bab i-v ca mm riset

Upload: endang-murwaningsih

Post on 13-Oct-2015

54 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker merupakan penyakit yang sangat ditakuti masyarakat karena sering menyebabkan kematian. Prevalensi kanker di seluruh dunia terus mengalami peningkatan, baik di negara-negara barat maupun di negara-negara bagian Asia. Laporan kanker dunia memperkirakan angka kejadian kanker akan meningkat menjadi 15 juta kasus baru di tahun 2020 (Ashton et al, 2009). WHO (World Health Organizations) tahun 2008, menyebutkan sebanyak 458.000 mortalitas per tahun akibat kanker payudara. Jumlah penderita kanker payudara di Amerika Serikat dan beberapa negara maju lainnya menduduki peringkat pertama (Luwia, 2009). Kasus kanker payudara di Amerika tercatat hampir 200.000 wanita yang terdiagnosis dan setiap tahunnya terdapat lebih dari 40.000 meninggal akibat penyakit ini (Chen et al, 2010). Data terbaru dari American Cancer Society telah menghitung bahwa di tahun 2013, terdapat 64.640 kasus kanker payudara. Sekitar 39.620 wanita meninggal dunia setiap tahunnya karena kanker payudara. Data Pathology Based Cancer Registry bekerja sama dengan yayasan kanker Indonesia, menunjukkan kanker payudara di Indonesia menduduki peringkat kedua dari semua jenis kanker yang sering diderita (Luwia, 2009). Berdasarkan data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun 2009, kanker payudara menempati urutan pertama pada pasien rawat inap di seluruh rumah sakit di Indonesia 21,69%, disusul kanker leher rahim 17% (Rasjidi, 2009). Berdasarkan data Global Burden of Cancer, angka kejadian kanker payudara di Indonesia sebanyak 26 per 100.000 perempuan (Bambang, 2010). Dokter spesialis bedah kanker Rumah Sakit Kanker Dharmais yaitu Sutjipto (2013) menyatakan saat ini penderita kanker payudara di Indonesia mencapai 100 dari 100.000 penduduk. Sekitar 60-70% dari penderita tersebut datang pada stadium tiga, yang kondisinya terlihat semakin parah (Depkes, 2013). Berdasarkan data yang diperoleh dari Sub Bagian Rekam Medik RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto pada tanggal 15 Mei 2013, tahun 2012 jumlah kunjungan pasien kanker payudara sebanyak 2.089 orang. Tahun 2013 dari bulan januari sampai Mei 2013, jumlah kunjungan pasien kanker payudara sebanyak 2.121 orang, pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi sebanyak 826 orang, dan rata-rata per bulan mencapai 148 orang. Kanker payudara adalah kanker yang terjadi karena terganggunya sistem pertumbuhan sel di dalam jaringan payudara. Payudara tersusun dari kelenjar susu, saluran kelenjar, dan jaringan penunjang payudara. Sel abnormal dapat tumbuh di bagian tersebut, mengakibatkan kerusakan yang lambat, dan menyerang payudara (Ranggiansanka, 2010). Kanker payudara terjadi karena terganggunya sistem pertumbuhan sel di dalam jaringan payudara. Penyebab kanker payudara belum diketahui secara pasti, namun ada beberapa faktor yang mampu meningkatkan risiko terjadinya kanker payudara. Faktor-faktor tersebut meliputi riwayat pribadi tentang kanker payudara, riwayat keluarga dengan kanker payudara, menstruasi dini, menopause pada usia lanjut, terapi pengganti hormon, radiasi, masukan alkohol, dan stres (Bobak, 2004). Tanda dan gejala kanker payudara yaitu terdapat benjolan pada payudara yang berubah bentuk, kulit payudara berubah warna, puting susu masuk ke dalam, bila tumor sudah membesar muncul rasa sakit hilang-timbul, kulit payudara terasa seperti terbakar, dan payudara mengeluarkan darah atau cairan lain. Tanda kanker payudara yang paling jelas adalah adanya ulkus pada payudara (Ramli, 2005). Penatalaksanaan kanker payudara dilakukan dengan serangkaian pengobatan yaitu pembedahan, terapi radiasi, kemoterapi, dan terapi kombinasi. Masing-masing cara dari pengobatan kanker tersebut masih memiliki kelemahan, sehingga pengobatan kanker pada umumnya sampai saat ini belum ada yang menunjukkan hasil yang memuaskan. Salah satu pengobatan yang dilakukan pasien kanker payudara adalah kemoterapi. Pengobatan ini menggunakan obat anti kanker untuk membunuh sel kanker (Ramli, 2005). Manfaat dari kemoterapi adalah untuk mencegah, mengurangi pertumbuhan sel yang ganas, dan menghindari terjadinya metastase. Pengobatan jenis ini dapat dilakukan sebelum dan sesudah operasi kanker. Pengobatan ini menimbulkan beberapa efek samping (Sudoyo, A. W., Bambang, S., Idrus, A., Marcellus, S. K., dan Siti, S., 2009). Efek samping kemoterapi tergantung pada jenis obat yang digunakan, jumlah yang diberikan, dan lama pengobatan. Efek samping yang sering terjadi dari kemoterapi adalah mual dan muntah, supresi sumsum tulang, mukositis, diare, alopesia, dan infertilitas (Sudoyo, A. W., Bambang, S., Idrus, A., Marcellus, S. K., dan Siti, S., 2009). Pasien kanker payudara membutuhkan waktu jangka panjang untuk secara rutin mengikuti kemoterapi di rumah sakit dalam beberapa bulan. Kemoterapi dilakukan setiap 3 minggu sekali, selain itu kemoterapi masih perlu dilakukan 5 sampai 10 tahun kemudian untuk menurunkan risiko kanker muncul kembali (Haryono, 2009 dalam Rachmawati, 2009). Pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi mengalami dampak psikologis yang semakin beragam, berbeda intensitasnya antara penderita satu dengan yang lain mulai dari intensitas ringan sampai kuat atau sampai munculnya gangguan mental. Dampak psikologis adalah suatu bentuk perilaku positif maupun negatif yang muncul dalam bentuk perilaku sebagai hasil dari adanya stimulus dan respon yang bekerja pada diri seseorang (Wijayanti, 2007). Pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi mengalami dampak psikologis berupa rasa takut akan kematian, takut menjadi beban, takut ditinggalkan, ketidakmampuan, dan gangguan harga diri (Kova & Kova, 2011). Hasil penelitian Wijayanti (2007) menyatakan, dampak psikologis yang dialami pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi meliputi ketidakberdayaan, cemas, malu, harga diri menurun, stres, depresi, dan marah. Sesuai dengan pendapat Hadjam (2000) dalam Sudrajat (2012) mengungkapkan, pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi memperlihatkan adanya stres yang ditunjukkan dengan perasaan sedih, putus asa, pesimis, merasa dirinya gagal, tidak puas dalam hidup, merasa lebih buruk dibandingkan orang lain, penilaian rendah terhadap tubuhnya, dan merasa tidak berdaya. Carpenter & Brockopp (2012) menyatakan bahwa pasien kanker payudara yang menerima kemoterapi, mengalami penurunan yang signifikan terhadap harga dirinya. Mayoritas wanita yang menderita kanker payudara cenderung akan menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang dialaminya dan berpandangan negatif terhadap dirinya. Gangguan psikologis yang dialami pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi akan mempengaruhi harga dirinya (Puckett, 2007 dalam Hartati 2008). Pernyataan di atas juga sesuai dengan kondisi psikologis pasien kanker payudara di Ruang Bougenvil RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Berikut adalah hasil wawancara yang dilakukan pada tanggal 17 Mei 2013 terhadap dua orang pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi di Ruang Bougenvil RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Subjek pertama ialah pasien kanker payudara stadium II yang telah menerima kemoterapi 2 kali dan subjek kedua adalah pasien kanker payudara stadium III yang telah menerima kemoterapi 5 kali. Subjek pertama terlihat pucat dan lemas saat wawancara, sedangkan subjek kedua terlihat meneteskan air mata saat wawancara. Subjek kedua mengatakan tidak mampu menahan kesedihan ketika menceritakan penyakitnya. Perasaan yang diungkapkan subjek pertama dan kedua saat menghadapi penyakitnya dan menjalani kemoterapi adalah merasa takut tidak sembuh, sedih, merasa malu dan minder terhadap orang lain, merasa dirinya bau, takut ditinggalkan keluarga, merasa menjadi beban keluarga, stres, merasa lemah, kurang percaya diri dengan penampilannya, kurang mendapat dukungan keluarga, merasa lebih sensitif, dan merasa kurang mampu mengurus rumah tangga. Subjek kedua juga merasa sangat stres karena ditinggal suaminya sejak menderita kanker payudara, selama berobat ia hanya ditemani oleh kakak kandungnya dan tidak pernah dibesuk oleh suaminya. Beberapa efek samping yang dialami subjek pertama dan kedua setelah kemoterapi yaitu pusing, lemas, mual dan muntah, rambut rontok, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, dan gangguan tidur. Subjek pertama mengatakan akan terus berusaha menjalani pengobatan karena ingin sembuh, menerima dengan ikhlas, banyak berdoa, dan beribadah, kemudian subjek kedua juga mengungkapkan bahwa ia merasa pasrah dan berserah diri kepada Tuhan. Permasalahan psikologis yang dialami penderita kanker payudara di atas menunjukkan bahwa penderita tersebut kurang bisa menerima keadaan yang dialaminya. Mangunsong (1998) dalam Anggraini (2012) mengatakan bahwa reaksi emosi sebagai penolakan terhadap penderitaan yang dialami seseorang ditunjukkan secara berbeda-beda antara lain berdiam diri karena depresi, khawatir, dan menyalahkan diri sendiri. Reaksi emosi tersebut mengakibatkan individu merasa malu, murung, sedih, menyendiri, dan putus asa. Permasalahan psikologis tersebut sering memberikan perasaan negatif yang akan menghambat potensinya untuk melakukan adaptasi terhadap lingkungannya dan seringkali mengakibatkan penurunan harga diri (Kartono, 1990 dalam Anggraini, 2012). Cast & Burke (2002) menyatakan, harga diri adalah salah satu bagian yang penting dalam konsep diri, bila konsep diri menurun maka harga diri juga menurun. Harga diri adalah hasil penilaian individu terhadap dirinya sendiri, dinyatakan dengan sikap yang berupa penerimaan atau penolakan dan menunjukkan seberapa besar individu itu percaya bahwa dirinya mampu, berarti, berhasil, dan berharga. Penurunan harga diri disebabkan oleh adanya perubahan konsep diri dimana penderita merasa tidak normal dibandingkan dengan orang lain yang sehat (Chast & Burke, 2002). Wijayanti (2007) menyebutkan beberapa faktor yang dapat mengakibatkan harga diri menurun pada pasien kanker payudara yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi gejala kanker payudara, nyeri, memburuknya kondisi fisik, pengobatan yang belum maksimal, karakter yang ada pada diri penderita. Faktor eksternal meliputi diagnosa dokter, operasi, kemoterapi, dan dukungan sosial. Berdasarkan hasil wawancara, terdapat beberapa respon lain yang merupakan reaksi strategis koping yang ditunjukkan untuk mengatasi permasalahan psikologis yang dialami pasien kanker payudara. Reaksi strategis koping yang ditunjukkan seperti banyak beribadah, berdoa, menerima dengan ikhlas, dan berserah diri kepada-Nya merupakan bagian dari perilaku spiritual seseorang. Spiritual adalah dasar bagi tumbuhnya harga diri, nilai-nilai, moral, dan rasa memiliki. Spiritual sebagai suatu kesadaran yang menghubungkan kita langsung dengan Tuhan (Agustian, 2009). Perilaku seseorang dalam berespon terhadap masalah tidak hanya dipengaruhi oleh motivasi, namun juga dipengaruhi oleh kecerdasan dasar yang dimiliki setiap manusia. Salah satu bentuk kecerdasan tersebut adalah kecerdasan spiritual yang sering disebut spiritual quotient. Satrio (2008) menyatakan bahwa kecerdasan spiritual adalah kemampuan seseorang memberi makna pada kehidupan. Kecerdasan spiritual adalah kemampuan seseorang untuk memberi makna spiritual terhadap pemikiran, perilaku, dan kegiatan. Kecerdasan spiritual dapat digunakan dalam masalah krisis yang sangat membuat kita seakan kehilangan keteraturan diri. Kecerdasan spiritual sangat penting dalam kehidupan manusia karena akan memberikan kemampuan kepada manusia untuk membedakan yang baik dengan yang buruk, memberikan rasa moral, dan kemampuan untuk menyesuaikan dirinya (Susanti, 2006). Kecerdasan spiritual merupakan bawaan potensial manusia yang harus diasah hingga berkembang dengan baik. Kecerdasan ini harus dimulai dari dalam diri masing-masing pribadi untuk secara tulus mengasahnya (Hisbullah, 2007). Khavari dalam Hisbullah (2007) menyatakan tingkat kecerdasan spiritual seseorang dapat meningkat atau menurun. Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kecerdasan spiritual seseorang adalah selalu berkomunikasi dan berhubungan secara spiritual dengan Tuhan. Kecerdasan spiritual memiliki peran yang sangat penting untuk membantu individu mengatasi berbagai tekanan dan kesulitan yang dihadapi sehingga mampu mencapai kondisi yang diharapkan (Anggraini, 2012). Terkait dengan harga diri, kecerdasan spiritual merupakan indikator penting dalam menemukan makna hidup. Seseorang yang memiliki kecerdasan spiritual akan mampu menghadapi pilihan dan kenyataan hidup yang pasti akan datang dan harus dihadapi apapun bentuknya, baik atau buruk atau dalam segala penderitaan yang tiba-tiba datang tanpa diduga (Agustian, 2009). Seseorang yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi akan bersikap lebih pasrah dan berserah diri terhadap keadaan yang dialaminya, menerima dengan ikhlas keadaan tersebut sebagai takdir yang harus dijalani agar bisa menjadi pribadi yang lebih baik dan mendapatkan derajat yang tinggi di sisi-Nya (Anggraini, 2012). Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk mengeksplorasi hubungan kecerdasan spiritual dengan harga diri pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. B. Rumusan Masalah Kanker payudara menimbulkan beberapa dampak psikologis salah satunya adalah penurunan harga diri. Terkait dengan harga diri, kecerdasan spiritual merupakan indikator penting dalam menemukan makna hidup. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: adakah hubungan yang bermakna antara kecerdasan spiritual dengan harga diri pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto? C. Tujuan Penelitan 1. Tujuan Umum Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kecerdasan spiritual dengan harga diri pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui karakteristik responden (umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan stadium) pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. b. Mengetahui gambaran tingkat kecerdasan spiritual pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. c. Mengetahui gambaran tingkat harga diri pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. d. Mengetahui hubungan kecerdasan spiritual dengan harga diri pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. e. Mengetahui kekuatan hubungan kecerdasan spiritual dengan harga diri pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak dalam mengembangkan pelayanan keperawatan terhadap pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi, yaitu bagi: 1. Instansi Rumah Sakit Penelitian ini dapat dijadikan masukan dan pertimbangan bagi rumah sakit untuk menentukan kebijakan melalui peningkatan pelayanan asuhan keperawatan yang memperhatikan aspek kecerdasan spiritual pasien sebagai manajemen koping stres pada pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi sehingga dapat meningkatkan konsep diri khususnya harga diri pasien kanker payudara. 2. Profesi Keperawatan Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang bermakna demi pengembangan profesi keperawatan untuk dapat meningkatkan kecerdasan spiritual dan harga diri pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi. 3. Instansi Pendidikan a. Sebagai bahan bacaan atau sumber data bagi peneliti lain yang memerlukan masukan berupa data atau pengembangan penelitian tentang kecerdasan spiritual dan harga diri. b. Sebagai sumber informasi pada institusi Jurusan Keperawatan Unsoed untuk dijadikan dokumentasi ilmiah. 4. Peneliti Memperoleh pengetahuan baru dalam melakukan penelitian untuk mengetahui hubungan kecerdasan spiritual dengan harga diri pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan pengetahuan peneliti, belum pernah dilakukan penelitian yang serupa atau sama dengan penelitian yang dilakukan peneliti yaitu tentang hubungan kecerdasan spiritual dengan harga diri pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Penelitian lain yang berkaitan yaitu: 1. Purnamasari (2011), tentang Hubungan Kecerdasan Spiritual dengan Perilaku Caring Perawat di RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan spiritual dengan perilaku caring perawat di RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga. Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional terhadap 66 perawat di lima ruang rawat inap dengan teknik total sampling. Metode analisis data menggunakan uji statistik Rank Spearman. Analisis data penelitian ini menunjukkan nilai korelasi antara kecerdasan spiritual dengan perilaku caring perawat sebesar 0,271 dengan nilai p = 0,028 (p < a = 0,05), sehingga Ho ditolak dan Ha diterima yang berarti ada hubungan antara kecerdasan spiritual dengan perilaku caring perawat. Persamaan dengan penelitian ini adalah pada variabel bebas dan metode penelitiannya yaitu sama-sama meneliti tentang tingkat kecerdasan spiritual seseorang dan menggunakan metode penelitian analitik korelasi. Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada responden, tempat penelitian, dan variabel terikatnya, dimana variabel terikat dalam penelitian sebelumnya adalah perilaku caring, perawat sebagai respondennya, penelitian dilaksanakan di RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah tingkat harga diri, pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi sebagai respondennya, dan penelitian ini dilaksanakan di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. 2. Prihatini (2012), tentang Hubungan Kecerdasan Spiritual dengan Kualitas Hidup Pasien Kanker Payudara Post Mastektomi di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kecerdasan spiritual dengan kualitas hidup pasien kanker payudara post mastektomi di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Penelitian ini menggunakan metode analitik korelasi. Pengambilan sampel menggunakan teknik accidental sampling sebanyak 34 responden. Data analisis menggunakan uji statistik Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan antara kecerdasan spiritual dengan kualitas hidup pasien kanker payudara post mastektomi di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto, dengan nilai p = 0,547 (p > a = 0,05) Ha ditolak dan Ho diterima. Persamaan dengan penelitian ini pada variabel bebas, tempat penelitian, dan metode penelitian. Persamaannya yaitu sama-sama meneliti tentang kecerdasan spiritual pasien kanker payudara di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto, menggunakan desain penelitian cross sectional dengan metode analitik korelasi dan uji statistik Rank Spearman. Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada variabel terikat dan respondennya, dimana variabel terikat dalam penelitian sebelumnya kualitas hidup dengan pasien kanker payudara post mastektomi sebagai respondennya, sedangkan variabel terikat pada penelitian ini adalah harga diri dengan pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi sebagai respondennya. 3. Rahmawati (2010), tentang Pengaruh Peran Keluarga terhadap Harga Diri Pasien Stroke di Ruang Rawat Inap RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh peran keluarga terhadap harga diri pasien stroke di ruang rawat inap RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif asosiatif dengan pendekatan cross sectional. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling dengan 45 responden dan analisa univariat menggunakan analisa deskriptif dan analisa bivariat menggunakan chi-square. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada pengaruh yang bermakna secara statistik antara peran keluarga dan harga diri dengan nilai x2 = 3, 213 pada df = 2 dan alpha = 0,05 (x2 < x tabel, dengan x tabel = 5,591). Persamaan dengan penelitian ini adalah pada variabel terikat dan tempat penelitian yaitu sama-sama meneliti tentang harga diri dan tempat penelitiannya di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Perbedaan dengan penelitian ini pada variabel bebas, responden, dan metode penelitian. Penelitian sebelumnya menggunakan variabel bebas berupa peran keluarga dengan pasien stroke sebagai respondennya dan menggunakan metode deskriptif asosiatif, sedangkan pada penelitian ini variabel bebasnya adalah kecerdasan spiritual dengan pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi sebagai respondennya, dan menggunakan metode analitik korelasi. 4. Siburian (2011), tentang Dukungan Keluarga dan Harga Diri Pasien Kanker Payudara yang Menjalani Kemoterapi di RSUP H. Adam Malik Medan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga dengan harga diri pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif korelasi. Pengambilan sampel dengan teknik purposive sampling dan sampel yang didapat adalah 30 orang. Instrumen penelitian berupa kuesioner yang mencakup data demografi dan pernyataan mengenai dukungan keluarga dan harga diri. Uji korelasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji korelasi Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dukungan keluarga mempunyai hubungan yang signifikan dengan harga diri pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi di RSUP H. Adam Malik Medan, kekuatan hubungan sedang dan berpola positif (p = 0,027, r = 0,403). Hasil penelitian menunjukkan, semakin tinggi dukungan keluarga maka semakin tinggi harga diri pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi di RSUP H. Adam Malik Medan. Persamaan dengan penelitian ini adalah pada variabel terikat dan respondennya, yaitu sama-sama meneliti tingkat harga diri seseorang dan respondennya adalah pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi. Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada variabel bebas, tempat, dan metode penelitian. Penelitian sebelumnya menggunakan variabel bebas berupa dukungan keluarga, tempat penelitiannya di RSUP H. Adam Malik Medan, dan menggunakan desain penelitian deskripsi korelasi sedangkan pada penelitian ini menggunakan variabel bebas kecerdasan spiritual, tempat penelitiannya di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto, dan menggunakan metode analitik korelasi. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Kanker Payudara a. Definisi kanker payudara Kanker payudara (Carcinoma mammae) adalah penyakit neoplasma ganas yang berasal dari parenchym. Kanker payudara ditandai dengan perubahan sel-sel yang mengalami pertumbuhan tidak normal, cepat, dan tidak terkontrol pada payudara (Mardiana, 2007). Kanker payudara adalah tumor ganas yang menyerang jaringan payudara, jaringan payudara tersebut terdiri dari kelenjar susu, saluran kelenjar, dan jaringan penunjang payudara (Luwia, 2009). b. Penyebab Penyebab kanker payudara belum dapat diketahui secara pasti, namun ada beberapa faktor risiko yang telah ditetapkan yaitu faktor risiko yang tidak dapat dikendalikan dan faktor risiko yang dapat dikendalikan (Winarto., Vivi, K., Erna, C., Heri, J., dan Nurrohman, S., 2007). Berikut ini adalah penjelasan dari faktor-faktor risiko kanker payudara. 1. Faktor risiko yang tidak dapat dikendalikan a). Umur Umur sangat penting sebagai faktor risiko kanker payudara. Kejadian kanker payudara meningkat cepat pada usia reproduktif dan setelah itu meningkat pada laju yang lebih rendah (Pherson & Steel, 2000). Wanita berumur lebih dari 30 tahun mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk terkena kanker payudara. Risiko ini akan terus meningkat sampai umur 50 tahun dan setelah menopause (Dupont & Page, 2004). b). Jenis kelamin Jenis kelamin merupakan faktor risiko yang kuat. Wanita memiliki risiko lebih besar untuk terkena kanker payudara dibandingkan laki-laki, dikarenakan wanita memiliki sel payudara lebih banyak dibandingkan laki-laki. Banyaknya kejadian kanker payudara pada wanita kemungkinan dipengaruhi oleh hormon estrogen dan progesteron yang berpengaruh terhadap proses proliferasi sel-sel pada kelenjar payudara yang secara fisiologis lebih berkembang dibanding laki-laki. Laki-laki juga dapat terkena kanker payudara, tetapi penyakit ini lebih sering ditemukan pada wanita (Indrati, 2005). c). Faktor reproduktif Wanita yang tidak pernah melahirkan atau melahirkan pertama kali di atas umur 30 tahun memiliki risiko lebih besar terkena kanker payudara dibandingkan dengan wanita yang melahirkan di bawah umur 30 tahun. Kehamilan pertama sebelum umur 18 tahun memiliki risiko setengah dari wanita yang hamil setelah berumur 30 tahun. Kehamilan dini akan mencegah epithelium payudara dari carsinogenesis atau efek negatif dari kehamilan yang terlambat (Stephen., Falkenberry., & Legare., 2002). d). Riwayat keluarga Kanker payudara dalam keluarga dapat berdampak signifikan risikonya. Seseorang akan memiliki risiko terkena kanker payudara lebih besar bila anggota keluarganya ada yang menderita kanker payudara. Penelitian Indrati (2005) menunjukkan bahwa diperkirakan 15% sampai dengan 20% kanker payudara dihubungkan dengan adanya riwayat pada keluarga. Keluarga yang memiliki gen BRCA1 yang diturunkan memiliki risiko terkena kanker payudara lebih besar. e). Pertumbuhan payudara Sel payudara normal kadang-kadang dapat mengalami abnormal. Perubahan ini dapat datang sebagai benjolan, penebalan, atau klasifikasi pada mammogram. Perubahan ini dapat dilihat di bawah mikroskop jika biopsi dilakukan. Sel pembuluh payudara yang terlalu aktif dan muncul tidak biasa mungkin menggambarkan suatu jenis kanker (Winarto., Vivi, K., Erna, C., Heri, J., dan Nurrohman, S., 2007). f). Riwayat menstruasi Wanita tidak dapat mengendalikan jumlah estrogen yang diproduksi ovarium setiap waktu. Seorang wanita yang masih muda mendapat periode menstruasi pertama atau terlambat menopause akan mengakibatkan jumlah estrogen dan hormon lain yang diproduksi ovarium didapat lebih banyak. Wanita yang mendapat periode menstruasi pertama sebelum usia 12 tahun atau menopause setelah usia 55 tahun, berisiko terkena kanker payudara lebih tinggi daripada wanita dengan lebih sedikit mendapat hormon yang diproduksi ovarium (Indrati, 2005). f). Terapi radiasi pada dada sebelum usia 30 tahun Wanita yang mengalami terapi radiasi pada dadanya sebelum usia 30 tahun dan khususnya selama masa remaja, mungkin berisiko lebih tinggi berkembangnya kanker payudara (Price & Lorraine, 2005). g). Kepadatan payudara Wanita dengan payudara yang padat, mengandung lebih banyak kelenjar dan jaringan penyambung, berisiko terkena kanker payudara. Estrogen membuat jaringan payudara lebih padat. Hubungan antara kepadatan payudara dan kanker payudara dikaitkan dengan tingkat estrogen dalam tubuh (Winarto., Vivi, K., Erna, C., Heri, J., dan Nurrohman, S., 2007). h). Terpapar DES (Dietyilstilbestrol) DES merupakan hormon buatan seperti estrogen yang digunakan dimasa lalu untuk menolong wanita mencegah keguguran. Anak perempuan yang menggunakan DES berisiko terkena kanker. Obat ini kemungkinan juga meningkatkan risiko kanker payudara pada wanita yang menggunakannya dan anak perempuan yang terpaparnya (Winarto., Vivi, K., Erna, C., Heri, J., dan Nurrohman, S., 2007). i). Kehamilan terlambat atau tidak hamil Wanita yang mempunyai masa kehamilan pertama penuh setelah usia 30 tahun dan wanita yang tidak hamil, berisiko terkena kanker payudara lebih tinggi daripada wanita yang melahirkan lebih dini. Masa kehamilan penuh yang menghentikan siklus menstruasi selama 9 bulan, menawarkan proteksi melawan kanker payudara (Winarto., Vivi, K., Erna, C., Heri, J., dan Nurrohman, S., 2007). 2). Faktor risiko yang dapat dikendalikan a). Merokok Merokok dapat menyebabkan banyak penyakit dan dihubungkan dengan risiko yang meningkat berkembangnya kanker payudara. Wanita yang merokok akan memiliki tingkat metabolisme estrogen lebih tinggi dibanding yang tidak merokok. Kebiasaan merokok akan meningkatkan risiko kanker payudara sebanyak 2,4 kali dibanding yang tidak merokok (Indrati, 2005). Hasil penelitian Bennike Kim et al (1995) dalam Indrati (2005) menunjukkan bahwa wanita yang merokok sigaret >20 tahun terdapat peningkatan risiko untuk terkena kanker payudara dan hubungan ini signifikan. b). Olahraga Setiap waktu olahraga dapat menurunkan tingkat estrogen dalam tubuh. Estrogen yang berkurang menyebabkan stimulasi pertumbuhan sel payudara akan berkurang. Olahraga akan meningkatkan fungsi kekebalan yang dihubungkan dengan rendahnya lemak tubuh dan efek tingkat hormon yang semuanya berhubungan dengan kanker payudara. Wanita yang secara rutin melakukan aktifitas fisik atau olahraga memiliki risiko lebih rendah dibanding yang tidak melakukan aktivitas fisik (Indrati, 2005). c). Kegemukan Kegemukan dapat meningkatkan risiko terkena kanker payudara. Sel lemak ekstra membuat estrogen ekstra merangsang pertumbuhan sel payudara. Risiko pada kegemukan akan meningkat karena terjadi peningkatan sintesis estrogen pada timbunan lemak yang berpengaruh terhadap proses proliferasi jaringan payudara (Colditz, 2000 dalam Indrati, 2005). d). Menyusui Menyusui dapat menurunkan risiko kanker payudara. Sel payudara tidak dapat menyebabkan masalah seperti kanker saat sel payudara matang dan melakukan tugasnya (Winarto., Vivi, K., Erna, C., Heri, J., dan Nurrohman, S., 2007). Rasjidi (2009) menjelaskan, proses menyusui mempunyai efek protektif terhadap kanker payudara karena adanya penurunan level estrogen dan sekresi bahan-bahan karsinogenik selama menyusui. Risiko kanker menurun 4,3% setiap tahunnya pada wanita yang menyusui. e). Alkohol Penggunaan alkohol yang signifikan tidak baik untuk hati yang membantu mengatur tingkat estrogen dalam sistem tubuh. Pembatasan alkohol membantu menjaga tingkat estrogen darah tetap rendah (Winarto., Vivi, K., Erna, C., Heri, J., dan Nurrohman, S., 2007). f). Stres Santai dapat memperkuat sistem imun. Sistem imun yang kuat akan lebih mudah melawan penyakit. Wanita dalam kelompok dukung kanker payudara mempunyai kualitas hidup lebih baik daripada yang tidak bergabung dalam kelompok sejenis. Daya dukungan menjadi cara dalam menurunkan stres dan membuat orang terhubung, tidak sendiri dalam perjuangan melawan kanker (Winarto., Vivi, K., Erna, C., Heri, J., dan Nurrohman, S., 2007). c). Manifestasi klinis Kanker payudara dapat terjadi di bagian mana saja dalam payudara, tetapi mayoritas terjadi pada kuadran atas terluar dimana sebagian besar jaringan payudara terdapat. Kanker payudara umum terjadi pada payudara sebelah kiri. Umumnya lesi tidak terasa nyeri, terfiksasi dan keras dengan batas yang tidak teratur. Keluhan nyeri yang menyebar pada payudara dan nyeri tekan yang terjadi saat menstruasi biasanya berhubungan dengan penyakit payudara jinak. Nyeri yang jelas pada bagian yang ditunjuk dapat berhubungan dengan kanker payudara pada kasus yang lebih lanjut (Smeltzer & Bare, 2002). Meningkatnya penggunaan mammografi pada wanita lebih banyak mencari bantuan medis pada penyakit tahap awal. Wanita ini bisa saja tidak mempunyai gejala dan tidak mempunyai benjolan yang tidak dapat diraba, tetapi lesi abnormal dapat terdeteksi pada pemeriksaan mammografi (Smeltzer & Bare, 2002). Faktanya, banyak wanita dengan penyakit lanjut mencari bantuan medis setelah mengabaikan gejala yang dirasakan. Mereka baru mencari bantuan medis setelah tampak peau dorange pada kulit payudaranya, yaitu kondisi yang disebabkan oleh obstruksi sirkulasi limfatik dalam lapisan dermal. Retraksi puting susu dan lesi yang terfiksasi pada dinding dada dapat juga dijadikan bukti. Metastasis ke kulit dapat dimanifestasikan oleh lesi yang mengalami ulserasi dan berjamur. Tanda-tanda dan gejala klasik ini jelas mencirikan adanya kanker payudara pada tahap lanjut (Smeltzer & Bare, 2002). d. Perkembangan Kanker Payudara 1). Tipe kanker payudara Tipe kanker payudara antara lain (Smeltzer & Bare, 2002): a). Karsinoma duktal menginfiltrasi Merupakan tipe histologis yang paling umum, 75% dari semua jenis kanker payudara. Kanker ini sangat jelas karena keras saat dipalpasi. Kanker jenis ini biasanya bermetastasis ke nodus aksila. Prognosisnya lebih buruk dibanding dengan tipe kanker lainnya. b). Karsinoma lobular menginfiltrasi Merupakan tipe kanker yang jarang terjadi, 5% dari 10% kanker payudara. Tumor ini biasanya terjadi pada area penebalan yang tidak baik pada payudara bila dibandingkan dengan tipe duktal menginfiltrasi. Tipe ini lebih umum multisentris, dapat terjadi penebalan beberapa area pada salah satu atau kedua payudara. c). Karsinoma medular Menempati sekitar 6% dari kanker payudara dan tumbuh dalam kapsul di dalam duktus. Tipe tumor ini dapat menjadi besar tetapi meluas dengan lambat, sehingga prognosisnya sering kali lebih buruk. d). Kanker musinus Menempati sekitar 3% dari kanker payudara. Kanker ini mempunyai prognosis yang lebih baik dari lainnya. e). Kanker duktal-tubular Kanker ini jarang terjadi, menempati sekitar 2% dari kanker. Prognosisnya sangat baik, karena metastasis aksilaris secara histologi tidak lazim. f). Karsinoma inflamatori Tipe kanker payudara yang jarang (1% sampai 2%) dan menimbulkan gejala-gejala yang berbeda dari kanker payudara lainnya. Tumor ini sangat nyeri dan nyeri tekan, payudara secara abnormal keras dan membesar. Kulit di atas tumor ini merah dan agak hitam. Sering terjadi edema dan retraksi puting susu. g). Penyakit paget payudara Merupakan tipe kanker payudara yang jarang terjadi. Gejala yang sering timbul adalah rasa terbakar dan gatal pada payudara. Massa tumor sering tidak teraba. h). Karsinoma payudara insitu Penyakit ini ditandai dengan proliferasi sel-sel maligna di dalam duktus dan lobulus, tanpa invasi ke dalam jaringan sekitarnya. Terdapat dua tipe karsinoma in situ: duktal dan lobular. Karsinoma duktal in situ (DCIS) secara histologis dibagi menjadi dua subtipe mayor: komedo dan non komedo. Pengobatan yang paling umum adalah mastektomi dengan angka pertumbuhan 99%. Terapi konservatif payudara adalah pilihan yang masuk akal yang mungkin dipertimbangkan untuk lesi setempat. Karsinoma lobular in situ (LCIS) ditandai dengan proliferasi sel-sel di dalam lobulus payudara. LCIS merupakan temuan insidental, yang umumnya terletak dalam area multisenter penyakit dan jarang berhubungan dengan kanker invasif. Penyakit ini terjadi lebih sering pada wanita berusia lebih muda. 2). Stadium kanker Rasjidi (2009) menyebutkan tahapan atau stadium kanker payudara sebagai berikut: a). Stadium 0 Tahap sel kanker payudara tetap di dalam kelenjar payudara, tanpa invasi ke dalam jaringan payudara normal yang berdekatan. b). Stadium I Benjolan kanker tidak melebihi dari 2 cm dan tidak menyebar keluar dari payudara. Perawatan sistematis akan diberikan pada kanker stadium ini, tujuannya adalah agar sel kanker tidak menyebar dan tidak berlanjutan. c). Stadium II A Tumor tidak ditemukan pada payudara tapi sel-sel kanker ditemukan di kelenjar getah bening ketiak, atau tumor dengan ukuran 2 cm atau kurang dan telah menyebar ke kelenjar getah bening ketiak, atau tumor yang lebih besar dari 2 cm tapi tidak lebih besar dari 5 cm dan belum menyebar ke kelenjar getah bening ketiak. c). Stadium II B Tumor lebih besar dari 2 cm, tetapi tidak ada yang lebih besar dari 5 cm dan telah menyebar ke kelenjar getah bening ketiak, atau tumor yang lebih besar dari 5 cm tapi belum menyebar ke kelenjar getah bening ketiak. Stadium ini perlu dilakukan operasi untuk mengangkat sel-sel kanker yang ada pada seluruh bagian penyebaran dan setelah operasi perlu dilakukan penyinaran untuk memastikan tidak ada lagi sel-sel kanker yang tertinggal. d). Stadium III A Tidak ditemukan tumor di payudara. Kanker ditemukan di kelenjar getah bening ketiak yang melekat bersama atau dengan struktur lainnya, atau kanker ditemukan di kelenjar getah bening di dekat tulang dada, atau tumor dengan ukuran berapapun dimana kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening ketiak, terjadi perlekatan dengan struktur lainnya. e). Stadium III B Kanker sudah menyusup ke luar dari bagian payudara yaitu ke kulit, dinding dada, tulang rusuk, dan otot dada. Perlu dilakukan pengangkatan payudara pada stadium ini. f). Stadium IV Sel-sel kanker sudah mulai menyerang bagian tubuh lainnya seperti tulang, paru-paru, hati, otak, kulit dan kelenjar limfa yang ada di dalam batang leher. Tindakan yang harus dilakukan adalah pengangkatan payudara. Berdasarkan data PERABOI (Perhimpunan Ahli Bedah Onkologi Indonesia) dalam Rasjidi (2009) didapatkan data rata-rata prognosis harapan hidup (survival rate) penderita kanker payudara per stadium sebagai berikut: a). Stadium 0 : 10 tahun dengan harapan hidup 98%. b). Stadium I : 5 tahun dengan harapan hidup 85%. c). Stadium II : 5 tahun dengan harapan hidup 60-70%. d). Stadium III : 5 tahun dengan harapan hidup 30-50%. e). Stadium IV : 5 tahun dengan harapan hidup 5%. 3). Klasifikasi TNM Sistem TNM (Tumor Nodus Metastasis) dipublikasikan untuk mengklasifikasikan kanker berdasarkan pada morfologi tumor yang akan menentukan prognosis yaitu ukuran dari tumor (T), ada atau tidaknya keterlibatan kelenjar limfe (N), dan adanya metastasis (M). Tabel 2.1 Klasifikasi TNM (Tumor Nodus Metastasis) Klasifikasi Definisi T Tx To Tis Tis (DCIS) Tis (LCIS) Tis (Paget) T1 T2 mic Tia Tib Tic T2 T3 T4 T4a T4b T4c T4d N Nx N0 N1 N2 N3 M Mx M0 M1 Tumor primer Tumor primer tidak didapatkan Tidak ada bukti adanya tumor primer. Karsinoma in situ Duktal karsinoma in situ Lobular karsinoma in situ Pagets desease tanpa adanya tumor. Ukuran tumor < 2 cm Mikroinvasif > 0,1 cm Tumor > 0,1cm - < 0,5 cm Tumor > 0,5 cm - < 1 cm Tumor > 1 cm - < 2 cm Tumor > 2 cm - < 5 cm Tumor > 5 cm Tumor dengan segala ukuran disertai dengan adanya perlekatan pada dinding thoraks atau kulit. Melekat pada dinding dada tidak termasuk M. Pectoralis major. Edema (termasuk peau dorange) atau ulserasi pada kulit, atau adanya nodul satelit pada payudara. Gabungan antara T4a dan T4b. Inflammatory carsinoma Kelenjar limfe regional Kelenjar limfe regional tidak didapatkan. Tidak ada metastasis pada kelenjar limfe. Metastasis pada kelenjar aksila ipsilateral, bersifat mobile. Metastasis pada kelenjar aksila ipsilateral tidak bisa digerakkan. Metastasis pada kelenjar limfe infraclavicular, atau mengenai kelenjar mammae interna, atau kelenjar limfe supraclavicular. Metastasis Metastasis jauh tidak didapatkan. Tidak ada bukti adanya metastasis. Didapatkan metastasis yang telah mencapai organ. (International Union Against Cancer, 1958; dalam Rasjidi, 2009). Tabel. 2.2 Stadium klinis kanker payudara menggunakan klasifikasi TNM Stadium Ukuran Tumor Metastasis Kelenjar Limfe Metastasis Jauh 0 I IIa IIb IIIa IIIb IV Tis T1 T0 T1 T2 T2 T3 T0 T1 T2 T3 T4 T apapun T apapun N0 N0 N1 N1 N0 N1 N0 N2 N2 N2 N1,N2 N3 N apapun N apapun M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M1 Sumber: Sistem penentuan stadium international Union Against Cancer dan American Joint Committee for Cancer and End Result Reporting (Gant & Cunningham, 2010). e. Upaya Pencegahan Rasjidi (2009) menyebutkan upaya-upaya yang dilakukan untuk mencegah timbulnya kanker payudara yaitu: 1). Pencegahan primer Pencegahan primer pada kanker payudara adalah salah satu bentuk promosi kesehatan karena dilakukan pada orang yang sehat melalui upaya menghindarkan diri dari keterpaparan pada berbagai faktor risiko dan melaksanakan pola hidup sehat. Pencegahan primer berupa pemeriksaan SADARI (pemeriksaan payudara sendiri) yang dilakukan secara rutin sehingga bisa memperkecil faktor risiko terkena kanker payudara. Hall et al (2013) mengungkapkan bahwa kematian akibat kanker payudara lebih sedikit pada wanita yang melakukan pemeriksaan SADARI dibandingkan yang tidak. Sensitivitas SADARI untuk mendeteksi kanker payudara sebanyak 26%. 2). Pencegahan sekunder Pencegahan sekunder dilakukan terhadap individu yang memiliki risiko terkena kanker payudara. Pencegahan sekunder dilakukan dengan melakukan deteksi dini. Deteksi dini dapat dilakukan melalui skrining dengan mammografi. Skrining melalui mammografi memiliki akurasi 90% dari semua penderita kanker payudara, tetapi keterpaparan terus-menerus pada mammografi pada wanita yang sehat merupakan salah satu faktor risiko terjadinya kanker payudara. 3). Pencegahan tertier Pencegahan tertier biasanya diarahkan pada individu yang positif menderita kanker payudara. Pencegahan tertier sangat penting untuk meningkatkan kualitas hidup penderita, mencegah komplikasi penyakit, dan meneruskan pengobatan. Penanganan yang tepat untuk penderita kanker payudara yang sesuai dengan stadiumnya dapat memperpanjang harapan hidup penderita dan mengurangi kecacatan. f. Pengobatan Saifuddin (2006) menjelaskan beberapa pengobatan kanker payudara yang penerapannya banyak tergantung pada stadium klinik penyakit meliputi: 1). Mastektomi Mastektomi adalah operasi pengangkatan payudara. Ada 3 jenis mastektomi: a). Modified radical mastectomy, yaitu operasi pengangkatan seluruh payudara, jaringan payudara di tulang dada, tulang selangka dan tulang iga, serta benjolan di sekitar ketiak. b). Total mastectomy, yaitu operasi pengangkatan seluruh payudara saja, tetapi bukan kelenjar di ketiak. c). Radical mastectomy, yaitu operasi pengangkatan sebagian dari payudara. Biasanya disebut lumpectomy, yaitu pengangkatan hanya pada jaringan yang mengandung sel kanker, bukan seluruh payudara. Operasi ini selalu diikuti dengan pemberian kemoterapi. 2). Radiasi Radiasi merupakan proses penyinaran pada daerah yang terkena kanker dengan menggunakan sinar X dan sinar gamma yang bertujuan untuk membunuh sel kanker yang masih tersisa di payudara setelah operasi. Efek pengobatan ini adalah tubuh menjadi lemah, warna kulit di sekitar payudara menjadi hitam, nafsu makan berkurang, hemoglobin dan leukosit cenderung menurun. 3). Terapi hormon Terapi hormon adalah bentuk pengobatan seluruh tubuh yang sangat efektif untuk menurunkan risiko reseptor hormon positif kanker payudara datang kembali atau berkembang. Terapi hormon dapat digunakan untuk menurunkan risiko kanker payudara jika berisiko tinggi, pada kanker payudara non-invasif digunakan untuk menurunkan risiko kanker datang kembali, penyakit metastatik (lanjutan), pada kanker payudara invasif digunakan untuk menyusutkan tumor besar, dan menurunkan risiko kanker datang kembali setelah pengobatan pertama kanker payudara (operasi, kemoterapi,dan radiasi). 4). Terapi bertarget Terapi kanker bertarget merupakan pengobatan kanker yang menetapkan sasaran ciri khusus sel kanker seperti protein dan enzim. Terapi bertarget tidak membahayakan sel sehat atau normal. Terapi bertarget berupa antibodi yang bekerja seperti antibodi yang dibuat sistem imun. Terapi bertarget disebut juga terapi bertarget imun. 5). Kemoterapi a). Definisi Berbeda dengan terapi radiasi dan pembedahan, kemoterapi adalah pengobatan kanker dengan menggunakan obat-obatan atau hormon. Kemoterapi adalah proses pemberian obat-obatan anti kanker atau sitokina dalam bentuk pil cair, atau kapsul, atau melalui infus yang bertujuan membunuh sel kanker. Tidak hanya sel kanker pada payudara, tapi juga di seluruh tubuh. b). Kinetika sel Rasional pemberian kemoterapi sebagai pengobatan kanker adalah untuk kemampuan membunuh sel kanker secara selektif. Pemberian kemoterapi dengan dosis tinggi dan intermitten secara substansial lebih efektif daripada pemberian dengan dosis rendah. Obat-obatan kemoterapi bekerja berdasarkan kinetika sel. Obat tersebut membunuh sel berdasarkan fraksi sel yang konstan bukan jumlah sel yang konstan. Pemberian kemoterapi yang pertama dapat membunuh 2-4 log sel, bila pada satu populasi sel kanker sebanyak 102 (1kg tumor) diberikan dosis tunggal kemoterapi, sebagian besar sel kanker hilang, tetapi tidak dapat menghilangkan tumor tersebut secara tuntas, sehingga diperlukan pemberian kemoterapi ulangan secara intermitten. Konsep bahwa kemoterapi membunuh sel secara logistik juga merupakan dasar dari pemberian kemoterapi secara kombinasi dan adjuvan. Kemoterapi adjuvan bertujuan untuk mengeradikasi massa tumor yang subklinis 104 sel yang tidak mungkin terdeteksi pasca pembedahan. Kemoterapi akan bekerja secara efektif, jika jumlah sel kanker relatif sedikit. Setiap sel yang membelah diri akan mengikuti pola replikasi sel yang disebut waktu generasi yang terdiri atas lima fase berikut ini: (1). Fase G1 (diproduksi enzim untuk sintesis DNA dan RNA berlangsung kira-kira 4-24 jam). (2). Fase S (terjadi sintesis DNA kira-kira 10-20 jam). (3). Fase G2 (terjadi sintesis DNA dan protein seluler 2-10 jam), selanjutnya masuk ke fase M. (4). Fase M (terjadi mitosis sel 0,5-1 jam), lanjut masuk G2. (5). Fase G0 (sel-sel yang tidak aktif akan masuk ke fase G0). Populasi sel berada dalam fase G0 pada jaringan normal. c). Mekanisme kerja obat kemoterapi terhadap kanker Tujuan penggunaan obat kemoterapi ialah untuk mencegah atau menghambat multiplikasi sel kanker dan menghambat invasi serta metastase. Proliferasi merupakan proses yang terjadi pada beberapa sel organ normal. Kemoterapi juga berefek toksik terhadap sel-sel normal terutama pada jaringan-jaringan yang mempunyai siklus sel yang cepat seperti sumsum tulang, epitel mukosa, dan folikel rambut. Kemoterapi yang ideal harus mempunyai efek menghambat yang maksimal terhadap pertumbuhan sel kanker dan mempunyai efek minimal terhadap jaringan tubuh yang normal. Proses inhibisi proliferasi sel dan pertumbuhan kanker dapat terjadi pada beberapa tingkat proses dalam sel sintesis makromolekuler, organ dalam sitoplasma, dan fungsi sintesis membran. Kebanyakan obat sitotoksik mempunyai efek yang utama pada proses sintesis dan fungsi makroseluler, yaitu pada proses sintesis DNA, RNA, atau protein, atau mempengaruhi kerja molekul tersebut. Proses ini cukup menimbulkan kematian sel. Sel yang mati pada setiap pemberian kemoterapi hanya proporsional, oleh karena itu kemoterapi harus diberikan berulang kali secara terus-menerus untuk mengurangi populasi sel. d). Spesifitas kemoterapi terhadap fase dan siklus sel Kemoterapi digolongkan berdasarkan mekanisme kerja obat pada siklus sel. (1). Obat kemoterapi fase spesifik Obat golongan ini sangat aktif membunuh sel yang berasal dari fase tertentu dari siklus sel. Sifat obat ini adalah terdapat limitasi daya bunuh obat pada satu kali pemberian. Obat ini harus bekerja pada salah satu fase siklus sel saja, sehingga peningkatan dosis tidak akan meningkatkan proporsi sel yang terbunuh. Sel-sel yang terbunuh akan meningkat bila pemberian obat dalam waktu panjang atau diberikan berulang. (2). Obat kemoterapi spesifik siklus sel Obat golongan ini aktif bekerja pada sel yang aktif dalam siklus sel, tetapi tidak bekerja pada salah satu fase yang spesifik. Golongan ini adalah golongan alkil, antibiotik antitumor. (3). Obat-obat non spesifik siklus sel Bekerja efektif pada setiap sel, tidak bergantung pada siklus tempat sel tersebut berada, dan bekerja pada sel-sel yang berada pada fase G0. e). Klasifikasi kemoterapi (1). Siklus sel spesifik Terdiri dari alkylating agent dan produk alami. Alkylating agent terdiri dari nitrogen mustard (klorambusil, siklofosfamid, melfalan), alkil sulfonat (busulfan), triazin logam berat (dekarbazen, sisplatin, karboplatin). Produk alami terdiri dari antibiotik antitumor (daktinomisin, danorubisin, doksorubisin, idarubisin). (2). Siklus sel non spesifik terdiri dari nitrogen mustard, nitrosurea, metkloretamin, karmustin. f). Kemoterapi kombinasi Pemberian obat sitotoksik tunggal dengan dosis yang masih dapat ditoleransi secara klinis tidak dapat digunakan untuk mengobati kanker, kecuali pada koriokarsinoma dan limfoma burkit. Tujuan dari kemoterapi kombinasi adalah memperbaiki laju respon dan daya ketahanan hidup. Kemoterapi kombinasi memberi beberapa keuntungan yaitu pemusnahan sel-sel kanker dapat terjadi secara maksimal dengan kisaran toksisitas yang masih dapat ditoleransi oleh tubuh klien, lebih luasnya kisaran interaksi antara obat dan sel tumor dengan abnormalitas genetik yang berbeda pada populasi tumor yang heterogen, dapat memperlambat tumbuhnya resistensi obat selular (Sudoyo, A. W., Bambang, S., Idrus, A., Marcellus, S. K., dan Siti., S., 2009). g). Efek samping kemoterapi Obat sitotoksik menyerang sel-sel kanker yang sifatnya membelah, terkadang obat ini juga memiliki efek pada sel-sel tubuh normal yang juga mempunyai sifat cepat membelah seperti rambut, mukosa, sumsum tulang, kulit, dan sperma. Obat ini juga dapat bersifat toksik pada beberapa organ seperti jantung, hati, ginjal, dan sistem saraf. Berikut akan dibahas beberapa efek samping kemoterapi yang sering ditemui pada pasien kanker (Sudoyo, A. W., Bambang, S., Idrus, A., Marcellus, S. K., dan Siti., S., 2009). (1). Supresi sumsum tulang Trombositopenia, anemia, dan leukopenia adalah efek samping yang terjadi akibat kemoterapi. Sebagian besar pengobatan standar dirancang sesuai dengan kinetika pemulihan sumsum tulang setelah paparan kemoterapi. Beberapa tahun terakhir mulai diberikan faktor perangsang koloni makrofag dan faktor perangsang koloni granulosit. Faktor pertumbuhan ini mempunyai peran penting dalam pemberian dosis intensif kemoterapi dengan mencegah leukopenia sehingga mengurangi insiden infeksi dan lamanya rawat inap. (2). Mukositis Mukositis dapat terjadi pada rongga mulut (stomatitis), lidah (glossitis), tenggorok (esofagitis), usus (enteritis), dan rektum (proktitis). Umumnya mukositis terjadi pada hari ke 5-7 setelah kemoterapi. Satu kali mukositis muncul, siklus berikutnya akan terjadi mukositis kembali, kecuali jika obat diganti atau dosis diturunkan. Mukositis dapat menyebabkan infeksi sekunder, asupan nutrisi yang buruk, dehidrasi, penambahan lama waktu perawatan, dan peningkatan biaya perawatan. Kebersihan mulut harus dijaga untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder akibat mukositis. (3). Mual dan muntah Mual dan muntah terjadi karena peradangan dari sel-sel mukosa yang melapisi saluran cerna. Muntah dapat terjadi secara akut dalam 0-24 jam setelah kemoterapi, atau tertunda, 24-96 jam setelah kemoterapi. (4). Diare Diare disebabkan karena kerusakan sel epitel saluran cerna sehingga absorpsi tidak adekuat. Obat golongan antimetabolit yang sering menimbulkan diare. Pasien dianjurkan makan rendah serat, tinggi protein, dan minum cairan yang banyak. Obat anti diare juga dapat diberikan. (5). Alopesia Kerontokan rambut sering terjadi pada kemoterapi akibat letal obat terhadap sel-sel folikel rambut. Pemulihan total akan terjadi setelah terapi dihentikan. Rambut tumbuh kembali pada saat terapi masih berlangsung, ini terjadi pada beberapa pasien. Tumbuhnya kembali merefleksikan proses proliferatif kompensatif yang meningkatkan jumlah sel-sel induk atau mencerminkan perkembangan resistensi obat pada jaringan normal. (6). Infertilitas Spermatogenesis dan pembentukan folikel ovarium merupakan hal yang rentan terhadap efek toksis obat antikanker. Pria yang mendapati kemoterapi seringkali produksi spermanya menurun. Biopsi testis menunjukkan hilangnya sel-sel germinal pada tubulus seminiferus, hal ini disebabkan karena efek obat terhadap sel-sel yang berploriferasi cepat. Efek antispermatogenetik ini dapat pulih kembali setelah kemoterapi dosis rendah, tetapi beberapa pria mengalami infertilitas yang menetap. Kemoterapi seringkali menyebabkan perempuan pramenopause atau mengalami penghentian menstruasi sementara atau menetap dan timbulnya gejala-gejala menopause. Hilangnya efek ini sangat bergantung pada umur, jenis obat yang digunakan, serta lama, dan intensitas kemoterapi. g. Komplikasi penyakit kanker payudara Komplikasi penyakit kanker payudara metastatik diantaranya metastase (otak, paru, hati, tulang tengkorak, vertebra iga, tulang panjang), fibrosis payudara, gangguan neurovaskuler, dan kematian (Sjamsuhidayat dan Jong, 2004). Smeltzer & Bare (2002) menyatakan potensial komplikasinya dapat mencakup limfedema yang terjadi jika saluran limfe yang menjamin aliran balik limfe bersirkulasi umum tidak berfungsi dengan kuat, jika nodus aksilaris dan sistem limfe diangkat maka sistem kolater dan auksilaris harus mengambil alih mereka. Limfedema biasanya dapat dicegah dengan meninggikan setiap sendi lebih tinggi dari sendi yang lebih proksimal. Metastase dapat terjadi ke tulang belakang, mungkin terjadi kompresi medula spinalis. Metastase otak terjadi kira-kira 30% pada pasien dengan penyakit metastatik, ini dapat mengganggu baik secara fisik ataupun secara psikologi bagi penderita. h. Prognosis kanker payudara Beberapa gambaran kanker payudara dapat menunjang prognosisnya. Diagnosis hampir 45% dari pasien membuktikan adanya penyebaran regional atau metastasis. Rute yang paling sering dari penyebaran regional adalah ke nodus limfe aksilaris. Kelangsungan hidup bergantung pada penyebaran regional dari penyakit. Misalnya angka bertahan 5 tahun secara keseluruhan lebih dari 90% jika tumor tetap terdapat dalam payudara, bila kanker menyebar sampai pada nodus regional, angka bertahan 5 tahun secara keseluruhan turun menjadi < 60%. Metastasis jauh dapat mengenai sembarang organ, tetapi tempat yang paling umum adalah tulang (70%), paru-paru (69%), hepar (65%), pleura (51%), adrenal (49%), kulit (30%), dan otak (20%). Nodus limfe yang terkena, bukti-bukti metastasis, tipe histologis, dan pengukuran lainnya membantu dalam menentukan prognosis (Smeltzer & Bare, 2002). 2. Dampak Psikologis Pasien Kanker Payudara a. Definisi dampak psikologis Dampak psikologis adalah suatu bentuk perilaku positif maupun negatif yang muncul dalam bentuk covert behavior (suatu bentuk reaksi berupa perilaku yang tidak dapat dilihat oleh orang lain dan hanya muncul di dalam diri penderita) dan overt behavior (bentuk perilaku yang dapat muncul dalam tindakan yang nyata) sebagai hasil dari adanya stimulus dan respon yang bekerja pada diri seseorang (Wijayanti, 2007). b. Macam-macam dampak psikologis pasien kanker payudara Wijayanti (2007) menyebutkan beberapa dampak psikologis pasien kanker payudara diantaranya sebagai berikut: 1). Ketidakberdayaan Ketidakberdayaan adalah kondisi psikologis yang disebabkan oleh gangguan motivasi, proses kognisi, dan emosi sebagai hasil pengalaman di luar kontrol organisme. Ketidakberdayaan pada penderita kanker payudara bisa terjadi karena proses kognitif pada penderita yang berupa pikiran bahwa usahanya selama ini untuk memperpanjang hidupnya atau mendapatkan kesembuhan, ternyata menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan (perasaan mual, rambut rontok, diare kronis, kulit menghitam, pusing, dan kehilangan energi). Efek samping yang tidak diinginkan ini dapat muncul berupa proses emosi dimana penderita tersebut merasa bahwa mereka hanya dijadikan sebagai objek uji coba dokter. Proses kognisi dan emosi inilah seorang penderita melakukan suatu reaksi penolakan sebagai gangguan dalam hal motivasi. Munculnya ketidakberdayaan ini mampu menimbulkan suatu bentuk tingkah laku yang dapat dilihat oleh semua orang (overt behavior). Bentuk tingkah laku ini bisa seperti marah dan seolah mencoba mengontrol lingkungan untuk menerima keberadaan mereka. Ketidakberdayaan dapat meyebabkan penderita kanker payudara mengalami dampak psikologis lain yaitu depresi (Wijayanti, 2007). 2). Kecemasan Kecemasan adalah keadaan psikologis yang disebabkan oleh adanya rasa khawatir yang terus-menerus ditimbulkan oleh adanya inner conflict. Dampak kecemasan yang muncul pada penderita kanker payudara adalah berupa rasa takut bahwa usianya akan singkat (berkaitan dengan inner conflict). Inner conflict berupa kegiatan untuk menjalani pengobatan agar bisa sembuh tetapi tidak mau menerima adanya risiko bagi penampilannya. Risiko disini dapat berupa rambut rontok dan kulit menghitam akibat kemoterapi, atau hilangnya payudara akibat operasi pengangkatan. Kecemasan dapat digolongkan dalam bentuk covert behavior, karena merupakan keadaan yang ditimbulkan dari proses inner conflict. Kecemasan dapat pula muncul sebagai reaksi terhadap diagnosis penyakit parah yang dideritanya. Sebagai perempuan yang awalnya merasa dirinya sehat, tiba-tiba diberitahu bahwa dirinya mengidap penyakit yang tidak dapat disembuhkan, tentu saja muncul penolakan yang berupa ketidakpercayaan terhadap diagnosa. Penolakan yang penuh kecemasan ini terjadi karena mungkin ia memiliki banyak rencana akan masa depan, ada harapan pada kemajuan kesehatannya, dan itu seolah terhempas. 3). Rasa malu Rasa malu merupakan suatu keadaan emosi yang kompleks karena mencakup perasaan diri yang negatif. Perasaan malu pada penderita kanker payudara muncul karena ada perasaan dimana ia memiliki mutu kesehatan yang rendah dan kerusakan dalam organ payudara. 4). Harga diri Sebagai penderita penyakit terminal seperti kanker payudara, disebutkan bahwa pada diri penderita mengalami perubahan dalam konsep diri. Harga diri merupakan bagian dari konsep diri, maka bila konsep diri menurun diartikan bahwa harga dirinya juga menurun. Terjadinya penurunan harga diri sejalan dengan memburuknya kondisi fisik, yaitu pasien tidak dapat merawat diri sendiri dan sulit menampilkan diri secara efektif. Ancaman paling berat pada psikologisnya adalah kehilangan harga diri. Penurunan dan kehilangan harga diri ini merupakan reaksi emosi yang muncul pada perasaan penderita kanker payudara. 5). Stres Stres yang muncul sebagai dampak pada penderita kanker payudara memfokuskan pada reaksi seseorang terhadap stressor. Stressor dalam hal ini adalah penyakit kanker payudara. Stres yang muncul ini merupakan bentuk manifestasi perilaku yang tidak muncul dalam perilaku yang nampak (covert behavior). Stres ini dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya adalah dukungan sosial. Dukungan sosial sangat berguna untuk menjaga kesehatan seseorang dalam keadaan stres. 6). Depresi Depresi adalah satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, kelelahan, rasa putus asa, dan tidak berdaya, serta gagasan bunuh diri. Salah satu akibat dari kecemasan yang berupa usianya akan singkat, menjadikan perasaan putus asa dalam diri penderita kanker payudara. Ketidakberdayaan yang menjadi dampak psikologis memicu timbulnya perasaan depresi. Penderita kanker payudara umumnya mengalami depresi dan hal ini tampak nyata terutama disebabkan karena rasa nyeri yang tidak teratasi dengan gejala sebagai berikut: a). Penurunan gairah hidup, perasaan menarik diri, ketidakkemampuan, dan gangguan harga diri. b). Somatis berupa berat badan menurun drastis dan insomnia. c). Rasa lelah dan tidak memiliki daya kekuatan. 7). Amarah dan marah Seseorang yang mengalami reaksi fisiologis, dapat muncul suatu ekspresi emosional tidak sengaja yang disebabkan oleh kejadian yang tidak menyenangkan dan disebut sebagai amarah. Semua suasana sensori ini dapat berpadu dalam pikiran orang dan membentuk suatu reaksi yang disebut marah. Reaksi amarah yang muncul ini tentu saja dapat terjadi pada penderita kanker payudara, karena suatu penyakit merupakan suatu hal yang tidak menyenangkan. Munculnya reaksi marah pada penderita kanker payudara dapat muncul karena perasaan bahwa banyak kegiatan hariannya yang diinterupsi oleh penyakit yang membuatnya tidak berdaya. Reaksi marah yang muncul bisa berupa reaksi motorik (overt behavior) seperti tangan mengepal, perubahan raut muka seperti alis mengkerut. 3. Harga Diri a. Definisi harga diri Branden (2004) berpendapat bahwa perilaku seseorang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh tingkat harga diri yang dimilikinya. Harga diri adalah keyakinan dalam diri, bahwa individu mampu memiliki kemampuan untuk berpikir dan menghadapi tantangan hidup serta keyakinan akan adanya hak untuk meraih kesuksesan, kebahagiaan, dan memperoleh kebutuhan atau keinginan. Potter & Perry (2005) mendefinisikan harga diri adalah penerimaan personal karena nilai dasar, meski lemah dan terbatas. Rahmawati (2010) menyatakan, harga diri sebagai suatu penilaian yang dilakukan oleh individu terhadap dirinya sendiri. Penilaian tersebut mencerminkan sikap penerimaan atau penolakan dan menunjukkan seberapa jauh individu percaya bahwa dirinya mampu, penting, berarti, berhasil, dan berharga. Harga diri diperoleh baik dari diri sendiri maupun orang lain yaitu dengan cara dicintai, dihormati, dan dihargai. Steinberg (2002) dalam Sudrajat (2012) mengungkapkan harga diri merupakan gambaran mengenai seberapa positif atau negatif individu menilai dirinya. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa harga diri adalah penilaian individu terhadap dirinya sendiri, sejauh mana individu menilai dirinya sebagai orang yang memiliki kemampuan, berarti, berharga, dan kompeten. b. Proses terbentuknya harga diri Proses terbentuknya harga diri diawali dengan penilaian individu terhadap dirinya sendiri yang merupakan hasil interpretasi subjektif individu terhadap umpan balik yang berarti dalam kehidupannya (teman sebaya atau orang tua) dan perbandingan dengan standar atau nilai kelompok atau budaya. Perlakuan dan penilaian orang tua pada masa-masa sebelumnya juga akan mempengaruhi harga diri individu pada masa akhir. Harga diri mengandung pengertian apa dan siapa diri saya segala sesuatu yang berhubungan dengan seseorang, selalu mendapat penilaian berdasarkan kriteria dan standar tertentu. Atribut-atribut yang melekat dalam diri individu akan mendapat feedback dari orang lain dalam proses interaksi yang merupakan proses dimana individu menguji performance, kapasitas, dan atribut-atribut dirinya yang memperlihatkan standar dan nilai diri yang terinternalisasi dari masyarakat, sehingga terbentuk gambaran diri (Sudrajat, 2012). c. Komponen-komponen harga diri Coopersmith (1967) dalam Sudrajat (2012) mengemukakan aspek-aspek yang terkandung dalam harga diri meliputi 4 komponen yaitu: 1). Power (Kekuasaan) Kekuasaan dalam arti kemampuan untuk bisa mengatur dan mengontrol tingkah laku diri sendiri dan orang lain. Kemampuan ini ditandai dengan adanya pengakuan dan rasa hormat yang diterima individu dari orang lain dan besarnya sumbangan dari pikiran atau pendapat. 2). Significance (Keberartian) Keberartian yaitu adanya kepedulian dan perhatian yang diterima individu dari orang lain, hal ini merupakan penghargaan, menarik minat dari orang lain, penerimaan dan popularitasnya. Keadaan tersebut ditandai dengan kehangatan, keikutsertaan, perhatian, kesukaan orang lain terhadapnya. 3). Virtue (Kebajikan) Kebajikan yaitu kemampuan mentaati standar moral dan etika, ditandai dengan ketaatan untuk menjauhi tingkah laku yang harus dihindari dan melakukan tingkah laku yang diperbolehkan atau diharuskan oleh moral, etika, dan agama. 4). Competence (Kemampuan) Kemampuan dalam arti sukses menuruti tuntutan prestasi ditandai dengan keberhasilan individu dalam mengerjakan bermacam-macam tugas dengan baik dari level yang tinggi dan usia yang berbeda. d. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri Kozier., Erb., Berman., & Snyder (2010) menyebutkan ada empat elemen yang berhubungan dengan harga diri, yaitu: 1). Orang-orang yang berarti Seseorang yang berarti adalah seorang individu atau kelompok yang memiliki peran penting dalam perkembangan harga diri selama tahap kehidupan tertentu. Termasuk orang-orang yang berarti adalah orang tua, saudara kandung, teman sebaya, dan sebagainya. 2). Harapan akan peran sosial Individu sangat dipengaruhi oleh harapan masyarakat umum yang berkenaan dengan peran spesifiknya. Masyarakat memiliki peran yang berbeda dan hal ini tampak dalam derajat yang berbeda mengenai keharusan dalam memenuhi peran sosial. 3). Krisis setiap perkembangan psikososial Individu akan memiliki krisis disetiap tahap perkembangannya. Individu yang gagal dalam menyelesaikan krisis tersebut dapat menyebabkan masalah dalam diri, konsep diri, dan harga dirinya. 4). Gaya penanggulangan masalah Strategi yang dipilih individu untuk menanggulangi situasi yang mengakibatkan stres merupakan hal yang penting dalam menentukan keberhasilan individu untuk beradaptasi dan menentukan apakah harga diri dipertahankan, meningkat, atau menurun. Wijayanti (2007) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan harga diri penderita kanker payudara yaitu: 1). Faktor internal seperti gejala kanker payudara, memburuknya kondisi fisik (tidak dapat merawat diri sendiri, sulit menampilkan diri secara efektif, perasaan tidak normal yang muncul akibat kemoterapi, rasa nyeri dengan intensitas tinggi, perasaan pesimis saat mengalami penurunan berat badan), pengobatan yang belum maksimal, dan karakter yang ada pada diri penderita. 2). Faktor eksternal seperti diagnosa dokter, operasi, kemoterapi, dan dukungan sosial. e. Tingkatan harga diri Umumnya harga diri hanya digolongkan menjadi harga diri tinggi dan rendah. Coopersmith dalam Yanuar (2004), membagi harga diri ke dalam tiga tingkatan yaitu: 1). Harga diri tinggi Individu yang memiliki harga diri tinggi menunjukkan kemampuan dalam menghadapi tugas dan orang lain dengan penuh pengharapan akan sukses dan diterima, memiliki pandangan yang lebih realistis, positif terhadap lingkungan sekitarnya, dan dirinya sendiri, sehingga membuat dirinya dapat mengembangkan sikap percaya diri dan menerima diri apa adanya dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya. Suliswati (2005) mengatakan, individu yang memiliki harga diri tinggi akan memiliki kontrol emosi yang lebih baik karena mereka merasakan penerimaan yang cukup atas dirinya, akan memandang dirinya sebagai seseorang yang berarti dan bermanfaat. 2). Harga diri sedang Individu yang memiliki harga diri sedang atau menengah digambarkan sebagai orang yang memiliki kepercayaan diri yang agak lemah, ditandai dengan adanya ketergantungan pada pendapat orang lain dalam melakukan evaluasi terhadap dirinya. Individu juga memiliki aspirasi yang lebih rendah daripada mereka yang memiliki harga diri tinggi. 3). Harga diri rendah Individu yang memiliki harga diri rendah digambarkan sebagai orang yang tidak percaya pada dunia, disamping tidak adanya kepercayaan dan penghargaan terhadap dirinya sendiri. Individu ini akan mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan orang lain, karena tidak memiliki rasa percaya diri baik terhadap diri sendiri atau lingkungannya. Mereka cenderung akan bergantung pada orang lain, terutama dengan orang yang dianggapnya kuat. Suliswati (2005) menyebutkan beberapa perubahan perilaku yang berhubungan dengan harga diri rendah yaitu: mengkritik diri sendiri, merasa bersalah dan khawatir, merasa tidak mampu, menunda keputusan, gangguan berhubungan, menarik diri dari realita, perasaan negatif terhadap tubuh, ketegangan peran, pesimis menghadapi hidup, dan keluhan fisik. Harga diri rendah berkepanjangan akan berakibat buruk bagi penderita yaitu mengisolasi diri dari lingkungan dan akan menghindar dari orang-orang yang ada di sekitarnya. Menaikkan harga diri prinsipnya tidak dapat dilakukan dengan cara menuntut orang lain untuk menghargai kita. Menaikkan harga diri perlu dimulai dari diri sendiri terlebih dahulu. Kanker payudara membuat mental penderita menjadi merosot dan dapat terjadi gangguan pada daya pikir, konsentrasi, dan gangguan beraktivitas. Marah, putus asa, stres, minder, sedih, dan tidak berdaya seringkali menurunkan semangat hidup penderita kanker payudara, sehingga menimbulkan dampak emosional yang berbahaya (Chast & Burke, 2002). 4. Kecerdasan Spiritual a. Definisi kecerdasan spiritual Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan jiwa, yakni kecerdasan yang dapat membantu manusia menyembuhkan dan membangun diri manusia secara utuh (Agustian, 2009). Zohar & Marshall (2007) mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan masalah makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa jalan hidup seseorang lebih bermakna. Kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya, memiliki pola pemikiran yang tauhid, dan berprinsip hanya pada Tuhan. ESQ (Emotional Spiritual Quotient) menjelaskan kecerdasan spiritual merupakan kemampuan untuk memberi makna spiritual terhadap pemikiran, perilaku, dan kegiatan, serta mampu menyinergikan IQ (Intelligent Quotient), EQ (Emotional Quotient), dan SQ (Spiritual Quotient) secara komprehensif. Kecerdasan spiritual sebagai landasan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif, oleh karena itu kecerdasan spiritual adalah kecerdasan manusia yang paling tinggi. Secara langsung atau tidak langsung, kecerdasan spiritual berhubungan dengan kemampuan manusia mentransendensikan diri. Transendensi merupakan kualitas tertinggi dalam kehidupan spiritual (Agustian, 2009). Kecerdasan spiritual menyangkut fungsi jiwa sebagai perangkat internal diri yang memiliki kemampuan dan kepekaan dalam melihat makna yang ada dibalik kenyataan apa adanya. Orang yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi mampu memaknai penderitaan hidup dengan memberi makna yang positif pada setiap peristiwa atau masalah yang menimpa dirinya, ia mampu membangkitkan jiwanya, dan melakukan perbuatan atau tindakan yang positif. Orang yang cerdas secara spiritual mampu memecahkan persoalan hidup tidak hanya secara emosional atau rasional, tapi ia mampu menghubungkannya dengan makna kehidupan secara spiritual (Syaifuddin, 2010). Berdasarkan uraian definisi di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa kecerdasan spiritual adalah kemampuan seseorang memberi makna yang positif pada setiap tindakan dalam kehidupannya. b. Konsep dalam kecerdasan spiritual Kecerdasan spiritual memiliki peran yang jauh lebih penting daripada kecerdasan intelektual (IQ). Kecerdasan otak sebagai syarat minimal untuk meraih keberhasilan dan prestasi. Terbukti banyak orang yang mempunyai kecerdasan intelektual tinggi terpuruk di tengah persaingan, sebaliknya banyak yang memiliki kecerdasan intelektual biasa-biasa saja justru sukses menjadi pemimpin dan pengusaha (Agustian, 2009). Agustian (2009) menyatakan bahwa manusia adalah makhluk dua dimensi yang membutuhkan penyelarasan kebutuhan akan kepentingan dunia dan akhirat, sehingga manusia harus memiliki kepekaan emosi dan intelegensi yang baik, dan yang paling penting adalah kecerdasan spiritual. Perangkat spiritual engineering dalam hal pengembangan karakter dan kepribadian berdasarkan nilai-nilai rukun iman, rukun islam, dan ihsan. Agustian (2009) juga mengatakan, untuk menjawab problematika pelik dalam pembangunan emosi dan kecerdasan spiritual agar dapat menemukan kebenaran hakiki yang bersifat universal dan abadi meliputi empat tahapan: 1). Proses penjernihan pikiran (zero mind process), lahirnya alam bawah sadar yang jernih dan suci yaitu kembali pada hati yang bebas merdeka serta bebas dari belenggu, tahap ini merupakan titik tolak dari kecerdasan spiritual, dan dari sinilah kecerdasan spiritual mulai terbangun. 2). Membangun mental (mental building), dijelaskan tentang kesadaran diri yaitu tentang arti penting dimensi mental. Kecerdasan emosi dibangun secara sistematis berdasarkan enam rukun iman. 3). Ketangguhan pribadi (personal strength) adalah sebuah langkah pengasahan hati yang dilakukan secara berurutan dan sistematis berdasarkan lima rukun Islam. 4). Ketangguhan sosial diuraikan tentang pembentukan dan pelatihan untuk mengeluarkan potensi spiritual menjadi langkah nyata sebagai perwujudan tanggungjawab sosial individu. c. Ciri-ciri kecerdasan spiritual Lima karakteristik orang yang cerdas secara spiritual menurut Roberts A. Emmons dalam Hisbullah (2007): a). Kemampuan untuk mentransendensikan fisik dan material. b). Kemampuan untuk mengalami tingkat kesadaran yang memuncak. c). Kemampuan untuk mensakralkan pengalaman sehari-hari. d). Kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber spiritual untuk menyelesaikan masalah. e). Kemampuan untuk berbuat baik. Dua karakteristik yang pertama sering disebut sebagai komponen inti kecerdasan spiritual. Seseorang yang merasakan kehadiran Tuhan atau makhluk ruhaniyah di sekitarnya mengalami transendensi fisikal dan material. Ia memasuki dunia spiritual, mencapai kesadaran kosmis yang menggabungkannya dengan seluruh alam semesta, merasa bahwa alamnya tidak terbatas pada apa yang disaksikan dengan alat-alat inderanya. Ciri yang ketiga yaitu sanktifikasi pengalaman sehari-hari akan terjadi ketika kita meletakkan pekerjaan biasa dalam tujuan yang agung. Misalnya, seorang wartawan bertemu dengan dua orang pekerja yang sedang mengangkut batu bata. Salah seorang di antara mereka bekerja dengan muka cemberut, masam, dan tampak kelelahan. Kawannya justru bekerja dengan ceria, gembira, penuh semangat. Ia tampak tidak kecapaian. Kepada keduanya ditanyakan pertanyaan yang sama, Apa yang sedang Anda kerjakan? Pekerja yang cemberut menjawab, Saya sedang menumpuk batu. Pekerja yang ceria berkata, Saya sedang membangun katedral! Pekerja kedua telah mengangkat pekerjaan menumpuk bata pada dataran makna yang lebih luhur. Ia telah melakukan sanktifikasi. Orang yang cerdas secara spiritual tidak memecahkan persoalan hidup hanya secara rasional atau emosional saja. Ia menghubungkannya dengan makna kehidupan secara spiritual yaitu melakukan hubungan dengan pengatur kehidupan. Contohnya: seorang pasien yang menderita kanker payudara merasa yakin bahwa jika bersungguh-sungguh dalam menjalani pengobatan dan minta pertolongan kepada Tuhan, ia akan diberi jalan. Sesuai dengan firman Tuhan, Orang-orang yang bersungguh-sungguh dijalan Kami, Kami akan berikan kepadanya jalan-jalan Kami? Orang tersebut memiliki karakteristik yang keempat. Orang yang memiliki karakteristik kelima memperlihatkan sikap memiliki rasa kasih yang tinggi pada sesama makhluk Tuhan, memberi maaf, bersyukur, bersikap rendah hati, menunjukkan kasih sayang, dan kearifan. Karakteristik terakhir ini disimpulkan oleh Nabi Muhammad SAW, Amal paling utama ialah engkau masukkan rasa bahagia pada sesama manusia. Orang yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi cenderung menjadi seorang pemimpin yang penuh pengabdian yaitu orang yang bertanggung jawab untuk membawakan visi dan nilai yang lebih tinggi terhadap orang lain, ia dapat memberikan inspirasi terhadap orang lain (Zohar & Marshall, 2007). Setiap pribadi yang menjadi mandiri, proaktif, berpusat pada prinsip yang benar, digerakkan oleh nilai dan mampu mengaplikasikan dengan integritas, maka ia pun dapat membangun hubungan yang langgeng dan sangat produktif dengan orang lain (Covey, 2005). d. Kriteria seseorang yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi Beberapa kriteria pada orang yang mempunyai kecerdasan spritual tinggi meliputi: 1). Memiliki prinsip dan visi yang kuat Prinsip adalah kebenaran yang dalam dan mendasar, ia sebagai pedoman berperilaku yang mempunyai nilai yang langgeng dan produktif. Prinsip manusia secara jelas tidak akan berubah, yang berubah adalah cara kita mengerti dan melihat prinsip tersebut. Semakin banyak kita tahu mengenai prinsip yang benar, semakin besar kebebasan pribadi kita untuk bertindak dengan bijaksana (Buzan, 2003). 2). Kesatuan dan keragaman Buzan (2003) mengatakan bahwa kecerdasan spiritual meliputi melihat gambaran yang menyeluruh, ia termotivasi oleh nilai pribadi yang mencakup usaha menjangkau sesuatu selain kepentingan pribadi demi kepentingan masyarakat. 3). Memaknai Makna bersifat substansial, berdimensi spiritual. Makna adalah penentu identitas sesuatu yang paling signifikan. Orang yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi akan mampu memaknai atau menemukan makna terdalam dari segala sisi kehidupan, baik karunia Tuhan yang berupa kenikmatan atau ujian dari-Nya, ia juga merupakan manifestasi kasih sayang dari-Nya. Ia menganggap ujian dari-Nya sebagai wahana pendewasaan spiritual manusia (Covey, 2005). 4). Kesulitan dan penderitaan Pelajaran yang paling berarti dalam kehidupan manusia adalah pada waktu ia sadar bahwa itu adalah bagian penting dari substansi yang akan mengisi dan mendewasakan sehingga ia menjadi lebih matang, kuat, dan lebih siap menjalani kehidupan yang penuh rintangan dan penderitaan. Pelajaran tersebut akan meneguhkan pribadinya setelah ia dapat menjalani dan berhasil untuk mendapatkan apa maksud terdalam dari pelajaran tadi. Kesulitan akan mengasah, menumbuh-kembangkan, hingga pada proses pematangan dimensi spiritual manusia. Kecerdasan spiritual mampu mentransformasikan kesulitan menjadi suatu medan penyempurnaan dan pendidikan spiritual yang bermakna. Kecerdasan spiritual yang tinggi mampu memajukan seseorang karena pelajaran dari kesulitan dan kepekaan terhadap hati nuraninya (Buzan, 2003). Zohar dan Marshall (2007) menyebutkan ada dua belas ciri khas seseorang yang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi, diantaranya sebagai berikut: 1). Kesadaran diri, yakni mengetahui apa yang diyakini dan kesadaran akan tujuan hidup yang paling dalam. 2). Spontanitas, yakni menghayati dan merespon momen dan semua yang dikandungnya. 3). Terbimbing oleh visi dan nilai, yakni bertindak berdasarkan prinsip dan keyakinan yang dalam, dan hidup sesuai dengannya. 4). Kepedulian, yakni sifat ikut merasakan dan empati yang dalam. 5). Merayakan keragaman, yakni menghargai perbedaan orang lain, dan situasi-situasi yang tidak asing, serta tidak mencercanya. 6). Independensi terhadap lingkungan, yakni kesanggupan untuk berbeda dan mempertahankan keyakinan. 7). Kecenderungan untuk mengajukan pertanyaan fundamental mengapa sebagai dasar untuk mengkritisi apa yang ada. 8). Kemampuan untuk membingkai ulang, yakni berpijak pada problem yang ada untuk mencari gambaran yang lebih luas. 9). Memanfaatkan kemalangan secara positif, yakni kemampuan untuk menghadapi masalah kehidupan dan belajar dari kesalahan. 10). Rendah hati, yakni dasar bagi kritik diri. 11). Rasa keterpanggilan, yakni terpanggil untuk melayani sesuatu yang lebih besar, berterima kasih kepada mereka yang telah menolong, dan berharap bisa membalas sesuatu untuknya. 12). Holisme atau konektivitas, yakni kesanggupan untuk melihat pola, hubungan, dan keterkaitan yang lebih luas, kesadaran akan keterlibatan yang kuat. Kriteria manusia yang memiliki kualitas kecerdasan spiritual tinggi dijelaskan oleh Hawari (2004) sebagai berikut: 1). Beriman kepada Allah dan bertaqwa kepada Allah Sang Pencipta dan beriman terhadap malaikat-Nya, kitab-kitab Allah, Rasul-rasul-Nya, hari Akhir, serta Qadha dan Qadar. Membuatnya selalu bersandar kepada ajaran Allah dan merasa bahwa dirinya selalu diawasi, dicatat perbuatannya, akhirnya ia selalu menjaga perbuatan dan hatinya. Ia juga berusaha agar selalu berbuat kebajikan. 2). Selalu memegang amanah dan konsisten. Tugas yang diembannya adalah tugas mulia dari Allah, ia juga berpegang pada amar maruf nahi munkar, sehingga ucapan dan tindakannya selalu menerminkan nilai-nilai luhur, moral dan etika agama. 3). Membuat keberadaan dirinya bermanfaat untuk orang lain, dan bukan sebaliknya. Ia bertanggung jawab dan mempunyai kepedulian sosial. 4). Mempunyai rasa kasih sayang antar sesama. 5). Bukan pendusta agama atau orang zalim. Mereka mau berkorban, berbagi, dan taat pada tuntunan agama. 6). Selalu menghargai waktu dan tidak menyia-nyiakannya dengan cara selalu beramal saleh dan berlomba-lomba untuk kebenaran serta kesabaran. Menurut Khavari dalam Hisbullah (2007) menyatakan, terdapat tiga bagian yang dapat kita lihat untuk menguji tingkat kecerdasan spritual seseorang: 1). Dari sudut pandang spiritual keagamaan (relasi vertikal, hubungan dengan yang Maha Kuasa) Sudut pandang ini akan melihat sejauh manakah tingkat relasi spritual kita dengan Sang Pencipta, hal ini dapat diukur dari segi komunikasi dan intensitas spritual individu dengan Tuhannya. Manifestasinya dapat terlihat pada frekuensi doa, kecintaan kepada Tuhan yang bersemayam dalam hati, dan rasa syukur kehadirat-Nya. Khavari lebih menekankan segi ini untuk melakukan pengukuran tingkat kecerdasan spritual, karena apabila keharmonisan hubungan dan relasi spritual keagamaan seseorang semakin tinggi maka semakin tinggi pula tingkat kualitas kecerdasan spiritualnya. 2). Dari sudut pandang relasi sosial keagamaan Sudut pandang ini melihat konsekuensi psikologis spritual keagamaan terhadap sikap sosial yang menekankan segi kebersamaan dan kesejahteraan sosial. Kecerdasan spiritual akan tercermin pada ikatan kekeluargaan antar sesama, peka terhadap kesejahteraan orang lain dan makhluk hidup lain, bersikap dermawan. Perilaku merupakan manifestasi dari keadaan jiwa, maka kecerdasan spritual yang ada dalam diri individu akan termanifestasi dalam perilakunya. Kecerdasan spiritual akan termanifestasi dalam sikap sosial. Kecerdasan ini tidak hanya berurusan dengan ke-Tuhanan atau masalah spiritual, namun akan mempengaruhi pada aspek yang lebih luas terutama hubungan antar manusia. 3). Dari sudut pandang etika sosial Sudut pandang ini dapat menggambarkan tingkat etika sosial sebagai manifestasi dari kualitas kecerdasan spiritual. Semakin tinggi tingkat kecerdasan spritualnya, semakin tinggi pula etika sosialnya. Tercermin dari ketaatan seseorang pada etika dan moral, jujur, dapat dipercaya, sopan, toleran, dan anti terhadap kekerasan. Seseorang yang memiliki kecerdasan spritual dapat menghayati arti dari pentingnya sopan santun, toleran, dan beradab dalam hidup, hal ini menjadi panggilan intrinsik dalam etika sosial, karena sepenuhnya kita sadar bahwa ada makna simbolik kehadiran Tuhan dalam kehidupan sehari-hari yang selalu mengawasi atau melihat kita di dalam diri kita maupun gerak-gerik kita, di mana pun dan kapan pun, apa lagi kaum beragama, inti dari agama adalah moral dan etika. e. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan spiritual Zohar & Marshall (2007) mengungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan spiritual yaitu: 1). Sel saraf otak Otak menjadi jembatan kehidupan antara kehidupan lahir dan batin manusia karena bersifat kompleks, fleksibel, adaptif, dan mampu mengorganisasikan diri. Otak merupakan basis dari kecerdasan spiritual. 2). Titik Tuhan (God Spot) Titik Tuhan ditemukan di bagian dalam otak, yaitu lobus temporal yang meningkat ketika pengalaman religius atau spiritual berlangsung. Zohar dan Marshall (2007) menyatakan bahwa bagian ini akan bercahaya ketika kita melakukan aktivitas yang bersifat spiritual, inilah yang disebut sebagai Spiritual Quotient. f. Manfaat kecerdasan spiritual Manfaat kecerdasan spiritual menurut Zohar dan Marshall (2007) adalah sebagai berikut: 1). Menjadikan seseorang lebih kreatif, mampu mengatasi masalah ekstensial dalam perjuangan hidup. 2). Menyatukan hal-hal yang bersifat intrapersonal dan interpersonal, serta menjembatani antara diri dan orang lain. 3). Menjadikan kita untuk menjadi manusia apa adanya sekarang dan memberi potensi untuk terus berkembang. 4). Menghadapi masalah ekstensial yaitu pada waktu kita secara pribadi merasa terpuruk dan terjebak oleh kekhawatiran dan masa lalu kita akibat masalah atau krisis. Kecerdasan spiritual membuat kita sadar bahwa kita mempunyai masalah ekstensial dan membuat kita mengatasinya atau paling tidak kita bisa berdamai dengan masalah tersebut. 5). Dapat digunakan pada masalah krisis yang sangat membuat kita seakan kehilangan keteraturan diri, sehingga suara hati kita akan menuntun ke jalan yang lebih benar. 6). Mempunyai kemampuan beragama yang benar, tanpa harus fanatik, dan menutup terhadap kehidupan yang sebenarnya sangat beragam. 7). Mampu menghadapi pilihan dan realitas yang pasti akan datang dan harus dihadapi apapun bentuknya. Kanker Payudara Faktor-faktor yg mempengaruhi penurunan harga diri pasien kanker payudara: .Faktor internal (memburuknya kondisi fisik, pengobatan yang belum maksimal, gejala kanker payudara, nyeri, karakter yang ada pada diri penderita). .Faktor eksternal (diagnosa dokter, operasi, kemoterapi, dan dukungan sosial). (Wijayanti, 2007). Kecerdasan spiritual Dampak Psikologis Kemoterapi .Rendah .Sedang .Tinggi Harga diri Perubahan perilaku yang berhubungan dengan harga diri rendah: .Rasa penolakan dari orang lain .Mengkritik diri sendiri .Merasa bersalah dan khawatir .Merasa tidak mampu .Menunda keputusan .Gangguan berhubungan .Menarik diri dari realita .Perasaan negatif terhadap tubuh (Suliswati, 2005). B. Kerangka Teori Gambar. 2.1 Kerangka Teori Penelitian Variabel bebas Kecerdasan spiritual Variabel terikat Harga diri Variabel pengganggu: -Memburuknya kondisi fisik -Diagnosa dokter -Operasi -Kemoterapi -Dukungan keluarga C. Kerangka Konsep Kerangka konsep merupakan fokus penelitian yang akan diteliti. Kerangka konsep ini terdiri dari variabel bebas (independent) dan variabel terikat (dependent). Berdasarkan kerangka teori yang telah digambarkan, maka kerangka konsep penelitian sebagai berikut. Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian Keterangan: = variabel yang diteliti = variabel yang tidak diteliti D. Hipotesis Berdasarkan rumusan masalah, maka dapat ditetapkan hipotesis kerja penelitian ini adalah: ada hubungan yang bermakna antara kecerdasan spiritual dengan harga diri pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan desain penelitian analitik korelasi dengan pendekatan cross sectional. Metode analitik korelasi pada penelitian ini digunakan untuk mengukur hubungan kecerdasan spiritual dengan harga diri pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi. B. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 15 hari yaitu pada tanggal 8 Juli 2013 sampai dengan 22 Juli 2013 di ruang Bougenvil RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto dijadikan tempat penelitian dengan alasan bahwa terdapat banyak pasien kanker payudara. C. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah jumlah seluruh pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi di ruang Bougenvil RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto dalam jangka waktu per bulan, didapat jumlah pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi pada tahun 2013 (Januari sampai dengan Mei) sebanyak 826 orang. Rata-rata jumlah pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi dalam waktu per bulan adalah 148 orang. 2. Sampel Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik consecutive sampling, yaitu sampel diambil dari semua subjek yang datang dan memenuhi kriteria pemilihan sampai jumlah subjek terpenuhi. Teknik ini merupakan jenis non probability yang paling baik dan mudah dilakukan (Saryono, 2011). Kriteria inklusi penelitian ini adalah: a). Pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi b). Usia 20-70 tahun c). Stadium II, III, dan IV d). Tingkat kesadaran penuh e). Kondisi fisik pasien dalam keadaan stabil f). Pasien rawat jalan dan rawat inap g). Kooperatif dan bersedia untuk menjadi responden Besar sampel minimal dalam penelitian ini dihitung berdasarkan jumlah populasi perbulan yang diketahui. Penentuan besar sampel menggunakan rumus yang dikembangkan dari Isaac & Michael (Arikunto, 2010) dengan rumus: s = .2 . N . P . Q d2 (N-1) + .2 . P . Q Keterangan: .2 = harga tabel chi-kuadrat untuk a tertentu = 1 P = Q = proporsi dalam populasi = 0,5 d = ketelitian (error) = 5% = 0,05 s = jumlah sampel N= jumlah populasi Berdasarkan rumus maka diketahui jumlah sampelnya adalah sebagai berikut: s = 12 . 148 . 0,5 . 0,5 0,052 (148-1) + 12 . 0,5 . 0,5 = 59,91 Berdasarkan rumus tersebut, maka diperoleh sampel minimal sebesar 59,91 responden, dengan pembulatan ke atas maka diperoleh sampel sebesar 60 responden. Peneliti menggunakan standar eror 5% karena sifat penelitian bersifat sosial dan tidak membahayakan responden dalam penelitian ini. D. Variabel Penelitian Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel bebas (independent) dan variabel terikat (dependent) antara lain: 1. Variabel bebas dalam penelitian ini yaitu kecerdasan spiritual pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi. 2. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah harga diri pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi. E. Definisi Operasional Variabel Definisi operasional dari penelitian ini sebagai berikut: Tabel 3.1 Definisi operasional No. Variabel Definisi operasional Cara ukur Hasil ukur Skala data 1. Kecerdasan spiritual Kemampuan seseorang memberi makna yang positif pada setiap tindakan dalam kehidupannya. Kuesioner diukur dengan skala Likert, terdiri dari 50 pernyataan. Rendah: 50-100 Sedang: 101-150 Tinggi: 151-200 Ordinal 2. Harga diri Penilaian yang dilakukan oleh individu terhadap dirinya sendiri, diekspresikan dengan sikap penerimaan atau penolakan yang menunjukkan sejauh mana individu percaya bahwa dirinya mampu, penting, berarti, berharga, dan kompeten. Kuesioner diukur dengan skala Likert, terdiri dari 23 pernyataan. Rendah: 23-46 Sedang: 47-69 Tinggi: 70-92 Ordinal F. Instrumen Penelitian Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini berupa lembar kuesioner. Skala yang digunakan dalam instrumen penelitian ini adalah skala Likert. Jumlah alternatif respon yang digunakan dalam skala Likert 4 jenis, untuk kuesioner I dan II menggunakan alternatif respon SS (Sangat Setuju), S (Setuju), TS (Tidak Setuju), STS (Sangat Tidak Setuju). Responden memberikan tanda check list (v) pada kolom pilihan jawaban yang telah disediakan dalam kuesioner. Kedua kuesioner ini memiliki dua jenis pernyataan yaitu favorabel dan unfavorabel. Bobot nilai yang diberikan untuk item favorabel yaitu ST (Sangat Setuju) = 4, S (Setuju) = 3, TS (Tidak Setuju) = 2, STS (Sangat Tidak Setuju) = 1. Sedangkan bobot nilai untu