bab ii latar belakang kehidupan nashr hamid

Upload: agus-sugito

Post on 30-May-2018

234 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/14/2019 Bab II Latar Belakang Kehidupan Nashr Hamid

    1/23

    BAB II

    LATAR BELAKANG KEHIDUPAN NASHR HAMID ABU ZAYD

    A. Latar Belakang Internal

    A.1. Kelahiran, Keluarga, dan Sosial

    Nashr Hamid Abu Zayd dilahirkan pada 10 Juli 1943 di Qahafah, sebuah

    desa dipinggiran kota Tanta, ibukota propinsi al-Gharbiyah (Delta), Mesir. Bukan

    tidak beralasan kalau Abu Zayd memiliki nama lengkap Nashr Hamid Abu Zayd.

    Konon kata Nashr yang tercantum dalam namanya merupakan nubuwat orang

    tuanya yang saat itu menyaksikan kepopuleran dan ketokohan Jamal Abd Nashr,

    yang kemudian menjadi pendiri republik Mesir modern. Diharapkan kelak Abu

    Zayd tumbuh besar laiknya pemimpin Mesir modern tersebut. Sebagai anak desa,

    Abu Zayd tumbuh sebagaimana anak-anak Mesir lainnya. Sepanjang pagi sampai

    tengah hari waktunya ia habiskan di bangku sekolah. Persentuhannya dengan

    ilmu-ilmu keagamaan ia lakukan lepas tengah hari setelah pulang sekolah. Ia

    mengaji di sebuah kuttab, semacam sekolah madrasah, yang mengajarkan ilmu-

    ilmu keagamaan yang dilakoninya secara informal. Namun dari sanalah ia banyak

    menimba ilmu-ilmu keagamaan secara tradisional. Kegiatan ini ia jalani sejak

    masih berusia sangat hijau, yaitu dalam usia empat tahun.

    Abu Zayd memang beruntung lahir ditengah-tengah keluarga yang amat

    relijius. Ayahandanya tahu persis bahwa pelajaran agama mesti diberikan kepada

    anak-anaknya sejak usia dini. Sehingga pada usia delapan tahun saja, Abu Zayd

    sudah mampu menghapal keseluruhan kitab suci al-Quran. Kemampuan ini

    terbilang cukup luar biasa yang barangkali hanya bisa dilakukan oleh seorang

    1

  • 8/14/2019 Bab II Latar Belakang Kehidupan Nashr Hamid

    2/23

    anak yang memang memiliki kecerdasan diatas rata-rata. Mengingat Abu Zayd

    termasuk anak-anak yang diatas rata-rata itu, hal ini tidak menjadi sesuatu hal

    yang memberatkan baginya. Abu Zayd kecil bahkan punya julukan tersendiri

    dikalangan teman-teman sebayanya. Ia kerap dipanggil teman-teman sebayanya

    sebagai Syaikh, julukan yang biasa digunakan bagi para imam masjid yang

    memimpin shalat jamaah. Sudah menjadi konsensus umum di Mesir bahwa

    seorang imam shalat harus hapal al-Quran secara keseluruhan. Dan pada

    kenyataannya Abu Zayd memang sering memimpin shalat di lingkungan kuttab

    tempatnya belajar mengaji.

    Selain naluri keilmuan ditanamkan secara masif sejak dini oleh

    ayahandanya, dunia aktivisme juga ditanamkan mulai fase ini. Ayahanda Abu

    Zayd memang tidak pernah mengajarkan secara langsung semacam apakah

    aktivisme itu. Namun pengalaman ayahandanya sebagai aktivis Ikhwan al-

    Muslimun yang sempat pula ditahan oleh pemerintah menyusul eksekusi terhadap

    Sayyid Qutb, tokoh Ikhwan al-Muslimun, sedikit banyak membekas juga pada diri

    Abu Zayd kecil. Maka tak heran dalam usia yang masih sangat belia, sebelas

    tahun, Abu Zayd masuk sebagai anggota Ikhwan al-Muslimun. Bagi anak

    seusianya, memasuki organisasi seperti Ikhwan al-Muslimun yang diperuntukkan

    bagi orang dewasa, memang tidak diperbolehkan. Namun, Abu Zayd kecil

    bersikeras dan meminta kepada pimpinan cabang setempat untuk didaftarkan juga

    sebagai anggota organisasi tersebut, sehingga tahun 1954 ia resmi menjadi

    anggota. Karena namanya tercantum dalam keanggotaan itulah, Abu Zayd kecil

    pernah menginap di hotel prodeo sehari semalam lamanya. Selain aktivitas-

    2

  • 8/14/2019 Bab II Latar Belakang Kehidupan Nashr Hamid

    3/23

    aktivitasnya kerap diawasi penguasa, Ikhwan al-Muslimun sendiri saat itu tengah

    menapaki popularitas sepeninggal Hasan al-Banna, sang pendiri. Organisasi ini

    bukanlah organisasi politik, yang lebih tepat dikatakan sebagai organisasi

    kemasyarakatan. Aktivitasnya tidak terbatas pada hal-hal keagamaan,

    sebagaimana tujuan awal ia didirikan, tetapi juga merambah pada aktivitas-

    aktivitas sosial semisal pembinaan olahraga, pementasan-pementasan kebudayaan,

    yang seringkali melibatkan publik secara luas. Bahkan partisipasi masyarakat

    disinyalir lebih banyak ditumpahkan pada aktivitas-aktivitas Ikhwan al-Muslimun

    ketimbang terhadap partai-partai politik yang ada, terhadap partai Al-Wafd yang

    masa itu kerap memenangkan pemilu misalnya. Popularitas Ikhwan al-Muslimun

    dapat digambarkan dari terdapatnya cabang-cabang Ikhwan al-Muslimun yang

    tersebar hampir di pelosok desa-desa di Mesir. Dan bagi Abu Zayd,

    ketertarikannya terhadap Ikhwan al-Muslimun bukan hanya karena popularitas

    organisasi ini saja, tetapi lebih karena sosok Sayyid Qutb yang mampu

    memesonanya lewat buku Al-Islam wa Al-Adalah Al-Ijtimaiyah (Islam dan

    keadilan sosial), yang banyak mengupas tentang keadilan manusiawi dalam nilai-

    nilai Islam. Dekade 1940-an merupakan dekade yang boleh dibilang cukup kelam

    dalam perjalanan sejarah dunia, pada ada dekade inilah pecah PD II. Sebagaimana

    negara-negara dunia ketiga lainnya, Mesir tak luput dari pergolakan kebangkitan

    nasionalisme sebagai akibat dari imprealisme dan kolonialisme. Di Mesir sendiri

    angin perubahan terjadi pasca PD II usai. Pada tahun 1952, Mesir mengalami

    krisis kepemimpinan. Konsep negara kebangsaan Mesir saat itu sama seperti

    bangsa-bangsa Arab lain di kawasan Timur-Tengah, yang berbentuk monarki.

    3

  • 8/14/2019 Bab II Latar Belakang Kehidupan Nashr Hamid

    4/23

    Nasionalisme yang makin subur dan kondisi dalam negeri yang tidak cepat

    berubah disebabkan lemahnya bentuk pemerintahan sistem ini melahirkan apa

    yang dikenal dengan Revolusi Juli yang terjadi pada 26 Juli 1952. akhirnya,

    bentuk kerajaan diganti menjadi bentuk republik. Peralihan kekuasaan

    berlangsung dari tangan raja Faruq terguling kepada Jamal Abd Nashr, tokoh

    penuh kharismatik. Yang terkemudian melahirkan demam naserrisme di Mesir.

    Beberapa rangkaian peristiwa sejarah ini, selain lingkungan keluarga, banyak

    mempengaruhi kepribadian Abu Zayd yang kemudian tumbuh menjadi sosok

    yang kritis, berani, penuh tantangan dan bertanggung jawab.

    A.2. Pendidikan dan Aktivitas Mengajar

    Pada tahun 1957, menginjak usia empat belas tahun, Abu Zayd kehilangan

    ayahanda tercintanya yang berpulang keharibaan-Nya. Beberapa bulan

    sebelumnya ia telah menyelesaikan sekolah di Madrasah Ibtidaiyah Negeri yang

    ditempuhnya di Tanta. Sesuai keinginan ayahnya sebelum meninggal, ia

    disarankan untuk melanjutkan sekolah kejuruan teknik, agar mudah mendapatkan

    pekerjaan. Padahal Abu Zayd sebelumnya sudah berencana untuk menempuh

    sekolah menegah umum, dikarenakan ia berharap besar dapat masuk perguruan

    tinggi. Tetapi tentu saja, keinginan ayahnya tidak bias ia abaikan, apalagi

    sepeninggalnya, dirinyalah yang menjadi tulang punggung keluarga. Tiga tahun

    berselang, gelar diploma teknik berhasil diraihnya. Dan pada tahun 1961, ia sudah

    dapat bekerja sebagai teknisi elektronik pada Organisasi Komunikasi Nasional

    Dinas Perhubungan di Kairo. Dalam kesibukannya bekerja, Abu Zayd masih saja

    menyempatkan diri untuk menulis sealur dengan minatnya terhadap kritik sastra.

    4

  • 8/14/2019 Bab II Latar Belakang Kehidupan Nashr Hamid

    5/23

    Dalam publikasi awalnya di jurnal Al-Adab, jurnal yang dipimpin oleh Amin Al-

    Khuli, Abu Zayd banyak mengapresiasi hal-hal yang berkenaan dengan dunia

    sastra, lahirlah dua artikelnya di jurnal ini yang dipublikasikan pada sekitar tahun

    1964. Artikel pertama berjudulHawl Adab Al-Ummal wa Al-Fallahin, mengenai

    sastra buruh dan petani, dan yang kedua berjudul Azmah Al-Aghniyyah Al-

    Mishriyyah, yang mengelaborasi seputar persoalan krisis lagu Mesir. Kegiatannya

    ini, sesungguhnya merefleksikan batinnya yang memang masih memendam

    impian untuk dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Sehingga ia

    memutuskan untuk mengikuti ujian persamaan sekolah menegah umum, akhirnya

    ia berhasil dan lulus.

    Pada tahun 1968, sambil bekerja sebagai teknisi, Abu Zayd melanjutkan

    kuliah mengambil jurusan Bahasa Arab pada Fakultas Adab di Universitas Kairo.

    Karena ia bekerja di siang hari, tidak ada pilihan lain baginya untuk kuliah di

    malam hari. Genap empat tahun studi berhasil diselesaikannya dengan meraih

    predikat cumlaude, sehingga ia langsung diangkat sebagai dosen tidak tetap di

    almamaternya ini. Pada tahun 1972 itu juga, ia berhenti dari pekerjaannya sebagai

    teknisi di Dinas Perhubungan. Bak ikan kembali ke airnya, ia mengakui daya

    analisis dan kritisnya makin tumbuh subur, hal ini sudah bermula sejak ia studi

    pertama kali di perguruan tinggi. Berangsur-angsur wataknya sebagai seorang

    teknisi bermetamorfosis menjadi seorang akademisi tulen. Kendati lepas sekolah

    Ibtidaiyah dahulu Abu Zayd langsung menempuh kejuruan dan selanjutnya

    bekerja (tidak langsung menempuh sekolah menengah umum dan kuliah), ia

    mengakui justru dari dua pengalamannya itulah ia banyak kesempatan

    5

  • 8/14/2019 Bab II Latar Belakang Kehidupan Nashr Hamid

    6/23

    berpetualang, sehingga ketika di bangku kuliah cukup banyak membantunya dan

    menurutnya cukup berperan dalam masa-masa dikemudian hari.

    Sebagai asisten dosen, Abu Zayd tak luput dari kebijakan baru yang

    ditetapkan pimpinan jurusan di fakultasnya. Yaitu ketentuan untuk mengambil

    studi Islam bagi mereka yang akan menempuh studi Master maupun Doktor. Ia

    pun banting setir, dari mengambil studi linguistik dan kritik sastra murni menjadi

    studi Islam, dan pilihannya jatuh pada konsentrasi studi al-Quran. Sebelumnya, ia

    sempat ragu apakah tetap mengambil kajian ini atau tidak. Kekhwatirannya amat

    berasalasan dengan melihat latar belakangnya dalam mengambil studi ini. Minat

    besarnya terhadap kritik sastra dan linguistik tidak dapat dilepaskannya begitu

    saja. Masa remajanya memang banyak diisi untuk membaca karya-karya sastra,

    khususnya karya sastra Perancis yang banyak ia jumpai dari hasil terjemahan

    Mustafa Luthfi Al-Manfaluti, dan penulis lainnya yang semuanya merupakan

    penggiat kajian-kajian sastra. Menurutnya dengan sastra manusia dapat membuka

    pikiran hingga tercerahkan, hal mana terjadi pada dirinya sejak ia bersentuhan

    dengan karya-karya sastra sejak usia remaja. Sebab itu, dalam mengambil studi

    Islam ia menghendaki untuk mendekatinya lewat kajian sastra maupun linguistik

    yang berangkat dari analisis wacana. Namun pengalaman Muhammad Ahmad

    Khalafallah yang juga menggunakan pendekatan kritik sastra (literer) atas narasi

    al-Quran untuk keperluan disertasinya, yang akhirnya mengalami problem serius,

    kerap menghantuinya. Pengalaman seperti Muhammad Ahmad Khalafallah tentu

    saja tidak ia kehendaki, tetapi minatnya yang begitu besar juga tak kuasa untuk ia

    tepis. Akhirnya ia memasang diri untuk terus maju melakukan studi al-Quran

    6

  • 8/14/2019 Bab II Latar Belakang Kehidupan Nashr Hamid

    7/23

    dengan mengkhususkan pada problem interpretasi dan hermeneutika.

    Sebelumnya, ia mempertimbangkan resiko apapun yang akan diterimanya

    dikemudian hari.

    Dengan bermodalkan beasiswa dari Ford Foundation, Abu Zayd menempuh

    studi di American University dari 1975-1977. Selang dua tahun gelar MA berhasil

    diraihnya dengan predikat cumlaude, setelah tesisnya yang berjudul Al-Ittijah

    Al-Aqli fi Al-Tafsir: Dirasah fi Qadhiyyat Al-Majaz fi Al-Quran inda Al-

    Mutazilah berhasil dipertahankannya. Dalam bukunya ini, Abu Zayd

    mengungkap paradigma metafor (majaz) yang menjadi landasan penafsiran

    Mutazilah. Dalam kerangka berpikir Mutazilah, hal ini dilakukan untuk

    mengatasi problem metodologis dalam memahami al-Quran. Sulit untuk

    mengatakan bahwa ada sebagian ayat al-Quran yang dapat dimengerti manusia

    (muhkam) sedang yang lainnya tidak (mutasyabih). Menarik garis dikotomis

    sedemikian akan memunculkan asumsi bahwa ada sebagian al-Quran yang tidak

    dapat memberi petunjuk bagi manusia, padahal tema besar yang diusung sebuah

    kitab suci adalah sebagai sebuah kitab petunjuk (hidayah). Untuk itu, menurut

    Abu Zayd, Mutazilah hendak mengatasi problem metodologis ini dengan

    mengatakan bahwa dalam memahami al-Quran rasionalitas harus menjadi acuan.

    Hal ini berimplikasi pada sebuahpostulatyang menyatakan bahwa tidak ada yang

    tidak bisa dimengerti dari al-Quran. Untuk menjembatani antara al-Quran dan

    penalaran rasional, diperlukan sebuah konsepsi yang menjadi perangkat secara

    paradigmatik untuk mencapai apa yang dinamakan kesaling-pengertian antara

    manusia dan Khaliq-nya. Menurut Abu Zayd, beberapa perangkat sumbangsih

    7

  • 8/14/2019 Bab II Latar Belakang Kehidupan Nashr Hamid

    8/23

    Mutazilah dalam masalah ini ialah diperkenalkannya beberapa konsepsi seperti

    tasybih (penyerupaan), tamtsil (perumpamaan), majaz (metafora), juga tawil

    (eksplanasi), yang dapat menjadi mediasi untuk memahami pesan-pesan Tuhan.

    Bahkan Abu Zaid menilai, apa yang dilakukan Mutazilah sudah merupakan

    modus hermeneutik. Masih dalam buku ini, Abu Zayd juga secara piawai

    memotret Mutazilah secara sedikit berbeda dengan opini publik mayoritas

    Muslim yang cenderung melihatnya sebagai momok yang menakutkan dengan

    predikat stigmatisasi amat suprarasional. Padahal bagi Abu Zayd, Mutazilah

    sama halnya dengan mazhab teologi dan pemikiran lainnya, dimana penggunaan

    rasio misalnya tidak melepaskan sepenuhnya dari sosio-kultural-politis dimana

    mereka meruang dan mewaktu, sehingga memunculkan pembacaan berbeda

    terhadap teks. Corak rasionalitas yang dikedepankan Mutazilah misalnya bukan

    hanya sebuah pemikiran keagamaan yang dibangun berdasarkan pertimbangan

    teoritis-epistemologis belaka, namun sangat mempertimbangkan kepentingan

    praksis-pragmatis kebijakan-kebijakan politik kekuasaan yang melindunginya saat

    itu.

    Kegiatan Abu Zayd tidak hanya terbatas pada mengajar dan kuliah. Ia juga

    aktif memberikan kursus bahasa Arab untuk para ekspatriat yang ada di Centre for

    Diplomats, juga di Kementerian Pendidikan. Ini berlangsung dari 1976 sampai

    1978. Pada 1978 pula, minat besarnya terhadap kajian sastra dan lingustik juga

    pergulatannya dengan dunia bahasa makin ekstensif dilakukannya setelah dirinya

    berhasil mendapatkan beasiswa dari Centre for Middle East Studies di Universitas

    Pennsylvania, Philadelphia, Amerika Serikat. Dalam kesempatan ini, ia tidak

    8

  • 8/14/2019 Bab II Latar Belakang Kehidupan Nashr Hamid

    9/23

    menyia-nyiakan waktu untuk lebih banyak lagi bersentuhan dengan kajian-kajian

    sosial dan humanitas, terlebih lagi metodologi ilmiah, yang dalam tradisi

    akademis universitas-universitas Barat memang sudah cukup mapan. Ia juga

    banyak menggali teori-teori yang berkenaan dengan cerita rakyat (folklore),

    sehingga ia makin mengakrabi disiplin hermenutika Barat beserta tokoh-

    tokohnya. Dalam publikasi awalnya mengenai hermenutika, ia menulis al-

    Hirminiyuthiqa wa Mudhilat Tafsir Al-Nash (Hermeneutika dan Problematika

    Penafsiran), yang untuk kali pertama ditulisnya dengan berbahasa Arab.

    Pergulatan Abu Zayd dengan berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial maupun

    hermeneutika boleh jadi merupakan pencerahan kedua yang dialaminya sebagai

    seorangscholar, yang kali pertama ia alami ketika mulai memasuki bangku kuliah

    di Universitas Kairo. Saat itu, ketika masa-masa awal kuliah, ia amat

    menggandrungi ide-ide mengenai sosialisme Islam. Agaknya, latar belakangnya

    sebagai aktivitas Ikhwan al-Muslimun turut andil didalamnya, selain tentu saja

    figur Sayyid Qutb sebagai lokomotif sosialisme Islam di Mesir ketika itu,

    meskipun ia sendiri sudah meninggalkan Ikhwan al-Muslimun pada 1964. Bukan

    merupakan rahasia lagi kalau sosialisme pada dekade ini tumbuh subur di banyak

    negara-negara dunia ketiga, termasuk Mesir.

    Untuk melengkapi karir akademiknya, Abu Zayd menempuh program

    doktoral. Tahun 1981, ia berhasil menggamit gelar PhD dengan predikat

    cumlaude, dalam disiplin studi Islam dan bahasa Arab. Ia mengetengahkan

    disertasi dengan konsern pada hermeneutika, yang masih seturut dengan karir

    akademik sebelumnya. Karyanya ini dan juga karya tulisnya untuk prasyarat

    9

  • 8/14/2019 Bab II Latar Belakang Kehidupan Nashr Hamid

    10/23

    tingkat Master sebelumnya, boleh dikatakan merupakan abstraksi pemikiran

    terhadap pengalamannya sendiri, ketika realitas tersibak dan membuka diri

    kepadanya.

    Setelah menggamit gelar Doktor, Abu Zayd dipromosikan sebagai asisten

    professor satu tahun kemudian. Pada tahun yang sama ia juga meraih penghargaan

    Abd Al-Aziz Al-Ahwani Prize for Humanities karena konsernya selama ini

    dalam bidang humanitas dan budaya Arab. Pada tahun-tahun berikutnya, antara

    1985-1989, Abu Zayd menjadi professor tamu di Osaka University of Foreign

    Studies Jepang. Selama di Jepang, ia banyak menghasilkan karya tulis berupa

    artikel dan sebuah buku berjudul Mafhum Al-Nash: Dirasah fi Ulum Al-Quran

    (Konsep Teks: Kajian atas Ilmu-Ilmu Al-Quran), yang merupakan pondasi

    bangunan idenya bagi penafsiran al-Quran yang objektif dan ilmiah. Pada tahun

    1992, Abu Zayd menikahi Dr. Ibtihal Ahmad Kamal Yunis, professor Bahasa

    Perancis dan Sastra Perbandingan Universitas Kairo. Pernikahan tersebut

    diselenggarakan pada bulan April, kira-kira kurang tiga bulan sebelum genap 50

    tahun usia Abu Zayd. Setelah satu bulan menikah, 9 Mei 1992, Abu Zayd

    mengajukan promosi untuk mendapatkan profesor penuh di Universitas Kairo.

    Untuk keperluan tersebut, ia menyerahkan bukunyaNaqd Al-Khitab Al-Dini, yang

    merupakan kumpulan artikel yang ia tulis semasa tinggal di Jepang, dan buku Al-

    Imam Al-Syafii, serta sebelas paper karya tulis lainnya kepada panitia penguji.

    Namun, panitia akhirnya menolak promosi tersebut, dan berbuntut panjang

    sehingga sempat memunculkan tragedi dan kasus besar yang dikenal dengan

    Kasus Abu Zayd. Barulah pada 1995, ia meraih professor penuh setelah

    10

  • 8/14/2019 Bab II Latar Belakang Kehidupan Nashr Hamid

    11/23

    promosinya dikabulkan oleh panitia pengukuhan yang sebenarnya panitia baru.

    Antara 1995-1998, ditengah-tengah penyelesaian kasusnya, Abu Zayd menjadi

    profesor tamu di Leiden University, Belanda.

    B. Latar Belakang Eksternal

    B.1. Kondisi Sosial dan Budaya

    Sosialisme memang tidak sendirian, di sisi lain masih terdapat kapitalisme

    yang coba juga ditularkan ke negara-negara dunia ketiga. Adalah Amerika dan

    Uni Soviet, dua negara adikuasa pada dekade ini, yang menciptakan era 1960-an

    menjadi era yang paling beku sekaligus juga mencekam di paruh kedua abad 20.

    Pasca Perang Dunia II, Amerika Serikat dan sekutu tampil sebagai pemenang

    perang. Eropa ketika itu masih hancur lebur, kecuali Uni Soviet yang menjelma

    sebagai raksasa beruang merah di bagian timur Eropa. Namun dua negara ini

    mempunyai ideologi yang bertolak belakang 180 derajat, Amerika Serikat

    mengusung kapitalisme dan sistem negara demokrasi sedang Uni Soviet

    mengkampanyekan sosialisme dan sistem negara totaliter dengan komunisme

    sebagai ideologi gerakannya. Keduanya, sama-sama mencari pengaruh, patron,

    simpatisan, dan representasi di banyak negara-negara dunia ketiga. Dunia pun

    terbelah dua, kedalam blok Baratyang dipimpin Amerika Serikat, dan Timur

    oleh Uni Soviet. Belakangan, kontestasi dan kompetisi kedua blok ini nyaris

    mencapai titik kulminasinya dengan ditandai begitu pesatnya produktivitas akan

    persenjataan pemusnah massal. Konon, cadangan persenjataan nuklir yang

    dipunyai Amerika Serikat dan Uni Soviet saat itu sudah dapat menghancurkan

    apapun yang bernyawa di muka bumi sebanyak enam kali lipat. Dunia pun makin

    11

  • 8/14/2019 Bab II Latar Belakang Kehidupan Nashr Hamid

    12/23

    mencekam. Bergemalah suara lain, suara-suara dunia ketiga, dari Konferensi

    Asia-Afrika (KAA) 1955 di Bandung. Lewat konferensi ini, disepakati sebuah

    aliansi negara-negara yang tidak memihak salah satu blok, tekad untuk

    mendayung diantara dua karang. Laiknya kapal Titanic, Gerakan Non-Blok

    (GNB) ibarat sampan yang belum mampu untuk berlayar jauh-jauh tapi

    dinakhodai kelewat yakin, hingga kurang memperhitungkan bahwa di samudera

    luas ada dua karang raksasa yang teramat besar dan kokoh. Perahu pun oleng

    belum lagi setengah perjalanan. Negara-negara dunia ketiga, termasuk negara-

    negara Arab, ternyata memang sulit untuk melepaskan diri dari keduanya. Secara

    umum pendulum keberpihakan lebih sering kepada kapitalisme, sedang sosialisme

    kadang-kadang menyalip sewaktu-waktu. Ide sosialisme yang pernah booming

    pada era 1960-an di negara dunia ketiga, khususnya banyak negara-negara

    berpenduduk Muslim, nampaknya lebih disebabkan oleh adanya beberapa elemen

    sosialisme yang memiliki pararelitas dengan beberapa doktrin agama Islam itu

    sendiri. Aspek lain tentunya sosialisme itu sendiri yang nampak memberi impian

    indah, terutama bagi kesejahteraan masyarakat secara lebih luas.

    Namun, secara makro ekonomi tidak dapat dipungkiri kenyataan dimana

    dunia ketiga memang amat tergantung kepada negara-negara kapitalis seperti

    Amerika Serikat. Ketergantungan itu misalkan saja pada sektor investasi hatta

    konsultasi asing. Hal ini diperparah dengan neraca perdagangan yang tidak

    seimbang. Negara-negara Arab hanya bisa mengekspor bahan mentah atau

    beberapa bahan pertanian, sedangkan import dari negara-negara Barat melimpah

    ruah berupa barang-barang manufaktur dimana barang konsumsi sebagian

    12

  • 8/14/2019 Bab II Latar Belakang Kehidupan Nashr Hamid

    13/23

    terbesarnya. Sehingga realitas politik pun seturut dengan si empunya kekuatan

    yang lebih besar. Meskipun beberapa negara Arab masih tetap konsisten dengan

    hasil deklarasi Bandung, sayangnya resonansinya kurang bergema dan

    berpengaruh sangat kecil. Semangat Bandung pun lama-kelamaan luntur. Kaum

    intelektual Arab sendiri juga mengkhawatirkan keadaan ini, sehingga bereaksi

    sebagaimana seharusnya. Kekhawatiran ini berkisar pada makin memudarnya

    identitas ke-Arab-an itu sendiri yang menikam benteng pertahanan terakhir

    kebudayaan Arab itu sendiri. Tikaman terparah bagi dunia Arab modern ialah

    kekalahan mereka atas Israel dalam perang Arab-Israel yang berlangsung selama

    enam hari pada 1967. Maka, sebuah upaya rekonstruksi ke-Islam Arab-an pun

    makin penting dan mendesak untuk digulirkan. Dan bagi Abu Zayd sendiri, fase-

    fase ini merupakan fase yang membuatnya amat bergairah tapi juga tantangan

    untuk berpikir keras. Sosialisme memang tengah digandrunginya, tapi sepertinya

    itu hanya sebuah puzzle yang belum lengkap dalam hidupnya sebagai calon

    pemikir yang bebas dan independen.

    C. Lingkup dan Distorisitas Pemikiran Nashr Hamid Abu Zayd

    Berbagai ideologi yang berseliweran di depan mata Abu Zayd, kepentingan

    politik, kondisi sosio-kultural, kerap kali representasinya muncul lewat bahasa-

    bahasa agama bahkan klaim justifikasi keagamaan. Agama ditundukkan untuk

    melayani ideologi-ideologi hegemonik, sehingga representasinya tentu saja sering

    berubah. Suatu kali Islam ditampilkan sebagai agama yang memuat nilai-nilai

    sosialisme atau nasionalisme, pada kali lain Islam ditempilkan sebagai agama

    perdamaian maupun pembangunan, tergantung ideologi mana yang sedang

    13

  • 8/14/2019 Bab II Latar Belakang Kehidupan Nashr Hamid

    14/23

    dominan saat itu. Asumsi dasar yang diyakininya ini ia jejakkan pada konteks

    khazanah klasik Islam, dalam hal ini Mutazilah dan wacana sufi Ibn Arabi.

    Menurutnya, penundukkan agama maupun teks-teks keagamaan atas nama

    kepentingan tertentu sudah berlangsung sejak dahulu, pada teologi rasionalis

    Mutazilah misalnya. Begitupun yang demikian, terjadi pula terhadap

    kecenderungan penafsiran Ibn Arabi yang lebih bernada pluralistik, inklusif,

    kosmopolit, dan sufistik. Kecenderungan demikian dipengaruhi dunia sekeliling

    Ibn Arabi yang hidup di Andalusia, dimana masyarakatnya begitu plural dan juga

    sudah cukup maju. Sehingga wacana sufi yang muncul kepermukaan ialah wacana

    yang merepresentasikan Islam yang oleh Ibn Arabi ditampilkan sebagai agama

    yang penuh cinta lagi sempurna, sebuah agama yang mencakup lintas iman

    (Kristianitas, judaismemisalnya). Visi religis-politis Ibn Arabi yang ingin

    menyatukan berbagai elemen dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai etnik,

    bahasa, dan budaya (pluralistik) kedalam satu payung masyarakat beradab

    agaknya menjadi horizon yang disadari atau tidak mempengaruhi penafsiran-

    penafsiran yang dilakukannya. Cakrawala dalam kacamata Ibn Arabi turut

    mempenetrasi penafsiran terhadap al-Quran. Namun, apa yang terjadi

    sesungguhnya ialah adanya interpenetrasi antara al-Quran, realitas dan Ibn Arabi

    sendiri.

    Abu Zayd sesungguhnya juga mempunyai kekhawatiran serius bila tafsir

    secara bebas diberikan kepada khalayak umum. Meskipun otoritas pemaknaan

    tertentu sudah diidentifikasi tidak terlepas dari ideologi yang mengikutinya, tidak

    lantas Abu Zayd gegabah untuk mengatakan bahwa tafsir secara merdeka

    14

  • 8/14/2019 Bab II Latar Belakang Kehidupan Nashr Hamid

    15/23

    diberikan pada setiap orang. Hal demikian akan membuahkan solipsisme tafsir

    dan cenderung serampangan. Karena itu diperlukan sebuah perangkat metodologis

    yang dapat mengatasi intensi semua orang dalam proyeksi penafsiran setiap kali

    mereka menafsir. Oleh karenanya, pada tahap selanjutnya Abu Zayd berusaha

    untuk merekonstruksi apa hakikatnya makna teks itu sesungguhnya. Ikhtiarnya itu

    membuahkan buku Mafhum Al-Nash: Dirasah fi 'Ulum Al-Qur'an (1990).

    Bukunya ini merupakan tanggapan intelektual terhadap penafsiran pragmatis dan

    ideologis, yang masih banyak juga terdapat dalam masa kontekstual Mesir

    kontemporer. Dalam buku ini Abu Zayd mencoba menempatkan al-Quran

    laiknya teks-teks lain, sehingga ia mendapati alasan bagaimana teks mula-mula

    terbentuk, mekanisme apa yang berlaku dalam teks tersebut, dan seterusnya

    bagaimanakah teks tersebut memfungsikan dirinya ditengah-tengah pembacanya

    (ummah). Sebagaimana teks lainnya, ternyata al-Quran sekalipun menurut Abu

    Zayd tidak terlepas dari world view yang melingkupinya, hingga ia berani

    mengatakan bahwa al-Quran sesungguhnya merupakan produk budaya pula.

    Tetapi tesis ini tidak lantas menggugurkan keyakinan Abu Zayd akan keilahian al-

    Quran, atau menyimpulkan bahwa al-Quran bukanlah wahyu Tuhan. Bidikan

    utama Abu Zayd makin kelihatan, sebagaimana termuat dalam bukunyaNaqd al-

    Khitab Al-Diny (1994), yang merupakan kumpulan artikel yang ia tulis semasa

    tinggal di Jepang. Di buku ini Abu Zayd mengkritik kalangan ulama yang

    menurutnya tidak bisa melepaskan ideologi yang dianutnya ketika menafsirkan al-

    Quran. Di buku ini Abu Zayd melakukan semacam kritik ideologi sehingga

    mampu mengungkap bagaimana proses kemunculan sebuah teks.

    15

  • 8/14/2019 Bab II Latar Belakang Kehidupan Nashr Hamid

    16/23

    Dalam kajian al-Quran, lebih jauh Abu Zayd mengkritik akan

    kecenderungan kalangan ulama yang tidak memperhitungkan metode ilmiah

    dalam mewacanakan diskursus keagamaan, terutama dalam disiplin ilmu yang

    berkaitan langsung dengan al-Quran seperti ulum al-tafsir. Disiplin ulum al-

    tafsir menurutnya tidak berkembang, yang salah satunya diakibatkan penyakit

    akut yang masih mengungkung kalangan ulama kita. Disiplin ulum al-tafsir yang

    dianut selama ini secara metodologis dinilainya menganut dialektika menurun.

    Sehingga segala sesuatunya diturunkan secara deduktif dari al-Quran. Padahal

    dengan cara demikian, sama saja dengan membebani al-Quran dengan apa yang

    tidak mungkin dijamahnya, merespon perubahan yang senantiasa terjadi misalnya.

    Al-Quran, sebagaimana dikatakan Abu Zayd, merupakan sebuah teks yang

    disebutnya sebagai textus receptus, yaitu sebuah teks yang secara objektif hadir

    ditengah-tengah manusia (kita). Ia hendak mengatakan bahwa apapun yang

    namanya teks termasuk al-Quran sekalipun merupakan produk kultural. Kalau

    tidak, bagaimana mungkin al-Quran menggunakan bahasa Arab sebagai medium

    komunikatifnya? Oleh sebab itu mengkaji al-Quran dengan cara mengintrodusir

    kembali perdebatan lama yang berputar pada pertanyaan seperti, apakah al-Quran

    itu makhluk atau bukan, mesti disudahidengan tidak mau mengatakan harus

    dibuang jauh-jauh. Diskusi model ini terbukti tidak menghasilkan hal yang bisa

    dikatakan mampu memberdayakan ummah. Biasanya diskusi macam ini,

    sebagaimana pernah dimasifkan oleh teologi Asyariyah akan menggiring

    perdebatan ke arah yang berbau mitologis, tidak ilmiah. Apalagi diskusi seperti ini

    memang cenderung elitis, biasanya hanya boleh dilakukan oleh seseorang yang

    16

  • 8/14/2019 Bab II Latar Belakang Kehidupan Nashr Hamid

    17/23

    memang dianggap mempunyai otoritas untuk itu. Meskipun sebenarnya tidak jelas

    juga otoritas yang berdasarkan ukuran siapa, ummah kah? Tuhan kah? atau siapa?

    Kenyataan bahwa tidak jarang diskusi semacam ini akan membawa kepada

    sebuah kejahatan, juga mesti menjadi bahan perhatian lainnya. Apa yang terjadi

    pada diri Imam Ahmad bin Hanbalyang dipenjara dan didera karena

    mempertahankan akan ketak-tercipta-an al-Quran di hadapan penguasa al-

    Mamunbisa dimasukan dalam terminologi ini.

    Untuk itu, Abu Zayd mewanti-wanti perlunya pengkajian secara ilmiah

    terhadap wacana keagamaan. Mengenai kajian terhadap al-Quran, ia menawarkan

    metode yang bertolak belakang dengan metodologi konvensional yang selama ini

    menjadi pakem dalam tradisi, yaitu mengkaji al-Quran dengan cara sebaliknya,

    menerapkan dialektika menaik. Dalam hal ini pembacaan terhadap al-Quran

    tidak lagi sedari awal deduktif, tetapi mencermati realitas terlebih dahulu dalam

    kapasitas empirisnya, barulah ditempatkan pada tahap yang lebih tinggi dengan

    mencoba mencari pokok utama atau maksud syariah (maqashid al-syariat)

    sebuah ayat. Pada tahap ini, bukan realitas yang meminta konfirmasi al-Quran

    mengenai justifikasinya, tetapi sebaliknya.

    Pendekatan yang digunakan Abu Zayd sesungguhnya bukanlah pendekatan

    yang benar-benar baru. Pendekatan yang lebih akrab dikenal dengan pendekatan

    sastra ini cukup mengakar dalam tradisi modern kajian al-Quran di Mesir, Tanah

    Air Abu Zayd sendiri. Setidaknya di Mesir, semuanya berawal sejak Amin al-

    Khulli dan beberapa nama yang mengekor dibelakangnya, seperti Khalafallah,

    17

  • 8/14/2019 Bab II Latar Belakang Kehidupan Nashr Hamid

    18/23

    Syukri Ayyad, dan Bint Syathi, yang mencoba menerapkan metode sastra dalam

    mengkaji al-Quran. Bukan hanya itu, Abu Zayd juga mewarisi tradisi yang lebih

    kaya. Selain mewarisi tradisi sastra dalam kajian al-Quran, ia juga mewarisi

    tradisi hermeneutika modern yang berkembang lebih dahulu di Barat. Hanya saja

    disiplin hermeneutika ini agak gegabah kalau disepadankan dengan kajian tafsir

    al-Quran yang kita kenal dalam tradisi Islam. Hermeneutika yang dikenalkan

    oleh Barat agaknya lebih mirip dengan kajian ulum al-tafsir. Sedangkan

    kesamaan lain barangkali karena pada awalnya keduanya sama-sama

    dimaksudkan untuk mengkaji orisinalitas dan otentisitas kitab suci, dalam hal ini

    al-Quran di Islam dan Bibel di Kristen.

    Akan tetapi perlu ditegaskan disini. Meskipun Abu Zayd mengadopsi

    kerangka berpikir ilmiah yang diwarisinya dari disiplin keilmuan di Barat, tidak

    semua yang terdapat di Barat ia telan bulat-bulat. Ia tahu betul antara Islam dan

    Barat membentang diferensiasi yang cukuip serius, sehingga sekalipun tetap

    mengadopsi disiplin Barat bukan berarti tanpa proses penyeleksian, pun jika hal

    tersebut sangat bagus. Jalan ini pada dasarnya absah saja, selama tidak terjadi

    pada tahap justifikasi. Namun dari beberapa studi yang dilakukannya jelas benar

    bahwa Abu Zayd memang seorang rasionalis sejati. Yang oleh sebab itu nalar lah,

    dalam pengertian yang seluas-luasnya, yang selalu dikedepankannya. Lazimnya

    pemikir, Abu Zayd sebenarnya merupakan seorang anak jamannya, dalam hal ini

    modernitas.

    18

  • 8/14/2019 Bab II Latar Belakang Kehidupan Nashr Hamid

    19/23

    D. Karya-karya dan Terjemahan

    Nashr Hamid Abu Zayd tergolong seorang ilmuwan yang sangat produktif.

    Ia telah menulis banyak buku penting. Telah banyak buku dan karya-karyanya

    yang diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, baik oleh dunia Barat maupun

    dalam bahasa Indonesia.

    Dalam dua studi awal Abu Zayd, dalam bukuAl-Ittijah Al-'Aqli fi Al-Tafsir:

    Dirasah fi Qadiyyat Al-magaz fi Al-Qur'an 'inda Mu'tazilah (1982) dan Falsafat

    Al-Ta'wil: Dirasa fi Ta'wil Al-Qur'an inda Muhiyi Al-Din Ibn 'Arabi (1983),

    sebagaimana disinggung di atas, terdapat sebuah kesimpulan akhir yang

    mempostulatkan bahwa pemaknaan terhadap al-Quran dan sumber-sumber Islam

    lainnya tidak dapat dilepaskan dari horizon sosio-politik masyarakat dimana

    sebuah pemikiran keagamaan tumbuh. Tesisnya yang berjudul Al-Ittijah Al-Aqli

    fi Al-Tafsir: Dirasah fi Qadhiyyat Al-Majaz fi Al-Quran inda Al-Mutazilah

    berhasil dipertahankannya. Dalam bukunya ini, Abu Zayd mengungkap

    paradigma metafor (majaz) yang menjadi landasan penafsiran Mutazilah.

    Disertasinya berjudul Falsafat Al-Tawil: Dirasah fi Tawil Al-Quran inda

    Muhyi Al-Din ibnu Arabi (Filsafat Takwil: Studi Tentang Hermeneutika Al-

    Quran Menurut Muhyi Al-Din ibn Arabi), yang kemudian diterbitkan pada dua

    tahun berikutnya. Karyanya ini dan juga karya tulisnya untuk prasyarat tingkat

    Master sebelumnya, boleh dikatakan merupakan abstraksi pemikiran terhadap

    pengalamannya sendiri, ketika realitas tersibak dan membuka diri kepadanya.

    Penjabaran dari karya-karya Beliau adalah sebagai berikut :

    19

  • 8/14/2019 Bab II Latar Belakang Kehidupan Nashr Hamid

    20/23

    A.1. Buku

    a.) Al-Ittijah al-Aqli Fi Tafsir:

    Dirasah Fi Qad}iyyah al-Majaz Fi al-Quran Inda al-

    Mutazilah. Beirut: Dar al-Tanwir li al-Tabaah wa al-

    Nasyr, 1983 (edisi ke-2).

    b.) Falsafat al-Tawil: Dirasah Fi

    Tawil al-Quran Inda Muhy al-Din Ibn Arabi. Beirut: al-

    Markaz al-Saqafi al-Arabi, 1998 (edisi ke-4).

    c.) Mafhum al-Nash: Dirasah Fi

    Ulum al-Quran. Kairo: Al-Hayah al-Mishriyyah

    al-Ammah li al-Kitab, 1993.

    d.) Isykaliyyat al-Qiraah wa

    Aliyyat al-Tawil. Beirut: Al-Markaz al-Saqafi al-Arabi.

    1994 (edisi ke-3).

    e.) Al-Imam al-Syafii wa Tasis

    al-Idiyulujiya al-Wasatiyah. Kairo: Sina li al-Nasyr, 1992.

    f.) Naqd al-Khitab al-Dini. Kairo:

    Sina li al-Nasyr, 1994 (edisi ke-2), diterjemahkan dalam

    bahasa Jerman oleh Cherifa Magdi, Islam and Politik:

    Kritik des Religiosen Diskursus. Frankfurt: Dipa, 1996.

    g.) Al-Marah Fi al-Khitab al-

    Azmah. Kairo: Dar Nusus li al-Nasyr, 1995.

    20

  • 8/14/2019 Bab II Latar Belakang Kehidupan Nashr Hamid

    21/23

    h.) Al-Takfir Fi Zaman al-Takfir.

    Kairo: Maktabah Madbuli. 1995.

    i.) Al-Nass, al-Sultah, al-

    Haqiqah. Beirut: Al-Markaz al-Saqafi al-Arabi, 1995.

    j.) Al-Qawl al-Mufid Fi Qissat

    Abu Zayd. Kairo: Maktabah Madbuli, 1995.

    k.) Al-Khilafah wa Sultah al-

    Ummah. Kairo: 1995 (Sebagai editor).

    l.) Vernieuwing in het

    Islamitisch Denken. Diedit dan diterjemahkan oleh Fred

    Leemhuis. Amsterdam: BULAAQ, 996.

    m.) Dawair al-Khawf: Qiraah fi

    Khitab al-Marah. Beirut: Al-Markaz al-Saqafial-Arabi.

    1999.

    A.2. Artikel

    a.) Azmat al-Agniyyah al-Misriyyah. Majallat al-Adab. No.

    7, th. 9 Desember 1996, hlm. 406-408.

    b.) The Case of Abu Zayd. Index on Censorship 4 (1996).

    c.) Al-Ghazalis Theory of Interpretation, Journal of Osaka

    University of Foreign Studies, no. 72 (1986).

    d.)Hawla Adab al-Ummal wa al-Fallahin, Majallat al-

    Adab, no. 5, th. 9 Oktober 1964. Hlm. 310-11.

    21

  • 8/14/2019 Bab II Latar Belakang Kehidupan Nashr Hamid

    22/23

    e.)Isykaliyyah Tawil al-Quran Qadiman wa Hadisan,

    Journal of Islamic Research 9, no. 1-2-3-4, 1996, hlm. 1-

    23.

    f.) Islamic Cosmology and Quranic Exegesis, dalam

    Dieter Zeller (ed). Religion im Wanted der Kosmologien.

    Frankfurt (etc): Peter Lang, 1999. Hlm 217-30.

    g.)Maqasid al-Kulliyah li al-Syariah: Qiraah Jadidah,

    Al-Arabi 426 (Mei 1994), hlm. 112-116.

    h.) The Modernization of Islam or the Islamization of

    Modernity, dalam Roel Meijen (ed) Cosmopolitanism,

    Identity and Authenticity in the Middle East.

    Richmond.Curzon, 1999, hlm 71-86.

    i.) The Perfect Man: a Textual Analysis,Journal of Osaka

    University of Foreign Stidies, no. 77 (1998), hlm. 111-33.

    j.) Quranic Studies on the Eve of the 21 st Century, ISIM

    Newsletter, 1, 1998, hlm. 46.

    k.) Al-Tawil Fi Kitab Sibawayh, Alif, Journal of

    Comparative Poetics. No. 8 (1988).

    l.) The Textuality of the Koran, dalam Islam and Europe

    in Past and Present, leiden: NIAS, 1997, hlm. 43-52.

    m.)Al-Turas bayna al-Tawil wa al-Talwin: Qiraah fi Masyru

    al-Yasar al-Islam, Alif, Journal of Comparative Poetics,

    22

  • 8/14/2019 Bab II Latar Belakang Kehidupan Nashr Hamid

    23/23

    no. 10 (1990) dipublikasikan kembali dalam Naqd al-

    Khitab al-Din, hlm. 107-182.

    n.) Urtsuduksiyya al-Muammamah, Al-Naqid. No. 74

    (Agustus 1994), hlm. 26-32.

    o.) Verlichting in het Islamitisch denken, diterjemahkan dari bahasa

    Inggris oleh Yolande Jansen dan Frank Rebel, Krisis: Tijdschrift voor

    filosofis, 74 (Spring 1999), hlm. 25-35.