konsep trias politica

25
Perkembangan ke arah adopsi yang makin luas terhadap sistem Hukum Islam yang bersesuaian dengan dinamika kesadaran hukum dalam masyarakat kita, yang dituangkan dalam berbagai bentuk peraturap. perundang-undangan serta diwujudkan dalam esensi kelembagaan hukum yang dikembangkan dapat dikaitkan pula dengan pertimbanganpertimbangan yang bersifat filosofis dan ketatanegaraan. Secara umum dapar diakui bahwa UUD 1945 mengakui dan menganut ide Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Ide Ketuhanan Yang Maha Esa itu tidak saja ditegaskan dalam rumusan Pembukaan UUD yang menyebut secara eksplesit adanya pengakuan ini, tetapi juga dengan tegas mencantumkan ide Ketuhanan Yang Maha Esa itu sebagai sila pertama dan utama dalam rumusan Pancasila. Bahkan, dalam Pasal 29 UUD 1945. ditegaskan pula bahwa Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan dalam Pasal 9 ditentukan bahwa setiap Presiden dan Wakil Presiden sebelum memangku jabatan diwajibkan untuk bersumpah 'Demi Allah'. Ide Ke-Maha Esaan Tuhan itu bahkan dikaitkan pula dengan ide Ke-Maha Kuasaan Tuhan yang tidak lain merupakan gagasan Kedaulatan Tuhan dalam pemikiran kenegaraan Indonesia. Namun, prinsip Kedaulatan Tuhan itu berbeda dari paham teokrasi barat yang dijelmakan dalam kekuasaan Raja. maka dalam sistem pemikiran ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945, hal itu dijelmakan dalam prinsip-prinsip kedaulatan rakyat. Selanjutnya, prinsip kedaulatan rakyat dijelmakan ke dalam sistem kelembagaan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Selanjutnya, prinsip kedaulatan rakyat dijelmakan ke dalam sistem kelembagaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang selanjutnya akan menentukan haluan-haluan dalam penyelenggaraan negara berupa produk-produk hukum tertinggi, yang akan menjadi sumber bagi penataan dan pembinaan sistem hukum nasional. MPRlah yang dijadikan sumber kewenangan hukum bagi upaya pemberlakuan sistem hukum Islam itu dalam kerangka sistem hukum nasional. Dari perspektif Hukum Islam, proses pemikiran demikian dapat dikaitkan dengan pemahaman mengenai konsep 'theistic democracy' yang berdasar atas hukum atau pun konsep 'divine nomocracy' yang demokratis yang berhubungan erat dengan penafsiran inovatif terhadap ayat al-Quran yang mewajibkan ketaatan kepada Allah, kepada Rasulullah, dan kepada 'ulul amri'. Pengertian 'ulul amri'yang seringkali disalahpahami sebagai konsep mengenai 'pemimpin' (waliyu amri), justru dipahami sebagai konsep mengenai 'perwakilan kepemimpinan' atau 'para pemimpin yang mewakili rakyat' (ulul amri). Karena itu, konsep parlemen dalam pengertian modern dapat diterima dalam kerangka pemikiran Hukum Islam, melalui mana norma-norma hukum Islam itu diberlakukan dengan dukungan otoritas kekuasaan umum, yaitu melalui pelembagaannya menjadi 'qanun' atau peraturan perundangundangan negara. Karena itu, dapat dikatakan bahwa eksistensi Hukum Islam dalam kerangka Sistem Hukum Nasional Indonesia sangat kuat kedudukannya, baik secara filosofis, sosiologis, politits, maupun juridis. Meluasnya kesadaran mengenai reformasi hukum nasional dewasa ini

Upload: aghiffara

Post on 24-Jul-2015

212 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Konsep Trias Politica

Perkembangan ke arah adopsi yang makin luas terhadap sistem Hukum Islam yang bersesuaian dengan dinamika kesadaran hukum dalam masyarakat kita, yang dituangkan dalam berbagai bentuk peraturap. perundang-undangan serta diwujudkan dalam esensi kelembagaan hukum yang dikembangkan dapat dikaitkan pula dengan pertimbanganpertimbangan yang bersifat filosofis dan ketatanegaraan. Secara umum dapar diakui bahwa UUD 1945 mengakui dan menganut ide Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Ide Ketuhanan Yang Maha Esa itu tidak saja ditegaskan dalam rumusan Pembukaan UUD yang menyebut secara eksplesit adanya pengakuan ini, tetapi juga dengan tegas mencantumkan ide Ketuhanan Yang Maha Esa itu sebagai sila pertama dan utama dalam rumusan Pancasila. Bahkan, dalam Pasal 29 UUD 1945. ditegaskan pula bahwa Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan dalam Pasal 9 ditentukan bahwa setiap Presiden dan Wakil Presiden sebelum memangku jabatan diwajibkan untuk bersumpah 'Demi Allah'.

Ide Ke-Maha Esaan Tuhan itu bahkan dikaitkan pula dengan ide Ke-Maha Kuasaan Tuhan yang tidak lain merupakan gagasan Kedaulatan Tuhan dalam pemikiran kenegaraan Indonesia. Namun, prinsip Kedaulatan Tuhan itu berbeda dari paham teokrasi barat yang dijelmakan dalam kekuasaan Raja. maka dalam sistem pemikiran ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945, hal itu dijelmakan dalam prinsip-prinsip kedaulatan rakyat. Selanjutnya, prinsip kedaulatan rakyat dijelmakan ke dalam sistem kelembagaan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Selanjutnya, prinsip kedaulatan rakyat dijelmakan ke dalam sistem kelembagaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang selanjutnya akan menentukan haluan-haluan dalam penyelenggaraan negara berupa produk-produk hukum tertinggi, yang akan menjadi sumber bagi penataan dan pembinaan sistem hukum nasional. MPRlah yang dijadikan sumber kewenangan hukum bagi upaya pemberlakuan sistem hukum Islam itu dalam kerangka sistem hukum nasional.

Dari perspektif Hukum Islam, proses pemikiran demikian dapat dikaitkan dengan pemahaman mengenai konsep 'theistic democracy' yang berdasar atas hukum atau pun konsep 'divine nomocracy' yang demokratis yang berhubungan erat dengan penafsiran inovatif terhadap ayat al-Quran yang mewajibkan ketaatan kepada Allah, kepada Rasulullah, dan kepada 'ulul amri'. Pengertian 'ulul amri'yang seringkali disalahpahami sebagai konsep mengenai 'pemimpin' (waliyu amri), justru dipahami sebagai konsep mengenai 'perwakilan kepemimpinan' atau 'para pemimpin yang mewakili rakyat' (ulul amri). Karena itu, konsep parlemen dalam pengertian modern dapat diterima dalam kerangka pemikiran Hukum Islam, melalui mana norma-norma hukum Islam itu diberlakukan dengan dukungan otoritas kekuasaan umum, yaitu melalui pelembagaannya menjadi 'qanun' atau peraturan perundangundangan negara. Karena itu, dapat dikatakan bahwa eksistensi Hukum Islam dalam kerangka Sistem Hukum Nasional Indonesia sangat kuat kedudukannya, baik secara filosofis, sosiologis, politits, maupun juridis.

Meluasnya kesadaran mengenai reformasi hukum nasional dewasa ini justru memberikan peluang yang makin luas bagi sistem Hukum Islam untuk berkembang makin luas dalam upaya memberikan sumbangan terhadap perwujudan cita-cita menegakkan supremasi sistem hukum sesuai amanat reformasi.

 Sumber: Badilag.net

Konsep Trias Politica (www.gaulislam.com)

Page 2: Konsep Trias Politica

merupakan ide pokok dalam Demokrasi Barat, yang mulai berkembang di Eropa pada abad XVII dan XVIII M. Trias Politica adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam kekuasaan : pertama, kekuasaan legislatif atau membuat undang-undang; kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang; ketiga, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang.

Trias Politica menganggap kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-hak azasi warga negara dapat lebih terjamin.

Konsep tersebut untuk pertama kali dikemukakan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755). Filsuf Inggris John Locke mengemukakan konsep tersebut dalam bukunya Two Treatises on Civil Government (1690), yang ditulisnya sebagai kritik terhadap kekuasaan absolut raja-raja Stuart di Inggris serta untuk membenarkan Revolusi Gemilang tahun 1688 (The Glorious Revolution of 1688) yang telah dimenangkan oleh Parlemen Inggris.

Menurut Locke, kekuasaan negara harus dibagi dalam tiga kekuasaan yang terpisah satu sama lain; kekuasaan legislatif yang membuat peraturan dan undang-undang, kekuasaan eksekutif yang melaksanakan undang-undang dan di dalamnya termasuk kekuasaan mengadili, dan kekuasaan federatif yang meliputi segala tindakan untuk menjaga keamanan negara dalam hubungan dengan negara lain (dewasa ini disebut hubungan luar negeri).

Selanjutnya, pada tahun 1748, filsuf Perancis Montesquieu mengembangkan konsep Locke tersebut lebih jauh dalam bukunya L’Esprit des Lois (The Spirit of Laws), yang ditulisnya setelah dia melihat sifat despotis (sewenang-wenang) dari raja-raja Bourbon di Perancis. Dia ingin menyusun suatu sistem pemerintahan di mana warga negaranya akan merasa lebih terjamin hak-haknya.

Dalam uraiannya, Montesquieu membagi kekuasaan dalam tiga cabang yang menurutnya haruslah terpisah satu sama lain; kekuasaan legislatif (kekuasaan untuk membuat undang-undang), kekuasaan eksekutif (kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang, tetapi oleh Montesquieu diutamakan tindakan di bidang politik luar negeri), dan kekuasaan yudikatif (kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang).

Ide pemisahan kekuasaan tersebut, menurut Montesquieu, dimaksudkan untuk memelihara kebebasan politik, yang tidak akan terwujud kecuali bila terdapat keamanan masyarakat dalam negeri. Montesquieu menekankan bahwa seseorang akan cenderung untuk mendominasi kekuasaan dan merusak keamanan masyarakat tersebut bila kekuasaan terpusat pada tangannya. Oleh karenanya, dia berpendapat bahwa agar pemusatan kekuasaan tidak terjadi, haruslah ada pemisahan kekuasaan yang akan mencegah adanya dominasi satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya .    

Montesquieu juga menekankan bahwa kebebasan akan kehilangan maknanya, tatkala kekuasaan eksekutif dan legislatif terpusat pada satu orang atau satu badan yang menetapkan undang-undang dan menjalankannya secara sewenang-wenang. Demikian pula, kebebasan akan tak bermakna lagi bila pemegang kekuasaan menghimpun kedua kekuasaan tersebut dengan kekuasaan yudikatif. Akan merupakan malapetaka –seperti yang dikemukakan oleh Montesquieu– bila satu orang atau satu badan memegang sekaligus ketiga kekuasaan tersebut dalam suatu masyarakat.

Konsep Trias Politica ini bertentangan dengan Islam dalam segi-segi berikut:

Pertama, Sumber konsep ini adalah manusia, dimana manusia memberikan penilaian baik buruknya sesuatu menurut akal belaka. Konsep ini dibuat oleh para filsuf sebagai pemecahan terhadap masalah penindasan dan kesewenang-wenangan para raja dan tokoh gereja di Eropa terhadap rakyatnya dalam menjalankan kekuasaan.

Dalam Islam, yang berhak memberikan penilaian baik buruknya sesuatu hanyalah Allah SWT semata, yakni syara’, bukan akal. Fungsi akal dalam hal ini hanya terbatas memahami fakta permasalahan dan nash-nash syara’ yang berkaitan dengan permasalahan tersebut. Tetapi fakta bukanlah sumber pemecahan masalah atau sumber konsep/pemahaman tentang hidup, melainkan objek permasalahan yang harus dikaji untuk kemudian dicarikan pemecahannya menurut nash-nash syara’. Pemecahan terhadap suatu permasalahan haruslah berasal dari syara’, bukan bertolak dari fakta permasalahan itu sendiri tanpa merujuk kepada syara’. Firman Allah SWT :

“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (Al An’aam : 57)

Page 3: Konsep Trias Politica

Firman Allah SWT: “Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah.” (Asy Syuura : 10)

Kedua, Konsep ini merupakan salah satu ide pokok Demokrasi yang kufur, sebab Demokrasi telah menetapkan bahwa rakyatlah yang memiliki kedaulatan, dan sekaligus rakyatlah yang menjadi sumber kekuasaan-kekuasaan. Maka dari itu, demokrasi menetapkan rakyatlah yang menjadi sumber kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dengan demikian, rakyatlah yang menetapkan peraturan dan undang-undang, menentukan para hakim, dan mengangkat para penguasa.

Adapun Islam, telah menetapkan bahwa kedaulatan adalah milik syara’, bukan milik rakyat. Syara’lah yang menjadi rujukan tertinggi dalam segala sesuatu. Firman Allah SWT : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya) dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. (An Nisaa’ : 59)     

Sementara dalam hal kekuasaan, Islam memberikan ketetapan sebagai berikut:

1. Kekuasaan legislatif hanyalah milik Allah semata, bukan milik manusia. Maka dari itu, hanya Allah SWT sajalah yang menjadi Musyarri’ (Pembuat Hukum) yang menetapkan hukum-hukum dalam segala sesuatu, baik dalam masalah ibadah, mua’malah, uqubat, dan sebagainya. Tak boleh sama sekali seorang pun menetapkan hukum, walau pun hanya satu hukum. Firman Allah SWT :

“Menetapkan hukum hanyalah hak Allah” (Al An’aam : 57)

Firman Allah SWT :    “Ingatlah. Menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah ” (Al A’raaf : 54)

Yang dimiliki oleh rakyat, adalah kekuasaan, atau pemerintahan, bukan kedaulatan. Rakyatlah yang berhak memilih serta mengangkat penguasa. Namun demikian, syara’ telah menetapkan bahwa pihak yang berhak memilih dan menetapkan (mentabanni) hukum-hukum yang merupakan keharusan bagi pengaturan urusan rakyat dan pemerintahan, adalah khalifah saja, bukan yang lain. Ijma’ Shahabat menetapkan bahwa hanya khalifah sajalah yang berhak memilih dan menetapkan hukum-hukum syara’ sebagai undang-undang dasar dan undang-undang lainnya.

Dalam hal ini bukan berarti khalifah yang memegang kekuasaan legislatif, sebab khalifah tidak membuat hukum sendiri, tetapi hanya mengambil hukum-hukum syara’ yang terkandung dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, berdasarkan kriteria kekuatan dalil melalui proses ijtihad yang benar. Khalifah tidak boleh menetapkan dan memilih hukum kecuali berupa hukum Allah semata.   

2. Kekuasaan eksekutif adalah bersumber dari rakyat, sebab kekuasaan itu adalah milik umat/rakyat, dan dijalankan secara riil oleh khalifah –dan para aparatnya– sebagai wakil rakyat untuk melaksanakan hukum-hukum syara’ dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan kata lain, umatlah yang berhak memilih para penguasa, agar para penguasa ini menjalankan segala perintah dan larangan Allah dalam pemerintahannya. Hadits-hadits tentang bai’at menunjukkan bahwa kekuasaan adalah milik umat, yakni bahwa bai’at itu berasal dari kaum muslimin untuk khalifah, bukan dari khalifah untuk kaum muslimin. Di antaranya adalah sabda Nabi saw: “Kami telah membai’at Rasulullah saw untuk didengar dan ditaati, dalam hal yang kami sukai maupun yang tidak kami sukai.” (Shahih Bukhari no. 7199)

3. Kekuasaan yudikatif hanyalah dipegang oleh khalifah, atau orang yang mewakili khalifah untuk menjalankan kekuasaan tersebut. Jadi, khalifahlah yang mengangkat para qadli (hakim) dan mengangkat orang yang diberi wewenang untuk mengangkat para qadli. Tak ada seorang pun dari rakyat –baik secara individual maupun secara kolektif– yang berhak mengangkat para qadli. Hak ini hanya dimiliki oleh khalifah, bukan yang lain.   

Hal itu karena nash-nash syara’ menunjukkan bahwa Rasulullah saw sebagai kepala negara telah memegang sendiri urusan peradilan (qadla’) dan memberikan keputusan di antara orang-orang yang bersengketa. Demikian pula Rasulullah saw telah mengangkat Ali bin Abi Thalib ra sebagai qadli di Yaman, dan mengangkat Abdullah bin Naufal ra sebagai qadli di Madinah. Ini semua menunjukkan bahwa kekuasaan yudikatif berada di tangan khalifah dan mereka yang mewakili khalifah dalam urusan ini.   

Page 4: Konsep Trias Politica

Ketiga, Apabila penguasa kaum muslimin berlaku dzalim, merampas hak-hak   rakyat, melalaikan kewajiban mereka terhadap rakyat, melalaikan salah satu urusan rakyat, atau menyalahi hukum-hukum Islam, maka syara’ dalam hal ini telah memberikan pemecahannya, yaitu dengan mewajibkan kaum muslimin untuk mengoreksi (muhasabah) dan amar ma’ruf nahi mungkar terhadap para penguasa, bukan melakukan pemisahan kekuasaan sebagaimana dalam konsep Trias Politica.

Sabda Rasulullah saw: “Akan ada para amir (penguasa), maka kalian (ada yang) mengakui perbuatan mereka, dan (ada yang) mengingkari perbuatan mereka. Siapa saja yang mengakui tindakan mereka (karena tidak bertentangan dengan syara’), maka dia tidak diminta tanggung jawabnya, dan siapa saja yang mengingkari perbuatan mereka (karena bertentangan dengan syara’) maka dia selamat. Tetapi siapa saja yang ridla (dengan tindakan mereka yang bertentangan dengan syara’) serta mengikuti mereka, maka dia berdosa. Para shahabat bertanya,”Apakah kita tidak memerangi mereka ?” Jawab Nabi saw,”Tidak, selama mereka mendirikan shalat.” (Shahih Muslim, hadits no. 1854)

Rasulullah saw telah mewajibkan kaum muslimin untuk mengoreksi para penguasa dengan mengingkari mereka tatkala mereka melakukan penyimpangan, dengan berbagai sarana yang memungkinkan, baik dengan tangan, lisan, maupun hati bila tidak mampu dengan tangan dan lisan. Rasulullah saw menetapkan siapa saja yang tidak mengingkari penguasa tersebut, berarti dia telah ikut bersama-sama memikul dosa penguasa itu.       Dengan demikian Islam tidak mengkaitkan masalah pemyimpangan penguasa dengan masalah pemisahan kekuasaan. Penyimpangan penguasa telah dipecahkan oleh nash-nash syara’ tertentu, sedang masalah kekuasaan telah dijelaskan oleh nash-nash syara’ yang lain.

Dan kaum muslimin wajib mengambil pemecahan dari syara’ apabila penguasa berlaku menyimpang, yakni melakukan koreksi dan amar ma’ruf nahi mungkar. Sebaliknya kaum muslimin diharamkan mengambil pemecahan yang tidak berasal dari syara’, seperti konsep Trias Politica. Sebab Allah SWT berfirman :   

“Apa saja yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa saja yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (Al Hasyr : 7)

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (An Nuur : 63)

Keempat, Konsep Trias Politica bertujuan untuk dapat memelihara kebebasan politik warga negara yang hilang karena perilaku penguasa yang bertindak sewenang-wenang. Islam tidak mengakui adanya ide kebebasan, yakni kebebasan dalam arti tidak terikat dengan sesuatu apa pun pada saat dilakukannya suatu perbuatan, sebagaimana yang ada dalam peradaban Barat. Sebaliknya, Islam mewajibkan setiap muslim untuk terikat dengan hukum-hukum syara’. Demikian pula seorang muslim tidak boleh berbuat kecuali sesuai dengan hukum-hukum syara’. Keterikatan pada hukum syara’ adalah bukti dan buah dari iman. Allah SWT berfirman :   

“Maka demi Rabbmu. Mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau (Muhammad) hakim (pemutus) dalam perkara yang mereka perselisihkan.” (An Nisaa’ : 65)

Islam memang telah mewajibkan umatnya untuk beraktivitas dalam politik, seperti memilih penguasa, melakukan pengawasan dan koreksi terhadap mereka. Namun hal ini bukanlah kebebasan politik, melainkan pelaksanaan dari hukum syara’, yaitu kewajiban berpolitik dan beramar ma’ruf nahi mungkar.

Atas dasar penjelasan di atas, jelaslah bahwa konsep Trias Politica sangat bertentangan dengan hukum-hukum Islam. Konsep Trias Politica tiada lain adalah konsep thaghut, padahal Allah telah mengharamkan kaum muslimin untuk berhukum kepada thaghut dan mengambil konsep pemerintahan thaghut. Dan Allah pun telah memerintahkan kaum muslimin untuk menentang dan mengingkari thaghut itu, sebagaimana firman-Nya:

“Mereka hendak bertahkim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah (untuk) mngingkari thaghut itu. Dan syaithan hendak menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya” (An Nisaa’ : 60)

[Muhammad Shiddiq Al Jawi]

Page 5: Konsep Trias Politica

Tidak mengherankan kalau kemudian titik berat perhatianKementerian Agama untuk menjalankan tugas dan wewe-nangnya dalam bidang ini, walaupun sebenamya bidang lainseperti penerangan, pendidikan (dahulu pengajaran) danlain-lain juga ada. Akan tetapi dalam seal perkawinan inilahyang menyentuh langsung konsep hukum yang tentu sajamemerlukan penataan kewenangan kekuasaan secara sah.Peraturan Menteri Agama nomer 4 tahun 1952 tentang walihakim untuk luar Jawa dan Madura antara lain menetapkanwewenang penunjukan (pengangkatan) kadi-kadi nikah (pe-gawai pencatat nikah) oleh kepala kantor urusan agamakabupaten.109 Ketentuan dalam peraturan ini kemudian men-dapat reaksi ulama dari Sumatera Barat, melalui Perti ke-mudian diajukan pertanyaan kepada pemerintah dalamsidang DPRS. Di Minangkabau prosedur pengangkatan walibagi mempelai wanita yang tidak mempunyai wali sendiri,telah melembaga sebelumnya melalui lembaga ninik mamakyang telah mereka akui sebagai lembaga ahl al-hall wa al-'aqd.Menteri Agama K.H. Masjkur menanggapi pertanyaan ter-sebut dalam sidang DPRS tanggal 3 September 1953 danmenjanjikan akan mengundang ulama yang lebih luas untukmengadakan konferensi membicarakan seal tersebut. Kon-ferensi berlangsung tanggal 2-7 Maret 1954, dihadiri sejumlahulama dari berbagai golongan memberikan 5 agenda masalahtermasuk di antaranya masalah tauliyah (pengangkatan) walihakim.110 Peraturan Menteri Agama nomer 4 tahun 1952 itu dike-luarkan setelah mendengar fatwa dari konferensi alim ula-ma di Tuga, Jawa Barat, tanggal 12-13 Mei 1952. Kemudiankonferensi alim ulama diselenggarakan sekali lagi, tanggal4-5 Mei 1953, untuk membahas peraturan tersebut karenaadanya protes partai Islam Perti yang tidak menyetujuiperaturan tersebut. Kedua konferensi itu diselenggarakanwaktu Menteri Agama dijabat K.H. Faqih Usman dariMuhammadiyah (Masyumi).111 Konferensi yang kedua inimenyetujui keputusan konferensi sebelumnya dan menge-sahkan kewenangan Menteri Agama mengatur ketentuan-ketentuan yang termuat dalam peraturan tersebut.Konferensi juga memutuskan wali termasuk salah satu ru-kun perkawinan. Penunjukan wali hakim bagi mempelaiwanita yang tidak mempunyai wali sendiri harus dilakukanoleh zu syaukah, karena itu sudah pada tempatnya urusanini dicampuri oleh Menteri Agama.ll2 Namun terhadapkeputusan dua kali konferensi alim ulama itu partai Perti

Page 6: Konsep Trias Politica

masih belum merasa puas, maka diajukan pertanyaan ke-pada Menteri Agama lewat DPRS yang dijawab olehMenteri Agama akan diselenggarakan konferensi alim ula-ma yang lebih luas lagi dan konferensi ketiga diselenggara-kan tanggal 2-7 Maret 1954. Dalam konferensi alim ulamayang terakhir ini K.H. Sulaiman Arrasuli meralat redaksikeputusan konferensi terdahulu yang tertulis sebelumnyaiu syaukah diralat menjadi bi al-syaukah (bisysyaukah), sebabkata zu syaukah dalam referensi fikih berarti kepala negarayang kafir (sultan kafir), sedang kepala negara dan perdanamenteri waktu itu seorang muslim.113 Istilah fikih yangdipakai untuk menunjuk seorang imam yang muslim padanegara yang belum memenuhi syarat sebagai negara me-nurut hukum Islam adalah bi al-syaukah, waliyy al-amr al-daruri bi al-syaukah.114 Pernyataan partai Islam Perti sebelumnya yang tidakmenyetujui peraturan Menteri Agama nomer 4 tahun 1952mendapat tanggapan bekas Gubernur Sumatera TengkuMoehammad Hasan. Dalam pernyataannya tanggal 11Februan 1954, Hasan mengemukakan bahwa PengadilanRaja (Zelfbestuurschrehclspraak) di Sumatera telah dihapuskan(Lembaran Negara R1 Nomer 23/1947), karena itu sebagaiGubernur Sumatera dan wakil pemerintah pusat telahmemerintahkan pembentukan mahkamah syar'iyah di seluruhSumatera.115 Hasan mengusulkan kepada Menteri Agamaagar lembaga itu difungsikan kembali, sebab lembaga itubukanlah lembaga partikelir dari perhimpunan Islam, akantetapi suatu pengadilan agama, suatu instansi yang sah daripemerintah. Pernyataan ini menunjukkan bahwa MenteriAgama berwenang menetapkan peraturan dan menyempur-nakan organisasi mahkamah syar'iyah di Sumatera itu dansekaligus tidak membenarkan pernyataan partai Islam Perti. Keputusan konferensi alim ulama dengan MenteriAgama selengkapnya ialah:

1. Presiden sebagai Kepala Negara, serta alat-alat Negara sebagai dimaksud dalam UUD pasal 44, yakni Kabinet, Parlemen dan sebagainya adalah Waliyyu'l Amri Dlaruri bi'Syaukah (waliyy al-amr al-daruri bi al-syaukah).

2. Waliyyul Amri Dlaruri wajib ditaati oleh rakyat dalam hal-hal yang tidak menyalahi Syari'at Islam.

3. Tauliyah wali hakim dari Presiden kepada Menteri Aga-

Page 7: Konsep Trias Politica

ma dan seterusnya kepada siapa saja yang ditunjuk, termasuk pula Tauliah Wali Hakim yang menurut ke- biasaan yang hidup di tempat-tempat yang ditunjuk oleh Ahlu'l-halli Wa'l-aqdi, adalah sah. Untuk menjalankan aqad-aqad nikah Wali Hakim, sesuai dengan yang di- maksud oleh UU Pencatatan Perkawinan, Talaq, dan Ruju' harus ada surat peresmian (tertulis pengresmian) lebih dahulu dari pemerintah.

4. Berhubung dengan ayat 1, 2, dan 3 tersebut di atas, maka nyatalah bahwa Peraturan Menteri Agama Nomer 4 Tahun 1952 tentang Wali Hakim untuk luar Jawa dan Madura adalah sah.116

Dengan keputusan ini maka di tempat-tempat (negeri,marga dan sebagainya) yang menurut kebiasaan yang hi-dup kadi-kadi nikah dipilih oleh ahl al-hall wa al-'aqd, makakepala Kantor Urusan Agama Kabupaten dapat mengesah-kannya sebagai pejabat pencatat perkawinan yang sekaligusmenjalankan wewenang sebagai wali hakim.117 Dengan menunjuk pendapat sejumlah ahli fikih dike-mukakan argumentasi mengenai dasar-dasar imamah (ke-kuasaan politik) yang dalam berbagai referensi tersebutdiungkapkan dengan beberapa istilah antara lain khilafah,imarah, atau mulk.118 Diakui bahwa sultan menurut hukumIslam adalah pemegang kekuasaan yang berwenang melak-sanakan hukum Islam dalam kehidupan bernegara, tetapikekuasaan negara RI belumlah dianggap memenuhi konsepimamah di atas. Walaupun demikian kekuasaan itu adalahdefakto memiliki kekuatan (syaukah) dan diakui oleh selu-ruh rakyat Indonesia. Tidak logis di tengah kekuasaan itukaum muslimin membangun kekuasaan politik sendiri ter-pisah dari kekuasaan kenegaraan RI untuk menjalankanhukum Islam. Dengan pertimbangan bahwa di dalam nega-ra RI ummat Islam merupakan bagian terbesar dari warganegaranya, maka dapat dimengerti kalau kemudian ke-kuasaan kenegaraan RI juga mengikat kepada ummat Islamdi Indonesia. Atas dasar ini konferensi alim ulama itukemudian memutuskan bahwa kekuasaan kenegaraan RIyang dicerminkan dalam kekusaan kepala negara dan pe-megang kekuasaan lembaga kenegaraan lainnya,119 adalahkekuasaan yang defakto memiliki kekuasaan (syaukah) de-ngan istilah waliyy al-amr al-daruri bi al-syaukah (kekuasaantemperer yang defakto). Mengingat tidak mungkin mem-

Page 8: Konsep Trias Politica

bangun kekuasaan politik sendiri untuk menjalankan hu-kum Islam, maka kekuasaan yang memiliki syaukah ituditerima dalam keadaan darurat atau temporer.120 Konferensi itu kemudian menyatakan setuju dan me-nguatkan peraturan Menteri Agama nomer 4 tahun 1952dan mengakui hak Menteri Agama untuk mengangkat sertamenunjuk (tauliyah) wali hakim bagi perkawinan wanitayang tidak mempunyai wali nasb (sedarah), atau walinyasendiri gaib,'udl (menolak), dan sebagainya.121 Dalam per-aturan Menteri Agama tersebut kewenangan tersebut dilim-pahkan kepada Kepala Kantor Urusan Agama Kabupatendan seterusnya kepada pejabat bawahan mereka para kadiatau pegawai pencatat perkawinan. Dengan demikian tra-disi pengangkatan (tauliyah) wali hakim yang biasanya di-lakukan oleh ninik mamak di Minangkabau tidak berlakulagi dengan alasan tidak mungkin dua kekuasaan sama-sama berlaku untuk satu masalah tauliyah.122 Tentulah ha-rus dipahami bahwa kekuasaan Menteri Agama bukanlahMenteri Agama itu sendiri yang memiliki kekuasaan asal,sebab Menteri Agama adalah pemimpin sebuah lembagayang berada di dalam negara RI, di bawah pemerintah. Konferensi juga menggarisbawahi pendapat 'Abd al-Rahman Ba'lawi bahwa Tanah Jawa (Indonesia) adalahDarul-Islam, dengan alasan pernah ada kekuasaan politik ditangan ummat Islam yaitu ketika zaman kerajaan-kerajaanIslam dahulu dan bagian terbesar penduduknya beragamaIslam.123 Namun kenferensi itu tidak melihat arti kata Da-rul-Islam sebagai negara Islam dalam arti formal, sebab dardi situ berarti "daerah" tempat masyarakat Islam menetapbahkan menjadi bagian terbesar penduduknya. Suatu ne-gara disebut negara Islam ialah apabila negara itu berdasarIslam dan peraturan hukum perundang-undangannya ber-dasar syari'ah Islam. Negara Indonesia jelas bukan negarayang demikian itu. Prosedur pengangkatan kepala negara-nya (waktu itu) dan pejabat kenegaraan lainnya dipandangbelum memenuhi ketentuan yang sah, selain persyaratanpribadi belum terpenuhi. Karena itu kepala negara RI be-lumlah memenuhi syarat disebut sebagai sultan atau imamal- a'zam pemegang kekuasaan tertinggi yang lazimnya di-gunakan dalam negara atau kerajaan Islam. Dalam hubungan dengan soal perkawinan dan tauliyahwali hakim, dasar yang digunakan ialah hadis Nabi al-sultan wa-liyy man la waliyya laha (sultan ddalah wali bagiwanita yang tidak mempunyai wali). Ada perbedaan pen-

Page 9: Konsep Trias Politica

dapat dalam penafsiran kata sultan dalam hadis tersebut.Ada yang berpendapat kata itu menunjuk kepada lembaga-lembaga masyarakat yang hidup dan berfungsi seperti ninikmamak di Minangkabau dan mungkin rembug desa di Jawaatau lembaga kyai dan organisasi-organisasi sosial formallainnya. Di pihak lain kata itu berarti lembaga kekuasaanpolitik yang formal seperti khilafah, sultanah, atau negara. Kedalam pengertian yang kedua inilah: agaknya konferensialim ulama berkecenderungan. Dan nampaknya kecende-rungan itu beralasan mengingat hukum perkawinan Islamhendak ditata ke dalam sistem hukum nasional Negara RI.Tidak lain sultan yang dimaksud dalam hadis tersebut ada-lah lembaga politik negara, dan bagi ummat Islam Nusan-tara adalah Negara Republik Indonesia itu sendiri. Dalamhubungan sultan yang akan bertindak sebagai wali bagiwanita yang tidak mempunyai wali sendiri, maka sultanyang defakto memiliki kekuasaan itu diterima sebagai ke-nyataan temporer (daruri). Tentu saja sultan tersebut tidakmungkin bertindak sendiri untuk melaksanakan tugas ditil,karena itu maka pelimpahan wewenang kekuasaannya da-pat dijabarkan melalui berbagai lembaga yang berada dibawahnya menurut hirarki dan jenjang organisasi kelem-bagaan negara. Keputusan ini ditanggapi antara lain sebagai pemberian"gelar" kepada Presiden Soekarno.124 Istilah waliyyul-amr di-anggap tidak tepat karena istilah itu hanya benar untukkepala negara Islam.125 Persis menuduh para ulama itutidak mampu mengambil hukum dari sumber ajaran Islamyaitu Qur'an dan hadis dan mengusulkan supaya MenteriAgama mengundang konferensi yang lebih luas lingkupnyauntuk membatalkan keputusan konferensi itu. ArudjiKartawinata (PSII) mengatakan keputusan konferensi alimulama melanggar UUD. Islam tidak mengenal kepala ne-gara konstitusional seperti yang dianut UUDS 1950. Olehsebab itu Presiden RI tidak bisa menjadi waliyyul-amridaruri, kabinet juga tidak bisa dianggap demikian, karenatidak berdasar Islam.127 Presiden RI mengangkat sumpahsetia kepada Pancasila dan UUD, bukan kepada Islam.Presiden RI tunduk kepada hukum yang bukan hukumIslam.128 Hubungan antara "gelar" dengan soal perkawinandianggap tidak benar karena selama ini perkawinan di-lakukan tanpa menyebut atau menghubungkan dengan "ge-lar" itu, dan perkawinan itu pun sah. Tanggapan mengenai perkawinan tanpa dihubungkan de-

Page 10: Konsep Trias Politica

ngan waliyy al-amr yang telah berjalan dan dinilai sah,nampaknya tidak berangkat dari pemahaman fikih yangbaik. Sejak zaman Belanda perkawinan bagi wanita yangtidak mempunyai wali, maka penghulu yang bertindak se-bagai wali. Padahal penghulu itu diangkat dan diberhen-tikan oleh pemerintah kolonial Belanda yang "kafir".Lembaga kepenghuluan itu "menempel" pada lembaga ke-negaraan yang "kafir". Sementara di Minangkabau berlakukekuasaan adat, ninik mamak, diakui sebagai lembaga ahlal-hall wa al-'aqd, untuk mengangkat dengan cara bai'ahseorang wali hakim. Menurut ketentuan fikih, pada masyarakat yang sudahteratur, seorang hakim atau qadhi diangkat atau ditunjukoleh ahl al-hall wa al-'aqd dengan cara bai'ah. Lembaga itubiasanya terdiri dari kepala-kepala adat, pemimpin masya-rakat yang diakui secara 'urf, adat, oleh masyarakat. Dalamsuatu negara atau kerajaan, pengangkatan hakim atau qadhidilakukan oleh pemegang kekuasaan negara atau keraja-an.130 Tentu saja di Indonesia yang sudah berdiri kekuasaankenegaraan secara sah dan diperjuangkan dengan darahdan harta, haruslah diakui sebagai kekuasaan yang sahpula untuk menjalankan hukum Islam, karena itu lembagaadat, seperti ninik mamak di Minangkabau, tidak diakui lagiagar tidak menimbulkan dualisme kekuasaan. Keterlibatan para penyusun konsep keputusan konferensialim ulama dalam birokrasi negara menjadikan konsep pe-mikiran mereka berangkat dari asumsi kenegaraan yangtelah melembaga yaitu negara RI. Tidak mengakui negaraRI sebagai negara ummat Islam berarti suatu pengingkaranterhadap jerih payah perjuangan mereka sendiri dalam pe-rang kemerdekaan. Bahkan perang itu dinyatakan sebagaijihad yang wajib secara 'ainiyah (individual). Oleh sebab itu,negara RI harus diterima sebagai kenyataan adalah negaraummat Islam sendiri. Dengan asumsi ini maka upaya men-jadikan hukum Islam (dalam arti baru mungkin hukumperkawinan) sebagai bagian dari sistem hukum nasionaldalam negara RI adalah suatu yang wajar karena negara iniadalah negara ummat Islam sendiri. Komentar lain mengenai keputusan konferensi umumnyajuga berkaitan dengan anggapan presiden sebagai waliyyal-amr, padahal keputusan konferensi tidak menyebutkanterbatas kepada presiden dan wakil belaka, melainkan lem-baga negara lainnya seperti kabinet, parlemen, mahkamahagung dan dewan pengawas keuangan. Mengutip beberapa

Page 11: Konsep Trias Politica

sumber tafsir al-Qur'an, Moenawar Chalil berpendapat bah-wa ulu al-amr (walyy al-amr) yang wajib dtaati ialah ahlal-hall wa al-'aqd, tidak terbatas para hakim atau ulama,melainkan termasuk komandan militer, pemimpin partaidan lain-lain. Kewajiban taat kepada ulu al-amr terbataspada urusan kebajikan, hal-hal yang tidak membawa dur-haka kepada Tuhan.131 Sementara itu Arsjad Lubis mengomentari keputusankonferensi dengan judul tulisan "Soal Kepala Negara atauWaliyyul Amri di dalam Islam".132 Menurut Lubis sesuaidengan ketentuan fikih ada tiga cara pengangkatan imam.Dengan cara bai'ah, peryataan persetujuan atau kesetiaandari ahl al-hall wa al-'aqd terhadap sesorang yang disepakatiuntuk diangkat menjadi imam. Dengan cara istikhlaf, pene-tapan imam sebelumnya yang masih hidup terhadap sese-orang untuk menggantikannya setelah dia meninggal. De-ngan cara istila', pengangkatan imam dengan cara militerdan paksaan. Cara yang ketiga ini ada yang sah dan tidak sah. Carayang sah ialah jika dilakukan terhadap imam yang me-ninggal tanpa ada penggantinya (tidak ada imam) atauimam yang digulingkan dulunya mendapatkan kekuasaankarena istila' dan ternyata tidak cakap. Cara yang tidak sahialah jika imam yang digulingkan mendapat jabatan melaluibai'ah atau yang menggulingkan (melakukan istila') orangkafir. Selanjutnya menurut Lubis, imam yang diangkat dengancara bai'ah atau istikhlaf disebut waliyy al-amr, sementarayang memperoleh jabatan dengan cara ketiga disebut waliyyal-amr bi al-syaukah. Kepala negara yang berkuasa, dipatuhidan perintahnya ditaati, meskipun negaranya tidak ber-dasar Islam, disebut zu syaukah. Demikian pula pemimpinpemberontak, dalam lingkungan wilayah kekuasaannya.Tentang kategori daruri, Lubis mengatakan apabila tidakada imam yang mencukupi syarat sedang ummat Islammemerlukan imam, maka imam yang tidak memenuhi sya-rat itu diterima mengingat kebutuhan. Imam yang demi-kian ini disebut daruri, legitimasi terhadap imam yang nya-ta berkuasa. Selanjutnya mengutip kitab fikih al-Iqna' 'alaSyarh al-I'anah dikatakan wajib taat kepada imam, meskipunzalim, sepanjang tidak melanggar larangan agama (Islam).Tentang kewajiban taat ini dikatakan telah disepakati (ijma')ahli fikih. Kepala negara yang berkuasa yang tidak diangkat me-

Page 12: Konsep Trias Politica

nurut cara-cara di atas dan tidak menjalankan tugas sebagai"pengganti Nabi untuk menegakkan dan memelihara agamadan siasat dunia", adalah zu syaukah, tidak dapat dianggapsebagai imam atau waliyy al-amr secara Islam, karena itutidak ada kewajiban taat kepadanya. Namun sebelumnyaLubis menyetujui pendapat ahli fikih dan dikatakan sudahijma' tentang keajiban taat kepada imam meskipun zalim.133Lain bagaimana dapat dipahami seorang imam yang zalimdapat dianggap "menegakkan dan memelihara agama Islamdan siasat dunia dan menjalankan kekuasaan menurutsyari'ah Islam?" Dengan keterangan di atas Lubis membuat kesimpulanbahwa pengangkatan kepala negara RT menurut UUD 1950berbeda dengan pengangkatan kepala negara menurut UUD1945. Kepala negara menurut UUD 1945 memiliki syaukah,sedang menurut UUD 1950 tidak. Kepala negara RI me-nurut UUD 1950 "belum mempunyai ikatan hukum secaraIslam yang dapat disebut sebagai khilafah, imam, amir al-mukminin, atau waliyy al-amr menurut Islam". Sehubungandengan itu pengangkatan wali hakim atau kadi sesuai de-ngan ketentuan fikih dapat dilakukan oleh ahl al-hall waal-'aqd atau zu syaukah. Pemerintah Indonesia dalam hal iniMenteri Agama dinilai memiliki syaukah, bukan karena pe-merintah RI sebagai waliyy al- amr.134 Namun Lubis tidak menyinggung tentang pemberian ke-kuasaan pemerintahan kepada wazir yang menurut referen-si fikih ada dua yaitu wizarah al-tafwid (kurang lebih se-perti kabinet parlementer) dan wizarah al-tanfiz (kuranglebih seperti kabinet presidensiil).l35 Bentuk kekuasaan per-tama wazir (kabinet?) memiliki kekuasaan penuh atas pe-merintahan negara, sementara yang kedua hanya terbatassebagai pelaksana saja, bukan sebagai penguasa atau diberikekuasaan.l36 Walaupun secara langsung peristiwa di atas mengenaisoal kebutuhan lembaga kekuasaan hukum untuk mele-gimitasi kekuasaan menjalankan hukum perkawinan Islamdalam negara RI sejauh yang bisa diterima menurut kaidahhukum, memperlihatkan kecenderungan yang dekat sekalihubungan konsep politik dengan fikih. Pendekatan fikihyang dilakukan dalam memandang soal politik merupakansalah satu alternatif menghadapi jalan buntu untuk me-lahirkan suatu kekuasaan kenegaraan sendiri yang gagaldiperjuangkan secara sah dalam sidang BPUPKI awal ke-merdekaan. Meskipun demikian dengan penegasan bahwa

Page 13: Konsep Trias Politica

asas Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila sebagaidasar negara merupakan pencerminan asas tauhid dalamIslam, setidaknya menurut kalangan Islam sendiri, telahcukup sebagai alasan kekuasaan kenegaraan RI telah me-miliki legitimasi yang sah untuk menjalankan kekuasaanhukum Islam. Tujuan dilembagakannya kekuasaan politik (imamah), se-perti dikemukakan al-Mawardi di awal bab ini, "untuk(tujuan) menjaga agama dan mengatur dunia", untuk se-bagian kekuasaan pemerintahan negara RI telah dianggapmemenuhi definisi itu. Bahwa secara nyata kekuasaan ne-gara RI telah "menjaga" agama dengan pembentukan lem-baga Kementerian Agama (sekarang Departemen Agama)merupakan alasan yang kuat terhadap pengakuan kekuasa-an kenegaraan RI itu telah memenuhi syarat berwenanguntuk menjalankan kekuasaan hukum Islam, khususnya da-lam bidang perkawinan dan hal-hal yang berkaitan denganitu.

__________________________________________________________________________________________________________________

Catatan 109. Kementerian Agama, Laporan Tahunan 1954, (Jakarta: Bagian Penerbitan, 1955), h. 807. Peraturan Menteri Agama nomer 4 tahun 1952 antara lain menetapkan mencabut kekuasaan penun- jukan wali hakim dengan lisan yang telah diberikan oleh Menteri Agama kepada Kepala Kantor Urusan Agama Propinsi dan mem- batalkan tauliyah-tauliyah wali hakim yang telah diberikan instan- si-instansi pemerintah dan swapraja serta tauliyah-tauliyah wali hakim lainnya yang bertentangan dengan praturan ini. Pasal 2 peraturan tersebut menetapkan bahwa Kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten diberi kuasa, untuk atas nama Menteri Agama, menunjuk kadi-kadi nikah (pembantu pegawai pencatat nikah) untuk menjalankan perkawinan wali hakim. Selanjutnya dikutip Laporan Tahunan.

110. Konferensi diselenggarakan tanggal 3-6 Maret 1954, sehari sebelumnya diselenggarakan pertemuan pendahuluan di Jakarta dan penutupan juga di Jakarta. Ulama yang diundang berasal dari 13 daerah di Indonesia, hadir 20 orang dan tidak hadir 18 orang. Pertemuan pendahuluan dihadiri 11 orang utusan, 6 orang dari Perti, 3 orang dari NU, dan 2 orang dari Muhammadiyah.

Page 14: Konsep Trias Politica

Laporan Tahunan, h. 802-805.

111. K.H. Faqih Usman menjabat Menteri Agama mulai 3 April 1952 sampai 1 Agustus 1953. Setelah itu dilanjutkan K.H. Masjkur, 1 Agustus 1953 sampai 12 Agustus 1955.

112. Laporan Tahunan, h. 808.

113. Z.A.Noeh, "Walijjul-Amri Dlaruri Bissyaukah: Antara Fakta Historis dan Politis", Panji Masyarakat, Th. 1985, nomer 456. K.H. Sulaiman Arrasuli pernah menjabat sebagai ketua Mahkamah Sya'iyah Propinsi Sumatera sebelum tahun 1950.

114. Laporan Tahunan, h. 811.

115. Ibid., h. 811. Hasan pernah menulis buku yang diterbitkan kira-kira tahun 1937, isinya antara lain tidak menyetujui rencana perkawinan tercatat dan pemindahan soal waris ke pengadilan negeri biasa yang ramai dibicarakan masyarakat Islam sekitar tahun 1937. Lihat Berita NO, Th. 7, nomer 2, 1937.

116. Laporan Tahunan, h. 804.

117. Ibid.

118. Ibid

119. Alat kekuasaan negara RI sebagaimana dimaksud ialah pasal 44 UUDS tahun 1952 (yang berlaku ketika itu): presiden dan wakil presiden, menteri-menteri, dewan perwakilan rakyat, mah- kamah agung, dan dewan pengawas keuangan negara. Lihat Ke- menterian Agama, Laporan Tahunan, 809-810. Al-Mawardi sendiri mengemukakan tujuan imamah dilembagakan untuk "menjaga" agama dan mengatur dunia. Dengan adanya lembaga yang ter- sendiri yaitu Kementerian Agama yang tujuannya antara lain untuk "menjaga" agama, maka dengan sendirinya negara itu se- dikit banyak telah memenuhi kualifikasi imamah di atas. Lihat al-Ahkam, h. 5.

120. Menurut al-Ghazali, terhadap penguasa (sultan) yang zalim dan bodoh tetapi memiliki kekuatan (syaukah) dan melawan atau menjatuhkan penguasa tersebut akan menimbulkan anarki (fitnah) yang tidak tertanggung, diwajibkan meninggalkan upaya itu dan tetap wajib loyal (taat). Alasannya karena Nabi Muhammad me-

Page 15: Konsep Trias Politica

merintahkan taat kepada umara' dan melarang pertumpahan da- rah (sal al-yad). Ihya' Ulum al-Din, (Misr: Syirkah Mustafa al-Babi al-Halabi, 1939), jilid II, h. 139-140. Lihat halaman 361, catatan kaki nomer 19.

121. Salah satu ketentuan hukum Islam mengenai perkawinan ialah seorang calon mempelai wanita harus mempunyai wali. Prinsipnya wali adalah orang tua (ayah) sedarah atau kakek, kalau tidak ada maka saudara laki-laki bertindak sebagai wali. Kalau calon mempelai wanita tidak mempunyai wali sedarah, atau walinya menolak dengan berbagai alasan atau tidak berada di tempat, maka yang bertindak sebagai wali adalah sultan, atau hakim sebagai wakil sultan. Lihat Zain al-Din al-Malibari, Fath al-Mu'in Syarh Qurah al-'Ain, (Bandung: Almaarif, t.t.), h. 136- 139.

122. Dalam suatu masyarakat yang teratur, jabatan hakim atau qadi dapat dilakukan secara pemilihan atau bai'ah oleh ahl al-hall wa al-'aqd majelis atau kumpulan'pemuka masyarakat. Sedang dalam suatu negara atau kerajaan, jabatan itu dilakukan dengan tauliyah, pengangkatan oleh pemegang kekuasaan dalam negara atau kerajaan. Ibid.

123. 'Abd al-Rahman Ibn Muhammad Ba'lawi, Bughyah al-Mustar- syidin, (Kairo: al-Masyhad al-Husaini, t.t.), h. 245.

124. Firdaus A. N., "Presiden Soekarno Walijjul Amri 'Dharuri'?", Aliran Islam, Th. VII, nomer 58, 1954, h. 13-15. M. Arsjad Th. Lubis, "Soal Kepala Negara atau Walijjul Amri di dalam Islam", Ibid., nomer 60, h. 36-46. Moenawar Chalil, "Siapakah 'Ulil-Amri, yang Wadjib Ditha'ati?" Ibid, nomer 61, h. 13-19.

125. Ibid., (tiga sumber tersebut di atas).

126. Deliar Noer, Partai Islam, h. 343.

127. Pernyataan PSII tetap hanya mengakui status Presiden, Ka- binet, dan Parlemen sesuai UUDS (1950). Belum ada aturan yang menambah status lain bagi ketiga organ kenegaraan tersebut. Perubahan hanya sah oleh lembaga yang berwenang yaitu Kon- stituante. Mengenai tauliyah wali hakim dapat ditetapkan terlepas dari persoalan waliyyul-amr, seperti zaman Belanda atau ummat Islam di negara lain yang tidak mempunyai waliyyul-amr (Tiong- kok). Menurut PSII, pemerintah tidak mempunyai wewenang

Page 16: Konsep Trias Politica

mencampuri seal perkawinan ummat Islam selain dalam hal ad- ministrasi. Pendapat partai ini sudah dinyatakan sejak sebelum perang. Lihat Sikap PSII Mengenai Putusan Konferensi Alim Ula- ma di Sindanglaja tentang Walijjul-Amri Dharuri, tanggal 26 April 1954, ditandatangani Arudji Kartawinata (Presiden) dan Sukardjo (Penulis).

128. Partai Islam, h. 343.

129. Ibid., h. 344.

130. Zain al-Din al-Malibari, Fath al-Mu'in, h. 136-139.

131. Moenawal Chalil, "Siapakah Ulil Amri yang wadjib Ditha'ati?", Aliran Islam, Th. VII, nomer 61, 1954, h. 13-19.

132. M. Arsjad Th. Lubis, "Soal Kepala Negara atau Walijjul Amri di dalam Islam", Ibid., nomer 60, h. 36-46.

133. Lihat catatan kaki nomer 120

134. Keterangan ini agak membingungkan sebab sebelumnya di- katakan "apabila kekuasaan imam diperoleh dengan jalan syaukah maka kekuasaan itu disebut walyy al-amr bi al-syaukah". Bukankah kalau Menteri Agama dinilai memiliki syaukah, maka pemerintah- nya pun dapat dianggap sebagai waliyy al-amr bi al-syaukah?

135. Al-Mawardi, AI-Ahkam, h. 22-23. Sebelum abad ke-20 ini kekuasaan kenegaraan dalam Islam belum mengenal lembaga perwakilan rakyat seperti abad modern ini, karena itu imam yang berkuasa umumnya di-"pilih" melalui istikhlaf atau istila'. Ke- kuasaan wazir al-tafwid dengan sendirinya tidak dipertanggung- jawabkan kepada parlemen, tetapi diberi wewenang penuh oleh imam yang berkuasa.

136. Ibid. (http://pcinu-mesir.tripod.com/ilmiah/pusaka/ispustaka/buku02/006_4.txt)

Arti Ahlul Halli wal ‘Aqdi.

Sekelompok orang yang memilih imam atau kepala negara sesekali dinamkan ahlul halli wal ‘aqdi, sesekali ahlul ijtihad dan sesekali ahlul ikhtiyar.Ahlul al-halli wa al-‘aqd ( baca Ahlul Halli wal ‘aqdi ) diartikan dengan “orang-orang yang mempunyai wewenang untuk melonggarkan dan mengikat”. Istilah ini dirumuskan oleh ulama fiqih untuk sebutan bagi orang-orang yang berhak sebagai wakil umat untuk menyuarakan hati nurani mereka.

Page 17: Konsep Trias Politica

Tafsir Al-Manar menyatakan bahwa Ulil Amri itu adalah Ahlul Halli wal ‘Aqdi yaitu orang-orang yang mendapat kepercayaan umat Sifat-sifat Ahlul Halli wal ‘Aqdi.Sifat-sifat Ahlul Halli wal ‘Aqdi menurut elaborasi fiqih dapat ditetapkan pada tiga golongan :1. Faqih yang mampu menemukan penyelesaian terhadap masalah-masalah yang muncul dengan memakai metode ijtihad.2. Orang yang berpengalaman dalam urusan-urusan rakyat.3. Orang yang melaksanakan kepemimpinan sebagai kepala keluarga, suku, atau golongan.B. PENDAPAT BEBERAPA PARA AHLI.1. An-Nawawi dalam Al-Minhaj Ahl Halli waal ‘Aqd adalah para ulama, para kepala, para pemuka masyarakat sebagai unsur-unsur masyarakat yang berusaha mewujudkan kemaslahatan rakyat. [1]2. Muhammad Abduh menyamakan ahl al-hall wa al’aqd dengan ulil amri yang disebut dalam Al-Qur’an surat al-Nisa ayat 59 yang menyatakan : “Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah, dan taatilah Rasul ( Nya ) dan ulil amri di antara kamu”. Ia menafsirkan ulil amri atau ahl al-hall wa al-‘aqd sebagai kumpulan orang dari berbagai profesi dan keahlian yang ada dalam masyarakat. Abduh menyatakan yang dimaksud dengan ulil amri adalah “Golongan ahl al-hall wa al-‘aqd dari kalangan orang-orang muslim. Mereka itu adalah para amir, para hakim, para ulama, para militer, dan semua penguasa dan pemimpin yang dijadikan rujukan oleh umat dalam masalah kebutuhan dan kemaslahatan publik”[2] lebih lanjut ia menjelaskan apabila mereka sepakat atas suatau urusan stau hukum maka umat wajib mentaatinya dengan syarat mereka itu adalah orang-orang muslim dan tidak melanggar perintah Allah dan Sunnah Rasul yang mutawatir.3. Rasyid Ridha juga berpendapat ulil amri adalah al-hall wa al-‘aqd. Ia menyatakan “kumpulan ulil amri dan mereka yang disebut ahl al-hall wa al-‘aqd adalah mereka yang mendapat kepercayaan dari umat yang terdiri dari para ulama, para pemimpin militer, para pemimpin pekerja untuk kemaslahatan publik seperti pedagang, tukang, petani, para pemimpin perusahaan, para pemimpin partai politik dan para tokoh wartawan”. [3]4. Al-Razi juga menyamakan pengertian antara ahl al-hall wa al-‘aqd dan ulil amri yaitu para pemimpin dan penguasa. [4]5. Al-Maraghi rumusannya sama seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. [5]6. Al-Mawardi merumuskan beberapa syarat, yaitu berlaku adil dalam segala sikap dan tindakan, berilmu pengetahuan dan memiliki wawasan dan kearifan. [6]C. SYARAT KECAKAPAN AHLUL HALLI WAL ‘AQD.Al-Qadhi Aby Ya’la telah menetapkan beberapa syarat kecakapan bagi ahlul halli wal ‘aqd :1. Syarat moral ( akhlak ) yaitu keadilan. Ia merupakan derajat keistiqamahan yang menjadikan pemiliknya sebagai orang yang dapat dipercaya dalam hal amanah dan kejujurannya.2. Ilmu yang dapat mengantarkannya mengetahui dengan baik orang yang pantas menduduki jabatan imamah. Baik ilmu teoritis, kebudayaan, wawasan dan khususnya wawasan kefiqihan perundang-undangan.3. Lebih dekat kepada persyaratan pengetahuan politik dan kemasyarakatan.Ahlul Halli wal ‘aqdi bisa terdiri dari ulama, panglima perang dan para pemimpin kemaslahatan umum. Seperti pemimpin perdagangan, perindustrian, pertanian. Termasuk juga para pemimpin buruh, partai, para pemimpin redaksi surat kabar yang islami dan para pelopor kemerdekaan.D. TUGAS DARI AHLUL HALLI WAL ‘AQDI.Tugas dari ahlul halli wal ‘aqdi antara lain memilih khalifah, imam, kepala negara secara langsung. Karena itu ahlul halli wal ‘aqdi juga disebut oleh Al-Mawardi sebagai ahl al-ikhtiyar ( golongan yang berhak memilih ). Peranan golongan ini sangat penting untuk memilih salah seorang di antara ahl al-imamah ( golongan yang berhak dipilih ) untuk menjadi khalifah. Ahlul halli wal ‘aqdi ialah orang-orang

Page 18: Konsep Trias Politica

yang berkecimpung langsung dengan rakyat yang telah memberi kepercayaan kepada mereka. Mereka menyetujui pendapat wakil-wakil itu karena ikhlas, konsekwen, takwa, adil, dan kecermelangan pikiran serta kegigihan mereka di dalam memperjuangkan kepentingan rakyatnya.Di samping punya hak pilih, menurut Ridha adalah menjatuhkan khalifah jika terdapat hal-hal yang mengharuskan pemecatannya. [7] Al-Mawardi juga berpendapat jika kepala negara melakukan tindakan yang bertentangan dengan agama, rakyat dan ahl al-hall wa al-‘aqd berhak untuk menyampaikan “mosi tidak percaya” kepadanya. [8]Sejauh ini belum ditemui penjelasan tentang hak-hak lain ahl al-hall wa al-‘aqd seperti pembatasan kekuasaan khilafah, mekanisme pembentukan lembaga itu, hak kontrol dan sebagainya. Apalagi ahl al-hall wa al-‘aqd, sekalipun mereka mewakili rakyat, menurut Rasyid Ridha, tidak identik dengan parlemen di zaman modern yang memiliki kekuasaan legislatif dan berhak membatasi kekuasaan kepala negara melalui undang-undang. Sementara khalifah adalah kepala negara yang memegang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. [9]E. PERANAN DAN MANFAAT AHLUL HALLI WAL ‘AQDI.Peranan ahlul halli wal ‘aqdi di indonesia dari segi fungsionalnya, sama seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat ( MPR ) yaitu sebagai lembaga tertinggi negara dan perwakilan yang personal-personalnya merupakan wakil-wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat dalam pemilu dan salah satu tugasnya ialah memilih presiden ( sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan ). Namun dalam beberapa segi lain antara ahlul halli wal ‘aqdi dan MPR tidak identik.Manfaat dari ahlul halli wal ‘aqdi sangatlah penting yaitu untuk menjaga keamana dan pertahanan serta urusan lain yang berkaitan dengan kemaslahatan umum. [10]F. MENENTUKAN ATAU MENETAPKAN AHLUL HALLI WAL ‘AQDI.Para fuqaha tidak menyebutkan cara untuk menentukan atau menetapkan mereka itu. Sekalipun mereka menyebutkan beberapa masalah yang berkaitan dengan tema ini. Di antaranya adalah mereka ( ahlul halli wal ‘aqdi ) tidak diisyaratkan berasal dari penduduk yang senegeri dengan sang imam, yaitu penduduk ibu kota. Karena tak ada maksud untuk mengistimewakan. Sekalipun praktiknya mereka lebih dahulu dari yang lain, mengetahui kematian sang kepala negara. Dan karena pada umumnya orang yang layak menduduki kekhalifahan ada di negeri ( ibu kota ) mereka. [11]Al-Qadhi Abu Ya’la di dalam kitab Al-Ahkam as-Sulthaniyyah membahas masalah lain yang penting, yaitu : “Apakah boleh bagi seorang khalifah mengangkat ahlu ikhtiyar sebagaimana ia mengangkat ahlu ‘aqd ( para pengganti ) ?” Jawabnya adalah : ada yang berpendapat boleh, karena ia merupakan di antara hak-hak kekhalifahannya. Sedangkan qiyas madzhab kita berpendapat tidak boleh.” [12]Pendapat Al-Qadhi Abu Ya’la yang mengatakan bahwa tidaklah diperkenankan bagi khalifah menentukan ( mengangkat ) orang-orang yang akan memilih khalifah sesudahnya adalah pendapat yang benar. Ia sesuai dengan maksud si pembuat syari’at. Ia hendak membiarkan mayoritas ahlu ar-ra’yi memilih sang imam, kepala negara. Jika khalifah memutuskan memilih dan menentukan mereka, maka seketika itu ia berarti bertindak sesuka hati di dalam memilih orang yang akan menggantikannya secara tidak langsung. K E S I M P U L A N ( P E N U T U P ) Sekelompok orang yang memilih imam atau kepala negara dinamakan Ahlul Halli wal ‘Aqdi. Sifat-sifat Ahlul Halli wal ‘aqdi, yaitu :1. Faqih yang mampu menemukan penyelesaian terhadap masalah-masalah yang muncul dengan memakai metode ijtihad.2. Orang yang berpengalaman dalam urusan-urusan rakyat.3. Orang yang melaksanakan kepemimpinan sebagai kepala keluarga, suku, atau golongan. Syarat kecakapan bagi ahlul halli wal ‘aqd, yaitu :1. Syarat moral ( akhlak ) yaitu keadilan.

Page 19: Konsep Trias Politica

2. Ilmu yang dapat mengantarkannya mengetahui dengan baik orang yang pantas menduduki jabatan imamah. 3. Lebih dekat kepada persyaratan pengetahuan politik dan kemasyarakatan. Tugas dari Ahlul Halli wal ‘Aqd, yaitu :1. Memilih khalifah, imam, kepala negara secara langsung.2. Menjatuhkan khalifah jika terdapat hal-hal yang mengharuskan pemecatannya. Manfaat dari Ahlul Halli wal ‘Aqdi yaitu untuk menjaga keamanan dan pertahanan serta urusan lain yang berkaitan dengan kemaslahatan umum. Cara menetapkan ahlu halli wal ‘aqdi adalah suatu perkara yang diserahkan kepada kebijaksanaan setiap masa-masa dan negeri. DAFTAR PUSTAKA Sistem Pemerintahan dalam persepektif Islam, Prof. Muhammad Al-Mubarak. Fiqih Siyasah, Sejarah dan Pemikiran, Dr. j. Suyuthi Pulungan M.A, Raja Grafindo Persada, Jakarta : 1994. Masalah-masalah Teori Politik Islam, Mumtaz ahmad ( ED ). Teori Pemerintahan Islam menurut Ibnu aimiyah, Khalid Ibrahim Jindan. Tafsir Al-Mizan, Syamsuri Rifaa’i, Agustus, 1991 mengupas ayat-ayat kepemimpinan. Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar. Tafsir Fakhr al-Razi, Jilid V, Muhammad Al-Razi Fakhr al-Din bin Dhiya al-Din Umar. Tafsir al-Maraghi Jilid V, Ahmad Mushthafa al-Maraghi.

[1] Di kutip dalam Muhammad Dhiya al-Din al-rayis, hlm. 170.[2] Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, hlm. 181.[3] Muhammad Dhiya al-Din al-Rayis, hlm. 167 – 168.[4] Muhammad Al-Razi Fakhr al-Din bin Dhiya al-Din Umar, Tafsir Fakhr al-Razi, Jilid V, Dar al-Fikr, t.t, hlm. 149.[5] Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Jilid V, Marhaba at Mshthafa al-Bat al-Halabi, Mishr 1389 / 1979, hlm. 72 & 73.[6] Al-Mawardi, Op. Cit, hlm. 6.[7] Rasyid Ridha, Al-Khilafat, Op. Cit, hlm. 15.[8] Al-Mawardi, Op. Cit, hlm. 17.[9] Rasyid Ridha, Op. Cit, hlm. 28.[10] Rashid Ridha, Op. Cit, hlm. 15. [11] Abu Ya’la, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hlm. 4.[12] Ibid, hlm. 10.

Telah menjadi kesepakatan para ulama bahwa dalam memahami ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits nabi saw digunakan dua pendekatan.Pertama, memahami pengertian secara tersurat, secara langsung dari lafazh-lafazh al-Quran maupun as-Sunah.Ini yang sering dikatakan sebagai pengertian secara harfiah.Sedangkan para ulama menyebutnya sebagai manthûq.Yakni pengertian tersurat, pengertian yang langsung dipahami dari lafazh (kata) atau dari bentuk lafazh yang terkandung dalam nash.Kedua, pengertian secara tersirat.Yaitu pengertian yang dipahami bukan dari lafazh atau bentuk lafazh secara langsung, tetapi dipahami melalui penafsiran secara logis dari petunjuk atau makna lafazh atau makna keseluruhan kalimat yang dinyatakan dalam nash.Kita sering menyebutnya sebagai pengertian kontekstual.Sedang para ulama menyebutnya dengan istilah mafhûm.Makna ini merupakan akibat (konsekuensi) logis makna yang dipahami secara langsung dari

Page 20: Konsep Trias Politica

lafazh.Makna ini menjadi kelaziman makna lafazh secara langsung.Artinya makna ini menjadi keharusan atau tuntutan makna lafazh.Dan para ulama menyebutnya sebagai dalâlah al-iltizâm.Dalâlah al-iltizâm ini dapat dibagi menjadi : dalâlah al-iqtidhâ’, dalâlah tanbîh wa al-imâ’, dalâlah isyârah dam dalâlah al-mafhûm yang terdiri dari mafhûm muwâfaqah dan mafhûm mukhâlafah (pengertian berkebalikan).Namun perlu diingat bahwa pengambilan pengertian dari nash syara’ baik secara manthuq maupun secara mafhum tidak boleh keluar dari ketentuan pengambilan pengertian dalam bahasa arab