kp no 13 tahun 2012

19
Kertas Posisi 13 Cengkeh, HPH dan Ekspansi Tambang Dalam Politik Lokal Studi Kasus Dondo Kabupaten Toli-toli Sulawesi Tengah | Andika | Yayasan Tanah Merdeka Jl. Tanjung Manimbaya III No III B Palu Sulawesi Tengah Telp/Fax: 0451-425892 E-mail: [email protected] Web: www.ytm.or.id JATAM Sulteng Jl. Yojokodi lorong canggih No 4 B kota Palu - Sulawesi Tengah Email: [email protected], Web: www.jatamsulteng.or.id Kertas Posisi ini Diterbitkan Hasil Kerjasama YTM 2012

Upload: ytm-palu

Post on 12-Mar-2016

287 views

Category:

Documents


11 download

DESCRIPTION

Rakyat Bergelimang Derita: Kala Obor-Obor JOB Memercik “Api Cemburu”

TRANSCRIPT

Page 1: KP No 13 Tahun 2012

Kertas Posisi 13

Cengkeh, HPH dan Ekspansi Tambang Dalam Politik Lokal Studi Kasus Dondo Kabupaten Toli-toli Sulawesi Tengah

| Andika |

Yayasan Tanah Merdeka

Jl. Tanjung Manimbaya III No III B Palu Sulawesi Tengah Telp/Fax: 0451-425892 E-mail: [email protected] Web: www.ytm.or.id

JATAM Sulteng

Jl. Yojokodi lorong canggih No 4 B kota Palu - Sulawesi Tengah

Email: [email protected], Web: www.jatamsulteng.or.id

Kertas Posisi ini Diterbitkan Hasil Kerjasama

YTM 2012

Page 2: KP No 13 Tahun 2012

Kertas Posisi No 13 Tahun 2012 | 1

Cengkeh, HPH

Dan Ekspansi Tam

bang Dalam

Politik Lokal | Studi Kasus Dondo Kabupaten Toli-toli Sulaw

esi Tengah

Kertas Posisi 13

Cengkeh, HPH dan Ekspansi Tambang Dalam Politik Lokal Studi Kasus Dondo Kabupaten Toli-toli Sulawesi Tengah

Andika

Kertas Posisi Diterbitkan Hasil Kerjasama:

Yayasan Tanah Merdeka Dan Jaringan Advokasi Tambang Sulteng

2012

Page 3: KP No 13 Tahun 2012

2 | Kertas Posisi No 13 Tahun 2012

Ceng

keh,

HPH

Dan

Eks

pans

i Tam

bang

Dal

am P

oliti

k Lo

kal |

Stu

di K

asus

Don

do K

abup

aten

Tol

i-tol

i Sul

awes

i Ten

gah

Kertas Posisi No 13 Tahun 2012 | 3

Cengkeh, HPH

Dan Ekspansi Tam

bang Dalam

Politik Lokal | Studi Kasus Dondo Kabupaten Toli-toli Sulaw

esi Tengah

Cengkeh, HPH dan Ekspansi Tambang Dalam Politik Lokal1

Studi Kasus Dondo Kabupaten Toli-toli Sulawesi Tengah

Andika2

Pengantar

Tulisan berikut menyajikan deskripsi berlatar etnografi yang dikembangkan dari rangkuman kasus dan pengalaman advokasi langsung, wawancara lapangan, laporan investigasi, dan sumber-sumber sekunder lainnya. Kajian ini masih terbilang awal, hendak melihat kebijakan ekonomi politik pembangunan pedesaan yang terjadi di Kecamatan Dondo Kabupaten Tolitoli dari waktu ke waktu serta dampaknya terhadap lingkungan dan ruang produksi petani.

Secara umum, ada dua hal yang penting dari tulisan ini; Pertama, membaca kembali dinamika dan asal usul masyarakat yang bermukim di daerah itu baik ditinjau secara historis maupun terhadap perkembangan-perkembangan yang sedang berlangsung dilapangan, sebagai sebuah pemetaan terhadap karakter masyarakat petani pedesaan di Tolitoli;

Kedua, bagaimana proses kapitalisme terbentuk atau mempengaruhi kehidupan masyarakat Dondo Kabupaten Tolitoli dari waktu ke waktu, berdasarkan jenis dan karakter kapital yang berpenetrasi ke wilayah itu. Serta dampak nyata yang ditimbulkan terhadap warga yang bermukim di wilayah itu.

Penulis menyadari, apa yang tersaji di depan anda ini memiliki banyak kelemahan baik dari sisi

teori maupun data-data yang diperlukan. Tulisan ini adalah sebuah upaya melihat dinamika masyarakat Tolitoli yang masih bersifat umum, akhir kata segala kekurangan dalam tulisan ini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Palu, 29 Desember 2012

Andika

1 Studi masyarakat Dondo Kabupaten Toli-Toli Sulawesi Tengah2 Manager Riset dan Kampanye Jatam Sulteng, 2012.

Latar Belakang

Inisiatif pemerintah untuk memperbaiki ke-adaan rakyat selalu bersandar pada sudut pandang tertentu. Pemerintah punya cara tersendiri untuk menjelaskan bagaimana dinamika yang terjadi di daerah pedesaan. Acapkali, pandangan itu beru-jung pada kebijakan yang bersifat menggeneral-isasi keadaaan masyarakat yang bersifat partikular, entah ditinjau dari segi geografis maupun latar bu-daya masing-masing.

Tetapi, sifat umum dari kebijakan terha-dap masyarakat petani pedesaan (rural peasants) cenderung (bahkan) akomodatif terhadap proyek-proyek Kapitalisme yang terbungkus oleh logika pembangunan. Tahap demi tahap inisiatif merubah cara hidup masyarakat pedesaan seringkali diawali dengan membongkar wilayah-wilayah yang diang-gap pusat kehidupan (hutan) oleh masyarakat se-tempat, melalui investasi industri ekstraktif.

Dalam periode 1970an, di bawah pemer-intah orde baru Soeharto, pembangunan berskala besar yang bertujuan mendorong transformasi ma-syarakat dalam kerangka teori modernisasi (Kapi-talistik), masyarakat agraris-tradisional menuju ta-hap moderen-industrial, mulai ditancapkan.

Dawam M. Rahardjo (2012:57), melihat kebijakan itu dirumuskan dalam tiga strategi besar

pembangunan; Pertama, pemerintah sebagai agen pembangunan, sebuah rezim yang dibangun dari koalisi militer– teknokrat lewat dukungan nega-ra-negara barat (imperialisme); Kedua, penera-pan strategi pertumbuhan ekonomi dua kaki; pem-bangunan pertanian pedesaan berbasis swasemba-da pangan dan industrialisasi; bahan makanan dan ekstraktif; Ketiga, keterlibatan Indonesia dalam ekonomi dunia dengan membuka kran partisipasi penanaman modal asing serta menjadi medan pas-ar perdagangan internasional.

Akibatnya, posisi rentan dialami oleh ma-syarakat adat dan petani pedesaan yang telah tu-run temurun tinggal dan menggantungkan hid-up pada fasilitas yang tersedia oleh alam. Indus-trialisasi ekstraktif, hutan maupun pertambangan telah mencerabut mereka dari akar kehidupannya. Kedaulatan mereka hilang setelah hutan diobrak-abrik dan munculnya tata nilai baru” yang cirinya lebih banyak ditentukan oleh pasar dan uang (Gu-nawan, 1998).

Melihat problem semacam itu, penting kembali pada apa yang dikemukakan oleh Karl Marx mengenai” primitive accumulation”. Dima-na, dalam proses pembentukan kapital terjadi dua sisi proses yang berlangsung secara beriringan: perampasan tanah rakyat petani dan menciptakan tenaga kerja pengangguran ( labour reserve army) (Rahman, 2012).

Page 4: KP No 13 Tahun 2012

4 | Kertas Posisi No 13 Tahun 2012

Ceng

keh,

HPH

Dan

Eks

pans

i Tam

bang

Dal

am P

oliti

k Lo

kal |

Stu

di K

asus

Don

do K

abup

aten

Tol

i-tol

i Sul

awes

i Ten

gah

Kertas Posisi No 13 Tahun 2012 | 5

Cengkeh, HPH

Dan Ekspansi Tam

bang Dalam

Politik Lokal | Studi Kasus Dondo Kabupaten Toli-toli Sulaw

esi Tengah

Beberapa bentuk perubahan yang terjadi pada masyarakat adat dan petani independen aki-bat intervensi melalui kapitalisasi tanah dan sek-tor kehutanan diantaranya, (1) terjadi pembukaan isolasi perkampungan masyarakat adat melalui pembangunan jalan koridor. Hal itu disertai den-gan praktek perampasan tanah baik yang dilaku-kan secara ‘halus’ maupun disertai kekerasan; (2) masuknya aneka kegiatan ekonomi baru diatas sistem semi -subsisten yang membuat masyarakat adat tergantung pada produk industri dari luar (Gu-nawan, 1998).

Problem selanjutnya terjadi pasca orde baru (reformasi) yang muncul seiring dengan prak-tek desentralisasi adalah munculnya klan poli-tik tingkat lokal. Wacana direproduksi sedemiki-an rupa, melalui kuasa-kuasa lokal yang diban-gun atas semangat revitalisasi “raja” (feodalis-tik). Dibalik itu, tangan-tangan tidak kentara men-gambil manfaat sebagai pedagang perantara yang memonopoli rantai kegiatan vital ekonomi rakyat.

Akibatnya, ada ke-lompok masyarakat yang ter-marjinalkan karena dorongan manifestasi ekonomi mau-pun terbuang jauh oleh stig-matisasi dan kekuasaan wa-cana itu sendiri. Dominasi “kata” dan bahasa menjadi media paling penting melihat bagaimana kekuasaan terban-gun dalam relasi sosial yang lata pembangunan. Pandan-gan atas kehidupan komuni-tas lain dirajut berbasis stig-ma (merendahkan, prasang-ka). Seperti pepatah, ‘gajah berkelahi pelanduk mati di tengah”, seringkali, arus poli-tik tingkat atas telah mem-benamkan masalah-masalah krusial yang muncul diten-gah-tengah rakyat. Suara-su-ara marginalisasi senyap oleh hiruk-pikuk kompetisi poli-tik elit lokal, bahkan bisa jadi mengeksploitasi peminggiran kelompok masyara-kat tertentu sebagai komoditas politik.

Pengaruh dan kekuasaan disusun diatas kata dan kalimat “ moderen dan primitif”. Momok

ini menjadi cover yang menyelimuti akses dan pel-uang untuk setara, mengaburkan penghisapan yang merajai petani cengkeh dalam beberapa tahun be-lakangan. Hal itulah yang sedang melanda Dondo, salah satu Kecamatan di Kabupaten Tolitoli. Kom-posisi masyarakat yang kompleks berhadap den-gan ekspansi Kapitals (modal) besar-besaran me-lalui investasi industri ekstraktif.

Tolitoli

Orang Tolitoli memiliki bahasa yang dise-but “totoli’ oleh beberapa antropolog. Bahasa ini masih dipergunakan oleh sekitar 5000 orang, na-mun terancam punah oleh dominasi bahasa dari luar, terutama bahasa bugis. Banyak orang juga beranggapan bahwa totoli bagian dari anggota ba-hasa Tomini-Tolitoli, meskipun masih belum jelas apakah bahasa sebenarnya membentuk kelompok genetik dengan bahasa Dondo, atau apakah mereka hanya terkait secara geografis .

Fig.1: Commonly assumed genetic affiliation of Totoli according to ethnologue.com

Totoli berbeda jauh dari bahasa lain dari ke-lompok yang berkaitan dengan fonologi, leksikon

dan tata bahasa. Perbedaan fonologis mencolok termasuk sering terjadi hilangnya toleransi dan ke-cenderungan suku untuk tertutup. Secara grama-tikal, totoli tampaknya memiliki suara yang unik dan sistem aplikatif dan jenis suara yang khas den-gan fitur dari sistem aplikatif yang ditemukan di Indonesia bagian barat dan bagian selatan Sulawe-si. Meskipun sistem ini jauh dari sepenuhnya dipa-hami, tetapi memberikan banyak catatan, totoli memainkan peran kunci dalam memahami peruba-han bahasa jenis Filipina- jenis sistem suara sime-tris yang banyak ditemukan dibagian barat bahasa Indonesia (Wolff 1996).

Selain suku Tolitoli sebagai kategori pen-ghuni asli, terdapat juga suku Dondo dan Suku Dampal. Namun komposisi masyarakat yang hid-up di Tolitoli sendiri cukup beragam, bahkan se-belum aneksasi Belanda, daerah ini sudah mulai berinteraksi baik dari hubungan dagang maupun sebagai daerah tujuan oleh berbagai macam suku bangsa yang bermigrasi dalam kurun periode yang panjang. Suku bugis dan Mandar, dua kategori mi-gran yang cukup tua di daerah itu, menjadi popu-lasi terbanyak saat ini.

Semula, Tolitoli memiliki wilayah admin-istrasi yang cukup luas membentang dari Dampal perbatasan Donggala hingga perbatasan Goronta-lo. Berdasarkan Undang – Undang Nomor 51 Ta-hun 1999 tentang Pemekaran Wilayah di Sulawe-si Tengah tahun 1999, maka Kabupaten Buol To-litoli dimekarkan menjadi dua Kabupaten yaitu Kabupaten Buol dan Kabupaten Tolitoli. Dengan demikian maka Kabupaten Tolitoli tinggal mem-punyai luas wilayah 4.076,77 Km2, yang terdiri

dari sembilan Kecamatan dan 70 Desa/Kelurahan. Sedang tingkat pertumbuhan penduduk di Kabu-paten Tolitoli ini, kurang lebih rata – rata 1,07% per tahun (RTRW Kab. Tolitoli, 2010 ).

Populasi orang bugis di Kabupaten Tolito-li saat ini menurut beberapa pihak sudah menca-pai 40 persen dari total penduduk. Dominasi orang bugis tidak hanya berlangsung dari segi ekonomi, perdagangan, perkebunan rakyat cengkeh, dan ka-kao, tetapi juga dari segi bahasa. Bugis menjadi bahasa yang sangat dominan dipergunakan se-hari-hari, baik itu orang Dondo, maupun generasi orang-orang Buol.

Pandangan umum mengidentifikasi orang-orang dari Sulawesi Selatan yang bermigrasi ke Dondo dinilai banyak pihak sangat kabur. Misal-nya, komunitas Palopo dianggap sebagai Bugis. Demikian pula dengan Suku Mandar yang dike-nal sebagai pemanjat pohon kelapa yang ahli, juga sering disamakan sebagai Bugis, lantaran interaksi dan komunikasinya dengan orang lain menggunak-an bahasa bugis3.

Meski bahasa bugis mendominasi linguistik masyarakat Kecamatan Dondo secara umum, teta-pi bisa dibilang, daerah ini cukup beragam dengan komposisi penduduk yang relatif seimbang. Selain

3 Wawancara Keluarga Hasan Douw (almarhum) tahun 2012. Anak Hasan Douw, punya cerita yang original tentang kompo-sisi masyarakat di Dondo, sebab Hasan Douw salah satu guru dari Buol yang berinteraksi lintas suku, Lauje maupu komuni-tas bugis. Pria ini mendalami kehidupan suku-suku lain secara tidak sengaja karena dorongan aktivisme sebagai anak mantan pejuang Sarekat Islam di Kabupaten Buol.

Austronesian

Sulawesi

Nothern

Southern

Dampelas Taje Tajio PendauBalaesangDondo

Boano Tolitoli

Lauje Tomini

Tolitoli Tomini

Tomini - Tolitoli

Malayo - Polynesian [.........]

[.........]

[.........]

Language Family Tree

Anak-Anak Lauje di Dondo. Bayangan kelam menanti masa depan mereka, karena tanah dan hutan mereka hilang dirampas pemodal

Foto

: D

okum

en Ja

tam

Sul

teng

Page 5: KP No 13 Tahun 2012

6 | Kertas Posisi No 13 Tahun 2012

Ceng

keh,

HPH

Dan

Eks

pans

i Tam

bang

Dal

am P

oliti

k Lo

kal |

Stu

di K

asus

Don

do K

abup

aten

Tol

i-tol

i Sul

awes

i Ten

gah

Kertas Posisi No 13 Tahun 2012 | 7

Cengkeh, HPH

Dan Ekspansi Tam

bang Dalam

Politik Lokal | Studi Kasus Dondo Kabupaten Toli-toli Sulaw

esi Tengah

penduduk asli Dondo dan migran Bugis, suku Buol juga terbilang banyak di daerah ini.

Kedatangan orang-orang suku Buol di Ke-camatan Dondo dan daerah lain di Kabupaten Toli-toli, bukanlah lahir dari proses migrasi spontan pra dan pasca kemerdekaan, seperti yang terjadi pada suku bugis dan lauje. Bukan pula hasil dari persi-langan generasi yang tidak disengaja. Orang Buol datang ke Dondo sebagai tenaga pengajar (guru), khususnya sekolah dasar negeri (SDN).

Ketika Kabupaten Tolitoli dan Buol masih menyatu dalam satu administrasi pemerintahan, unsur pegawai hingga Bupati diisi oleh cendekia dari Buol. Beberapa nama yang terkenal itu adalah Rajawali Pusadan yang pernah menjabat sebagai Bupati Toli-toli Buol. Pada tahun 1970-an, pendi-dikan guru dibangun di Kabupaten Buol dengan nama Sekolah Persatuan Guru (SPG). Hal itu men-dorong orang Buol bersekolah ditempat itu men-jadi guru, terutama sekolah dasar. Faktor sekolah guru ada di Buol, maka secara otomatis peneri-

maan guru pun akan lebih banyak menyerap orang Buol yang punya latar belakang pendidikan guru. Guru dan calon guru yang terpilih dikirim ke berb-agai daerah di Kabupaten Tolitoli, termasuk di Ke-camatan Dondo hingga Kecamatan Dampal.

Nyaris tidak satu pun sekolah-sekolah di daerah Tolitoli yang tidak terdapat guru orang

Buol. Tetapi dimasa lalu, gaji seorang guru saja tidak cukup untuk membiayai kehidupan rumah tangga, apalagi ketika hendak menyekolahkan anak. Sehingga, diantara guru-guru itu juga beker-ja menggarap lahan pertanian. Lahan itu dibeli dari masyarakat Dondo, lalu ditanami aneka macam tanaman pasar seperti kakao dan cengkeh. Adan-ya kesempatan mengakses lahan seperti itu turut meningkatkan taraf kehidupan guru-guru terse-but, rumah-rumah mereka umumnya dibangun se-cara permanen dari tembok. Peluang itu diman-faatkan oleh saudaranya yang lain dari Buol untuk datang membantu menggarap lahan, terutama ke-tika musim panen cengkeh tiba.4

Kedudukan sosial karena pekerjaan seb-agai guru merupakan profesi yang dianggap ter-hormat punya derajat sebagai kaum terpelajar. Hal itu mendorong lahirnya semacam tradisi pewari-san orang tua, tidak saja bagi orang Buol, tetapi juga terjadi pada orang Bugis. “Jikalau bapaknya guru, maka sebagian anaknya juga di sekolahkan menjadi guru.” Anak-anak itu yang memicu per-

gaulan lintas suku. Anak Lauje dan Suku Dondo

4 Periode 60-70-an ketika tanah belum ditanami komoditi pasar, dan tanah itu sendiri belum menjadi komoditi barang dagangan, orang dondo mudah menyerahkannya pada orang luar. Orang sering menyebut, tanah-tanah itu ditukar dengan radio, bahkan ada yang ditukar batteray. Hal itu menunjukkan betapa tanah sungguh mudah diakses oleh orang luar. Wawancara petani asli Dondo, 2011, dan Mahasiswa dondo di Palu, 2012.

yang semula jarang ada yang bersekolah, menjadi terpacu mengikuti tradisi orang Buol dan Bugis menyekolahkan anak. Saat ini terdaftar lebih dari seratus orang mahasiswa Dondo bersekolah di be-berapa universitas terkemuka di Kota Palu, Makas-sar Sulawesi Selatan dan juga terdapat di Univer-sitas swasta Madako kota Toli-Toli. Presentase kasarnya, nyaris 50 persen itu bersekolah di keju-ruan pendidikan seperti penjaskes, kesenian dan fisika. Sebagian lainnya kuliah di jurusan tertentu seperti jurusan hukum dan lain-lain.5

Tinjauan Historis: Tolitoli Dalam Beberapa Periode

Untuk mengerti dinamika politik ekono-mi dan kebudayaan masyarakat Tolitoli secara umum dapat dilihat dalam beberapa periode; Per-tama, Era pra Kolonial. Dalam periode ini ma-syarakat Tolitoli umumnya hidup secara terpisah dalam kekuasaan-kekuasaan yang otonom. Dondo dan Dampal terpisah dari kekusasaan Raja Banti-lan. Tetapi penetrasi pengaruh dari luar mendorong integrasi daerah dan kekuasaan. Dimulai dari asal usul pengislaman masyarakat Tolitoli. Islam dianut oleh masyatakat Tolitoli pada tahun 1655 berawal dari syiar Datu Bandang yang berasal dari Kesul-tanan Ternate. Akibat dari interaksi keagamaan itu melahirkan hubungan politik antara Kerajaan Ter-nate dan Tolitoli yang kemudian selanjutnya dise-but Kesultanan Tolitoli (Latief, 2002).

Hubungan kerajaan ini bersifat paternalis-tik, raja Tolitoli mengakui kekuasaan kerajaan ter-nate atas Kesultanan Tolitoli. Setiap raja yang naik tahta di Tolitoli, penobatannya selalu dilakukan di Ternate sebagai bentuk pengesahan jabatan. Hal itu terjadi sebagai ekspresi dari derasnya pengaruh Is-lam di Tolitoli yang di syiarkan oleh kerajaan Ter-nate. Tetapi dalam soal dukungan politik, kesultan-an Tolitoli mendapat legitimasi dari rakyatnya se-cara otonom (Latief, 2002).6

Kedua, Intervensi Kolonial Belanda ke wilayah Tolitoli di mulai pada tahun 1855. Pemer-intah Belanda melalui Residen Manado mengutus Piet Broogh untuk melihat keadaan wilayah Toli-toli. Atas laporan perjalanan ini, Tolitoli dijadikan

5 Wawancara dan diskusi reguler dengan mahasiswa Dondo di Palu, 2011-2012. 6 Jabatan-jabatan di bawah raja Tolitoli: raja Muda, jogugu, syahbandar, kapitan laut, todaka, mayor, kapten raja, anak ku-puno, dan sulea. Ibid.

sebagai bagian dari Karesidenan Manado di bawah afdeling Sulawei Tengah. Hal itu bertujuan untuk memudahkan pengawasan dan pengaturan (kon-trol) daerah yang geografisnya masuk wilayah Ka-residenan Manado Pada tahun 1858 Tolitoli diga-bungkan dengan Karesidenan Celebes dengan maksud yang sama untuk mengontrol wilayah dari aksi perampokan dan perompak yang sering berke-liaran di perairan, sekaligus memperkuat armada laut di dekat Tolitoli. Labuan Dede kampung baru, menjadi tempat penyimpanan Batubara. Tidak lama berselang, pada tahun 1858, Raja Bantilan Safiudin mengakui supremasi kekuasaan pemerin-tah Kolonial Belanda dalam sebuah kontrak Poli-tik. Tetapi jarak antara Karesidenan Manado Tol-itoli sangat jauh, maka perjanjian tidak terealisa-si secara efektif. Pada tahun 1862-1968, kembali penggabungan Tolitoli dengan Karesidenan Mana-do di bawah afdeling Sulawesi Tengah, dilakukan oleh pemerintah Belanda. Petugas pemerintahan sepenuhnya ditunjuk oleh Residen Manado. Pada tahun 1967, Raja Bantilan Safiudin meminta pada Belanda agar pemerintahan tradisional Tolitoli dis-erahkan pada Abdul Hamid, walaupun bukan dari keluarganya. Pelimpahan ini dilakukan karena ti-dak ada anggota keluarga yang dianggap mampu, sementara raja sudah sakit-sakitan. Haji Ismail berikutnya menjadi raja setelah abdul Hamid wa-fat.7 Kekuasaan pemerintahan Kolonial Belanda menjadi mutlak pada abad 20. Intervensi (campur tangan) dilakukan, nyaris, pada seluruh aspek ke-hidupan. Intervensi dimulai dengan penandatangan plakat pendek secara ketat (Latief, 2002).8

7 Piet Broogh adalah orang Belanda pertama yang menginjakan kaki di Tolitoli. Ibid 8 1) Plakat pendek bertujuan untuk mengikat kekuasaan raja, juga berguna untuk mengatur kebijakan penguasa terhadap pribumi. Disusul dengan pembaharuan sistem pemerintahan di tingkat afdeling dan onder afdeling. Seterusnya, setiap raja baru, dilantik dan dinobatkan oleh pemerintahan Kolonial Be-landa dalam bentuk Korte Verklaring;2) Isi Plakat Pendek nomor 1 yang ditandatangani oleh Haji Ismail Bantilan Raja Tolitoli 12 Februari 1908 meliputi: Per-tama, daerahnya adalah bagian dari Hindia Belanda yang be-rada dibawah kekuasaan Induk Negeri Belanda dan sebagai pemimpinnya adalah Gubernur Jenderal; Kedua, tidak akan mengadakan hubungan politik negara-negara asing yang berse-teru dengan Negeri Belanda; Ketiga, akan memenuhi dan mem-pertahankan semua peraturan yang dilakukan atas nama Ratu Belanda, Gubernur Jenderal atau wakilnya; Keempat, Kerajaan Tolitoli tidak boleh melakukan hubungan politik dengan kera-jaan lainnya tanpa izin dan persetujuan dari pemerintah Kolo-nial Belanda; Kelima, segala kebijakan kekuasaan Raja Tolitoli harus bersumber dan berdasar dari kebijakan pemerintahan Be-landa. Dengan demikian setiap raja Tolitoli yang terpilih sebe-lum kemerdekaan, tidak lebih dari lambang pajangan.Ibid

Page 6: KP No 13 Tahun 2012

8 | Kertas Posisi No 13 Tahun 2012

Ceng

keh,

HPH

Dan

Eks

pans

i Tam

bang

Dal

am P

oliti

k Lo

kal |

Stu

di K

asus

Don

do K

abup

aten

Tol

i-tol

i Sul

awes

i Ten

gah

Kertas Posisi No 13 Tahun 2012 | 9

Cengkeh, HPH

Dan Ekspansi Tam

bang Dalam

Politik Lokal | Studi Kasus Dondo Kabupaten Toli-toli Sulaw

esi Tengah

Ketiga, Periode perjuangan petani melawan kolonialisme. Organisasi yang berperan besar ter-hadap radikalisasi petani Tolitoli melawan praktek Kolonialisme adalah Sarekat Islam (SI). Organisa-si pergerakan yang berawal dari persekutuan da-gang pribumi ini, berkembang menjadi organisasi gerakan yang mengapresiasi kepentingan kalangan pribumi. Dari Sarekat Dagang Islam (SDI) yang dipimpin Samanhudi, berkembang menjadi alat perjuangan dan persatuan melawan Kolonilaisme menggunakan Islam sebagai identitas pribumi, menjadi Sarekat Islam.

Pada tahun 1919, wakil ketua Central Sarekat Islam (CSI) Abdul Muis melakukan kun-jungan ke Sulawesi Utara dan Tengah. Abdul Muis datang ke Tolitoli dengan tujuan memajukan pro-gram SI melalui, propaganda tentang pelaksa-naan heerendiensten dan belasting yang dibebank-an oleh kolonial Belanda terhadap kaum pribumi Tolitoli yang mengakibatkan kaum pribumi men-galami penderitaan. Selain propaganda politik, ia juga menganjukan agar umat muslim selalu taat memadukan kesadaran agama dan Politik (Latief, 2002).

Kehadiran SI di Tolitoli dengan berbagai atribut pembebasan bertemu dengan kenyataan sosial yang tengah dihadapi masyarakat pribumi Tolitoli akibat praktek penghisapan dan penin-dasan oleh pemerintahan kolonial Belanda. SI seb-

agaimana yang ada daerah lain, meluaskan paham anti terhadap penindasan, monopoli dan anti terha-dap kaum kapitalis Eropa dan China. Sikap yang sama tumbuh dengan cepat dalam alam kesadaran masyarakat Tolitoli.

Pemicu lain yang juga perlu dilihat, mod-al kolonial kala itu sedang berkembang sedemiki-an rupa terutama penanaman modal dalam urusan penggalian bahan-bahan mineral (tambang) yang didukung oleh fasilitas tenaga kerja murah. Akibat-nya, kekuatan rakyat berusaha tidak berkembang, dan daerah jajahan tidak mampu memiliki modal sendiri. Periode 1913-1914 ini juga dianggap se-bagai titik dari perkembangan Kapitalisme mo-deren. Periode setelah ini ekonomi kapitalis tidak mengalami pertumbuhan yang sehat, diikuti kri-sis perusahaan gula sejak 1918 yang susul menyu-sul dengan krisis ekonomi pada tahun 1921-1925. Dampak itu mengakibatkan ekspor menurun diser-tai penurunan pajak hingga 15,5 persen. Kehidu-pan rakyat semakin menderita karena Belanda me-ningkatkan pajak rakyat sebesar 40 persen. Krisis itu ditanggapi oleh rakyat lewat sejumlah pembe-rontakan-pemberontakan petani di Jambi (1916), Pasar Rebo, Sumatera Barat hingga ke Tolitoli (Ra-hardjo, 2012).

Di Tolitoli, pemberontakan rakyat terban-

gun dari rasa kebencian yang bergerak secara di-am-diam dengan proses radikalisme terhadap be-

berapa hal: Pertama, herediensten merupakan me-kanisme penyediaan tenaga kerja secara paksa. Pada masa pra kolonial belanda, hal ini semacam kebiasaan tradsional, tetapi kehadiran Belanda mengubah konsep ini menjadi kewajiban bagi se-tiap penduduk. Model ini diintegrasikan ke dalam sistem tanam paksa (1820-1870). Wujud dari ker-ja wajib ini, para petani harus mengeluarkan tena-ga untuk melayani kepentingan pemerintahan membangun jalan, jembatan dan lain-lain; Ked-ua, bekerja untuk menggarap kebun yang separuh hasilnya diberikan pada Belanda. Kesulitan ekono-mi yang melanda petani selalu dilaporkan berbe-da, seolah-olah petani Tolitoli sejahtera. Masuknya SI telah membentuk dorongan solidaritas diantara petani yang sama-sama mengalami penindasan. 9

Situasi yang mencekik seperti itu, di bawah pimpinan Haji Hayyun sebagai pemuka Sarekat Is-lam dengan penduduk Salumpaga dan sekitarnya melakukan pemberontakan.10 Para petani itu ber-hasil membunuh J.P. de Kat Angelino dan para pengawalnya tewas ditempat serta raja Muham-mad Ali Bantilan (Raja Mogi Hadji Ali), menin-ggal setelah dilempari tombak dari belakang oleh para petani. Polisi Belanda yang ikut pada saat itu senjatanya dirampas oleh para pekerja wajib dan mengeroyok ke lima polisi hingga tewas.11Dua hari setelah peristiwa, Haji Muhammad Bantilan Kepala Divisi Distrik Tolitoli ditemukan oleh para pemberontak. Lelaki bangsawan itu dipaksa men-girim surat kepada Residen Donggala, Residen Manado, dan Pimpinan CSI, tentang huru-hara

9 Ketika jembatan Salumpaga dibangun roboh akibat banjir bandang. Akibatnya 52 tenaga kerja dari Salumpaga dipaksa bekerja, mesitu bulan puasa sedang berlangsung. Ibid10 Sebelum pemberontakan terjadi, pertemuan untuk mencari jalan keluar atas masalah yang menimpa para pekerja wajib. Pertemuan itu berlangsung di rumah Haji Hayyun. Dari sini ma-syarakat bertekad untuk melawan dan rencana pemberontakan pun dibulatkan. Haji Hayyun dan masyarakat membuat siasat yaitu mengajukan kembali permohonan agar kerja wajib ditang-guhkan terlebih dahulu sampai akhirnya bulan suci ramadhan, pengajuan ini akan disampaikan langsung oleh Haji Hayyun pada kontrolir J.P. de Kat Angelino. Haji Hayyun memberikan pernyataan bawah apabila pengajuan ini ditolak, maka11 Mayat Kontrolir Angelino dikuburkan di tepi pantai, sedang-kan mayat Raja Tolitoli Mogi Hadji Ali Bantilan dan C Suatan dibawa ke Tolitoli untuk dikuburkan dikampung Nalu. Mayat dari lima polisi dikuburkan di Salumpaga tidak jauh dari ku-burnya Kontrolir Angelino. Kelima Polisi tersebut adalah kaum pribumi yang dipekerjakan oleh pemerintahan Belanda.

yang terjadi di Salumpaga.12 Kabar tentang pembe-rontakan berdarah pun tersiar ke seluruh wilayah Hindia Belanda hingga ke luar sampai ke neg-eri Belanda. Sembilan hari sejak peristiwa terjadi. Tanggal 14 Juni 1919, datanglah Residen Manado, Asisten Residen Donggala, Raja Banawa Lama-rauna, Raja muda Tolitoli, membawa dua infanteri tiba di Salumpaga dengan tujuan menumpas pem-berontakan. Rakyat Salumpaga yang memberon-tak kalah dari segi taktik dan kualitas persenjataan. Sebanyak 100 petani ditangkap, senjata tradision-al mereka juga diamankan. Kisah pemberontakan berakhir, pemimpin dan anggota yang tertangkap semua diadili berdasarkan tindakan masing-mas-ing. Hukumannya meliputil, kerja paksa, hukuman penjara, bahkan hukuman mati melalui tiang gan-tungan (Latief, 2002).

Pada tahun 1940-an, terjadi peralihan

wilayah jajahan dari pemerintah Belanda pada Pemerintah Jepang. Awalnya ini dianggap sebagai pintu terang bagi penduduk Tolitoli. Tetapi ternyata kondisinya jauh lebih parah. Seluruh situs produksi rakyat dikontrol langsung oleh pemerintah Jepang. Setiap hasil produksi pertanian warga dikenakan pajak diatas 75 persen, akibatnya keadaan petani menjadi menderita.

Masyarakat Dondo, yang memiliki wilayah terpisah oleh belantara hutan dengan Tolitoli tidak luput dari kekejaman ini. Tetapi beruntung, mereka menolak tunduk pada kekuasaan Jepang yang telah bekerjasama dengan Raja Muda Tolitoli. Peno-lakan yang berakibat pada pemberontakan ini be-rawal dari informasi Tantong Madayuni, salah satu warga Dondo asli yang merantau ke Kalimantan. Ia pulang demi satu informasi penting bahwa “Je-pang telah menyerah karena serangan tentara seku-tu terkait jatuhnya Bom Hirosima dan Nagasaki”. Informasi ini sekaligus menjadi semangat perjuan-gan masyarakat Dondo dalam pertempuran terse-but. Bersama masyarakat bugis mereka memban-gun konsolidasi secara tradisional dengan memba-gi wilayah pertempuran yang telah disiapkan.

Terjadilah perang Malomba pada tahun

1943. Orang Dondo yang dipimpin oleh pembera-ni Lanoni, menolak tunduk saat pemerintah Jepang

12 Seperti yang telah diduga, pada tanggal 5 Juni 1919, Haji Hayyun menemui kontrolir mengajukan tuntutan tersebut. Tetapi kontrolir menolak usulan masyarakat. Sebaliknya, dia memerintahkan polisi mengangkut para pekerja untuk melak-sanakan kewajibannya.

� Perkampungan Suku Lauje di Kilo 7

Foto : Dokum

en Jatam Sulteng

Page 7: KP No 13 Tahun 2012

10 | Kertas Posisi No 13 Tahun 2012

Ceng

keh,

HPH

Dan

Eks

pans

i Tam

bang

Dal

am P

oliti

k Lo

kal |

Stu

di K

asus

Don

do K

abup

aten

Tol

i-tol

i Sul

awes

i Ten

gah

Kertas Posisi No 13 Tahun 2012 | 11

Cengkeh, HPH

Dan Ekspansi Tam

bang Dalam

Politik Lokal | Studi Kasus Dondo Kabupaten Toli-toli Sulaw

esi Tengah

yang dipimpin Ken kan Rikan komando distrik To-litoli, mendatangi Malomba dengan sejumlah ten-tara. Pertempuran pun tidak terhindarkan, men-gakibatkan Ken kan Rikan meninggal setelah dite-bas Lanoni, dan Lanoni sendiri meninggal ditem-bak oleh tentara Jepang di tempat kejadian13.

Dondo

Luas wilayah Kecamatan Dondo adalah 544,50 km2 (13,34 persen dari total luas Kabupat-en Tolitoli). Dengan Luas wilayah terbesar pada Desa Malala, yaitu mencapai 24,52 persen dari to-tal luas Kecamatan Dondo. Kecamatan Dondo ter-diri dari 14 desa, dengan ibukota di Desa Tinabo-gan. Dari 14 desa

Jumlah penduduk Dondo relatif kecil, men-capai 21.358 jiwa pada tahun 2010. Tetapi tingkat pertumbuhan penduduk mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Selama periode 2000-2010 tingkat pertumbuhan penduduk mencapai 0,91 persen. Dengan luas wilayah sekitar 544,50 km2, setiap km2 ditempati penduduk sebanyak 39 orang pada tahun 2010 (Statistik Daerah, 2011).

Percakapan seputar Suku Dondo sudah se-jak lama menuai beragam perdebatan. Ada yang mengatakan bahwa Dondo dan Tolitoli adalah dua suku yang sama. Tolitoli dianggap sebagai suku asal mayoritas. Bahkan tahun 1980 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan membagi sebaran suku Tolitoli di enam kecamatan dengan presen-tase 15-20 persen adalah pendatang, sisanya suku Tolitoli (Melalatoa, 1995).

Beberapa temuan sejarah misalnya yang di-tuliskan oleh Juraid Abdul Latief (2002) menye-butkan, pada awalnya Dondo dan Dampal adalah memiliki kekuasaaan sendiri-sendiri yang terpisah dengan Tolitoli tetapi tiba-tiba harus mengakui su-premasi Tolitoli dan Banawa. Agar bisa menjadi wilayah yang besar dan luas, keduanya bergabung dengan Tolitoli.14

Dari segi linguistik, bahasa Tolitoli dan

13 Orang Dondo tidak tahan dengan penyiksaan dan pemaksaan yang dilakukan oleh tentara Jepang. Mereka dipaksa membayar upeti sebesar 75 persen dari hasil pertanian, dan peternakan tra-disional mereka. 14 Lihat buku Juraid Abdul Latief yang berjudul, Pemberon-takan Petani Tolitoli 1919: Sarekat Islam dan Perjuangan Kaum Tertindas (2002).

Dondo memang sangat berbeda. A.C. Kruyt dan Dr. Andriani sebut sebagai bahasa Geiga termasuk ke dalam kelompok bahasan Tomini. Daerah seba-rannya, antara Desa Towera di wilayah Kabupaten Donggala sampai ke Desa Molosipat yang berba-tasan dengan wilayah Kabupaten Gorontalo (Adri-ani dan Kruyt, 1912).15

Sistem sosial keduanya pun berbeda dari segi teritori dan kebudayaan. Orang justru memi-liki kemiripan bahasa dengan orang Lauje. Dari segi kesenian, orang Dondo memiliki tari-tari-an dan kesenian sendiri yang terus dipromosikan oleh pionir suku sebagai bentuk perlawanan ter-hadap dominasi ‘kekaisaran Bantilan”16. Mereka membuat sebuah lagu yang berjudul” Petu Don-do”. Lagu ini sering dinyanyikan dalam acara-acara tertentu di Dondo sebagai salah satu identi-tas kebudayaan. Meski demikian, orang Dondo ti-dak menapihkan keberadaan orang migran Bugis yang datang secara bergelombang sejak pra ke-merdekaan hingga saat ini.

Migrasi Orang Lauje

Suku Lauje adalah suku bangsa yang diket-ahui populasinya banyak bermukim di Tomini Ka-bupaten Parigi Moutong (dulu Donggala). Pada ta-hun 1984, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Anrini Sofian dan Tri Choesianto melaporkan bah-wa keberadaan dan tujuan perpindahan orang Lau-je tidak lagi diketahui secara pasti. Sebagian telah migrasi ke tempat lain lintas Kabupaten, seperti Poso, Banggai dan Tolitoli. Tetapi sebagian besar anggota komunitas masih berdiam di wilayah pan-tai Tomini (Melalatoa, 1995).

Di Kabupaten Parigi Moutong, orang Lauje tersebar dibeberapa kampung yang mereka namai agak berbeda dengan orang luar, di Palasa meliputi

15 Pendokumentasian yang baik dilakukan oleh N. Adriani seorang ahli bahasa suku dan juga seorang misionaris ber-sama Albert C. Kruyt misionaris dan juga seorang antropolog, dalam misinya mengkristenkan orang Pamona. Berhasil men-dokumentasikan dengan baik sebaran suku-suku, kebudayaan, adat dan bahasa masing-masing. Hasil karya itu dicetak dalam bentuk buku berjudul De Bare’e-Sprekende Toradja’s, Batavia Landsdrukkerij, 1992. Buku ini dijadikan rujukan oleh banyak peneliti antropolog seperi Lorrain Aragon, Tania LI, David Henly dan lain-lain. 16 Menurut beberapa ahli, Dondo adalah bagian dari Suku Lauje dari proses migrasi yang panjang. Tania Li misalnya, me-nyebut Dondo sebagai Lauje Utara. Selain Dondo, Tajio adalah bagian dari suku Lauje yang bermigrasi ke Utara dalam kurun waktu yang cukup panjang.

Koja, Bambasiang, dan Tongkou. Sementara di To-mini tersebar antara lain Pogolimpangatang, Pun-sung Uayang, Silipoi. Di Kecamatan lain juga ter-dapat orang Lauje, misalnya Sirenja. Pusat pemu-kiman terbesar berada di Labani yang melewati sedikitnya 8 anak sungai dan sebuah danau untuk mencapai daerah itu.17

Diperkirakan, migrasi orang Lauje pal-ing besar berlangsung di Kinapasan Desa Ogow-ele Kabupaten Tolitoli. Pada tahun 1967, lebih dari 20 Kepala Keluarga (KK) bermigrasi dari Tomini (Palasa) yang saat itu masuk dalam kawasan Kabu-paten Donggala-sekarang Parigi Moutong.18

Migrasi dipicu oleh kebutuhan lahan pe-ladangan baru yang lebih subur untuk menyesuai-kan pecahan keluarga yang terus berlangsung aki-bat pola perkawinan. Selain itu, terjadi kesenjan-gan kepemilikan lahan dalam anggota komunitas. Faktor lain adalah meningkatnya populasi, ser-ta penetrasi migrasi spontan dan transmigrasi di wilayah Tomini yang memperkenalkan tanaman komoditi pasar, kakao.19

Perubahan akses terhadap lahan (land) orang Lauje di Palasa (Tomini) sudah berlangsung selama bertahun-tahun. Lahan atau tanah di dalam kawasan tersebut telah lama dikuasai secara adat melalui pembukaan lahan yang dilakukan oleh para pionir (pemimpin adat) pembuka hutan dari suku Lauje. Tanah yang dibuka kemudian digunak-an dalam pertanian ladang berpindah. Lahan-lah-an tersebut secara adat dikuasai dan diwariskan ke-pada ahli waris dari para pionir. Dalam prosesnya, para ahli waris tidak melakukan pembagian pen-guasaan atas tanah sehingga akhirnya tanah dike-lola secara kolektif. Penguasaan tanah dilakukan oleh keluarga ahli waris atau keluarga lain yang diberikan izin untuk bercocok tanam di atas tanah tersebut (Li, 2002).

Pada saat tanaman kakao diperkenalkan di daerah ini, terjadi perubahan secara drastis. Har-ga kakao yang sangat tinggi di pasar internasional mengundang para petani di daerah tersebut untuk

17 Wawancara Alkiyat J Darise, mahasiswa Untad keturunan Lauje dari Palasa Kecamatan Tomini Kabupaten Parigi Mou-tong, 18 November 2012. 18 Wawancara Taji, 2012. 19 Wawancara Taji, Kaka dari Kepala Suku Lauje di Kinapasan, tahun 2011

mulai menanam kakao (coklat) di atas lahan ma-sing-masing. Sehingga terjadi penyempitan areal rotasi ladang berpindah. Secara sederhana, dam-pak penetrasi kakao mempengaruhi siklus pertani-an ladang berpindah karena tidak mungkin mem-buka tanah baru dengan menebang tanaman kakao yang bernilai tinggi. Pada akhirnya terjadi diferen-siasi (kesenjangan) akses anggota komunitas (pet-ani) terhadap tanah (Li, 2002).

Tetapi proses migrasi ke wilayah Dondo ti-dak berlangsung lama, pemberontakan DI TII yang memaksa mereka harus meninggalkan tempat itu dan kembali ke Palasa (Tomini). Sebanyak 12 orang dari rombongan itu dibantai karena menolak di “Islam-kan,” atau ikut bergabung dengan tenta-ra pemberontak.20 Pemberontakan DI-TII berakh-ir, situasi sekitar Kinapasan pun berangsur-angsur aman. Hal itu mendorong mereka untuk kembali bermukim di Kinapasan hingga sekarang.

Migrasi periode kedua terjadi pada tahun 1980-an, sebanyak 2 (dua) Kepala Keluarga (KK) melakukan migrasi ke pegunungan Takudan Don-do Tolitoli. Perpindahan itu kurang lebih sama dengan proses migrasi yang pertama, dilatari oleh keperluan mencari lahan peladangan baru yang lebih subur.

Awalnya, proses pembukaan lahan dilaku-kan di pegunungan Betengon. Namun kondisi ta-nah kurang bagus, akhirnya mereka pindah ke hulu Sungai Takudan atau mereka sebut dalam baha-sa Lauje Matanu Taudan Mattanyomo Ta’udan. Ntene adalah orang Lauje pertama yang menemu-kan tempat itu21.

Hingga saat ini jumlah suku Lauje yang ada di kabupaten Tolitoli berjumlah kurang lebih 2000 jiwa, dan tersebar berkelompok, tiap kelom-pok berjumlah sekitar 100-200 jiwa dan mendiami wilayah-wilayah hutan yang kemudian dalam suku Lauje dikenal dengan sebutan Iyanan. Kelompok-kelompok mayarakat suku Lauje yang tepat be-rada di wilayah Kabupaten Tolitoli ini terpencar dan mendiami sekitar wilayah Kecamatan Dampal Utara sampai dengan wilayah pegunungan Keca-

20 Wawancara cucu dan anak korban DI TII di Kinapasan. Ten-tara DI TII sangat beringas membantai orang-orang yang tidak mau ikut dalam perjuangan mereka. Penuturan itu sering dite-mukan saat melakukan wawancara di daerah tersebut. 21 Wawancara Taji, kakak dari Kepala Suku Lauje di Kinapasan 20 November 2012.

Page 8: KP No 13 Tahun 2012

12 | Kertas Posisi No 13 Tahun 2012

Ceng

keh,

HPH

Dan

Eks

pans

i Tam

bang

Dal

am P

oliti

k Lo

kal |

Stu

di K

asus

Don

do K

abup

aten

Tol

i-tol

i Sul

awes

i Ten

gah

Kertas Posisi No 13 Tahun 2012 | 13

Cengkeh, HPH

Dan Ekspansi Tam

bang Dalam

Politik Lokal | Studi Kasus Dondo Kabupaten Toli-toli Sulaw

esi Tengah

matan Basidondo (Humas Tolitoli, 2011) .

Kinapasan

Kinapasan yang dihuni kurang lebih 362 jiwa orang Lauje dari 88 Kepala Keluarga. Komu-nitas ini diperkirakan adalah migran spontan per-tama orang Lauje pasca kemerdekaan yang sudah berlangsung dari tahun 1960-an hingga saat ini. Mereka membuka pemukiman komunitas yang be-rada di bantaran sungai Lais (ogolais-dalam baha-sa dondo) dipimpin oleh ketua adat bernama Te’i. Meski demikian orang Lauje disini juga terdaftar sebagai penduduk desa Ogowele Kecamatan Don-do Kabupaten Toli-Toli.

Lahan atau tanah yang mereka tempat saat ini sudah masuk kategori warisan orang tua. Hutan yang semula dibuka dan dimanfaatkan dalam pers-pektif adat dengan fungsi untuk menghidupi semua komunitas, kini telah beralih menjadi kepemilikan pribadi. Tiap-tiap komunitas mengusahakan ta-nahnya secara sendiri-sendiri dan bebas menjual-nya. Tetapi pola pengelolaan lahan secara berke-lompok tetap dilakukan.

Pada tahun 1974, Gereja Masehi Injil Mi-nahasa berhasil mengkristenkan mereka melalui pelayanan keagamaan secara intensif yang dipadu-kan dengan penyuluhan pertanian dan sekolah-sekolah non-formal yang dibangun sebagai rang-kaian dari kegiatan mengkristenkan orang Lauje, yang pada saat itu sebagian besar masih menga-nut agama suku. Pelayanan keagamaan selanjutnya diteruskan dibawah pendampingan intensif, Gereja Protestan Indonesia di Buol Tolitoli.

Gereja Protestan Indonesia di Buol Tolitoli (GPIBT) lahir dari proses penginjilan GMIM yang pada pertama kalinya mengutus A. Rondonuwu ke Tolitoli dan Ev. A.D.Siwy ke Buol. Tetapi setelah makin berkembang, dalam Sidang Sinode GMIM tanggal 14-18 Desember 1964 di Manado, dires-mikan menjadi gereja yang berdiri sendiri dengan nama Gereja Protestan Indonesia di Buol Tolitoli.

Pada Sidang Sinode yang pertama tang-gal 18 April tahun 1965, ditetapkan Badan Pe-kerja Pertama dan terpilih sebagai ketua adalah Pdt.J.J.Ch.W.Wala. Saat ini GPIBT telah memiliki 51 Gereja dan sebanyak 10.374 jiwa anggota je-maat.

Berkat gereja, kebiasaan mereka berpindah-pindah kampung mulai memudar bersamaan den-gan pembangunan gereja di Kinapasan. Anak-anak muda mulai diajarkan sistem pendidikan moderen, tetapi masih sebatas baca tulis. Beberapa anak yang dinilai memiliki prestasi diajak untuk ber-sekolah di Minahasa Sulawesi Utara. Tetapi hanya beberapa orang saja yang bersedia. Ada semacam ketakutan dengan pergumulan dunia luar yang be-lum mereka mengerti. Selain itu, banyak orang tua yang tidak rela melepaskan anaknya pergi, mereka khawatir ketika meninggal, anaknya tidak berada di dekat orang tuanya.

Beberapa orang yang memiliki warisan ta-nah yang agak luas dan akses terhadap dunia luar (diluar komunitas), terutama administrasi pemerin-tahan, pendidikan dan gereja, mulai meninggalkan perlahan-lahan tradisi lamanya sebagai orang Lau-je yang dianggap primitif.22 Sebaliknya, ia tampil sebagai penjaga hak dan eksistensi komunitas terh-adap hubungannya dengan orang luar, seperti yang dilakukan ‘pak Taji” kakak kandung Te’i ketua adat. Setiap ada urusan menyangkut surat-surat ta-nah, perkelahian atau sengketa antara orang Lau-je dengan orang luar, dirinyalah yang banyak di-harapkan berperan oleh sesama orang Lauje. Be-berapa tradisi yang tergolong bi’dah sudah tidak lagi mereka ritualkan. Diantara tradisi itu dianggap bertentangan dengan ajaran agama kristen yang mereka anut.

Keluarga ini bisa disebutkan sebagai ‘orang gereja”, selain rumah mereka yang berdampingan dengan gereja, keluarga ini juga aktif sebagai ang-gota jemaat dan pengurus gereja setempat. Ke-adaan rumah mereka berbeda dengan orang Lauje pada umumnya, tidak lagi memakai rumah pang-gung, melainkan rumah tembok lantai beratap seng. Anak-anak mereka rata-rata punya jenjang sekolah yang lebih tinggi hingga bangku Sekolah Menengah Atas, di Kota Tolitoli. Bahkan tahun ini, salah seorang anak perempuan mereka rencana kuliah di salah satu universitas terkemuka di Kota Palu.

Tetapi banyak perubahan yang terjadi pada anak-anak itu usai di sekolahkan. Ketika pulang

22 Pandangan orang-orang luar. Pemerintah bahkan membuat program pemberdayaan dengan judul besar” Pendidikan Buta Aksara suku terasing, yang dikelola alumni Universitas Ter-kemuka di Kota Palu yang tinggal bersebelahan desa dengan mereka”

sebagai kaum terpelajar. Mereka sudah tidak lagi bergabung bersama komunitasnya di Kinapasan. Milsalnya, beberapa orang yang menjadi guru, me-milih berpindah agama setelah mendapatkan suami diluar komunitasnya.23

Sebagian ada yang merasa malu untuk ber-gabung dalam pemukiman tempat dimana ia dila-hirkan. Mereka memilih menjadi pendeta di dae-rah lain seperti di Kota Tolitoli dan Buol. Semen-tara yang lain memilih menjadi PNS dan guru, atau pedagang di pasar desa di bagian jalur pantai (di-anggap agak moderen). Untuk diketahui, generasi itu kini ada yang menjabat sebagai anggota DPRD Kabupaten Tolitoli.

Ta’udan

Penemuan Takudan atau Matano Taudan Mattanyomo Tau’dan menjadi kabar baik bagi se-bagian orang Lauje di Palasa. Sebanyak 21 KK ikut Keluarga Ntene membuka lahan baru di Taku-dan. Mereka membuka lahan memakai kebiasaan (aturan adat) dari Palasa. Selain pemimpin kam-pung (Kepala Suku) juga diangkat seseorang seb-agai ketua adat mewakili ikatan kekerabatan dari Palasa memimpin pemukiman baru.

Bagi orang Lauje, praktek konsep hid-up dalam hutan secara turun temurun merupakan

23 Wawancara dan diskusi informal dengan guru dan Kepala Sekolah di Dondo, 2012.

kunci dari perjalanan panjang mereka dari genera-si ke generasi. Konsep dan pengetahuan itu terus bertahan dan dipertahankan ketika hendak berpin-dah tempat (migrasi) pemukiman maupun pembu-kaan peladangan baru. Misalnya, Loponye, Mata Nu Ogo, Nunu dan lain-lain.

Loponye adalah hutan yang tidak bisa di-olah karena merupakan wilayah hutan yang kera-mat. Ada juga beberapa kawasan hutan wilayah tertentu yang dilarang oleh adat Lauje untuk dike-lola yakni: Mata Nu Ogo atau kawasan mata air, pohon Nunu atau beringin. Untuk diketahui, dalam konsep hutan To Lauje tidak mengenal jenis-jenis kawasan hutan yang di sebutkan oleh pemerintah, seperti hutan lindung, hutan konservasi, dan hutan suaka margasatwa.

Sebelum membuka lahan tiap anggota ko-munitas (KK) diminta menentukan ukuran lahan yang akan dibuka. Setelah itu kemudian dibuat-kan sesaji yang terdiri dari rokok dan siri yang di-bungkus kain putih. Sesajian itu ditujukan pada roh tanah (togu petu) sebagai bentuk permintaan restu penggunaan lahan. Ada dua hal yang menan-dai restu itu diberikan atau tidak; Pertama, res-tu itu ditunggu lewat mimpi selama dua atau tiga hari. Dalam mimpi itu juga diberikan isyarat bera-pa lama boleh menggarap tanah tersebut; Kedua, menunggu hasil sesajen, jika tidak ada salah satu sajian yang hilang artinya Togu Petu telah mem-beri restu. Setelah ada restu, barulah pohon-pohon di areal yang sudah di ukur itu ditebang.

Komunitas Adat Lauje sedang bekerja

memanen jagung di Ladang mereka

Foto

: D

okum

en Y

TM

Page 9: KP No 13 Tahun 2012

14 | Kertas Posisi No 13 Tahun 2012

Ceng

keh,

HPH

Dan

Eks

pans

i Tam

bang

Dal

am P

oliti

k Lo

kal |

Stu

di K

asus

Don

do K

abup

aten

Tol

i-tol

i Sul

awes

i Ten

gah

Kertas Posisi No 13 Tahun 2012 | 15

Cengkeh, HPH

Dan Ekspansi Tam

bang Dalam

Politik Lokal | Studi Kasus Dondo Kabupaten Toli-toli Sulaw

esi Tengah

Pola pembukaan lahan dilakukan secara bersama-sama pada tiap lahan ukuran anggota. Alat penebang yang digunakan adalah kapak (bali-ung) dan parang (piging). Apabila lahan sudah ker-ing, pohon-pohon dibakar, dengan tujuan pember-sihannya, menyuburkan tanah, dan mengusir roh jahat yang berdiam di tanah (puang ma petu). Di Takudan, lahan yang siap itu diserahkan pada ma-sing-masing KK sesuai ukuran yang disebutkan. Mereka bertanam padi, jagung, dan pisang.

Tetapi dari 23 KK yang turut membuka lah-an mengalami gagal panen padi. Hal itu yang men-gakibatkan pembukaan lagi lahan baru. Sementara itu, 13 KK pulang ke Palasa untuk bertani bawang. Sebagian yang lain turun digunung bagian bawah (sekarang disebut Kilo 5) membuka lahan kebun Jagung.�

Sebaran peladangan Suku Lauje di pegu-nungan Tau’dan tersebar di kilo tujuh (7), kilo lima (5), kilo tiga (3), dan kilo satu (1). Kilo 7 adalah tempat pemukiman permanen. Di sekitar pemuki-man orang Lauje di tanami aneka jenis tanaman palawija seperti kentang, ubi jalar, ubi kayu, tebu, pisang yang diselingi beberapa tanamana jangka panjang seperti rambutan dan nangka. Sementara di Kilo 5 dan Kilo 3 tempat peladangan jagung se-cara rotasi. Sejak tahun 2008, kedua lokasi itu mu-lai ditanami cengkeh yang mengakibatkan terjadi perubahan pola penggunaan (penyempitan) areal ladang berpindah.

Akibat dari penyusutan areal peladangan karena penanaman cengkeh dan kakao mendorong orang Lauje mencari lahan baru. Sejak tahun 2011, orang Lauje kini lebih lama menghabiskan waktu di Kilo 1, meski status tanah yang mereka tempa-ti dimiliki oleh orang Desa Malala. Orang Lauje hanya meminjam pakai tanpa menyewa, ia hanya memberikan seperlunya sedikit hasil. Orang Lau-je sebagian kembali ke Kilo 7 pada hari minggu siang, sebab malam hari mereka harus melakukan aktivitas ibadah gereja. Mereka akan bermalam sampai tiga hari, kamis barulah kembali turun ke Kilo 1. Sebagian kelompok lain tidak menjalank-an praktek ini, termasuk keluarga Domino, hanya kelompok pendeta saja yang melakukannya. Jarak tempuh antara kilo 1 menuju Kilo 7 bagi orang Lauje dapat dicapai dalam waktu kurang dari 2,5 jam. Tetapi bagi orang baru, bisa memakan waktu lima (5) hingga enam (6) jam.

Ada empat alasan orang Lauje menghabis-

kan waktu yang agak panjang di Kilo 1; Pertama, mereka baru saja membuka ladang jagung, kual-itas tanah masih agak subur dan sumber air pun mudah terjangkau karena berada dipinggiran da-nau Malala radius 100 meter; Kedua, orang Lau-je lebih mudah mengakses pasar di Desa Malala yang aktif seminggu sekali yakni pada hari ming-gu. Mereka menjual macam-macam hasil tanaman, maupun kerajinan seperti anyaman rotan, tali, ba-kul dan lain-lain yang mereka produksi dari ket-erampilan menganyam; Ketiga, orang Lauje se-bagian sudah bisa berbahasa Indonesia dan mem-baca. Mereka menggunakan handphone (HP) lay-aknya masyarakat pada umumnya, mereka dulu membeli 2 buah mesin genset yang ditempatkan di Kilo 7 namun kini mengalami kerusakan. Orang Lauje menumpang listrik pada malam hari untuk mengisi battery HP di Desa Malala. Disana mer-eka memiliki saudara yang sudah beralih menjadi pedagang di Pasar Malala; Keempat, orang Lauje sudah mulai terbiasa mengakses obat-obatan dan pelayanan medis moderen (rumah sakit). Aktivitas perdukunan (sando) sudah mulai mereka tinggal-kan setelah banyak bergaul dan aktivitas gereja dan pemuka agama kristen yang memberikan pendidi-kan.

Apalagi, tahun 2012 ini ada dua anggota komunitas mereka yang sedang hamil tua, maka tempat dipersiapkan terlebih dahulu agar tidak terlalu kesulitan ketika masa bersalin tiba. Orang Lauje punya pengalaman yang buruk tentang re-produksi dan proses bersalin yang gagal. Dalam sebulan ini ada dua orang ibu melahirkan tetapi anaknya meninggal. Angka kematian ibu dan bayi bagi orang Lauje di Takudan cukup menakutkan karena seringkali terjadi, akibat lambatnya proses akses menuju pelayanan rumah sakit. Mereka ha-rus pergi ke Kota Tolitoli yang jarak tempuhnya 2 jam kurang lebih waktu normal. Selain itu, sama sekali tidak ada pelayanan kesehatan seperti per-awat, posyandu, atau puskesmas yang ditempatkan dipemukiman mereka.

Masyarakat Lauje di Takudan tidak satu pun yang memiliki akses ke Bank atau membu-ka rekening tabungan, meski penghasilan mereka sudah lumayan dalam hitungan ‘uang”. Masyara-kat Lauje apabila berpenghasilan tidak disimpan di Bank. Jika pendapatan mereka anggaplah 300 ribu, seratus ribu disimpan dirumah dan 200 ratus ribu lainnya digunakan untuk keperluan membeli ber-as, petcin, garam, terasi, gula, dan lombok. Orang

Lauje di Takudan tidak menanam lombok dan to-mat. Apabila barang yang dibeli telah habis, maka uang seratus yang disimpan tadi dipergunakan un-tuk membeli barang yang sama. Terkadang juga mereka pinjamkan pada anggota komunitas.

Konsep hutang bagi orang Lauje tidak men-genal bunga atau persentase jasa dari piutang. Jum-lah yang dipinjam oleh orang tertentu akan dikem-balikan dalam jumlah yang sama. Di Kilo 1, mer-eka tidak hidup sendiri-sendiri, atau membuka la-han dan membangun rumah sendiri. Mereka hidup secara berkelompok dalam satu rumah berdasarkan bawaan dari Takudan. Misalnya, kelompok ‘pen-deta” berbeda dengan kelompok “domino”. Setiap jalur rotasi ladang berpindah kelompok selalu ikut bersama, kecuali pada lahan pribadi masing-mas-ing.

Pertanian yang dikembangkan orang Lauje di Takudan dan Kinapasan sepenuhnya terintegra-si dengan pasar. Untuk tanaman jangka panjang, mereka menanam kakao dan cengkeh mengiku-ti tradisi pertanian yang diperkenalkan lebih dulu oleh migran bugis secara independen dibagian hil-ir. Di sela-sela rumah, orang Lauje menanam po-hon kelapa. Kelapa itu tidak dijual mentah, orang Lauje mengolahnya menjadi kopra baru kemudian dijual pada tengkulak di desa tetangga.

Cengkeh yang mereka hasilkan diproses mengikuti tradisi petani bugis, meski pohon ceng-keh mereka jauh lebih muda dan batangnya ma-sih pendek. Tiap keluarga pemilik lahan menyewa atau menggunakan tenaga kerja untuk memetik. Tenaga kerja didapatkan dengan muda, sebab keti-ka musim panen cengkeh, banyak orang luar yang datang meminta pekerjaan musiman ini. Kadang-kadang tetangga rumah sesama orang Lauje juga dipakai untuk bekerja. Upah yang dibayarkan bagi setiap tenaga kerja dihitung berdasarkan jumlah satuan (dalam liter) cengkeh yang yang dipetik.

Cengkeh adalah hasil pertanian tahunan se-hingga bukan jenis pertanian yang dipilih secara intensif. Perhatian orang Lauje lebih banyak di-curahkan untuk menanam jagung. Pusat peladan-gan jagung Lauje Takudan sekarang ini dipusatkan di Kilo 1 untuk masa panen tiga bulan kedepan. Lahan ini sudah dua kali ditanami karena terbilang subur. Berada di pinggir danau Malala yang sekel-ilingnya dialiri sungai-sungai kecil.

Orang Lauje membudidayakan sendiri jag-ung yang dipilih dari hasil panen secara selektif. Jagung itu dipisahkan dan dikeringkan di tempat khusus. Ketika musim menanam tiba jagung itu disemai kembali. Sementara hasil yang lain di jual ke tengkulak (penada) yang berada di Desa Malala dengan harga yang kadang-kadang bervariasi, an-tara Rp.2000 hingga Rp.2.500 per kilogram. Rata-rata produksi jagung berkisar 4-5 ton untuk setiap lahan dua (2) hektar.

Tanaman jagung ini umumnya diolah di atas lahan orang Desa Malala yang statusnya pin-jam pakai, sehingga setiap ladang jagung diker-jakan secara berkelompok. Demikian pula tempat tinggal, mereka tidur dan makan dalam satu pon-dok yang lumayan besar, bisa menampung hingga sepuluh (10) orang. Mereka tidak dikenakan biaya khusus, atau pembagian hasil pada umumnya cara bertani sewa tanah, orang Lauje cukup memberi-kan seperlunya.

Cengkeh

Kecamatan Dondo, dan Tolitoli pada um-umnya adalah penghasil cengkeh terbesar di Su-lawesi. Kota Tolitoli mendapat julukan sebagai kota cengkeh lantaran tanaman komoditi pasar itu “ibarat lautan hijau” dilereng-lereng gunung, membentuk gugusan rapi mirip perkebunan sawit.

Tahun 1972, dimulainya penanaman ceng-keh secara massal di Kabupaten ini. Lahan-lah-an daratan dan bukit-bukit yang ditanami aneka macam varietas lokal, dianggap kurang produktif. Warga yang dipelopori oleh petani bugis mengusa-hakan secara swadaya membudidayakan ceng-keh dan mengganti tanaman yang dianggap tidak produktif dengan pohon bibit cengkeh. Dalam sekejap lereng-lereng bukit dan kaki pegunun-gan disulap menjadi “hutan cengkeh ” (Melalatoa, 1995).

Pada tahun 1991, luas keseluruhan areal kebun cengkeh mencapai 28.000 hektar dengan kurang lebih 15 juta pohon. Hasil yang signifikan itu terus berkembang dari masa-masa. Jenis ceng-keh yang ditanam di Tolitoli terdiri dari tiga jenis zanzibar, siputih, dan sikotok. Cengkeh Tolitoli se-jauh ini dianggap sebagai salah satu yang terbaik di Indonesia (Sangaji, 2007).

Pada awalnya komoditi ini sempat mense-

Page 10: KP No 13 Tahun 2012

16 | Kertas Posisi No 13 Tahun 2012

Ceng

keh,

HPH

Dan

Eks

pans

i Tam

bang

Dal

am P

oliti

k Lo

kal |

Stu

di K

asus

Don

do K

abup

aten

Tol

i-tol

i Sul

awes

i Ten

gah

Kertas Posisi No 13 Tahun 2012 | 17

Cengkeh, HPH

Dan Ekspansi Tam

bang Dalam

Politik Lokal | Studi Kasus Dondo Kabupaten Toli-toli Sulaw

esi Tengah

jahterakan petani setempat. Namun karena proses tata niaga cengkeh yang tidak bisa mengendalikan keseimbangan harga, membawa petaka dan pend-eritaan. Harga yang sedang berada di “puncak”, ti-ba-tiba merosot tajam tanpa bisa dikendalikan mis-alnya, dari harga Rp.9000 anjlok menjadi sekitar Rp.2000.

Pada tahun 2010, Berdasarkan data Dinas Perkebunan Tolitoli, luas areal tanaman cengkeh di wilayah tersebut mencapai 25.681 hektar yang di-miliki 24.500 orang, dari 190.579 jiwa penduduk kota Tolitoli. Terpuruknya harga cengkeh hingga di bawah Rp.50.000 perkilogram membuat banyak petani tidak memanen cengkeh selama beberapa tahun. Selain itu faktor serangan juga turut men-gakibatkan produksi cengkeh Tolitoli merosot ta-jam (Kompas,2010).

Kondisi semacam ini terjadi pada peri-ode 1990-1991 dan terulang kembali pada ta-hun 1998-hingga 2005. Semula harga menca-pai Rp.200.000 turun kadang-kadang sampai Rp.90.000. Tahun 2008-2009 sempat mencapai harga yang tinggi, berkisar antara 200.000 hing-ga 250.000, tetapi kembali mengalami penurunan hingga tahun 2010. Petani kembali bisa menikmati hasil cengkeh di tahun 2012 ini, sebab terjadi ke-naikan harga saat ini mencapai Rp.100.000 rupiah per kilogram.

Tabel.3 Produksi Cengkeh Toli-toli (dalam ton)

No Tahun Produksi

1. 1998 1.448

2. 2000 2.174

3. 2002 6.350

4. 2006 8.000

5. 2007 6.000

6. 2008 500

7. 2009 500

8. 2010 6.000

9. 2011 4.117

10 2012 -`

Total 35.083 Sumber: (Kompas, 2012)

Hancurnya harga cengkeh pada periode itu, berdampak buruk pada kehidupan petani di Tolito-li, terjadi sebagai dampak dari pembentukan Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC), ber-dasarkan Keppres Nomor 20/1992 jo Inpres No-mor 1/1992 oleh Presiden Soeharto. Saat itu pemerintah melihat peran Cengkeh terletak pada tiga hal: Pertama, sebagai bahan baku utama ro-kok kretek yang mencakup 80 persen produksi ro-kok nasional; Kedua, rokok kretek yang dihasilkan

dari cengkeh menyumbang sekitar Rp 23,2 triliun dari perkiraan Rp 29 triliun penerimaan cukai ro-kok; Ketiga, tenaga kerja yang terkait baik lang-sung maupun tidak langsung dengan industri ro-kok kretek, yaitu di sektor pertanian, industri ro-kok, dan perdagangan, serta sektor informal sekitar 6 juta tenaga kerja (Prastowo, 2007).

Soeharto, memberikan kuasa monopoli penuh kepada BPPC untuk membeli dan menjual hasil produksi cengkih dari petani. Elemen usaha yang tergabung dalam BPPC terdiri dari unsur Inkud (koperasi), PT Kerta Niaga (unsur BUMN), dan PT Kembang Cengkih Nasional (swasta), yang juga perusahaan milik keluarga cendana Tom-my Soeharto. Sebelumnya petani bebas menjual cengkeh pada pedagang dan Koperasi Unit Desa (KUD). Tetapi pada tanggal 11 April 1992, Soe-harto mengeluarkan Keppres Nomor 20/1992 ten-tang Tata Niaga Cengkih. Keputusan itu memberi-kan perintah mutlak, petani harus menjual ceng-keh ke Koperasi Unit Desa (KUD), kemudian di-jual ke BPPC, sesuai dengan harga yang ditetap-kan pemerintah. Saat itu pemerintah menetapkan harga cengkeh dengan Inpres Nomor 1/1992 sebe-sar Rp 7.900 dan Rp 6.000/kilogram. Harga ini di-ubah berdasarkan Inpres Nomor 4/1996 sebesar Rp 8.000/kilogram (Pujiati, 2007).

Berdasarkan Inpres tahun 1992, keuntun-gan dari pembelian menjadi Dana Penyertaan Modal (DPM) dan simpanan wajib khusus petani (SWKP). Dana yang dikelola oleh BPPC itu se-harusnya dibayarkan kembali kepada petani. Na-mun faktanya, dana yang menurut ICW hampir Rp 2 miliar itu tak pernah dibiarkan. Pemerintah akhirnya memberi kompensasi kepada petani. Pet-ani cengkih “menjerit,” hasil cengkeh yang dulu memuliakan sekarang jadi sumber derita, setelah monopoli (Pujiati, 2007).

Di Tolitoli, keadaan yang amburadul seper-ti diatas bertambah akibat jarak transportasi ceng-keh menentukan harga cengkeh itu sendiri dalam skala tertentu. Kondisi jalan yang rusak, fasilitas pengangkut yang tidak memadai serta keamanan pengiriman membuat harga tidak menentu. Ambil contoh, Desa Malala misalnya harga Rp.90.000 di Kota Tolitoli bisa mencapai Rp.250.000, (Melala-toa, 1995).24

24 Anggota Komisi I DPRD Sulawesi Tengah Baso Opu Andi Syarifuddin mengatakan, rasa nyaman masyarakat di Toli-toli sebagai daerah penghasil cengkeh terganggu setiap musim panen tiba. Aksi pencurian dan perampokan merajalela, apalagi ketika harga cengkeh diatas rata-rata harga normal. Kondisi ini selalu menimbulkan keresahan tetapi pemerintah tetap membi-arkan hal itu terus berulang dari tahu ke tahun tanp mencari akar masalah dan proses penangannya. Musim Panen Rakya Ceng-keh Tolitoli Rawan Pencurian. Antaranews.com edisi Kamis, 7 Juni 2012.

Tetapi kini, faktor paling menentukan status harga di Tolitoli dipegang oleh para tengkulak. Pet-ani seringkali melihat perbedaan harga yang sen-jang hingga dengan tingkat perbedaan 60 persen, misalnya tengkulak Tolitoli membeli dengan har-ga Rp.90.000, di Manado justru sudah mencapai Rp.150.000. Harga cengkeh itu ditentukan oleh se-dikitnya tujuh (7) orang pedagang China yang ber-pusat di Kota Tolitoli, dan (dua) 2 orang yang be-rada di Kecamatan Dondo serta kecamatan lain. Rantai perdagangan cengkeh dikuasai mulai dari skala desa hingga pada proses ekspor (penjualan keluar).25

Pemerintah Tolitoli sama sekali tidak ber-peran untuk mengatur soal harga. Tujuh orang tengkulak China itu berperan mengatur harga ses-uka hatinya. Ia mudah sekali menaikkan harga dan juga mudah menurunkan harga. Para tengkulak itu menjerat petani lewat metode pemberian modal awal pra musim panen tiba, misalnya meminjam-kan uang, obat-obat tanaman, pupuk dan lain-lain dalam bentuk pinjaman tanpa bunga. Syarat yang harus dipenuhi oleh petani hanya satu, menjual ha-sil cengkehnya pada tengkulak China tersebut.

Metode lain yang sering digunakan, bagi petani yang memiliki produksi cengkeh besar, di-datangi secara diam-diam oleh para tengkulak dan menawarkan harga yang tinggi dibanding petani yang lain secara rahasia. Bagi yang produksinya sedikit, ia harus menerima kenyataan harga sesuka hati para tengkulak. Para tengkulak jauh-jauh hari sudah mengetahui kisaran harga minggu selanjut-nya dan mematok harga menyesuaikan peningka-tan maupun minggu-minggu turunnya harga. 26

Keadaan seperti itu memaksa petani ti-dak bisa mengambil pilihan alternatif lain, kecu-ali harus menyimpan cengkeh menunggu harga yang tinggi. Seringkali petani datang mengeluh-kan harga cengkeh pada tengkulak yang memusat-kan kekayaannya di Surabaya itu. Tetapi para teng-kulak mengaku tidak bisa menaikkan harga terlalu tinggi, sebab pejabat pemerintahan di Kabupaten Tolitoli mendapat jatah khusus dari para tengku-lak itu, biasanya dihitung keuntungan per kilo dari penjualan petani. Terkadang juga menelpon lang-sung pada tengkulak meminta uang dalam jumlah

25 Wawancara Bahrun. Petani Cengkeh Tolitoli. 26 Wawancara Bahrun, 27 November, 2012.

� Diskusi Kampung Suku Lauje Tentang Tata Kelola Hutan

Foto : Dokum

en YTM

Page 11: KP No 13 Tahun 2012

18 | Kertas Posisi No 13 Tahun 2012

Ceng

keh,

HPH

Dan

Eks

pans

i Tam

bang

Dal

am P

oliti

k Lo

kal |

Stu

di K

asus

Don

do K

abup

aten

Tol

i-tol

i Sul

awes

i Ten

gah

Kertas Posisi No 13 Tahun 2012 | 19

Cengkeh, HPH

Dan Ekspansi Tam

bang Dalam

Politik Lokal | Studi Kasus Dondo Kabupaten Toli-toli Sulaw

esi Tengah

besar hingga ratusan juta.27

Sementara itu, petani tidak bisa mengak-ses informasi soal harga karena absennya peran pemerintah. Fungsi humas pemerintahan tidak ber-jalan, harga justru ikut didiamkan oleh pemerintah. Harapan petani cengkeh, jika pemerintah terlibat jauh untuk mengatur harga mungkin para tengku-lak itu tidak sewenang-wenang menentukan harga dan mengendalikan sirkulasi rantai perdagangan cengkeh di Tolitoli.

Tetapi harapan itu berbeda dengan yang di-mengerti oleh Ma’ruf Bantilan sebagai Bupati To-litli. Tahun 2007, ia mempromosikan konsep ker-jasama ekonomi dengan negeri-negeri tetangga seperti Malaysia dan Philipina yang katanya, dirin-tis sejak tahun 2000. Ia memberi nama konsep itu “Totata-Tosamin”, singkatan dari Tolitoli, Tarakan, Sandakan, Tawau, dan Mindanao, seolah-olah ber-nuansa lokalistik. Konsep ini ditujukan untuk me-ningkatkan perdagangan cengkeh di wilayah itu.

Ide itu dituangkan oleh Ma’ruf Bantilan dalam sebuah buku. Tetapi lawan politiknya me-nilai, ide itu tidak lebih dari sekedar pencitraan karena sejak tahun 1950-1967, tidak sesuatu yang baru karena kerjasama semacam ini, telah terban-gun hubungan dagang lewat komoditi kopra anta-ra masyarakat Dampal (Tolitoli) dengan Tawau di Malaysia (Sangaji, 2007).28

Pohon cengkeh yang sudah sangat tinggi, kini mulai diremajakan kembali, setelah secara mengagetkan tahun 1999-2005, harga cengkeh melambung tinggi. Tetapi produktifitasnya sudah mulai berkurang, sebagian kecil pun sudah mu-lai diganti dengan pohon kakao, yang harganya jauh lebih rendah ketimbang cengkeh (Melalatoa, 1995).

Secara nasional, pada tahun 2000 luas areal cengkeh hanya tersisa 428.000 ha dan tahun 2003 hanya 228.000 ha. Perkiraan untuk 2005 areal tanaman menghasilkan (TM) tinggal 213.182 ha. Produksi juga turun sejak tahun 2000, sehingga di-perkirakan tanpa upaya penyelamatan tahun 2009 produksi cengkeh Indonesia hanya akan mampu

27 Wawancara bekas pegawai tengkulak sebagai pengumpul di desa, yang menolak namanya disebutkan.28 Saat ikut pertemuan pada tahun 2007, gagasan ini dicela oleh lawan politik Ma’ruf sebagai gagasan pencitraan keluar, tetapi faktanya petani lah yang bekerja keras mencari peluang harga.

menyediakan sekitar 50% dari kebutuhan pabrik rokok kretek yang rata-rata pada empat tahun tera-khir mencapai 92.133 ton (Prastowo, 2007).

Ironisnya, Dinas Perkebunan Tolitoli me-nyebutkan, terdapat 3.000 hektar areal tanaman cengkeh menunggu untuk diremajakan karena su-dah tua dan diserang hama penggerek batang, ca-bang, dan tangkai. Tetapi alokasi dana pemerintah sangat terbatas, APBN dan APBD tahun 2011 han-ya menggelontorkan 400 juta rupiah, non APBD Provinsi, dari Rp 10 Miliar jumlah anggaran yang dibutuhkan (Kompas, 2012).

Argumentasi anggaran terbatas ini dijadi-kan sebagai alasan untuk mengundang keterlibatan investasi (kapitalis) melalui penetrasi modal, ter-hadap perkebunan cengkeh yang telah diusahakan rakyat jauh-jauh hari secara swadaya. Sebagai pintu keterlibatan pemodal, tahun 2010, pemerin-tah Kabupaten Tolitoli mempromosikan tiga jua-lan: Pertama, pengadaan bibit meliputi penamba-han areal lahan pembibitan, penyediaan bibit ung-gul, penyediaan modal petani, dan penyediaan pu-puk serta obat-obatan; Kedua, budidaya meliputi peremajaan dan perluasan lahan perkebunan ceng-keh, peningkatan mutu tanaman, pengendalian hama dan penyakit, serta penyediaan permodalan petani; Ketiga, panen dan pasca panen meliputi peningkatan mutu cengkeh, perluasan pasar, dan diversifikasi produk yang erat kaitannya dengan agro industri (Dinas Perkebunan Tolitoli, 2010).

HPH

“Bulan madu” sektor kehutanan terjadi ke-tika Soeharto memisahkan kehutanan dari wilayah agraria. Pemimpin orde baru itu meluncurkan Un-dang-undang (UU) kehutanan No.5 tahun 1967 yang disusul UU No.1 tahun 1967 tentang Penana-man Modal Asing (PMA), UU No.8 tentang Pena-naman Modal Dalam Negeri dan UU No.11 tahun 1967 tentang Pertambangan. Paket UU lintas sek-tor ini dibuat sebagai ‘jembatan” aliran investasi modal dari luar dan dalam negeri untuk kegiatan industri ekstraktif (Rahman, 2012).

Soal lain, UU kehutanan itu telah mem-bangkitkan kembali prinsip domain negara yang dengan susah payah di “semayamkan” pada masa pemerintahan Soekarno. Domain negara ini tak ubahnya revitalisasi kekuasaan “tuan tanah” (feo-dalisme) yang menyatakan bahwa negara adalah

pemilik lahan hutan (Rahman, 2012).

Dampak dari ‘kegilaan’ ini, tahun 1993 Soeharto memisahkan Direktorat Jenderal Kehuta-nan dari Departemen Pertanian. Ia meningkatkan status Direktorat menjadi Departemen Kehutanan yang memiliki yuridiksi sekitar lebih dari 140 juta hektar lahan hutan di seluruh Indonesia. Luas la-han tersebut mencakup 70 persen dari luas lahan seluruh Indonesia. Dengan demikian, sektor kehu-tanan menjadi sasaran empuk pengusaha, dianggap sebagai sektor paling strategis ketika itu (Rahman, 2012).

Berkah ini menjadi jalan bagi rezim Soe-harto dan kroni-kroninya yang memiliki hubun-gan kerjasama dengan perusahaan-perusahaan penebangan hutan dari luar, menumpuk kekayaan-nya. Mereka mengeksploitasi hutan primer untuk mengambil kayu secara besar-besaran, di Kepu-lauan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya. Tahun 1972, beberapa perusahaan Perhutani di Jawa dan Madura dihidupkan kembali menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk men-gelola lahan hutan, terutama mendatangkan keun-tungan dari sektor kayu jati (Rahman, 2012).

Regulasi yang dipandang sangat terbuka ini, menjadi landasan pacu Kebijakan pemban-gunan nasional di era Soeharto yang dititikberat-kan pada maksimalisasi ekstraksi kekayaan alam yang sebagian besar memiliki relasi (hubungan) kuat baik secara spritual maupun ekonomi dengan hutan, tanah, dan masyarakat yang hidup di seki-tarnya.

Kebijakan semacam itu, memberikan kes-empatan yang besar bagi arus modal (capital) be-sar mengintegrasikan modal dalam pendirian pe-rusahaan-perusahaan berbasis industri kayu untuk mengakses Hak Pengusahaan Hutan (HPH), yang sejalan dengan agenda industrialisasi kehutanan. Legitimasi kampus juga menjemput kesempatan ini. Universitas terkemuka di Indonesia membuka jurusan sendiri, fakultas kehutanan pokok studinya memuat studi kejuruan misalnya, manajemen dan produksi hutan, serta industri kehutanan.

Pasca orde baru (orde reformasi), regula-si kehutanan mengalami perubahan dari UU No.5 tahun 1967 diganti dengan UU Kehutanan No-mor 41 tahun 1999. Tetapi prinsip domain nega-ra masih melekat dalam bentuk lain. Status kepe-

milikan sektoral di bidang kehutanan mengalami fungsi berbeda, negara bersifat regulatif dan jauh lebih liberal. Misalnya, pasal 1 angka 6, memberi penjelasan bahwa hutan adat adalah hutan nega-ra yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.

Sementara itu, instrumen legalitas eksploi-tasi dirubah wajahnya sedemikian rupa, misal-nya, Hak Penguasaan Hutan (HPH) Berganti nama menjadi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK). Demikian pula dengan indus-tri ekstraktif lainnya, misalnya tambang, Izin Pin-jam Pakai Kawasan menjadi prasyarat ampuh yang memberikan kesempatan pada Kapitalis esktraktif mengobrak-abrik hutan alam.

Di Sulawesi Tengah, umumnya deforesta-si dilakukan dalam kurun waktu 20 tahun terakh-ir. Sebanyak 11 pemilik HPH menggasak tegakan hutan alam di Sulawesi Tengah. Proses deforesta-si diperparah oleh aktivitas penebangan kayu dilu-ar blok tebang yang telah ditentukan, berdasarkan Rencana Kerja Tahunan (RKT) masing-masing perusahaan yang disahkan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah. Investigasi Walhi Sult-eng dari tahun 2006 hingga 2008 mencatat, dela-pan (8) perusahaan pemilik izin HPH melakukan aktivitas demikian.

Walhi Sulteng pula mencatat, kawasan hu-tan alam yang menjadi lokasi blok tebangan seba-gian masuk di wilayah hutan masyarakat “tempa-tan” (adat). Dua perusahaan paling terkenal adalah PT Bina Balantak Raya (BBR) yang menggasak hutan alam komunitas Tau Taa Wana. Di Malala Kabupaten Tolitoli, PT Kalhold menggasak hutan adat masyarakat Dondo di Takudan yang juga di diami suku migran Lauje, Bugis dan Buol.29

Pada tahun 2008, eksploitasi hutan oleh sektor pemegang Hak Pengusahan Hutan (HPH) di Sulawesi Tengah mengalami penurunan. Luas penebangan di tahun 2008 mencapai 883,12 ha, jika dibandingkan dengan luas penebangan di ta-hun 2007 sebesar 1.090,05 ha, terjadi penurunan sebesar 18,98 persen. Demikian halnya den-gan Produksi (eksploitasi), tahun 2008 sebanyak 25.570,08 m³, jika dibandingkan dengan produksi

29 Diskusi Informal dengan Direktur Walhi Sulteng Ahmad Pelor, 23 November 2012. Ahmad adalah pengkampanye hu-tan profesional Walhi Sulteng yang turun langsung melakukan investigasi ketika masih menjabat sebagai Divisi Kampanye Hutan Walhi Sulteng tahun 2006.

Page 12: KP No 13 Tahun 2012

20 | Kertas Posisi No 13 Tahun 2012

Ceng

keh,

HPH

Dan

Eks

pans

i Tam

bang

Dal

am P

oliti

k Lo

kal |

Stu

di K

asus

Don

do K

abup

aten

Tol

i-tol

i Sul

awes

i Ten

gah

Kertas Posisi No 13 Tahun 2012 | 21

Cengkeh, HPH

Dan Ekspansi Tam

bang Dalam

Politik Lokal | Studi Kasus Dondo Kabupaten Toli-toli Sulaw

esi Tengah

tahun 2007 sebanyak 35.064.89 m³, menunjukkan penurunan sebesar 20,25 persen. Pemerintah meng-klaim terjadi efesiensi pengusahaan hutan pada tahun 2007 sebesar 32,17 m³ per hektar hutan menjadi 28,95 m³ per hektar hutan pada tahun 2008 (BPS, 2009).

Tabel 1. TARGET DAN REALISASI PRODUKSI KAYU BULAT (BERDASARKAN JENIS) DI PROVINSI SULAWESI TENGAH TAHUN 2005-2006

No Jenis Kayu Bulat/Log species2005 2006

Rencana (M3) Realisasi (M3) Rencana (M3) Realisasi (M3)

1. Agathis (Aghatis celobica Warb ) 22.282,00 6.732,24 37.187,00 15.355,97

2. Cempaka (Aromadendron spp) 1.819,59 157,00 1.903,00

77,82

3. Dao 26,00 26,00 45,00

0,00

4. Durian (Durio spp ) 70,00 70,00 81,00

0,00

5. Kayu cina 23,00 23,00 86,00

0,00

6. Kayu Pasang 1.068,00 0,00 4.437,00

476,12

7. Lengori 785,00 0,00 2.276,00

131,24

8. Mangga hutan (Mangifera spp ) 22,00 22,00 107,00

0,00

9. Matoa (Pometia spp ) 4.298,26 216,74 2.287,00

373,28

10. Meranti (Shorea spp ) 10.438,00 5.607,00 9.687,00

8.395,90

11. Nyatoh (Ganua spp ) 10.618,49 3.039,95 11.014,00

3.988,42

12. Palapi (Heritiera spp ) 3.049,50 92,30 1.159,00

127,72

13. Pulai (Alstonia spp ) 1.606,00 0,00 _ _

14. Tapi-tapi 507,00 0,00 2.437,00 259,87

15. Rimba campuran/ Others 38.810,02 14.478,22 38.651,00

20.385,67Jumlah/Total 95.422,86

30.464,45

111.357,00 49.572,01

Sumber: Dishut Sulteng (diolah kembali, 2012) Keterangan / Note :( 0 ) : Tidak ada realisasi produksi / No realization( - ) : Tidak ada data / No data

Kawasan hutan di Kecamatan Dondo mencakup; Hutan Lindung 15.888,0 Ha, Hutan Produksi 23.833,00 Ha, Hutan Konservasi 4.158,00 ha, Hutan Rakyat 1.208,0 Ha, Hutan Suaka 2.215,00 Ha. Ter-dapat Cagar Alam Tinombala yang ditetapkan dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebu-nan No. 339/Kpts-II/1999 tanggal 24 Mei 1999 dengan luas 37.106,12 ha. Secara keseluruhan hingga ta-hun 2011, Kecamatan Dondo luasnya mencapai 624,23 Ha, dengan jumlah penduduk mencapai 21.828 jiwa (Hadi, 2012).

Tetapi kondisi hutan alam di pegunungan Takudan itu mengalami kerusakan yang serius sudah sejak lama. Berdasarkan data Badan Statistik Provinsi Sulawesi Tengah luas wilayah Kabupaten Tolitoli 4.076, 77 Km2 dengan luas hutan 80 % dari luas wilayah. Sejak tahun 1989, hampir 60 % telah dikuasai oleh pengusaha yang memiliki izin HPH dintaranya PT. Gunung Manik, PT. Rimba Sulteng, PT. Kolano Dua Tiga, PT. Raslim dan PT. Kalhold (Dopalak, 2012).

PT Kayumanis Holding Company (PT Kalhold), salah satu perusahaan penanaman modal dalam negeri (PMDN) yang berjasa merusak hutan alam Kecamatan Dondo. Areal konsesi perusahaan ini terse-bar di dua Kabupaten, Tolitoli dan Buol dengan luas areal yang dikuasai 48. 000 Ha. Penguasaan di-peroleh berdasarkan izin SK. HPH Nomor 389/Kpts-II/1989 tanggal 2 Agustus. Khusus di KabupatenTo-litoli berlokasi di kecamatan Dampal utara, Dampal selatan, Dondo dan Baolan. Sementara dikabupaten Buol terletak diwilayah Kecamatan Momunu. Untuk penguasaanya di dua Kabupaten dilakukan selama

20 Tahun, dari tahun 1989 hingga 2009. (Dopalak, 2009)30.

Dari 48. 000 Ha yang di kuasai di dalamnya terdapat beberapa wilayah hutan yaitu hutan lind-ung (HL) 2. 763, 00 Ha, hutan produksi terbatas (HPT) 30. 315, 00 Ha, hutan produksi tetap (HPT) 11, 516, 00 Ha dan Areal Penggunaan Lain (APL) 6. 169, 49 Ha. Sehingga secara garis besar sisa wilayah penguasaan untuk di kelola PT. Kalhold di Kabupaten Buol dan Tolitoli tinggal 19. 989, 95 Ha (Dopalak, 2004).

No TahunRencana Realisasi

Luas(Ha)

Volume(M3)

Luas(Ha)

Volume(M3)

1. 1989/1990 - - - -

2. 1990/1991 900.00 35,000.00 400.00 14,541.54

3. 1991/1992 900.00 33,100.00 900.00 24,124.72

4. 1992/1993 900.00 27,200.00 900.00 21,077.78

5. 1993/1994 900.00 25,200.00 900.00 22, 544.05

6. 1994/1995 800.00 13,200.00 800.00 20,875.29

7. 1995/1996 700.00 15,396.00 300.00 8,288.99

8. 1996/1997 700.00 21,311.00 314.00 6,571.36

9. 1997/1998 587.01 34,977.68 299.17 11,191.06

10. 1998/1999 906.14 32,366.69 87.22 33,978.82

11. 1999/2000 923.91 36,374.65 290.00 11,623.76

12. 2000 872.80 32,366.69 381.00 14,187.44

13. 2001 1,090.80 38.468.03 364.00 12,895.61

14. 2002 - - - -

15. 2003 493.00 16,996.00 203.80 15,051.50

16. 2004 704.00 23,545.00 617.44 20,647.81

17. 2005 639.00 14,119.00 262.00 5,686.40

Jumlah 12,016.66 361,152.71 7,018.63 243,286.13

Sumber:RKT, 2006 (Data Base Walhi Sulteng)

Lokasi konsesi PT. Kalhold terletak di dua kelompok hutan yakni hutan Sungai Talau dan

30 Tulisan Harli menjelaskan seluk-beluk ekspansi Kapital di SulawesI Tengah dengan judul: Ekspansi Modal, Isu Identias, Kekerasan : Perlawanan Rakyat Terhadap Ekspansi Kapitalis Di Sulawesi Tengah

Sungai Silondou. Untuk melaksanakan pengelo-laan hasil hutan PT. Kalhold melakukan kerjasama dengan industri PT. Santi Murni Plywood yang ber-lokasi di Samarinda, Propinsi Kalimantan Timur.

PT CPM Versus PT SMM

Percakapan seputar ekspansi pertamban-gan, kini telah meluas hingga ke wilayah Dondo Kabupaten Tolitoli. Ada begitu banyak perbincan-gan mengenai aktivitas perusahaan dilapangan, na-mun tidak semua orang mengetahui dengan persis

siapa yang sesungguhnya sedang mengincar Toli-toli, terutama wilayah Kecamatan Dondo dan seki-tarnya. Demikian pula konflik yang tengah mema-nas berkaitan dengan keterlibatan Pemda sebagai pihak tergugat, dalam kasus tambang Dondo.

Kini diketahui dua raksasa tambang sedang mengancam kawasan ini sebagai arena operasi per-

Tabel. 2 Daftar Target Dan Realisasi Luas Tebangan dan Produksi IUPHHK, PT Kalhold

Page 13: KP No 13 Tahun 2012

22 | Kertas Posisi No 13 Tahun 2012

Ceng

keh,

HPH

Dan

Eks

pans

i Tam

bang

Dal

am P

oliti

k Lo

kal |

Stu

di K

asus

Don

do K

abup

aten

Tol

i-tol

i Sul

awes

i Ten

gah

Kertas Posisi No 13 Tahun 2012 | 23

Cengkeh, HPH

Dan Ekspansi Tam

bang Dalam

Politik Lokal | Studi Kasus Dondo Kabupaten Toli-toli Sulaw

esi Tengah

tambangan; Pertama, PT Sulawesi Molibdenum (PT. SMM). Perusahaan ini merupakan kesatuan vertikal yang lima Izin Usaha Pertambangan (IUP) yakni: PT. Sumber Sembilan Emas, PT. Promistis, PT. Era Moreco, PT. Indo Surya, PT. Inti Cemer-lang.

Secara umum perusahaan ini beroperasi dibawah kontrol Victory West Moly Limited Ltd sebuah perusahaan dari Australia yang banyak mendapatkan suntikan anggaran dalam merger sa-ham dengan Jinsiang Group sebuah raksasa tam-bang di China yang sedang menanjak. Kontrol Vic-tory atas deposit molib diseputar Dondo dilakukan dengan pola manajemen integrasi vertikal, melalui anak perusahaan Victory West Pty, dengan total luas konsesi 23, 747 hektar.

Kedua, PT Citra Palu Mineral (CPM) adalah atas nama pemilik kontrak karya. Kemudi-an oleh PT.Bumi Resources salah satu perusahaan skala Trans Nasional Cortporation milik Kongle-merat Abu Rizal Bakrie yang juga pejabat menteri rezim SBY-JK (sekarang Ketua Umum Golkar ter-pilih periode 2009-2014). Membeli saham CPM dari PT.New Cress dengan Komposisi Kepemi-likan saham 99,9%.

Sementara Dalam Laporan Kepemilikan sa-ham tanggal 31 Desember tahun 2007, PT. Bumi Resources merupakan aliansi modal dari sejum-lah perusahaan raksasa yakni PT Samuel Sekuri-tas Indonesia 3.69%, JPMorgan Chase Bank Na Re Nominees Ltd. 1.95%, Bank of New York 1.89% dan PT Bakrie and Brothers Tbk 14.28%, serta Ju-piter Asia No. 1 Pte. LTD 4.30%. Secara prinsip proses penjualan semacam ini telah melanggar ke-tentuan kontrak yang tidak memperbolehkan pe-mindahan tangan kontrak karya.

Kontrak Karya emas CPM diterbitkan pada tahun 1997 dan ditandatangani oleh Presiden RI Soeharto. Melalui surat Presiden RI No Presiden No. B-43/Pres/3/1997 tanggal 7 Maret 1997, PT Citra Palu Mineral resmi menjadi perusahan pe-megang KK generasi ke VI, dengan bahan galian utama emas dan mineral ikutannya. Melalui East Kalimantan Coal Pte. Ltd, Rio Tinto menguasai 90 persen saham PT CPM. Saham sisa sebanyak 10 persen dimiliki oleh PT Arlia Karyamaska. KK PT CPM seluas 561.050 hektar membentang dari Ka-bupaten Buol, Tolitoli, Donggala dan Parigi Mou-tong (Sekarang masuk daerah Kabupaten baru me-kar Sigi Biromaru.

PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR) dan be-berapa perusahaan dalam kelompok usaha Bakrie menandatangani perjanjian jual beli (sale and pur-chase agreement) dengan Perusahaan Rothscild, yaitu Vallar PLC (Vallar). Vallar PLC melepas sekitar 5,2 miliar saham di PT Bumi Resources Tbk (BUMI) pada harga Rp2.500 per unit atau sekitar 75% dari total saham. Tetapi belakangan diketahui, Rothscild sebagai pemilik Vallar berseteru dengan Bakrie, terkait soal hutan dan peralihan pengaruh dalam perusahaan yang baru dibangun bernama Bumi PLC berkedudukan di London Inggris.

Eksplorasi PT SMM berlokasi didataran pe-gunungan Nancy, dapat ditempuh satu hari perjala-nan waktu normal dari perkampungan orang Lauje di hulu Sungai Takudan. Kegiatan itu sudah ber-langsung dari tahun 2008, mempekerjakan lebih dari 50 orang masyarakat dari Kalimantan dan be-berapa orang penduduk setempat, dan orang Lauje.

Tetapi ternyata dua konsesi IUP PT SMM yakni PT Inti Cemerlang dan Promistis tumpang tindih dengan konsesi Kontrak Karya (KK) PT Ci-tra Palu Mineral (CPM). Pemerintah Kabupaten Tolitoli berharap Pemerintah pusat (Kementeriaan ESDM) memfasilitasi negosiasi kedua perusahaan. Pemerintah meminta masyarakat mengirim tanda tangan untuk dikirim pada pemerintah pusat, tapi ide itu gagal.

Pada bulan Maret 2011, PT CPM meng-gugat Pemerintah Kabupaten Tolitoli sebagai ter-gugat 1 (satu) dan Promistis serta Inti Cemerlang sebagai tergugat 2 (dua), untuk membatalkan ked-ua IUP yang diberikan pada PT SMM. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Palu me-menangkan gugatan PT CPM tertanggal 16 Juni 2011. Pemerintah Tolitoli tidak menerima putusan itu, ia melakukan intervensi keberpihkan pada dua IUP milik PT SMM mengajukan banding ke Pen-gadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Makassar 4 Juli 2011, hasilnya, Pemda Tolitoli dinyatakan ka-lah.

Pemerintah Tolitoli berpendapat, ke-beradaan PT CPM tidak memberikan manfaat ekonomi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Tolitoli. Pasca kekalahan ini pemerin-tah terus melakukan protes terhadap Kementeri-aan ESDM. Selain alasan diatas, pihak SMM telah memfasilitasi banyak pada pejabat teras di ling-kungan pemerintahan Tolitoli. Kepala dinas dan

jajarannya tertentu diberikan fasilitas, seperti naik haji, kapal Boat, dan beberapa kali kunjungan ke Australia markas tempat berkedudukan PT SMM.31

Sebelumnya, pemerintah menggalang du-kungan dari tokoh agama, aparat desa, pemuda dan camat. Melalui surat DPRD Nomor:176/226/DPRD/ T/II/ 2008, tanggal 15 Mei 2008, pemer-intah mengajukan usulan penciutan lahan konsesi KK PT CPM pada kementrian.

Surat ini dilayangkan hampir bersamaan dengan penerbitan 13 IUP di Kecamatan Dondo. Masyarakat Dondo di tiga desa yakni Malala, Mal-ulu, Malomba, diilusi dengan isu ganti rugi tanah yang sebenarnya adalah kawasan hutan (Nancy), mereka sibuk mengurus SKPT pada kepala desa masing-masing. Pemerintah menggunakan ma-syarakat sebagai legitimasi mencaplok kawasan hutan yang beririsan dengan Cagar Alam Tinom-bala dan Gunung Sojol.32

IUP dalam Kawasan Hutan

Hingga tahun 2012 Pemerintah Kabupaten Tolitoli menerbitkan lisensi pertambangan pada perusahaan sebanyak 23 Izin Usaha Pertambangan (IUP). IUP itu sebagian besar masuk dalam ka-wasan hutan dan sebagian masuk dalam kawasan Cagar alam Tinombala. Pemerintah berani mengel-uarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di areal hu-tan, namun belum memiliki Izin Pinjam Pakai Ka-wasan Hutan (IPPKH). Bahkan masih dalam tahap pengajuan izin ke Kemenhut.

Padahal, dalam kawasan hutan yang tidak memiliki izin pengalihfungsian hutan dari men-teri Kehutanan, adalah tindakan pelanggaran hu-kum sebagaimana diatur dalan UU No. 41 Tahun 1999 Jo Tentang Kehutanan. Dalam hal ini, harus ada tindakan tegas dalam penegakan hukum beru-pa pemberian sanksi hukum terhadap pihak yang terlibat dalam upaya-upaya pengalihfungsian ka-wasan hutan tanpa melalui prosedur yang benar.

31 Wawancara mantan Humas PT SMM, tahun 2011. Wawa-ncara Tim Kuasa hukum Pemda Tolitoli tahun 2011. Dari per-cakapan itu terkesan pihak Pemda Tolitoli tidak menguasai materi pokok dalam pertambangan. Argumentasi mereka terlalu lemah dan tidak memiliki basis legitimasi yang jelas. 32 Wawancara tertutup dengan administrator PT SMM tahun 2011. Lelaki itu bercerita banyak tentang profil SMM, dan ok-num pejabat Tolitoli yang bersikeras meloloskan proyek ini.

� Aktivitas Eksplorasi Tambang PT SMM di Malala

Foto : Dokum

en Jatam Sulteng

Page 14: KP No 13 Tahun 2012

24 | Kertas Posisi No 13 Tahun 2012

Ceng

keh,

HPH

Dan

Eks

pans

i Tam

bang

Dal

am P

oliti

k Lo

kal |

Stu

di K

asus

Don

do K

abup

aten

Tol

i-tol

i Sul

awes

i Ten

gah

Kertas Posisi No 13 Tahun 2012 | 25

Cengkeh, HPH

Dan Ekspansi Tam

bang Dalam

Politik Lokal | Studi Kasus Dondo Kabupaten Toli-toli Sulaw

esi Tengah

Sesuai dengan Pasal 134 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, ke-giatan usaha pertambangan tidak dapat dilak-sanakan pada tempat yang dilarang untuk melaku-kan kegiatan usaha pertambangan sebelum mem-peroleh izin dari instansi Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Lebih tegas lagi, pasal 50 ayat (3) huruf g jo. Pasal 38 ayat (3) UU No. 41 Tahun 1999 ten-tang Kehutanan, mengatur bahwa setiap orang di-larang melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa melalui pemberian Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang diterbitkan oleh Menteri Kehutanan dengan mem-pertimbangkan batasan luas dan jangka waktu ter-tentu serta kelestarian lingkungan.

Beberapa perusahaan yang diduga lang-sung masuk dalam kawasan hutan itu antara lain, PT. Indonesia Eka Risti Alfa, PT. Tunas Kasih, PT Andhika Bhakti, PT. Inti Cemerlang, PT. Prom-istis, PT. Sumber Mas, dan PT. Era Moreco. Be-berapa perusahaan tambang tersebut, adalah anak perusahaan dari PT Sulawesi Molybdenum Man-agemen, yang akan mengeruk habis Molybdenum, tembaga dan lain sebagainya di wilayah Keca-matan Dondo Kabupaten Tolitoli.

Total penggunahan lahan areal konsesi se-luruh IUP tersebut seluas 39.005 Hektar. Sebagian besar izin tersebut berada dalam wilayah Cagar Alam Tinombala yang ditetapkan dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 339/Kpts-II/1999 tanggal 24 Mei 1999 dengan luas 37.106,12 ha.

Stigma dan Perspektif Pemerintah terhadap Orang Lauje

Ada semacam persepsi yang keliru dial-amatkan oleh pemerintah pada komunitas orang Lauje di Takudan. Mereka tetap saja dianggap seb-agai suku bangsa terbelakang yang tidak memerlu-kan kesempatan atau akses fasilitas kesehatan dan pendidikan modern. Seringkali pula stigmatisasi dari orang luar atau hilir sekitar pemukiman orang Lauje, menyebut mereka sebagai “orang dayak” atau “Bela”.

Sebutan “orang dayak” mengandung pel-ecehan, merendahkan yang artinya masyarakat yang terbelakang diambil dari anggapan atau ste-reotip kebijakan pemerintah orde baru, diikuti de-fenisinya yang melihat orang bermukim di hutan sebagai suku “rendahan”.33 Anggapan itu muncul dari perilaku dan tradisi kehidupan yang berbeda.

Sejak tahun 1990-an anak-anak orang Lau-je terkesan atau dikesankan sebagai masyarakat “aneh”, oleh komunitas migran lain. Hal itu ber-dampak pada jarak dan hubungan pergaulan lintas suku. Anak orang Lauje yang berada di Kinapas-an memilih bersekolah di SDN 1 Ogowele yang jaraknya lima kilometer, setiap hari mereka tem-

33 Tania Li selalu menyebut hal ini sebagai latar dari tujuan pemerintah memperbaiki atau kehendak merubah yang dilan-dasi dari cara pandang yang salah, hingga berakhir pada kesim-pulan tehknis. Dalam buku The Will To Improve, Tania melihat hal itu sebagai bentuk “Governmentality” kehendak yang punya kuasa atas yang dikuasai.

puh berjalan kaki. Sekolah ini dihuni mayoritas anak-anak Suku Dondo yang memiliki kemiripan bahasa. Kedua suku itu memiliki jarak kebuday-aan yang tidak terlampau senjang. Sebenarnya, di Kinapasan terdapat SDN II yang jaraknya cukup dekat. Tetapi mereka sering dihina dengan nada ejekan penuh makna merendahkan misalnya, mer-eka disebut “orang dayak”, anak dalam,” sebutan yang sering ditampilkan, sebagai bentuk diskrimi-nasi yang merendahkan pada suku bangsa tertentu yang diproduksi sejak rezim orde baru berkuasa. Kenyataan itu membuat orang Lauje lebih memilih sekolah di SDN 1 untuk menghindari bermasalah dengan orang-orang Bugis. Guru-guru yang beras-al dari Buol sendiri sebetulnya tidak memberikan jarak atau label tertentu pada muridnya, semua di-perlakukan sama.

Perkembangan selera konsumsi dengan tingkat relasi penguasaan atas tanah yang kian tim-pang, mengakibatkan akses terhadap media (ba-rang) yang dianggap oleh orang bugis sebagai sim-bol modernitas, motor, mobil, teknologi, sulit di-penuhi oleh orang-orang tersebut. Kehidupan me-

wah bukan menjadi pilihan alternatif bagi orang Lauje dan Dondo secara umum, hanya beberapa keluarga saja yang terhitung mampu.

Selain stigma masyarakat terasing dan lain-lain, sebutan sebagai masyarakat “pongko” atau manusia jadi-jadian di alamatkan secara merata bagi komunitas yang bermukim, terutama di ba-gian ogowele tengah. Masyarakat ini dijepit oleh stigma semacam itu, mengakibatkan jangkauan mereka terbatas dan kesulitan untuk mengakses in-formasi dan pergaulan ke luar lebih longgar.

Stigmatisasi itu sering sejalan dengan pros-

es peralihan tanah. Di Ogowele Tengah, lahan per-tanian sawah seluas 200 hektar, tidak lagi aktif ber-produksi karena rentannya penjulan tanah pada ma-syarakat di wilayah hilir (kawasan pantai itu me-manjang dari Lais hingga Malala). Tanah dan kela-pa dibelakang rumah mereka dijual pada pedagang bugis, guru-guru dari Buol. Disaat yang sama, isu “pongko” merajalela. Orang luar penuh ragu dan dipenuhi prasangka yang buruk ketika berinterak-si dengan orang di desa ini. Banyak orang Don-

� Rumah Orang Lauje di Kilo 7 Malala : Mengalami Agresi Pembangunan

Foto

: D

okum

en Ja

tam

Sul

teng

� Orang Lauje Sedang Berladang

Foto: Dokumen YTM

Page 15: KP No 13 Tahun 2012

26 | Kertas Posisi No 13 Tahun 2012

Ceng

keh,

HPH

Dan

Eks

pans

i Tam

bang

Dal

am P

oliti

k Lo

kal |

Stu

di K

asus

Don

do K

abup

aten

Tol

i-tol

i Sul

awes

i Ten

gah

Kertas Posisi No 13 Tahun 2012 | 27

Cengkeh, HPH

Dan Ekspansi Tam

bang Dalam

Politik Lokal | Studi Kasus Dondo Kabupaten Toli-toli Sulaw

esi Tengah

do yang semula memiliki lahan turut menjualnya dan memilih untuk pergi merantau ke Kaliman-tan, Pantai Timur Parigi Moutong, dan Malaysia. Orang Dondo yang tersisa bekerja sebagai buruh tani, memanjat pohon kelapa dengan pola upahan, serta menggarap kebun kakao secara bagi hasil34.

Pada tahun 2011, sebuah program pem-berdayaan dilakukan oleh pemerintah Kabupat-en Tolitoli yang dikelola oleh pemuda setempat di desa ini. Sarjana antropologi lulusan universi-tas terkemuka di Sulawesi Tengah itu mengajarkan baca tulis. Sasaran program ditujukan bagi ‘kaum ibu” suku Lauje. Dilakukan pada sore hari selepas orang Lauje mengelola ladangnya. Program itu di-beri judul besar” pendidikan buta aksara” untuk masyarakat “terasing.”

Di Kilo 1, Pemerintah Tolitoli memberi-kan jatah beras raskin pada orang Lauje setiap tiga bulan karena mereka sudah terdaftar sebagai pen-duduk Desa Malala. Tetapi perlakuan terhadap mereka tetap saja menyisahkan nuansa interaksi berbau stigma. Pada tiga bulan pertama, mereka diberikan jatah secara merata 15 kilogram setiap rumah tangga.

Tetapi, pada bulan-bulan selanjutnya jatah raskin itu berubah, jumlahnya tidak tetap seperti awal pembagian, turun kadang-kadang 4 kilogram dan jatah terakhir hanya 9 kilogram setiap rumah tangga. Kondisi beras yang diberikan cukup mem-perihatinkan, seperti nampak tidak layak dimakan karena sudah menyerupai limbah padi yang kalau dimasak membengkak seperti jagung. Beras itu lebih layak disebut ‘makanan tahanan” penjara be-landa.35

Dampak Penetrasi Kapital dan Komoditi Pasar

Secara teknis penguasaan lahan PT. Kal-hold dalam jumlah besar telah menimbulkan se-jumlah masalah. Khususnya bila ditinjau dari as-pek kualitas lingkungan maupun segi opresional-isasi pengelolaannya berdasarkan Rencana Kerja

34 Desa Ogowele Tengah dikisahkan oleh orang luar sebagai pusat “pongko” (wawancara, 2011-2012). Kata mereka “pong-ko disitu jadi-jadian, kadang-kadang jadi monyet, kucing, dan kadan-kadang jadi ular, atau anjing. Selama penulis pulang per-gi ditempat itu, belum pernah melihat cerita yang disampaikan orang-orang tersebut. 35 Penulis ikut merasakan langsung beras Raskin tersebut, saat disajikan oleh Keluarga Doman orang Lauje.

Tahunan (RKT). Hal tersebut terbukti dari bebera-pa temuan hasil investigasi Yayasan Dopalak Indo-nesia pada tahun 2003-2005.

Pertama, PT Kalhold telah melakukan ke-

giatan penebangan hutan bukan pada rencana ker-ja tahunan (RKT). Hal ini sesuai dengan peta ren-cana kerja areal HPH, bahwa untuk pengelolaan dan penguasaan hutan, PT. Kalhold dalam RKL II untuk RKT I berada di Kecamatan Baolan te-patnya di Desa Janja( RKT 1995-1996 ) dan RKT II-V berada di Kecamatan Momunu di mulai dari tahun 1996-2000. Demikian pula RKL III dari ta-hun 2000-2005 masih berada di Kecamatan Mo-munu Kabupaten Buol. Namun dalam aksinya jus-tru pihak perusaahaan kembali melakukan aktivita-snya pada bulan Januari 2003-2004 di Kabupaten Tolitoli. Aktivitas tersebut dapat dikatakan bahwa PT Kalhold telah melakukan Ilegal logging den-gan volume produksi tahun 2003 mencapai 15.033. 21 meter kubik, sesuai dengan SK. RKT No. 522.21/0512/Subdin PH. Kepala Dinas Kehuatan Kabupaten Tolitoli;

Kedua, PT. Kalhold telah melakukan Re-logging (penebangan kembali) pada areal bekas penebangan. Halinise mestinya tidak dapat dilaku-kan, sebab mekanisme operasi penebangan harus sesuai dengan RKL-RKT. Dimungkinkan melaku-kan relloging apabila ada izin kembali oleh Mentri Kehutanan berdasakan KEPMENHUT/23/KPTS-II/1994 tentang perpanjangan hak penguasaaan hu-tan.

Ketiga, dampak operasi PT. Kalhold di Ka-bupaten Tolitoli terdiri dari: a) Erosi pada kelom-pok hutan S. Talau (Takudan) pada awalnya sebe-sar 55, 98 ton setiap Ha per tahun. Setelah berop-erasi selama lima (5) tahun laju erosi meningkat sampai 132, 56 ton setiap Ha per tahun. Indika-tornya, perusahan tidak sepenuhnya melakukan reboisasi/pelaksanaan pola Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) pada blok tebangan sepenuh-nya sebagaimana keputusan Dirjen penguasaan hutan, Departemen kehutanan No. 564/Kpts/IV/BPHH/1989 tentang Pedoman TPTI; b) Banjir aki-bat dari meningkatnya laju erosi, maka berdampak pada ketidakmampuan hutan dalam menyerap se-cara maksimal debit air hujan. Ketidakmampuan tersebut berakibat pada meningkatnya debit air se-hingga terjadi pelebaran disekitar pinggiran sung-gai hingga mencapai 50 meter tepatnya di Desa Janja. Pada tahun 2000-2003 terdapat 40 rumah

penduduk yang dipindahkan dari pinggiran sungai. Tahun 2004 ada sekitar 30 rumah penduduk, fasili-tas umum seperti Masjid, lapangan serta kuburan teranca mbanjir; c) Kebakaran hutan terjadi diareal bekas tebangan PT Kalhold yang berdekatan den-gan dusun Salusupan Desa Janja. Areal kebakaran hutan kurang lebih 270 Ha.

Selain beberapa fakta diatas, Yayasan Do-palak Indonesia juga mencatat terjadinya proeses pemiskinan masyarakat sekitar lokasi HPH. Para petani pedesaan itu masih memiliki hubungan ketergantungan dengan keseimbangan alam, mis-alnya, untuk kebutuhan rumah tangga non kayu. Bermasalah akibat banjir bandang yang menim-pah persawahan mereka sejak tahun 1998. Han-curnya kebun – kebun ladang di wilayah Salusu-pande akibat tumpahan minyak solar dan akibat-nya tidak dapat difungsikan lagi. Namun pihak pe-rusahaan hanya memberikan ganti rugi yang tidak sepadan dengan apa yang dirasakan warga selama ini.

Differensiasi Orang Lauje

Tanaman cengkeh juga mengakibatkan peralihan status kepemilikan tanah pribadi secara permanen berbasis kepala keluarga (KK). Meski demikian, orang Lauje belum mengenal praktek jual beli tanah. Tetapi ukuran lahan setiap anggota komunitas sangat ditentukan oleh seberapa besar yang diinginkan setiap calon subjek pemilik lahan, saat proses pembukaan dilakukan. Sebab hal itu si-fatnya jangka panjang, misalnya tenaga yang ha-rus dikeluarkan saat pengelolaan selanjutnya. Hal itu yang menyebabkan struktur kepemilikan lahan bertingkat-tingkat. Perhitungan luas lahan meng-gunakan jumlah tanaman dan lokasi, misalnya, cengkeh seratus pohon ditiga tempat, atau kakao 200 pohon di dua tempat.

Pemilik tanah terluas diantara anggota ko-munitas Lauje di Takudan berada ditangan kelu-arga Domino anak kepala suku. Domino memi-liki lahan yang berada di lima tempat. Bagi orang Lauje, Domino adalah pekerja keras (giat) dalam sehari waktunya dihabiskan diladang-ladang dan kebun. Apabila kembali ke rumah, ia hanya paling lama menghabiskan waktu 1 jam. Pola waktu ker-ja berbeda dari orang Lauje pada umumnya yang menunggu rumput tumbuh di lokasi ladang baru ada aktivitas (basube/melamung), atau merotasi diri ke tempat lain menunggu produksi ladang lain-

nya. Domino memiliki 2 anak perempuan muda yang membantunya mengelola lima lahan tersebut. Posisi kedua ditempati oleh Risman, adik kand-ung Domino. Ia memiliki lahan yang berada di tiga tempat, sebagian pemberian dari bapaknya sebagai kepala suku. Kepala suku sendiri sekarang hanya memiliki lahan disatu tempat di Kilo 5, umurnya sudah cukup tua jadi sudah tidak mampu lagi ikut mengelola semua ladang yang dipunyainya.

Selain karena faktor genealogis dan kebu-dayaan, diferensiasi akses terhadap lahan juga ban-yak dipengaruhi oleh intervensi pihak luar. Tahun 2006, orang Lauje di Takudan mereka mendapat-kan pelayanan ritual kekristenan yang intensif. Ke-tika seorang misionaris lokal dari Manado berna-ma Chris, memfasilitasi pembangunan gereja prak-tek pelayanan. Selain pelayanan gereja, Chris juga memberikan pengetahuan dan penyuluhan pertani-an melibatkan ahli yang dikirim oleh pihak gereja, dipadukan dengan sekolah non-formal bagi anak-anak suku Lauje perempuan dan Laki-laki. Anak-anak lelaki dan perempuan muda diajarkan mem-baca dan menulis. 36

Pemilik lahan terluas lainnya dipegang oleh pemimpin jemaat Gereja Takudan. Orang Lauje sering menyebutnya “pendeta,” meski pengeta-huan kekristenannya bukan didapatkan dari seko-lah Teologia dan proses pelayanan Vicaris (kepen-detaan). Melainkan pengetahuan dari misionar-is karena aktif menjadi pengurus jemaat. Terma-suk soal budidaya dan pemanfaatan lahan, pen-getahuan itu memberikannya alasan memanfaat-kan lahan. “Pendeta” memiliki kebun atau lahan di dua tempat. Di Kilo 3 ia memiliki 200 pohon cengkeh dan 100 pohon lainnya di bekas TO (tem-pat penampungan kayu) PT Kalhold, wilayah hilir Takudan.

Orang Lauje Menjadi Kuli

Seperti yang sudah disebutkan di atas, tiga periode eksploitasi hutan di Malala Kecamatan To-litoli terjadi dari periode tahun 1980-an, ketika pe-rusahaan HPH Kalhold di hulu Sungai Takudan

36 Sebagian dari perempuan itu sekarang sudah menikah. Umur pernikahan orang Lauje untuk ukuran orang luar dinilai sangat cepat beresiko karena dilakukan pada umur belasan tahun 12 hingga 14 tahun. Kepribadian mereka juga tampak agak lebih cepat dewasa karena orang tua mereka dari umur tiga tahun su-dah memperkenalkan cara hidup di hutan, termasuk mengajar-kan cara berburu (ba tado) dan mendaki gunung.

Page 16: KP No 13 Tahun 2012

28 | Kertas Posisi No 13 Tahun 2012

Ceng

keh,

HPH

Dan

Eks

pans

i Tam

bang

Dal

am P

oliti

k Lo

kal |

Stu

di K

asus

Don

do K

abup

aten

Tol

i-tol

i Sul

awes

i Ten

gah

Kertas Posisi No 13 Tahun 2012 | 29

Cengkeh, HPH

Dan Ekspansi Tam

bang Dalam

Politik Lokal | Studi Kasus Dondo Kabupaten Toli-toli Sulaw

esi Tengah

dan sekitarnya melakukan eksploitasi kayu berke-las. Ketika itulah orang Lauje Takudan pertama kali berkenalan dengan cara kerja upahan (uang). Kemudian disusul 2008-2009 eksplorasi tambang PT SMM di dataran pegunungan Nancy (gunung kembar). 37

Operasi PT Kalhold di camp tujuh (7) atau hulu sungai Takudan memberikan peluang interak-si dan perubahan cara hidup bagi masyarakat Lau-je di Sungai Takudan. Kondisi hidup yang tertutup dan selektif secara paksa dibuka melalui pemban-gunan camp penampungan kayu (terminal) yang berada persis di bawah rumah-rumah orang Lauje.

Interaksi awal terjadi ketika perusahaan memberikan kesempatan mereka ikut bekerja di PT Kalhold. Sebagai orang yang paham keadaan hutan, pengetahuan mereka yang tanpa ijasah dija-dikan sebagai modal yang berguna untuk memban-tu proses penebangan hutan. Tenaga kerja mereka dimanfaatkan untuk kegiatan produksi perusahaan pada jenis kerja kasar seperti: sebagai buruh ang-kut bahan makanan, alat-alat kerja yang diperlukan serta beperan sebagai penunjuk jalan.

Setelah PT Kalhold keluar dan menyatakan berhenti. Justru tenaga dan pengetahuan hutan orang Lauje dimanfaatkan oleh para tengkulak kayu di Desa Malala untuk mengambil kayu dalam bentuk bantalan. Kayu-kayu sisa tebangan Kalhold yang diameternya tidak cukup 40 cm, ditebang se-cara sembunyi-sembunyi dalam bentuk pengga-lan-penggalan besar (bantalan). Para tengkulak itu memberikan upah yang tidak seberapa pada orang Lauje untuk menarik kayu menuju hilir (kilo 1) Desa Malala.

Menyusul sebuah perusahaan rotan. Perha-tian orang Lauje yang semula aktif terlibat dalam mengambil kayu, perlahan-lahan berubah masuk dalam kegiatan pengambilan rotan di dalam hutan. Selain dijual pada tengkulak di Desa Malala, se-bagian hasil rotan itu dibuat anyaman dan dijual sendiri pada hari minggu di Pasar Malala.

Pada tahun 2007-2008, PT SMM memu-

37 Nancy, adalah nama Blok Anomali B PT SMM, orang Lauje menyebut tempat itu dengan sebutan pegunungan Nancy. Nama itu sebetulnya pemberian PT Rio Tinto atas jasa seorang ahli geolog yang melakukan eksplorasi untuk kepentingan Rio Tinto, yang kemudian hari mendapatkan Kontrak Karya tahun 1997 dengan nama perusahaan PT Citra Palu Mineral. Hasil dari eksplorasi itu menemukan kandungan Molibdenum terbe-sar di Sulawesi Tengah berada dalam perut Bumi Kecamatan Dondo, tepatnya memanjang di” Pegunungan Kembar” hingga ke wilayah hilir Kinapasan Ogowele Tengah.

lai eksplorasi digunung Nancy. Sebanyak 4 orang Suku Lauje diserap menjadi tenaga kerja harian dengan upah ribu per hari. Mereka dipekerjakan sebagai buruh kasar membantu mengangkat pera-latan pengeboran, bangun rumah, dan camp-camp karyawan. Selain itu, 12 orang lainnya bekerja sebagai kuli angkut sampel Molybdenum. Tiap orang rata-rata memikul Moly seberat 40 kilo den-gan upah 5000 rupiah per Kilo, dari pegunungan Nancy menuju Sibaluton yang ditempuh satu hari penuh. Rata-rata orang Lauje berhasil memikul Moly 20 kali per orang. Secara keseluruhan, total Moly yang mereka angkut sebanyak 200 box atau sekitar 8 ton.

Pada tahun 2011, SMM menghentikan ak-tivitas eksplorasi sementara waktu karena tersang-kut konflik dengan PT Citra Palu Mineral (CPM). Sebanyak 6 orang Lauje bekerja menjaga camp dengan upah 2.250.000 per bulan. Tetapi gaji mer-eka hanya dibayarkan selama empat bulan, selebi-hnya perusahaan kabur dan sampai sekarang tidak ada kabar. Orang Lauje yang semula bekerja dis-itu, kembali melakukan aktivitas bertani dan me-ladang.

Di Kecamatan Dondo, pada tahun 2008, ke-tika musim cengkeh booming, tiap tenaga kerja di-upah Rp. 4.500 per liter. Agak rendah dari sistem upah petani bugis yang berada di bagian selatan Tolitoli arah ke Kabupaten Buol. Disana, upah di-berikan pada tenaga kerja dihitung dalam satuan (liter). Setiap liter cengkeh yang dikumpulkan di-upah seharga Rp.5000 ribu rupiah, ditambah den-gan jatah makanan dan rokok, orang Lauje menye-but insentif terakhir itu dengan sebutan “di jamin”.

Ketika musim cengkeh tiba, banyak anak-anak Lauje ikut merantau ke arah Selatan Tolito-li sebagai tenaga kerja memetik cengkeh. Keper-gian mereka, biasanya paling lama memakan wak-tu 15 hari, sebab mereka harus kembali memban-tu keluarganya. Dengan ukuran waktu seperti itu, anak-anak Lauje sudah bisa memegang uang hing-ga Rp.3.000.000 juta rupiah. Uang yang mereka dapatkan sebagian dibelanjakan untuk keperluan dapur orang tua.38

38 Wawancara Martinus, Oktober 2012, pemimpin pemuda Lauje, anak ini berasal dari Tompe, bekas anggota rombongan berburu babi (ba tado) yang kini menetap sebagai penduduk Takudan. Ia disukai oleh orang Lauje karena bisa memahami kehidupan mereka, Tinus juga berperan menghubungkan orang Lauje dengan dunia luar, termasuk mengajari orang Lauje cara menggunakan HP. Orang Lauje di Takudan rata-rata memiliki HP. Mereka memutar lagu-lagu tempo dulu seperti karya Siti Sandora, Tommy J Pisah, dan lagu-lagu bernuansa dero.

Anak-anak Lauje Takudan yang sudah mengenal baca dan tulis, bahasa Indonesia mere-ka relatif juga baik. Modal itu dipergunakan untuk bergaul dengan pemuda di Desa Malala dan seki-tarnya. Hasil dari interaksi itu yang membuat mer-eka cukup mudah mendapatkan pekerjaan serabu-tan di Kota atau jadi Kuli di musim pertanian ceng-keh.

Politik Lokal dan Ekspresi Konflik Pilkada

Dibawah kekuasaan “Ma’ruf Bantilan, ke-hidupan masyarakat Tolitoli justru semakin mero-sot. Meskipun daerah itu terkenal sebagai pengha-sil cengkeh terbesar, tetapi hasil dari sektor itu ti-dak kunjung merubah wajah Tolitoli dari keterpen-cilan. Jalan-jalan menuju ibu kota Propinsi sejauh 200 km, kondisinya buruk dan berlubang. Demiki-an halnya dengan Kecamatan seperti Dondo, orang tidak bisa menikmati listrik disiang hari sebab han-ya menyala dari pukul 18.00 wita sore hari hingga pukul 00.00 wita dini hari (CGA, 2012).39

Sepuluh tahun berjalan kekuasaan Ma’ruf tidak kunjung memberikan harapan yang baik bagi

39 Kondisi demikian itu masih berlangsung hingga kini, 2012. Keadaan semacam itu penulis rasakan saat melakukan sejum-lah wawancara dan observasi dibeberapa desa di Kecamatan Dondo.

penduduk Tolitoli. Klan Bantilan justru menggali kekecewaan karena tidak kunjung ada kemajuan dari segi pembangunan serta pengelolaan anggaran pembangunan dan cara para elit yang didominasi keluarga Bantilan, mengelolanya. Dari tahun 2003 hingga 2007, sejumlah organisasi non pemerintah (ornop) mensinyalir dugaan penyalahgunaan ang-garan. Tanggal 20 september 2007 lima anggota DPRD dan salah satu keluarga Bantilan ditangkap atas dugaan tindak pidana korupsi (CGA, 2012).40

Dinamika politik di Tolitoli mengalami pe-rubahan, sejak gerakan masyarakat adat yang mun-cul dalam kurun periode senja orde baru hingga re-formasi, juga menggaung hingga ke daerah itu. Pada bulan Februari tahun 2002, Yayasan Dopal-ak Indonesia memfasilitasi terbangunnya Dewan Adat Masyarakat Dondo (DAMD) yang berlang-sung dari akhir Februari hingga awal Maret ta-hun 2002. Tetapi inisiatif ini tidak berjalan mulus, muncul reaksi dari Bupati Tolitoli Ma’ruf Banti-lan yang masih keturunan darah biru, menghalang-halangi kegiatan kongres. Rumah adat dan ruang kongres yang dibangun secara swadaya oleh ma-syarakat Dondo dibakar oleh orang tidak dikenal. Selain itu, beredar selebaran gelap yang menuduh

40 Selain dugaan korupsi pasar, korupsi yang menjerat para ang-gota legislatif itu terkait dugaan penggelembungan biaya pem-bangunan rumah jabatan ketua DPRD.

Foto

: D

okum

en Ja

tam

Sul

teng

� Perempuan dan Anak Lauje, Peserta Balai Belajar di Kinapasan

Page 17: KP No 13 Tahun 2012

30 | Kertas Posisi No 13 Tahun 2012

Ceng

keh,

HPH

Dan

Eks

pans

i Tam

bang

Dal

am P

oliti

k Lo

kal |

Stu

di K

asus

Don

do K

abup

aten

Tol

i-tol

i Sul

awes

i Ten

gah

Kertas Posisi No 13 Tahun 2012 | 31

Cengkeh, HPH

Dan Ekspansi Tam

bang Dalam

Politik Lokal | Studi Kasus Dondo Kabupaten Toli-toli Sulaw

esi Tengah

Marwan Dahlan Direktur Dopalak sebagai anak seorang eks tahanan Politik PKI.41 Meski mendapat rintangan yang berat, kongres itu terbilang sukses, berhasil membentuk DAMD, beserta alat keleng-kapannya seperti kepengurusan, program kerja, dan status organisasi (Sangaji, 2010).

Distribusi anggaran daerah yang tidak pro-porsional dan sarat dengan korupsi itu, mencip-takan kesenjangan baik dari segi kultural maupun akses sumber daya. Hal itu memunculkan perlawa-nan terhadap “kekaisaran Bantilan” Tolitoli. “Per-ang dingin” pertama kali di dengungkan pada peri-ode 1999-an hingga 2000-an dalam bentuk tuntu-tan pembentukan Kabupaten baru, bernama Dondo Dampal (Dompal). Dewan Masyarakat Adat Don-do (DAMD) yang di pimpin oleh ketua adat M. Radjaili mendukung gerakan itu, sebagai bagian dari tokoh pemekaran. Ia mengklaim bahwa Ke-camatan Dondo dan Dampal adalah teritori yang didiami oleh suku Dondo, dan layak untuk mekar mengelola daerahnya sendiri.42

Perlawanan selanjutnya muncul dari kalan-gan orang Bugis melalui Azis Bestari. Azis adalah PNS, dipercayai sebagai pionir perlawanan terh-adap “kekaisaran Bantilan” untuk membawa pe-rubahan. Ia menggunakan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) yang disponsori keluarga cendana, sebagai alat untuk melakukan propaganda peruba-han, terutama pembagian alokasi anggaran secara lebih adil bagi kelompok bukan suku asli (CGA, 2012).

Tetapi keberadaan Azis sebagai perwakilan bugis terlalu mengusung kesukuannya. Kampanye-kampanye pilkada sering mempromosikan tantan-gan yang bernuansa “aparteid” untuk mendulang keuntungan politik. Padahal isu ras dan agama adalah bagian yang paling sensitif dalam masyara-kat, sehingga banyak pihak yang khawatir dengan sepak terjangnya (CGA, 2012).

Perseteruan dengan Ma’ruf mengencang ketika Desember 2003, ia berhenti jadi PNS dan maju dalam Pemilu DPRD tahun 2004. Tetapi Ma’ruf yang kalah itu sementara menjabat Bupati mensiasati niat lawan politiknya itu. Pertama-tama

41 Marwan Dahlan sekarang menjabat Wakil Ketua DPRD Ka-bupaten Buol periode 2009-2014 dari Partai Hanura. 42 Pernyataan Radjaili saat membukan Seminar Lingkungan di Kecamatan Dondo tahun 2012. Sejumlah tari-tarian dan lagu khas Dondo ditampilkan sebagai pembuka acara.

ia menolak memberikan permohonan berhenti, lalu memecatnya setelah pendaftaran kandidat ditutup. Pada tahun 2004, Azis maju sebagai kandidat bu-pati tetapi kalah dari Ma’ruf yang memperoleh su-ara 45 persen dan Azis 34 persen. Pada tahun 2009, persaingan terus berlanjut, Azis maju sebagai calon legislatif DPRD dibawah dukungan suku bugis dan kelompok pro perubahan. Ia terpilih menjadi ket-ua, dan Ma’ruf Bantilan gagal, yang masa jabatan-nya akan berakhir di tahun 2010 (CGA, 2012).

Ketegangan panjang kedua elit politik itu bertemu dalam Pemilu kada tahun 2010. Azis kembali mencolok, ia satu-satunya kandidat yang dikeroyok oleh keluarga Bantilan. Masing-ma-sing kandidat itu adalah Iskandar yang didukung oleh Ma’ruf Bantilan, Saleh Bantilan mantan ket-ua DPRD Toli-Toli dan Ismail Bantilan. Seluruh kandidat menggunakan orang bugis sebagai pas-angan, kecuali Azis, ia menggunakan Amiruddin Nua orang Buol yang pernah jadi kolega Ma’ruf tapi disingkirkan.

Tapi sayang, enam hari menjelang pemili-han, Amirudin meninggal dunia usai berkampa-nye di Kecamatan Dampal selatan. Situasi politik pun berubah, Tra Bantilan melihat peluang besar untuk menyingkirkan Azis dari bursa pertarungan. Dalam kebingungan KPUD meminta bantuan KPU untuk mengeluarkan keputusan yang bertepatan dengan kunjungan KPUD provinsi dan kabupaten di Jakarta tanggal 26 Mei 2010, mengikuti train-ing penanganan kasus diskualifikasi yang berbeda (CGA, 2012).

Di Jakarta mereka bertemau Andi Nurpati untuk membicarakan persoalan ini. Andi Nurpati menyimpulkan, pasangan calon baru dianggap ti-dak sah apabila kedua orang dalam pasangan itu meninggal dunia. KPUD Toli-Toli tidak setuju, tapi ia menghargai keputusan atasannya. Secara mengagetkan, Andi rupanya sudah menulis surat yang mendukung Azis, ditandatangani Ketua KPU Hafiz Anshary. Surat itu dikirim lewat fax ke tim sukses Azis, dan segera dibagi-bagikan pada war-ga untuk menghapus nestapa dan membangkitkan harapan. Pada tanggal 17 Mei KPU Jakarta men-gadakan rapat yang terjadwal dengan DPR dihad-iri keluarga Bantilan. Bawaslu mengkritik putusan KPU itu, dan KPU menjawab kritik dengan men-arik keputusan tanggal 29 Mei 2010 dan menerbit-kan surat yang menggugurkan Azis (2010).

Gubernur Sulawesi Tengah memantik “per-cikan api padang rumput kering”, ia menerbitkan surat tertanggal 30 Mei yang tidak menghiraukan putusan KPU ke dua. Menteri dalam negeri mem-batalkan putusan gubernur dan memastikan pemilu kada digelar 2 Juni 2010, tanpa Azis Bestari. Ama-rah pendukung Azis seketika memuncak, lantaran keputusan yang saling meniadakan itu dianggap sebagai legitimasi atas dugaan upaya pencuran-gan (pencekalan) terhadap Azis. Massa pendukung Azis tumpah ruah ke jalan melakukan aksi pemba-karan surat-surat suara termasuk fasilitias perkan-toran.

Tanggal 22 Oktober 2010, 32 pelaku pem-bakaran telah menerima vonis hukuman enam bu-lan penjara. Tanggal 15 Juni 2010, Azis mengaju-kan uji materi ke Mahkamah Konstiusi (MK) dan akan diputuskan dalam dua minggu dari waktu pengajuan. MK memutuskan pada tanggal 19 Juli 2010, tidak ada yang diskriminatif dalam penggu-naan pasal-pasal yang digunakan KPU untuk men-gakhiri pencalonan Azis. Azis menerima putusan itu, situasi pun menjadi normal, pemilu kada dise-lenggarakan pada 31 Juli 2010 yang dimenangkan oleh Saleh Bantilan, meski partisipasi pemilu kada hanya berkisar 57 persen dari jumlah pemilih.

Di Bawah Kekuasan Saleh Bantilan, kebi-jakan bernuansa industri ekstraktif terus berlanjut dan justru semakin diperluas. Indikasi itu menguat jika dilihat dari orientasi pembangunan: Pertama, ada rencana industrialisasi perkebunan Cengkeh swadaya petani terintegrasi ke dalam usaha perke-bunan yang melibatkan pemilik kapital melalui proyek peremajaan Cengkeh; Kedua, Pemerintah Kabupaten mendorong proyek industri ekstraktif yang bertambah menjadi 23 Izin Usaha Pertam-bangan (IUP), sebagai salaht indikator mengejar pertumbuhan ekonomi.43

Perlawanan Mahasiswa: Menolak Tambang Untuk Keselamatan dan Kesetaraan

Marginalisasi yang cukup panjang terhadap orang Dondo melalui sejumlah kebijakan pemban-gunan yang kapitalistik, menuai perlawanan dari kebangkitan gerakan kaum terpelajar di Kota Palu. Pada tanggal 12 Januari 2007 berdiri organisasi Ikatan Mahasiswa Pemuda Dondo (IMPD). Hal itu

43 Pertambangan menjadi salah satu Idola Saleh Bantilan, dalam berbagai ceramahnya saat berkunjung ke Kecamatan Dondo , 2012.

menunjukan bahwa orang Dondo juga mulai men-dorong anak-anak mereka untuk mengenyam du-nia pendidikan lebih tinggi.

Pada bulan Mei 2011, berlangsung Kongres ke II yang sekaligus merubah nama menjadi Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa Dondo (IPPMD), ter-pilih sebagai ketua Moh. Rifai M Hadi. Pada peri-ode ini berhasil mencatatkan anggota organisasi sebanyak 115 orang. Organisasi ini memberikan nafas kebangkitan daerah yang tujuannya bukan saja merekrut atau mengorganisasikan orang Don-do, tetapi semua suku yang mendiami wilayah itu, termasuk Bugis, Buol, Mandar dan Suku Lauje.

Moh. Rifai M Hadi, sebagai Ketua Umum juga terlibat dalam berbagai pergerakan sosial dan Lingkungan yang ada di Kota Palu. Pada pertenga-han 2011, bertemu dengan organisasi Jatam Sult-eng dalam sebuah diskusi. Jatam Sulteng pada saat itu memaparkan rencana investasi tambang yang akan berekspansi ke wilayah Dondo. Sebanyak 13 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dikeluar-kan oleh Bupati Tolitoli sejak tahun 2008, melalui Ma’ruf Bantilan.

Informasi itu mendapat tanggapan serius dari kalangan mahasiswa Dondo yang hadir dalam pertemuan itu. Hasilnya, dibuatlah rekomendasi investigasi dan membangun wacana pergerakan to-lak tambang di Dondo. Sebanyak 12 orang ditugas-kan turun lapangan untuk mengecek dan menggali informasi soal ini. Hasil dari investigasi tersebut, menjadi sebuah bahan dalam konsolidasi lebih lan-jut.

Pada tanggal 16 Februari 2012, mahasiswa Dondo menggunakan IPPMD bekerjasama dengan Mahasiswa Pecinta Alam Fakultas Hukum Untad (KUMTAPALA) menggelar Seminar Lingkungan Hidup bertema” One Plane One Future”, pertama kali dilaksanakan di Kecamatan Dondo yang ber-langsung di Gedung Balai Desa Tinabogan. Dalam seminar itu dihadirkan pihak Pemerintah Toli-toli yang diwakili staf Badan Lingkungan Hidup (BLH), Anggota DPRD Tolitoli, Ketua DAMD dan aktivis Jatam Sulteng. Sebanyak kurang lebih 300 orang peserta hadir dalam kegiatan itu, yang didominasi para guru dan pegawai setempat.

Dalam seminar itu mengemuka wacana ancaman tambang terhadap kehidupan petani di Dondo. Jatam Sulteng membeberkan fakta aktivi-

Page 18: KP No 13 Tahun 2012

32 | Kertas Posisi No 13 Tahun 2012

Ceng

keh,

HPH

Dan

Eks

pans

i Tam

bang

Dal

am P

oliti

k Lo

kal |

Stu

di K

asus

Don

do K

abup

aten

Tol

i-tol

i Sul

awes

i Ten

gah

Kertas Posisi No 13 Tahun 2012 | 33

Cengkeh, HPH

Dan Ekspansi Tam

bang Dalam

Politik Lokal | Studi Kasus Dondo Kabupaten Toli-toli Sulaw

esi Tengah

tas perusahaan di dalam hutan yang mulai meru-sak sumber air di pegunungan Tau’dan Malala. Rupanya, seminar itu menjadi media informasi terhadap orang-orang Dondo, sebab sebagian be-sar dari warga setempat belum mengetahui adanya rencana tambang tersebut. Terbentuk opini dianta-ra pemuka masyarakat dan pemerintah lokal: seba-gian tampil menolak dan sebagian lain memihak perusahaan.

Upaya membangun wacana tolak tambang tidak berakhir disitu, bahkan IPPMD sebagai or-ganisasi pelajar ikut bergabung dalam aliansi strat-egis gerakan sosial Kota Palu, Front Penyelamat Kedaulatan Rakyat (FPKR). Pada tanggal 22 Feb-ruari 2012, menggunakan atribut FPKR mereka melalu aksi di depan Kantor PT Citra Palu Miner-als (CPM), menuntut PT. CPM keluar dari Dondo, Kabupaten Tolitoli. Mispawati, menilai kehadiran CPM merupakan agenda Imperialisme sehingga pemerintah harus segera mencabut kontrak karya PT CPM. Bagi mereka, beroperasinya tambang di Dondo akan membawa kesengsaraan bagi ma-syarakat dihari depan.

Aksi ini rupanya memantik reaksi keras dari pihak PT CPM. Beberapa orang diutus untuk melakukan intimidasi terhadap keluarga Mispawati di Kecamatan Dondo. Ia diancam karena posisinya sebagai Korlap saat aksi penolakan PT CPM. Teta-pi intimidasi tidak menyurutkan perlawanan maha-siswa. Justru, berbagai aksi nasional turut melibat-kan peran mereka, misalnya aksi Tolak BBM 29 Maret 2012, dan beberapa aksi solidaritas lainnya. Tujuannya adalah untuk mencari sekutu yang bisa mendukung gerakan mereka menolak tambang di Kecamatan Dondo.

Program dilapangan, IPPMD bersama Ja-tam Sulteng memfasilitasi pembangunan Balai Be-lajar komunitas. Pada Juni 2012 Launcing perta-ma kegiatan ini dalam suatu diskusi bertema: “Tata Kelola Hutan Menurut Lauje”. Program ini bertu-juan sebagai medium silang pengetahuan komuni-tas To Lauje dan Orang Dondo dengan daya rusak pertambangan sebagai sebuah ancaman. Inventari-sasi pengetahuan sebagai basis wacana perlawan-an terhadap ekspansi pertambangan menjadi target utama kegiatan.

Pemusatan Balai Belajar berada di dua komunitas yakni Lauje Kinapasan dan Lauje Tau’dan. Kedua tempat itu dianggap sebagai titik

pusat dari rencana ekspansi pertambangan. Den-gan demikian, komunitas yang berada ditempat itu perlu mendapatkan penguatan baik dari segi pen-getahuan maupun kelembagaan. IPPMD dan Jatam Sulteng berharap, komunitas itu dapat menstimula-si kesadaran dari dalam menuju masyarakat bagian luar kawasan hutan untuk berjuang atas perlindun-gan wilayah kelola dan sumber penghidupan pet-ani di Dondo secara umum.

Pada tanggal 24 Juni 2012, diselenggara-kan Kongres ke III IPPMD, bertempat di Gedung KNPI Provinsi Sulawesi Tengah. Kongres ini men-gukuhkan Alkiyat J Dariseh sebagai ketua Umum. Hingga tahun 2012, anggota organisasi bertambah menjadi 125 orang. Alkiyat yang terpilih sebagai Ketua Umum, melanjutkan perjuangan melawan rencana ekspansi tambang di Dondo.

Pada tanggal 12 September 2012, IPPMD bersama Jatam Sulteng yang dipimpin langsung oleh Alkiyat J Dariseh sebagai Koordinator La-pangan (Korlap) memimpin aksi ke Dinas Kehu-tanan Provinsi Sulawesi Tengah. Mereka memba-wa tiga tuntutan besar: Pertama, mendesak Dinas Kehutatan Provinsi Sulawesi Tengah dan Dinas Kehutanan Kabupaten Tolitoli untuk tidak mener-bitkan rekomendasi Izin Pinjam Pakai Kawasan

Hutan (IPPKH) terhadap 23 Izin Usaha Pertam-bangan (IUP) di Kabupaten Tolitoli serta memer-iksa dugaan pengalifungsian sektor kehutanan ke sektor pertambangan; Kedua, menolak aktivi-tas eksplorasi ataupun eksploitasi perusahaan tam-bang di Kecamatan Dondo, Tolitoli; Ketiga, me-minta pemerintah mencabut Izin Usaha Pertam-bangan (IUP) di Kecamatan Dondo, Tolitoli.

Untuk meluaskan pengaruh di wilayah pemerintahan Kabupaten dan mencari sekutu per-juangan, dalam periode ini IPPMD membentuk ca-bang di Kota Tolitoli yang melaksanakan Kongres Pertama tanggal 25 November 2012, terpilih seb-agai ketua Umum Asrip. Kongres ini juga berha-sil merampungkan pengurus dan melakukan pen-catatan anggota, mahasiswa Dondo yang berada di Tolitoli. Perjuangan melawan ekspansi tambang masih terus berlangsung hingga saat ini.

Meski gerakan mahasiswa mulai meluas dan berjejaring dengan sejumlah organisasi non pemerintah di Kota Palu, tetapi masih terdapat be-berapa kelemahan; Pertama, gerakan yang diban-gun mahasiswa belum terintegrasi dengan tun-tutan reel masyarakat Dondo secara umum, baik pada level pembangunan kekuatan petani (organ-isasi) maupun gerakan masyarakat adat yang per-nah tumbuh berkembang di daerah itu; Kedua, ma-sih terdapat sekat-sekat primordial, baik dari segi geografis perbatasan desa maupun dari soal etnisi-tas; Ketiga, gerakan mahasiswa kurang memberi-kan perhatian serius terhadap proyek pembentukan kelas yang disuplai secara vertikal maupun yang berkembang dari proses interaksi sosial, migrasi, dan penetrasi pasar seperti yang telah diuraikan panjang lebar.

Catatan-catatan

Belajar dari kondisi orang Dondo dan Lau-je Tolitoli, ekspansi Kapital di atas kompleksitas identitas telah mendorong terbentuknya ketimpa-ngan sosial dari eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) . Masyarakat saling berebut “sisa rejeki” dengan menanam cengkeh, Kakao dan Jagung un-tuk kebutuhan ekspor, di atas lahan-lahan bekas te-bangan HPH yang dihantui ekspansi pertamban-gan.

Sementara itu, disaat yang sama perkebu-nan dan peladangan swadaya terbatas kini didesak oleh kebijakan bernuansa konsesi-konsei perkebu- � Orang Lauje Sedang Memanen Jagung

Foto: Dokumen YTM

nan. Cirinya bermuara pada suatu tahapan menuju proyek besar perampasan tanah yang dibangun di-atas mentalitas korupsi yang menggurita.

Disamping itu, kebijakan perluasan ekono-mi dan penetrasi kapital dalam kurun waktu yang cukup panjang. Ekonomi rakyat, terutama petani independen terus didesak oleh ambisi kekuasaan Tra Lokal (politik klan) untuk membangun kekua-saan ekonomi dan politik. Sehingga beberapa hal bisa menjadi catatan:

Pertama, kritik yang diperlukan adalah “membidik” penetrasi kapitalis menjadi jauh leb-ih prioritas. Karakter penarikan surflus jarak jauh berbasis skala dari desa hingga global, adalah kun-ci dari hubungan global kapitalis agar dapat terus survive untuk menyerap bahan baku, tanpa perlu datang langsung menimbang cengkeh orang Lauje. Peran itu diambi alih oleh tengkulak dengan peran mandor-mandor perkebunan cengkeh.

Penetrasi kapital mendorong transformasi masyarakat terjadi secara bertingkat-tingkat den-gan ke khususan masing-masing. Lahirnya tenaga kerja dalam pertanian skala swadaya menyebabkan differensiasi yang mengencang dalam internal pet-ani. Demikian pula dengan penetrasi komoditi pas-ar perlahan-lahan telah mengubah cara hidup asli masyarakat adat.

Hak kepemilikan individu atas tanah men-jadi menara tiang jauh yang menarik secara inte-gratif dan vertikal masyarakat dalam hubungan-hubungan produksi baru yang senjang. Pola komu-nal diganti dan disusun dalam giat-giat ekonomi keluarga yang berbasis pada pengupahan dan eko-nomi uang.

Kedua, beragam ‘godaan” dari pemilik modal menghantui keberadaan masyarakat yang diselimuti euforia otonomi daerah. Kebimbangan besar terjadi ketika rakyat kesulitan memutuskan harus percaya pada siapa, dan disaat yang sama terbawa arus dalam sengketa kekuasaan politik dibawah bayang-bayang semangat ‘aparteid” (ke-sukuan).

Oleh karena itu, apa yang terjadi dengan masyarakat Dondo, adalah potret untuk menyusun kembali kerangka pembangunan dan kebijakan terhadap masyarakat desa dan sekitar hutan. Pro-gram-program tersebut harus merangkai kebijakan

Page 19: KP No 13 Tahun 2012

34 | Kertas Posisi No 13 Tahun 2012

Ceng

keh,

HPH

Dan

Eks

pans

i Tam

bang

Dal

am P

oliti

k Lo

kal |

Stu

di K

asus

Don

do K

abup

aten

Tol

i-tol

i Sul

awes

i Ten

gah

Kertas Posisi No 13 Tahun 2012 | 35

Cengkeh, HPH

Dan Ekspansi Tam

bang Dalam

Politik Lokal | Studi Kasus Dondo Kabupaten Toli-toli Sulaw

esi Tengah

yang memerlukan penataan kembali tata guna lah-an, pengorganisasian perekonomian rakyat berba-sis swadaya seperti kasus cengkeh. Tetapi inisiatif itu tentu saja akan menghasilkan kegagalan-kega-galan jika melibatkan penetrasi kapitalis.

(1) Peran sentral pemerintah harus berada pada jalur distribusi hasil produksi dan menciptakan pembangunan industri berbasis skala kecil dan menengah untuk menghasil suatu produk yang bernilai tambah, entah dia dikelola secara kopera-si atau dalam bentuk lain. Struktur rantai produksi dan perdagangan harus menghilangkan peran ped-agang perantara. Digantikan atau diserahkan pada

kelembagaan komunitas dengan mekanisme Per-aturan Daerah (Perda) yang diikuti dengan sank-si; (2) Pemerintah mesti membangun jalur inter-vensi pasar lokal tentu saja tidak mengulang prak-tek lama orde baru yang menghasilkan derita bagi petani; (3) proyek ekstraksi alam, baik perkebunan berbasis korporasi swasta maupun pertambangan mesti ditinjau kembali. Peninjauan itu dititikberat-kan padan hubungan kesinambungan antara man-fat dari sektor ekstrasi alam dengan aspek pening-katan produksi rakyat serta pertimbangan peman-faatan lahan untuk distribusi bagi petani penggarap yang kekurangan, atau tanpa lahan.

Daftar Pustaka

Antara (News-online) (2012). Musim Panen Raya Cengkeh Tolitoli Rawan Pencurian. Dapat diakses disini: http://makassar.antaranews.com/berita/39447/musim-panen-raya-cengkeh-tolitoli-rawan-pencurian. Diakses 27 November 2012.

Anonimous (2010), Indonesia: Mencegah Kekerasan Dalam Pemilu Kepala Daerah. Crisis Group Asia Report Nº 197. Ayu. Reni. Sri. ( KOMPAS cetak) (2012) Harga Cengkeh Meroket Peremajaan Tanaman Butuh Rp 10 Miliar. Dapat diakses disini: http://cetak.kompas.com/read/2012/05/02/05211682/harga.cengkeh.meroket. Diakses 27 November 2012.

Aditjondro.George Junus, (2010), Pragmatisme Menjadi To Sugi” dan To Kapua Di Toraja, Dominasi Aris-tokrasi dalam Oligarki Bisnis, Politik, dan Gereja, Gunung Sopai Press, Yogjakarta.

C. Korten. David (2002). The Post-Corporate World –Kehidupan Setelah Kapitalisme. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.

Dokumentasi (2012). Gereja Protestan Indonesia Buol Tolitoli (GPIBT)

Gunawan. Rimbo dkk. (2008). Industrialisasi Kehutanan dan Dampaknya terhadap Masyarakat Adat: Kasus Kalimantan Timur. Bandung Yayasan Akatiga. Harli.(2009) “Ekspansi Modal, Isu Identias, Kekerasan Perlawanan Rakyat Terhadap Ekspansi Kapitalis Di Sulawesi Tengah:http://harlimuin.wordpress.com/2009/10/07/ekspansi-modal-isu-identias-kekerasan-perlawanan-rakyat-terha-dap-ekspansi-kapitalis-di-sulawesi-tengah/. Diakses tanggal 21 November 2012

Hadi. Rifai (2012). Laporan Balai Belajar di Komunitas Suku Lauje. Jatam Sulteng

Li. Murray.Tania. (2002). “Local Histories, Global Markets: Cocoa and Class in Upland Sulawesi”. Develop-ment and Change 33(3):415-437.

Hall.Derek, Hirsch.Philip, Li. Murray.Tania, (2011) Powers of Exclusion: Land Dilemmas in Southeast. 260 Halaman. National University of Singapore (NUS) Press.

Li. Murray.Tania, (2012). The Will to Improve:Perencanaan, Kekuasaan, Dan Pembangunan Di Indonesia, Marjin Kiri, Tanggerang Selatan. Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Hery Santoso dan Pujo Semedi. Cetakan pertama, terbit pertama kali oleh Duke University di Amerika Serikat dengan judul: The Will to Im-prove : Governmentality, Development, and Practice of Politics.

Lefebvre, Henri. (1991). The Production of Space. Translated by Donald Nicholson-Smith. Oxford: Blackwell.

Laporan Investigasi (2004) Yayasan Dopalak Indonesia.

Melalatoa.Junus.M. (1995), Ensiklopedia Suku Bangsa Di Indonesia, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Ke-budayaan. RI, CV.Eka Putra.

Mediapalu (online) (2011) Pemda Tolitoli Peringati Hari Penanaman Pohon Indonesia. Dapat diakses disini: http://mediapalu.com/?p=12487. Diakses 27 November 2012.

Nicolaus. Adriany. C. Kruyt. Albertus (1914), De Bare’e-sprekende Toradja van Midden Celebes. Vol. III. Bat-avia: Landsdrukkerij.

Prastowo.Bambang. Dr. (2007). Prospek Dan Arah Pengembangan Agribisnis Cengkeh. Edisi II. Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian.

Pernyataan Sikap (2004) Yayasan Dopalak Indonesia.

Pujiati.Sasi. (2007). Pahitnya Cengkih setelah Monopoli:http://www.suaramerdeka.com/harian/0707/21/nas16.htm. Diakses 27 November 2012. Radar Sulteng, (2009) Lima Pejabat Tolitoli Tersangka Korupsi Akta Fiktif Rp1,8 M, Baru 1 Ditahan. Edisi 1 Juli.

REID.Anthony. Asia Tenggara dalam kurun niaga 1450-1680/Anthony Reid;penerjemah, Mochtar Pabotinggi; kata pengantar, Onghokham.-Ed. 1. Cet.2-Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011.

Rencana Kerja Tahunan (2006). Usaha Pemanfaat Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Alam PT.Kalhold, Kabupaten Toli-Toli Buol Sulawesi Tengah.

Rahardjo. M. Dawam (2012). Ekonomi Politik Pembangunan; Penyunting: Faiq Ihsan Anshoru dan Moh. Sho-fan-Jakarta:LSAF.

Rahman, Noer Fauzi. (2012). Land Reform Dari Masa Ke Masa, Tanah Air Beta. Yogyakarta. Aman, KPA, Karsa, Huma, Sains Yayasan Bina Desa.

Sangaji. Arianto, (2010): Kritik terhadap gerakan masyarakat adat di Indonesia (Bab 14Hlm:347) dalam Buku: Adat Dalam Politik Indonesia terbitan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta.

Sangaji. Ruslan (2007). Membangun Kota Cengkeh dengan Totata Tosamin. Dapat diakses disini: http://ochan-sangadji.blogspot.com/2007_06_01_archive.html. Diakses 25 November 2012.

Sulawesi Tengah Dalam Angka (2009). Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tengah.

Tjoek Soedarmadji dkk. (1983), Mengenal Boul Tolitoli, Tolitoli: Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Buol Tolitoli, hal. 63

Wolff, John U. (1996) ‘Perkembangan Verb Pasif dengan Awalan pronominal dalam bahasa Austronesia Barat. Dalam Bernd Nothofer, ed, Rekonstruksi, Klasifikasi, Deskripsi -. Kumpulan artikel di Honor of Isidore Dyen. Hamburg: Abera-Verlag.

*****