konsep munafik dalam al-qur’an (analisis semantik...

100
KONSEP MUNAFIK DALAM AL-QUR’AN (ANALISIS SEMANTIK TOSHIHIKO IZUTSU) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh : Asep Muhamad Pajarudin 1112034000024 PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439 H./2018 M.

Upload: buidieu

Post on 09-Mar-2019

272 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

KONSEP MUNAFIK DALAM AL-QUR’AN

(ANALISIS SEMANTIK TOSHIHIKO IZUTSU)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh :

Asep Muhamad Pajarudin

1112034000024

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439 H./2018 M.

KONSEP MUNAFIK DALAM AL-QUR’AN

(ANALISIS SEMANTIK TOSHIHIKO IZUTSU)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh :

Asep Muhamad Pajarudin

1112034000024

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439 H./2018 M.

v

ABSTRAK

Asep Muhamad Pajarudin

Konsep Munafik dalam al-Qur’an (Kajian Semantik Toshihiko Izutsu)

Skripsi ini membahas konsep munafik dalam al-Qur’an dengan pendekatan

semantik Toshihiko Izutsu. Penafsiran munafik sampai saat ini masih belum

terkonsepkan dengan rapih dan belum mengungkapkan makna lebih dalam seperti

makna dasar dan makna relasional. Sehingga memunculkan justifikasi munafik

antara umat Islam. Seperti yang terjadi pada proses PILKADA DKI Jaakarta 2016

lalu. Al-Qur’an sebagai landasan atau berisi kata kunci, sebenarnya makna di

kandungannya lebih luas dan dalam. Kekhasan dan kedalaman pesan yang

terkandung di setiap kosakata dalam ayat-ayat al-Qur’an, ayat digali misalnya

dengan melanjutkan proses penafsiran kebahasaan melalui pengungkapan makna-

makna dalam setiap kata dalam al-Qur’an. Skripsi ini merupakan suatu usaha

kecil ke proses penafsiran tersebut.

Dalam skripsi ini, penulis mengungkapkan makna dan konsep yang

terkandung di dalam kata munâfiq yang terdapat di dalam al-Qur’an dengan

menggunakan analisis semantik yang dikembangkan oleh Toshihiko Izutsu.

Semantik al-Qur’an menurut Toshihiko Izutsu berusaha menyingkap pandangan

dunia al-Qur’an (Weltanschauung) melalui analisis semantik terhadap kosakata

atau istilah-istilah kunci al-Qur’an. Proses yang dilakukan dalam penelitian ini

adalah meneliti makna dasar dan makna relasional kata munâfiq dengan

menggunakan analisis sintagmatik dan paradigmatik, kemudian meneliti

penggunaan kosa kata munâfiq pada masa pra Qur’anik, Qur’anik dan pasca

Qur’anik.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah: kata munâfiq dalam al-Qur’an

berposisi sebagai subjek (pelaku) dan objek (yang dikenai perlakuan). Dalam

posisi subjek ditujukan untuk orang atau golongan yang melakukan kemunafikan

dengan dua bentuk sikap atau perilaku, (1) dalam bentuk perkataan, dan (2) dalam

bentuk perbuatan. Dalam bentuk perkatan, yang menjadi sasaran perbuatan

mereka adalah kafir dan mu’min. Dalam bentuk tindakan, yang menjadi sasaran

mereka adalah mu’min dan Allah. Bentuk sikap dan perilaku mereka bervariatif

namun tujuan akhirnya sama, yaitu: mereka mencari keuntungan, menghindar dari

kerugian, dan berargumentasi. Dalam posisi objek, maka Allah menjadi subjek.

Orang-orang munafik disejajarkan dengan kafir, musyrik, mujrif, dan fasik.

Mereka diancam, diperangi, dan disiksa. Kesimpulan tersebut didapat setelah

melihat makna dasar kata munâfiq (membuat lubang), dan makna relasional secara

sintagmatik dan paradigmatik. Secara sintagmatik kata munâfiq berrelasi dengan

kata kadzaba (berbohong), shudûdan (menghalangi beribadah), khodiûn (penipu),

kasala’ (malas beribadah), riya (tidak ikhlas dalam beribadah), yakbidhûn aidihim

(kikir atau tidak mau berinfak di jalan Allah), yaktumûn (yang tersembunyi), an-

Nâr wa Jahannam mereka sebagai calon penghuni neraka Jahanam. Kata munâfiq

memiliki relasi paradigmatik dengan kâfir, fâsiq, musyrik, murjifûn, dalam posisi

objek dan Allah sebagai subjek. Allah menjadi subjek maka mereka memiliki

posisi yang sama dalam ketentuan Allah, di ancam, diperangi, dan dimasukan ke

dalam neraka.

Kata Kunci: Tafsir, Munafik, Semantik, Toshihiko Izutsu.

vi

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmânirrahîm

Alhamdulillâh segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Tak ada kata

yang mampu merefleksikan rasa syukur kepadaNya. Atas bimbingan dan

kehendaknya, akhirnya penulis sanggup dan mampu menyelesaikan penulisan

skripsi dengan judul KONSEP MUNAFIK DALAM AL-QUR’AN: ANALISIS

SEMANTIK TOSHIHIKO IZUTSU.

Salawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad saw, beserta

sahabat, dan keluarganya, nabi yang membawa manusia dari zaman kegelapan

menuju zaman terang menerang dengan ilmu pengetahuan. Beliau adalah sehebat-

hebatnya manusia yang menjadi teladan dan panutan seluruh manusia hingga

akhir zaman.

Skripsi ini penulis susun salah satu tujuannya adalah sebagai syarat dalam

penyelesaian pendidikan pada Program Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan, untuk itu penulis akan menerima dengan senang hati semua

koreksi dan saran-saran demi untuk perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini.

Rampungnya skripsi ini, tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak yang

turut memberikan andil, baik secara langsung maupun tidak langsung, baik moril

maupun materil. Maka, sepatutnya peneliti mengucapkan rasa syukur, terima

kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Dede Rosyada, M.A, selaku Rektor UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

vii

2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A, Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Dr. Lilik. Ummi Kultsum, M.A, selaku ketua Jurusan Ilmu Al-Qur’an

dan Tafsir dan Ibu Dra. Banun Binaningrum. M. Pd selaku Sekertaris

Jurusan al-Qur’an dan Tafsir.

4. Bapakku H Saad dan Ibuku Siti Munawaroh. Keduanya adalah orang tua

penulis yang tidak henti-hentinya memberikan dukungan, kasih sayang, doa

yang tulus, serta nasihat kepada penulis agar selalu menjadi sosok yang kuat

dan sabar dalam menghadapi hidup. Manifestasi cintaNya penulis rasakan

melalui cinta dan kasih sayang kedua orang tua penulis yang tiada

bandingnya. Semoga apa dan umi selalu sehat, dan dipanjangkan umur di

bawah naungan kasih sayang dan cinta Allah Swt.

5. Dosen pembimbing skripsi penulis sekaligus Dosen penasehat akademik,

Bapak Eva Nugraha, MA, yang senantiasa membimbing, mengarahkan dan

memberikan motivasi kepada penulis dalam melakukan penelitian sehingga

penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Terimakasih sebesar-

besarnya penulis haturkan kepada beliau dan keluarga.

6. Seluruh dosen di Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, yang dengan tulus

memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis.

7. Para staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Ushuluddin. Terima kasih

atas referensi yang ada sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

8. Kawan-kawan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Ushuluddin

Cabang Ciputat. Yang telah mengenalkan pemikiran-pemikiran Cak Nur

tentang keislaman dan keindonesiaan. Bang Jarwo, Kang Arief, Teh Lail,

viii

Kang Irfan, Kanda Cengho, Bang Dullah, Anisul Fahmi, Aan Suherman,

dkk. Kalian lawan bicara sekaligus kawan dalam berpolitik di dunia

kampus.

9. Dulur-dulur primordial HIMABO Jakarta yang selalu menemani penulis

dan menjadi tempat sharing dalam segala aktivitas penulis, baik di kampus

ataupun di luar kampus, Di antara mereka adalah BPH dan Pengurus 2015-

2016 ( Janwar, Awaluddin, Yusuf Mardani, Azka Zakiyah,

Juariatunnuriyah, Fahmi al-Anzani, Abdul Malik, Ilham Mabruri, Annisa

Fujiani, dkk.) yang telah menemani berjuang bersama penulis ketika

diamanahi menjadi Ketua selama satu periode kepengurusan. Tak lupa juga

Kang Oi, Kang Mumuh, Kak Milal, Bang Ucup, beserta akang teteh senior

HIMABO lainnya.

10. Teman-teman satu Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir yang senantiasa

menemani penulis dalam menimba ilmu pengetahuan di kampus UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta. Di antara mereka adalah Ali Muharom, Riswan

Sulaiman, M Arif Maulana, Ahmad Nurkholis, Maulana Iskandar, Ahmad

Qomari, Haris Muda, Yusuf Kurniawan, Hilda Lisdianti, Badru Nurzaman,

Rizky dan mereka yang tidak dapat disebutkan satu persatu di sini.

Perjumpaan dengan kalian semua adalah sesuatu yang akan selalu

terkenang. Terima kasih dan semoga tuhan selalu menemani kita semua

dalam segala hal.

11. Kawan-kawan diskusi Komunitas SAUNG, Komunitas BALE AJAR,

KOPEL Bogor, Komunitas Gerakan Intelektual Muda (GIM), yang

ix

memberikan wawasan dan perspektif baru di dalam memandang dunia.

Kalian sahabat yang hangat di dalam berdialektika.

12. Komunitas Alumni Al-Farhan (KAAF) , Ali Sadikin, Pandu Firdaus, Akbar

Y N, Fajar Nur husain, Novi, Mimi Lutfiah, Dewi, Nurliaromadona, Ilma

Nafiyati, Asep Hudori, dkk. Tempat berkeluh kesah masalah kepesantrenan

dan wawasan keislaman.

13. Rekan-rekan IPNU, GP ANSOR, dan KNPI Kota dan Kabupaten Bogor, bang

Jejen, Tum Hira Hidayat, Kang Amin Fajrin, Kang Domiri, Kang Hasbullah. Tidak

lupa pada Om Bagus (Guru Sehat kahfi), rekan-rekan KAHFI BBC Motivator

School. Ustad Anugrah, ustadz Arief, Ustadz Fahmi, ustadz Wahid, ustadz Mufti,

ustadz Arul. Semoga kita semua selalu ada dalam lindungan dan bimbingan Allah

Swt..

Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis panjatkan doa ke hadirat

Allah Swt. Semoga amal baik semua pihak yang telah membimbing,

mengarahkan, memperhatikan dan membantu penulis dicatat oleh Allah sebagai

amal shaleh dan dibalas dengan pahala yang berlipat ganda. Dan mudah-mudahan

apa yang penulis usahakan dapat bermanfaat. Âmîn…

Ciputat, 2 April 2018

Asep Muhamad Pajarudin

x

PEDOMAN TRANSLITERASI

Transeliterasi Arab-Latin yang digunkan dalam sekripsi ini berpedoman

pada buku pedoman penulisan skripsi yang terdapat dalam buku Pedoman

Akademik Program Strata 1 tahun 2013-2014 UIN Syarif Hidayatullah.

a. Padanan Aksara

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

Tidak dilambangkan ا

B Be ب

T Te ت

Ts Te dan es ث

J Je ج

H h dengan garis bawah ح

Kh ka dan ha خ

D De د

Dz de dan zet ذ

R Er ر

Z Zet ز

S Es س

Sy es dan ye ش

S es dengan garis bawah ص

D de dengan garis bawah ض

T te dengan garis bawah ط

Z zet dengan garis bawah ظ

xi

‘ ع

koma terbalik keatas,

menghadap kekanan

Gh ge dan ha غ

F Ef ف

Q Ki ق

K Ka ك

L El ل

M Em م

N En ن

W We و

H Ha ه

Apostrof ‘ ء

Ye Ye ي

b. Vocal

Vocal dalam bahasa Arab, seperti vokal dalam bahasa Indonesia, terdiri dari

vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal

tunggal, ketentuan alih aksarannya adalah sebagai berikut:

Tanda Voka Arab

Tanda Vokal

Latin

Keterangan

A Fathah

I Kasrah

U Dammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alihaksaranya adalah sebagai

berikut :

xii

Tanda Vokal Arab

Tanda Vokal

Latin

Keterangan

ي ai a dan i

و au a dan u

Vokal Panjang

Ketentuan alihaksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab

dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu :

Tanda Voal Arab

Tanda Vokal

Latin

Keterangan

â ىا

a dengan topi di

atas

î ىي

i dengan topi di

atas

û ىو

u dengan topi di

atas

Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam system aksara Arab dilambangkan dengan huruf,

yaitu ال , dialihaksarakan menjadi huruf /I/, baik diikuti huruf syamsiyah maupun

huruf Qamariyyah. Contoh : al-rijal bukan ar-rijal, al-diwan bukan ad-diwan.

Syaddah (Tasydid)

Syaddah atau tasydid yang dalam system tuisan Arab dilambangkan dengan

sebuah tanda (), dalam alihaksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan

menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak

xiii

berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang

yang telah diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata الضرورة tidak

ditulis aḏ-ḏarurah melainkan al-darurah, demikian seterusnya.

Ta Marbutah

Berkaitan dengan alihaksra ini, jika huruf ta marbutah terdapat pada kata

yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut di alihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat

contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbutah tersebut di ikuti

kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun jika huruf ta marbutah tersebut diikuti

kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat

contoh 3).

No. Tanda Vokal Latin Keterangan

Tarîqah طريقة .1

al-Jâmi’ah al-Islâmiyyah الجامعة اإلسالمية .2

Wahdat al-wujûd وحدة الوجود .3

Huruf Kapital

Meski pun dalam system penulisan Arab huruf capital tidak dikenal, dalam

alihaksara ini huruf kapitl tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan

yang berlaku daam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara

lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal, nama tempat, nama bulan,

nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata

sandang, maka yang ditulis dengan huruf capital tetap hurf awal atau kata

sandangnya. (Contoh : Abu Hamid al-Ghazali bukan Abu Hamid Al-Ghazali,al-

Kindi bukan Al-Kindi).

xiv

Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan dlam

alihaksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak

tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka

demikian halnya dalam alihaksaranya, demikin seterusnya.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal

dari duia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar

katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani,

tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbani; Nuruddin al-Raniri, tidak Nur al-Din al-Raniri.

xv

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL .............................................................................................i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SIDANG .................................ii

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN ...........................................................iii

ABSTRAK........................................................................................................iv

KATA PENGANTAR........................................................................................v

PEDOMAN TRANSLITERASI.........................................................................x

DAFTAR ISI......................................................................................................xv

DAFTAR TABEL DAN DIAGRAM.................................................................xvi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.......................................................................1

B. Identifikasi Masalah............................................................................6

C. Batasan dan Rumusan Masalah...........................................................7

D. Tujuan dan Manfaat penelitian............................................................7

E. Kajian Pustaka.....................................................................................7

F. Metode Penelitian..............................................................................10

G. Metode Pembahasan..........................................................................11

H. Tekhnik Penulisan.............................................................................12

BAB II SEMANTIK TOSHIHIKO IZUTSU

A. Biografi.......................................................................................... 14

B. Pengertian Semantik........................................................................15

C. Semantik Al-Qur’an........................................................................16

D. Semantik Toshihiko Izutsu..............................................................20

BAB III DESKRIPSI AYAT AYAT MUNAFIK DALAM AL-QUR’AN

A. Ayat-ayat Munafik..........................................................................29

B. Ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah................................................30

C. Klasifikasi Ayat-ayat Munafik........................................................33

BAB IV ANALISIS SEMANTIK KONSEP MUNAFIK

A. Makna Dasar kata Munâfiq............................................................. 39

B. Makna Relasional kata Munâfiq......................................................40

1. Analisis Sintagmatik...................................................................41

2. Analisis Paradigmatik................................................................ 46

C. Makna Sinkronik dan Diakronik kata Munâfiq...............................53

1. Periode Pra Qur’anik.................................................................54

2. Periode Qur’anik........................................................................55

3. Periode Pasca Qur’anik..............................................................57

D. Weltanschauung kata Munâfiq dalam al-Qur’an...............................60

E. Tinjauan Kritis................................................................................61

BAB V KESIMPULAN A. Kesimpulan.....................................................................................66

B. Saran-saran.....................................................................................67

xvi

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................69

LAMPIRAN-LAMPIRAN

DAFTAR TABEL DAN DIAGRAM

A. Daftar Tabel

1. Tabel 3.1 Ayat-ayat Munafik...................................................................29

2. Tabel 3.2 Ayat-ayat Makiyyah.................................................................31

3. Tabel 3.3 Ayat-ayat Madaniyyah.............................................................32

4. Tabel 3.4 Munafik sebagai Subjek terhadap Allah...................................33

5. Tabel 3.5 Munafik sebagai Subjek terhadap Mu’min...............................34

6. Tabel 3.6 Munafik sebagai Subjek terhadap Kafir...................................36

7. Tabel 3.7 Allah sebagai Subjek terhadap Munafik...................................37

B. Daftar Diagram

1. Diagram 2.1 Medan Semantik Sintagmatik Kufr........................................24

2. Diagram 4.1 Medan Semantik Sintagmatik Munâfiq.................................46

3. Diagram 4.2 Medan Semantik Paradigmatik Munâfiq...............................53

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur‟an memberi petunjuk bahwa manusia dilihat dari sisi perilakunya

terhadap Allah menjadi tiga golongan yaitu: pertama adalah golongan orang-

orang beriman (mu‟min), kedua adalah golongan orang-orang yang ingkar (kâfir),

dan ketiga adalah golongan orang-orang munafik (munâfiq). Ketiga golongan

tersebut dijelaskan dalam beberapa ayat dalam surat al-Baqarah.1

Beberapa Mufasir memberikan definisi tentang munafik diantaranya: Ibn

Katsir, bahwa orang-orang munafik adalah mereka yang memiliki problem dalam

kondisinya yang pada satu waktu berada di antara keimanan dan kekufuran.

Namun lebih dekat kepada kakufuran.2, al-Qurthubi menambahkan mereka (orang

munafik) telah menjelaskan keadaan mereka, menyingkap dinding mereka dan

membongkar kemunafikan mereka bagi orang yang mengira bahwa mereka adalah

orang-orang muslim oleh karena itu secara lahiriah mereka lebih dekat kepada

kekufuran, padahal jika diteliti lebih lanjut maka mereka adalah orang-orang

kafir.3

Sayid Qutb menambahkan mereka adalah orang-orang yang tidak berkata

jujur. Di dalam hati mereka terdapat nifâq, yang tidak membuat mereka ikhlas

kepada aqidah.4 Hasbi ash-Shiddieqy menambahkan mereka (orang-orang

1Pernyataan ini penulis simpulkan setelah membaca Qs. Al-Baqarah ayat 1 sampai ayat 20.

Dari teks terjemahan saja sudah dapat disimpulkan. 2Syaikh Ahmad Syakir, Mukhtashar Tafsir Ibn Katsir (jilid 1) (Jakarta: Darus Sunnah,

2014),h.1034. 3Imam Al-Qurthubi, Al-Jami‟ li Ahkâm Al-Qur‟an. Penerjemah: Dudi Rosyadi dkk.

(Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 667 4Sayyid Quthb, Tafsir Fi-Zhilâlil Qur‟an. Penerjemah: Anwar Rafiq Shaleh Tamhid dan

Syafril Halim (Jakarta: Rabbani Press, 2001), h. 511.

2

munafik) memperlihatkan iman dengan lisannya, tapi sesungguhnya kufur dalam

hatinya.5

Dari keterangan tersebut jelaslah bahwa golongan munafik sangatlah

berbahaya dan perlu diwaspadai namun para mufasir dalam memberikan

interpretasi kata munafik sangat beragam sesuai dengan kultur, tempat dan jaman

dimana mereka hidup sehingga menimbulkan perbedaan interpretasi.

M Fahirin,6 dalam skripsinya mencoba membandingkan penafsiran al-

Maraghi dan Hamka. Kesimpulan yang dapat diambil yaitu persamaan

penafsirannya adalah munafiq adalah orang yang mengaku beriman, mereka

mengaku beriman kepada Allah percaya pada apa yang diturunkan kepada Nabi

Muhammad, sehingga sifat mereka antara laki laki dan perempuan sama saja,

namun dalam segi akhlak dan perbuatannya, mereka menyeru berbuat

kemungkaran dan mencegah untuk melakukan perbuatan ma‟ruf. Perbedaan

penafsirannya adalah dalam hal menafsirkan kata kata “al-Qulub” karena

penyakit hati merupakan salah satu sifat dari orang orang munafiq. Menurut al

Maraghi adalah akal karena itulah yang mampu mendorong manusia untuk

melakukan perbuatan. Sedangkan hamka “Al-Qulub” adalah hati karena penyakit

terutama dalam hati mereka merasa dirinya lebih pintar.

Siti aisyah,7 dalam skripsinya mencoba membicarakan tentang orang-

orang munafik, ciri-ciri dan kepribadiaanya serta ancamannya menurut al-Qur‟an

dengan metode maudhui atau tematik. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan

5Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddiqy, Tafsir Al-Qur‟anul Majid An-Nȗr (Semarang:

PT. Pustaka Rizki Putra, 2000),h.731. 6Skripsi M Farihin, “Studi Komparatif Tentang Penafsiran Munafik Antara Mustafa Al

Maraghi Dan Hamka,” (Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga,

Yogyakarta, 2012.). 7Siti Aisyah, “Munafik Menurut Al-Qur‟an” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan

Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 1999).

3

bahwa metode penafsiran para muffasir (sebagaimana tercantum dalam Ibn Katsir,

al-Maraghi, al-Azhar, dan an-Nur, al-Munir). Bahwa diantara ciri-ciri yang

relevan dengan orang munafik adalah: sifat tipu, menipu diri tanpa disadarinya,

penyakit hati, bermuka dua, malas beribadah, tidak memiliki pendirian, tidak

sabar dalam menghadapi rintangan, mengingkari janji, lahir dan batinnya berbeda

(berdusta), dan bersumpah palsu.

M Alfa Robi,8 dalam skripsinya menggambarkan orang-orang munafik

dengan menggunakan analisis balaghah. Kesimpulannya bahwa gaya bahasa

orang munafik di dalam Al-Qur‟an terdapat pada uslub al bayan terdapat pada 82

data, di antaranya yaitu 82 data menggunakan tasybih, dengan rincian: 7 data

menggunakan tasybih mursal, 8 data menggunakan tasybih mufasshol, 4 data

menggunakan tasybih mujmal, 3 data menggunakan tasybih baligh, dan 8 data

menggunakan tasybih ghairu tamstil. Sementara yang menggunakan isti‟arah ada

6 data, dengan rincian: 3 data menggunakan isti‟arah tashrihiyyah, 8 data

menggunakan isti‟arah tab‟iyyah, 8 data menggunakan isti‟arah ashliyah, dan 8

data menggunakan isti‟arah murasysahah. Sementara yang menggunakan kinayah

terdapat 5 data, yang kesemuanya menggunakan kinayah „anis shifat.

H. Fakhrudin dalam disertasinya mencoba mengkomparasikan pendapat

Sayyid Qutb dan Muhammad Husen at-Thabataba‟i.9 Terdapat persamaan bahwa

munafik ialah orang-orang yang pura-pura mengaku iman, pendusta, suka

menghujat, dan menghambat perkembangan Islam yang harus diperangi jika tidak

8M Alfa Robi, “Gaya Bahasa Tentang Munafik di dalam Al-Qur‟an Al-Karim: Penelitian

Analisis Balaghah,” (Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel, Surabaya,

2016). 9H Fakhrudin, “Munafik dalam Tafsir al-Qur‟an: Studi Pemikiran Sayyid Qutb dan

Muhammad Husain At-Thabataba‟i,” (Disertasi Pascasarjan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

2005).

4

bertaubat. Perbedaan pendapat antara keduanya ialah Sayyid Qutb memandang

bahwa munafik muncul karena takut menghadapi al-Haqq sehingga menutup diri.

Oleh karena itu harus ditindak keras dan tegas sebab tindakan halus sering

merugikan. Berbeda dengan Muhammad Husain at-Thabataba‟i bahwa munafik

ialah orang yang tidak cinta iman, kadangkala masih ada sifat jujur, sehingga

tidak perlu ditindak dengan kekerasan.

Perbedaan interpretasi atau pemahaman tentang munafik terkadang

berdampak pada justifikasi golongan munafik. Ini terjadi dari masa ke masa

sampai sekarang. Seperti yang terjadi akhir-akhir ini, sebagaimana yang telah

disampaikan oleh Ustad Abdullah Manaf Amin berdasarkan Surat al-Mâidah` ayat

61 “Harus diragukan keimanan seseorang yang tidak menginginkan tegaknya

syariat Islam dalam suatu negeri. Kalau dia bertahan sampai mati, dia munafik

maka tidak boleh jenazahnya disalatkan”.10

ini juga berimplikasi pada proses

PILKADA DKI Jakarta. Berbeda dengan Buya Yahya yang lebih toleran

menyikapi munafik, menurutnya: ”urusan kemunafikan itu adalah di dalam hati

seseorang yang kita diberitahu tentang tanda-tanda kemunafikan saja. Justifikasi

munafik adalah hak preogratif Allah karena sangat tersembunyi, selagi masih

mengucapkan kalimat tauhid dan ada iman di dalam hatinya, maka fardhu kifayah

mensalatkanya.11

Kita baru saja selesai dengan proses Pesta Demokrasi PILKADA DKI

Jakarta sebelum pemilihan berlangsung, kita sama-sama melihat dan mendengar

justifikasi satu pihak ke pihak lain sangatlah terlihat nyata. Bahkan di masjid-

10

Abdul Manaf Amin, “Munafik,” Diakses pada tanggal 12 Juni 2017 dari

http://youtu.be/vgu65On3yxs 11

Yahya Zainul Ma‟arif, “Munafik,” Diakses pada tanggal 12 Juni 2017 dari

http://youtu.be/8yOXnsJ5jsg

5

masjid dibuat banner haram mensalatkan jenazah orang munafik. Kandungan

banner tersebut tidak berdasar.12

Memahami munafik membutuhkan pemaknaan yang mendalam dan

menyeluruh. Sebab, pemahaman konsep munafik masih menimbulkan

kontroversi. Kata munafik menjadi kata kunci menarik untuk dikaji dalam studi

linguistik, terlebih lagi al-Qur‟an menjadikan kata Munafik menjadi kata kunci

religius dalam Islam. Salah satu cabang linguistik yang mempelajari makna pada

sebuah bahasa adalah semantik. Semantik diartikan oleh ahli bahasa sebagai

kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa tersebut. Pandangan ini

tidak saja sebagai alat bicara dari berpikir, tetapi lebih penting lagi pengonsepan

dan penafsiran dunia yang melingkupinya.13

Dalam penelitian ini penulis mengambil kata munafik untuk

mengaplikasikan metode semantik yang dikembangkan oleh Toshihiko Izutsu,

seorang ahli linguistik yang sangat tertarik pada al-Qur‟an. Menurut Toshihiko

Izutsu semantik al-Qur‟an berusaha menyingkap pandangan dunia al-Qur‟an

melalui analisis semantik terhadap materi di dalam al-Qur‟an sendiri, yakni

kosakata atau istilah-istilah penting yang banyak digunakan oleh al-Qur‟an.14

Kosakata yang digunakan al-Qur‟an sarat akan pesan moral, budaya,

peradaban, dan sebagainya. Makna yang begitu luas tersebut ditampung oleh

kosakata-kosakata yang ada di dalam al-Qur‟an. Pesan yang disampaikan oleh

kosakata tersebut yang kemudian dikenal dengan konseptual total yakni

12

Arahmah, “Tuduhan Munafik dan Larangan Menshalati Jenazah Muslim”, Diakses pada

11 Juni 2017 dari https//serambimata.com/2017/03/15/tuduhan-munafik-dan-larangan-menshalati-

jenazah-muslim/ 13

Nur Kholis Setiawan, Al-Quran Kitab Sastra Terbesar (Yogyakarta: Elsaq Press, 2006),

h. 166 14

Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia. Penerjemah Agus Fahri Husein (dkk)

(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), h. 3.

6

keseluruhan konsep terorganisir yang disimbolkan dengan kosakata yang

digunakan atau dikenal dengan weltanschauung15

. Inilah tujuan penelitian

semantik al-Qur‟an, yaitu berusaha menyingkap pandangan dunia al-Qur‟an

melalui analisis semantik terhadap kosakata atau istilah-istilah kunci al-Qur‟an.

Berdasarkan fungsi analisis semantik ini, maka amat beralasan apabila

analisis kebahasaan menempati porsi yang tinggi dalam mengungkap makna yang

terkandung dalam kosakata al-Qur‟an. Berdasarkan hal-hal tersebut, penulis

tertarik untuk melakukan pengkajian lebih jauh mengenai konsep munafik dalam

al-Qur‟an, melalui judul skripsi “KONSEP MUNAFIK DALAM AL-QUR‟AN

( Studi Analisis Semantik Toshihiko Izutsu )”.

B. Permasalahan

Untuk memudahkan dalam penulisan, maka penulisan skripsi ini diberi

identifikasi, batasan dan rumusan masalah yang akan dibahas.

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, maka dapat di

identifikasi beberapa permasalahan yang timbul kemudian. Permasalahan tersebut

antara lain:

a. Perlu adanya pemahaman mendalam tentang konsep munafik dalam al-Qur‟an.

b. Toshihiko Izutsu melalui analisis semantiknya mencoba menyingkap

pandangan dunia al-Qur‟an terhadap materi yang ada di dalamnya, yakni

kosakata atau istilah-istilah penting yang banyak digunakan oleh al-Qur‟an.

15

Pandangan dunia masyarakat menggunakan bahasa itu, tidak hanya sebagai alat bicara

dan berfikir, tapi yang penting lagi sebagai pengkonsepan dan penafsiran dunia yang

melingkupinya. Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, h.3.

7

2. Batasan dan Rumusan Masalah

Setelah dilakukan pengidentifikasian masalah, kemudian yang menjadi

fokus penelitian disini antara lain kata munâfiq di dalam al-Qur‟an. Dalam

penelitian ini, bahasan mengenai munafik dikaji dengan menggunakan metode

semantik Toshihiko Izutsu. Penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan

seluruh ayat yang terdapat kata munafik di dalamnya, untuk diteliti menurut

metode semantik. Masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah:

Bagaimana makna kata munafik dalam al-Qur‟an jika dikaji dengan

menggunakan metode semantik Toshihiko Izutsu?

C. Tujuan dan Manfaat

Tujuan penulisan skripsi ini adalah:

1. Menguraikan penyebutan kata munâfiq dalam al-Qur‟an.

2. Menerangkan penafsiran berkaitan tentang makna kata munafik.

3. Menjelaskan makna kata munâfiq menggunakan metode semantik Izutsu.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penulisan skripsi ini adalah:

1. Sebagai sumbangan pemikiran dan pengetahuan baru dalam wacana ilmu tafsir

dan khususnya tentang makna munafik menurut metode semantik al-Quran

Toshihiko Izutsu.

2. Menambah wawasan para pengkaji Tafsir mengenai konsep munafik dalam al-

Qur‟an.

E. Kajian Pustaka

Setelah dilakukan eksplorasi tentang kajian munafik penulis menemukan

banyak pembahasan tentang munafik, namun belum ada penelitian yang

8

menggunakan metode semantik Toshihiko Izutsu untuk membahas munafik secara

eksplisit. Karenanya penulis merasa perlu mengisi ruang yang kosong tersebut.

Penulis hanya akan menyebutkan beberapa penelitian yang membahas tentang

munafik dan metode semantik Toshihiko Izutsu.

Siti Aisyah16

dalam skripsinya dengan judul “Munafik Menurut Al-Qur‟an”.

Skripsi ini membahas tentang metode penafsiran para mufassir ( sebagian

tercantum dalam Ibn Katsir, al-Maraghi, al-Azhar, dan anhar al-Munir) mengenai

ayat-ayat al-Qur‟an yang membicarakan maudhui atau tematik. Sedangkan secara

keseluruhan identifikasi ciri-ciri orang munafik sulit untuk dideteksi satu persatu,

sebab tidak jarang Allah menggunakan bahasa metafora yang memiliki makna

ganda. Namun demikian‟ di antara ciri-ciri yang relevan dengan orang munafik

adalah: sifat tipu, menipu diri tanpa disadarinya, penyakit hati, bermuka dua,

malas beribadah, tidak memiliki pendirian, tidak sabar dalam menghadapi

rintangan, mengingkari janji, lahir dan batinnya berbeda (beredusta), dan

bersumpah palsu.

M Farihin17

dalam skripsinya yang berjudul “Studi Komparatif Tentang

Penafsiran Munafik Antara Mustafa Al-Maraghi Dan Hamka” Skripsi ini

menjelaskan perbandingan antara Mustafa Al-Maraghi dan Hamka dalam

menafsirkan munafik. Kesimpulan yang dapat diambil yaitu persamaan

penafsirannya adalah munafik adalah orang yang mengaku aku beriman, mereka

mengaku beriman kepada Allah percaya pada apa yang diturunkan kepada Nabi

Muhammad, sehingga sifat mereka antara laki laki dan perempuan sama saja

16

Siti Aisyah, “Munafik menurut al-Qur‟an,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan

Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 1999). 17

M Farihin, “Studi Komparatif Tentang Penafsiran Munafiq antara Mustafa Al-Maraghi

Dan Hamka,” (Skripsi Fakultas S1 Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga,

Yogyakarta, 2012).

9

dalam segi akhlak dan perbuatannya, mereka menyuruh berbuat kemungkaran dan

mencegak untuk melakukan perbuatan ma‟ruf. Perbedaan penafsirannya adalah

dalam hal menafsirkan kata kata “ al-Qulub” karena sakit hati merupakan salah

satu sifat dari orang orang munafik. Menurut Al-Maraghi adalah akal karena

itulah yang mampu mendorong manusia untuk melakukan perbuatan. Sedangkan

Hamka “ al-Qulub” adalah hati karena penyakit terutama dalam hati mereka

merasa dirinya lebih pintar.

Muhammad Fikri18

, Konsep Munafik dalam al-Qur‟an dan Relevansinya

dengan kehidupan Modern: Sebuah Kajian Tematik. Dikeluarkan pada 2007.

Abu Bakar al-Farabi, Sifat al-Nifaq wa Dzammu al-Munafiqîn, penerbit

beirut: Dar al-Kutub „Ilmiah 1987. Buku ini penulis gunakan bagi mencari hadis-

hadis mengenai munafik karena al-Farabi memuatkan 112 hadis dari sekian kitab

seperti dari kitab sahih, sunan, musnad, sya‟bu iman dan banyak lagi.

Mahadi Sipatuhar19

dalam skripsinya dengan judul “konsep sabar dalam al-

Qur‟an: pendekatan Semantik”. Skripsi ini menjelaskan tentang semantik dalam

al-Qur‟an, makna sabar dan derevasinya dalam al-Qur‟an, dan aplikasi makna

sabar dalam kehidupan sehari-hari.

Muhammad Chirzin20

dalam skripsinya yang berjudul “Konsep Jihad

dalam al-Qur‟an: Aplikasi Smantik Toshihiko Izutsu. Skripsi ini menjelaskan

gambaran Jihad dalam al-Qur‟an melalui kajian semantik Toshihiko Izutsu.

18

Muhammad Fikri, “Konsep Munafik dalam Al-Qur‟an dan Relevansinya dengan

Kehidupan Modern,” (Skripsi S1Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta 2007. 19

Mahadi Sipatuhar, “Konsep Sabar dalam Al-Qur‟an: Pendekatan Semantik,” (Skripsi S1

Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2013). 20

Muhammad Chirzin, “Jihad dalam al-Qur‟an: Telaah Normatif, Hitoris, dan Prospektif,”

(Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2013).

10

F. Metodelogi Penelitian

Metode penelitian adalah cara yang ditempuh untuk meneliti suatu objek

penelitian guna memperoleh pengertian secara ilmiah dan dapat dipertanggung

jawabkan. Metode penelitian ini sangatlah penting guna menentukan alur

penelitian dan sikap keilmiahannya.

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah kepustakaan (library research). penelitian

kepustakaan merupakan sebuah penelitian yang fokus penelitiannya

menggunakan data dan informasi dengan bantuan berbagai macam literatur yang

terdapat di perpustakaan, seperti kitab, buku, naskah, catatan, kisah sejarah,

dokumen dan lain-lain.21

2. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan kajian literatur

dan kepustakaan. Sumber data yang dipakai dalam penelitian ini terdiri dari al-

Qur‟an, buku-buku tentang semantik, kamus-kamus klasik bahasa Arab, kitab-

kitab tafsir, buku-buku yang membahas mengenai munafik baik terkait dengan al-

Qur‟an maupun Hadis. Sumber data ini terbagi menjadi dua yaitu:

a. Sumber Data Primer

Dalam hal ini penulis menggunakan al-Qur‟an dan terjemahnya, Kitab

Tafsir, buku-buku tentang semantik dalam hal ini penulis menggunakan buku

Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap al-Qur‟an karya

Toshihiko Izutsu.

21

Kartini, Pengantar Metodelogi Riset Sosial (Bandung: Mandar Maju, 1996), h. 33.

11

b. Sumber Data Sekunder

Dalam hal ini penulis menggunakan kamus klasik di antaranya yaitu Lisan

al-„Arab, al-Munjid Fi al-Lughah wa al-„Alam, Mu‟jam Mufahras Li Alfâzi al-

Qur‟ân al-Karîm, Mufradat Garib al-Qur‟ân dan kamus-kamus al-Qur‟an

lainnya. Kitab Tafsir, kitab hadis, buku-buku, jurnal, artikel-artikel dimajalah dan

internet, skripsi dan alat informasi lainnya yang dapat dipertanggungjawabkan

kebenaran datanya yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini dan

dianggap penting untuk dikutip dan dijadikan informasi tambahan.

3. Metode Pembahasan

Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah deskriptif analisis, sebagai

upaya mengkaji kemudian memaparkan keadaan objek yang akan diteliti dengan

merujuk pada data-data yang ada (baik primer maupun sekunder) kemudian

menganalisanya secara profesional dan komprehensif dengan pendekatan

komparatif, sehingga akan tampak jelas perbedaan yang ada dan jawaban atas

persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahan serta menghasilkan

pengetahuan yang valid.22

a. Deskripsi

Mengumpulkan dan mengelompokkan ayat-ayat tentang munafik, kemudian

menguraikan makna-makna kata munâfiq yang terdapat dalam al-Qur‟an.

b. Analisis

Menganalisa menggunakan teori semantik dengan tahapan sebagai berikut,

langkah awal mencari kata kunci (munâfiq), kemudian mengumpulkan ayat-ayat

yang terdapat kata kunci beserta derevasinya, selanjutnya menentukan makna

22

John W. Creswell, Research Design, Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods

Apporoaches, Penerjemah: Achmad Fawaid dan Rianayati Kusmini Pancasari (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2016), h. 262.

12

dasar dan makna relasional melalui analisis sintagmatik dan paradigmatik.

Selanjutnya mencari diakronisasi konsep dengan menelusuri definisi munafik

dengan pra Qur‟anik, Qur‟anik dan pasca Qur‟anik. Kemudian mengemukakan

weltanschauung dari kata munafik.

4. Tekhnik Penulisan

Penulisan skripsi ini mengacu kepada Pedoman Penulisan Skripsi dalam

Buku Pedoman Akademik Program Strata 1 tahun terbitan Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.23

G. Sistematika Penulisan

Penyusunan skripsi ini terdiri dari lima bab yang terdiri dari beberapa sub

bab. Untuk memudahkan penyusunannya digunakan sistematika sebagai berikut.

Bab pertama, yang merupakan pendahuluan, berisikan latar belakang

masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, kajian pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika

penelitian. Pada bab ini penulis menunjukan alasan pengambilah tema, masalah,

dan pentingnya penelitian serta metode penelitia yang digunakan.

Bab kedua, memuat tentang semantik Toshihiko Izutsu. Bab ini menjadi

empat sub bab. Sub bab tersebut adalah biografi, pengertian semantik, semantik

al-Qur‟an, dan semantik Toshihiko Izutsu. Pada bab ini penulis mencoba

menghadirkan metodelogi Izutsu guna menjadi dasar untuk penelitian selanjutnya.

Bab ketiga, membahas Munafik dalam al-Qur‟an. Bab ini terbagi menjadi

tiga sub bab. Sub bab tersebut adalah ayat-ayat munafik, ayat-ayat Makiyah dan

ayat-ayat Madaniah, klasifikasi ayat-ayat munafik. Pada bab ini penulis

23

Amsal Bakhtiar, dkk., Pedoman Akademik Program Strata I 2012/2013 (Jakarta: T.tt,

2012), h. 368.

13

mencantumkan ayat-ayat munafik, memisahkan berdasarkan makkiyah dan

madaniyyah dan mengkoding setiap ayat yang tercantum. Tujuannya untuk lebih

memudahkan penerapan semantik Izutsu pada bab selanjutnya.

Bab keempat, membahas tentang analisis semantik kata kunci munafik. Bab

ini memuat empat sub bab, sub bab tersebut adalah makna dasar dan makna

relasional kata munafik, makna sinkronik dan makna diakronik, walthanschauung

kata kunci munafik. Pada bab ini penulis menghadirkan hasil akhir dari penelitian

atau aplikasi semantik Izutsu dalam mencari konsep munafik di dalam al-Qur‟an.

Serta memunculkan waltanschauung munafik.

Bab kelima penutup, dalam bagian ini menjawab masalah yang diangkat dan

memberikan rekomendasi untuk penggunaan praktis dan penelitian-penilitian

selanjutnya.

14

BAB II

SEMANTIK TOSHIHIKO IZUTSU

A. Biografi

Toshihiko Izutsu lahir di Tokyo pada 4 Mei 1914 dan wafat pada 1 Juli

1993. Ia terlahir dalam keluarga kaya pemilik bisnis di Jepang, karena dengan

keadaan seperti itu ia tidak lagi memikirkan hal-hal pemenuhan kebutuhan

pokoknya, yang mana hal ini yang biasa menjadi dalih yang biasa menjadi dalih

dan alasan di negara kita.1 Ahmad Sahidah Rahem menjelaskan bahwa Izutsu

berasal dari keluarga taat, ia telah mengamalkan Zen Buddhisme sejak kecil.

Bahkan, pengalaman kontemplasi dari amalan Zen sejak muda telah turut

mempengaruhi cara berpikir dan pencariannya akan kedalaman pemikiran filsafat

dan mistisisme.2

Fathurahman dalam tesisnya menambahkan, dari kecil Izutsu dibiasakan

dengan cara berpikir Timur yang berpijak pada ketiadaan (nothingness).

Penemuan pengalaman mistikal sebagai sumber pemikiran filsafat menjadi titik

permulaan untuk seluruh filsafat Izutsu selanjutnya. Ia bukan hanya sebuah

penemuan di dalam ruang filsafat Yunani, tetapi juga menjadi asal-usul pemikiran

ketika beliau mengembangkan ruang lingkup aktivitas penelitiannya pada filsafat

Islam, pemikiran Yahudi, filsafat India, filsafat Lao-Tsu Cina, filsafat Yuishiki

dan Buddhisme Kegon dan filsafat Zen.3

1Nur Ahmad, “Tafsir Semantik ala Toshihiko Izutsu,” Diakses pada tanggal 18 Agustus

2017 dari Nurahmadbelajar.blogspot.co.id/2013/06/Tafsir-semantik-ala-toshihiko-

izutsu.html?m=1 2Ahmad Sahidah Rahem, Tuhan, Manusia dan Alam dalam Al-Qur‟an; Pandangan

Toshihiko Izutsu (Pulau Pinang, Universiti Sains Malaysia Press, 2014), h. 138-190 3Fathurahman, “Al-Qur‟an dan Tafsirnya dalam Perspektif Toshihiko Izutsu,” (Tesis S2

Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2010), h. 67.

15

Izutsu menyelesaikan pendidikan tinggi di Universitas Keio, Tokyo. Di

tempat inilah dia juga mengabdikan dirinya menjadi peneliti dan mengembangkan

profesinya sebagai seorang intelektual yang dikenal dunia. Izutsu mengajar di sini

dari tahun 1954 sampai dengan 1968 dan mendapatkan gelar Profesor Madya

pada tahun 1950. Hingga akhirnya, beliau juga mendapatkan gelar profesornya di

universitas yang sama.4

B. Pengertian Semantik

Semantik lebih dikenal sebagai bagian dari struktur ilmu kebahasaan

(linguistik) yang membicarakan tentang makna sebuah ungkapan atau kata dalam

sebuah bahasa.5 Istilah semantik berasal dari bahasa Yunani, semantikos yang

mengandung makna to signify berarti memaknai.6 Dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia, semantik adalah ilmu tentang makna kata dan kalimat; pengetahuan

mengenai seluk-beluk dan pergeseran arti kata-kata.7

Adapun secara istilah semantik adalah ilmu yang meneliti tentang makna,

baik berkenaan dengan hubungan antar kata-kata dan lambang-lambang dengan

gagasan atau benda yang diwakilinya, maupun berkenaan dengan pelacakan atas

riwayat makna-makna itu beserta perubahan-perubahan yang terjadi atasnya atau

disebut juga semiologi.8 Semantik menurut para ahli bahasa merupakan cabang

ilmu bahasa yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-

hal yang ditandainya (makna). Tanda linguistik yang dimaksud di sini adalah

seperti yang dikemukakan Ferdinand de Saussure yang terdiri dari dua komponen

4Fathurahman, “Al-Qur‟an dan Tafsirnya dalam Perspektif Toshihiko Izutsu,” h. 67.

5Harimukti Kridalaksana, Kamus Linguistik (Jakarta: Gramedia, 1993), h. 19.

6Aminuddin, Semantik: Pengantar Studi Tentang Makna (Bandung: PT. Sinar Baru

Algesindo, 2008), h. 15. 7Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:

Rineka Cipta, 2009), h. 850 8Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta: LPKN, 2006), h. 1016.

16

yaitu: komponen yang mengartikan, yang terwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa

dan komponen yang diartikan, atau makna yang dari komponen yang pertama.

Kedua komponen ini adalah tanda atau lambang, sedangkan yang ditandai atau

yang dilambangi adalah sesutu yang berada di luar bahasa yang lazim disebut

referen atau hal yang ditunjuk.9

Semantik menurut Toshihiko Izutsu adalah kajian analitik terhadap istilah-

istilah kunci suatu bangsa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai pada

pengertian konseptual weltanschauung atau pandangan dunia masyarakat yang

menggunakan bahasa itu, tidak hanya sebagai alat bicara dan berpikir tetapi yang

lebih penting lagi, pengonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya.10

Dari pemaparan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa semantik

merupakan analisis tentang makna-makna kata dalam bahasa. Ia berusaha

menelaah tanda-tanda atau lambang yang menyatakan, serta perkembangan makna

dan perubahannya.

C. Semantik Al-Qur‟an

Ketika membicarakan tentang al-Qur‟an, kita tidak bisa lepas dari bahasa

yang digunakan karena al-Qur‟an menggunakan bahasa sebagai media

komunikasi terhadap pembacanya. Abu Zaid berkata: “Ketika mewahyukan al-

Qur‟an kepada Rasulullah Saw., Allah Swt., memilih sistem bahasa tertentu sesuai

dengan penerima pertamanya. Pemilihan bahasa ini tidak berangkat dari ruang

kosong. Sebab, bahasa adalah perangkat sosial yang paling penting dalam

9Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 2.

10Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an

(Yogyakarta, PT. Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 3.

17

menangkap dan mengorganisir dunia.”11

Dengan demikian, kerangka komunikasi

dalam bingkai ini terdiri dari: Tuhan sebagai komunikator aktif yang mengirim

pesan, Muhammad Saw., sebagai komunikator pasif, dan bahasa Arab sebagai

kode komunikasi.12

Karenanya, bahasa memiliki peranan penting dalam

penyampaian wahyu dan ajaran agama. Bahasa juga merupakan media efektif

untuk memberikan pengetahuan kepada orang lain.

Bahasa merupakan rangkaian kata-kata yang mengandung makna dan

merujuk pada objek tertentu, baik objek fisik maupun psikis. Oleh karena itu,

diperlukan metode yang bisa mengungkap makna yang terdapat di dalam kata-

kata tersebut sehingga bisa menghasilkan sebuah pemahaman yang menyeluruh

terhadap rangkaian kata dan bahasa yang terdapat di dalam sebuah ucapan

maupun tulisan.

Al-Qur‟an merupakan tulisan dari kalam Illahi yang disampaikan melalui

lisan Muhammad Saw., Wahyu yang awalnya berbentuk ucapan kemudian

dibukukan dalam bentuk tulisan agar tidak terjadi kekeliruan dimasa yang akan

datang ketika ajaran tersebut mulai menyebar luas. Di sisi lain, media tulisan

merupakan media efektif yang terjamin orisinalitasnya dari sang penulis dan bisa

dibawa kemana saja tanpa takut akan kehilangan detail dari memori tentang suatu

hal.

Al-Qur‟an yang kita pegang saat ini memuat bahasa 14 abad yang lalu. Kita

tidak akan mampu memahami makna dan pengetahuan apa saja yang terdapat di

dalam al-Qur‟an jika tidak mengetahui bahasa yang digunakan pada saat ia

11

Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur‟an. Penerjemah Khoiron Nahdiyin

(Yogyakarta: LkiS, 2005), h. 19. 12

M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar (Yogyakarta: Elsaq Press,

2006), h..2.

18

diturunkan. Amin Al-Khuli menjelaskan, salah satu cara memahami isi al-Qur‟an

adalah dengan melakukan studi aspek internal al-Qur‟an. Studi ini meliputi

pelacakan perkembangan makna dan signifikasi kata-kata tertentu di dalam al-

Qur‟an dalam bentuk tunggalnya, kemudian melihat indikasi makna ini dalam

berbagai generasi serta pengaruhnya secara psikologi sosial dan peradaban umat

terhadap pergeseran makna.13

Berdasarkan ungkapan di atas, pemaknaan al-Qur‟an terikat oleh historis

kata yang digunakan dalam kitab tersebut. Oleh karena itu, semantik merupakan

salah satu metode ideal dalam pengungkapan makna dan pelacakan perubahan

makna yang berkembang pada sebuah kata sehingga bisa diperoleh sebuah makna

yang sesuai dengan maksud penyampaian oleh sang author (Tuhan). Pendekatan

yang cocok dalam pengungkapan makna serta konsep yang terkandung di dalam

al-Qur‟an di antaranya adalah semantik al-Qur‟an.

Jika dilihat dari struktur kebahasaan, semantik mirip dengan ilmu balâghah

yang dimiliki oleh bahasa Arab pada umumnya. Persamaan tersebut di

antarannya terletak pada pemaknaan yang dibagi pada makna asli dan makna yang

berkaitan.14

Selain itu medan perbandingan makna satu kata dengan kata yang lain

dalam semantik mirip dengan munâsabah ayat dengan ayat. Hal ini menjadikan

semantik cukup identik dengan ulum al-Qur‟ân, walaupun terdapat perbedaan

dalam analisisnya dimana semantik lebih banyak berbicara dari segi historitas kata

untuk mendapatkan makna yang sesuai pada kata tersebut.

Pendapat M. Nur Khalis, kajian semantik al-Qur‟an pertama kalinya

dilakukan salah seorang sarjana yang bernama Muqatil ibn Sulaiman (w. 150/767)

13

M. Yusron, dkk., Studi Kitab Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: Teras, 2006), h.18. 14

Dalam semantik istilah ini dikenal dengan sebutan makna dasar dan makna relasional

19

dalam tafsirnya al-Asybah wa al-Nazhâ‟ir f𝑖 al-Qur‟𝑎n al-Karîm dan Tafsir

Muqâtil ibn Sulaimân. Muqatil menegaskan bahwa setiap kata yang terdapat

dalam al-Qur‟an, selain memiliki arti yang definitif (makna dasar) juga memiliki

beberapa alternatif makna lainnya (makna relasional). Contohnya adalah kata mâ‟

yang dalam konteks pembicaraan al-Qur‟an memiliki tiga alternatif makna.

Pertama bermakna hujan, seperti dalam QS. al-Hijr: 22, al-Furqân: 48, al-Anfâl:

11, dan Luqmân: 10. Kedua bermakna air sperma, seperti dalam QS. al-Furqân:

54. Ketiga bermakna pijakan yang amat fundamental dalam kehidupan orang

beriman, seperti dalam QS. an-Nahl: 65. Dalam ayat ini kata mâ‟ yang berarti air

oleh Muqâtil dipahami sebagai metafor (matsal).15

Selain Muqâtil yang

melakukan hal senada adalah Harun Ibn Musa (w. 170/768) dalam bukunya al-

Wujûh wa al-Nazhâ‟ir fi al-Qur‟an al-Karim. Kata wajh, dalam karya ini,

dimaksudkan sebagai makna yang dikembangkan dari sebuah kosa kata. Di

samping kosa kata, sebagai faktor penentu makna adalah konteks linguistik, serta

struktur atau sintaksis. Karya tersebut termasuk kategori tafsir dan bahasa. Yang

dimana pada paruh kedua abad kedua Hijriah Ilmu keislaman terbagi dalam tiga

spesialisasi besar, yakni 1) hadis, 2) tafsir, 3) bahasa.16

Era kontemporer saat ini, pendekatan semantik diteruskan oleh ilmuan

Jepang, yakni Toshihiko Izutsu (1914-1993). Izutsu mengatakan bahwa kajian

semantik adalah kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan

suatu pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual

Weltanschauung atau pandangan dunia masyarakat menggunakan bahasa itu,

pengkonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya. Oleh karena itu tujuan

15

Setiawan, Al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar, h. 169-171. 16

Setiawan, Al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar, h. 172.

20

semantik al-Qur‟an menurut Izutsu adalah al-Qu‟an harus dipahami dalam

pengertian pandangan dunia Qur‟ani yaitu visi al-Qur‟an tentang alam semesta.17

Artinya dengan adanya studi semantik al-Qur‟an akan menjadikan suatu alat yang

mengkaji makna yang ada dalam tiap kosakata yang disediakan al-Qur‟an. Kajian

tentang kosakata al-Qur‟an sangat diperlukan karena sering dijumpai kata-kata

yang mengandung pengertian lebih dari satu. Di samping itu juga sering

ditemukan kata yang berkonotasi metaforis atau di dalam ilmu balaghah disebut

majaz.

D. Semantik Toshihiko Izutsu

Izutsu menjelaskan bahwa maksud semantik di sini menurutnya adalah

kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan

yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual Weltanschauung atau

pandangan dunia masyarakat yang menggunakan bahasa itu, tidak hanya sebagai

alat bicara dan berpikir, tetapi yang lebih penting lagi, pengkonsepan dan

penafsiran dunia yang melingkupinya. Dalam hal ini ia menambahkan, bahwa apa

yang disebut semantik sekarang ini adalah susunan rumit yang sangat

membingungkan. Sangat sulit bagi seorang di luar (disiplin linguistik) untuk

mendapat gambaran secara umum seperti apa (semantik) itu. salah satu alasannya,

semantik menurut etimologinya adalah merupakan ilmu yang berhubungan

dengan fenomena makna dalam pengertian yang lebih luas dari kata, begitu luas

sehingga hampir apa saja yang mungkin dianggap memiliki makna merupakan

objek semantik.18

17

Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an, h. 3. 18

Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an, h. 3.

21

Agar pemahaman terhadap kitab suci ini tidak mengalami korosi, Izutsu

berusaha untuk membiarkan al-Qur‟an menafsirkan konsepnya sendiri dan

berbicara untuk dirinya sendiri. Uraian di bawah ini akan mengantarkan kita pada

bagaimana kaidah semantik bisa memahami makna yang diinginkan oleh al-

Qur‟an, bukan sang penafsir. Namun, tak dapat dielakkan bahwa terkadang

mufassir tidak bisa sepenuhnya mengelak dari pandangan peribadi ketika

memahami sebuah teks dalam kaitannya dengan pendekatan yang digunakan.

Pendek kata, campur tangan (pra-konsepsi maupun post-kosepsi) dari mufassir

tetap tak dapat dihindari.

Kaidah semantik ini dimulai dengan membuka seluruh kosakata al-Qur‟ān,

semua kata penting yang mewakili konsep-konsep penting serta menelaah apa

makna kata semua kata itu dalam konteks al-Qur‟an, bukan konteks sempit

berkaitan dengan alasan turunnya ayat tertentu, tetapi konteks yang lebih luas.

Namun, ini tidak mudah. Kata-kata atau konsep-konsep di dalam al-Qur‟an adalah

tidak sederhana (simple). Kedudukan masing-masing saling terpisah, tetapi sangat

saling bergantung dan menghasilkan makna konkrit justru dari seluruh sistem

hubungan itu. Artinya, kata-kata itu membentuk kelompok-kelompok yang

beragam, besar dan kecil, dan saling terkait satu sama lain dengan berbagai cara,

lalu pada akhirnya menghasilkan keteraturan yang syumul, sangat kompleks dan

rumit sebagai rangka kerja gabungan konseptual. Dengan demikian, dalam

menganalisis konsep-konsep kunci individual yang ditemukan di dalam al-Qur‟an

kita tidak bisa kehilangan wawasan hubungan ganda yang saling memberi muatan

dalam keseluruhan sistem.19

19

Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an, h. 10.

22

Kosakata al-Qur‟an dapat terbagi menjadi tiga kosakata. Pertama kosakata

yang hanya memiliki satu makna, kedua kosakata yang memiliki dua alternatif

makna dan ketiga kosakata yang memiliki banyak kemungkinan arti selaras

dengan konteks dan struktur dalam kalimat yang memakainya.20

Untuk

mendapatkan konsep-konsep pokok yang jelas dalam al-Qur‟an, Izutsu memberi

dua konsep metodologi, yaitu makna dasar dan makna relasional.

Makna dasar adalah makna yang melekat pada sebuah kata dan akan terus

terbawa dimanapun kata itu dipakai. Misalnya kata al-kitab, makna dasarnya sama

baik di dalam al-Qur‟an maupun di luar al-Qur‟an. Kata ini mempertahankan

makna aslinya kitab. Sedangkan makna relasional adalah makna baru yang

diberikan pada sebuah kata yang tergantung pada kalimat dimana kata tersebut

diletakkan.21

Dalam menelusuri makna rasional dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu

melakukan analisis sintagmatik, suatu analisis yang berusaha menentukan makna

suatu kata dengan cara memperhatikan kata-kata yang ada di depan dan di

belakang kata yang sedang dibahas dalam satu bagian tertentu, kata-kata tersebut

memiliki hubungan keterkaitan satu sama lain dalam membentuk makna sebuah

kata22

dan melakukan analisis paradigmatik, suatu analisis yang

mengkompromikan kata atau konsep tertentu dengan kata atau konsep lain yang

mirip (sinonimitas) atau bertentangan (antonimitas).23

20

Setiawan, Al-Qur‟an Kkitab Sastra Terbesar, h. 177. 21

Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an, h. 12. 22

Nailul Rahman, “Konsep Salam dalam al-Qur„an dengan Pendekatan Semantik

Thoshihiko Izutsu,” (Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga.

Yogyakarta. 2014), h. 43. 23

Zunaidi Nur, “Konsep Al-Jannah dalam Al-Qur„an: Aplikasi Semantik Toshihiko Isutzu,”

(Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta. 2014), h. 64.

23

Mencari hubungan makna antar satu konsep dengan konsep lain (integrasi

antar konsep), serta mengetahui posisi konsep yang memiliki makna yang lebih

luas dan posisi konsep yang memiliki makna yang lebih sempit sehingga

menghasilkan pemahaman yang komprehensif sesuai pandangan dunia al-Qur‟an.

Istilah–istilah yang digunaknan dalam analisis ini adalah kata kunci, kata fokus,

dan medan semantik.

Kata kunci adalah kata-kata yang memainkan peranan yang sangat

menentukan dalam penyusunan struktur konseptual dasar pandangan dunia al-

Qur‟an. Kata fokus adalah kata kunci yang secara khusus menunjukkan dan

membatasi bidang konseptual yang relatif independen dan berbeda dalam

kosakata yang lebih besar dan ia merupakan pusat konseptual dari sejumlah kata

kunci tersebut. Kata fokus ini menjadi prinsip penyatu. Sedangkan medan

semantik adalah wilayah atau kawasan yang dibentuk oleh beragam hubungan

diantaranya kata-kata dalam sebuah bahasa.24

Misalnya konsep kufr, ia menjadi kata fokus yang menguasai seluruh medan

semantik yang tersusun dari kata-kata kunci yang masing-masing mewakili segi

esensial pemikiran al-Qur„an dengan caranya sendiri dengan sudut pandang yang

khusus. Medan semantik dengan kata kufr sebagai kata fokus, kata-kata lain yang

mengitarinya dalam diagram adalah kata-kata kunci yang menandai aspek-aspek

khusus dan parsial dari konsep kufr itu sendiri atau kata kunci yang mewakili

konsep-konsep yang erat terkait dengan kufr dalam konteks al-Qur‟an.25

24

Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an, h. 18-20. 25

Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an, h 25.

24

Diagram 2.1: Medan Semantik Sintagmatik Kufr

Pada tahapan selanjutnya, Toshihiko Izutsu menggunakan istilah yang

berhubungan dengan kesejarahan kosakata dalam al-Qur‟an yang disebut dengan

semantik historis, istilah tersebut sinkronik dan diakronik. Kata sinkronik, berasal

dari bahasa Yunani yaitu syn yang berarti dengan, dan chronoss yang berarti

waktu. Adapun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sinkronik diartikan sebagai

segala sesuatu yang bersangkutan dengan peristiwa yang terjadi pada suatu masa.

Secara etimologis kata diakronis berasal dari bahasa Yunani yaitu dia dan

chronoss. Dia mempunyai arti melintas sedangkan chronoss berarti waktu. Jadi

diakronik berarti sesuatu yang melintas, melalui, dan melampaui dalam batasan

waktu.26

Sinkronik adalah sudut pandang masa dimana kata tersebut lahir dan

berkembang untuk memperoleh suatu sistem kata yang statis. Dengan sudut

pandang ini, akan terlihat unsur-unsur lama yang terlepas dalam sebuah bahasa,

26

Muhammad Darwis, “Konsep Sinkronik dan Diakronik Dalam Sejarah”, Diakses pada 29

April 2018 dari twentynov.blogspot.com/2016/01/konsep-dan-sinkronik-dalam.htmI?m=1

Allah

Kufr

Fisk

Dalal

Julm

Istikbar

Takzib

Syirk

Isyan

25

kemudian muncul unsur-unsur baru yang menemukan tempatnya sendiri dalam

sistem bahasa tersebut.

Sedangkan diakronik adalah pandangan terhadap bahasa yang pada

prinsipnya menitik beratkan pada unsur waktu. Dengan demikian, secara

diakronik, kosakata bentuk sekumpulan kata yang masing-masing tumbuh dan

berubah secara bebas dengan caranya sendiri yang khas. Kemungkinan dalam

suatu masa sebuah kata tersebut mengandung makna yang penting dalam

kehidupan masyarakat, dan pada masa lain mungkin kata itu mengalami distorsi

makna karena ada kata-kata baru yang muncul. Tidak menutup kemungkinan juga

sebuah kata bisa bertahan dalam jangka waktu lama pada masyarakat yang

menggunakannya.27

Toshihiko Izutsu membagi periode waktu penggunaan kosakata dalam tiga

periode waktu, yaitu pra-Qur‟anik (Jahiliyah), Qur‟anik dan pasca-Qur‟anik.28

Yang menjadi patokan pencarian kosakata pra-Qur‟anik adalah (kosa kata Badwi

murni masa nomaden, (2) kosa kata kelompok pedagang, (3) kosa kata Yahudi-

Kristen. Ketiga point tersebut merupakan unsur-unsur penting kosa kata Arab pra-

Islam.29

Pada masa Qur‟anik, kosakata al-Qur‟an sangat luar biasa, bahkan tiada

taranya sebagai bahasa Wahyu Ilahi, wajarlah semua sistem pasca al-Qur‟an

sangat terpengaruh oleh kosa kata al-Qur‟an tersebut. Pada periode pasca-al-

Qur‟an, Islam banyak menghasilkan banyak sistem pemikiran yang berbeda

khususnya pada masa Abasiyah, yakni teologi, hukum, teori politik, filsafat,

tasawuf. Masing-masing produk kultural Islam ini mengembangkan sistem

konseptualnya sendiri, kosakatnya sendiri yang mencakup sejumlah subsistem.

27

Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an, h. 22-23. 28

Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an, h. 25. 29

Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an, h. 35.

26

Dengan demikian, kita sepenuhnya berhak untuk membicarakan kosakata teologi,

Islam, kosa kata tasawuf dan yang lain-lain menurut teknis yang berbeda-beda.30

Misalnya kata taqwâ, di dalam al-Qur„an kata ini merupakan kata yang

sangat penting sebagai salah satu istilah kunci al-Qur‟an yang paling khas. Namun

kata ini pada masa Jahiliyah tidak digunakan dalam pengertian religius. Konsep

dasar taqwâ pada masa Jahiliyah dapat diungkapkan dengan melihat syair-syair

pra-Islam. Diantara syair yang berbicara tentang taqwâ (dengan kata kerja ittaqâ

dan ittaqî) yaitu:

اإلتقاء أن تعل بينك وبني ما تافو حاجرا يفظك “Ittaqâ maknanya adalah engkau menempatkan antara dirimu sendiri

dan sesuatu yang kau takuti. Sesuatu yang dapat melindungimu dengan

mencegahnya mencapaimu”

Pada dasarnya, taqwâ bernakna membela diri dengan menggunakan sesuatu.

Syair pra-Islam di atas memiliki pola yang sama dengan syair berikut ini:

لجم *وقال سأقضى حاجت ث أتقى

عدوى بألف من ورائى امل“Ia berkata (kepada dirinya sendiri): aku akan memuaskan nafsuku

(yakni aku akan membunuh orang yang telah membunuh saudaraku),

kemudian aku akan membela diriku (attaqî) terhadap musuh (yang sudah

barang tentu akan membalas) dengan seribu kuda beserta kendalinya untuk

mendukung maksudku.”

Kata taqwâ pada zaman Jahiliyah bermakna sikap membela diri sendiri baik

binatang maupun manusia untuk tetap hidup melawan sejumlah kekuatan

distruktif dari luar.

Pada periode Qur‟anik, kata taqwâ masuk ke dalam sistem Qur‟anik dengan

membawa serta makna dasar. Namun kata ini ditempatkan dalam semantik khusus

yang tersusun dari sekelompok konsep yang berkaitan dengan “kepercayaan”

yang khas “monoteisme” Islam. Kata tersebut mendapatkan makna religius yang

30

Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an, h. 42.

27

sangat penting yaitu takut kepada hukuman Allah pada hari kiamat, namun

struktur formalnya sendiri tidak berubah. Di sini yang dapat mencelakakan bukan

lagi bahaya fisik tetapi bahaya eskatologi, yakni siksa pedih dari Allah yang

dilimpahkan kepada orang-orang yang menolak untuk beriman dan berserah diri.

Struktur dasar taqwâ dalam al-Qur‟an menurut bentuk aslinya dalam

pengertian di atas merupakan bentuk konsep eskatologi, yang maknanya adalah

takut akan siksaan Ilahi di akhirat. Dari makna yang asli ini sehingga muncul

makna ketakutan yang patuh (kepada Allah)‖. Hal ini menunjukkan suasana yang

sangat khusus berkaitan secara langsung dengan konsep hari pengadilan kelak di

akhirat.31

Dalam konteks Al-Qur‟an, ittaqâ berarti seseorang yang menjaga dirinya

sendiri dari bahaya yang akan dihadapi, yakni siksaan Allah dengan cara

menempatkan dirinya dalam perlindungan berupa iman dan kepatuhan yang

sungguh-sungguh. Itulah sebabnya di dalam al-Qur‟an muttaqî sering kali

digunakan dengan pengertian orang beriman yang taat lawan dari kafir.32

Pada periode pasca Qur‟anik, makna taqwâ mencapai tahap tidak lagi

memiliki hubungan nyata dengan citra hari akhir, namun berubah menjadi hampir

sama dengan ketaatan. Pada tahap ini taqwâ kehilangan nilai eskatologisnya yang

sangat kuat, sehingga kata taqwâ hanya terkait sedikit atau sama sekali tidak ada

kaitannya dengan konsep takut (khawf).33

Seiring dengan berjalannya waktu pada

akhirnya kata taqwâ dikonsepkan dengan taat yang berarti menjalankan segala

perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

31

Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an, h 262. 32

Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an, h 263. 33

Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an, h 267

28

29

BAB III

DESKRIPSI AYAT-AYAT MUNAFIK DALAM AL-QUR‟AN

A. Ayat-ayat Munafik

Dalam al-Qur‟an akar kata nun fa qaf beserta derivasinya disebut berulang

kali sebanyak 108 kali.1 Kata munafik beserta derevasinya disebut berulang kali

sebanyak 38 kali pada 29 ayat 12 surat. Dalam hal ini, penulis menggunakan kitab

Mu‟jam Mufahras li Al-fâz Al-Qur‟ân Al-Karîm karya M. Fuad Abdul Baqi.2

Kata munafik di dalam al-Qur‟an biasanya disebutkan dengan menggunakan

kata Nâfaqû terulang 2 kali, an-Nifâq terulang 1 kali, nifâqon 2 kali, munâfiqotu 5

kali, munafikûn 8 kali, munafiqûn 19 kali, dan nafaqon 1 kali. Rinciannya sebagai

berikut:

Tabel 3.1: Ayat-ayat Munafik

No Lafadz Jumlah Nama Surat

.Ali-„Imrân: 167, al-Hasyr: 11 2 نافقوا 1

Al-Taubah: 101 1 النفاق 2

Al-Taubah: 77, 79 2 نفاقا 3

5 املنافقات 4

Al-Aẖzâb: 73, Al-Hadîd: 13, Al-Taubah: 67,68,

Al-Fatẖ: 6.

8 املنافقون 5Al-Anfâl: 49, Al-Aẖzâb 12, 60, Al-Hadîd: 13, Al-

1Tahap awal Penulis mencoba mencari setiap kata yang berasal dari bentuk huruf: nun fa

qof. Kata yang berasal dari tiga akar kata tersebut memiliki dua kegunaan yang berbeda di dalam

al-Qur‟an. Pertama نافق untuk menunjukan makna karakteristik perilaku manusia, kedua انفق untuk menunjukan makna memberikan atau menafkahkan dengan menggunakan kitab

fatẖurahmân lithâlbî âyatil Qur‟an karya Aẖmad Ibn Hasan. Aẖmad Ibn Hasan, fatẖurahmân

lithâlbî âyatil Qur‟a (Jakarta: Darul Hikmah, 1422), h. 444-445. 2Muhammad Fuad Abdul Bāqi‟, Mu‟jam Mufahras li Al-fâz Al-Qur‟ân Al-Karîm (Beirut:

Darr al-Fikr, 1981), h. 716.

30

Munâfiqûn: 1, Al-Taubah: 64, 67, 101.

نياملنافق 6 19

Al-Ankabût: 11, al-Aẖzâb: 1,24,48,73, Al-Nisâ:

61,88,138,140,142,145, Al-Munâfiqûn: 1,7,8, Al-

Taubah: 67,68,73, Al-Fatẖ: 6. At-Taẖrîm 9.

Al-An‟âm: 35 1 نفقا 7

B. Ayat-ayat Makiyah dan Madaniyyah.

Perkembangan dan dinamika turunnya wahyu mendapatkan respon yang

sangat beragam, begitu pula peristilahan-peristilahan yang muncul dari kajian

terhadap al-Qur‟an. Mulai dari istilah ayat, surat, asbabun nuzul, waqaf, washal

dan lain sebagainya. Yang tak kalah menarik mengenai istilah yang disebutkan

dalam studi al-Qur‟an adalah Makki dan Madani. Ada juga yang menyebut

dengan istilah Makkiyah dan Madaniyyah.3

Manna‟ al-Qaṯṯhan memberikan gambaran bahwa untuk membedakan

Makki dengan Madani, para ulama mempunyai tiga macam pandangan yang

masing-masing mempunyai dasar.4 Pandangan para ulama ini tentunya tetap

berkiblat pada sebuah argumentasi yang disesuaikan dengan kondisi keilmuan

yang ada dalam kajian al-Qur‟an. Ketiga pandangan yang disebut oleh Al-Qaṯṯhan

dalam Mabahits fi „Ulum al-Qur‟ân adalah sebagai berikut;

3Perlu juga dimengerti bahwa yang dimaksudkan dengan madaniyyah di sini bukanlah

sebuah terminologi madaniah dalam kajian peradaban. Tapi madaniyyah yang dipakai dalam

terminologi kajian al-Qur'an. Karena dalam tradisi intelektual Islam (Arab-Persia-Melayu) untuk

kata-kata kebudayaan digunakan kata-kata al-hadharah atau hadharah, sedangkan untuk kata-kata

peradaban atau civilization digunakan kata-kata al-madaniyah atau madaniyah saja. Kata-kata

yang sama pengertiannya dengan madaniyah ialah altsaqafah (peradaban). 4Mannâ‟ Khalil al-Qaṯṯân, Studi Ilmu-Ilmu Qur‟an. Penerjemah Mudzakir AS (Jakarta:

Litera Antar Nusa, 2009), h. 61.

31

1. Dari segi turunnya. Makki adalah yang diturunkan sebelum hijrah meskipun

bukan di Makkah. Adapun Madani adalah yang diturunkan sesudah hijrah

sekalipun bukan di Madinah.

2. Dari segi tempat turunnya. Makki ialah yang turun di Makkah dan sekitarnya,

seperti Mina, Arafah, dan Hudaibiyah. Dan Madani ialah yang turun di

Madinah dan sekitarnya, seperti Uhud, Quba, dan Sil.

3. Dari segi sasarannya (i‟tibar al-mukhâtab). Makki adalah yang seruannya

ditujukan kepada penduduk Makah dan Madani adalah yang seruannya

ditujukan kepada penduduk Madinah. Berdasarkan pendapat ini, para

pendukungnya menyatakan bahwa ayat al-Quran yang mengandung seruan ya

ayyuha al-nâs (wahai manusia) adalah Makki, sedang ayat yang mengandung

seruan yâ ayyuha al-lazhîna âmanȗ (wahai orang-orang yang beriman) adalah

Madani.5

Tujuan penulis memasukan makiyyah dan madaniyah adalah untuk

mempermudah melihat perubahan makna sesuai tartib al-Nuzul surat.

Ayat-ayat yang tergolong surat makiyyah terdapat satu surat. Adapun

kronologi ayat-ayat munafik dalam fase makiyyah diriwayatkan oleh Ibn Abbas

adalah sebagai berikut6:

Tabel 3.2: Ayat-ayat Makiyyah

No Urut

Kronologi Nama Surat Urutan Mushaf

1 84 Al-Ankabût 29

5Al-Qaṯṯân, Studi Ilmu-Ilmu Qur‟an. Penerjemah Mudzakir AS, h. 62.

6Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur‟an (Yogyakarta: FkBA, 2001), h. 102.

32

Ayat-ayat yang tergolong surat madaniyyah terdapat sapuluh surat. Adapun

kronologi ayat-ayat munafik dalam fase madaniyyah diriwayatkan oleh Ibn Abbas

adalah sebagai berikut7:

Tabel 3.3: Ayat-ayat Madaniyyah

No Urut

Kronologi Nama Surat Urutan Mushaf

1 2 Qs. Al-Anfâl 29

2 3 Qs. Ali-„Imrân 3

3 4 Qs. Al-Aẖzâb 33

4 6 Qs. Al-Nisâ‟ 4

5 8 Qs. Al-Hadîd 57

6 15 Qs. Al-Hasyr 59

7 19 Qs. Al-Munâfiqûn 63

8 22 Qs Al-Taẖrîm 66

9 26 Qs. Al-Fatẖ 48

10 28 Qs. Al-Taubah 9

Secara umum ayat-ayat munafik pada fase makiyyah berbeda dengan fase

madaniah. Pada fase makkiyah Allah hanya memberi perhatian bahwa Allah

mengetahui orang-orang yang beriman dan orang-orang yang munafik.8 Pada fase

madaniyyah Allah memberi gambaran tentang orang-orang munafik lengkap

dengan sifat-sifatnya dan azab bagi orang-orang munafik. Seperti yang

dicontohkan penulis di atas. Perbedaan dua fase tersebut dapat terlihat bahwa pada

7Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur‟an (Yogyakarta: FkBA, 2001), h. 103-

104. 8“Dan sesungguhnya Allah benar-benar mengetahui orang-orang yang beriman; dan

sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang munafik” (Qs. Al-Ankabut 11).

33

fase madaniah Allah lebih memberi gambaran luas tentang orang-orang munafik.

Namun, dari perbedaan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa ayat-ayat

munafik masih dalam satu runtutan pembahasan.

C. Klasifikasi Ayat-ayat Munafik

Kata munâfiq yang digunakan oleh al-Qur‟an secara umum berarti prilaku

atau karakter seseorang yang terdapat penyakit di dalam hatinya. Bahkan sampai

diturunkannya surat Al-Munâfiqûn yang khusus membahas tentang karakteristik

munafik tersebut. Klasifikasi ini dibuat berdasarkan hasil coding ayat-ayat

munafik dengan pilihan kode subjek, predikat, dan objek. Coding merupakan

proses mengorganisasikan data dengan mengumpulkan potongan (atau bagian teks

atau bagian gambar) dan menuliskan kategori dalam batas-batas.9 Berikut

perinciannya:

1. Kata munâfiq dalam posisi sebagai subjek (pelaku) memiliki tiga objek (yang

dikenai perlakuan). Di antaranya: (1) Allah, (2) Mu‟min. (3) Kafir. Maksudnya

orang-orang munafik melakukan kemunafikannya terhadap tiga objek tersebut.

a. Orang-orang munafik melakukan kemunafikannya terhadap Allah, mereka

tidak bertakwa, tidak patuh, menipu, dan berprasangka buruk. Berikut

perinciannya:

Tabel 3.4: Munafik sebagai Subjek terhadap Allah

No Surat &

Ayat Subjek Predikat Objek Kondisi

1 Al-Aẖzâb

منافق 1 اليتق(Tidak

Bertaqwa)

اهللPeringatan pada Nabi

untuk terus bertaqwa

dan jangan mengikuti

kemauan orang-orang

9John W. Creswell, Research Design, Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods

Apporoaches, Penerjemah: Achmad Fawaid dan Rianayati Kusmini Pancasari (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2016), h. 265.

34

munafik yang tidak

bertakwa

2 Al-Aẖzâb

48 التطع( Tidak

Patuh)

Orang-orang munafik

tidak menjalankan

Syariat.

3 Al-Nisâ‟

142

-خيادعون-كساىل -يراءون

يذكرونقليل

(menipu)

Mereka ada pada

keraguan sehingga

mencari keuntungan

dalam tubuh Islam.

4 Al-Fatẖ

6 الظانني السوء(Berprasang

ka Buruk)

Mereka menganggap

Nabi dan Mu‟min

tidak akan pernah

diselamatkan oleh

Allah.

5 Al-Taubah

67 Mereka tidak mau يقبضون ايديهم

berinfak ketika

diperintahkan untuk

berinfak.

b. Orang-orang Munafik melakukan kemunafikannya terhadap Mu‟min. Mereka

mencoba mempengaruhi dan menghalangi orang-orang mu‟min dengan tujuan

untuk melemahkan iman dan menghalangi beribadah terhadap Allah dan

Rasul-Nya. Bentuk kemunafikannya berupa ucapan dan tindakan. Berikut

perinciannya:

Tabel 3.5: Munafik sebagai Subjek terhadap Mu‟min

No Surat &

Ayat Subjek Predikat Objek Kondisi

1 Ali-

„imrân

167

منافق

يقلون )لو نعلم قتاال ال تبعنكم(sekiranya kami tahu

akan terjadi perang,

tentulah kami

mengikuti kamu

مؤمن

Mereka tidak mau

ikut berperang.

2 Al-

Aẖzâb يقولون )وعدنا اهلل ورسولو Dalam kondisi

perang mereka

35

اال غرورا( 12Allah dan Rasul-Nya

tidak menjanjikan

kepada kami

melainkan tipu daya

menyuruh untuk

membelot dan

pulang kembali ke

Madinah.

3 Al-Nisâ‟

61 يصدون عنك صدود

menghalangi

manusia mendekat

pada Allah

Ketika Nabi

mengajak untuk

patuh terhadap

perintah Allah

mereka

menghalangi dan

berprilaku thagut.

4 Al-

Munâfiq

ûn

1

انك نيقولون ) نشهد لرسول اهلل(Kami mengakui

bahwa sesungguhnya

Engkau utusan Allah

Ketika diminta

untuk bersumpah

setia, mereka

menjadikan

sumpah sebagai

perisai, kemudian

menghalangi

manusia dalam

beribadah.

5 Al-

Munâfiq

ûn

8

يقلون )لئن رجعنا اىل األعز منها املدينة ليخرجن

األذل(Jika kita kembali ke

Madinah, pastilah

orang-orang kuat akan

memusuhi orang-orang

lemah

Dalam kondisi

perang mereka

mencoba

mempengaruhi

sebagian teman-

temannya.

6 Al-

Taubah

67

يأمرون بأاملنكر ينهون عن املعروفmengajak pada yang

munkar mencegah

dari yang ma‟ruf

Mereka tidak patuh

pada Allah dan

RasulNya dan

berprilaku

demikian.

7 Al-

Munâfiq

ûn

7

يقولون )ال تنفقوا على من عند رسول اهلل(Janganlah

memberikan

pembelanjaan pada

muhajiri

n.

Orang munafik

dengan sengaja

melarang teman-

temannya untuk

menginfaqkan

sebagian hartanya

pada Nabi dan

Sahabatnya dengan

tujuan agar bubar.

36

c. Orang-orang munafik melakukan kemunafikan terhadap kafir. Mereka

mencoba membohongi orang-orang kafir dengan tujuan untuk mendapat

pengakuan dan mencari keuntungan. Dalam konteks terhadap orang-orang

kafir mereka mempengaruhi dengan berbicara. Berikut perinciannya:

Tabel 3.6: Munafik sebagai Subjek terhadap Orang Kafir

No Surat &

Ayat Subjek Predikat Objek Kondisi

1 Al-Anfâl

49

منافق

ىؤالء يقولون ) غر دينوىم( mereka telah

ditipu oleh

agamanya

كافر

Ketika Nabi

berperang.

2 Al-Hayr

11 يقولون )ألن اخرجتم

لنخرجن(Jika kalian di usir,

niscahya kami

pun akan keluar

ان قوتلتم لننصرنكمJika kalian

diperangi, maka

kami akan

membantu.

Ketika Islam belum

lama masuk

Madinah orang-

orang munafik

berbicara kepada

saudara mereka

yang kafir.

Dari perincian tersebut penulis mencoba melihat motivasi dan tujuan orang-

orang munafik. Motivasi prilaku mereka adalah merasa terganggu akan kehadiran

Rasulullah dan umat-umatnya, karena akan mengganggu stabilitas pendapatan dan

kedudukan mereka. Tujuan akhirnya adalah untuk mencari keuntungan dan

menghindari kerugian-kerugian yang akan menimpa mereka.

2. Kata munâfiq dalam posisi sebagai objek memiliki subjek 1 yaitu Allah.

Maksudnya dalam beberapa ayat Allah berperan sebagai subjek dan yang

37

menjadi sasarannya yaitu orang-orang munafik. Dalam hal ini Allah dalam

beberapa ayat menunjukkan hak preogratif-Nya. Allah yang mengetahui orang-

orang yang melakukan kemunafikan dan Allah pula yang berhak menghakimi

mereka. Berikut perinciannya:

Tabel 3.7: Allah sebagai Subjek terhadap Munafik

No Surat &

Ayat Subjek Predikat Objek

1 Al-Ankabût

11

Al-Taubah

101

اهلل

(mengetahui) يعلم

منافق

2 Al-Aẖzâb

24,73.

Al-Nisâ 138

Al-Fatẖ 6

(mengadzab) يعذب

3 Al-Aẖzâb 60 لنغرينك (memerangi)

4 Al-Nisâ‟ 88 اركسهم (mengembalikan pada

kekapiran) 5 Al-Nisâ‟ 88 يضلل (menyesatkan) 6 Al-Nisâ‟ 140

67 مجامع يف جهن (mengumpulkan di

neraka Jahannam) 7 Al-Nisâ‟ 145 يف الدرك االسفل من النار (dineraka

paling bawah) 8 Al-Taẖrîm 9

Al-Taubah 73 دجاه (memerangi)

9 Al-Taubah 68 وعد (mengancam) 10 Al-Taubah 77 اعقبهم نفاق يف قلوهبم

(menimbulkan/menanamkan

kemunafikan)

Dalam posisi sebagai objek (yang dikenai perlakuan) penulis menyimpulkan

bahwa: Allah yang mempunyai hak preogratif terhadap orang-orang yang

melakukan kemunafikan. Dia yang mengetahui, menanamkan kemunafikan,

38

mengancam, memerangi, dan menghukum mereka. Rasulallah berperan sebagai

perantara dalam menyikapi orang-orang munafik.

39

BAB IV

ANALISIS SEMANTIK KONSEP MUNAFIK

Al-Qur‟an menggambarkan munafik dengan begitu kompleks, dari

karakteristik munafik dan ancaman bagi orang-orang munafik. Kata munafik

beserta derivasinya disebutkan terulang sebanyak 38 kali pada 30 ayat dalam 12

surat. Kata munâfiq tersebut tentunya memiliki banyak makna. Berikut uraiannya;

A. Makna Dasar Munafik

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab dua, makna dasar adalah

makna yang melekat pada kata itu sendiri dan selalu terbawa pada kata tersebut di

manapun kata itu diletakkan.1 Makna dasar juga disebut dengan makna leksikal

yaitu makna sebenarnya dari sebuah kata tanpa konteks tertentu. Untuk

mendapatkan makna dasar, kamus merupakan media yang representatif dalam

melacak makna secara leksikal.

Secara leksial, kata munâfiq adalah isim fâ‟il yang berasal dari ي نافق - نافق- نفقا -منافق ة naafaqo yunaafiqu munaafaqotan wa nifâqon. Kata munâfiq tersebut

merupakan majid yang sudah mengalami perubahan dengan tambahan satu huruf

setelah ف fiil.

Akar kata dari munâfiq adalah نا انفق –ن فقا -ي نفق - نفق artinya as-sarobun fil

al-ad (membuat lubang di bumi).2 Munafik adalah pelaku dari sesuatu yang

memiliki sifat nifâq. Bisa diartikan juga dengan kata Nâfiqa Lil Yarbu yaitu keluar

dari lubang persembunyian binatang seperti tikus,3

dalam hal ini, antara lubang

tikus dan kemunafikan memang sejajar. Jika dilihat dari sifatnya, bagian atas

1Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an

(Yogyakarta, PT. Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 12. 2Abî al-Fadl Jamâl al-Dîn Muhammad bin Mukarram bin Manẓȗr al-Mishrî, Lisan al-„Arab

jilid 16 (Beirut: Dar Ihyâ‟ al-Turas al-„Arabi, t.th), h. 358. 3Husin Ibn Awang, Qâmûs al-Tulâb, Cet.ke-1. (Kuala Lumpur: Dar al-Fikr 1994), h. 1041

40

(luar) liang tikus tertutup dengan tanah, sedangkan bagian bawah berlubang.

Demikian pula kemunafikan yang bagian luarnya adalah Islam dan dalamnya

merupakan keingkaran serta penipuan.4

Kata munâfiq berarti buat-buat atau pura-pura5 dan kata masdar nya pula

nifâq berarti kepura-puraan yaitu keluar dari keimanan secara diam-diam.6 Di

dalam kamus al-Mu‟jam al-Wajiz menyatakan demikian bahwa munafik berasal

dari kata nâfaqa berarti menzahirkan apa yang berlainan dari batin.7

Dari kata nifâq tersebut, maka al-Raghib al-Asfahâni mengatakan bahwa

seorang munafik, bisa terlihat bahwa ia masuk Islam dari pintu satu dan keluar

dari pintu lainnya.8 Dalam Syarah Usul I‟tikad Ahl Sunnah wa al-Jama‟ah

mengatakan bahwa nifâq itu adalah kekufuran yaitu mengkufurkan Allah dan

menzahirkan keimanan secara terang-terangan.9

B. Makna Relasional

Setelah menentukan makna dasar kata munâfiq, selanjutnya adalah

menentukan makna relasional kata tersebut. Seperti yang telah dijelaskan dalam

bab dua bahwa makna relasional adalah makna baru yang diberikan pada sebuah

kata yang bergantung pada kalimat dimana kata tersebut diletakkan.10

Untuk

mendapatkan makna relasional, dilakukan analisis sintagmatik dan paradigmatik.

4M.Quraish Shihab dan dkk, Ensiklopedia Al-Qur‟an: Kajian Kosa Kata dan Tafsirnya

(Jakarta: Internusa 1997), h. 277 5Muhammad Idris Abdul Rauf al-Marbawi, Qâmus Idrîs al-Marbawi (Kuala Lumpur: Dar

al-Fikr 2006), cet. ke-3, h. 336. 6Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir, Kamus Arab Indonesia (Yogyakarta: Pondok

Pasentren al-Munawwir 1984), h. 1548 7Kumpulan Bahasa Arab, al-Mu‟jam Al-Wajiz, h. 628

8Al-Raghib al-Asfahâni, Mu‟jam Mufradat Alfaz al-Qur‟an, Beirut: Dar al-Fikr 1986), h.

253 9Habbatullah Ibn al-Hasan ibn Mansur, Syarah Usul I‟tikad Ahl Sunnah wa al-Jama‟ah

min al-Kitâb wa al-Sunnah wa Ijma‟ Sahâbat (Riyadh: Dar al-Tibah 1983), h. 169 10

Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an,

h. 12.

41

1. Analisis Sintagmatik

Kata munâfiq dalam al-Qur„an mengalami perkembangan dan menghasilkan

makna-makna lain, ketika dikaitkan dengan konsep lain seperti:

a. Pembohong

Kata munâfiq yang pada mulanya memiliki arti sebagai pembuat lubang di

dalam hati atau berpura-pura beriman, ketika bersandar dengan kata al-kadzib,

maka menjadi bermakna golongan penebar kebohongan, sebagaimana yang

disebutkan di dalam al-Qur‟an:

ذين ناف قوا ي قولون إلخوانم الذين كفروا من أىل الكتاب لئن أخرجتم لنخرجن أل ت ر إىل ال (١١)معكم وال نطيع فيكم أحدا أبدا وإن قوتلتم لن نصرنكم واللو يشهد إن هم لكاذبون

“Allah berfirman: Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang

munafik yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di antara

ahli kitab: "Sesungguhnya jika kamu diusir niscaya kami pun akan keluar

bersamamu; dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapa pun

untuk (menyusahkan) kamu, dan jika kamu diperangi pasti kami akan

membantu kamu." dan Allah menyaksikan bahwa sesungguhnya mereka

benar-benar pendusta.”11

(Qs. Al-Hasyr ayat 11)

Berdasarkan ayat di atas, munafik telah melakukan kebohongan dengan

berkata kepada kafir apa yang sebenarnya tidak terkandung di dalam hatinya.

kebohongan merupakan makna lain dari sifat nifâq. Kebohongan tersebut bukan

saja dilontarkan kepada kafir, namun kebohongan tersebut dilontarkan terhadap

Nabi. seperti yang terdapat dalam surat Al-Munâfiqûn ayat 1.

ن قالوا نشهد إنك لرسول اللو واللو ي علم إنك لرسولو واللو يشهد إن المنافق ين و إذا جاءك المنافق (١لكاذبون )

“Allah berfirman: Apabila orang-orang munafik datang kepadamu,

mereka berkata: "kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar

Rasul Allah". dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-

benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa Sesungguhnya orang-orang

munafik itu benar-benar orang pendusta.”12

(Qs. Al-Munâfiqûn ayat 1)

11

Departemen Agama RI., Al-Qur‟an dan Terjemahannya (Depok: Adwaul Bayan, 2015),

h. 547. 12

Departemen Agama RI., Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 554.

42

Berdasarkan ayat di atas golongan munafik yang telah memiliki sifat nifâq

telah membohongi Nabi dengan berpura-pura bersyahadat. Padahal pernyataan

syahadat tersebut hanya untuk mencari kepentingan saja. “al-munâfiqîna

lakâdzibȗn” merupakan lebeling dari Allah bahwa mereka adalah pendusta.

Orang-orang munafik senantiasa menggunakan lidah atau mulutnya untuk

membohongi lawan bicaranya atau komunikan yang sedang mereka hadapi. Selain

dari gambaran dua ayat di atas al-Qur‟an memberikan gambaran perilaku

kemunafikan mereka dalam beberapa ayat berikut, yaitu Qs. Ali-„imrân ayat 167,

Qs. Al-Ahzâb ayat 12, Qs. Al-Munâfiqûn ayat 8, dan Qs. Al-Anfâl ayat 49.

b. Menghalangi Beribadah

Kata munâfiq ketika bersanding dengan kata shudûd maka memiliki makna

sebagai golongan yang menghalangi manusia beribadah kepada Allah.

Sebagaimana yang disebutkan Allah dalam al-Qur‟an:

ون عن ك صدودا وإذا قيل لم ت عالوا إىل ما أن زل اللو وإىل الرسول رأيت المنافق ين يصد“Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada

hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu

Lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya

dari (mendekati) kamu.”13

(Qs. Al-Nisâ‟ ayat 61).

Allah memberi perhatian kepada Nabi bahwa sebagian dari pengikutnya

terdapat orang-orang yang mencoba menghalangi yang lainnya untuk mendekat

pada Nabi. Bentuk perlakuannya adalah dengan tidak menjadikan Nabi sebagai

hakim dalam penyelesaian sengketa.14

Menghalangi pada kebaikan merupakan

bagian dari sifat nifâq. Selain itu mereka juga selalu mengajak pada yang munkar

13

Departemen Agama RI.,Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 88. 14

Imam al-Suyuthi, Asbabun Nuzul. Penerjemah Andi Muhamad Syahrik dan Yasir

Maqosid. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014), h.151.

43

dan mencegah dari yang ma‟ruf. Seperti yang tergambar dalam dua ayat Firman

Allah sebagai berikut:

هون عن المعروف وي قبضون أيدي هم نسوا المنافقون والمنافقا ت ب عضهم من ب عض يأمرون بالمنكر وي ن اللو ف نسي هم إن المنافق ين ىم الفاسقون

“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan. sebagian dengan

sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang Munkar

dan melarang berbuat yang ma'ruf dan mereka menggenggamkan

tangannya. mereka telah lupa kepada Allah, Maka Allah melupakan mereka.

Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik.”15

(Qs. Al-Taubah ayat 67)

ماوات فضوا وللو خزائن الس ولكن ىم الذين ي قولون ال ت نفقوا على من عند رسول اللو حت ي ن واألر المنافق ين ال ي فقهون

“Mereka orang-orang yang mengatakan (kepada orang-orang Ansar):

"Janganlah kamu memberikan perbelanjaan kepada orang-orang (Muhajirin)

yang ada di sisi Rasulullah supaya mereka bubar (meninggalkan

Rasulullah)." Padahal kepunyaan Allah-lah perbendaharaan langit dan bumi,

tetapi orang-orang munafik itu tidak memahami.”16

(Qs. Al-Munâfiqûn ayat

7)

Dari ayat-ayat tersebut dapat dipahami bahwa orang-orang munafik “hum

al-fâsiqȗn” adalah orang-orang yang fasik “y‟amurȗna bil munkar wa yanhauna

an al-ma‟ruf” Mereka mengajak kepada yang munkar, mencegah dari yang

ma‟ruf, “wa yaqbidȗna aidiyahum” dan mereka juga berbuat kikir, dan senantiasa

melupakan Allah sang pencipta dan pemilik segalanya.

c. Menipu Allah

Kata munâfiq ketika bersanding dengan kata khōdiûn maka memiliki

makna sebagai orang atau golongan yang menipu Allah. Sebagaimana yang

disebutkan Allah dalam al-Qur‟an:

الة قاموا كساىل ي راءون الن إ ذكرون اللو اس وال ي ن المنافقني خيادعون اللو وىو خادعهم وإذا قاموا إىل الص إال قليال

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah

akan membalas tipuan mereka dan apabila mereka berdiri untuk shalat

15

Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 197. 16

Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 555.

44

mereka berdiri dengan malas. mereka bermaksud riya (dengan salat) di

hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit

sekali.”17

(Qs. Al-Nisâ ayat 142).

Kata “yukhâdi‟ȗna Allah” menunjukkan bahwa munafik adalah orang yang

mencoba menipu Allah dengan berprilaku “kusalâ” malas beribadah dan riya

ketika beribadah. Mereka juga “wa lâ yadzkurȗna Allah illa qolîla” senantiasa

melupakan Allah dalam waktu yang lama. Artinya sedikit sekali berzikir

terhadap-Nya. Selain itu orang-orang munafik mencoba menipu Allah dengan

tidak bertakwa, tidak patuh dan berprasangka buruk. Seperti yang dijelaskan

dalam Qs. Al-Ahzâb ayat 1, 48, dan Qs. Al-Fath ayat 6. Dalam 3 ayat tersebut

tampak bahwa orang-orang munafik telah berlaku tidak pantas terhadap Allah.

d. Tersembunyi

Kata munâfiq ketika bersanding dengan kata yaktumûna maka menjadi

bermakna sifat seseorang atau golongan yang tersembunyi, sebagaimana yang

disebutkan di dalam al-Qur„an:

كفر قتاال الت ب عناكم ىم لل ولي علم الذين ناف قوا وقيل لم ت عالوا قاتلوا يف سبيل اللو أو ادف عوا قالوا لو ن علم هم لإلميان ي قولون بأفواىهم ما ليس يف ق لوهبم واللو أعلم با يكتم ون ي ومئذ أق رب من

“Dan supaya Allah mengetahui siapa orang-orang yang munafik.

kepada mereka dikatakan: "Marilah berperang di jalan Allah atau

pertahankanlah (dirimu)”. mereka berkata: “Sekiranya Kami mengetahui

akan terjadi peperangan, tentulah kami mengikuti kamu. mereka pada hari

itu lebih dekat kepada kekafiran dari pada keimanan. mereka mengatakan

dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya. dan Allah lebih

mengetahui dalam hatinya. dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka

sembunyikan.”18

(Qs. Ali-„imrân ayat 167)

Kata yaktumȗn pada ayat di atas menunjukkan bahwa kemunafikan

tersembunyi dan Allah mengetahui apa yang disembunyikan oleh orang-orang

munafik. Mereka dekat pada kekafiran, berbicara dengan mulut apa yang tidak

terkandung di dalam hati mereka, namun Allah mengetahui apa yang tersembunyi

17

Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 101. 18

Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 72.

45

e. Calon Penghuni Neraka Jahanam

Kata munâfiq ketika bersanding dengan kata al-Nâr dan Jahannam maka

menjadi bermakna golongan yang akan menghuni neraka Jahannam, sebagaimana

yang disebutkan di dalam al-Qur„an:

ار والمنافقني واغلظ عليهم ومأواىم جهنم وبئس المصي يا أي ها النب جاىد الكف“Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang

munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. tempat mereka ialah

Jahanam. dan itu adalah tempat kembali yang seburuk-buruknya.”19

(Qs. Al-

Taẖîm ayat 9)

Berdasarkan ayat di atas, Nabi diperintahkan untuk memerangi orang-orang

munafik dan mengabarkan “wâ hum jahannamu wab‟isa al-masîro” bahwa

mereka akan ditempatkan di yang paling buruk. Tidak hanya itu, mereka juga

akan mendapat siksaan yang kekal, seperti yang terdapat dalam surat Al-Ahzâb

ayat 68 sebagaimana ayatnya:

ين خال نه المنافقني والمنافقات والكفهار نر ج ولهم عذاب مقمي )وعد الله بم ولعنم الله (٨٦فهيا ه حس

Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan

orang-orang kafir dengan neraka Jahanam, mereka kekal di dalamnya.

cukuplah neraka itu bagi mereka, dan Allah mela'nat mereka, dan bagi

mereka azab yang kekal. (Qs. Al-Ahzâb ayat 68).

Kata „adzâbun muqîma menunjukkan bahwa Allah akan mengazab orang-

orang munafik dengan azab yang kekal. Siksaan yang kekal tentunya bagi mereka

yang terlarut dalam kemunafikannya. Karena dalam ayat lain Allah bisa saja

mengampuni mereka apabila mereka bertaubat. Berikut ayatnya:

ب المنافقني إن شاء أو ي توب عليهم إن اللو ك ان غفورا رحيما ليجزي اللو الصادقني بصدقهم وي عذ“Supaya Allah memberikan Balasan kepada orang-orang yang benar

itu karena kebenarannya, dan menyiksa orang munafik jika dikehendaki-

Nya, atau menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah adalah Maha

Pengampun lagi Maha Penyayang.”20

(Qs. Al-Ahzâb ayat 24)

19

Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 561. 20

Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 420.

46

Dari ayat tersebut menunjukkan bahwa azab yang kekal adalah

diperuntukkan bagi mereka yang terlelap dalam kemunafikannya sampai akhir

hayatnya. “Aw yatȗba „alaihim in syâʹa” Bila mereka bertaubat tentulah Allah

akan menerima taubat mereka dengan catatan taubat yang sempurna.

Sebagai kesimpulan dari penjelasan kata-kata kunci di atas, penulis akan

memberikan sebuah bentuk diagram sederhana dari makna relasional sentagmatik

sebagai berikut:

Diagram 4.1: Medan Semantik Sintagmatik Munâfiq.

2. Analisis Paradigmatik

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa analisis paradigmatik merupakan

analisis yang mengkomparasikan kata tertentu dengan kata lain, baik dengan kata

yang memiliki kemiripan makna ataupun dengan kata yang maknanya

berlawanan. Dalam hal ini penulis tidak mencari makna yang mirip dan

berlawanan. Sinonimi ataupun antonimi adalah hasil akhir dari analisis

paradigmatik. Boleh jadi terdapat sinonimi ataupun antonimi boleh jadi tidak ada.

Karena pada dasarnya yang dimaksud analisis paradigmatik oleh Izutsu adalah

asosiatif menurut Saussure. Hubungan asosiatif ini disebut juga hubungan

كذب

منافق

كاسلى

صدودا قبض

يكتمون جهنم

رياء

47

inabsentia karena butir-butir yang dihubungkan itu ada yang muncul, ada yang

tidak dalam ujaran. Istilah asosiatif diganti menjadi paradigmatis, atas saran

seorang pengikut Saussure, Louis Hjelmslev, seorang ahli linguistik Denmark.21

Adapun kata-kata lain yang berrelasi secara paradigmatis dengan kata

munâfiq antara lain:

a. Kâfir

Selain terhadap kaum Munafik Al-Qur„an juga memberi pandangan khusus

terhadap kafir. Kafir merupakan sinonim kata munâfiq, dilihat dari 2 sisi. 1. Dari

sisi prilaku, 2 dari sisi perlakuan Allah terhadap kedua golongan tersebut.

Kata kafir berasal dari bahasa Arab yaitu: كفر -يكفر -كفر artinya menutupi,

menyelubungi.22

Menurut Hasan Muhammad Musa, di dalam bukunya yang

berjudul Qamus Qur‟ani, kufur mempunyai banyak pengertian yang saling

berdekatan, seperti: “menyembunyikan”, “menutupi”, “menghalangi”, “dinding”,

“selubung”, “mengingkari”, dan “menentang”.23

Adapun الكافر berarti lawan dari

muslim, sedangkan المرتد berarti kafir setelah islam; baik secara perkataan, atau

perbuatan, atau keragu-raguan.24

Dengan demikian pengertian kafir secara istilah berarti: seseorang yang

menolak, atau menutupi kebenaran dari Allah SWT. Yang disampaikan kepada

Rasul-Nya Nabi Muhammad SAW dan ajaran-ajaran yang dibawanya.25

Kata kâfir beserta derivasinya di dalam al-Qur‟an terulang sebanyak 524

kali.26

Kafir adalah orang yang tetap mempertahankan pendiriannya dengan

21

Harimurti Kridalaksana, Mogin Ferdinand de Saussure, Peletak Dasar Strukturalisme

dan Linguistik Modern (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 33. 22

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka

Prograsif, 1997), h. 1217. 23

Azyumardi Azra, Kajian Tematik Al-Qur‟an Tentang Ketuhanan (Bandung: Angkasa,

2008), h. 248. 24

Syaikh Said bin Ali bin Wahf al-Qatani, Kapan Manusia Menjadi Kafir? (Solo: Pustaka

Al-Alaq, 2005), h. 55. 25

Azyumardi Azra, Kajian Tematik Al-Qur‟an Tentang Ketuhanan, h. 248.

48

menolak untuk beriman, sedangkan munafik adalah yang berpura-pura beriman

tapi hatinya menolak.27

Dari sisi penolakan tersebut kemudian muncullah sikap-

sikap atau prilaku yang menunjukkan persamaan antara munafik dengan kafir

perbedaan antara munafik dengan mu‟min. Maka tidaklah mengherankan bahwa

al-Qur‟an sendiri tampaknya hampir tidak memiliki perbedaan esensial antara

keduanya. Bahkan Allah berfirman:

ار والمنافقني واغلظ عليهم ومأواىم جهنم وبئس المصي يا أي ها النب جاىد الكف“Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan

bersikap keraslah terhadap mereka. tempat mereka adalah Jahannam dan itu

adalah seburuk-buruknya tempat kembali.”28

(Qs. Al-Tahrîm ayat 9)

Firman Allah tersebut menyatakan bahwa tempat tinggal orang munafik

pada akhirnya di neraka. Merupakan hal yang sangat penting karena

mengungkapkan hubungan esensial antara nifâq dan kufr. Karena tingkat

siksaannya setaraf. Bukti siksaan mereka setaraf juga di gambarkan dalam

beberapa ayat di surat yang lain sebagai mana yang sebelumnya penulis uraikan.

b. Fâsiq

Kata fâsiq beserta derivasinya di dalam al-Qur„an disebutkan terulang

sebanyak 54 kali.29

Semua kata fisq yang terdapat pada masing-masing ayat

selalu dikaitkan dengan perbuatan seorang kafir dan munafik.

Kata fisq berarti khuruj an al-Ta‟ah, yang secara harfiah berarti

“menyimpang dari ketaatan”, yakni tidak taat kepada perintah Tuhan”. Karena itu

fisq lebih luas penggunaannya daripada kufir. Siapa saja yang inkar pada perintah

Tuhan dengan cara apapun dapat disebut fasik, sedangkan pengertian kafir lebih

26

Muhammad Fuad Abdul Bâqi‟, Mu‟jam Mufahras li Al-fâz Al-Qur‟an Al-Karim, h. 606-

612. 27

Toshihiko Izutsu, Etika Beragama dalam Al-Qur‟an, Penerjemah, Mansuruddin Djoely

(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h. 290. 28

Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 561. 29

Muhammad Fuad Abdul Bāqi‟, Mu‟jam Mufahras li Al-fâz Al-Qur‟an Al-Karim, h. 519-

520.

49

terbatas.30

Dari sisi penginkarannya fasik bersinonomi dengan kafir dan munafik.

Orang fasik bukanlah orang yang benar-benar kafir, karena paling tidak dari

statusnya mereka berkubu dengan muslim. Hanya, mereka merupakan kelompok

muslim yang paling tidak bisa dipercaya dan cenderung menampakkan sifat nifâq-

nya pada setiap kesempatan.

Dari uraian tersebut jelaslah bahwa fasik sama seperti munafik. Sama sama

muslim dan melakukan ketidaksetiaan dan penghianatan. Sebenarnya kita

mempunya rujukan resmi menegaskan bahwa “orang munafik” sama dengan

“orang fasik”. Allah berfirman:

هون عن المعروف وي قبض ون أيدي هم نسوا المنافقون والمنافقات ب عضهم من ب عض يأمرون بالمنكر وي ن (٧٦اللو ف نسي هم إن المنافقني ىم الفاسقون )

“orang-orang munafik laki-laki dan perempuan. sebagian dengan

sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang Munkar

dan melarang berbuat yang ma'ruf dan mereka menggenggamkan

tangannya. mereka telah lupa kepada Allah, Maka Allah melupakan mereka.

Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik.”31

(Qs. Al-Taubah ayat 67).

Ayat tersebut berkenaan dengan sekelompok orang kaya yang berjanji

muluk kepada Nabi Muhammad untuk menolongnya. Namun ketika pertolongan

betul-betul dibutuhkan, dan ternyata mengancam kehidupan dan hartanya, lalu

mengingkarinya dan menolak turut serta dalam perang jihad.32

Jelaslah dari

prilaku fasik bersinonim dengan munafik.

c. Marid al-qalb

Maridun al-Qalbi adalah frasa yang terbentuk dari Maridun (sakit) dan

Qalbun (hati). Kiasan tentang “penyakit” atau “wabah” (maradh) yang ada di hati

mereka ini merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam penetapan

30

Izutsu, Etika Beragama dalam al-Qur‟an, h. 253. 31

Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 197. 32

Izutsu, Etika Beragama dalam Al-Qur‟an, h. 255.

50

semantik nifâq. Sebenarnya kita melihat ada ungkapan paling khas, “mereka di

hatinya ada penyakit”, yang tak henti-hentinya muncul di dalam al-Qur‟an untuk

menunjukkan “orang-orang munafik”.33

Allah berfirman:

دعون اللو والذين آمنوا وما خيدعون إال أن فسهم وما يشعرون اخي “Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman,

Padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.”34

(Qs. Al-Baqoroh ayat 9)

ف زادىم اللو مرضا ولم عذاب أليم با كانوا يكذبون يف ق لوهبم مر“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya;

dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.”35

(Qs. Al-

Baqarah ayat 10)

d. Murjifûn

Penebar kabar bohong dalam konteks Indonesia biasanya disebut penebar

hoax. Hoax secara bahasa berarti berita palsu. Sedangkan menurut wikipedia hoax

adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar

adanya. Al-Qur‟an menyebut penebar hoax dengan kata Murjifûn. Kata Murjifûn

berasal dari kata رجفأ –ي رجف –رجف artinya bergoncang.36

Murjifûn adalah fail

dalam bentuk jama yang berarti golongan yang menggoncangkan.

Murjifûn beserta derivasinya di dalam al-Qur‟an terulang sebanyak 6 kali

dalam 6 ayat. Sebagian menjelaskan tentang fenomena alam dan terdapat juga

ayat yang menjelaskan tentang pelaku penyabar kabar bohong (hoax). Allah

berfirman:

لم ي نته المنافقون والذين في ق لوبهم مرض والمرجفون في المدينة لن غري نك بهم ثم لئن (٠٦يجاورونك فيها إ قليال )

33

Toshihiko Izutsu, Etika Beragama dalam Al-Qur‟an, h. 296. 34

Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 3. 35

Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 3. 36

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka

Prograsif, 1997), h. 477.

51

“Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang- orang

yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar

bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya Kami perintahkan kamu

(untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di

Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar.”37

(Qs. Al-Aẖzâb ayat 60)

Imam al-Qurthubî berpendapat bahwa huruf wau yang menghubungkan

sifat-sifat tersebut pada ayat ini adalah huruf tambahan saja. Jadi, orang munafik

ialah yang memiliki penyakit di dalam hatinya dan suka menyebarkan kabar

bohong (hoax). Orang-orang yang suka menyebarkan berita palsu disebut dengan

kaum murjifûn / ashâb al-ifk, karena mereka sangat suka dengan fitnah dan

kebohongan. 38

Jelaslah bahwa penyebar kabar bohong adalah dari bagian orang-orang

munafik. Munâfikûn dan murjifûn sama-sama memiliki sifat nifâq. Mereka

menggoncangkan hati seseorang. Dan Allah memposisikan sama dalam hal

ancaman dan hukuman. Karnanya murjif bersinonimi dengan munafik.

e. Mu’min

Selanjutnya yang berrelasi dengan kata munâfiq secara paradigmatis dan

berposisi sebagai fail yaitu kata mu‟min. Adapun kata mu‟min memiliki makna

berlawanan (antonim) dengan kata munâfiq. Izutsu menjelaskan dalam bukunya

Etika Beragama Dalam Qur‟an: yang menjadi antonim dari iman adalah kafir.

Bahwa kafir merupakan antitesis yang paling tepat dari “percaya” adalah hal yang

tak perlu dibicarakan lagi. Antitesis antara mu‟min dan kafir memberi ukuran

37

Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 426. 38

Abȗ Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Ansarî al-Qurtubî,Ta‟liq. Muhammad Ibrahim

al-Hifnawi, Takhrij. Mahmud Hamid Utsman, Tafsîr al-Qurtubî, Vol. XV (Jakarta: Pustaka

Azzam, 2008), h. 588.

52

tertinggi tentang semua sifat manusia. Watak-watak manusia itu dalam Islam

dibagi ke dalam dua kategori moral radikal yang bertentangan.39

Namun, kita dapat melihat juga pertentangan antara nifâq dengan iman.

Keberlawanan tersebut dapat terlihat dari sikap masing-masingnya. Antara

percaya dengan ragu-ragu tentulah berlawanan. Dari sisi perlakuan Allah terhadap

kedua kelompok tersebut pun tentulah berbeda. Sebagaimana Allah berfirman:

ب اللو المنافقني والمنافقات والمشركني والمشركات وي توب اللو على المؤمنني والمؤمنات لي عذ وكان اللو غفورا رحيما

“Sehingga Allah mengazab orang-orang munafik laki-laki dan

perempuan dan orang-orang musyrikin laki-laki dan perempuan; dan

sehingga Allah menerima taubat orang-orang mukmin laki-laki dan

perempuan. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”40

(Qs. Al-Aẖzâb ayat 73).

Dari ayat tersebut terlihat bahwa perlakuan Allah terhadap orang munafik

sangat berlawanan dengan orang mu‟min dan menjadi kesimpulan bahwa kedua

kata tersebut ketika berposisi sebagai maf‟ul (yang dikenai perlakuan) maka

bermakna berlawanan.

Sebagai kesimpulan dari penjelasan kata-kata di atas, penulis akan

memberikan sebuah bentuk diagram sederhana mengenai sesuatu kata kunci

dengan kata kunci lainnya. Adapun kata kunci yang menjadi sinonim kata

munâfiq, adalah kâfir, fâsiq, mujrif dan maridun qolbi. Sementara yang menjadi

antonim dari kata munafik adalah kata mu‟min .

39

Izutsu, Etika Beragama dalam Al-Qur‟an, h. 403 40

Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 426.

53

Diagram 4.2: Medan Semantik Paradigmatik Munâfiq.

C. Makna Sinkronik dan Diakronik

Istilah sinkronik dan diakronik secara sederhana dapat dipahami sebagai

suatu analisis terhadap kosakata yang titik tekannya terhadap waktu atau sejarah

dari kosakata tersebut. Dalam hal ini akan menjelaskan tentang perkembangan

suatu kosakata yang dipahami oleh masyarakat tertentu pada masa tertentu. Sebab,

suatu kosakata tidak hanya sekedar susunan kata-kata namun juga membawa

pandangan dunia, kultur, dan prasangka-prasangka masyarakat memaknainya.41

Dalam pengertiannya sinkronik adalah aspek kata yang tidak mengalami

perubahan dari konsep atau kata tersebut. Kata yang tergolong sinkronik ialah

kata yang sistem kata tersebut bersifat statis. Sedangkan diakronik adalah aspek

kata yang mengalami perubahan dari konsep atau kata tersebut. Dengan demikian

kosakata yang tergolong diakronik ialah kosakata yang tumbuh dan berusaha

bebas dengan cara sendiri yang khas. Toshihiko Izutsu menyederhanakan dalam

41

Saefuddin Zuhri Qudsy, Dzulmannai (ed). Islam Liberal dan Fundamental: Sebuah

Pertarungan Wacana (Yogyakarta: eLSAQ, 2007), h. 268-269.

مرجف

فاسق

مؤمن

منافق

مشرك

كافر

54

analisis semantik historis kosakata ini dalam tiga periode yaitu: periode pra

Qur‟anik, periode Qur‟anik dan periode pasca Qur‟anik.42

1. Periode Pra Qur„anik

Pada langkah ini, pembahasan kosakata yang digunakan pada masa pra

Islam yakni kosakata yang digunakan sebelum turunnya al-Qur‟an atau yang biasa

disebut zaman Jahiliyyah. Namun sebelum sampai pada pandangan dunia al-

Qur„an, menjadi keharusan untuk memahami bagaimana suatu kosakata

digunakan dan dipahami oleh masyarakat pra Islam, karena analisis terhadap

sejarah penggunaan kosakata pra Islam akan mengantarkan dalam memahami

pada masa Islam (Qur‟anik).

Kata munâfiq pada masa Pra Qur‟anik belum muncul sebagai bahasa

komunikasi ataupun kata untuk menunjukkan sesuatu, terlebih sebagai sistem

bahasa religi. Penulis menggunakan kitab lisan al-Arab untuk menjadi bahan

penelitian. Karena kitab tersebut bisa menjadi refresentasi dari bahan atau

referensi yang penulis cari. Dari hasil pembacaan penulis berkesimpulan, bahwa

munafik merupakan kata yang asing sebelum diturunkannya al-Qur‟an. Namun,

nifâq sudah ada sebagai kata sifat dari hewan yarbu. Nifâq merupakan sifat atau

prilaku hewan yarbu, dia membuat lubang, masuk di lubang yang satu dan keluar

di lubang yang berbeda.

فاق وما تصرف منو اسا و فعال، وىو اسم إسالمي ل ت عرفو العرب وقد تكرر ف اللحديث ذكر الن باالمعن المخصوص بو

“Bahwasannya penyebutan nifâq beserta derevasinya telah diulang-

ulang dalam hadis baik itu yang berbentuk isim maupun berbentuk fiil, yaitu

nama islami yang tidak diberikan makna khusus oleh bangsa arab.”43

42

Nailul Rahman, “Konsep Salam dalam Al-Qur‟an dengan Pendekatan Semantik

Thoshihiko Izutsu” (Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga), h.

72.

55

Masyarakat Jahiliyah menggunakan kata nifâq hanya untuk prilaku hewan

saja. Tidak dikaitkan dengan prilaku manusia. Kata munâfik baru muncul ketika

masa Qur‟anik, sebagai kata religi, dipergunakan untuk prilaku seseorang atau

golongan yang menyerupai yarbu.44

2. Periode Qur‟anik

Pada masa Qur‟anik, kata nifâq masuk ke dalam sistem Qur‟anik dengan

membawa makna dasar membuat lubang dan makna relasionalnya sebagai

golongan yang berbicara dengan mulutnya apa yang tidak terkandung di dalam

hatinya. Karakternya sama jika pra qur‟anik dianalogikan fatamorgana pada masa

qur‟anik al-Qur‟an menjelaskan kemunafikan itu tersembunyi. Pembicaraan

tersebut kemudian membentuk berbagai sikap, sebagaimana yang telah penulis

paparkan pada sub bab di atas. Golongan orang-orang munafik senantiasa

menggunakan mulutnya untuk menutupi setiap apa yang terkandung di dalam

hatinya. Mereka berada dalam keragu-raguan, mencari keuntungan dan selalu

menghindari kerugian. Allah memberi ciri terhadap orang-orang munafik yang

tidak jauh berbeda dengan orang-orang kafir, musyrik, fasik, dan tentunya

berlawanan dengan orang-orang yang beriman (mu‟min). Allah juga

mensejajarkan mereka pada tingkatan siksaannya yaitu di neraka Jahanam.

Surat al-Munâfiqûn merupakan surat ke 63 yang terdiri dari 11 ayat. Surat

ini menjelaskan tentang karakteristik orang munafik. Pada masa ini munafik

diartikan sebagai golongan yang yang berbicara dengan mulutnya apa yang tidak

terkandung di dalam hatinya. sesuai dengan kejadian ketika Zaid bin Arqam, ia

mengatakan; aku mendengar Abdullah bin Ubay bin Salul berkata kepada para

43

Abî al-Fadl Jamâl al-Dîn Muhammad bin Mukarram bin Manẓȗr al-Mishrî, Lisan al-

„Arab jilid 16, h. 359 44

Abî al-Fadl Jamâl al-Dîn Muhammad bin Mukarram bin Manẓȗr al-Mishrî, Lisan al-

„Arab jilid 16, h. 359-361.

56

sahabatnya, “janganlah engkau memberikan perbelanjaan kepada orang-orang

yang ada di sisi Rasulallah supaya mereka bubar. Sesungguhnya jika kita telah

kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang

yang lemah daripadanya.” Perkataan itu lalu disampaikan kepada pamanku.

Pamanku lalu menyampaikannya kepada nabi. Nabi kemudian memanggilku dan

aku menceritakan apa yang terjadi kepada beliau. Rasulallah kemudian mengutus

seseorang untuk menemui Abdullah bin Ubay dan para sahabatnya. Mereka

kemudian bersumpah atas ucapannya dan mendustakan perkataanku. Ternyata

beliau kemudian membenarkan perkataan mereka sehingga aku merasa sesuatu

yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Aku lalu duduk di rumah. Pamanku

kemudian berkata, “tidak ada yang engkau kehendaki selain hal itu

mengakibatkan Rasulallah mendustakanmu dan membencimu.” Maka Allah

menurunkan ayat, “ketika datang orang-orang munafik kepadamu...” Rasulallah

lalu mengutus seseorang kepadaku kemudian membacakan ayat tersebut. Utusan

itu lalu berkata,” Sesungguhnya Allah telah membenarkanmu.” 45

Rasulullah Saw., juga memberikan tanda bagi orang-orang munafik, yaitu:

bila berbicara ia dusta, jika berjanji ia menginkari dan jika dipercaya ia khianat.46

Selain itu mereka juga bermuka dua,47

Berkata-kata Dengan Berdalilkan al-

Qur‟an,48

dan berdebat mengenai al-Qur‟an.49

45

Imam Al-Suyuti, Asbabun Nuzul ( Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2014), h. 548. 46

Sulaiman Abu al-Rabi‟ memberitahu kami, ia berkata, Ismail bin Ja‟far memberitahu

kami, ia berkata, Nafi‟ bin Malik bin Abi Amir Abu Suhail memberitahu kami, dari ayahnya, dari

Abu Hurairah, dari Nabi Saw., beliau bersabda: “Tanda-tanda orang munafik itu tiga, yaitu:

apabila berbicara ia dusta, jika berjanji ia menginkari dan jika dipercaya ia khianat.”. Ahmad Ibnu

Hanbal Abu Abdullah al-Syaibâni, Musnad al-Imam Aẖmad ibn Hanbal (Beirut: Dar Fikr 1987)

Jilid 2. h. 357 47

Hasyim menceritakan kami, Laits memberitahu Yazid ibn Abi Habib dari „irak dari Abi

Hurairah bahwa sesungguhnya telah mendengar Rasulullah Saw. berkata “bahwa seburuk-buruk

manusia adalah orang yang bermuka dua, dia datang kepada mereka dengan satu wajah dan pada

mereka dengan wajah yang lain.”. Al-Syaibâni, Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, jilid 2, h.

307 48

Abu Mu‟awiyah menceritakan, al-A‟masy mengkhabarkan dari Khaitsamah dari Suwaid

ibn Ghaflah berkata, berkata Ali Ra. Apabila kamu menceritakan hadis Rasulullah akan satu hadis

57

3. Periode Pasca Qur‟anik

Pada masa ini, kosakata al-Qur‟an banyak digunakan dalam sistem

pemikiran islam, seperti teologi, hukum, filsafat, dan tasawuf. Masing-masing

sistem ini mengembangkan konseptualnya sendiri, yang tentu saja sangat

terpengaruh oleh konseptual al-Qur‟an. Sistem pasca al-Qur‟an hanya dapat

tumbuh dan berkembang pada tanah yang telah disiapkan oleh bahasa wahyu.50

Menurut Ibn Katsir51

ketika menafsirkan surat Ali-„imrân ayat 167 ( ىم للكفر menerangkan bahwa orang-orang munafik adalah mereka ( ي ومئذ أق رب من هم لإلميان

yang memiliki problem dalam kondisinya yang pada satu waktu berada di antara

keimanan dan kekufuran. Namun lebih dekat kepada kakufuran. ( ي قولون بأفواىهم مام .mereka mengatakan satu perkataan dan tidak meyakini kebenarannya ( ليس يف ق لوهب

Al-Qurthubi52

menambahkan mereka (orang munafik) telah menjelaskan keadaan

mereka, menyingkap dinding mereka dan membongkar kemunafikan mereka bagi

orang yang mengira bahwa mereka adalah orang-orang muslim oleh karena itu

secara lahiriah mereka lebih dekat kepada kekufuran, padahal jika diteliti lebih

lanjut maka mereka adalah orang-orang kafir.

maka lembutlah satu bagian yang tinggi dari langit yang paling suka kepadaku dari berkata

bohong, dan apabila dari selainnya, maka sesungguhnya aku lah lelaki pertama memeranginya dan

peperangan itu adalah tipu daya, aku mendengar Rasulullah bersabda “Akan datang suatu kaum di

akhir zaman di mana para pemuda pada saat itu berakal buruk mereka berkata dengan ayat-ayat al-

Qur‟an, tidaklah imannya melebihi kecuali sekedar pada bibir mulut, barang siapa menjumpai

mereka, bunuhlah mereka, maka sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu ganjaran di hari

Kiamat nanti.”. Al-Syaibâni, Musnad al-Imâm Aîmad ibn Hanbal, jilid 1, h. 181 49

Zaid ibn al-Hubbab menceritakan kami, abu al-Samhi memberitahu Abu Qabil bahwa

sesungguhnya Uqbah ibn „amir mendengar beliau bersabda, bahwa sesungguhnya Rasulullah saw.

bersabda “Sesungguhnya aku paling takut terjadi ke atas umatku 2 perkara, yaitu al-Qur‟an dan

buruh (tukang batu bata), adapun para buruh mencari tanah yang subur dan mengerjakannya

dengan mengikuti syahwat, dan mereka sering meninggalkan solat, adapun al-Qur‟an maka orang-

orang munafik mempelajarinya hanya untuk berdebat melawan orang beriman.”. Al-Syaibâni,

Musnad al-Imâm Aẖmad ibn Hanbal, jilid 4, h. 155 50

Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, h. 42-43. 51

Syaikh Ahmad Syakir, Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir (jilid 1) (Jakarta: Darus Sunnah,

2014), h.1034. 52

Imam Al-Qurthubi, Al-Jami‟ li Ahkaam Al-Qur‟an, Penerjemah: Dudi Rosyadi dkk

(Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 667

58

Menurut Qurais Syihab dalam Tafsir al-Misbah53

, orang munafik yaitu

mereka yang jiwanya lebih dekat kepada kekafiran daripada keimanan. Al-Qur‟an

menggunakan kata أفواىهم yakni mulut-mulut mereka, bukan السنتهم yakni lidah

mereka untuk mengisyaratkan bahwa apa yang mereka suarakan itu lebih dekat

untuk dinamai suara binatang daripada suara manusia yang memiliki akal dan

lidah. Tidak ada makna dan hakikatnya, karena itu ditekankan lagi bahwa apa

yang mereka katakan itu tidak terkandung dalam hati mereka. Beliau juga

menambahkan kata munafik Bisa diartikan juga dengan kata nâfiqa lil yarbu yaitu

keluar dari lubang persembunyian binatang seperti tikus, dalam hal ini, antara

lubang tikus dan kemunafikan memang sejajar. Jika dilihat dari sifatnya, bagian

atas (luar) liang tikus tertutup dengan tanah, sedangkan bagian bawah berlubang.

Demikian pula kemunafikan yang bagian luarnya adalah Islam dan dalamnya

merupakan keingkaran serta penipuan.54

Sayyid Qutb menambahkan dalam ayat tersebut Allah membongkar hakikat

mereka dan membersihkan barisan Islam dari mereka. Allah menegaskan hakikat

sifat mereka lebih dekat kepada kekafiran daripada keimanan. Mereka tidak

berkata jujur. Di dalam hati mereka terdapat nifâq, yang tidak membuat mereka

ikhlas kepada aqidah, tetapi membuat diri pribadi dan pertimbangan-

pertimbangannya di atas aqidah dan pertimbangan-pertimbangan aqidah.55

Menurut Hasbi ash-Shiddieqy56

, Allah menyatakan mereka lebih dekat

kepada kufur, tidak mengatakan mereka sungguh-sungguh kufur, karena tidak

53

M.Quraisy Shihab, Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟an (Ciputat: Lentera Hati,

2009), h. 277 328-329 54

M.Quraisy Shihab dan dkk, Ensiklopedia Al-Qur‟an: Kajian Kosa Kata Dan Tafsirnya

(Jakarta: Internusa 1997), h. 277 55

Sayyid Quthb, Tafsir Fi-Zhilalil Qur‟an, Penerjemah: Anwar Rafiq Shaleh Tamhid dan

Syafril Halim (Jakarta: Rabbani Press, 2001), h.511. 56

Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddiqy, Tafsir Al-Qur‟anul Majid An-Nȗr (Semarang:

PT. Pustaka Rizki Putra, 2000), h.731.

59

begitu mudah mengatakan seseorang kafir hanya dengan melihat tanda-tandanya

atau gejalanya. Sebelum nyata benar-benar kekafirannya. Inilah sebabnya Nabi

juga bergaul dengan orang-orang munafik seperti bergaul dengan orang-orang

Islam. Nabi juga menyembahyangi jenazah Abdullah bin Ubay ketika beberapa

tahun kemudian setelah perang Uhud meninggal. Baru pada perang Tabuklah

Allah mengungkapkan secara jelas kekafiran Abdullah bin Ubay dan menurunkan

ayat 84 surat Al-Taubah. Firman Allah ini ( ىم للكفر ي ومئذ أق رب من هم لإلميان ) memberi

pengertian bahwa keyakinan seseorang sering berubah-rubah, ada pasang ada

surut, kadang-kadang dekat dengan kufur, kadang dekat dengan iman. Ayat ini

juga memberi pengertian seseorang yang mengucapkan kalimat Tauhid tidak

boleh dikatakan kafir. ( مي قولون بأفواىهم ما ليس يف ق لوهب ) Mereka (orang-orang munafik)

memperlihatkan iman dengan lisannya, tapi sesungguhnya kufur dalam hatinya.

.dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan واللو أعلم با يكتمون

Ulama banyak membahas tentang tingkatan-tingkatan munafik. Dalam

pandangan syariat Islam, munafik ada dua macam, yaitu munafik i‟tiqad dan

munafik „amal. Pandangan syariat menyatakan bahwa pertama al-nifâq al-i‟tiqâdi

yaitu mereka yang menonjolkan keislamannya tetapi pada hakekatnya dia tidak

percaya kepada Allah dan Rasul-Nya. Seperti Abdullah bin Ubay dan kawan-

kawannya. Mereka termasuk ke dalam golongan kafir, bahkan lebih jahat. Dan

orang-orang itulah yang dijanjikan Allah tempatnya di tingkatan paling bawah

sekali dalam neraka.57

Menurut Hamdi Ahmad Ibrahim dalam bukunya Karakter

Orang-Orang Munafik, bahwa al-nifâq al-i‟tiqâdi itu ada delapan perkara.58

Kedua al-nifâq al-„amali adalah munafik yang tidak membawa kepada kekafiran

57

Ahzami Sami‟un Jazuli, Seri Tafsir Tematik Fiqh al-Qur‟an, Cet. ke-1 (Kg. Melayu

Kecil: Kilau Intan 2005), h. 148. 58

Hamdi Ahmad Ibrahim, Karakter Orang-Orang Munafik, Penerjemah Abu Barzani, Cet.

ke-1 (Jakarta: Pustaka al-Kautsar 1995), h. 15-20

60

yaitu tidak akan menyebabkan seseorang itu keluar dari Islam, tetapi hanya saja

pelakunya divonis sebagai orang yang berdosa dan amat merugikan diri serta

merusakkan pergaulan.59

Meskipun kemunafikan „amaliah ini tidak sesuai

menyebabkan pelaku-pelakunya keluar dari keimanan secara total tetapi

merupakan lorong menuju kekufuran. Dalam bentuk ini, menurut „Aidh Abdullah

al-Qarni terdapat 30 sifat-sifat yang menunjukkan prilakunya akan menyebabkan

terus kepada kemunafikan.60

Berdasarkan pendapat-pendapat yang telah dikemukakan diatas, dapat

disimpulkan bahwa makna kata munâfiq pada masa pasca Qur‟anik ini memiliki

perkembangan makna yang tidak meninggalkan makna munâfiq pada masa pra

Qur‟anik dan Qur‟anik, serta tidak merubah makna dasar nafaqon yang berarti

membuat lubang. Namun pada masa pasca Qur‟ani terlihat terperincian dan terjadi

perluasan makna kata munâfiq

D. Weltanschauung Kata Munâfiq dalam Al-Qur‟an.

Kosakata munâfiq dalam al-Qur‟an menunjukan orang atau golongan yang

memiliki sifat kemunafikan. Perilaku orang-orang munafik bersifat materi dan

imateri. Yang bersifat materi adalah ketika perbuatan atau prilaku

kemunafikannya berhubungan dengan mu‟min dan kafir. Mereka melakukan

kemunafikan terhadap mu‟min dan kafir dengan berbicara melalui mulutnya

padahal isi kandungannya tidak terdapat di dalam hati mereka. Pembicaraan itu

ada baik dalam konteks perang maupun dalam menjalankan perintah Nabi yang

lainnya. Mereka pandai berargumentasi dan bersilat lidah. Selain dengan

berbicara, mereka juga melakukan kemunafikan terhadap mu‟min dalam bentuk

59

Ahzami Sami‟un Jazuli, Seri Tafsir Tematik Fiqh Al-Qur‟an, h. 149. 60

„Aidh Abdullah al-Qarni, Bahaya Kemunafikan di Tengah Kita. Penerjemah H. Nandang

Burhanudin, Cet. ke-1 (Jakarta: Qisthi Press 2003), h. XIII

61

perbuatan, yaitu dengan menghalangi beribadah atau mendekat pada Nabi dan

Allah Swt., mereka juga mengajak kepada kemunkaran dan mencegah dari yang

ma‟ruf. Adapun variasi bentuk kemunafikannya tercantum dalam bab 4 pada

analisis sintagmatik. Tujuan akhirnya adalah mencari untung dan tidak mau rugi.

Perilaku orang munafik yang bersifat imateri adalah ketika dihubungkan

dengan Allah. Mereka tidak bertakwa, tidak ta‟at, malas beribadah, riya,

berprasangka buruk, menipu, kikir, dan sedikit sekali berzikir kepada-Nya. Dalam

hal keta‟atan terhadap Allah, orang-orang munafik persis seperti kafir, musyrik,

mujrif, dan fasik. Mereka juga akan mendapat perlakuan yang sama dari Allah

nantinya. Kedua bentuk sikap dan perilaku orang-orang munafikyang

digambarkan al-Qur‟an dapat diambil kesimpulan bahwa: yang menjadi prinsif

atau nilai dari golongan tersebut adalah mereka selalu mencari keuntungan,

menghindar dari kerugian, dan berargumentasi. Untuk lebih mudah difahami

penulis membuat struktur pada lampiran 2.

E. Tinjauan Kritis

Penafsiran Toshihiko Izutsu terhadap al-Qur‟an berusaha untuk menemukan

pandangan dunia (weltanschauung) kitab suci ini. Suatu usaha yang menurut

Fazlus Rahman belum pernah dilakukan secara sistematis oleh sarjana-sarjana

Muslim sendiri sebelumnya.61

Untuk memenuhu tujuan tersebut, Izutsu

menggunakan pendekatan strukturalisme linguistik. Pemilihannya terhadap

pendekatan ini dapat dilihat dari keyakinannya, bahasa itu tidak hanya sebagai alat

untuk berbicara dan berpikir, namun lebih penting lagi sebagai alat untuk

menangkap dan menerjemahkan dunia yang mengelilinginya.62

Berdasarkan

61

Fathurahman, “Al-Qur‟an dan Tafsirnya dalam Perspektif Toshihiko Izutsu,”, h. 84. 62

Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an h. 3.

62

paparan tersebut Izutsu mengikuti hipotesis Edwar Sapir (1884-1939), salah

seorang tokoh Strukturalisme,63

yang menyatakan bahwa bahasa, budaya, dan

kepribadian adalah satu kesatuan utuh. Bahasa adalah sarana apresiasi perilaku

dan pengalaman manusia, karena pengalaman dapat diinterpretasikan oleh adat

kebiasaan bahasa.64

Dengan demikian bahasa adalah alat untuk mengungkapkan

ide atau gagasan. Hipotesis tersebut kemudian diperkuat oleh Hans Georg

Gadamer (1900-1960) yang menyatakan bahwa bahasa adalah hasil kekuatan

mental manusia, dan setiap bahasa dengan kekuatan linguistiknya merupakan

wadah akal-budi manusia.65

Pendekatan linguistik ala Saussurian ini tampak telah nyata apabila

diperhatikan penjelasannya mengenai al-Qur‟an sebagaimana yang dijelaskan di

atas. Al-Qur‟an menurutnya adalah kalam Tuhan yang termanifestasikan dalam

lisan Arab. Ia menyamakan kalam dengan parole, sementara lisan dengan

langue.66

Istilah-istilah tersebut pertama digagas oleh Ferdinand de Saussure

(1857-1013),67

salah seorang tokoh pendiri Strukturalisme yang melakukan

diferensiasi terhadap istilah bahasa. Menurut Saussure, bahasa pada dasarnya 63

Strukturalisme merupakan cara berpikir tentang dunia sebagai sebuah struktur berikut

unsur-unsur pembangunnya. Berbagai unsur pembangun struktur tersebut dipandang lebih sebagai

susunan hubungan yang dinamis daripada sekedar susunan benda-benda. Oleh karena itu, masing-

masing unsur hanya akan bermakna karena, dan ditentukan oleh, hubungannya dengan unsur yang

lain di dalam struktur. Terence Hawkes, Strukturalism and Semiotics, (Taylor & Francis e-Library,

2004), h. 6-7. 64

Lihat Edwar Sapir, Language: An Introduction to Study of Speech, (New York: Harcourt

Brece, 1921), h. 13. 65

Hans Georg Gadamer, Truth and Method, (New York: Continuum, 1989), 2nd

Revision, h.

490. 66

Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an h. 164. 67

Seorang sarjana kebangsaan Swiss yang beberapa waktu pernah mengajar di Paris

(Prancis) dan akhirnya menjadi Guru Besar di Janewa. Selama hidupnya ia sedikit sekali

mempublikasikan karyanya. Buku yang membuat namanya terkenal dalam bidang linguistik pada

mulanya merupakan tiga seri kuliah tentang linguistik umum yang dikumpulkan dan diterbitkan

pada tahun 1016 atau tiga tahyn setelah kematiannya oleh tiga orang muridnya, yaitu C. H. Bally,

A. Sechehaye, dan A. Reidlinger dan diberi judul Cours de Linguistique Generale. Lihat

Ferdinand de Saussure, Cours de Linguistique Generale, penerjemah Rahayu S. Hidayat,

(Yogyakarta: Gadjah Mada University Perss, 1996), h. 374.

63

memiliki dua aspek, yaitu: parole dan langue. Strukturalisme linguistik Toshihiko

Izutsu tampak nyata ketika ia juga sangat menekankan pembahasan semantik

secara sinkronik terhadap data-data kebahasaan yang disediakan oleh al-Qur‟an.

Meskipun demikian ia juga tidak mengabaikan pembahasan semantik secara

diakronis. Sebagaimana yang telah penulis bahas pada bab terdahulu.

Izutsu, dalam usahanya untuk memahami weltanschauung al-Qur‟an, tidak

menafsirkan seluruh ayat al-Qur‟an, namun hanya konsep-konsep tertentu dari al-

Qur‟an yang menggambarkan pandangan dunia kitab Suci ini. Sebagaimana yang

tercermin dari judul bukunya yang berkenaan dengan kajian al-Qur‟an. Pertama

yaitu, Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an, yang terbit untuk pertama kalinya

pada tahun 1959 dengan judul: The Structure of the Ethical Terms in the Koran.68

Buku kedua yang berkenaan dengan penafsiran al-Qur‟an adalah: God and Man in

the Qur‟an: Semantics of the Qur‟anic Weltanschauung, pertama kali diterbitkan

pada tahun 1964 di Tokyo, Jepang, oleh Universitas Keio. Dari judul buku ini,

jelaslah Izutsu memfokuskan pembahasan mengenai konsep al-Qur‟an tentang

relasi antara Tuhan dan manusia. Relasi Tuhan dan manusia berdasarkan al-

Qur‟an, menurutnya, memiliki empat bentuk, yaitu: ontologis, komunikatif, tuan-

hamba, dan etik.69

Penafsiran yang hanya mengambil konsep atau tema tertentu dari al-Qur‟an,

dalam tradisi kesarjanaan Muslim dikenal dengan Tafsir Tematik (al-tafsir al-

maudhûî).70

Pemikiran dasar dari metode sematik diarahkan pada kajian pesan al-

68

Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an, h. 17. 69

Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h.127-168. 70

„Abd Hayy al-Farmawî mengemukakan ada empat metode yang biasa digunakan dalam

penafsiran al-Qur‟an, yaitu: pertama, metode global (tharîqah ijmalî); kedua, metode analitis

64

Qur‟an secara menyeluruh, dan menjadikan bagian-bagian yang terpisah dari ayat

atau surat al-Qur‟an menjadi kesatuan yang utuh dan saling berkaitan.71

Prosedur penafsiran al-Qur‟an dengan menggunakan metode tematik dapat

dirinci sebagai berikut: Pertama, menentukan bahasan al-Qur‟an yang akan

diteliti secara tematik; Kedua, melacak dan mengoleksi ayat-ayat sesuai topik

yang diangkat; Ketiga, menata ayat-ayat tersebut secara kronologis (sebab

turunnya), mendahulukan ayat makkiyah dari madaniyah, dan disertai dengan

pengetahuan tentang latar belakang turunnya ayat; Keempat, mengetahui korelasi

(munâsabah) ayat-ayat tersebut; Kelima menyusun tema bahasan dalam kerangka

yang sistematis; Keenam, melengkapi bahasan dengan hadis-hadis tertkait;

Ketujuh, mempelajari ayat-ayat itu secara tematik dan konprehensif dengan cara

mengoleksi ayat-ayat yang membuat makna yang sama, mengkompromikan

pengertian yang umum dan khusus, mutlaq dan muqayyad, menyingkronkan ayat-

ayat yang tampak kontradiktif, menjelaskan nâsikh dan mansûkh, sehingga

semuanya terkumpul dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan dalam

penafsiran.72

Berdasarkan uraian tersebut, sekarang dapat diketahui perbedaan antara

metode semantik Izutsu dengan metode tematik. Perbedaan tersebut tampak pada

prosedur kerja dan tujuan yang hendak dicapai. Akan tetapi baik metode semantik

Izutsu maupun metode tematik merupakan proses penafsiran yang sama-sama

(tharîqah tahlilî); ketiga, metode perbandingan (tharîqah muqârin); dan keempat, metode

tematik(thâriqah maudhû‟î). „Abd Hayy al-Farmawî, al-Bidâyah fi al-Tafsîr al-Maudhû‟î:

Dirâsah Manhajîyah Maudhû‟îyah, (Kairo: Mathb‟ah al-Hadhârah al-„Arabiyah, 1997), h. 23. 71

M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), h.

27. 72

Al-Farmawî, al-Bidâyah fi al-Tafsîr al-Maudhû‟î: Dirâsah Manhajîyah Maudhû‟îyah, h.

52.

65

terfokus pada teks, dan tidak menekankan pada pembacaan realitas. Penafsiran

yang terfokus pada teks cenderung memaksa realitas takluk kepada teks jika ada

kesenjangan antara keduanya.

Hasil akhir penafsiran al-Qur‟an yang dilakukan Izutsu tentulah berbeda

dengan para mufassir lain, baik klasik maupun modern. Kiranya perlu kita lihat

perbedaan dan persamaan yang terjadi setelah membandingkan hasil akhir dari

penafsiran menggunakan semantik Izutsu dengan penafsiran dari mufassir lain.

Penulis menghadirkan penafsiran ayat munafik yaitu, surat ali-„Imran ayat 167

sebagaimana yang telah penusil munculkan 5 pendapat mufassir di sub bab

sebelumnya. Terjadi persamaan persefsi ketika memaknai ( ىم للكفر ي ومئذ أق رب من هم

mereka (munafik) adalah golongan yang berada di antara kedua lebel, yaitu ( لإلميان

antara iman dan kufur, mereka memikiki problem di dalam hatinya. perbedaannya

terletak pada bagaimana memposisikan orang-orang munafik, apakah lebih dekat

dengan keimanan atau kekufuran. Cara penafsiran menggunakan semantik Izutsu

tidak sesederhana itu. Begitupun ketika memaknai . (م (ي قولون بأفواىهم ما ليس يف ق لوهب

mereka bermuka dua dan pembicaraannya tidak dapat dipercaya. Semua hampir

sama Cuma cara pengemasannya saja yang berbeda.

66

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan rumusan masalah di bab satu, maka jawaban atas pertanyaan

tersebut adalah: kata munâfiq dalam al-Qur‟an jika dikaji menggunakan analisis

semantik Toshihiko Izutsu, maka dapat disimpulkan, kata munâfiq dalam al-

Qur‟an berposisi sebagai subjek (pelaku) dan objek (yang dikenai perlakuan).

Dalam posisi subjek ditujukan untuk orang atau golongan yang melakukan

kemunafikan dengan dua bentuk sikap atau perilaku, (1) dalam bentuk perkataan,

dan (2) dalam bentuk perbuatan. Dalam bentuk perkatan, yang menjadi sasaran

perbuatan mereka adalah kafir dan mu‟min. Dalam bentuk tindakan, yang menjadi

sasaran mereka adalah mu‟min dan Allah. Bentuk sikap dan perilaku mereka

bervariatif namun tujuan akhirnya sama, yaitu: mereka mencari keuntungan,

menghindar dari kerugian, dan berargumentasi. Tiga point tersebut kemudian

menjadi nilai atau prinsip orang-orang munafik. Dalam posisi objek, maka Allah

menjadi subjek. Orang-orang munafik disejajarkan dengan kafir, musyrik, mujrif,

dan fasik. Mereka diancam, diperangi, dan disiksa.

Kesimpulan tersebut didapat setelah melihat makna dasar kata munâfiq

(membuat lubang), dan makna relasional secara sintagmatik dan paradigmatik.

Secara sintagmatik kata munâfiq berrelasi dengan kata kadzaba (berbohong),

shudûdan (menghalangi beribadah), khodiûn (penipu), kasala‟ (malas beribadah),

riya (tidak ikhlas dalam beribadah), yakbidhûn aidihim (kikir atau tidak mau

berinfak di jalan Allah), yaktumûn (yang tersembunyi), an-Nâr wa Jahannam

mereka sebagai calon penghuni neraka Jahanam.

67

Kata munâfiq memiliki relasi paradigmatik dengan kâfir, fâsiq, musyrik,

murjifûn, dari sisi prilaku atau ditinjau dari posisi sebagai subjek, mereka

memiliki kemiripan dalam prilaku dengan kapasitas yang berbeda. Ketika di

tinjau dari sisi objek dan Allah menjadi subjek maka mereka memiliki posisi yang

sama dalam ketentuan Allah, di ancam, diperangi, dan dimasukan ke dalam

neraka. Kata munafik juga berelasi dengan kata maridun qolb karna di sebagian

ayat-ayat yang menerangkan munafik diwakili oleh kata maridun qalb, artinya

kata munafik tidak muncul di banyak ayat yang menjelaskan tentang munafik baik

karakter maupun ancaman. Dalam al-Qur‟an kata mu‟min atau iman bersanding

dengan kata munâfik menyatakan bahwa keduanya memiliki kesamaan dari segi

kehidupannya yakni sama-sama manusia. Namun memiliki perbedaan dari segi

karakteristik dan Ancaman dari Allah. Mu‟min yakin kepada Allah dan akan

ditempatkan di Surga sedangkan munafik ragu-ragu terhadap Allah dan akan

ditempatkan di Neraka.

B. Saran

Setelah penulisan menyelesaikan penyusunan skripsi ini, penulis menyadari

bahwa sebuah penelitian pasti tidak terlepas dri kekurangan dan kesalahan. Untuk

itu, penelitian ini tidak dapat dikatakan telah selesai, tapi masih bisa dikaji ulang

secara mendalam lagi, mengingat masih ada yang perlu dikaji lebih mendalam

lagi dalam penelitian ini:

Pertama, pengkajian secara mendetail mengenai konsep munafik dalam

pasca Qur‟anik yang tidak hanya menggunakan kamus lisan al-Arab tapi bisa

menggunakan literatur lain seperti syair-syair Arab dan lain-lain.

68

Kedua, pengkajian konsep munafik dalam metode yang lain seperti

semiotika, hermeneutika dan lain sebagainya. Namun bisa juga pengkajian

terhadap konsep lain dengan pendekatan semantik mengingat bahwa suatu

pengkajian terhadap kosakata dalam al-Qur‟an dengan pendekatan semantik amat

sangat membantu dalam memahami kosakata dalam al-Qur‟an yang erat akan

budaya, pesan moral, dan peradaban.

69

DAFTAR PUSTAKA

al-Aṣfihânî, Al-Râgîb. Mufradât Al-Fâẓ Al-Qur‟an. Beirut: al-Dâr al-Syâmiyyah,

2009.

Ahmad, Nur. “Tafsir Semantik ala Toshihiko Izutsu,” Diakses pada tanggal 18

Agustus 2017 dari Nurahmadbelajar.blogspot.co.id/2013/06/Tafsir-

semantik-ala-toshihiko-izutsu.html?m=1

Aisyah, Siti. “Munafik menurut al-Qur‟an” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan

Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 1999.

Amin, Abdul Manaf. “Munafik,” Diakses pada tanggal 12 Juni 2017 dari

http://youtu.be/vgu65On3yxs

Aminuddin. Semantik: Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung: PT. Sinar Baru

Algesindo, 2008.

Arahmah, “Tuduhan Munafik dan Larangan Menshalati Jenazah Muslim”,

Diakses pada 11 Juni 2017 dari

https//serambimata.com/2017/03/15/tuduhan-munafik-dan-larangan-

menshalati-jenazah-muslim/

Ash-Shiddiqy, Tengku Muhammad Hasbi. Tafsir Al-Qur‟anul Majid An-Nȗr.

Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2000.

Awang, Husin ibn. Qâmûs al-Tulâb. Kuala Lumpur: Dar al-Fikr, 1994.

Azra, Azyumardi. Kajian Tematik Al-Qur‟an Tentang Ketuhanan, Bandung:

Angkasa, 2008.

Baqi, Muhammad Fuad Abdul. Al-Mu`jam al-Mufahras li Alfâzhi al-Qur‟an al-

Karîm. Lebanon: Dâr al-Fikr, 1981 M/1401 H.

Chair, Abdul. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta,

2002.

Chirzin, Muhammad. “Jihad dalam al-Qur‟an: Telaah Normatif, Hitoris, dan

Prospektif,” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN

Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2013.

Creswell, John W. Research Design, Qualitative, Quantitative, and Mixed

Methods Apporoaches, Penerjemah: Achmad Fawaid dan Rianayati

Kusmini Pancasari. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016.

Dagun, Save M. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Jakarta: LPKN, 2006.

70

de Saussure, Ferdinand. Pengantar Linguistik Umum, Penerjemah Rahayu S.

Hidayat. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1996.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Jakarta: Rineka Cipta, 2009.

Fakhrudin, H. “Munafik dalam Tafsir al-Qur‟an” Studi Pemikiran Sayyid Qutb

dan Muhammad Husain At-Thabataba‟i. Disertasi Pascasarjan UIN Sunan

Kalijaga Yogyakarta 2005.

Farihin, M. “Studi Komparatif Tentang Penafsiran Munafik antara Mustafa al-

Maraghi Dan Hamka,” Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam

UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2012

al-Farmawî, „Abd Hayy. al-Bidâyah fi al-Tafsîr al-Maudhû‟î: Dirâsah

Manhajîyah Maudhû‟îyah, Kairo: Mathb‟ah al-Hadhârah al-„Arabiyah,

1997.

Faturrahman. “Al-Qur‟an dan Tafsirnya dalam Perspektif Toshihiko Izutsu.” Tesis

Pasca Sarjana, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.

Fikri, Muhammad. “Konsep Munafik dalam al-Qur‟an dan Relevansinya dengan

kehidupan Modern,”(Skripsi S1Fakultas Ushuluddin UIN Syarif

Hidayatullah, Jakarta 2007.

Gadamer, Hans Georg. Truth and Method, New York: Continuum, 1989.

Hawkes, Terence. Strukturalism and Semiotics, Taylor & Francis e-Library, 2004.

Ibrahim, Hamdi Ahmad. Karakter Orang-Orang Munafik, Penerjemah Abu

Barzani. Jakarta: Pustaka al-Kautsar 1995.

Izutsu, Toshihiko. Etika beragama dalam al-Qur‟an, penerjemah Mansuruddin

Djoely. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.

_______, Relasi Tuhan dan Manusia, penerjemah Agus Fakhri Husein (dkk).

Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997.

Jazuli, Ahzami Sami‟un. Seri Tafsir Tematik Fiqh al-Qur‟an, Kg. Melayu Kecil:

Kilau Intan 2005.

Kementrian Agama, Al-Qur‟an dan Terjemahannya. Depok: Adwaul Bayan,

2015.

Khoiriyah. “Jin dalam Al-Qur‟an: Kajian Semantik,” Skripsi S1 Fakultas

Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016.

71

Kridalaksana, Harimurti. Mogin Ferdinand de Saussure, Peletak Dasar

Strukturalisme dan Linguistik Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

2005.

al-Mahallî, Jalal al-Dîn, dan Jalal al-Dîn al-Suyȗtî. Tafsir Jalalain. Bairut:

Maktabah Libanon Nasirun, 2008.

al-Marbawi, Muhammad Idris Abdul Rauf. Qâmus Idrîs al-Marbawi. Kuala

Lumpur: Dar al-Fikr 2006.

al-Mishrî, Abî al-Fadl Jamâl al-Dîn Muhammad bin Mukarram bin Manẓūr. Lisan

al-Arab, Jilid. 4. Beirut: Dār al-Ihyâ′ al-Turâs, t.t.

Ma‟arif, Yahya Zainul. “Munafik,” Diakses pada tanggal 12 Juni 2017 dari

http://youtu.be/8yOXnsJ5jsg

Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir, Surabaya: Pustaka Progresif,

1997 M.

Mustaqim, Abdul. Studi Al-Qur‟an Kontemporer: Wacana Baru berbagai

Metodologi Tafsir. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002.

Nur, Zunaidi. Konsep al-Jannah dalam al-Qur„an: Aplikasi Semantik Toshihiko

Isutzu‖. Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan

Kalijaga. Yogyakarta. 2014.

al-Qarni, „Aidh Abdullah Bahaya Kemunafikan di Tengah Kita. Penerjemah H.

Nandang Burhanudin. Jakarta: Qisthi Press 2003.

al-Qattân, Mannâʻ Khalîl. Studi Ilmu-ilmu al-Qur‟an. penerjemah Mudzakir AS.

Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2009.

al-Qurthubi, Imam. Al-Jami‟ li Ahkâm Al-Qur‟an. Penerjemah: Dudi Rosyadi dkk.

Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.

al-Quthb, Sayyid. Tafsir Fi-Zhilâlil Qur‟an. Penerjemah: Anwar Rafiq Shaleh

Tamhid dan Syafril Halim. Jakarta: Rabbani Press, 2001.

Qudsy, Saefuddin Zuhri. Dzulmannai (ed). Islam Liberal dan Fundamental:

Sebuah Pertarungan Wacana. Yogyakarta: eLSAQ, 2007.

Rahem, Ahmad Sahidah. Tuhan, Manusia dan Alam dalam Al-Qur‟an;

Pandangan Toshihiko Izutsu. Pulau Pinang: Universiti Sains Malaysia

Press, 2014.

Rahman, Nailul. Konsep Salam dalam Al-Qur„an dengan Pendekatan Semantik

Thoshihiko Izutsu‖. Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN

Sunan Kalijaga. Yogyakarta. 2014.

72

Robi, M Alfa, “Gaya Bahasa Tentang Munafik di dalam Al-Qur‟an Al-Karim

Penelitian Analisis Balaghah”. Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora

UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2016. Sapir, Edwar. Language: An Introduction to Study of Speech, New York: Harcourt Brece,

1921.

al-Suyuti, Imam. Asbabun Nuzul. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2014.

al-Syaibâni, Ahmad Ibn Hanbal Abu Abdullah. Musnad al-Imam Ahmad Ibn

Hanbal. Beirut: Dar Fikr 1987.

Setiawan, Muhammad Nur Khalis. Al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar. Yogyakarta:

eLSAQ Press, 2006.

Shihab, M.Quraish. dan dkk. Ensiklopedia Al-Qur‟an: Kajian Kosa Kata dan

Tafsirnya. Jakarta: Internusa 1997.

Shihab, M.Quraish. Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟an. Ciputat: Lentera

Hati, 2009.

Shihab, M. Quraish. Studi Kritis Tafsir al-Manar, Bandung: Pustaka Hidayah,

1994.

Sipatuhar, Mahadi. “Konsep Sabar dalam Al-Qur‟an: Pendekatan Semantik,”

Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga,

Yogyakarta, 2013.

Syakir, Syaikh Ahmad. Mukhtashar Tafsir Ibn Katsir jilid 1. Jakarta: Darus

Sunnah, 2014.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat

Bahasa, 2008.

Yunus, Mahmud. Tafsir Qur‟an Karim. Jakarta: Pt. Hidakarya Agung Jakarta

2004.

Yusron, M. dkk., Studi Kitab Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: Teras, 2006.

Zaid, Nasr Hamid Abu. Tekstualitas Al-Qur‟an, penerjemah Khoirun Nahdlyin.

Yogyakarta: LkiS, 2005.

73

LAMPIRAN I

AYAT-AYAT MUNAFIK

1. QS. Al-an’am Ayat 35

ماء تي هم ي وإن كان كب ر عليك إعراضهم فإن استطعت أن ت بتغي ن فقا ف األرض أو سلما ف الس ف ت (تكونن من الاىلني )ولو شاء اللو لمعهم على الدى فال

Dan jika perpalingan mereka (darimu) terasa Amat berat bagimu,

Maka jika kamu dapat membuat lobang di bumi atau tangga ke langit lalu

kamu dapat mendatangkan mukjizat kepada mereka (maka buatlah. kalau

Allah menghendaki, tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam

petunjuk sebab itu janganlah sekali-kali kamu Termasuk orang-orang yang

jahil

2. QS. Al-ankabut Ayat 11

(ولي علمن اللو الذن آمنوا ولي علمن المنافقني )Dan Sesungguhnya Allah benar-benar mengetahui orang-orang yang

beriman: dan Sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang munafik.

3. QS. Al-anfal Ayat 49

ل على اللو فإ ت وك كيم إذ قول المنافقون والذن ف ق لوبم مرض غر ىؤالء دن هم ومن ن اللو ع()

(ingatlah), ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang ada

penyakit di dalam hatinya berkata: “Mereka itu (orang-orang mukmin)

ditipu oleh agamanya". (Allah berfirman): "Barangsiapa yang bertawakkal

kepada Allah, Maka Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha

Bijaksana”.

4. QS. Ali-imrân Ayat 167

ت عالوا قاتلوا ف سبيل اللو أو ادف عوا قالوا لو ن علم قتاال الت ب عناكم ىم للكفر ولي علم الذن ناف قوا وقيل لم كتم هم لإلميان قولون فواىهم ما ليس ف ق لوبم واللو أعلم با () ون ومئذ أق رب من

Dan supaya Allah mengetahui siapa orang-orang yang munafik.

kepada mereka dikatakan: “Marilah berperang di jalan Allah atau

pertahankanlah (dirimu)”. mereka berkata: “Sekiranya Kami mengetahui

akan terjadi peperangan, tentulah Kami mengikuti kamu”. mereka pada hari

itu lebih dekat kepada kekafiran dari pada keimanan. mereka mengatakan

dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya. dan Allah lebih

mengetahui dalam hatinya. dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka

sembunyikan.

74

5. QS. Al-aẖzab Ayat 1, 12, 24, 48, 60, 73.

كيما ) (ا أ ها النب اتق اللو وال تطع الكافرن والمنافقني إن اللو كان عليما Hai Nabi, bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu menuruti

(keinginan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Sesungguhnya

Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

(وإذ قول المنافقون والذن ف ق لوبم مرض ما وعدنا اللو ورسولو إال غرورا )

Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang

berpenyakit dalam hatinya berkata : “Allah dan Rasul-Nya tidak

menjanjikan kepada Kami melainkan tipu daya”.

ب المنافقني إن شاء أو توب عليهم إن اللو ك عذ صدقهم و ي اللو الصادقني يماليج ان غفورا ر()

Supaya Allah memberikan Balasan kepada orang-orang yang benar itu

karena kebenarannya, dan menyiksa orang munafik jika dikehendaki-Nya,

atau menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah adalah Maha

Pengampun lagi Maha Penyayang.

ل على اللو وكفى اللو وكيال )وال تطع الكافر (ن والمنافقني ودع أذاىم وت وك

Dan janganlah kamu menuruti orang-orang yang kafir dan orang-

orang munafik itu, janganlah kamu hiraukan gangguan mereka dan

bertawakkallah kepada Allah. dan cukuplah Allah sebagai Pelindung.

اورونك فيها إال لئن ل نتو المنافقون والذن ف ق لوبم مرض والمرجفون ف المدن لن غر نك ب ال م (قليال )

Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang- orang

yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar

bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya Kami perintahkan kamu

(untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di

Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar.

ب اللو المنافقني والمنافقات والمشركني والمشركات و توب اللو على المؤمنني والمؤمنات وكان اللو لي عذيما ) (غفورا ر

Sehingga Allah mengazab orang-orang munafik laki-laki dan

perempuan dan orang-orang musyrikin laki-laki dan perempuan; dan

sehingga Allah menerima taubat orang-orang mukmin laki-laki dan

perempuan. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

6. QS. Al-Nisâ’ Ayat 61, 88, 138, 140, 142, 145.

ون عنك صدودا )وإذا صد ت المنافقني (قيل لم ت عالوا إل ما أن ل اللو وإل الرسول رأ

75

Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah kamu (tunduk) kepada

hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul”, niscaya kamu

Lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya

dari (mendekati) kamu.

للل اللو ف ل فما لكم ف المنافقني فئت ني واللو أركسهم با كسبوا أتردون أن ت هدوا من أضل الل ن و ومن د لو سبيال ) (ت

Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam

(menghadapi) orang-orang munafik, Padahal Allah telah membalikkan

mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri ? Apakah kamu

bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan

Allah? Barangsiapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak

mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya.

ن لم عذاا أليما ) ر المنافقني (شKabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan

mendapat siksaan yang pedih,

با فال ت قع أ عتم آات اللو كفر با وست ه ت يوضوا وقد ن ل عليكم ف الكتاب أن إذا س دوا معهم

دث غيه إنكم إذا مث لهم إن يعا ) ف (اللو جامع المنافقني والكافرن ف جهنم جDan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di

dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari

dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), Maka janganlah kamu

duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain.

karena Sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa

dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-

orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam,

الة قاموا كسال راءون الن ا وال ذكرون اللو إن المنافقني يادعون اللو وىو خادعهم وإذا قاموا إل الص (إال قليال )

Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan

membalas tipuan mereka[364]. dan apabila mereka berdiri untuk shalat

mereka berdiri dengan malas. mereka bermaksud riya(dengan shalat) di

hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit

sekali

(رك األسفل من النار ولن تد لم نصيا )إن المنافقني ف الد 8Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan

yang paling bawah dari neraka. dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat

seorang penolongpun bagi mereka.

76

7. QS. Al-ẖadîd Ayat 13

اءكم فالتمسوا نورا وم قول المنافقون والمنافقات للذن آمنوا انظرونا ن قتبس من نوركم قيل ارجعوا ور سور لو اب اطنو فيو الرح وظاىره من قبلو ن هم (العذاب ) فلرب ي

Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata

kepada orang-orang yang beriman: “Tunggulah Kami supaya Kami dapat

mengambil sebahagian dari cahayamu”. dikatakan (kepada mereka):

“Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu)”. lalu

diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. di sebelah

dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa.

8. QS. Al-ẖasyr Ayat 11

قولون إلخوانم الذن كفروا من أىل الكتاب لئن أخرجتم لنخرجن معكم وال أل ت ر إل الذن ناف قوا شهد إن هم لكاذون ) دا أدا وإن قوتلتم لن نصرنكم واللو (نطيع فيكم أ

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang munafik yang

berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di antara ahli kitab:

“Sesungguhnya jika kamu diusir niscaya Kamipun akan keluar bersamamu;

dan Kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapapun untuk

(menyusahkan) kamu, dan jika kamu diperangi pasti Kami akan membantu

kamu.” dan Allah menyaksikan bahwa Sesungguhnya mereka benar-benar

pendusta.

9. QS. Al-munâfiqȗn Ayat 1, 7, 8.

علم إنك لرسولو واللو شهد إن المنافقني لكاذون إذا جاءك المنافقون قالوا نشهد إنك لرسول اللو واللو ()

Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata:

“Kami mengakui, bahwa Sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah.”

dan Allah mengetahui bahwa Sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya;

dan Allah mengetahui bahwa Sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-

benar orang pendusta.

ماوات ه ائن الس فلوا وللو خ ت ن م الذن قولون ال ت نفقوا على من عند رسول اللو واألرض ولكن ( فقهون )المنافقني ال

Mereka orang-orang yang mengatakan (kepada orang-orang Anshar):

“Janganlah kamu memberikan perbelanjaan kepada orang-orang (Muhajirin)

yang ada disisi Rasulullah supaya mereka bubar (meninggalkan

Rasulullah).” Padahal kepunyaan Allah-lah perbendaharaan langit dan bumi,

tetapi orang-orang munafik itu tidak memahami.

77

ها األذل وللو العة ولرسولو ول المنافقني ال لمؤمنني ولكن قولون لئن رجعنا إل المدن ليخرجن األع من ( علمون )

Mereka berkata: "Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah,

benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari

padanya." Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan

bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.

10. Al-Taẖrim Ayat 9

واىم جهنم وئس المصي ار والمنافقني واغلظ عليهم وم ( )ا أ ها النب جاىد الكفHai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan

bersikap keraslah terhadap mereka. tempat mereka adalah Jahannam dan itu

adalah seburuk-buruknya tempat kembali.

11. Al-Fatẖ Ayat 6

ب المنافقني والمنافقات والمشركني والمشركات الظانني اللو وء وغلب و عذ وء عليهم دائرة الس ظن الس (اللو عليهم ولعن هم وأعد لم جهنم وساءت مصيا )

Dan supaya Dia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan

perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka

itu berprasangka buruk terhadap Allah. mereka akan mendapat giliran

(kebinasaan) yang Amat buruk dan Allah memurkai dan mengutuk mereka

serta menyediakan bagi mereka neraka Jahannam. dan (neraka Jahannam)

Itulah sejahat-jahat tempat kembali.

12. QS. Al-taubah Ayat 67, 68, 73, 77, 101.

ئوا إن الل (و مرج ما تذرون )يذر المنافقون أن ت ن ل عليهم سورة ت نبئ هم با ف ق لوبم قل است هOrang-orang yang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka

sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi dalam hati mereka.

Katakanlah kepada mereka: “Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah

dan rasul-Nya).” Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu

takuti itu.

د هم المنافقون هون عن المعروف و قبلون أ مرون المنكر و ن نسوا والمنافقات علهم من عض (اللو ف نسي هم إن المنافقني ىم الفاسقون )

Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan. sebagian dengan

sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang Munkar

dan melarang berbuat yang ma'ruf dan mereka menggenggamkan

tangannya. mereka telah lupa kepada Allah, Maka Allah melupakan mereka.

Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik.

سب هم ولعن هم ار نار جهنم خالدن فيها ىي اللو ولم عذاب وعد اللو المنافقني والمنافقات والكف (مقيم )

78

Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan

orang-orang kafir dengan neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya.

cukuplah neraka itu bagi mereka, dan Allah mela'nati mereka, dan bagi

mereka azab yang kekal.

واىم ار والمنافقني واغلظ عليهم وم (جهنم وئس المصي )ا أ ها النب جاىد الكفHai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang

munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. tempat mereka ialah

Jahannam. dan itu adalah tempat kembali yang seburuk-buruknya.

عقب هم نف كذون )ف (اقا ف ق لوبم إل وم لقونو با أخلفوا اللو ما وعدوه وبا كانوا Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai

kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri

terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan juga karena

mereka selalu berdusta.

دون إال جهدىم ف يسخ ون المطوعني من المؤمنني ف الصدقات والذن ال هم سخر الذن لم رون من هم ول (م عذاب أليم )اللو من

(orang-orang munafik itu) Yaitu orang-orang yang mencela orang-

orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela)

orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar

kesanggupannya, Maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah

akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih.

فاق ال ت علمهم نن ولكم من األعراب منافقون ومن أىل المدن مردوا على الن ومن هم ن علمهم سن عذ ردون إل عذاب عظيم ) (مرت ني

Di antara orang-orang Arab Badwi yang di sekelilingmuitu, ada

orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. mereka

keterlaluan dalam kemunafikannya. kamu (Muhammad) tidak mengetahui

mereka, (tetapi) kamilah yang mengetahui mereka. nanti mereka akan Kami

siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar.

79

LAMPIRAN II

ANALISIS SINTAGMATIK

POLA I

يقو ل

يفعل

اهلل

مؤمن

مؤمن

كافر

استرباح

صرف الخسره

تحججا

80

ANALISIS SINTAGMATIK

POLA II

يقول

مؤمن

كافر

) غر ىؤالء دينوىم

)ألن اخرجتم لنخرجن ان قوتلتم لننصرنكم

)لو نعلم قتاال ال تبعنكم

وعدنا اهلل ورسولو اال نشهد ان ك لرسول اهلل

لئن رجعنا

الى المدينة ليخرجن األعز منها

األذل

ال تنفقوا على من عند رسول اهلل

Merek

a telah ditipu agam

anya

Jika k

alian d

i usir, n

iscahya k

am

i pu

n

akan

kelu

ar. Jika k

alian d

iperan

gi,

maka k

am

i akan

mem

ban

tu.

Sek

iranya k

ami tah

u ak

an terjad

i

peran

g, ten

tulah

kam

i men

gik

uti k

amu

Allah

dan

Rasu

l-Nya tid

ak m

enjan

jikan

kep

ada k

ami m

elainkan

tipu

day

a

Kam

i men

gak

ui b

ahw

a sesun

ggu

hn

ya

En

gkau

utu

san A

llah

Jika k

ita kem

bali k

e Mad

inah, p

astilah

oran

g-o

rang k

uat ak

an m

em

usu

hi o

rang

-

oran

g le

mah

.

Jangan

lah

mem

berik

an

pem

belan

jaan p

ada m

uhajiri.

منافق

81

يفعل

مؤمن اهلل

يصد ون عنك صدود

يأمرون بأالمنكر ينهون عن المعروف

يخادعون

كسالى

الظانين يراءون

السوء

يقبضون ايديهم

Men

gh

alangi m

anusia m

endek

ati

Allah

dan

Rasu

l

Men

gajak

kep

ada k

emu

nkaran

dan

men

cegah

dari y

ang m

a’ruf

Men

ipu A

llah

Malas b

eribad

ah

Riy

a dalam

berib

adah

Berp

rasangka b

uru

k

n. Men

ggen

ggam

kan

tangan

(kik

ir)

منافق

يذكرون

قليل

Sed

ikit m

engin

gat alla

h

ANALISIS SINTAGMATIK

POLA III

82

ANALISIS SINTAGMATIK

POLA IV

اهلل منافق

يعلم

يعذب

جاىد

اركسهم

يضلل

جامع في جهن م

وعد

أعقبهم نفاقا

Mengetahui

mengadzab

Mem

erangi

Mengem

balikan pada kekafiran

menyesatkan

Mengum

pulkan di Neraka

m

engancam

Mem

unculkan kemunafikan

83

LAMPIRAN III

ANALISIS PARADIGMATIK

Pola 1.

مفعول معنئى فعل فاعل اهلل Membuat lubang نافق منافق اهلل Menutupi كفر كافر اهلل Menduakan شرك مشرك اهلل Menyimpang فسق فاسق

اهلل Menggoncangkan رجف مرجفون اهلل Membuat lubang نافق مرض القلب

اهلل Percaya أمن مؤمن

Pola 2.

مفعول معنئى فعل فاعل اهلل

وعد جاىد عذب

Mengancam

Memerangi

mengadzab

منافق كافر اهلل مشرك اهلل فاسق اهلل مرجفون اهلل

مؤمن اهلل