bab iii konsep hermeneutika nasr hamid abu...

36
BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU ZAID A. Biografi Nasr Hamid Abu Zaid a. Sejarah Hidup, Latar belakang Pendidikan dan Kondisi Sosial Politik keagamaan Nashr Hamid Abu Zaid dilahirkan pada tanggal 10 Juli 1943 di desa Qahafah dekat kota Thantha, Mesir. Bapaknya adalah seorang aktifis Al- Ikhwan al-Muslimin dan pernah dipenjara menyusul dieksekusinya Sayyid Quthb. 1 Sebagaimana kebiasaan di Mesir, anak-anak kecil sudah mulai belajar menulis kemudian menghafalkan al-Qur’an. Begitu juga dengan Abu Zaid, dia mulai belajar dan menulis semenjak umur empat tahun, kemudian menghafal al-Qur’an di Kuttab di desanya Qahafah. Dia mampu menghafal al-Qur’an pada usia delapan tahun, karena itulah, kawan- kawannya memanggil “Syaikh Nashr”. 2 Di luar pendidikan non formalnya (mengaji), penulis kitab dia juga menempuh pendidikan formal pada Madrasah Ibtida’iyyah (SD) di kampung halamannya pada tahun 1951. Setamat dari sini, dia sebenarnya ingin melanjutkan pada sekolah menengah umum, Al- Azhar. Namun orang tuanya tidak menghendakinya, dan akhirnya dia memenuhi kehendak orang tuanya dengan melanjutkan 1 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an: Teori Hermeneutika Nashr Hamid Abu Zaid, Jakarta: Teraju, 2003, hlm. 15-16. 2 Ibid., hlm. 150. 49

Upload: lamphuc

Post on 11-Feb-2018

251 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/3/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU ZAID A. Biografi

BAB III

KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU ZAID

A. Biografi Nasr Hamid Abu Zaid

a. Sejarah Hidup, Latar belakang Pendidikan dan Kondisi Sosial Politik

keagamaan

Nashr Hamid Abu Zaid dilahirkan pada tanggal 10 Juli 1943 di desa

Qahafah dekat kota Thantha, Mesir. Bapaknya adalah seorang aktifis Al-

Ikhwan al-Muslimin dan pernah dipenjara menyusul dieksekusinya Sayyid

Quthb.1 Sebagaimana kebiasaan di Mesir, anak-anak kecil sudah mulai

belajar menulis kemudian menghafalkan al-Qur’an. Begitu juga dengan

Abu Zaid, dia mulai belajar dan menulis semenjak umur empat tahun,

kemudian menghafal al-Qur’an di Kuttab di desanya Qahafah. Dia mampu

menghafal al-Qur’an pada usia delapan tahun, karena itulah, kawan-

kawannya memanggil “Syaikh Nashr”.2 Di luar pendidikan non

formalnya (mengaji), penulis kitab dia juga menempuh pendidikan formal

pada Madrasah Ibtida’iyyah (SD) di kampung halamannya pada tahun

1951. Setamat dari sini, dia sebenarnya ingin melanjutkan pada sekolah

menengah umum, Al- Azhar. Namun orang tuanya tidak menghendakinya,

dan akhirnya dia memenuhi kehendak orang tuanya dengan melanjutkan

1 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an: Teori Hermeneutika Nashr

Hamid Abu Zaid, Jakarta: Teraju, 2003, hlm. 15-16. 2 Ibid., hlm. 150.

49

Page 2: BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/3/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU ZAID A. Biografi

pendidikannya di Sekolah Teknologi di Distrik Kafru Zayyad, Provinsi

Gharbiyyah.3

Meski gagal masuk di Al-Azhar, semangat Abu Zaid untuk

mempelajari pemikiran Islam tidak surut. Di sela-sela aktifitasnya berse-

kolah, ia menyempatkan untuk membaca buku-buku pemikiran Islam.

Antara lain karya-karya Al-Manfaluthy, Yusuf Al-Syiba’iy, Taufiq Al-

Hakim, Al-‘Aqqad, Najib Mahfud dan Taha Husein. Bahkan dia sering

mengadakan diskusi dengan pemikir Islam lainnya, semisal Jabir Ushfur,

Sayyid al-Hulwu, Mohammad Mansi Qindil, Farid Abu Sa’dah, M. Shaleh

dan Said Kafrawi. Aktivitasnya ini sempat dicurigai aparat setempat yang

akhirnya menjebloskan dirinya ke penjara.4

Selain aktif di dunia pemikiran/intelektual, Abu Zaid juga aktif dalam

dunia gerakan, pada usianya yang masih sangat belia pada umur sebelas

tahun, ia ikut bergabung dalam gerakan Al-Ikhwan al-Muslimin yang

dipimpin Sayyid Qutbh pada tahun 1954. Dalam aktifitasnya meng-ikuti

gerakan ini, dia pernah dijebloskan dalam penjara, tetapi karena usianya

masih di bawah umur, akhirnya dia dibebaskan dari penjara.

Pada awalnya, dia tertarik dengan pemikiran Sayyid Qutbh dalam

bukunya Al-Islam wa al-‘Adalah al-Ijtima’iyyah (Islam dan Keadilan

Sosial).5 Khususnya yang menekankan pada aspek keadilan dalam

3 Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islamdari Abu Bakar Hingga Nasr dan Qardhawi, Ban-

dung: PT Mizan Republika, hlm, 349.. 4 Ibid,. 5 Moch. Nur Ichwan, Loc. Cit.

50

Page 3: BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/3/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU ZAID A. Biografi

menafsirkan Islam. Tetapi, dalam pengembaraan intelektualnya, akhirnya

di yang mengkritik pemikiran-pemikiran Sayyid Qutb.

Setelah kematian ayahnya, ketika ia berusia empat belas tahun, dia

bekerja untuk membantu perekonomian keluarganya. Dia bekerja sebagai

seorang teknisi elektronik pada Organisasi Komunikasi Nasional di Kairo

pada tahun 1960 sampai tahun 1972.6 Dalam keterangan yang lain, se-

tamat dari studi menengahnya, dengan meraih ijazah diploma (setingkat

SMU) sambil bekerja di sebuah perusahaan kabel (1961-1968) 7

Di tengah-tengah aktifitas bekerja, dia juga rajin menulis artikel. Pada

tahun 1964 artikel pertamanya terbit dalam sebuah Jurnal yang dipimpin

oleh Amin al-Khuli, Al-‘Adab. Ini adalah awal hubungan dia dengan

seorang pemikir Islam dalam studi al-Qur’an di Mesir yang menawarkan

tentang pendekatan susastra (al-manhaj al-adabi) atas teks al-Qur’an.8

Tokoh inilah yang banyak mempengaruhi pemikiran dia di kemudan hari.

Pada tahun 1968, Abu Zaid melanjutkan studinya di jurusan bahasa

arab dan sastra arab di Universitas Kairo. Sambil tetap bekerja di siang

hari dan masuk kuliah di malam hari. Kira-kira empat tahun ia me-

nyelesaikan tugas studinya. Pada tahun 1972 dia berhasil menyelesaikan

dengan predikat cum laude (memuaskan). Setelah itu dia diangkat sebagai

asisten dosen.

Sebagai sarat untuk menjadi asisten dosen adalah mengambil studi

Islam sebagai bidang utama dalam riset master dan doktornya. Terpaksa

6 Ibid. 7 Hery Sucipto, Loc. Cit., hlm, 349.. 8 Moch. Nur Ichwan, Op. Cit., hlm. 150.

51

Page 4: BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/3/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU ZAID A. Biografi

dia mengubah dari bidang murni linguistik dan kritik sastra menjadi studi

Islam, al-Qur’an. Mulai saat itulah dia melakukan studi tentang al-Qur’an

dan problem interpretasi dan hermeneutika.9 Setamat dari (S1), Abu Zaid

langsung melanjutkan pascasarjana (S2) di universitas yang sama. Dalam

tesis masternya Abu Zaid menulis tentnag konsep metafor dalam al-

Qur’an yang dipakai oleh aliran mu’tazilah, The Concept of Metaphor as

Applied to the Qur’an by Mu’tazilities.

Pada tahun 1992, Abu Zaid diusulkan untuk dipromosikan menjadi

professor (al-ustadz). Akan tetapi promosinya tersebut ditolak karena

tesisnya dianggap telah keluar dari nilai-nilai keimanan. Sejak itu,

tepatnya 16 Desember 1993, menyebar hujatan yang ditujukan kepadanya.

Terutama dilakukan oleh Dr. Sabur Syahin. Dr Syahin mengumandangkan

ke-kafir-an Abu Zaid ke seluruh mesir, melalui koran, majalah, dan

khotbah-khotbah di mesjid-mesjid. Opini tentang kekafiran Abu Zaid me-

maksa pengadilan menjatuhkan vonis “murtad” dan harus bercerai dengan

istrinya.10

Demikian berat konsekwensi bagi orang yang ingin mengem-bangkan

pemikiran dalam dunia Islam. Kasus semacam ini bukanlah yang pertama

kalinya, sebelumnya para pedahulunya seperti Ahmad Khalafullah (The

Art Narration in the Qur’an), Ali Abd. Ar-Raziq (Islam and Principles of

Political Authority) dan Taha Husain (Pre-Islamic Poetry) juga

mengalami nasib yang sama. Semenjak peristiwa itu, Abu Zaid pindah ke

9 Ibid., hlm 17 10 M. Hanif A, Nasr Hamid Abu Zaid, dalam Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta:

Jendela, 2003, hlm. 356-357.

52

Page 5: BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/3/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU ZAID A. Biografi

Belanda dan menjadi guru besar di Universitas Leiden Belanda, sampi

sekarang.

Kondisi Sosial Politik Keagamaan

Secara politis, Mesir merupakan bekas negara jajahan Perancis.

Ketika itu, Napoleon melakukan ekspansi wilayah kekuasaannya setelah

terjadinya revolusi Perancis pada tahun 1789. dan Mesir menjadi sasaran

utama ekspansi yang dilakukan olehnya. Dengan pertimbangan bahwa

Mesir merupakan wilayah yang strategis untuk dijadikan pijakan dalam

menguasai kerajaan-kerajaan besar. Pada tanggal 22 juli 1798 Mesir jatuh

di tangannya tanpa ada perlawanan yang berarti.11

Yang menarik dari ekspedisi Napoleon adalah bahwa dia tidak hanya

membawa tentara saja. Tetapi dia juga membawa 500 orang sipil dan 500

orang wanita. Diantara kaum sipil tersebut ada sejumlah 167 ahli dalam

berbagai cabang ilmu pengetahuan. Dia juga membawa dua unit

percetakan dengan huruf Latin, Arab dan Yunani. Ternyata, tujuan ekspe-

disi dia tidak hanya untuk kepentingan militer saja, tetapi juga untuk

keperluan ilmiah dengan mendirikan lembaga ilmiah yang bernama

Institut d’Egypte.12 Dalam lembaga tersebut ada empat bagian keilmuan

yang dipelajari: [1] bagian ilmu pasti, [2] bagian ilmu alam, [3] bagian

ilmu ekonomi-politik, dan [4] bagian sastra-seni.

11 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta:

2003, hlm. 22. 12 Ibid.

53

Page 6: BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/3/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU ZAID A. Biografi

Pemikiran Abu Zaid, juga tidak bisa lepas dari konteks wacana agama

kontemporer dalam menyikapi turats (warisan intelektual) dan gelombang

tajdid (pembaruan). Wacana keagamaan dihadapkan pada posisi dilematis

antara mempertahankan identitas diri dan modernisasi. Desakan dari

proses modernisasi, telah memunculkan reaksi kuat dari kelompok Islam

radikal dengan menyerukannya diterapkannya syari’at Islam dalam

berbagai aspek kehidupan. Sementara di kutub lain juga muncul tuntutan

untuk bersikap moderat atas nama pembaruan dan menjadikan Islam

sebagai basis ideologi. Seruan ini dilakukan oleh Islam moderat sebagai

anti-tesis dari Islam ekstrim.13

Ada dua trend aliran besar yang mewarnai keberagamaan masyarakat

Mesir. Yaitu: kelompok Islamis (al-Islamiyyun) dan kelompok sekuler (al-

‘almaniyyun). Kelompok Islamis ini dibagi menjadi dua corak; Islamis

radikal (al-mutatharrifun) dan Islamis moderat (al-mu’tadilun). Yang

masuk Islamis radikal adalah kelompok Al-Jihad dan Al-Jama’ah al-

Islamiyyah, sedangkan yang masuk kelompok Islamis moderat adalah Al-

Ikhwan al-Muslimun dan para Islamis lainnya yang tidak menggunakan

kekerasan dalam menyebarkan agama. Sementara kaum sekularis adalah

para intelektual muslim progresif independen, penulis dan akademisi,

13 Sunarwoto, Nasr Hamid Abu Zaid dan Rekonstruksi Studi-Studi Al-Qur’an, dalam Herme-

neutika Al-Qur’an Mazhab Yogya, Yogyakarta: Islamika, 2003, hlm. 105.

54

Page 7: BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/3/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU ZAID A. Biografi

yang menolak diberlakukannya Syari’at Islam yang dipahami secara

sempit sebagai hukum Islam, sebagai hukum positif. 14

Seiring dengan wacana agama yang berkembang, baik yang ekstrim

maupun yang moderat, Abu Zaid memandang perlu rekonstruksi ilmu-

ilmu al-Qur’an tradisional secara kritis dan dilandasi kesadaran ilmiah

terhadap turats (al-wa’y al-‘il bi at-turats). Ada dua tujuan utama dalam

upayanya tersebut.15 Pertama, merajut kembali hubungan antara kajian al-

Qur’an dengan kajian-kajian sastra dan kajian-kajian kritis. Kajian ini

sebagai tindak lanjut dari proyek Professor Amin al-Khulli. Kedua, upaya

mendefinisikan konsep “Islam” secara obyektif, agar tidak terjebak dalam

kepentingan ideologis.

b. Geneologi Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid

Nashr Hamid Abu Zaid dari sisi pemikiran banyak dipengaruhi oleh

para pemikir yang mengikuti trend kritik sastra, baik terhadap al-Qur’an

maupun literatur eksegetiknya. Yang kemudian, sebagaimana dikutip oleh

Nur Ichwan dari Willem A. Bijlefeld, Some Recent Contribution to al-

Qur’anic Studies yang menyatakan bahwa trend ini diikuti dengan kritik

historis dan kritik filologis yang digunakan dalam menganalisis al-Qur’an

14 Moch. Nur Ichwan, Al-Qur’an Sebagai Teks (Teori Teks Dalam Hermeneutik Al-Qur’an

Nasr Hamid Abu Zaid), dalam Studi Al-Qur’an Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, hlm. 26..

15 Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum an-Nash Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an, diterjemahkan oleh Khoiron Nahdliyyin, Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, Yogyakarta: LKiS, (edisi revisi), 2002, hlm. 13-14.

55

Page 8: BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/3/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU ZAID A. Biografi

dan literatur eksegetik.16 Pemikir Islam yang pertama kali menggunakan

pendekatan kritik histories adalah Amin al-Khuli (w. 1967) pada tahun

1930-an. Trend ini dikembangkan generasi berikutnya oleh Ahmad

Khalafallah dalam disertasinya yang kontroversial Al-Fann Al-Qashashi fi

Al-Qur’an Al-Karim (Genre Naratif Dalam Al-Qur’an), Syukri ‘Ayyad

dalam Yawm al-Din wa al-Hisab fi al-Qur’an (Hari Agama dan

Perhitungan dalam al-Qur’an), dan ‘Aisyah Abd al-Rahman Bintu al-

Syathi’ dalam bukunya Al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim (Tafsir

Retoris atas al-Qur’an) yang selanjutnya diikuti oleh Nasr Hamid Abu

Zaid dalam karya-karyanya.17

Di samping ulama’-ulama’ diatas, Abu Zayd juga pernah belajar dari

Sayyid Qutbh (1906-1966), pemimpin gerakan Islamis moderat (Al-

Ikhwan Al-Muslimin) pasca wafatnya sang pendiri Hasan Al-Banna pada

tahun 1949. Tetapi pemikiran Sayyid Qutbh tidak dikembangkan oleh Abu

Zaid. Justru, pada akhirnya dia tidak sepakat dengan pola pikir yang

dikembangkan oleh organisasi ini. Dan dia lebih condong pada pemikiran

kelompok-kelompok sekularis yang diwakili oleh Syaikh ‘Ali ‘Abd al-

Raziq (1888-1966), Thaha Husayn (1889-1973), Zaki Najib Mahmud

(lahir 1905), Mahmud Nuwayhi (1917-1980), Fu’ad Zakariya (lahir 1927),

Muhammad Sa’ad Al-‘Asymawi (lahir 1932) Faraj Fudah (1945-1992),

Hasan Hanafi (lahir 1935).

16 Moch. Nur Ichwan, Meretas, Op. Cit., hlm. 3. 17 Moch. Nur Ichwan, Al-Qur’an Op. Cit., hlm. 4.

56

Page 9: BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/3/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU ZAID A. Biografi

Di samping, pemikir-pemikir Islam, pemikiran Abu Zaid juga tidak

lepas dari pemikir-pemikir barat. Terutama ketika dia melakukan kajian

hermeneutik. Dalam tulisannya yang bertitel Hermeneutika dan Problem

Penafsiran Teks (terj.) dalam Isykaliyat al-Ta’wil wa Aliyat al-Qira’ah,

dia memaparkan beberapa pemikiran ilmuwan barat yang mengakaji

tentang hermeneutika. Tentu saja pemikiran para ilmuwan tersebut sangat

berpengaruh terhadap pemikiran-pemikirannya. Mulai dari hermeneutika

Scheleirmacher (1813) sampai hermeneutika modern hirsch. Ada sekitar

tujuh tokoh hermeneutika barat yang mempengaruhi pemikiran Abu Zaid.

Diantaranya adalah Scheleirmacher , Dilthey, Gadamer, Heideger, Betti,

Paul Recoeur dan Betti.

c. Karya – karya Nasr Hamid Abu Zaid

Sebagai pemikir besar Islam, tentunya banyak karya yang lahir dari

pena Abu Zaid. Meski kondisi sosial politik yang terjadi di Mesir tidak

memberi ruang kebebasan berfikir baginya, tetapi darinya muncul banyak

karya monumental. Ada yang menerima dan ada yang menolak, itu

merupakan hal yang biasa dalam khasanah pemikiran Islam.

diantara karya-karya dia yang belum dan sudah diterbitkan adalah:

1. Al-Hirminiyyuthiqa wa Mu’dhilat Tafsir al-Nashsh, Fushul 1:3,

April 1981; diterbitkan ulang dalam Isykaliyyat.

2. (1982) Al-Ittijah al-‘Aqli fi al-Tafsir: Dirasat fi Qadiyyat al-Majaz

‘Inda al-Mu’tazilat (Kecenderungan Rasional dalam Penafsiran:

57

Page 10: BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/3/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU ZAID A. Biografi

Studi atas Persoalan Metafor dalam Al-Qur’an Menurut Kalangan

Mu’tazilah), Beirut.

3. (1983) Falsafat al-Ta’wil: Dirasat fi Ta’wil al-Qur’an ‘Inda Muhyi

al-Din Ibn ‘Arabi (Filsafat Hermeneutik: Studi atas Hermeneutik

al-Qur’an Muhyi al-Din Ibnu ‘Arabi), Kairo.

4. (1990) Mafhum al-Nash: Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an (Konsep

Teks: Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an), Kairo.

5. (1994) Naqd al-Khitab al-Dini (Kritik Wacana Keagamaan),

Kairo.

6. (1995) Al-Tafkir fi Zaman al-Tafkir: Didda al-Jahl wa al-Zayf wa

al-Khurafat (Pemikiran di Zaman Pengkafiran: Menentang

Kebodohan, Kekeliruan Dan Khurafat), Kairo.

7. (1995) Al-Nash, al-Sulthat, al-Haqiqat: Al-Fikr al-Dini Bayna

Iradat al-Ma’rifat (Teks, Kekuasaan, dan Esensi: Pemikiran

Keagamaan antara Kehendak Pengetahuan), Kairo.

8. (1999) Dawa’ir al-Khawf: Qiraat fi Khitab al-Mar’at (Wilayah

Ketakutan: Pembacaan Atas Wacana Perempuan)

9. (2000) Al-Khitab wa al-Ta’wil (Wacana dan Hermeneutika), Dar

al-Beida.

10. (2000) The Qur’an: God and Man in Communication (Al-Qur’an:

Tuhan dan Manusia dalam Komunikasi), Leiden.

58

Page 11: BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/3/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU ZAID A. Biografi

B. Konsep Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid

Mengawali pembahasan mengenai konsep hermeneutika Nasr Hamid Abu

Zaid ini, tidak salahnya apabila kita terlebih dahulu melihat kepada bangunan

teori hermeneutika dalam khasanah pemikiran Islam. Ini penting kaitannya

dengan penolakan sejumlah pemikir Islam terhadap hermeneutika. Penolakan

ini, disebabkan asumsi bahwa hermeneutika adalah milik orang kristiani, dan

Islam tidak mengenal istilah hermeneutika. Berikut adalah pernyataan Abu

Zaid:

“Al-hermeneutika – idzan – qadliyyatun qadimatun wa jadidatun fi nafs

al-wakti, wa hiya fi tarkizihi ‘ala alaqati al-mufassir bi al-nash laisat

qadliyyatan khasanatan bi al-fikri al-gharbi, bal hiya qadliyyatun laha

wujuduha al-mulih fi turasina al-arabi al-qadim wa al-hadits ‘ala al-sawa.”

(Artinya: hermeneutika – kemudian – adalah diskursus lama dan sekaligus

baru. Titik bahasan dia tentang relasi penafsir dan teks itu bukan hanya

diskursus dalam pemikiran barat, akan tetapi diskursus yang wujudnya juga

ada dalam tadisi arab, baik arab lama maupun sekarang).18

Pembahasan pertama kali Abu Zaid mengenai hermeneutika terdapat

dalam karyanya yang berjudul “Al-Hirminiyutiqa wa Mu’dhilat Tafsir al-

Nashsh” (Hermeneutika Dan Problem Penafsiran Teks). Tulisan ini muncul

setelah dia menjadi fellow pada Centre For Middle East Studies di Universitas

Pensylvania, Philadelphia, Amerika Serikat, di mana dia mempelajari ilmu-

18 Dalam pengantar redaksi Nasr Hamid Abu Zaid, Isykaliyyat al-Qira’ah wa Aliyyat al-

Ta’wil, diterjemahkan oleh Muhammad Mansur dan Khoiron Nahdliyyin, Hermeneutika Inklusif: Mengatasi Problematika Bacaan dan Cara-cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan, Jakarta: ICIP, 2004, hlm. ix.

59

Page 12: BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/3/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU ZAID A. Biografi

ilmu sosial dan humanitas, khususnya tentang ilmu-ilmu cerita rakyat

(folklore). Pada saat itulah Abu Zaid akrab dengan hermeneutiak barat.19

Dalam tulisannya dia menjelaskan bahwa persoalan mendasar dalam

hermeneutika adalah penafsiran teks, baik teks historis maupun teks agama.

Relasi antara watak dasar teks dengan turats satu sisi dan di sisi lain relasi

antara teks dengan pengarangnya menjadi persoalan serius dalam wilayah

hermeneutika. Diantara sekian persoalan, Abu Zaid memposisikan relasi

antara mufassir dan teks sebagai persoalan yang paling krusial. Dengan

demikian, titik pangkal persoalan dalam hermeneutika adalah relasi antara

mufassir (reader) dan teks (text).20 Sepertinya dia tidak begitu mempersoalkan

relasi antara pengarang (author) dengan pembaca, maupun pengarang dengan

teks. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa dalam hermeneutika meniscaya-

kan adanya relasi trilogi (pengarang/teks/pembaca). Sayang dalam mensikapi

hal tersebut dalam tulisan ini, Abu Zaid tidak memberikan jawaban yang

cukup jelas

Dalam karya yang sama, dia justru melanjutkan dengan memaparkan

pendapat beberapa pemikir barat mengenai relasi antara trilogi tersebut.

Diantaranya Plato, Aristoteles, T.S. Eliot, Schleiermacher, Wilhelm Dilthey,

Martin Heidegger, Gadamer, Betti, Paul Ricoeur dan Hirsh.

Penjelasan mengenai relasi antara teks dengan penafsir, Abu Zaid

menjelaskan dalam karya berikutnya yang berjudul Naqd al-Khitab al-Dini.

19 Menurut pengakuannya kepada Moch. Nur Ichwan, sebelum Abu Zaid menuju ke Amerika Serikat, Hassan Hanafi menyarankan agar dia mendalami hermeneutika untuk memperkaya pengetahuan teoritis tentang problem pemahaman dan interpretasi. Wawancara personal, 2 Agustus 1998. lihat Moch. Nur Ichwan, Meretas, Loc. Cit., hlm. 46.

20 Nasr Hamid Abu Zaid, Isykaliyyat, Op. Cit., hlm. 3.

60

Page 13: BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/3/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU ZAID A. Biografi

Namun sebelumnya penulis hendak membahas terlebih dahulu tentang konsep

teks menurut Abu Zaid. Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa problem

utama hermeneutika adalah penafsiran terhadap teks. Kaitannya dengan

khasanah ke-Islam-an, teks yang menjadi pokok kajian dalam memproduk

hukum (ijtihad) adalah al-Qur’an dan Sunnah. Akan tetapi yang banyak

dijadikan sebagai obyek kajian adalah al-Qur’an. Ini sangat wajar karena al-

Qur’an sebagai sumber utama dalam ijtihad. Disamping itu, al-Qur’an

mempunyai sifat otoritatif dari sisi kebahasaan. Sifat otoritatif yang dimaksud

adalah, bahwa al-Qur’an dari sisi bahasa diyakini sebagai bahasa tuhan. Inilah

yang menjadi problem utama, sehingga konsentrasi kajian hermeneutika

dalam Islam lebih ditujukan kepada al-Qur’an, bukan berarti menafikan teks-

teks keagamaan yang lain.

Persoalan teks mejadi sangat penting dalam peradaban umat Islam. Ada

beberapa hal yang menjadi titik pijakan. Pertama, bahwa sumber hukum

Islam termanifestasikan dalam wujud teks (Al-Qur’an dan Hadits); kedua,

sebagai pedoman hidup (way of life) umat Islam juga tertuang dalam teks;

ketiga, peradaban arab-Islam adalah peradaban “teks”.21 Teks dalam bahasa

Paul Rocoeur adalah setiap diskursus yang ditetapkan dalam bentuk tulisan

(any discourse fixed into writing). Dalam wilayah sebagai sumber hukum

Islam (mashdar al-hukm al-Islamiy).inilah, al-Qur’an maupun Hadits men-

dapat perhatian yang serius dari kalangan umat Islam, baik dalam rangka

21 Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum, Op. Cit., hlm. 1-2.

61

Page 14: BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/3/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU ZAID A. Biografi

kepentingan memproduk suatu hukum baru (ijtihad), maupun dalam rangka

kepentingan pengembangan khasanah ke-Islam-an.

Menurut Abu Zaid, al-Qur’an merupakan pesan (risalah) dari Allah SWT.

kepada nabi Muhammad yang meniscayakan adanya proses komunikasi antara

pengirim dan penerima melalui code, atau sistem bahasa. Dalam penggunaan

bahasa inilah tidak akan mungkin lepas dari budaya yang telah berkembang di

masyarakat tersebut. Watak risalah (pesan) yang dikandung dalam teks hanya

dapat dipahami melalui analisis fakta-fakta bahasanya dalam bingkai realitas

dimana teks terbentuk.

Hal tersebut, dijelaskan oleh Abu Zaid dalam karyanya yang monumen-

tal, Mafhum an-Nash Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an. Melalui kitab ini dia

mengatakan bahwa tidak ada teks yang hampa dari konteks historisnya, tanpa

terkecuali al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai teks historis bukan berarti berasal dari

manusia, akan tetapi ia merupakan kata-kata (kalam) tuhan yang eternal di-

wahyukan kepada nabi Muhammad SAW. dengan menggunakan bahasa arab

dalam ruang dan waktu tertentu, inilah yang dimaksud sebagai teks historis.

Oleh karena itu Abu Zaid, memaknai bahasa al-Qur’an sebagai produk

budaya. Sebagaimana pendapay dia: “teks pada dasarnya merupakan produk

budaya. Maksudnya, teks terbentuk dalam realitas dan budaya dalam rentang

waktu lebih dari dua puluh tahun”. 22

Jelas, jika dilihat dari pernyataan tersebut bahwa teks al-Qur’an merupa-

kan produk budaya masyarakat arab saat itu. Fakta sosial menunjukkan bahwa

22 Ibid., hlm. 19.

62

Page 15: BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/3/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU ZAID A. Biografi

turunnya al-Qur’an secara berangsur-angsur (gradual) tidak bisa lepas dari

kondisi sosio-budaya masyarakat yang melingkupinya. Ada juga ayat-ayat al-

Qur’an yang turun dalam rangka merespon dan menjawab persoalan yang

terjadi di masyarakat arab.

Pendapapat ini meruntuhkan keyakinan para ulama’ yang menganggap

bahwa al-Qur’an yang diturunkan oleh Jibril kepada nabi Muhammad adalah

teks yang qadim dan azali, dan merupakan salah satu sifat-sifat dzat tuhan.

Dengan demikian nia juga qadim, karena termasuk sifat-sifat-Nya. Barang

siapa yang menganggap bahwa ia baru dan atidak qadim atau bahwa ia

“tercipta” yang sebelumnya tidak ada menjadi ada, maka orang tersebut

menentang aqidah dan layak dijuluki kafir. Apabila yang mengatakan adalah

orang muslim, maka hukum murtad yang layak baginya.23 Hal ini yang

menimpa abu zaid, ketika melakukan kajian terhadap konsep nash.

Fakta yang tak terbantahkan adalah ada perbedaan karakter antara ayat-

ayat al-Qur’an yang diturunkan di makkah dan ayat-ayat al-Qur’an yang di-

turunkan di madinah. Sebagaimana diungkapkan Ahmad Abdullah an-Na’im,

pesan ayat-ayat makkah merupakan pesan Islam yang abadi dan fundamental,

yang menekankan martabat yang inheren pada seluruh umat manusia, tanpa

membedakan jenis kelamin (gender), keyakinan keagamaan, ras dan lain-lain.

Persamaan laki-laki dan perempuan, kebebasan penuh untuk memilih dalam

beragama sangat dijunjung tinggi dalam era ini. Prinsip yang diterapkan ada-

lah ‘ishmah, kebebasan untuk memilih tanpa ancaman atau paksaan. Sedang-

23 Nasr Hamid Abu Zaid, An-Nash as-Sulthah al-Haqiqah, terj. Sunarwoto Dema, Teks

Otoritaas Kebenaran, Yogyakarta: LKiS, 2003, hlm. 86.

63

Page 16: BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/3/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU ZAID A. Biografi

kan ayat-ayat madinah mengandung pesan kompromi praktis dan realistik.

Semacam ini lebih popular dengan sebutan, periode makkah merupakan ayat-

ayat universal-egalitarian-demokratik, sedangkan ayat-ayat madinah

merupakan ayat-ayat sektarian-diskriminatif. 24

Dari sisi bahasa, juga terdapat perbedaan antara ayat-ayat makkah dan

ayat-ayat madinah. Beberapa ciri khusus surat makkiyah sebagai berikut: [1]

mengandung ayat sajdah, [2] terdapat lafal kalla, [3] terdapat seruan ya-

ayyuhan naasu dan tidak terdapat ya ayyuhalladzina amanu, kecuali surat al-

Hajj, [4] mengandung kisah-kisah nabi dan umat-umat yang telah lalu kecuali

surat al-Baqarah, [5] terdapat kisah Adam dan Idris, kecuali surat al-Baqarah.

Ciri-ciri umum surat makiyyah: [1] ayat-ayatnya pendek, surat-suratnya

pendek, nada perkataannya keras dan agak bersajak, [2] mengandung seruan

pokok-pokok iman kepada Allah, hari akhir dan menggambarkan keadaan

surga dan neraka, [3] menyeru manusia berperangai mulya dan berjalan diatas

kebaikan, [4] mendebat orang-orang musyrikin, [5] banyak terdapat lafal

sumpah. Sedangkan untuk surat madaniyyah mempunyai ciri-ciri khusus

sebagai berikut: [1] terdapat izin berperang, [2] menjelaskan tentang

hukuman-hukuman tindak pidana, fara’id, hak-hak perdata, peraturan-

peraturan yang bersangkut paut dengan bidang keperdataan, kemasyarakatan

dan kenegaraan, [3] dijelaskan tentang orang-orang munafik, [4] mendebat

ahli kitab dan diajak untuk tidak berlebihan dalam beragama. Sedang ciri-ciri

umum: [1] surat dan ayatnya panjang-panjang, [2] menjelaskan keterangan-

24 Dalam pengantar Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekontruksi Syari’ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia, dan Hubungan Internasional dalam Islam, Yogyakarta: LKiS, 2001, hlm. viii-ix.

64

Page 17: BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/3/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU ZAID A. Biografi

keterangan dan dalil-dalil yang menunjukkan kepada hakekat-hakekat

keagamaan.25

Ada perbedaan sisi karakter ajaran al-Qur’an antara di mekkah dan

madinah, juga dari sisi tata bahasa menunjukkan adanya perbedaan,

menunjukkan bahwa teks tidak bisa lepas dari konteksnya. Dari sini jelas,

bahwa betapapun al-Qur’an mempunyai watak otoritatif (diyakini bahasa

tuhan) di sisi lain, al-Qur’an juga merupakan bahasa yang termanusiawikan.

Pembahasan hermeneutika Abu Zaid berangkat dari problem tekstualitas

al-Qur’an. Dia mengacu kepada dua teori klasik tentang “tekstualitas” antara

asy‘ariyah dan mu’tazilah tentang kata-kata Allah (kalam Allah).

Pertentangan mengenai apakah al-Qur’an itu qadin atau jaded maupakan

problem klasik. Teori pertama, teroi mu’tazilah yang mengatakan bahwa

bahasa adalah kon-vensi manusia, karena ia merefleksikan konvensi sosial

tentang hubungan antara suara suatu kata dengan maknanya. Hubungan antara

penanda (signifier) dan petanda (signified) ditentukan oleh konvensi manusia.

Mu’tazilah berpendapat bahwa al-Qur’an diciptakan, baru dan makhluk

karena ia tidak masuk dalam sifat-sifat Dzat yang azali. Al-Qur’an adalah

firman Allah, firman termasuk tindakan dan bukan termasuk sifat. Al-Qur’an

masuk dalam “sifat-sifat tindakan tuhan” (shifat al-af’al al-ilahiyyah) dan

bukan katagori “sifat-sifat Dzat” (shifat adz-dzatiyyah), dengan demikian

tidak abadi.26 Sifat-sifat tindakan merupakan wilayah interaksi antara tuhan

dengan dunia, sedangkan sifat-sifat dzat merupakan wilayah keunikan dan

25 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an: Ilmu-Ilmu Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur’an, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002, hal. 80-82

26 Nasr Hamid Abu Zaid, An-Nash, Loc. Cit.

65

Page 18: BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/3/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU ZAID A. Biografi

kekhususan eksistensi tuhan dalam dzat-Nya sendiri. Sebagaimana telah

dipaparkan diatas bahwa al-Qur’an diciptakan dalam konteks tertentu, dan

berhubungan dengan dunia manusia, oleh karena itu al-Qur’an merupakan

sifat tindakan tuhan. Kedua, yang didukung asy’ariyah mengatakan bahwa

bahasa adalah pemberian tuhan kepada manusia, bahasa bukanlah temuan

manusia. Hubungan antara penanda (signifier) dan petanda (signified)

ditentukan oleh tuhan. Kata-kata Allah bukanlah ciptaan, tetapi merupakan

salah satu sifat-Nya. Asy’ariyah meyakini bahwa al-Qur’an sebagai kata-kata

Allah adalah abadi sebagaimana Allah sendiri, dan direkam dalam tablet

terjaga (al-lawh al-mahfuzh).27 Abu Zaid, condong kepada pendapat

mu’tazilah, bahwa teks, termasuk al-Qur’an merupakan fenomena historis dan

mempunyai konteks spesifiknya sendiri.

Abu Zaid melihat bahwa teks al-Qur’an bersifat historis dengan bahasa

yang hadir dalam masyarakat tertentu, dan sekaligus mewakili kultur

masyarkat tertentu. Disamping konteks narasi, dalam memaknai al-Qur’an

perlu juga menyertakan dan memahami “konteks cultural” dan “konteks

pembacaan” teks tersebut.28

Karakter teks, mempunyai dua sifat yang saling berdialektika: konstanta

(yang tetap) dan transforma (yang berubah). Teks konstanta terletak pada

aspek “tersurat”-nya, namun bergerak dan berkembang dalam aspek

“tersirat”-nya. Dalam melakukan pembacaan terhadap teks, kaitannya dengan

mekanisme yang dikemukakan oleh Abu Zaid, yaitu menyembunyikan dan

27 Ibid., 89. 28 Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zaid: Kritik Teks Keagamaan, Yogyakarta: eLSAQ press,

2003, hlm. 28.

66

Page 19: BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/3/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU ZAID A. Biografi

menyingkap, dalam konteks hermeneutika sangat mungkin terjadi menyem-

bunyikan teks konstanta (yang tetap) dalam aspek tersuratnya dan mencoba

menyingkap teks transforma (yang berubah) dari aspek tersiratnya. Dalam

melakukan pencarian terhadap makna tersiratnya, sangat dibutuhkan peran

akal manusia. Sebagaimana diungkapkan oleh Imam Ali ra, bahwa “al-

Qur’an adalah tulisan yang diam, yang membuat bicara adalah oknum-

oknum”.29 Karena oknum yang membuat bicara, maka seringkali pembacaan

terhadap al-Qur’an terjebak dalam nuansa kepentingan ideologis untuk

kelompok tertentu. Misalnya, dalam tesis master-nya Abu Zaid, yang berjudul

The Concept of Metaphor as Applied to The Qur’an by Mu’tazilities, yang

kemudian diterbitkan di Beirut pada tahun 1982 dengan judul Al-Ittijah al-

‘Aqli fi at-Tafsir: Dirasah fi Qadiyyah al-Majaz fi al-Qur’an ‘ind al-

Mu’tazilah (The Rational Exegesis of The Qur’an). Dalam studi ini Abu Zaid

berkesimpulan bahwa metode ta’wil Mu’tazilah sarat akan kepentingan–

kepentingan politik. Oleh karena itu, ia juga mencoba membaca al-Qur’an

secara “obyektif” agar steril dan terhindar dari kepentingan politis-ideologis.30

Berangkat dari rumusan bahwa teks, tak terkecuali al-Qur’an adalah

produk budaya masyarakat yang tidak lepas dari konteks sosio-kulturalnya,

Abu Zaid, menjelaskan tentang cara memahami teks agar menghasilkan

‘sesuatu’ yang obyektif. Rumusan ini berawal dari wacana agama kontem-

porer yang berkembang di Mesir. Dijelaskan Abu Zaid dalam Naqd al-Khitab

al-Dini, bahwa wacana agama yang berkembang di Mesir sarat dengan

29 Nasr Hamid Abu Zaid, Naqd al-Khitab al-Diniy, Kairo, Maktabah Madbuliy, cet. III, hlm., 121.

30 M. Hanif A, Op. Cit., hlm. 354-355

67

Page 20: BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/3/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU ZAID A. Biografi

kepentingan-kepentingan ideologis dan selalu mengklaim benar (truth claim)

atas wacana agama yang dikembangkan. Serta adanya beberapa kelompok

atau golongan yang bertarung dalam masalah wacana agama tersebut. Dari

aliran kiri sampai aliran kanan, Islam salafiyyun dan Islam kontemporer,

Islam tradisional dan Islam sekuler, Islam tekstualis dan Islam rasionalis.

Melihat kondisi semacam ini, gerah juga, dan akhirnya dia turut masuk dalam

gelanggang pertarungan tersebut. Masalah ini dikupas dalam bab I.

Klaim kebenaran, monopoli makna, tidak boleh melakukan ijtihad,

menjadi wacana yang nge-trend di Mesir. Dalam buku yang sama, dia juga

memaparkan berkembangnya konsep hakimiyyah dalam masyarakat Mesir.

Konsep yang menyandarkan segala sesuatu kepada Allah dalam aspek

kehidupan ini kepada Allah termasuk yang kecil-kecil.31 Konsep ini mengke-

biri peran akal dalam memahami al-Qur’an dan menolak adanya perbedaan

dan pluralitas. Prinsip yang dipakai adalah “tidak ada ijtihad terhadap hukum

yang sudah ada nashnya”. Dan mengklaim selalu benar dan tidak pernah

salah. Konsep ini dipelopori oleh Abu al-‘Ala Al-Maududi yang kemudian

dilanjutkan oleh Sayyid Qutbh (salah satu pemimpin gerakan Ikhwan Al-

Musklimun). Kelompok ini juga menafikan adanya korelasi antara teks al-

Qur’an dengan sosio-historisnya.

Dari sini, Abu Zaid kemudian melakukan kritik terhadap wacana agama

yang berkembang tersebut dengan mengembangkan pembacaan yang

didasarkan pada makna kesejarahan (al-ma’ma al-tarikhiy) yang kemudian

31 Sayyid Qutb, Ma’alim fi ath-Thariq, hlm. 81. dalam Nasr Hamid Abu Zaid, Naqd, Op. Cit.,

hlm. 65.

68

Page 21: BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/3/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU ZAID A. Biografi

dikenal dengan istilah hermeneutik. Dalam beberapa literatur yang sempat

penulis baca dalam karyanya, terutama kitab Naqd al-Khitab al-Diniy penulis

tidak menemukan secara eksplisit konsep hermeneutika Abu Zaid. Dalam

kitabnya tersebut, Abu Zaid tidak secara definitif menyebut teorinya dengan

sebutan “hermeneutik”. Tetapi secara implisit, dapat dipahami bahwa dia me-

ngembangkan teori hermeneutik dalam memahami bahasa al-Qur’an. Dalam

hal ini penulis sangat dibantu oleh literatur-literatur sekunder yang membahas

pemikiran Abu Zaid. Melalui literatur-literatur skunder tersebut penulis mene-

mukan titik terang tentang konsep hermeneutika Abu Zaid.

Seperti yang ditulis oleh Abd. Moqsith Ghazali (Koordinator Divisi

Kajian Jaringan Islam Liberal) dalam makalahnya yang berjudul Qur’an Abu

Zayd, ia menjelaskan bahwa Abu Zaid mengusulkan hermeneutika harus

selalu berpijak pada pemilahan yang tegas antara makna kesejarahan teks (al-

ma’na al-tarikhiy) dan pengertian atau interpretasi baru (al-maghza) yang

ditarik dari makna kesejarahan obyektif. Selanjutnya dia menjelaskan,

menurut Abu Zaid, makna historis itulah yang pertama-tama harus diungkap

oleh seorang penafsir dengan terlebih dahulu melakukan pembacaan pada

struktur internal dan dimensi historis (al-bu’d al-taqrikhi) teks tersebut. Baru

kemudian dilakukan penafsiran yang memungkinkan dalam menjawab

problem-problem kehidupan masa kini.32 Dalam literatur lain, yang ditulis

oleh Charles Hirschkind, dengan judul Bid’ah Atau Hermeneutic: Kasus Nasr

Hamid Abu Zaid dalam epilog buku Al-Qur’an, Hermeneutik dan Kekuasaan:

32 Abd Moqsith Ghazali, Qur’an Abu Zaid, http://Islamlib.com/id/index.php?page=article& id

=645.

69

Page 22: BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/3/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU ZAID A. Biografi

Kontroversi dan Penggugatan Hermeneutic al-Qur’an, dia menjelaskan

bahwa pendekatan hermeneutik yang dianjurkan Abu Zaid terdiri dari dua

momen yang berdialektika satu sama lain. Pertama, perlu menemukan

kembali makna asli (dalalatuh al-ashliyyat) dari teks dan juga artefak budaya

dengan menempatkannya di dalam sosio-historis kemunculannya. Kedua

adalah untuk mengklarifikasi berbagai bingkai sosio-budaya sekarang ini dan

tujuan praktisnya mendorong dan mengarahkan berbagai penafsiran, sehingga

dapat membedakan kandungan ideologis interpretasi dari makna orisinil

historisnya. Sebuah pembacaan “produktif” dihasilkan ketika dua langkah ini

diletakkan berhubungan satu sama lain dalam sebuah dialektika yang tanpa

henti, “sebuah gerakan pendulum antara dimensi ‘orisinil’ (ashl) dan ‘tujuan’

(ghayat), atau antara ‘tanda’ (dalalah) dan ‘signifikansi’ (maghza).33 Pendapat

yang sama juga disampaikan oleh M. Hanif A. dalam buku pemikiran Islam

kontemporer.34 Pendapat-pendapat tersebut didasarkan pada tulisan Abu Zaid

dalam kitab Naqd al-Khitab al-Diniy bab I sub kedua yang menjelaskan

tentang al-nashsh. Dia mengatakan bahwa:

– ولعلها من اخطرها على االطالق –ومن اهم الجوانب التى يتم تجاهلها فى اشكا لية النص الدينى

ارتباط –وليس المقصود بالبعد التاريخى هنا علم اسباب النزول , البعد التاريخى لهذه النصوص

تغير – او علم الناسخ والمنسوخ –والحاجات المثارة فى المجتمع والواقع , النصوص بالواقع

٣٥القران او غيرها من علوم –االحكام لتغير الظروف والمال بسات

“Salah satu aspek penting yang diabaikan dalam problematika teks agama – yang barangkali secara umum paling penting – adalah dimensi sejarah teks-

33 Nasr Hamid Abu Zaid, Al-Qur’an, Hermeneutik dan Kekuasaan, diterjemahkan oleh Dede

Iswadi, Jajang A. Rohmana, etc, Bandung: RQiS, 2003, hlm. 165. 34 Selanjutnya baca M Hanif A, Loc. Cit., hlm. 370. 35 Nasr Hamid Abu Zaid, Naqd, Op. Cit., hlm. 118.

70

Page 23: BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/3/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU ZAID A. Biografi

teks tersebut. Yang dimasud dimesi sejarah di sini bukanlah ilmu sebab-sebab turun (asbab al-nuzul) – hubungan teks dengan realitas, dan kebutuhan-kebutuhan yang timbul dalam masyarakat dan realitas – atau ilmu an-nasikh wa-almansukh – mengubah hukum karena perubahan situasi dan kondisi – atau ilmu-ilmu al-Qur’an lainnya. Jika hanya terbatas pada asbab an-nuzul, maka dalam mencari makna kesejarhan ayat al-Qur’an akan cukup mengalami kendala, karena ternyata kebanyakan ayat al-Qur’an turun dengan sendirinya tanpa didahului adanya satu persoalan, atau menunggu pertanyaan. Ayat-ayat ini dikatakan ayat-ayat yang turun secara ibtida’i.36

Dimensi sejarah yang dimaksud oleh Abu Zaid berkaitan dengan

historisitas konsep-konsep yang dilontarkan teks melalui aspek tersuratnya.

Historisitas bahasa, terletak pada sosiologisitasnya. Dengan membaca konsep

historisitas bahasa Abu Zaid, dapat dipahami bahwa dimensi sosial sangat

berpengaruh terhadap karakter teks, dan apabila dimensi sosial ini diabaikan

maka akan makna teks juga akan terabaikan. Dia, juga memberi catatan bah-

wa berpegang teguh pada historisitas teks bukan berarti menunjukkan ketidak-

mampuan teks untuk memproduksi makna, atau tidak mampu untuk berbicara

pada masa berikutnya atau kepada masyarakat lain. Hal ini disebabkan dalam

melakukan pembacaan teks didasarkan pada dua mekanisme yang integral,

yaitu: menyembunyikan (al-ikhfa’) dan menyingkap (al-kasyaf).37 Menyem-

bunyikan sesuatu yang tidak substansial dan menyingkap sesuatu yang

substansial.

Pendekatan hermenutika yang ditawarkan oleh Abu Zaid dalam

memahami bahasa al-Qur’an lebih bersifat pendekatan makna historis.

36 Husein Syahab, Mengenal Asbabun Nuzul, dalam Belajar Mudah ‘Ulum Al-Qur’an Studi

Khazanah Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Lentera, 2002, hlm. 126. 37 Nasr Hamid Abu Zaid, Naqd, Loc. Cit.

71

Page 24: BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/3/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU ZAID A. Biografi

Menurut dia, ada dua momen yang berdialektika satu sama lain. 38 Pertama,

perlu menemukan kembali mkana asli (dalalat al-ashliyyat) dari teks dalam

konteks sosio-histories kemunculannya.39 Kedua adalah untuk mengklarifikasi

berbagai bingkai sosio-budaya sekarang ini dan tujuan praktisnya mendorong

dan mengarahkan berbagai penafsiran, sehingga dapat membedakan kandu-

ngan ideologis interpretasi dari makna orisinil historisnya. Sebuah pembacaan

“produktif” akan berhasil, ketika dua langkah ini diletakkan berhubungan satu

sama lain dalam sebuah dialektika yang tanpa henti, ‘sebuha gerakan

pendulum antara dimensi ‘orisinil’ (ashl) dan ‘tujuan’ (ghayat), atau antara

‘tanda’ (dalalah) dan ‘signifikansi’ (maghza’)”. 40

Makna merupakan apa yang dipahami secara langsung dari ujaran teks

yang muncul dari analisis terhadap struktur bahasa teks dalam konteks

kebudayaannya. Pemahaman ini diperoleh dari generasi yang sezaman dengan

teks dari ujarannya. Makna, dalam fase ini tidak tidak banyak menimbulkan

controversial dikalangan generasi awal penerima teks. Namun, untuk generasi

berikutnya kontroversi hal yang tidak bisa dihindari. Sedangkan signifikasi

adalah hasil dari pengukuran gerak yang ditimbulkan oleh teks dalam struktur

bahasa, juga dalam kebudayaan dan realitas.41 Signifikansi bergerak lantaran

persentuhannya dengan horizon-horizon kekinian dan realitas, dan gerakan

tersebut tidak bisa lepas dari ketentuan makna. Oleh karena itu, makna relatif

konstanta, sedangkan yang berubah hanyalah signifikansinya. Dengan

38 Ibid., hlm. 144. 39 Ibid. 40 Dua langkah ini didasarkan pada ketidak sesuaian antara asumsi mengenai realitas sosial,

antara obyektivis dan fenomenologis. 41 Ibid., hlm. 220-221.

72

Page 25: BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/3/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU ZAID A. Biografi

pemahaman seperti, Abu Zaid, hendak mengatakan bahwa inilah yang

obyektif, lepas dari kepentingan-kepentingan ideologi.

Pendapat inilah yang dijadikan dasar konsep hermeneutika Abu Zaid.

Dalam tulisan berikutnya dia menjelaskan bagaimana cara kerja antara

dimensi asal (al-ashl) dan tujuan (ghayah), antara makna (dalalah) dan

sigsifikansi (maghza). Dalam bab selanjutnya, Abu Zaid menjelaskan bahwa

pembacaan produktif, dalam memaknai (interpretaasi) ulang al-Qur’an

didasarkan pada dua konsep penting yaitu makna (dalalah) dan signifikansi

(maghza). Kedua hal tersebut harus tetap berdialektika terus menerus tanpa

henti. Karena upaya untuk melakukan pembacaan produktif dalam mencapai

makan dapat dilakukan dengan penyingkapan makna. Penyingkapan makna

ini merupakan upaya kembali kepada makna asal, sementara untuk sampai

pada signifikansi mencerminkan tujuan dan sasaran dari tindak pembacaan.

Gerakan antara makna dan signifikansi, terjadi bolak-balik dan berulang-

ulang. Gerakan ini diawali dari realitas untuk menyingkap makna teks masa

lalu, kemudian makna tersebut kembali lagi untuk menetapkan signifikansi

dan mengubah titik permulaan, sesuai dengan konteks kekinian.42

Dengan melihat metode yang dikembangkan oleh Abu Zaid, bahwa

sebelum memproduk hukum dari teks al-Qur’an maupun Hadits, seorang

mujtahid harus mampu terlebih dahulu menyingkap makna asli teks tersebut,

dalam konteks realitas ketika teks turun. Setelah makna asli ditemukan,

seorang mujtahid, berusaha untuk mengkontekskan dengan realitas saat ini.

42 Ibid., hlm. 144.

73

Page 26: BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/3/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU ZAID A. Biografi

Kerja hermeneutik adalah hendak mengungkap makna yang tidak terungkap

dalam teks. Media yang ditempuh adalah dengan melakukan kajian sejarah

tentang kondisi sosial dan melakukan analisis bahasa.

C. Beberapa Contoh Ijtihad Abu Zaid

Untuk mendukung pemikiran Abu Zaid, penting kiranya mengetahui

beberapa hasil ijtihad dia berkaitan dengan hukum Islam. tentunya dengan

kerangka metode yang telah ditawarkan. Diantara beberapa hasil ijtihad dia

adalah persoalan hak waris perempuan dan poligami.

Hak Waris Perempuan

Sebagai contoh dari pemikiran Abu Zaid adalah dalam hal warisan.

Menurut dia, posisioning yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan

dalam hal warisan yang terdapat dalam al-Qur’an lebih didasarkan atas

hubungan-hubungan patriarkhal kesukuan. Pemberlakuan tidak setara antara

laki-laki dan perempuan sebenarnya tidak hanya dalam hukum warisan saja,

melainkan dalam hampir seluruh hukum Islam.43 Ayat yang biasa dijadikan

rujukan dalam hal waris adalah.

للرجال نصيب مما ترك الوالدان واالقربون وللنساء نصيب مما ترك الوالدان واالقربون مما قل منه

واذاحضرالقسمةاولواالقربى واليتامى والمساكين فارزقوهم منه وقولوا ) ٧(او كثر نصيبا مفروضا

وااهللا وليخش الذ ين لو تركوا من خلفهم ذرية ضعافاخافواعليهم فليتق ) ٨(لهم قوال معروفا

ان الذين ياْكلون اموال اليتامى ظلما انما ياْكلون في بطونهم ناراوسيصلون ) ٩(وليقولواقوالسديدا

43 Ibid., hlm. 223.

74

Page 27: BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/3/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU ZAID A. Biografi

يوصيكم اهللا فى اوالدكم مثل حظ االنثيين فان كن نساْفوق اثنتين فلهن ثلثا ما ترك وان ) ١٠(سعيرا

ولد فان لم يكن له كانت وحدة فلهاالنصف والبيه لكل واحدمنهماالسدس مما ترك ان كان له

ولدوورثه ابواه فالمه الثلث فان كان له اخوة فال مه السدس من بعدوصية يوصى بها اودين اباؤكم

)١١(وابناؤكم التدورون ايهم اقرب لكم نفعا فريضة من اهللا ان اهللا كان عليما حكيما

Artinya: Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta yang ditinggalkan oleh orang tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian pula dari harta yang ditinggalakan oleh orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. Dan apabila dalam waktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik. Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggal-kan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, dan mereka khawatir terha-dap mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala! Allah mewasiatkan bagimu tentang (hak pewarisan) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua perempuan […] (tentang) orang tuamu atau anak-anakmu, kamu tidak me-ngetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (manfaat-nya) bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesunguhnya Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana.44(QS Al-Nisa’ [4]: 7-11).

Dengan melihat ayat tersebut di atas Abu Zaid menunjukkan dua hal yang

seharusnya dipertimbangkan dalam memahami wacana al-Qur’an ten-tang

warisan. Pertama, Al-Qur’an sebenarnya memperkuat hubungan antara sanak

saudara, anak-anak yatim, dan orang miskin yang dalam hukum waris

(fara’idh) tradisional tidak mempunyai hak waris, dengan memberikan seba-

gian harta warisan kepada mereka jika datang pada saat pembagian warisan.

Kedua, Al-Qur’an menekankan bahwa hubungan klan (‘ashabiyyah) bukanlah

hubungan kemanusiaan yang paling penting sebagaimana yang dipahami

44 Al-Qur’an dan Terjemahnya, Mujamma’ al Malik Fahd li Thiba’at al Mushaf asy-Syarif

Medinah Munawwarah, 1990, hlm. 116-117.

75

Page 28: BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/3/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU ZAID A. Biografi

orang-orang masa pra-Islam. dari kedua poin ini dapatlah diambil konklusi

bahwa konsep al-Qur’an tentang keadilan ekonomi lebih luas ketimbang

zakat, shadaqah (karitas), dan mirats (pewarisan) karena tujuannya adalah

untuk menghilangkan perputaran harta dikalangan orang-orang kaya saja. Al-

Tawbah [9]: 60. Abu Zaid menyarankan bahwa konsep waris dalam al-Qur’an

seharusnya dipahami dalam konsep yang lebih umum, yakni untuk menegak-

kan keadilan ekonomi umat.

Abu Zaid juga melihat posisi perempuan dalam masyarakat pra-Islam dari

aspek konteks sosio historisnya. Petanda dari sebagian besar hukum Islam

yang berkaitan dengan perempuan, juga signifikansinya, tidak bisa diungkap

tanpa mempertimbangkan kebudayaan arab pra-Islam. Dalam budaya masya-

rakat arab pra-Islam, perempuan tidak mempunyai hak untuk memiliki.

Karena tidak produktif, perempuan (dan juga anak-anak kecil) tidak menda-

patkan warisan; bahkan sebaliknya mereka dapat diwariskan layaknya harta

warisan. Aturan standarnya terkait dengan produktifitas masalah ekonomi,

sebagaimana yang mereka katakan: “kita tidak memberikan warisan kepada

seseorang yang tidak bisa menunggang kuda, tidak kelelahan dan tidak

melukai musuh”.45 Ini mengekspresikan sebuah kebudayaan yang meng-

anggap bahwa peperangan tidak saja hanya untuk mendapatkan kekuasaan

tetapi juga harta kekayaan hasil dari rampasan perang (ghanimah) dan budak

tawanan. Dalam kebudayaan yang semacam ini al-Qur’an menyatakan bahwa

45 Ibid., hlm. 224.

76

Page 29: BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/3/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU ZAID A. Biografi

perempuan mendapatkan warisan setengah dari bagian laki-laki, dan bahkan

mereka mempunyia hak untuk mendapatkan kalalah. 46

Kacamata yang dipakai Abu Zaid, adalah sebagaimana ijtihad yang

dilakukan khalifah Umar ibn Khattab ketika tidak memberikan hak zakat

kepada mu’allaf. Padahal dalam al-Qur’an secara jelas tertulis bahwa salah

satu asnaf yang berhak mendapatkan zakat adalah mua’allaf. Argumen yang

dipakai oleh sahabat Umar adalah alasan legal (‘illah al-hukm)-nya, bahwa

pada masa nabi, muslim masih sedikit dan lemah, oleh karena itu perlu adanya

penghargaan kepada orang-orang yang baru masuk Islam. tentunya berbeda

dengan masa Umar yang dirasa bahwa muslim sudah kuat, sehingga tidak

perlu lagi memberi penghargaan berupa zakat kepada mu’allaf. Ini didasarkan

pada prinsip hukum Islam (al-hukmu yaduru ma’a ‘illatihi wujudan wa

‘adaman). Abu Zaid menyatakan bahwa konteks dan alasan legal dari hak

perempuan untuk mendapatkan warisan sudah berubah. Pada masa nabi,

secara ekonomi, perempuan tidak produktif, sementara pada masa sekarang

perempuan produktif. Jadi, hukum dalam hal ini haruslah berubah.

Bagian warisan perempuan sebagai bagian yang ditetapkan oleh Allah

(faridhah min Allah) yang tidak seorangpun boleh menguranginya. Dari sini,

Abu Zaid beralih argumen lain, yang mendukung argumen pertama (tentang

alasan produktivitas perempuan). Analisis lain dari frase “bagi laki-laki

bagian yang sebanding dengan bagian dua perempuan”, jika dilihat dari

46 Kalalah adalah pewarisan di mana seorang yang meninggal tidak mempunyai anak maupun

orang tua. Harta warisannya harus diberikan kepada saudara laki-laki dan perempuannya. Dalam hal ini, saudara perempuan mendapatkan kalalah, hal yang tidak pernah terjadi pada zaman jahiliyah.

77

Page 30: BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/3/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU ZAID A. Biografi

susunan teks, laki-laki yang mendapat bagian terlebih dahulu baru kemudian

bagian perempuan. Ini menunjukkan bahwa al-Qur’an membatasi bagian laki-

laki ketimbang bagian perempuan. Bagian laki-laki merupakan bagian

maksimum sementara bagian perempuan merupakan bagian minimum.

Dengan memperhatikan arah teks, berarti laki-laki dan perempuan mendapat

bagian sama. Dalam hal ini Abu Zaid, mengkaji hukum pewarisan dalam

konteks level makna ketiga, yang harus diungkap signifikansi pesannya.47

Argumen Abu Zaid ini bisa digambarkan dalam diagram sebagai berikut.

48

Interpretasi tentang Hak Waris Perempuan

Dalam budaya pra-Islam: Perempuan tidak mendapatkan warisan.

Makna

Arah teks

Signifikansi

Islam membatasi bagian laki-laki: “seperti bagian dua perempuan”.

Bagian laki-laki maksimum, bagian perempuan minimum.

Perempuan berhak mendapatkan bagian

yang sama. “Yang tak

terkatakan”

78

47 Moch. Nur Ichwan, Meretas, Op. Cit., hlm. 148. 48 Ibid.

Page 31: BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/3/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU ZAID A. Biografi

Poligami

Dalam al-Qur’an ayat yang menjelaskan tentang poligami terdapat dalam

surat Al-Nisa’ [4]: 3.

وانخفتم االتقسطوافىاليتامى فانكحوا ماطاب لكم من النساء مثنى وثلث ورباع فان خفتم اال تعدلوا

)٣:ا لنساء ( فواحدة اوماملكت ايمانكم ذلك ادنى اال تعولوا

Artinya: Jika kalian takut akan tidak bisa berlaku adil terhadap perempuan yatim, maka nikahilah perempuan-perempuan yang kamu sukai: dua, tiga, atau empat; namun jika kalian takut tidak akan berlaku adil (terhadap mereka), maka seorang saja, atau yang dimiliki tangan kananmu (budak perempuan atau tawanan perang). Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada perbuatan yang tidak aniaya. 49 (QS Al-Nisa’ [4]: 3).

Menurut Abu Zaid, sebagaimana dikutip Moch. Nur Ichwan dalam

mendiskusikan ayat poligami diatas dibagi menjadi tiga langkah.50 Pertama,

konteks teks itu sendiri. Dia mengkontraskan absennya praktek hukum

memiliki ‘yang dimiliiki tangan kananmu’ (budak perempuan atau tawanan

perang) sebagai ‘selir’ dalam wacana Islamis pada satu sisi, dan untuk

mempertahankan poligami: “makna nikahilah perempuan-perampuan yang

kamu sukai: dua, tiga, atau empat,“ pada sisi lain. Menurut Abu Zaid, ada

sesuatu yang hilang, yakni kesadaran akan historisitas teks-teks keagamaan,

bahwa ia adalah teks linguistik dan bahwa bahasa adalah produk sosial dan

kultur. Abu Zaid berargumen bahwa izin bagi seorang laki-laki untuk menikah

dengan hingga empat istri haruslah diletakkan dalam konteks hubungan antar

manusia, khususnya hubungan antara laki-laki dan perempuan sebelum

49 Ibid., hlm, 115. 50 Moch. Nur Ichwan, Meretas, Op. Cit., hlm. 139.

79

Page 32: BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/3/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU ZAID A. Biografi

kedatangan Islam. Dalam periode pra-Islam, hukum kesukuan sangatlah

dominan dan poligami tidak dibatasi.

Dalam konteks ini izin untuk memiliki istri sampai empat dipahami

sebagai awal upaya penghormatan kepada kaum perempuan. Abu Zaid,

menyarankan bahwa pembahasan ini harus dipahami sebagai awal

pembebasan terhadap perempuan dari dominasi kaum laki-laki.

Kedua, meletakkan teks dalam konteks secara keseluruhan. Dengan ini,

Abu Zaid berharap bahwa “yang tak terkatakan” atau yang implisit dapat

diungkapkan. Teks al-Qur’an sendiri juga menyarankan untuk hanya memiliki

seorang istri jika suami takut tidak bisa berbuat adil: “jika kamu takut tidak

akan bisa bertindak adil (terhadap mereka), maka seorang saja.” dalam ayat

yang lain juga dipertegas bahwa: “kamu tidak akan bisa berbuat adil diantara

istri-istri kamu meskipun kamu sangat berkeinginan untuk

melakukannya.(QS. Al-Nisa’ [4]: 129). Analisis linguistik dari ayat poligami

adalah taidak mungkin bersikap adil kepada istri. Penggunaan klausa kondi-

sional (pengandaian) dan penggunaan partikel kondisional law (jika) menan-

dakan penegasian terhadap jawab al-syarth (konklusi dari klausa kondisional)

disebabkan karena adanya penegasian terhadap kondisi (syarth) itu. Yang

harus diperhatikan adalah penggunaan partikel lan (tidak akan pernah) yang

berfungsi sebagai koroborasi (ta’yid) di awal kalimat, ini menunjukkan bahwa

“dapat bertindak adil” tidak akan pernah terjadi. Disini Abu Zaid menyim-

pulkan bahwa terdapat negasi ganda: pertama, negasi total terhadap kemung-

kinan bertindak adil terhadap dua istri atau lebih, dan kedua, negasi terhadap

80

Page 33: BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/3/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU ZAID A. Biografi

kemungkinan memiliki keinginan yang kuat untuk berlaku adil terhadap

mereka.

Abu Zaid meminjam distingsi ‘Adil Dhahir tentang mabda’ (prinsip),

qai’dah (kaidah), hukm (hukum). Keadilan, kebebasan, hak untuk hidup, dan

kebahagiaan, termasuk dalam katagori mabda’. Qa’idah adalah derivasi dari

mabda’ dan tidak boleh bertentangan dengannya. Missalnya: “jangan mencuri,

jangan berzina, jangan membuat kesaksian palsu, jangan mengganggu orang

lain,” adalah termasuk mabda’. Dalam konteks yurisprudensi Islam, tujuan

universal syari’at (al-maqashid al-kulliyyah li al-syari’ah) sebagaimana yang

diungkapkan oleh al-Syatibi dalam al-Muwaffaqat, yakni perlindungan

terhadap agama (hifd al-din), jiwa (hifd al-nafs), akal (hifd al-‘aql), keturunan

(hifd al-nasl) dan harta (hifd al-mal).51 Sementara Abu Zaid menawarkan tiga

prinsip universal dalam hukum Islam. pertama, rasionalisme (‘aqliyyah)

sebagai lawan dengan jahiliyyah, dalam pengertian mentalitas kesukuan dan

tindakan emosional. Kedua, kebebasan (hurriyyah), yang dilawankan dengan

segala bentuk perbudakan (‘ubudiyyah). Ketiga, keadilan (‘adalah) sebagai-

mana dilawankan dengan eksploitasi manusia (zhulm).52

Dalam konteks poligami, keadilan adalah mabda’ (prinsip) sementara

untuk memiliki sampai empat istri adalah hukm. Hukm tidak menjadi qa’idah

apalagi mabda’. Hukm adalah peristiwa spesifik dan relatif, tergantung

perubahan kondisi yang melingkupinya. Ketika terjadi kontradiksi antara

mabda’ dan hukm, yang terakhir harus dikalahkan untuk mempertahankan

51 Abi Ishaq al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushu al-Syari’ah, (Libanon: Dar al-Kitab Al’ala-miyyah, t.th), juz II, hlm. 8.

52 Abu Zaid, Dawa’ir, hlm. 288-289. dalam Moch. Nur Ichwan, Meretas, Op. Cit., hlm. 141.

81

Page 34: BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/3/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU ZAID A. Biografi

yang pertama. Abu Zaid berpendapat bahwa al-Qur’an melarang poligami

secara tersamar dengan kata lain limitasi itu sesungguhnya mengindikasikan

pelarangan (pengharaman) secara tersamar (al-tahrim al-dhimmi). 53

Langkah ketiga, berdasarkan kedua langkah tersebut, Abu Zaid

mengusulkan sebuah pembaharuan hukum Islam. dalam hukum Islam klasik,

poligami diklasifikasikan di bawah bab “hal-hal yang diperbolehkan” (al-

mubahat). Terma “pembolehan”, menurut Abu Zaid, tidaklah sesuai karena

pembolehan terkait dengan hal yang tidak dibicarakan oleh teks, sementara

pembolehan poligami dalam al-Qur’an pada hakekatnya adalah sebuah pem-

batasan dari poligami yang tak terbatas yang telah dipraktekkan sebelum da-

tangnya Islam. Pembatasan tidak berarti pembolehan. Namun demikian,

poligami tidak masuk dalam bab “pelarangan (pengharaman) terhadap hal

yang diperbolehkan” (tahrim al-mubahat). Dalam hal ini Abu Zaid

berpendapat bahwa poligami sebagai hukm tidak boleh merusak qa’idah dan

mabda’, sehingga poligami dilarang. Dibawah ini adalah diagram tentang

interpretasi ayat poligami.54

53 Ibid. 54 Ibid., hlm. 143.

82

Page 35: BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/3/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU ZAID A. Biografi

Interpretasi tentang Poligami

Praktek poligami pra-Islam: poligini tidak terbatas.

Makna

Arah teks

Islam membatasi poligami: empat istri dengan syarat suami bisa

bertindak adil.

Sikap adil dalam poligami tidaklah mungkin: monogami lebih

ditekankan

Signifikansi Tujuan akhir legislasi Islam: monogami

“Yang tak

terkatakan”

Poligami dilarang

Jika dilihat dari diagram diatas, wacana al-Qur’an mengenai poligami

mempunyai level makna ketiga, dimana pemahaman haruslah melampaui

makna historisnya dengan menguak signifikansi masa kininya. Bahkan,

mampu menguak dimensi “yang tak terkatakan” dari suatu pesan. Akhirnya,

penggunaan distingsi ‘Adil Dhahir tentang mabda’, qa’idah, dan hukm untuk

mendukung argumennya menarik untuk dicermati. Dengan penggunaan

83

Page 36: BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/3/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB III KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU ZAID A. Biografi

distingsi ini, pandangan bahwa poligami adalah dilarang dapat dengan mudah

dan sistematis dipahami.

84