teori belajar konstruktivisme

24
Nama : DITA TRIA PUTRI NIM : 06121410012 Prodi : Pendidikan Kimia TEORI KONSTUKTIVISME Belajar menurut konstruktivisme adalah suatu proses mengasimilasikan dan mengkaitkan pengalaman atau pelajaran yang dipelajari dengan pngertian yang sudah dimilikinya, sehingga pengetahuannya dapat dikembangkan. Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus respon, kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis. Menurut teori ini, satu prinsip yang mendasar adalah guru tidak hanya memberikan pengetahuan kepada siswa, namun siswa juga harus berperan aktif membangun sendiri pengetahuan di dalam memorinya. Dalam hal ini, guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan membri kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan ide – ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar

Upload: dita-tria-putri

Post on 01-Jan-2016

74 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

teori belajar konstruktivisme merupakan teori yang sering digunakan dalam kegiatan belajar mengajar

TRANSCRIPT

Page 1: teori belajar konstruktivisme

Nama : DITA TRIA PUTRI

NIM : 06121410012

Prodi : Pendidikan Kimia

TEORI KONSTUKTIVISME

Belajar menurut konstruktivisme adalah suatu proses mengasimilasikan dan

mengkaitkan pengalaman atau pelajaran yang dipelajari dengan pngertian yang sudah

dimilikinya, sehingga pengetahuannya dapat dikembangkan.

Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu

tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik

yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus

respon, kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau

menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan

pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang

dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman

demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih

dinamis.

Menurut teori ini, satu prinsip yang mendasar adalah guru tidak hanya memberikan

pengetahuan kepada siswa, namun siswa juga harus berperan aktif membangun sendiri

pengetahuan di dalam memorinya. Dalam hal ini, guru dapat memberikan kemudahan untuk

proses ini, dengan membri kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan ide

– ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan

strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan siswa anak tangga yang

membawasiswa ke tingkat pemahaman yang lebih tinggi dengan catatan siswa sendiri yang

mereka tulis dengan bahasa dan kata – kata mereka sendiri.

Dari uraian tersebut dapat dikatakan, bahwa makna belajar menurut konstruktivisme

adalah aktivitas yang aktif, dimana pesrta didik membina sendiri pengtahuannya, mencari arti

dari apa yang mereka pelajari dan merupakan proses menyelesaikan konsep dan idea-idea

baru dengan kerangka berfikir yang telah ada dan dimilikinya (Shymansky,1992).

Dalam mengkonstruksi pengetahuan tersebut peserta didik diharuskan mempunyai dasar

bagaimana membuat hipotesis dan mempunyai kemampuan untuk mengujinya,

menyelesaikan persoalan, mencari jawaban dari persoalan yang ditemuinya, mengadakan

renungan, mengekspresikan ide dan gagasan sehingga diperoleh konstruksi yang baru.

Page 2: teori belajar konstruktivisme

Memahamai Paradigma konstruktivisme

Dalam proses pembelajaran dituntut adanya proses perubahan dalam pembelajaran, di

dalam proses pembelajarann tersebut harus ada pemberdayaan diri bagi siswa dan

pengembangan potensi-potensi yang di miliki siswa  dengan cara holistic melalui proses

pembelajaran yang dilakukan oleh setip guru. Dalam pembahasan pembelajaran, pengkajian

yang mendalam tentang paradigma konstruktivisme  merupakan suatu tuntutan dan sekaligus

tantang baru di tengah terjadinya perubahan besar dalam memahami proses pendidikan dan

pembelajaran. Pergeseran paradigma pembelajaran yang sebelumnya lebih menitik beratkan

pada peran guru, fasilitaor, instruktur yang demikian besar, dalam perjalanannya semakin

bergeser pada pemberdayaan peserta didik  atau siswa dalam mengambil inisiatif dan

partisipatif didalam proses pembelajaran. Pandangan yang menganggap bahwa pengetahuan 

sebagai reprensentasi  (gambaran/atau ungkapan) kenyataan dunia yang terlepas dari

pengamat (objektivisme). Pemahaman yang menganggap bahwa pengetahuan merupakan

kumpulan pakta. Namun akhir akhir ini berkembang pesat pemikiran, terlebih dalam bidang

sains yang mempertahankan bahwa pengetahuan tidak terlepas dari objek yang sedang

belajar  mengerti (suparno, 1997:18) dalam Aunurrahman ( 2009:15)

Konstruktivisme merupakan respon terhadap berkembangnya harpan-harapan baru

berkaitan dengan proses pembelajaran  yang menginginkan peran aktif  siswa dalam

merekayasa dan memperakarsai kegiatan belajar sendiri. Hampir setiap kalangan yang

terlibat dalam mengkaji masalah-masalah pembelajaran mengetahui bahwa konstruktifisme

merupakan paradigam alternative pembelajaran yang muncul sebagai akibat revolusi ilmiah

yang terjadi beberapa tahun belakangan ini. Konstruktivisme merupakan satu filsafat

pengetahuan  yang menekankan  pada pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita

sendiri (Von Glasersfeld dalam Ainurrahman 2009:16)

Pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas). Pengetahuan selalu

merupakan akibat dari konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang. Melalui proses belajar

yang dilakukan , seseorang membentuk skema, katagori, konsep dan struktur pengetahuan

untuk suatu pengetahuan tertentu. Oleh karena itu pengetahuan adalah hasil konstruksi

pengalaman manusia sejauh yang dialaminya. Menurut Piaget (1971) dalaam Ainurrahman

(2009) pembentukan ini tidak pernah mencapai titik akhir, akan tetapi terus menerus

berkembang setiap  kali mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang

baru.

Dalam mencermati relaitas kehidupan sehari-hari para konstruktivis mempercayai

bahwa pengetahuan itu adalah dalam diri seseorang yang sedang berusahan mengetahui.

Page 3: teori belajar konstruktivisme

Pengetahuan tidak dapat di pindahkan begitu saja  dari otak seseorang (guru) ke kepala orang

lain (siswa). Siswa lah yang akan mengartikan apa yang di ajarkan oleh guru dan di sesuaikan

dengan pengalaman mereka (lorsbach dan Tobin , 1992 dalam Ainurrahman 2009:16)

Pengetahuan yang di miliki seseorang terkait erat dengan pengalaman-pengalaman.

Tanpa pengalaman seseorang tidak dapat membentuk pengetahuan. Dalam kontek ini

pengalaman tidak hanya diartikan sebagai pengalaman fisik seseorang sebagaimana kita

pahami dalam kehidupan kita sehari-hari. misalnya pengalaman pernah pergi kesuatu tempat

yang indah, pengalaman mengerdarai speda motor, melihat pesawat, dan lain sebagainya.

Pengalaman dalam hal ini mencakup pengalaman kognitif dan mental. Pengetahuan di bentuk

oleh struktur penerimaan konsep seseorang sewaktu ia berinteraksi dengan lingkungan.

Berkaitan dengan konstruktivisme, terdapat dua teori belajar yang dikaji dan

dikembangkan oleh Jean Piaget dan Vygotsky, yang dapat diuraikan sebagai berikut:

Teori Belajar Konstruktivisme Jean Piaget

Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa

penekanan teori kontruktivisme pada proses untuk menemukan teori atau pengetahuan yang

dibangun dari realitas lapangan. Peran guru dalam pembelajaran menurut teori

kontruktivisme adalah sebagai fasilitator atau moderator. Pandangan tentang anak dari

kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif

Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan

kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya.

Proses mengkonstruksi, sebagaimana dijelaskan Jean Piaget adalah sebagai berikut:

a)    Skemata

Sekumpulan konsep yang digunakan ketika berinteraksi dengan lingkungan disebut dengan

skemata.

Sejak kecil anak sudah memiliki struktur kognitif yang kemudian dinamakan skema

(schema). Skema terbentuk karena pengalaman. Misalnya, anak senang bermain dengan

kucing dan kelinci yang sama-sama berbulu putih. Berkat keseringannya, ia dapat menangkap

perbedaan keduanya, yaitu bahwa kucing berkaki empat dan kelinci berkaki dua. Pada

akhirnya, berkat pengalaman itulah dalam struktur kognitif anak terbentuk skema tentang

binatang berkaki empat dan binatang berkaki dua. Semakin dewasa anak, maka semakin

sempunalah skema yang dimilikinya. Proses penyempurnaan sekema dilakukan melalui

proses asimilasi dan akomodasi.

Page 4: teori belajar konstruktivisme

b)   Asimilasi

Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep

ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya.

Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan

mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses

asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skemata

melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam

mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru pengertian orang itu

berkembang.

c)    Akomodasi

Dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat

mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai. Pengalaman

yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan

demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi tejadi untuk membentuk skema

baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada

sehingga cocok dengan rangsangan itu.

d)   Keseimbangan

Ekuilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sedangkan diskuilibrasi

adalah keadaan dimana tidak seimbangnya antara proses asimilasi dan akomodasi, ekuilibrasi

dapat membuat seseorang menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamnya.

Piaget juga membagi skema Anak dalam menggunakan pemahamannya untuk

memahami dunia mealui empat tahapan utama, yang secara umum berkorelasi dengan dan

semakin bertambah canggih sejalan dengan bertambahnya usia pada tahapan Sensorimotor

(Usia 0-2 tahun) menurut Piaget, anak dalam tahapan sensorimotor lebih mengutamakan

mengeksplorasi dunia nyata dengan perasaan dibandingkan dengan melalui operasi mental.

Bayi terlahir dengan seperangkat refleks yang sama, menurut Piaget, sebagai tambahan

dorongan untuk melakukan eksplorasi terhadap dunia nyata. Skema awalnya dibentuk

melalui diferensiasi  refleks-refleks yang sama tersebut (lihat asimilasi dan akomodasi di

bagian berikut). Tahapan sensorimotor merupakan tahapan paling awal dari empat tahapan.

Menurut Piaget, tahapan ini ditandai dengan berkembangnya kemampuan spasial esensial dan

pemahaman dari dunia nyata yang terdiri dari enam sub-tahapan.

Page 5: teori belajar konstruktivisme

a. Sub-tahapan pertama terjadi dari kelahiran sampai dengan enam minggu dan berasosiasi

terutama dengan perkembangan refleks. Tiga refleks utama dideskripsikan oleh Piaget:

memasukkan objek-objek ke mulut, mengikuti pandangan mata ke objek begerak atau objek

menarik, dan mengepalkan tangan ketika suatu objek kontak dengan telapak tangan. Selama

enam minggu kehidupan awal, refleks-refleks ini mulai menjadi kegiatan yang disadari;

sebagai contoh, refleks mengepal menjadi gerakan menangkap dengan sengaja. (Gruber and

Vaneche, 1977).

b. Sub-tahapan kedua terjadi sejak usia enam minggu sampai empat bulan dan terutama

berasosiasi dengan kebiasaan. Ciri  utamanya adalah reaksi berulang atau pengulangan

kegiatan yang pada awalnya hanya melibatkan satu bagian tubuhnya saja. Contoh  dari  tipe 

reaksi  ini  antara  lain  mencakup  seorang  bayi  berulang-ulang menggerakkan tangannya di

depan wajahnya. Juga pada tahapan ini dimungkinkan dimulainya reaksi pasif, disebabkan

oleh classical conditioning atau operant conditioning (Gruber et al., 1977).

c. Sub-tahapan ketiga terjadi mulai bayi berusia empat bulan sampai sembilan bulan dan

terutama berasosiasi dengan koordinasi antara pandangan dengan pengenalan melalui indera

lainnya. Tiga kemampuan baru mulai dimiliki pada tahapan ini: menggenggam dengan

sengaja benda-benda yang diinginkan, reaksi berulang kedua, dan diferensiasi terhadap cara

dan keinginan. Pada tahapan ini, seorang bayi menggapai-gapai di udara secara sengaja ke

arah suatu objek yang diinginkannya, gerakan lucu yang seringkali sangat disenangi oleh

keluarganya. Reaksi berulang kedua, atau pengulangan terhadap suatu gerakan yang

melibatkan objek eksternal dimulai: seperti gerakan orang dewasa memencet tombol lampu

secara berulang. Ada kemungkinan ini merupakan satu dari tahapan paling penting dari

pertumbuhan anak karena ini sangat berarti bagi dimulainya penalaran (Gruber et al., 1977).

Bagian paling akhir dari dari sub-tahapan ini adalah bayi mulai memiliki perasaan

keberadaan objek secara permanen, semacam melalui tes kesalahan A-bukan-B.

d. Sub-tahapan ke empat terjadi dari usia sembilan sampai dua belas bulan dan berasosiasi

terutama dengan perkembangan logika dan koordinasi antara cara dan keinginan. Tahapan ini

amat vital dari perkembangan, terjadi apa yang disebut Piaget “kecerdasan sebenarnya

pertama.” Juga, tahapan ini ditandai dengan dimulainya orientasi tujuan, perencanaan besar

dari langkah-langkah untuk mencapai tujuan (Gruber et al. 1977).

e. Sub-tahapan kelima terjadi dari usia dua belas sampai delapan belas bulan dan berasosiasi

terutama dengan penemuan keinginan-keinginan baru untuk mencapai tujuan. Piaget

mendeskripsikan anak pada tahapan ini sebagai “cendekiawan muda,” memulai semacam

eksperimen untuk menemukan metode baru dalam menemui tantangan (Gruber et al. 1977).

Page 6: teori belajar konstruktivisme

 Konstruktivistik Sosial

Berbeda dengan konstruktivistik kognitif dimana anak cenderung lebih bebas

mengkonstruk sendiri pengetahuannya dan  peran guru yang akhirnya kabur dan tidak jelas

sebagai pengajar. Sebaliknya, konstruktivistik sosial yang dipelopori Vygotsky

mengedepankan pengkonstruksian pengetahuan dalam konteks sosial sehingga peran guru

menjadi jelas dalam membantu anak mencapai kemandirian. Dari Piaget ke Vygotsky ada

pergeseran konseptual dari individual ke kolaborasi, interaksi sosial, dan aktivitas

sosiakultural. Pengertian belajar menurut konstruktivistik sosial adalah proses perubahan

perilaku yang terjadi sebagai akibat munculnya pemahaman baru yang dibangun dalam

konteks sosial sebelum menjadi bagian pribadi individu. Menurut Santrock (2008) salah satu

asumsi penting dari konstruktivistik sosial adalah situated cognition yaitu ide bahwa

pemikiran selalu ditempatkan (disituasikan) dalam konteks sosial dan fisik, bukan dalam

pikiran seseorang. Konsep situated cognition menyatakan bahwa pengetahuan dilekatkan dan

dihubungkan pada konteks di mana pengetahuan tersebut dikembangkan. Jadi idealnya,

situasi pembelajaran diciptakan semirip mungkin dengan situasi dunia nyata.

Teori Belajar Konstruktivisme Vygotsky

Ratumanan (2004:45) mengemukakan bahwa karya Vygotsky didasarkan pada dua ide

utama. Pertama, perkembangan intelektual dapat dipahami hanya bila ditinjau dari konteks

historis dan budaya pengalaman anak. Kedua, perkembangan bergantung pada sistem-sistem

isyarat mengacu pada simbol-simbol yang diciptakan oleh budaya untuk membantu orang

berfikir, berkomunikasi dan memecahkan masalah, dengan demikian  perkembangan kognitif

anak mensyaratkan sistem  komunikasi budaya dan belajar menggunakan sistem-sistem ini 

untuk menyesuaikan proses-proses berfikir diri sendiri.

Menurut Slavin  (Ratumanan, 2004:49)  ada dua implikasi utama teori Vygotsky dalam

pendidikan. Pertama, dikehendakinya setting kelas berbentuk pembelajaran kooperatif antar

kelompok-kelompok siswa dengan kemampuan yang berbeda, sehingga siswa dapat

berinteraksi dalam mengerjakan tugas-tugas yang sulit dan saling memunculkan strategi-

strategi pemecahan masalah yang efektif di dalam daerah pengembangan terdekat/proksimal

masing-masing. Kedua, pendekatan Vygotsky dalam pembelajaran menekankan perancahan

(scaffolding). Dengan scaffolding, semakin lama siswa semakin dapat mengambil

tanggungjawab untuk pembelajarannya sendiri.

a.    Pengelolaan pembelajaran

Page 7: teori belajar konstruktivisme

Interaksi sosial individu dengan lingkungannya sengat mempengaruhi

perkembanganbelajar seseorang, sehingga perkemkembangan sifat-sifat dan jenis manusia

akan dipengaruhi oleh kedua unsur tersebut. Menurut Vygotsky dalam Slavin (2000), peserta

didik melaksanakan aktivitas belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman

sejawat yang mempunyai kemampuan lebih. Interaksi sosial ini memacu terbentuknya ide

baru dan memperkaya perkembangan intelektual peserta didik.

b.    Pemberian bimbingan

Menurut Vygotsky, tujuan belajar akan tercapai dengan belajar menyelesaikan tugas-

tugas yang belum dipelajari tetapi tugas-tugas tersebut masih berada dalam daerah

perkembangan terdekat mereka (Wersch,1985), yaitu tugas-tugas yang terletak di atas

peringkat perkembangannya. Menurut Vygotsky, pada saat peserta didik melaksanakan

aktivitas di dalam daerah perkembangan terdekat mereka, tugas yang tidak dapat diselesaikan

sendiri akan dapat mereka selesaikan dengan bimbingan atau bantuan orang lain.

Sedangakan pada konstruktivisme sosial mempunyai beberapa prinsip yaitu :

1)        Pembelajaran Sosial (social learning) yaitu pendekatan pembelajaran yang dipandang

sesuai adalah pembelajaran kooperatif. Vygotsky menyatakan bahwa siswa belajar melalui

interaksi bersama dengan orang dewasa atau teman yang lebih cakap. Pembelajaran

kooperatif yaitu pembelajaran yang terjadi ketika murid bekerja dalam kelompok kecil untuk

saling membantu dalam belajar.

2)        Zone of Proximal Development (ZPD) yang menyatakan bahwa siswa akan

mempelajari konsep-konsep dengan baik jika berada dalam ZPD. Siswa bekerja dalam ZPD

jika siswa tidak dapat memecahkan masalah sendiri, tetapi dapat memecahkan masalah itu

setelah mendapat bantuan orang dewasa atau temannya (peer). Bantuan atau support

diberikan agar siswa mampu mengerjakan tugas atau soal yang lebih tinggi tingkat

kerumitannya daripada tingkat perkembangan kognitif anak. Bila materi yang diberikan di

luar ZPD maka ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, materi tersebut tidak menantang

atau terlalu mudah untuk diselesaikan. Kedua, materi yang disajikan terlalu tinggi

dibandingkan kemampuan awal sehingga anak kesulitan untuk menguasai apalagi

menyelesaikannya, bahkan anak bisa mengalami frustasi.

3)        Cognitive Apprenticeship yaitu proses yang digunakan seorang pelajar untuk secara

bertahap memperoleh keahlian melalui interaksi dengan pakar, bisa orang dewasa atau teman

yang lebih tua/lebih pandai.  Pengajaran siswa adalah suatu bentuk masa magang/pelatihan.

Page 8: teori belajar konstruktivisme

Awalnya, guru memberi contoh kepada siswa kemudian membantu murid mengerjakan tugas

tersebut. Guru mendorong siswa untuk melanjutkan tugasnya secara mandiri.

4)        Pembelajaran Termediasi (Mediated Learning) dimana Vygostky menekankan pada

scaffolding yaitu bantuan yang diberikan oleh orang lain kepada anak untuk membantunya

mencapai kemandirian. Siswa diberi  masalah  yang  kompleks, sulit, dan realistik, dan

kemudian diberi bantuan secukupnya dalam memecahkan masalah siswa. Bantuan yang

diberikan guru dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam

bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky mengemukakan tiga

kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu:

1. Siswa mencapai keberhasilan dengan baik.

2. Siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan.

3. Siswa gagal meraih keberhasilan.

Menurut Lebow dalam Hitipeuw (2009) nilai-nilai konstruktivistik yang utama adalah:

1. Collaboration: apakah tugas-tugas pembelajaran dicapai melalui kerjasama dengan

komunitasnya atau tidak?

2. Personal autonomy: apakah kepentingan pribadi pembelajar menentukan kegiatan dan

proses pembelajaran yang diterimanya?

3. Generativity: apakah ada kemungkinan pembelajar didorong untuk membangun dan

menemukan sendiri prinsip-prinsip dan didorong untuk mengelaborasi apa yang

diterima?

4. Reflectivity: apakah setelah pembelajaran selesai misalnya, pembelajar bisa melihat

manfaat dari apa yang telah dipelajarinya dan apakah dia menemukan sesuatu yang

bisa digunakan untuk memperbaiki belajarnya sesuai dengan konteksnya?

5. Active engagement: apakah setiap individu terlibat secara aktif dalam belajar untuk

membangun pemahamannya atau pembelajar lebih pada menerima saja apa yang

diberikan?

6. Personal relevance: apakah pembelajar bisa melihat keterkaitan dari apa yang

dipelajarinya dengan kehidupannya sendiri?

7. Pluralism: apakah pembelajarannya tidak menekankan pada satu cara atau satu

solusi? Apakah semua pendapat pribadi mendapat tempat dalam dialog pembelajaran?

Page 9: teori belajar konstruktivisme

  Prinsip-prinsip Utama Konstruktivistik dalam Pembelajaran

Menurut Hitipeuw (2009) prinsip-prinsip utama konstruktivistik dalam pembelajaran di

kelas adalah:

1. The best learning is situated learning. Pembelajar memecahkan masalah,

menjalankan tugas, belajar materi baru dalam suatu konteks yang bermanfaat bagi

pembelajar dan berkaitan dengan dunia nyata.

2. Pembelajar dalam proses belajarnya mendapatkan scaffolding yang bisa datang dari

guru atau teman dalam mengembangkan pemahaman atau keterampilan barunya. Di

sini, konstruktivistik mendorong apprenticeship approach (cognitive apprenticeship),

menunjukkan pada proses di mana seorang pembelajar memperoleh keahlian secara

perlahan-lahan melalui interaksi dengan seorang ahli, apakah seorang dewasa atau

dua orang yang lebih maju darinya.

3. Mengkaitkan semua kegiatan belajar ke dalam tugas atau problema yang lebih besar.

Tujuannya agar pembelajar dapat melihat relevansi tujuan belajarnya yang spesifik

dan kaitannya dengan tugas yang lebih besar dan kompleks sehingga kelak mereka

dapat berfungsi lebih efektif dalam kehidupan nyata.

4. Membantu pembelajar dalam mengembangkan rasa memiliki atas semua masalah dan

tugasnya. Jadi bukan sekedar lulus tes.

5. Mendesain tugas yang autentik. Membuat tugas-tugas yang menantang kognitif siswa

dalam belajar sains misalnya seperti layaknya ilmuwan. Problem atau tugas bisa

dinego dengan pembelajar agar sesuai dengan tuntutan kognitif dan dapat mendorong

rasa memiliki.

6. Mendesain tugas dan lingkungan belajar yang merefleksikan kompleksitas lingkungan

yang kelak pembelajar diharapkan berfungsi di dalamnya.

7. Memberi kesempatan bagi pembelajar untuk memiliki dan menemukan proses

mendapatkan solusi.

8. Mendesain lingkungan pembelajar yang mendukung dan menantang pemikiran

pembelajar. Di sini guru bertindak sebagai konsultan atau pelatih sesuai dengan

konsep scaffolding & zone of proximal development dari Vygotsky.

9. Selain prinsip di atas, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam proses

pembelajaran konstruktivistik, yaitu:

Page 10: teori belajar konstruktivisme

1)    Mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam kontek yang relevan;

2)    Mengutamakan proses;

3)    Menanamkan pembelajaran dalam konteks pengalaman sosial;

4)    Pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman.

Konstruktivisme dalam Pembelajaran

Kegiatan belajar adalah kegiatan yang aktif, dimana siswa membangun sendiri

pengetahuannya. Siswa mencari arti sendiri dari yang mereka pelajari, ini merupakan proses

menyesuaikan konsep-konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berfikir yang telah ada

dalam pikiran mereka. Dalam hal ini siswa membentuk pengetahuan mereka sendiri dan guru

membantu sebagai mediator dalam proses pembentukan itu.

Proses perolehan pengetahuan akan terjadi apabila guru dapat menciptakan kondisi

pembelajaran yang ideal yang dimaksud disini adalah suatu proses belajar mengajar yang

sesuai dengan karakteristik IPS dan memperhatikan perspektif siswa. Pembelajaran yang

dimaksud diatas adalah pembelajaran yang mengutamakan keaktifan siswa, menerangkan

pada kemampuan minds-on dan hands-on serta terjadi interaksi dan mengakui adanya

konsepsi awal yang dimiliki siswa melalui pengalaman sebelumnya.

Dalam pelaksanaan teori belajar konstruktivisme ada beberapa saran yang berkaitan

dengan rancangan pembelajaran yaitu sebagai berikut :

1)      Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan pendapatnya dengan bahasa

sendiri.

2)      Memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga lebih

kreatif dan imajinatif.

3)      Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru.

4)      Menggali pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa.

5)      Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka.

6)      Menciptakan lingkungan yang kondusif.

Dari berbagai pandangan di atas, bahwa pembelajaran yang mengacu pada pandangan

konstruktivisme lebih memfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan

pengalaman mereka dengan kata lain siswa lebih berpengalaman untuk mengonstruksikan

sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.

Page 11: teori belajar konstruktivisme

Dari hasil eksperimennya, piaget mengemukakan teori perkembangan mental anak

yang menyatakan terdapat empat tahap perkembangan mental anak (dalam Dahar, 1989:152)

yaitu :

1.      Tahap Sensori motor (0-2 tahun)

2.      Tahap praoperasi (2-7 tahun )

3.      Tahap operasi kongkrit (7-11 tahun)

4.      Tahap operasi formal (11-tahun keatas)

Pengikut aliran konstruktivisme personal yang lain adalah Bruner, bahwa cara terbaik

bagi seseorang  untuk memulai belajar konsep dan prinsip adalah dengan mengkonstruksi

sendiri konsep dan prinsip  yang di pelajari itu. Kemudian inti dari belajar adalah dengan cara

memakai cara-cara bagaimana orang lain memilih, mempertahankan, dan

mentraspormasikan  masalah secara aktif dalam kegiatan dan prilaku sehari-hari ( dalam

Dahar, 1989:112).

Pengembangan pendekatan pembelajaran konstruktivisme dalam IPS yang

menekankan pada pengkosntruktivisme  pengetahuan  oleh siswa. Dengan pendekatan

pembelajaran seperti ini anak akan membangun pengetahuan sendiri yang di mulai dengan

intraksinya  dengan lingkungan dan keluarga. 

Berdasrkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa dalam pembelajaran

konstruktivisme  proses pembangunan pengetahuan  dilakukan secara aktif oleh siswa itu

sendiri, sesuai dengan landasan struktur kognitif yang telah dimilikinya, jadi belajar adalah

proses untuk menemukan sesuatu  dan buakan suatu proses  untuk menemukan fakta. Dalam

hal ini pelajar  harus membentuk pengetahuan sendiri dan guru hanya sebagai mediator dan

fasilitator dalam proses pembentukan pengetahuan itu.

Prinsip yang paling umum dan yang paling esensial yang dapat di turunkan  dari

konstruktivisme adalah  bahwa anak-anak memperoleh banyak  pengetahuan.

Salah satu landasan teorik pendidikan modern termasuk CTL adalah teori

pembelajaran Konstruktivis.  Pendekatan ini  pada dasarnya  menekankan pentingnya  siswa

membangun sendiri pengetahuan mereka lewat keterlibatan aktif proses belajar mengajar.

Proses belajar mengajar lebih di warnai student centred daripada teacher centred. Sebagain

besar pada saat kegiatan belajar mengajar berlangsung lebih ditekankan pada kegiatan sisawa

sehigga lebih berbasis pada siswa aktif atau aktivitas siswa lebih di utamakan. Iquiry based

learning dan problem based learning yang di sebut sebagai strategi  CTL (university of

Washington, 2001) dalam Trianto (2007:106) di warnai dengan student centred dan aktivitas

siswa.

Page 12: teori belajar konstruktivisme

Problem based Learning tersebut juga sejalan dengan pengajaran  top down  yang

lebih di bebankan kepada pendekatan konstruktivis. Di dalam pengajaran top down ini, siswa

mulai dengan suatu tugas yang kompleks  dan autentuik  yang akhirnya di harapkan tugas ini 

dapat dilakukan siswa.

Ide-ide konstruktivis  modern banyak berlandaskan pada teori Vygotsky yang telah

digunakan untuk menunjang metode pembelajaran yang menekankan pada pembelajaran

Kooperatif, pembelajaran berbasis kegiatan, dan penemuan.  Salah satu prinsip utama  yang

diturunkan dari teorinya adalah  penekanan pada hakekat social dari pembelajaran. Ia

mengatakan bahawa siswa belajar dari interaksi dengan orang dewasa atau teman sebaya

yang lebih mampu (slavin,2000) dalam Trianto (2007:107).

Constructivism merupakan landasan berfikir kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan di

bangun  oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya di perluas  melalui konsteks yang

terbatas. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk

diambil  dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna 

melalui  pengalaman nyata.

Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan maslah, untuk menemukan sesuatu yang

dapat di gunakan bagi kegiatan dalam kehidupannya, serta bergelut dengan ide-ide dan

pendapat orang lain untuk menemukan konteksnya. Kemampuan guru untuk mentrasper

pengetahuan yang di milikinya sangat terbatas,  hal ini akan sangat mungkin guru akan

mentrasper  apa yang di milikinya, kepada siswa akan tidak mudah di termima dan di serap

langsung oleh siswa, sehingga siswa itu sediri yang harus berupaya untuk mengkonstruksikan

pengetahuan di benak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivisme adalah siswa itu

sendiri harus menemukan dan mentraspormasikan suatu informasi konpleks ke situasi lain,

dan apabila di kehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri.

Dengan dasar ini  pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi”

bukan menerima pengetahuan. Dalam proses pembelajaran siswa membangun sendiri 

pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar  dan mengajar. Siswa

menjadi pusat kegiatan bukan guru.

Kelebihan dan Kekurangan Teori Konstruktivistik

Kelebihan :

Page 13: teori belajar konstruktivisme

1)    Pembelajaran konstruktivistik memberikan kesempatan kepada siswa untuk

mengungkapkan gagasan secara eksplisit dengan menggunakan bahasa siswa sendiri.

2)    Pembelajaran konstruktivistik memberi pengalaman yang berhubungan dengan

gagasan yang telah dimiliki siswa sehingga siswa terdorong untuk membedakan dan

memadukan gagasan tentang fenomena yang menantang siswa.

3)    Pembelajaran konstruktivistik memberi siswa kesempatan untuk berpikir tentang

pengalamannya. Ini dapat mendorong siswa berpikir kreatif, imajinatif, mendorong

refleksi tentang model dan teori, mengenalkan gagasan-gagasan pada saat yang tepat.

4)    Pembelajaran konstruktivistik memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba

gagasan baru agar siswa terdorong untuk memperoleh kepercayaan diri dengan

menggunakan berbagai konteks.

5)    Pembelajaran konstruktivistik mendorong siswa untuk memikirkan perubahan

gagasan merka setelah menyadari kemajuan mereka serta memberi kesempatan siswa

untuk mengidentifikasi perubahan gagasan mereka.

6)    Pembelajaran konstruktivisme memberikan lingkungan belajar yang kondusif

yang mendukung siswa mengungkapkan gagasan, saling menyimak, dan menghindari

kesan selalu ada satu jawaban yang benar.

Kelemahan :

1)        Siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil

konstruksi siswa tidak cocok dengan hasil konstruksi para ahli sehingga menyebabkan

miskonsepsi.

2)        Konstruktivistik menanamkan agar siswa membangun pengetahuannya sendiri,

hal ini pasti membutuhkan waktu yang lama dan setiap siswa memerlukan

penanganan yang berbeda-beda.

3)        Situasi dan kondisi tiap sekolah tidak sama, karena tidak semua sekolah

memiliki sarana prasarana yang dapat membantu keaktifan dan kreativitas siswa.

Implikasi Konstruktivisme dalam Pembelajaran

Page 14: teori belajar konstruktivisme

Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi,

1999: 63) adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme

adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk

menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang sedemikian rupa

sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat

dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan

melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (3)

peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi

dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi

yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.

Dikatakan juga bahwa pembelajaran yang memenuhi metode konstruktivis hendaknya

memenuhi beberapa prinsip, yaitu: a) menyediakan pengalaman belajar yang menjadikan

peserta didik dapat melakukan konstruksi pengetahuan; b) pembelajaran dilaksanakan dengan

mengkaitkan kepada kehidupan nyata; c) pembelajaran dilakukan dengan mengkaitkan

kepada kenyataan yang sesuai; d) memotivasi peserta didik untuk aktif dalam pembelajaran;

e) pembelajaran dilaksanakan dengan menyesuaikan kepada kehidupan social peserta didik;

f) pembelajaran menggunakan barbagia sarana; g) melibatkan peringkat emosional peserta

didik dalam mengkonstruksi pengetahuan peserta didik (Knuth & Cunningham,1996).

Daftar Pustaka

Corey, G. 2005. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Belmont,CA:Brooks/Cole.

Page 15: teori belajar konstruktivisme

Hitipeuw, I. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang.

Ornstein, C., Levine, U.D.1984. Foundations of Education, Houghton Mifflin Company. Boston.

Rahmantyo, G. 2010. Teori Pembelajaran Kooperatif (Online) (http://blog-anakdesa.blogspot.com/2010/01/teori-belajar-kooperatif.html, diakses 6 November 2011)

Romlah, T. 2006. Teori dan Praktek Bimbingan Kelompok. Malang: Universitas Negeri Malang.

Santrock, J. W. 2008. Psikologi Pendidikan Edisi Kedua (terjemahan). Jakarta: Kencana.