Download - teori belajar konstruktivisme
Nama : DITA TRIA PUTRI
NIM : 06121410012
Prodi : Pendidikan Kimia
TEORI KONSTUKTIVISME
Belajar menurut konstruktivisme adalah suatu proses mengasimilasikan dan
mengkaitkan pengalaman atau pelajaran yang dipelajari dengan pngertian yang sudah
dimilikinya, sehingga pengetahuannya dapat dikembangkan.
Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu
tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik
yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus
respon, kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau
menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan
pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang
dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman
demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih
dinamis.
Menurut teori ini, satu prinsip yang mendasar adalah guru tidak hanya memberikan
pengetahuan kepada siswa, namun siswa juga harus berperan aktif membangun sendiri
pengetahuan di dalam memorinya. Dalam hal ini, guru dapat memberikan kemudahan untuk
proses ini, dengan membri kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan ide
– ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan
strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan siswa anak tangga yang
membawasiswa ke tingkat pemahaman yang lebih tinggi dengan catatan siswa sendiri yang
mereka tulis dengan bahasa dan kata – kata mereka sendiri.
Dari uraian tersebut dapat dikatakan, bahwa makna belajar menurut konstruktivisme
adalah aktivitas yang aktif, dimana pesrta didik membina sendiri pengtahuannya, mencari arti
dari apa yang mereka pelajari dan merupakan proses menyelesaikan konsep dan idea-idea
baru dengan kerangka berfikir yang telah ada dan dimilikinya (Shymansky,1992).
Dalam mengkonstruksi pengetahuan tersebut peserta didik diharuskan mempunyai dasar
bagaimana membuat hipotesis dan mempunyai kemampuan untuk mengujinya,
menyelesaikan persoalan, mencari jawaban dari persoalan yang ditemuinya, mengadakan
renungan, mengekspresikan ide dan gagasan sehingga diperoleh konstruksi yang baru.
Memahamai Paradigma konstruktivisme
Dalam proses pembelajaran dituntut adanya proses perubahan dalam pembelajaran, di
dalam proses pembelajarann tersebut harus ada pemberdayaan diri bagi siswa dan
pengembangan potensi-potensi yang di miliki siswa dengan cara holistic melalui proses
pembelajaran yang dilakukan oleh setip guru. Dalam pembahasan pembelajaran, pengkajian
yang mendalam tentang paradigma konstruktivisme merupakan suatu tuntutan dan sekaligus
tantang baru di tengah terjadinya perubahan besar dalam memahami proses pendidikan dan
pembelajaran. Pergeseran paradigma pembelajaran yang sebelumnya lebih menitik beratkan
pada peran guru, fasilitaor, instruktur yang demikian besar, dalam perjalanannya semakin
bergeser pada pemberdayaan peserta didik atau siswa dalam mengambil inisiatif dan
partisipatif didalam proses pembelajaran. Pandangan yang menganggap bahwa pengetahuan
sebagai reprensentasi (gambaran/atau ungkapan) kenyataan dunia yang terlepas dari
pengamat (objektivisme). Pemahaman yang menganggap bahwa pengetahuan merupakan
kumpulan pakta. Namun akhir akhir ini berkembang pesat pemikiran, terlebih dalam bidang
sains yang mempertahankan bahwa pengetahuan tidak terlepas dari objek yang sedang
belajar mengerti (suparno, 1997:18) dalam Aunurrahman ( 2009:15)
Konstruktivisme merupakan respon terhadap berkembangnya harpan-harapan baru
berkaitan dengan proses pembelajaran yang menginginkan peran aktif siswa dalam
merekayasa dan memperakarsai kegiatan belajar sendiri. Hampir setiap kalangan yang
terlibat dalam mengkaji masalah-masalah pembelajaran mengetahui bahwa konstruktifisme
merupakan paradigam alternative pembelajaran yang muncul sebagai akibat revolusi ilmiah
yang terjadi beberapa tahun belakangan ini. Konstruktivisme merupakan satu filsafat
pengetahuan yang menekankan pada pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita
sendiri (Von Glasersfeld dalam Ainurrahman 2009:16)
Pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas). Pengetahuan selalu
merupakan akibat dari konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang. Melalui proses belajar
yang dilakukan , seseorang membentuk skema, katagori, konsep dan struktur pengetahuan
untuk suatu pengetahuan tertentu. Oleh karena itu pengetahuan adalah hasil konstruksi
pengalaman manusia sejauh yang dialaminya. Menurut Piaget (1971) dalaam Ainurrahman
(2009) pembentukan ini tidak pernah mencapai titik akhir, akan tetapi terus menerus
berkembang setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang
baru.
Dalam mencermati relaitas kehidupan sehari-hari para konstruktivis mempercayai
bahwa pengetahuan itu adalah dalam diri seseorang yang sedang berusahan mengetahui.
Pengetahuan tidak dapat di pindahkan begitu saja dari otak seseorang (guru) ke kepala orang
lain (siswa). Siswa lah yang akan mengartikan apa yang di ajarkan oleh guru dan di sesuaikan
dengan pengalaman mereka (lorsbach dan Tobin , 1992 dalam Ainurrahman 2009:16)
Pengetahuan yang di miliki seseorang terkait erat dengan pengalaman-pengalaman.
Tanpa pengalaman seseorang tidak dapat membentuk pengetahuan. Dalam kontek ini
pengalaman tidak hanya diartikan sebagai pengalaman fisik seseorang sebagaimana kita
pahami dalam kehidupan kita sehari-hari. misalnya pengalaman pernah pergi kesuatu tempat
yang indah, pengalaman mengerdarai speda motor, melihat pesawat, dan lain sebagainya.
Pengalaman dalam hal ini mencakup pengalaman kognitif dan mental. Pengetahuan di bentuk
oleh struktur penerimaan konsep seseorang sewaktu ia berinteraksi dengan lingkungan.
Berkaitan dengan konstruktivisme, terdapat dua teori belajar yang dikaji dan
dikembangkan oleh Jean Piaget dan Vygotsky, yang dapat diuraikan sebagai berikut:
Teori Belajar Konstruktivisme Jean Piaget
Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa
penekanan teori kontruktivisme pada proses untuk menemukan teori atau pengetahuan yang
dibangun dari realitas lapangan. Peran guru dalam pembelajaran menurut teori
kontruktivisme adalah sebagai fasilitator atau moderator. Pandangan tentang anak dari
kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif
Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan
kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya.
Proses mengkonstruksi, sebagaimana dijelaskan Jean Piaget adalah sebagai berikut:
a) Skemata
Sekumpulan konsep yang digunakan ketika berinteraksi dengan lingkungan disebut dengan
skemata.
Sejak kecil anak sudah memiliki struktur kognitif yang kemudian dinamakan skema
(schema). Skema terbentuk karena pengalaman. Misalnya, anak senang bermain dengan
kucing dan kelinci yang sama-sama berbulu putih. Berkat keseringannya, ia dapat menangkap
perbedaan keduanya, yaitu bahwa kucing berkaki empat dan kelinci berkaki dua. Pada
akhirnya, berkat pengalaman itulah dalam struktur kognitif anak terbentuk skema tentang
binatang berkaki empat dan binatang berkaki dua. Semakin dewasa anak, maka semakin
sempunalah skema yang dimilikinya. Proses penyempurnaan sekema dilakukan melalui
proses asimilasi dan akomodasi.
b) Asimilasi
Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep
ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya.
Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan
mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses
asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skemata
melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam
mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru pengertian orang itu
berkembang.
c) Akomodasi
Dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat
mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai. Pengalaman
yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan
demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi tejadi untuk membentuk skema
baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada
sehingga cocok dengan rangsangan itu.
d) Keseimbangan
Ekuilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sedangkan diskuilibrasi
adalah keadaan dimana tidak seimbangnya antara proses asimilasi dan akomodasi, ekuilibrasi
dapat membuat seseorang menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamnya.
Piaget juga membagi skema Anak dalam menggunakan pemahamannya untuk
memahami dunia mealui empat tahapan utama, yang secara umum berkorelasi dengan dan
semakin bertambah canggih sejalan dengan bertambahnya usia pada tahapan Sensorimotor
(Usia 0-2 tahun) menurut Piaget, anak dalam tahapan sensorimotor lebih mengutamakan
mengeksplorasi dunia nyata dengan perasaan dibandingkan dengan melalui operasi mental.
Bayi terlahir dengan seperangkat refleks yang sama, menurut Piaget, sebagai tambahan
dorongan untuk melakukan eksplorasi terhadap dunia nyata. Skema awalnya dibentuk
melalui diferensiasi refleks-refleks yang sama tersebut (lihat asimilasi dan akomodasi di
bagian berikut). Tahapan sensorimotor merupakan tahapan paling awal dari empat tahapan.
Menurut Piaget, tahapan ini ditandai dengan berkembangnya kemampuan spasial esensial dan
pemahaman dari dunia nyata yang terdiri dari enam sub-tahapan.
a. Sub-tahapan pertama terjadi dari kelahiran sampai dengan enam minggu dan berasosiasi
terutama dengan perkembangan refleks. Tiga refleks utama dideskripsikan oleh Piaget:
memasukkan objek-objek ke mulut, mengikuti pandangan mata ke objek begerak atau objek
menarik, dan mengepalkan tangan ketika suatu objek kontak dengan telapak tangan. Selama
enam minggu kehidupan awal, refleks-refleks ini mulai menjadi kegiatan yang disadari;
sebagai contoh, refleks mengepal menjadi gerakan menangkap dengan sengaja. (Gruber and
Vaneche, 1977).
b. Sub-tahapan kedua terjadi sejak usia enam minggu sampai empat bulan dan terutama
berasosiasi dengan kebiasaan. Ciri utamanya adalah reaksi berulang atau pengulangan
kegiatan yang pada awalnya hanya melibatkan satu bagian tubuhnya saja. Contoh dari tipe
reaksi ini antara lain mencakup seorang bayi berulang-ulang menggerakkan tangannya di
depan wajahnya. Juga pada tahapan ini dimungkinkan dimulainya reaksi pasif, disebabkan
oleh classical conditioning atau operant conditioning (Gruber et al., 1977).
c. Sub-tahapan ketiga terjadi mulai bayi berusia empat bulan sampai sembilan bulan dan
terutama berasosiasi dengan koordinasi antara pandangan dengan pengenalan melalui indera
lainnya. Tiga kemampuan baru mulai dimiliki pada tahapan ini: menggenggam dengan
sengaja benda-benda yang diinginkan, reaksi berulang kedua, dan diferensiasi terhadap cara
dan keinginan. Pada tahapan ini, seorang bayi menggapai-gapai di udara secara sengaja ke
arah suatu objek yang diinginkannya, gerakan lucu yang seringkali sangat disenangi oleh
keluarganya. Reaksi berulang kedua, atau pengulangan terhadap suatu gerakan yang
melibatkan objek eksternal dimulai: seperti gerakan orang dewasa memencet tombol lampu
secara berulang. Ada kemungkinan ini merupakan satu dari tahapan paling penting dari
pertumbuhan anak karena ini sangat berarti bagi dimulainya penalaran (Gruber et al., 1977).
Bagian paling akhir dari dari sub-tahapan ini adalah bayi mulai memiliki perasaan
keberadaan objek secara permanen, semacam melalui tes kesalahan A-bukan-B.
d. Sub-tahapan ke empat terjadi dari usia sembilan sampai dua belas bulan dan berasosiasi
terutama dengan perkembangan logika dan koordinasi antara cara dan keinginan. Tahapan ini
amat vital dari perkembangan, terjadi apa yang disebut Piaget “kecerdasan sebenarnya
pertama.” Juga, tahapan ini ditandai dengan dimulainya orientasi tujuan, perencanaan besar
dari langkah-langkah untuk mencapai tujuan (Gruber et al. 1977).
e. Sub-tahapan kelima terjadi dari usia dua belas sampai delapan belas bulan dan berasosiasi
terutama dengan penemuan keinginan-keinginan baru untuk mencapai tujuan. Piaget
mendeskripsikan anak pada tahapan ini sebagai “cendekiawan muda,” memulai semacam
eksperimen untuk menemukan metode baru dalam menemui tantangan (Gruber et al. 1977).
Konstruktivistik Sosial
Berbeda dengan konstruktivistik kognitif dimana anak cenderung lebih bebas
mengkonstruk sendiri pengetahuannya dan peran guru yang akhirnya kabur dan tidak jelas
sebagai pengajar. Sebaliknya, konstruktivistik sosial yang dipelopori Vygotsky
mengedepankan pengkonstruksian pengetahuan dalam konteks sosial sehingga peran guru
menjadi jelas dalam membantu anak mencapai kemandirian. Dari Piaget ke Vygotsky ada
pergeseran konseptual dari individual ke kolaborasi, interaksi sosial, dan aktivitas
sosiakultural. Pengertian belajar menurut konstruktivistik sosial adalah proses perubahan
perilaku yang terjadi sebagai akibat munculnya pemahaman baru yang dibangun dalam
konteks sosial sebelum menjadi bagian pribadi individu. Menurut Santrock (2008) salah satu
asumsi penting dari konstruktivistik sosial adalah situated cognition yaitu ide bahwa
pemikiran selalu ditempatkan (disituasikan) dalam konteks sosial dan fisik, bukan dalam
pikiran seseorang. Konsep situated cognition menyatakan bahwa pengetahuan dilekatkan dan
dihubungkan pada konteks di mana pengetahuan tersebut dikembangkan. Jadi idealnya,
situasi pembelajaran diciptakan semirip mungkin dengan situasi dunia nyata.
Teori Belajar Konstruktivisme Vygotsky
Ratumanan (2004:45) mengemukakan bahwa karya Vygotsky didasarkan pada dua ide
utama. Pertama, perkembangan intelektual dapat dipahami hanya bila ditinjau dari konteks
historis dan budaya pengalaman anak. Kedua, perkembangan bergantung pada sistem-sistem
isyarat mengacu pada simbol-simbol yang diciptakan oleh budaya untuk membantu orang
berfikir, berkomunikasi dan memecahkan masalah, dengan demikian perkembangan kognitif
anak mensyaratkan sistem komunikasi budaya dan belajar menggunakan sistem-sistem ini
untuk menyesuaikan proses-proses berfikir diri sendiri.
Menurut Slavin (Ratumanan, 2004:49) ada dua implikasi utama teori Vygotsky dalam
pendidikan. Pertama, dikehendakinya setting kelas berbentuk pembelajaran kooperatif antar
kelompok-kelompok siswa dengan kemampuan yang berbeda, sehingga siswa dapat
berinteraksi dalam mengerjakan tugas-tugas yang sulit dan saling memunculkan strategi-
strategi pemecahan masalah yang efektif di dalam daerah pengembangan terdekat/proksimal
masing-masing. Kedua, pendekatan Vygotsky dalam pembelajaran menekankan perancahan
(scaffolding). Dengan scaffolding, semakin lama siswa semakin dapat mengambil
tanggungjawab untuk pembelajarannya sendiri.
a. Pengelolaan pembelajaran
Interaksi sosial individu dengan lingkungannya sengat mempengaruhi
perkembanganbelajar seseorang, sehingga perkemkembangan sifat-sifat dan jenis manusia
akan dipengaruhi oleh kedua unsur tersebut. Menurut Vygotsky dalam Slavin (2000), peserta
didik melaksanakan aktivitas belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman
sejawat yang mempunyai kemampuan lebih. Interaksi sosial ini memacu terbentuknya ide
baru dan memperkaya perkembangan intelektual peserta didik.
b. Pemberian bimbingan
Menurut Vygotsky, tujuan belajar akan tercapai dengan belajar menyelesaikan tugas-
tugas yang belum dipelajari tetapi tugas-tugas tersebut masih berada dalam daerah
perkembangan terdekat mereka (Wersch,1985), yaitu tugas-tugas yang terletak di atas
peringkat perkembangannya. Menurut Vygotsky, pada saat peserta didik melaksanakan
aktivitas di dalam daerah perkembangan terdekat mereka, tugas yang tidak dapat diselesaikan
sendiri akan dapat mereka selesaikan dengan bimbingan atau bantuan orang lain.
Sedangakan pada konstruktivisme sosial mempunyai beberapa prinsip yaitu :
1) Pembelajaran Sosial (social learning) yaitu pendekatan pembelajaran yang dipandang
sesuai adalah pembelajaran kooperatif. Vygotsky menyatakan bahwa siswa belajar melalui
interaksi bersama dengan orang dewasa atau teman yang lebih cakap. Pembelajaran
kooperatif yaitu pembelajaran yang terjadi ketika murid bekerja dalam kelompok kecil untuk
saling membantu dalam belajar.
2) Zone of Proximal Development (ZPD) yang menyatakan bahwa siswa akan
mempelajari konsep-konsep dengan baik jika berada dalam ZPD. Siswa bekerja dalam ZPD
jika siswa tidak dapat memecahkan masalah sendiri, tetapi dapat memecahkan masalah itu
setelah mendapat bantuan orang dewasa atau temannya (peer). Bantuan atau support
diberikan agar siswa mampu mengerjakan tugas atau soal yang lebih tinggi tingkat
kerumitannya daripada tingkat perkembangan kognitif anak. Bila materi yang diberikan di
luar ZPD maka ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, materi tersebut tidak menantang
atau terlalu mudah untuk diselesaikan. Kedua, materi yang disajikan terlalu tinggi
dibandingkan kemampuan awal sehingga anak kesulitan untuk menguasai apalagi
menyelesaikannya, bahkan anak bisa mengalami frustasi.
3) Cognitive Apprenticeship yaitu proses yang digunakan seorang pelajar untuk secara
bertahap memperoleh keahlian melalui interaksi dengan pakar, bisa orang dewasa atau teman
yang lebih tua/lebih pandai. Pengajaran siswa adalah suatu bentuk masa magang/pelatihan.
Awalnya, guru memberi contoh kepada siswa kemudian membantu murid mengerjakan tugas
tersebut. Guru mendorong siswa untuk melanjutkan tugasnya secara mandiri.
4) Pembelajaran Termediasi (Mediated Learning) dimana Vygostky menekankan pada
scaffolding yaitu bantuan yang diberikan oleh orang lain kepada anak untuk membantunya
mencapai kemandirian. Siswa diberi masalah yang kompleks, sulit, dan realistik, dan
kemudian diberi bantuan secukupnya dalam memecahkan masalah siswa. Bantuan yang
diberikan guru dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam
bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky mengemukakan tiga
kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu:
1. Siswa mencapai keberhasilan dengan baik.
2. Siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan.
3. Siswa gagal meraih keberhasilan.
Menurut Lebow dalam Hitipeuw (2009) nilai-nilai konstruktivistik yang utama adalah:
1. Collaboration: apakah tugas-tugas pembelajaran dicapai melalui kerjasama dengan
komunitasnya atau tidak?
2. Personal autonomy: apakah kepentingan pribadi pembelajar menentukan kegiatan dan
proses pembelajaran yang diterimanya?
3. Generativity: apakah ada kemungkinan pembelajar didorong untuk membangun dan
menemukan sendiri prinsip-prinsip dan didorong untuk mengelaborasi apa yang
diterima?
4. Reflectivity: apakah setelah pembelajaran selesai misalnya, pembelajar bisa melihat
manfaat dari apa yang telah dipelajarinya dan apakah dia menemukan sesuatu yang
bisa digunakan untuk memperbaiki belajarnya sesuai dengan konteksnya?
5. Active engagement: apakah setiap individu terlibat secara aktif dalam belajar untuk
membangun pemahamannya atau pembelajar lebih pada menerima saja apa yang
diberikan?
6. Personal relevance: apakah pembelajar bisa melihat keterkaitan dari apa yang
dipelajarinya dengan kehidupannya sendiri?
7. Pluralism: apakah pembelajarannya tidak menekankan pada satu cara atau satu
solusi? Apakah semua pendapat pribadi mendapat tempat dalam dialog pembelajaran?
Prinsip-prinsip Utama Konstruktivistik dalam Pembelajaran
Menurut Hitipeuw (2009) prinsip-prinsip utama konstruktivistik dalam pembelajaran di
kelas adalah:
1. The best learning is situated learning. Pembelajar memecahkan masalah,
menjalankan tugas, belajar materi baru dalam suatu konteks yang bermanfaat bagi
pembelajar dan berkaitan dengan dunia nyata.
2. Pembelajar dalam proses belajarnya mendapatkan scaffolding yang bisa datang dari
guru atau teman dalam mengembangkan pemahaman atau keterampilan barunya. Di
sini, konstruktivistik mendorong apprenticeship approach (cognitive apprenticeship),
menunjukkan pada proses di mana seorang pembelajar memperoleh keahlian secara
perlahan-lahan melalui interaksi dengan seorang ahli, apakah seorang dewasa atau
dua orang yang lebih maju darinya.
3. Mengkaitkan semua kegiatan belajar ke dalam tugas atau problema yang lebih besar.
Tujuannya agar pembelajar dapat melihat relevansi tujuan belajarnya yang spesifik
dan kaitannya dengan tugas yang lebih besar dan kompleks sehingga kelak mereka
dapat berfungsi lebih efektif dalam kehidupan nyata.
4. Membantu pembelajar dalam mengembangkan rasa memiliki atas semua masalah dan
tugasnya. Jadi bukan sekedar lulus tes.
5. Mendesain tugas yang autentik. Membuat tugas-tugas yang menantang kognitif siswa
dalam belajar sains misalnya seperti layaknya ilmuwan. Problem atau tugas bisa
dinego dengan pembelajar agar sesuai dengan tuntutan kognitif dan dapat mendorong
rasa memiliki.
6. Mendesain tugas dan lingkungan belajar yang merefleksikan kompleksitas lingkungan
yang kelak pembelajar diharapkan berfungsi di dalamnya.
7. Memberi kesempatan bagi pembelajar untuk memiliki dan menemukan proses
mendapatkan solusi.
8. Mendesain lingkungan pembelajar yang mendukung dan menantang pemikiran
pembelajar. Di sini guru bertindak sebagai konsultan atau pelatih sesuai dengan
konsep scaffolding & zone of proximal development dari Vygotsky.
9. Selain prinsip di atas, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam proses
pembelajaran konstruktivistik, yaitu:
1) Mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam kontek yang relevan;
2) Mengutamakan proses;
3) Menanamkan pembelajaran dalam konteks pengalaman sosial;
4) Pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman.
Konstruktivisme dalam Pembelajaran
Kegiatan belajar adalah kegiatan yang aktif, dimana siswa membangun sendiri
pengetahuannya. Siswa mencari arti sendiri dari yang mereka pelajari, ini merupakan proses
menyesuaikan konsep-konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berfikir yang telah ada
dalam pikiran mereka. Dalam hal ini siswa membentuk pengetahuan mereka sendiri dan guru
membantu sebagai mediator dalam proses pembentukan itu.
Proses perolehan pengetahuan akan terjadi apabila guru dapat menciptakan kondisi
pembelajaran yang ideal yang dimaksud disini adalah suatu proses belajar mengajar yang
sesuai dengan karakteristik IPS dan memperhatikan perspektif siswa. Pembelajaran yang
dimaksud diatas adalah pembelajaran yang mengutamakan keaktifan siswa, menerangkan
pada kemampuan minds-on dan hands-on serta terjadi interaksi dan mengakui adanya
konsepsi awal yang dimiliki siswa melalui pengalaman sebelumnya.
Dalam pelaksanaan teori belajar konstruktivisme ada beberapa saran yang berkaitan
dengan rancangan pembelajaran yaitu sebagai berikut :
1) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan pendapatnya dengan bahasa
sendiri.
2) Memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga lebih
kreatif dan imajinatif.
3) Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru.
4) Menggali pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa.
5) Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka.
6) Menciptakan lingkungan yang kondusif.
Dari berbagai pandangan di atas, bahwa pembelajaran yang mengacu pada pandangan
konstruktivisme lebih memfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan
pengalaman mereka dengan kata lain siswa lebih berpengalaman untuk mengonstruksikan
sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.
Dari hasil eksperimennya, piaget mengemukakan teori perkembangan mental anak
yang menyatakan terdapat empat tahap perkembangan mental anak (dalam Dahar, 1989:152)
yaitu :
1. Tahap Sensori motor (0-2 tahun)
2. Tahap praoperasi (2-7 tahun )
3. Tahap operasi kongkrit (7-11 tahun)
4. Tahap operasi formal (11-tahun keatas)
Pengikut aliran konstruktivisme personal yang lain adalah Bruner, bahwa cara terbaik
bagi seseorang untuk memulai belajar konsep dan prinsip adalah dengan mengkonstruksi
sendiri konsep dan prinsip yang di pelajari itu. Kemudian inti dari belajar adalah dengan cara
memakai cara-cara bagaimana orang lain memilih, mempertahankan, dan
mentraspormasikan masalah secara aktif dalam kegiatan dan prilaku sehari-hari ( dalam
Dahar, 1989:112).
Pengembangan pendekatan pembelajaran konstruktivisme dalam IPS yang
menekankan pada pengkosntruktivisme pengetahuan oleh siswa. Dengan pendekatan
pembelajaran seperti ini anak akan membangun pengetahuan sendiri yang di mulai dengan
intraksinya dengan lingkungan dan keluarga.
Berdasrkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa dalam pembelajaran
konstruktivisme proses pembangunan pengetahuan dilakukan secara aktif oleh siswa itu
sendiri, sesuai dengan landasan struktur kognitif yang telah dimilikinya, jadi belajar adalah
proses untuk menemukan sesuatu dan buakan suatu proses untuk menemukan fakta. Dalam
hal ini pelajar harus membentuk pengetahuan sendiri dan guru hanya sebagai mediator dan
fasilitator dalam proses pembentukan pengetahuan itu.
Prinsip yang paling umum dan yang paling esensial yang dapat di turunkan dari
konstruktivisme adalah bahwa anak-anak memperoleh banyak pengetahuan.
Salah satu landasan teorik pendidikan modern termasuk CTL adalah teori
pembelajaran Konstruktivis. Pendekatan ini pada dasarnya menekankan pentingnya siswa
membangun sendiri pengetahuan mereka lewat keterlibatan aktif proses belajar mengajar.
Proses belajar mengajar lebih di warnai student centred daripada teacher centred. Sebagain
besar pada saat kegiatan belajar mengajar berlangsung lebih ditekankan pada kegiatan sisawa
sehigga lebih berbasis pada siswa aktif atau aktivitas siswa lebih di utamakan. Iquiry based
learning dan problem based learning yang di sebut sebagai strategi CTL (university of
Washington, 2001) dalam Trianto (2007:106) di warnai dengan student centred dan aktivitas
siswa.
Problem based Learning tersebut juga sejalan dengan pengajaran top down yang
lebih di bebankan kepada pendekatan konstruktivis. Di dalam pengajaran top down ini, siswa
mulai dengan suatu tugas yang kompleks dan autentuik yang akhirnya di harapkan tugas ini
dapat dilakukan siswa.
Ide-ide konstruktivis modern banyak berlandaskan pada teori Vygotsky yang telah
digunakan untuk menunjang metode pembelajaran yang menekankan pada pembelajaran
Kooperatif, pembelajaran berbasis kegiatan, dan penemuan. Salah satu prinsip utama yang
diturunkan dari teorinya adalah penekanan pada hakekat social dari pembelajaran. Ia
mengatakan bahawa siswa belajar dari interaksi dengan orang dewasa atau teman sebaya
yang lebih mampu (slavin,2000) dalam Trianto (2007:107).
Constructivism merupakan landasan berfikir kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan di
bangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya di perluas melalui konsteks yang
terbatas. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk
diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna
melalui pengalaman nyata.
Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan maslah, untuk menemukan sesuatu yang
dapat di gunakan bagi kegiatan dalam kehidupannya, serta bergelut dengan ide-ide dan
pendapat orang lain untuk menemukan konteksnya. Kemampuan guru untuk mentrasper
pengetahuan yang di milikinya sangat terbatas, hal ini akan sangat mungkin guru akan
mentrasper apa yang di milikinya, kepada siswa akan tidak mudah di termima dan di serap
langsung oleh siswa, sehingga siswa itu sediri yang harus berupaya untuk mengkonstruksikan
pengetahuan di benak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivisme adalah siswa itu
sendiri harus menemukan dan mentraspormasikan suatu informasi konpleks ke situasi lain,
dan apabila di kehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri.
Dengan dasar ini pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi”
bukan menerima pengetahuan. Dalam proses pembelajaran siswa membangun sendiri
pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar. Siswa
menjadi pusat kegiatan bukan guru.
Kelebihan dan Kekurangan Teori Konstruktivistik
Kelebihan :
1) Pembelajaran konstruktivistik memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengungkapkan gagasan secara eksplisit dengan menggunakan bahasa siswa sendiri.
2) Pembelajaran konstruktivistik memberi pengalaman yang berhubungan dengan
gagasan yang telah dimiliki siswa sehingga siswa terdorong untuk membedakan dan
memadukan gagasan tentang fenomena yang menantang siswa.
3) Pembelajaran konstruktivistik memberi siswa kesempatan untuk berpikir tentang
pengalamannya. Ini dapat mendorong siswa berpikir kreatif, imajinatif, mendorong
refleksi tentang model dan teori, mengenalkan gagasan-gagasan pada saat yang tepat.
4) Pembelajaran konstruktivistik memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba
gagasan baru agar siswa terdorong untuk memperoleh kepercayaan diri dengan
menggunakan berbagai konteks.
5) Pembelajaran konstruktivistik mendorong siswa untuk memikirkan perubahan
gagasan merka setelah menyadari kemajuan mereka serta memberi kesempatan siswa
untuk mengidentifikasi perubahan gagasan mereka.
6) Pembelajaran konstruktivisme memberikan lingkungan belajar yang kondusif
yang mendukung siswa mengungkapkan gagasan, saling menyimak, dan menghindari
kesan selalu ada satu jawaban yang benar.
Kelemahan :
1) Siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil
konstruksi siswa tidak cocok dengan hasil konstruksi para ahli sehingga menyebabkan
miskonsepsi.
2) Konstruktivistik menanamkan agar siswa membangun pengetahuannya sendiri,
hal ini pasti membutuhkan waktu yang lama dan setiap siswa memerlukan
penanganan yang berbeda-beda.
3) Situasi dan kondisi tiap sekolah tidak sama, karena tidak semua sekolah
memiliki sarana prasarana yang dapat membantu keaktifan dan kreativitas siswa.
Implikasi Konstruktivisme dalam Pembelajaran
Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi,
1999: 63) adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme
adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk
menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang sedemikian rupa
sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat
dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan
melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (3)
peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi
dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi
yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
Dikatakan juga bahwa pembelajaran yang memenuhi metode konstruktivis hendaknya
memenuhi beberapa prinsip, yaitu: a) menyediakan pengalaman belajar yang menjadikan
peserta didik dapat melakukan konstruksi pengetahuan; b) pembelajaran dilaksanakan dengan
mengkaitkan kepada kehidupan nyata; c) pembelajaran dilakukan dengan mengkaitkan
kepada kenyataan yang sesuai; d) memotivasi peserta didik untuk aktif dalam pembelajaran;
e) pembelajaran dilaksanakan dengan menyesuaikan kepada kehidupan social peserta didik;
f) pembelajaran menggunakan barbagia sarana; g) melibatkan peringkat emosional peserta
didik dalam mengkonstruksi pengetahuan peserta didik (Knuth & Cunningham,1996).
Daftar Pustaka
Corey, G. 2005. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Belmont,CA:Brooks/Cole.
Hitipeuw, I. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang.
Ornstein, C., Levine, U.D.1984. Foundations of Education, Houghton Mifflin Company. Boston.
Rahmantyo, G. 2010. Teori Pembelajaran Kooperatif (Online) (http://blog-anakdesa.blogspot.com/2010/01/teori-belajar-kooperatif.html, diakses 6 November 2011)
Romlah, T. 2006. Teori dan Praktek Bimbingan Kelompok. Malang: Universitas Negeri Malang.
Santrock, J. W. 2008. Psikologi Pendidikan Edisi Kedua (terjemahan). Jakarta: Kencana.