIDS.

3. Manfaat untuk mahasisa

Mahasiswa dapat mengaplikasikan grup CBT sebagai intervensi mandiri

keperawatan dan mencari bukti atas pengaruh CBT untuk menurunkan depresi

pada pasien HIV/AIDS.

Page 5: Kritik Riset I-EBNP.doc

METODE

EVIDENCE BASED NURSING PRACTICE

A. Desain Evidence Based Nursing Practice

Desain yang digunakan dalam evidence based practice ini adalah quasi eksperimen

dengan pendekatan pre-post test control design. Evidence based practice ini

bertujuan untuk mengimplementasikan salah satu hasil penelitian yang berhubungan

dengan intervensi keperawatan cognitive restructuring menggunakan Cognitive

Behavior Therapy (CBT) untuk mengatasi kondisi depresi pada pasien HIV yang

dirawat di RSCM (Pollit & Back, 2006). Studi quasi eksperimen merupakan

rancangan evidence based practice yang dipergunakan untuk mencari hubungan

sebab akibat dari satu kejadian (Notoatmojo, 2005).

A. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien dewasa yang menderita

HIV/AIDS baik kasus baru maupun lama, datang pada periode penerapan EBNP

yaitu bulan Maret sampai dengan April 2009.

2. Sampel Penelitian

Sample penelitian menggunakan pasien ruang rawat inap terpadu gedung A lantai

I zona A, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Periode penerapan CBT

pada bulan Maret sampai dengan April 2009, baik laki-laki maupun perempuan

dengan kriteria:

a. Telah terdiagnosa sebagai pasien HIV/AIDS melalui pemeriksaan penyaring

imunokromatografi

Page 6: Kritik Riset I-EBNP.doc

b. Berusia minimal 19 tahun pada saat penerapan CBT

c. Pasien sadar, GCS 15

d. Dapat membaca dan menulis

e. Dapat memahami bahasa Indonesia dalam komunikasi dengan orang lain

f. Bersedia untuk berpartisipasi dalam penerapan CBT

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan non

probability sampling. Jenis yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu

semua pasien yang memenuhi kriteria inklusi digunakan sebagai responden.

B. Etika

Beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam menjamin hak-hak pasien,

diantarannya; kebebasan menentukan apakah responden bersedia atau tidak terlibat

dalam evidence based nursing practice (self determination), memberi keleluasaan

pribadi untuk menjaga kerahasian baik identitas maupun data, informasi yang berikan

(privacy/confidentiality), oleh karena itu sebagai ganti identitas menggunakan nomor

responden (anonymity), menjaga responden dari ketidaknyamanan fisik maupun

psikologis (protection from discomfort) (Polit & Back, 2006).

Bila terjadi kondisi depresi pada pasien HIV yang sedang dirawat maka perawat

secara mandiri melakukan tindakan keperawatan dengan memberikan intervensi

cognitive restructuring menggunakan teknik CBT untuk memperbaiki pemahaman

pasien tentang kondisi sakitnya Selanjutnya bila masih ditemukan tanda-tanda depresi

pada pasien, maka peneliti akan mengkonsulkan pada dokter dan perawat ruangan

untuk penanganan selanjutnya.

Page 7: Kritik Riset I-EBNP.doc

C. Prosedur Pelaksanaan Evidence Based Practice

Langkah-langkah dalam evidence based practice ini, adalah sebagai berikut:

1. Prosedur Administrasi : Proposal EBNP dan Ijin Ruangan

2. Presentasi teknik CBT diruangan

3. Penentuan pasien yang akan diberikan cognitive restructuring, yaitu pasien

depresi yang diukur dengan kuesioner pre tes Beck Depression Inventory (BDI)

4. CBT menggunakan cognitive restructuring:

a. Bantu pasien menerima fakta bahwa pernyataan diri menimbulkan mosi

ringan

b. Bantu pasien memahami bahwa ketidakmampuan untuk mencapai perilaku

yang diinginkan yang dihailkan dari pernyataan diri yang irrasional

c. Tampilkan model berpikir disfungsional ( berpikir terpolarisasi,

overgeneralisasi, magnifikasi, dan personalisasi )

d. Bantu pasien untuk menandai emosi terhadap nyeri ( marah, cemas, dan tidak

memiliki harapan ) dengan apa yang mereka rasakan

e. Bantu pasien untuk mengidentifikasi stresor yang di rasakan ( situasi,

kejadian, dan interaksi dengan orang lain ) yang berontribusi terhadap stress

f. Bantu pasien untuk mengidentifikasi interpretasi kegagalan diri tentang

stresor yang dirasakan

g. Bantu pasien untuk mengganti kegagalan interpretasi dengan kenyataan lain

berdasarkan interprtasi dari situasi yang membuat stress, kejadian, dan

interaksi

5. Menentukan perubahan derajat depresi ringan - sedang – berat berpatokan pada

skore BDI.

6. Langkah intervensi pada nomor 4 diulang setelah 3 hari

7. Intervensi keperawatan cognitive restructuring diberikan selama 4 kali berturut-

turut.

Page 8: Kritik Riset I-EBNP.doc

D. Jadwal Pelaksanaan Evidence based practice

No KegiatanWaktu

Februari Feb Maret AprilI – II III –

IVI - IV I –

IIIII

1 Kelengkapan Adm/Bahan EBN

2 Kritikal review Hasil riset EBN

3 Penyusunan Proposal

4 Ijin Ruangan

5 Pelaksanaan EBN

6 Penyusunan Laporan/Hasil

Page 9: Kritik Riset I-EBNP.doc

Clinical Implication of

Therapeutic Exercise in HIV/AIDS

A. Latar Belakang Masalah

HIV/AIDS merupakan resiko kesehatan serius bagi jutaan individu disetiap belahan

dunia. Vaksinasi maupun obat untuk pencegahan maupun pengurangan angka

kesakitan dan kematian akibat HIV sampai saat ini belum ditemukan. Regimen

antiretroviral terbaru seperti Highly Active Antiretroviral Therapy masih memerlukan

biaya tinggi dan banyak menimbulkan efek samping. Terapi menggunakan steroid

dan hormon pertumbuhan efektif digunakan untuk mengatasi gejala HIV, tetapi juga

menimbulkan efek samping serius dan memerlukan biaya yang tinggi. Terapi

alternatif yang sering digunakan adalah latihan terapeutik (therapeutic excercise)

banyak dikaji terhadap gejala dan komplikasi untuk pasien infeksi HIV kronis.

Therapeutic Excercise telah sukses digunakan pada pasien diabetus, dislipidemia,

hipertensi, penyakit kardiovaskuler dan beberapa kasus kanker. Keuntungan latihan

secara rutin dapat diperluas pada pasien dengan infeksi HIV kronis yang dihubungkan

dengan sindrom pelisutan otot, kelemahan otot, kelelahan, kerusakan kapasitas kerja,

depresi dan penurunan kualitas hidup. Latihan dapat berdampak positif pada banyak

aspek fisik dan mental pasien HIV. Efek latihan intensitas tinggi atau overtraining

telah terdokumentasi menyebabkan peningkatan keparahan infeksi dan berdampak

negatif terhadap fungsi imun pada manusia dan meningkatkan mortalitas pada hewan

percobaan.

B. Tujuan

Mengetahui efek excercise therapeutic pada penanda psikologis pada pasien HIV

dengan depresi.

Page 10: Kritik Riset I-EBNP.doc

C. Populasi

Populasi pada jurnal penelitian implikasi klinis therapeutic excercise pada penanda

psikologis adalah pasien infeksi HIV kronis dengan gejala kecemasan dan depresi

atau gangguan lain sebagai dampak stres.

D. Intervensi

Perlakuan menggunakan senam aerobik selama 6 minggu digunakan untuk

mengurangi kecemasan dan depresi maupun gejala yang berkaitan dengan stres.

Penelitian lain yang sejenis menggabungkan antara pemijatan dan terapi latihan.

Latihan dilakukan 20-60 menit setiap sesi, dengan intensitas latihan moderat.

Persiapan latihan dan peran perawat dijelaskan didalam jurnal.

E. Perbandingan

Therapeutic excercise merupakan intervensi sedikit dilakukan untuk mengatasi

kondisi depresi pada pasien HIV. Hal tersebut diakibatkan ukuran aktifitas tidak dapat

dengan mudah dilakukan oleh semua pemberi layanan kesehatan. Terapi psikosoial

dan behavioral lebih banyak digunakan untuk mengatasi depresi maupun kecemasan

pada pasien HIV.

F. Hasil

Setelah terapi 6 minggu dengan therapeutic excercise secara bermakna meningkatkan

skor kualitas hidup. Setelah 12 minggu terapi pemijatan dan terapi latihan tidak

ditemukan hasil yang bermakna untuk peningkatan mental dan emosional namun

berdampak pada gejala yang berpengaruh terhadap kulaitas hidup dan depresi seperti

pelisutan otot, kelemahan, kelelahan, dan disabilitas.

G. Kritik

1. Masalah yang digunakan sebagai latar belakang jurnal dijelaskan, namun

tidak menampilkan fakta angka beratnya masing-masing masalah terkait dampak

HIV terhadap sindrom pelisutan otot, kelemahan otot, kelelahan, kerusakan

kapasitas kerja, depresi dan penurunan kualitas hidup.

Page 11: Kritik Riset I-EBNP.doc

2. Gerakan yang digunakan dalam senam aerobik tidak dijelaskan. Waktu

terbaik yang digunakan untuk therapeutic excercise tidak dijelaskan.

Page 12: Kritik Riset I-EBNP.doc

Coping Effectiveness Training for Men Living With HIV: Results From

a Randomized Clinical Trial Testing a Group-Based Intervention

A. Masalah dan Populasi

Diperkirakan 42 juta penduduk di dunia terinfeksi HIV hidup dengan penyakit kronis

yang tidak diketahui prognosisnya. Kemajuan dalam terapi HIV memperbaiki

progresifitas penyakit dan meningkatkan daya tahan pasien, memberikan dampak

pertumbuhan populasi penderita yang besar. Kompleksitas regimen terapi

dikarakteristikan dengan banyaknya efek samping dan masalah stres psikososial lain

akibat penyakit. Saat ini terjadi peningkatan prosentase laki-laki heteroseksual dan

wanita yang hidup dengan HIV. Di Amerika laki-laki gay berlanjut menjadi individu

terinfeksi HIV kelompok terbesar. Pada beberapa dokumentasi penelitian pengalaman

tekanan hidup pada kelompok ini termasuk stigma sosial,isolasi sosial, perhatian

terhadap masalah kesehatan dan semua stresor yang berdamapak terhadap depresi dan

kecemasan.Meskipun banyak tantangan, banyak laki-laki gay yang terinfeksi

mempunyai koping yang efektif danmelanjutkan hidup yang produktif dan bermakna.

Di sisi lain banyak laki-laki gay mengalami kesulitan koping yang berhubungan

dengan stres akibat kondisinya.

B. Tujuan

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek teori intervensi perilaku yang

dibangun untuk meningkatkan koping pada laki-laki gay terinfeksi HIV yang

mengalami depresi.

C. Populasi dan sampel

Metode rekrutmen partisipan menggunakan iklan koran lokal gay, menyebarkan

brosur dan poster, surat pada penyedia layanan kesehatan dan klinik yang

memberikan terapi HIV, kelompok penjangkau pada organisasi masyarakat. Kriteria

Page 13: Kritik Riset I-EBNP.doc

inklusi mencakup identifikasi diri gay atau laki-laki biseksual usia 21-60 tahun dan

level CD4 antara 200-700 sel/mm2. Partisipan dirandomisasi dalam dua kelompok

kondisi yang memenuhi jumlah partisipan untuk kelompok intervensi dan kelompok

waiting list.

D. Intervensi

Individu mendapatkan coping efektiveness training dan HIV info dalam 10-90 menit

dan dibantu oleh laki-laki atau perempuan coleader dengan pengalaman sarjana

pekerja sosial dan psikologi klinis atau pemberi pelayanan HIV komunitas. Setelah 10

minggu fase intervensi kelompok CET dan HIV info bertemu setiap 3 bulan untuk

mendapatkan booster intervensi.

Intervensi paska dari rumah sakit tidak dijelaskan, jumlah terapi dan support sosial

tidak dijelaskan.

E. Perbandingan

Coping efektiveness training dan HIV info lebih mudah dilakukan pada setiap pasien

HIV dengan tidak memandang tingkat kognitif pasien. CET dan HIV info lebih

mengatasi kondisi depresi dengan latihan koping positif tanpa memandang latar

belakang atau menggali lebih dalam faktor penyebab depresi. Cognitive Behavior

Therapy dapat menutup kelemahan CET dengan eksplorasi pikiran negatif dan

menggantikannya dengan pikiran positif yang akan diadaptasi oleh penderitanya.

F. Hasil

Gejala depresi dikaji menggunakan 20 item center of epidemiologic studies-depresion

dengan koefisien alpha 0,90. Stres dikaji menggunakan 10 item perceived stress scale

dengan alpha 0,89. Kecemasan dikaji dengan menggunakan state trait anxiety

inventory. Hasil menunjukkan pada kelompok intervensi terjadi perbedaan bermakna

sebelum dan sesudah intervensi untuk 3 variabel yaitu rendahnya tingkat stres,

tingginya level koping pertahanan diri dan burnout. Tren statistik pada variabel

tambahan moral positif dan sosial support. Pada kelompok waiting list control terjadi

Page 14: Kritik Riset I-EBNP.doc

perbedaan bermakna pada rendahnya tingkat kecemasan, dan tingginya pikiran

positif.

G. Kritik

1. Masalah dideskripsikan dengan jelas, intervensi merupakan

terapi untuk depresi. Tujuan penelitian telah dijelaskan.

2. Penelitian ini tidak menggali penyebab depresi pada pasien

HIV

Page 15: Kritik Riset I-EBNP.doc

A Review of Treatment Studies of Depression in HIV

A. Masalah dan populasi

Depresi menunjukkan prevelensi yang tinggi dan mempengaruhi kondisi sakit dengan

prevalensi berkisar 4,9% dan 17,9%. Gejala depresi yaitu kesedihan persisten,

kehilangan ketertarikan penurunan nafsu makan, rendahnya konsentrasi, masalah

tidur, kehilangan rasa percaya diri, penurunan energi, kemunduran psikomotor dan

ide bunuh diri. Disstres yang signifikan, gejala depresi dapat menyebabkan masalah

fungsional lain dan gagngguan kualitas hidup. Pada penelitian menunjukkan 20-37%

pasien yang terinfeksi HIV terdiagnosa depresi. Rata-rata tersebut lebih tinggi

daripada estimasi pada populasi umum. Pada penelitian sebelumnya menunjukkan

129 orang dengan HIV AIDS sepertiganya mempunyai skor back depression

inventory 14 atau lebih tinggi (depresi ringan samapi sedang). 27% memenuhi kriteria

gangguan mood. Faktor yang berkontribusi terhadap tingginya depresi pada HIV

diantaranya dampak HIV terhadap otak,stigma, ketidakmampuan melakukan

pekerjaan, isolasi, perubahan body image, bereavment dan debilitation. Mengenali

dan menangani depresi penting karena hal tersebut berhubungan dengan perawatan

diri dan buruknya dampak terhadap kesehatan.

Masalah yang digunakan sebagai latar belakang jurnal dijelaskan

B. Intervensi

Psiko social intervensi yang berdampak langsung pada depresi di antaranya adalah

group kognitif behaviour terapi, experimental terapi. Intervensi CBT meliputi kognitif

restructuring, strategi perubahan perilaku, keterampilan asertif dan stress managemen.

Gejala depresi diukur menggunakan BDI.

C. Perbandingan

Cognitive behavior therapy memerlukan tingkat kognitif yang cukup atau ketrampilan

psikoterapi pemberi layanan. Memerlukan waktu lebih dari terapi manajemen stress

maupun latihan koping positif.

Page 16: Kritik Riset I-EBNP.doc

D. Hasil

Perbandingan antara penelitian acak intervensi menggunakan CBT,ET dan WLC

menunjukkan perubahan skor BDI pada intervensi CBT dan ET = -4,0 WLC = -0,2 (p

< 0,01).

E. Kritik

1. Masalah penelitian telah dijelaskan

2. Populasi dan sample telah dijelaskan

3. Penelitian ini tidak melampirkan teknik CBT yang digunakan

Page 17: Kritik Riset I-EBNP.doc

Cognitive-Behavioral Group Therapy for Depressionin Adolescents with Diabetes: A Pilot Study

A. Masalah dan Populasi

Telah bertahun-tahun penelitian membuktikan tingginya prevalensi depresi pada

pasien diabetus melitus. Peneliti telah sepakat bahwa ada hubungan antara fisiologi

(perubahan neurokimia dan neurovaskuler) dan faktor psikososial (penurunan kualitas

hidup, stres kronis dengan penanganan DM setiap hari berinteraksi terhadap

gangguan psikologis sampai depresi. Sejumlah penelitian telah membuktikan bahwa

diabetus pada usia muda banyak menunjukan gangguan psikiatrik, diantaranya

depresi. Intervensi psikologis terbanyak pada orang dewasa dengan diabetus

difokuskan untuk meningkatkan kepatuhan diri, kontrol glukosa, variabel psikososial

seperti manajemen stres dan ketrampilan koping. Intervensi yang memberikan

dampak psikososial terbesar seperti harga diri, ketrampilan komunikasi kemudian

selanjutnya pada kontrol glukosa. Intervensi psikososial berdasar pada prinsip

perilaku, teori pembelajaran sosial, dan terapi keluarga.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas cognitive behaviour group

therapy terhadap pasien depresi di Puerto Rico. CBT didasarkan pada teori adanya

hubungan antara pikiran personal (kognitif), tindakan dan mood.

C. Intervensi

Intervensi menggunakan CBT 2 fase dengan 12 sesi. Sesi 1 dimulai dengan

pengenalan CBT, bagaimana pikiran berpengaruh terhadap mood, bagaimana aktifitas

berpengaruh terhadap mood, bagaimana hubungan sikap mood, penutup.

Page 18: Kritik Riset I-EBNP.doc

D. Perbandingan

CBT merupakan intervensi psikososial berdasar pada prinsip perilaku, teori

pembelajaran sosial, dan terapi keluarga. CBT memberikan dampak psikososial

terbesar seperti harga diri, ketrampilan komunikasi kemudian selanjutnya pada

kontrol glukosa. Penelitian manajemen stres dan teknik koping merupakan bagian

dari CBT, sehingga CBT lebih komprehensive.

E. Hasil

Hasil penelitian menunjukan intervensi bermakna terhadap perubahan skor depresi

dan penilaian diri terhadap diabetus (p<0,5). Intervensi bermakna untuk konsep diri

(p <0,1). Partisipan melaporkan adanya perubahan kondisi depresinya dari skor

moderat sampai dengan depresi hilang.

F. Kritik

1. Masalah penelitian telah dijelaskan

2. Tujuan telah dijelaskan

3. Populasi dan sample telah dijelaskan

4. Penelitian ini tidak melampirkan teknik CBT yang digunakan

Page 19: Kritik Riset I-EBNP.doc

KRITIK RISET

EVIDENCE BASED NURSING PRACTICEINTERVENSI DEPRESI PADA PASIEN HIV

Oleh

EKO WINARTO

PROGRAM SPESIALIS KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAHFAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK, 2008