konstruktivisme implikasi baru dalam tep (1)
TRANSCRIPT
1
KONSTRUKTIVISME: IMPLIKASI BARU DALAM TEKNOLOGI
PEMBELAJARAN
A. Pengertian Konstruktivisme (Constructivism)
Konstruktivisime merupakan proses pembelajaran yang menerangkan
bagaimana pengetahuan disusun dalam struktur kognitif manusia. Unsur-unsur
konstruktivisme telah lama dipraktikkan dalam kaidah pengajaran dan pembelajaran di
tingkat sekolah tetapi tidak begitu ditekankan.
Menurut konstruktivisme, ilmu pengetahuan di sekolah tidak boleh
dipindahkan dari guru ke guru dalam bentuk yang lebih sempurna. Siswa perlu dibina
terhadap pengetahuan itu dengan pengalaman masing-masing. Pembelajaran adalah
hasil dari usaha siswa itu sendiri dan guru tidak boleh belajar untuk siswa. Pikiran siswa
tidak akan menghadapi realitas yang nyata. Realitas yang diketahui siswa adalah
realitas yang dia bangun sendiri. Siswa sebenarnya telah mempunyai satu perangkat
ide dan pengalaman yang membentuk struktur kognitif terhadap lingkungan mereka.
Untuk membantu siswa membina konsep atau pengetahuan baru, guru harus
mengambil struktur kognitif yang ada pada mereka. Apabila pernyataan baru telah
disesuaikan dan diserap untuk dijadikan sebagai kerangka baru tentang sesuatu bentuk
ilmu pengetahuan yang dapat dibangun. Proses ini dinamakan konstruktivisme.
Beberapa ahli konstruktivisme yang terkemuka berpendapat bahwa
pembelajaran yang bermakna itu bermula dengan pengetahuan atau pengalaman awal
siswa.
Rutherford dan Ahlgren berpendapat bahwa siswa mempunyai ide sendiri
tentang hampir semua peristiwa, di mana ada yang betul dan ada yang salah. Jika
pengertian ini diabaikan atau tidak ditangani dengan baik, pengertian awal mereka itu
akan tetap bertahan walaupun dalam kegiatan mereka mungkin memberi jawapan
seperti yang dikehendaki oleh guru.
2
John Dewey menguatkan lagi teori konstruktivisme ini dengan mengatakan
bahwa pendidik yang mampu harus melaksanakan pengajaran dan pembelajaran
sebagai proses menyusun atau membina pengalaman secara koheren. Ia juga
menekankan pentingnya penyertaan siswa di dalam setiap aktivitas pengajaran dan
pembelajaran.
Dari persepektif epistemologi yang disarankan dalam konstruktivisme fungsi
guru akan berubah. Perubahan akan berlaku dalam teknik pengajaran dan
pembelajaran, penilaian, penyelidikan dan cara melaksanakan kurikulum. Sebagai
contoh, perspektif ini akan mengubah kaidah pengajaran dan pembelajaran yang
bertumpu kepada kemampuan siswa meniru dengan tepat apa saja yang disampaikan
oleh guru dengan kaidah pengajaran dan pembelajaran yang bertumpu pada
kemampuan siswa membangun skema pengkonsepan berdasarkan kepada
pengalaman yang aktif.
Konstruktivisme (Constructivism) merupakan landasan berpikir (filosofi)
pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning), yang menyatakan bahwa
pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas
melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan
bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan
diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui
pengalaman nyata.
Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang
berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu
memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mengkonstruksi
pengetahuan di benak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivis adalah ide bahwa
3
siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi
lain, dan apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri.
Dengan dasar itu, pembelajaran harus dikemas menjadi proses ‘
mengkonstruksi ‘ bukan ‘ menerima ‘ pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, siswa
membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses
belajar dan mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan, bukan guru.
Landasan berpikir konstruktivisme agak berbeda dengan pandangan kaum
objektivis, yang lebih menekankan pada hasil pembelajaran. Dalam pandangan
konstruktivis, ‘ strategi memperoleh ‘ lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak
siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Untuk itu, tugas guru adalah
menfasilitasi proses tersebut dengan:
(1) menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa.
(2) memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri, dan
(3) menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.
Pengetahuan tumbuh berkembang melalui pengalaman. Pemahaman
berkembang semakin dalam dan semakin kuat apabila selalu diuji dengan pengalaman
baru. Menurut Piaget, manusia memiliki struktur pengetahuan dalam otaknya, seperti
kotak-kotak yang masing-masing berisi informasi bermakna yang berbeda-beda.
Pengalaman sama bagi beberapa orang akan dimaknai berbeda-beda oleh masing-
masing individu dan disimpan dalam kotak yang berbeda. Setiap pengalaman baru
dihubungkan dengan kotak-kotak (struktur pengetahuan) dalam otak manusia
tersebut. Struktur pengetahuan dikembangkan dalam otak manusia melalui dua cara,
4
yaitu asimilasi atau akomodasi. Asimilasi maksudnya struktur pengetahuan baru
dibuat atau dibangun atas dasar struktur pengetahuan yang sudah ada. Akomodasi
maksudnya struktur pengetahuan yang sudah ada dimodifikasi untuk menampung dan
menyesuaikan dengan hadirnya pengalaman baru.
B. Teori Konstruktivisme
Penekanan pokok pada konstruktivis adalah situasi belajar, yang memandang
belajar sebagai yang kontekstual. Aktivitas belajar yang memungkinkan pembelajar
mengkontekstualisasi informasi harus digunakan dalam mendesain sebuah media
pembelajaran. Jika informasi harus diterapkan dalam banyak konteks, maka strategi
belajar yang mengangkat belajar multi-kontekstual harus digunakan untuk meyakinkan
bahwa pembelajar pasti dapat menerapkan informasi tersebut secara luas.
Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat
generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari.
Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui
dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman
demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi
lebih dinamis. Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum
seperti:
1. Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.
2. Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan
mereka.
3. Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses
saling mempengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran
terbaru.
4. Unsur terpenting dalam teori ini adalah seseorang membina pengetahuan dirinya
secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya
yang sudah ada.
5
5. Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama. Faktor
ini berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten
atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah.
6. Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai kaitan dengan pengalaman
pelajar untuk menarik minat pelajar.
Kaum Konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan tidak dapat
dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus
aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan
kognitif yang dimilikinya. Relasi yang terbangun adalah guru hanyalah berfungsi
sebagai mediator, fasilitor dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk
terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik. Teori ini bersandarkan
pikiran bahwa seorang siswa sesungguhnya pengemudi sekaligus pengendali informasi
dan pengalaman baru yang mereka peroleh dalam sebuah proses memahami,
mencermati secara kritis, sekaligus melakukan re-interpretasi pengetahuan dalam
sebuah siklus belajar-mengajar. Meskipun kita tahu bahwa belajar adalah suatu
penafsiran personal dan unik dalam sebuah konteks sosial, tetapi akan lebih bermakna
jika akhir dari suatu proses pembelajaran dapat secara langsung memotivasi siswa
untuk memahami sekaligus membangun arti baru.
C. Objektivist dan Konstruktivisme
1. Objektivist
Desain pembelajaran, dan pembelajaran pada umumnya di AS, muncul oleh
tradisi objektivist. “Objectivism holds that the world is completely and correctly
structured in terms of entities, properties, and relations” (Lakoff, 1987, p.159)
Objektivism meyakini bahwa dunia ini telah tersusun lengkap dan tepat dalam
kaitannya sebagai entitas (entities), kekayaan (properties), dan hubungan
(relations). Pengalaman memainkan peranan yang signifikan dalam struktur dunia;
artinya bahwa segala sesuatu telah tersedia di dunia ini kecuali pengalaman. Oleh
karenanya, tujuan dari pemahaman adalah untuk dapat mengetahui entitas, konsep
6
dan hubungan yang telah ada. Pandangan objektivist mengakui bahwa pemahaman
manusia berbeda-beda tergantung dari pengalaman yang mereka dapat.
Bagaimanapun juga, dampak dari pengalaman terdahulu dan interpretasi manusia
mendorong kepada pemahaman parsial dan pemahaman yang bias.
Asumsi dasar ini mempunyai implikasi yang signifikan pada pembelajaran.
Dunia, menurut pandangan objektivist, dapat dijelaskan melalui model teoritik
(misalnya : model pengetahuan dari berbagai macam teori kognitif saat ini). Tujuan
pembelajaran membantu pebelajar untuk memperoleh kesatuan dan hubungan dan
konsepnya masing-masing – untuk membangun struktur pengetahuan yang tepat.
Pendekatan objectivist memfokuskan untuk menganilisa dari awal dan akhir pada
identifikasi entitas, hubungan dan konsep yang harus diketahui oleh pebelajar.
Pembelajaran dalam pandangan objectivist boleh disebut sebagai belajar siswa
aktif, namun tujuan aktivitas itu menyebabkan siswa harus memperhatikan secara
dekat untuk setiap stimulus, untuk berlatih dan mendemontrasikan
pengetahuannya secara tuntas.Yang menjadi isu dalam pembelajaran objectivist
adalah kedalaman dan jumlah peristiwa stimulus yang diolah.
Pengetahuan dipercaya telah ada tidak berkaitan dengan pembelajaran yang
diterapkan, objectivist tidak lagi melihat aktivitas pembelajaran telah sesuai dengan
apa yang dipelajari. Pendesain menghasilkan tes yang berdiri secara terpisah dari
pembelajaran dan didesain untuk memeriksa pengetahuan yang diperoleh sesuai
dengan tujuan yang ditetapkan. Asumsi belajar tuntas, yaitu setiap orang
memerlukan dasar informasi yang seragam/sama dan siap untuk dimanfaatkan.
2. Konstruktivisme
Konstrukstivisme sebagaimana objektivist meyakini bahwa dunia nyata
sebenarnya adalah pengalaman kita. Kebermaknaan (meaning) berakar dan
diuraikan oleh pengalaman (Brown, Collins dan Duguid;1989a) Setiap pengalaman
disertai dengan ide dan lingkungan yang melingkupi ide merupakan bagian
pengalaman, dan menjadi bagian dari makna (meaning) ide tersebut. Pengalaman
7
yang melekat pada ide sangat penting untuk pemahaman individual dan
kemampuan untuk menggunakan ide tersebut. Pengalaman yang diperoleh di
lingkungan sekolah akan sangat berbeda dengan pengalaman yang diperoleh di
dunia nyata, dan ini menjadi suatu sebab terjadinya kegagalan transfer dari
pembelajaran yang berbasis sekolah.
Suchman (1987) : “plans are simply projective or retrospective accounts of
action” . Ketika individu masuk dalam situasi yang direncanakan, aspek penting yang
harus dimiliki adalah bagaimana merespon hambatan-hambatan yang muncul pada
situasi tersebut – kemampuan untuk mengkonstruksi rencana baru berdasarkan
perubahan dan hambatan situasi tersebut.
Pembelajaran tidak terfokus pada rencana penyampaian kepada pembelajar
namun lebih menekankan pada pengembangan ketrampilan pembelajar untuk
mengkonstruksi respon.
Komponen penting dari konstruktivisme yaitu kenyataan adalah hasil proses
konstruksi. Dengan demikan masing-masing individu pasti memiliki pemahaman
yang berlainan tergantung pada proses konstruksinya.
D. Perbandingan Objektivisme dengan Konstruktivisme
Paradigma pendidikan masa kini adalah kebanyakan merupakan paradigma
objektivisme. Paradigma ini gagal menyelesaikan banyak masalah dalam pendidikan.
Perbedaan antara objektivisme dengan konstruktivisme adalah sangat nyata. Objektivisme
berdasarkan tanggapan bahwa wujud pengetahuan di luar persepsi manusia. Menurut
pandangan ini, fungsi sains adalah untuk memastikan pengetahuan disampaikan secara
objektif. Proses pembelajaran dalam paradigma ini hanyalah untuk menyalurkan pengetahuan
dari pendidik kepada siswa. Pengetahuan sains dari perspektif konsruktivisme adalah
penjelasan paling sesuai untuk menguraikan fenomena yang menjadi perhatian.
Ahli objektivisme berpendapat bahwa kata pemutus tentang apa yang perlu
diajar dan siapa yang patut mengajar adalah dibuat oleh `pakar' yang semestinya
mengetahui segala-galanya. Ini menyebabkan keadaan siswa tidak dapat melihat
keperluan belajar sebagaimana yang dilihat oleh pihak `pakar'. Model autoritarian ini
8
menjadikan guru sebagai sumber pengetahuan dan menjadikan guru sangat penting
dalam ruang belajar. Siswa dan masyarakat beranggapan guru mempunyai segala
jawaban bagi semua masalah. Sistem ini gagal melahirkan siswa yang produktif dan
berpengetahuan luas.
Dari pandangan ahli konstruktivisme, setiap siswa mempunyai peranan dalam
menentukan apa yang akan mereka pelajari. Penekanan diberi kepada menyediakan
siswa dengan peluang untuk membentuk kemahiran dan pengetahan di mana mereka
mengaitkan pengalaman lampau mereka dengan kegunaan masa depan. Siswa bukan
hanya dibekalkan dengan fakta-fakta saja, sebaliknya penekanan diberi kepada proses
berpikir dan kemahiran berkomunikasi. Dalam proses ini siswa akan menjalani
prosedur yang digunakan oleh seorang saintis seperti menyelesaikan masalah dan
memeriksa hasil yang diperolehnya.
Melalui penggunaan paradigma konstruktivisme, guru perlu mengubah
peranannya dalam ruang sains. Guru mungkin akan berperan sebagai pelajar atau
penyelidik. Dengan cara ini, guru akan lebih memahami bagaimana siswa membangun
konsep atau pengetahuan. Guru akan memperoleh kemampuan untuk membimbing
dan berkomunikasi dengan orang lain. Guru akan memahami bahwa proses pembinaan
dan pembentukan konsep merupakan satu proses yang terus-menerus dalam
kehidupan.
Dalam paradigma konstruktivisme, siswa menganggap peranan guru sebagai
salah satu sumber pengetahuan dan bukan sebagai seorang yang tahu segala-galanya.
Mereka menganggap pengetahuan sebagai sesuatu yang boleh disesuaikan dan boleh
berubah. Mereka juga sadar bahwa mereka bertanggungjawab terhadap diri sendiri
untuk menggunakan pelbagai cara bagi memproses pernyataan dan menyelesaikan
masalah. Dalam arti kata lain, guru berperan sebagai seorang fasilitator dan
pembimbing. Hubungan guru dengan siswa dapat diumpamakan sebagai hubungan
antara bidan dengan ibu yang melahirkan anak. Guru bertanggung jawab membimbing
dan membantu Siswa mempelajari sesuatu pelajaran dengan bermakna. Guru tidak
boleh belajar untuk siswa. Siswa yang membangun pengertiannya sendiri.
9
Kebanyakan teknik penilaian sekarang adalah berdasarkan paradigma
objektivisme. Dalam penilaian yang dilakukan, siswa akan diuji sama sehingga dia
dapat memberikan jawaban yang dikehendaki oleh pembuat soal. Mereka juga
dianggap mempunyai tafsiran yang sama dengan pembuat soal tentang apa yang
dikehendaki dalam soal. Dengan demikan, soal-soal ujian tidak sebenarnya menguji
pengertian dan pengetahuan siswa, tetapi hanya menguji kemampuan siswa untuk
memberikan jawaban yang dikehendaki oleh pembuat soal saja.
Menurut teori konstruktivisme, penilaian harus merangkum cara
menyelesaikan masalah dengan pengetahuan. Ada pun teknik-teknik penilaian yang
dimaksud adalah peta konsep, diagram Venn, portofolio, ujian prestasi dan ujian
akademik.
Pandangan ahli konstruktivisme terhadap disiplin di dalam kelas adalah
berbeda dengan ahli objektivisme. Ahli konstruktivisme menganggap peranan guru
adalah sebagai pengurus kelas dan boleh menangani hal-hal disiplin siswa dengan
sempurna. Siswa diterima sebagai individu yang mempunyai ciri-ciri perlakuan yang
berbeda di mana setiap individu itu dianggap penting dalam proses pembelajaran dan
perlu diberi perhatian yang wajar. Mereka diberikan peluang untuk membuat
keputusan sendiri tentang perkara-perkara yang akan mereka pelajari. Melalui proses
ini, mereka akan lebih prihatin, bertanggungjawab dan melibatkan diri dalam aktivitas
pembelajaran mereka.
Sebaliknya ahli objektivisme berpendapat bahwa guru harus berperan sebagai
pengawal disiplin kelas. Siswa tidak ada pilihan kecuali menurut peraturan dan
undang-undang yang ditetapkan. Mereka yang melanggar akan dikenakan sanksi.
Pengajaran dan pembelajaran yang berasaskan konstruktivisme memberi
peluang kepada guru untuk memilih kaedah pengajaran dan pembelajaran yang sesuai
dan menentukan sendiri masa yang diperlukan untuk memperolehi sesuatu konsep
atau pengetahuan. Di samping itu, guru dapat membuat penilaian sendiri dan menilai
kefahaman orang lain supaya kefahamannya tentang sesuatu bidang pengetahuan
dapat ditingkatkan lagi.
10
Perbandingan Objektivisme dengan Konstruktivisme Dalam Pendidikan
Objektivisme Konstruktivisme
Tanggapan
Utama
Pengetahuan wujud bebas dari
lingkungan dalam dan luar
pelajar
Pengetahuan bukan objektif, apa
yang kita benar-benar tahu dan
faham hanyalah persepsi kita. Ia
ditentukan oleh kita semua.
Pengetahuan tidak mempunyai
struktur mutlak
Kesan
Guru menolong siswa untuk
membangun pengetahuan dan
struktur konteks di mana ia
perlukan. Mereka mengguna
analogi, contoh dan pelbagai
kaidah untuk mengingat.
Guru menolong siswa
membangun pengertian baru dan
menolong siswa merekamkannya
ke dalam struktur kognitif yang
ada. Mereka melakukannya
dengan menolong siswa
membentuk analogi, contoh dan
kaidah mengingat siswa sendiri,
dan guru menolong siswa
menyelesaikan masalah yang
perlu ditanya ke arah pengertian
yang lebih tinggi
Respons Guru
"Ada perkara yang anda hendak
tahu dan saya akan ajar kepada
anda apa yang saya tahu"
"Saya ajari ini, mereka belajar
ini"
"Pelajar ini sungguh bijak,
mereka belajar apa saja yang
saya ajarkan"
"Ada perkara yang anda hendak
tahu dan saya akan tolong anda
mengetahui bagaimana anda
dapat belajar mengenainya"
"Saya ajar ini, mereka belajar itu"
"Pelajar ini sungguh bijak, mereka
belajar peristiwa yang saya tidak
pernah rancang untuk mengajar
mereka"
11
D. IMPLIKASI PADA TEKNOLOGI PEMBELAJARAN
Lajunya perkembangan teknologi pada dekade terakhir ini mau tak mau harus diakui
telah membawa perubahan yang teramat besar dalam bidang pendidikan.
Pendayagunaan teknologi dalam pembelajaran memudahkan transfer informasi ke
pebelajar sehingga hasil yang diperoleh lebih bermakna untuk menciptakan sesuatu
yang baru.
Kehadiran teknologi dalam pembelajaran bila dikelola dengan baik maka para guru
dapat mengembangkan diri dengan mengadopsi dan mengadaptasi teori-teori belajar
yang membangun pikiran siswa secara terstruktur dan dinamis. Dengan teknologi,
pebelajar lebih mudah memahami dan mengaplikasikannya dalam kehidupannya.
Berikut beberapa implikasi penggunaan teknologi pembelajaran.
a. Setiap guru akan pernah mengalami bahwa suatu materi telah dibahas dengan
sejelas-jelasnya namun masih ada sebagian siswa yang belum mengerti ataupun
tidak mengerti materi yang diajarkan sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa
seorang guru dapat mengajar suatu materi kepada siswa dengan baik, namun
seluruh atau sebagian siswanya tidak belajar sama sekali. Usaha keras seorang guru
dalam mengajar tidak harus diikuti dengan hasil yang baik pada siswanya. Karena,
hanya dengan usaha yang keras para siswa sendirilah akan betul-betul memahami
suatu materi yang diajarkan.
b.Tugas setiap guru dalam memfasilitasi siswanya, memberikan pengetahuan materi
yang dibangun atau dikonstruksi para siswa sendiri bukan ditanamkan oleh guru.
Para siswa harus dapat secara aktif mengasimilasikan dan mengakomodasi
pengalaman baru ke dalam kerangka kognitifnya.
c. Untuk mengajar dengan baik, guru harus memahami model-model pembelajaran
yang digunakan para siswa untuk mengenal dunia mereka dan penalaran yang
dikembangkan dan yang dibuat para siswa untuk mendukung model-model itu.
d. Siswa perlu mengkonstruksi pemahaman yang mereka buat sendiri untuk masing-
masing konsep materi sehingga guru dalam mengajar bukannya “menguliahi”,
menerangkan atau upaya-upaya sejenis untuk memindahkan pengetahuan pada
12
siswa tetapi menciptakan situasi bagi siswa yang membantu perkembangan mereka
membuat konstruksi-konstruksi mental yang diperlukan
e. Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan
pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik.
f. Latihan memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan
menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari.
g. SIswa diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai dengan
dirinya. Guru hanya sebagai fasilitator, mediator, dan teman yang membuat situasi
kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan Nasional, 2002, Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching
and Learning), Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta.
Salmi, N. 2005. Teknologi Informasi Inovasi bagi Dunia Pendidikan (online).
www.implikasi definisi teknologi pembelajaran. Kamis, 29 April 2010.