konsep sex dan gender

16
Gender Melahirkan Feminisme Elizabeth Louise Ketika mendengar kata gender, mayoritas orang akan langsung berpikir mengenai perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Sesungguhnya hal itu keliru. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis merupakan sex. Sex bersifat permanen atau tidak dapat dirubah dan memiliki simbol. Sementara gender merupakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara sosiologis. Gender sendiri berarti perilaku dan harapan yang dipelajari secara sosial yang membedakan antara maskulinitas dan feminitas (Jackson dan Sorensen, 1999). Gender tidak bersifat permanen dan tidak memiliki simbol. Perbedaan gender sebenarnya lahir dari konsep dasar manusia bahwa perempuan lebih lemah dan halus daripada laki-laki. Karen itulah laki-laki selalu mengejakan pekerjaan yang berat dan kasar dan kaum perempuan kerap kali diragukan dalam hal kepemimpinan. Sekitar tahun 1980an mulai adanya tantangan terhadap peran laki- laki dan sejak awal tahun 1990an teori feminism lahir dan mulai berkembang. Teori ini telah memperkenalkan gender sebagai kategori empiris yang relevan dan alat analisis untuk memahami hubungan kekuasaan global (Wardhani, 2013). Perkembangan teori feminisme didukung oleh Adam Jones yang mengangkat tiga hal penting tentang perempuan (Wardhani, 2013), yaitu : (1)fokus pada perempuan sebagai pelaku sejarah dan politik . Jones mengakui bahwa perempuan memainkan banyak peranan dalam bidang sejarah dan politik. (2) Semua feminis berbagi "landasan epistemologis di ranah pengalaman perempuan" . Jones mengakui bahw pengalaman-pengalaman perempuan tersebut secara epistemology adalah sama, dan kisah mereka kemudian dijadikan suatu karya ilmiah. (3) Perempuan dan feminin merupakan historis kurang mampu, kurang terwakili, dan kurang diakui kelompok sosial dan sudut pandang. Jones juga mengakui bahwa perempuan sebagai kaum yang terpinggirkan menjadi kurang terwakili da kurang diakui dalam kelompok sosial. Teori feminisme hadir untuk megkritisi teori-teori yang telah ada sebelumnya yang menurutnya tidak memihak kepada kaum perempuan. Teori feminisme fokus pada aktor non-negara orang-orang yang terpinggirkan, dan konseptualisasi alternatif kekuasaan . Teori 1

Upload: alfian-rokhmansyah

Post on 10-Dec-2015

33 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

Konsep Sex Dan Gender

TRANSCRIPT

Page 1: Konsep Sex Dan Gender

Gender Melahirkan Feminisme

Elizabeth Louise

Ketika mendengar kata gender, mayoritas orang akan langsung berpikir mengenai perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Sesungguhnya hal itu keliru. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis merupakan sex. Sex bersifat permanen atau tidak dapat dirubah dan memiliki simbol. Sementara gender merupakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara sosiologis. Gender sendiri berarti perilaku dan harapan yang dipelajari secara sosial yang membedakan antara maskulinitas dan feminitas (Jackson dan Sorensen, 1999). Gender tidak bersifat permanen dan tidak memiliki simbol.

Perbedaan gender sebenarnya lahir dari konsep dasar manusia bahwa perempuan lebih lemah dan halus daripada laki-laki. Karen itulah laki-laki selalu mengejakan pekerjaan yang berat dan kasar dan kaum perempuan kerap kali diragukan dalam hal kepemimpinan. Sekitar tahun 1980an mulai adanya  tantangan terhadap peran laki-laki dan sejak awal tahun 1990an teori feminism lahir dan mulai berkembang. Teori ini telah memperkenalkan gender sebagai kategori empiris yang relevan dan alat analisis untuk memahami hubungan kekuasaan global (Wardhani, 2013).

Perkembangan teori feminisme didukung oleh Adam Jones yang mengangkat tiga hal penting tentang perempuan (Wardhani, 2013), yaitu : (1)fokus pada perempuan sebagai pelaku sejarah dan politik . Jones mengakui bahwa perempuan memainkan banyak peranan dalam bidang sejarah dan politik. (2) Semua feminis berbagi "landasan epistemologis di ranah pengalaman perempuan" . Jones mengakui bahw pengalaman-pengalaman perempuan tersebut secara epistemology adalah sama, dan kisah mereka kemudian dijadikan suatu karya ilmiah. (3) Perempuan dan feminin merupakan historis kurang mampu, kurang terwakili, dan kurang diakui kelompok sosial dan sudut pandang. Jones juga mengakui bahwa perempuan sebagai kaum yang terpinggirkan menjadi kurang terwakili da kurang diakui dalam kelompok sosial.

Teori feminisme hadir untuk megkritisi teori-teori yang telah ada sebelumnya yang menurutnya tidak memihak kepada kaum perempuan. Teori feminisme fokus pada aktor non-negara orang-orang yang terpinggirkan, dan konseptualisasi alternatif kekuasaan . Teori feminisme menggeser studi hubunga internasional jauh dari fokus tunggal pada hubungan antarnegara terhadap analisis yang komprehensif dari aktor transnasional dan struktur dan transformasi mereka dalam politik global (Wardhani, 2013). Kaum perempuan tepinggirkan dalam bidang kenegaraan, ekonomi politik internasional, dan keamanan internasional.

Teori feminisme melihat dunia politik melalui tiga cara pandang yaitu secara analitis, empiris, dan normatif (Jackson dan Sorensen : 2009, 335). Feminisme analitis mendekonstruksi kerangka teoretis Hubungan Internasional, mengungkapkan bias gender yang meliputi konsep kunci dan menghambat pemahaman yang akurat dan komprehensif hubungan internasional (True: 2001). Feminisme analitis tidak memandang gender sebagai pembeda laki-laki dan perempuan secara biologis, namun mengacu pada konstruk sosial asimetris maskulinitas dan feminitas. Negara hegemonik Barat mengaitkan maskulinitas dengan otonomi, kedaulatan, kapasitas untuk alasan dan objektivitas dan universalisme, sementara gagasan feminitas dikaitkan dengan tidak adanya atau kurangnya semua karakteristik tersebut (Wardhani, 2013).  Analisis feminis mengungkapkan kerangka konseptual Hubungan Internasional sebagai upaya parsial untuk memahami politik dunia.

Feminisme empiris menaruh perhatian kepada perempuan dan hubungan gender sebagai aspek empiris hubungan internasional. Feminisme empiris mengoreksi penolakan dan penafsiran yang salah atas wanita di dunia tentang kesalahan asumsi jika pengalaman laki-laki dapat mengatur baik pria maupun perempuan dan menganggap perempuan absen dari dunia internasional dan tidak

1

Page 2: Konsep Sex Dan Gender

relevan dalam proses global (True: 2001). Hal ini tidak benar adanya, karena perempuan akan selalu menjadi bagian dalam hubungan internasional. Perempuan dipandang tidak relevan dalam hubungan internasional karena kehidupan dan pengalaman perempuan sering dikecualikan dari studi hubungan internasional, dan belum diteliti secara empiris dalam konteks politik dunia (Wardhani, 2013). Hal ini dikarenakan hubungan internasional yang terlalu terfokus pada konflik dan anarki selama ini.

Feminisme normatif mencerminkan proses teori hubungan Internasional sebagai bagian dari agenda normatif bagi perubahan global (True:2001). Dari sudut pandang normatif, perbedaan gender bukan hanya tentang hubungan antara maskulin dan feminisme, tetapi juga tentang politik pengetahua, tentang bagaimana dan dari apa posisi dalam hirarki dapat kita ketahui (Wardhani, 2013). Semua bentuk teorisasi feminis adalah normatif, dalam arti bahwa mereka membantu untuk mempertanyakan makna dan interpretasi tertentu dalam teori hubungan internasioal (Sylvester 2002: 248).

Teori feminisme memiliki beberpa kontribusi dalam studi hubungan internasional (Dugis, 2013). Dari segi ontologi, kontribusi perempuan dalam kajiannya mengenai feminisme di perluas dan didorong untuk membuka siapa subjek dalam hubungan internasional. Masuknya teori feminisme ini  membuat kita kembali bercermin, apakah studi hubungan internasiona masih relevan jika hanya terus-terusan membahas mengenai teori-teori tradisional saja. Secara umum dapat dikatakan bahwa teori feminisme memperluas bahasan studi hubungan internasional. Dari segi aksiologi, efek dari bagian-bagian dalam studi hubungan internasional menjadi semakin nyata. Hal ini terwujud dalam bagaimana persoalan-persoalan yang timbul semakin mudah diselesaikan apabila kita memasukkan teori feminisme kedalam studi hubungan internasional. Dari segi epistemologi, dengan adanya teori feminisme, cara pandang dalam studi hubungan internasional semakin diperkaya, termasuk liberal, teori kritis, postmoderrn, konstruktivis dan green perspective dalam studi hubungan internasional.

Selain memiliki beberapa kontribusi, teori feminisme juga mendapatkan beberapa kritikan (Dugis, 2013), antara lain : (1) teori feminisme dianggap memiliki kecenderungan yang besar untuk selalu berfokus pada perempuan. (2) Teori feminisme dianggap gagal dalam melahirkan sebuah pandangan yang koheren tetang studi hubungan internasional. (3) Ketika kita bebicara mengenai gender, selalu dikaitkan dengan konteks laki-laki dan perempuan, padahal ssungguhnya masih banyak konteks yang bisa dibahas, seperti masalah identitas, kemiskinan, dll. (4) Kecenderungan teori feminisme selalu berangkat dari sesuatu yang bersifat general atau umum.

Feminisme adalah sebuah teori yang lahir untuk megkritisi teori-teori yang telah ada sebelumnya yang menurutnya tidak memihak kepada kaum perempuan. Teori feminisme sesugguhnya ingin memberikan paradigm baru yang berusaha menyingkirkan fokus tunggal hubungan internasional mengenai aktor transnasional yang cenderung tidak pernah membahas masalah gender. Teori feminisme berusaha mengangkat peran kaum perempuan yang termaginalisasi dalam bidang kenegaraan, ekonomi politik internasional, dan keamanan internasional agar setara dengan kaum laki-laki. Referensi :Dugis, Vinsensius & Wardhani, Baiq. 2012.Gender and Feminisme, materi disampaikan pada kuliah Teori Hubungan Internasional, Departemen Hubungan Internsional, Universitas Airlangga. 16 Mei 2013.Jackson, Robert, dan Georg Sorensen. 2009. Pengantar Studi Hubungan Internasional (terj. Dadan Suryadipura, Introduction to International Relations). Jogjakarta: Pustaka Pelajar.True, Jacqui, 2001. Feminism, in; Scott Burchill, et al, Theories of International Relations, Palgrave, pp. 231-276.

2

Page 4: Konsep Sex Dan Gender

GENDER DAN FEMINISME

Ranah hubungan internasional merupakan ranah yang kompleks, di mana segala interaksi yang berinteraksi di dalamnya melibatkan negara-negara beserta seperangkat aspek detail yang mendukungnya. Menurut perspektif realisme, negara-negara merupakan aktor dominan dan memiliki peran yang cukup signifikan dalam percaturan dunia. Suatu negara juga rela melakukan apa saja demi memperjuangkan kepentingannya, termasuk berkonflik dengan negara lain. Keberadaan negara yang dominan ini selanjutnya membuat peran wanita menjadi termarjinalkan. Mengapa demikian? Hal ini terjadi karena pemegang kendali utama di balik sebuah negara adalah umumnya kaum pria. Latar belakang inilah yang pada tahap selanjutnya  membuat feminisme berkembang menjadi suatu paham dan bahkan gerakan yang secara perlahan mengubah struktur dari sistem dunia.

Feminisme berusaha mengetengahkan masalah keseimbangan peran antara pria dan wanita, perspektif ini muncul sebagai kritikan terhadap perspektif-perspektif mainstream yang tradisional dan hanya bersifat “state centric”. Feminisme ini memasuki ranah HI pada tahun 1980an. Perspektif feminisme pada intinya memiliki asumsi dasar yang sama dengan teori-teori alternatif lainnya, yaitu dengan semangat emansipatoris ingin membebaskan wanita dari “belenggu” yang secara sosial maupun struktural wanita dikonstruksikan sebagai subordinasi dari pria. Singkatnya, feminisme ingin mewujudkan sebuah ekualitas antara wanita dan pria (Nisbah. 2003). Dalam HI, feminisme mengungkapkan bahwa telah terjadi diskriminasi atas posisi wanita dalam politik internasional. Feminisme ini memusatkan gender sebagai kategori analisis sentral, menganggap gender sebagai jenis tertentu hubungan power, memberi perhatian pada pembagian publik/swasta sebagai pemahaman sentral kita mengenai hubungan internasional, menyatakan bahwa gender adalah bagian dari tatanan internasional, memakai/mengadopsi lensa gender untuk merevisi studi HI, dan lain sebagainya.

Perspektif ini berkembang dan meluas, dan memiliki beberapa kategorisasi. Secara konvensional, feminisme dikategorikan atas liberal, Marxist, radikal, standpoint, kritikal, dan poststrukturalis. Elizabeth Cady, salah seorang tokoh feminis, menyatakan bahwa social science menunjukkan bahwa status wanita adalah ukuran kemajuan dan peradaban suatu masyarakat. Posisi wanita tidak ditentukan oleh Tuhan ataupun alam, tapi ditentukan oleh masyarakat. Dari sudut pandang liberal, partisipasi dalam kehidupan publik adalah kunci untuk memajukan status wanita. Wanita, layaknya pria, memiliki kapabilitas/kemampuan dalam mengembangkan intelektualitas dan moral. Wanita adalah makhluk rasional dan oleh sebab itu, ia memiliki hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik -misalnya berkontribusi dalam debat politik, sosial, dan isu moral- tidak hanya terbatas pada urusan rumah tangga. Feminis liberal mengatakan bahwa wanita dan pria pada dasarnya adalah sama dan perbedaan gender yg terjadi adalah akibat dari diskriminasi. Proyek politiknya adalah melindungi hak wanita yg dinikmati oleh pria. Kaum feminis liberal kontemporer menginginkan agar wanita lebih dikenal dalam politik internasional, menghilangkan akses yang berbeda pada kekuatan dan pengaruh atas pria dan wanita, dan dengan demikian untuk mencapai hak yang sama bagi pria dan wanita.

Feminisme Marxis menggambarkan posisi rendah perempuan dalam struktur ekonomi, sosial, dan politik dari sistem kapitalis (Jackson & Sorensen, 2005: 336). Laki-laki melakukan pekerjaan yang produktif di pabrik dan dibayar, sebaliknya perempuan melakukan pekerjaan di rumah dan tidak dibayar. Satu-satunya jalan untuk perlakuan sama antara laki-laki dan perempuan adalah penghancuran sistem kapitalis. Singkatnya, feminis Marxis menyatakan bahwa diskriminasi yang terjadi terhadap perempuan merupakan dampak dari sistem ekonomi  kapitalis, di mana perempuan menjadi objek pengerukan modal kaum borjuis.

4

Page 5: Konsep Sex Dan Gender

Feminisme radikal mengatakan bahwa kebebasan wanita hanya akan dapat dicapai melalui transformasi terhadap ranah pribadi dalam hubungan manusia. Namun, mereka juga mengembangkan konsep patriarki untuk menjelaskan institusionalisasi dominasi pria terhadap perempuan, serta mengedepankan konsep bahwa gender tidak hanya persoalan mengenai identitas individual maupun seksual. Mereka menganggap model patriarki sebagai penjelasan akan diskriminasi wanita, yakni superioritas pria yang dianggap mampu mengontrol penuh wanita dengan cara menguasai tubuhnya. Struktur hubungan gender dalam masyarakat juga telah ditentukan, yakni melalui pemberlakuan lembaga sosial dan praktik-praktik yang dilakukannya.

Feminisme kritikal berargumen bahwa gender dikonstruksikan sebagai perbedaan sosial yang relevan, yang selanjutnya digunakan untuk membenarkan perlakuan berbeda antara pria dan wanita. Gender dilembagakan dalam seperangkat rangkaian institusi sosial dan praktiknya, dengan demikian, gender dapat dilihat dalam ranah kehidupan pribadi dan struktur sosial. Feminisme kategori ini menitikberatkan pada konstruksi gender dan hubungan gender itu sendiri. Proyek politik dari feminisme ini adalah untuk mengkonstruksikan pengetahuan tentang HI demi melayani kepentingan emansipatoris dalam membebaskan wanita dari hubungan yang bersifat menindas dan memperluas ranah otonomi wanita, bahwa wanita berhak menikmati kehidupan mereka sendiri.

Dalam HI, feminisme standpoint menyatakan bahwa identitas gender ditempa melalui proses sosialisasi. Feminisme kategori ini juga mengacu pada feminisme radikal sampai titik dan batas tertentu. Feminisme radikal mengkritisi feminisme liberal dan Marxis, karena feminisme radikal melihat kedua perspektif tersebut sebagai pendorong wanita untuk meniru pria dan segala hal yang berkaitan dengan “nilai pria”. Feminisme radikal berargumen bahwa feminitas harus dimuliakan. Pengalaman wanita dalam menaruh perhatian harus dipahami sebagai sentral pembentukan pengalaman feminitas tertentu. Mereka juga berargumen bahwa pengetahuan sosial dapat dikonstruksikan dari sudut pandang pengalaman konkret wanita.

Sejak tahun 1980an, poststrukturalis telah memberi pengaruh yang cukup signifikan terhadap feminisme. Poststrukturalis berkonsentrasi pada perubahan inkremental dan aktivitas yang terkontekstualisasikan secara sosial dan strategi yang digunakan wanita untuk meningkatkan posisi sosial mereka. Poststrukturalis menjauhkan diri dari klaim epistemologi dan ontologis yang kuat atas nama " wanita ", dengan alasan bahwa tidak ada "pengalaman wanita " yang otentik dalam pemahaman tentang dunia sosial dan politik, karena kehidupan wanita telah tertanam dalam hubungan sosial dan budaya yang spesifik. Pemahaman seseorang mengenai apa yang dimaksud dengan "maskulin" atau "feminin" dibangun melalui bahasa, simbol, dan cerita yang terjalin ke dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat yang berbeda. Makna gender tergantung pada konteks historis, sosial, budaya, dan kelembagaan di mana wacana tentang gender dilakukan.

Feminisme ini memiliki beberapa tema/agenda utama, yakni dalam aspek negara dan power, identitas dan komunitas, institusi dan tatanan dunia, ketidaksetaraan dan keadilan, perdamaian dan keamanan, serta yang terakhir adalah konflik dan kekerasan. Dalam aspek negara dan power, seperti yang telah dijelaskan di atas, feminisme liberal cenderung tertarik pada bagaimana meningkatkan status wanita di seluruh penjuru dunia, meningkatkan partisipasi wanita dalam kehidupan publik, dan memiliki akses yang sama akan power. Feminisme liberal ini mempertanyakan status wanita, misalnya di mana posisi wanita dalam hubungan internasional, seberapa jauh wanita direpresentasikan atau tidak direpresentasikan dalam hubungan internasional, apa strategi terbaik untuk mengatasi diskriminasi yang terjadi terhadap wanita dan memberi wanita kontrol terhadap dirinya sendiri untuk mengatur kehidupannya secara independen, dan sebagainya. Oleh sebab itu, feminisme liberal menginginkan agar wanita diikutkan dalam proses pengambilan kebijakan suatu negara, dalam artian wanita diberi kesempatan untuk menjadi bagian dari kekuasaan yang tengah memerintah. Dengan diberikan akses dan kesempatan yang sama layaknya pria, wanita bisa

5

Page 6: Konsep Sex Dan Gender

membuktikan bahwa mereka setara dengan pria. Negara juga bisa membantu meningkatkan status wanita, yakni dengan cara memberlakukan pro-woman legislation dan melarang praktik diskriminasi yang merugikan kaum wanita.

Dalam aspek identitas dan komunitas, feminis poststrukturalis menyatakan bahwa perang, kebijakan luar negeri, diplomasi, dan representasi lain atas identitas nasional dan kepentingan nasional merupakan pusat dalam komunitas. Tidak dapat dipungkiri, proyek pembangunan negara mengikutsertakan wanita sebagai bagian yang cukup signifikan. Keikutsertaan wanita dalam pembangunan negara menunjukkan bahwa wanita memiliki rasa nasionalisme/kecintaan terhadap negerinya. Sedangkan dalam aspek institusi dan tatanan dunia, gender dianggap sebagai faktor sentral dalam memahami tatanan dunia. Gender juga dianggap sebagai suatu bentuk spesifik dari ketidaksetaraan yang didukung dan diabadikan oleh institusi-institusi sosial.

Dalam aspek ketidaksetaraan dan keadilan, isu mengenai ketidaksamarataan dan pertanyaan mengenai keadilan merupakan sentral dari teori feminis. Sejak abad 18, feminisme telah menegaskan bahwa telah terjadi ketidaksamaan nilai moral antara pria dan wanita, dan oleh sebab itu, kaum feminis menuntut adanya keadilan yang sama bagi wanita. Hal ini diperdebatkan secara aktif, agar segera dicanangkan sebagai “hak asasi”. Aspek selanjutnya adalah perdamaian dan keamanan. Manusia dianggap menerima ancaman dalam ranah ekonomi, politik,sosial, budaya, dan sebagainya. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi keamanan dunia, yakni stabilitas ekonomi global, perubahan iklim, kemiskinan dan kelaparan, kekerasan HAM, dan sebagainya. Wacana feminisme sendiri lebih menekankan pada keterhubungan manusia, dialog dan kerjasama, dibandingkan dengan kekerasan. Intinya, perdamaian harus dicapai lewat cara yang “lembut”. Perdamaian dengan cara yang “lembut” ini bisa terjadi jika wanita dilibatkan.

 Aspek terakhir yakni konflik dan kekerasan. Feminisme menolak untuk memandang kekerasan sebagai tindakan individu, justru mereka memandang bahwa negaralah yang melakukan tindak kekerasan. Feminisme memandang kekerasan sebagai bagian yang kompleks yang melibatkan lembaga yang terorganisir. Jadi, kekerasan bukan merupakan fenomena endemik dalam HI, oleh sebab itu perdamaian masih bisa diupayakan.

Wacana feminisme ini pada kelanjutannya tidak bisa diterapkan di semua negara, karena tiap wilayah di suatu negara memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai posisi pria dan wanita, tergantung budaya yang berkembang di negara tersebut. Referensi:Steans, Jill and Pettiford, Lloyd & Diez, Thomas, 2005. Introduction to International Relations, Perspectives & Themes, 2nd edition, Pearson & Longman, Chap. 6, pp. 155-180.Nisbah. 2003. Varian-varian Feminisme Sebagai Sebuah Gerakan. Diakses dari http://www.radarsulteng.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=26437 pada 14 Juni 2010Sorensen, Georg dan Robert Jackson. 2005. Pengantar Hubungan Internasional. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

http://nurlaili-azizah-fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-46972-Teori%20Hubungan%20Internasional-GENDER%20DAN%20FEMINISME%20.html

6

Page 7: Konsep Sex Dan Gender

Konsep Gender dan Jenis Kelamin

Ike Herdiana

Gender memasuki dua dasa warsa terakhir telah menjadi bahasa yang memasuki setiap analisis sosial menjadi pokok bahasan dalam wacana perdebatan mengenai perubahan sosial serta menjadi topik penting dalam setiap perbincangan mengenai pembangunan. Namun apa sesungguhnya yang dimaksud dengan gender dan mengapa dikaitkan dengan usaha emansipasi kaum perempuan? Untuk itu diperlukan penjelasan mengenai konsep gender.

Pertama, karena sesungguhnya tidak ada gender dalam bahasa Indonesia. Dalam kamus bahasa Inggris, tidak secara jelas dibedakan artinya antara kata ’sex dan gender’. Keduanya diartikan sebagai jenis kelamin. Kedua, perlu uraian jernih tentang kaitan antara konsep gender dengan sistem ketidakadilan sosial secara luas.

Pemahaman dan pembeda antara konsep seks dan gender sangatlah diperlukan  dalam melakukan analisa untuk memahami persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan. Hal ini karena ada kaitan erat antara perbedaan gender (gender differences) dan ketidakadilan gender dengan struktur ketidakadilan masyarakat secara lebih luas. Sebagai suatu analisis baru, sesungguhnya analisis gender tidaklah kalah mendasar. Justru analisis ini ikut mempertajam analisa kritis yang sudah ada.

Untuk menganalisis persoalan ketidakadilan gender perlu dipahami terlebih dahulu pengertian gender dengan seks atau jenis kelamin. Seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis melekat pada jenis kelamin tertentu. Seks berarti perbedaan laki-laki dan perempuan sebagai mahluk yang secara kodrati memiliki fungsi-fungsi organisme yang berbeda. Dalam arti perbedaan jenis kelamin seks mengandung pengertian laki-laki dan perempuan terpisah secara biologis. Laki-laki  memiliki fisik yang kuat, otot yang kuat, memiliki jakun, bersuara berat, memiliki penis, testis, sperma, yang berfungsi untuk alat reproduksi dalam meneruskan keturunan. Perempuan dan laki-laki memiliki ciri yang berbeda. Perempuan memiliki hormon yang berbeda dengan laki-laki, sehingga terjadi menstruasi, perasaan yang sensitif, serta ciri-ciri fisik dan postur tubuh yang berbeda dengan laki-laki, seperti bentuk pinggul yang lebih besar daripada laki-laki.

Secara biologis alat-alat biologis tersebut melekat pada laki-laki dan perempuan selamanya, fungsinya tidak dapat dipertukarkan. Secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologi atau ketentuan Tuhan (kodrat). Kata ’gender’ sering diartikan sebagai kelompok laki-laki, perempuan, atau perbedaan jenis kelamin. Namun sebenarnya konsep gender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun budaya, sehingga lahir beberapa anggapan tentang peran sosial dan budaya laki-laki dan perempuan. Bentukan sosial atas laki-laki dan perempuan itu antara lain : kalau perempuan dikenal sebagai mahluk yang lemah, lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Sifat-sifat di atas dapat dipertukarkan dan berubah dari waktu ke waktu.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa gender dapat diartikan sebagai konsep sosial yang membedakan peran antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan itu tidak ditentukan karena antara keduanya terdapat perbedaan biologis atau kodrat, tapi dibedakan atau dipilah-pilah menurut kedudukan, fungsi dan peranan masing-masing dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan.

7

Page 8: Konsep Sex Dan Gender

Istilah ‘gender’ dipakai untuk memberikan batasan yang jelas dan terpisahkan dari ‘sex’. Menurut Lips ( dalam Stevenson, 1994) ‘sex’ merupakan istilah bagi kondisi biologis seseorang, yaitu jantan dan betina, atau male dan female. Money (dalam Stevenson, 1994) menyebutkan bahwa fenomena biologis ini terkait erat dengan susunan kromosom, gen dan pengaruh hormon dalam tubuh manusia tersebut. Sedangkan menurut Deaux (dalam Stevenson, 1994) istilah ‘gender’ mengacu pada kondisi psikologis atau kategori sosial yang diasosiasikan dengan keadaan biologis seseorang. Hal senada juga disampaikan oleh Lips (dalam Stevenson, 1994) yang menyatakan bahwa gender adalah aspek non-fisiologis dari sex, harapan budaya terhadap femininitas dan maskulinitas.

Secara fisik-biologis laki-laki dan perempuan tidak saja dibedakan oleh identitas jenis kelamin, bentuk dan anatomi biologis lainnya, melainkan juga komposisi kimia dalam tubuh. Perbedaan yang terakhir ini menimbulkan akibat-akibat fisik biologis, seperti laki-laki mempunyai suara besar, berkumis, berjenggot, pinggul lebih ramping, dada yang datar. Sementara perempuan mempunyai suara yang lebih bening, buah dada menonjol, pinggul umumnya lebih lebar, dan organ reproduksi yang amat berbeda dengan laki-laki.

Adanya kenyataan bahwa laki-laki secara biologis berbeda dengan perempuan tidak ada perbedaan pendapat. Akan tetapi efek perbedaan biologis terhadap perilaku manusia khususnya dalam perbedaan relasi gender, menimbulkan banyak perbedaan. Perbedaan anatomis biologis dan komposisi kimia dalam tubuh oleh sejumlah ilmuwan dianggap berpengaruh pada perkembangan emosional dan kapasitas intelektual masing-masing.

 Sumber :Handayani & Sugiarti. 2008. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. UMM Press. Malang.

8

Page 9: Konsep Sex Dan Gender

Penulis:Riyadi, S.Sos, M.I.Kom

KONSEP SEX DAN GENDER

Konsep penting yang perlu dipahami dalam rangka memahami persoalan kaum Hawa, khususnya tindak kekerasan terhadap perempuan, adalah membedakan antara konsep jenis kelamin (sex) dan konsep gender (Susanto, 2005:48). Pemahaman dan pembedaan antara konsep sex dan gender sangatlah diperlukan dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan dan diskriminasi sosial yang menimpa kaum perempuan. Hal ini disebabkan oleh adanya kaitan yang erat antara perbedaan gender (gender differences) dan ketidakadilan gender (gender inequalities) serta kaitannya terhadap ketidakadilan gender dengan struktur ketidakadilan masyarakat secara lebih luas.

Dengan demikian, pemahaman dan pembedaan yang jelas antara konsep sex dan gender sangat diperlukan dalam membahas masalah ketidakadilan sosial (Fakih, 1996: 3-4). Ini dikarenakan oleh keterkaitan antara persoalan gender dengan persoalan kekerasan terhadap perempuan.

Pada dasarnya perbedaan antara laki-laki dan perempuan dapat diwakili oleh dua konsep, yaitu jenis kelamin (sex) dan gender. Perbedaan jenis kelamin mengacu pada perbedaan fisik (perbedaan fungsi reproduksi) sedangkan gender merupakan konstruksi sosio-kultural. Pada prinsipnya, gender merupakan interpretasi kultural atas perbedaan jenis ke lamin. Bagaimanapun, gender memang berkaitan dengan perbedaan jenis kelamin, akan tetapi tidak selalu berhubungan dengan perbedaan fisiologis seperti yang selama ini banyak dijumpai dalam masyarakat.

Gender membagi atribut dan pekerjaan menjadi “maskulin” dan “feminin”. Gender yang berlaku dalam suatu masyarakat ditentukan oleh pandangan masyarakat tentang hubungan antara laki-laki dan kelaki-lakian dan antara perempuan dan keperempuanan. Pada umumnya, jenis kelamin laki-laki berhubungan dengan gender maskulin, sementara jenis kelamin perempuan berkaitan dengan gender feminin. Akan tetapi, hubungan itu bukan merupakan korelasi absolut (Roger dalam Susilastuti, 1993: 30).

Hubeis (2010:71) memaparkan bahwa memang ada perbedaan mendasar antara perempuan dan laki-laki dalam ciri biologis yang primer dan sekunder. Ciri biologis primer yaitu tidak dapat dipertukarkan atau diubah (sulit) dan merupakan pemberian atau ciptaan Tuhan yang Maha Kuasa, kecuali dengan cara operasi seperti kasus artis Dorce Gamalama yang berubah dari laki-laki menjadi perempuan, tapi tetap tidak memiliki kemampuan untuk hamil karena diluar kemampuan medis (ciptaan Tuhan). Begitupun untuk kasus Thomas Beatie yang berganti kelamin dari perempuan menjadi laki-laki, tapi tetap mampu mengandung seorang bayi sebab bagaimanapun ia tidak bisa menghilangkan kodratnya sebagai seorang perempuan, yakni menstruasi, hamil, dan melahirkan.

Adapun ciri biologis sekunder tidak mutlak menjadi milik dari lelaki atau perempuan, misalnya suara halus dan lembut tidak selalu milik seorang perempuan karena ada laki-laki yang suaranya halus dan lembut. Begitupun dengan rambut panjang, juga bukan milik manusia berjenis kelamin perempuan karena laki-laki pun ada yang berambut panjang (tidak hanya masa sekarang, dahulu pun tepatnya pada zaman raja-raja masa lalu di Inggris, misalnya, dimana laki-laki bangsawan juga berambut panjang selain perempuan).

Berbeda dengan sex, gender tidak bersifat universal. Ia bervariasi dari masyarakat yang satu ke masyarakat yang lain dan dari waktu ke waktu. Sekalipun demikian, ada dua elemen gender yang

9

Page 10: Konsep Sex Dan Gender

bersifat universal: 1) Gender tidak identik dengan jenis kelamin; 2) Gender merupakan dasar dari pembagian kerja di semua masyarakat (Gallery dalam Susilastuti, 1993: 30).

Gender dapat beroperasi di masyarakat dalam jangka waktu yang lama karena didukung oleh sistem kepercayaan gender (Gender belief system). Sistem kepercayaan gender ini mengacu pada serangkaian kepercayaan dan pendapat tentang laki-laki dan perempuan dan tentang kualitas maskulinitas dan femininitas. Sistem ini mencakup stereotype perempuan dan laki-laki, sikap terhadap peran dan tingkah laku yang cocok bagi laki-laki dan perempuan, sikap terhadap individu yang dianggap berbeda secara signifikan dengan “pola baku”.

Dengan kata lain, sistem kepercayaan gender itu mencakup elemen deskriptif dan preskriptif, yaitu kepercayaan tentang ”bagaimana sebenarnya laki-laki dan perempuan itu” dan pendapat tentang ”bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan itu” (Deaux & Kite dalam Susilastuti, 1993:31). Sistem kepercayaan gender itu sebetulnya merupakan asumsi yang benar sebagian, sekaligus salah sebagian.

Tidak dapat disangsikan lagi bahwa beberapa aspek stereotype gender dan kepercayaan tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh laki-laki dan perempuan itu memang didasarkan pada realitas. Aspek-aspek ini sekaligus merupakan pencerminan distribusi perempuan dan laki-laki ke dalam beberapa peranan yang berbeda. Pada saat yang sama, tidak dapat diragukan lagi bahwa kepercayaan orang bukanlah me-rupakan gambaran akurat suatu realitas karena ia mengandung bias persepsi dan kesalahan interpretasi.

Secara umum dapat dikatakan bahwa setiap kebudayaan mempunyai citra yang jelas tentang bagaimana ”seharusnya” laki-laki dan perempuan itu. Penelitian Williams dan Best (seperti dikutip oleh Deaux & Kite dalam Susilastuti, 1993: 31) yang mencakup 30 negara menampilkan semacam konsensus tentang atribut laki-laki dan perempuan. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa sekalipun gender itu tidak universal, akan tetapi “generalitas pankultural” itu ada. Pada umumnya laki-laki dipandang sebagai lebih kuat dan lebih aktif, serta ditandai oleh kebutuhan besar akan pencapaian, dominasi, otonomi dan agresi. Sebaliknya perempuan dipandang sebagai lebih lemah dan kurang aktif, lebih menaruh perhatian pada afiliasi, keinginan untuk mengasuh dan mengalah.

Adapun citra laki-laki dan perempuan ini pertama kali terbentuk mengenai gambaran ideal tentang laki-laki dan perempuan melalui sosialisasi dalam keluarga. Sosialisasi sendiri merupakan proses yang berlangsung seumur hidup dan dapat terjadi di berbagai institusi selain keluarga, misalnya sekolah dan Negara.

Referensi:

Fakih, Mansour, 1996. Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Hubeis, Aida. 2010. Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa. Bogor. IPB Press. Susanto. 2005. Analisis Gender dalam Memahami Persoalan Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan. Jurnal Spirit Publik UNS, Volume 1 No.1.Susilastuti, Dewi H. 1993. Gender Ditinjau dari Perspektif Sosiologi, dalam Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia, Yogyakarta: Tiara Wacana.

10