bab ii latar belakang kehidupan nashr hamid
TRANSCRIPT
-
8/14/2019 Bab II Latar Belakang Kehidupan Nashr Hamid
1/23
BAB II
LATAR BELAKANG KEHIDUPAN NASHR HAMID ABU ZAYD
A. Latar Belakang Internal
A.1. Kelahiran, Keluarga, dan Sosial
Nashr Hamid Abu Zayd dilahirkan pada 10 Juli 1943 di Qahafah, sebuah
desa dipinggiran kota Tanta, ibukota propinsi al-Gharbiyah (Delta), Mesir. Bukan
tidak beralasan kalau Abu Zayd memiliki nama lengkap Nashr Hamid Abu Zayd.
Konon kata Nashr yang tercantum dalam namanya merupakan nubuwat orang
tuanya yang saat itu menyaksikan kepopuleran dan ketokohan Jamal Abd Nashr,
yang kemudian menjadi pendiri republik Mesir modern. Diharapkan kelak Abu
Zayd tumbuh besar laiknya pemimpin Mesir modern tersebut. Sebagai anak desa,
Abu Zayd tumbuh sebagaimana anak-anak Mesir lainnya. Sepanjang pagi sampai
tengah hari waktunya ia habiskan di bangku sekolah. Persentuhannya dengan
ilmu-ilmu keagamaan ia lakukan lepas tengah hari setelah pulang sekolah. Ia
mengaji di sebuah kuttab, semacam sekolah madrasah, yang mengajarkan ilmu-
ilmu keagamaan yang dilakoninya secara informal. Namun dari sanalah ia banyak
menimba ilmu-ilmu keagamaan secara tradisional. Kegiatan ini ia jalani sejak
masih berusia sangat hijau, yaitu dalam usia empat tahun.
Abu Zayd memang beruntung lahir ditengah-tengah keluarga yang amat
relijius. Ayahandanya tahu persis bahwa pelajaran agama mesti diberikan kepada
anak-anaknya sejak usia dini. Sehingga pada usia delapan tahun saja, Abu Zayd
sudah mampu menghapal keseluruhan kitab suci al-Quran. Kemampuan ini
terbilang cukup luar biasa yang barangkali hanya bisa dilakukan oleh seorang
1
-
8/14/2019 Bab II Latar Belakang Kehidupan Nashr Hamid
2/23
anak yang memang memiliki kecerdasan diatas rata-rata. Mengingat Abu Zayd
termasuk anak-anak yang diatas rata-rata itu, hal ini tidak menjadi sesuatu hal
yang memberatkan baginya. Abu Zayd kecil bahkan punya julukan tersendiri
dikalangan teman-teman sebayanya. Ia kerap dipanggil teman-teman sebayanya
sebagai Syaikh, julukan yang biasa digunakan bagi para imam masjid yang
memimpin shalat jamaah. Sudah menjadi konsensus umum di Mesir bahwa
seorang imam shalat harus hapal al-Quran secara keseluruhan. Dan pada
kenyataannya Abu Zayd memang sering memimpin shalat di lingkungan kuttab
tempatnya belajar mengaji.
Selain naluri keilmuan ditanamkan secara masif sejak dini oleh
ayahandanya, dunia aktivisme juga ditanamkan mulai fase ini. Ayahanda Abu
Zayd memang tidak pernah mengajarkan secara langsung semacam apakah
aktivisme itu. Namun pengalaman ayahandanya sebagai aktivis Ikhwan al-
Muslimun yang sempat pula ditahan oleh pemerintah menyusul eksekusi terhadap
Sayyid Qutb, tokoh Ikhwan al-Muslimun, sedikit banyak membekas juga pada diri
Abu Zayd kecil. Maka tak heran dalam usia yang masih sangat belia, sebelas
tahun, Abu Zayd masuk sebagai anggota Ikhwan al-Muslimun. Bagi anak
seusianya, memasuki organisasi seperti Ikhwan al-Muslimun yang diperuntukkan
bagi orang dewasa, memang tidak diperbolehkan. Namun, Abu Zayd kecil
bersikeras dan meminta kepada pimpinan cabang setempat untuk didaftarkan juga
sebagai anggota organisasi tersebut, sehingga tahun 1954 ia resmi menjadi
anggota. Karena namanya tercantum dalam keanggotaan itulah, Abu Zayd kecil
pernah menginap di hotel prodeo sehari semalam lamanya. Selain aktivitas-
2
-
8/14/2019 Bab II Latar Belakang Kehidupan Nashr Hamid
3/23
aktivitasnya kerap diawasi penguasa, Ikhwan al-Muslimun sendiri saat itu tengah
menapaki popularitas sepeninggal Hasan al-Banna, sang pendiri. Organisasi ini
bukanlah organisasi politik, yang lebih tepat dikatakan sebagai organisasi
kemasyarakatan. Aktivitasnya tidak terbatas pada hal-hal keagamaan,
sebagaimana tujuan awal ia didirikan, tetapi juga merambah pada aktivitas-
aktivitas sosial semisal pembinaan olahraga, pementasan-pementasan kebudayaan,
yang seringkali melibatkan publik secara luas. Bahkan partisipasi masyarakat
disinyalir lebih banyak ditumpahkan pada aktivitas-aktivitas Ikhwan al-Muslimun
ketimbang terhadap partai-partai politik yang ada, terhadap partai Al-Wafd yang
masa itu kerap memenangkan pemilu misalnya. Popularitas Ikhwan al-Muslimun
dapat digambarkan dari terdapatnya cabang-cabang Ikhwan al-Muslimun yang
tersebar hampir di pelosok desa-desa di Mesir. Dan bagi Abu Zayd,
ketertarikannya terhadap Ikhwan al-Muslimun bukan hanya karena popularitas
organisasi ini saja, tetapi lebih karena sosok Sayyid Qutb yang mampu
memesonanya lewat buku Al-Islam wa Al-Adalah Al-Ijtimaiyah (Islam dan
keadilan sosial), yang banyak mengupas tentang keadilan manusiawi dalam nilai-
nilai Islam. Dekade 1940-an merupakan dekade yang boleh dibilang cukup kelam
dalam perjalanan sejarah dunia, pada ada dekade inilah pecah PD II. Sebagaimana
negara-negara dunia ketiga lainnya, Mesir tak luput dari pergolakan kebangkitan
nasionalisme sebagai akibat dari imprealisme dan kolonialisme. Di Mesir sendiri
angin perubahan terjadi pasca PD II usai. Pada tahun 1952, Mesir mengalami
krisis kepemimpinan. Konsep negara kebangsaan Mesir saat itu sama seperti
bangsa-bangsa Arab lain di kawasan Timur-Tengah, yang berbentuk monarki.
3
-
8/14/2019 Bab II Latar Belakang Kehidupan Nashr Hamid
4/23
Nasionalisme yang makin subur dan kondisi dalam negeri yang tidak cepat
berubah disebabkan lemahnya bentuk pemerintahan sistem ini melahirkan apa
yang dikenal dengan Revolusi Juli yang terjadi pada 26 Juli 1952. akhirnya,
bentuk kerajaan diganti menjadi bentuk republik. Peralihan kekuasaan
berlangsung dari tangan raja Faruq terguling kepada Jamal Abd Nashr, tokoh
penuh kharismatik. Yang terkemudian melahirkan demam naserrisme di Mesir.
Beberapa rangkaian peristiwa sejarah ini, selain lingkungan keluarga, banyak
mempengaruhi kepribadian Abu Zayd yang kemudian tumbuh menjadi sosok
yang kritis, berani, penuh tantangan dan bertanggung jawab.
A.2. Pendidikan dan Aktivitas Mengajar
Pada tahun 1957, menginjak usia empat belas tahun, Abu Zayd kehilangan
ayahanda tercintanya yang berpulang keharibaan-Nya. Beberapa bulan
sebelumnya ia telah menyelesaikan sekolah di Madrasah Ibtidaiyah Negeri yang
ditempuhnya di Tanta. Sesuai keinginan ayahnya sebelum meninggal, ia
disarankan untuk melanjutkan sekolah kejuruan teknik, agar mudah mendapatkan
pekerjaan. Padahal Abu Zayd sebelumnya sudah berencana untuk menempuh
sekolah menegah umum, dikarenakan ia berharap besar dapat masuk perguruan
tinggi. Tetapi tentu saja, keinginan ayahnya tidak bias ia abaikan, apalagi
sepeninggalnya, dirinyalah yang menjadi tulang punggung keluarga. Tiga tahun
berselang, gelar diploma teknik berhasil diraihnya. Dan pada tahun 1961, ia sudah
dapat bekerja sebagai teknisi elektronik pada Organisasi Komunikasi Nasional
Dinas Perhubungan di Kairo. Dalam kesibukannya bekerja, Abu Zayd masih saja
menyempatkan diri untuk menulis sealur dengan minatnya terhadap kritik sastra.
4
-
8/14/2019 Bab II Latar Belakang Kehidupan Nashr Hamid
5/23
Dalam publikasi awalnya di jurnal Al-Adab, jurnal yang dipimpin oleh Amin Al-
Khuli, Abu Zayd banyak mengapresiasi hal-hal yang berkenaan dengan dunia
sastra, lahirlah dua artikelnya di jurnal ini yang dipublikasikan pada sekitar tahun
1964. Artikel pertama berjudulHawl Adab Al-Ummal wa Al-Fallahin, mengenai
sastra buruh dan petani, dan yang kedua berjudul Azmah Al-Aghniyyah Al-
Mishriyyah, yang mengelaborasi seputar persoalan krisis lagu Mesir. Kegiatannya
ini, sesungguhnya merefleksikan batinnya yang memang masih memendam
impian untuk dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Sehingga ia
memutuskan untuk mengikuti ujian persamaan sekolah menegah umum, akhirnya
ia berhasil dan lulus.
Pada tahun 1968, sambil bekerja sebagai teknisi, Abu Zayd melanjutkan
kuliah mengambil jurusan Bahasa Arab pada Fakultas Adab di Universitas Kairo.
Karena ia bekerja di siang hari, tidak ada pilihan lain baginya untuk kuliah di
malam hari. Genap empat tahun studi berhasil diselesaikannya dengan meraih
predikat cumlaude, sehingga ia langsung diangkat sebagai dosen tidak tetap di
almamaternya ini. Pada tahun 1972 itu juga, ia berhenti dari pekerjaannya sebagai
teknisi di Dinas Perhubungan. Bak ikan kembali ke airnya, ia mengakui daya
analisis dan kritisnya makin tumbuh subur, hal ini sudah bermula sejak ia studi
pertama kali di perguruan tinggi. Berangsur-angsur wataknya sebagai seorang
teknisi bermetamorfosis menjadi seorang akademisi tulen. Kendati lepas sekolah
Ibtidaiyah dahulu Abu Zayd langsung menempuh kejuruan dan selanjutnya
bekerja (tidak langsung menempuh sekolah menengah umum dan kuliah), ia
mengakui justru dari dua pengalamannya itulah ia banyak kesempatan
5
-
8/14/2019 Bab II Latar Belakang Kehidupan Nashr Hamid
6/23
berpetualang, sehingga ketika di bangku kuliah cukup banyak membantunya dan
menurutnya cukup berperan dalam masa-masa dikemudian hari.
Sebagai asisten dosen, Abu Zayd tak luput dari kebijakan baru yang
ditetapkan pimpinan jurusan di fakultasnya. Yaitu ketentuan untuk mengambil
studi Islam bagi mereka yang akan menempuh studi Master maupun Doktor. Ia
pun banting setir, dari mengambil studi linguistik dan kritik sastra murni menjadi
studi Islam, dan pilihannya jatuh pada konsentrasi studi al-Quran. Sebelumnya, ia
sempat ragu apakah tetap mengambil kajian ini atau tidak. Kekhwatirannya amat
berasalasan dengan melihat latar belakangnya dalam mengambil studi ini. Minat
besarnya terhadap kritik sastra dan linguistik tidak dapat dilepaskannya begitu
saja. Masa remajanya memang banyak diisi untuk membaca karya-karya sastra,
khususnya karya sastra Perancis yang banyak ia jumpai dari hasil terjemahan
Mustafa Luthfi Al-Manfaluti, dan penulis lainnya yang semuanya merupakan
penggiat kajian-kajian sastra. Menurutnya dengan sastra manusia dapat membuka
pikiran hingga tercerahkan, hal mana terjadi pada dirinya sejak ia bersentuhan
dengan karya-karya sastra sejak usia remaja. Sebab itu, dalam mengambil studi
Islam ia menghendaki untuk mendekatinya lewat kajian sastra maupun linguistik
yang berangkat dari analisis wacana. Namun pengalaman Muhammad Ahmad
Khalafallah yang juga menggunakan pendekatan kritik sastra (literer) atas narasi
al-Quran untuk keperluan disertasinya, yang akhirnya mengalami problem serius,
kerap menghantuinya. Pengalaman seperti Muhammad Ahmad Khalafallah tentu
saja tidak ia kehendaki, tetapi minatnya yang begitu besar juga tak kuasa untuk ia
tepis. Akhirnya ia memasang diri untuk terus maju melakukan studi al-Quran
6
-
8/14/2019 Bab II Latar Belakang Kehidupan Nashr Hamid
7/23
dengan mengkhususkan pada problem interpretasi dan hermeneutika.
Sebelumnya, ia mempertimbangkan resiko apapun yang akan diterimanya
dikemudian hari.
Dengan bermodalkan beasiswa dari Ford Foundation, Abu Zayd menempuh
studi di American University dari 1975-1977. Selang dua tahun gelar MA berhasil
diraihnya dengan predikat cumlaude, setelah tesisnya yang berjudul Al-Ittijah
Al-Aqli fi Al-Tafsir: Dirasah fi Qadhiyyat Al-Majaz fi Al-Quran inda Al-
Mutazilah berhasil dipertahankannya. Dalam bukunya ini, Abu Zayd
mengungkap paradigma metafor (majaz) yang menjadi landasan penafsiran
Mutazilah. Dalam kerangka berpikir Mutazilah, hal ini dilakukan untuk
mengatasi problem metodologis dalam memahami al-Quran. Sulit untuk
mengatakan bahwa ada sebagian ayat al-Quran yang dapat dimengerti manusia
(muhkam) sedang yang lainnya tidak (mutasyabih). Menarik garis dikotomis
sedemikian akan memunculkan asumsi bahwa ada sebagian al-Quran yang tidak
dapat memberi petunjuk bagi manusia, padahal tema besar yang diusung sebuah
kitab suci adalah sebagai sebuah kitab petunjuk (hidayah). Untuk itu, menurut
Abu Zayd, Mutazilah hendak mengatasi problem metodologis ini dengan
mengatakan bahwa dalam memahami al-Quran rasionalitas harus menjadi acuan.
Hal ini berimplikasi pada sebuahpostulatyang menyatakan bahwa tidak ada yang
tidak bisa dimengerti dari al-Quran. Untuk menjembatani antara al-Quran dan
penalaran rasional, diperlukan sebuah konsepsi yang menjadi perangkat secara
paradigmatik untuk mencapai apa yang dinamakan kesaling-pengertian antara
manusia dan Khaliq-nya. Menurut Abu Zayd, beberapa perangkat sumbangsih
7
-
8/14/2019 Bab II Latar Belakang Kehidupan Nashr Hamid
8/23
Mutazilah dalam masalah ini ialah diperkenalkannya beberapa konsepsi seperti
tasybih (penyerupaan), tamtsil (perumpamaan), majaz (metafora), juga tawil
(eksplanasi), yang dapat menjadi mediasi untuk memahami pesan-pesan Tuhan.
Bahkan Abu Zaid menilai, apa yang dilakukan Mutazilah sudah merupakan
modus hermeneutik. Masih dalam buku ini, Abu Zayd juga secara piawai
memotret Mutazilah secara sedikit berbeda dengan opini publik mayoritas
Muslim yang cenderung melihatnya sebagai momok yang menakutkan dengan
predikat stigmatisasi amat suprarasional. Padahal bagi Abu Zayd, Mutazilah
sama halnya dengan mazhab teologi dan pemikiran lainnya, dimana penggunaan
rasio misalnya tidak melepaskan sepenuhnya dari sosio-kultural-politis dimana
mereka meruang dan mewaktu, sehingga memunculkan pembacaan berbeda
terhadap teks. Corak rasionalitas yang dikedepankan Mutazilah misalnya bukan
hanya sebuah pemikiran keagamaan yang dibangun berdasarkan pertimbangan
teoritis-epistemologis belaka, namun sangat mempertimbangkan kepentingan
praksis-pragmatis kebijakan-kebijakan politik kekuasaan yang melindunginya saat
itu.
Kegiatan Abu Zayd tidak hanya terbatas pada mengajar dan kuliah. Ia juga
aktif memberikan kursus bahasa Arab untuk para ekspatriat yang ada di Centre for
Diplomats, juga di Kementerian Pendidikan. Ini berlangsung dari 1976 sampai
1978. Pada 1978 pula, minat besarnya terhadap kajian sastra dan lingustik juga
pergulatannya dengan dunia bahasa makin ekstensif dilakukannya setelah dirinya
berhasil mendapatkan beasiswa dari Centre for Middle East Studies di Universitas
Pennsylvania, Philadelphia, Amerika Serikat. Dalam kesempatan ini, ia tidak
8
-
8/14/2019 Bab II Latar Belakang Kehidupan Nashr Hamid
9/23
menyia-nyiakan waktu untuk lebih banyak lagi bersentuhan dengan kajian-kajian
sosial dan humanitas, terlebih lagi metodologi ilmiah, yang dalam tradisi
akademis universitas-universitas Barat memang sudah cukup mapan. Ia juga
banyak menggali teori-teori yang berkenaan dengan cerita rakyat (folklore),
sehingga ia makin mengakrabi disiplin hermenutika Barat beserta tokoh-
tokohnya. Dalam publikasi awalnya mengenai hermenutika, ia menulis al-
Hirminiyuthiqa wa Mudhilat Tafsir Al-Nash (Hermeneutika dan Problematika
Penafsiran), yang untuk kali pertama ditulisnya dengan berbahasa Arab.
Pergulatan Abu Zayd dengan berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial maupun
hermeneutika boleh jadi merupakan pencerahan kedua yang dialaminya sebagai
seorangscholar, yang kali pertama ia alami ketika mulai memasuki bangku kuliah
di Universitas Kairo. Saat itu, ketika masa-masa awal kuliah, ia amat
menggandrungi ide-ide mengenai sosialisme Islam. Agaknya, latar belakangnya
sebagai aktivitas Ikhwan al-Muslimun turut andil didalamnya, selain tentu saja
figur Sayyid Qutb sebagai lokomotif sosialisme Islam di Mesir ketika itu,
meskipun ia sendiri sudah meninggalkan Ikhwan al-Muslimun pada 1964. Bukan
merupakan rahasia lagi kalau sosialisme pada dekade ini tumbuh subur di banyak
negara-negara dunia ketiga, termasuk Mesir.
Untuk melengkapi karir akademiknya, Abu Zayd menempuh program
doktoral. Tahun 1981, ia berhasil menggamit gelar PhD dengan predikat
cumlaude, dalam disiplin studi Islam dan bahasa Arab. Ia mengetengahkan
disertasi dengan konsern pada hermeneutika, yang masih seturut dengan karir
akademik sebelumnya. Karyanya ini dan juga karya tulisnya untuk prasyarat
9
-
8/14/2019 Bab II Latar Belakang Kehidupan Nashr Hamid
10/23
tingkat Master sebelumnya, boleh dikatakan merupakan abstraksi pemikiran
terhadap pengalamannya sendiri, ketika realitas tersibak dan membuka diri
kepadanya.
Setelah menggamit gelar Doktor, Abu Zayd dipromosikan sebagai asisten
professor satu tahun kemudian. Pada tahun yang sama ia juga meraih penghargaan
Abd Al-Aziz Al-Ahwani Prize for Humanities karena konsernya selama ini
dalam bidang humanitas dan budaya Arab. Pada tahun-tahun berikutnya, antara
1985-1989, Abu Zayd menjadi professor tamu di Osaka University of Foreign
Studies Jepang. Selama di Jepang, ia banyak menghasilkan karya tulis berupa
artikel dan sebuah buku berjudul Mafhum Al-Nash: Dirasah fi Ulum Al-Quran
(Konsep Teks: Kajian atas Ilmu-Ilmu Al-Quran), yang merupakan pondasi
bangunan idenya bagi penafsiran al-Quran yang objektif dan ilmiah. Pada tahun
1992, Abu Zayd menikahi Dr. Ibtihal Ahmad Kamal Yunis, professor Bahasa
Perancis dan Sastra Perbandingan Universitas Kairo. Pernikahan tersebut
diselenggarakan pada bulan April, kira-kira kurang tiga bulan sebelum genap 50
tahun usia Abu Zayd. Setelah satu bulan menikah, 9 Mei 1992, Abu Zayd
mengajukan promosi untuk mendapatkan profesor penuh di Universitas Kairo.
Untuk keperluan tersebut, ia menyerahkan bukunyaNaqd Al-Khitab Al-Dini, yang
merupakan kumpulan artikel yang ia tulis semasa tinggal di Jepang, dan buku Al-
Imam Al-Syafii, serta sebelas paper karya tulis lainnya kepada panitia penguji.
Namun, panitia akhirnya menolak promosi tersebut, dan berbuntut panjang
sehingga sempat memunculkan tragedi dan kasus besar yang dikenal dengan
Kasus Abu Zayd. Barulah pada 1995, ia meraih professor penuh setelah
10
-
8/14/2019 Bab II Latar Belakang Kehidupan Nashr Hamid
11/23
promosinya dikabulkan oleh panitia pengukuhan yang sebenarnya panitia baru.
Antara 1995-1998, ditengah-tengah penyelesaian kasusnya, Abu Zayd menjadi
profesor tamu di Leiden University, Belanda.
B. Latar Belakang Eksternal
B.1. Kondisi Sosial dan Budaya
Sosialisme memang tidak sendirian, di sisi lain masih terdapat kapitalisme
yang coba juga ditularkan ke negara-negara dunia ketiga. Adalah Amerika dan
Uni Soviet, dua negara adikuasa pada dekade ini, yang menciptakan era 1960-an
menjadi era yang paling beku sekaligus juga mencekam di paruh kedua abad 20.
Pasca Perang Dunia II, Amerika Serikat dan sekutu tampil sebagai pemenang
perang. Eropa ketika itu masih hancur lebur, kecuali Uni Soviet yang menjelma
sebagai raksasa beruang merah di bagian timur Eropa. Namun dua negara ini
mempunyai ideologi yang bertolak belakang 180 derajat, Amerika Serikat
mengusung kapitalisme dan sistem negara demokrasi sedang Uni Soviet
mengkampanyekan sosialisme dan sistem negara totaliter dengan komunisme
sebagai ideologi gerakannya. Keduanya, sama-sama mencari pengaruh, patron,
simpatisan, dan representasi di banyak negara-negara dunia ketiga. Dunia pun
terbelah dua, kedalam blok Baratyang dipimpin Amerika Serikat, dan Timur
oleh Uni Soviet. Belakangan, kontestasi dan kompetisi kedua blok ini nyaris
mencapai titik kulminasinya dengan ditandai begitu pesatnya produktivitas akan
persenjataan pemusnah massal. Konon, cadangan persenjataan nuklir yang
dipunyai Amerika Serikat dan Uni Soviet saat itu sudah dapat menghancurkan
apapun yang bernyawa di muka bumi sebanyak enam kali lipat. Dunia pun makin
11
-
8/14/2019 Bab II Latar Belakang Kehidupan Nashr Hamid
12/23
mencekam. Bergemalah suara lain, suara-suara dunia ketiga, dari Konferensi
Asia-Afrika (KAA) 1955 di Bandung. Lewat konferensi ini, disepakati sebuah
aliansi negara-negara yang tidak memihak salah satu blok, tekad untuk
mendayung diantara dua karang. Laiknya kapal Titanic, Gerakan Non-Blok
(GNB) ibarat sampan yang belum mampu untuk berlayar jauh-jauh tapi
dinakhodai kelewat yakin, hingga kurang memperhitungkan bahwa di samudera
luas ada dua karang raksasa yang teramat besar dan kokoh. Perahu pun oleng
belum lagi setengah perjalanan. Negara-negara dunia ketiga, termasuk negara-
negara Arab, ternyata memang sulit untuk melepaskan diri dari keduanya. Secara
umum pendulum keberpihakan lebih sering kepada kapitalisme, sedang sosialisme
kadang-kadang menyalip sewaktu-waktu. Ide sosialisme yang pernah booming
pada era 1960-an di negara dunia ketiga, khususnya banyak negara-negara
berpenduduk Muslim, nampaknya lebih disebabkan oleh adanya beberapa elemen
sosialisme yang memiliki pararelitas dengan beberapa doktrin agama Islam itu
sendiri. Aspek lain tentunya sosialisme itu sendiri yang nampak memberi impian
indah, terutama bagi kesejahteraan masyarakat secara lebih luas.
Namun, secara makro ekonomi tidak dapat dipungkiri kenyataan dimana
dunia ketiga memang amat tergantung kepada negara-negara kapitalis seperti
Amerika Serikat. Ketergantungan itu misalkan saja pada sektor investasi hatta
konsultasi asing. Hal ini diperparah dengan neraca perdagangan yang tidak
seimbang. Negara-negara Arab hanya bisa mengekspor bahan mentah atau
beberapa bahan pertanian, sedangkan import dari negara-negara Barat melimpah
ruah berupa barang-barang manufaktur dimana barang konsumsi sebagian
12
-
8/14/2019 Bab II Latar Belakang Kehidupan Nashr Hamid
13/23
terbesarnya. Sehingga realitas politik pun seturut dengan si empunya kekuatan
yang lebih besar. Meskipun beberapa negara Arab masih tetap konsisten dengan
hasil deklarasi Bandung, sayangnya resonansinya kurang bergema dan
berpengaruh sangat kecil. Semangat Bandung pun lama-kelamaan luntur. Kaum
intelektual Arab sendiri juga mengkhawatirkan keadaan ini, sehingga bereaksi
sebagaimana seharusnya. Kekhawatiran ini berkisar pada makin memudarnya
identitas ke-Arab-an itu sendiri yang menikam benteng pertahanan terakhir
kebudayaan Arab itu sendiri. Tikaman terparah bagi dunia Arab modern ialah
kekalahan mereka atas Israel dalam perang Arab-Israel yang berlangsung selama
enam hari pada 1967. Maka, sebuah upaya rekonstruksi ke-Islam Arab-an pun
makin penting dan mendesak untuk digulirkan. Dan bagi Abu Zayd sendiri, fase-
fase ini merupakan fase yang membuatnya amat bergairah tapi juga tantangan
untuk berpikir keras. Sosialisme memang tengah digandrunginya, tapi sepertinya
itu hanya sebuah puzzle yang belum lengkap dalam hidupnya sebagai calon
pemikir yang bebas dan independen.
C. Lingkup dan Distorisitas Pemikiran Nashr Hamid Abu Zayd
Berbagai ideologi yang berseliweran di depan mata Abu Zayd, kepentingan
politik, kondisi sosio-kultural, kerap kali representasinya muncul lewat bahasa-
bahasa agama bahkan klaim justifikasi keagamaan. Agama ditundukkan untuk
melayani ideologi-ideologi hegemonik, sehingga representasinya tentu saja sering
berubah. Suatu kali Islam ditampilkan sebagai agama yang memuat nilai-nilai
sosialisme atau nasionalisme, pada kali lain Islam ditempilkan sebagai agama
perdamaian maupun pembangunan, tergantung ideologi mana yang sedang
13
-
8/14/2019 Bab II Latar Belakang Kehidupan Nashr Hamid
14/23
dominan saat itu. Asumsi dasar yang diyakininya ini ia jejakkan pada konteks
khazanah klasik Islam, dalam hal ini Mutazilah dan wacana sufi Ibn Arabi.
Menurutnya, penundukkan agama maupun teks-teks keagamaan atas nama
kepentingan tertentu sudah berlangsung sejak dahulu, pada teologi rasionalis
Mutazilah misalnya. Begitupun yang demikian, terjadi pula terhadap
kecenderungan penafsiran Ibn Arabi yang lebih bernada pluralistik, inklusif,
kosmopolit, dan sufistik. Kecenderungan demikian dipengaruhi dunia sekeliling
Ibn Arabi yang hidup di Andalusia, dimana masyarakatnya begitu plural dan juga
sudah cukup maju. Sehingga wacana sufi yang muncul kepermukaan ialah wacana
yang merepresentasikan Islam yang oleh Ibn Arabi ditampilkan sebagai agama
yang penuh cinta lagi sempurna, sebuah agama yang mencakup lintas iman
(Kristianitas, judaismemisalnya). Visi religis-politis Ibn Arabi yang ingin
menyatukan berbagai elemen dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai etnik,
bahasa, dan budaya (pluralistik) kedalam satu payung masyarakat beradab
agaknya menjadi horizon yang disadari atau tidak mempengaruhi penafsiran-
penafsiran yang dilakukannya. Cakrawala dalam kacamata Ibn Arabi turut
mempenetrasi penafsiran terhadap al-Quran. Namun, apa yang terjadi
sesungguhnya ialah adanya interpenetrasi antara al-Quran, realitas dan Ibn Arabi
sendiri.
Abu Zayd sesungguhnya juga mempunyai kekhawatiran serius bila tafsir
secara bebas diberikan kepada khalayak umum. Meskipun otoritas pemaknaan
tertentu sudah diidentifikasi tidak terlepas dari ideologi yang mengikutinya, tidak
lantas Abu Zayd gegabah untuk mengatakan bahwa tafsir secara merdeka
14
-
8/14/2019 Bab II Latar Belakang Kehidupan Nashr Hamid
15/23
diberikan pada setiap orang. Hal demikian akan membuahkan solipsisme tafsir
dan cenderung serampangan. Karena itu diperlukan sebuah perangkat metodologis
yang dapat mengatasi intensi semua orang dalam proyeksi penafsiran setiap kali
mereka menafsir. Oleh karenanya, pada tahap selanjutnya Abu Zayd berusaha
untuk merekonstruksi apa hakikatnya makna teks itu sesungguhnya. Ikhtiarnya itu
membuahkan buku Mafhum Al-Nash: Dirasah fi 'Ulum Al-Qur'an (1990).
Bukunya ini merupakan tanggapan intelektual terhadap penafsiran pragmatis dan
ideologis, yang masih banyak juga terdapat dalam masa kontekstual Mesir
kontemporer. Dalam buku ini Abu Zayd mencoba menempatkan al-Quran
laiknya teks-teks lain, sehingga ia mendapati alasan bagaimana teks mula-mula
terbentuk, mekanisme apa yang berlaku dalam teks tersebut, dan seterusnya
bagaimanakah teks tersebut memfungsikan dirinya ditengah-tengah pembacanya
(ummah). Sebagaimana teks lainnya, ternyata al-Quran sekalipun menurut Abu
Zayd tidak terlepas dari world view yang melingkupinya, hingga ia berani
mengatakan bahwa al-Quran sesungguhnya merupakan produk budaya pula.
Tetapi tesis ini tidak lantas menggugurkan keyakinan Abu Zayd akan keilahian al-
Quran, atau menyimpulkan bahwa al-Quran bukanlah wahyu Tuhan. Bidikan
utama Abu Zayd makin kelihatan, sebagaimana termuat dalam bukunyaNaqd al-
Khitab Al-Diny (1994), yang merupakan kumpulan artikel yang ia tulis semasa
tinggal di Jepang. Di buku ini Abu Zayd mengkritik kalangan ulama yang
menurutnya tidak bisa melepaskan ideologi yang dianutnya ketika menafsirkan al-
Quran. Di buku ini Abu Zayd melakukan semacam kritik ideologi sehingga
mampu mengungkap bagaimana proses kemunculan sebuah teks.
15
-
8/14/2019 Bab II Latar Belakang Kehidupan Nashr Hamid
16/23
Dalam kajian al-Quran, lebih jauh Abu Zayd mengkritik akan
kecenderungan kalangan ulama yang tidak memperhitungkan metode ilmiah
dalam mewacanakan diskursus keagamaan, terutama dalam disiplin ilmu yang
berkaitan langsung dengan al-Quran seperti ulum al-tafsir. Disiplin ulum al-
tafsir menurutnya tidak berkembang, yang salah satunya diakibatkan penyakit
akut yang masih mengungkung kalangan ulama kita. Disiplin ulum al-tafsir yang
dianut selama ini secara metodologis dinilainya menganut dialektika menurun.
Sehingga segala sesuatunya diturunkan secara deduktif dari al-Quran. Padahal
dengan cara demikian, sama saja dengan membebani al-Quran dengan apa yang
tidak mungkin dijamahnya, merespon perubahan yang senantiasa terjadi misalnya.
Al-Quran, sebagaimana dikatakan Abu Zayd, merupakan sebuah teks yang
disebutnya sebagai textus receptus, yaitu sebuah teks yang secara objektif hadir
ditengah-tengah manusia (kita). Ia hendak mengatakan bahwa apapun yang
namanya teks termasuk al-Quran sekalipun merupakan produk kultural. Kalau
tidak, bagaimana mungkin al-Quran menggunakan bahasa Arab sebagai medium
komunikatifnya? Oleh sebab itu mengkaji al-Quran dengan cara mengintrodusir
kembali perdebatan lama yang berputar pada pertanyaan seperti, apakah al-Quran
itu makhluk atau bukan, mesti disudahidengan tidak mau mengatakan harus
dibuang jauh-jauh. Diskusi model ini terbukti tidak menghasilkan hal yang bisa
dikatakan mampu memberdayakan ummah. Biasanya diskusi macam ini,
sebagaimana pernah dimasifkan oleh teologi Asyariyah akan menggiring
perdebatan ke arah yang berbau mitologis, tidak ilmiah. Apalagi diskusi seperti ini
memang cenderung elitis, biasanya hanya boleh dilakukan oleh seseorang yang
16
-
8/14/2019 Bab II Latar Belakang Kehidupan Nashr Hamid
17/23
memang dianggap mempunyai otoritas untuk itu. Meskipun sebenarnya tidak jelas
juga otoritas yang berdasarkan ukuran siapa, ummah kah? Tuhan kah? atau siapa?
Kenyataan bahwa tidak jarang diskusi semacam ini akan membawa kepada
sebuah kejahatan, juga mesti menjadi bahan perhatian lainnya. Apa yang terjadi
pada diri Imam Ahmad bin Hanbalyang dipenjara dan didera karena
mempertahankan akan ketak-tercipta-an al-Quran di hadapan penguasa al-
Mamunbisa dimasukan dalam terminologi ini.
Untuk itu, Abu Zayd mewanti-wanti perlunya pengkajian secara ilmiah
terhadap wacana keagamaan. Mengenai kajian terhadap al-Quran, ia menawarkan
metode yang bertolak belakang dengan metodologi konvensional yang selama ini
menjadi pakem dalam tradisi, yaitu mengkaji al-Quran dengan cara sebaliknya,
menerapkan dialektika menaik. Dalam hal ini pembacaan terhadap al-Quran
tidak lagi sedari awal deduktif, tetapi mencermati realitas terlebih dahulu dalam
kapasitas empirisnya, barulah ditempatkan pada tahap yang lebih tinggi dengan
mencoba mencari pokok utama atau maksud syariah (maqashid al-syariat)
sebuah ayat. Pada tahap ini, bukan realitas yang meminta konfirmasi al-Quran
mengenai justifikasinya, tetapi sebaliknya.
Pendekatan yang digunakan Abu Zayd sesungguhnya bukanlah pendekatan
yang benar-benar baru. Pendekatan yang lebih akrab dikenal dengan pendekatan
sastra ini cukup mengakar dalam tradisi modern kajian al-Quran di Mesir, Tanah
Air Abu Zayd sendiri. Setidaknya di Mesir, semuanya berawal sejak Amin al-
Khulli dan beberapa nama yang mengekor dibelakangnya, seperti Khalafallah,
17
-
8/14/2019 Bab II Latar Belakang Kehidupan Nashr Hamid
18/23
Syukri Ayyad, dan Bint Syathi, yang mencoba menerapkan metode sastra dalam
mengkaji al-Quran. Bukan hanya itu, Abu Zayd juga mewarisi tradisi yang lebih
kaya. Selain mewarisi tradisi sastra dalam kajian al-Quran, ia juga mewarisi
tradisi hermeneutika modern yang berkembang lebih dahulu di Barat. Hanya saja
disiplin hermeneutika ini agak gegabah kalau disepadankan dengan kajian tafsir
al-Quran yang kita kenal dalam tradisi Islam. Hermeneutika yang dikenalkan
oleh Barat agaknya lebih mirip dengan kajian ulum al-tafsir. Sedangkan
kesamaan lain barangkali karena pada awalnya keduanya sama-sama
dimaksudkan untuk mengkaji orisinalitas dan otentisitas kitab suci, dalam hal ini
al-Quran di Islam dan Bibel di Kristen.
Akan tetapi perlu ditegaskan disini. Meskipun Abu Zayd mengadopsi
kerangka berpikir ilmiah yang diwarisinya dari disiplin keilmuan di Barat, tidak
semua yang terdapat di Barat ia telan bulat-bulat. Ia tahu betul antara Islam dan
Barat membentang diferensiasi yang cukuip serius, sehingga sekalipun tetap
mengadopsi disiplin Barat bukan berarti tanpa proses penyeleksian, pun jika hal
tersebut sangat bagus. Jalan ini pada dasarnya absah saja, selama tidak terjadi
pada tahap justifikasi. Namun dari beberapa studi yang dilakukannya jelas benar
bahwa Abu Zayd memang seorang rasionalis sejati. Yang oleh sebab itu nalar lah,
dalam pengertian yang seluas-luasnya, yang selalu dikedepankannya. Lazimnya
pemikir, Abu Zayd sebenarnya merupakan seorang anak jamannya, dalam hal ini
modernitas.
18
-
8/14/2019 Bab II Latar Belakang Kehidupan Nashr Hamid
19/23
D. Karya-karya dan Terjemahan
Nashr Hamid Abu Zayd tergolong seorang ilmuwan yang sangat produktif.
Ia telah menulis banyak buku penting. Telah banyak buku dan karya-karyanya
yang diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, baik oleh dunia Barat maupun
dalam bahasa Indonesia.
Dalam dua studi awal Abu Zayd, dalam bukuAl-Ittijah Al-'Aqli fi Al-Tafsir:
Dirasah fi Qadiyyat Al-magaz fi Al-Qur'an 'inda Mu'tazilah (1982) dan Falsafat
Al-Ta'wil: Dirasa fi Ta'wil Al-Qur'an inda Muhiyi Al-Din Ibn 'Arabi (1983),
sebagaimana disinggung di atas, terdapat sebuah kesimpulan akhir yang
mempostulatkan bahwa pemaknaan terhadap al-Quran dan sumber-sumber Islam
lainnya tidak dapat dilepaskan dari horizon sosio-politik masyarakat dimana
sebuah pemikiran keagamaan tumbuh. Tesisnya yang berjudul Al-Ittijah Al-Aqli
fi Al-Tafsir: Dirasah fi Qadhiyyat Al-Majaz fi Al-Quran inda Al-Mutazilah
berhasil dipertahankannya. Dalam bukunya ini, Abu Zayd mengungkap
paradigma metafor (majaz) yang menjadi landasan penafsiran Mutazilah.
Disertasinya berjudul Falsafat Al-Tawil: Dirasah fi Tawil Al-Quran inda
Muhyi Al-Din ibnu Arabi (Filsafat Takwil: Studi Tentang Hermeneutika Al-
Quran Menurut Muhyi Al-Din ibn Arabi), yang kemudian diterbitkan pada dua
tahun berikutnya. Karyanya ini dan juga karya tulisnya untuk prasyarat tingkat
Master sebelumnya, boleh dikatakan merupakan abstraksi pemikiran terhadap
pengalamannya sendiri, ketika realitas tersibak dan membuka diri kepadanya.
Penjabaran dari karya-karya Beliau adalah sebagai berikut :
19
-
8/14/2019 Bab II Latar Belakang Kehidupan Nashr Hamid
20/23
A.1. Buku
a.) Al-Ittijah al-Aqli Fi Tafsir:
Dirasah Fi Qad}iyyah al-Majaz Fi al-Quran Inda al-
Mutazilah. Beirut: Dar al-Tanwir li al-Tabaah wa al-
Nasyr, 1983 (edisi ke-2).
b.) Falsafat al-Tawil: Dirasah Fi
Tawil al-Quran Inda Muhy al-Din Ibn Arabi. Beirut: al-
Markaz al-Saqafi al-Arabi, 1998 (edisi ke-4).
c.) Mafhum al-Nash: Dirasah Fi
Ulum al-Quran. Kairo: Al-Hayah al-Mishriyyah
al-Ammah li al-Kitab, 1993.
d.) Isykaliyyat al-Qiraah wa
Aliyyat al-Tawil. Beirut: Al-Markaz al-Saqafi al-Arabi.
1994 (edisi ke-3).
e.) Al-Imam al-Syafii wa Tasis
al-Idiyulujiya al-Wasatiyah. Kairo: Sina li al-Nasyr, 1992.
f.) Naqd al-Khitab al-Dini. Kairo:
Sina li al-Nasyr, 1994 (edisi ke-2), diterjemahkan dalam
bahasa Jerman oleh Cherifa Magdi, Islam and Politik:
Kritik des Religiosen Diskursus. Frankfurt: Dipa, 1996.
g.) Al-Marah Fi al-Khitab al-
Azmah. Kairo: Dar Nusus li al-Nasyr, 1995.
20
-
8/14/2019 Bab II Latar Belakang Kehidupan Nashr Hamid
21/23
h.) Al-Takfir Fi Zaman al-Takfir.
Kairo: Maktabah Madbuli. 1995.
i.) Al-Nass, al-Sultah, al-
Haqiqah. Beirut: Al-Markaz al-Saqafi al-Arabi, 1995.
j.) Al-Qawl al-Mufid Fi Qissat
Abu Zayd. Kairo: Maktabah Madbuli, 1995.
k.) Al-Khilafah wa Sultah al-
Ummah. Kairo: 1995 (Sebagai editor).
l.) Vernieuwing in het
Islamitisch Denken. Diedit dan diterjemahkan oleh Fred
Leemhuis. Amsterdam: BULAAQ, 996.
m.) Dawair al-Khawf: Qiraah fi
Khitab al-Marah. Beirut: Al-Markaz al-Saqafial-Arabi.
1999.
A.2. Artikel
a.) Azmat al-Agniyyah al-Misriyyah. Majallat al-Adab. No.
7, th. 9 Desember 1996, hlm. 406-408.
b.) The Case of Abu Zayd. Index on Censorship 4 (1996).
c.) Al-Ghazalis Theory of Interpretation, Journal of Osaka
University of Foreign Studies, no. 72 (1986).
d.)Hawla Adab al-Ummal wa al-Fallahin, Majallat al-
Adab, no. 5, th. 9 Oktober 1964. Hlm. 310-11.
21
-
8/14/2019 Bab II Latar Belakang Kehidupan Nashr Hamid
22/23
e.)Isykaliyyah Tawil al-Quran Qadiman wa Hadisan,
Journal of Islamic Research 9, no. 1-2-3-4, 1996, hlm. 1-
23.
f.) Islamic Cosmology and Quranic Exegesis, dalam
Dieter Zeller (ed). Religion im Wanted der Kosmologien.
Frankfurt (etc): Peter Lang, 1999. Hlm 217-30.
g.)Maqasid al-Kulliyah li al-Syariah: Qiraah Jadidah,
Al-Arabi 426 (Mei 1994), hlm. 112-116.
h.) The Modernization of Islam or the Islamization of
Modernity, dalam Roel Meijen (ed) Cosmopolitanism,
Identity and Authenticity in the Middle East.
Richmond.Curzon, 1999, hlm 71-86.
i.) The Perfect Man: a Textual Analysis,Journal of Osaka
University of Foreign Stidies, no. 77 (1998), hlm. 111-33.
j.) Quranic Studies on the Eve of the 21 st Century, ISIM
Newsletter, 1, 1998, hlm. 46.
k.) Al-Tawil Fi Kitab Sibawayh, Alif, Journal of
Comparative Poetics. No. 8 (1988).
l.) The Textuality of the Koran, dalam Islam and Europe
in Past and Present, leiden: NIAS, 1997, hlm. 43-52.
m.)Al-Turas bayna al-Tawil wa al-Talwin: Qiraah fi Masyru
al-Yasar al-Islam, Alif, Journal of Comparative Poetics,
22
-
8/14/2019 Bab II Latar Belakang Kehidupan Nashr Hamid
23/23
no. 10 (1990) dipublikasikan kembali dalam Naqd al-
Khitab al-Din, hlm. 107-182.
n.) Urtsuduksiyya al-Muammamah, Al-Naqid. No. 74
(Agustus 1994), hlm. 26-32.
o.) Verlichting in het Islamitisch denken, diterjemahkan dari bahasa
Inggris oleh Yolande Jansen dan Frank Rebel, Krisis: Tijdschrift voor
filosofis, 74 (Spring 1999), hlm. 25-35.