bab iii nasr hamid abu zayd dan dekonstruksi...
TRANSCRIPT
48
BAB III
NASR HAMID ABU ZAYD DAN DEKONSTRUKSI GENDER
A. Biografi Nasr Hamid Abu Zayd
Nasr Hamid Abu Zayd adalah seorang pemikir Muslim kontemporer
asal Mesir, yang bernama lengkap Nasr Hamid Rizk Abu Zaid. Sebagai
seorang pemikir kontemporer sudah barang tentu ia mempunyai latar belakang
hidup dan gaya pikir tersendiri, dan tentunya paradigma atau persepsi tersebut
tak lepas dari kultur lingkungan dan pendidikan serta karakter dari leluhur
Nasr Hamid Abu Zayd yang telah membentuk corak pemikirannya.
1. Sejarah Singkat, Karir Akademik dan Karya-karyanya
Nasr Hamid Abu Zayd dilahirkan pada tanggal 10 Juli 1943 di
Desa Qahafah dekat Kota Thontha ibukota Propinsi al-Gharbiyah Mesir.1
Orang tuanya memberikan nama Nasr dengan harapan agar ia selalu
membawa kemenangan atas lawan-lawannya, mengingat kelahirannya
bertepatan dengan Perang Dunia II.2
Religiositas dalam lingkungan keluarganya terbangun, karena
bapaknya adalah seorang aktivis Al-Ikhwan al-Muslim dan pernah
dipenjara menyusul dieksekusinya Sayyid Quthb. Sebagaimana kebiasaan
di Mesir, anak-anak kecil sudah mulai belajar menulis kemudian
1 Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam dari Abu Bakar Hingga Nasrdan Qardhawi,
Jakarta: Hikmah (Mizan Publika), 2003, hlm. 348. 2 Nasr Hamid Abu Zayd, Al-Ittijah Al-Aqly fi Al-Tafsir; Dirosah fi Qadhiyyat Al-Majaz fi
Al-Qur’an ‘Inda Mu’tazilah, Terj. Abdurrahman Kasdi dan Hamka Hasan, Menalar Firman Tuhan; Wacana majas dalam Al-Qur’an menurut mu’tazilah, Bandung; Mizan, 2003, hlm 10.
49
menghafalkan Al-Qur’an. Begitu juga dengan Nasr Hamid, dia mulai
belajar dan menulis semenjak umur empat tahun, kemudian menghafal Al-
Qur’an di Kuttab di desanya Qahafah. Dia mampu menghafal Al-Qur’an
pada usia delapan tahun, karena itulah, kawan-kawannya memanggil
“Syaikh Nasr”.3 Julukan tersebut pantas diberikan kepadanya, melihat
minat dan keseriusan Nasr Hamid kecil, baik dalam menghafal Al-Qur’an,
belajar membaca, menulis, mengaji, dan mendalami ilmu-ilmu agama
yang dapat dikatakan lebih unggul dibandingkan dengan anak-anak di
lingkungannya.
Di luar pendidikan non formalnya (mengaji), dia juga menempuh
pendidikan formal pada Madrasah Ibtida’iyyah (SD) dan menengahnya di
Thantha kampung halamannya pada tahun 1951. Setamat dari sini, ia
sebenarnya ingin melanjutkan pada sekolah menengah umum, al-Azhar.
Namun orang tuanya tidak menghendakinya, dan akhirnya ia memenuhi
kehendak orang tuanya dengan melanjutkan pendidikannya di sekolah
tekhnologi di Distrik Kafru Zayyad, Propinsi Gharbiyyah.4
Meski gagal masuk di al-Azhar, semangat Nasr Hamid untuk
mempelajari pemikiran Islam tidak surut. Di sela-sela aktifitasnya bersekolah,
ia menyempatkan untuk membaca buku-buku pemikiran Islam. Antara lain
karya Al-Manfaluthy, Yusuf Al-Syiba’iy, Taufiq Al-Hakim, Al-‘Aqqad, Najib
Mahfud dan Taha Husein. Bahkan dia sering mengadakan diskusi dengan
3 Moch. Nur Ichwan, Al-Qur’an sebagai Teks; Teori Teks dalam Hermeneutik Qur’an Nasr
Hamid Abu Zayd, dalam Abdul Mustaqim dan Sahiran Syamsudin (eds), Studi Al-Qur’an Kontemporer; Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, Yogyakarta; Tiara Wacana, 2002, hlm 105.
4 Hery Sucipto, Op. Cit., hlm 349.
50
pemikir Islam lainnya, semisal Jabir Ushfur, Sayyid Al-Hulwu, Mohammad
Mansi Qindil, Farid Abu Sa’dah, M. Shaleh dan Said Kafrawi.5
Selain aktif di dunia pemikiran dan intelektual, Nasr Hamid juga
aktif dalam dunia gerakan. Langkah bapaknya yang aktif di Al-Ikhwan al-
Muslimun kemudian diikuti oleh Nasr Hamid. Di usianya yang masih
belia pada umur sebelas tahun, ia bergabung dengan al-Ikhwan al-
Muslimun yang dipimpin Sayyid Quthb pada tahun 1954. Bertepatan
dengan semakin kuat dan menyebarnya gerakan al-Ikhwan yang hampir
memiliki cabang di setiap desa.6 Dalam aktifitasnya mengikuti gerakan ini,
dia pernah dijebloskan dalam penjara.
Ia harus merasakan tahanan penjara selama satu hari disebabkan
namanya tercantum dalam daftar anggota ketika pihak keamanan negara
melakukan serangkaian penangkapan terhadap para aktifis Ikhwan. Tetapi
karena usianya masih di bawah umur, akhirnya dia dibebaskan dari
penjara.
Pada awalnya, dia tertarik dengan pemikiran Sayyid Qutbh dalam
bukunya al-Islam wa al-‘Adalah al-Ijtima’iyyah (Islam dan Keadilan
Sosial). Khususnya yang menekankan pada aspek keadilan dalam
menafsirkan Islam.7 Tetapi, dalam pengembaraan intelektualnya, akhirnya
ia pun berbalik arah dengan mengkritik pemikiran-pemikiran Sayyid Qutbh.
5 Ibid. 6 Nasr Hamid Abu Zayd, Al-Ittijah, Op. Cit., hlm 11. 7 Moch. Nur Ichwan, Op. Cit., hlm 15-16.
51
Setelah kematian bapaknya, ketika ia berusia empat belas tahun
(Oktober 1957), dia menjadi tumpuan harapan orang tuanya dan harus
bekerja untuk membantu perekonomian keluarga. Pada tahun 1960, dia
telah meraih gelar diploma teknik. Namun keinginannya untuk
melanjutkan ke sekolah menengah umum pun tidak pernah surut hingga
akhirnya lulus ujian akhir persamaan. Dan pada tahun 1961, dia mulai
bekerja sebagai teknisi di dinas perhubungan.8
Di tengah-tengah aktifitas bekerja, dia juga rajin menulis artikel.
Pada tahun 1964 artikel pertamanya terbit dalam sebuah jurnal yang dipimpin
oleh Amin al-Khulli, al-‘Abad. Ini adalah awal hubungan dia dengan seorang
pemikir Islam dalam studi Al-Qur’an di Mesir yang menawarkan tentang
pendekatan susastra (al-manhaj al-adabi) atas teks Al-Qur’an. Tokoh inilah
yang kemudian banyak mempengaruhi pemikiran dia di kemudian hari.
Pada tahun 1968, Nasr Hamid melanjutkan studinya ke Fakultas
Adab, Jurusan Bahasa Arab di Universitas Kairo. Sambil tetap bekerja di
siang hari dan masuk kuliah di malam hari.
Pada tahun 1972, dia lulus dengan predikat cumlaude sehingga
dia diangkat sebagai dosen tidak tetap (asisten dosen) di almamaternya.
Dia mengakui bahwa daya analisis dan kritisnya tumbuh ketika menjadi
mahasiswa di perguruan tinggi tetapi dia juga tidak menafikan pengalaman
dan petualangannya sebelum menjadi mahasiswa juga cukup berperan
8 Nasr Hamid Abu Zayd, al-Ittijah, Op. Cit., hlm. 10.
52
dalam menata masa depannya. Sejak itulah kurang lebih pada tahun 1961-
1972, wataknya beralih dari watak teknisi menjadi watak akademisi.9
Pada tahun 1992, Nasr Hamid diusulkan untuk dipromosikan
menjadi profesor (al-ustadz). Akan tetapi promosinya tersebut ditolak
karena tesisnya dianggap telah keluar dari nilai-nilai ajaran Islam. Sejak
itu, tepatnya 16 Desember 1993, bermula dari sidang di suatu forum
“Universitas Kairo” menyebar hujatan yang ditujukan kepadanya.
Terutama dilakukan oleh Dr. Abdus Shabur Syahin sebagai penilai
(muqarrir) terhadap makalah-makalah yang terbit di beberapa jurnal kecil,
buku-buku yang diajukan Nasr Hamid. Dr. Syahin menilai karya-karya
kritis Nasr Hamid berkadar keilmiahan rendah dan telah keluar dari batas-
batas keimanan. Menurutnya, ajakan Nasr Hamid kepada umat Islam
untuk membebaskan diri dari kekuasaan teks merupakan sebuah ajakan
untuk meninggalkan Al-Qur’an dan Sunnah.10
Opini tentang kekafiran Nasr Hamid oleh Dr. Syahin
dikumandangkan ke seluruh Mesir melalui koran, majalah, bahkan
dijadikan tema dalam khotbah jum’at di Masjid. Selanjutnya penilaiannya,
diikuti oleh penulis-penulis taqrir (penilaian) lainnya seperti Dr.
Muhammad Baltaqi, Dr. Ismail Salim, Dr. Sya’ban Ismail, Dr.
Muhammad Syu’kah. Hal ini memaksa pengadilan menjatuhkan vonis
9 Ibid, hlm. 11. 10 Nasr Hamid Abu Zayd, Al-Imam as-Syafi'i wa Ta’sis al-Aidulujiyah al-Wasathiyah, terj.
Khairon Nahdliyin, Imam Syafi'i: Moderatisme Eklektisisme Arabisme, Yogyakarta: LKiS, 1997, hlm. vi.
53
“murtad” dan harus bercerai berai dengan istri tercintanya, serta
konsekuensi-konsekuensi lain dari kemurtadan.11
Kasus Nasr Hamid membuat gempar Mesir dan dunia Islam pada
umumnya. Namun di tengah rintangan yang bertubi-tubi menimpa dirinya,
malahan tidak menyurutkan minatnya menghasilkan karya-karya ilmiah
kontemporer. Bahkan mendapat penghargaan dari presiden Tunisia
sebagai The Republican Order of Merit for the Service to Arab Culture.
Kemudian dalam bukunya al-Mar’ah fi al-Kitab al-Azmah (Perempuan
Dalam Wacana Krisis). Ia melakukan kritik terhadap wacana patriarkhal
tradisional tentang umumnya perempuan-perempuan di dunia Arab Islam.
Pemikiran Nasr Hamid, juga tidak dapat lepas dari konteks
wacana agama kontemporer dalam menyikapi turats (warisan intelektual)
dan gelombang tajdid (pembaharuan). Wacana keagamaan dihadapkan
pada posisi dilematis antara memperhatikan identitas diri dan modernisasi.
Desakan dari proses modernisasi, telah memunculkan reaksi kuat dari
kelompok Islam radikal dengan menyerukan diterapkannya syari’at Islam
dalam berbagai aspek kehidupan. Sementara di sisi lain juga muncul
tuntutan untuk menjadikan Islam sebagai basis ideologi. Seruan ini
dilakukan oleh Islam moderat sebagai umpan balik dari Islam ekstrim.12
Pada tahun 1955, di tengah kecaman yang tidak kunjung reda, Nasr
Hamid memperoleh ke-Profesor-an penuh (Guru Besar). Setelah
11 Ibid, hlm. vii. 12 Sahiron Syamsudin, et. all., Hermeneutika Al-Qur’an Madzhab Yogya, Yogyakarta:
Islamika, 2003, hlm. 105.
54
menyelesaikan beberapa karyanya dan menyerahkan sembilan tulisannya
kepada panitia promosi yang pada hakekatnya merupakan panitia baru. Baru
setelah itu, ia kemudian mengasingkan diri bersama istrinya untuk melanjutkan
karier akademiknya sebagai profesor tamu di Lieden University Belanda.
Selama di Negeri Kincir Angin itu, ia mendapatkan kebebasan
penuh untuk membangun sikap kritisnya. Untuk pertama kalinya Nasr
Hamid yang juga bertipikal feminis (Moslem Feminisme) menuangkan
pemikirannya dalam Dawa’ir al-Khauf; Qira’ah fi Khitab al Mar’ah
(Lingkaran Ketakutan; Pembacaan Atas Wacana Perempuan). Buku ini
muncul saat berada di pengasingan dan dipersembahkan secara khusus
bagi istri tercintanya DR. Ibtihal Yunis yang dengan penuh kerelaan dan
kesetiaan mendampingi di pengasingan. Ia merespon wacana perempuan
Arab-Islam yang masih membelenggu dengan kultur patriarkhi tradisional
yang masih dominan.13
Nasr Hamid merupakan sosok diri yang kritis. Dari setting
keilmuannya, fakultas sastra dan melengkapi kerja intelektualnya dengan
perangkat metodologi “analisa wacana”. Semangat utamanya dalam
membaca kembali warisan-warisan intelektual Islam sebagai teks-teks
keagamaan yang berinteraksi dalam wacana tertentu yang bersifat
ideologis. Artinya, kajian tidak berhenti pada terpahaminya makna literal
13 Nasr Hamid Abu Zaydd, Dawa’ir al-Khauf; Qira’ah fi Khitab al-Mar’ah, terj. Nur
Ichwan dan Moch. Syamsul Hadi, Dekonstruksi Gender; Kritik Wacana Perempuan dalam Islam, Yogyakarta: Samba, 2003.
55
dari teks namun melangkah ke luar menguak signifikansi sosal, ekonomi,
politiknya.
Seiring dengan wacana agama yang berkembang, pasca munculnya
karya Dawa’ir al-Khauf lahirlah beberapa karya-karya monumentalnya.
Baik hasil pemikirannya semasa ia di Mesir maupun selama di Belanda.
Nasr Hamid memandang perlu pembacaan ulang terhadap ilmu-ilmu Al-
Qur’an tradisional secara kritis dan dilandasi kesadaran ilmiah terhadap
turats.
Ada dua tujuan utama dalam upayanya tersebut.14 Pertama,
merajut kembali hubungan antara kajian Al-Qur’an dengan kajian-kajian
sastra dan kajian-kajian kritis. Kedua, upaya mendefinisikan konsep Islam
secara objektif agar tidak terjebak dalam kepentingan–ideologis.
Wal hasil, munculnya berbagai kontroversi seputar Nasr Hamid
dengan ulama di Kairo Mesir bahkan mungkin dunia Islam pada umumnya
adalah kewajaran. Oleh karena tipologi pemikiran yang dimunculkan
dengan pendekatan linguistik, semiotik, dan hermeneutik merupakan hal
baru. Adanya perbedaan penafsiran (interpretasi) dan cara pandang
terhadap wacana agama sebaiknya dijadikan sebagai rahmatal lil ‘alamin.
2. Geneologi Pemikiran
Sebagaimana pemikir Muslim kontemporer lainnya, seperti
Fazlur Rahman, ‘Abid al-Jabiri, Muhammad Syahrur, dan Muhammad
14 Nasr Hamid Abu Zaydd, Mafhum an-Nash Dirasah fi ‘Ulum Al-Qur’an, terj. Khoiron
Nahdliyyin, Tekstualitas Al-Qur’an; Kritik terhadap Ulumul Qur’an, Yogyakarta: LKiS, 2001, hlm. 14.
56
Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd juga berusaha memadukan tradisi berfikir
keilmuan kontemporer yang telah memanfaatkan kerangka teori dan
metodologi yang digunakan oleh ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
Upaya pembaharuan (al-tajdid) Nasr Hamid terhadap tradisi
(turats) tidak bisa dilepaskan dari konteks wacana keagamaan
kontemporer, terutama di dunia Arab–Islam. Menurutnya kesadaran ilmiah
terhadap tradisi akan dapat melahirkan perangkat yang efektif dalam
melawan gagasan konservatisme dan merupakan prasyarat mendasar bagi
keberhasilan kebangkitan dan pembaruan. Gagasan pembaruan itu
diwujudkan ketika umat Islam terbingkai –dalam bahasanya Nasr Hamid–
dalam peradaban teks. Oleh karena itu, menurutnya salah satu upaya
mengubah pandangan umat Islam, termasuk dalam memandang
perempuan, adalah dengan melakukan pembacaan dan penafsiran ulang
terhadap teks-teks keagamaan.15
Dalam konteks ini, wacana agama menghadapi tantangan dari
proses modernisasi. Di mana pada tingkat sosial, ekonomi, politik,
kultural, dan intelektual telah memaksa mereka bersikap moderat atas
nama pembaruan dan menjadikan Islam sebagai basis ideologinya.
Tentunya fenomena ini tidak saja berimplikasi pada tingkat sosial,
ekonomi, budaya, dan politis, tetapi juga pada teks-teks keagamaan itu
sendiri. Teks lalu berubah fungsi (menjadi konsumsi sosial, politik, dan
15 Nasr Hamid Abu Zayd, Dawa’ir, Op. Cit., hlm. viii.
57
kultural) dan pembacaan teks menjadi tidak produktif (muntijah) tetapi
tendensius–ideologis (mugridah–talwiniyyah).16
Nasr Hamid dari sisi pemikiran banyak dipengaruhi oleh para
pemikir yang mengikuti trend kritik sastra sebagaimana telah disebutkan
pada sejarah singkat, karier akademik dan karya-karyanya. Perspektif yang
paling mendesak dalam kajian susastra (balaghoh) adalah wacana tentang
majas yang menghendaki analisis historis yang independen, terutama jika
dikaitkan dengan signifikansi Al-Qur’an dalam membentuk ungkapan
sastra yang unggul (al-i’tibar al-baligh).17 Oleh karena itu Nasr Hamid
berusaha memperbaharui konsep nash (mafhum an-nash) Al-Qur’an, yang
menurutnya bisa dipandang sebagai teks sastra Arab yang teragung dalam
sejarah (kitab al-fanni al-‘Arabi al-aqdas).18
Nasr Hamid juga pernah belajar dari Sayyid Qutbh (1906–1966),
pemimpin gerakan islamis moderat (Al-Ikhwan Al-Muslimin). Tetapi
pemikiran Sayyid Qutbh tidak dikembangkan oleh Nasr Hamid. Bahkan pada
akhirnya dia tidak sepakat dengan pola pikir yang dikembangkan oleh
organisasi tersebut. Dan dia lebih condong pada pemikiran kelompok-
kelompok sekularis yang diwakili oleh Syaikh ‘Ali ‘Abd al-Raziq, Thoha
Husayn, Zaki Najib Mahmud, Mahmud Nuwayhi, Muhammad ‘Abduh, Fu’ad
Zakariya, Faraj Fudah, Muhammad Sa’ad Al-‘Asymawi dan Hasan Hanafi.
16 Sahiron Syamsuddin, Loc. Cit. 17 Nasr Hamid Abud Zayd, Al-Ittijah, Op. Cit., hlm. 19. 18 Sahiron Syamsuddin, et. all., Op. Cit., hlm. xx.
58
Artinya, latar belakang dari lingkungan tempat ia bertempat
tinggal dan universitas Kairo yang menjadikan pergulatan bagi tumbuh
berkembangnya pemikiran, ditambah lagi berkecimpungnya dengan teori
interpretasi dan hermeneutika Barat sangat berpengaruh dalam membentuk
corak pemikiran yang dikembangkan melalui perangkat analisisnya.
Berawal dari pergulatannya mencari jati diri dalam hal pemikiran
maka muncullah semangat untuk melakukan pembacaan ulang (re-
reading) terhadap Islam secara objektif. Mengingat “teks-teks keagamaan”
seperti karya-karya Imam Madzhab merupakan warisan intelektual Islam
yang dibentuk dalam bingkai historis dan idiologis dalam konteks sosio–
kultural saat itu. Seiring dengan perubahan waktu dan jaman, tidak
mungkin saat ini memahami Islam sebagaimana yang dipahami Imam
Madzhab tersebut. Oleh karena itu diperlukan pembacaan kembali warisan-
warisan intelektual (turats) untuk dapat diperoleh signifikansi sosial,
ekonomi dan politiknya sehingga pengertian dan pemahaman objektif terhadap
Islam dapat diwujudkan.
Dengan berbagai pendekatan barunya, terutama bidang linguistik,
Nasr Hamid berusaha memahami teks dengan pemahaman ilmiah, bukan
pemahaman yang gaib–mitologis. Ia memperlakukan teks (nash) sebagai
produk budaya (muntaj tsaqafi), yang berpijak pada metode yang dilandasi
realitas dalam memahami teks dengan analisis kritisnya. Maka dialektika
antara teks dan realitas budaya diistilahkan dengan semiotika Al-Qur’an.
59
Semiotika –sebagaimana pemaparan M. Shohibuddin19 mengutip–
pendapat Nasr Hamid ada dua pengertian; pertama, terlepas dari sumber
ilahiyahnya. Teks Al-Qur’an mendasarkan acuannya pada sistem
kebahasaan kolektif yang melatarinya, yaitu bahasa Arab, terutama dalam
penggunaan historisnya di Jazirah Arab abad 6 M. Dalam arti ini, teks Al-
Qur’an sesungguhnya hanya bagian saja dari “semiotika sosial” yang
berlaku pada zamannya dan mendapatkan pengertiannya disana. Kedua,
dalam pada itu, teks Al-Qur’an sebagai pengungkapan individual
(“parole”/kalam) dari sistem kebahasaan kolektif (“language”/lisan),
bukanlah teks yang pasif dan menyalin begitu saja apa yang sudah baku
dan mapan dalam realitas, melainkan teks yang mampu menciptakan
sistem linguistiknya sendiri yang spesifik, yang bukan saja menyimpang
dari bahasa induknya tetapi juga mengubah dan mentransformasikannya
dalam gerak realitas sosial–historis.
Dari kedua pengertian itu, kemudian Nasr Hamid membedakan
dua fase teks Al-Qur’an –bukan memisahkan– karena teks yang sejati
yakni teks yang mampu membebaskan dari konteks semula, kemudian
memunculkan karakternya sendiri serta terlepas dari norma-norma yang
berasal dari luar. Dua fase teks Al-Qur’an yang menggambarkan interaksi
dan dialektika teks dengan realitas sosial–budayanya. Pertama, ketika teks
mengkonstruksikan dirinya secara struktural dalam sistem budaya, di
mana sistem bahasa merupakan bagiannya sebagai periode keterbentukan
19 Ibid. hlm. 112–113.
60
(marhalah at-tasyakkul) sebagai produk kebudayaan. Kedua, fase ketika
teks membentuk dan mengkonstruksi ulang sistem budaya, yaitu dengan
menciptakan sistem kebahasaan spesifik yang menyimpang dari bahasa
induksinya, yang menimbulkan efek perubahan pada sistem kebudayaan
lain sebagai periode pembentukan (marhalah at-tasykil). Teks yang
semula merupakan produk kebudayaan, kini berubah menjadi produsen
kebudayaan.20
Adalah semangat utama yang kemudian menggerakkan Nasr
Hamid untuk membaca warisan-warisan intelektual Islam sebagai “teks
keagamaan” yang bereaksi di dalam wacana tertentu yang selama ini
bersifat ideologis. Artinya kajian ini tidak berhenti pada terpahaminya
makna literal teks, tetapi juga melangkah jauh keluar untuk melihat
signifikansi sosial-ekonomi-maupun politiknya.
Dari sini dapat dipahami bahwa Nasr Hamid menggunakan
metode analisis wacana.21 Karena ia menyadari bahwa selama ini telah
terjadi hegemoni teks yang secara tidak sadar dilakukan oleh kelompok
yang mengatasnamakan penjaga tradisi intelektual Islam yang hanya
bisa menjelaskan isi teks tanpa dibarengi dengan tinjauan secara kritis.
Perlunya analisis wacana memang karena dijumpai banyak kelemahan
20 Ibid. 21 Analisis wacana digunakan oleh Nasr Hamid sebagai perangkat ideologinya. Hal ini
dilakukannya, berawal dari semangat dalam upayanya mengkaji tradisi, khususnya tradisi keagamaan (at-Turats ad-Dini). Misalnya, mengenai konteks wacana tradisional, terbetik dalam pemikiran Nasr Hamid untuk mempertanyakan “konsep teks” dan problematika interpretasi. Lihat Khoiron Nahdiyyin (Pengantar Redaksi), dalam Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab ad-Dini, terj. Khoiron Nahdiyyin, Kritik Wacana Agama, Yogyakarta: Lkis, 2003, hlm. xvi
61
tafsir. Sehingga dapat ditekankan, analisis wacana memberikan akar
metodologi guna melakukan ijtihad yang terlepas dari belenggu
ideologis-mitologis yang berkembang.
B. Dekonstruksi Gender Nasr Hamid Abu Zayd
Sebelum masuk pembahasan, perlu dijelaskan lebih dahulu bahwa
yang dimaksud dengan istilah dekonstruksi gender ini bukanlah meninjau
kembali apakah gender dalam Islam diperlukan atau tidak. Akan tetapi, ia
lebih diarahkan kepada penyorotan benang kusut posisi dan peran perempuan,
baik dalam ranah domestik maupun publik, dengan mengajukan sebuah
kerangka gagasan dari nilai-nilai humanisme. Tentunya dalam hal ini, tidak
bisa lepas dari pembacaan kembali (re-reading) terhadap Al-Qur’an sebagai
kitab suci dengan semangat pembebasan.
Makna-makna patriarkis dan misoginis yang diklaim berasal dari Al-
Qur’an merupakan hasil dari siapa, bagaimana, dan dalam konteks apa orang
membaca dan menyimpulkannya. Makna-makna itu juga terkait erat dengan
peran masyarakat penafsir dan negara dalam membentuk pengetahuan dan
otoritas keagamaan yang memungkinkan diterapkannya model pembacaan yang
patriarkis dan misoginis. Maka tidak menutup kemungkinan bahwa praktek
kebudayaan Muslim yang selama ini bercorak patriarkis dan misoginis pada
dasarnya bukan bersumber dari teks kitab suci melainkan dari penafsirannya.
Kritik Nasr Hamid atas wacana perempuan dalam Islam merupakan
bagian dari upaya dekonstruksi gender-nya yang dapat dijumpai dalam master
62
piece-nya Dawair al-Khauf: Qira’ah fi Khitab al-Mar’ah,22 di samping itu
juga karya-karyanya yang lain.23 Tulisan kritik wacana perempuan dalam
Islam ini muncul setelah ada dorongan dari sahabat karibnya Prof. Hasan
Yagi, seorang direktur penerbitan di pusat kebudayaan Arab (al-Markaz as-
Saqafi al-‘Arabi) melalui pertemuannya di dalam pameran buku internasional
Frankfurt. Pada saat itulah Nasr Hamid menyerahkan semua tulisannya dalam
bahasa Arab –baik yang sudah dipublikasikan maupun yang belum– di mana
sebagian besarnya ditulis sebelum dikeluarkannya “vonis pengadilan”
terhadap aspek-aspek pemikirannya.24
Dalam tulisannya ia menjelaskan bahwa persoalan mendasar dalam
wacana keagamaan adalah wacana tentang perempuan yang bersifat sektarian-
rasialistik, dalam pengertian bahwa ia memperbincangkan keabsolutan
perempuan dan menempatkannya dalam hubungan komparatif dengan
keabsolutan laki-laki. Ketika suatu pola hubungan bahwa antara laki-laki dan
perempuan saling berhadapan atau bertentangan telah terdefinisikan, dan dari situ
salah satunya harus tunduk dan takluk pada yang lain dan masuk secara patuh ke
22 Dijumpai upaya dekonstruksi gender oleh NasrHamid Abu Zayd meliputi issu penting
dalam wacana feminisme Muslim. Diawali dengan prolog yang meninjau kembali kisah Adam dan Hawa yang berkembang dalam masyarakat, dengan melakukan kritik terhadap penafsiran at-Tabari terhadap kisah itu yang dianggapnya banyak bersumber dari Bibel. Hal ini menghantarkan dekonstruksi gender-nya yang terbagi dalam dua bagian, yakni pertama: perempuan dalam wacana krisis. Bagian kedua; kekuasaan dan hak: idealitas teks dan krisis realitas. Yang masing-masing terdiri dari beberapa bab. Lebih jelasnya lihat dalam NasrHamid Abu Zayd, Dawair al-Khauf: Qira’ah fi Khitab al-Mar’ah, Terj. Moch. Nur Ichwan dan Moch. Syamsul Hadi, Dekonstruksi Gender: Kritik Wacana Perempuan dalam Islam, Yogyakarta: SAMHA, 2003.
23 Karya-karya yang mendukung karakteristik analisisnya dalam Dawair al-Khauf juga dipengaruhi oleh karya terdahulunya tentang perempuan yang berjudul al-Mar’ah fi Khitab al-Azmah (Perempuan di dalam wacana krisis) di Kairo pada 1994. Kemudian teks al-Ittijah al-‘Agli fi al-Tafsir: Dirasah fi Qadhiyyat al-Majaz fi Al-Qur’an ‘Inda al-Mu’tazilah (Rasionalisme dalam tafsir, studi problem metafor menurut Mu’tazilah).
24 Nasr Hamid Abu Zayd, Dawair al-Khauf …, Op. Cit., hlm. xxxiv
63
dalam wilayah otoritasnya. Menurutnya, di dalam penekanan wacana “ekualitas”
(al-musawah) dan “kemitraan” (al-musyarakah) adanya rasa superior, yakni
wacana tentang sentralitas laki-laki. Ketika perempuan dikatakan mempunyai
posisi sejajar maka yang dimaksud adalah kesejajaran yang diukur dengan ukuran
laki-laki. Dan ketika perempuan dibolehkan bekerjasama maka yang dimaksud
adalah bahwa ia mengabdi kepada laki-laki.25
Kritik Nasr Hamid terhadap wacana perempuan dalam Islam
dilakukan melalui ijtihadnya mengenai pemahaman, interpretasi dan tafsir
aqidah berangkat dari kesadaran yang tidak mungkin diingkari oleh kaum
muslimin, baik historis, sosiologis, politis, intelektual, dan kultural. Dengan
mempublikasikan kajian-kajian mengenai metodologi tafsir dan takwil di
dalam budaya Arab-Islam pada satu sisi dan Barat-Kristen pada sisi yang
lain.26
Nasr Hamid melontarkan kritik sebagai implementasi dari ijtihadnya
itu dengan bahasa yang terang-terangan tanpa ditutup-tutupi sebagaimana
pengakuannya dalam pengantar buku.27 Di dalam keterusterangannya ia
berpijak pada dua titik tolak utama. Pertama, kepercayaan yang mendalam
akan solidaritas Islam dan kekuatannya dalam jiwa manusia jika didasarkan
25 Ibid, hlm. 3. 26 Nasr Hamid Abu Zayd membedakan antara tafsir dan takwil, yakni; al-tafsir berarti
mengungkap sesuatu yang tersembunyi melalui tanda yang bermakna bagi mufassir melalui mana ia dapat sampai pada makna yang tersembunyi atau samar. Sedang al-ta’wil berarti kembali kepada sesuatu (perbuatan atau perkataan) untuk menyingkap makna yang ditujukan (dilalah) atau sumber (al-ashl), dan signifikansi (al-maghza) atau implikasi (al-‘aqibah). Lihat Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan; Metodologi Tafsir Al-Qur’an Menurut Hassan Hanafi, Jakarta: Teraju, 2002, hlm. 59
27 Ibid, hlm. xxvi.
64
atas akal dan kekuatan argumen dan lemah serta kacaunya Islam. Kedua,
dengan adanya iman pada diri seseorang tidak menjauhi pemahaman,
penjelasan dan interpretasi karena kepastian-kepastian iman keagamaan adalah
aqidah dan ibadah. Adapun pengujian dan hipotesis dilakukan melalui dua
pendekatan: pertama, membaca apa yang ditulis ulama terdahulu. Kedua,
memperbincangkan pendapat-pendapat mereka dalam perspektif kontemporer.
Hal tersebut dilakukan, mengingat tradisi pemikiran yang sebelumnya
dilakukan dengan pembacaan kritis dengan wujud karya-karya monumentalnya
dalam konteks ruang lingkup dan interaksi budayanya, harus kehilangan makna
daya kritisnya akibat ketertundukan pada belenggu tradisi yang diyakini
kebenaran sahihnya. Sehingga kecenderungan untuk sekedar mengulang-ulang
bahkan meringkasnya tampak lebih dominan dibandingkan dengan upaya kritis
membaca kembali warisan-warisan intelektual (turats) dalam konteks kekinian.
Dengan demikian, kajian gender tentang perempuan dalam Islam
mutlak dilakukan pembacaan ulang. Bahwa selama ini kajian gender yang
terkodifikasi hanya sekedar kutipan dan ringkasan dari apa yang sudah
dilakukan ulama terdahulu, semisal dari an-Nawawi dalam kitabnya, Uqudul
Lujain fi Bayani Huquqi Zaujain, tanpa mau melihat setting sosialnya, di
mana tantangan kultural dan sosiologis masa sekarang sangat berbeda jauh
dari tantangan yang pernah dihadapi pada masa silam ketika tersusunnya
karya tersebut.
Realitas adanya perubahan kondisi sosial dan membaiknya
kedudukan perempuan dalam masyarakat, maka tidak menutup kemungkinan
65
untuk membaca teks-teks keagamaan dalam makna historisnya dengan
maksud menemukan esensi dan mengungkapkan yang tetap (immutable),
ketentuan-ketentuan yang tidak bisa berubah (unchangeable dictates) yang
tersembunyi di balik kesementaraan dan perubahan.28
Konteks sosio-kultural mempunyai andil besar dalam menafsirkan
sebuah kitab ( Al-Qur’an). Ketika “teks” harus dipaksa untuk berpisah dengan
kondisi obyektif-historisnya ke dalam wilayah politik untuk melindungi dari
kehancuran dan kemusnahan. Sehingga dalam kondisi seperti ini, Al-Qur’an
akhirnya hanya menjadi mushaf yang kering dan terpisahkan antara teks dan
realitas.29 Imbasnya teks-teks agama mengalami transformasi dari obyek yang
harus dipahami dan ditafsirkan sekedar menjadi hiasan yang antik.
Padahal, seperti apa yang dikatakan oleh Nasr Hamid bahwa Al-Qur’an
sebagai produk budaya (muntaj tsaqafi) dan pada akhirnya membentuk budaya
(muntij tsaqafi) yang mempunyai peluang untuk dikaji dan ditafsirkan, karena
ekspresi hubungan dialektiknya antara teks budaya dan realitas dengan konteks
historisnya. Al-Qur’an itu sebenarnya historis meski di dalamnya ada kehendak
Tuhan yang suprahistoris. Al-Qur’an itu sendiri historis karena diturunkan di tanah
Arab dengan menggunakan bahasa Arab yang digunakan saat itu.
Selanjutnya, implikasi dari paradigma yang bersifat pasif terhadap
warisan intelektual (turats) Arab-Islam dalam kajian gender menjadi jalan di
tempat (stagnant) tanpa tersentuh sedikitpun upaya pembaruan (al-tajdid). Hal
28 Ibid, hlm. 42. 29 Makna teks (nash) dengan mushaf (buku) terdapat perbedaan. Distingsi teks lebih
merujuk kepada “makna” (dalalah) yang memerlukan pemahaman, penjelasan dan interpretasi sedangkan mushaf lebih merujuk kepada “benda” baik yang bersifat estetik maupun mistik.
66
itu disebabkan adanya kecenderungan berpegang pada tradisi lama
(konservatif) yang masih sangat kuat.
Persoalan teks menjadi sangat penting dalam peradaban umat Islam.
Ada beberapa hal yang menjadi titik pijakan. Pertama, bahwa sumber hukum
Islam termanifestasikan dalam wujud teks ( Al-Qur’an dan Hadits); kedua,
sebagai pedoman hidup (way of life) umat Islam yang juga peraturannya
tertuang dalam teks; ketiga, peradaban Arab-Islam adalah peradaban teks
sebagaimana ungkapan Nasr Hamid Abu Zayd.
Menurut Nasr Hamid, Al-Qur’an merupakan pesan (risalah) dari
Allah SWT kepada Nabi Muhammad yang meniscayakan adanya proses
komunikasi antara pengirim dan penerima melalui kode, atau sistem bahasa.
Dalam penggunaan bahasa inilah tidak akan mungkin lepas dari budaya yang
telah berkembang di masyarakat tersebut. Watak risalah (pesan) yang
terkandung dalam teks hanya dapat dipahami melalui analisis fakta-fakta
bahasanya dalam bingkai realitas di mana teks terbentuk.
Untuk membuktikan bahwa Al-Qur’an merupakan teks yang dapat
dipahami melalui bahasa (linguistik), maka ia menunjukkan adanya proses
komunikasi antara komunikan (Allah) dan makhluk sebagai komunikator.
Melalui malaikat Jibril sebagai media perantara untuk menyampaikan wahyu
(Allah) kepada penerima wahyu (Muhammad) untuk manusia. Akan semakin
jelas dengan menunjukkan watak dan karakteristik tekstualitas Al-Qur’an
yang terekspresikan dalam Al-Qur’an sendiri. Ada tiga hal yang menunjukkan
watak tekstual Al-Qur’an. Pertama, Al-Qur’an merupakan risalah wahyu di
67
mana pewahyuannya merupakan proses komunikasi yang melibatkan pengirim
(Allah), penerima (Muhammad), perantara (malaikat Jibiril), dan kode
komunikasi (bahasa Arab). Kedua, antara urutan surat serta ayatnya yang
berbeda dengan kronologis turunnya wahyu Al-Qur’an. Dalam hal ini,
persoalannya bukan siapa yang menyusun Al-Qur’an, tetapi mengapa dan atas
dasar norma dan nilai apa Al-Qur’an disusun kembali?, bagaimana korelasi
antar ayat satu dengan ayat yang lain atau dengan surat? Sebuah genre spesifik
dalam ilmu Al-Qur’an antara ayat dan surat (ilmu munasabah). Hal demikian
memungkinkan antara pembaca teks dan teks itu sendiri berinteraksi secara
aktif. Ketiga, sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Qur’an itu sendiri,
terdapat ayat-ayat muhkam dan ayat-ayat mutasyabih. Satu ayat tertentu yang
dianggap muhkam dan mutasyabih oleh seseorang atau kelompok tidak
demikian halnya bagi yang lain atau sebaliknya, hal demikian menjadikan teks
lebih dinamis.30
Fakta yang tak terbantahkan adalah ada perbedaan karakter antara
ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan di Mekkah dan ayat-ayat Al-Qur’an
yang diturunkan di Madinah. Sebagaimana diungkapkan Ahmad Abdullah an-
Naim, pesan ayat-ayat Mekkah merupakan pesan Islam yang abadi dan
fundamental, yang menekankan martabat yang inheren pada seluruh manusia,
tanpa membedakan jenis kelamin (gender), keyakinan keagamaan, ras dan
lain-lain. Persamaan laki-laki dan perempuan, kebebasan penuh untuk
memilih dalam beragama sangat dijunjung tinggi dalam era ini. Prinsip yang
30 Sahiron Syamsuddin, Op. Cit., hlm. 108.
68
diterapkan adalah ishmah, kebebasan untuk memilih tanpa ancaman ataupun
paksaan. Sedangkan ayat-ayat Madinah mengandung pesan kompromi praktis
dan realistik. Semacam ini lebih popular dengan sebutan, periode Mekkah
merupakan ayat-ayat universal-egalitarian-demokratik, sedangkan ayat-ayat
Madinah merupakan ayat-ayat sektarian-diskriminatif.31
Berangkat dari rumusan bahwa teks, tak terkecuali Al-Qur’an adalah
produk budaya masyarakat yang tidak lepas dari konteks sosiokulturalnya,
Nasr Hamid menjelaskan tentang cara memahami teks agar menghasilkan
“sesuatu” yang objektif. Rumusan ini berawal dari konsep wacana agama
kontemporer yang berkembang di Mesir. Bahwa wacana agama yang
berkembang di Mesir sarat dengan kepentingan-kepentingan ideologis dan
selalu mengklaim benar (truth claim) atas wacana agama yang dikembangkan.
Serta adanya beberapa kelompok atau golongan yang bertarung dalam
masalah wacana agama tersebut. Dari aliran kiri sampai aliran kanan, Islam
tekstualis dan Islam rasionalis, Islam tradisional dan Islam sekuler, serta Islam
salafiyun dan Islam kontemporer. Melihat kondisi semacam ini, gerah juga
dan akhirnya masuklah ia ke dalam gelanggang pertarungan pemikiran dengan
melakukan kritik terhadap wacana agama yang berkembang.
Salah satu kritiknya adalah terhadap wacana perempuan dalam Islam. Di mana
argumentasi sejarah digunakan oleh Nasr Hamid dalam melihat bagaimana Islam
berbicara tentang gender pada umumnya dan perempuan pada khususnya. Argumentasi
31 Dalam pengantar Abdullah Ahmad an-Naim, Dekonstruksi Syari’ah; Wacana Kebebasan
Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam, Yogyakarta: LKiS, 2001, hlm. VIII-IX.
69
sejarah yang dimaksud adalah pengungkapan karakter politik tekstual dan seksual yang
berkembang di kalangan masyarakat Islam, terutama proses yang telah menghasilkan
tafsir-tafsir di dalam Islam yang memiliki kecenderungan patriarkis. Menurutnya, salah
satu aspek penting yang diabaikan dalam problematika teks agama yang barangkali
secara umum paling penting adalah dimensi sejarah teks-teks tersebut. Demensi sejarah
di sini bukanlah ilmu sebab-sebab turun (asbabun-nuzul) –hubungan teks dengan realitas
atau ilmu an-nasakh wa al-mansukh– mengubah hukum karena perubahan situasi dan
kondisi –atau ilmu–ilmu Al-Qur’an lainnya.32
Dimensi sejarah yang dimaksud oleh Nasr Hamid berkaitan dengan
historisitas konsep-konsep yang dilontarkan teks melalui aspek tersuratnya.
Historisitas bahasa, terletak pada sosiologitasnya. Dengan membaca konsep
historisitas bahasa Nasr Hamid, dapat dipahami bahwa dimensi sosial sangat
berpengaruh terhadap karakter teks, dan apabila dimensi sosial ini diabaikan maka
makna teks juga akan terabaikan. Ia juga memberi catatan bahwa berpegang teguh
pada historisitas teks bukan berarti menunjukkan ketidakmampuan teks untuk
memproduksi makna, atau tidak mampu untuk berbicara pada masa berikutnya atau
kepada masyarakat lain. Hal ini disebabkan dalam melakukan pembacaan teks
didasarkan pada dua mekanisme yang integral, yakni: menyembunyikan (al-ikhfa’)
dan menyingkap (al-kasyaf).33 Dalam artian menyembunyikan sesuatu yang tidak
substansial dan menyingkap sesuatu yang substansial.
32 Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab ad-Dini, terjemahan Khoirun Nahdiyin, Kritik
Wacana Agama, Yogyakarta; LKiS, 2003, hlm. 85 33 Ibid, hlm. 86.
70
Argumentasi sejarah yang berkaitan dengan politik tekstual dalam Islam
tampak, misalnya, ketika Nasr Hamid mencoba menguraikan hubungan Al-
Qur’an dan tafsirnya. Menurut dia, ada dua moment yang berdialektika antara
satu sama lain. Pertama, perlu menemukan kembali makna asli (dalalat al-
ashliyyat) dari teks dalam konteks sosio–hstoris kemunculannya. Kedua,
mengklarifikasi berbagai bingkai sosiologis budaya sekarang ini dan tujuan
praktisnya mendorong dan mengarahkan berbagai penafsiran, sehingga dapat
membedakan kandungan ideologis interpretasi dari makna orisinil historisnya.34
Sebuah pembacaan produktif mencapai hasil, ketika kedua langkah ini diletakkan
berhubungan satu sama lain dalam sebuah “dialektika” yang tanpa henti.
Selanjutnya, Nasr Hamid menjelaskan bahwa pembacaan produktif
dalam memaknai ulang (reinterprestasi) Al-Qur’an didasarkan pada dua konsep
penting yaitu makna (dalalah) dan signifikansi (maqhza). Kedua hal tersebut
harus tetap berdialektika terus menerus tanpa henti. Karena upaya untuk
melakukan pembacaan produktif dalam mencapai makna dapat dilakukan melalui
penyingkapan makna. Penyingkapan makna mencerminkan upaya kembali
kepada makna asal, sementara untuk sampai pada signifikansi mencerminkan
tujuan dan sasaran dari tindak pembacaan.35 Gerakan antara makna dan
signifikansi terjadi bolak-balik dan berulang-ulang. Gerakan ini diawali dari
realitas untuk menyingkap makna teks masa lalu, kemudian makna tersebut
kembali lagi untuk menetapkan signifikansi dan mengubah titik permulaan agar
sesuai dengan konteks kekinian.
34 Ibid, hlm. 121. 35 Ibid, hlm. 122–123.
71
Dengan melihat metode yang dikembangkan oleh Nasr Hamid,36
bahwa sebelum memproduk hukum dari teks Al-Qur’an maupun Hadits,
seorang mujtahid harus mampu terlebih dahulu menyingkap makna asli teks
tersebut dalam konteks realitas ketika teks turun. Setelah makna asli ditemukan,
seorang mujtahid berusaha untuk mengkontekskan dengan realitas saat ini.
Seperti halnya pendapat ulama-ulama Islam klasik maupun modern,
Nasr Hamid apabila dilihat dari corak pemikirannya tidak berbeda dengan
Barlas yang tetap berpendapat bahwa Al-Qur’an sebagai wacana suci pada
dasarnya adalah wacana yang tidak bisa ditiru, diganggu dan diperdebatkan,
namun pemahaman (tafsir) terhadap kitab suci tersebut bisa diperdebatkan.
Pandangan demikian mengingatkan pada pandangan seorang tokoh –
sebagaimana deskripsi Syafiq Hasyim– dalam sebuah pengantar mengutip
pendapat Abdul Karim Soroush yang memisahkan antara agama (religion) dan
pengetahuan agama (religious knowledge). Kalau agama adalah kebenarannya
tidak bisa diganggu gugat, sedangkan pengetahuan akan agama adalah bentuk
penafsiran seseorang terhadap agama tersebut, yang kebenarannya sangat
relatif dan bisa diperdebatkan.37
36 Para pemikir Muslim modern dalam hal metodologis dapat dibedakan menjadi dua
kategori, yakni; pertama, berangkat dari upaya menjelaskan makna-makna teks secara kurang lebih objektif dan baru setelah itu beralih kepada realitas kekinian untuk kontekstualisasinya. Ini diwakili pemikir seperti: Fazlur Rahmah, Muhammed Arkoun, dan Nasr Hamid Abu Zayd. Kedua, berangkat dari realitas kontemporer umat Islam menuju pemahaman yang sesuai dengan ajaran-ajaran yang mungkin diperoleh dari penafsiran Al-Qur’an ini diwakili pemikir progresif seperti: Farid Esack, Asghar Ali Engineer, dan Amina Wadud Muhsin. Lihat Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir Al-Qur’an Menurut Hasan Hanafi, Jakarta: Teraju, 2002, hlm. 94.
37 Asma Barlas, Believing Women in Islam, terj. R. Cecep Lukman Yasin, Cara Qur’an Membebaskan Perempuan, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003, hlm. 12.
72
Sebagaimana pengantar awal dalam kajian ini38 –ketika muncul
berbagai kerancuan konseptual tentang kodrat antara laki-laki dan perempuan–
Nasr Hamid melakukan pembongkaran terhadap wacana Arab–kontemporer
melalui dua wacana yakni, wacana nahdah dan wacana krisis.39 Dalam
konteks gerakan umum kemunduran secara ekonomi, sosial, dan pemikiran
yang gerakan umum muncul di dalam realitas Mesir khususnya, dan realitas
Arab umumnya, pada malam kekalahan Juni 1967, terjadilah kemunduran
dalam segala prestasi yang pernah dicapai sejarah Arab modern. Pada masa-
masa kemunduran dan keruntuhan, pengaburan “perempuan sebagai mitra
laki-laki” dan klaim bahwa perempuan “inferior dalam akal dan agama”
semakin sempurna. Suatu hal yang menegaskan titik tolak analisis sejak awal,
analisis yang menafsirkan penyerangan terhadap perempuan sebagai
keterlukaan masyarakat Arab yang patriarkis.
Seruan “ketiadaan persamaan” bermula dari beberapa realitas
perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Wacana keagamaan yang
menjadikan teks-teks keagamaan sebagai referensi utamanya dalam
mendiskusikan segala persoalan berusaha menandingi wacana Nahdah dalam
menyerukan persamaan antara laki-laki dan perempuan. Dalam seruannya ini,
ia mengandalkan otoritas –sebagaimana telah dijelaskan– teks-teks yang
38 Lihat pada pendahuluan (bab I) pada bagian latar belakang yang dijadikan pijakan secara umum dalam kajian ini.
39 Perlu dijelaskan bahwa kedua wacana ini berkaitan dengan Eropa sebagai “yang lain”. Wacana Nahdah (wacana kebangkitan) merupakan wacana terbuka yang dapat melihat “yang lain” dalam kemajuan dan rasionalisasinya, dan dalam waktu yang sama sangat sadar akan ambisi ekonomi dan politiknya. Sebaliknya, wacana krisis (wacana keagamaan) mengambil sikap permusuhan secara mutlak terhadap Eropa dengan berpegang pada turast yang telah menjadi jubah “identitas” dan “spesifisitas” yang bermakna perbedaan (distinction). Lihat, Nasr Hamid Abu Zayd, Dawa’ir, Op. Cit., hlm. 34.
73
menunjukkan persamaan dalam mendapatkan pahala di akhirat kelak
berdasarkan atas prinsip ketaatan beragama dan khususnya dalam persoalan
pelaksanaan syari’at.40 Namun ketika teks-teks lain tidak mendukung
persamaan itu, seperti soal warisan, sanksi di depan pengadilan, talak,
poligami dan lain-lain, maka sikap wacana ini tampak berlebih-lebihan
menjustifikasinya.
Sebagaimana dalam persoalan poligami, waris, dan talak. Menurut
Nasr Hamid, kedudukan tidak setara antara laki-laki dan perempuan yang
terdapat dalam Al-Qur’an lebih didasarkan atas hubungan- hubungan
patriarkhal kesukuan. Ayat yang biasa dijadikan rujukan dalam hal poligami
adalah:
وإن خفتم أال تقسطوا في اليتامى فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثالث
ورباع فإن خفتم أال تعدلوا فواحدة أو ما ملكت أيمانكم ذلك أدنى أال تعولوا
)3: ساء الن (
Artinya: ”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak- hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita- wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.41 (Q.S An- Nisa’: 3)
40 Kebanyakan penulis membedakan antara konsep “syari’ah” dan konsep “fiqh”, dengan
dasar bahwa syari’ah menunjuk kepada kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip universal (al-qawa’id wa al-mabadi al-kulliyyah) yang diwahyukan dari Allah SWT. Sedangkan fiqh menunjuk kepada ijtihad-ijtihad manusiawi dari para ulama dalam membumikan prinsip-prinsip universal ke dalam realitas-realitas aktual, pada berbagai waktu dan tempat.
41 Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Pelita III, 1984, hlm. 115
74
Menurut Nasr Hamid, konteks pewahyuan ayat ini jika dinisbatkan
pada konteks struktur kebahasaan –bentuk kondisional yang menghubungkan
antara kebolehan (al- ibahah) dan ketakutan akan tidak bisa bersikap adil
terhadap anak yatim– menegaskan bahwa kata perintah itu bukanlah kata
perintah tasyri’ yang abadi, melainkan pensyariatan yang terikat oleh waktu
untuk mengatasi suatu problem yang muncul.42
Namun yang membuat rancu adalah bahwa tradisi “poligami”
merupakan tradisi yang ada sebelum Islam di mana tidak tunduk terhadap
aturan apapun. Apabila Islam meletakkan aturan- aturan dan kaidah-kaidah
terhadap adat untuk berpoligami dengan menganggapnya sebagai kesenangan,
maka interpretasi fiqhi terhadap aturan dan kaidah ini telah keluar dari konteks
kesetaraan, dan menanamkan masa kembali dalam konteks dominasi laki-laki
dan kesemena-menaannya terhadap eksistensi perempuan.43
Demikian juga halnya dalam masalah waris, ayat yang sering
dijadikan rujukan adalah:
للرجال نصيب مما ترك الوالدان واألقربون وللنساء نصيب مما ترك الوالدان
وإذا حضر القسمة أولوا } 7{واألقربون مما قل منه أو كثر نصيبا مفروضا
وليخش } 8{مساكني فارزقوهم منه وقولوا لهم قوال معروفا القربى واليتامى وال
الذين لو تركوا من خلفهم ذرية ضعافا خافوا عليهم فليتقوا الله وليقولوا قوال
42 Nasr Hamid Abu Zayd, Dawa’ir, Op. Cit., hlm. 195 43 Ibid
75
وال اليتامى ظلما إنما يأكلون في بطونهم نارا إن الذين يأكلون أم } 9{سديدا
يوصيكم الله في أوالدكم للذكر مثل حظ األنثيين فإن } 10{وسيصلون سعريا
و تإن كانو كرا تثلثا م نن فلهيتاثن قاء فونس ه كنيوألبو فصا النة فلهاحد
رثهوو لدو كن لهي فإن لم لدو إن كان له كرا تمم سدا السمهناحد ملكل و
وصي بها أو وصية يأبواه فألمه الثلث فإن كان له إخوة فألمه السدس من بعد
دين آبآؤكم وأبناؤكم ال تدرون أيهم أقرب لكم نفعا فريضة من الله إن الله كان
)11-7:النساء ( عليما حكيما
Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu- bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu- bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin,maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik. Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta.dan untuk orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (pembagian-pembagian tersebut diatas) sesudah
76
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.44 (Q.S An-Nisa’: 7-11)
Dengan melihat ayat tersebut diatas, Nasr Hamid menunjukkan dua
hal yang patut dicatat dalam memahami wacana Al-Qur’an mengenai
warisan. Pertama, bahwa Al-Qur’an memerintahkan untuk memberikan
bagian-bagian shadaqah kepada kerabat (aqrabun), anak-anak yatim, dan
orang-orang miskin yang merupakan kelompok di mana tidak mendapat
warisan, apabila mereka hadir pada saat pembagian warisan. Kedua, Al-
Qur’an menekankan bahwa hubungan klan (asabiyyah) bukanlah hubungan
kemanusiaan yang paling penting sebagaimana yang dipahami orang-orang
masa pra-Islam.45
Nasr Hamid, juga melihat posisi perempuan dalam masyarakat
pra-Islam dari aspek konteks sosio historisnya. Petanda dari sebagian
besar hukum Islam yang berkaitan dengan perempuan, juga
signifikansinya, tidak bisa diungkap tanpa mempertimbangkan
kebudayaan Arab pra-Islam. Dalam budaya masyarakat Arab pra-
Islam, perempuan tidak mempunyai hak untuk memiliki.46 Karena
tidak produktif, perempuan tidak mendapatkan warisan; bahkan
sebaliknya mereka dapat diwariskan layaknya harta warisan.
44 Departemen Agama RI, Op. Cit., hlm. 116 45 Nasr Hamid Abu Zayd, Op. Cit., hlm. 207 46 Syafiq Hasyim, Hal-Hal Yang Tak Terpikirkan tentang Isu-Isu Keperempuanan dalam
Islam, Bandung: Mizan, 2001, hlm. 238
77
Di mana aturan standarnya terkait dengan produktifitas masalah
ekonomi, sebagaimana yang mereka katakan: “kita tidak memberikan warisan
kepada orang yang tidak bisa menunggang kuda, tidak kepayahan, dan
tidak melukai musuh”.47 Ini mengekspresikan sebuah kebudayaan yang
menganggap bahwa peperangan tidak saja hanya untuk mendapatkan
kekuasaan tetapi juga harta kekayaan hasil dari rampasan perang
(ghanimah) dan budak tawanan. Dalam kebudayaan semacam ini Al-
Qur’an menyatakan bahwa perempuan mendapatkan warisan setengah
dari bagian laki-laki.
Selanjutnya, menurut pendapat syekh Muhammad al-Ghazali
bahwa persamaan mutlak antara laki-laki dan perempuan merupakan
hal yang mustahil. Lebih lanjut al-Ghazali menegaskan kemustahilan
persamaan dalam konteks pembagian kerja antara laki-laki dan
perempuan yang tergantung pada perbedaan-perbedaan biologis antara
keduanya. Kesimpulan dari adanya perbedaan dalam hal kemampuan
fisik adalah menjadikan laki-laki dalam hal fungsi anggota tubuh lebih
mampu menangani pekerjaan yang dirasa sulit dilakukan oleh perempuan.48
Dengan dalih pada pengurangan rasa sakit dari “makhluk
keras” dan mengkondisikan iklim rumah tangga yang kondusif bagi
perempuan untuk hidup, bekerja, dan berkreasi. Kondisi tersebut
seringkali dianggap sebagai takdir yang tidak akan bisa berubah, hanya
karena ada tuntutan untuk melindungi perempuan dari kekerasan
47 Nashr Hamid Abu Zayd, Dawa’ir, Op. Cit., hlm. 208 48Ibid., hlm. 80–81.
78
pekerjaan. Sehingga eksistensi perempuan terpasung dalam tembok-
tembok rumah untuk mengurus keluarga dan berperan sebagai ibu,
sedangkan tugas publik menjadi wilayah aktivitas laki-laki. Dalam konteks
demikian, pendasaran diri pada perbedaan seksual antara laki-laki dan
perempuan merupakan pembenar terhadap kondisi tersebut.49
Nasr Hamid juga memaparkan bahwa di antara hal yang muncul
dalam konteks deskriptif Al-Qur’an, tetapi dianggap sebagai legislasi
(syari’ah) adalah masalah kepemimpinan (qawamah) laki-laki atas perempuan
yang dipahami sebagai tanggung jawab laki-laki terhadap perempuan dengan
segala implikasinya dari kewenangan menghukum yang dilakukan laki-laki
untuk mendidik istrinya (mendiamkan dan memukul).50 Sebagaimana
disebutkan dalam firman-Nya QS. an-Nisaa’ ayat 34:
ا أنفقوا منبمض وعلى بع مهضعب ل اللها فضاء بمسلى النون عامال قوجالر
أموالهم فالصالحات قانتات حافظات للغيب بما حفظ الله والالتي تخافون
نوهرجاهو نفعظوه نهوزشوا نغبفال ت كمنفإن أطع نوهرباضاجع وضفي الم
}34: النساء{عليهن سبيال إن الله كان عليا كبريا
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri dibalik pembelakangan suaminya oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatiri nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka,
49 Ibid, hlm. 82. 50 Ibid, hlm. 190.
79
dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Suci lagi Maha Besar”. (QS. An-Nisa: 34) 51
Selanjutnya Nasr Hamid mengungkap bahwa orang yang
mencerminkan riwayat yang disampaikan oleh as-Suyuti tentang sebab
turunnya ayat, niscaya akan mengetahui masalah perhatian wahyu terhadap
kondisi audiensinya yang kemudian dipergunakan dalam pengungkapan
wahyu. Sebuah riwayat menceritakan bahwa seorang perempuan datang
kepada Nabi SAW untuk mengadukan suaminya yang telah memukulnya,
maka Nabi berkata: “dia tidak berhak untuk melakukan itu (memukul istri)”
dan Nabi memutuskan hukum agar perempuan tersebut meng-qishash
suaminya. Hal ini menunjukkan prinsip kesetaraan yang mendasar dalam
Islam tetapi karena audiensinya tersebut tidak mampu untuk memikul
kesetaraan itu, maka turunlah ayat qawamah tersebut.52
Namun dengan mudah sebagian orang ber–istinbat dan inilah yang
terjadi secara praksis dari aspek lahiriah firman Allah “Karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain”, bahwa qawamah
disandarkan kepada keputusan muthlak Ilahi untuk melebihkan laki-laki atas
perempuan; yang oleh karenanya qawamah menjadi hukum ilahi yang tidak
boleh diperdebatkan.53
51 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Pelita III, 1984, hlm. 123. 52 Nasr Hamid Abu Zayd, Dawa’ir, Op. Cit., hlm. 191. 53 Ibid.
80
Karena tidak ada upaya kompromi dari dua pemahaman yang
berbeda, mengakibatkan hilangnya dialektika teks dan realitas–historis.
Padahal, Allah meninggikan sebagian manusia atas sebagian yang lain harus
dipahami sebagai ungkapan deskriptif realitas yang harus diubah demi
mewujudkan kesetaraan yang fundamental.