konsep pmbelajaran 2
DESCRIPTION
PUJB PEMBELAJARANTRANSCRIPT
KONSEP PEMBELAJARAN - Pengertian, Komponen, Prinsip, dan Inovasi
A. Pengertian Pembelajaran
Istilah pembelajaran secara garis besar dapat didefinisikan sebagai suatu proses
interaksi antara komponen-komponen sistem pembelajaran dengan tujuan untuk mencapai
suatu hasil belajar. Hal ini berarti bahwa pembelajaran adalah suatu proses transaksional
(saling memberikan timbal balik) di antara komponen-komponen sistem pembelajaran, yakni
pendidik, peserta didik, bahan ajar, media, alat, prosedur dan proses belajar guna mencapai
suatu perubahan yang komprehensif pada diri peserta didik.
Perubahan yang komprehensif tersebut berarti perubahan yang mendalam dan esensial
pada perilaku, sikap, pengetahuan dan kemampuan pemaknaan pada peserta didik yang dapat
berguna untuk menyelesaikan tugas/kewajiban-kewajiban dalam hidupnya, sehingga melalui
sebuah kegiatan pembelajaran yang berkelanjutan, seluruh kebutuhan hidup peserta didik
tersebut sebagai seorang insan manusia akan dapat terpenuhi.
Beberapa pakar memberikan definisinya terhadap istilah pembelajaran. Oemar
Hamalik (1994: 69) mengemukakan bahwa “pembelajaran adalah prosedur dan metode yang
ditempuh oleh pengajar untuk memberikan kemudahan bagi peserta didik untuk melakukan
kegiatan belajar secara aktif dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran.” Senada dengan
pernyataan tersebut, Surya dalam Ruhiat (2012: 2) juga memberikan pengertian bahwa
“pembelajaran adalah suatu proses yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu
perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu
sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.”
Berdasarkan pendapat dari dua pakar pendidikan di atas, dapat ditarik beberapa kata
kunci dari istilah pembelajaran, yakni bahwa pembelajaran merupakan sebuah
prosedur/proses yang melibatkan interaksi antara pengajar dan peserta didik, baik secara
langsung maupun melalui penggunaan berbagai media pembelajaran, serta ditempuh guna
memperoleh sebuah perubahan perilaku secara keseluruhan.
Prosedur/proses pembelajaran yang melibatkan pengajar, peserta didik dan media
pembelajaran tersebut bisa dilakukan melalui berbagai pola. Morris dalam Rusman (2010:
152) mengklasifikasikan empat pola pembelajaran yang bisa digambarkan sebagai berikut:
1. Pola Pembelajaran Tradisional 1
2. Pola Pembelajaran Tradisional 2
3. Pola Pembelajaran Guru dan Media
4. Pola Pembelajaran Bermedia
Bagan 1
Pola-Pola Pembelajaran
Dalam bagan di atas dapat diperhatikan bahwa kedua pola pembelajaran tradisional (a
dan b) menempatkan pengajar sebagai pusat dari kegiatan pembelajaran, di mana ia menjadi
satu-satunya pihak yang mengontrol jalannya lalu lintas informasi pembelajaran yang
disampaikan kepada peserta didik. Kedua pola pembelajaran tersebut merupakan pola
pembelajaran yang masih lazim digunakan di banyak tempat di Indonesia.
Pola pembelajaran guru dan media (c) serta pola pembelajaran bermedia (d)
merupakan pola pembelajaran yang sudah melibatkan penggunaan media pembelajaran
dalam proses pelaksanaannya. Pada kedua pola tersebut pengajar tidak lagi menjadi satu-
satunya sentral informasi dalam kegiatan pembelajaran, karena peserta didik bisa
memperoleh berbagai informasi dari media pembelajaran yang disertakan dalam kegiatan
pembelajaran, baik secara mandiri ataupun disertai bimbingan dari pengajar.
Pada kedua pola pembelajaran tersebut pengajar harus mampu untuk berperan sebagai
seorang fasilitator, di mana ia menggunakan kemampuannya sebagai seorang pengajar untuk
memanfaatkan dan mengoptimalkan media-media pembelajaran yang ada agar dapat
meningkatkan keaktifan, kreativitas dan kemandirian peserta didik dalam kegiatan
pembelajaran, sesuai dengan tuntutan yang diberikan oleh Kurikulum Berbasis Kompetensi.
B. Komponen-Komponen Pembelajaran
Pembelajaran dapat dipandang sebagai sebuah sistem yang bekerja dengan
komponen-komponennya yang saling berhubungan satu sama lain dan sama-sama memiliki
satu tujuan yang bila dicapai akan menghasilkan sebuah dampak baik pada pihak pengajar
maupun peserta didik sebagai pihak yang sama-sama menjalankan dan berada di dalam
sistem tersebut. Tujuan yang dimaksud merupakan sebuah hasil akhir dari sistem
pembelajaran dan bisa merujuk kepada beberapa jenis tujuan pembelajaran, tergantung pada
cakupan dari tujuan pembelajaran yang dimaksud, seperti Tujuan Pendidikan Nasional,
tujuan institusional/lembaga, tujuan kurikuler, maupun tujuan yang cakupannya paling
spesifik, yakin tujuan pembelajaran umum dan tujuan pembelajaran khusus.
Pencapaian tujuan-tujuan pembelajaran akan memberikan dampak, baik kepada
pengajar maupun peserta didik yang mengikuti sistem pembelajaran yang dilangsungkan.
Bagi pengajar, mereka akan mendapatkan hasil yang bisa diukur berupa data hasil belajar
siswa yang berbentuk angka/nilai, serta masukan bagi pengembangan kegiatan pembelajaran
selanjutnya. Bagi siswa, mereka akan mendapatkan hasil pembelajaran yang disebut sebagai
nurturent effect/dampak pengiring berupa terapan pengetahuan dan/atau kemampuan di
bidang lain sebagai suatu transfer belajar yang akan membantu perkembangan mereka
mencapai keutuhan dan kemandirian.
Guna mencapai tujuan pembelajaran dan memberikan dampak yang sesuai kepada
pengajar dan peserta didik sebagai pihak yang terlibat dalam sistem tersebut, maka
diperlukan adanya interaksi yang aktif dan saling mempengaruhi antar komponen-komponen
pembelajaran. Interaksi tersebut juga harus bersifat saling bergantung (interdependensi) dan
saling terobos (interpenetrasi) antar masing-masing komponen.
Fathoni & Riyana (2009: 137) mengemukakan bahwa ada lima komponen sistem
pembelajaran, yaitu: tujuan pembelajaran, bahan pembelajaran, strategi dan metode
pembelajaran, media pembelajaran, serta evaluasi pembelajaran. Interaksi antar komponen
dalam pembelajaran tersebut bisa digambarkan dalam bagan sebagai berikut:
Bagan 2 Sistem Pembelajaran
Dari bagan di atas dapat dilihat bahwa pembelajaran merupakan suatu sistem yang
setiap komponennya saling berhubungan satu sama lain, dan semuanya itu sama-sama
menuju kepada suatu ketercapaian tujuan pembelajaran. Berikut akan dipaparkan penjelasan
dari masing-masing komponen sistem pembelajaran:
1. Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran merupakan suatu target yang ingin dicapai dalam
pelaksanaan suatu kegiatan pembelajaran. Komponen ini adalah titik akhir dari sinergi
komponen-komponen pembelajaran lain seperti bahan, strategi, metode, media dan
evaluasi pembelajaran. Maka dari itu, komponen tujuan ini juga harus dijadikan
sebagai pijakan/dasar dalam merumuskan perancangan komponen-komponen
pembelajaran lainnya.
Fathoni & Riyana (2009: 138) mengemukakan bahwa “tujuan pembelajaran
itu bertingkat dan setiap tingkatan akan berakumulasi untuk mencapai tingkatan
berikutnya yang lebih tinggi.” Secara hierarkis, empat tingkatan tujuan pembelajaran
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Tujuan Pendidikan Nasional
Tujuan Pendidikan Nasional merupakan tujuan umum dari
dilaksanakannya kegiatan pendidikan secara nasional di Republik Indonesia.
Tujuan Pendidikan Nasional ini diatur dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Dalam UU tersebut, disebutkan bahwa Tujuan
Pendidikan Nasional Indonesia adalah “... mencerdaskan kehidupan bangsa
dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti
luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani,
kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan.”
b. Tujuan Institusional/Lembaga
Tujuan institusional/lembaga adalah tujuan yang ingin dicapai oleh
sebuah lembaga pendidikan/sekolah. Tujuan ini biasanya bersifat lebih spesifik
dan kongkrit, serta tercermin dalam setiap kegiatan pengembangan kurikulum
yang dilakukan oleh sekolah tersebut.
c. Tujuan Kurikuler
Tujuan kurikuler merupakan penjabaran dari tujuan institusional dan
menggambarkan tujuan yang ingin dicapai oleh setiap bidang studi dari suatu
lembaga pendidikan/sekolah. Tujuan kurikuler tercantum dalam GBPP (Garis-
Garis Besar Program Pengajaran) dari setiap bidang studi di lembaga
pendidikan/sekolah tersebut.
d. Tujuan Instruksional/Pembelajaran
Tujuan instruksional/pembelajaran adalah tujuan yang hierarkis
tingkatannya paling rendah dibandingkan tujuan pembelajaran yang lain,
sehingga tujuan ini benar-benar menggambarkan tujuan dari suatu kegiatan
pembelajaran dengan betul-betul spesifik dan terperinci
Tujuan instruksional/pembelajaran dibagi lagi menjadi dua bagian,
yaitu Tujuan Instruksional Umum (TIU) dan Tujuan Instruksional Khusus
(TIK). Tujuan Instruksional Umum adalah tujuan pembelajaran yang sifatnya
masih umum yang ingin dicapai dalam setiap pokok bahasan dari sebuah
bidang studi. Tujuan Instruksional Khusus (TIK) merupakan penjabaran yang
spesifik dari Tujuan Instruksional Umum. Tujuan Instruksional Khusus harus
ditulis dengan menggunakan kata-kata kerja operasional agar tingkat
ketercapaiannya bisa dengan lebih mudah terukur.
2. Bahan Pembelajaran
Bahan pembelajaran adalah isi dari suatu kurikulum yang berupa mata
pelajaran/bidang studi dengan topik/sub topik dan rinciannya. Dengan merujuk
kepada Taksonomi Bloom, sebuah bahan pembelajaran haruslah menyentuh ketiga
aspek kompetensi peserta didik, yaitu kognitif (pengetahuan), afektif (sikap/nilai) dan
psikomotor (keterampilan).
Supriadie dalam Fathoni & Riyana (2009: 141) merinci enam kategori bahan
pembelajaran sebagai berikut:
a. Fakta, yaitu sesuatu yang telah terjadi atau telah dialami/dikerjakan, dan
bisa berupa obyek atau keadaan tentang suatu hal.
b. Konsep/teori, yaitu suatu ide/gagasan atau suatu pengertian umum yang
menjelaskan serangkaian fakta.
c. Prinsip, yaitu suatu aturan/kaidah untuk melakukan sesuatu, atau
kebenaran dasar sebagai titik tolak untuk berpikir.
d. Nilai, yaitu suatu pola, ukuran, norma atau suatu tipe/model yang
berkaitan dengan pengetahuan atau kebenaran yang bersifat umum.
e. Keterampilan, yaitu suatu kemampuan untuk berbuat sesuatu, baik dalam
pengertian fisik maupun mental.
3. Strategi dan Metode Pembelajaran
Strategi pembelajaran sebagai suatu komponen dalam sistem pembelajaran
memiliki kaitan yang erat dengan komponen sebelumnya, yakni tujuan pembelajaran.
Pemilihan strategi dalam suatu kegiatan pembelajaran harus selalu mengacu kepada
rumusan tujuan yang ingin dicapai dalam suatu kegiatan pembelajaran tersebut.
Bila merujuk kepada Taksonomi Bloom, terdapat tiga ranah kompetensi
peserta didik, yaitu kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) dan psikomotor
(keterampilan). Suatu kegiatan pembelajaran yang tujuannya adalah peningkatan
kompetensi pada ranah kognitif, memiliki strategi pembelajarannya tersendiri dan
tidak bisa diterapkan pada kegiatan pembelajaran yang tujuannya adalah
meningkatkan kompetensi pada ranah afektif atau psikomotor. Misalnya, bila suatu
pembelajaran bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada peserta didik tentang
konsep worldwide web, maka strategi pembelajaran yang digunakan cukup metode
ceramah atau diskusi. Lain halnya bila tujuan yang ingin dicapai adalah memberikan
keterampilan pada peserta didik untuk mengembangkan sebuah website untuk
ditempatkan di jaringan worldwide web. Strategi yang digunakan tentu lebih cocok
berupa metode praktek/tutorial. Begitu pula bila tujuan pembelajaran yang ingin
dicapai adalah meningkatkan kompetensi pada ranah afektif. Strategi pembelajaran
yang digunakan tentunya adalah strategi pembelajaran tersendiri yang paling tepat
digunakan untuk meningkatkan kompetensi peserta didik pada ranah tersebut.
Dengan demikian jelas bahwa dalam setiap pertimbangan pemilihan strategi
pembelajaran harus selalu mengacu kepada rumusan tujuan yang ingin dicapai oleh
kegiatan pembelajaran tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan
oleh J.R. David dalam Masitoh (2011: 22) yang mengemukakan bahwa strategi
pembelajaran adalah “... perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang
didesain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.” Selain itu, Kemp dalam Masitoh
(2011: 22) juga mengemukakan hal yang senada, bahwa strategi pembelajaran adalah
“... suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan oleh guru dan siswa agar
tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien.”
Berbeda dengan strategi pembelajaran yang merupakan sebuah rencana untuk
meraih tujuan pembelajaran, metode pembelajaran bisa diartikan sebagai sebuah cara
untuk meraih tujuan pembelajaran. Dengan kata lain, metode pembelajaran
merupakan penjabaran cara-cara yang bisa ditempuh untuk menjalankan rumusan
rencana-rencana pembelajaran yang tertuang dalam strategi pembelajaran.
Dalam memilih suatu metode yang akan digunakan dalam suatu kegiatan
pembelajaran, seorang pengajar dapat menggunakan pendekatan seperti yang
digambarkan oleh bagan pemilihan pendekatan pembelajaran yang dikemukakan oleh
Masitoh (2011: 24) sebagai berikut,
Bagan 3
Pemilihan Pendekatan Pembelajaran
Berdasarkan bagan tersebut, pertama-tama seorang pengajar menentukan jenis
strategi pembelajarannya, apakah akan berorientasi kepada siswa (student centered)
atau berorientasi kepada guru (teacher oriented). Penentuan strategi pembelajaran ini
tentunya dilakukan dengan mempertimbangkan dahulu apa tujuan pembelajarannya.
Setelah menentukan hal tersebut, pengajar kemudian bisa memilih metode-metode
yang cocok digunakan sesuai dengan pendekatan yang dipilih.
Guna mencapai sebuah proses pembelajaran yang baik, maka setiap komponen
dalam sebuah sistem pembelajaran harus memiliki dan memenuhi sejumlah kriteria
tertentu. Fathoni & Riyana (2009: 150) memaparkan kriteria-kriteria tersebut sebagai
berikut:
a. Memiliki tingkat relevansi epistemologis yang tinggi, artinya proses
belajar yang dilakukan peserta didik relevan dengan hakikat ilmu yang
sedang dipelajari peserta didik;
b. Memiliki tingkat relevansi psikologis. Dalam hal ini ilmu dipandang
sebagai alat berpikir. Makin tinggi kadar berpikir siswa di dalam kegiatan
belajar, makin berkualitas proses belajar mengajar tersebut;
c. Memiliki tingkat relevansi sosiologis. Kriteria ini dilihat dari segi
kesempatan peserta didik menghayati nilai-nilai sosial. Di dalam proses
belajar mengajar yang memberi kesempatan kepada peserta didik
menghayati nilai-nilai sosial, seperti: saling menghargai pendapat,
bekerjasama dan sejenisnya, maka dilihat dari kriteria ini proses tersebut
cukup baik;
d. Memberi kesempatan kepada peserta didik untuk berpartisipasi secara
optimal. Proses belajar mengajar yang terlalu didominasi oleh guru dinilai
tidak baik;
e. Memiliki tingkat efisiensi dan efektivitas yang tinggi. Hal ini dilihat dari
tingkat pencapaian tujuan yang optimal dan komprehensif serta dengan
sumber daya yang relatif hemat.
4. Media Pembelajaran
Media pembelajaran merupakan salah satu komponen dalam sistem
pembelajaran yang berfungsi untuk membantu pengajar dan peserta didik dalam
mencapai tujuan pembelajaran melalui penggunaan alat bantu pembelajaran yang
tepat dan sesuai dengan karakteristik penggunanya.
Bila ditelusuri secara etimologis, kata ‘media’ adalah bentuk jamak dari
‘medius’, sebuah kata dalam bahasa latin yang berarti perantara atau pengantar.
Dalam ranah komunikasi, istilah media memiliki definisi sebagai saluran/alat
penyimpanan atau transmisi yang digunakan untuk menyimpan atau menyampaikan
informasi atau data.
Berkaitan dengan kedudukannya dalam dunia pendidikan, media memiliki
beberapa konsep/definisi yang berbeda. Susilana dan Riyana (2008: 5),
merangkumnya dalam pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh para ahli/asosiasi
di bidang pendidikan sebagai berikut:
a. Teknologi pembawa pesan yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan
pembelajaran. Jadi media adalah perluasan dari guru (Schram: 1977);
b. Sarana komunikasi dalam bentuk cetak maupun audio visual, termasuk
teknologi perangkat kerasnya (NEA: 1969);
c. Alat untuk memberikan perangsang bagi siswa supaya terjadi proses belajar
(Briggs: 1970);
d. Segala bentuk dan saluran yang dipergunakan untuk proses penyaluran pesan
(AECT: 1977);
e. Berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsang
siswa untuk belajar (Gagne: 1970);
f. Segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan yang dapat
merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemauan siswa untuk belajar
(Miarso: 1989).
Semua pengertian dan konsep media pembelajaran di atas, dapat dirangkum ke
dalam sebuah definisi seperti yang dikemukakan oleh Scanlan (2012) sebagai berikut:
Instructional media encompasses all the materials and physical means an
instructor might use to implement instruction and facilitate students'
achievement of instructional objectives. This may include traditional
materials such as chalkboards, handouts, charts, slides, overheads, real
objects, and videotape or film, as well newer materials and methods such as
computers, DVDs, CD-ROMs, the Internet, and interactive video
conferencing.
Media pembelajaran pada dasarnya mencakup semua alat dan bahan yang bisa
digunakan oleh seorang pengajar untuk menerapkan proses pembelajaran dan
memfasilitasi peserta didik untuk mencapai tujuan pembelajaran. Media pembelajaran
bisa berbentuk banyak hal. Terdapat klasifikasi yang membedakan media
pembelajaran mulai dari bentuknya yang paling sederhana, seperti poster, flipboard
atau papan tulis, hingga ke media pembelajaran yang bentuknya lebih rumit/modern
seperti komputer, situs web e-learning, aplikasi augmented reality dll.
Sebuah media pembelajaran, apapun bentuknya itu, selalu terdiri dari dua buah
unsur pembangun, yaitu perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software).
Perangkat keras dalam media pembelajaran berarti sarana/peralatan yang
dipergunakan untuk menyajikan pesan/materi yang diajarkan, sedangkan perangkat
lunak berarti informasi/pesan/bahan ajar yang dibawa oleh unsur perangkat keras
(hardware) untuk disampaikan kepada peserta didik. Terkait fungsi dari kedua unsur
dalam media pembelajaran ini, Susilana & Riyana (2008: 6) mengemukakan, “Media
pembelajaran memerlukan peralatan untuk menyajikan pesan, namun yang terpenting
bukanlah peralatan itu, melainkan pesan/informasi pembelajaran yang
dibawakannya.”
Sebuah media pembelajaran harus dimanfaatkan dalam sebuah kegiatan
pembelajaran manakala media tersebut mampu untuk memfasilitasi kegiatan belajar
atau meningkatkan pemahaman terhadap materi-materi pembelajaran. Scanlan (2012)
menuturkan, bahwa setidaknya ada empat macam tujuan pembelajaran yang
ketercapaiannya bisa dibantu oleh penggunaan media pembelajaran, yaitu “...
attracting attention, developing interest, adjusting to learning climate, promoting
accepting (of an idea) (menarik perhatian, membangun ketertarikan, menyesuaikan
suasana belajar, serta mempromosikan suatu ide).”
Susilana & Riyana (2008: 8) menyebutkan manfaat-manfaat media
pembelajaran sebagai berikut:
a. Memperjelas pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistis;
b. Mengatasi keterbatasan ruang, waktu, tenaga dan daya indra;
c. Menimbulkan gairah belajar, interaksi lebih langsung antara murid dengan
sumber belajar;
d. Memungkinkan anak belajar mandiri sesuai dengan bakat dan kemampuan
visual, auditori dan kinestetiknya;
e. Memberi rangsangan yang sama, mempersamakan pengalaman dan
menimbulkan persepsi yang sama.
Sementara itu Kemp & Dayton dalam Susilana & Riyana (2008: 8) juga
mengemukakan kontribusi media dalam pembelajaran sebagai berikut:
a. Penyampaian pesan pembelajaran dapat lebih terstandar;
b. Pembelajaran dapat lebih menarik;
c. Pembelajaran menjadi lebih interaktif dengan menerapkan teori belajar;
d. Waktu pelaksanaan pembelajaran dapat diperpendek;
e. Kualitas pembelajaran dapat ditingkatkan;
f. Proses belajar dapat berlangsung kapanpun dan di manapun diperlukan;
g. Sikap positif siswa terhadap materi pembelajaran serta proses
pembelajaran dapat ditingkatkan;
h. Peran guru berubah ke arah yang lebih positif.
Manfaat-manfaat di atas tentunya hanya bisa tercapai apabila suatu kegiatan
pembelajaran telah dirancang dengan baik dan media yang digunakan pun merupakan
media pembelajaran yang paling efektif untuk digunakan sebagai alat bantu dalam
kegiatan pembelajaran tersebut. Dalam usaha memanfaatkan media sebagai alat bantu,
Edgar Dale, seorang profesor pendidikan dari Ohio State University, Amerika Serikat,
melakukan klasifikasi pengalaman belajar dari tingkat yang paling kongkrit (nyata) ke
tingkat yang paling abstrak.
Pengklasifikasian tersebut dikenal dengan istilah Kerucut Pengalaman Edgar
Dale (Dale’s Cone of Experience). Kerucut Pengalaman Edgar Dale merupakan
sebuah model yang menggabungkan beberapa teori tentang perancangan dan proses
pembelajaran. Kerucut ini menggambarkan keterkaitan antara teori belajar dan
teknologi komunikasi audiovisual. Kerucut ini juga menyatukan teori pendidikan John
Dewey dengan gagasan-gagasan psikologi yang tengah populer pada masa itu
(Sudrajat, 2008).
Berikut adalah ilustrasi dari Kerucut Pengalaman Edgar Dale (diadaptasi dari
Dale dalam Thalheimer, 2006):
Bagan 4
Kerucut Pengalaman Edgar Dale
Kerucut Pengalaman Edgar Dale mengklasifikasikan pengalaman belajar
berdasarkan tingkat keefektifannya pada peningkatan pemahaman peserta didik
terhadap materi pembelajaran. Dalam pengembangan teknologi dan media
pembelajaran, klasifikasi tersebut akan memberikan implikasi terhadap pemilihan
metode dan bahan pembelajaran yang akan digunakan. Berikut adalah urutan
pengalaman belajar dimulai dari pengalaman yang paling abstrak hingga paling nyata
berdasarkan bagan Kerucut Pengalaman Edgar Dale di atas:
a. Verbal symbols (Lambang kata/verbal);
b. Visual symbols (Lambang visual/gambar);
c. Recordings, radio, still pictures (Rekaman, radio dan gambar diam);
d. Motion pictures (Gambar bergerak/film);
e. Educational television (Televisi/siaran pendidikan);
f. Exhibits (Pameran/museum);
g. Study trips (Widyawisata);
h. Demonstrations (Demonstrasi/percontohan);
i. Dramatized experiences (Dramatisasi);
j. Constrived experiences (Pengalaman tiruan);
k. Direct purposeful experiences (Pengalaman langsung).
Sesuai dengan perkembangan teknologi, terutama teknologi informasi dan
komunikasi, media pembelajaran yang ada pada saat ini semakin berkembang ragam
dan jenisnya, dari mulai yang paling sederhana seperti poster atau over head projector
(OHP), hingga yang paling modern seperti situs web pembelajaran elektronik (e-
learning) yang dipergunakan untuk keperluan pembelajaran jarak jauh dan
pembelajaran berbasis web.
Susilana & Riyana (2008: 13) melakukan klasifikasi umum terhadap media
pembelajaran berdasarkan cara penyajiannya ke dalam tujuh kelompok sebagai
berikut:
a. Kelompok Kesatu: Media Grafis, Bahan Cetak dan Gambar Diam;
b. Kelompok Kedua: Media Proyeksi Diam;
c. Kelompok Ketiga: Media Audio;
d. Kelompok Keempat: Media Audio Visual Diam;
e. Kelompok Kelima: Gambar Bergerak (Film);
f. Kelompok Keenam: Televisi;
g. Kelompok Ketujuh: Multimedia.
Selain ketujuh kelompok media pembelajaran di atas, Susilana & Riyana
(2008: 22) juga mengemukakan bahwa masih terdapat dua kelompok yang tidak
termasuk media penyaji, tapi masih tetap termasuk ke dalam kelompok media
pembelajaran, karena masih memiliki sifat untuk mengantarkan materi pembelajaran
walaupun dengan cara yang berbeda. Kedua kelompok media tersebut adalah Media
Obyek dan Media Interaktif.
Media obyek merupakan media pembelajaran yang tidak menyampaikan pesan
pembelajaran melalui format sajian seperti halnya media pembelajaran lainnya. Yang
menjadi penyampai pesan pembelajaran dalam media obyek adalah fisik dari
medianya sendiri. Media obyek bisa berupa benda hidup seperti binatang/tumbuhan,
benda-benda alami seperti sungai, aliran air, batu, tanah dll, benda-benda buatan
manusia seperti kendaraan, komputer, gedung, peralatan bertani dll. Selain benda-
benda nyata seperti yang telah disebutkan, media obyek juga bisa berupa replika,
model atau benda tiruan.
Selain media obyek, sebuah bentuk media pembelajaran yang bukan
merupakan kelompok media penyaji adalah media interaktif. Melalui media interaktif,
peserta didik melakukan kegiatan pembelajaran tidak hanya dengan mengamati atau
menerima informasi dari medianya saja, melainkan saling berkomunikasi dan saling
memberikan timbal balik dengan media itu (berinteraksi).
Susilana & Riyana (2008: 22) menuturkan, setidaknya ada tiga macam bentuk
interaksi dengan media pembelajaran interaktif. Bentuk interaksi yang pertama adalah
interaksi yang menunjukkan input yang diberikan oleh peserta didik kepada suatu
program pembelajaran, misalnya interaksi yang dilakukan saat seorang peserta didik
mengisi blangko/format isian pada sebuah modul/bahan belajar berprograma. Bentuk
interaksi yang kedua adalah interaksi antara peserta didik dengan sebuah mesin/alat
otomatis, seperti komputer, video interaktif, smartphone, simulator dll. Bentuk
interaksi yang ketiga adalah bentuk interaksi antara siswa yang terjadi secara teratur
namun tidak terprogram sebelumnya. Sebagai contohnya adalah kegiatan permainan
pendidikan atau simulasi yang melibatkan peserta didik dalam suatu kegiatan atau
masalah. Dalam interaksi ini, seorang peserta didik harus mampu menyesuaikan
dirinya dengan situasi yang timbul, karena tidak adanya batasan yang kaku mengenai
jawaban yang benar. Bila berpedoman pada Kerucut Pengalaman Edgar Dale, bentuk
interaksi ketiga dalam media pembelajaran interaktif ini bisa dimasukkan dalam jenis
pengalaman belajar langsung (direct learning purpose), yang mana merupakan
klasifikasi pengalaman belajar dengan tingkat keefektifan yang paling tinggi. Jenis
interaksi ini akan memberikan pengalaman belajar yang merangsang minat peserta
didik. Banyak pengajar yang menganggap jenis interaksi ini sebagai sumber terbaik
dalam urusan media komunikasi.
Aplikasi pembelajaran berbasis web termasuk dalam klasifikasi media
pembelajaran interaktif dengan bentuk interaksi yang kedua (interaksi dengan
mesin/alat otomatis). Dalam pembelajaran berbasis web, selain belajar melalui pesan
pembelajaran yang disajikan oleh aplikasi pembelajaran berbasis web tersebut, peserta
didik juga melakukan aktivitas interaktif seperti menjawab soal latihan, mengisi tes
formatif, juga bersosialisasi dengan pengajar atau peserta didik lainnya melalui
tampilan antar muka web. Semua kegiatan pembelajaran itu dilakukan secara online
dan real time. Peserta didik dapat memperoleh feed back seperti nilai dari tes formatif
mereka, secara langsung begitu mereka selesai mengerjakannya. Selain itu, kegiatan
pembelajaran berbasis web akan merangsang kemandirian dan motivasi peserta didik
dalam menyelesaikan kegiatan pembelajarannya. Karena dalam kegiatan
pembelajaran jenis ini, peserta didik dituntut untuk bisa belajar secara mandiri dan
bermotivasi agar dapat materi pembelajarannya serta menyelesaikan semua evaluasi.
5. Evaluasi Pembelajaran
Secara harfiah evaluasi berarti suatu kegiatan penilaian, penaksiran atau
pengukuran. Secara istilah, evaluasi adalah penilaian yang dilakukan secara sistematis
terhadap manfaat, nilai dan signifikansi dari suatu hal dengan menggunakan
kriteria/standar yang telah ditentukan.
Berkaitan dengan kegiatan pembelajaran, Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa Evaluasi Pendidikan
adalah “Kegiatan pengendalian, penjaminan dan penetapan mutu pendidikan terhadap
berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang dan jenis pendidikan sebagai
bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan.”
Senada dengan definisi di atas, Arifin (2010: 7) juga mengemukakan definisi
dari evaluasi pembelajaran secara umum sebagai berikut:
“Suatu proses atau kegiatan yang sistematis, berkelanjutan dan
menyeluruh dalam rangka pengendalian, penjaminan dan penetapan kualitas
(nilai dan arti) berbagai komponen pembelajaran berdasarkan pertimbangan
dan kriteria tertentu sebagai bentuk pertanggungjawaban guru dalam
melaksanakan pembelajaran.”
Berdasarkan dua definisi di atas, bisa terlihat bahwa evaluasi dilakukan
sebagai suatu bentuk pertanggungjawaban dari pihak penyelenggara pendidikan, baik
itu pengajar maupun lembaga pendidikan, kepada pihak-pihak yang
membutuhkannya, seperti peserta didik, orang tua peserta didik atau lembaga-lembaga
lain yang membutuhkan data hasil pendidikan.
Kegiatan evaluasi pembelajaran secara umum dilakukan untuk mengetahui
efektivitas dari proses pembelajaran yang telah dilakukan. Efektivitas proses
pembelajaran itu sendiri bisa dilihat dari perubahan tingkah laku peserta didik setelah
mengikuti proses pembelajaran, yang disesuaikan dengan kompetensi, tujuan, dan isi
program pembelajaran.
Bila dilihat dari sudut pandang peserta didik, evaluasi pembelajaran juga
memiliki beberapa fungsi tertentu. Fathoni (2011: 55) mengemukakan bahwa,
“Penilaian dalam pembelajaran dapat membantu peserta didik untuk
memperkuat motivasi belajarnya, memperbesar daya ingat dan transfer
belajarnya, memperbesar pemahaman peserta didik terhadap keberadaan
dirinya dan memberikan umpan balik tentang efektivitas pembelajaran.”
Kegiatan evaluasi pembelajaran juga bisa digunakan untuk mengetahui
kesulitan-kesulitan yang dialami oleh peserta didik, serta efisiensi dan efektivitas
kegiatan pengajaran yang dilakukan oleh guru. Hal ini senada dengan tujuan khusus
dari kegiatan evaluasi pembelajaran yang dikemukakan oleh Arifin (2011: 55) sebagai
berikut:
a. Mengetahui tingkat penguasaan peserta didik terhadap kompetensi yang
telah ditetapkan;
b. Mengetahui kesulitan-kesulitan yang dialami peserta didik dalam proses
belajar, sehingga dapat dilakukan diagnosis dan kemungkinan
memberikan remedial teaching;
c. Mengetahui efisiensi dan efektivitas strategi pembelajaran yang digunakan
guru, baik yang menyangkut metode, media maupun sumber-sumber
belajar.
Dalam dunia pendidikan, kegiatan evaluasi ada beberapa macam jenisnya dan
lazim dilakukan untuk beberapa keperluan. Arifin (2011: 55) mengemukakan empat
jenis evaluasi yang sering dilakukan di suatu lembaga pendidikan sebagai berikut:
a. Formatif; Evaluasi yang bertujuan untuk memberikan feedback kepada
pengajar untuk memperbaiki kualitas. proses pembelajaran. Dalam evaluasi
ini, peserta didik yang belum mencapai kompetensi yang diharapkan atau
belum menguasai materi pembelajaran dapat diberikan pembelajaran
tambahan/remedial.
b. Sumatif; Evaluasi ini biasanya dilakukan di akhir sebuah kegiatan
pembelajaran. Evaluasi ini dilakukan untuk mengetahui tingkat penguasaan
peserta didik terhadap materi pelajaran yang telah diajarkan. Evaluasi ini juga
dilakukan untuk menentukan angka (nilai) yang dijadikan sebagai suatu
laporan perkembangan belajar dan bahan pertimbangan untuk memberikan
keputusan apakah peserta didik tersebut dapat melanjutkan studinya ke
tingkatan yang lebih tinggi atau harus mengulang kembali di jenjang yang
sama. Penyelenggaraan suatu evaluasi sumatif di akhir kegiatan pembelajaran
biasanya akan meningkatkan motivasi belajar peserta didik karena mereka
ingin mampu melanjutkan studinya ke jenjang berikutnya.
c. Diagnostik; Evaluasi yang dilakukan untuk mengetahui latar belakang peserta
didik yang mengalami kesulitan belajar. Evaluasi dilakukan mencakup aspek
psikologis, fisik dan lingkungan dari peserta didik yang bersangkutan.
d. Seleksi dan Penempatan; Evaluasi yang digunakan untuk menyeleksi dan
menempatkan peserta didik sesuai dengan minat dan kemampuannya. Contoh:
tes SNMPTN, tes penempatan kelas IPA/IPS, tes penjurusan program studi dll.
Untuk menghasilkan suatu bentuk evaluasi yang reliabel dan hasilnya bisa
dipertanggungjawabkan, seorang pengajar/evaluator hendaknya mampu
mengembangkan suatu bentuk evaluasi yang berkualitas. Perancangan suatu bentuk
evaluasi bisa berpedoman pada prinsip-prinsip umum seperti yang dikemukakan oleh
Departemen Pendidikan Nasional dalam Arifin (2011: 56) sebagai berikut:
a. Mengukur hasil-hasil belajar yang telah ditentukan dengan jelas dan
sesuai dengan kompetensi serta tujuan pembelajaran;
b. Mengukur sampel tingkah laku yang representatif dari hasil belajar dan
bahan-bahan yang tercakup dalam pengajaran;
c. Mencakup jenis-jenis instrumen penilaian yang paling sesuai untuk
mengukur hasil belajar yang diinginkan;
d. Direncanakan sedemikian rupa agar hasilnya sesuai dengan yang
digunakan secara khusus;
e. Dibuat dengan realibilitas yang sebesar-besarnya dan harus ditafsirkan
secara hati-hati;
f. Dipakai untuk memperbaiki proses dan hasil belajar.
Untuk mengembangkan suatu evaluasi, seorang pengembang suatu bentuk
evaluasi hendaknya melakukannya dengan melalui tahapan yang baik dan benar.
Fathoni (2011: 56) menyebutkan setidaknya ada delapan langkah umum dalam suatu
kegiatan pengembangan evaluasi pembelajaran sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi kompetensi, pokok bahasan dan sub pokok bahasan serta
tujuan pembelajaran;
b. Menentukan sampel aspek kemampuan yang akan diukur;
c. Membuat tabel spesifikasi atau kisi-kisi tes;
d. Menulis soal;
e. Melaksanakan/menyajikan tes;
f. Memeriksa hasil tes;
g. Mengolah dan menafsirkan hasil tes;
h. Menggunakan hasil tes.
Setiap langkah tersebut, dilakukan dengan selalu berpedoman terhadap
prinsip-prinsip umum pengembangan evaluasi pembelajaran dari Depdiknas seperti
yang telah disebutkan sebelumnya. Hal tersebut dilakukan agar bentuk evaluasi yang
dihasilkan benar-benar layak dan mampu melakukan pengukuran hasil belajar pada
peserta didik dengan baik dan reliabel.
Ada berbagai macam teknik dan bentuk evaluasi. Seorang pengajar/evaluator
bisa memilih salah satu atau menggabungkan beberapa di antaranya untuk
mendapatkan data hasil pendidikan yang dibutuhkannya. Arifin (2011: 60)
mengemukakan bahwa secara garis besar teknik evaluasi bisa dibedakan menjadi dua
jenis, yaitu tes dan non-tes.
Tes merupakan suatu alat yang disusun secara sistematis untuk mengukur
suatu sampel perilaku. Dalam tes, seorang peserta didik harus menjawab atau
mengerjakan serangkaian tugas/pertanyaan. Dari pengukuran terhadap hasil tes itulah
data/nilai tentang perilaku dari seorang peserta didik bisa didapatkan.
Tes bisa digunakan untuk mengukur pengetahuan teoritis dan peningkatan
keterampilan. Sedangkan untuk mengukur perkembangan pada skala sikap/afektif,
seorang evaluator bisa menggunakan bentuk nontes seperti observasi, wawancara,
skala sikap, angket, daftar cek, sosiometri dan data penilaian (Arifin, 2011: 76).
C. Prinsip-Prinsip Pembelajaran
Pembelajaran pada hakikatnya merupakan suatu bentuk interaksi antara peserta didik
dengan lingkungan belajar guna tercapainya tujuan pembelajaran. Terdapat beberapa prinsip
umum yang harus diperhatikan baik oleh pengajar maupun peserta didik agar pembelajaran
bisa terlaksana dengan efektif serta mencapai tujuan yang diharapkan. Alwasilah dalam
Arifin (2009: 5) mengemukakan beberapa prinsip umum dalam pembelajaran sebagai berikut:
1. Bahwa belajar menghasilkan perubahan perilaku peserta didik yang relatif permanen;
2. Peserta didik memiliki potensi, gandrung dan kemampuan yang merupakan benih
kodrati untuk ditumbuhkembangkan;
3. Perubahan atau pencapaian kualitas ideal itu tidak tumbuh alami liner sejalan proses
kehidupan.
Selain prinsip-prinsip umum di atas, terdapat juga prinsip-prinsip khusus dalam
pembelajaran. Prinsip-prinsip tersebut mencakup terhadap hal-hal spesifik yang harus
dihadirkan dalam sebuah kegiatan pembelajaran guna berlangsungnya suatu kegiatan
pembelajaran efektif. Berikut adalah prinsip-prinsip khusus dalam pembelajaran seperti yang
dikemukakan oleh Alwasilah dalam Arifin (2009: 164):
1. Prinsip perhatian dan motivasi
Perhatian merupakan salah satu prinsip yang paling penting dalam suatu
kegiatan pembelajaran. Gage dan Berliner dalam Sukirman (2010: 5) mengungkapkan
bahwa “... tanpa adanya perhatian tidak mungkin akan terjadi suatu proses belajar
pada diri siswa.”
Seorang pengajar harus mampu menciptakan perhatian pada diri peserta
didiknya, baik itu perhatian pada pengajar itu sendiri ataupun perhatian kepada materi
yang sedang diajarkan. Perhatian berfungsi sebagai modal awal yang harus
dikembangkan secara optimal untuk memperoleh proses dan hasil pembelajaran yang
maksimal.
2. Prinsip keaktifan
Suatu kegiatan pembelajaran yang baik pada dasarnya harus terjadi atas
dorongan motivasi internal dari diri seorang peserta didik. Agar pembelajaran dapat
mencapai hasil yang optimal, seorang peserta didik harus memiliki kesadaran untuk
mau mempelajari serta memahami ilmu yang diajarkan. Sebuah kegiatan
pembelajaran tidaklah dapat terjadi atas dorongan/paksaan orang lain. Walaupun
terjadi seperti itu, peserta didik akan mempelajari materinya secara malas-malasan
hingga timbul kesadaran pada dirinya sendiri bahwa ia memang ingin dan
membutuhkan materi pelajaran tersebut.
Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Dewey dalam Arifin
(2011: 166) yang mengemukakan, “belajar adalah menyangkut apa yang harus
dikerjakan siswa oleh dirinya sendiri, maka inisiatif belajar harus muncul dari
dirinya.” Menyikapi pendapat Dewey tersebut, seorang pengajar di dalam kelas harus
berusaha sebisa mungkin untuk menerapkan prinsip keaktifan dalam diri peserta
didiknya. Pembelajaran diupayakan untuk selalu berpusat pada diri peserta didik
(student-centered learning) serta mengakomodasi potensi individu setiap peserta didik
dalam suatu kegiatan pembelajaran yang kondusif. Peserta didik sebagai subyek
belajar harus diarahkan untuk memiliki sifat aktif, konstruktif dan mampu
merencanakan, mencari, mengolah informasi, menganalisis, mengidentifikasi,
memecahkan, menyimpulkan dan melakukan transformasi (transfer of learning) ke
dalam kehidupan yang lebih luas.
3. Prinsip keterlibatan langsung/berpengalaman
Belajar dengan mengalami materi pembelajarannya secara langsung (direct
purposeful learning) merupakan sebaik-baiknya pengalaman belajar yang bisa terjadi.
Edgar Dale dalam bukunya Audio-Visual Methods in Teaching (1969)
mengemukakan hal ini melalui model kerucut pembelajarannya (cone of experience).
Dalam model tersebut, pembelajaran dengan pengalaman langsung termasuk ke dalam
tipe pembelajaran aktif dan dikemukakan sebagai tipe pembelajaran yang paling
efektif. Menurut Dale, setelah terlewat dua minggu peserta didik masih akan
mengingat 90% apa yang mereka pelajari dan katakan saat pembelajaran berlangsung.
Belajar bukanlah sekedar proses menghapal sejumlah konsep, prinsip atau
fakta yang siap untuk diingat, melainkan sebuah proses yang benar-benar melibatkan
diri peserta didik untuk masuk dan memahami materi pembelajaran serta dapat
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan pembelajaran yang mampu
melibatkan siswa secara langsung akan menghasilkan pembelajaran yang lebih efektif
sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan secara lebih
optimal. Pendekatan pembelajaran seperti ini akan memberikan hasil yang lebih
efektif dibandingkan dengan pendekatan yang hanya sekedar menuangkan
pengetahuan, fakta atau informasi saja.
4. Prinsip pengulangan
Pentingnya keberadaan prinsip pengulangan dalam sebuah kegiatan
pembelajaran bisa merujuk kepada teori Psikologi Daya. Seperti dikemukakan oleh
Arifin (2011: 167) bahwa,
“menurut teori daya, manusia memiliki sejumlah daya seperti mengamati,
menanggapi, mengingat, mengkhayal, merasakan, berpikir dsb. Setiap daya
tersebut harus berkembang serta berubah menjadi lebih peka. Untuk
mencapainya, diperlukan kegiatan pembelajaran dengan pengulangan.”
5. Prinsip tantangan
Salah satu komponen dalam sistem pembelajaran adalah tujuan pembelajaran.
Tujuan pembelajaran ialah target yang harus bisa dicapai oleh peserta didik di akhir
suatu kegiatan pembelajaran. Dalam perjalanan untuk mencapai tujuan tersebut,
peserta didik dihadapkan pada sejumlah hambatan/tantangan untuk memahami isi dari
materi yang diajarkan. Di sini, akan timbul motif pada diri peserta didik untuk
menuntaskan hambatan/tantangan tersebut dengan cara mempelajari bahan-bahan
pembelajaran yang berhubungan. Dalam mencapai tujuan pembelajaran, siswa
ditantang untuk mencari dan menemukan konsep-konsep, prinsip-prinsip serta
generalisasi dari ilmu pengetahuan yang sedang dipelajari.
Dalam penerapan prinsip tantangan, seorang pengajar dapat berperan dengan
menerapkan metode-metode pembelajaran yang memiliki karakteristik menantang
yang dapat menimbulkan semangat belajar yang tinggi pada peserta didik. Metode-
metode pembelajaran tersebut antara lain metode pembelajaran eksperimen, inkuiri,
diskoveri, pemecahan masalah, diskusi dll.
6. Prinsip balikan dan penguatan
Dasar dari prinsip balikan dan penguatan pada pembelajaran ini adalah Law of
Effect dari Thorndike. Hukum tersebut menyatakan bahwa peserta didik akan belajar
dengan lebih semangat apabila mengetahui dan mendapatkan hasil belajar yang baik.
Apalagi hasil yang baik merupakan balikan yang menyenangkan dan berpengaruh
baik bagi usaha belajar selanjutnya. Selain hasil yang baik, BF Skinner menyatakan
bahwa penguatan negatif/yang tidak menyenangkan pun bisa menjadi suatu dorongan
belajar bagi peserta didik.
Dalam menerapkan prinsip ini, seorang pengajar bisa
mengimplementasikannya dengan memberikan balikan/penguatan setelah mendapat
respon pembelajaran dari seorang peserta didik. Respon tersebut tidak hanya
diberikan di akhir pembelajaran berupa nilai/peringkat, tapi bisa diberikan juga segera
setelah peserta didik melakukan aktivitas pembelajaran. Misalnya memberikan
pujian/koreksi setelah seorang peserta didik memberikan pendapatnya terhadap suatu
materi, atau berdiskusi dengan peserta didik tentang suatu materi pelajaran. Hal-hal
seperti ini akan membuat peserta didik terdorong untuk belajar dengan lebih giat dan
bersemangat.
7. Prinsip perbedaan individu
Setiap peserta didik di kelas pada hakikatnya memiliki perbedaan individu
masing-masing, baik dari segi kelemahan maupun keunggulan, atau dalam segi fisik
maupun psikis. Hal ini akan berdampak pada perbedaan kemampuan tiap individu
tersebut dalam menyerap materi pelajaran.
Seorang pengajar yang baik harus dapat mengenali perbedaan di setiap individu
peserta didiknya supaya dapat memberikan perlakuan dan pelayanan pendidikan yang sesuai
dengan kemampuan dan kebutuhan masing-masing peserta didik. Ciri dan karakteristik yang
berbeda dari setiap individu peserta didik tersebut penting untuk dapat dikenali dan dipahami
supaya seorang pengajar bisa menyiapkan dan menyajikan pelajaran, memberikan tugas, serta
memberikan bimbingan yang sesuai kepada masing-masing peserta didik.
D. Inovasi Pembelajaran
Inovasi adalah suatu usaha untuk memperkenalkan ide, barang, produk, metode atau
apapun yang sifatnya baru. Inovasi juga dapat diartikan sebagai modifikasi/perbaikan dari
produk yang telah ada sebelumnya. Tetapi, hasil dari perbaikan itu tetap disebut sebagai
sesuatu yang baru. Proses berinovasi melibatkan daya kreatifitas pembuatnya. Tujuan dari
inovasi adalah untuk memecahkan persoalan yang terjadi pada produk, metode atau cara-cara
sebelumnya. Inovasi juga bertujuan untuk meningkatkan aspek efisiensi dan efektivitas.
Mengiringi perubahan kehidupan manusia yang senantiasa berkembang secara
dinamis, proses inovasi terjadi pada setiap bidang kehidupan tak terkecuali pendidikan.
Inovasi pendidikan adalah suatu usaha untuk memperkenalkan sesuatu yang baru dalam
bidang pendidikan agar tercapai efisiensi dan efektifitas guna peningkatan mutu untuk
mencapai kualitas pendidikan yang lebih baik.
Inovasi dalam bidang pendidikan bisa dilakukan di berbagai aspek/tingkatan, seperti
dalam hal manajemen pendidikan, metodologi pengajaran, media pembelajaran, sumber
belajar, pelatihan guru, implementasi kurikulum, pembelajaran dsb.
Tidak setiap hal yang baru diperkenalkan dalam dunia pendidikan bisa disebut
sebagai sebuah inovasi. Inovasi di dalam dunia pendidikan haruslah berupa produk dari suatu
hasil olah pikir atau olah teknologi yang memiliki kadar orisinalitasnya sendiri dan dapat
memecahkan persoalan yang timbul atau memperbaiki suatu keadaan di dalam dunia
pendidikan. Wahyudin & Susilana (2009: 243) mengemukakan setidaknya empat ciri utama
inovasi pendidikan sebagai berikut:
1. Memiliki kekhasan/kekhususan; Sebuah hal yang dinamakan inovasi haruslah
memiliki ciri yang khas, baik dilihat dari segi ide, program, tatanan, sistem,
maupun hasil yang diharapkan.
2. Memiliki ciri atau unsur kebaruan; Sebuah inovasi haruslah berupa suatu hasil
karya/pemikiran yang baru dan orisinil.
3. Program inovasi dilakukan melalui program yang terencana; Suatu program
inovasi tidak boleh dilakukan melalui suatu proses yang tergesa-gesa. Sebuah
program inovasi haruslah dipersiapkan secara matang dengan program yang jelas
dan terencana.
4. Program inovasi digulirkan dengan sebuah tujuan; Tujuan yang ingin dicapai
melalui penerapan suatu program inovasi harus tertulis dengan jelas di dalam
naskah perencanaannya, termasuk arah dan strategi yang akan ditempuh demi
mencapai tujuan tersebut.
Suatu produk hasil inovasi haruslah diturunkan atau diimplementasikan dengan baik
dan terencana hingga ke tataran level yang paling kecil, agar tujuan dari keseluruhan sistem
inovasi itu bisa tercapai. Proses penurunan/pengimplementasian hasil dari inovasi dinamakan
dengan istilah „difusi‟. Difusi merupakan proses pengkomunikasian inovasi melalui saluran-
saluran tertentu, terhadap anggota dari sebuah sistem sosial. Proses difusi ini bisa juga
disebut sebagai suatu tipe komunikasi khusus, di mana pesan yang disampaikannya adalah
sebuah ide baru (inovasi). Tujuan utama dari dilaksanakannya proses difusi adalah
diadopsinya suatu inovasi oleh sebuah sistem sosial tertentu. Sistem sosial ini bisa berupa
individu, kelompok informal, maupun sebuah organisasi. Kegiatan difusi dilakukan melalui
saluran-saluran tertentu. Saluran ini bisa berupa saluran media massa, maupun saluran antar-
pribadi. Saluran media massa dapat menjangkau audiens yang banyak dalam waktu yang
singkat. Sedangkan saluran antar-pribadi hanya melibatkan dua individu saja dalam proses
pertukaran informasinya.
Melihat pengertian dari definisi difusi inovasi di atas, maka bisa disimpulkan
komponen-komponen utama dari sebuah kegiatan difusi inovasi seperti yang dikemukakan
oleh Rogers dalam Sahin (1983) sebagai berikut:
1. Innovation; Unsur inovasi itu sendiri.
2. Communication Channels; Saluran-saluran komunikasi yang menghubungkan antara
pihak penyampai dan penerima inovasi dan digunakan untuk mentransmisikan pesan
inovasi;
3. Time; Waktu penerapan dan pendifusian produk inovasi ke seluruh tingkatan
sasarannya;
4. Social System; Sistem sosial yang menjadi tempat di mana produk inovasi
didifusikan.
Difusi inovasi dapat dilakukan baik dengan dimulai dari tingkatan yang paling tinggi
maupun yang paling rendah terlebih dahulu. Difusi inovasi yang dimulai dari tingkatan tinggi
dinamai dengan top-down model. Pada model pendifusian inovasi ini, inisiatif inovasi berasal
dari kalangan yang berada pada posisi di atas, atau dalam bidang pendidikan nasional, berarti
para pemegang kewenangan atau para pembuat keputusan di institusi pemerintah yang
mengatur pendidikan nasional di Indonesia, yaitu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Produk inovasi yang didifusikan melalui top-down model biasanya berupa produk undang-
undang/kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan nasional, kurikulum, maupun program-
program pendidikan seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS) maupun metodologi
pembelajaran yang diterapkan secara nasional.
Bottom-up model merupakan kebalikan dari top-down model. Dalam model ini,
produk inovasi awalnya berasal dari tingkatan yang lebih rendah, seperti sekolah, lembaga
pendidikan, atau para guru di sekolah. Sebuah produk inovasi awalnya hanya diterapkan pada
lingkup yang terbatas, kemudian dikenali oleh para pemegang kewenangan dan diadopsi di
lingkup yang lebih luas. Produk inovasi yang didifusikan melalui bottom-up model biasanya
adalah berupa suatu hal yang spesifik, seperti model pembelajaran khusus, sistem e-learning,
strategi pembelajaran, model manajemen pendidikan dll.
Pembelajaran berbasis web merupakan salah satu contoh produk inovasi pembelajaran
pada aspek metode/media pembelajaran. Produk ini belum ada sebelumnya dan
memanfaatkan kecanggihan teknologi komputer, internet dan multimedia yang telah
memberikan cara baru bagi umat manusia untuk saling berkomunikasi tanpa terhalang jarak
dan waktu. Bila diaplikasikan di dunia pendidikan, teknologi tersebut bisa memberikan cara-
cara penyampaian pengetahuan (delivery system) yang baru, yang berbeda dengan metode
pembelajaran konvensional. Keberadaan model pembelajaran berbasis web telah
menjembatani kebutuhan dunia pendidikan untuk selalu mengikuti perkembangan zaman
yang terjadi. Model pembelajaran berbasis web ini juga diharapkan bisa menjadi solusi atas
beberapa permasalahan yang ditemui pada metode pembelajaran konvensional serta dapat
meningkatkan efektivitas kegiatan pembelajaran menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Daftar Pustaka dan Referensi
Arifin, Z. (2011). “Evaluasi Pembelajaran”, dalam Bahan Ajar Training of Trainer
Metodologi Pembelajaran Angkatan Ke-1 Tahun 2011 bagi Para Instruktur di
Lingkungan PT. Kereta Api (Persero). Bandung: Jurusan Kurikulum dan Teknologi
Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia.
Arifin, Z. (2010). Evaluasi Pembelajaran (Teori dan Praktik). [Online]. Tersedia:
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._KURIKULUM_DAN_TEK._PENDIDIKAN/1
96105011986011-
ZAINAL_ARIFIN/Silabus_Evaluasi_Pembelajaran/Evaluasi_Pembelajaran__Makala
h_.pdf [1 Juni 2012].
Arifin, Z. (2009). “Prinsip-Prinsip Pembelajaran”, dalam Kurikulum dan Pembelajaran.
Bandung: Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Pendidikan Indonesia.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. (2003). Undang-Undang No. 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional. [Online]. Tersedia: http://www.inherent-
dikti.net/files/sisdiknas.pdf. [6 Februari 2012]
Fathoni, T. (2011). “Evaluasi Pembelajaran”, dalam Bahan Ajar Training of Trainer
Metodologi Pembelajaran Angkatan Ke-2 Tahun 2011 bagi Para Instruktur di
Lingkungan PT. Kereta Api (Persero). Bandung: Jurusan Kurikulum dan Teknologi
Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia.
Fathoni, T. dan Riyana, C. (2009). “Komponen-Komponen Pembelajaran”, dalam Kurikulum
dan Pembelajaran. Bandung: Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Fakultas
Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia.
Hamalik, O. (1994). Media Pendidikan. Bandung: Citra Aditya Bhakti.
Masitoh. (2011). “Strategi Pembelajaran”, dalam Bahan Ajar Training of Trainer Metodologi
Pembelajaran Angkatan Ke-2 Tahun 2011 bagi Para Instruktur di Lingkungan PT.
Kereta Api (Persero). Bandung: Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan
Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia.
Ruhiat, J. (2012). Meningkatkan Kemampuan Siswa dalam Operasi Hitung Jumlahan dan
Pengurangan Bilangan Bulat Melalui Pendekatan Realistik. Skripsi Sarjana pada
Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Pendidikan Indonesia: tidak diterbitkan.
Rusman. (2010). Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Rajawali.
Sahin, I. (2006). Detailed Review of Rogers‟ Diffusion of Innovations Theory and
Educational Technology-Related Studies Based on Rogers‟ Theory. Dalam The
Turkish Online Journal of Educational Technology [Online], Vol 5 (2), 10 halaman.
Tersedia: http://www.tojet.net/articles/v5i2/523.pdf [15 Juni 2012].
Scanlan, CL. (2012). Instructional Media: Selection and Use. [Online]. Tersedia:
http://www.umdnj.edu/idsweb/idst5330/instructional_media.htm. [24 Mei 2012]
Sukirman, D. (2010). Prinsip Pembelajaran. [Online]. Tersedia:
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._KURIKULUM_DAN_TEK._PENDIDIKAN/1
95910281987031-DADANG_SUKIRMAN/Prinsip_pembelajaran.pdf. [5 Juni 2012]
Susilana, R. & Riyana, C. (2008). Media Pembelajaran. Bandung: Jurusan Kurikulum dan
Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia.
Wahyudin, D. dan Susilana, R. (2009). “Inovasi Kurikulum dan Pembelajaran”, dalam
Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung: Jurusan Kurikulum dan Teknologi
Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia.
Tulisan ini didownload dari http://www.fajargm.net
Kontak penulis: [email protected]