konsep muntaj tsaqafy dalam studi al-qur’an nashr hamid

24
Vol. 1, No. 1 Juli 2016 Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid Muhammad Syamsul Arifin Universitas Darussalam Gontor, Indonesia Email: [email protected] Abstract Contemporary Quranic studies have become popular amongst Muslim scholars in the world by using new methods. Among them is Nasr Hamid Abu Zayd, the professor of Arabic literature from Egypt. He is famous for his concept of the Qur’an Muntaj Thaqafi (cultural products) and the Qur’an Muntij Thaqafi (cultural producers). His concept begins with historicism phenomenologys in understanding the process of revelation of the Qur’an. The impact of this is that, the holy text and meaning of the Qur’an as verbum dei (Kalâmullah) is changed to mere cultural products, it means the text of the Qur’an formed by it’s interaction with the socio-culture, that it was revealed in for 20 years. This paper will provide an explanation of what the concept of Nasr Hamid’s genealogy. Keywords: Muntaj Thaqafi, Muntij Thaqafi, Hermeneutics, Historicism. Abstrak Studi al-Qur’an kontemporer kian diminati dan menjadi tren dikalangan akademisi Muslim di dunia dengan membawakan metode-metode baru dalam kajiannya. Diantaranya adalah Nashr Hamid Abu Zaid, professor sastra Arab dari Mesir. Dia terkenal dengan konsepnya al-Qur’an muntaj tsaqafi (produk budaya) dan al- Qur’an muntij tsaqafi (produsen budaya). Konsep yang digagasnya dimulai dengan penggunaan pendekatan historisisme dalam memahami proses wahyu al-Qur’an. Dampaknya, sakralitas teks dan makna al-Qur’an sebagai verbum dei (Kalâmullah) terdekonstruksi menjadi sebatas ‘produk budaya’ artinya teks al -Qur’an terbentuk dalam interaksinya dengan sosial-budaya dimana ia diturunkan selama 20 tahun. Makalah yang sederhana ini akan memberikan penjelasan apa geneologi konsep Nashr Hamid. Kata Kunci: Muntaj Tsaqafi, Muntij Tsaqafi, Hermeneutika, Historisisme. Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor, Jl. Raya SimanPonorogo, telp (0352) 483762, Fax. (0352) 488182 DOI: http://dx.doi.org/10.21111/studiquran.v1i1.....

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

7 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid

Vol. 1, No. 1 Juli 2016

Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi

al-Qur’an Nashr Hamid

Muhammad Syamsul Arifin Universitas Darussalam Gontor, Indonesia

Email: [email protected]

Abstract

Contemporary Quranic studies have become popular amongst Muslim scholars

in the world by using new methods. Among them is Nasr Hamid Abu Zayd, the

professor of Arabic literature from Egypt. He is famous for his concept of the Qur’an

Muntaj Thaqafi (cultural products) and the Qur’an Muntij Thaqafi (cultural producers).

His concept begins with historicism phenomenologys in understanding the process of

revelation of the Qur’an. The impact of this is that, the holy text and meaning of the

Qur’an as verbum dei (Kalâmullah) is changed to mere cultural products, it means the

text of the Qur’an formed by it’s interaction with the socio-culture, that it was revealed

in for 20 years. This paper will provide an explanation of what the concept of Nasr

Hamid’s genealogy.

Keywords: Muntaj Thaqafi, Muntij Thaqafi, Hermeneutics, Historicism.

Abstrak

Studi al-Qur’an kontemporer kian diminati dan menjadi tren dikalangan

akademisi Muslim di dunia dengan membawakan metode-metode baru dalam

kajiannya. Diantaranya adalah Nashr Hamid Abu Zaid, professor sastra Arab dari

Mesir. Dia terkenal dengan konsepnya al-Qur’an muntaj tsaqafi (produk budaya) dan al-

Qur’an muntij tsaqafi (produsen budaya). Konsep yang digagasnya dimulai dengan

penggunaan pendekatan historisisme dalam memahami proses wahyu al-Qur’an.

Dampaknya, sakralitas teks dan makna al-Qur’an sebagai verbum dei (Kalâmullah)

terdekonstruksi menjadi sebatas ‘produk budaya’ artinya teks al-Qur’an terbentuk

dalam interaksinya dengan sosial-budaya dimana ia diturunkan selama 20 tahun.

Makalah yang sederhana ini akan memberikan penjelasan apa geneologi konsep Nashr

Hamid.

Kata Kunci: Muntaj Tsaqafi, Muntij Tsaqafi, Hermeneutika, Historisisme.

Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor, Jl. Raya SimanPonorogo, telp (0352) 483762,

Fax. (0352) 488182

DOI: http://dx.doi.org/10.21111/studiquran.v1i1.....

Page 2: Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid

Jurnal STUDIA QURANIKA

Pendahuluan onsep wahyu al-Qur’an dalam pandangan Islam merupakan

satu hal yang transenden. Pada waktu selama 14 abad ke

belakang, tidak ada satu Rasul yang diutus setelah Muhammad

saw, maka dalam memahami fenomena wahyu kita merujuk kepada

laporan otentik dari Rasulullah saw, atau para Sahabahnya yang

mengikuti kehidupan beliau.1 Kemudian konsep wahyu al-Qur’an telah

menjadi epistemologi yang mapan dalam tafsir al-Qur’an yang terikat

dengan apa yang disampaikan oleh Rasulullah saw.2 Hal ini diperkuat

oleh dalil naqli tentang tugas Rasulullah saw untuk menjelaskan apa

yang telah diturunkan oleh Allah swt agar manusia berpikir (QS. Al-

Nahl 16/ 44).3

Kemapanan konsep wahyu al-Qur’an dicoba untuk didekonstruksi

dengan pendekatan historisisme.4 Aliran historisisme percaya, bahwa

proses pemahaman yang memadai tentang sifat dasar ‘sesuatu’, dan

penilaian paripurna tentang nilai ‘sesuatu’ itu harus dicapai dengan

mempertimbangkan dimana ia bertempat, dan apa peranannya dalam

proses perkembangannya.5 Oleh karena itu, jika historisisme

diaplikasikan dalam studi al-Qur’an, maka akan berimplikasi pada

dekonstruksi posisi al-Qur’an sebagai wahyu menjadi sebatas ‘teks-teks

biasa’ karena tidak lepas dari lingkaran sejarah yang mengelililnginya,

padahal kaum Muslimin mengimani, bahwa pengertian wahyu dalam

1 M. Musthafa al-A’zami, Sejarah Teks al-Qur’an: dari Wahyu Sampai Kompilasi: Kajian

Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, Jakarta: Gema Insani, 2014,

hal. 45. 2 Adnin Armas, Tafsir al-Qur’an atau Hermeneutika al-Qur’an, Islamia, tahun 1 no

1/Muharram 1425/Maret 2004. hal. 39. 3 M. Musthafa al-A’zami, Sejarah Teks al-Qur’an: dari Wahyu Sampai Kompilasi: Kajian

Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, hal. 51. 4 Historisisme adalah suatu pandangan yang berasumsi bahwa segala sesuatu yang terjadi

hari ini lahir dari perkembangan sejarah. Lihat, Jamil Shaliba, al-Mu’jam al-Falsafi, Beirut:

Dar al-Kutub Libanani, vol. 1, 1982, hal. 229. 5 Teks aslinya: ‚Historicism in the belief that an adequate understanding of the nature of anything

and an adequate assessment of its value are to be gained by considering it in terms of the place it

occupied and the roles it played within a process of development.‛ Lihat, Donald, M Borchert,

Encyclopedia of Philosophy, USA: Thompson Gale, 2006, hal. 392.

K

74 | Muhammad Syamsul Arifin

Page 3: Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid

Vol. 1, No. 1 Juli 2016

al-Qur’an mencakup lafadz dan maknanya sekaligus.6 Kemudian ketika

kajian al-Qur’an melepaskan posisinya sebagai ‚Kalâmullah‛ (verbum

dei), maka akan diperlakukan hanya sekedar ‘teks bahasa’ (nash lughawi)

dan ‘produk budaya’ (muntaj tsaqafi) sebagaimana yang telah dilakukan

oleh Nashr Hamid Abu Zayd yang kemudian hermeneutika liberal

memungkinkan untuk digunakan dalam penafsiran al-Qur’an.7 Dampak

yang paling nyata dari dua konsep di atas adalah sikap skeptis dan

relatif terhadap otentisitas dan sakralitas al-Qur’an.

Pada hakikatnya, hermeneutika merupakan prinsip umum dalam

interpretasi Bibel yang bertujuan mengungkap kebenaran dan nilai di

dalamnya.8 Bagi umat Kristiani, realitas teks Bibel memang

membutuhkan hermeneutika untuk sebuah penafsiran.9 Para hermeneut

dapat mengkritisi teks Bibel mencakup kondisi penulis Bibel, kondisi

historis, dan makna literal satu teks Bibel. Perbedaan realitas antara teks

Bibel dan al-Qur’an membawa konsekuensi perbedaan metodologi

penafsiran. Oleh karena itu, metode historis dan analisis penulis tidak

6 Henri Shalahuddin, Kredibilitas Ilmu Tafsir dalam Menegakkan Konsep Wahyu al-Qur’an,

Islamia, vol. 6, No. 1 2012. hal. 25. 7 Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular Liberal,

Jakarta: Gema Insani, 2005, hal. 314. 8 Encyclopedia of Britannica, USA, 1998, hal. 874. 9 Hermeneutika dibutuhkan untuk mengungkap nilai Bibel karena mereka memiliki

sejumlah masalah dengan teks-teks Kitab Suci mereka, yakni: 1) adanya perbedaan

pengarang yang menyebabkan Bible tidak bisa dinyatakan Kalam Tuhan (the Word of

God) secara literal, 2) Bibel yang kini ditulis dan dibaca bukan dengan bahasa asalnya,

yaitu Hebrew. Sedangkan pada Perjanjian Baru adalah Greek, dan Nabi Isa a.s. berbicara

dengan bahasa Aramaic. Bibel ini kemudian diterjemahkan secara keseluruhan dalam

bahasa Latin, lantas bahasa- bahasa Eropa, 3) keraguan tentang orisinalitas teks Bibel

oleh para ahli di bidang itu sejak dari awal karena tidak adanya bukti materiil teks-teks

yang paling awal, 4) tidak adanya laporan perihal interpretasi yang dapat diterima

umum, yakni ketiadaan tradisi mutawatir dan ijma’, dan 5) tidak ada sekelompok

manusia yang menghafal teks- teks yang hilang itu. Kelima masalah ini tidak terdapat

dalam Islam dan Kitab Sucinya al-Qur’an. Lihat, Wan Mohd Nor Wan Daud, Tafsir dan

Ta’wil Sebagai Metode Ilmiah, Islamia, Tahun I No. 1 Muharram 1425/ Maret 2004, hal. 61.

Lihat pula, Ugi Sugiharto, Apakah al-Qur’an Memerlukan Hermeneutika?, Islamia Tahun I

No. 1 Muharram 1425/ Maret 2004, hal. 48. Lihat pula, Adian Husaini & Abdurrahman

al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani Press, cet. 2, 2008,

hal. 43.

Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid | 75

Page 4: Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid

Jurnal STUDIA QURANIKA

dapat diaplikasikan kepada al-Qur’an yang merupakan teks wahyu atau

tanzil dari Allah swt.10

Menanggapi problematika di atas, tulisan ini akan memaparkan

beberapa hal penting, yakni latar belakang pemikiran Nashr Hamid Abu

Zayd, serta bagaimana infiltrasi historisisme dalam konsep muntaj tsaqafi

dan mekanisme interpretasi al-Qur’an yang ditawarkan. Hal ini

bertujuan untuk menelaah dan menunjukkan inkoherensi

(ketidakselarasan)11 konsep muntaj tsaqafi ketika disubordinasikan

kepada al-Qur’an yang berdampak hermeneutis berupa historisitas al-

Qur’an.

Latar Belakang Pemikiran Nashr Hamid Abu Zayd Pemikiran tentang pembacaan kontemporer Nashr Hamid Abu

Zayd12 dilatar belakangi oleh pengamatan atas fenomena gerakan

keagamaan (zahîrah wa harakah al-madd al-dîn),13 di Mesir pertengahan

abad 20. Saat itu, pergerakan keagamaan di Mesir secara garis besar

terbagi ke dalam tiga golongan, yaitu institusi keagamaan resmi negara

(ittijah al-muassasah al-rasmiyyah li al-daulah), yang diwakili oleh al-Azhar.

Kedua, pendekatan Islam Kiri (al-yasar al-islami) yang dikembangkan oleh

Hasan Hanafi, khususnya yang tertuang dalam opus magnumnya ‚Min al-

10 Adian Husaini & Abdurrahman al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir al-Qur’an, hal. 16. 11 Merriam Webster, Webster’s Seventh New Collegiate Dictionary Based Webster’s Third

International Dictionary, Massachusetts, USA: Merriam Company Publisher, 1961, hal. 424. 12 Nashr Hamid Rizk Abu Zayd dilahirkan di desa Qohafa dekat kota Thanta Mesir pada

10 Juli 1943. Nashr kecil mulai belajar menulis kemudian menghafal al-Qur’an di Kuttâb

ketika berusia empat tahun, dan karena kecerdasannya dia mampu menghafal al-Qur’an

pada usia delapan tahun. Nashr menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya di

Thanta. Minatnya pada sastra nampak pada usia dua puluh satu tahun lewat tulisan-

tulisannya yang dipublikasikan pada 1964 di jurnal al-Adab pimpinan Amin al-Khulli

dan di sinilah awal hubungan intelektual keduanya. Nashr menyelesaikan pendidikan S1

sampai S3 pada jurusan Sastra Arab di Universitas Kairo. Pada tahun 1978-1980 ia

pernah tinggal di Amerika karena memperoleh beasiswa untuk penelitian doktoralnya di

Institute of Middle Eastern Studies, University of Pensylvania, Philadelpia, USA. Lihat,

Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an: Teori Hermeneutika Nashr Hamid

Abu Zayd, Jakarta: Teraju, cet. 1, 2003, hal. 16-17. Dia meninggal setelah diserang virus

tak dikenal diusianya ke 67 pada 5 Juli 2010 di Rumah Sakit Spesialis Syeikh Zayd

beberapa minggu setelah kunjungannya ke Indonesia. 13 Nashr Hamid, Naqd al-Khithâb al-Din, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, cet. 3, 2007,

hal. 7-9.

76 | Muhammad Syamsul Arifin

Page 5: Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid

Vol. 1, No. 1 Juli 2016

‘Aqîdah ila al-Tsaurah,‛ (Dari Aqidah Menuju Revolusi). Ketiga, golongan

pencerah (al-tanwiriyyûn), atau yang kerap dijuluki sebagai golongan

sekuler (al-‘ilmaniyyûn). Menurutnya, setiap fenomena dan gerakan

tersebut memiliki karakteristik dan pendekatan tersendiri dalam

interpretasi dan utilisasi al-Qur’an.

Pengamatan di atas menghasilkan asumsi, bahwa pembacaan teks-

teks keagamaan hingga saat itu belum mencapai titik obyektif-ilmiah

(‘ilmi maudhû’).14 Menurutnya, pembacaan teks saat ini masih terinfitrasi

oleh unsur mitos (usthûrah), khurafat, dan interpretasi literal yang

mengatasnamakan agama. Untuk mewujudkan interpretasi yang

objektif-ilmiah dan menghindari unsur mitos dalam pembacaan teks

keagaman. Nashr Hamid menawarkan dua metode pembacaan. Pertama,

interpretasi rasional, yang merupakan corak pendekatan interpretasi

yang dilakukan oleh golongan pencerah (sekuler) dimana interpretasi

didasarkan pada realitas dan pemahaman secara ilmiah terhadap

agama.

Kedua, menekankan kesadaran15 ilmiah (wa’y ‘ilmiy) terhadap turats

Islam.16 Menurutnya, hal ini adalah tantangan bagi umat, yakni

bagaimana kita menyadari secara ilmiah terhadap turats, dasar-dasar

apa yang membentuknya, dan faktor-faktor apa saja yang ikut andil

dalam gerak dan perkembangannya hingga sampai ke tangan kita.

Dalam mewujudkannya diperlukan keberanian seseorang untuk

melontarkan satu permasalahan dan mencari jawaban yang tepat

dengan menyadari, bahwa turats kita telah menjadi sejarah dan harus

dihindari untuk mencari satu kebenaran yang relatif secara kultural

bukan substansial.17

14 Nashr Hamid, Naqd al-Khithâb al-Din, hal. 8. 15 Kesadaran diartikan sebagai aktifitas dan efektifitas yang terus berkembang dan tidak

mengenal bentuk kemapanan. Lihat, Nashr Hamid, Al-Khitthâb wa al-Ta’wîl, Beirut: al-

Markaz al-Tsawafi al-‘Arabi, cet. 3, 2008, hal. 16. 16 Nashr Hamid Abu Zayd, Mafhûm Nash: Dirâsah fi ’Ulûm al-Qur’ân, hal. 10. 17 Dua tujuan dalam metode ini, yakni: 1) merajut kembali hubungan studi al-Qur’an

dengan studi sastra, dan studi kritik setelah terpisah dalam kesadaran modern akibat

dari banyak faktor yang memisahkan antara muatan turats dengan metodologi

pembelajaran ilmiah, dan 2) karena teks al-Qur’an adalah teks Islam, maka tujuan yang

kedua adalah usaha untuk mendefinisikan konsep ‚Islam‛ secara objektif, yakni

Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid | 77

Page 6: Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid

Jurnal STUDIA QURANIKA

Kesadaran ilmiah yang ditekankan oleh Nashr Hamid sebagai

pendekatan kajian keagamaan ternyata adalah buah dari ideologi lain.

Konsep ini tidak lain terinspirasi oleh kesadaran historis (historical

consciousness) Wilhem Dilthey, yakni kesadaran akan relatifitas dari

realita dan fenomena sejarah yang menggiring pembaca untuk bersikap

kritis akan posisinya dan berusaha keras untuk mendapatkan

pemahaman yang objektif. Implikasi konsep ini adalah menisbikan

(relatifisasi) nilai-nilai agama dan mengedepankan realitas untuk

berkuasa atas pemaknaan teks. Dengan demikian, nilai-nilai atau

hukum-hukum yang sudah qath’i dan tsawabit, terbuka kemungkinan

untuk berubah menjadi dhanni dan mutaghayyirah.18

Dalam bukunya ‚Naqd al-Khitthab al-Dîn,‛ Nashr Hamid

memaparkan urgensitas interpretasi rasional dan realistis. Menurutnya,

pemikiran manusia termasuk pemikiran keagamaan (tafsir para Ulama)

adalah produk alami yang lahir dari sebuah kondisi global historis dan

realitas sosial pada zamannya.19 Semua pemikiran termasuk pemikiran

keagamaan haruslah tunduk pada hukum-hukum berpikir. Hukum ini

mengatur gerak pemikiran manusia, yaitu tidak berasumsi bahwa objek

pemikiran agama bersifat sakral dan mutlak. Berdasarkan hal ini, Nashr

Hamid mendikotomikan makna agama dan pemikiran keagaman.

Agama diartikan sebagai antologi teks-teks suci yang tetap secara

historis. Sedangkan pemikiran keagamaan adalah, produk ijtihad

manusia untuk memahami teks-teks suci tersebut berdasarkan zaman,

tempat, dan kondisi sosial-historis-geografis suatu daerah.

Dengan demikian, Nashr Hamid setidaknya terperangkap dalam

dua hal. Pertama, lemahnya pendapat mereka yang sudah tentu

terpengaruh oleh ideologi, metodologi, dan pemikiran lain yang telah

usang, tetapi masih diyakini finalitasnya dan tidak berubah. Kedua,

perihal pemikiran agama, dalam hal ini pengakuan tafsir tradisional

mereka tidak mampu menejalaskan fakta beberapa Muslim brilian

mengatasi tesis-tesis ideologis dari berbagai kekuatan sosial dan politik dalam realita

Arab Islam. Lihat, Nashr Hamid Abu Zayd, Mafhûm Nash: Dirâsah fi ‘Ulûm al-Qur’ân, hal.

18-20. 18 Henry Shalahuddin, al-Qur’an Dihujat, hal. 122. 19 Nashr Hamid, Naqd al-Khitthâb, hal. 195.

78 | Muhammad Syamsul Arifin

Page 7: Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid

Vol. 1, No. 1 Juli 2016

masih berpegang pada penafsiran tradisional, seperti Imam al-Ghazali

pada hampir seribu tahun yang lalu dan masih dapat

mempertahankannya. Meskipun di situ jelas berbeda dalam kondisi

politik, ekonomi, sosial dan budayanya. Hal yang serupa juga terjadi

pada pemikir Kristen modern, seperti Etienne Gilson yang masih

berpegang pada pendapat yang sama yang pernah dianut oleh Thomas

Aquinas.20

Konsep Muntaj Tsaqafi dan Infiltrasi Historisisme Nashr Hamid dalam pandangannya berkenaan dengan sifat dasar

teks al-Qur’an, menyatakan bahwa al-Qur’an adalah teks bahasa (nash

lughawi), teks manusiawi (nash insani), produk budaya (muntaj tsaqafi),

dan teks historis (nash tarikhi).21 Pernyataan tersebut berdasarkan fakta,

bahwa teks muncul bersama struktur budaya tertentu, dan telah

sempurna sesuai dengan hukum budaya tersebut, yang di dalamnya

terdapat sistem penandaan pusat (central signifying system). Asal-usul

keilahiahan teks tidak mengingkari sifat dasarnya sebagai ‘teks bahasa’

yang terikat oleh ruang dan waktu dalam sosial dan historis tertentu.

Artinya, al-Qur’an hanyalah satu teks yang tunduk pada pemahaman

dan interpretasi, sedangkan Kalam Ilahi (divine word) berada di luar

pengetahuan manusia.22

Dari sekian pandangan Nashr Hamid tentang sifat dasar teks al-

Qur’an, tulisan ini fokus pada konsep muntaj tsaqafi. Kata muntaj tsaqafi

merupakan kata majemuk gabungan dari dua suku kata, yaitu muntaj

dan tsaqafi. Arti leksikal kata muntaj dari akar kata nataja adalah

melahirkan atau keluar dan telah menjadi sesuatu (produk).23

20 Wan Mohd Nor Wan Daud, Tafsir dan Ta’wil sebagai Metode Ilmiah, Islamia, Tahun I No. 1

Muharram 1425/ Maret 2004, hal. 61. 21 Korelasi antar konsep ini adalah hasil analisa Andreas Meier yang telah mempelajari

buku Mafhûm al-Nash karya Nashr Hamid. Lihat, Yusuf Rahman, The Hermeneutical

Theory of Nashr Hamid Abu Zayd: An Analytical Study of His Method of Interpreting of the

Qur’an, Montreal: Mc Gill University, 2001, hal. 145. 22 Nashr Hamid, Naqd al-Khitthâb, hal. 51. 23 Abu al-Husain ahmad bin Faris bin Zakaria bin Muhammad bin Habib al-Razi al-

Lughawi, Maqâyis al-Lughah, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, vol. 5, 1999, hal. 386. Lihat

juga, Fr. Louis Ma’luf al-Yasui’, Al-Munjîd fi al-Lughah wa al-Adab wa al-‘Ulûm, Beirut:

Mathba’ah Kathulikiyyah, cet. 19, 1908, hal. 788.

Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid | 79

Page 8: Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid

Jurnal STUDIA QURANIKA

Sedangkan kata tsaqafi merupakan nisbat berupa kata sifat (adjektif) bagi

kata muntaj berasal dari kata tsaqafa atau tsaqafah artinya menguasai atas

ilmu, pengetahuan, dan kesenian24. Singkatnya, secara bahasa, kata

muntaj tsaqafi berarti produk budaya atau produk ilmu pengetahuan dan

seni.

Secara terminologi, terma muntaj tsaqafi bersumsi bahwa al-Qur’an

merupakan ‘produk budaya’ karena terbentuk dalam interaksinya

dengan realitas sosial dan budaya yang melingkupinya selama lebih dari

20 tahun, fase ini disebut sebagai fase ‘keterbentukan’ (marhalah al-

takawwun wa al-tasyakkul), yang kemudian menjadi produsen budaya

baru (muntij tsaqafi), pada fase ‘pembentukan’ (marhalah al-takwîn dan al-

tasyakul) karena menjadi teks yang hegemonik dan rujukan bagi teks-

teks keagamaan yang lain.25 Selama proses panjang itu terjadi, pasti

dialektika sosial dan budaya dalam masyarakat sebagai realitas yang

menentukan bagaimana teks itu kemudian berbicara.26

Konsepsi al-Qur’an muntaj tsaqafi senantiasa dikaitkan dengan

Jazirah Arab dimana ia diturunkan. Oleh karena itu, al-Qur’an

diwahyukan dengan menggunakan bahasa Arab sebagai pengantar

makna yang terkandung dalam teks ketuhanan dan tidak bisa dilepaskan

dari peradaban Arab. Pada hakikatnya, dengan konsepnya ini, Nashr

Hamid ingin menyatakan bahwa al-Qur’an yang diturunkan kepada

Nabi Muhammad yang hidup di Arab dengan segala budaya dan

tradisinya, lazimnya al-Qur’an telah masuk dalam wilayah sejarah

manusia, dan satu keniscayaan bagi al-Qur’an untuk memakai struktur

tata bahasa dan budaya Arab untuk menyampaikan risalah Nabi

Muhammad.27

Dari penjelasan di atas, nampak jelas konsep Nashr Hamid tentang

hubungan dialektis antara teks al-Qur’an dan realitas sosial-historis

24 Syauqi Dhaif, Mu’jam al-Wasîth, Mesir: Maktabah Syurouq al-Dauliyyah, vol. 1,, 2011,

hal. 98. Lihat pula, Fr. Louis Ma’luf al-Yasui’, Al-Munjîd fi al-Lughah wa al-Adab wa al-

‘Ulûm, hal. 71. 25 Nashr Hamid, Mafhûm Nash, hal. 24. 26 Budhy Munawwar Rachman, Argumen Islam Untuk Liberalisme: Islam Progresif dan

Perkembangan Diskursusnya, Jakarta: Grasindo, 2010, hal. 84-85. 27 Fahruddin Faiz, Hermeneutika al-Qur’an: Tema-Tema Kontroversial, Sleman: eLSAQ, 2005,

hal. 101-102.

80 | Muhammad Syamsul Arifin

Page 9: Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid

Vol. 1, No. 1 Juli 2016

dalam studi al-Qur’an yang digagasnya.28 Akhirnya, karena realitas

budaya tidak bisa dipisahkan dengan bahasa maka dengan sendirinya

al-Qur’an merupakan teks bahasa (nash lughawi).29 Menghubungkan

secara dialektis antara teks al-Qur’an dan realitas budaya manusia yang

berkembang pesat merupakan hal yang urgen. Jika hal ini tidak

dilakukan, maka teks al-Qur’an akan menjadi teks mati dan tidak berarti

dalam kancah fenomena kemanusiaan. Teks al-Qur’an hanya akan

menjadi bacaan dogmatis, tetapi visi transformatif dan kemanusiaan al-

Qur’an akan hilang begitu saja.30

Dari hubungan dialektis antara teks al-Qur’an dan realitas sosial

budaya mengakomodasi penggunaan metode linguistik ditunjang

dengan metode kritik sejarah (historical critism) dalam interpretasi al-

Qur’an. Artinya, epistemologi yang digunakan dalam mengkaji al-

Qur’an berpijak pada keterkaitannya yang bersifat dialektis dengan

realitas sosial budaya. Implikasi metode ini berbeda dengan yang

digunakan para Ulama yang umumnya bersifat teosentris. Sehingga,

interpretasi model ini bisa lebih objektif, tidak a-historis dan bebas dari

ideologi dan kepentingan tertentu.31

Namun demikian, konsekuensi logis dari metode di atas adalah

‘profanisasi’ teks al-Qur’an yang tidak lepas dari realitas dan budaya

dimana al-Qur’an diturunkan. Menurut Nashr Hamid, hal ini telah

terjadi sejak awal diturunkannya al-Qur’an atau diwahyukan kepada

Nabi Muhammad saw, dia telah berubah dari proses tanzîl menjadi

takwîl. Seperti yang diungkapkannya dalam bukunya Naqd al-Khitthab al-

Dîn:

‚Sesungguhnya al-Qur’an yang menjadi poros pembicaraan kita sampai saat ini

adalah teks keagamaan yang tetap (tsâbit, fixed) dari sisi lafadznya, namun dari

sisi saat berintraksi dengan akal manusia dan menjadi sebuah ‘konsep/ konteks,’

maka hilanglah sifat ketetapannya. Kemudian teks yang tetap itu bergeser

menjadi makna ragam. Karena sesungguhnya sifat yang tetap itu adalah bagian

28 Lalu Nurul Bayanil Huda, Kritik Studi al-Qur’an Nashr Hamid Abu Zayd, Gontor: CIOS

Unida, 2010, hal. 5. 29 Nashr Hamid, Mafhûm Nash, hal. 10-18. 30 Ahmad Fuad Fanani, Islam Mazhab Kritis: Menggagas Keberagaman Liberatif, Jakarta:

Kompas Media Nusantara, 2004, hal. 91-92. 31 Ahmad Fuad Fanani, Islam Mazhab Kritis: Menggagas Keberagaman Liberatif, hal. 26.

Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid | 81

Page 10: Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid

Jurnal STUDIA QURANIKA

dari sifat absolut yang sakral. Namun secara manusiawi dia adalah relatif dan

berubah. Maka al-Qur’an adalah teks (nash) yang sakral secara ‘tekstual’

(manthûq), kemudian menjadi ‘kontekstual’ (mafhûm) sebab sifat relatifitas dan

perubahan tersebut, atau dari sudut pandang manusia berubah menjadi ‘teks

manusiawi’ ‚yataannas‛ (termanusiakan). Jadi, patut kita tekankan bahwa

kedudukan teks mentah dan sakral adalah wujudnya yang metafisis yang tidak

kita ketahui sedikitpun tentangnya, melainkan apa yang telah disebutkan oleh

teks tentangnya. Kemudian hendaknya kita memahaminya dari sudut pandang

manusia yang berubah dan relatif. Teks al-Qur’an sejak waktu pertama turun

sampai saat dibaca oleh Nabi dalam proses turunnya wahyu, telah bergeser dari

eksistensinya sebagai ‘teks Ilahi’ menjadi satu pemahaman (teks manusiawi)

karena telah berubah dari proses tanzîl menjadi takwîl. Setelah teks al-Qur’an

disamakan dengan teks manusia (nash insaniy).‛32

Pernyataan di atas, menunjukkan bahwa Nashr Hamid

membedakan al-Qur’an yang ‘termanusiakan’ (yata’annas) dengan ‘teks

mentah’ yang sakral dan berwujud metafisis. Pandangan ini merupakan

paham dualisme para filosof seperti Cristian Wolff. Sebagaimana yang

dikutip Hamid Fahmi, dualisme menurut Wolff adalah pengakuan

terhadap dua eksistensi dan substansi materi dan immateri sekaligus.33

Namun demikian, pandangan ini telah terbantahkan secara eksplisit

oleh Ibnu Jarir al-Thabari yang menafsirkan surat Yunus 10/ 108: ‚al haqq

min rabbikum‛ kata ‘haqq’ tersebut bermakna ‚al-Qur’an.‛34 Jadi, al-

Qur’an yang ada di tangan kita (textus receptus) adalah yang sakral dan

berwujud (fisik) bukan yang metafisis, seperti pendapat Nashr Hamid.

Menurut Imron, pernyataan Abu Zaid bahwa al-Qur’an adalah

produk budaya tentu tidak terlepas dari latar belakangnya sebagai

seorang sastrawan. Sehingga, ada kemungkinan teori-teori sastra yang ia

pelajari berpengaruh terhadap pemikiran-pemikirannya. Jika ditelusuri,

anggapan bahwa teks al-Qur’an adalah produk budaya sebenarnya

32 Nashr Hamid, Naqd al-Khitthâb, hal. 99-100. 33 Teks aslinya: ‚The dualist (dualistae) are those who admit the existence of both material and

immaterial substances‛. Lihat, Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat: Refleksi Tentang

Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam. Jakarta: INSIST, 2012, hal. 76-77. 34 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsîr al-Thabary Jami’ al-Bayân ‘an Ta’wîl ay

al-Qur’ân, Tahqiq. Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turki, Kairo: Markaz al-Buhuts wa al-

Dirasat al-‘Arabiyyah al-Islamiyyah, cet. 1, vol. 12, 2001, hal. 305.

82 | Muhammad Syamsul Arifin

Page 11: Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid

Vol. 1, No. 1 Juli 2016

diambil dari teori kritik sastra.35 Sosiologi sastra memandang, bahwa

karya sastra dihasilkan melalui antar hubungan bermakna, yaitu subjek

kreator dan masyarakat. Teori ini memandang karya sastra sebagai

bagian dari masyarakat, yaitu sebagai dokumen sosial. Seorang

pengarang tidak mungkin menciptakan suatu karya tanpa realitas yang

melatar belakanginya. Oleh karena itu, karya sastra adalah produk

masyarakat tertentu. Mungkin inilah teori sastra yang mempengaruhi

Abu Zaid, sehingga ia menyimpulkan bahwa al-Qur’an adalah produk

budaya.36

Konsep al-Qur’an sebagai produk budaya ini dikritisi oleh

Muhammad Imarah yang dinilainya hanya berpijak pada kerangka

materialisme dialektis Marxis. Dalam analisa dialektika-materialistis,

nilai-nilai sosial yang terdapat dalam masyarakat tidak dapat

dipisahkan dari fakta-fakta sosial.37 Teori ini sesuai dengan ungkapan

Abu Zaid ketika menyatakan, bahwa terbentuknya al-Qur’an tidak bisa

terlepas dari fakta-fakta sosial yang ada ketika itu. Selain itu, dalam

pandangan Marxisme, alam materi dan realitas adalah dua fondasi dasar

yang digunakan pikiran untuk membentuk, mengeluarkan, dan

memproduksi segala hal, seperti konsep, nilai, teori, agama, dan tidak

ada sumber bagi pemikiran di luar realitas, atau bersimpangan dengan

alam materi.38 Demikian juga dengan Abu Zaid yang menyatakan,

bahwa realitaslah yang menjadi dasar (pemahaman al-Qur’an), dan

tidak mungkin untuk diabaikan. Melalui realitaslah teks menjadi, dan

dari bahasa serta budayalah metodologinya dibentuk. Menyia-nyiakan

realitas demi teks agama yang kaku dan konstan, baik makna dan

dilâlah-nya, akan mengubahnya menjadi mitos.39

35 Kritiks sastra adalah bidang ilmu yang mencakup semua persoalan yang timbul

sehubungan dengan teks sendiri, termasuk pengarang, konteks sejarah dan pelbagai

aspek bahasa dan isi teks. Lihat, John H. Hayes & Carl R. Holladay, Pedoman Penafsiran

al-Kitab, Terj. Pndt. Ioanes Rakhmat, Jakarta: Gunung Mulia, 2006, hal. 86. 36 Ali Imron, Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd, dalam Hermeneutika al-Qur’an dan Hadits,

Yogyakarta: elSAQ, 2010, hal. 124. 37 George Ritzer, Douglas J. Goodman, Teori Marxis dan Berbagai Ragam Teori Neo-Marxian,

Terj. Nurhadi, Bantul: Kreasi Wacana, 2011, hal. 19. 38 Muhammad Imarah, Al-Tafsîr al-Marxisi li al-Islâm, Kairo: Dar al-Syuruq, cet. 2, 2002, hal.

49. 39 Nasr Hamid Abu Zaid, Naqd al-Khitâb al-Din, hal. 106-107.

Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid | 83

Page 12: Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid

Jurnal STUDIA QURANIKA

Konsep muntaj tsaqafi merupakan salah satu unsur bagi Nashr

Hamid untuk membangun teori hermeneutikanya. Selain itu, dia juga

menyatakan bahwa al-Qur’an hanyalah sebuah teks (nash) meskipun

tidak ditulis apa definisinya secara eksplisit.40 Dalam bukunya Mafhûm

Nash, teks ia definisikan sebagai ‚makna (dalâlah) dan memerlukan

pemahaman, penjelasan, dan interpretasi.‛ Sedangkan Mushaf (buku)

tidaklah demikian, karena telah bertransformasi menjadi ‘sesuatu,’ baik

satu karya estetik (tastakhdimûh li al-zînah) atau untuk mendapatkan

berkah Tuhan.41 Pembagian ini sama persis dengan distingsi Roland

Bather antara ‘teks’ (text) dan ‘karya’ (work) dengan prinsip ‚The work is

held in the hand, the text in language‛.

Teori tekstualitas al-Qur’an ini kemudian dikembangkan oleh

Nashr Hamid dengan mengkorelasikannya dengan bahasa, budaya dan

historis. Konsekuensinya adalah menghilangkan ‘dimensi ke-

Ilahiahannya’ (divine dimension) dari kajiannya, dan teks al-Qur’an telah

menjadi teks manusia dan disamakan dengan teks-teks budaya lain

dalam kajiannya.42 Dalam konteks ini, penggunaan analisa wacana43

(discourse analysis) dan semiotika telah menjadi satu keniscayaan.44

Untuk melancarkan konsep tekstualitasnya, Nashr Hamid

mendekonstruksi konsep wahyu ilahiyyah dalam proses turunnya al-

Qur’an. Nashr Hamid membaginya ke dalam dua proses yaitu tanzîl dan

takwîl. Pertama, proses tanzîl yaitu Allah menurunkan al-Qur’an kepada

malaikat Jibril (tahap vertikal) dalam bentuk teks non-bahasa.45 Konsep

‘menurunkan’ atau tanzîl disini dipahami sebagai menurunkan dari

Allah kepada manusia lewat dua perantara, malaikat Jibril dan

Muhammad saw, yang berbentuk manusia. Dengan demikian dapat

40 Moch. Nur Ichwan, A New Horizon, hal. 46. 41 Nashr Hamid, Mafhûm Nash, hal. 13. 42 Nashr Hamid, Naqd al-Khithab, hal. 208. 43 Analisis wacana dalam studi linguistik merupakan reaksi dari linguistik formal yang

lebih memperhatikan pada unit kata, frase, atau kalimat semata tanpa melihat

keterkaitan di antara unsur tersebut. Analisis wacana merupakan kebalikan dari

linguistik formal, justru memusatkan perhatian pada level di atas kalimat seperti

hubungan gramatikal yang terbentuk pada level yang lebih besar dari kalimat. Lihat,

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, Bantul: LkiS, 2001, hal. 3. 44 Moch Nur Ichwan, A New Horizon, hal. 48. 45 Lalu Nurul Bayanil Huda, Kritik Studi al-Qur’an Nashr Hamid Abu Zayd, hal. 8.

84 | Muhammad Syamsul Arifin

Page 13: Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid

Vol. 1, No. 1 Juli 2016

disimpulkan, bahwa teks al-Qur’an dalam tahap ini masih berupa

‘makna’ atau ‘non-bahasa’.

Kedua, setelah teks sampai kepada Nabi Muhammad saw,

dimulailah proses takwîl. Nabi Muhammad dalam proses ini berperan

menyampaikan teks al-Qur’an yang masih ‚maknawy‛ dan ‚non-bahasa‛

dalam bahasa Arab. Dalam proses ini, teks al-Qur’an berubah dari teks

Ilahi menjadi teks insâni atau dari tanzîl menjadi takwîl.46 Lebih dari itu,

Nash Hamid menyatakan, bahwa al-Qur’an adalah riwayat Muhammad

atas apa yang beliau nyatakan dari Kalam Ilahi (the word of Muhammad

reporting what he asserts is the word of God. This is the Qur’an).47 Kemudian

dalam menginterpretasikan pesan dengan bahasanya, Nabi Muhammad

telah terpengaruh oleh kondisi kejiwaan, sosial, dan budaya setempat

saat itu, maka dengan sendirinya Nabi Muhammad merupakan produk

dari budaya dari masyarakat tempat dia tinggal.48

Konsep tanzîl al-Qur’an Nashr Hamid bertentangan dengan

konsep mayoritas Ulama tafsir. Imam Zarkasyi menjelaskan, bahwa para

Ulama Ahlusunnah bersepakat yang diturunkan adalah Kalâmullah, baik

lafaz maupun maknanya, yaitu Jibril menghafal al-Qur’an dari Lauh

Mahfûz kemudian turun bersamanya.49 Imam Juwaini membagi

Kalâmullah al-munazzal menjadi dua. Pertama, Kalam yang diturunkan

melalui Jibril hanya ‘makna’, kemudian Nabi menyampaikannya

dengan perkataanya sendiri. Kedua, Kalam yang diturunkan Jibril adalah

lafadz dan maknanya tanpa ada perubahan kata ataupun huruf,

kemudian Nabi juga menyampaikan apa adanya tanpa ada yang

dikurangi. Menurut Imam Suyuthi, al-Qur’an adalah bagian yang kedua,

sedang yang pertama adalah sunnah, sebagaimana Jibril turun

membawa sunnah sama dengan turunnya membawa al-Qur’an.50

46 Lalu Nurul Bayanil Huda, Kritik Studi al-Qur’an Nashr Hamid Abu Zayd, hal. 8. 47 Nashr Hamid Abu Zayd and Esther R Nelson, Voice of an Exile: Reflections on Islam,

London: Preager, 2004, hal. 57. 48 Lalu Nurul Bayanil Huda, Kritik Studi al-Qur’an Nashr Hamid Abu Zayd, hal. 10 49 Badruddin Muhammad bin ‘Abdullah al-Zarkasyi, Al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, Tahqiq.

Muhammad Abu al-Fadhl Ibrahim, Kairo: Maktabah Dar al-Turats, vol. 1, t.th, hal. 239. 50 Jalaluddin ‘Abdurrahman bin Abu Bakar al-Suyuthi, Al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, Tashih.

Muhammad Salim Hasyim, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, vol. 1, 2012, hal. 89-90.

Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid | 85

Page 14: Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid

Jurnal STUDIA QURANIKA

Argumen yang lebih filosofis untuk menanggapi Nashr Hamid,

dapat disimak dari pandangan Sayyed Muhammad Naquib al-Attas.

Menurutnya jika wahyu itu diasumsikan kepada Nabi tanpa suara dan

huruf maka wahyu itu bisa menampung semua yang bisa

dipresentasikan oleh kata-kata, yang kemudian disampaikan Nabi

kepada manusia dalam bentuk bahasa baru. Akan tetapi, dapat secara

komprehensif (menampung yang dikomunikasikan Allah itu tadi), dan

tidak bercampur dengan muatan subjektifitas dan imajinasi kognitif

Nabi.51 Artinya, meskipun firman Allah itu menggunakan penuturan

Nabi, namun penuturan itu tidak menyimpang sedikitpun dari firman

Allah yang disampaikan kepada Nabi dan ini sesuai dengan firman-

Nya: ‚Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepada-

Nya).‛ (QS. al-Najm 53/ 3).

Konsep Nashr Hamid bahwa al-Qur’an muntaj tsaqafi, jika dianalis

dengat cermat, akan nampak kesamaan konseptual dengan historisisme

terutama dalam memandang hubungan antara teks al-Qur’an dengan

realitas sosial. Historisisme memandang, bahwa pemahaman yang

memadai tentang sifat dasar ‘sesuatu’ dan penilaian paripurna tentang

nilai ‘sesuatu’ itu harus dicapai dengan mempertimbangkan tempat

dimana ia bertempat, apa peranannya dalam proses perkembangannya

(sosial-budaya). Aspek radikal sebagai prinsip metodologisnya, yakni, 1)

melihat segala sesuatu dalam hal proses yang luas dari sebuah fase, dan

2) melihat bagaimana sesuatu itu berperan, dan hanya dengan

memahami sifat alamiah proses itu seseorang dapat memahami

keseluruhnya atau mengevaluasi peristiwa yang konkret.52 Atas dasar

ini, wajar jika Nashr Hamid dalam prosedur interpretasinya nanti akan

memperhitungkan tataran mimetic (fase ‘keterbentukkan (tasyakkul)

dimana al-Qur’an sebagai produk budaya, mempertautkan diri dengan

konteks linguistik dan kultural yang melahirkannya dalam prosedur

penafsirannya.53

51 Syed Muhammad Naquid al-Attas, Prolegomena to The Metaphysic of Islam, Kuala Lumpur:

ISTAC, 2005, hal. 6. 52 Donald M. Borchert, Encyclopedia of Philosophy, USA: Thompson Gale, 2006, hal. 392-393. 53 Lalu Nurul Bayanil Huda, Kritik Studi al-Qur’an Nashr Hamid Abu Zayd, hal. 52.

86 | Muhammad Syamsul Arifin

Page 15: Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid

Vol. 1, No. 1 Juli 2016

Aplikasi Historisisme dalam Hermeneutika Nashr Hamid Untuk lebih jelas melihat peran historisisme dalam konsep muntaj

tsaqafi, dapat kita telaah prosedur penafsiran yang digagasnya sebagai

upaya metode pembacaan produktif (qirâ’ah muntijah).54 Dalam hal ini,

ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu Pertama, landasan konseptual

penafsiran teks, dan Kedua, mekanisme penafsiran. Menurut Nashr

Hamid, hal pertama yang harus dilakukan adalah sebagaimana yang

dinyatakannya, ‚Menentukan dengan tepat dua kutub yang membentuk

pembacaan itu sendiri. Kutub pertama adalah keseluruhan konteks historis,

sosiologis, linguistik teks, sedangakan kutub kedua adalah keseluruhan konteks

sosial dan budaya kekiniaan pembaca yang mendorongnya melakukan proses

pembacaan itu sendiri. Penentuan dua kutub ini bertujuan untuk membedakan

antara (makna) yang bersifat historis dengan maghza (signifikansi) yang

bersifat kontemporer yang diinspirasikan dari ‚makna.‛ Pembedaan ini secara

metodologis, tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sebab tanpa ini, batas antara masa

lalu dengan masa kini menjadi lebur dan kabur. Akibatnya, teks menjadi sangat

rentan dari penundukan pembacaan kepada ideologis dan kepentingan pembaca

sendiri‛.55 Pada tahap ini, penafsir dibimbing agar tidak terjerumus pada

pembacaan subjektif atau tendensius.

Budhy Munawar menjelaskan lebih detail perihal dua unsur

utama hermeneutika Nashr Hamid dimana antara keduanya terdapat

dialektika. Pertama adalah, segi historis dalam arti semiologis yang

bertujuan untuk menempatkan teks-teks tersebut pada konteksnya

dalam menyiapkan maknanya yang asli, kemudian masuk konteks

historis, dan selanjutnya konteks bahasa yang khusus dari teks-teks

tersebut. Kedua, menarik penafsiran makna asli tersebut ke dalam

kerangka-kerang sosio-kultural kontemporer dan tujuan (ghâyah)

praktis, sehingga dapat menjelaskan muatan ideologis penafsiran

tersebut dari makna historis yang asli. Sebuah pembacaan ‚produktif‛

akan menghasilkan pergerakan antara dimensi asal (ashl) dan tujuannya

(ghâyah) atau antara makna (dalâlah) dan signifikansinya.56 Pendekatan

hermeneutik di atas merupakan usaha untuk menerapkan kerangka

54 Lalu Nurul Bayanil Huda, Kritik Studi al-Qur’an Nashr Hamid Abu Zayd, hal. 51. 55 Nashr Hamid, Naqd al-Khithâb, hal. 122-123. 56 Budhy Munawar, Argumen Islam, hal. 85.

Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid | 87

Page 16: Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid

Jurnal STUDIA QURANIKA

objektif dan ilmiah untuk menganalisis dan menafsirkan teks

keagamaan sendiri.

Setelah pijakan pembacaan dirumuskan, selanjutnya mekanisme

penafsiran harus mengikuti model hermeneutika sebagaimana yang

telah ia rumuskan sebagai berikut:

1. Penafsiran berangkat dari realitas kontemporer atau kasus kekinian

yang tengah dihadapi oleh pembaca, seperti motivasi dan harapan

ketika penafsiran hendak dilakukan.

2. Perwujudan teks diperhitungkan dalam tataran mimetic (fase

keterbentukkan, dimana al-Qur’an sebagai produk budaya,

mempertautkan diri dengan konteks linguistik dan kultur yang

melahirkannya).

3. Beranjak pada tataran semiotiknya dalam keseluruhan latar tradisi

yang disimpanginya (fase pembentukan, dimana sebagai produsen

budaya, al-Qur’an memiliki sarana decoding spesifik yang mampu

merekonstruksi ulang realitas linguistik dan kultural tadi ke dalam

bentuknya yang baru).

4. Interaksi makna yang historis dengan realitas kontemporer

memungkinkan untuk menghasilkan signifikansi semiotik baru dari

teks untuk konteks historisitas masa kini, atau yang bisa

diistilahkan dengan ‚ajaran implisit/ the unmentioned‛ (al-maskût

‘anhu), yakni ajaran tersirat yang terinspirasi dari teks untuk

diterapkan dalam konteks kontemporer.

Rangkaian mekanisme di atas merupakan gerak dialektis antara

makna dan signifikansi, antara masa lalu dan masa kini, atau antara

pembaca dan teks. Mengabaikan salah satunya hanya akan membawa

pembaca pada model pembacaan ideologis (qirâ’ah talwiniyyah), atau

pembacaan tendensius (qirâ’ah mughridhah) yang sangat diantisipasi

olehnya.57

Landasan konseptual dan mekanisme penafsiran yang digagas

oleh Nashr Hamid nampaknya terinspirasi oleh hermeneutika historis

57 Lalu Nurul Bayanil Huda, Kritik Studi al-Qur’an Nashr Hamid Abu Zayd, hal. 52-53.

88 | Muhammad Syamsul Arifin

Page 17: Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid

Vol. 1, No. 1 Juli 2016

Wilhelm Dilthey. Dengan ‘kritik atas akal historis,’58 Dilthey

mengupayakan suatu konstruksi spekulatif yang dimaksudkan untuk

menemukan makna dalam sejarah sebagai cara memahami dengan lebih

mendalam daripada sekedar penelitian historis. Dalam bingkai

historisitas, dia mendefinisikan interpretasi sebagai suatu seni

memahami manifestasi atau pengejawantahan hal yang bersifat vital

dan ditampakkan pada kebiasaan yang tahan lama. Demikian halnya

dengan hermeneutika, Dilthey menggangap, bahwa hermeneutika pada

dasarnya bersifat historis, yang berarti bahwa ‘makna’ itu sendiri tidak

pernah ‘berhenti pada satu masa’ tetapi selalu berubah menurut

modifikasi sejarah. Oleh karena itu, maka interpretasi bagaikan benda

cair, senantiasa berubah-ubah.59

Dalam hermeneutika historisnya, Dilthey lebih menekankan

‘historisitas teks’ dan pentingnya kesadaran sejarah (Geschichtliches

Bewusstein). Seorang pembaca teks, menurutnya, harus bersikap kritis

terhadap teks dan konteks sejarahnya dan pada saat yang sama dituntun

untuk melompati ‘jarak sejarah’ antara masa lalu teks dan dirinya,

karena makna menurut dia, tersembunyi dalam setting sosial (sitz im

leben). Pemahaman seseorang ditentukan oleh seberapa mampu

‘mengalami kembali’ (nacherleben) dan menghayati isi teks tersebut.

Penekanannya tidak hanya sebatas manusia, melainkan juga bahasa dan

makna.60

Terakhir, menurut Dilthey sebagaimana mengutip H.A. Hodges

(1976), menyatakan semua pemahaman atau pengertian bila ditelusuri

sampai ke batas-batasnya akan menjadi menyejarah. Sehingga pada

akhirnya, secara ironis yang dipahami oleh penafsir bukan lagi puisi,

opera, atau teori melainkan orangnya. Dengan kata lain, yang dipahami

oleh seorang penafsir bukan lagi puisi, tapi pengarangnya. Dampaknya,

jika pemahaman historisitas diaplikasikan kepada al-Qur’an, maka akan

mengindikasikan pemahaman yang lebih komprehensif dari

58 Suatu filsafat tentang mengerti, cara melihat atau menemukan rangkaian pemikiran yang

berlangsung dalam sejarah. Lihat, E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat,

Sleman: PT. Kanisius, 2015, hal. 48. 59 E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, hal. 48-56. 60 Daden Robi Rahman, Infiltrasi Hermeneutika Terhadap Penfsiran Ayat- Ayat Ahkam: Kritik

Atas Pemikiran Fazlur Rahman dan Muhammad Syahrur, Gontor: CIOS Unida, 2010, hal. 23.

Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid | 89

Page 18: Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid

Jurnal STUDIA QURANIKA

pengarangnya (Tuhan). Kemudian tujuan akhir dari setiap

hermeneutika Dilthey adalah kemampuan memahami penulis atau

pengarang melebihi pemahaman terhadap diri sendiri. Pernyataan ini

seakan-akan menghadang unsur keilahian di dalamnya.61 Kesimpulan

Dilthey tentang tujuan akhir hermeneutika, secara implisit sama dengan

konsep ‚al-maskût ‘anhu‛ (ajaran implisit), Nashr Hamid yang

merupakan hasil dari gerakan bolak-balik (harakah banduliyyah), dari

makna teks yang historis dan signifikansinya yang kontemporer dan

seolah-olah ‚lebih mengerti‛ maksud Tuhan.

Inkoherensi Konsep Muntaj Tsaqafi Menganalisa dengan cermat landasan konseptual penafsiran

model Nashr Hamid, akan mendapati supremasi data empiris dan

realitas atas makna teks yang sudah mapan.62 Setidaknya memang inilah

karakter dari pendekatan kesadaran historis ilmiah dalam memahami

teks-teks keagamaan. Bagi Nashr Hamid, teks adalah hasil dari sebuah

realitas, maka setiap perubahan yang terjadi pada realitas, menuntut

perubahan dalam pembacaan teks, sampai akhirnya terjadi kesepaduan

antara teks dan realitas (zaman dan tuntutannya).63 Pandangan

supremasi realitas dan menempatkan pembaca teks sebagai hakim

dalam pembacaan teks pada hakikatnya membatalkan konsep ‚al-Islâm

shâlih li kulli al-zamân wa al-makân,‛ karena pembacaan teks tidak

mengenal kata final dan absolut di semua sisi. Selain itu, konsep ini juga

melanggar kaidah ushûl ‚al-Ijtihâd fîmâ fîh al-nash,‛ terkait beberapa

hukum yang tetap juga masalah aqidah.64

Mekanisme interpretasi yang memfokuskan pada pergeseran dari

‘makna’ yang historis kepada ‘signifikansi’ yang progresif untuk tujuan

maqâshid adalah, mekanisme sekularisasi dan humanisasi al-Qur’an.

Teorinya memberikan ruang bagi kajian semantik yang liberal sesuai

kehendak untuk mendukung ‘modernitas’. Jadi ruang dan waktulah

yang merubah pemahaman teks, dan teks hanya responsif, bukan

61 E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, hal. 60-63. 62 Nashr Hamid, Naqd al-Khithâb, hal. 106-107. 63 Henri Shalahuddin, Kredibilitas Ilmu Tafsir dalam Menegakkan Konsep Wahyu al-Qur’an, hal.

23. 64 Fahmi Salim, Kritik Studi al-Qur’an Kaum Liberal, Jakarta: Gema Insani, 2010, hal. 229-230.

90 | Muhammad Syamsul Arifin

Page 19: Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid

Vol. 1, No. 1 Juli 2016

sebaliknya. Pemahaman ini telah melampaui pandangan Muktazilah

yang mana Nashr kerap diasosiasikan sebagai neo-Muktazilah, karena

Muktazilah tidak pernah merumuskan konsep dekonstruksi syariah

sebagaimana Nashr Hamid. Sehingga kita mendapati kesimpulan,

bahwa menurutnya syariat turun hanya untuk melayani dan merespons

kondisi-kondisi tertentu dan terbatas untuk kurun waktu tertentu.65

Menurut Abdul Majid Najjar, landasan konseptual yang dibangun

untuk mekanisme interpretasi seperti di atas, merupakan pelanggaran

serius, dan menjadikan sebab inkoherensitasnya. Pelanggaran yang

paling terlihat jelas adalah mendekonstruksi hukum-hukum yang

bersifat qath’i tsubût dan qath’i dilâlah menjadi relatif semuanya karena

tidak ada batasan antara yang qath’i dan dhanni. Faktor- faktor yang

menyebabkan inkoherensitasnya, menurutnya, antara lain:66

Pertama, senantiasa mengkaji teks keagamaan dalam

keterkaitannya dengan peristiwa dan tempat dimana teks muncul

(ashbâb nuzûl), serta mengkhususkan kontekstualisasi dengannya.

Pemahaman seperti ini berlawanan dengan universalitas wacana

(khithâb) syari’at, seakan-akan syariat hanya berlaku untuk kaum

tertentu pada relatif waktu tertentu. Padahal wahyu yang berupa syariat

ditujukan untuk semua umat sepanjang zaman dan bersifat mengikat

tidak hanya kepada maqâshid yang umum, namun juga kepada

kewajiban yang harus dikerjakan (taklîf) yang menetapkan maqâshid

tersebut sebagaimana firman Allah dalam surah Saba 34/ 28, ‛Kami tidak

mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa

berita gembiran dan sebagai pemberi peringatan..‛ Inkoherensi ini bisa

disimak dari landasan konseptual interpretasi Nashr Hamid yang

melihat dan membatasi substansi kandung teks keagamaan pada tataran

mimetik teks tersebut (muntaj tsaqafi).

Teks wahyu menghendaki universalitas wacana (khithâb) dalam

arti mukallaf melaksanakan kewajibannya sepanjang waktu sesuai

dengan kehendak teks keagamaan. Atas dasar ini, teks wahyu jika telah

menjadi wacana (khithâb) bagi seluruh manusia, maka tidak ada

65 Fahmi Salim, Kritik Studi al-Qur’an Kaum Liberal, hal. 231. 66 Abdul Majid al-Najjar, Khilâfah al-Insan Bayna al-Wahi wa al-‘Aql: Bahts fi Jadaliyyah al-Nash

wa al-‘Aql wa al-Wâqi’, Beirut: Dar al-Gharb al-Islâmi, 1987, hal. 107.

Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid | 91

Page 20: Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid

Jurnal STUDIA QURANIKA

sekalipun dalil ’aqli atau naqli yang mendasari, bahwa kewajiban (taklîf)

terbatas pada kaum dimana teks wahyu diturunkan, kecuali ada teks

yang memberikan takhshîsh. Sebagaimana telah populer di kalangan

Ulama ushul fiqh dan tafsir kaidah, ‚al-‘Ibrah bi ‘umûm al-lafz lâ bi

khushûsh al-sabab,‛ dimana Imam Syatibi menjelaskan ‚Hukum syariat

bagi mukallaf adalah perkara yang menyeluruh dan umum (kulliyah

‘âmmah) artinya tidak khusus dari segi hukum-hukumnya hanya bagi

sebagian dari yang lain, dan mengecualikan untuk luput dari hukum itu

seorang mukallaf pun.‛67

Kedua, melandaskan pemahaman akal (reason) terhadap teks-teks

keagamaan berdasarkan data-data empiris dengan progresifitasnya, atau

dikaitkan dengan konteks kekinian. Hal demikian berarti memahami

teks-teks keagamaan yang berselisihan dengan pemahaman teks

sebagaimana ia diturunkan dan mendasarkannya atas data-data realitas

kehidupan manusia modern. Bila kita bandingkan dengan konsep

pergeseran dari makna menuju signifikansi kemudian menghasilkan

ajaran implisit yang digagas oleh Nashr Hamid, maka akan nampak

kesamaanya, mengingat hasil dari interpretasi yang dilakukannya selalu

menghasilkan pemahaman yang mendukung kultur sosial masyarakat

modern.68

Penutup Pembacaan objektif ilmiah terhadap teks keagamaan yang digagas

oleh Nashr Hamid tidak lain adalah satu dimensi pemikiran yang absurd

jika diaplikasikan dalam studi al-Qur’an. Kerancuannya adalah, wacana

sekularisme pada kedua metode di atas setelah ditelaah dengan

seksama. Kesamaan dimensi penghilangan pesona dari alam natural

(disenchantment of nature) dari sekularisme terasa mengalir dalam alur

pembacaan objektif-ilmiah terhadap teks keagamaan. Selain itu,

kesadaran ilmiah yang digagasnya hanyalah satu imitasi dengan sedikit

modifikasi dari kesadaran historis (historical consciousness) Wilhem

Dilthey. Metode ini yang berimplikasi untuk menisbikan (relatifisasi)

67 Abu Ishaq Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Syathibi, Al-Muwâfaqât, Tahqiq. Muhammad

Muhyiddin ‘Abdu al-Hamid, Kairo: Thab’ah Shabih, vol. 2, 1969, hal. 179. 68 Abdul Majid al-Najjar, Khilâfah, hal. 108-110.

92 | Muhammad Syamsul Arifin

Page 21: Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid

Vol. 1, No. 1 Juli 2016

nilai-nilai agama dan mengedepankan realitas untuk berkuasa atas

pemaknaan teks.

Pada taraf epistemologi, konsep al- Qur’an sebagai produk budaya

dan menjadikannya salah satu unsur mekanisme penafsiran adalah buah

dari paham historisisme. Dalam pemahaman ini, baik eksplisit maupun

implisit telah mereduksi sumber ketuhanan (divine source) terhadap al-

Qur’an yang hanya menganggap sebagai realitas holistik yang

dihasilkan dari metodologi penelitian ilmiah. Pernyataan tersebut juga

membawa asumsi bahwa al-Qur’an lahir dari serangkaian realitas

politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Dengan kata lain, sebagai hasil

pengalaman individual yang diperoleh Nabi Muhammad dalam tempat

dan waktu tertentu (specific time-space context).69

Dalam mekanisme penafsiran, penekanan konsep pergeseran

makna ke-signifikansi yang justru menghasilkan interpretasi yang

irrelevan dan inkonsisten. Ini berakibat serius pada kemapanan struktur

semantik teks yang memuat unsur hukum, teologi, dan akhlak yang

harus ditundukkan pada perkembangan zaman. Konsep ini tidak lain

adalah mengadopsi dari teori distingsi makna-signifikansi Eric Donald

Hirsch, yang berarti signifikansi bisa selalu berubah-ubah. Jika

demikian, maka dapat dikontemplasikan untuk apa Tuhan menurunkan

al-Qur’an dengan lafadz dan makna sekaligus, bukankah hal itu sia-sia

belaka karena pemaknaan lafadz disusupi subjektifitas dan berbagai

dugaan (conjecture) penafsir. Juga secara tidak langsung menuduh

Tuhan menurunkan ayat lafadz yang tidak mengandung maknanya

sekaligus.70

Daftar Pustaka A’zami, Muhammad Musthafa. 2014. Sejarah Teks al-Qur’an: dari Wahyu

Sampai Kompilasi: Kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan

Perjanjian Baru, Jakarta: Gema Insani, 2014.

69 Ahmad Bazli bin Shafie, A Modernist Approach to The al-Qur’an: A Critical Study of

Hermeneutics of Fazlur Rahman, Tesis Doktoral ISTAC-IIUM, 2004, hal. 237. 70 Fahmi Salim, Kritik Studi al-Qur’an, hal. 315-320.

Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid | 93

Page 22: Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid

Jurnal STUDIA QURANIKA

Abdullah, Muhammad Amin, Islamic Studies di Perguruan Tinggi:

Pendekatan Integratif-Interkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2010.

Abu Zayd, Nashr Hamid and Esther R Nelson, Voice of an Exile:

Reflections on Islam, London: Preager, 2004.

Abu Zayd, Nashr Hamid, Al-Khitthâb wa al-Takwîl, Beirut: al-Markaz al-

Tsawafi al-‘Arabi, 2008.

Abu Zayd, Nashr Hamid, Al-Tafkîr fi Zaman al-Tafkîr: Dhiddu al-Jahl wa al-

Zaif wa al-Khurafât, Kairo: Maktabah Madbuli, cet. 2, t.th.

Abu Zayd, Nashr Hamid, Imam Syâfi’i wa Ta’sîs al-Aidulujiyyah al-

Wasathiyyah, Beirut: al-Markaz al-Arabi al-Tsaqafi, cet. 1, 2007.

Abu Zayd, Nashr Hamid, Mafhûm Nash: Dirâsah fi ’Ulûm al-Qur’ân,

Beirut: al-Markaz al-Tsaqafiy al-‘Arabiy, cet. 2, 1994.

Abu Zayd, Nashr Hamid, Naqd al-Khithâb al-Dîn, Beirut: al-Markaz al-

Tsaqafi al-‘Arabi, cet. 3, 2007.

Armas, Adnin., Tafsir al-Qur’an atau Hermeneutika al-Qur’an, Islamia,

tahun 1 no 1/Muharram 1425/Maret 2004.

Attas, Syed Muhammad Naquid, Prolegomena to The Metaphysic of Islam,

Kuala Lumpur: ISTAC, 2005.

Bayanil Huda, Lalu Nurul, Kritik Studi al-Qur’an Nashr Hamid Abu Zayd,

Gontor: CIOS Unida, 2010.

Bleicher, Josef, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method,

Philosophy, and Critique, London and New York: Routledge, 1980.

Dhaif, Syauqi, Mu’jam al-Wasith, Mesir: Maktabah Syurouq ad-

Dauliyyah, 2011.

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, Bantul: LkiS,

2001.

Faiz, Fahruddin, Hermeneutika al-Qur’an: Tema- Tema Kontroversial,

Sleman: eLSAQ, 2005.

Fanani, Ahmad Fuad, Islam Mazhab Kritis: Menggagas Keberagaman

Liberatif, Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2004.

George Ritzer, Douglas J. Goodman, Teori Marxis dan Berbagai Ragam

Teori Neo-Marxian, Terj. Nurhadi, Bantul: Kreasi Wacana, 2011.

Husaini, Adian, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi

Sekular Liberal, Jakarta: Gema Insani, 2005.

94 | Muhammad Syamsul Arifin

Page 23: Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid

Vol. 1, No. 1 Juli 2016

Imarah, Muhammad, Al-Tafsîr al-Marxisi li al-Islâm, Kairo: Dar al-Syuruq,

2002.

Imron, Ali, Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd, Dalam Hermeneutika al-

Qur’an dan Hadis, Yogyakarta: elsaQ, 2010.

John H. Hayes & Carl R. Holladay, Pedoman Penafsiran Al-Kitab, terj.

Pndt. Ioanes Rakhmat, Jakarta: Gunung Mulia, 2006.

Nur Ichwan, Mochammad, A New Horizon in Qur’anic Hermeneutics:

Nashr Hamid Abu Zayd’s Contribution to Critical Qur’anic

Scholarship, Netherland: Leiden University, 1999.

Nur Ichwan, Mochammad, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an: Teori

Hermeneutika Nashr Hamid Abu Zayd, Jakarta: Teraju, cet. 1, 2003.

Rachman, Budhy Munawwar, Argumen Islam Untuk Liberalisme: Islam

Progresif dan Perkembangan Diskursusnya, Jakarta: Grasindo, 2010.

Rahman, Daden Robi, Infiltrasi Hermeneutika Terhadap Penfsiran Ayat-

Ayat Ahkam: Kritik Atas Pemikiran Fazlur Rahman dan Muhammad

Syahrur, Gontor: CIOS Unida, 2010.

Rahman, Yusuf, The Hermeneutical Theory of Nashr Hamid Abu Zayd: An

Analytical Study of His Method of Interpreting the Qur’an, Montreal,

Canada: Mc Gill University 2001.

Shalahuddin, Henri, Kredibilitas Ilmu Tafsir dalam Menegakkan Konsep

Wahyu al-Qur’an, Islamia, Vol. VI No. 1 2012.

Shalahuddin, Henry, Al-Qur’an Dihujat, Jakarta: Penerbit al-Qalam, 2007.

Shaliba, Jamil, Al-Mu’jam al-Falsafi, Beirut: Dar al-Kutub Libanani, 1982.

Sumaryono, E., Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, Sleman: Penerbit

Kanisiu, 2015.

Suyuthi, Jalaluddin ‘Abdurrahman bin Abu Bakar, Al-Itqân fi ‘Ulûm al-

Qur’ân, Tashih. Muhammad Salim Hasyim, Beirut: Dar al-Kutub

al-‘Ilmiyyah, vol. 1, 2012.

Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir, Tafsîr al-Thabâry Jâmi’ al-Bayân

‘an Ta’wîl ay al-Qur’ân, Tahqiq. Abdullah bin Abdul Muhsin al-

Turki, Kairo: Markaz al-Buhuts wa al-Dirasat al-‘Arabiyyah al-

Islamiyyah, cet. 1, 2001.

Wan Daud, Wan Mohd Nor, Tafsir dan Ta’wil sebagai Metode Ilmiah,

Islamia Tahun I No. 1 Muharram 1425/ Maret 2004.

Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid

| 95

Page 24: Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid

Jurnal STUDIA QURANIKA

Webster, Merriam, Webster’s Seventh New Collegiate Dictionary Based

Webster’s Third International Dictionary, Massachusetts, USA:

Merriam Company Publisher,1961.

Zarkasyi, Hamid Fahmy, Misykat: Refleksi Tentang Westernisasi,

LIberalisasi, dan Islam. Jakarta: INSIST, 2012.

96 | Muhammad Syamsul Arifin