manajemen keuangan daerah dalam era otonomi daerahhimia.umj.ac.id/wp-content/uploads/2020/04/... ·...
TRANSCRIPT
See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/331175046
MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH DALAM ERA OTONOMI DAERAH
Book · January 2019
CITATIONS
113READS
2,691
5 authors, including:
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
Ekonomi Mikro dalam Dunia Usaha View project
Akhmad Pide
Universitas Muhammadiyah Makassar
60 PUBLICATIONS 133 CITATIONS
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Akhmad Pide on 25 February 2019.
The user has requested enhancement of the downloaded file.
1
MANAJEMEN
KEUANGAN DAERAH
DALAM ERA OTONOMI
DAERAH
SEBUAH KAJIAN TEORITIS DAN EMPITIS
Dr. Akhmad, S.E., M.Si
2019
2
Manajemen Keuangan Daerah
Dalam era Otonomi Daerah
Penulis : Dr. Andi Hamsiah M.Pd
Editor : Amir, S.E., M.Si
Desain Cover : Abdul Kodir, M.Pd
Diterbitkan Pertama Kali Oleh :
Azkiya Publishing
Prum Bukit Golp Arcadia Housing F6 No 10
Leuwinaggung Gunung Putri Bogor
Bekerjasama dengan Colli Puji’e FKIP
Sastra UNIBOS
Didistribusikan Oleh:
Pustaka AQ
Nyutran MG II 14020 Yogyakarta
[email protected] HP 0895603733059
ISBN : 978-623-7021-29-2
14x21 cm = 252 halaman
Cetakan Pertama Pebruari 2019
Sanksi pelanggaran pasal 44, Undang-undang No. 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas Undang-undag No.6 Tahun 1982 tentang hak cipta.
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 (satu), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah).
3
KATA PENGANTAR
uji syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt,
karena dengan izin dan petunjuknya jualah
sehingga penulis dapat menulis buku ini dengan
judul: Manajemen Keuangan Daerah Dalam Era
Otonomi Daerah: Sebuah Kajian Teoritis dan
Empitis.
Pelaksanaan otonomi daerah pada dasarnya
memberikan ruang kepada pemerintah daerah dalam
mengelola pemeritahaan berdasarkan potensi yang
dimiliki oleh daerah yang bersangkitan. Oleh karena
itu pemerintah daerah diharapkan dapat pemberian
pelayanan pablik secara optimal. Faktor keuangan
merupakan faktor yang sangat penting dan menjadi
penentu terhadap berhasil tidaknya pelaksanaan otonomi
daerah.
Dalam era otonomi daerah dewasa ini pengelolaan
keuangan daerah dirumuskan dalam bentuk Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD yang
dibuat oleh pemerintah daerah dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) mencerminkan
kemampuan keuangan daerah serta menjadi
parameter kinerja pemerintahan daerah. Oleh karena
itu, dalam pengelolaan keuangan dan aset daerah, maka
penerapan-prinsip good governance bagi pemerintah
daerah sangat dibutuhkan.
Biasanya kenaikan pendapatan berkorelasi
positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Dengan
demikian kenaikan pendapatan asli daerah yang akan
menjadi sumber penganggaran berkorelasi terhadap
P
4
pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut. Berbicara
pertumbuhan ekonomi sangat erat terkait dengan
sejauhmana kapabilitas daerah dalam menarik investasi
di daerah. Idealnya, desentralisasi keuangan membawa
harapan kepada peningkatan investasi yang akan
mendorong roda perekonomian di daerah.
Buku ini muncul guna utuk memenuhi
kebutuhan mahasiswa dan para praktisipada
pemeritahan daerah akan kebutuhan buku teks di
bidang Manajemen Keuangan Daerah dalam Era
Otonomi Daerah dewasa ini. Di sampingitu buku juga
cocok untuk para para pelaku keuangan dearah
terutama para kepala Dinas dan anggota DPRD yang
sadar akan pentingnya pengelolaan keuangan daerah
yang akuntabel dan transparan.
Buku ini dimulai dari Konsep desentralisasi,
kemudian dijelaskan tentang pengertian keuangan
daerah, selanjutnya diuraikan bagaimana mengelaola
keuangan daerah yang dimulai dari penyusunan
Anggaran pendapatan dan Belanja Negara sampai pada,
kenerja keuangan daerah, penilaian beban kerja dan
biaya serta analisis perkebangan APBD. Pada bagian
akhir buku ini penulis memaparkan ringkasan hasil
penelitian penulis tentang dampak pengeluaran
pemerintah daerah terhadap perekonomian di Provinsi
Sulawesi Selatan.
Buku ini dapat terlaksana atas dorongan dari
beberapa teman sejawat. Oleh karena itu pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada: Bapak; Prof. Dr. Ir. Noer Azam Achsani,
M.Si., Dr. Rusydi, SE., M.Si., Dr. Bustang, M.Si,
Ismail Rasulong, S.E., M.M., Dr. Buyung Romadhoni,
S.E., M.Si. Khusus kepada Istri saya yang tercinta
Rahmawaty Gaffar, S.E. sehingga karya ini dapat
5
terwujud menjadi suatu buku referensi.
Pada kesempatan ini pula penulis mengharapkan
masukan dan kritik yang sifatnya membangun demi
penyempurnaan buku ini pada edisi selanjutnya.
6
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ..................................................... 3
Daftar Isi ............................................................... 7
BAB I
Desentralisasi Fiskal ............................................. 9
A. Desentralisasi Keuangan ......................... 17
BAB II
Keuangan Daerah ................................................ 32
A. Pengertian Keuangan daerah ................... 32
B. Hubungan Antara Keuangan Daerah
dengan keuangan Negara ........................ 33
C. Pengelola Keuangan Daerah ................... 35
BAB III
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ......... 47
A. Fungsi-Fungsi Anggaran daerah ............. 49
B. Prinsip-prinsip Anggaran Daerah ............ 50
C. Struktur APBD ........................................ 51
BAB IV
Penyusunan APBD .............................................. 54
A. Siklus Anggaran ...................................... 54
B. Penyusunan Rancangan APBD ............... 55
BAB V
Manajemen Penerimaan daerah .......................... 79
A. Pendapatan Asli Daerah .......................... 81
B. Dana Perimbangan ................................. 103
C. Lain-lain Pendapatan Daerah Yang Sah 116
7
BAB VI
Analisis Potensi Penerimaan dari Pendapatan
Asli Daerah ......................................................... 119
A. Potensi Pajak Hotel ................................ 120
B. Pajak rtestoran ........................................ 123
C. Pajak Parkir ............................................ 125
D. Pajak Hiburan ......................................... 127
E. Retribusi Daerah ..................................... 130
BAB VII
Manajemen Pengeluaran Daerah ........................ 135
BAB VIII
Laporan Keuangan Daerah ................................. 150
A. Laporan Realisasi Anggaran .................. 152
B. Catatan Atas Laporan Keuangan ............ 162
BAB IX
Kinerja Keuangan Daerah .................................. 164
A. Analisis Rasio Keuangan Daerah ........... 169
B. Rasio Kemandirian keuangan Daerah .... 171
C. Rasio Efektivitas dan Efiensi Keuangan
Daerah .................................................... 173
D. Rasio Efesiensi Keuangan Daerah ......... 173
E. Rasio Keserasian belanja ........................ 175
F. Kesejahtraan Masyarakat ....................... 176
G. Konsep Value for Money Sektor Publik 180
H. Indikator Kesejahtraan masyarakat ........ 181
BAB X
Penilaian Kewajaran beban Kerja dan Biaya ...... 185
A. Pendekatan Prestasi Kerja ...................... 185
B. Prinsip-prinsip Anggaran
8
Berbasis Kinerja ..................................... 188
BAB XI
Analisis Perkembangan APBD .......................... 194
A. Trend APBD .......................................... 194
B. Ruang Fisikal ......................................... 202
C. Rasio Ketergantungan daerah ................ 207
BAB XIII
Dampak Pengeluaran Pemerintah Daerah
Terhadap Kemiskinan di Provinsi Sulawesi
Selatan Indonesia ............................................... 211
A. Pendahuluan ........................................... 213
B. Data dan Metodologi .............................. 218
C. Hasil Penelitian ...................................... 223
DAFTAR PUSTAKA ....................................... 252
9
BAB I
DESENTRALISASI FISKAL
erawal dari krisis moneter dan ekonomi serta
pergolakan politik yang timbul pasca
lengsernya rezim Soeharto yang sentralistik dan
otoriter, Indonesia mengambil langkah raksasa dengan
melakukan desentralisasi politik dan fiskal. Pemerintah
dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merespon
permintaan desentralisasi yang semakin keras, dengan
mengesahkan dua undang-undang pada bulan April
1999, dan menetapkan tanggal 1 Januari 2001, sebagai
mulai dilaksanakannya desentralisasi di Indonesia. Bank
Dunia (2007), menyebut program desentralisasi di
Indonesia termasuk program besar dan disebut sebagai
big bang decentralization.
Sejak tahun 2001 bangsa Indonesia memulai
babak baru penyelenggaraan pemerintahan, ketika
diberlakukannya Undang-Undang Otonomi Daerah,
yaitu Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang
pemerintahan daerah, kemudian direvisi dengan
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, dan Undang-
Undang Nomor 25 tahun 1999, tentang perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yang
selanjutnya direvisi dengan Undang-Undang Nomor 33
tahun 2004.
B
10
Konsekuensi dari Undang-Undang Otonomi
Daerah, maka sejak tahun 2001, otonomi daerah
dilaksanakan di seluruh provinsi dan kabupaten/kota di
Indonesia. Rasyid (1998), mengemukakan bahwa hal
yang diharapkan dari otonomi daerah adalah pemberian
pelayanan publik yang lebih memuaskan,
mengakomodasi partisipasi masyarakat, pengurangan
beban pemerintah pusat, menumbuhkan kemandirian
dan kedewasaan daerah, serta menyusun program yang
lebih sesuai dengan kebutuhan daerah. Jadi kebutuhan
dan kondisi masyarakat merupakan inspirasi pertama
dan utama dalam setiap kegiatan pemerintah daerah.
Sebelum era reformasi, berlaku UU No. 5 tahun
1974 tentang Pemerintahan Daerah. Pada saat itu,
terjadi turbulensi di bidang politik, ekonomi, sosial dan
budaya, sampai diundangkannya UU No. 22 tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah. Setelah itu, kini telah
berlaku UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.
Membandingkan pokok-pokok pikiran antara UU
No. 5 tahun 1974 dengan UU No. 22 tahun 1999 dan
UU No. 32 tahun 2004, ada perbedaan mendasar.
Pertama, dari sisi filosofis. UU No. 32 tahun
2004 filosofinya adalah keseragaman atau uniformitas,
sedangkan UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 32 tahun
2004 filosofinya adalah keanekaragaman dalam
kesatuan.
Kedua, dari aspek pembagian satuan
pemerintahan. UU No. 5 tahun 1974 menggunakan
11
pendekatan tingkatan (level approach), ada Daerah
Tingkat I dan Daerah Tingkat II. Sedangkan, UU No 22
tahun 1999 menggunakan pendekatan besaran dan isi
otonomi (size and content approach), ada daerah yang
besar dan ada daerah yang kecil berdasar kemandirian
masing-masing, ada daerah dengan isi otonomi terbatas
dan ada daerah yang otonominya luas. Sementara, UU
No. 32 tahun 2004 menggunakan pendekatan besaran
dan isi otonomi (size and content approach),dengan
menekankan pada urusan yang berkeseimbangan
dengan azas eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi.
Ketiga, fungsi utama pemerintahan daerah,
menurut UU No. 5 tahun 1975 adalah sebagai promotor
pembangunan, sedangkan menurut UU No. 22 tahun
1999 sama dengan UU No. 32 tahun 2004 yaitu sebagai
pemberi pelayanan masyarakat.
Keempat, terkait dengan penggunaan azas
penyelenggaraan pemerintah daerah. Menurut UU No. 5
tahun 1974 adalah seimbang antara desentralisasi,
dekonsentrasi dan tugas pembantuan pada semua
tingkatan. Sementara pada UU No. 22 tahun 1999,
desentralisasi terbatas pada daerah provinsi dan pada
luas daerah kabupaten/kota, dekonsentrasi terbatas pada
kebupaten/kota dan luas pada provinsi, tugas
pembantuan yang seimbang pada semua tingkatan
pemerintahan sampai ke desa. Sedang, menurut UU No.
32 tahun 2004, desentralisasi diatur berkesinambungan
antara daerah provinsi, kabupaten/kota, desentralisasi
12
terbatas pada kabupaten/kota dan luas pada provinsi,
tugas pembantuan berimbang pada semua tingkatan
pemerintahan.
Bagaimanapun, otonomi Daerah merupakan
kewenangan untuk membuat kebijakan (mengatur) dan
melaksanakan kebijakan (mengurus) berdasarkan
perkara sendiri. Sehingga, masyarakat yang berada pada
satu teritori tertentu adalah pemilik dan subyek Otonomi
daerah. Hal ini, membawa konsekuensi perlunya
partisipasi aktif dari masyarakat dalam setiap tahap
penyelenggaraan otonomi (Mardiasmo, 2009).
Otonomi daerah sebagai salah satu bentuk
pengejawantahan dari proses desentralisasi.
Kepentingannya adalah upaya untuk lebih mendekati
tujuan-tujuan diselenggarakannya pemerintahan untuk
mewujudkan cita-cita masyarakat yang lebih baik, yang
adil dan makmur. Dua tema adil dan makmur dalam
konteks ini berarti terciptanya suatu tatanan yang
demokratis dan masyarakat yang sejahtera di daerah.
Kebijakan desentralisasi akan mendorong terciptanya
tatanan yang demokratis dan mewujudkan kesejahteraan
masyarakat.
Desentralisasi akan menumbuhkan modal sosial
dan tradisi kewargaan di tingkat lokal. Partisipasi
demokratis warga akan membiakkan komitmen warga
yang luas maupun hubungan-hubungan horizontal,
kepercayaan (trust), toleransi, kerja sama, dan
solidaritas yang membentuk komunitas sipil (civil
community). Ikatan sipil yakni; solidaritas sosial dan
13
partisipasi massal yang merentang luas, yang pada
gilirannya akan berkorelasi tinggi dengan kinerja
pembangunan ekonomi dan kualitas kehidupan
demokrasi.
Penerapan Otonomi Daerah akan mendorong
peningkatan kesejahteraan rakyat daerah, khususnya
rakyat miskin. Dengan Otonomi Daerah, rakyat miskin
akan lebih mudah mengakses sumber daya dan
mengembangkan potensinya untuk dapat meningkatkan
kemajuan daerah masing-masing, sehingga kesenjangan
antardaerah dan pusat dapat diperkecil. Karena,
pemberontakan dan aksi-aksiseparatis di daerah-daerah,
pada dasarnya menurut sebagian ahli bersumber dari
penilaian daerah yang tidak menerima secara adil
sebagian besar kekayaan negara yang bersumber dari
daerah. Jadi akar dari tuntutan politik itu adalah tuntutan
keadilan ekonomi, pembagian kue yang kurang adil
antara pusat dan daerah.
Stiglitz (2000) mengatakansalah satu ciri dari
sistem pemerintahan yang demokratis adalah memberikan
ruang bagi rakyat luas untuk berpartisipasi dalam hal
mempengaruhi proses pengambilan kebijakan oleh
pemerintah, melalui saluran-saluran demokrasi yang
tersedia. Implementasi demokrasi didasari atas kehendak
menjadikan kekuasaan tidak bersifat absolut pada satu
pengambilan keputusan saja. Demokrasi menginginkan
bahwa keputusan mengenai satu kebijakan
merepresentasikan suara dan kepentingan banyak pihak.
14
Sebab kekuasaan dalam satu tangan cenderung
menciptakan otoritarianisme. Oleh karena itu, desentralisasi
kekuasaan menjadi satu keharusan dalam sistem
demokrasi. Desentralisasi kekuasaan selain terlihat dari
pembagian kekuasaan dalam model trias politica, juga
dilaksanakan dalam bentuk hubungan kekuasaan antara
pemerintah di tingkat pusat dan daerah, di mana otoritas
pemerintahan terdistribusi pada pemerintahan di tingkat
lokal. Pemerintah lokal memiliki wewenang menjalankan
roda pemerintahan di wilayahnya. Kewenangan inilah apa
yang dinamakan dengan local discretion.
Pengalaman sistem pemerintahan sentralistis yang
menempatkan pemerintahan daerah pada posisi sub-
ordinat pemerintahan pusat, telah memberikan
perjalaran yang berharga, berupa ketimpangan
pembangunan, beban anggaran yang terlalu berat dan
kualitas pelayanan publik yang buruk. Belajar dari realitas
tersebut dan keinginan untuk memperbaiki tata
pemerintahan yang berpihak kepada kesejahteraan
rakyat, isu desentralisasi mengemuka dan terus
menguat pada masa reformasi.
Secara teoritis, sistem pemerintahan yang
terdesentralisasi memiliki kelebihan, yaitu:
1. Fleksibel, karena dapat memberikan respons yang
cepat terhadap kebutuhan organisasi dan kebutuhan
pelanggannya dalam hal ini adalah rakyat.
2. Efektif, karena pekerja di front desk mengetahui
secara intensif tentang apa yang terjadi sebenarnya,
sehingga mendorong mereka berkreativitas untuk
15
mencarikan jalan keluar terhadap permasalahan
yang dihadapi.
3. Inovatif, karena karyawan yang berhubungan
langsung dengan pelanggan akan termotivasi untuk
melakukan terobosan-terobosan baru dalam
memberikan pelayanan yang prima.
4. Terciptanya etos kerja yang tinggi karena pemberian
kepercayaan kepada karyawan akan berdampak
pada komitmen kerja dan tentunya akan berkorelasi
positif terhadap kualitas kerja karyawan.
Desentralisasi dalam konteks pemerintahan,
tentunya tidak sesederhana yang dibayangkan oleh
Osborn. Ada beberapa aspek yang perlu menjadi pusat
perhatian dalam implementasi desentralisasi
pemerintahan, yaitu aspek sosial, politik, ekonomi, dan
konstruksi budaya birokrasi yang ada. Desentralisasi
dalam konteks proses demokratisasi perlu dipahami
sebagai instrumen pengambilan keputusan dalam
kebijakan publik yang lebih demokratis yang
mengandung implikasi luas terhadap aspek sosial,
politik, dan ekonomi, di mana terdapat interdependensi
antara satu aspek dengan aspek lainnnya. Oleh sebab itu
implementasi desentralisasi diwujudkan dalam bentuk
desentralisasi politik, administratif, fiskal dan ekonomi
(Kunarjo,2003). Desentralisasi administratif adalah
distribusi kewenangan, tanggungjawab dan sumber-
sumber keuangan untuk menyediakan pelayanan publik.
Pelimpahan tanggungjawab administratif, terutama
16
menyangkut perencanaan, pendanaan, dan pelimpahan
Menurut Simanjuntak (2002), terdapat tujuh persyaratan
yang menjadi prakondisi untuk mendukung
keberhasilan desentralisasi dalam konteks Indonesia,
yaitu:
1. Realistis, sesuai dengan pengembangan institusi,
sistem, prosedur, dan mekanisme koordinasi di
lingkup pemerintahan, dan kemampuan SDM;
2. Selaras antara proses penyerahan kewenangan
fungsi-fungsi pemerintahan dari Pemerintahan Pusat
kepada Pemerintahan Daerah dengan pengalihan
pembiayaan, sarana dan prasarana, SDM dan
dokumen;
3. Keterkaitan antara desain dan kerangka kerja proses
desentralisasi dengan kemampuan keuangan dan
kewenangan fiskal yang dimiliki Daerah untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat.
4. Transparansi informasi kepada masyarakat lokal
tentang konsekuensi beban dari pengadaan barang
publik, melalui sosialisasi, debat publik dan dialog
yang bermanfaat bagi peningkatan kebutuhan barang
publik sesuai dengan aspirasi rakyat;
5. Partisipasi masyarakat untuk memberikan preferensi
dalam penyediaan barang publik melalui mekanisme
dalam proses pengambilan keputusan Pemerintah
Daerah dan DPRD yang menghasilkan suatu
Peraturan Daerah (Perda) tentang penyediaan barang
publik dan konsekuensi pembiayaannya;
6. Akuntabilitas publik, transparansi dan tersedianya
17
informasi keuangan dan pembangunan daerah yang
memadai, sehingga masyarakat dapat mengawasi dan
menilai kinerja aparat Pemda secara proporsional.
A. Desentralisasi Keuangan
Direktorat Jenderal Anggaran Kementrian
Keuangan Republik Indonesia.(2009) mengatakan
keberhasilan pembangunan daerah merupakan bagian
integral dari keberhasilan pembangunan nasional dalam
kerangka NKRI. Desentralisasi merupakan paradigma
yang memperkokoh pembangunan daerah dewasa ini.
Paradigma desentralisasi tersebut, tidak saja semata-
mata merupakan reaksi atas praktik pembangunan
nasional yang sentralistik, sebagaimana diterapkan
sedemikian rupa pada masa Orde Baru, tetapi sudah
menjadi tuntutan mendasar yang harus diterapkan
dengan mengimplementasikan konsep otonomi daerah
secara luas. Segi positif penerapan kebijakan
desentralisasi adalah:
1. Paradigma desentralisasi juga selaras dengan prinsip
pemerintahan yang demokratis, dengan adanya
pengaturan kewenangan yang seimbang antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Desentralisasi tidak menafikkan peran dan
kewenangan pemerintah pusat. Asas dekonsentrasi
tetap harus dipatuhi dan dilaksanakan dengan baik,
seiring sejalan (sinergis) dengan laju implementasi
otonomi daerah.
18
2. Desentralisasi juga mencegah terjadinya pemusatan
kekuasaan, yang dapat menimbulkan munculnya
pemerintahan yang otoriter, serta mendorong
demokratisasi di tingkat lokal, karena rakyat lebih
mempunyai peluang untuk terlibat dalam
penyelenggaraan pemerintahan di wilayahnya
masing-masing (grass roots democracy).
3. Desentralisasi menciptakan efisiensi pemerintahan,
karena sebagian urusan-urusan pemerintahan
diselenggarakan oleh satuan-satuan pemerintahan
tingkat daerah, sehingga memperpendek rentang
birokrasi bila dibandingkan dengan pengendalian
dari Pusat.
4. Dari segi sosiokultural, desentralisasi menyebabkan
kepentingan rakyat di daerah-daerah yang memiliki
kekhususan-kekhususan tertentu dapat tertangani
dengan lebih baik.
5. Desentralisasi membuat pembangunan dapat berjalan
dengan lebih baik dan terarah, karena dilakukan
langsung oleh satuan-satuan pemerintahan di tingkat
daerah.
Instrumen desentralisasi terutama menyangkut
aspek ketentuan perundangan, kelembagaan, struktur
pelayanan yang menjadi tugas Pemda, maka
pengawasan dan dukungan biaya harus didesain untuk
mendukung keinginan politis dari masyarakat.
Kualitas kinerja lembaga berkorelasi positif dengan
daya dukung pembiayaan yang ada. Ketiadaan
dukungan sumberdaya keuangan yang memadai
19
mempengaruhi optimalisasi kinerja lembaga
pemerintahan dalam menjalankan tugas-tugasnya
melayani masyarakat. Dengan demikian, pelimpahan
kewenangan pemerintahan dari pusat ke daerah, harus
pula disertai dengan pelimpahan kewenangan
pengelolaan keuangan kepada pemerintah daerah.
Pendelegasian kewenangan pengelolaan keuangan
kepada daerah sangat penting agar daerah memiliki
kemandirian dalam membiayai belanja pemerintahan
dan kegiatan pembangunan di daerah tanpa tergantung
kepada pusat. Penerbitan UU No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah, maka juga harus
diikutsertakan dengan penerbitan undang-undang yang
mengatur pengelolaan keuangan oleh daerah, di mana
hal tersebut dirumuskan dalam UU No. 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Berdasarkan undang-undang tersebut, pusat
tidak lagi sepenuhnya mengelola keuangan di daerah.
Kebijakan-kebijakan yang terkait dengan keuangan
daerah sepenuhnya menjadi wewenang daerah.
Pemerintah pusat hanya mengelola kebijakan fiskal
yang bersifat makro. Perimbangan proporsi keuangan
daerah dengan pusat mengalami perubahan
paradigma. Daerah menerima lebih besar proporsi
keuangan yang bersumber dari sumber-sumber
pendapatan yang ada daripada pusat. Paradigma
perumusan anggaran belanja daerah telah
meninggalkan pola penentuan kebijakan dari atas.
20
Perumusan anggaran yang mencerminkan kebutuhan
obyektif masyarakat menghendaki adanya partisipasi
dari elemen masyarakat yang menjadi stakeholders bagi
pemerintah dalam pengambilan keputusan. Mekanisme top
down telah berubah menjadi budgeting
partisipatoiy. Keikutsertaan masyarakat dalam
merumuskan anggaran belanja daerah telah dimulai pada
level terendah dari tingkat desa.
Secara prinsip, Undang-undang Dasar (UUD)
1945 telah mengatur kewenangan pemerintah daerah
dalam mengelola daerah. Disebutkan dalam pasal 18
dan pasal 18A bahwa pemerintah propinsi, kabupaten
dan kota memiliki kewenangan mengatur sendiri urusan
pemerintahannya berdasarkan asas otonomi dan
perbantuan; pemerintah daerah menjalankan otonomi
seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah
pusat; pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan
daerah dan peraturan-peraturan lain untuk
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan; susunan
dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah
diatur dengan undang-undang; hubungan keuangan,
pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya lainnya
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur
dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan
undang-undang. Dengan demikian, sebenarnya otonomi
daerah dan kebijakan yang terkait dengan hal tersebut,
seperti desentralisasi fiskal esensinya telah menjadi
21
amanat konstitusi yang harus dijalankan oleh
pemerintah pusat.
Kebijakan keuangan yang tersentralisasi pada masa
pemerintahan Orde Baru terbukti telah menciptakan
disparitas penerimaan yang besar antara pusat dan daerah,
bahkan antara daerah itu sendiri. Daerah yang memiliki
sumber pendapatan keuangan yang besar tidak dapat
mengelola sumber keuangannya secara mandiri dan
memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap kucuran
dana dari pusat untuk membiayai aktivitas pemerintahan
dan pembangunan di wilayahnya. Desentralisasi
keuangan tidak lain dimaksudkan sebagai cara bagi
pemerintah daerah agar dapat, pertama,
meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan kedua,
meningkatkan pendapatan asli daerahnya (PAD).
Sebagai komponen utama desentralisasi wewenang
pemerintahan, maka desentralisasi fiskal haruslah
didukung oleh sumber-sumber keuangan yang memadai
baik berasal dari PAD, bagi hasil pajak dan non pajak,
pinjaman, maupun subsidi atau bantuan dari Pemerintah
Pusat. Oleh karena itu implementasi desentralisasi fiskal
berkonsekuensi terhadap, Pertama, alokasi keuangan
daerah, Artinya daerah memiliki fleksibilitas atau
diskresi penuh dalam memanfaatkan sumber-sumber
utama pembiayaan untuk membangun daerah. Kedua,
diperlukan pedoman agar desentralisasi fiskal
beroperasi sesuai dengan keinginan perencana. Ketiga,
diperlukan beberapa terobosan untuk menyiasati
22
kekurangan pendapatan daerah (fiscal gap), dengan cara
memperluas basis penerimaan. Antara lain, dengan
mengidentifikasi pembayar pajak potensial,
memperbaiki basis data obyek dan menghitung
kapasitas penerimaan dari setiap pungutan.
Meskipun undang-undang telah mengatur
fleksibilitas dan diskresi daerah secara penuh dalam
mengelola keuangan daerah, namun demikian daerah
tetap harus memperhitungkan kapasitas kemampuan
basis penerimaan yang dimiliki, sehingga dapat
menyeimbangkan antara penerimaan dan
kebutuhan untuk membiayai belanja pemerintahan
dan pembangunan secara efektif dan efisien. Misalokasi
dalam perhitungan akan berimplikasi terhadap
keseimbangan makroekonomi dalam bentuk
penurunan kualitas layanan masyarakat dan
ketergantungan daerah yang tinggi terhadap pusat.
Kondisi ini tentunya bertolak belakang dengan tujuan
desentralisasi; mempercepat pembangunan di daerah
dengan memberdayakan pemerintah daerah.
Satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa
desentralisasi diletakkan sebagai satu dari beberapa
instrumen untuk mencapai tujuan pemerintahan,
terutama dalam rangka optimalisasi pelayanan umum.
Banyak negara berkembang melaksanakan desentralisasi
fiskal untuk melepaskan diri dariketidakefektifan dan
ketidakefisienanpemerintahan, ketidakstabilan
makroekonomi dan ketidakcukupan pertumbuhan
ekonomi yang telah menyebabkan negara-negara
23
berkembang tersebut mengalami krisis (Bird dan
Vailancourt, 1998). Desentralisasi dapat memudahkan
memobilisasi sumber-sumber keuangan pusat ke
daerah, peningkatan akuntabilitas dan peningkatan respon
serta tanggung jawab pemerintahan. Oleh sebab itu,
dalam perspektif federalisme, desentralisasi fiskal
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap (1)
pemerintahan daerah yang lebih baik dalam merancang
sesuai dengan kebutuhan dan preferensi lokal, (2) adanya
tekanan dari persaingan dapatmendorong daya inovasi
pemerintah daerah dan akuntabilitas terhadap
penduduknya.
Konsep desentralisasi memiliki beberapa
kelemahan terkait dengan stabilitas nasional. Risiko
terbesar yang dimungkinkan dari implementasi
desentralisasi fiskal di negara-negara berkembang yang
tidak disertai dengan langkah-langkah yang memadai
dalam menjamin stabilitas nasional, akan berdampak
pada instabilitas makroekonomi.
Pengalaman Kolumbia, Brazil, dan Argentina
memperlihatkan implementasi desentralisasi
tanggungjawab pengeluaran yang lebih besar
dibandingkan dengan sumber-sumber pendapatan
menyebabkan penurunan pelayanan umum dan
menekan pusat untuk mendapatkan tambahan pencairan
dana atau pinjaman dana yang lebih besar.
Kemampuan keuangan daerah dicerminkan
melalui formula anggaran daerah dalam Anggaran
24
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Anggaran
disusun dengan memperhatikan semua potensi daerah
yang ada sehingga formulasi anggaran benar-benar
mencerminkan kebutuhan obyektif daerah. Agar
anggaran bersifat demokratis, maka anggaran
dirumuskan berdasarkan prinsip-prinsip: transparansi
dan akuntabilitas, disiplin dalam pelaksanaan anggaran,
keadilan, dan efisiensi dan efektivitas anggaran
(Suparmoko. 2002).
Tujuan dari prinsip-prinsip dalam penyusunan
anggaran tidak lain agar penetapan anggaran
menghasilkan out-put dan outcome yang memberikan efek
ekonomis terhadap masyarakat. Efek ekonomis tersebut
dapat dilihat dari kinerja pemerintah dalam meningkatkan
kualitas layanan publik. Karena desentralisasi fiskal
terkait dengan aspek sosial dan politik serta hubungan
kelembagaan antar pemerintah, maka pelaksanaannya
dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip lokal diskresi
yang berarti bahwa:
a. otonomi memberikan daerah kewenangan kepada daerah
dalam menentukan skala prioritas untuk menjadi
kebijakan publik;
b. ketersediaan sumber-sumber penerimaan daerah;
c. bantuan pusat yang mencerminkan kebutuhan
fiskal;
d. jaminan ketersediaan bantuan dana dari pusat bagi daerah
otonom;
e. netralitas alokasi bantuan terhadap pilihan alokasi dana
bantuan di berbagai sektor;
25
f. formula pembagian bantuan pusat kepada daerah yang
sederhana, tidak membingungkan;
g. bantuan pusat dirancang untuk memberikan insentif
kepada daerah dalam kerangka efisiensi ekonomi dalam
menentukan pelayanan publik;
h. kebebasan akuntabilitas di tingkat daerah otonom, hal
tersebut dapat dengan mengoptimalisasikan peran
pengawasan DPRD sebagai lembaga yang
memberikan amanat kepada gubernur, bupati, walikota
dalam memberikan pelayanan kepada publik;
i. otoritas daerah yang diberikan secara bertahap dalam
jangka panjang diorientasikan untuk mencakup
semua kewenangan dalam bidang pemerintahan
kecuali bidang yang menjadi kewenangan pusat,
sebagaimana yang telah diatur dalam UU 22/ 1999
(Susiyati, 2007).
Implementasi desentralisasi fiskal itu sendiri
berdasarkan undang-undang bertujuan pertama, fiscal
sustainability, yaitu menjaga kesinambungan
kebijaksanaan fiskal dalam konteks makro ekonomi.
Kedua, koreksi atas vertical imbalance, yaitu memperkecil
kesenjangan antara keuangan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah yang dilakukan melalui strategi taxing
power. Ketiga, koreksi atas horizontal imbalance, yaitu
memperkecil kesenjangan kemampuan keuangan antar
pemerintah daerah, karma adanya variasi kemampuan
keuangan antar daerah. Keempat, meningkatkan
akuntabilitas, efektivitas, dan efisiensi anggaran yang
26
berkorelasi positif dengan kualitas kinerja pemerintah
daerah. Kelima, meningkatkan kualitas pelayanan dan
Keenam, meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam pengambilan keputusan di sektor publik.
Sejalan dengan hal tersebut Simanjuntak (2002),
mengatakan pada dasarnya desenstralisasi fiskal di
Indonesia mempunyai beberapa sasaran umum yaitu (1)
untuk memenuhi aspirasi daerah menyangkut
penguasaan atas sumber keuangan negara, (2)
mendorong akuntabilitas dan transparansi pemerintah
daerah, (3) meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
proses pembangunan daerah, (4) mengurangi
ketimpangan antar daerah, (5) menjamin
terselenggaranya pelayanan publik, dan (6)
meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum.
Hakekat dari perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah pada dasarnya adalah
distribusi sumberdaya keuangan yang bertujuan untuk
memberdayakan, dan meningkatkan kemampuan
ekonomi daerah, mengurangi kesenjangan antar daerah
dalam membiayai otonominya, dan untuk menciptakan
sistem pembiayaan yang adil, proporsional, rasional,
serta kapasitas sumber keuangan yang berasal dari
wilayah yang bersangkutan. Dengan desentralisasi
fiskal, maka pemerintah daerah diharapkan lebih efektif
dan mampu untuk memenuhi kebutuhan publik yang
dibutuhkan, membangun sarana perekonomian serta
dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi
27
masyarakat, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan
pendapatan masyarakat.
Desentralisasi fiskal ditandai dengan
meningkatnya alokasi dana transfer dari pemerintah
pusat ke pemerintah daerah (dana perimbangan),
berupa: (1) peningkatan persentase dana bagi hasil
(DBH) untuk pemerintah daerah, (2) peningkatan dana
alokasi umum (DAU) yang sebelumnya dikenal dengan
subsidi daerah otonom dan instruksi presiden, dan (3)
pelimpahan dana alokasi khusus (DAK).
Tantangan utama dalam pembangunan Indonesia
dewasa ini, bukan lagi untuk memberikan dana kepada
daerah-daerah yang lebih miskin, tetapi bagaimana
memastikan agar daerah-daerah tersebut menggunakan
dana yang disalurkan dengan sebaik-baiknya. Sumber
dana terpenting untuk daerah adalah dana alokasi umum
(DAU) mengalami peningkatan hingga 64 persen pada
tahun 2006, (World Bank, 2007).
Tabel di bawah ini menunjukkan bahwa transfer
fiskal dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
setelah diberlakukannya Undang-Undang Otonomi
Daerah tahun 2001, jumlahnya cukup besar, rata-rata
27.43 persen sampai 34.51 persen, dari total anggaran
pendapatan dan belanja negara (APBN). Dengan
demikian maka pemerintah daerah mempunyai
pendapatan yang lebih besar, dan apabila pemerintah
daerah dapat memanfaatkan transfer fiskal tersebut secara
efektif dan efisien, maka kinerja perekonomian daerah
28
diharapkan dapat lebih baik.
Perkembangan PAD dan Dana Perimbangan di Indonesia Tahun 1996-2018
(milyar rupiah)
Tah
un
PA
D
Dana Perimbangan Jumla
h APBN
%AP
BN DBH DAU DAK
199
6/97
6.11
7 3.344 9.004 5.425
23.89
0 84.792 28,17
199
7/98
6.68
1 3.481
10.34
9 6.318
26.82
9 88.061 30,47
199
8/99
5.35
5 4.828
10.53
5 6.358
27.07
6
147.22
1 18,39
199
9/00
7.06
9 5.437
16.52
5 9.151
38.18
2
219.60
4 17,39
200
0
5.52
9 4.458
14.86
4
10.10
9
34.96
0
197.03
0 17,74
200
1
15.1
62
21.69
4
61.03
9
13.00
9
110.9
04
272.17
8 40,75
200
2
21.4
60
25.25
0
66.99
6 1.953
115.6
59
328.10
0 35,25
200
3
25.5
33
28.87
5
69.89
6 2.246
126.5
50
371.60
0 34,06
200
4
31.2
21
37.36
8
82.13
1 3.650
154.3
70
374.35
1 41,24
200
5
37.9
92
31.21
8
88.76
6 4.323
162.2
99
397.76
9 40,80
200
6
38.3
85
58.70
6
123.6
47
10.65
4
231.3
92
559.23
7 41,38
200
7
37.3
17
62.94
2
158.7
07
17.12
6
276.0
92
757.65
0 36,44
200
8
53.9
77
78.42
0
178.2
11
22.53
2
333.1
40
985.73
1 33,80
200
9
62.7
37
76.13
0
186.2
27
25.48
5
350.5
79
937.38
2 37,40
201
0
66.7
71
92.18
4
203.5
72
20.95
6
383.4
83
1.042.1
17 36,80
201 90.3 96.90 225.5 24.80 437.6 1.294.9 33,79
29
1 93 9 34 4 40 99
201
2
112.
745
111.5
37
273.8
14
25.94
2
524.0
38
1.491.4
10 35,14
201
3
140.
328
88.46
3
311.1
39
30.75
2
570.6
82
1.650.5
64 34,57
201
4
180.
675
103.9
39
341.2
19
31.89
5
657.7
28
1.777.1
83 37,01
201
5
201.
755
78.05
3
352.8
88
54.87
7
687.5
73
1.806.5
15 38,06
201
6
229.
399
90.53
5
385.3
61
75.20
8
780.5
02
1.864.2
75 41,87
201
7
242.
476
95.37
7
398.5
82
69.53
2
805.9
67
2.133.2
96 37,78
201
8
269.
893
87.68
8
398.0
88
62.43
6
818.1
05
2.204.3
84 37,11
Sumber: Kementerian Keuangan Republik Indonesia
Berbagai Tahun
Beberapa pihak berpendapat bahwa model
perimbangan keuangan daerah dan pusat yang saat ini
masih memiliki kelemahan mendasar, yaitu perumusan
perimbangan keuangan masih berdasarkan asas
pembagian yang telah ditentukan oleh pusat tidak
sepenuhnya berdasarkan kewenangan yang luas
berdasarkan inisiatif lokal (local discretion). Benar bahwa
desentralisasi telah memberikan keleluasaan daerah
mengelola sumber-sumber pendapatan di wilayahnya.
Namun demikian, kewenangan daerah masih terbatas pada
aspek pengelolaan keuangan daerah setelah adanya
pembagian perimbangan keuangan antara pusat dan
daerah. Inisiatif lokal dalam desentralisasi fiskal
idealnya dapat diangkat ke hal yang lebih tinggi lagi, yaitu
daerah dapat berpartisipasi menentukan proporsi
30
perimbangan keuangan sesuai dengan kemampuan
obyektifnya dan menentukan sumber-sumber pendapatan
yang menjadi wewenangnya. Hal ini dikritik sebagai sikap
pemerintah pusat yang setengah hati menerapkan
otonomi daerah (Subiyantoro dan Rifat, 2004).
Pemberian kewenangan yang luas terhadap pemerintah
daerah berdasarkan UU No. 22/1999 idealnya juga
disertakan dengan kewenangan yang luas dalam mengelola
keuangan daerah, dengan demikian daerah dapat
mencari dan mengelola sumber-sumber keuangan daerah
secara optimal dengan tetap tidak keluar dari koridor
kemampuan daerah itu sendiri.
Apabila dicermati lebih jauh pemberian
kewenangan yang luas dalam menyusun perimbangan
keuangan daerah akan berpotensi besar menimbulkan
ketidakstabilan makro ekonomi, karena akan
memunculkan sikap euforia dari daerah yang
menyebabkan daerah kurang memperhatikan
kemampuan keuangan daerah. Kekurangan perhatian
tersebut akan menyebabkan kesenjangan fiskal (fiscal gap)
yang jauh antara daerah yang memiliki sumberdaya
ekonomi yang kuat dan daerah yang memiliki
sumberdaya ekonomi yang lemah. Harus diperhatikan
bahwa aset-aset negara hampir seluruhnya berada di
daerah. Jadi desentralisasi fiskal di samping memiliki
kelebihan dapat mempermudah mobilitas penyaluran
dana dari pusat ke daerah, juga mempunyai kelemahan
berupa potensi instabilitasmakroekonomi, akibat
ketidakseimbangan pengelolaan keuangan oleh daerah.
31
Atas dasar itu, kiranya dapat dipahami, mengapa
pemerintah pusat belum sepenuhnya dapat memberikan
ruang yang cukup besar atas inisiatif lokal dalam
merumuskan dan menyusun perimbangan keuangan
daerah dan pusat.
32
BAB II
KEUANGAN DAERAH
A. Pengertian Keuangan Daerah
Pengertian keuangan daerah sebagaimana yang
dimuat dalam penjelasan pasal 156 ayat 1 Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan
daerah dikatakan bahwa Keuangan daerah adalah semua
hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan
uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang
dapat dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Sejalan dengan hal tersebut pengertian keuangan
daerah sebagai mana dimuat dalam ketentuan umum
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58
Tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan daerah,
disebutkan bahwa keuangan adalah semua hak dan
kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang
termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang
berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah
tersebut.
Dengan pemikian, maka keuangan daerah
tersebut, pada dasarnya menekankan pada dua hal
pokok yaitu tentang hak dan kewajiban pemerintah
daerah yang terkait dengan keuangan daerah.
Pemerintah daerah dalam rangka keuangan daerah
33
adalah segala hak yang melekat pada daerah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang digunakan
dalam usaha pemerintah daerah mengisi kas daerah.
Hak pemerintah Daerah tersebut meliputi antara lain:
(1). hak menarik pajak daerah, (2) hak untuk menarik
retribusi/iuran daerah (3) hak mengadakan pinjaman,
dan (4) hak untuk memperoleh dana perimbangan dari
pusat.
Selanjutnya pemerintah daerah berkewajiban
pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan pusat sesuai yang
tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yaitu: (1)
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, (2) memajukan kesejahteraan
umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4)
ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Kepala Daerah selaku kepala pemerintah daerah
adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan
daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam
kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Oleh
karena itu Kepala Daerah perlu menetapkan pejabat-
pejabat tertentu dan para bendahara untuk melaksanakan
pengelolaan keuangan daerah.
B. Hubungan Antara Keuangan Daerah Dengan
Keuangan Negara
Keuangan daerah dengan keuangan negara pada
dasarnya mempunyai hubungan yang erat dan saling
34
mempengaruhi. Dikatakan demikian karena
penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah
merupakan subsistem dari pemerintahan negara yang
tidak terpisahkan.Pembangunan di daerah sebagai
bagian integral dari pembangunan nasional
dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi daerah dan
pengaturan sumber-sumber daya nasional yang
memberikan kesempatan bagi peningkatan demokrasi
dan kinerja daerah untuk meningkatkan
kesejahteraanmasyarakat menuju masyarakat madani
yang bebas korupsi, kolusi dannepotisme (KKN).
Sumber pembiayaan pemerintahan daerah dalam
rangka perimbangan keuangan pemerintah pusat dan
daerah dilakukan berdasarkan atas dasar desentralisasi,
dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Oleh karena itu
dalam pelaksanaan otonomi daerah diperlukan
kewenangan yang nyata, luas dan bertanggung jawab di
daerah sertasecara proporsional diwujudkan dengan
pengaturan, pembagian danpemanfaatan sumber daya
nasional yang berkeadilan, serta perimbangankeuangan
pemerintah pusat dan daerah.
Pelimpahan kewenangan oleh pemerintah
pusatkepada pemerintah daerah dalam rangka
desentralisasi dan dekonsentrasi disertaidengan
pengalihan sumber daya manusia dan sarana serta
pengalokasiananggaran yang diperlukan untuk
kelancaran pelaksanaan penyerahan danpelimpahan
kewenangan tersebut. Sedangkan penugasan dari
35
pemerintahpusat kepada daerah dalam rangka tugas
pembantuan disertaipengalokasian anggaran.
Ketiga jenis pelimpahan wewenang tersebut,
hanya pelimpahanwewenang dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi saja yang merupakansumber keuangan
daerah melalui alokasi dana perimbangan
daripemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Sedangkan alokasi danadari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah dalam rangkadekonsentrasi dan tugas
pembantuan tidak merupakan sumber penerimaan
APBD dan diadministrasikan serta
dipertanggungjawabkan secara terpisah dari
administrasi keuangan dalam pembiayaan pelaksanaan
desentralisasi.
C. Pengelola Keuangan Daerah
Kepala Daerah selaku kepala pemerintah daerah
adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan
daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam
kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Oleh
karena itu Kepala Daerah perlu menetapkan pejabat-
pejabat tertentu dan para bendahara untuk melaksanakan
pengelolaan keuangan daerah. Para pengelola keuangan
daerah tersebut adalah:
1. Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah
(Koordinator PKD).
2. Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD).
3. Pejabat Pengguna Anggaran/Pengguna Barang
(PPA/PB).
36
4. Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK).
5. Pejabat Penatausahaan Keuangan Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD).
6. Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran.
Berikut ini adalah uraian tentang tugas-tugas para
pejabat pengelola keuangan daerah tersebut.
1. Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan
Daerah
Pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan
daerah sebagaimana yang diatur dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 21 Tahun 2011 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 5 ayat 2
mempunyai kewenangan:
a. Menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan APBD;
b. Menetapkan kebijakan tentang pengelolaan barang
daerah;
c. Menetapkan kuasa pengguna anggaran/pengguna
barang;
d. Menetapkan bendahara penerimaan dan/atau
bendahara pengeluaran;
e. Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan
pemungutan penerimaan daerah;
f. Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan
pengelolaan utang dan piutang daerah;
g. Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan
pengelolaan barang milik daerah; dan
37
h. Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan
pengujian atas tagihan dan
memerintahkanpembayaran.
Kepala daerah selaku pemegang kekuasaan
pengelolaan keuangan daerah melimpahkan sebagian
atau seluruh kekuasaannya kepada:
a. Sekretaris Daerah selaku Koordinator Pengelola
Keuangan Daerah.
b. Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah
(SKPKD) selaku Pejabat Pengelola Keuangan
Daerah (PPKD).
c. Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
selaku pejabat pengguna anggaran/pengguna
barang.
Pelimpahan tersebut ditetapkan dengan keputusan
kepala daerah berdasarkan prinsip pemisahan
kewenangan antara yang memerintahkan, menguji, dan
yang menerima atau mengeluarkan uang, yang
merupakan unsur penting dalam sistem pengendalian
intern.
2. Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah
Sekretaris daerah selaku koordinator pengelolaan
keuangan daerah membantu kepala daerah menyusun
kebijakan dan mengkoordinasikan penyelenggaraan
urusan pemerintahan daerah termasuk pengelolaan
keuangan daerah. Sekretaris Daerah selaku koordinator
38
pengelolaan keuangan daerah sebagai mana yang diatur
dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 21 Tahun
2011 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah
Pasal 6 mempunyai tugas koordinasi di bidang:
a. Penyusunan dan pelaksanaan kebijakan pengelolaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
b. Penyusunan dan pelaksanaan kebijakan pengelolaan
barang daerah.
c. Penyusunan rancangan APBD dan rancangan
perubahan APBD.
d. Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah
(Raperda) APBD, perubahan APBD, dan
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.
e. Tugas-tugas pejabat perencana daerah, Pejabat
Pengelola Keuangan Daerah, dan pejabat pengawas
keuangan daerah.
f. Penyusunan laporan keuangan daerah dalam rangka
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.
Selain mempunyai tugas koordinasi, Sekretaris
Daerah mempunyaitugas:
a. Memimpin Tim Anggaran Pemerintah Daerah,
b. Menyiapkan pedoman pelaksanaan APBD,
c. Menyiapkan pedoman pengelolaan barang daerah,
d. Memberikan persetujuan pengesahan Dokumen
PelaksanaanAnggaran (DPA-SKPD) / Dokumen
Perubahan PelaksanaanAnggaran (DPPA), dan
e. Melaksanakan tugas-tugas koordinasi pengelolaan
keuangan daerah lainnya berdasarkan kuasa yang
dilimpahkan oleh kepala daerah.
39
Koordinator pengelolaan keuangan daerah
bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas-tugas
tersebut kepada kepala daerah.
3. Pejabat Pengelola Keuangan Daerah
Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah
(SKPKD) selaku Pejabat Pengelola Keuangan Daerah
(PPKD) mempunyai tugas:
a. Menyusun dan melaksanakan kebijakan
pengelolaan keuangan daerah,
b. Menyusun rancangan APBD dan rancangan
Perubahan APBD,
c. Melaksanakan pemungutan pendapatan daerah yang
telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah,
d. Melaksanakan fungsi Bendahara Umum Daerah
(BUD),
e. Menyusun laporan keuangan daerah dalam rangka
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD; dan
f. Melaksanakan tugas lainnya berdasarkan kuasa
yang dilimpahkan oleh kepala daerah.
PPKD dalam melaksanakan fungsinya selaku
Bendahara Umum Daerah (BUD) berwenang:
a. Menyusun kebijakan dan pedoman pelaksanaan
APBD;
b. Mengesahkan DPA-SKPD/DPPA-SKPD;
c. Melakukan pengendalian pelaksanaan APBD;
d. Memberikan petunjuk teknis pelaksanaan sistem
penerimaan dan pengeluaran kas daerah;
40
e. Melaksanakan pemungutan pajak daerah;
f. Menetapkan Surat Penyediaan Dana (SPD);
g. Menyiapkan pelaksanaan pinjaman dan pemberian
pinjaman atas nama pemerintah daerah;
h. Melaksanakan sistem akuntansi dan pelaporan
keuangan daerah;
i. Menyajikan informasi keuangan daerah; dan
j. Melaksanakan kebijakan dan pedoman pengelolaan
serta penghapusan barang milik daerah.
PPKD selaku BUD menunjuk pejabat di
lingkungan satuan kerja pengelola keuangan daerah
selaku Kuasa Bendahara Umum Daerah (Kuasa BUD).
PPKD mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya
kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah.
Penunjukan Kuasa BUD oleh PPKD ditetapkan
dengan keputusan kepala daerah. Kuasa BUD
mempunyai tugas:
a. menyiapkan anggaran kas;
b. menyiapkan Surat Penyediaan Dana (SPD);
c. menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana
(SP2D);
d. menyimpan seluruh bukti asli kepemilikan
kekayaan daerah;
e. memantau pelaksanaan penerimaan dan
pengeluaran APBD oleh bank dan/atau lembaga
keuangan lainnya yang ditunjuk;
f. mengusahakan dan mengatur dana yang diperlukan
dalam pelaksanaan APBD;
g. menyimpan uang daerah;
41
h. melaksanakan penempatan uang daerah dan
mengelola/menatausahakan investasi daerah;
i. melakukan pembayaran berdasarkan permintaan
pejabat pengguna anggaran atas beban rekening kas
umum daerah;
j. melaksanakan pemberian pinjaman atas nama
pemerintah daerah;
k. melakukan pengelolaan utang dan piutang daerah;
dan
l. melakukan penagihan piutang daerah.
Kuasa BUD bertanggung jawab atas pelaksanaan
tugasnya kepada BUD.
PPKD dapat melimpahkan kepada pejabat lainnya di
lingkungan SKPKD untuk melaksanakan tugas-tugas
sebagai berikut:
a. menyusun rancangan APBD dan rancangan
Perubahan APBD;
b. melakukan pengendalian pelaksanaan APBD;
c. melaksanakan pemungutan pajak daerah;
d. menyiapkan pelaksanaan pinjaman dan pemberian
jaminan atas nama pemerintah daerah;
e. melaksanakan sistem akuntansi dan pelaporan
keuangan daerah;
f. menyajikan informasi keuangan daerah; dan
g. melaksanakan kebijakan dan pedoman pengelolaan
serta penghapusan barang milik daerah.
42
4. Pejabat Pengguna Anggaran/Pengguna Barang
Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
selaku Pejabat Pengguna Anggaran /Pengguna Barang
(PPA/PB) mempunyai tugas:
a. menyusun Rencana Kerja dan Anggaran SKPD
(RKA-SKPD);
b. menyusun Dokumen Pelaksanaan Anggaran SKPD
(DPA-SKPD);
c. melakukan tindakan yang mengakibatkan
pengeluaran atas beban anggaran belanja;
d. melaksanakan anggaran SKPD yang dipimpinnya;
e. melakukan pengujian atas tagihan dan
memerintahkan pembayaran;
f. melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak;
g. mengadakan ikatan/perjanjian kerjasama dengan
pihak lain dalam batas anggaran yang telah
ditetapkan;
h. menandatangani Surat Perintah Membayar (SPM);
i. mengelola utang dan piutang yang menjadi tanggung
jawab SKPD yang dipimpinnya;
j. mengelola barang milik daerah/kekayaan daerah
yang menjadi tanggung jawab SKPD yang
dipimpinnya;
k. menyusun dan menyampaikan laporan keuangan
SKPD yang dipimpinnya;
l. mengawasi pelaksanaan anggaran SKPD yang
dipimpinnya; dan
43
m. melaksanakan tugas-tugas pengguna
anggaran/pengguna barang lainnya berdasarkan
kuasa yang dilimpahkan oleh kepala daerah.
Pejabat pengguna anggaran/pengguna barang
bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada
Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah.
Pejabat Pengguna Anggaran/Pengguna Barang
dalam melaksanakantugas-tugasnya dapat melimpahkan
sebagian kewenangannyakepada Kepala Unit Kerja
pada SKPD selaku Kuasa PenggunaAnggaran/Kuasa
Pengguna Barang. Pelimpahan sebagiankewenangan
tersebut berdasarkan pertimbangan tingkatan daerah,
besaran SKPD, besaran jumlah uang yang dikelola,
beban kerja, lokasi, kompetensi dan/atau rentang
kendali dan pertimbangan objektif lainnya. Pelimpahan
sebagian kewenangan tersebut ditetapkan oleh kepala
daerah atas usul kepala SKPD. Kuasa pengguna
anggaran/kuasa pengguna barang mempertanggung
jawabkan pelaksanaan tugas-tugasnya kepada pengguna
anggaran/pengguna barang.
5. Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan SKPD
Pejabat Pengguna Anggaran/Pengguna Barang
dan Kuasa Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna
Barang dalam melaksanakan program dan kegiatan
menunjuk pejabat pada unit kerja SKPD selaku Pejabat
Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK). Penunjukan pejabat
tersebut berdasarkan pertimbangan kompetensi jabatan,
44
anggaran kegiatan, beban kerja, lokasi, dan/atau rentang
kendali dan pertimbangan objektif lainnya.
PPTK bertanggung jawab atas pelaksanaan
tugasnya kepada pengguna anggaran/pengguna barang
atau kuasa pengguna anggaran/kuasa pengguna barang
yang telah menunjuknya. Tugas-tugas tersebut adalah:
a. mengendalikan pelaksanaan kegiatan;
b. melaporkan perkembangan pelaksanaan kegiatan;
dan
c. menyiapkan dokumen anggaran atas beban
pengeluaran pelaksanaan kegiatan, yang mencakup
dokumen administrasi kegiatan maupun dokumen
administrasi yang terkait dengan persyaratan
pembayaran yang ditetapkan sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan.
6. Pejabat Penatausahaan Keuangan SKPD
Untuk melaksanakan anggaran yang dimuat dalam
Dokumen Pelaksanaan Anggaran SKPD (DPA-SKPD),
Kepala SKPD menetapkan pejabat yang melaksanakan
fungsi tata usaha keuangan pada SKPD sebagai Pejabat
Penatausahaan Keuangan SKPD (PPKSKPD).
PPK-SKPD mempunyai tugas:
a. meneliti kelengkapan Surat Permintaan
Pembayaran Langsung (SPP-LS) pengadaan barang
dan jasa yang disampaikan oleh bendahara
pengeluaran dan diketahui/ disetujui oleh PPTK;
b. meneliti kelengkapan Surat Permintaan
Pembayaran Uang Persediaan (SPP-UP), Surat
45
Permintaan Pembayaran Ganti Uang Persediaan
(SPP-GU), Surat Permintaan Pembayaran Tambah
Uang Persediaan (SPP-TU) dan SPP-LS gaji dan
tunjangan PNS serta penghasilan lainnya yang
ditetapkan sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang diajukan oleh bendahara
pengeluaran;
c. melakukan verifikasi Surat Permintaan Pembayaran
(SPP);
d. menyiapkan Surat Perintah Membayar (SPM);
e. melakukan verifikasi harian atas penerimaan;
f. melaksanakan akuntansi SKPD; dan
g. menyiapkan laporan keuangan SKPD.
PPK-SKPD tidak boleh merangkap sebagai
pejabat yang bertugas melakukan pemungutan
penerimaan negara/daerah, bendahara, dan/atau PPTK.
7. Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran
Kepala daerah atas usul PPKD menetapkan
Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran
untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka
pelaksanaan anggaran pada SKPD. Bendahara
Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran tersebut adalah
pejabat fungsional. Bendahara Penerimaan dan
Bendahara Pengeluaran baik secara langsung maupun
tidak langsung dilarang melakukan kegiatan
perdagangan, pekerjaan pemborongan dan penjualan
46
jasa atau bertindak sebagai penjamin atas kegiatan/
pekerjaan/penjualan, serta membuka rekening/giro pos
atau menyimpan uang pada suatu bank atau lembaga
keuangan lainnya atas nama pribadi.
Bendahara Penerimaan dan Bendahara
Pengeluaran dalam melaksanakan tugasnya dapat
dibantu oleh Bendahara Penerimaan Pembantu dan/atau
Bendahara Pengeluaran Pembantu. Bendahara
Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran secara
fungsional bertanggung jawab atas pelaksanaan
tugasnya kepada PPKD selaku BUD.
47
BAB III
ANGGARAN PENDAPATAN
DANBELANJA DAERAH (APBD)
eluruh penerimaan pemerintah daerah dan
pengeluaran pemerintah daerah harus dicatat
dan dikelola dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD). Penerimaan dan
pengeluaran pemerintah daerah tersebut adalah
dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas desentralisasi.
Sementara penerimaan pemerintah daerah dan
pengeluaran yang berkaitan dengan pelaksanaan
dekonsentrasi atau tugas pembantuan tidak dicatat
dalam APBD.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
selanjutnya yang disingkat APBD adalah suatu rencana
keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU No. 17
Tahun 2003 pasal 1 butir 8 tentang Keuangan Negara).
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam
satu tahun anggaran. APBD merupakan rencana
pelaksanaan semua pendapatan daerah dan semua
belanja daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi dalam tahun anggaran tertentu.
S
48
Pemungutan semua penerimaan daerah bertujuan
untuk memenuhi target yang ditetapkan dalam
APBD. Demikian pula semua pengeluaran daerah dan
ikatan yang membebani daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi dilakukan sesuai jumlah dan
sasaran yang ditetapkan dalam APBD. Karena APBD
merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah, maka
APBD menjadi dasar pula bagi kegiatan
pengendalian, pemeriksaan dan pengawasan
keuangan daerah.
Tahun anggaran Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah(APBD) sama dengan tahun anggaran
APBN yaitu mulai 1 Januari dan berakhir tanggal 31
Desember tahun yang bersangkutan. Sehingga
pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan keuangan
daerah dapat dilaksanakan berdasarkan kerangka waktu
tersebut.
APBD disusun dengan pendekatan kinerja yaitu
suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya
pencapaian hasil kerja atau output dari perencanaan
alokasi biaya atau input yang ditetapkan. Jumlah
pendapatan yang dianggarkan dalam APBD merupakan
perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat tercapai
untuk setiap sumber pendapatan. Pendapatan dapat
direalisasikan melebihi jumlah anggaran yang telah
ditetapkan. Berkaitan dengan belanja, jumlah belanja
yang dianggarkan merupakan batas tertinggi untuk
setiap jenis belanja. Jadi, realisasi belanja tidak boleh
melebihi jumlah anggaran belanja yang telah
49
ditetapkan. Penganggaran pengeluaran harus
didukung dengan adanya kepastian tersedianya
penerimaan dalam jumlah yang cukup. Setiap pejabat
dilarang melakukan tindakan yang berakibat
pengeluaran atas beban APBD apabila tidak tersedia
atau tidak cukup tersedia anggaran untuk membiayai
pengeluaran tersebut.
A. Fungsi-Fungsi Anggaran Daerah
Berdasarkan Pasal 3 ayat (4) UU No. 17 Tahun
2003 tentang keuangan negara, maka fungsi
APBN/APBD antara lain yaitu :
1. Fungsi Otorisasi
APBD merupakan dasar untuk melaksanakan
pendapatandan belanja pada tahun yang
bersangkutan.
2. Fungsi Perencanaan
APBD merupakan pedoman bagi manajemen dalam
merencanakan kegiatan pada tahun yang
bersangkutan.
3. Fungsi Pengawasan
APBD menjadi pedoman untuk menilai apakah
kegiatan penyelenggaraan pemerintah daerah sesuai
dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
4. Fungsi Alokasi
APBD diarahkan untuk mengurangi pengangguran
dan pemborosan sumber daya, serta
meningkatkan efisiensi dan efektivitas
50
perekonomian.
5. Fungsi Distribusi
APBD harus mengandung arti/ memperhatikan
rasa keadilan dan kepatutan
6. Fungsi Stabilisasi
APBD harus mengandung arti atau harus
menjadi alat untuk memelihara dan
mengupayakan keseimbangan fundamental
perekonomian.
B. Prinsip-Prinsip Anggaran Daerah
Berdasarkan penjelasan dalam Undang Undang No.
17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
perbendaharaan negara, bahwa Prinsip-prinsip dasar
(azas) yang berlaku di bidang pengelolaan APBD
yang berlaku juga dalam pengelolaan anggaran
negara/daerah antara lain adalah azas:
1 . Ke sa t ua n
Azas ini menghendaki agar semua pendapatan dan
belanja negara/daerah disajikan dalam satu dokumen
anggaran.
2. Universali tas
Azas ini mengharuskan agar setiap transaksi
keuangan ditampilkan secara utuh dalam dokumen
anggaran.
3 . T a h u n a n
Azas ini membatasi masa berlakunya anggaran
51
untuk suatu tahun tertentu.
4 . Spes ia l i tas
Azas ini mewajibkan agar kredit anggaran yang
disediakan terinci secara jelas peruntukannya.
5 . A k r u a l
Azas ini menghendaki anggaran suau tahun anggaran
dibebani untuk pengeluaran yang seharusnya
dibayar, atau menguntungkan anggaran untuk
penerimaan yang seharusnya diterima, walaupun
sebenarnya belum dibayar atau belum diterima pada
kas.
6. Kas
Azas ini menghendaki anggaran suatu tahun anggaran
dibebani pada saat terjadi pengeluaran/ penerimaan
uang dari/ ke kas daerah.
Ketentuan mengenai pengakuan dan pengukuran
pendapatan dan belanja berbasis akrual sebagaimana
dimaksud dalam pasal 1 angka 13, 14, 15 dan 16
dalam UU Nomor 17 Tahun 2003, dilaksanakan
selambatlambatnya dalam 5 (lima) tahun. Selama
pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja
berbasis akrual belum dilaksanakan, digunakan
pengakuan dan pengukuran berbasis kas.
C. Struktur APBD
Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) merupakan satu kesatuan yang terdiri dari:
1. Pendapatan Daerah
52
2. Belanja Daerah
3. Pembiayaan
Selisih lebih pendapatan daerah terhadap belanja
daerah disebut surplus anggaran, tapi apabila terjadi
selisih kurang maka hal itu disebut defisit anggaran.
Jumlah pembiayaan sama dengan jumlah surplus atau
jumlah defisit anggaran.
1. Pendapatan Daerah
Pendapatan daerah meliputi semua
penerimaan uang melalui Rekening Kas Umum
Daerah, yang menambah ekuitas dana lancar, yang
merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran
yang tidak perlu dibayar kembali oleh Daerah.
Pendapatan daerah terdiri atas:
a. Pendapatan Asli Daerah (PAD);
b. Dana perimbangan; dan
c. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
2. Belanja Daerah
Komponen berikutnya dari APBD adalah
belanja daerah. Belanja daerah meliputi semua
pengeluaran dari rekening kas umum daerah yang
mengurangi ekuitas dana lancar, yang merupakan
kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran yang
tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh
Daerah. Belanja daerah dipergunakan dalam rangka
pelaksanaan urusan pemerintahan yang
menjadikewenangan provinsi atau kabupaten/kota
53
yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan
yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-
undangan.
3. Pembiayaan Daerah
Pembiayaan daerah meliputi semua penerimaan
yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang
akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang
bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran
berikutnya. Pembiayaan daerah tersebut terdiri
dari penerimaan pembiayaan dan pengeluaran
pembiayaan.
Penerimaan pembiayaan mencakup:
a. SiLPA tahun anggaran sebelumnya;
b. pencairan dana cadangan;
c. hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan;
d. penerimaan pinjaman; dan
e. penerimaan kembali pemberian pinjaman.
Pengeluaran pembiayaan mencakup:
a. pembentukan dana cadangan;
b. penyertaan modal pemerintah daerah;
c. pembayaran pokok utang; dan
d. pemberian pinjaman.
Pembiayaan neto merupakan selisih lebih
penerimaan pembiayaan terhadap pengeluaran
pembiayaan. Jumlah pembiayaan neto harus dapat
menutup defisit anggaran.
54
BAB IV
PENYUSUNAN ANGGARAN
PENDAPATAN DAN BELANJA
DAERAH
A. Siklus Anggaran
Siklus Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD)merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah
dalam masa 1 (satu) tahun anggaran terhitung mulai
tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah disusun
sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan
pemerintahan dan kemampuan keuangan pemerintah
daerah. Dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan,
pemerintah melaksanakan kegiatan keuangan dalam
siklus pengelolaan anggaran yang secara garis besar
terdiri dari:
1. Penyusunan dan Penetapan APBD;
2. Pelaksanaan dan Penatausahaan APBD;
3. Pelaporan dan Pertanggungjawaban APBD.
Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah berpedoman kepada rencana kerja pemerintah
daerah dalam rangka mewujudkan pelayanan kepada
masyarakat untuk tercapainya tujuan bernegara.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, perubahan
55
APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD
setiap tahun ditetapkan dengan peraturan daerah. Dalam
menyusun APBD, penganggaran pengeluaran harus
didukung dengan adanya kepastian tersedianya
penerimaan dalam jumlah yang cukup. Pendapatan,
belanja dan pembiayaan daerah yang dianggarkan dalam
APBD harus berdasarkan pada ketentuan peraturan
perundang-undangan dan dianggarkan secara bruto
dalam APBD.
B. Penyusunan Rancangan APBD
Pemerintah Daerah perlu menyusun Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah untuk menjamin
kecukupan dana dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahannya. Karena itu, perlu diperhatikan
kesesuaian antara kewenangan pemerintahan dan
sumber pendanaannya. Pengaturan kesesuaian
kewenangan dengan pendanaannya adalah sebagai
berikut:
1. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah didanai dari dan atas beban
APBD.
2. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan pemerintah pusat di daerah didanai dari
dan atas beban APBN.
3. Penyelenggaraan urusan pemerintahan provinsi yang
penugasannya dilimpahkan kepada kabupaten/kota
56
dan/atau desa, didanai dari dan atas beban APBD
provinsi.
4. Penyelenggaraan urusan pemerintahan
kabupaten/kota yang penugasannya dilimpahkan
kepada desa, didanai dari dan atas beban APBD
kabupaten/kota.
Seluruh penerimaan dan pengeluaran
pemerintahan daerah baik dalam bentuk uang, barang
dan/atau jasa pada tahun anggaran yang berkenaan
harus dianggarkan dalam APBD. Penganggaran
penerimaan dan pengeluaran APBD harus memiliki
dasar hukum penganggaran. Anggaran belanja daerah
diprioritaskan untuk melaksanakan kewajiban
pemerintahan daerah sebagaimana ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan.
1. Rencana Kerja Pemerintahan Daerah
Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah berpedoman kepada rencana kerja pemerintah
daerah. Karena itu kegiatan pertama dalam penyusunan
APBD adalah penyusunan rencana kerja pemerintah
daerah (RKPD). Pemerintah daerah menyusun RKPD
yang merupakan penjabaran dari rencana pembangunan
jangka menengah Daerah (RPJMD) dengan
menggunakan bahan dari rencana kerja SKPD untuk
jangka waktu 1(satu) tahun yang mengacu kepada
rencana kerja pemerintah pusat.
RKPD tersebut memuat rancangan kerangka
ekonomi daerah, prioritas pembangunan dan kewajiban
57
daerah, rencana kerja yang terukur dan pendanaannya,
baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah,
pemerintah daerah maupun ditempuh dengan
mendorong partisipasi masyarakat. Secara khusus,
kewajiban daerah mempertimbangkan prestasi capaian
standar pelayanan minimal yang ditetapkan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. RKPDdisusun
untuk menjamin keterkaitan dan konsistensi antara
perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan
pengawasan. Penyusunan RKPD diselesaikan paling
lambat akhir bulan Mei sebelum tahun anggaran
berkenaan. RKPD ditetapkan dengan peraturan kepala
daerah.
2. Kebijakan Umum APBD
Setelah rencana kerja pemerintah daerah ditetapkan,
pemerintah daerah perlu menyusun kebijakan umum
anggaran (KUA)APBD serta prioritas dan plafon
anggaran sementara (PPAS) yang menjadi acuan bagi
satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dalam menyusun
rencana kerja dan anggaran (RKA) SKPD.Kepala
daerah menyusun rancangan KUA berdasarkan RKPD
dan pedoman penyusunan APBD yang ditetapkan
menteri dalam negeri setiap tahun. Pedoman
penyusunan APBD yang ditetapkan menteri dalam
negeri tersebut memuat antara lain:
a. pokok-pokok kebijakan yang memuat sinkronisasi
kebijakan pemerintah dengan pemerintah daerah;
58
b. prinsip dan kebijakan penyusunan APBD tahun
anggaran berkenaan;
c. teknis penyusunan APBD; dan
d. hal-hal khusus lainnya.
Rancangan Kebijakan Umum Anggaran (KUA)
memuat target pencapaian kinerja yang terukur dari
program-program yang akan dilaksanakan oleh
pemerintah daerah untuk setiap urusan pemerintahan
daerah yang disertai dengan proyeksi pendapatan
daerah, alokasi belanja daerah, sumber dan penggunaan
pembiayaan yang disertai dengan asumsi yang
mendasarinya. Program-program diselaraskan dengan
prioritas pembangunan yang ditetapkan oleh pemerintah
pusat. Sedangkan asumsi yang mendasari adalah
pertimbangan atas perkembangan ekonomi makro dan
perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal yang
ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Dalam menyusun rancangan KUA, kepala daerah
dibantu oleh tim anggaran pemerintah daerah (TAPD)
yang dipimpin oleh sekretaris daerah. Rancangan KUA
yang telah disusun, disampaikan oleh sekretaris daerah
selaku koordinator pengelola keuangan daerah kepada
kepala daerah, paling lambat pada awal bulan Juni.
Rancangan KUA disampaikan kepala daerah kepada
DPRD paling lambat pertengahan bulan Juni tahun
anggaran berjalan untuk dibahas dalam pembicaraan
pendahuluan RAPBD tahun anggaran berikutnya.
Pembahasan dilakukan oleh TAPD bersama panitia
59
anggaran DPRD. Rancangan KUA yang telah dibahas
selanjutnya disepakati menjadi KUA paling lambat
minggu pertama bulan Julitahun anggaran berjalan.
3. Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara
Selanjutnya berdasarkan KUA yang telah
disepakati, pemerintah daerah menyusun rancangan
prioritas dan plafon anggaran sementara (PPAS).
Rancangan PPAS tersebut disusun dengan tahapan
sebagai berikut:
a. menentukan skala prioritas untuk urusan wajib dan
urusan pilihan;
b. menentukan urutan program untuk masing-masing
urusan; dan
c. menyusun plafon anggaran sementara untuk
masing-masing program.
Kepala daerah menyampaikan rancangan PPAS
yang telah disusun kepada DPRD untuk dibahas paling
lambat minggu kedua bulan Juli tahun anggaran
berjalan. Pembahasan dilakukan oleh TAPD bersama
panitia anggaran DPRD. Rancangan PPAS yang telah
dibahas selanjutnya disepakati menjadi PPA paling
lambat akhir bulan Juli tahun anggaran berjalan.
KUA serta PPA yang telah disepakati, masing-
masing dituangkan ke dalam nota kesepakatan yang
ditandatangani bersama antara kepala daerah dengan
pimpinan DPRD. Dalam hal kepala daerah berhalangan,
60
yang bersangkutan dapat menunjuk pejabat yang diberi
wewenang untuk menandatangani nota kesepakatan
KUA dan PPA.
Dalam hal kepala daerah berhalangan tetap,
penandatanganan nota kepakatan KUA dan PPA
dilakukan oleh penjabat yang ditunjuk oleh pejabat yang
berwenang.
4. Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran SKPD
Berdasarkan nota kesepakatan yang berisi KUA
dan PPAS, TAPD menyiapkan rancangan surat edaran
kepala daerah tentang pedoman penyusunan RKA
SKPD sebagai acuan kepala SKPD dalam menyusun
RKA-SKPD. Rancangan surat edaran kepala daerah
tentang pedoman penyusunan RKA-SKPD mencakup:
a. PPA yang dialokasikan untuk setiap program SKPD
berikut rencana pendapatan dan pembiayaan;
b. sinkronisasi program dan kegiatan antar SKPD
dengan kinerja SKPD berkenaan sesuai dengan
standar pelayanan minimal yang ditetapkan;
c. batas waktu penyampaian RKA-SKPD kepada
PPKD;
d. hal-hal lainnya yang perlu mendapatkan perhatian
dari SKPD terkait dengan prinsip-prinsip
peningkatan efisiensi, efektivitas, transparansi dan
akuntabilitas penyusunan anggaran dalam rangka
pencapaian prestasi kerja; dan
61
e. dokumen sebagai lampiran meliputi KUA, PPA,
kode rekening APBD, format RKASKPD, analisis
standar belanja dan standar satuan harga.
Surat edaran kepala daerah perihal pedoman
penyusunan RKASKPD diterbitkan paling lambat awal
bulan Agustus tahun anggaran berjalan. Berdasarkan
pedoman tersebut, kepala SKPD menyusun RKA-
SKPD. RKA-SKPD disusun melalui pendekatan
kerangka pengeluaran jangka menengah daerah,
penganggaran terpadu dan penganggaran berdasarkan
prestasi kerja. Pendekatan kerangka pengeluaran jangka
menengah daerah dilaksanakan dengan menyusun
prakiraan maju.Prakiraan maju tersebut berisi perkiraan
kebutuhan anggaran untuk program dan kegiatan yang
direncanakan dalam tahun anggaran berikutnya dari
tahun anggaran yang direncanakan.
Pendekatan penganggaran terpadu dilakukan
dengan memadukan seluruh proses perencanaan dan
penganggaran pendapatan, belanja, dan pembiayaan di
lingkungan SKPD untuk menghasilkan dokumen
rencana kerja dan anggaran.
Pendekatan penganggaran berdasarkan prestasi kerja
dilakukan dengan memperhatikan keterkaitan antara
pendanaan dengan keluaran yang diharapkan dari
kegiatan dan hasil serta manfaat yang diharapkan
termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dan keluaran
tersebut.
62
Untuk terlaksananya penyusunan RKA-SKPD
berdasarkan pendekatan kerangka pengeluaran jangka
menengah daerah, penganggaran terpadu dan
penganggaran berdasarkan prestasi kerja, dan
terciptanya kesinambungan RKA-SKPD, kepala SKPD
mengevaluasi hasil pelaksanaan program dan kegiatan 2
(dua) tahun anggaran sebelumnya sampai dengan
semester pertama tahun anggaran berjalan. Evaluasi
tersebut bertujuan menilai program dan kegiatan yang
belum dapat dilaksanakan dan/atau belum diselesaikan
tahun-tahun sebelumnya untuk dilaksanakan dan/atau
diselesaikan pada tahun yang direncanakan atau 1 (satu)
tahun berikutnya dari tahun yang direncanakan. Dalam
hal suatu program dan kegiatan merupakan tahun
terakhir untuk pencapaian prestasi kerja yang
ditetapkan, kebutuhan dananya harus dianggarkan pada
tahun yang direncanakan.
Penyusunan RKA-SKPD berdasarkan prestasi kerja
memperhatikan:
a. Indikator Kinerja
Indikator kinerja adalah ukuran keberhasilan yang
akan dicapai dari program dan kegiatan yang
direncanakan.
b. Capaian Atau Target Kinerja
Capaian kinerja merupakan ukuran prestasi kerja
yang akan dicapai yang berwujud kualitas, kuantitas,
efisiensi dan efektivitas pelaksanaan dari setiap
program dan kegiatan.
c. Analisis Standar Belanja
63
Analisis standar belanja merupakan penilaian
kewajaran atas beban kerja dan biaya yang
digunakan untuk melaksanakan suatu kegiatan.
d. Standar Satuan Harga
Standar satuan harga merupakan harga satuan setiap
unit barang/jasa yang berlaku disuatu daerah yang
ditetapkan dengan keputusan kepala daerah.
e. Standar Pelayanan Minimal
Standar pelayanan minimal merupakan tolok ukur
kinerja dalam menentukan capaian jenis dan mutu
pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib
daerah.
RKA-SKPD memuat rencana pendapatan,
rencana belanja untuk masing-masing program dan
kegiatan, serta rencana pembiayaan untuk tahun yang
direncanakan dirinci sampai dengan rincian objek
pendapatan, belanja, dan pembiayaan serta perkiraan
maju untuk tahun berikutnya. RKA-SKPD juga memuat
informasi tentang urusanpemerintah daerah , organisasi,
standar biaya, prestasi kerja yang
akan dicapai dari program dan kegiatan.
RKA-SKPD yang telah disusun oleh SKPD
disampaikan kepada PPKD untuk dibahas lebih lanjut
oleh TAPD.
5. Penyiapan Raperda APBD
Selanjutnya, berdasarkan RKA-SKPD yang telah
disusun oleh SKPD dilakukan pembahasan penyusunan
64
Raperda oleh TAPD. Pembahasan oleh TAPD
dilakukan untuk menelaah kesesuaian antara RKA-
SKPD dengan KUA, PPA, perkiraan maju yang telah
disetujui tahun anggaran sebelumnya, dan dokumen
perencanaan lainnya, serta capaian kinerja, indikator
kinerja, kelompok sasaran kegiatan, standar analisis
belanja, standar satuan harga, standar pelayanan
minimal, serta sinkronisasi program dan kegiatan antar
SKPD.
Dalam hal hasil pembahasan RKA-SKPD terdapat
ketidaksesuaian, kepala SKPD melakukan
penyempurnaan. RKA-SKPD yang telah disempurnakan
oleh kepala SKPD disampaikan kepada PPKD sebagai
bahan penyusunan rancangan peraturan daerah tentang
APBD dan rancangan peraturan kepala daerah tentang
penjabaran APBD.
Rancangan peraturan daerah tentang APBD
dilengkapi dengan lampiran yang terdiri dari:
a. ringkasan APBD;
b. ringkasan APBD menurut urusan pemerintahan
daerah dan organisasi;
c. rincian APBD menurut urusan pemerintahan
daerah, organisasi, pendapatan, belanja dan
pembiayaan;
d. rekapitulasi belanja menurut urusan pemerintahan
daerah, organisasi, program dan kegiatan;
e. rekapitulasi belanja daerah untuk keselarasan dan
keterpaduan urusan pemerintahan daerah dan fungsi
dalam kerangka pengelolaan keuangan negara;
65
f. daftar jumlah pegawai per golongan dan per
jabatan;
g. daftar piutang daerah;
h. daftar penyertaan modal (investasi) daerah;
i. daftar perkiraan penambahan dan pengurangan aset
tetap daerah;
j. daftar perkiraan penambahan dan pengurangan aset
lain-lain;
k. daftar kegiatan-kegiatan tahun anggaran
sebelumnya yang belum diselesaikan dan
dianggarkan kembali dalam tahun anggaran ini;
l. daftar dana cadangan daerah; dan
m. daftar pinjaman daerah.
Bersamaan dengan penyusunan rancangan perda
APBD, disusun rancangan peraturan kepala daerah
tentang penjabaran APBD. Rancangan peraturan kepala
daerah tersebut dilengkapi dengan lampiran yang terdiri
dari:
a. ringkasan penjabaran APBD;
b. penjabaran APBD menurut urusan pemerintahan
daerah, organisasi, program, kegiatan, kelompok,
jenis, obyek, rincian obyek pendapatan, belanja dan
pembiayaan.
Rancangan peraturan kepala daerah tentang
penjabaran APBD wajib memuat penjelasan sebagai
berikut:
66
a. untuk pendapatan mencakup dasar hukum,
target/volume yang direncanakan, tarif
pungutan/harga;
b. untuk belanja mencakup dasar hukum, satuan
volume/tolok ukur, harga satuan, lokasi kegiatan
dan sumber pendanaan kegiatan;
c. untuk pembiayaan mencakup dasar hukum, sasaran,
sumber penerimaan pembiayaan dan tujuan
pengeluaran pembiayaan.
Rancangan peraturan daerah tentang APBD yang
telah disusun oleh PPKD disampaikan kepada kepala
daerah. Selanjutnya rancangan peraturan daerah tentang
APBD sebelum disampaikan kepada DPRD
disosialisasikan kepada masyarakat. Sosialisasi
rancangan peraturan daerah tentang APBD tersebut
bersifat memberikan informasi mengenai hak dan
kewajiban pemerintah daerah serta masyarakat dalam
pelaksanaan APBD tahun anggaran yang direncanakan.
Penyebarluasan rancangan peraturan daerah tentang
APBD dilaksanakan oleh sekretaris daerah selaku
koordinator pengelolaan keuangan daerah.
6. Penyampaian dan Pembahasan Rancangan Peraturan
Daerah tentang APBD
Kepala daerah menyampaikan rancangan
peraturan daerah tentang APBD beserta lampirannya
kepada DPRD paling lambat pada minggu pertama
bulan Oktober tahun anggaran sebelumnya dari tahun
67
yang direncanakan untuk mendapatkan persetujuan
bersama. Pengambilan keputusan bersama DPRD dan
kepala daerah terhadap rancangan peraturan daerah
tentang APBD dilakukan paling lama 1 (satu) bulan
sebelum tahun anggaran yang bersangkutan
dilaksanakan.
Penyampaian rancangan peraturan daerah tersebut
disertai dengan nota keuangan. Penetapan agenda
pembahasan rancangan peraturan daerah tentang APBD
untuk mendapatkan persetujuan bersama, disesuaikan
dengan tata tertib DPRD masing-masing daerah.
Pembahasan rancangan peraturan daerah tersebut
berpedoman pada KUA, serta PPA yang telah disepakati
bersama antara pemerintah daerah dan DPRD. Dalam
hal DPRD memerlukan tambahan penjelasan terkait
dengan pembahasan program dan kegiatan tertentu,
dapat meminta RKA-SKPD berkenaan kepada kepala
daerah.
Apabila DPRD sampai batas waktu 1 bulan
sebelum tahun anggaran berkenaan, tidak menetapkan
persetujuan bersama dengan kepala daerah terhadap
rancangan peraturan daerah tentang APBD, maka
kepala daerah melaksanakan pengeluaran setinggi-
tingginya sebesar angka APBD tahun anggaran
sebelumnya untuk membiayai keperluan setiap bulan.
Pengeluaran setinggi-tingginya untuk
keperluan setiap bulan tersebut, diprioritaskan untuk
belanja yang bersifat mengikat dan belanja yang bersifat
68
wajib. Belanja yang bersifat mengikat merupakan
belanja yang dibutuhkan secara terus menerus dan harus
dialokasikan oleh pemerintah daerah dengan jumlah
yang cukup untuk keperluan setiap bulan dalam tahun
anggaran yang bersangkutan, seperti belanja pegawai,
belanja barang dan jasa. Sedangkan belanja yang
bersifat wajib adalah belanja untuk terjaminnya
kelangsungan pemenuhan pendanaan pelayanan dasar
masyarakat antara lain pendidikan dan kesehatan
dan/atau melaksanakan kewajiban kepada fihak ketiga.
Atas dasar persetujuan bersama, kepala daerah
menyiapkan rancangan peraturan kepala daerah tentang
penjabaran APBD.
Rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran
APBD tersebut dilengkapi dengan lampiran yang terdiri
dari :
a. ringkasan APBD;
b. ringkasan APBD menurut urusan pemerintahan
daerah dan organisasi;
c. rincian APBD menurut urusan pemerintahan
daerah, organisasi, program, kegiatan, kelompok,
jenis, obyek, rincian obyek pendapatan, belanja dan
pembiayaan;
d. rekapitulasi belanja menurut urusan pemerintahan
daerah, organisasi, program dan kegiatan;
e. rekapitulasi belanja daerah untuk keselarasan dan
keterpaduan urusan pemerintahan daerah dan fungsi
pengelolaan keuangan negara;
69
f. daftar jumlah pegawai per golongan dan per
jabatan;
g. daftar piutang daerah;
h. daftar penyertaan modal (investasi) daerah;
i. daftar perkiraan penambahan dan pengurangan aset
tetap daerah;
j. daftar perkiraan penambahan dan pengurangan aset
lain-lain;
k. daftar kegiatan-kegiatan tahun anggaran
sebelumnya yang belum diselesaikan dan
dianggarkan kembali dalam tahun anggaran ini;
l. daftar dana cadangan daerah; dan
m. daftar pinjaman daerah.
Dalam hal kepala daerah dan/atau pimpinan
DPRD berhalangan tetap, maka pejabat yang ditunjuk
dan ditetapkan oleh pejabat yang berwenang selaku
penjabat/pelaksana tugas kepala daerah dan/atau selaku
pimpinan sementara DPRD yang menandatangani
persetujuan bersama.
Rancangan peraturan kepala daerah tentang
APBD dapat dilaksanakan setelah memperoleh
pengesahan dari menteri dalam negeri bagi provinsi dan
gubernur bagi kabupaten/kota. Sedangkan pengesahan
rancangan peraturan kepala daerah tentang APBD
ditetapkan dengan keputusan menteri dalam negeri bagi
provinsi dan keputusan gubernur bagi kabupaten/kota.
70
Penyampaian rancangan peraturan kepala daerah
untuk memperoleh pengesahan paling lama 15 (lima
belas) hari kerja terhitung sejak DPRD tidak
menetapkan keputusan bersama dengan kepala daerah
terhadap rancangan peraturan daerah tentang APBD.
Apabila dalam batas waktu 30 (tiga puluh) hari
kerja mendagri/gubernur tidak mengesahkan rancangan
peraturan kepala daerah tentang APBD, kepala daerah
menetapkan rancangan peraturan kepala daerah
dimaksud menjadi peraturan kepala daerah. Khusus
untuk pengeluaran, diatur bahwa pelampauan batas
tertinggi dari jumlah pengeluaran, hanya diperkenankan
apabila ada kebijakan pemerintah untuk kenaikan gaji
dan tunjangan PNS serta penyediaan
dana pendamping atas program dan kegiatan yang
ditetapkan oleh pemerintah serta bagi hasil pajak daerah
dan retribusi daerah yang ditetapkan dalam undang-
undang.
7. Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD
Rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang
Penjabaran APBD Rancangan peraturan daerah provinsi
tentang APBD yang telah disetujui bersama DPRD dan
rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran
APBD sebelum ditetapkan oleh gubernur paling lama
3(tiga) hari kerja disampaikan terlebih dahulu kepada
Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi. Penyampaian
rancangan disertai dengan:
71
a. persetujuan bersama antara pemerintah daerah dan
DPRD terhadap rancangan peraturan daerah tentang
APBD;
b. KUA dan PPA yang disepakati antara kepala
daerah dan pimpinan DPRD;
c. risalah sidang jalannya pembahasan terhadap
rancangan peraturan daerah tentang APBD; dan
d. nota keuangan dan pidato kepala daerah perihal
penyampaian pengantar nota keuangan pada sidang
DPRD.
Evaluasi bertujuan untuk tercapainya keserasian
antara kebijakan daerah dan kebijakan nasional,
keserasian antara kepentingan publik dan kepentingan
aparatur serta untuk meneliti sejauh mana APBD
provinsi tidak bertentangan dengan kepentingan umum,
peraturan yang lebih tinggi dan/atau peraturan daerah
lainnya yang ditetapkan oleh provinsi bersangkutan.
Untuk efektivitas pelaksanaan evaluasi, menteri dalam
negeri dapat mengundang pejabat pemerintah daerah
provinsi yang terkait.
Hasil evaluasi dituangkan dalam keputusan
menteri dalam negeri dan disampaikan kepada gubernur
paling lama 15 (lima betas) hari kerja terhitung sejak
diterimanya rancangan dimaksud. Apabila menteri
dalam negeri menyatakan hasil evaluasi atas rancangan
peraturan daerah tentang APBD dan rancangan
peraturan gubernur tentang penjabaran APBD sudah
sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan
72
perundang-undangan yang lebih tinggi, gubernur
menetapkan rancangan dimaksud menjadi peraturan
daerah dan peraturan gubernur.
Dalam hal menteri dalam negeri menyatakan
bahwa hasil evaluasi rancangan peraturan daerah
tentang APBD dan rancangan peraturan gubernur
tentang penjabaran APBD bertentangan dengan
kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi, gubernur bersama DPRD
menyempurnakan paling lama 7 (tujuh) hari kerja
terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi. Apabila hasil
evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh gubernur dan DPRD,
dan gubernur tetap menetapkan rancangan peraturan
daerah tentang APBD dan rancangan peraturan
gubernur tentang penjabaran APBD menjadi peraturan
daerah dan peraturan gubernur, menteri dalam negeri
membatalkan peraturan daerah dan peraturan gubernur
dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu
APBD tahun sebelumnya.
Pembatalan peraturan daerah dan peraturan
gubernur serta pernyataan berlakunya pagu APBD tahun
sebelumnya ditetapkan dengan peraturan menteri dalam
negeri. Sementara itu, rancangan peraturan daerah
kabupaten/kota tentang
APBD yang telah disetujui bersama DPRD dan
rancangan peraturan bupati/walikota tentang penjabaran
APBD sebelum ditetapkan oleh bupati/walikota paling
lama 3 (tiga) hari kerja disampaikan kepada gubernur
untuk dievaluasi. Pelaksanaan dan ketentuan evaluasi
73
adalah sebagaimana halnya evaluasi oleh menteri dalam
negeri untuk rancangan APBD provinsi.
Pembatalan peraturan daerah dan peraturan
bupati/walikota dan pernyataan berlakunya pagu APBD
tahun sebelumnya ditetapkan dengan peraturan
gubernur. Paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah
pembatalan, kepala daerah harus memberhentikan
pelaksanaan peraturan daerah dan selanjutnya DPRD
bersama kepala daerah mencabut peraturan daerah
dimaksud. Pencabutan peraturan daerah tersebut
dilakukan dengan peraturan daerah tentang pencabutan
peraturan daerah tentang APBD.
Pelaksanaan pengeluaran atas pagu APBD tahun
sebelumnya, ditetapkan dengan peraturan kepala daerah.
Penyempurnaan hasil evaluasi dilakukan kepala daerah
bersama dengan panitia anggaran DPRD. Hasil
penyempurnaan ditetapkan oleh pimpinan DPRD.
Keputusan pimpinan DPRD dijadikan dasar penetapan
peraturan daerah tentang APBD.
Keputusan pimpinan DPRD bersifat final dan
dilaporkan pada sidang paripurna berikutnya. Sidang
paripurna berikutnya yakni setelah sidang paripurna
pengambilan keputusan bersama terhadap rancangan
peraturan daerah tentang APBD.
Keputusan pimpinan DPRD disampaikan kepada
menteri dalam negeri bagi APBD provinsi dan kepada
gubernur bagi APBD kabupaten/kota paling lama 3
(tiga) hari kerja setelah keputusan tersebut ditetapkan.
74
Dalam hal pimpinan DPRD berhalangan tetap, maka
pejabat yang ditunjuk dan ditetapkan oleh pejabat yang
berwenang selaku pimpinan sementara DPRD yang
menandatangani
keputusan pimpinan DPRD.
Gubernur menyampaikan hasil evaluasi yang
dilakukan atas rancangan peraturan daerah
kabupaten/kota tentang APBD dan rancangan peraturan
bupati/walikota tentang penjabaran APBD kepada
menteri dalam negeri.
8. Penetapan Peraturan Daerah
Penetapan Peraturan Daerah tentang APBD dan
Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD
Rancangan peraturan daerah tentang APBD dan
rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran
APBD yang telah dievaluasi ditetapkan oleh kepala
daerah menjadi peraturan daerah tentang APBD dan
peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD.
Penetapan rancangan peraturan daerah tentang APBD
dan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD
tersebut dilakukan paling lambat tanggal 31 Desember
tahun anggaran sebelumnya.
Dalam hal kepala daerah berhalangan tetap, maka
pejabat yang ditunjuk dan ditetapkan oleh pejabat yang
berwenang selaku penjabat/pelaksana tugas kepala
daerah yang menetapkan peraturan daerah tentang
APBD dan peraturan kepala daerah tentang penjabaran
APBD.
75
Kepala daerah menyampaikan peraturan daerah
tentang APBD dan peraturan kepala daerah tentang
penjabaran APBD kepada mendagri bagi provinsi dan
gubernur bagi kabupaten/kota paling lama 7 (tujuh) hari
kerja setelah ditetapkan.
9. Perubahan APBD
Penyesuaian APBD sesuai dengan perkembangan
dan/atau perubahan keadaan, dibahas bersama DPRD
dengan pemerintah daerah dalam rangka penyusunan
prakiraan perubahan APBD tahun anggaran yang
bersangkutan, apabila terjadi:
a. perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi
KUA;
b. keadaan yang menyebabkan harus dilakukan
pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar
kegiatan, dan antar jenis belanja;
c. keadaan yang menyebabkan saldo anggaran Iebih
tahun sebelumnya harus digunakan dalam tahun
berjalan;
d. keadaan darurat; dan
e. keadaan luar biasa.
Dalam keadaan darurat, pemerintah daerah dapat
melakukan pengeluaran yang belum tersedia
anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam
rancangan perubahan APBD, dan/atau disampaikan
dalam laporan realisasi anggaran. Keadaan darurat
76
tersebut sekurang-kurangnya memenuhi kriteria berikut
ini:
a. bukan merupakan kegiatan normal dari aktivitas
pemerintah daerah dan tidak dapat diprediksikan
sebelumnya;
b. tidak diharapkan terjadi secara berulang;
c. berada di luar kendali dan pengaruh pemerintah
daerah; dan
d. memiliki dampak yang signifikan terhadap anggaran
dalam rangka pemulihan yang disebabkan oleh
keadaan darurat.
Perubahan APBD hanya dapat dilakukan 1 (satu)
kali dalam 1 (satu) tahun anggaran, kecuali dalam
keadaan luar biasa. Keadaan luar biasa tersebut adalah
keadaan yang menyebabkan estimasi penerimaan
dan/atau pengeluaran dalam APBD mengalami
kenaikan atau penurunan lebih besar dari 50%.
Pelaksanaan pengeluaran atas pendanaan keadaan
darurat dan/atau keadaan luar biasa ditetapkan dengan
peraturan kepala daerah. Realisasi pengeluaran atas
pendanaan keadaan darurat dan/atau keadaan luar biasa
tersebut dicantumkan dalam rancangan peraturan daerah
tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.
Pemerintah daerah mengajukan rancangan
peraturan daerah tentang perubahan APBD tahun
anggaran yang bersangkutan untuk mendapatkan
persetujuan DPRD sebelum tahun anggaran yang
bersangkutan berakhir. Persetujuan DPRD terhadap
77
rancangan peraturan daerah tersebut selambat-
lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya tahun
anggaran.
Proses evaluasi dan penetapan rancangan
peraturan daerah tentang perubahan APBD dan
rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran
perubahan APBD menjadi peraturan daerah dan
peraturan kepala daerah berlaku ketentuan seperti
halnya evaluasi dan penetapan rancangan APBD.
Apabila hasil evaluasi tersebut tidak ditindaklanjuti oleh
kepala daerah dan DPRD, dan kepala daerah tetap
menetapkan rancangan peraturan daerah tentang
perubahan APBD dan rancangan peraturan kepala
daerah tentang penjabaran perubahan APBD, peraturan
daerah dan peraturan kepala daerah dimaksud
dibatalkan dan sekaligus menyatakan berlakunya pagu
APBD tahun berjalan termasuk untuk pendanaan
keadaan darurat.
Pembatalan peraturan daerah tentang perubahan
APBD provinsi dan peraturan gubernur tentang
penjabaran perubahan APBD dilakukan oleh menteri
dalam negeri. Pembatalan peraturan daerah tentang
perubahan APBD kabupaten/kota dan peraturan
bupati/walikota tentang penjabaran perubahan APBD
dilakukan oleh gubernur.
Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan
tentang pembatalan, Kepala daerah wajib
memberhentikan pelaksanaan peraturan daerah tentang
78
perubahan APBD dan selanjutnya kepala daerah
bersama DPRD mencabut peraturan daerah dimaksud.
Pencabutan peraturan daerah tersebut dilakukan dengan
peraturan daerah tentang pencabutan peraturan daerah
tentang perubahan APBD.
79
BAB V
MANAJEMEN PENERIMAAN DAERAH
elaksanaan otonomi daerah membawa dampak
dalam pengelolaan keuangan daerah, di mana
daerah diberi kewenangan yang sangat besar
dalam mengatur dan mengelola keuangannya sendiri.
Agar pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah dapat
berjalan dengan benar danbaik, maka pemerintah
Republik Indonesia, mengaturnya dalam Undang-
Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan
daerah pasal 155 yang menyatakan: (1)
Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah didanai dari dan atas beban
anggaran pendapatan dan belanja daerah, (2)
Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan Pemerintah di daerah didanai dari dan atas
beban anggaran pendapatan dan belanja negara. (3)
Administrasi pendanaan penyelenggaraan urusan
pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara terpisah dari administrasi pendanaan
penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).Selain hal tersebut, dalam
rangka menyelenggarakan pemerintah, pemerintah di
P
80
daerah diberikan sumber-sumber keuangan yang akan
digunakan untuk pembiayaan berbagai tugas dan
tanggung jawabnya. Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah
pasal 157 menyatakan:Sumber pendapatan daerah
terdiri atas:
a. pendapatan asli daerah yang selanjutnya disebut
PAD, yaitu:
1) hasil pajak daerah;
2) hasil retribusi daerah;
3) hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan; dan
4) lain-lain PAD yang sah;
b. dana perimbangan; dan
c. lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Dana perimbangan yang pada pasal 157 huruf b
terdiri atas; (a) dana bagai hasil, (b) dana alokasi
umum, dan (c) dana alokasi khusus.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintahan Daerah pasal 5 menyatakan:
1. Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan Desentralisasi
terdiri atas Pendapatan Daerah dan Pembiayaan.
2. Pendapatan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) bersumber dari:
a. Pendapatan Asli Daerah;
b. Dana Perimbangan; dan
c. Lain-lain Pendapatan.
81
3. Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bersumber dari:
a. sisa lebih perhitungan anggaran Daerah;
b. penerimaan Pinjaman Daerah;
c. Dana Cadangan Daerah; dan
d. hasil penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan.
A. Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah
penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber
yang ada di wilayahnya sendiri, yang dipungut
berdasarkan Peraturan Daerah (PERDA). PAD
diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan
daerah.
Kewenangan daerah untuk memungut PAD diatur
dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 1997
sebagaimana telah disempurnakan dalam Undang-
Undang Nomor 34 tahun 2000, dan selanjutnya
Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009. Undang-
undang ini mencerminkan keleluasaan daerah untuk
menggali sumber-sumber pembiayaan dari daerahnya
sendiri seperti pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil
perusahaan milik daerah, dan hasil pengelolaan
kekayaan daerah, dan lain-lain PAD yang syah.
82
1. Pajak Daerah
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tersebut,
Pasal 1 ayat 10 dikatakan bahwa; Pajak Daerah, yang
selanjutnya disebut Pajak, adalahkontribusi wajib
kepada Daerah yang terutang oleh orangpribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkanUndang-
Undang, dengan tidak mendapatkan imbalansecara
langsung dan digunakan untuk keperluan Daerahbagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berdasarkan undang-undang tersebut, maka
daerah (baik provinsi maupun kabupaten/kota)
diberikan kewenangan untuk memungut berbagai jenis
pajak sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 6.
Jenis dan Tarif Pajak Provinsi
Jenis Pajak Tarif (max)
1. Pajak kendaraan
bermotor
2. Bea balik Nama
Kendaraan
bermotor
3. Pajak bahan
bakar kendaraan
bermotor
4. Pajak Air
Permukaan; dan 5. Pajak Rokok
1 S/D 2 % untuk kendaraan pertama
2 s/10 % untuk kendaraan kedua dan
seterusnya
Penyerahan pertama sebesar maksimum
20%
penyerahan kedua dan seterusnya sebesar
maksimum1%
Maksimum sebesar 10% dari nilai
jual bahan bakar
Maksimum sebesar 10% dari nilai
perolehan 10 % dari cukai rokok
Sumber: Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
83
Jenis dan Tarif Pajak Kabupaten/Kota Jenis Pajak Tarif (max)
a. Pajak Hotel b. Pajak Restoran
c. Pajak Hiburan
d. Pajak Reklame e. Pajak
Penerangan
Jalan f. Pajak Mineral
Bukan Logam
dan Batuan g. Pajak Parkir h. Pajak Air Tanah i. Pajak Sarang
Burung Walet j. Pajak Bumi dan
Bangunan
Perdesaan dan
Perkotaan k. Bea Perolehan
Hak atas Tanah
dan Bangunan.
- paling tinggi sebesar 10 % - paling tinggi sebesar 10 % - paling tinggi sebesar 35 %. - Khusus untuk Hiburan berupa
pagelaran busana, konteskecantikan,
diskotik, karaoke, klub malam,
permainanketangkasan, panti pijat,
dan mandi uap/spa, tarif
PajakHiburan dapat ditetapkan paling
tinggi sebesar 75%
- paling tinggi sebesar 25 %. - paling tinggi sebesar 10 %. - paling tinggi sebesar 25 %. - paling tinggi sebesar 30 %. - paling tinggi sebesar 20 %. - paling tinggi sebesar 10 %.
- paling tinggi sebesar 0,3 %. - paling tinggi sebesar 5 %.
Sumber: Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
84
2. Pajak Kendaraan Bermotor
Seiring dengan meningkatnya jumlah
kepemilikan kendaraan bermotor maka jumlah wajib
pajak kendaraan pribadi makin tinggi pula. Hal ini, tentu
menjadi salah satu sumber pemasukan yang seksi bagi
daerah, terutama untuk menambah pundi-pundi
penerimaan daerah. Untuk mengakomodir itu,
pemerintah provinsi memiliki kewenangan dalam
memungut pajak kendaraan bermotor terus mem-
perbaiki regulasi yang ada.
Pajak progresif adalah tarif pemungutan pajak
dengan persentase yang naik dengan semakin besarnya
jumlah yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak,
dan kenaikan persentase untuk setiap jumlah tertentu
setiap kali naik. Bagi yang memiliki kendaraan
bermotor lebih dari satu dikenakan pajak progresif.
Artinya, bagi kepemilikan kendaraan yang ke dua dan
seterusnya nominal pembayaran pajaknya akan lebih
besar dibandingkan dengan kepemilikan kendaraan
pertama.
Hal ini tentu baik untuk mengendalikan jumlah
kepemilikan kendaraan pribadi perorangan sehingga
laju pertumbuhan kendaraan dapat dibatasi. Hal ini
terkait dengan jumlah kendaraan yang beredar dijalan
raya saat ini yang tentu jika tidak dilakukan
pengendalian maka akan menimbulkan dampak ikutan
berikutnya. Salah satu yang paling krusial saat ini,
jumlah kendaraan bermotor yang beredar dijalan raya
sungguh sangat tidak sebanding dengan pertumbuhan
85
atau pertambahan jalan yang ada. Jika pertumbuhan
kendaraan berlaku deret ukur, sementara pertumbuhan
jalan raya berlaku deret hitung.
Cepatnya pertumbuhan jumlah kendaraan
bermotor disatu sisi merupakan langkah bagus bagi
geliat ekonomi secara makro karena dengan
kemampuan daya beli yang kian baik, menandakan
bahwa ekonomi makin bergairah dan bertumbuh namun
disisi lain nafsu untuk memiliki kendaraan lebih dari
satu juga tidak akan terbendung.
Sementara, potensi pasar kendaraan bermotor
yang gemuk menjadi daya tarik tersendiri bagi industri
otomotif nasional maupun internasional untuk ikut
bermain dipangsa pasar otomotif tanah air, hal ini
terkait pula dengan regulasi kepemilikan kendaraan
yang kian mudah. Akses memiliki kendaraan yang tidak
berbelit-belit disertai angsuran yang murah dan
berbunga kompetitif menjadi daya tarik tersendiri bagi
konsumen kendaraan tanah air.
Bahkan saat ini, untuk memperoleh kendaraan
bermotor, berbagai jasa keuangan tumbuh subur dengan
prosedur dan layanan memadai dan memanjakan konsu-
men, disertai tata cara yang singkat dan ringkas,
sehingga hanya dalam hitungan menit kendaraan
bermotor sudah bisa dioperasionalkan dan berpindah
tangan. Kemudahan-kemudahan seperti ini merangsang
konsumen untuk membeli kendaraan bermotor roda dua
maupun roda empat dengan DP murah, walau
86
tidak cash, tetapi bisa dilakukan dengan kredit murah
dan berjangka lama.
Faktanya, kepemilikan kendaraan pribadi
meningkat tajam, walau secara pendapatan jumlah
pembayaran yang dibelanjakan untuk kredit kendaraan
kadang-kadang sudah tidak sesuai dengan kemampuan
pendapatan yang bersangkutan. Namun, gencarnya
promosi dan layanan murah yang diberikan sehingga
industri otomotif tidak pernah kekurangan konsumen.
Sementara pemerintah sebagai regulator perlu
mengatur nafsu kepemilikan yang besar dengan
memberlakukan pajak progresif. Sehingga beban pajak
kendaraan yang ditagih akan menjadi salah satu solusi
penting mengerem nafsu kepemilikan kendaraan
tersebut. Namun, pertanyaannya efektifkah pelaksanaan
pajak progresif terutama dikaitkan dengan ketersediaan
infrastruktur dilapangan, terutama unit kerja yang
berfungsi mengeksekusi peraturan daerah tersebut?.
Fakta menunjukkan banyak daerah dengan ins-
tansi terkait terutama dinas pendapatan daerah yang me-
miliki cabang disetiap kabupaten (samsat), masih belum
memiliki sistem yang shahih untuk menguji
kepemilikan kendaraan pribadi perorangan, terutama
bila kaitkan dengan Identitas Kepemilikan
Kendaraan.Sebagai contoh saja, jika si A memiliki
kendaraan lebih dari satu, aturannya yang berangkutan
wajib dikenakan pajak progresif untuk kendaraan kedua
dan seterusnya sesuai klasifikasi pajak kendaraan yang
dikenakan, tetapi bagaimana kalau seandainya si A telah
87
menjual kendaraan pertamanya kepada orang lain,
katakanlah si B, lalu ketika si B akan membayar pajak,
petugas akan menagih persyaratan yang
ditentukan.Tetekbengek persyaratan mulai dari KTP,
BPKB dan STNK menjadi syarat utama. Tidak jarang
wajib pajak kesulitan memperoleh KTP sipenjual karena
berbagai alasan. Sehingga ketika nomor polisi
kendaraan diinput ke sistem komputerisasi, akan
terbaca data kendaraan dengan KTP di blok.
Artinya si wajib pajak tidak bisa membayar
pajak karena hanya persoalan KTP, petugas beralasan
apabila ini diloloskan si pemilik kendaraan pertama
akan konplain kepada Samsat terutama jika kendaraanya
nanti masuk dan dikenakan pajak progresif. Sementara
yang bersangkutan riilnya hanya punya satu kendaraan
misalnya.
Namun, persoalan ini jika dianalisis akan makin
kompleks karena apabila kepemilikan kendaraan dida-
sarkan pada KTP manual yang saat ini masih berlaku,
maka data yang ada termasuk kepemilikan kendaraan
masih akan sangat rancu. Seorang bisa saja memiliki
KTP ganda, sehingga bisa saja disiasati untuk
menghindari pajak progresif ini.Termasuk penggunaan
Kartu Keluarga (KK) manual yang dikeluarkan
pemerintah daerah, kecuali KK yang sudah menjadi
dasar penerbitan KTP elektronik yang saat ini
berlangsung. Ditengah proses penyelesaian E-KTP yang
masih berjalan, tentu celah hukum ini masih menjadi
88
lubang yang perlu perhatian serius pihak berkepentingan
untuk meninjau ulang pemberlakukan pajak progresif,
setidaknya, menunggu pelaksanaan efektif E-KTP yang
tengah berproses.
Untuk itu, pemerintah Propinsi perlu mereviev
tingkat partisipasi masyarakat dalam menyukseskan
pelaksanaan Pajak Progresif kendaraan ini, terkait
dengan masih terbukanya peluang untuk memanipulasi
data kependudukan terutama KTP manual yang masih
berlaku dan belum dicabut. Termasuk kesiapan sarana
pendukung unit kerja yang tupoksinya bersentuhan
langsung dengan eksekusi pelaksanaan perda dimaksud
dilapangan.
Kedepan perlu kajian konprehensif sehingga
berbagai kendala yang dihadapi dilapangan bisa diinput
sebagai bahan masukan sehingga dalam kerangka positif
bisa menjadi masukan yang dapat menjadi perbaikan
bagi pelaksanaan pajak progresif ini. Memang secara
kasat mata proses pelayanan publik dikantor Samsat
khususnya, sudah mengalami perbaikan signifikan,
terutama kenyamanan, dan kejelasan serta durasi waktu
yang tersedia.
Kepastian waktu dan biaya merupakan salah satu
bentuk perbaikan yang signifikan, namun tidak tertutup
kemungkinan dicelah-celahnya ada petugas yang masih
memakai baju paradigma lama, kalau bisa dipersulit
mengapa harus dipermudah. Sehingga biaya ekstra yang
dikeluarkan wajib pajak terasa tidak perlu dan
membebani. Untuk itu kedepan perlu unit khusus yang
89
mengawasi tindak tanduk percaloan yang masih terjadi
di banyak tempat di samsat kita, dan angin perubahan
itu semakin kencang karena complain atau kritik
masyarakat dan suara-sauara yang mendesak agar
pelayanan publik bagi wajib pajak makin persuasif dan
akomodatif merupakan hal mendesak untuk dilakukan.
3. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
Menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun2009,
bea balik nama kendaraan bermotor(BBN-KB) adalah
pajak atas penyerahan hakmilik kendaraan bermotor
sebagai akibatperjanjian dua pihak atau perbuatan
sepihakatau keadaan yang terjadi karena jual beli,tukar-
menukar, hibah, warisan, ataupemasukan ke dalam
badan usaha. Subjekpajak BBN-KB adalah orang
pribadi ataubarang yang dapat menerima
penyerahankendaraan bermotor. Wajib pajak BBN-
KBwajib mendaftarkan penyerahan KB dalamjangka
waktu paling lambat 30 (tiga puluh) harikerja sejak saat
penyerahan. Penguasaankendaraan melebihi 12 (dua
belas) bulan di luarperjanjian sewa beli dapat dianggap
sebagaipenyerahan. Pembayaran bea balik
namakendaraan bermotor dilakukan pada
saatpendaftaran.
Faktor-faktor yang menjadi kendala
dalammelaksanakan strategi meningkatkanbeabalik
nama kendaraan bermotor pada beberapa provinsi antara
lain: 1) sanksi hukum yangkurang tegas bagi wajib
90
pajak dan 2) kualitasSDM yang terbatas terutama untuk
tenagaoperasional. Brooks (2001)
menggambarkanbahwa kesulitan dalam pemenuhan
kepatuhanperpajakan karena terdapat perbedaan
pentingantara hukum pajak dengan hukum yang
lain,yaitu untuk dapat mematuhi hukum pajakpenduduk
harus berhadapan dengankompleksitas aturan dan
bahkan serangkaianaktivitas yang membutuhkan biaya
yang tinggi.
Untuk itu, kebijakan harus memilih di antaradua
alasan utama yaitu penerapan keadilanyang dapat
menyebabkan peraturan perpajakanyang kompleks atau
mengurangi biayakepatuhan dengan penyederhanaan
peraturandan prosedur.Selain itu, kualitas sumber daya
manusiaaparatur pajak yang kurang baik dari
sisikualitas maupun kuantitas serta terbatasnyatenaga
operasional juga menjadi kendalakelancaran dalam
pemberian pelayanan kepadapara wajib pajak. Hal ini
diungkapkan olehVazquez(2004) bahwakelemahan
sistem perpajakan yang umumnyaterjadi biasanya
ditandai dengan prosedur yangsudah usang, pegawai
yang dibayar rendah,pegawai yang kurang terlatih,
sistem perpajakanyang terlalu kompleks sehingga sulit
untukmencapai efisiensi administrasi dengan
sumberdaya yang tersedia sangat minim bagi
kantorpelayanan pajak, keengganan pemerintah
untukmenegakkan sistem yang ada dan cenderunghanya
menunggu bola.
91
4. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah
pajak atas bahan bakar yang disediakan atau dianggap
digunakan untuk kendaraan bermotor, termasuk bahan
bakar yang digunakan untuk kendaraan diatas air.
Seiring dengan meningkatnya jumlah kendaraan
bermotor, maka potensi penggunaan bahan bakar
kendaraan bermotor juga meningkat. Karena potensi
bagai provinsi untuk meningkatkan penerimaannya
terutama dari pajak bahan bakar kendaraan bermotor.
Untuk meningkatkan penerimaan dari pajak
bahan bakar kendaraan bermotor, maka pemerintah
provinsi perlu menjalan kerja sama yang baik dengan
pihak pertamina dan sebagai produsen dan sekaligus
distributor bahan bakar kendaraan bermotor guna
menghindari terjadinya kebocoran dalam penerimaan
daerah.
5. Pajak Air Permukaan
Pajak Air Permukaan adalah pajak atas
pengambilan dan atau pemanfaatan air permukaan. Air
Permukaan adalah semua air yang terdapat pada
permukaan tanah, tidak termasuk air laut, baik yang
berada di laut maupun di darat. Pajak Air Permukaan
semula bernama Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan
Air Bawah Tanah dan Air Permukaan (PPPABTAP)
92
berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000.
Hanya saja berdasarkan Undang-Undang Nomor 2009,
PPPABTAP dipecah menjadi dua jenis pajak, yaitu
Pajak Air Permukaan dan Pajak Air Bawah Tanah.
Pajak Air Permukaan dimasukkan sebagai Pajak
Provinsi, sedangkan Pajak Air Bawah Tanah ditetapkan
menjadi Pajak Kabupaten/Kota.
6. Pajak Rokok
Pajak rokok adalah pungutan atas cukai rokok
yang dipungut oleh pemerintah pusat. Cukai rokok di
Indonesia dipungut berdasarkan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana
diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007.
Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap
barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau
karakteristik yang ditetapkan dalam Undang-Undang
Cukai.
Tarif Pajak rokok ditetapkan sebesar 10% dari
cukai rokok. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
pada penjelasan Pasal 29 menyatakan bahwa pada saat
diberlakukannya ketentuan mengenai Pajak Rokok,
pengenaan Pajak Rokok sebesar sepuluh persen dari
cukai rokok diperhitungkan dalam penetapan tarif cukai
nasional.
Sebagai contoh, dalam tahun 2011 penerimaan
cukai nasional sebesar 100, dan diproyeksikan
meningkat 10% setiap tahunnya sesuai dengan peta
jalur industri rokok nasional. Tanpa adanya pengenaan
Pajak Rokok oleh daerah, penerimaan cukai nasional
93
tahun 2012 menjadi 110, kemudian menigkat menjadi
121 di tahun 2013. Pada tahun 2014, saat mulai
diberlakukannya Pajak Rokok, penerimaan cukai
nasional diproyeksikan sebesar 133, yang terdiri dari
121 sebagai penerimaan cukai pemerintah pusat dan 12
sebagai Pajak Rokok untuk daerah. Pola ini berlanjut
untuk tahun 2015 dan seterusnya.
7. Pajak Hotel
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 Pasal 1 angka 20 dan21, Pajak Hotel adalah
pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel.
Sedangkanyang dimaksud dengan hotel adalah fasilitas
penyedia jasa penginapan/ peristirahatantermasuk jasa
terkait lainnya dengan dipungut bayaran, yang
mencakup juga motel,losmen, gubuk pariwisata, wisma
pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan
dansejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah kamar
lebih dari sepuluh.
Seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan
kunjungan wisata baik mancanegara negara maupun
lokal, maka pembangunan hotel semakin hari semakin
meningkat. Oleh karena pemerintah daerah memiliki
potensi yang cukup besar dalam meningkatkan
penerimaannya terutama dari pajak hotel. Oleh karena
itu diperlukan suatu kebijakan yang cerdas dari masing-
masing daerah untuk meningkatkan penerimaan dari
pajak hotel.
94
8. Pajak Restoran
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
pengertian Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan
yang disediakan oleh restoran. Restoran adalah fasilitas
penyedia makanan dan/atau minuman dengan dipungut
bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria,
kantin, warung, bar, dan sejenisnya termasuk jasa
boga/katering.
Dasar pengenaan Pajak Restoran adalah jumlah
pembayaran yang diterima atau yang seharusnya
diterima restoran. Pengenaan Pajak Restoran
berdasarkan pada jumlah pembayaran yang diterima.
Tarif Pajak Restoran adalah sebesar 10% (sepuluh
persen) dan ditetapkan berdasarkan Peraturan
Kabupaten/Kota yang bersangkutan dengan tujuan
memberikan kebebasan kepada Pemerintah
Kabupaten/Kota untuk menetapkan tarif pajak yang
sesuai dengan kondisi dari masing-masing daerah
Kabupaten/Kota asalkan tidak lebih dari sepuluh persen
Pajak restoran memiliki prospek yang bagus
untuk penerimaan daerah karena dengan meningkatknya
sektor pariwisata, terutama wisata kulinear, mendorong
usaha restoran meningkat, sehingga potensi penerimaan
Pajak Restoran juga akan meningkat sehingga dapat
menyumbangkan kontribusi yang cukup besar
9. Pajak Hiburan
95
Pajak hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan
hiburan. Hiburanyang dimaksud adalah tontonan film;
pagelaran kesenian, musik, dantarian modern; kesenian
rakyat/ tradisional; pagelaran busana, konteskecantikan,
binaraga, dan sejenisnya; pameran; diskotik, karaoke,
klabmalam, dan panti pijat; sirkus, akrobat, dan sulap;
permainan bilyar,golf, dan boling; pacuan kuda,
kendaraan bermotor, dan permainanketangkasan;
refleksi, mandi uap/ spa, dan pusat kebugaran
(fitnesscenter); dan pertandingan olahraga yang ditonton
atau dinikmati olehsetiap orang dengan dipungut
bayaran.
10. Pajak Reklame
Pajak Reklame adalah pajak atas
penyelenggaraan reklame. Reklame adalah benda, alat,
pembuatan atau media yang menurut bentuk dan corak
ragamnya untuk tujuan komersial, dipergunakan untuk
memperkenalkan, menganjurkan atau memujikan suatu
barang, jasa,atau orang, ataupun untuk menarik
perhatian umum kepada suatu barang, jasa, atau orang
yang ditempatkan atau yang dapat dilihat, dibaca, dan
atau didengar dari suatu tempat oleh umum, kecuali
yang dilakukan oleh pemerintah.
11. Pajak Penerangan Jalan
Pajak penerangan jalan adalah pajak atas penggunaan
tenaga listrik,baik yang dihasilkan oleh pembangkit
listrik sendiri maupun yangdiperoleh dari sumber lain.
96
Penggunaan tenaga listrik denganketentuan bahwa di
wilayah daerah tersebut tersedia penerangan jalanyang
rekeningnya dibayar oleh pemerintah daerah. Dalam hal
tenagalistrik disediakan oleh PLN maka pemungutan
pajak penerangan jalandilakukan oleh PLN.
12. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C/
Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB) adalah
pajak atas kegiatan pengambilan bahan galian golongan
C/mineral bukan logam dan batuan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mineral
Bukan Logam dan Batuan terdiri dari: Asbes; Batu tulis;
Batu setengah permata; Batu kapur; Batu apung; Batu
permata; Bentonit; Dolomit; Feldspar; Garam batu
(halite); Grafit; Granit/andesit; Gips; Kalsit; Kaolin;
Leusit; Magnesit; Mika; Marmer; Nitrat; Opsidien;
Oker; Pasir dan kerikil; Pasir kuarsa; Terlit; Phospat;
Talk; Tanah serap (fullers earth); Tanah diatome; Tanah
liat; Tawas (alum); Tras; Yarosif; Yeolit; Basal;
Trakkit; dan Mineral bukan logam dan batuan lainnya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
13. Pajak Parkir
Pajak Parkir adalah pajak yang dikenakan atas
tempat parkir di luarbadan jalan yang disediakan oleh
orang pribadi atau badan, baik yangdisediakan berkaitan
atas pokok usaha maupun yang disediakansebagai suatu
97
usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan
kendaraanbermotor dan garasi kendaraan bermotor yang
memungut bayaran, seperti supermarket atau mall yang
menyelenggarakan parkir sendiri.
Pajak parkir bagi kota besar yang memiliki
supermarket dan mall yang cukup banyak seperti
Jakarta, Surabaya dan beberapa kota besar lainnya pajak
parkir cukup besar perannya dalam penerimaan daerah,
namun beberapa daerah kabupaten kontribusi pajak
parkir relatif masih sangat kecil.
14. Pajak Air Tanah
Pajak Air Tanah adalah pajak atas pengambilan
dan atau pemanfaatanair tanah dikecualikan dari objek
pajak adalah pengambilan dan/ ataupemanfaatan air
tanah untuk: keperluan dasar rumah tangga;
pengairanpertanian dan perikanan rakyat; peribadatan;
dan kegiatan sosial.
15. Pajak Sarang Burung Walet
Pajak sarang burung walet adalah pajak yang
dipungut atas kegiatan pengambilan dan atau
penguasaan burung walet. Wajib pajak sarang burung
walet adalah orang pribadi atau badan yang melakukan
pengambilan atau penguasaan burung walet.
98
16. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan
Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan
Bangunan merupakan potensi yang cukup besar bagi
setiap daerah.Sumber penerimaanyang berasal dari
Pajak Bumi dan Bangunan belumoptimal. Oleh karena
potensi yang ada belum terdata dengan baik, karenanya
pendataan terhadappotensi PBB menjadi sangat penting.
Potensi penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) di Kabupaten dan kota Gianyar dari tahunke
tahun mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh
perkembangan pembangunan, perekonomian
masyarakat. Adanya pengaruh pembangunan, dan
pertumbuhan ekonomi mengakibatkanalih fungsi lahan
dari tanah sawah/persawahan menjadi tanah kering
untukpermukiman/perumahan, akomodasi pariwisata,
seperti hotel, restoran, villa, ruko, art shop,toko-toko,
perkantoran, dan lain sebagainya sebagai penunjang
atau pendukungpembangunan, perekonomian, dan
pariwisata. Dengan beralih fungsinya
lahanpertanian/tanah sawah menjadi tanah kering
mengakibatkan nilai tanah berubah, di manaNilai Jual
Objek Pajak (NJOP) akan naik, sehingga secara
otomatis PBB akan naik pula.
PBB yang selama ini merupakan pajak pusat dan
daerah hanya menerima bagi hasilpajak dari pemerintah
pusat, dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor
28 Tahun2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah (PDRB) paling lambat Desember 2013, dimana
99
PBB menjadi pajak daerah. Hal ini secara langsung
akan meningkatkan penerimaanpajak dari PBB, karena
seratus persen merupakan penerimaan daerah dan bukan
bagi hasilpajak dari pemerintah pusat
17. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) adalah bea yang dikenakan atas transaksi
perolehan hak atas tanah dan bangunan meliputi: Jual
beli; Tukar menukar; Hibah; Hibah wasiat; Waris;
Pemasukan dalam perseoranagn atau badan hukum lain;
Pemisahan hak yang mengakibtkan peralihan;
Penunjukan pembeli dalam lelang; Pelaksanaan putusan
hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
Penggabungan usaha; Peleburan usaha; Pemekaran
usaha; Hadiah. Pemberian hak baru dikarenakan
kelanjutan pelepasan hak; atau diluar pelepasan hak.Hak
atas tanah dan/ atau bangunan meliputi: Hak milik; Hak
gunausaha; Hak guna bangunan; Hak pakai; Hak milik
atas satuan rumahsusun; dan Hak pengelolaan
2. Retribusi Daerah
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tersebut,
Pasal 1 ayat 64 dikatakan bahwa; Retribusi Daerah,
yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan
Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian
izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan
100
oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang
pribadi atau Badan.Selanjutnya dalam Retribusi
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 108
dikatakan bahwa objek retribusi daerah terdiri atas; (a)
Jasa Umum; (b), Jasa Usaha; dan (c) Perizinan Tertentu.
Untuk beberapa daerah retribusi daerah
merupakan penyumbangan terbesar terhadap
pendapatan asli daerah dalam arti memberi sumbangsi
lebih besar dari pada pajak daerah. Retribusi pada
dasarnya merupakan pungutan yang dilakukan oleh
pemerintah daerah atas pemanfaatan suatu jasa tertentu
yang disediakan oleh pemerintah. Jadi dalam hal ini
terdapat imbalan langsung yang diperoleh oleh
pengguna retribusi. Retribusi daerah pada dasarnya
dibagi atas tiga jenis yaitu; Jenis Retribusi Jasa Umum,
Retribusi Jasa Usaha dan Retribusi Perizinan Tertentu.
Jenis Retribusi Jasa Umum adalah: dapat berupa
(a) Retribusi Pelayanan Kesehatan; (b) Retribusi
Pelayanan Persampahan/Kebersihan; (c) Retribusi
Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan
Akta Catatan Sipil; (d), Retribusi Pelayanan
Pemakaman dan Pengabuan Mayat; (e) Retribusi
Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum; (f) Retribusi
Pelayanan Pasar; (g) Retribusi Pengujian Kendaraan
Bermotor; (h) Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam
Kebakaran; (i) Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta;
(j) Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus;
(k) Retribusi Pengolahan Limbah Cair; (l) Retribusi
Pelayanan Tera/Tera Ulang; (m) Retribusi Pelayanan
101
Pendidikan; dan (n). Retribusi Pengendalian Menara
Telekomunikasi.
Kemudian dalam Pasal 127 Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 Jenis Retribusi Jasa Usaha
meliputi; (a) Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah; (b)
Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan; (c) Retribusi
Tempat Pelelangan; (d) Retribusi Terminal; (e)
Retribusi Tempat Khusus Parkir; (f) Retribusi Tempat
Penginapan/Pesanggrahan/Villa; (g) Retribusi Rumah
Potong Hewan; (h) Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan;
(i) Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga; (j)
Retribusi Penyeberangan di Air; dan (k) Retribusi
Penjualan Produksi Usaha Daerah.
Kemudian dalam Pasal 127 Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 Jenis Retribusi Perizinan
Tertentu meliputi: (a) Retribusi Izin Mendirikan
Bangunan; (b) Retribusi Izin Tempat Penjualan
Minuman Beralkohol; (c) Retribusi Izin Gangguan; (d)
Retribusi Izin Trayek; dan (e) Retribusi Izin Usaha
Perikanan.
3. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan
Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan sebagaimana dimaksud menurut Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang
pedoman pengelolaan keuangan daerah pasal 26 huruf c
dikatakan bahwa; hasil pengelolaan kekayaan daerah
102
yang dipisahkan dirinci menurut obyek pendapatan yang
mencakup:
a. bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan
milik daerah/BUMD;
b. bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan
milik pemerintah/BUMN; dan
c. bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan
milik swasta atau kelompok usaha masyarakat.
4. Pendapatan Asli Daerah Lain yang Sah
Jenis lain-lain pendapatan asli daerah yang sah
sebagaimana yang dimaksud dalam Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 Pasal 26 huruf d,
meliputi;
a. hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak
dipisahkan;
b. jasa giro;
c. pendapatan bunga;
d. penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah;
e. penerimaan komisi, potongan ataupun bentuk lain
sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan
barang dan/atau jasa oleh daerah;
f. penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah
terhadap mata uang asing;
g. pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan
pekerjaan;
h. pendapatan denda pajak;
i. pendapatan denda retribusi;
103
j. pendapatan hasil eksekusi atas jaminan;
k. pendapatan dari pengembalian;
l. fasilitas sosial dan fasilitas umum;
m. pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan
pelatihan; dan
n. pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan.
B. Dana Perimbangan
Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
pasal 1 ayat 3 mengatakan Perimbangan keuangan
antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah adalah
suatu sistem pembagian keuangan yang adil,
proporsional, demokratis, transparan, dan efisien dalam
rangka pendanaan penyelenggaraan Desentralisasi,
dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan
kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan
penyelenggaraan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
Selanjutnya dalam ayat 9 dikatakan bahwa Dana
Perimbangan adalah dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah
untuk mendanai kebutuhanDaerah dalam rangka
pelaksanaan Desentralisasi. Sementara Pada pasal 10
dikatakan bahwa Dana Perimbangan terdiri atas: (a).
Dana Bagi Hasil; (b) Dana Alokasi Umum; dan (c)
Dana Alokasi Khusus.
Oleh karena itu dana perimbangan merupakan
dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
104
Belanja Negara (APBN) untuk mendukung pelaksanaan
kewajiban dan kewenangan pemerintah daerah dalam
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya untuk
dapat memberikan pelayanan publik dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di daerahnya.
1. Bagi Hasil Pajak (BHP) dan Bagi Hasil Bukan Pajak
(BHBP)
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan
Pemerintahan Daerah Pasal 1 mengatakan bahwa Dana
Bagi Hasil bersumber dari pajak dan sumber daya alam.
2. Bagi Hasil Pajak
Penerimaan pajak yang dibagi kepada pemerintah
daerah adalah: (1) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan
(2) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB), Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal
29 Wajib PajakOrang Pribadi Dalam Negeri dan PPh
Pasal 21. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor
28 tahun 2009 tentang pajak daerah, maka kini Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB) dan (2) Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) semuanya sudah
diserahkan ke daerah.
Sementara Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah Pasal 13,
mengatakan bahwa; Dana Bagi Hasil dari penerimaan
PPh Pasal 25 dan Pasal 29 WajibPajak Orang Pribadi
Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 sebagaimanadimaksud
105
dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c yang merupakan
bagianDaerah adalah sebesar 20% (dua puluh
persen).(2) Dana Bagi Hasil dari penerimaan PPh
sebagaimana dimaksud padaayat (1) dibagi antara
Pemerintah Daerah provinsi dan kabupaten/kota.(3)
Dana Bagi Hasil dari penerimaan PPh Pasal 25 dan
Pasal 29 WajibPajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan
PPh Pasal 21 sebagaimanadimaksud pada ayat (1)
dibagi dengan imbangan 60% (enam puluhpersen) untuk
kabupaten/kota dan 40% (empat puluh persen)
untukprovinsi.(4) Penyaluran Dana Bagi Hasil
sebagaimana dimaksud pada ayat (3)dilaksanakan
secara triwulanan.
3. Bagi Hasil Sumber Daya Alam
Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumber
daya alam sebagaimanadimaksud pada ayat (1) pasal 11
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 berasal dari:
(a) kehutanan; (b) pertambangan umum; (c) perikanan;
(d) pertambangan minyak bumi; (e) pertambangan gas
bumi; dan (f) pertambangan panas bumi.
Pembagian Penerimaan Negara yang berasal dari
sumber daya alamsebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 ayat (3) ditetapkan sebagai berikut:
a. Penerimaan Kehutanan yang berasal dari
penerimaan Iuran HakPengusahaan Hutan (IHPH)
dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH)yang
dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan
dibagi denganimbangan 20% (dua puluh persen)
106
untuk Pemerintah dan 80% (delapanpuluh persen)
untuk Daerah.
b. Penerimaan Kehutanan yang berasal dari Dana
Reboisasi dibagi denganimbangan sebesar 60%
(enam puluh persen) untuk Pemerintah dan
40%(empat puluh persen) untuk Daerah.
c. Penerimaan Pertambangan Umum yang dihasilkan
dari wilayah Daerahyang bersangkutan, dibagi
dengan imbangan 20% (dua puluh persen)untuk
Pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk
Daerah.
d. Penerimaan Perikanan yang diterima secara
nasional dibagi denganimbangan 20% (dua puluh
persen) untuk Pemerintah dan 80% (delapanpuluh
persen) untuk seluruh kabupaten/kota.
e. Penerimaan Pertambangan Minyak Bumi yang
dihasilkan dari wilayahDaerah yang bersangkutan
setelah dikurangi komponen pajak danpungutan
lainnya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan, dibagidengan imbangan:
1. 84,5% (delapan puluh empat setengah persen)
untuk Pemerintah;dan
2. 15,5% (lima belas setengah persen) untuk
Daerah.
f. Penerimaan Pertambangan Gas Bumi yang
dihasilkan dari wilayahDaerah yang bersangkutan
setelah dikurangi komponen pajak danpungutan
lainnya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan, dibagidengan imbangan:
107
1. 69,5% (enam puluh sembilan setengah persen)
untuk Pemerintah; dan
2. 30,5% (tiga puluh setengah persen) untuk
Daerah.
g. Pertambangan Panas Bumi yang dihasilkan dari
wilayah Daerah yangbersangkutan yang merupakan
Penerimaan Negara Bukan Pajak, dibagidengan
imbangan 20% (dua puluh persen) untuk
Pemerintah dan 80%(delapan puluh persen) untuk
Daerah.
Dana Bagi Hasil dari penerimaan IHPH yang
menjadi bagian Daerahsebagaimana dimaksud, dibagi
dengan rincian:
a. 16% (enam belas persen) untuk provinsi; dan
b. 64% (enam puluh empat persen) untuk
kabupaten/kotapenghasil.
Dana Bagi Hasil dari penerimaan PSDH yang
menjadi bagian Daerah sebagaimana dimaksud, dibagi
dengan rincian:
a. 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang
bersangkutan;
b. 32% (tiga puluh dua persen) untuk
kabupaten/kotapenghasil; dan
c. 32% (tiga puluh dua persen) dibagikan dengan
porsi yangsama besar untuk kabupaten/kota lainnya
dalam provinsi yangbersangkutan.
Sementara Dana Bagi Hasil dari Dana Reboisasi
sebagaimana dimaksud adalah:
108
a. 60% (enam puluh persen) bagian Pemerintah
digunakan untukrehabilitasi hutan dan lahan secara
nasional; dan
b. 40% (empat puluh persen) bagian daerah digunakan
untuk kegiatanrehabilitasi hutan dan lahan di
kabupaten/kota penghasil.
Penerimaan Pertambangan Umum sebagaimana
dimaksud terdiri atas:
a. Penerimaan Iuran Tetap (Land-rent); dan
b. Penerimaan Iuran Eksplorasi dan Iuran Eksploitasi
(Royalti).
Selanjutnya Dana Bagi Hasil dari Penerimaan
Negara Iuran Tetap (Land-rent) yangmenjadi bagian
Daerah sebagaimana dimaksud,
dibagi dengan rincian:
a. 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang
bersangkutan; dan
b. 64% (enam puluh empat persen) untuk
kabupaten/kota penghasil.
Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Negara Iuran
Eksplorasi dan IuranEksploitasi (Royalti) yang menjadi
bagian Daerah sebagaimanadimaksud pada ayat (1)
huruf b, dibagi dengan rincian:
a. 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang
bersangkutan;
b. 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota
penghasil; dan
c. 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota
lainnya dalamprovinsi yang bersangkutan.
109
Bagian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud
pada poin c dibagikan dengan porsi yang sama besar
untuk semua kabupaten/kotadalam provinsi yang
bersangkutan.
Penerimaan Perikanan sebagaimana dimaksud
dalam terdiri atas:
a. Penerimaan Pungutan Pengusahaan Perikanan; dan
b. Penerimaan Pungutan Hasil Perikanan.
Selanjutnya Dana Bagi Hasil dari Penerimaan
Negara sektor perikanan
sebagaimana dimaksud dibagikan denganporsi yang
sama besar kepada kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Penerimaan Pertambangan Minyak Bumi dan Gas
Bumi yangdibagikan ke Daerah adalah Penerimaan
Negara dari sumber dayaalam Pertambangan Minyak
Bumi dan Gas Bumi dari wilayah Daerahyang
bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan
pungutanlainnya.Dana Bagi Hasil dari Pertambangan
Minyak Bumi sebagaimanadimaksud sebesar 15% (lima
belaspersen) dibagi dengan rincian sebagai berikut:
a. 3% (tiga persen) dibagikan untuk provinsi yang
bersangkutan;
b. 6% (enam persen) dibagikan untuk kabupaten/kota
penghasil; dan
c. 6% (enam persen) dibagikan untuk kabupaten/kota
lainnya dalamprovinsi yang bersangkutan.
Dana Bagi Hasil dari Pertambangan Gas Bumi
sebagaimana dimaksud
110
sebesar 30% (tiga puluh persen)dibagi dengan rincian
sebagai berikut:
a. 6% (enam persen) dibagikan untuk provinsi yang
bersangkutan;
b. 12% (dua belas persen) dibagikan untuk
kabupaten/kotapenghasil; dan
c. 12% (dua belas persen) dibagikan untuk
kabupaten/kota lainnyadalam provinsi
bersangkutan.
Dana Bagi Hasil dari Pertambangan Minyak Bumi
dan Gas Bumisebagaimana dimaksud sebesar 0,5%
(setengah persen) dialokasikan untukmenambah
anggaran pendidikan dasar, sementara Dana Bagi Hasil
sebagaimana dimaksud dibagi masing-masing dengan
rincian sebagai berikut:
a. 0,1% (satu persepuluh persen) dibagikan untuk
provinsi yangbersangkutan;
b. 0,2% (dua persepuluh persen) dibagikan untuk
kabupaten/ kotapenghasil; dan
c. 0,2% (dua persepuluh persen) dibagikan untuk
kabupaten/ kotalainnya dalam provinsi yang
bersangkutan.
Bagian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud
dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk semua
kabupaten/kotadalam provinsi yang bersangkutan.
Penerimaan Negara dari Pertambangan Panas
Bumi sebagaimanadimaksud merupakan Penerimaan
NegaraBukan Pajak yang terdiri atas:
a. Setoran Bagian Pemerintah; dan
111
b. Iuran tetap dan iuran produksi.
Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Pertambangan
Panas Bumi yangdibagikan kepada Daerah sebagaimana
dimaksud dibagi dengan rincian:
a. 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang
bersangkutan;
b. 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota
penghasil; dan
c. 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota
lainnya dalamprovinsi yang bersangkutan.
Bagian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud
dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk semua
kabupaten/kotadalam provinsi yang bersangkutan.
4. Dana Alokasi Umum
Sebagai salah satu bentuk transfer dari pemerintah
pusat, alokasi DAU mempunyai peranan yang cukup
besar bagi penerimaan daerah, mengingat DAU
menduduki porsi jumlah terbesar dibandingkan
komponen lainnya dalam dana perimbangan.
DAU adalah dana dari APBN yang dialokasikan
dengan tujuan untuk pemerataan keuangan antar daerah.
Salah satu tujuan keberadaan DAU dalam sistem
perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah
adalah sebagai equalization grant, terutama untuk
menetralkan dampak disparitas yang ditimbulkan oleh
transfer lain, seperti Dana Bagi Hasil. Tolak ukur
keberhasilan DAU, salah satunya adalah tercapainya
112
pemerataan total penerimaan daerah per kapita yang
sebaik-baiknya.
Peranan strategis alokasi DAU terletak pada
kemampuannya untuk menciptakan pemerataan fiskal
berdasarkan pertimbangan atas potensi fiskal dan
kebutuhan nyata daerah. Menurut Mahi (2000), karena
fungsinya sebagai alat untuk mengurangi ketimpangan
fiskal horizontal, maka selayaknya DAU dilihat secara
keseluruhan sebagai bagian dari dana perimbangan dan
juga kapasitas fiskal daerah.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan
Pemerintahan Daerah Pasal 27, mengatakan bahwa;
(1) Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-
kurangnya 26% (dua puluh enam persen) dari
Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan
dalam APBN.
(2) DAU untuk suatu Daerah dialokasikan atas dasar
celah fiskal dan alokasi dasar.
(3) Celah fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
adalah kebutuhanfiskal dikurangi dengan kapasitas
fiskal Daerah.
(4) Alokasi dasar sebagaimana dimaksud pada ayat(2)
dihitungberdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri
Sipil Daerah. Selanjutnya dalam pasal 28 dikatakan bahwa;
(1) Kebutuhan fiskal Daerah merupakan kebutuhan
pendanaan Daerahuntuk melaksanakan fungsi
layanan dasar umum.
113
(2) Setiap kebutuhan pendanaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)diukur secara berturut-turut dengan
jumlah penduduk, luas wilayah,Indeks Kemahalan
Konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto
perkapita, dan Indeks Pembangunan Manusia.
(3) Kapasitas fiskal Daerah merupakan sumber
pendanaan Daerah yangberasal dari PAD dan Dana
Bagi Hasil. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah Pasal 32,
mengatakan bahwa;
(1) Daerah yang memiliki nilai celah fiskal sama
dengan nol menerima DAU sebesar alokasi dasar.
(2) Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan
nilai negatif tersebut lebih kecil dari alokasi dasar
menerima DAU sebesar alokasi dasar setelah
dikurangi nilai celah fiskal.
(3) Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan
nilai negatif tersebut sama atau lebih besar dari
alokasi dasar tidak menerima DAU.
Selanjutnya dalam penjelasan pasal 32 Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004 diberikan contoh perhitungan:
Contoh perhitungan Kebutuhan Fiskal sama dengan
Kapasitas Fiskal
Kebutuhan Fiskal = Rp 100 miliar
Kapasitas Fiskal = Rp 100 miliar
Alokasi Dasar = Rp 50 miliar
114
Celah Fiskal = Kebutuhan Fiskal - Kapasitas
Fiskal
= Rp 100 miliar Rp100 miliar = 0
DAU = Alokasi Dasar
Total DAU = Rp 50 miliar
Dalam hal celah fiskal negatif maka jumlah DAU
yang diterima Daerah adalahsebesar Alokasi Dasar
setelah diperhitungkan dengan celah fiskalnya.
Contoh perhitungan :
Kebutuhan Fiskal = Rp 100 miliar
Kapasitas Fiskal = Rp 125 miliar
Alokasi Dasar = Rp 50 miliar
Celah Fiskal = Kebutuhan Fiskal - Kapasitas Fiskal
= Rp 100 miliar Rp 125 miliar
= Rp-25 miliar (negatif)
DAU = Alokasi Dasar + Celah Fiskal
Total DAU = Rp50 miliar + Rp-25 miliar = Rp25 miliar
Contoh perhitungan : Celah Fiskal (negatif) melebihi
Alokasi Dasar
Kebutuhan Fiskal = Rp 100 miliar
Kapasitas Fiskal = Rp 175 miliar
Alokasi Dasar = Rp 50 miliar
Celah Fiskal = Kebutuhan Fiskal -Kapasitas Fiskal
= Rp 100 miliar Rp 175 miliar = Rp-75
miliar (negatif)
DAU = Celah Fiskal + Alokasi Dasar
115
Total DAU = Rp-75 miliar + Rp 50 miliar = Rp-25
miliar ataudisesuaikan menjadi Rp 0 (nol)
Oleh sebab itu daerah yang menerima pendapatan
asli daerah, dan dana bagi hasil dalam jumlah besar
akan memperoleh dana alokasi umum yang lebih rendah
dibandingkan dengan daerah yang menerima
pendapatan asli daerah, dan dana bagi hasil yang
rendah.
5. Dana Alokasi Khusus
Pada hakikatnya Dana Alokasi Khusus (DAK),
adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan
kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan
khusus. Pengalokasian DAK ditentukan dengan
memperhatikan ketersediaan dana dalam APBN.
Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 Pasal 39
dikatakan bahwa:
(1) DAK dialokasikan kepada Daerah tertentu untuk
mendanai kegiatankhusus yang merupakan urusan
Daerah.
(2) Kegiatan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sesuai denganfungsi yang telah ditetapkan
dalam APBN.
Selanjutnya pasal 40 Undang-Undang Nomor 33
tahun 2004 dikatakan bahwa:
(1) Pemerintah menetapkan kriteria DAK yang meliputi
kriteria umum,kriteria khusus, dan kriteria teknis.
116
(2) Kriteria umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkandengan mempertimbangkan kemampuan
Keuangan Daerah dalamAPBD.
(3) Kriteria khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkandengan memperhatikan peraturan
perundang-undangan dankarakteristik Daerah.
(4) Kriteria teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan olehkementerian Negara/departemen
teknis. Lebih lanjut pasal 41 Undang-Undang Nomor 33
tahun 2004 dikatakan bahwa:
(1) Daerah penerima DAK wajib menyediakan Dana
Pendampingsekurang-kurangnya 10% (sepuluh
persen) dari alokasi DAK.
(2) Dana Pendamping sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dianggarkandalam APBD.
(3) Daerah dengan kemampuan fiskal tertentu tidak
diwajibkanmenyediakan Dana Pendamping.
C. Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah PusatDan
Pemerintahan Daerah Pasal 43 mengatakan bahwa Lain-
lain Pendapatan terdiri atas pendapatan hibah dan
pendapatan Dana Darurat.
Selanjutnya dalam Pasal 44 dijelaskan bahwa;
(1) Pendapatan hibah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 43 merupakanbantuan yang tidak mengikat.
117
(2) Hibah kepada Daerah yang bersumber dari luar
negeri dilakukanmelalui Pemerintah.
(3) Hibah dituangkan dalam suatu naskah perjanjian
antara PemerintahDaerah dan pemberi hibah.
(4) Hibah digunakan sesuai dengan naskah perjanjian
sebagaimanadimaksud pada ayat (3).
Sementara dalam Pasal 46 dijelaskan bahwa :
(1) Pemerintah mengalokasikan Dana Darurat yang
berasal dari APBN untuk keperluan mendesak yang
diakibatkan oleh bencana nasional dan/atau
peristiwa luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi
olehDaerah dengan menggunakan sumber APBD.
(2) Keadaan yang dapat digolongkan sebagai bencana
nasional dan/atauperistiwa luar biasa ditetapkan
oleh Presiden Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 juga
membolehkan, daerah untuk melakukanpinjaman dari
sumber dalam negeri untuk membiayai sebagian
anggarannya. Pinjaman tersebut dilakukan dengan
memperhatikan kemampuan Daerah untuk memenuhi
kewajibannya dan dilakukan secara transparan sehingga
setiap perjanjian pinjaman yang dilakukan oleh daerah
diumumkan dalam lembaran daerah.
Selanjutnya dalam Pasal 52 disebutkan bahwa
jenis pinjaman yang dilakukan oleh daerah dapat dalam
bentuk:
a. Pinjaman Jangka Pendek;
118
b. Pinjaman Jangka Menengah; dan
c. Pinjaman Jangka Panjang.
Pinjaman Jangka Pendek sebagaimana dimaksud
merupakan Pinjaman Daerah dalam jangka waktu
kurang atau samadengan satu tahun anggaran dan
kewajiban pembayaran kembalipinjaman yang meliputi
pokok pinjaman, bunga, dan biaya lainseluruhnya harus
dilunasi dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
Pinjaman Jangka Menengah sebagaimana dimaksud
merupakan Pinjaman Daerah dalam jangka waktu lebih
darisatu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran
kembali pinjamanyang meliputi pokok pinjaman, bunga,
dan biaya lain harus dilunasidalam kurun waktu yang
tidak melebihi sisa masa jabatan KepalaDaerah yang
bersangkutan. Sementara Pinjaman Jangka Panjang
sebagaimana dimaksud merupakan Pinjaman Daerah
dalam jangka waktu lebih dari satutahun anggaran dan
kewajiban pembayaran kembali pinjaman yangmeliputi
pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain harus dilunasi
padatahun-tahun anggaran berikutnya sesuai dengan
persyaratanperjanjian pinjaman yang bersangkutan.
119
BAB VI
ANALISIS POTENSI PENERIMAAN
DARI PENDAPATAN ASLI DAERAH
endapatan Asli Daerah merupakan indikator
penting yang dinilai sebagai tingkat kemandirian
pemerintah daerah di bidang keuangan. Semakin
tinggi share pendapatan asli daerah dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah, mencerminkan
keberhasilan usaha atau tingkat kemampuan daerah
dalam pembiayaan dan penyelenggaraan pembangunan
serta pemerintah. Dengan demikian, apabila pendapatan
asli daerah semakin meningkat dari tahun ke tahun akan
semakin mengurangi ketergantungan pemerintah daerah
terhadap bantuan dana dari pusat dan juga daerah
semakin leluasa dalam membelanjakan penerimaan
mereka sesuai dengan prioritas pembangunan daerah
mereka
Dalam bab ini akan diuraikan contoh perhitungan
sederhana tentang potensi penerimaan dari beberapa
variabel pendapatan asli daerah secara mikro, seperti
pajak hotel, pajak restoran, pajak iklan, retribusi pasar,
dan retribusi objek wisata. Hal ini dilakukan untuk
memberi gambaran kepada pembaca tentang bagaimana
P
120
menghitung potensi penerimaan dari pemerintah daerah
dari masing-masing sumber penerimaan.
A. Potensi Pajak Hotel
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
bahwa basis pajak hotel adalah omzet penjualan kamar
hotel dengan tarif maksimum 10 persen. Oleh karena
itu, untuk menghitung potensi pajak hotel secara mikro
dalam suatu daerah, maka langkah untuk menghitung
potensi pajak hotel harus dilakukan oleh pemerintah
daerah antara lain:
a. Mengidentifikasi objek seluruh hotel yang di
daerahnya, meliputi; hotel berbitang 5, bintang 4,
bintang 3, hotel melati, motel, wisma, dan
sebagainya.
b. Melakukan survey pada masing-masing hotel yang
selanjutnya dimasukkan dalam data dasar potensi
pendapatan. Apabila memungkinkan, maka seluruh
hotel dan penginapan lainnya disurvey, tentang; jenis
kamar, jumlah kamar, tarif kamar, dan tingkat
hunian kamar, tetapi apabila karena keterbatasan
dana dan waktu, maka cukup di sampel.
c. Menghitung rata-rata hunian kamar
d. Menhitung potensi pajak.
Rumus yang digunakan untuk menghitung
potensi Pajak satu Hotel:
Potensi pajak Hotel = RH x RPTK x 360 x 10%
Dimana:
RH : rerata tingkat hunian (occupancy rate)
RTK : rerata tarif untuk layanan kamar
121
360 : jumlah hari dalam setahun
10% : tarif pajak maksimum
Data yang diperlukan:
Jumlah kamar
Jumlah tamu
Tingkat hunian
Rata-rata waktu menginap (length of stay)
Tarif resmi hotel
Musim kunjungan tamu (ramai, sedang, sepi)
Jumlah pajak yang dibayarkan.
Untuk jelasnya perhitungan potensi penerimaan
dari pajak hotel diberikan contoh perhitungan Hotel
Anda.
Jenis, Jumlah, dan Tarif Kamar Hotel
Jenis Kamar
Jumlah Tarif Kamar
VVIP
VIV
Superior
Delux
Standar
4
10
100
60
50
2.000.000,-
1.500.000,-
1.000.000,-
750.000,-
500.000,-
Jumlah Kamar 224
Tingkat Hunian 50%
Tarif Pajak 10%
Dengan menggunakan metode rata-rata
sederhana, untuk Hotel Anda, berdasarkan hasil
observasi lapangan diperoleh dan perhitungan rata-rata
122
sederhana:
Perhitungan Rata-rata Hunian Kamar Hotel
Situasi pengunjung Jumlah kamar
terpakai
Ramai
Sedang
Sepi
160
100
61
Jumlah 321
1073
321
n
JKT kamar hunianrataRata
Berdasarkan data yang telah diperoleh, maka
jumlah tarif rata-rata untuk masing-masing jenis kamar
dapat dihitung:
Perhitungan Rata-Rata Tarif per kamar
Jenis
Kamar Jumlah Tarif Kamar Jumlah
VVIP
VIV
Superior
Delux
Standar
4
10
100
60
50
2.000.000,-
1.500.000,-
1.000.000,-
750.000,-
500.000,-
8.000.000,-
15.000.000,-
100.000.000,-
45.000.000,-
25.000.000,-
Jumlah
Kamar 219
168.000.000,-
,000.750224
000.000.168
kamarJumlah
Penerimaan Total kamar per rata-rata Tarif
Dengan rumus potensi pajak hotel yang, maka
potensi pajak Hotel Anda dapat ditung:
Potensi pajak Hotel Anda = RH x RPTK x 360 x
123
10%
Potensi pajak Hotel Anda =107 x 750.000 x 360 x
10%=Rp.2.889.000.000
Dengan demikian, maka potensi pajak hotel yang
dapat dipungut oleh pemerintah daerah dari Hotel
Anda adalah Rp. 2.889.000.000.
Oleh karena ini dengan cara seperti ini, maka
pemerintah daerah dapat menghitung potensi pajak yang
dapat dipungut pada seluruh hotel yang ada di
daerahnya.
B. Pajak Restoran
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
bahwa basis pajak hotel adalah omzet penjualan kamar
hotel dengan tarif maksimum 10 persen. Oleh karena
itu, untuk menghitung potensi pajak restoran secara
mikro dalam suatu daerah, maka untuk menghitung
potensi pajak restoran langkah harus dilakukan oleh
pemerintah daerah antara lain:
1. Indentifikasi seluruh restoran dan rumah makan
yang ada di daerahnya
2. Melakukan survey pada masing-masing restoran
yang selanjutnya dimasukkan dalam data dasar
potensi pendapatan. Apabila memungkinkan, maka
seluruh restoran dan rumah lainnya disurvey,
tentang munu makanan, jumlah pengujung restoran
guna mengetahui omset penjualan rata-rata baik
pada waktu ramai, normal dan sepi.
124
3. Menghitung rata-rata omzet penjualan.
4. menghitung potensi pajak restoran.
Rumus:
Potensi pajak restoran = RTD x RPT x 360 x 10%
dimana
RTD : Rerata tamu yang datang
RPT : Rerata pengeluaran tamu
360 Jumlah hari dalam setahun
10% : Tarif pajak
Untuk memperoleh data omzet penjualan suatu
restoran, maka pemerintah daerah dapat melakukan
observasi pada pemilik restoran untuk memperoleh data
tentang omzet penjualan. Data omzet penjualan restoran
dapat bersifat fluktuatif sehingga perlu dibedakan antara
kondisi ramai, normal dan sepi. Di samping itu
pemerintah daerah dapat melakukan cross check dengan
data laporan keuangan dan atau laporan pajak.Misalkan
contoh Restotan Kita diperoleh data obeservasi.
Rata-rata omzet penjualan per hari:
Omzet penjualan per hari
Situasi
pengunjung
Rata-rata
pengunjung
Rata-rata
pengeluaran
Omzet
penjualan
Ramai
Sedang
Sepi
500
300
200
40.000
40.000
40.000
20.000.000
12.000.000
8.000.000
Jumlah 40.000.000
125
333.333.133
000.000.40
n
penjualanomzet Jumlah penjualan omzet rataRat a
Dengan diketahuinya rata-rata omzet penjualan,
maka dapat dihitung potesi pajak Restoran Kita dengan
menggunakan rumus potensi pajak restoran dengan
cara:
Potensi pajak restoran = 13.333.333 x 360 x 10%
= Rp. 480.000.000
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, maka
potensi pajak restoran yang dapat dipungut oleh
pemerintah daerah terhadap Restoran Kita adalah
sebesar Rp. 480.000.000,-. Dengan cara yang sama
pemerintah daerah dapat menghitung seluruh potensi
pajak restoran dan rumah makan yang ada di daerah
guna mengetahui potensi pajak restoran yang dipungut
dalam 1 tahun.
C. Pajak Rarkir
Pajak Parkir adalah pajak yang dikenakan atas
tempat parkir di luar badan jalan yang disediakan oleh
orang pribadi atau badan, baik yang disediakan
berkaitan atas pokok usaha maupun yang disediakan
sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat
penitipan kendaraan bermotor dan garasi kendaraan
bermotor yang memungut bayaran, seperti supermarket
atau mall yang menyelenggarakan parkir sendiri.
126
Sementara pungutan parkir yang berada di badan dan
bahu jalan dikategorikan sebagai retribusi parkir
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
bahwa dasar pengenakan pajak parkir adalah omzet
penjualan dengan tarif maksimum 30 persen. Maka
untuk menghitung potensi pajak parkir langkah harus
dilakukan oleh pemerintah daerah antara lain:
1. Indentifikasi seluruh usaha parkir yang ada di
daerahnya.
2. Melakukan survey pada masing-masing lokasi
parkir untuk dimasukkan dalam data dasar potensi
pendapatan. Apabila memungkinkan, maka seluruh
tempat parkir disurvey, tentang luas areal parkir,
jumlah pengujung guna mengetahui omset
penjualan rata-rata baik pada waktu ramai, normal
dan sepi.
3. Menghitung rata-rata omzet penerimaan.
4. menghitung potensi pajak parkir.
Rumus:
Potensi Pajak Parkir = Total penerimaanper hari x
360 x 30 persen
Untuk memudahkan berikaut di berikan contoh
perhitungan potensi pajak parkir pada Mall Bersama,
berdasarkan data hasil survey pada table di bawah ini
127
Tabel Rata-Pendapatan Parkir Perhari
Situasi
pengunju
ng
Rata-rata
pengunjung
Penguj
ung Tarif
Omzet
penjualan
Ramai
Mobil
Motor
2.000
10.000
5000
1000
10.000.000
10.000.000
Sedang
Mobil
Motor
1.500
6.000
5000
1000
7.500.000
6.000.000
Sepi Mobil
Motor
1.000
4.000
5000
1000
5.000.000
4.000.000
Jumlah 32.500.000
10.833.3333
000.000.32
n
penjualanomzet Jumlah penjualan omzet rataRata
Dengan demikian potensi pajak parkir dapat
dihitung: Potensi Penerimaanpajak parkir = 10.833.333
x 360 x 25% = Rp. 1.170.000.000,-
Dengan cara yang sama pemerintah daerah dapat
menghitung seluruh potensi pajak parkir yang ada di
daerah guna mengetahui potensi pajak parkir yang dapat
dipungut dalam 1 tahun.
D. Pajak Hiburan
Pajak hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan
hiburan Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 pasal 44 dan 45 bahwa dasar pengenaan Pajak
Hiburan adalah jumlah uang yangditerima atau yang
seharusnya diterima oleh penyelenggara hiburandengan
tarif maksimum 35 persen. Untuk menghitung potensi
128
pajak hiburan, maka langkah harus dilakukan oleh
pemerintah daerah antara lain:
1. Indentifikasi seluruh usaha hiburan yang ada di
daerahnya
2. Melakukan survey pada masing-masing lokasi
hiburan untuk dimasukkan dalam data dasar potensi
pendapatan. Apabila memungkinkan, maka seluruh
usaha hiburan disurvey, tentang jumlah tempat
duduk, harga tiket, jumlah pengujung guna
mengetahui omset penjualan rata-rata baik pada
waktu ramai, normal dan sepi.
3. Menghitung rata-rata omzet penerimaan.
4. menghitung potensi pajak hiburan.
Rumus:
Potensi Pajak Hiburan= Total penerimaan
Tahunan x Tarif Pajak
Untuk memudahkan berikaut di berikan contoh
perhitungan potensi pajak hiburan untuk Bioskop 21
Indah, berdasarkan data hasil survey.
Tabel Rata-Pendapatan Parkir Per Tahun Situas
i
pengu
njung
Kar
ga
Tik
et
Jumla
h
Kursi
Tingkat
Kunjun
gan
Jumlah
hari Jumlah
Tayang
Omzet
penjual
an
Ram
ai
30.
00
0
400 95% 50 7 3.990.000.000
129
Seda
ng
25.
00
0
400 60% 200 6 7.200.000.000
Sepi 25.
00
0
400 40% 110 6 2.640.000.000
Jumlah 13.830.000.000
Dengan demikian potensi pajak parkir dapat
dihitung: Apabila diasumsikan perda tentang tarif
hiburan adalah 20%, maka potensi pajak hiburan
Bioskop Indah adalah:
Potensi Pajak Hiburan= Total penerimaan Tahunan
x Tarif Pajak
Potensi Pajak Hiburan Rp. 13.830.000.000 x 20%
= 2.766.000.000
Dengan cara yang sama pemerintah daerah dapat
menghitung seluruh potensi pajak hiburan yang ada di
daerah guna mengetahui potensi pajak hiburan yang
dapat dipungut dalam 1 tahun.
130
E. Retribusi Daerah
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tersebut,
dikatakan bahwa; Retribusi Daerah, adalah pungutan
Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian
izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan
oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang
pribadi atau Badan. Retribusi pada dasarnya merupakan
pungutan yang dilakukan oleh pemerintah daerah atas
pemanfaatan suatu jasa tertentu yang disediakan oleh
pemerintah. Jadi dalam hal ini terdapat imbalan
langsung yang diperoleh oleh pengguna retribusi.
Pada bagian ini akan diberikan contoh
perhitungan potensi penerimaan daerah dari retribusi
pasar dan retribusi objek wisata.
1. RetribusiPelayanan Pasar
Retribusi pelayanan pasar merupakan pungutan
yang dilakukan oleh pemerintah daerah atas penggunaan
atau pemakaian los, kios atau toko di lokasi pasar atau
tempat perdagangan umum yang disediakan oleh
pemerintah daerah.
Untuk menghitung potensi penerimaan retribusi
pasar, maka langkah harus dilakukan oleh pemerintah
daerah antara lain:
1. Indentifikasi: luas pasar, fasilitas pasar, jumlah
pedangan termauk pedangan kaki lima, jenis
dagangan yang diusahakan oleh pedagangan, jumlah
kios, los, dan toko, jumlah pedagang kaki lima.
Rumus untuk menghitung potensi retribusi pasar adalah:
131
[(LKS x TR) + (LLS x TR) + (JK5 x TR)] x [S
Aktivitas pasar sebulan x 12]
Dimana:
LKS : Luas kios
LLS : Luas los
JK5 : Jumlah pedagang kaki lima
TR : Tarif Retribusi
Untuk jelasnya diberikan contoh untuk
menggambarkan potensi retribusi pasar dapat dipungut
oleh pemerintah daerah dalam suatu pasar. Misalnya
kita telah melakukan observasi terhadap suatu pasar,
misalkan pasar Minggi, diperoleh data:
Nama Pasar : Pasar Minggu
Jumlah kios : 500 kios
Jumlah los : 300 los
Jumlah pedagang K-5 : 200
Tarif retribusi kios : Rp. 5.000 per hari
Tarif retribusi los : Rp. 3.000 per hari
Tarif retribusi pedagang K5 : Rp. 2.000 per hari
Hari pasar : buku setiap hari
Berdasarkan data tersebut, maka potensi
pendapatan pemerintah dari retribusi Pasar Minggu
dapat dihiung:
[(LKS x TR) + (LLS x TR) + (JK5 x TR)] x [S
132
Aktivitas pasar sebulan x 12]
= ((500 x Rp. 5000) + (300 x Rp. 3.000) + ( 200 x
Rp. 2.000)) x 30 hari x 12
= (2.500.000 + 900.000 + 400.000) x 360
= Rp. 3.800.000 x 360
= Rp. 1.368.000.000,-
2. RetribusiObjek Wisata
Retribusi objek wisata merupakan pungutan yang
dilakukan oleh pemerintah daerah atas penggunaan
fasilitas objek wisata yang disediakan oleh pemerintah
daerah.Untuk menghitung potensi penerimaan retribusi
dari objek wisata, maka langkah harus dilakukan oleh
pemerintah daerah antara lain:
1. Indentifikasi seluruh objek wisata yang ada di
daerahnya
2. Melakukan survey pada masing-masing objek
wisata yang selanjutnya dimasukkan dalam data
dasar potensi pendapatan. Apabila memungkinkan,
maka seluruh objek wisata disurvey, untuk
mendapat data tentangbesarnya tarif dan jumlah
pengujung objek wisata guna jumlah rata-rata
pengunjung baik pada waktu ramai, normal dan
sepi.
3. Menghitung rata-rata pengunjung.
4. menghitung potensi pajak restoran.
Untuk memudahkan berikaut di berikan contoh
perhitungan potensi penerimaan retribusi darin objek
133
wisata Bantimurung, berdasarkan data hasil survey pada
Tabel 5.7
Tabel 5.7. Rata-Pendapatan Parkir Per Tahun Situasi
pengunjun
g
Karga
Tiket
Rata-rata
pengunjung
Jumlah
hari
Omzet
penjual
an
Ramai 20.000 10.000 50 10.000.000.000,-
Sedang 15.000 5.000 200 15.000.000.000,-
Sepi 10.000 2.000 110 2.200.000.000,-
Jumlah 27.200.000.000,-
Dengan demikian potensi penerimaan pemerintah
daerah dari retribusi objek wisata bantimurung adalah
Rp. 27.200.000.000,- per tahun. Dengan cara yang sama
pemerintah daerah dapat menghitung seluruh potensi
retribusi objek wisata yang ada di daerah guna
mengetahui potensi retribusi objek wisata yang dapat
dipungut dalam 1 tahun.
Metode yang serupa dapat dipakai untuk
menentukan rumus dan data yang diperlukan bagi
jenisjenis pajak dan retribusi yang lainnya. Metode ini
dapat dibuat dengan lebih mudah apabila pihak Pemda
134
telah menetapkan sebuah Perda yang mengatur jenis
penerimaan tersebut. Dalam hal ini jenis-jenis pajak dan
retribusi yang umumnya berlaku di tingkat
kabupaten/kota adalah sebagai berikut:
1. Pajak pengambilan bahan galian golongan C
2. Pajak penerangan jalan
3. Pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah
tanah dan air permukaan
4. Pajak / retribusi parkir
5. Pajak hiburan
6. Pajak sarang burung walet
7. Retribusi izin gangguan (HO)
8. Retribusi izin Mendirikan Bangunan
9. Retribusi pengangkutan sampah
10. Retribusi pelayanan kesehatan.
135
BAB VII
MANAJEMEN PENGELUARAN
DAERAH
ada dasarnya pelaksanaan desentralisasi fiskal di
Indonesia titik beratnyadiletakkan pada
desentralisasi di sisi pengeluaran. Hal ini
dilakukan dengan pemberian kewenangan pungutan
perpajakan daerah dan retribusi daerah yang relatif
terbatas, namun kepada daerah diberikan transfer dana
yang relatif besar dengan kewenangan yang luas untuk
melakukan pengeluaran sesuai prioritas dan kebutuhan
daerah.
Konsekuensi dari desentralisasi fiskal yang
menitikberatkan pada sisi pengeluaran adalah
fleksibilitas kebijakan pengeluaran daerah untuk
disesuaikan dengan prioritas dan tujuan daerah masing-
masing. Wujud dan implementasi dari kebijakan dan
sekaligus operasionalisasi pelaksanaan pengeluaran
adalah dengan pelaksanaan Belanja Daerah pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Anggaran Belanja Daerah akan mempunyai peran riil
dalam peningkatan kualitas layanan publik dan
sekaligus menjadi stimulus bagi perekonomian daerah
apabila terealisasi dengan baik. Dengan demikian,
P
136
secaraideal seharusnya Belanja Daerah dapat menjadi
komponen yang cukup berperandalam peningkatan
akses masyarakat terhadap sumber-sumber daya
ekonomiyang bermanfaat bagi kesejahteraan
masyarakat. Pada gilirannya, apabilakesejahteraan
masyarakat telah meningkat maka diharapkan akan
berdampakkepada perekonomian daerah secara luas.
Anggaran Belanja Daerah yang tercantum dalam
Anggaran Pendapatandan Belanja Daerah (APBD)
mencerminkan potret pemerintah daerah
dalammenentukan skala prioritas terkait program dan
kegiatan yang akan dilaksanakandalam satu tahun
anggaran. Bagaimana pemerintah daerah menyusun
anggaranBelanja Daerah dapat menunjukkan apakah
suatu daerah pro poor, growth, and jobs. Pada
komponen Belanja Daerah juga nampak seberapa besar
porsi belanjalangsung yang dapat mendorong
pertumbuhan perekonomian daerah danterkait langsung
dalam pemenuhan pelayanan kepada masyarakat.
Pengeluaran pemerintah daerah berperan
untukmempertemukan permintaan masyarakat dengan
penyediaan sarana dan prasarana yang tidak dipenuhi
oleh swasta. Sedangkan pengeluaran pemerintah itu
sendiri tidak begitu saja dilaksanakan oleh suatu
pemerintah daerah, tapi harus direncanakan terlebih
dahulu.
UU No.33 Tahun 2004 tentang perimbangan
keuangan daerah antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah, belanja daerah dimaksudkan sebagai
137
semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang
nilai kekayaan bersih dalam periode tahun
bersangkutan. Rinciannya bisa dibagi dalam dua bentuk
yaitu berdasar sifat dan berdasar fungsinya. Berdasar
sifat ekonominya belanja daerah terdiri atasbelanja
pegawai dan belanja barang, subsidi, hibah dan bantuan
sosial. Sedangkan berdasar fungsinya belanja daerah
terdiri dari belanja untuk pembangunan perumahan dan
fasilitas umum, peningkatan kesehatan,pariwisata,
budaya, agama, pendidikan serta perlindungan sosial.
Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
21 tahun 2011 Pasal 31 dikatakan bahwa ;
(1) Belanja daerah sebagaimana dimaksud dipergunakan
dalamrangka mendanai pelaksanaan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi
ataukabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib,
urusan pilihan dan urusan yang
penanganannyadalam bagian atau bidang tertentu
yang dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah
danpemerintah daerah atau antar pemerintah daerah
yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-
undangan.
(2) Belanja penyelenggaraan urusan wajib sebagaimana
dimaksud diprioritaskan untukmelindungi dan
meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat
dalam upaya memenuhi kewajibandaerah yang
diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan
dasar, pendidikan, kesehatan,fasilitas sosial dan
138
fasilitas umum yang layak serta mengembangkan
sistem jaminan sosial.
(3) Peningkatan kualitas kehidupan masyarakat
sebagaimana diwujudkanmelalui prestasi kerja
dalam pencapaian standar pelayanan minimal sesuai
dengan peraturanperundang-undangan.
Selanjutnya pada Pasal 32 dijelaskan klasifikasi
belanja pemerintah daerah terdiri atas belanja urusan
wajib dan belanja urusan pilihan. Klasifikasi belanja
menurut urusan wajib sebagaimana dimaksud
mencakup:
a. pendidikan;
b. kesehatan;
c. pekerjaan umum;
d. perumahan rakyat;
e. penataan ruang;
f. perencanaan pembangunan;
g. perhubungan;
h. lingkungan hidup;
i. pertanahan;
j. kependudukan dan catatan sipil;
k. pemberdayaan perempuan;
l. keluarga berencana dan keluarga sejahtera;
m. sosial;
n. tenaga kerja;
o. koperasi dan usaha kecil dan menengah;
p. penanaman modal;
q. kebudayaan;
r. pemuda dan olah raga;
139
s. kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;
t. pemerintahan umum;
u. kepegawaian;
v. pemberdayaan masyarakat dan desa;
w. statistik;
x. arsip; dan
y. komunikasi dan informatika.
Sementara klasifikasi belanja menurut urusan
pilihan sebagaimana dimaksud mencakup:
a. pertanian;
b. kehutanan;
c. energi dan sumber daya mineral;
d. pariwisata;
e. kelautan dan perikanan;
f. perdagangan;
g. perindustrian; dan
h. transmigrasi.
Belanja menurut urusan pemerintahan yang
penanganannya dalam bagian atau bidang tertentuyang
dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan
pemerintah daerah yang ditetapkandengan ketentuan
perundang-undangan dijabarkan dalam bentuk program
dan kegiatan yangdiklasifikasikan menurut urusan wajib
dan urusan pilihan.
Selanjutnya pada Pasal 33 mengatakan klasifikasi
belanja menurut fungsi yang digunakan untuk tujuan
140
keselarasan dan keterpaduanpengelolaan keuangan
negara terdiri dari:
a. pelayanan umum;
b. ketertiban dan ketentraman;
c. ekonomi;
d. lingkungan hidup;
e. perumahan dan fasilitas umum;
f. kesehatan;
g. pariwisata dan budaya;
h. pendidikan; dan
i. perlindungan sosial.
Kemudian Pasal 36 mengatakan;
(1) Belanja menurut kelompok belanja sebagaimana
dimaksud terdiri dari:
a. belanja tidak langsung; dan
b. belanja langsung.
Kelompok belanja tidak langsung sebagaimana
dimaksud pada huruf a merupakan belanjayang
dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan
pelaksanaan program dan kegiatan. Sementara
kelompok belanja langsung sebagaimana dimaksud
pada huruf b merupakan belanja yangdianggarkan
terkait secara langsung dengan pelaksanaan program
dan kegiatan.
Lebih lanjut pada Pasal 37 dikatakan bahwa;
Kelompok belanja tidak langsung sebagaimana
dimaksud dibagimenurut jenis belanja yang terdiri dari:
a. belanja pegawai;
141
b. bunga;
c. subsidi;
d. hibah;
e. bantuan sosial;
f. belanja bagi basil;
g. bantuan keuangan; dan
h. belanja tidak terduga.
Belanja pegawai sebagaimana dimaksud huruf a
merupakan belanja kompensasi dalam bentuk gaji dan
tunjangan, serta penghasilan lainnya yang diberikan
kepada pegawai negerisipil yang ditetapkan sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan. Uang
representasi dan tunjangan pimpinan dan anggota
DPRD serta gaji dan tunjangan kepaladaerah dan wakil
kepala daerah serta penghasilan dan penerimaan lainnya
yang ditetapkan sesuaidengan peraturan perundang-
undangan dianggarkan dalam belanja pegawai.
Kemudian pada Pasal 39 dikatakan bahwa
Pemerintah daerah dapat memberikan tambahan
penghasilan kepada pegawai negeri sipilberdasarkan
pertimbangan yang obyektif dengan memperhatikan
kemampuan keuangan daerahdan memperoleh
persetujuan DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.Tambahan penghasilan
sebagaimana dimaksud diberikan dalam rangka
peningkatankesejahteraan pegawai berdasarkan beban
kerja atau tempat bertugas atau kondisi kerja
ataukelangkaan profesi atau prestasi kerja. Tambahan
142
penghasilan berdasarkan beban kerja sebagaimana
dimaksud diberikankepada pegawai negeri sipil yang
dibebani pekerjaan untuk menyelesaikan tugas-tugas
yang dinilaimelampaui beban kerja normal. Tambahan
penghasilan berdasarkan tempat bertugas sebagaimana
dimaksud diberikan kepada pegawai negeri sipil yang
dalam melaksanakan tugasnya berada di daerahmemiliki
tingkat kesulitan tinggi dan daerah terpencil. Tambahan
penghasilan berdasarkan kondisi kerja sebagaimana
dimaksud diberikankepada pegawai negeri sipil yang
dalam melaksanakan tugasnya berada pada lingkungan
kerjayang memiliki risiko tinggi.Tambahan penghasilan
berdasarkan kelangkaan profesi sebagaimana dimaksud
diberikan kepada pegawai negeri sipil yang dalam
mengemban tugas memiliki keterampilan khususdan
langka.Tambahan penghasilan berdasarkan prestasi
kerja sebagaimana dimaksud diberikankepada pegawai
negeri sipil yang dalam melaksanakan tugasnya dinilai
mempunyai prestasi kerja. Kriteria pemberian tambahan
penghasilan ditetapkan dengan peraturan kepala daerah.
Selanjutnya pada Pasal 40 dikatakan bahwa;
Belanja bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
huruf b digunakan untuk menganggarkanpembayaran
bunga utang yang dihitung atas kewajiban pokok utang
(principal outstanding)berdasarkan perjanjian pinjaman
jangka pendek, jangka menengah, danjangka panjang.
Lebih lanjut pada Pasal 41 dikatakan
bahwaBelanja subsidi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37 huruf c digunakan untuk
143
menganggarkanbantuan biaya produksi kepada
perusahaan/lembaga tertentu agar harga jual
produksi/jasa yangdihasilkan dapat terjangkau oleh
masyarakat banyak. Perusahaan/lembaga tertentu
sebagaimana dimaksud adalah perusahaan/lembagayang
menghasilkan produk atau jasa pelayanan umum
masyarakat. Perusahaan/lembaga penerima belanja
subsidi sebagaimana dimaksud harusterlebih dahulu
dilakukan audit sesuaidengan ketentuan pemeriksaan
pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara.
Dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD,
penerima subsidi sebagaimana dimaksudwajib
menyampaikan laporan pertanggungjawaban
penggunaan dana subsidikepada kepala daerah. Belanja
subsidi sebagaimana dimaksud dianggarkan sesuai
dengan keperluanperusahaan/lembaga penerima subsidi
dalam peraturan daerah tentang APBD yang
peraturanpelaksanaannya lebih lanjut dituangkan dalam
peraturan kepala daerah.
Kemudian Pasal 42 dikatakan bahwa; Belanja
hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf d
digunakan untuk menganggarkanpemberian hibah
dalam bentuk uang, barang dan/atau jasa kepada
pemerintah atau pemerintahdaerah lainnya, dan
kelompok masyarakat/ perorangan yang secara spesifik
telah ditetapkanperuntukannya.Pemberian hibah dalam
bentuk uang dapat dianggarkan apabila pemerintah
daerah telahmemenuhi seluruh kebutuhan belanja
144
urusan wajib guna memenuhi standar pelayanan
minimumyang ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan. Pemberian hibah dalam bentuk barang dapat
dilakukan apabila barang tersebut tidak mempunyainilai
ekonomis bagi pemerintah daerah yang bersangkutan
tetapi bermanfaat bagi pemerintah ataupemerintah
daerah lainnya dan/atau kelompok
masyarakat/perorangan. Pemberian hibah dalam bentuk
jasa dapat dianggarkan apabila pemerintah daerah
telahmemenuhi seluruh kebutuhan belanja urusan wajib
guna memenuhi standar pelayanan minimumyang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Pemberian hibah dalam bentuk uang atau dalam bentuk
barang atau jasa dapat diberikan kepadapemerintah
daerah tertentu sepanjang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan.
Sementara Pasal 43 mengatakan bahwa; Hibah
kepada pemerintah bertujuan untuk menunjang
peningkatan penyelenggaraan fungsipemerintahan di
daerah. Hibah kepada perusahaan daerah bertujuan
untuk menunjang peningkatan pelayanan
kepadamasyarakat. Hibah kepada pemerintah daerah
lainnya bertujuan untuk menunjang
peningkatanpenyelenggaraan pemerintahan daerah dan
layanan dasar umum. Hibah kepada
badan/lembaga/organisasi swasta dan/atau kelompok
masyarakat/ peroranganbertujuan untuk meningkatkan
partisipasi dalam penyelenggaraan pembangunan
daerah.
145
Kemudian Pasal 44 mengatakan; Belanja hibah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 bersifat bantuan
yang tidak mengikat/tidaksecara terus menerus dan
harus digunakan sesuai dengan persyaratan yang
ditetapkan dalamnaskah perjanjian hibah daerah.(2)
Belanja hibah kepada pemerintah dikelola sesuai dengan
mekanisme APBN, serta hibah kepadapemerintah
daerah lainnya dan kepada perusahaan daerah,
badan/lembaga/organisasi swastadan/atau kelompok
masyarakat/perorangan dikelola dengan mekanisme
APBD sesuai denganperaturan perundang-undangan.
Lebih lanjut pada Pasal 45 dikatakan bahwa;
Bantuan sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
huruf e digunakan untuk menganggarkanpemberian
bantuan dalam bentuk uang dan/atau barang kepada
masyarakat yang bertujuan untukpeningkatan
kesejahteraan masyarakat. Bantuan sosial sebagaimana
dimaksud diberikan tidak secara terus
menerus/tidakberulang setiap tahun anggaran, selektif
dan memiliki kejelasan peruntukan penggunaannya.
Untuk memenuhi fungsi APBD sebagai instrumen
keadilan dan pemerataan dalam upayapeningkatan
pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, bantuan dalam
bentuk uang dapatdianggarkan apabila pemerintah
daerah telah memenuhi seluruh kebutuhan belanja
urusan wajibguna terpenuhinya standar pelayanan
minimum yang ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan.Bantuan kepada partai politik diberikan sesuai
146
dengan ketentuan peraturan perundang-
undangandianggarkan dalam bantuan sosial.
Pada sisi lain Pasal 46 mengatakan bahwa;
Belanja bagi hasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal
37 huruf f digunakan untuk menganggarkandana bagi
hasil yang bersumber dari pendapatan provinsi kepada
kabupaten/kota atau pendapatankabupaten/kota kepada
pemerintah desa atau pendapatan pemerintah daerah
tertentu kepadapemerintah daerah lainnya sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan.
Kemudian Pasal 47 mengatakan; Bantuan
keuangan sebagaimana dimaksud dalam- Pasal 37 huruf
g digunakan untukmenganggarkan bantuan keuangan
yang bersifat umum atau khusus dari provinsi
kepadakabupaten/kota, pemerintah desa, dan kepada
pemerintah daerah lainnya atau dari
pemerintahkabupaten/kota kepada pemerintah desa dan
pemerintah daerah lainnya dalam rangkapemerataan
dan/atau peningkatan kemampuan keuangan. Bantuan
keuangan yang bersifat umum sebagaimana dimaksud
peruntukan danpenggunaannya diserahkan sepenuhnya
kepada pemerintah daerah/pemerintah desa
penerimabantuan. Bantuan keuangan yang bersifat
khusus sebagaimana dimaksud peruntukan
danpengelolaannya diarahkan/ditetapkan oleh
pemerintah daerah pemberi bantuan. Pemberi bantuan
bersifat khusus sebagaimana dimaksud dapat
mensyaratkanpenyediaan dana pendamping dalam
147
APBD atau anggaran pendapatan dan belanja
desapenerima bantuan.
Selanjutnya Pasal 48 dikatakan; Belanja tidak
terduga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf h
merupakan belanja untukkegiatan yang sifatnya tidak
biasa atau tidak diharapkan berulang seperti
penanggulanganbencana alam dan bencana sosial yang
tidak diperkirakan sebelumnya, termasuk
pengembalianatas kelebihan penerimaan daerah tahun-
tahun sebelumnya yang telah ditutup. Kegiatan yang
bersifat tidak biasa sebagaimana dimaksud yaitu untuk
tanggapdarurat dalam rangka pencegahan gangguan
terhadap stabilitas penyelenggaraan pemerintahandemi
terciptanya keamanan, ketentraman dan ketertiban
masyarakat di daerah.Pengembalian atas kelebihan
penerimaan daerah tahun-tahun sebelumnya yang telah
ditutupsebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
didukung dengan bukti-bukti yang sah.
Lebih lanjut pada Pasal 49 dikatakan; Belanja
pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf a
dianggarkan pada belanjaorganisasi berkenaan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.Belanja bunga,
belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial,
belanja bagi hasil, belanjabantuan keuangan, dan
belanja tidak terduga sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37 huruf b,huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf
g, dan huruf h hanya dapat dianggarkan pada
belanjaSKPKD.
148
Sementara itu Pasal 50 mengatakan bahwa;
Kelompok belanja langsung dari suatu kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) hurufb
dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari:
a. belanja pegawai;
b. belanja barang dan jasa; dan
c. belanja modal.
Kemudian Pasal 51 dikatakan bahwa; Belanja
pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf a
untuk pengeluaran honorarium/upah dalam
melaksanakan program dan kegiatan pemerintahan
daerah.
Selanjutnya Pasal 52 mengatakan; Belanja barang
dan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf b
digunakan untukpengeluaran pembelian/pengadaan
barang yang nilai manfaatnya kurang dari 12 (duabelas)
bulandan/atau pemakaian jasa dalam melaksanakan
program dan kegiatan pemerintahan daerah.
Pembelian/pengadaan barang dan/atau pemakaian jasa
sebagaimana dimaksud mencakup belanja barang pakai
habis, bahan/material, jasa kantor, premi asuransi,
perawatankendaraan bermotor, cetak/penggandaan,
sewa rumah/gedung/gudang/parkir, sewa sarana
mobilitas, sewa alat berat, sewa perlengkapan dan
peralatan kantor, makanan dan minuman,pakaian dinas
dan atributnya, pakaian kerja, pakaian khusus dan hari-
hari tertentu, perjalanandinas, perjalanan dinas pindah
tugas dan pemulangan pegawai.
149
Lebih lanjutnya Pasal 53 dikatakan; Belanja
modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf c
digunakan untuk pengeluaran yangdilakukan dalam
rangka pembelian/pengadaan atau pembangunan aset
tetap berwujud yangmempunyai nilai manfaat lebih dari
12 (duabelas) bulan untuk digunakan dalam
kegiatanpemerintahan, seperti dalam bentuk tanah,
peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan,irigasi
dan jaringan, dan aset tetap lainnya. Nilai
pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap
berwujud sebagaimana yang dimaksud dianggarkan
dalam belanja modal hanya sebesar harga beli/bangun
aset.Belanja honorarium panitia pengadaan dan
administrasi pembelian/pembangunan untuk
memperoleh setiap aset yang dianggarkan pada belanja
modal sebagaimana dimaksud dianggarkan pada belanja
pegawai dan/atau belanja barang dan jasa.
150
BAB VIII
LAPORAN KEUANGAN DAERAH
aporan Keuangan merupakan laporan yang
terstruktur mengenai posisi keuangan dan
transaksi-transaksi yang dilakukan oleh suatu
entitas pelaporan. Tujuan umum laporan keuangan
adalah menyajikan informasi mengenai posisi keuangan.
Pelaporan keuangan pemerintah seharusnya menyajikan
informasi yang bermanfaat bagi para pengguna dalam
menilai akuntabilitas dan membuatkeputusan baik
keputusan ekonomi, sosial, maupun politik dengan: (a)
menyediakan informasi tentang sumber, alokasi dan
penggunaan sumber daya keuangan; (b) Menyediakan
informasi mengenai kecukupan penerimaan periode
berjalan untuk membiayai seluruh pengeluaran;(c)
Menyediakan informasi mengenai jumlah sumber daya
ekonomi yang digunakan dalam kegiatan entitas
pelaporan serta hasil-hasil yang telahdicapai; (d)
Menyediakan informasi mengenai bagaimana entitas
pelaporan mendanai seluruh kegiatannya dan
mencukupi kebutuhan kasnya; (e) Menyediakan
informasi mengenai posisi keuangan dan kondisi entitas
pelaporan berkaitan dengan sumber-sumber
penerimaannya, baik jangka pendek maupun jangka
panjang, termasuk yang berasal dari pungutan pajak dan
L
151
pinjaman; (f) Menyediakan informasi mengenai
perubahan posisi keuangan entitas pelaporan, apakah
mengalami kenaikan atau penurunan, sebagai akibat
kegiatan yang dilakukan selama periode pelaporan.
Untuk memenuhi tujuan tersebut, Laporan
Keuangan menyediakan informasi mengenai entitas
pelaporan dalam hal:
Aset
Kewajiban
Ekuitas Dana
Pendapatan
Belanja
Transfer
Pembiayaan, dan
Arus kas
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat Dan
Pemerintahan Daerah dan Peraturan menteri dalam
negeri Nomor 21 tahun 2011 tentang perubahan kedua
atas peraturan menteri dalam negeri nomor 13 tahun
2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah
disebutkan bahwa; Dalam rangka pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD, maka pemerintah daerah wajib
menyusun laporan keuangan yang meliputi:
a. APBD dan laporan realisasi APBD provinsi,
kabupaten, dan kota;
b. Neraca;
c. Laporan Arus Kas; dan
152
d. Catatan atas laporan keuangan.
A. Laporan Realisasi Anggaran
Laporan Realisasi Anggaran menunjukkan
kinerja pemerintah daerah sebagai penyusun dan
pelaksana APBD. Laporan realisasi anggaran
menyajikan ikhtisar sumber, alokasi dan pemakaian
sumberdaya ekonomi yang dikelola oleh pemerintah
baik pusat maupun daerah, yang menggambarkan
perbandingan antara anggaran dan realisasinya dalam
satu periode pelaporan. Pelaporan mencerminkan
kegiatan keuangan pemerintah daerah yang
menunjukkan ketaatan terhadap pelaksanaan APBD.
Dengan demikian, Laporan Realisasi Anggaran
menyajikan pendapatan pemerintah daerah selama satu
periode, belanja, surplus/defisit, pembiayaan dan sisa
lebih/kurang pembiayaan anggaran.
Contoh laporan realisasi anggaran dapat dilihat
SKPD dan Pemerintah daerah dapat dilihat padatabel ..
153
154
155
156
Neraca
Neracaadalah laporan keuangan yang
menyajikan posisi keuangan entitas ekonomi pada suatu
saat (tanggal) tertentu. Laporan ini dibuat untuk
menyajikan informasi keuangan yang dapat dipercaya
mengenai aktiva, utang, dan ekuitas dana.
Aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai
dan/atau dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari
peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi
dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat
diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat,
serta dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumber
daya nonkeuangan yang diperlukan untuk penyediaan
jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya
yang dipelihara karena alasan sejarah dan budaya. Aset
diklasifikasikan ke dalam aset lancar, investasi jangka
panjang, aset tetap.
Kewajiban umumnya timbul karena konsekuensi
pelaksanaan tugas atau tanggung jawab untuk bertindak
di masa lalu. Dalam konteks pemerintahan, kewajiban
muncul antara lain karena penggunaan sumber
pembiayaan pinjaman dari masyarakat, lembaga
keuangan, entitas pemerintah lain, atau lembaga
internasional. Kewajiban pemerintah juga terjadi karena
perikatan dengan pegawai yang bekerja pada
pemerintah atau dengan pemberi jasa
lainnya.Kewajibandiklasifikasikan ke dalam kewajiban
jangka pendek dan kewajiban jangka panjang.
Ekuitas
157
Ekuitas adalah kekayaan bersih pemerintah yang
merupakan selisih antara aset dan kewajiban
pemerintah. Ekuitas dibedakan dalam bentuk, ekuitas
dana lancar, ekuitas dana investasi, dan ekuitas dana
cadangan.
Ekuitas Dana Lancar adalah selisih antara aset
lancar dan kewajiban jangka pendek. Ekuitas dana
lancar antara lain sisa lebih pembiayaan anggaran,
cadangan piutang, cadangan persediaan, dan dana yang
harus disediakan untuk pembayaran utang jangka
pendek. Sementara Ekuitas Dana Investasi
mencerminkan kekayaan pemerintah yang tertanam
dalam investasi jangka panjang, aset tetap, dan aset
lainnya, dikurangi dengan kewajiban jangka panjang.
Selanjutnya Ekuitas Dana Cadangan mencerminkan
kekayaan pemerintah yang dicadangkan untuk tujuan
tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
158
159
Laporan Arus Kas
Laporan Arus Kas menyajikan informasi
mengenai sumber, penggunaan, perubahan kas dan
setara kas pada tanggal pelaporan. Informasi ini
160
disajikan untuk pertanggungjawaban dan pengambilan
keputusan. Contoh Laporan Arus Kas dapat dilihat pada
Tabel
161
162
B. Catatan Atas Laporan Keuangan
Catatan atas Laporan Keuangan meliputi
penjelasan naratif atau rincian dari angka yang tertera
dalam Laporan Realisasi Anggaran, LaporanPerubahan
Saldo Anggaran Lebih (SAL), Laporan Operasional,
Laporan Perubahan Ekuitas, Neraca, dan Laporan Arus
Kas. Catatan atas Laporan Keuangan juga mencakup
informasi tentang kebijakan akuntansi yang
dipergunakan oleh entitas pelaporan dan informasi lain
yang diharuskan dan dianjurkan untuk diungkapkan di
dalam Standar Akuntansi Pemerintahan serta ungkapan-
ungkapan yang diperlukan untuk menghasilkan
penyajian laporan keuangan secara wajar. Catatan atas
laporan keuangan menyediakan hal-hal sebagai berikut:
a. Mengungkapkan informasi Umum tentang Entitas
Pelaporan dan Entitas Akuntansi;
b. Menyajikan informasi tentang kebijakan
fiskal/keuangan dan ekonomi makro;
c. Menyajikan ikhtisar pencapaian target keuangan
selama tahun pelaporan berikut kendala dan
hambatan yang dihadapi dalam pencapaian target;
d. Menyajikan informasi tentang dasar penyusunan
laporan keuangan dankebijakan-kebijakan
akuntansi yang dipilih untuk diterapkan atas
transaksitransaksi dan kejadian-kejadian penting
lainnya;
e. Menyajikan rincian dan penjelasan masing-masing
pos yang disajikan padalembar muka laporan
keuangan;
163
Termasuk pula dalam Catatan atas Laporan
Keuangan adalah penyajian informasi yang diharuskan
dan dianjurkan oleh Pernyataan Standar Akuntansi
Pemerintahan serta pengungkapan-pengungkapan
lainnya yang diperlukan untuk penyajian yang wajar
atas laporan keuangan, seperti kewajiban kontijensi dan
komitmen-komitmen lainnya. Komponen-komponen
laporan keuangan tersebut disajikan oleh setiap entitas
pelaporan, kecuali Laporan Arus Kas yang hanya
disajikan oleh unit yang memiliki fungsi
perbendaharaan.
164
BAB IX
KINERJA KEUANGAN DAERAH
rganisasi sektor publik merupakan organisasi
yang bertujuanmemberikan pelayanan publik
kepada masyarakat dengan sebaik-
baiknya,misalnya dalam bidang pendidikan, kesehatan,
keamanan, penegakan hukum, transportasi dan
sebagainya. Pelayanan publik diberikan kepada
masyarakat, karena masyarakatmerupakan salah satu
stakeholder organisasi sektor publik. Sehingga
pemerintahdaerah tidak hanya menyampaikan laporan
pertanggungjawaban kepadapemerintah pusat saja,
tetapi juga kepada masyarakat luas.
Oleh karena itulah diperlukan sistem pengukuran
kinerja yang bertujuanuntuk membantu manajer publik
untuk menilai pencapaian suatu strategi melalui
alat ukur finansial dan non finansial. Sistem pengukuran
kinerja dapat dijadikan
sebagai alat pengendalian organisasi.
Kinerja merupakan pencapaian atas apa yang
direncanakan, baik oleh pribadi maupun organisasi.
Apabila pencapaian sesuai dengan yang direncanakan,
maka kinerja yang dilakukan terlaksana dengan baik.
Apabila pencapaian melebihi dari apa yang
direncanakan dapat dikatakan kinerjanya sangat baik.
O
165
Begitupun sebaliknya apabila pencapaian tidak sesuai
dengan apa yang direncanakan atau kurang dari apa
yang direncanakan, maka kinerjanya dapat dikatakan
sangat buruk.
Kinerja keuangan adalah suatu ukuran kinerja
yang menggunakanindikator keuangan. Analisis kinerja
keuangan pada dasarnya dilakuan untukmenilai kinerja
di masa lalu dengan melakukan berbagai analisis
sehinggadiperoleh posisi keuangan yang mewakili
realitas entitas dan potensi-potensikinerja yang akan
berlanjut. Pertanyaan yang muncul mengapa
pengukuran kinerja diperlukan? Jawaban dari
pertanyaan tersebut yaitu, karena pengukuran kinerja
danindikator merupakan bagian dari proses manajemen
strategis (Jackson danPalmer, 1992).
Oleh karena itu, sebagai suatu elemen
manajerial, kinerjamerupakan kunci sukses. Keputusan
strategis disusun melalui kebijakan untukmencapai
sasaran dan target yang diinginkan. Pencapaian sasaran
dan targetmembutuhkan informasi tentang aktual
kinerja yang diharapkan denganmembandingkan
kebijakan yang ditetapkan (setting objectives).
Informasi yangdiharapkan harus tersusun, dan
merupakan desain pengukuran kinerja danindikator
yang terurai dan jelas.
Ada beberapa pemikiran untuk membangun
organisasi pemerintah daerahmelalui pengukuran
kinerja setiap aktifitas kegiatannya baik rutin
166
danpembangunan, dari sektor sampai dengan proyek.
Pengukuran kinerja merupakansuatu alat manajemen
yang digunakan untuk meningkatkan kualitas
danpengambilan keputusan; sebagai alat untuk menilai
pencapaian tujuan dan sasaranorganisasi (Withaker :
1993). Analisis kinerja keuanganadalah usaha
mengidentifikasi ciri-ciri keuangan berdasarkan laporan
keuanganyang tersedia.
Kinerja keuangan pemerintah daerah adalah
kemampuan suatu daerahuntuk menggali dan mengelola
sumber-sumber keuangan asli daerah dalammemenuhi
kebutuhannya guna mendukung berjalannya sistem
pemerintahan, pelayanan kepada masyarakat dan
pembangunan daerahnya dengan tidaktergantung
sepenuhnya kepada pemerintah pusat dan mempunyai
keleluasaan di
dalam menggunakan dana-dana untuk kepentingan
masyarakat daerah dalambatas-batas yang ditentukan
peraturan perundang-undangan (Syamsi,1986).
Pengukuran kinerja keuangan pemerintah daerah
dilakukan untukmemenuhi tiga tujuan (Mardiasmo,
2002: 121) yaitu memperbaiki kinerjapemerintah,
membantu mengalokasikan sumber daya dan pembuatan
keputusan
dan mewujudkan pertanggungjawaban publik dan
memperbaiki komunikasikelembagaan. Pelaksanaan
otonomi daerah tentunya tidak mudah,
karenamenyangkut masalah kemampuan daerah itu
167
sendiri dalam membiayaipenyelenggaraan urusan
pemerintahan beserta pelaksanaan pembangunan dalam
upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, masalah
kemampuan daerah berarti
menyangkut masalah bagaimana daerah memperoleh
dan meningkatkansumber-sumber pendapatan daerah
untuk menjalankan kegiatanpemerintahannya.
Menurut Prabowo (1999) sesuai dengan konsep
asas desentralisasidalam rangka menunjang pelaksanaan
pembangunan di daerah sangat dibutuhkandana dan
sumber-sumber pembiayaan yang cukup memadai,
karena kalau daerahtidak mempunyai sumber keuangan
yang cukup akibatnya tergantung teruskepada
pemerintah pusat.
Semakin meningkatnya kegiatan pembangunan
di daerah, semakin besar
pula kebutuhan akan dana yang harus dihimpun oleh
pemerintah daerah,kebutuhan dana tersebut tidak dapat
sepenuhnya disediakan oleh dana yangbersumber dari
pemerintah daerah sendiri (Hirawan, 1990).Dengan
demikian maka perlu mengetahui apakah suatu daerah
itu mampuuntuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri, maka kita harusmengetahui keadaan
kemampuan keuangan daerah.
Ada beberapa kriteria yang dapat dijadikan
ukuran untuk mengetahuikemampuan pemerintah
daerah dalam mengatur rumah tangganya
sendiri(Syamsi, 1986: 99).
168
1. Kemampuan struktural organisasinya.
Struktur organisasi pemerintah daerah harus mampu
menampung segalaaktivitas dan tugas-tugas yang
menjadi beban dan tanggung jawabnya, jumlahunit-
unit beserta macamnya cukup mencerminkan
kebutuhan, pembagiantugas, wewenang dan
tanggung jawab yang cukup jelas.
2. Kemampuan aparatur pemerintah daerah
Aparat pemerintah daerah harus mampu menjalankan
tugasnya dalammengatur dan mengurus rumah
tangga daerahnya. Keahlian, moral, disiplindan
kejujuran saling menunjang tercapainya tujuan yang
diidam-idamkan olehdaerah.
3. Kemampuan mendorong partisipasi masyarakat
Pemerintah daerah harus mampu mendorong agar
masyarakat mau berperanserta dalam kegiatan
pembangunan.
4. Kemampuan keuangan daerah
Pemerintah daerah harus mampu membiayai semua
kegiatan pemerintahan,pembangunan dan
kemasyarakatan sebagai pelaksanaan pengaturan
danpengurusan rumah tangganya sendiri. Untuk itu
kemampuan keuangan daerahharus mampu
mendukung terhadap pembiayaan kegiatan
pemerintahan,pembangunan dan kemasyarakatan.
Selain faktor alam, tenaga kerja, dan teknologi,
maka salah satu faktorutama lainnya adalah faktor
kapital, yang biasa disebut sumber daya modal(capital
resources). Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan
169
bahwapenerimaan daerah merupakan sumber modal,
yang dihimpun dan dimanfaatkan
untuk membiayai berbagai kegiatan pelaksanaan
pembangunan daerah
(Soediyono, 1992).
Selanjutnya Davey (1988) mengungkapkan
bahwa otonomi daerahmenuntut adanya kemampuan
pemerintah daerah untuk menggali sumber-sumber
penerimaan yang tidak tergantung kepada pemerintah
pusat dan mempunyaikeleluasaan di dalam
menggunakan dana-dana untuk kepentingan
masyarakatdaerah dalam batas-batas yang ditentukan
peraturan perundang-undangan.
A. Analisis Rasio Keuangan Daerah
Pemerintah daerah sebagai pihak yang diberikan
tugas menjalankan pemerintahan, pembangunan dan
pelayanan masyarakat wajib melaporkan
pertanggungjawaban keuangan daerah sebagai dasar
penilaian kinerjakeuangannya. Salah satu alat untuk
menganalisis kinerja pemerintah daerah
dalammengelola keuangan daerahnya adalah dengan
melakukan analisis rasio keuanganterhadap APBD yang
telah ditetapkan dan dilaksanakannya (Halim, 2007).
Penggunaan analisis rasio keuangan sebagai alat
analisis kinerja keuangansecara luas telah diterapkan
pada lembaga perusahaan yang bersifat
komersial,sedangkan pada lembaga publik khususnya
170
pemerintah daerah masih sangatterbatas sehingga secara
teoritis belum ada kesepakatan yang bulat
mengenainama dan kaidah pengukurannya. Dalam
rangka pengelolaan keuangan daerahyang transparan,
jujur, demokratis, efektif, efisien, dan akuntabel, maka
analisis
rasio keuangan terhadap pendapatan belanja daerah
perlu dilaksanakan(Mardiasmo, 2002).
Beberapa rasio keuangan yang dapat digunakan
untuk mengukurakuntabilitas pemerintah daerah
(Halim, 2007) yaitu rasio kemandirian, rasioefektivitas,
rasio efisiensi keuangan daerah dan rasio keserasian
belanja.Adapun pihak-pihak yang berkepentingan
dengan rasio keuanganpemerintah daerah (Halim,2007)
adalah :
1. Pihak eksekutif sebagai landasan dalam menyusun
APBD berikutnya.
2. Pemerintah pusat/provinsi sebagai masukan dalam
membina pelaksanaanpengelolaan keuangan daerah.
3. Masyarakat dan kreditur, sebagai pihak yang akan
turut memiliki sahampemerintah daerah, bersedia
memberi pinjaman maupun membeli obligasi.
Dengan demikian dalam organisasi pemerintah
untuk mengukur kinerjakeuangan ada beberapa ukuran
kinerja yang dapat digunakan seperti rasiokemandirian,
rasio efektivitas, rasio efisiensi dan rasio keserasian
belanja. Untuk itu, penjelasan terkait dengan rasio
kemandirian, rasio efektivitas, rasio efisiensidan rasio
keserasian belanja.
171
B. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Rasio kemandirian keuangan daerah
menunjukkan kemampuanpemerintah daerah dalam
membiayai sendiri kegiatan pemerintahan,pembangunan
dan pelayanan kepada masyarakat. Rasio
kemandiriandihitung dengan membagi total PAD
dengan total belanja daerah dalamsatuan persen (Suyana
Utama, 2008).
Semakin tinggi rasio ini berarti tingkat
ketergantungan daerahterhadap bantuan pihak
pemerintah pusat dan provinsi semakin rendah,demikian
pula sebaliknya. Rasio ini juga menggambarkan
tingkatpartisipasi masyarakat dalam pembangunan
daerah. Semakin tinggi rasioini berarti semakin tinggi
partisipasi masyarakat dalam membayar pajakdan
retribusi daerah yang merupakan komponen dari PAD.
Secara sederhana rasio kemandirian dapat
diformulasikan sebagaiberikut (Mahsun dalam Suyana
Utama, 2008) :
100% x Daerah Belanja Total
Daerah Asli Pendapatan nKemandiriaRasio
Paul Hersey dan Kenneth Blanchard
mengemukakan mengenai hubungan antara pemerintah
pusat dan daerahdalam pelaksanaan otonomi daerah,
terutama pelaksanaan undang-undangtentang
172
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan
daerah, yaitusebagai berikut.
1. Pola hubungan instruktif, yaitu peranan pemerintah
pusat lebihdominan daripada kemandirian
pemerintah daerah.
2. Pola hubungan konsultatif, yaitu campur tangan
pemerintah pusatsudah mulai berkurang dan lebih
banyak pada pemberian konsultasi.
3. Pola hubungan partisipatif, yaitu pola di mana
peranan pemerintahpusat semakin berkurang
mengingat tingkat kemandirian daerahotonom
bersangkutan mendekati mampu melaksanakan
urusanotonomi.
4. Pola hubungan delegatif, yaitu campur tangan
pemerintah pusat sudahtidak ada lagi karena daerah
telah benar-benar mampu dan mandiridalam
melaksanakan urusan otonomi daerah.
Rasio kemandirian keuangan daerah atau yang
sering disebutsebagai otonomi fiskal menunjukkan
kemampuan daerah dalammembiayai sendiri kegiatan
pemerintahan, pembangunan, dan pelayanankepada
masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi
sebagaisumber pendapatan yang diperlukan daerah.
Rasio ini jugamenggambarkan ketergantungan
pemerintah daerah terhadap sumber danaeksternal.
Semakin tinggi rasio ini, maka tingkat ketergantungan
daerahterhadap pihak eksternal semakin rendah, begitu
pula sebaliknya.
173
C. Rasio Efektivitas Dan Efisiensi Keuangan
Daerah
Pengertian efektivitas berhubungan dengan
derajat keberhasilansuatu operasi pada sektor publik
sehingga suatu kegiatan dikatakan efektifjika kegiatan
tersebut mempunyai pengaruh besar terhadap
kemampuanmenyediakan pelayanan masyarakat yang
merupakan sasaran yang telahditetapkan sebelumnya.
Rasio efektivitas merupakan tingkat
pencapaianpelaksanaan suatu kegiatan atau prestasi
yang dicapai oleh pemerintahdaerah yang diukur dengan
membandingkan realisasi pendapatan dengananggaran
pendapatan, dalam satuan persen (Suyana Utama,
2008).
Rasio efektivitas diukur dengan :
100% x PendapatanAnggaran
Pendapatan Realisasi sEfektivita Rasio
D. Rasio Efisiensi Keuangan Daerah
Rasio efisiensi merupakan tingkat pencapaian
pelaksanaan suatukegiatan atau prestasi yang dicapai
oleh pemerintah daerah yang diukurdengan
membandingkan realisasi belanja dengan anggaran
belanja yangtelah ditetapkan, dalam satuan persen
174
(Suyana Utama, 2008). Semakinkecil rasio ini, maka
semakin efisien, begitu pula sebaliknya. Pada
sektorpelayanan masyarakat adalah suatu kegiatan yang
dilakukan dengan baikdan pengorbanan seminimal
mungkin. Suatu kegiatan dikatakan telahdikerjakan
secara efisien jika pelaksanaan pekerjaan tersebut
telahmencapai hasil (output) dengan biaya (input) yang
terendah atau denganbiaya minimal diperoleh hasil yang
diinginkan (Mahsun, 2006).
Rasio efisiensi diukur dengan
100% x Daerah BelanjaAnggaran
Daerah Belanja Realisasi Efisiensi Rasio
Dengan mengetahui hasil perbandingan antara
realisasi belanja dananggaran belanja daerah dengan
menggunakan ukuran efisiensi tersebut,maka penilaian
kinerja keuangan dapat ditentukan.
Faktor penentu efisiensi dan efektivitas sebagai berikut
(Budiarto, 2007) :
a. faktor sumber daya, baik sumber daya manusia
seperti tenaga kerja,kemampuan kerja maupun
sumber daya fisik seperti peralatan kerja,tempat
bekerja serta dana keuangan;
b. faktor struktur organisasi, yaitu susunan yang stabil
dari jabatan-jabatan,baik itu struktural maupun
fungsional;
c. faktor teknologi pelaksanaan pekerjaan;
d. faktor dukungan kepada aparatur dan
pelaksanaannya, baik pimpinanmaupun masyarakat;
175
e. faktor pimpinan dalam arti kemampuan untuk
mengombinasikan keempat faktor tersebut kedalam
suatu usaha yang berdaya guna danberhasil guna
untuk mencapai sasaran yang dimaksud.
E. Rasio Keserasian Belanja
Rasio keserasian menggambarkan bagaimana
pemerintah daerahmemprioritaskan alokasi dananya
pada belanja aparatur dan belanjapelayanan publik
secara optimal. Dalam studi ini digunakan
proporsibelanja publik karena belanja publik secara
langsung dimaksudkan untukdapat meningkatkan
kesejahteraan hidup masyarakat. Rasio keserasiandiukur
dengan membandingkan realisasi total belanja publik
dengan totalbelanja daerah dalam satuan persen.
Secara sedarhana rasio keserasian belanja dapat
diformulasikansebagai berikut :
100% x Daerah Belanja Total
PublikPelayanan Belanja Belanja Keserasian Rasio
Dengan mengetahui hasil perbandingan antara
realisasi belanja dananggaran belanja daerah dengan
menggunakan ukuran efisiensi tersebut,maka penilaian
kinerja keuangan dapat ditentukan sebagai
berikut(Mahsun, 2006) :
176
F. Kesejahteraan Masyarakat
Upaya penciptaan kesejahteraan di masyarakat
dapat diartikan pulasebagai upaya untuk mengentaskan
masyarakat dari kemiskinan.Kemiskinan memang tidak
dapat dihilangkan namun kemiskinan dapatdikurangi,
hal inilah yang terus diupayakan oleh pemerintah.
Socialsecurity dimaksudkan untuk mengurangi jumlah
kemiskinan bukan untukmenghilangkan kemiskinan
melalui program-programnya. Berbicara mengenai
kemiskinan tentunya kita tidak dapat
melepaskan diri dari mendefinisikan kemiskinan
(poverty), yang padadasarnya merupakan aktifitas
politik, konflik politik terhadap kemiskinanakan
mengarah pada kemiskinan itu sendiri. Dimensi yang
berkaitandengan kemiskinan meliputi tiga hal yaitu
kegunaan (utility), penghasilan(income), dan
kemampuan (capabilities). Utility tidak hanya
mengacupada preferensi secara individu, tetapi juga
dasar tujuan dari kebijakandengan memperhatikan
preferensi individu bersangkutan (Sen, 1979).
Income kadang diintepretasikan dengan “ukuran
uang” yang menekankan
pada pendapatan perkapita sebagai ukuran
pembangunan. Capabilities berkaitan dengan
kekurangan kebutuhan dasar, termasuk di dalamnya
menghindari kemiskinan dan buta huruf (Sen, 1985).
Sedangkan Social Security Administration (SSA,
1987)mendefinisikan kemiskinan hanya memasukkan
penghasilan yang berupakas, dan tidak
177
memperhitungkan perawatan yang diperoleh secara
gratis,food stamps, sekolah dengan gratis dan
penyelenggaraan perumahanrakyat (Danzinger dan
Haveman, 1981). Berbicara mengenai penguranganatau
penghapusan kemiskinan sama artinya kita berbicara
mengenaiperubahan dalam pendistribusian pendapatan
(Levine, 1970).
Menurut Whyte dalam Ahluwalia (1976)
kemiskinan merupakanfenomena relative deprivation.
Ada dua macam kemiskinan menurutbeliau, yakni
kemiskinan yang bersifat relatif dan kemiskinan
yangbersifat absolut (relative and absolute poverty).
Kemiskinan absolutadalah ukuran kemiskinan yang
menggunakan indikator-indikator empirisseperti tingkat
kelaparan, malnutrisi, buta huruf, perkampungan
kumuh, buruknya tingkat kesehatan, dan lain-lain.
Kemiskinan relatif adalahkemiskinan diukur relatif
antarkelompok pendapatan, oleh karenanyaselalu
dinamis. Hakikat kemiskinan ini tidak dilihat dari
indikatorindikatorekonomi, namun menyangkut aneka
dimensi social.
Landasanutamanya adalah psikologis, yakni
suatu perasaan dari individu-individumasyarakat yang
selalu membandingkan dirinya dengan individu
laindalam suatu masyarakat (reference group), di mana
ia menjadi bagian.Karena itu kemiskinan terjadi di mana
saja, termasuk di negaranegaramaju yang secara absolut
masyarakatnya telah jauh di atas gariskemiskinan.
178
Jepang sebagai negara post-industry, rata-rata
pendapatannyatelah jauh melampaui garis kemiskinan
absolut, tetapi masih banyak pulaorang Jepang yang
merasa dirinya miskin. Ini terjadi karena perasaanrelatif
(Winarni, 1994).
Di Indonesia sejak tahun 1976 Badan Pusat
Statistik (BPS) telahmenghitung jumlah dan persentase
penduduk miskin yaitu penduduk yanghidup di bawah
garis kemiskinan. Penghitungan garis
kemiskinandilakukan dengan menggunakan data hasil
Survei Sosial EkonomiNasional (Susenas) modul
konsumsi yang dilakukan setiap 3 tahun sekali.
Garis kemiskinan, yang merupakan dasar
penghitungan jumlah pendudukmiskin, dihitung dengan
menggunakan pendekatan kebutuhan dasar.Kebutuhan
dasar adalah besarnya rupiah yang dibutuhkan untuk
dapatmemenuhi kebutuhan dasar minimum makanan
dan non makanan, ataulebih dikenal dengan garis
kemiskinan makanan dan non makanan.
Gariskemiskinan makanan yaitu pengeluaran konsumsi
perkapita per bulanyang setara 2.100 kalori perkapita
per hari. Sementara garis kemiskinan non makanan
adalah besarnya rupiah untuk memenuhi
kebutuhanminimum non makanan seperti perumahan,
kesehatan, pendidikan,angkutan, pakaian, dan
barang/jasa lainnya. Sehingga dapat dikatakanbahwa
penduduk yang miskin adalah yang berada di bawah
gariskemiskinan, dan yang berada di atas garis
179
kemiskinan adalah pendudukyang telah sejahtera/tidak
miskin (Winarni, 1994).
Langkah utama yang dapat dilakukan adalah
dengan memperbaikidistribusi outcomes (World Bank,
1999). Di sisi lain pemerintah harusmenginvestasikan
dan mengalokasikan kembali (reallocate)
anggaranberdasar pelayanan yang diberikan. Termasuk
juga pendidikan dasar danperawatan kesehatan yang
sangat dibutuhkan oleh sebagian besar warga.
Kebijakan yang ada akan berusaha untuk
mengidentifikasikan kemiskinan
dan target yang ingin dicapai untuk memberikan
pelayanan denganpendistribusian kembali kebutuhan
yang urgent dan penggunaan jaringpengaman sosial
dalam ekonomi pasar (World Bank, 1990; Lipton
danRavallion, 1994). Target yang optimal dan program
secara keseluruhandalam memerangi kemiskinan
tergantung pada banyak faktor, termasukkarakteristik
the poor (siapakah orang miskin, berapa banyak
mereka, danmengapa mereka miskin) dan kondisi
spesifik yang melingkupinya(kondisi, pembangunan
infrastruktur, dan kemampuan administratif).
Murray (1994) membandingkan tiga ukuran
kemiskinan yaitu officialpoverty, net poverty, dan latent
poverty. Official poverty adalah jumlahkemiskinan yang
digunakan oleh pemerintah US dengan
mendasarkanpada indeks kemiskinan. Net poverty
adalah official poverty dikuranginilai keuntungan (the
180
value of in-kind benefits). Laten poverty adalah lebih
mengacu pada jumlah orang-orang yang akan miskin
jika mereka tidakmenerima bantuan sosial dan public
assistance payment.
Di Indonesia, bantuan sosial (social assistance)
merupakanprogram langsung pemerintah melalui APBN
atau APBD yangmenyediakan kebutuhan dasar seperti
pangan, papan, sandang, kesehatan,dan pendidikan
untuk masyarakat miskin dan sangat miskin.
Elemenkedua adalah jaminan sosial (social insurance)
(Barr and Whynes, 1993),yakni program partisipasi
masyarakat, sementara pemerintah sebagairegulator dan
fasilitator. Bentuknya berupa penyediaan jaminan
sosialdasar seperti dana pensiun, dan tenaga kerja.
Ketiga yakni jaminan pribadi(individual insurance)
yang merupakan partisipasi individu danpemerintah
sebagai regulator.
G. Konsep Value for Money Sektor Publik
Indikasi keberhasilan otonomi daerah dan
desentralisasi adalahterjadinya peningkatan pelayanan
dan kesejahteraan masyarakat (socialwelfare) yang
semakin baik, kehidupan demokrasi yang semakin
maju,keadilan, pemerataan, serta adanya hubungan yang
serasi antara pusat dandaerah serta antar daerah.
Keadaan tersebut hanya akan tercapai apabilalembaga
sektor publik dikelola dengan memperhatikan konsep
value formoney.
181
Value for money berarti diterapkannya tiga
prinsip dalam prosespenganggaran yaitu ekonomi,
efisiensi, dan efektivitas. Ekonomi berkaitandengan
pemilihan dan penggunaan sumber daya dalam jumlah
dankualitas tertentu pada harga yang paling murah.
Efisiensi berarti bahwapenggunaan dana masyarakat
(public money) tersebut dapat menghasilkan output yang
maksimal (berdaya guna). Efektivitas berarti
bahwapenggunaan anggaran tersebut harus mencapai
target-target atau tujuankepentingan publik.
Dalam konteks otonomi daerah, value for money
merupakanjembatan untuk menghantarkan pemerintah
daerah mencapai goodgovernance. Value for money
tersebut harus dioperasionalkan dalampengelolaan
keuangan daerah dan anggaran daerah. Untuk
mendukungdilakukannya pengelolaan dana publik
(public money) yang mendasarkankonsep value for
money, maka diperlukan sistem pengelolaan
keuangandaerah dan anggaran daerah yang baik. Hal
tersebut dapat tercapai apabilapemerintah daerah
memiliki sistem akuntansi yang baik
(Mardiasmo,2002:7).
H. Indikator Kesejahteraan Masyarakat
Menurut United Nations Development
Programme (UNDP),pembangunan manusia merupakan
suatu model pembangunan yangditujukan untuk
memperluas pilihan bagi penduduk yang
182
dapatditumbuhkan melalui upaya pemberdayaan
penduduk. Hal ini dapatdicapai melalui program
pembangunan yang menitik-beratkan padapeningkatan
kemampuan dasar manusia yaitu meningkatnya
derajatkesehatan, berupa umur panjang dan hidup sehat,
mempunyai pengetahuandan keterampilan yang
memadai agar dapat digunakan untukmempertinggi
partisipasi dalam kegiatan ekonomi produktif
sertamendapat penghasilan yang mencukupi dengan
daya beli yang layak.
Seperti halnya pembangunan ekonomi,
pembangunan manusiamemerlukan ketersediaan
analisis data guna perencanaan dan pengambilan
kebijakan agar tepat sasaran, juga perlu dievaluasi
sejauh manapembangunan yang dilaksanakan mampu
meningkatkan kualitas hidupmanusia (penduduk)
sebagai obyek pembangunan. Salah satu alat ukuryang
lazim digunakan adalah Indeks Pembangunan Manusia
(IPM).
Walaupun tidak semua aspek pembangunan
manusia dapat diukur melalui
penghitungan IPM mengingat sangat luasnya dimensi
pembangunanmanusia, tetapi paling tidak IPM dapat
menggambarkan hasil pelaksanaanpembangunan
manusia menurut tiga komponen indikator
kemampuanmanusia yang sangat mendasar yaitu;
derajat kesehatan, kualitaspendidikan serta akses
terhadap sumber daya ekonomi berupa
pemerataantingkat daya beli masyarakat.
183
Dalam mengukur kesejahteraan masyarakat,
programpembangunan PBB (UNDP) melalui terbitan
serialnya sejak awal tahun1990-an mengukur
kesejahteraan masyarakat secara lebih
komprehensifdengan menggunakan tingkat pendapatan
perkapita, tingkat pendidikandan usia harapan hidup
yang dikonstruksi menjadi Indeks
PembangunanManusia atau Human Development Index
= HDI.
Alat ukur ini telah digunakan baik pada tingkat
nasional maupuninternasional dalam melihat hasil-hasil
pembangunan masing-masingpropinsi atau negara.
Selanjutnya alat ukur ini diperluas kegunaannya
padatingkat yang lebih rendah yaitu pada level
kabupaten/kota.
Pada tahun 1990 United Nation Development
Program (UNDP) memperkenalkan ”Human
Development Index” (HDI) atau IndeksPembangunan
Manusia (IPM). Pembangunan manusia, menurut
definisiUNDP, adalah proses memperluas pilihan-
pilihan penduduk (people’s choice). Dari sekian banyak
pilihan, ada tiga pilihan yang dianggap palingpenting,
yaitu: panjang umur dan sehat, berpendidikan, dan akses
kesumber daya yang dapat memenuhi standar hidup
yang layak. Pilihan lainyang dianggap mendukung tiga
pilihan di atas adalah kebebasan politik,hak asasi
manusia, dan penghormatan hak pribadi. Dengan
demikian,pembangunan manusia lebih dari sekedar
184
pertumbuhan ekonomi, lebihdari sekedar peningkatan
pendapatan dan lebih dari sekedar prosesproduksi
komoditas serta akumulasi modal. Demi memacu
pertumbuhanekonomi perlu pula dilakukan
pembangunan manusia. Dibutuhkan kebijakan
pemerintah yang mendorong peningkatan kualitas SDM.
Pendapatan perkapita adalah PDRB berdasarkan
harga yangberlaku di masyarakat dibagi dengan total
penduduk pada pertengahantahun, dalam ribuan rupiah.
PDRB adalah total nilai tambah yangdihasilkan oleh
sektor-sektor perekonomian dalam kurun waktu
satutahun. Tingkat pendidikan masyarakat diukur dari
jumlah penduduk yangmenamatkan bangku pendidikan
formal terhadap total penduduk di suatuwilayah
tertentu, dalam satuan persen. Usia harapan hidup
adalah rata-rataumur masyarakat yang dicapai pada
suatu wilayah tertentu, dalam satuantahun.
185
BAB X
PENILAIN KEWAJARAN BEBAN
KERJA DAN BIAYA
A. Pendekatan Prestasi Kerja (Anggaran Kinerja)
Pendekatan prestasi kerja merupakan suatu
sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian
hasil kerja (output) dari perencanaan alokasi biaya (input)
yang ditetapkan. Input (masukan) adalah besarnya sumber-
sumber seperti dana, sumber daya manusia, material, waktu dan
teknologi yang digunakan untuk melaksanakan program atau
kegiatan sesuai dengan (input) yang digunakan. Output
(keluaran) menunjukkan produk (barang atau jasa) yang
dihasilkan dari program atau kegiatan sesuai dengan (input)
yang digunakan. Kinerja tersebut ditunjukkan oleh adanya
hubungan antara input (masukan dengan output
(keluaran). Indikator kinerja meliputi masukan (input)
keluaran (output) dan hasil (income).
Tolok ukur kinerja merupakan ukuran prestasi kerja
yang akan dicapai dari keadaan semula dengan
mempertimbangkan faktor kualitas, kuantitas, efisiensi dan
efektivitas pelaksanaan dari setiap program dan kegiatan.
Target kinerja adalah hasil yang diharapkan dari suatu program
atau keluaran yang diharapkan dari suatu kegiatan.
Ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk
186
menilai hasil yang diharapkan dari suatu kegiatan dengan
menetapkan tolak ukur kinerja berupa indikator sebagai
berikut :
Masukan (input) adalah tolak ukur kinerja berdasarkan
tingkatan atau besaran sumber dana, SDM, material,
waktu, teknologi dan sebagainya yang digunakan untuk
melaksanakan program dan kegiatan.
Keluaran (output) adalah tolak ukur kinerja berdasarkan
produk yang dihasilkan dari program dan kegiatan sesuai
dengan masukan yang digunakan.
Hasil (outcome) adalah tolok ukur kinerja berdasarkan
tingkat keberhasilan yang dapat dicapai berdasarkan
keluaran program atau kegiatan yang sudah
dilaksanakan.
Manfaat (benefit) adalah tolok ukur kinerja berdasarkan
tingkat kemanfaatan yang dapat dirasakan sebagai nilai
tambah bagi masyarakat dan pemerintah daerah dari
hasil.
Dampak (impact) adalah tolok ukur kinerja berdasarkan
dampaknya terhadap kondisi makro yang ingin dicapai
dari manfaat.
187
Gambar Contoh Kegiatan
Standar analisis belanja pemerintah daerah terdiri dari:
a) Dalam sistem anggaran kinerja setiap usulan
program, kegiatan dan anggaran dinilai
kewajarannya;
b) Standar analisa belanja adalah standar atau pedoman
yang digunakan untuk menganalisis kewajaran beban
kerja atau biaya setiap program atau kegiatan yang
dilaksanakan dalam satu tahun anggaran;
c) Penilaian kewajiban dalam standar analisis belanja;
dan
d) mencakup dua hal yaitu kewajaran beban kerja dan
kewajaran biaya.
Penilaian kewajaran beban kerja :
Kaitan logis antara program/kegiatan yang diusulkan
188
dengan strategi dan prioritas APBD
Kesesuaian antara program/ kegiatan yang diusulkan dengan
tugas pokok dan fungsi satuan kerja yang bersangkutan
Kapasitas satuan kerja untuk melaksanakan program/
kegiatan pada tingkat pencapaian yang diinginkan dan
dalam jangka waktu satu tahun anggaran
Sedangkan dalam penilaian kewajaran biaya :
Kaitan antara biaya yang dianggarkan dengan target
pencapaian kinerja (standar biaya)
Kaitan antara standar biaya dengan harga yang
berlaku
Kaitan antara biaya yang dianggarkan, target pencapaian
kinerja dengan sumber dana
Gambar Penilaian Kewajaran Biaya
B. Prinsip-Prinsip Anggaran Berbasis Kinerja
1. Transparansi
Transparansi adalah keterbukaan dalam proses
189
perencanaan, penyusunan pelaksanaan dan pelaporan
evaluasi anggaran. Dengan demikian setiap anggota
masyarakat mempunyai hak dan akses yang sama
untuk mengetahui proses anggaran karena
menyangkut aspirasi dan kepentingan masyarakat,
terutama dalam hal jaminan terpenuhinya kebutuhan-
kebutuhan hidup masyarakat.
2. Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah prinsip pertanggungjawaban publik
yang mengandung arti bahwa proses penganggaran
benar-benar dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat dan lembaga perwakilannya. Masyarakat
mempunyai hak untuk menuntut pertanggungjawaban
atas rencana dan implementasi anggaran. tersebut.
Akuntabilitas berlandaskan asas efisiensi, tepat guna,
tepat waktu dan dapat dipertanggungjawabkan.
3. Value for Money
Proses penganggaran menerapkan prinsip ekonomis,
efisien dan efektif. Ekonomi berkaitan dengan pemilihan
dan penggunaan sumber daya dalam jumlah dan kualitas
tertentu dengan harga yang paling murah. Efisien
berarti bahwa penggunaan dana masyarakat (public
money) dapat menghasilkan output yang maksimal
(berdaya guna). Sedangkan efektif adalah penggunaan
anggaran tersebut hares mencapai target/tujuan
pelayanan publik. Implementasi prinsip value for
moneymemberikan manfaat: pertama, efektifitas
pelayanan publik dalam arti tepat sasaran; kedua,
190
meningkatkan mutu pelayanan publik; ketiga,
penghematan biaya pelayanan karena berkurangnya
inefisiensi dan penghematan sumber daya; keempat,
alokasi pembiayaan berorientasi pada kepentingan
publik; dan kelima, meningkatkan kesadaran
penghargaan terhadap publik (public cost awareness)
sebagai akar pelaksanaan pertanggungjawaban publik.
Gambar 10.1. Value for Money
Prinsip-prinsip pokok di atas bersifat
mendasar bagi penyusunan anggaran. Berikut ini
prinsip-prinsip pokok yang sebaiknya digunakan dalam
penganggaran dan manajemen keuangan daerah (World
Bank 1998 dalam Mardiasmo, 2002) :
a. Komprehensif dan disiplin
Anggaran daerah merupakan salah satu instrumen
yang menjamin terciptanya disiplin pengambilan
keputusan bagi pemerintah daerah. Oleh karena itu
anggaran daerah hares bersifat komprehensif,
yaitu menggunakan pendekatan yang holistik dalam
mendiagnosa masalah yang dihadapi, analisis antar
191
masalah yang mungkin muncul, evaluasi kapasitas
kelembagaan yang dipunyai dan mencari cara-cara terbaik
untuk memecahkannya.
b. Fleksibilitas
Pemerintah pusat perlu memberikan ruang yang lebih
memadai bagi pemerintah daerah untuk menganalisa
informasi, potensi sumber daya, permasalahan dan
rencana kegiatan/program yang akan disusun dalam
anggaran. “Intervensi” pemerintah pusat hanya
bersifat masukan dan dilakukan dengan hati-hati
tanpa mematikan prakarsa, inisiatif dan kemampuan
inovasi yang dimiliki oleh pemerintah daerah.
c. Terprediksi
Prinsip ini menekankan terpenuhinya semua informasi
yang berkaitan dalam pelaksanaan kegiatan/program
yang didanai oleh anggaran daerah agar dapat berjalan
dengan efisien dan efektif. Dengan terpenuhinya
informasi, maka segala hal yang mungkin terjadi di
masa yang akan datang dapat diperkirakan dan
dipersiapkan langkah-langkah antisipasinya. Dengan
demikian setiap penyusunan anggaran baru dapat
ditingkatkan kualitas implementasinya.
d. Kejujuran
Kejujuran dalam anggaran daerah tidak hanya
menyangkut persoalan etika atau moral pelaksana
anggaran, namun juga berhubungan dengan
kemampuan dalam memproyeksikan penerimaan dan
pengeluaran yang mempunyai kemungkinan terjadinya
192
bias. Sumber bias yang memunculkan ketidakjujuran ini
dapat berasal dari aspek teknis dan politis dalam
pelaksanaan anggaran nantinya. Proyeksi yang
terlalu optimis akan mengesampingkan kendala-
kendala yang akan muncul, sehingga kemungkinan
implementasi anggaran yang tidak efisien dan efektif
akan terjadi.
e. Informasi
Informasi adalah basis kejujuran dan proses pengambilan
keputusan yang baik. Karenanya, pelaporan yang
teratur dan validitasnya terpercaya tentang input,
output, outcome dan pelaporan benefit serta impact suatu
kebijakan (anggaran) adalah sangat penting artinya.
Manfaat:
1) Meningkatkan efektivitas pelayanan publik dalam arti
pelayanan yang diberikan tepat sasaran
2) Meningkatkan mutu pelayanan publik dan
menurunkan biaya pelayanan publik karena
terjadinya penghematan dan berkurangnya in-
efisiensi
3) Alokasi belanja lebih berorientasi pada kepentingan
publik
Ekonomis :
Perbandingan input dengan input value yang dinyatakan
dalam satuan moneter atauSejauhmana organisasi
publik mampu meminimalisasi “Input Resources”
dengan menghindari pengeluaran yang boros dan tidak
193
Produktif
Efisiensi :
Pencapaian output maksimum dengan input tertentu
atau dengan input minimum untuk mencapai output
tertentu.
Efektivitas :
Tingkat pencapaian program dengan target yang
ditetapkan atau perbandingan outcome dengan output.
194
BAB XI
ANALISIS PERKEMBANGAN APBD
A. Trend APBD
Pada bab ini penulis sengaja menunjukkan data-data APBD
secara nasional, untuk memberikan gambaran tentang kondisi
APBD selama beberapa tahun terakhir, dimana data yang
disajikan dalam bab ini bersumber dari Kementerian Kuangan
Republik Indonesia. Berdasarkan data APBD tahun 2009
sampai tahun 2013 secara nasional, kita dapat mendapatkan
gambaran sebagai berikut:
Trend APBD (dalam miliar rupiah)
Sumber: Kementerian Keuangan RI Data APBD Konsolidasi
2009 - 2013
Gambar 116.1 menunjukkan bahwa setiap tahun
sejak 2009 hingga 2013 Pendapatan Daerah meningkat rata-
rata sebesar 15,6% dan peningkatan pada tahun 2013 sebesar
195
18,4%, di mana Pendapatan Daerah pada tahun 2012 sebesar
Rp551,3 triliun meningkat menjadi sebesar Rp652,9 triliun
pada tahun 2013. Secara nasional trend anggaran belanja
daerah mengalami rata-rata peningkatan dari tahun 2009
hingga 2013 sebesar 14,4%. Belanja daerah yang
dianggarkan pada tahun 2012 sebesar Rp591,9 triliun
meningkat 19,5% pada tahun 2013 menjadi sebesar Rp707,1
triliun.
Trend defisit yang dianggarkan daerah cenderung
fluktuatif, cenderung terus mengalami penurunan dari tahun
2009 hingga 2011, akan tetapi pada tahun 2013 defisit
anggaran meningkat sebesar 34,5%. Trend peningkatan
pembiayaan netto juga relatif sama polanya setiap tahun
dengan trend defisit. Peningkatanpersentase pembiayaan netto
pada tahun 2013 adalah sebesar 34,4% dari tahun sebelumnya.
Komposisi setiap jenis Pendapatan Daerah beserta
trend-nya terlihat pada Gambar11.2. Secara nasional porsi
Dana Perimbangan masih dominan setiap tahunnya, akan
tetapi terlihat laju peningkatannya lebih rendah bila
dibandingkan laju peningkatan PAD. PAD terus mengalami
peningkatan dimana pada tahun 2009 PAD seluruh daerah
secara nasional mencapai Rp62,7 triliun dan di tahun 2013
meningkat menjadi Rp140,3 triliun rupiah. Peningkatan
tersebut secara rata-rata dari tahun 2009 hingga 2013 adalah
sebesar 22,4%, peningkatan dari tahun 2012 hingga ke 2013
adalah sebesar 24,5%.
196
Trend Komposisi Pendapatan Daerah TA 2009 – 2013
(dalam miliar rupiah)
Sumber: Kementerian Keuangan RI, Data APBD
Konsolidasi 2009 - 2013
Dana Perimbangan secara nasional setiap tahunnya
mengalami peningkatan, di mana pada tahun 2009 Dana
Perimbangan hanya Rp285,0 triliun terus
meningkat menjadi Rp432,7 triliun di tahun 2013. Rata-rata
peningkatan Dana Perimbangan dari tahun 2009 hingga 2013
di kisaran 11,1%. Peningkatan yang terjadi pada tahun 2013
yaitu sebesar 13,7% dari anggaran Dana Perimbangan di
tahun 2012.
Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah juga
menunjukkan tren peningkatan dari tahun 2009 hingga 2013.
Pada tahun 2009 secara nasional Lain-lain Pendapatan
Daerah yang sah masih di kisaran Rp19,5 triliun,
kemudian mengalami rata-rata peningkatan per tahunnya
sebesar 44,7%, sehingga di tahun 2013 Lain-lain Pendapatan
Daerah yang sah mencapai Rp79,9 triliun. Persentase
197
peningkatan yang terjadi pada tahun anggaran 2012 yaitu
sebesar 38,3% dari anggaran tahun sebelumnya dan di tahun
2013 dianggarkan meningkat 37,1%.
Berdasarkan data trend 2009 hingga 2013 maka kita
juga bisa melihat gambaran tingkat pertumbuhan total
Pendapatan Daerah beserta komponen utamanya yaitu PAD
dan Dana Perimbangan. Secara agregat pendapatan seluruh
daerah per provinsi dapat dilihat bahwa rata-rata pertumbuhan
total Pendapatan Daerah yang tertinggi adalah di Provinsi
Banten (21,4%), lalu diikuti oleh Provinsi DKI Jakarta
(19,5%) dan Provinsi Sumatera Utara (19,4%). Sedangkan
rata-rata pertumbuhan Pendapatan Daerah yang terendah
adalah di Provinsi Papua Barat (11,1%), Provinsi Kalimantan
Tengah (11,4%), dan Provinsi Sulawesi Utara (11,6%).
Bila dilihat berdasarkan rata-rata pertumbuhan PAD
per tahunnya yang tertinggi adalah terdapat di Provinsi
Kalimantan Timur sebesar 30,7%, lalu diikuti oleh Provinsi
Lampung yaitu sebesar 29,5%, dan Provinsi Kalimantan
Selatan yaitu sebesar 29,4%. Sedangkan rata-rata
pertumbuhan PAD yang terendah yaitu di bawah 11 %
terdapat di Provinsi Sulawesi Tenggara yaitu di kisaran 2,0%,
Provinsi Bengkulu sebesar 7,0%, Provinsi Aceh sebesar 10,9%.
198
Rata-rata Pertumbuhan (2009 – 2013) Pendapatan
Daerah per Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Sumber: Kementerian Keuangan RI, Data APBD
Konsolidasi 2009 - 2013
Pada sisi lain rata-rata pertumbuhan dana
perimbangan dari tahun 2009 hingga 2013 cenderung tidak
terlalu tajam fluktuasinya antar provinsi yaitu di kisaran 9,0%
hingga 16,0%, dengan pengecualian Provinsi DKI Jakarta
dengan rata-rata pertumbuhan dana perimbangan -0,4%.
Berdasarkan tabel di atas maka dapat kita amati
porsi tiap jenis Belanja Daerah setiap tahun dan tren
kenaikan/penurunannya antar tahun. Bila dicermati
Belanja Pegawai (langsung dan tidak langsung) secara
nasional cenderung terus meningkat dari tahun 2009 hingga
2013, di mana pada tahun 2009 total Belanja Pegawai secara
nasional baru mencapai angka Rp180,4 miliar rupiah dan di
tahun 2013 meningkat menjadi Rp296,5 miliar rupiah.
Rata-rata peningkatan Belanja Pegawai mencapai 13,2%. Pada
tahun 2013 Belanja Pegawai mengalami peningkatan sebesar
199
13,6% dari tahun 2012.
Besarnya Belanja Barang dan Jasa juga mengalami
peningkatan setiap tahunnya, pada tahun 2009 total Belanja
Barang dan Jasa secara nasional di kisaran Rp79,6 miliar
rupiah dan pada tahun 2013 telah meningkat menjadi
Rp148,0 miliar rupiah. Peningkatan Belanja Barang dan Jasa
secara rata-rata dari tahun 2009 hingga 2013 adalah sebesar
15,0%.
Fenomena yang agak berbeda terlihat dari trend Belanja
Modal tahun 2009 hingga 2013, dimana secara rata-rata
mengalami peningkatan di kisaran 12,7% dari tahun 2009
hingga 2013. Namun demikian, bila dilihat secara nominal,
maka perubahan tersebut cenderung fluktuatif, dimana pada
tahun 2009 total Belanja Modal mencapai Rp114,6 miliar
rupiah lalu mengalami penurunan di tahun 2010 yaitu hanya
sebesar Rp96,2 miliar rupiah, kemudian mengalami
peningkatan di tahun 2011 hingga di tahun 2013 total Belanja
Modal mencapai Rp175,6 miliar rupiah.
Trend Belanja Daerah TA 2009 – 2013 (dalam miliar
rupiah)
200
Sumber: Kementerian Keuangan RI Data APBD
Konsolidasi 2009 - 2013
Belanja Lain-Lain juga cenderung fluktuatif pada
tahun 2009 hingga 2013 di mana pada tahun 2009 Belanja
Lain-Lain secara total mencapai Rp40,6 miliar lalu naik
menjadi Rp50,11 miliar di tahun 2010. Selanjutnya total
Belanja Lain-Lain di tahun 2011 turun lagi menjadi Rp48,4
miliar dan akhirnya pada tahun 2013 total anggaran Belanja
Lain-Lain meningkat menjadi Rp87,0 miliar. Secara rata-rata
peningkatan total Belanja Barang dan Jasa pada tahun 2009
hingga 2013 adalah sebesar 22,3%.
Berdasarkan grafik 11.5 maka kita bisa melihat
gambaran rata-rata tingkat pertumbuhan total belanja daerah
beserta komponen utamanya yaitu Belanja Pegawai, Belanja
Barang dan Jasa, serta Belanja Modal dari tahun 2009 hingga
ke 2013. Secara agregat total belanja seluruh daerah per
provinsi menunjukkan rata-rata pertumbuhan total belanja
daerah yang tertinggi adalah di Provinsi Banten (22,2%),
lalu diikuti oleh Provinsi DKI Jakarta (20,1%) dan Provinsi
Lampung (19,0%). Sedangkan rata-rata pertumbuhan
belanja daerah yang terendah terdapat di Provinsi Aceh
(8,1%), Provinsi Kalimantan Tengah (9,8%), dan Provinsi
Sumatera Barat (10,8%).
Bila dilihat berdasarkan rata-rata pertumbuhan Belanja
Pegawai per tahunnya yang tertinggi adalah terdapat di
Provinsi Maluku yaitu sebesar 16,5%, lalu diikuti oleh
Provinsi Bangka Belitung yaitu sebesar 15,9%, dan Provinsi
Kalimantan Selatan yaitu sebesar 15,6%. Sedangkan rata-rata
pertumbuhan Belanja Pegawai yang terendah terdapat di
201
Provinsi Riau yaitu di kisaran 11,0%, Provinsi Sumatera Selatan
sebesar 11,1%, dan Provinsi Aceh sebesar 11,5%.
Rata-rata Pertumbuhan (2009 – 2013) Belanja Daerah
Per Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Sumber: Kementerian Keuangan RI, Data APBD Konsolidasi
2009 – 2013
Rata-rata pertumbuhan Belanja Barang dan Jasa yang
tertinggi terdapat di Provinsi Banten yaitu sebesar 28,1%,
Provinsi Aceh sebesar 25,5%, dan Provinsi Bali sebesar
23,6%. Sedangkan rata-rata pertumbuhan Belanja Barang
dan Jasa yang terendah terdapat di Provinsi Kalimantan Tengah
yaitu sebesar 7,9%, Provinsi Sulawesi Tenggara yaitu sebesar
8,9% , dan Provinsi Maluku sebesar 10,7%.
Rata-rata pertumbuhan Belanja Modal yang tertinggi
terdapat di Provinsi Lampung yaitu sebesar 31,6% lalu diikuti
oleh Provinsi DKI sebesar 28,1% dan Provinsi Banten sebesar
26,9%. Rata-rata pertumbuhan Belanja Modal yang terendah
terdapat di Provinsi Aceh yaitu -7,2%, lalu Provinsi Bangka
202
Belitung sebesar 2,0% dan Provinsi Maluku sebesar 3,6%.
Provinsi Aceh relatif terus menurun Belanja Modalnya karena
pembangunan infrastruktur sejak terjadinya tsunami di sana
lebih dominan berasal dari bantuan hibah yang masuk pada
lain-lain Pendapatan Daerah yang sah.
B. Ruang Fiskal (Fiscal Space)
Ruang fiskal (fiscal space) merupakan suatu konsep
untuk mengukur fleksibilitas yang dimiliki pemerintah daerah
dalam mengalokasikan APBD untuk membiayai kegiatan yang
menjadi prioritas daerah. Semakin besar ruang fiskal yang
dimiliki suatu daerah maka akan semakin besar pula
fleksibilitas yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk
mengalokasikan belanjanya pada kegiatankegiatan yang
menjadi prioritas daerah seperti pembangunan infrastruktur
daerah.
Perhitungan ruang fiskal daerah yaitu total Pendapatan
Daerah dikurangi dengan pendapatan hibah, pendapatan yang
sudah ditentukan penggunaannya (earmarked), dan belanja
yang sifatnya mengikat yaitu Belanja Pegawai dan Belanja
Bunga, kemudian dibagi dengan total pendapatannya.
Ruang fiskal daerah saat ini masih sangat terbatas karena
sebagian besar anggaran digunakan untuk belanja rutin (Belanja
Pegawai). Idealnya porsi belanja rutin lebih kecil dari Belanja
Modal. Memperbesar ruang fiskal daerah untuk Belanja
Modal sangat penting karena dapat menjadi stimulus
perekonomian daerah. Pemerintah Daerah diharapkan dapat
membuat kebijakan yang mampu menciptakan iklim
perekonomian yang kondusif. Selain itu, efektifitas dan
203
efisiensi penggunaan anggaran di daerah juga dapat
mendukung terciptanya ruang fiskal.
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Grafik 11.6 menunjukkan ruang fiskal secara agregat
provinsi, kabupaten, dan kota. Dari ke-33 provinsi, Provinsi
Kalimantan Timur mempunyai ruang fiskal tertinggi yaitu
mencapai 61,7%. Tingginya ruang fiskal di Provinsi
Kalimantan Timur tentunya didukung oleh penerimaan
daerah dari Dana Bagi Hasil yang cukup besar yaitu
mencapai 60,6% dari total Pendapatan Daerah. Meskipun
Belanja Pegawai di Provinsi Kalimantan Timur mencapai
34,3% dari total pendapatan, namun masih menyisakan ruang
fiskal yang besar sehingga porsi Belanja Modalnya pun
mencapai 58,4% dari total pendapatannya.Sementara itu,
Provinsi Aceh memiliki ruang fiskal terendah yaitu 22,2%.
Rendahnya ruang fiskal di Provinsi Aceh karena kontribusi
terbesar pada pendapatan daerah berasal dari dana otonomi
khusus yang penggunaannya sudah dibatasi. Selain itu porsi
Belanja Pegawai pemerintah daerah se Provinsi Aceh sangat
besar yaitu 42,5% dari total Pendapatan Daerah, sehingga
ruang fiskal yang tersisa sangat kecil. Dengan demikian
Provinsi Aceh harus memanfaatkan ruang fiskal yang ada
dengan merencanakan Belanja Daerah yang tepat untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi daerahnya.
Ruang Fiskal Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota
204
Sumber: Kementerian Keuangan RI
Secara agregat, rata-rata ruang fiskal seluruh pemerintah
daerah di Indonesia sebesar 37,85%. Dari rata-rata tersebut,
terdapat 15 provinsi dengan ruang fiskal yang berada diatas
rata-rata nasional.
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi
Ruang fiskal seluruh pemerintah kabupaten dan
pemerintah kota pada satu provinsi digambarkan pada
grafik 2.10. Secara rata-rata pemerintah kabupaten dan
pemerintah kota memiliki ruang fiskal sebesar 33,7% dari
totalpendapatannya. Dari rata-rata tersebut, terdapat 18 daerah
yang memiliki ruang fiskal di bawah rata-rata dan 14 daerah
memiliki ruang fiskal di atas rata-rata nasional.
Ruang fiskal tertinggi untuk kabupaten dan kota
terdapat di Provinsi Kalimantan Timur yaitu sebesar 58,3%.
Tingginya angka ini dapat disebabkan oleh pendapatan yang
tidak dibatasi penggunaannya yang didominasi oleh sektor
pertambangan dan migas serta sektor kehutanan.
205
Adapun ruang fiskal terendah terdapat pada
kabupaten dan kota yang berada di Provinsi Jawa Tengah,
yaitu sebesar 19,9%. Porsi Belanja Pegawai mencapai 63,3%
dari total pendapatan. Sementara itu, komposisi Pendapatan
Daerah pemerintah kabupaten dan kota di Jawa Tengah masih
didominasi oleh transfer dari pemerintah pusat yaitu Dana
Alokasi Umum yang mencapai 61,9% dari total Pendapatan
Daerah. Penerimaan yang bersumber dari pajak daerah hanya
sebesar 4% dari total Pendapatan Daerah. Hal ini dapat
menunjukkan bahwa pemerintah daerah di Provinsi Jawa
Tengah belum mengoptimalkan pemungutan pajak dari basis
pajak yang dimilikinya.
Ruang Fiskal Pemerintah Kabupaten dan kota Se-
Provinsi *)
Sumber: Kementerian Keuangan RI
206
3. Pemerintah Provinsi Ruang Fiskal Pemerintah Provinsi
Sumber: Kementerian Keuangan RI
Grafik 11.8 menggambarkan ruang fiskal pada masing-
masing pemerintah provinsi. Secara rata-rata pemerintah
provinsi memiliki ruang fiskal sebesar 57,9% dari total
pendapatannya. Jika dilihat dari rata-rata tersebut, terdapat 15
daerah yang memiliki ruang fiskal di bawah rata-rata dan 18
daerah memiliki ruang fiskal di atas rata-rata nasional.
Pemda Provinsi Kalimantan Timur memiliki ruang
fiskal yang tertinggi yaitu sebesar 86,1%. Hal ini didukung
dari penerimaan dana bagi hasil dan penerimaan pajak daerah
yang cukup besar. Sementara itu porsi Belanja Pegawai
jumlahnya tidak terlalu besar sehingga ruang fiskal yang
tersedia masih besar. Oleh karena itu Pemerintah Provinsi
Kalimantan Timur perlu memanfaatkan ruang fiskal yang
tinggi tersebut untuk kegiatan yang dapat memacu
pembangunan di daerahnya sebagai stimulus pertumbuhan
ekonomi daerah. Lebih lanjut, dengan pertumbuhan
207
ekonomi yang tinggi pada sektor-sektor tertentu akan
meningkatkan potensi penerimaan pajak daerah. Sementara
itu, Provinsi Aceh mempunyai ruang fiskal yang terendah yaitu
sebesar 20,4%. Hal ini disebabkan karena kontribusi terbesar
pada Pendapatan Daerah Provinsi Aceh adalah pendapatan dari
dana otonomi khusus yang sudah dibatasi penggunaannya.
C. Rasio Ketergantungan Daerah
Rasio ketergantungan daerah menggambarkan
tingkat ketergantungan suatu daerah terhadap bantuan
pihak eksternal, baik itu Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah lain. Rasio ini ditunjukkan oleh rasio
Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap total pendapatan
dan rasio dana transfer terhadap total pendapatan. Rasio
PAD terhadap total pendapatan memiliki makna yang
berkebalikan dengan rasio dana transfer terhadap total
pendapatan. Semakin besar angka rasio PAD maka
ketergantungan daerah semakin kecil. Sebaliknya, semakin
besar angka rasio dana transfer, maka semakin besar tingkat
ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak eksternal.
Dengan demikian, daerah yang memiliki tingkat
ketergantungan yang rendah adalah daerah yang memiliki rasio
PAD yang tinggi sekaligus rasio dana transfer yang rendah.
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Grafik 2.13 memberikan potret rasio PAD dan dana
transfer terhadap pendapatan seluruh pemda yang
dikelompokkan per provinsi. Perhitungannya dilakukan
208
dengan menjumlahkan PAD seluruh pemda pada satu
provinsi kemudian membaginya dengan total pendapatan
untuk wilayah yang sama. Hal yang sama juga berlaku untuk
rasio dana transfer. Secara agregat (provinsi, kabupaten, dan
kota), rata-rata rasio PAD terhadap pendapatan sebesar 17%
dan rata-rata rasio Dana Transfer terhadap Pendapatan sebesar
82%.
Berdasarkan hasil analisis, Provinsi DKI Jakarta
memiliki rasio PAD yang paling tinggi, yaitu sebesar 64,2%,
sekaligus rasio dana transfer terendah yaitu sebesar 26,6%.
Sementara itu, Provinsi Papua Barat memiliki rasio PAD
terendah sebesar 2,8% sekaligus rasio dana transfer tertinggi
yaitu sebesar 97,1%. Hal ini menunjukkan bahwa, Provinsi
DKI Jakarta memiliki ketergantungan daerah yang paling
rendah dibandingkan provinsi-provinsi yang lain. Sebaliknya,
Provinsi Papua Barat menunjukkan tingkat ketergantungan
yang paling tinggi baik darisisi PAD yang dihasilkan maupun
dari sisi dana transfer yang diterima dari pusat.
Rendahnya tingkat ketergantungan di Provinsi
DKI Jakarta tersebut disebabkan oleh tingginya sumber-
sumber PAD khususnya dari pajak daerah dan retribusi
daerah. Hal ini sejalan dengan analisis pada bagian rasio
pajak yang menempatkan DKI Jakarta pada posisi pertama
dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya. Sementara
itu, Provinsi Papua Barat memiliki tingkat ketergantungan
tertinggi disebabkan oleh rendahnya PAD, khususnya pajak
daerah dan retribusi daerah di wilayah tersebut, dan
tingginya dana transfer yang diterima.
209
Rasio Ketergantungan Agregat Provinsi, Kabupaten dan
Kota
Sumber: APBD 2013 (Diolah)
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi
Pada Grafik 2.10 terlihat bahwa rata-rata rasio PAD
terhadap Pendapatan Daerah adalah 8,5% sedangkan rata-rata
rasio dana transfer terhadap Pendapatan Daerah adalah 91,2%.
Hal ini menunjukkan bahwa ketergantungan pemerintah
kabupaten dan pemerintah kota terhadap dana transfer masih
sangat tinggi.
Rasio PAD terhadap pendapatan tertinggi terdapat pada
seluruh pemerintahkabupaten dan pemerintah kota di Provinsi
Bali yaitu sebesar 31,6%, sedangkan yang terendah adalah di
pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di Provinsi Papua
Barat yaitu sebesar 2,4%.
Sementara itu, rasio dana transfer terhadap
pendapatan yang tertinggi terdapat di pemerintah kabupaten
dan pemerintah kota di Provinsi Papua dan Provinsi Papua
Barat yaitu sebesar 97,4% dan yang terendah adalah pemerintah
210
kabupaten dan pemerintah kota di Provinsi Bali, yaitu 68,4%.
Rasio Ketergantungan Pemerintah
Kabupaten dan kota Se-Provinsi *)
Sumber: APBD 2013 (Diolah), *) Tidak termasuk DKI
Jakarta
3. Pemerintah Provinsi
Untuk tingkat pemerintah provinsi, rata-rata rasio PAD
terhadap pendapatan adalah 36,3% dan untuk rasio dana
transfer terhadap pendapatan sebesar 62,6%. Terdapat 16
pemerintah provinsi yang memiliki rasio PAD
terhadappendapatan di atas rata-rata nasional dan 17
pemerintah provinsi yang memiliki rasio dana transfer
terhadap pendapatan di atas rata-rata-rata secara nasional.
Kondisi ini menunjukkan bahwa masih banyak daerah yang
sangat bergantung bantuan dana dari pihak eksternal.
211
BAB XII
DAMPAK PENGELUARAN PEMERINTAH
DAERAH TERHADAP KEMISKINAN DI
PROVINSI SULAWESI SELATAN INDONESIA
Abstraks
Kemiskinan sampai saat ini masih menjadi
persoalan ekonomi yang serius. Oleh karena itu
keberpihakan pemerintah baik pusat maupun
daerah dalam menanggulangi kemiskinanmutlak
diperlukan. Bentuk keberpihakan tersebut dapat
dilakukan dalam bentuk kebijakan fiskal, berupa
pengeluaran pemerintah. Penelitian ini bertujuan
untukmengetahui dampak pengeluaran pemerintah
daerah kabupaten dan kota terhadap kemiskinan di
Provinsi Sulawesi Selatan. Penelitian ini dilakukan pada
23 kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Selatan,
dengan menggunakan data panel (yaitu gabungan antara
data time series tahun (2007-2013) dan data cross
section 23 kabupaten kota. Penelitian ini menggunakan
model ekonometrika dengan sistem persamaan
simultan. Hasil estimasi model terhadap kemiskinan
diperoleh bahwa kemiskinan dipengaruhi secara positif
dan nyata terhadap jumlah populasi dan jumlah
penduduk miskin tahun sebelumnya. Sementara belanja
pendidikan berpengaruh negatif dan nyata terhadap
kemiskinan. Kemudian produk domestik regional bruto
212
berpengaruh negatif namun tidak nyata terhadap
penurunan angka kemiskinan. Hasil simulasi kebijakan
menunjukkan bahwa peningkatan belanja modal,
peningkatan total pengeluaran pemerintah, dan atau
peningkatan belanja pendidikan pada kabupaten dan
kota di Provinsi Sulawesi Selatan, memberi dampak
yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi,
pengurangan kemiskinan, dan pengangguran.
Walaupun demikian dampak yang ditimbulkannya
relatif kecil baik terhadap pertumbuhan ekonomi,
pengurangan pengangguran, terlebih terhadap
pengurangan kemiskinan. Kurang responsifnya
kebijakan pengeluaran pemerintah daerah terhadap
penurunan jumlah penduduk miskin, menunjukkan
bahwa kebijakan fiskal yang dilakukan oleh pemerintah
daerah belum sepenuhnya berpihak pada penduduk
miskin. Oleh karena itu untuk meningkatkan respons
dari kebijakan pemerintah, maka sebaiknya pemerintah
daerah perlu lebih berpihak dan fokus serta diperlukan
kebijakan yang bersifat langsung dan produktif yang
ditujukan pada masyarakat miskin dan rawan pangan
khususnya pada buruh dan petani miskin dengan
melakukan program pendampingan.
Kata Kunci: Otonomi Daerah - Pengeluaran
Pemerintah Daerah- Kemiskinan
213
A. Pendahuluan
Krisis ekonomi yang terjadi sejak bulan Juli
1997 membawa dampak negatif bagi kehidupan
masyarakat, yaitu melemahnya kegiatan ekonomi,
memburuknya pelayanan kesehatan dan
pendidikan, memburuknya kondisi prasarana dan
sarana umum. Menurut Badan Pusat Statistik
jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 49,6
juta jiwa (24,3 persen) pada tahun 1998.
Sejalan dengan membaiknya kondisi
perekonomian yang diikuti oleh terkendalinya
harga barang dan jasa, dan meningkatnya
pendapatan masyarakat, maka jumlah penduduk
miskin menurun secara bertahap menjadi 28,51juta
jiwa atau 11,13 persen pada tahun 2015. Dari
jumlah penduduk miskin tersebut 17,89juta jiwa
atau 14,46 persen berada di perdesaan dan 10,62juta
jiwa atau 8,51 persen perada di perkotaan (Badan
Pusat Statistik, 2016).
Dengan jumlah penduduk miskin yang
masih cukup besar ini, maka kemiskinan di
Indonesia masih dianggap sebagai persoalan serius
dan karenanya diperlukan upaya-upaya pemecahan
yang lebih serius di masa yang akan datang. Untuk
memecahkan masalah kemiskinan pemerintah telah
mengeluarkan berbagai kebijakan baik yang
bersifat umum maupun yang khusus untuk
214
menangani masalah kemiskinan itu seperti Program
nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM)
Mandiri.
Di Indonesia Strategi-strategi penanggulangan
kemiskinan yang dilakukan diantaranya: (1)
Memperbaiki program perlindungan sosial, (2)
Meningkatkan akses terhadap pelayanan dasar, (3)
Pemberdayaan kelompok masyarakat miskin; serta (4)
Menciptakan pembangunan yang inklusif [19]..
Todaro dan Smith (2009) mendeskripsikan
dengan sangat baik siapa sesungguhnya kaum
miskin (the foor) yaitu mereka ini berjumlah lebih
dari 6 milyar jiwa, nasibnya jauh kurang beruntung
karena sehari-harinya harus hidup dalam kondisi
kekurangan. Mereka tidak memiliki rumah sendiri,
dan kalaupun punya, ukurannya begitu kecil.
Persediaan makanan juga acapkali tidak memadai.
Kondisi kesehatan mereka umumnya tidak begitu
baik atau bahkan buruk, dan banyak dari mereka
yang buta huruf, serta menganggur. Masa depan
mereka untuk mencapai suatu kehidupan yang lebih
baik biasanya suram, atau sekurang-kurangnya
tidak menentu.
Dengan demikian jelas bahwa masalah
kemiskinan sesungguhnya bukanlah semata-mata
masalah kekurangan pendapatan dan harga, akan
tetapi lebih dari pada itu. Masalah kemiskinan
adalah masalah rendahnya kualitas sumberdaya
manusia, kemiskinan adalah masalah sandang,
215
pangan, dan papan; kemiskinan adalah masalah
lapangan kerja (Sen A., 1981). Intinya kemiskinan
adalah masalah serba kekurangan dan merupakan
fenomena yang banyak terjadi di daerah perdesaan
dan pada umumnya bergerak pada sektor pertanian.
Sejak tahun 2001 bangsa Indonesia memulai
babak baru penyelenggaraan pemerintahan, ketika
diberlakukannya Undang-Undang Otonomi Daerah,
yaitu Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah kemudian direvisi dengan
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, dan Undang-
Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang
selanjutnya direvisi dengan Undang-Undang Nomor 33
tahun 2004
Dalam era otonomi daerah dewasa ini,
pemerintah daerah memiliki wewenang yang hampir
penuh atas penggunaan sumber-sumber fiskal mereka.
Pemerintah provinsi dan kabupaten kota, saat ini
mengelola sekitar 36 persen dari total pengeluaran
publik, dibandingkan dengan kondisi pada
pertengahan 1990-an yang hanya berjumlah sekitar 24
persen (World Bank. 2007).
Kebijakan fiskal adalah bentuk intervensi
pemerintah untuk mempengaruhi jalannya
perekonomian dengan maksud agar keadaan
perekonomian tidak terlalu menyimpang dari keadaan
yang diinginkan dengan alat (policy instrument
216
variable) berupa Pajak (T), Transfer Pemerintah (Tr),
dan Pengeluaran Pemerintah (G). Kebijakan fiskal
disebut kebijakan anggaran (budgetary policy),
dilakukan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN), (Romer, 2001; Dornbursh, R., S.
Fisher, and R.Startz, 2008 ). Oleh karena itu
Donalson, (1984); Todaro and Smith, (2009);
Adelman dan Robinson (1978), mengemukakan
bahwa kebijakan harus diarahkan pada sasaran
kelompok-kelompok tertentu yang miskin.
Provinsi Sulawesi Selatan sebagi provinsi
dengan jumlah penduduk terbesar di kawasan timur
Indonesia, dengan sebagian besar penduduknya
hidup pada sektor pertanian, belum dapat
melepaskan diri dengan persoalan kemiskinan. Data
badan pusat statistik Provinsi Sulawesi Selatan
menunjukkan bahwa angka kemiskinan di daerah ini
masih tinggi yaitu 10,12persen atau sebesar
864.510jiwa pada tahun 2015, dari jumlah tersebut
lebih dari dan 80 persen atau sebesar 707.340jiwa
berada di perdesaan dengan mata pencaharian utama
sektor pertanian, dan sisanya 157.180jiwa berada di
perkotaan. Walaupun angka kemiskinan ini dibawah
tingkat rata-rata kemiskinan nasional 12.49 persen,
namun tetap menjadi persoalan serius dan
membutuhkan keberpihakan dari pemerintah
kabupaten dan kota dalam upaya menanggulangi
kemiskinan di Provinsi Sulawesi Selatan.
Beberapa hasil penelitian menemukan bahwa
217
kebijakan fiskal dapat memainkan peran yang cukup
efektif terhadap perekonomian (Guimaraes, 2010; Park,
2010. Sementara Shaheen dan Paul, 2009; Claeys, 2008;
Costa dan Dixon, 2011; Fatima, 2012; Adeniyi dan
Bashir, 2011) menemukan bahwa terdapat hubungan
terbalik antara pengeluaran pemerintah dengan tingkat
kemiskinan baik dalam jangka pendek maupun dalam
jangka panjang. Ditemukan pula bahwa pengeluaran
pemerintah pada bidang ekonomi yang efektif dan
efisien dapat meningkatkan investasi swasta, perluasan
lapangan kerja, dan mengurangi kemiskinan.
Hasil penelitian di Indonesia diperoleh bahwa
kebijakan fiskal memegang peranan penting dalam
mendorong pembangunan, pengurangan kemiskinan dan
perekonomian perdesaan. Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa peningkatan pengeluaran
pemerintah untuk infrastuktur berdampak positif
terhadap pertumbuhan ekonomi (Akhmad at.al,
2013;;Mardiasmo, 2009). Sementara Rindayati,(2009),
Akhmad (2015) menemukan bahwa kebijakan fiskal
daerah dari sisi penerimaan yaitu dengan meningkatkan
sumber-sumber penerimaan berupa pajak daerah dan
retribusi daerah, kurang memberi pengaruh langsung
terhadap kinerja ketahanan pangan dan kemiskinan.
Peningkatan pengeluaran sektor pertanian berdampak
pada peningkatan PDRB sektor pertanian selanjutnya
meningkatkan kinerja ketahanan pangan, dan
menurunkan kemiskinan, serta meningkatkan kinerja
218
fiskal daerah.
Berdasarkan uraian tersebut, maka tulisan ini
bertujuan untuk mengkaji dampak pengeluaran
pemerintah daerah terhadap kemiskinan kabupaten dan
kota di Provinsi Sulawesi Selatan Indonesia
B. Data Dan Metodologi
Penelitian ini menggunakan data panel 23
kabupaten dan kota tahun (2007-2013). Pemilihan
rentang waktu data tahun 2017-2013 didasari oleh
pertimbangan bahwa pada masa itu otonomi daerah
sudah memasuki masa stabilnya dan perekonomian
sudah mulai bangkit dari krisis. Data yang digunakan
meliputi data fiskal kabupaten dan kota yang diperoleh
dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia dan
data perekonomian kabupaten dan kota berupa, Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB), tenaga kerja,
pengangguran, kemiskinan, dan inflasi yang bersumber
dari Badan Pusat Statistik (BPS) kabupaten dan kota di
Provinsi Sulawesi Selatan.
Penelitian ini menggunakan model ekonometrika
dengan sistem persamaan simultan. Model sistem
persamaan simultan yang dibangun terdiri atas 26
persamaan meliputi; 19 persamaan struktural dan 8
persamaan identitas.
Model ekonometrika dengan sistem persamaan
simultan yang dibangun adalah:
I. Blok Fiskal
Penerimaan Daerah
219
1. Pendapatan Asli Daerah
PADit = PAJDit + RETDit + BUMDit + PADLit (1)
2. Pajak Daerah
PAJDit = a0 + a1TPGPDit + a2MTRit + a3JKHLit
+a4LPAJDit + u1 (2)
parameter estimasi yang diharapkan: a1, a2, a3, a4 > 0
3. Retribusi Daerah
RETDit = b0 + b1PDRBit + b2TPGPDit + b3POPit
+b4LRETDit + u2 (3)
parameter estimasi yang diharapkan: b1, b2, b3, b4>0
4. Dana Alokasi Umum
DAUit = c0 + c1PADit + c2LDKit + c3MISKit + c4POPit
+c5PNSit + u3 (4)
parameter estimasi yang diharapkan: c1,< 0 ; c2, c3, c4, c5 >0
5. Dana Bagi Hasil
DBHit = d0 + d1PDRBit + d2TRENit + d3LDBH + u4 (5)
parameter estimasi yang diharapkan: d1, d2, d3>0
6. Total Penerimaan Daerah
TPDit = PADit + DAUit + DBHit + DAKit + PLDit (6)
Pengeluaran Daerah
7. Pengeluaran Belanja Pegawai
BPGWit = e0 + e1PNSit + e2 PADit + e3DAUit +
e4LBPGWit+ u 5 (7)
parameter estimasi yang diharapkan: e1, e2, e3, e4>0
8. Pengeluaran Belanja Barang dan Jasa
BBJit = f0 + f1PADit + f2DAUit + f3DBHit + f4LBBJit + u6
220
(8)
parameter estimasi yang diharapkan: f1, f2, f3, f4>0
9. Pengeluaran Belanja Modal
BMDit = g0 + PAD + g1DAU + g2 DAK + g3DBH +
g4LMDSit u7 (9)
parameter estimasi yang diharapkan: g1,g2,g3, g4>0
10. Belanja Lain-lain Pemerintah (BLL)
BLLit = h0 + h1DAUit + h2DBHit+ h3PADit + h4LBLLit
+ u8 (10)
Parameterestimates ofthe expected: h1,h2,h3, h3> 0
11. Total Pengeluaran Pemerintah Daerah
TPGPDit = BPGWit + BBJit + BMDit +BLLit (11)
II. Blok Permintaan Agregat Daerah
1. Pengeluaran Konsumsi Swasta
KONSit = i0 + i1PDRBit + i2BBJit + i3BPGWit + i4INFLit
+ i5LKONSit + u9 (12)
parameter estimasi yang diharapkan: i1,i2,i3 ,i5 ,> 0; i4 < 0
2. Investasi Swasta
INVSit = i0 + i1 BMDit + i2PADit + i3 KONS + i4LINVSWit
+ u10 (13)
parameter estimasi yang diharapkan: i1, i3,i4, > 0;i2 < 0
3. Total Pengeluaran Pemerintah
TPGPit = TPGPDit + DDTBLit (14)
4. Ekspor Daerah
EXPDit = j0 + j1NTRPit + j2PDRBit + j3INFL + j4LEXPDit
+ u11 (15)
parameter estimasi yang diharapkan: j1, j3 < 0; j2, j4> 0
5. Impor Daerah
221
IMPDit = k0 + k1PDRBit + k2 KONSit + k3LIMPDit + u12
(16)
parameter estimasi yang diharapkan: k1, k2,k3> 0
6. Ekspor bersih
NEXP = EXPDit - IMPDit (17)
III. Blok Kinerja Perekonomian
1. PDRB Sektor Pertanian
PDRBSPit= m0+ m1 PTKSPit + m2BMDit+ m3LPDRBSPit
+ u13 (18)
parameter estimasi yang diharapkan: m1, m2 , m3,> 0
2. PDRB Sektor Industri dan Perdagangan
PDRBIPit= n0+ n1 PTKNPit + n2BMDit+ n3INVSit +
n3LPDRBIPit + u14 (19)
parameter estimasi yang diharapkan: n1, n2 , n3,n4> 0
3. PDRB Sektor Lainnya
PDRBSLit= o0+ o1 PTKNPit + o2INVSit +o3KONS it +
o4LPDRBTB it + u15 (20)
parameter estimasi yang diharapkan: o1, o2 , o3, o4,> 0
4. Produk Domestik Regional Bruto
PDRBit= PDRBSPit + PDRBIPit +PDRBSLit(21)
5. Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian
PTKSPit = p0+ p1AKKit + p2BMDSPit + p3LPTKSPit +
u16 (22)
parameter estimasi yang diharapkan: p1, p2, p3 > 0
6. Penyerapan Tenaga Kerja Sektor non Pertanian
222
PTKNPit = q0+ q1 INVSit + q2AKKit+
q3LPTKNPit + u17 (23)
parameter estimasi yang diharapkan: q1, q2 , q3> 0
7. Total Penyerapan Tenaga Kerja
PTKit = PTKSPit + PTKNP (24)
8. Pengangguran
UNEPit= AKKit- PTKit (25)
9. Indeks Pembangunan Manusia
IPM = r0 + r1BKESit+r1BPENit + r1LIPMit + u18 (26)
parameter estimasi yang diharapkan: r1, r2, r3 > 0
10. Kemiskinan
MISKit= s0
+ s1PDRBit + s2POPit + s3BSOSit +
s4IPMit + s5LMISKit + u19
(27)
parameter estimasi yang diharapkan: s2, s5> 0; s1, s3,
s4< 0
Metode pendugaan model dilakukan dengan
metode 2SLS (two stage least squares) karena metode
2SLS cocok untuk persamaan simultan yang over
identified, dapat digunakan pada jumlah sampel yang
relatif sedikit dan tidak sensitif terhadap modifikasi
(respesifikasi) model, baik untuk analisis struktural
maupun untuk analisis simulasi dan peramalan.
pengolahan data dilakukan dengan menggunakan
program software komputer SAS versi 9.0.
223
C. Hasil Penelitian
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kondisi geografis Provinsi Sulawesi Selatan berada
di bagian tengah Indonesia, terletak pada garis 116˚48’ - 122˚36’
bujur timur dan antara 0˚12’ - 8˚ lintang selatan. Di sebelah
utara, berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Barat dan Sulawesi
Tengah, sebelah timur dengan Teluk Bone dan Provinsi Sulawesi
Tenggara, sebelah selatan Laut Flores, sebelah barat Selat
Makassar, dengan luas total mencapai 45 519.24 km2.Secara
administrasi, pada tahun 2009 Provinsi Sulawesi Selatan
memiliki 24 kabupaten kota terdiri atas 21 Kabupaten, 3 Kota,
304 Kecamatan, 2 182 Desa, dan 764 Kelurahan.
Jumlah sungai yang mengaliri wilayah Provinsi
Sulawesi Selatan tercatat sekitar 65 aliransungai dengan
jumlah aliran terbesar di Kabupaten Luwu, yakni 25
aliran sungai. Sungaiterpanjang tercatat ada satu sungai
yakni Sungai Saddang dengan panjang 150 km,
yangmengalir Kabupaten Tana Toraja, Enrekang, dan
Pinrang.
Di Provinsi Sulawesi Selatan terdapat empat
danau yaitu: Danau Tempe dan Sidenreng yangberada
di Kabupaten Wajo, serta Danau Matana dan Towuti
yang berlokasi di KabupatenLuwu Timur. Adapun
jumlah gunung tercatat sebanyak 7 gunung dengan
gunung tertinggi adalah Gunung Rantemario dengan
ketinggian 3470 m di atas permukaan air laut. Gunung
ini terletak di Kabupaten Enrekang dan Luwu.
Secara historis dan budaya Provinsi Sulawesi
Selatan memiliki potensi keragaman yang sangat
224
tinggi. Provinsi Sulawesi Selatan pada awalnya
mencakup empat etnis besar yakni Bugis,
Makassar, Toraja, dan Mandar, serta berbagai sub-
etnis lainnya. Dalam perkembangannya,
Provinsi Sulawesi Selatan mengalami pemekaran
wilayah, Kabupaten Polewali Mamasa, Mamuju,
dan Majene yang dominan etnis Mandar
tergabung dalam provinsi baru yakni Provinsi
Sulawesi Barat.
Penduduk dan Tenaga Kerja
Perkembangan jumlah penduduk kabupaten kota
di Provinsi Sulawesi Selatan dapat dilihat pada Tabel di
bawah ini: Perkembangan Penduduk Kabupaten Kota di
Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2008-2014
Tabel 12.1 menunjukkan bahwa jumlah penduduk
kabupaten kota di Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun
2014 tercatat 8.432.163 jiwa. Pertumbuhan penduduk
225
kabupaten kota di Provinsi Sulawesi Selatan selama
tahun 2007 sampai dengan 2014 rata-rata 1.19 persen
per tahun, dimana Kabupa ten LuwuTimur Utara dan
Kota Palopo, merupakan kabupaten dan kota dengan
pertumbuhan penduduk tertinggi masing-masing 2.51
persen dan 2,48 persen per tahun. Sementara
Kabupaten Tana Toraja, Soppeng, dan Luwu Utara
adalah tiga kabupaten dengan tingkat pertumbuhan
penduduk negatif, masing-masing sebesar -0.03persen, -
0,14 persen, dan -0.22 persen per tahun.
Sementara perkembangan angkatan kerja
kabupaten kota di Provinsi Sulawesi Selatan dapat
dilihat pada Tabel 12.2.
Perkembangan Angkatan Kerja Kabupaten Kota di
Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2008-2014 (jiwa)
226
Tabel 12.2 menunjukkan bahwa jumlah angkatan
kerja kabupaten kota di Provinsi Sulawesi Selatan pada
tahun 2014 tercatat 3.582.380 jiwa.
Selanjutnya perkembangan jumlah tenaga kerja
kabupaten kota di Provinsi Sulawesi Selatan dapat
dilihat pada Tabel 12.3.
Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja Kabupaten Kota di
Provinsi SulawesiSelatan Tahun 2008-2014 (jiwa)
Tabel 12.3 menunjukkan bahwa jumlah
penyerapan tenaga kerja kabupaten/ kota di Provinsi
Sulawesi Selatan pada tahun 2014 tercatat 3.327.005
jiwa.
227
Kondisi Fiskal Daerah
Kondisi fiskal daerah pada dasarnya terdiri atas
penerimaan dan pengeluaran daerah.
Penerimaan Daerah
Struktur penerimaan fiskal daerah kabupaten kota
di Indonesia termasuk Provinsi Sulawesi Selatan terdisi
atas: (1) Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang meliputi:
pajak daerah, retribusi daerah, laba Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD), dan pendapatan asli daerah lainnya,
(2) transfer dari pemerintah pusat, terdiri atas: Dana
Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK),
dan Dana Bagi Hasil (DBH), dan (3) pendapatan lain
daerah.
Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan asli daerah kabupaten kota di Provinsi
Sulawesi Selatan dapat dilihat pada Tabel 12.4.
Perkembangan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten
Kota di Provinsi Sulawesi SelatanTahun 2008-2014
228
Pendapatan Asli Daerah (PAD) kabupaten kota di
Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2014 tercatat
1.973.887juta rupiah. Pendapatan asli daerah
kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan
menunjukkan peningkatan rata-rata sebesar 30.28
persen per tahun selama delapan tahun terakhir.
Tranfer Dana dari Pemerintah Pusat
Transfer dana dari pemerintah pusat terdiri atas
tiga jenis yaitu: Dana Alokasi Umum (DAU), Dana
Bagi Hasil (DBH), dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
Penerimaan kabupaten kota di Provinsi Sulawesi
Selatan yang bersumber dari DAU dapat dilihat pada
Tabel 12.5. Perkembangan Dana Alokasi Umum
229
Kabupaten Kota di Provinsi Sulawesi SelatanTahun
2008-2014
Sumber: Kementerian Keuangan Republik Indonesia Berbagai
Tahun
Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan dana
transfer fiskal dari pemerintah pusat, diharapkan dapat
mengurangi kesenjangan antar daerah di Indonesia,
menunjukkan peningkatan rata-rata sebesar 13,37
persen per tahun. Tercatat bahwa jumlah dana alokasi
umum kabupaten kota di Provinsi Sulawesi Selatan
pada tahun 2014sebesar 13.976.928juta rupiah. DAU
merupakan variabel penerimaan terbesar kabupaten kota
di Provinsi Sulawesi Selatan terbesar dalam tujuh tahun
terkhir.
Perkembangan Dana Bagi Hasil (DBH) kabupaten
kota di Provinsi Sulawesi Selatan dapat dilihat pada
230
Tabel 12.6. Perkembangan Dana Bagi Hasil Kabupaten
Kota di Provinsi Sulawesi SelatanTahun 2008-2014
Dana Bagi Hasil (DBH) yang juga merupakan
dana transfer fiskal dari pemerintah pusat ke pemerintah
daerah, merupakan pembagian atas pajak dan
sumberdaya alam yang diperoleh dari daerah tersebut.
Penerimaan DBH kabupaten kota di Provinsi Sulawesi
Selatan menunjukkan penurunan rata-rata sebesar -0.80
persen per tahun. Tabel 8 menunjukkan bahwa jumlah
DBH kabupaten kota di Provinsi Sulawesi Selatan pada
tahun 2014sebesar 684.548juta rupiah.
Perkembangan Dana Alokasi Khusus (DAK)
kabupaten kota di Provinsi Sulawesi Selatan dapat
dilihat pada Tabel 12.7. Perkembangan Dana Alokasi
Khusus Kabupaten Kota di Provinsi Sulawesi
SelatanTahun 2008-2014
231
Penerimaan DAK kabupaten kota di Provinsi
Sulawesi Selatan menunjukkan peningkatan rata-rata
sebesar 6.21 persen per tahun. Tabel 9 menunjukkan
bahwa jumlah DAK kabupaten kota di Provinsi
Sulawesi Selatan pada tahun 2014sebesar 1.471.512juta
rupiah.
Pengeluaran Daerah
Dalam penelitian ini pengeluaran daerah
kabupaten kota di Provinsi Sulawesi Selatan dibagi ke
dalam 5 jenis pengeluaran/belanja yaitu; belanja
pegawai, belanja barang dan jasa, belanja modal,
belanja pendidikan, belanja sosial, dan belanja lain-lain.
Belanja Pegawai
Belanja pegawai merupakan komponen
232
pengeluaran terbesar yang dilakukan oleh pemerintah
kabupaten kota di Provinsi Selatan. Perkembangan
Belanja Pegawai Kabupaten Kota di Provinsi Sulawesi
Selatan Tahun 2008-2014
Tabel 12.8 menunjukkan bahwa jumlah belanja
pegawai pada tahun 2014 tercatat sebesar
11.302.927juta. Perkembangan belanja pegawai
kabupaten kota di Provinsi Sulawesi Selatan selama
enam tahun terakhir menunjukkan peningkatan rata-rata
sebesar 10.77 persen per tahun.
Belanja Barang dan Jasa
Belanja barang dan jasa merupakan jenis
pengeluaran pemerintah yang dimaksudkan untuk
pengadaan barang dan jasa yang digunakan untuk
menjalankan pemerintahan.
233
Perkembangan Belanja Barang dan Jasa
Kabupaten Kota di Provinsi Sulawesi SelatanTahun
2008-2014
Tabel 12.9. menunjukkan bahwa jumlah belanja
barang dan jasa pada tahun 2014 tercatat sebesar
4.604.052juta. Perkembangan belanja barang dan jasa
kabupaten kota di Provinsi Sulawesi Selatan selama
delapan tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang
cukup besar, rata-rata sebesar 14,82persen per tahun.
Kabupaten Jeneponto, Pangkep, dan Kabupaten Tana
Toraja merupakan tiga kabupaten kota yang memiliki
pertumbuhan belanja barang dan jasa yang cukup besar
masing-masing meningkat sebesar 23,16persen, 23,21
persen dan 26,05persen per tahun.
234
Belanja Modal
Dalam penelitian ini belanja modal
dikelompokkan ke dalam dua kelompok yaitu, belanja
modal sektor pertanian, dan belanja modal sektor
lainnya.
Perkembangan Belanja Modal Kabupaten Kota di
Provinsi Sulawesi SelatanTahun 2008-2014
(juta rupiah)
Tabel 12.10 menunjukkan bahwa jumlah belanja
modal pada tahun 2014 tercatat sebesar 4.815.972juta.
235
Perkembangan belanja modal kabupaten kota di
Provinsi Sulawesi Selatan selama tujuh tahun terakhir
menunjukkan peningkatan rata-rata sebesar 4.78persen
per tahun. Kabupaten Gowa, Kabuoaten Tana Toraja
dan Kota Makassar adalah tiga kabupaten kota yang
memiliki pertumbuhan belanja modal yang sangat besar
masing-masing meningkat sebesar 20,91persen, 12,88,
dan 17,69persen per tahun, namun terdapat 7 kabupaten
kota yang tingkat pertumbuhan modalnya negatif, yaitu
masing Kabupaten; Bangtaeng, Sinjai, Barru, Bone,
Enrekang, Kota Pare-pare dan Kota Palopo.
Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto
Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) kabupaten kota di Provinsi Sulawesi Selatan
dapat dilihat pada Tabel 12.11.
Perkembangan PDRB Kabupaten Kota di Provinsi
Sulawesi Selatan Atas Dasar Harga Konstan Tahun
2008-2014
236
Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) adalah merupakan salah satu tolok ukur utama
perekonomian suatu negara atau daerah. Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) suatu negara atau
daerah dapat diukur dari sisi konsumsi dan produksi.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dari sisi
produksi dapat dilihat dengan menjumlahkan output
pada seluruh sektor yang ada dalam perekonomian suatu
negara atau daerah.
Tabel 15 menunjukkan bahwa jumlah PDRB
kabupaten kota di Provinsi Sulawesi Selatan pada
tahun 2014 tercatat sebesar 68.425,51milyar rupiah.
Perkembangan PDRB kabupaten kota di Provinsi
Sulawesi Selatan selama enam tahun terakhir
menunjukkan peningkatan rata-rata sebesar 7.36persen
per tahun. Semua kabupaten kota di Provinsi Sulawesi
Selatan, mengalami pertumbuhan PDRB, dimana
Kabupaten Pangkap, Bone dan Wajo merupakan
kabupaten kota yang mengalami pertumbuhan PDRB
terbesar, masing-masing 10,42 persen, 9,54 persen dan
9.68 persen per tahun. Hanya terdapat satu kabupaten
yang mengalami pertumbuhan PDRB di bawah 5 persen
per tahun, yaitu Kabupaten Maros, yaitu sebesar 4.74
persen per tahun.
237
Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin
Perkembangan jumlah penduduk miskin
kabupaten kota di Provinsi Sulawesi Selatan dapat
dilihat pada Tabel 12.12.
Jumlah penduduk miskin kabupaten kota di
Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2014 tercatat
806.320jiwa dari 1.038.300 pada tahun 2007. Dengan
rata-rata penurunan sebesar 2,79 persen per tahun.
Semua Kabupaten kota yang ada mengalami penurunan
angka kemiskinan kecuali satu kabupaten yaitu
kabupaten Soppeng.
Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin
Kabupaten Kota di Provinsi Sulawesi SelatanTahun
2007-2014
238
Spesifikasi model yang digunakan dalam
penelitian ini telah mengalami beberapa kali modifikasi,
karena ditemukan beberapa hasil dugaan yang tidak
konsisten dengan teori dan beberapa dugaan parameter
yang tidak nyata. Sehingga akhirnya didapatkan model
dengan keragaan hasil pendugaan parameter yang cukup
representatif untuk menggambarkan fenomena yang ada
pada kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan.
Hasil estimasi model dengan menggunakan
metode ekonometrik 2SLS (two stege least square)
diperoleh faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
variabel endogen dalam model, dimana terdapat 19
persamaan struktural, secara keseluruhan menunjukkan
hasil yang cukup baik.
Kebijakan Fiskal
Hasil pendugaan model terhadap penerimaan
fiskal daerah (Tabel 12.13) diperoleh bahwa: (1) Pajak
daerah dipengaruhi secara nyata dan positif oleh
jumlah kamar hotel dan pajak daerah tahun sebelumnya,
sementara jumlah kendaraan bermotor dan total
pengeluaran pemerintah memiliki tanda positif namun
tidak berpengaruh nyata, (2) Retribusi daerah
dipengaruhi secara nyata dan positif oleh total
pengeluaran pemerintah daerah dan retribusi daerah
tahun sebelumnya, sementara PDRB dan jumlah
populasi memiliki tanda positif namun tidak
239
berpengaruh nyata, (3) Dana Alokasi Umum (DAU)
dipengaruhi secara nyata dan positif oleh jumlah
pegawai negeri sipil, dan jumlah populasi, sementara
luas daerah kabupaten kota, dan jumlah penduduk
miskin memiliki tanda positif namun tidak berpengaruh
nyata, dan (4) Dana Bagi Hasil (DBH) dipengaruhi
secara nyata dan positif dana bagi hasil tahun
sebelumnya sementara PDRB dan trend mempemiliki
tanda positif namun tidak nyata.
Hasil pendugaan model terhadap pengeluaran
fiskal daerah diperoleh bahwa: (1) Belanja pegawai
dipengaruhi secara nyata dan positif oleh jumlah
pegawai negeri sipil, sementara pendapatan asli daerah
dan belanja pegawai tahun sebelumnya, dan dana
alokasi umum memiliki tanda positif namun tidak nyata.
(2) belanja barang dan jasa dipengaruhi secara positif
dan nyata oleh pendapatan asli daerah, dana alokasi
umum, dan belanja barang dan jasa tahun sebelumnya,
sementara dana bagi hasil, memiliki tanda positif namun
tidak berpengaruh nyata terhadap belanja barang dan
jasa, (3) belanja modal dipengaruhi secara nyata oleh
belanja modal tahun sebelumnya, dana alokasi khusus,
dan dana bagi hasil. sementara dana alokasi umum dan
pendapatan asli daerah tidak berpengaruh nyata, (4)
belanja sosial pemerintah daerah hanya dipengaruhi
secara nyata oleh belanja sosial tahun sebelumnya,
sementara dana alokasi umum, dana bagi hasil, dan
pendapatan asli daerah memiliki tanda positif namun
240
tidak berpengaruh nyata. Hasil Estimasi Parameter
Persamaan Fiskal Daerah
241
Permintaan Agregat
Hasil pendugaan model terhadap permintaan
agregat (Tabel 12.14) diperoleh bahwa; (1) konsumsi
masyarakat, dipengaruhi secara nyata oleh belanja
pegawai dan konsumsi masyarakat tahun
sebelumnya.Hal tersebut menunjukkan bahwa apabila
belanja pegawai dan konsumsi masyarakat tahun
sebelumnya meningkat, maka konsumsi masyarakat
tahun berjalan akan meningkat (2) Investasi swasta
dipengaruhi secara nyata dan positif oleh konsumsi
masyarakat dan investasi swasta tahun sebelumnya,
namun disisi lain investasi swasta dipengaruhi secara
nyata dan negatif terhadap Pendapatan Asli Daerah
(PAD). Dengan demikian apabila konsumsi masyarakat
dan investasi swasta tahun sebelumnya meningkat,
maka investasi swasta tahun berjalan akan meningkat,
sebaliknya apabila PAD meningkat, maka investasi
swasta akan menurun. Hal ini mengindikasikan bahwa
pajak dan retribusi daerah sebagai sumber utama PAD
yang dipungut oleh pemerintah daerah mengindikasikan
adanya biaya ekonomi tinggi (high cost economy), (3)
Ekspor daerah dipengaruhi secara nyata dan positif
terhadap PDRB dan Ekspor daerah tahun sebelumnya
serta dipengaruhi secara nyata dan negatif atas nilai
tukar rupiah. Jadi apabila PDRB meningkat dan ekspor
daerah tahun sebelumnya meningkat, maka ekspor
daerah pada tahun berjalan meningkat. Sebaliknya
apabila nilai tukar rupiah meningkat, maka ekspor
242
daerah menurun. (4) Impor daerah dipengaruhi secara
nyata oleh impor daerah tahun sebelumnya sementara
variabel PDRB dan konsumsi, berpengaruh positif
namun tidak nyata.
Hasil Estimasi Parameter Persamaan Permintaan
Agregat Daerah
Kinerja Perekonomian Hasil pendugaan model terhadap output daerah
(Tabel 12.15), diperoleh bahwa produk domestik
regional sektor pertanian hanya dipengaruhi secara
positif dan nyata oleh produk domestik regional sektor
pertanian tahun sebelumnya serta belanja modal,
243
sementara penyerapan tenaga kerja sektor pertanian
berpengaruh positif namun tidak nyata. Selanjutnya
produk domestik regional bruto sektor industri dan
perdagangan dipengaruhi secara nyata oleh investasi
swasta, belanja modal dan produk domestik regional
bruto sektor industri dan perdagangan tahun
sebelumnya, sementara penyerapan tenaga kerja non
pertanian berpengaruh positif namun tidak nyata.
Kemudian produk domestik regional sektor lainnya
dipengaruhi positif dan nyata oleh penyerapan tenaga
kerja non pertanian, investasi sewasta dan domestik
regional sektor lainnya tahun sebelumnya, sementara
konsumsi masyarakat pemengaruh positif namun tidak
nyata.
244
Hasil estimasi model penyerapan tenaga kerja
sektor pertanian dan non pertanian menunjukkan bahwa
penyerapan tenaga kerja sektor pertanian dipengaruhi
secara positif dan nyata oleh jumlah angkatan kerja, dan
penyerapan tenaga kerja sektor pertanian tahun
245
sebelumnya, sebaliknya penyerapan tenaga kerja non
pertanian berpengaruh negatif dan nyata terhadap
penyerapan tenaga kerja sektor pertanian. Kemudian
penyerapan tenaga kerja non pertanian dipengaruhi
secara positif dan nyata oleh investasi swasta, jumlah
angkatan kerja dan penyerapan tenaga kerja non
pertanian tahun sebelumnya.
Hasil estimasi model terhadap kemiskinan
diperoleh bahwa kemiskinan dipengaruhi secara positif
dan nyata terhadap jumlah populasi dan jumlah
penduduk miskin tahun sebelumnya. Sementara belanja
pendidikan berpengaruh negatif dan nyata terhadap
kemiskinan. Kemudian produk domestik regional bruto
berpengaruh negatif namun tidak nyata terhadap
penurunan angka kemiskinan.
Hasil estimasi model terhadap indeks
pembangunan manusia menunjukkan bahwa indeks
pembangunan manusia dipengaruhi secara nyata dan
positif oleh produk domestik regional bruto, dan belanja
kesehatan. Sementara jumlah populasi berpengaruh
negatif dan nyata terhadap indeks pembangunan
manusia, selanjutnya belanja sosial berpengaruh positif
namun tidak nyata terhadap indeks pembangunan
manusia.
Simulasi Kebijakan
Untuk melihat dampak kebijakan fiskal terhadap
perekonomian kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi
246
Selatan, maka dilakukan simulasi kebijakan. Dalam
tulisan ini, simulasi dilakukan berdasarkan
pertimbangan ekonomi, sebagaimana isu-isu kebijakan
fiskal yang banyak diperbincangkan dikalangan para
ekonom dewasa ini. Adapun simulasi kebijakan yang
terpilih adalah: (1) meningkatkan belanja modal,
sebesar 20 persen, (2) meningkatkan total pengeluaran
pemerintah sebesar 20 persen, dan (3) meningkatkan
belanja pendidikan sebesar 20 persen seperti terlihat
pada Tabel 12.16.
Hasil Simulasi Kebijakan
Dampak simulasi meningkatkan belanja modal,
247
sebesar 20 persen terhadap permintaan agregat adalah
konsumsi masyarakat naik kurang dari 0.01 persen,
investasi swasta naik 3,40 persen dan total pengeluaran
pemerintah daerah naik sebesar 0.12 persen, ekspor
daerah naik, 0.04 persen, dan impor daerah juga naik
dari 0.20 persen, dan akibatnya ekspor bersih turun 0,62
persen. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa
peningkatan belanja modal 20 persen berdampak positif
terhadap permintaan. Apabila dilihat dari sisi produk
domestik regional bruto berdasarkan sektor, maka
terjadi kenaikan pada PDRB sektor pertanian 0.06
persen, sektor industri dan perdagangan 0,14 persen,
dan sektor lainnya naik 0,18. Kondisi tersebut
menunjukkan bahwa peningkatan belanja modal
memberi dampak positif pada semua sektor , namun
dampaknya relatif sangat kecil karena kurang 1
persen.Apabila dilihat dari sisi penyerapan tenaga kerja,
maka terjadi peningkatan penyerapan tenaga kerja
sektor pertanian meningkat 0.14 persen, dan
meningkatkan penyerapan tenaga kerja non pertanian
naik 0,25 persen, sehingga pengangguran turun sebesar
1,84 persen. Dampak akhir dari kebijakan ini adalah
jumlah penduduk miskin, turun sebesar 0.03 persen dan
indeks pembangunan manusia naik 0,2 persen..
Dampak simulasi meningkatkan total
pengeluaran pemerintah sebesar 20 persen,terhadap
permintaan agregat adalah konsumsi masyarakat naik
kurang dari 0.01 persen, investasi swasta naik 5,09
248
persen, ekspor daerah naik, 0.04 persen, dan impor
daerah juga naik dari 0.31 persen, dan akibatnya ekspor
bersih turun 0,91 persen. Kondisi tersebut menunjukkan
bahwa peningkatan total pengeluaran pemerintah
sebesar 20 persen berdampak positif terhadap
permintaan agregat secara keseluruhan. Apabila dilihat
dari sisi produk domestik regional bruto berdasarkan
sektor, maka terjadi kenaikan pada PDRB sektor
pertanian 0.09 persen, sektor industri dan perdagangan
0,21 persen, dan sektor lainnya naik 0,26. Kondisi
tersebut menunjukkan bahwa total pemerintah daerah
memberi dampak positif pada semua sektor yang ada,
meskipun dampak relatif sangat kecil karena kurang 1
persen.Apabila dilihat dari sisi penyerapan tenaga kerja,
maka terjadi peningkatan penyerapan tenaga kerja
sektor pertanian meningkat 0.21 persen, dan
meningkatkan penyerapan tenaga kerja non pertanian
naik 0,38 persen, sehingga pengangguran turun sebesar
2,73 persen. Dampak akhir dari kebijakan ini adalah
jumlah penduduk miskin, turun sebesar 0.04persen,dan
indeks pembangunan manusia naik 0,1 persen.
Dampak simulasi meningkatkan belanja
pendidikan 20 persen terhadap permintaan agregat
adalah konsumsi masyarakat naik kurang dari 0.03
persen, total pengeluaran pemerintah naik0,01 persen,
ekspor daerah naik, 0.24 persen, dan impor daerah juga
naik dari 0.18 persen, dan akibatnya ekspor bersih naik
0,12 persen. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa
peningkatan belanja pendidikan 20 persen berdampak
249
positif terhadap permintaan agregat secara keseluruhan.
Apabila dilihat dari sisi produk domestik regional bruto
berdasarkan sektor, maka terjadi kenaikan pada PDRB
sektor pertanian 0.27 persen, sektor industri dan
perdagangan 0,33 persen, dan sektor lainnya naik 0,24.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa peningkatan
belanja pendidikan 20 persen memberi dampak positif
pada semua sektor. Apabila dilihat dari sisi penyerapan
tenaga kerja, maka terjadi peningkatan penyerapan
tenaga kerja sektor pertanian meningkat 0.24 persen,
dan meningkatkan penyerapan tenaga kerja non
pertanian naik 0,49 persen, sehingga pengangguran
turun sebesar 2,81 persen. Dampak akhir dari kebijakan
ini adalah jumlah penduduk miskin, turun sebesar 0.132
persen.
1. Hasil estimasi model menunjukkan bahwa
kebijakan fiskal yang dilakukan oleh pemerintah
daerah terutama belanja modal berpengaruh positif
terhadap investasi swasta. Selanjutnya investasi
swasta berpengaruh positif dan nyata terhadap
pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja
dan kemiskinan dan indeks pembangunan manusia
pada kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi
Selatan
2. Hasil estimasi model menunjukkan bahwa produk
domestik regional bruto dan belanja pendidikan
berpengaruh positif dalam menurunkan angka
250
kemiskinan, namun hanya belanja pendidikan
yang berpengaruh nyata terhadap penurunan angka
kemiskinan. Berbeda halnya dengan jumlah
penduduk miskin tahun sebelumnya berpengaruh
nyata dalam meningkatkan angka kemiskinan,
sementara belanja jumlah penduduk berpengaruh
positif dalam meningkatkan angka kemiskinan, hal
tersebut menunjukkan bahwa, kebijakan keluarga
berencana perlu mendapatkan dukungan dari
pemerintah daerah.
3. Hasil simulasi kebijakan menunjukkan bahwa
peningkatan belanja modal, peningkatan total
pengeluaran pemerintah, dan atau peningkatan
belanja pendidikan pada kabupaten dan kota di
Provinsi Sulawesi Selatan, memberi dampak yang
positif terhadap pertumbuhan ekonomi,
pengurangan kemiskinan, dan pengangguran.
Meskipun demikian dampak yang ditimbulkannya
relatif kecil baik terhadap pertumbuhan ekonomi,
pengurangan pengangguran, terlebih terhadap
pengurangan kemiskinan.
Implikasi Kebijakan
Berdasarkan hasil analisis dan kesimpulan, maka
dikemukakan implikasi kebijakan:
1. Hasil estimasi dan simulasi kebijakan menunjukkan
bahwa peningkatan belanja pendidikan berdampak
positif dalam menurunkan angka kemiskinan. Oleh
karena itu pemerintah daerah dengan keterbatasan
251
anggaran pendapatan dan belanja daerah, perlu
melakukan efisiensi penggunaan anggaran untuk
digunakan dalam meningkatkan belanja pendidikan
guna mengurangi jumlah penduduk miskin,
2. Kurang responsifnya kebijakan pengeluaran
pemerintah terhadap penurunan jumlah penduduk
miskin, menunjukkan bahwa kebijakan fiskal yang
dilakukan oleh pemerintah daerah belum
sepenuhnya berpihak pada penduduk miskin. Oleh
karena itu untuk meningkatkan respons dari
kebijakan pemerintah, maka sebaiknya pemerintah
daerah perlu lebih berpihak dan fokus serta
diperlukan kebijakan yang bersifat langsung dan
produktif yang ditujukan pada masyarakat miskin
dan rawan pangan khususnya pada buruh dan petani
miskin dengan melakukan program pendampingan.
252
DAFTRA PUSTAKA
Adelman, I. and S. Robinson. 1978. Income Distribition
Policy in Developing Countries
A Case Study of Korea. Oxford University
Press, Oxford.
Adeniyi, O.M. and A.O. Bashir. 2011. Sectoral
Analysis of the Impact of Public Investment on
Economic Growth in Nigeria (1970 – 2008).
European Journal of Social Sciences. 20(1):259-
266.
Akhmad, N.A. Achsani, M. Tambunan, S.A. Mulyo.
2013. The Impact of Fiscal Policy on the Regional
Economy: Evidence from South Sulawesi,
Indonesia.Journal of Applied Sciences Research,
9(4): 2463-2474,
Akhmad. 2015. Dampak Pengeluaran Pemerintah
Daerah Terhadap Kemiskinan pada Sepuluh
Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan.
Prosiding Seminar Nasional. Lembaga Penelitian
Unversitas Negeri Makassar. (In Indonesia).
Badan Pusat Statistik.2016. Statistik Indonesia. Badan
Pusat Statistik, Jakarta.(In Indonesia).
Badan Pusat Statistik Sulawesi Selatan. 2016. Sulawesi
Selatan Dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Sulawesi Selatan, Makassar.. (In Indonesia).
253
Claeys, P. 2008. Rules, and Their Effects on Fiscal
Policy in Sweden. Swedish Economic Policy
Review. 15:7-47.
Costa, L.F. and H.D. Dixon. 2011.Fiscal Policy Under
Imperfect Competition: A Survey, Economics.
The Open-Access, Open-Assessment, E-Journal,
http://dx.doi.org/10.5018/economics-
ejournal.ja.2011-3
Direktorat Jenderal Anggaran Kementrian Keuangan
Republik Indonesia. 2009. Kebijakan Fiskal dalam
Mendorong Sektor Rill. Direktorat Jenderal
Anggaran Kementrian Keuangan Republik
Indonesia, Jakarta
Donalson, L.1984. Economic Development Analysis
and Policy. West Publishing Company, New
York
Dornbursh, R., S. Fisher, and R.Startz. 2008.
Macroeconomics. Ten Edition. Mc Graw-Hill
Book Company, Tokyo.
Fan, S. and N. Rao. 2003. Public Spending In
Developing Countries: Trends, Determination,
and Impact. EPTD Discussion Paper No. 99.
International Food Policy Research Institute.
Washington, D.C.
Fatima, G. 2012. Joint Impact of Investment (Public and
Private) on the Economic Growth of Pakistan: Co-
254
Integration Approach.International Journal of
Humanities and Social Science. 2(15):171-176.
Guimaraes, R. 2010. What Are The Effects of Fiscal
Policy Shocks in India. International Monetary
Fund, Amaltas Conference Room Research
Meeting, 9-10 March 2010, India Habitat Centre.
Kuncoro, H. 2004. Pengaruh Transfer Antar Pemerintah
pada Kinerja Fiskal Pemerintah Daerah Kota dan
Kabupaten di Indonesia. Jurnal Ekonomi
Pembangunan,Kajian Ekonomi Negara
Berkembang.9(1): 47-63.
Mardiasmo. 2009. Kebijakan Desentrasi Fiskal di Era
Reformasi: 2005-2008: Era Baru kebijakan Fiskal.
Buku Kompas. Jakarta.. (In Indonesia).
Park, D. 2010. The Role of Fiscal Policy in Rebalancing
Developing Asia’s Growth. Asian Development
Bank Economics, Working Paper Series No.223.
Rasyid M.R. 1998. Desentralisasi dalam Rangka
Menunjang Pembangunan Daerah: dalam
Kumpulan Karangan. Pembangunan Administrasi
di Indonesia. Disunting Achmad Sjihabuddin.
LP3ES, Jakarta.
Rindayati, W. 2009.Dampak Desentralisasi Fiskal
terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di
Wilayah Provinsi Jawa Barat. Disertasi Doktor.
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor,
Bogor. . (In Indonesia).
255
Romer, D. 2001. Advanced Macroeconomics, Second
Edition, McGraw-Hill Book Company Co,
Singapore.
Sen , A. K. 1981. Poverty and Famines. An Essay on
Entlitements and Deprivation. Basil Blacwell,
Oxford.
Shaheen, S. and Paul, T. 2009. Measuring the Dynamic
Effects of Fiscal Policy Shocks in Pakistan.
http://www.pide.org.pk/psde/25/pdf/Day3/Rozina
Shaheen.pdf.
Simanjuntak, R. 2002. Kebutuhan Fiskal, Kapasitas
Fiskal dan Optimasi Potensi Pendapatan Asli
Daerah (PAD). Working Paper. Lembaga
Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat,
Universitas Indonesia, Jakarta.
Stiglitz. J.E. 2000. Economics of the Public Sector.
W.W. Norton and Company, New York.
Subiyantoro, H. dan S.Rifat, 2004. Kebijakan
Fiskal: Pemikiran, Konsep, dan Implementasi.
Kompas, Jakarta.
Suparmoko. 2002. Ekonomi Publik: Untuk Keuangan
dan Pembangunan Daerah. Edisi Pertama. Andi
Offset, Yogyakarta.
Tim Nasioanl Percepatan Penanggulangan Kemiskinan.
2015. Srategi Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan. TNP2K. Jakarta.
256
Todaro, M.P. and S.C. Smith. 2009. Economic
Development. Tenth Edition. Pearson Addison
Wesley, New York
Peraturan Menteri Dalam NegeriNomor 31 Tahun 2016
Tentang Pedoman Penyunan Anggaran Pedapatan
dan Belanja Daerah Tahun 2017.
Peraturan Pemerintah Republik IndonesiaNomor 58
Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah
Pusat Pendidikan dan Pelatihan PengawasanBadan
Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan. 2007.
SistemAdministrasiKeuangan Daerah I. Pusat
Pendidikan Dan Pelatihan PengawasanBadan
Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan
Undang-Undang Republik IndonesiaNo. 17 Tahun 2003
tentangKeuangan Negara
Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 33 Tahun
2004 TentangPerimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah
World Bank. 2007. Desentralisasi Fiskal dan
Kesenjangan Daerah: Kajian Pengeluaran Publik
Indonesia
2007.http://siteresources.worldbank.org/
Intindonesia/ Resources /226271-1168333550999.
257
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Maroanging
Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi
Selatan Tahun 1965, sebagai anak ke
lima dari enam bersaudara, dari
pasangan Pide (almarhum) dan
Hajirah. Penulis melanjutkan
pendidikan sarjana Strata Satu tahun
1984 pada Jurusan Manajemen pada
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi
Yayasan Pendidikan Ujung Pandang dan lulus tahun
1988. Pada tahun 1991 Penulis melanjutkan pendidikan
Magister pada Program Studi Agribisnis, Program
Pascasarjana Universitas Hasanuddin, dan lulus tahun
1993.
Pada tahun 2008 penulis memperoleh kesempatan
untuk mengikuti pendidikan program doktor pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan sponsor
BPPS dan lulus pada tahun 2012.
Penulis bekerja diawali dengan menjadi Dosen
tetap yayasan pada Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi
(STIE) Yayasan Pendidikan Pendidikan Ujung Pandang
(YPUP) tahun 1989 sampai tahun 2004. Kemudian
sebagai Dosen Kopertis Wilayah IX Sulawesi yang
dipekerjakan pada STIE-YPUP sejak tahun 2004-2016.
Selanjunya Dosen Kopertis Wilayah IX Sulawesi yang
dipekerjakan pada Universitas Muhammmadiyah
Makassar 2016. sampai sekarang. Akhmad adalah
penulis yang telah membuahkan beberapa karya, antara
lain Buku; Ekonomi Mikro: Teori dan Aplikasi di Dunia
258
Bisnis diterbitan oleh Penerbit Andi Offset Tahun 2014.
Karya lainnya dalam bentuk Jurnal antara lain telah
diterbitkan dalam jurnal Internasional seperti:
International Research Journal of Finance and
Economics 9(4): 2463-2474, 2013, dengan judul:Impact
of Fiscal Policy on the Agricultural Development in an
Emerging Economy: Case Study from the South
Sulawesi, Indonesia. Journal of Applied Sciences
Research, Issue 96 (2012) P:al 1450-2887, dengan
judul:The Impact of Fiscal Policy on the Regional
Economy: Evidence from South
Sulawesi,Indonesia;,International Journal of Energy
Economics and Policy2018, 8(4), 13-20, dengan judul;
Study of Fuel Oil Supply and Consumption in
Indonesia. Majalah Kementrian PPN/Bappenas, dengan
judul: Efektivitas Kebijakan Fiskal Daerah terhadap
Perekonomian Kabupaten dan Kota di Provinsi
Sulawesi Selatan. Sebagai Pemenang Call of Paper
pada Kongres Isei XVIII Dan Seminar Nasional “Satu
Dasa Warsa Implementasi Otonomi Daerah”
Yogyakarta, 2-4 Oktober 2012, dan beberapa tulisan
lainnya yang diterbitkan dalam jurnal dalam negeri.
Sebagai pemakalah terbaik pada Seminar Nasional
dengan Tema: Optimalisasi Hasil-Hasil Penelitian
dalam Menunjang Pembangunan yang Berkelanjutan.
Yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian
Universitas Negeri Makassar pada tanggak 13 Juni 2015
di Gedung Pinisi UNM. Sebagai Pemakalah terbaik
dalam Acara Call For Paper dengan Tema: Membangun
Ekonomi Ummat Berbasis Riset, yang diselenggaran
oleh Asosiasi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Perguruan
Tinggi Muhammadiyah, di Kampus Universitas
Muhammadiyah Surabaya, tanggal 21-23 Nopember
259
2017.
Menikah dengan Rahmawaty Gaffar pada tahun
1995 dan dikaruniai tiga orang anak: Muhammad
Akram Akhmad, Muhammad Al Khahfi Akhmad, dan
Nurul Hikmah Maulidiah Akhmad.
View publication statsView publication stats