konsep ideal peradilan indonesia - leip · 2018. 5. 16. · konsep ideal peradilan indonesia 1 1....

64

Upload: others

Post on 06-Dec-2020

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama
Page 2: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia:

Menciptakan Kesatuan Hukum & Meningkatkan Akses Masyarakat pada Keadilan

A Concept on the Ideal Indonesian Judiciary:

Creating Unity of Law and Improving Access to Justice

Lembaga Kajian & Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP)

Indonesian Institute for Independent Judiciary

August 2010

Page 3: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia:Menciptakan Kesatuan Hukum & Meningkatkan Akses Masyarakat pada Keadilan

A Concept on the Ideal Indonesian Judiciary:Creating Unity of Law and Improving Access to Justice

Penulis :Dian Rosita

@ Agustus 2010X + 54 hlm.:il; 24 x 20 cm

Diterrbitkan oleh Lembaga Kajian dan Advokasiuntuk Independensi Peradilan (LeIP)Didukung Oleh National Legal Reform Program (NLRP)

Setting & LayoutNorman Arief - Dimensi

Design CoverUmi Wijaya

Dicetak OlehDimensi

Lembaga Kajian dan Advokasiuntuk Independensi Peradilan (LeIP)

Puri Imperium Office PlazaUpper Ground Floor Unit UG 11-12Jl. Kuningan Madya Kav. 5-6Jakarta 12980

Page 4: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Kata Pengantar

Reformasi peradilan telah berjalan sejak tahun 2000. Pada masa awal reformasi peradilan, sejarahmencatat besarnya peran serta masyarakat melalui berbagai organisasi non pemerintah dalammendorong proses reformasi peradilan, baik sebagai pemantau yang kritis maupun sebagai part-ner peradilan dalam melaksanakan proses perubahan. Selain organisasi non pemerintah, bantuanjuga datang dari negara-negara donor yang turut memberikan kontribusi dalam proses perubahanmonumental yang tengah berlangsung di lembaga peradilan. Belum pernah dalam sejarahperadilan Indonesia, MA membuka diri sedemikian luas terhadap masukan, kritisi maupunasistensi dari luar.

Pada tahun 2003, Mahkamah Agung telah meluncurkan paket Cetak Biru Pembaruan Peradilan.LeIP secara intensif terlibat dalam proses penyusunan Cetak Biru Peradilan. Cetak Biru ini dapatdikatakan monumental, selain karena dokumen sejenis ini belum pernah ada dalam sejarahperadilan Indonesia, juga karena dokumen ini adalah salah satu bukti mulai diikutsertakannyapublik dalam proses pembaruan peradilan. Namun demikian disamping keberadaan Cetak Birutersebut, baik di kalangan masyarakat maupun peradilan hingga saat ini masih belum memilikitujuan dan kesepakatan mengenai konsep peradilan yang ideal yang dicita-citakan.

Seiring dengan telah berjalannya pembaruan peradilan selama sepuluh tahun, maka saat inidiarasakan perlu untuk tidak hanya memikirkan permasalahan saat ini namun juga untuk berpikirjauh ke depan. Pembaruan peradilan perlu beranjak dari usaha-usaha memecahkan problematikamasa kini menuju kepada upaya perubahan yang berlandaskan pada konsep perubahan yanglebih visioner. Baik pengadilan maupun masyarakat perlu memiliki “agenda bersama” yangmenempatkan peran pengadilan dan masyarakat secara proporsional untuk menuju pada arahanyang sejalan. Naskah ini diharapkan menjadi titik awal dalam membangun proses diskusi yanglebih kaya dan terarah untuk merumuskan tujuan peradilan ideal yang dicita citakan. Dalam jangkapanjang diharapkan lambat laun proses reformasi peradilan akan menjadi proses partisipatifyang produktif dan terarah serta memperkuat sinergi antara masyarakat dan lembaga peradilan.

Naskah ini merupakan refleksi dan ekstraksi atas pengalaman dan pembelajaran LeIP selamasepuluh tahun bergerak di bidang pembaruan peradilan. Penyusunan naskah ini juga melibatkanmasukan dari berbagai pihak yang selama ini aktif bergerak di bidang pembaruan peradilan.Naskah ini dapat tersusun atas dukungan yang konsisten dari National Legal Reform Program(NLRP). Kepada pihak-pihak yang telah memberikan dukungan berupa ide dan pemikiran,fasilitas, dana serta berbagai bentuk dukungan lainnya, LeIP mengucapkan terima kasih danpenghargaan yang sebesar-besarnya.

Dian RositaDirektur Eksekutif

Page 5: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Preface

Judicial reform has been running since 2000. In the early days of judicial reform, the historyrecorded the role of the community through various non-governmental organizations in promot-ing judicial reform process, both as watchdog and as critical partners in implementing the judi-cial reform process. In addition to non-governmental organizations, aid organization from donorcountries have also contributed in the process of the monumental changes taking place in thejudiciary. Never in the history of the Indonesian judiciary, that the Supreme Court has been will-ing to opened up to such an extent of input as well as assistance from external stakeholders.

In 2003, the Supreme Court has launched the Judicial Reform Blueprints. LeIP intensively in-volved in the process of preparing the blueprint of court reform. These blueprints are monumen-tal, not only because a document of this kind is unprecedented in the history of the Indonesianjudiciary, but also because this document is one of the inclusive evidence of public participationin the process of judicial reform. However, besides the existence of such a blueprint, both societyand the judiciary still not have a clear objective and an agreement on the concept of the ideal ofjudiciary.

Reflecting from ten years of the judicial reform process, LeIP believes that it is necessary to notonly think about current problems but also to think far ahead. Judicial reform needs to shift fromattempts to solve the present problem, to other approach that based on a more visionary conceptof reform. Both the courts and the public should have a “common agenda” that puts the role of thecourts and society in proportion for implementing the reform recommendations. This documentis expected to be a starting point in building a richer discussion process and directed to formu-late a goal that aiming for the ideal of concept of Indonesian judiciary. In the long term it is ex-pected that the judicial reform process will be a productive and focused participatory processand strengthen synergies between the public and the judiciary.

This concept is an extraction of reflection and learning experiences of LeIP for ten years in pro-moting the judicial reform. The drafting of the concept also involve input from various partieswho had been actively engaged in judicial reform. This concept is made possible consistent sup-port from the National Legal Reform Program (NLRP). LeIP would also like to thank and expressour greatly appreciation to the parties who have provided support in the form of ideas andthoughts, facilities, funds and various other forms of support.

Dian RositaExecutive Director

Page 6: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Daftar Isi

Kata Pengantar ............................................................................................................................................... i

Daftar Isi ........................................................................................................................................................ ii

Ringkasan.......................................................................................................................................................... v

1. Pendahuluan .............................................................................................................................................. 1

1.1. Latar Belakang ........................................................................................................................................... 11.2. Ruang Lingkup Kajian ............................................................................................................................ 3

2. Hakekat Fungsi Peradilan....................................................................................................................... 4

3. Analisis Permasalahan ............................................................................................................................ 7

3.1. Pergeseran Fungsi Kasasi .................................................................................................................... 73.2. Lemahnya Peran Pengadilan sebagai Lembaga Penyelesaian Sengketa ............................ 12

4. Rekomendasi Perubahan ..................................................................................................................... 16

4.1. Pembatasan Upaya Hukum Kasasi dan PK...................................................................................... 164.2. Pembentukan Sistem kamar ................................................................................................................ 22

4.2.1.Sistem Kamar pada Mahkamah Agung............................................................................................. 234.2.2.Sistem Kamar pada Peradilan Umum .............................................................................................. 264.2.3.Sistem Kamar pada Peradilan Agama ............................................................................................. 27

4.3. Revitalisasi & Reposisi Fungsi Kasasi Demi Kepentingan Hukum ...................................... 294.4. Pemisahan Peradilan Militer dari Mahkamah Agung ................................................................ 334.5. Restrukturisasi Peradilan Tata Usaha Negara .............................................................................. 354.6. Pembentukan Pengadilan Acara Cepat (Small Claim Court) ................................................... 374.7. Perombakan Sistem SDM Hakim menuju pada Sistem Terdesentralisasi ........................ 41

Page 7: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Contents

Preface ........................................................................................................................................................... ii

Contents .......................................................................................................................................................... iv

Summary ......................................................................................................................................................... vi

1. Introduction ............................................................................................................................................... 1

1.1. Background................................................................................................................................................. 11.2. Scope of Study ........................................................................................................................................... 3

2. The Fundamentals Functions of the Judiciary ................................................................................ 4

3. Analysis of Issues ...................................................................................................................................... 7

3.1. The Shifting Function of Cassation ................................................................................................... 73.2. The Weakness of the Judiciary as an Institution to Resolve Disputes ................................. 12

4. Recommendation of Improvements .................................................................................................16

4.1. Restricting cassation and revision ................................................................................................... 164.2. Creation of a chamber system............................................................................................................. 22

4.2.1.Chamber system in the Supreme Court ......................................................................................... 234.2.2.Chamber system in the State Court ................................................................................................... 264.2.3.Chamber system in the Religious Court .......................................................................................... 27

4.3. Revitalisation & repositioning of Cassation in the Interest of Law .................................... 294.4. Separation of Military Court from the Supreme Court ............................................................ 324.5. Restructurisation of the Administrative Court ........................................................................... 344.6. Creation of a Small Claims Court ....................................................................................................... 364.7. Decentralisation of the Judicial Human Resources System ............................................... 39

5. Concluding Notes .......................................................................................................................... 43

Page 8: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Ringkasan

Proses reformasi peradilan telah berjalan selama sepuluh tahun dengan berbagai keberhasilanantara lain perbaikan sistem informasi, penyatuan atap, peningkatan gaji dan remunerasi danseterusnya namun hingga persoalan utama peradilan tetap tidak terpecahkan. Akar permasalahanyang melingkupi Mahkamah Agung adalah tingginya tumpukan perkara yang berdampak padamenurunnya kualitas dan inkonsistensi putusan. Rendahnya kepercayaan masyarakat terhadappengadilan sebagai lembaga penyelesaian sengketa dapat dilihat ditandai dengan rendahnyajumlah perkara yang masuk pada pengadilan tingkat pertama. Untuk itu reformasi peradilan harusditujukan pada upaya mengembalikan fungsi MA sebagai pengadilan tertinggi dalam menjagakesatuan hukum, dan revitalisasi fungsi pengadilan untuk menyediakan pengadilan yangterjangkau bagi masyarakat.

Agar MA dapat menjalankan fungsinya menjaga kesatuan hukum maka perlu dilakukan upayasistematis untuk menekan jumlah perkara yang masuk ke tingkat kasasi melalui pembatasanperkara kasasi. Selain itu MA perlu membentuk sistem kamar untuk memastikan terjaganyakualitas dan konsistensi putusan sehingga fungsi menjaga kesatuan hukum dapat berjalan efektif.Andaikata lahir suatu putusan pengadilan mengandung kesalahan penerapan hukum, dan parapihak tidak mengajukan upaya hukum maka instrumen Kasasi Demi Kepentingan Hukum (KDKH)harus direvitalisasi kembali sehingga memungkinkan MA untuk dapat melakukan koreksi atasputusan tersebut. Untuk efisiensi dalam pengelolaan perkara maka direkomendasikan agarpengadilan militer menjadi puncak pengadilan tersendiri yang terpisah dari pengadilan biasa.Selain itu juga direkomendasikan untuk melakukan penyederhanaan proses pada perkara TataUsaha Negara (TUN) sehingga dampak putusan TUN dapat berlaku efektif.

Dalam rangka meningkatkan akses masyarakat pada pengadilan maka perlu dibentuk PengadilanAcara Cepat atau small claim court yang memiliki proses sederhana dan memiliki kemudahanakses secara fisik, biaya rendah, informalitas proses dan kapasitas untuk mengelola hubunganantara pihak yang bersengketa. Upaya lain yang ditawarkan untuk meningkatkan akses keadilanadalah melalui desentralisasi pengelolaan sumber daya manusia khususnya hakim dimanarekrutmen hakim dilaksanakan di tingkat regional dan sistem mutasi terbatas secara regional

Page 9: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Summary

Judicial reform in Indonesia has undergone ten years of process, with various successes, includ-ing improvement of information systems, unification of services under one roof, improvement ofsalary and remuneration, and other improvements, however, the main issues related to judicialissues remain unsolved. The root of the problems surrounding the Supreme Court is the seriousbacklog of cases resulting in declining quality of cases and inconsistency of decisions. The lowlevel of trust of the society towards the judiciary as an institution to resolve disputes is shown inthe low number of cases that enter the courts of first instance. As a result, judicial reform has tofocus on attempts to restore the Supreme Court’s function as the highest court in maintainingunity of law and revitalise the function of the judiciary to provide accessible justice for the soci-ety.

In order that the Supreme Court can implement its function to maintain unity of law, systematicattempts need to be done to restrict the inflow of cassation requests through restriction of cassa-tion. Besides, the Supreme Court needs to implement a chamber system to ensure the qualityand consistency of decisions, so the function of maintaining legal unity can be performed effec-tively. If there is a lapse or error in a judgement, and parties do not contest the decision, theinstrument of Cassation in the Interest of Law has to be revitalised, to allow the Supreme Courtto correct the decision. For efficiency in case management, it is recommended that the militarycourt be separated from the regular court system. It is also recommended to simplify the pro-cesses in administrative cases, so the impact of administrative court decisions can become moreeffective.

In order to improve the society’s access to justice, small claim courts need to be created, in whichsimple process and ease of physical access, low cost, informality of the process and capacity tomanage the relations of the disputing parties characterise the court. Another alternative to im-prove access to justice is by decentralisation of human resources management, especially forjudges, in which recruitment of judges is done at the regional level, and a limited transfer systemis applied on a regional basis.

Page 10: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

1

1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Proses reformasi peradilan telah berjalanselama sepuluh tahun sejak tahun 2000.Setelah melalui serangkaian kajian dan lobby,pada tahun 2003 Mahkamah Agung melun-curkan Cetak Biru Pembaruan Peradilan.Semenjak tahun 2003, berbagai programpembaruan peradilan sebagai bagian dariimplementasi Cetak Biru telah dilaksanakandengan melibatkan berbagai unsur baik dariinternal peradilan, kontribusi Pemerintah danlembaga Parlemen, upaya berbagai LSMmaupun sumbangan pemikiran dan dana dariberbagai lembaga internasional. Berbagaikeberhasilan telah dicapai, antara lain kebi-jakan yang menjamin hak masyarakat atasinformasi pengadilan, peningkatan gaji danremunerasi hakim, dan seterusnya. Namundemikian, meski beberapa keberhasilan telahdicapai tetap saja kinerja pengadilan masihtetap jauh dari harapan masyarakat. Tingkatkepercayaan masyarakat terhadap pengadilanpun belum dapat dikatakan membaik. Peng-adilan tetap dibayangi permasalahan tumpu-kan perkara, kualitas putusan yang lemah,inkonsistensi putusan, intervensi kepen-tingan yang membawa dugaan adanya KKN,akuntabilitas keuangan dan pengelolaanmanajemen pengadilan yang masih lemah.

Permasalahan di atas menjadi semakin kroniskarena MA sebagai pengadilan tertinggi

1. Introduction

1.1. Background

The judicial reform process has occurred forten years since 2000. After a series of studiesand lobbying processes, in 2003, the SupremeCourt has released a Blueprint of Judicial Re-form. Since that year, various judicial reformprograms as part of the implementation of theblueprint have been implemented, involvingvarious elements from the judiciary itself, thegovernment and the parliament, non-govern-mental organisations and thoughts and fundsfrom various international institutions. Vari-ous successes have been achieved, includingpolicies guaranteeing the society’s right tocourt information, improvement of judges’salaries and remunerations, and other suc-cesses. However, despite these successes, ju-dicial performance remains far from satisfac-tory. The society’s level of trust towards thejudiciary remains low and not improving. Thecourts are shadowed by issues of case back-logs, weak quality of decisions, inconsistencyof decisions, intervention from interested par-ties resulting in allegations of corruption, col-lusion and nepotism, and weak financial ac-countability and judicial management.

These issues become more chronical as theSupreme Court, as the highest level of judi-

Page 11: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

2

hingga saat ini terus dibanjiri perkara. Tanpaadanya upaya pembatasan perkara yang efektifditambah dengan rendahnya inkonsistensi dankualitas putusan, maka mayoritas perkara yangditangani di tingkat bawah – kecuali tindakpidana ringan tertentu – mengalir ke MA takterbendung. Selain itu MA juga harus menanganitanggung jawab administrasi, keuangan danorganisasi sebagai imbalan dari “independensi”melalui penyatuan atap yang diperjuangkannyasejak tahun 1970. Dengan kondisi seperti inimaka bukan hanya pembaruan peradilan men-jadi sesuatu yang mustahil dilakukan, namundikhawatirkan dalam waktu yang tidak terlalulama maka MA akan menjadi sama sekali tidakdapat berfungsi.

Hal lain yang menarik untuk dilihat dalam arusperkara di pengadilan adalah bahwa tumpukanperkara di MA ternyata bukan bersumber daribesarnya perkara yang masuk di tingkat per-tama. Pengadilan tingkat pertama ternyata justrumenangani perkara dalam jumlah yang kecil.Terlepas dari permasalahan pilihan penyelesaiansengketa lain di luar pengadilan yang mungkindipergunakan oleh masyarakat, namun hal inijelas menunjukkan bahwa masyarakat tidakmemilih pengadilan sebagai lembaga penye-lesaian sengketa dengan berbagai alasan. Hal inisekaligus memperlihatkan bahwa permasalahanakses menjadi suatu hal penting yang harusmendapatkan perhatian.

ciary, is currently swamped with cases. Withoutan effective method of restricting the inflow ofcases, and lacking consistency and quality of de-cisions, most of the cases at the lower court lev-els – except certain misdemeanour cases – endup at the Supreme Court without any checks.Besides, the Supreme Court also has to manageadministration, finances and organisation, as aresult of its ‘independence’ since the 1970s, whenit obtained its wished-for ‘one-roof system’. Insuch a condition, not only judicial reform be-comes impossible, but the Supreme Court is ex-pected to become paralysed in a short period oftime.

It is also interesting to note that the amount ofcase backlogs in the Supreme Court is not causedby the large number of cases at the court of firstinstance. The court of first instance in facthandled only a relatively small number of cases.This shows that not only other, alternative, dis-pute resolution methods outside the judicial sys-tem may be used by the society, but also the so-ciety do not prefer the court system due to vari-ous reasons. This also shows that the problem ofaccess is also important enough to demand at-tention.

Due to the large number of issu es being facedby the judiciary, during the democratic period,when the judicial body’s role in governance is ex-

Page 12: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

3

Demi melihat berbagai permasalahan yangdialami pengadilan maka di masa demokrasidimana peran Pengadilan dalam konstalasiketatanegaraan semakin meningkat, maka upayapembenahan peradilan perlu dilakukan denganmemahami permasalahan secara lebih sistemik.Pembaruan peradilan harus beranjak dari isu-isuteknis yang bersifat parsial dan kurang memilikidampak strategis: Penuntasan tunggakan perkaratidak akan pernah berhasil tanpa ada upayapembatasan perkara yang efektif dengan mem-perkuat fungsi Pengadilan Tinggi; Konsistensidan kualitas putusan tidak akan dapat dicapai bilaMA harus menangani 10.000 perkara pertahun;Pengadilan yang cepat dengan biaya terjangkausebagaimana menjadi asas peradilan tidak akanterwujud bila birokrasi dan proses peradilanmasih tetap panjang dan kompleks; dan sete-rusnya. Pembaruan peradilan di masa mendatangharus bertujuan untuk mencapai suatu sistemperadilan yang ideal yang dapat meresponberbagai kebutuhan masyarakat Indonesiasecara komprehensif. Tujuan bersama tersebutperlu secara serius mulai dipikirkan sebagaibagian dari agenda bersama Negara dan masya-rakat.

Penyusunan Konsep Ideal Pengadilan Indonesiaini juga diharapkan dapat memberikan kontri-busi bagi reformasi peradilan yang diper-juangkan oleh masyarakat dan Organisasi NonPemerintah (Ornop). Selama ini berbagai Ornopyang aktif mendorong pembaruan peradilantidak pernah secara proaktif meluncurkan

pected to improve, attempts to improve the ju-diciary need to be done first by understandingthe issues in a systematic manner. Judicial reformhas to shift from partial, technical issues with lowstrategic impacts: resolution of the case backlogwill never be satisfacto ry without an attempt torestrict cases in an effective manner by strength-ening the function of high courts; consistencyand quality of decisions cannot be reached if theSupreme Court has to handle up to ten thousandcases in a year; a prompt process with a low casecost as demanded by the principles of justice can-not be realised if the bureaucracy and processremain lengthy and complex; and so on. Judicialreform in the future has to be directed to createan ideal system of judiciary, which can respondto the various needs of the Indonesian society, ina comprehensive manner. The common goalsneed to be seriously considered as part of thecommon agenda of the state and society.

The creation of the ideal Indonesian judiciaryconcept is also expected to contribute to judicialreform, which is being advanced by the societyand non-governmental organisations. To date,various non-governmental organisations activein pushing for judicial reform have neverproactively suggested their ideal concept of ju-diciary. This results in difficulty of articulatingtheir aspirations and in participating in the ju-

Page 13: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

4

konsep peradilan yang ideal. Hal ini menye-babkan timbulnya kesulitan dalam mengarti-kulasikan aspirasi mereka dan untuk turut ambilbagian dalam proses pembaruan peradilan.Naskah ini pada tataran strategis diharapkandapat menggambarkan tujuan yang lebih jelaskepada masyarakat dan ornop untuk memper-juangkan peradilan yang dicita-citakan.

Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Indepen-densi Peradilan (LeIP) telah terlibat dalam prosespembaruan peradilan sejak tahun 2000. Beref-leksi dari pengalaman, pengamatan, hasil kajiandan advokasi kebijakan yang kami lakukansepanjang sepuluh tahun terakhir maka LeIPbermaksud merumuskan pemikiran-pemikiranmengenai konsep ideal pengadilan sebagaimanatertuang dalam naskah ini.

1.2. Ruang Lingkup Kajian

Permasalahan yang dihadapi oleh pengadilanmeliputi banyak aspek yang secara umumterdiri dari aspek pelaksanaan kewenanganteknis dan aspek administrasi. Namun demi-

kian ruang lingkup dari naskah ini akan di-

batasi pada dua area utama, yaitu berkenaan

dengan revitalisasi fungsi MA sebagai peng-

adilan tertinggi untuk menjaga kesatuan

hukum, dan pada revitalisasi fungsi peng-

adilan untuk menyediakan pengadilan yang

terjangkau bagi masyarakat melalui upaya

untuk mendorong perbaikan akses pada

keadilan. Dua area ini kami nilai sebagai bagianterpenting yang dapat berperan sebagai jangkar

dicial reform process. This document is intendedat the strategic level to provide a clearer ideal tothe society and non-governmental organisationsin their struggle to create a better judiciary.

The Indonesian Institute for Independent Judi-ciary (LeIP) has been involved in judicial reformin 2000. Reflecting from experience, observation,study results and policy advocacy from the lastten years, LeIP intends to compile thoughts aboutthe ideal concept of judiciary in the followingdocument.

1.2. Scope of Study

The problems faced by the judiciary include vari-ous aspects that can be classified into implemen-tation of technical authorities, and administra-tion. However, the scope of this document will

be focused on two main areas, namely those

related to the revitalisation of the function of

the Supreme Court as the highest court in

maintaining unity of law, and revitalisation of

the function of court to provide accessible

justice for the society through attempts to

improve access to justice. These two areas areconsidered as the most important part, anchor-ing various recommendations of reform towardsthe expected, idealised Indonesian judiciary.

This study will also not focus on issues related totechnical, administrative consequences, except

Page 14: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

5

bagi berbagai rekomendasi perubahan menujupada peradilan ideal Indonesia yang dicita-citakan.

Kajian ini juga tidak akan banyak membahaspermasalahan yang menyangkut konsekuensiteknis administratif kecuali yang beririsan secaralangsung pada pada upaya untuk melakukanrevitalisasi fungsi dan kewenangan teknisperadilan. Upaya untuk merevitalisasi danmeletakkan kembali fungsi dan kewenanganpengadilan secara ideal, merupakan faktor kunciperubahan peradilan karena fungsi dan kewe-nanganlah yang merupakan payung bagi reko-mendasi perubahan berbagai fungsi pendukungperadilan lainnya.

2. Hakekat Fungsi Peradilan

Pembaruan peradilan harus dilakukan dalamkerangka merevitalisasi fungsi pengadilan yanghakiki. Tujuan dari penyelenggaraan peradilanadalah memutus suatu sengketa/menyelesaikansuatu masalah hukum yang timbul karena adanyakonflik kepentingan/pendapat. Namun demikianMahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggimemiliki fungsi yang khusus. Fungsi MA untukmenyelenggarakan pengadilan pada tingkatkasasi ini telah secara tegas diatur sejak tahun1947 yang memberikan kewenangan MahkamahAgung untuk melaksanakan “pengawasan atasbadan-badan kehakiman dalam hal melakukan

those direcly related to attempts to revitalise thefunctions and technical authorities of the judi-ciary. Attempts to revitalise and restore functionsand authorities of the judiciary are key factorsto judicial reform, as they are the basis for rec-ommendations for the changes in various func-tions supporting the judiciary.

2. The Fundamentals Functions of the Ju-diciary

Judicial reform has to be done in the frameworkof revitalising the fundamental functions of thejudiciary. The goal of the judiciary is to pro-nounce decisions on a dispute or resolve a legalissue arising from conflict of interest or opinions.However, the Supreme Court, being the highestlevel of court, has special functions. The SupremeCourt’s functions to exercise judicial powers inthe cassation level have been clearly laid out since1947, when the Supreme Court was given au-thority to “monitor judicial bodies in implement-ing justice in Indonesia.”1 Thus, to resolve dis-putes in the implementation of law, the Supreme

1 Article 2 (1) of Law No. 7 of 1947 on the Organisation and Authorityof the Supreme Court and Attorney General’s Office.

2 Mr. M.H. Tirtaamidjaja, Kedudukan Hakim dan Djaksa dan AtjaraPemeriksaan Perkara Pidana dan Perdata, Djakarta: Penerbit Djambatan, 1953, p.100. It is explained that: “It is not adequate to guarantee perfect unbiasedtreatment for all citizens, if it is only declared by Law that is binding everywhereand for everyone in the territory of the Nation, if not implemented such, so thatthe Law, that on paper treats everyone similarly, is also implemented andinterpreted similarly and precisely. This goal will not be achieved, as long asvarious courts for various parts of the Nation, are independent from each otherand independent from a higher court with the authority to examine and judge.Thus, there is the need for a highest panel of judges, who will monitor all lowerjudges in the Nation and give the last word of ruling on the appropriateness oftheir decisions, which is the only way to guarantee and maintain the unity of thejudiciary, which is expected and needed.”

Page 15: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

6

keadilan di seluruh Indonesia”.1 Dengan demikianuntuk menyelesaikan sengketa dalam penerapanhukum dalam rangka melaksanakan keadilanmaka Mahkamah Agung diperlukan untukmenjamin adanya acuan penyelesaian sengketa(pendapat hukum) yang berlaku umum dankonsisten.2

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa peng-adilan di tingkat kasasi pada dasarnya bertujuanuntuk menjaga kesatuan hukum, baik melaluipengawasan penerapan hukum pada pengadilanyang lebih rendah, maupun melalui penafsiranhukum yang diberlakukan sama di seluruhwilayah Indonesia. Fungsi menjaga kesatuanhukum yang dimiliki Mahkamah Agung menun-tut MA untuk dapat mengawasi penerapan danpenafsiran hukum oleh pengadilan tingkat bawahmelalui putusan kasasi.

Tirtaamidjaja, Hakim Agung pada MA RI tahun1953, menyebutkan dengan sangat gamblangbahwa:

“…kasasi itu pada asasnya tidak diadakanuntuk kepentingan pihak-pihak yang ber-perkara – meskipun mereka benar berke-pentingan dalam hal itu – tetapi untuk kepen-tingan kesatuan pemakaian hukum.3

Court is required to guarantee the existence of abenchmark in dispute resolution (through legalopinions) that are universal and consistent.2 Inshort, it can be said that the court at the cassa-tion level is intended to maintain unity of law, ei-ther through monitoring the application of lawat the lower courts, or through interpretation oflaw that are universally applied in all parts of In-donesia. The Supreme Court’s function of main-taining legal unity demands the body to maintainthe implementation and interpretation of law ofthe lower courts, through cassation.

Tirtaamidjaja, a Supreme Judge of the SupremeCourt in 1953, stated very clearly that:

“… in essence, cassation is not done for the

interest of the disputing parties – although

they may indeed have interests in the process

– instead, it is intended for the purposes of

unity of application of law.”3

Thus, the function of examination in cassationis intended to check whether the judges at thelower court have correctly applied law in thecases.4

Besides the Supreme Court, which is the highest

3 Tirtaamidjaja, MH., Kedudukan Hakim dan Djaksa dan Atjara-AtjaraPemeriksaan Perkara Pidana dan Perdata, 1953, Jakarta: Djambatan.

4 This is strengthened by the results of the comparison of the profilesof the Supreme Courts of Netherlands, France, Germany and Australia. Informationof the Supreme Court’s main duty are obtained from the web sites of the DutchHoge Raad (www.rechtspraak.nl), the French Cour de Cassation(www.courdecassation.fr), the German Bundesgerichtof(www.bundesgerichthof.de), and the Australian High Court (www.hcourt.gov.au).

1 Pasal 2 ayat (1) UU No. 7/1947 tentang Susunan dan KekuasaanMahkamah Agung dan Kejaksaan Agung.

2 Mr. M.H. Tirtaamidjaja, Kedudukan Hakim dan Djaksa dan AtjaraPemeriksaan Perkara Pidana dan Perdata, Djakarta: Penerbit Djambatan, 1953,hlm. 100. Dijelaskan secara rinci bahwa: “Tidaklah tjukup untuk mendjaminperlakuan sempurna jang tidak memihak bagi semua penduduk, djika hanjaditetapkan oleh Undang-undang jang mengikat untuk dimana-mana dan untuksemua orang di seluruh wilajah Negara, kalau tidak pula diusahakan supajaUndang-undang itu, jang diatas kertas sama bagi semua orang, djugadiselenggarakan dan ditafsirkan dengan tjara jang sama dan tertib. Tudjuan initidak akan tertjapai, selama berbagai-bagai pengadilan untuk berbagai-bagaibagian Negara, jang masing-masing satu sama lain bebas sama sekali dari satukekuasaan jang lebih tinggi mengadili. Oleh sebab itulah terasa kebutuhan akansuatu madjelis pengadilan tertinggi, jang akan mengawasi semua Hakim rendahandari Negara dan memberi keputusan terachir tentang tepatnja keputusan merekaitu, sesungguhnja satu-satunja djalan untuk mendjamin dan mempertahankankesatuan peradilan jang sangat dikehendaki dan diperlukan.”

3 Tirtaamidjaja, MH., Kedudukan Hakim dan Djaksa dan Atjara-AtjaraPemeriksaan Perkara Pidana dan Perdata, 1953, Jakarta: Djambatan.

Page 16: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

7

Oleh karena itu pemeriksaan dalam perkarakasasi fungsinya adalah untuk melihat apakahHakim pada pengadilan yang lebih rendah telahmenerapkan hukum dengan tepat.4

Selain Mahkamah Agung yang menjadi puncakbadan peradilan, kekuasaan kehakiman jugadiemban oleh badan-badan peradilan yangberada di bawah Mahkamah Agung. Badan-badan peradilan di bawah Mahkamah Agungpada dasarnya mengemban tugas pokok danfungsi memeriksa, mengadili, dan memutussuatu perkara hukum.5 Dari karakter pelak-sanaan tugas pokok dan fungsi tersebut, secaraumum badan-badan peradilan dapat dibedakanmenjadi pengadilan tingkat pertama dan peng-adilan tingkat banding. Pengadilan TingkatPertama pada dasarnya bertugas menyelesaikansuatu sengketa atau memutuskan suatu masalahhukum pada tingkat pertama. Sedangkan Peng-adilan Tingkat Banding berfungsi sebagaipengadilan yang memeriksa, mengadili, danmemutus suatu perkara hukum pada tingkatulangan atau tingkat banding. Lembaga bandingberguna untuk memberi kesempatan kepadapihak yang berkepentingan untuk mendapatsuatu putusan yang lebih memuaskan, karena adakemungkinan kekhilafan hakim pada tingkatpertama menyebabkan keuntungan atau keru-gian salah satu pihak.6

body in the judiciary, judicial powers are also heldby other judicial bodies under the SupremeCourt. These bodies have the basic authority andfunction of examining, judging and deciding le-gal cases.5 Based on the character of authorities,duties and functions, judicial bodies can be clas-sified as courts of first instance and appellatecourts. Courts of first instance are authorised toresolve a dispute or decide a legal problem at thefirst instance. The appellate courts function as acourt to examine, judge and decide a legal prob-lem at the second instance or the appeal level. Theappellate body is useful to provide an opportu-nity for interested parties to obtain a more sat-isfactory decision, due to the possibility of errorsin the judgement of judges at the first instance,which benefits or harms the interests of one ofthe parties.6

This function is closely related to the capabilityof courts to become a forum for dispute resolu-tion that is preferred by the society. If the Su-preme Court is directed towards a national per-spective and made responsible to maintain unityof law, the courts of first instance (and to a smallerextent, appellate courts) have to accommodatethe needs of justice seekers at the local level.

5 Article 25 of Law No. 48 of 2009 on Judicial Authority.6 Mr. M.H. Tirtaamidjaja, Kedudukan Hakim dan Djaksa dan Atjara

Pemeriksaan Perkara Pidana dan Perdata, Djakarta: Penerbit Djambatan, 1953,pp. 94-95. Errors or lapses of the judge are in the form of errors of jurisdiction,errors in examination and errors in the application of law.

4 Hal ini diperkuat pula dengan hasil perbandingan profil mahkamahagung di berbagai negara lain (Belanda, Perancis, Jerman dan Australia). Hal inidiperkuat pula dengan hasil perbandingan profil mahkamah agung di berbagainegara lain (Belanda, Perancis, Jerman dan Australia). Informasi mengenai tugaspokok MA didapat dari situs-situs Hoge Raad Belanda (www.rechtspraak.nl), Courde Cassation Perancis (www.courdecassation.fr), Bundesgerichtshof Jerman(www.bundesgerichtshof.de), dan High Court Australia (www.hcourt.gov.au).

5 Pasal 25 UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.6 Mr. M.H. Tirtaamidjaja, Kedudukan Hakim dan Djaksa dan Atjara

Pemeriksaan Perkara Pidana dan Perdata, Djakarta: Penerbit Djambatan, 1953,hlm. 94-95. Kekhilafan hakim, misalnya, berupa kekeliruan mengenai kewenanganmengadili, kekeliruan dalam pemeriksaan, atau penerapan hukum.

Page 17: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

8

Fungsi ini berkaitan erat dengan kemampuanpengadilan untuk menjadikan dirinya sebagai fo-rum penyelesaian sengketa yang dipilih olehmasyarakat. Jika MA diarahkan pada perspektifyang bersifat nasional dan bertanggung jawabuntuk menjaga kesatuan hukum, maka peng-adilan tingkat pertama khususnya (meskipunbeban ini juga ada pada pengadilan tingkat band-ing) justru perlu mengakomodasi kebutuhanpencari keadilan di tingkat lokal.

Untuk dapat merevitalisasi fungsi pengadilanmaka dalam kajian ini akan diidentifikasi perma-salahan utama yang saat ini melanda pengadilanyang menyebabkan tidak berfungsinya kewe-nangan pengadilan secara efektif. Dengandemikian diharapkan kajian ini dapat berman-faat untuk dirumuskan arah dan gagasan pem-baruan secara lebih akurat.

3. Analisis Permasalahan

3.1. Pergeseran Fungsi Kasasi

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya fungsipengadilan kasasi untuk menjaga kesatuanpenerapan hukum, menimbulkan adanya kon-sekuensi kewenangan bagi MA untuk memeriksadan mengawasi apakah penerapan hukum dariputusan pengadilan bawahan sudah tepat (judex

jurist) sehingga menghindarkan terjadinyainkonsistensi. Namun dalam kenyataannya,pijakan MA dalam memutus perkara telahbergeser dari masalah judex jurist ke masalahjudex factie. MA lebih memilih untuk memastikan

In order to revitalise the function of courts, thisstudy will identify main issues that affect the ju-diciary, which causes ineffectiveness in the func-tioning of judicial authorities. Thus, it is expectedthat the study will be beneficial in providing ac-curate direction and ideas for judicial reform.

3. Analysis of Issues

3.1. The Shifting Function of Cassation

As has been explained earlier, the function of thecourt of cassation to maintain unity of law resultsin the consequence of the Supreme Court’s au-thority to examine and monitor whether appli-cations of law in the lower courts are appropri-ate (judex jurist) so as to prevent inconsistencies.However, the Supreme Court has shifted to ju-

dex factie in pronouncing decisions, focusing onthe resolution of individual legal cases, insteadof maintaining national legal unity for the sakeof justice and rule of law for the many.

The function of the Supreme Court as the high-est level of judiciary, which should maintain unityof law, has lost its meaning. Inconsistency of de-cisions does not only occur at the lower courts oflevel, but also occur within the Supreme Courtitself, with opposing rulings for similar problems.The main factor resulting in the inconsistency isthe high number of cases entering the SupremeCourt, making it difficult to create a map of legal

Page 18: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

9

penyelesaian permasalahan hukum melaluiperkara individual dibandingkan dengan menja-ga kesatuan penerapan hukum secara nasionaldemi meningkatkan kepastian dan keadilan bagiorang banyak.

Fungsi Mahkamah Agung sebagai pengadilantertinggi yang seharusnya menjaga kesatuanhukum telah kehilangan maknanya. Inkonsis-tensi putusan bukan hanya terjadi pada peng-adilan tingkat bawah, namun MA sendiri menge-luarkan putusan yang saling berbeda pendapatuntuk permasalahan yang serupa. Faktor utamayang menyebabkan inkonsistensi antara lainkarena tingginya jumlah perkara yang masuk keMA sehingga sulit bagi MA untuk melakukanpemetaan permasalahan hukum dan mengawasikonsistensi putusan. Jumlah perkara yang tinggijuga memberikan justifikasi bagi MA dalammenggunakan semua sumber daya Hakim Agunguntuk memeriksa perkara dengan target utamapenuntasan tunggakan, tanpa melihat keahlianatau latar belakang hakim.

Bila kita berefleksi pada perjalananan sejarah,maka terlihat bahwa MA melalui penafsiran atasUndang-undang secara gradual telah menu-runkan dan menghilangkan hambatan-hambatanprosedural yang menahan arus perkara ke MAuntuk memperkuat kontrol MA atas pengadilantingkat bawah. Akibatnya hingga saat ini hampirsetiap perkara bisa dimintakan kasasi ke MAsehingga memompa arus perkara ke tingkatkasasi. Sistem yang longgar itu menimbulkanmentalitas apabila seseorang kalah di pengadilannegeri, maka ia akan mengajukan banding,

issues and monitor consistency of decisions. Thelarge number of cases also justifies the SupremeCourt in making use of all supreme judges to ex-amine cases for the sake of resolving the back-log of cases, without regard of the competenciesor backgrounds of the judges.

If we reflect on history, it can be seen that theSupreme Court, through its interpretation of laws,has gradually reduced and eliminated proceduralrestrictions that prevent a wave of cases to theSupreme Court, in order to strengthen its controlof the lower courts. As a result, in almost all cases,cassation can be requested to the Supreme Court,which results in a large number of cases at thecassation level. This system results in a mental-ity among parties that if one loses a case at thecourt of first instance, one will appeal, requestcassation or even ask for revision of decision.This is the main cause of the flood wave of cases,which is now the main institutional problem inthe Supreme Court. The following graph showsthe number of cases entering the Supreme Courtbetween 2005 and 2008:7

7 Processed by LeIP from 2006, 2007 and 2008 Supreme Court AnnualReports.

At present, the Supreme Court handles about10,000 cases in a year, almost as many as thenumber of cases decided by all appellate courts

Page 19: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

10

kasasi, bahkan sampai Peninjauan Kembali (PK).Hal inilah yang menyebabkan membanjirnyaperkara yang kini menjadi masalah institusionalutama di MA. Berikut adalah tabel jumlah perkarayang masuk ke MA dari tahun 2005 hingga tahun2008:7

in Indonesia. The trend is shown in the followingtable:8

Pada saat ini MA menangani kurang lebih 10.000perkara per tahun atau sama dengan jumlah rata-rata perkara yang diputus Pengadilan Bandingseluruh Indonesia per tahunnya. Jika kita melihatdalam ilustrasi angka, maka kecenderunganperkara banding dapat kita lihat dalam tabelberikut ini:8

This fact indirectly shows that about 80% ofcases that are appealed will end up at the Su-preme Court. This results in the large number ofcases entering the Supreme Court, and alsoshows the fact that the appellate courts in the 33provinces, each of which consist of 4 areas, havea workload similar to the Supreme Court’s. Theweakness of the lower courts is also one of thefactors resulting in the large number of cassa-tion requests.

The high number of cases entering the SupremeCourt results in a correspondingly high numberof backlogs. Although the Supreme Court hastried various attempts to resolve as many casesas possible, in fact, there is a large backlog of casesremaining. The number of cases in the SupremeCourt between 2005 and 2008 is shown on thefollowing graph:9

Perbandingan Jumlah Perkara Putus di Pengadilan Banding

dan Perkara Masuk ke Mahkamah Agung

No. Tahun Jumlah Perkara Putusdi Pengadilan

Banding

Jumlah PerkaraMasuk di MA

1. 2006 10.460-2. 2007 9.51612.258

3. 2008 11.33813.453

Fakta ini secara tidak langsung menunjukkanbahwa kurang lebih 80% mayoritas perkara yangmasuk ke Pengadilan Tingkat Banding hampirpasti dimintakan upaya hukum ke MA. Hal iniberdampak pada tingginya jumlah perkara yangmasuk ke MA dan sekaligus menunjukkan faktabahwa pengadilan banding pada 33 provinsi

7 Diolah oleh LeIP dari data Laporan Tahunan Mahkamah Agung RItahun 2006, 2007 dan 2008

8 Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI, op cit.

A comparison of the number of decisions in the appellate courts

and the number of new cases at the Supreme Court

No. Year Number of decisionsin the appellate

courts

Number of new casesat the Supreme Court

1. 2006 10.460-

2. 2007 9.51612.258

3. 2008 11.33813.453

8 Supreme Court Annual Report, op. cit.9 Ibid.

Page 20: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

11

yang masing-masing terdiri dari 4 lingkunganperadilan, memiliki beban kerja yang hampirsama dengan beban perkara pada MahkamahAgung. Kondisi lemahnya fungsi pengadilantingkat bawah juga menjadi salah satu faktorpemicu naiknya perkara untuk naik ke tingkatkasasi.

Tingginya arus perkara masuk ke MA berdampakpada tumpukan perkara yang cukup besar di MA.Meskipun MA telah melaksanakan berbagaiupaya untuk mengurangi tumpukan perkara,namun kenyataannya jumlah tumpukan perkaramasih tetap tinggi. Data tumpukan perkara yangmelanda MA dari tahun ke tahun adalah sebagaiberikut:9

In order to resolve the backlog problem and re-duce the number of new cases at the cassationlevel, in 2004, the Law of the Supreme Court (LawNo. 5) has its Article 45A10 regulating restrictionof cases. However, the regulation does not havea significant effect to the number of new casesentering the Supreme Court.11

Besides the large number of decisions from theappellate courts requesting for cassation, atpresent, there is a similar rising trend of revisionrequests to the Supreme Court. The followinggraph shows the number of requested revisions,not including cases from the Taxation Court:12

9 Ibid.10Pembatasan perkara yang tidak dapat dikasasi meliputi (a) putusan

tentang praperadilan; (b) perkara pidana yang diancam dengan pidana penjarapaling lama 1 (satu) tahun dan/atau diancam pidana denda; (c) perkara tata usahanegara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauankeputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan (d) permohonankasasi yang tidak memenuhi syarat-syarat formal.

11 Hal ini disebabkan karena jumlah perkara yang termasuk dalamkriteria pembatasan perkara, relatif kecil, selain itu juga faktor ketaatan ataudisiplin pengadilan tingkat bawah dan MA untuk mematuhi ketentuan pembatasanperkara juga cukup rendah bila ditinjau dari berbagai alasan.

Untuk mengatasi tunggakan perkara dan arusperkara yang masuk ke tingkat kasasi, pada tahun2004 diterbitkan UU Mahkamah Agung No. 5Tahun 2004 dengan Pasal 45A10 yang mengaturmengenai pembatasan perkara. Namun demikianketentuan pembatasan perkara tersebut tidakpunya dampak signifikan terhadap jumlah arusperkara yang masuk ke MA.11

10 Cases that are restricted from cassation include: a) pre-trial decisions;b) criminal cases with a sentence of 1 year or less and/or fines; c) administrativecases whose objected decision is a decision of a regional official that is applicableonly in the said region, and d) cassation requests that do not comply with formalprerequisites.

11 This is because the number of cases that fulfil the criteria of restrictionis relatively small, besides, discipline of the lower courts and the Supreme Courtitself to comply with the restriction is relatively low due to various reasons.

12 Data from 2006, 2007 and 2008 Supreme Court Annual Reports.Processed by LeIP from data of the Supreme Court Registry.

In a LeIP study involving revisions of decisionsbetween 2004 and 2007, samples of revisionsshow that most of these are requested with re-

Page 21: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

12

Selain tingginya jumlah putusan dari tingkat ban-ding yang dimintakan kasasi, pada saat inimuncul juga kecenderungan kenaikan permo-honan Peninjauan Kembali (PK) ke MahkamahAgung. Berikut adalah tabulasi jumlah pengajuanPK, tidak termasuk perkara dari PengadilanPajak:12

gard to cassation decisions.13 Besides, the mainreason of the revision request is ‘obvious errorof judgment in part of the judges’ at the cassa-tion level.

Allowing revision of decisions based on judges’lapses has more negative effects compared topositive benefits. Supreme Court rulings or cas-sation decisions lose their authority, as thismeans that the Supreme Court admits that theyhave made lapses, which directly contravenes theSupreme Court’s function as the guardian of le-gal unity. The legal considerations of the SupremeCourt in cassation decisions are difficult to fol-low, especially by the lower courts, as it is highlyprobable that the said decision will be revokedby the Supreme Court through a revision, rea-soning that the earlier panel of supreme judgeshave made a lapse. This issue becomes even morecomplex, as it is highly possible that SupremeJudges cancel each others’ rulings. In a conditionin which there are no benchmark rulings as astandard for interpretation for further cases,complexity in the interpretation of law becomesmore severe and later cases will become moreprone to inconsistencies. As a result, unity of lawcannot be achieved.

The excessive case load, from complex ones totrivial ones, has curtailed the Supreme Court fromexamining the more important cases, relevant to

12 Data pada Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI pada tahun 2006,2007 dan 2008. Diolah oleh LeIP berdasarkan data Kepaniteraan Mahkamah AgungRI.

13 Dalam kajian yang dilakukan oleh LeIP, sampel yang diambil secararandom terhadap putusan PK yang ada di www.putusan.net memperlihatkanbahwa sebagian besar permohonan PK diajukan atas putusan kasasi. Hal tersebutdapat dilihat pada data berikut ini: Pada tahun 2004 dari 25 putusan PK yangditeliti, 23 putusan merupakan PK atas Kasasi; Pada tahun 2005 dari 41 putusanPK yang diteliti, 37 putusan merupakan PK atas putusan Kasasi; Pada tahun 2006dari 39 putusan PK yang diteliti, 35 putusan merupakan PK atas putusan Kasasi;Pada tahun 2007 dari 32 piutusan PK yang diteliti, 30 putusan merupakan PKatas putusan kasasi.

Dari sejumlah sampel putusan PK yang diteliti,sebagian besar merupakan PK atas putusanKasasi.13 Selain itu mayoritas alasan pengajuanPK adalah Kekhilafan Hakim yang Nyata ditingkat Kasasi. Hal ini diteliti oleh LeIP denganmengambil sampel sejumlah putusan PK daritahun 2004 hingga 2007.

Alasan pembenaran pengajuan PK atas dasarkekhilafan hakim memiliki lebih banyak eksesnegatif dibandingkan dengan ekses positif.Putusan MA atau putusan kasasi menjadi kehila-ngan kewibawaan karena sama halnya MAmengakui bahwa MA dalam putusan tersebut

13 LeIP’s study of a random sample of revision decisions fromwww.putusan.net shows that most revision requests are made against cassationdecisions. The following data show the figures: In 2004, out of 25 studied decisions,23 are revision of cassations decisions, in 2005, the proportion is 37 of 41, in2006, the proportion is 35 of 39, and in 2007, the proportion is 30 of 32.

Page 22: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

13

telah khilaf yang mana hal ini secara langsungtelah mengingkari fungsi MA sebagai penjagakesatuan hukum. Pertimbangan hukum MAdalam putusan kasasi pada akhirnya sulit untukdapat diikuti khususnya oleh pengadilan tingkatbawah oleh karena sangat mungkin putusantersebut akan dibatalkan lagi oleh MA melaluiputusan PK dengan alasan bahwa Majelis HakimAgung yang terdahulu telah melakukan kekhila-fan. Masalah ini akan semakin menjadi rumit olehkarena sangat mungkin terjadi para HakimAgung saling membatalkan putusan dari HakimAgung lainnya. Dalam kondisi dimana tidak adaacuan putusan yang dijadikan sebagai standarpenafsiran bagi putusan perkara selanjutnyamaka hal ini hanya akan menambah kerumitanpenafsiran hukum dan memicu inkonsistensiputusan dalam perkara selanjutnya. Akibatnyakesatuan hukum tidak dapat tercapai.

Beban perkara yang berlebihan dari berbagaijenis kasus mulai dari yang kompleks hingga yangsederhana telah mengurangi ruang gerak MAuntuk memeriksa kasus-kasus penting yangrelevan dengan fungsi menjaga kesatuan penera-pan hukum. MA menjadi lebih berorientasi padapenuntasan tunggakan sehingga kualitas putusanpun menurun. Inkonsistensi putusan bukanhanya terjadi pada pengadilan tingkat bawah,bahkan MA sendiri kerap mengeluarkan putusanyang saling bertentangan untuk permasalahanyang serupa.

Kondisi tersebut semakin diperburuk dengan

its function to maintain the consistency of ruleof law. The Supreme Court becomes more ori-ented in reducing the backlog, resulting in thedecline of the quality of its rulings. Inconsistencyof decisions no longer occurs only at the lowerlevel courts; even the Supreme Court itself oftenpronounces conflicting rulings for similar cases.

The condition is worsened by lack of permanentjurisprudence, which results in the chance of con-flicting opinions between panels of supremejudges in similar cases. Furthermore, quality ofdecisions is also a serious issue, as it is highlylikely that a case is decided by a panel of supremejudges who lack the proper competence, due tothe lack of a system to advance specialisationamong judges.

At present, it can be said that there is virtuallyno other option to resolve backlogs (and in turnimprove the quality and consistency of decisions)except by drastically reducing the number ofcases examined by the Supreme Court by tight-ening the criteria for cassation and revision, anddeveloping specialisation among judges throughthe chamber system.

3.2. The Weakness of the Judiciary and anInstitution to Resolve Disputes

At present, the court system still cannot escapefrom the problem of lack of public trust with re-gard to its integrity. Other than reports and sur-veys about the public perception, an objectiveindicator of this lack of trust is the relatively low

Page 23: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

14

ketiadaan yurisprudensi tetap yang berakibatpeluang untuk saling berbeda pendapat diantaramajelis hakim agung dalam perkara sejenissemakin terbuka. Lebih jauh lagi, masalahkualitas putusan juga menjadi isu serius, mengi-ngat sangat mungkin suatu perkara diputus olehmajelis hakim agung yang tidak memiliki latarbelakang kompetensi yang tepat akibat ketia-daan sistem yang mendorong terbentuknyaspesialisasi hakim.

Pada saat ini bisa dikatakan bahwa hampir takada opsi lain untuk mengatasi tunggakan (dandengan demikian memperbaiki kualitas dankonsistensi putusan) kecuali dengan cara mengu-rangi jumlah perkara yang diperiksa oleh MAsecara signifikan dengan merumuskan kembalisecara ketat kriteria kasasi dan PK, serta mem-bangun spesialisasi hakim melalui penerapansistem kamar.

3.2. Lemahnya Peran Pengadilan sebagaiLembaga Penyelesaian Sengketa

Pengadilan hingga saat ini masih belum dapatmelepaskan diri dari permasalahan rendahnyakepercayaan publik terhadap integritas peng-adilan. Selain terlihat dari pemberitaan danberbagai survei tentang persepsi publik, indi-kator obyektif lain yang dapat dilihat adalahrendahnya perkara yang masuk ke pengadilantingkat pertama. Jika permasalahan MahkamahAgung saat ini berakar pada tingginya bebanperkara yang ditangani maka sebaliknya peng-adilan tingkat bawah justru menangani perkara

number of cases that enter courts of first in-stance. If the problem of the Supreme Court isrooted on the excessive case loads that have tobe handled, the lower courts handle too few cases.The total number of cases shows a disparity inwhich most of the cases occur in Jakarta, whilein other towns the number of cases is muchlower.

Based on 2007 to 2009 Supreme Courts annual

reports, in 2009, the courts of first instance re-

ceived 3,546,854 cases, in 2008 3,530,042 cases,

and in 2007 3,514,709 cases. These cases are

dominated by the state court system, making up

about 90%. Anatomy of cases in 2009 based on

the Supreme Court’s 2010 annual report show

that cases in the state courts including civil, crimi-

nal, human rights and corruption cases make up

for only 180,787 cases, while the 3,015,511 oth-

ers are misdemeanours or traffic violations. The

number of administrative cases makes up for

only 0.5% or 16,241 cases. Military cases make

up for only 0.1% of cases, with only 3,331 cases

in a year, while cases in the religious court make

up for 9.3% or 330,984 cases.

Although data differ on the accurate number of

traffic violation cases, it is understood that over

90% of the 3,015,511 cases are traffic violations

Page 24: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

15

dalam jumlah yang kecil. Dari total jumlah perkarayang kecil tersebut disparitas sebaran perkarasebagian besar ada di Jakarta, sedangkan di kota-kota lain jumlah perkara sangat kecil.

Berdasarkan Laporan Tahunan MA tahun 2007hingga 2009, pada periode tahun 2009 peng-adilan tingkat pertama menerima perkarasejumlah 3.546.854 perkara, dan di tahun 2008pengadilan menerima 3.530.042 perkara, se-dangkan pada tahun 2007 pengadilan menerimasebanyak 3.514.709 perkara. Perkara tersebutdidominasi oleh perkara pada lingkungan per-adilan umum sebanyak kurang lebih 90%.Ilustrasi anatomi perkara pada tahun 2009berdasarkan data pada Laporan Tahunan MAtahun 2010 memperlihatkan bahwa perkarapada peradilan umum yang meliputi perkaraperdata, pidana, HAM dan tindak pidana korupsihanya meliputi 180.787 perkara, sedangkansebanyak 3.015.511 perkara adalah perupakanperkara tindak pidana ringan dan lalu lintas.Sedangkan perkara TUN hanya 0.5% dari totaljumlah atau sejumlah 16.241 perkara. Perkaramiliter bahkan hanya sejumlah 3.331 perkaraatau 0.1% perkara per tahun. Sedangkan perkarapada pengadilan agama sejumlah 330.984perkara atau 9.3%.

Meskipun terdapat data yang berbeda bedamengenai jumlah akurat perkara lalu lintas,namun figure menunjukkan bahwa dari

cases.14 It shows that the number of disputesamong community members that end up in courtis very small in number, especially when com-pared to the population of Indonesia, whichreaches 213 million in 2010. Compare this num-ber to India, for example, which has an annualcase load of about 40 million cases.

14 Case statistics in the 2008 and 2009 Supreme Court Annual Reportsare not accurate because of data differences. In the 2009 report, one part showsthat there are 3,124,559 cases of traffic violations and misdemeanours; howeveranother part shows that there are 3,190,131 traffic violations cases. In the 2010annual report, in one part it is mentioned that misdemeanours (including trafficviolations and quick process cases) make up 3,015,511 cases, but in another partit is mentioned that the figure only includes traffic violations only. However, thepercentage of misdemeanours and traffic violations show that these cases makeup of more than 90% of all cases that enter the courts of first instance.

Besides the problem of case loads, the high costof bringing a case to court and the lengthy pro-cess are also significant problems. Even in crimi-nal cases, in which the cost is borne by the state,seekers of justice still have to spend quite a lot,including lawyer costs and other processing costs.The risk of the spending required in court is hardto predict, especially due to the difficulty in pre-dicting the time required to finish examining acase and the varying cost and fees required.

Besides, complex procedures, forms and docu-ments, intimidating courtrooms and arrogance

Page 25: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

16

3.015.511 perkara tindak pidana ringan makalebih dari 90% adalah perkara lalu lintas.14 Halini menunjukkan bahwa perkara sengketa yangdialami masyarakat yang masuk ke Pengadilanjumlahnya sangat kecil apalagi jika dibandingkandengan total penduduk Indonesia yang diper-kirakan mencapai 213 juta pada tahun 2010.Bandingkan dengan India misalnya yang jumlahperkara pertahunnya mencapai 40 juta perkara.

of judges and lawyers further dissuade peoplefrom resolving their disputes in court. This con-dition is worsened by lack of trust to the judi-ciary, which is regarded to have low integrity, sus-ceptibility to corruption, collusion and nepotism.

In the end of the process, this means that theparty who wins a case may suffer from additionallosses, as the lengthy process is sure to cost a lotof funds. Several cassation rulings studied showthat the disputed issue are often of relatively in-significant value. An example is a civil suit regard-ing ownership of two mango trees, or a disputeon the down payment of a plot of land to the valueof IDR 50 million. The amount and value of thedispute are negligible compared to the effort,time and cost that have to be spared by the par-ties, who bring these cases up to the cassationlevel.

An illustration of the access problem can also befound in an Access and Equity research by Pekka(Women Heads of Households). The research onthe interaction of the religious courts and thewomen heads of households shows that the av-erage distance to the religious court is 20 kmfrom their houses, while in general, nonspecificrespondents live 10 km away from the court. Thecost required to answer the court summons takesup between 45-90% of their total monthly in-come. The transportation cost takes about 8% of

14 Data statistik perkara dalam Laporan Tahunan MA baik tahun tahun2008 maupun 2009 tidak akurat karena terdapat perbedaan data. Pada LaporanTahun 2009, di satu bagian menunjukkan bahwa perkara pada klasifikasi perkaralalu lintas dan tindak pidana ringan mencapai jumlah 3.124.559 perkara, tetapidi bagian lain menyebutkan bahwa jumlah perkara lalu lintas (saja) mencapai3.190.131 perkara. Sedangkan dalam Laporan Tahun 2010 disebutkan di satubagian bahwa jumlah perkara tipiring (termasuk perkara cepat dan lalu lintas)mencakup 3.015.511 perkara, namun di bagian lain disebutkan bahwa jumlah3.015.511 adalah hanya perkara lalu lintas saja. Namun figur prosentase perkaratindak pidana ringan dan lalu lintas sebesar menunjukkan data secara kasarbahwa perkara lalu lintas memang mendominasi lebih dari 90% anatomi perkarayang masuk ke Pengadilan tingkat pertama.

Selain permasalahan arus perkara, permasalahantingginya biaya perkara dan lamanya prosesberperkara juga menjadi permasalahan yangperlu digarisbawahi. Bahkan dalam perkarapidana dimana biaya perkara ditanggung olehNegara, pencari keadilan tetap harus menge-luarkan biaya lain yang tidak kecil antara lainbiaya pengacara dan biaya berperkara lainnya.Resiko atas pengeluaran biaya yang diperlukandi pengadilan sulit untuk diprediksi, apalagikarena sulitnya memprediksi waktu penyele-saian suatu perkara dan bervariasinya biayaserta jasa yang diperlukan.

Page 26: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

17

Selain itu, prosedur yang kompleks, formulir dandokumen yang rumit, ruang sidang yang mengin-timidasi serta arogansi hakim dan pengacaraseringkali membuat masyarakat berusahamenghindari penyelesaian sengketa di peng-adilan. Kondisi ini diperburuk dengan ketidak-percayaan terhadap lembaga peradilan yangdinilai memiliki integritas rendah, rawan korupsi,kolusi dan nepotisme.

Pada akhir proses, jika seseorang memenangkansuatu perkara bukan berarti ia tidak mengalamikerugian apapun karena proses yang panjangtentu memakan biaya yang tidak sedikit. Bebe-rapa putusan kasasi yang diteliti memper-lihatkan bahwa pokok sengketa seringkali sangatkecil nilainya. Sebagai contoh adalah perkaragugatan perdata mengenai sengketa dua buahpohon mangga atau sengketa mengenai uangmuka pembelian tanah sebesar Rp 50 juta.Jumlah dan nilai ini sungguh tidak sepadandengan tenaga, waktu maupun biaya yang harusdikeluarkan para pihak hingga sampai ke tingkatkasasi.

Salah satu ilustrasi permasalahan mengenaiakses juga dapat dilihat dalam penelitian yangdilaksanakan oleh PEKKA (Perempuan KepalaKeluarga) tentang Access & Equity. Penelitianmengenai interaksi dengan Pengadilan Agamaoleh perempuan kepala keluarga menunjukanbahwa jarak rata-rata ke pengadilan agamaadalah 20km dari tempat tinggal mereka dimanaresponden umum lain tinggal dalam jarak 10km.

their monthly income; while for nonspecific re-spondents, the amount is less than 1%. This groupalso suffers from greater intimidation by the le-gal process and language problems.

Another issue that is often faced by seekers ofjustice is that judges often do not understand dis-putes that might involve societal contexts at thelocal level or traditions. This problem is mademore apparent due to the breadth of Indonesiaand the diversity of the population. With theheavy judicial loads and little opportunity for in-teracting with the local population due to regu-lar transfers, judges at the first and second in-stances do not have adequate time and interestto understand local contexts. Such an understand-ing will help judges not only to decide on casesaccording to legal procedures, but also to resolvedisputes in the community and perform the func-tion of social control. If courts consist of judgeswho do not have an interest to understand localcontexts and backgrounds of disputes, it will bedifficult for them to have an important role andtight relations with the community. Judges willtend to disregard the effects of their decisions,which will only resolve the legal aspect of thedispute, but more often than not incapable toresolve the societal aspect of the dispute.

A responsive judiciary system has an importantrole in minimising social tensions. If the judiciary

Page 27: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

18

Dari sisi pembiayaan, biaya yang dikeluarkanuntuk memenuhi panggilan sidang adalah 45 –90% dari rata-rata pendapatan mereka perbulan.Sementara transport sekali jalan untuk sidangbagi perempuan kepala keluarga rata-ratasebesar 8% dari pendapatan perbulan dibandingdengan ongkos yang sama bagi responden lainyang kurang dari 1% pendapatan perbulan.Kelompok ini juga cenderung lebih merasaterindimidasi dengan proses hukum serta meng-hadapi tantangan bahasa.

Permasalahan lain yang sering dihadapi pencarikeadilan adalah bahwa hakim sering kali tidakmengerti seutuhnya perselisihan yang melibat-kan konteks kemasyarakatan di tingkat lokal, adatdan kedaerahan. Permasalahan ini semakinmengemuka dengan luasnya wilayah Indonesiadan kemajemukan masyarakat. Dengan bebantugas pengadilan dan kesempatan berinteraksiyang pendek karena kewajiban mutasi setiapbeberapa tahun, menyebabkan Hakim khususnyadi tingkat pertama dan banding tidak memilikicukup waktu dan kepentingan untuk memahamikonteks kedaerahan. Padahal pemahamantersebut akan membantu Hakim bukan hanyauntuk memutus perkara sesuai prosedur hukum,namun juga menyelesaikan sengketa dalammasyarakat dan menjalankan fungsi kontrolsosial. Jika Pengadilan terdiri dari hakim-hakimyang tidak berkepentingan untuk memahamikonteks daerah dan latar belakang suatu sengketamaka sulit bagi Pengadilan untuk memiliki perandan keterlibatan secara akrab dengan kehidupan

fails to fulfil the needs of the community, or isincapable of performing its function, communitymembers will prefer alternative mechanisms ofconflict resolution. The smaller the role of the ju-diciary in resolving community disputes, in thecontext of the lack of effective alternative disputeresolution methods, there is a greater possibil-ity of summary justice and vigilantism, which inturn incite social conflict. Thus the courts havean important role as the main state instrumentof social control and creating security in a soci-ety.

4. Recommendation of Improvements

4.1. Restricting cassation and revision

In order that the Supreme Court can perform itsfunction effectively as the highest court, it needswider berth to examine substantial cases so it cankeep its function to maintain legal unity. Thus, asystematic effort to reduce the number of cassa-tion requests through a limiting restriction needsto be done. By reducing the number of cases atthe cassation level, the Supreme Court will havemore space to map legal issues and monitor ap-plication of law in the lower courts in order tomaintain unity of law. Other than restricting thenumber of cases, to improve effectiveness of itsfunction to maintain legal unity, the SupremeCourt needs to apply a chamber system to en-sure the quality and consistency of decisions. A

Page 28: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

19

masyarakat. Hakim menjadi cenderung tidakmengindahkan akibat putusan yang hanyamenyentuh penyelesaian segi hukumnya, namunseringkali tidak mampu menyelesaikan sengketadari segi kemasyarakatannya.

Sebuah sistem peradilan yang responsif berpe-ran penting dalam mengurangi ketegangan sosial.Jika sistem peradilan gagal memenuhi kebutuhanmasyarakat atau tidak berfungsi sebagaimanamestinya, maka masyarakat akan memilihmekanisme penyelesaian konflik lain. Semakinkecil peran lembaga peradilan dalam menyelesai-kan sengketa masyarakat, dalam konteks ketia-daan alternatif penyelesaian sengketa lain yangefektif, maka akan terjadi peningkatan kasuskekerasan dan main hakim sendiri yang berujungpada meningkatnya konflik sosial. Pengadilandengan demikian memainkan peran pentingsebagai instrumen utama negara dalam melaku-kan kontrol sosial dan menciptakan rasa amandi masyarakat.

4. Rekomendasi Perubahan

4.1. Pembatasan Upaya Hukum Kasasi dan PK

Agar Mahkamah Agung dapat melaksanakanfungsinya secara efektif sebagai pengadilantertinggi, maka Mahkamah Agung perlu diberi-kan ruang gerak yang lebih luas untuk dapatmemeriksa perkara-perkara yang memilikibobot substansial dalam menjalankan fungsinyamenjaga kesatuan hukum. Untuk itu perludilakukan upaya sistematis untuk menekan

proportional case load is also expected to im-prove the quality of decisions.

Restriction of cases can be done using two mainmethods. The first method entails a proceduralapproach. Through this approach, restriction isdone through the use of clear and quantifiable in-dicators, such as restricting cases based on typeor value of dispute. The second method is a dis-cretional approach giving discretion to supremejudges to select certain cases they regard as im-portant to be examined by the Supreme Court.15

Each approach has strengths and weaknesses.The procedural approach, being more methodi-cal, is more objective and measurable. However,this approach requires meticulous arrangementsthat may be difficult to implement in practice.The discretional approach allows the SupremeCourt to reduce the number of cases quickly andsignificantly, however, in light of the present con-dition of the body, the possibility of misuses ofauthority is very real.

Due to the strengths and weaknesses of each sys-tem, both approaches can be utilised in synergyto create a system that is appropriate to the con-ditions of the Supreme Court in such a transi-tional period.

The main criterion for cassation has to be con-nected to the main function of cassation, namely

15 The second approach model is usually implemented in common lawstates such as the US, in which supreme judges select the cases to be examined bythe Supreme Court, assisted by the assistants of the supreme judge.

Page 29: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

20

jumlah perkara yang masuk ke tingkat kasasimelalui ketentuan pembatasan perkara kasasiyang limitatif. Dengan berkurangnya jumlahperkara yang masuk ke tingkat kasasi maka MAakan lebih leluasa dalam melakukan pemetaanpermasalahan hukum dan melakukan penga-wasan penerapan hukum di pengadilan tingkatbawah dalam rangka menjaga kesatuan hukum.Selain pembatasan perkara, untuk lebih mening-katkan efektifitas fungsi menjaga kesatuanhukum maka MA perlu membentuk sistemkamar untuk memastikan terjaganya kualitasdan konsistensi putusan. Beban perkara yangproporsional juga diharapkan dapat meningkat-kan kualitas putusan.

Pembatasan perkara dapat dilakukan berdasar-kan dua metode besar. Pertama, pembatasanperkara melalui pendekatan prosedural. Denganpendekatan ini pembatasan dilakukan melaluipenentuan indikator yang sifatnya pasti danterkuantifisir, misalnya pembatasan perkaraberdasarkan jenis perkara tertentu atau nilaiperkara tertentu. Kedua, pendekatan diskresionalyang memberikan kekuasaan yang besar (dis-kresi) kepada hakim agung untuk menentukansendiri perkara-perkara yang mereka anggappenting untuk diputus oleh MA.15 Masing-masingpendekatan memiliki kelemahan dan kelebihan.Pendekatan prosedural, karena berupa ketentuanyang pasti, maka akan lebih obyektif dan terukur.

to maintain unity of law, and thus the authorityto examine such cases is located at the judex ju-

rist level. Thus, in the future, the Supreme Courtshould refrain from examining facts (judex factie).In the case of the Supreme Court opining thatre-examining at the judex factie is required, theSupreme Court should not examine the case it-self, but should return the case to the forward-ing court to re-examine the case by a differentpanel of judges.

Restriction of cassation should also be done formisdemeanours. Several types of cases can befinalised at the appellate level, depending on theextent of the sanction. Criminal cases with lightsentences, including fines16 or misdemeanoursshould be considered to be excluded from cassa-tion. To strengthen this mechanism, effortsshould be made to make the use of fines moreeffective as an alternative criminal sanctionmethod in misdemeanours. In the case of thedefendant agrees to pay the fine, the possibilityof further legal recourse becomes smaller.

Furthermore, acquittals should also be incontest-able. While the Criminal Procedural Law Code hasstated that cassations cannot challenge acquit-tals,17 in practice, it occurs since the Natalegawa

15 Model pendekatan kedua ini pada umumnya dilaksanakan di negara-negara Common Law seperti Amerika Serikat dimana Hakim Agung menentukansendiri perkara yang akan diperiksa oleh Mahkamah Agung dengan bantuan paraasisten Hakim Agung.

16 A redefinition of fines is necessary so that criminalisation by fine ismore effective compared to physical sanctions for misdemeanours. Sanctions inthe form of fines also need not be applied to the maximum, but adapted to thecontext of the case, and thus there is a need for a guideline of giving fines assanctions so that it becomes effective in its implementation.

17 Article 67 of the Criminal Procedural Code.

Page 30: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

21

Namun pendekatan ini memerlukan kedetilanpengaturan yang dalam pelaksanaan mungkinakan sulit dilakukan. Sedangkan pendekatandiskresional memungkinkan MA untuk mengu-rangi jumlah perkara secara cepat dan signifikan.Namun dengan kondisi MA seperti saat ini makakemungkinan penyalahgunaan kewenangan bisaterjadi.

Mengingat kelebihan dan kekurangan masing-masing sistem yang ditawarkan, maka keduapendekatan ini dapat disinergikan untuk meng-hasilkan sistem yang relatif cocok denganmempertimbangkan kondisi MA pada masatransisi.

Kriteria kasasi yang paling utama harus dikait-kan dengan fungsi utama kasasi yaitu menjagakesatuan hukum dan karenanya berwenangmemeriksa di tingkat judex jurist. Dengandemikian sudah seharusnya di masa mendatangMA menahan diri untuk tidak lagi memeriksafakta (judex factie). Dalam hal MA berpendapatbahwa perlu pemeriksaan kembali di tingkat ju-

dex factie, maka MA seharusnya tidak memeriksasendiri namun mengembalikan perkara kepengadilan pengaju untuk diperiksa kembali olehmajelis yang berbeda.

Pembatasan upaya hukum kasasi juga perludilakukan untuk perkara pidana ringan (tipiring).Kriteria perkara yang final di tingkat bandingdapat didasarkan pada besaran ancaman huku-man. Untuk pidana dengan ancaman hukumanringan termasuk dengan ancaman hukuman

case in 1983 – which later becomes jurispru-dence, as it is interpreted that the Code onlystates that only acquittals in the sense of “notguilty” (not merely “not proven”) are exemptfrom cassation.

For civil cases, some of the criteria that can beused to restrict cases that can be finalised at theappellate level can be seen from the value of thedispute. Disputes under a certain value can belimited to the appellate level.18 Cases with a smallamount of claim should be able to be resolvedthrough the small claim court, with limited legalrecourses. This will be explained further in thefollowing section. However, in deciding the valueof the lawsuit, parties often have different inter-pretations, and thus courts can decide or estimatethe value of the claim.

Besides, family law cases, such as divorces andinheritance, can be considered to be finalised atthe appeal level. Based on temporary classifica-tion of case data by the Supreme Court Registry,in 2008, the number of divorce cases in the civiland religious courts reaches 554, while the num-ber of inheritance cases in both courts reaches546. In 2007, the number of divorces was 327and the number of inheritance was 283. In gen-

18 A 2004 study by the Supreme Court’s Centre for Research andDevelopment recommended a value of Rp. 10,000,000 as the maximum limit ofthe value of cases to be restricted in the legal recourse to the appellate level(Academic Paper on the Restriction of Cassation, Puslitbang Hukum dan PeradilanMahkamah Agung RI, 2004)

Page 31: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

22

denda16 atau pelanggaran dapat dipertimbang-kan untuk tidak dapat dilakukan upaya hukumkasasi. Untuk memperkuat mekanisme ini, makaperlu diimbangi dengan upaya untuk mengefek-tifkan penggunaan hukuman denda sebagaisanksi pidana alternatif dalam perkara pidanaringan. Dalam hal terdakwa setuju untuk memba-yar denda, maka kemungkinan untuk menga-jukan upaya hukum dapat ditekan.

Selanjutnya putusan bebas juga seharusnya tidakdapat diajukan upaya hukum. SebenarnyaKUHAP sudah mengatur bahwa putusan bebastidak dapat diajukan kasasi,17 namun dalampraktek, perkara bebas masih cukup banyakdiajukan ke MA sejak putusan Natalegawa padatahun 1983 -yang kemudian menjadi yurispru-densi, dimana putusan bebas yang dimaksudKUHAP hanyalah putusan “bebas murni”.

Untuk perkara perdata beberapa kriteria yangdapat digunakan untuk membatasi perkara yangselesai di tingkat banding dapat dilihat dari nilaiperkara atau nilai gugatan. Perkara dengan nilaigugatan tertentu dapat dibatasi upaya hukumnyahingga tingkat banding.18 Untuk perkara perdatadengan nilai gugatan yang relatif kecil seharusnyadapat diselesaikan melalui proses pengadilan

eral, family cases have an urgent nature and re-quire prompt resolution. This is not only in-tended to guarantee rule of law for the parties,but also to prevent escalation of family conflict.Similarly, traditional court processes in familylaw issues should be finalised at the appellatelevel.

Administrative cases can be restricted based onthe impact of the decision to basic rights or rightsprotected by law. Thus it is recommended thatadministrative cases with a local or regional im-pact (as opposed to national) should be limitedin the legal recourse to finalise at the appellatelevel.

Besides the high number of appeal decisions thatare submitted to cassation, at present there is asimilar trend of the rise of requests of revisionsof decision. In order to maintain consistency inthe implementation of law, in the case of requestsof revision of a cassation decision due to lapse ofthe judge at the cassation level, the SupremeCourt should refuse to accept the request. Thisis because acceptance may result in inconsistentdecision between panels of supreme judges. Re-visions due to errors made by judges should onlybe allowed when the lapse is made by judges atthe lower level, or lapses related to formal legalrequirements.

16 Perlu ada redefinisi denda untuk semakin mengefektifkan pemidanaandengan menggunakan denda dibandingkan dengan hukuman badan untuk perkaratindak pidana ringan. Penjatuhan hukuman denda juga seharusnya tidak selaluharus maksimal tapi disesuaikan dengan konteks perkara, dengan demikian perluada panduan tentang penjatuhan hukuman denda sehingga semakin efektifdigunakan.

17 Pasal 67 KUHAP.18 Penelitian yang dilakukan oleh Puslitbang MA pada tahun 2004

merekomendasikan jumlah tidak lebih dari Rp 10.000.000 sebagai batasan nilaigugatan perkara yang dibatasi upaya hukumnya hingga tingkat banding. (NaskahAkademis Pembatasan Kasasi, Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah AgungRI, 2004)

Page 32: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

23

dengan acara cepat (small claim court) yangmemiliki upaya hukum terbatas. Mengenai small

claim court akan dijelaskan pada bagian selan-jutnya. Namun untuk menentukan nilai gugatan,kadang kala para pihak memiliki interpretasiyang berbeda beda untuk itu pengadilan dapatmenentukan atau menaksir nilai gugatantersebut.

Selain itu, perkara-perkara di bidang hukumkeluarga dan waris dapat dipertimbangkansebagai perkara yang diputus final di tingkatbanding. Berdasarkan pengklasifikasian dataperkara sementara yang dilakukan oleh Kepa-niteraan Mahkamah Agung, pada tahun 2008jumlah perkara perceraian baik perdata danagama mencapai 554 perkara, sedangkan per-kara waris perdata dan agama mencapai 546perkara. Pada tahun 2007 jumlah perkara perce-raian perdata dan agama yang telah diklasi-fikasikan mencapai 327 perkara sedangkanperkara waris dan agama mencapai 283 perkara.Pada umumnya perkara di bidang hukum keluar-ga bersifat mendesak (urgent) dan memerlukanpenanganan yang cepat. Bukan saja untukmenjamin kepastian hukum tetapi juga untukmembatasi konflik keluarga. Demikian jugadalam perkara-perkara adat untuk lingkuphukum keluarga seharusnya dapat diselesaikandi tingkat banding.

Sedangkan untuk perkara TUN atau AdministrasiNegara pembatasan dapat dilakukan berdasar-kan pada dampak putusan TUN terhadap hak-

Revision of a cassation decision should be lim-ited when there is new evidence (novum) avail-able. In such a request, the court of first instancewhere the revision request is registered shouldexamine the novum based on certain criteria.This is intended to prevent revision requests us-ing evidence declared as novum while it is notactually so. This often happens in practice,though.

As has been mentioned earlier, procedural limi-tations will be combined with discretion to acertain extent. For example, in a civil case with asmall claim value but with a high legal value (es-pecially in the context of legal development –such as consumer disputes, public service, hu-man rights or tradition), the Supreme Courtshould have the discretion to receive the case.Discretion can also be utilised in cases havingimportant value for legal development and pro-tection of human rights (such as gender equal-ity) in certain cases, or those related to tradi-tional or religious law (for example if the Su-preme Court intends to modify its jurisprudenceregarding distribution of inheritance in Islam).

However, discretion should be considered fur-ther as it has the potential to allow the SupremeCourt to interfere in certain cases. In a condi-tion where discipline and adherence to regula-tions are low, as can be seen from various viola-

Page 33: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

24

hak dasar atau hak yang dilindungi undang-undang. Untuk itu direkomendasikan agarperkara yang berkaitan dengan putusan pejabatTUN yang memiliki ruang lingkup daerah (bukannasional), dapat dibatasi upaya hukumnyasehingga final di tingkat banding.

Selain tingginya jumlah putusan dari tingkatbanding yang dimintakan kasasi, pada saat inimuncul juga kecenderungan kenaikan perkaraPeninjauan Kembali (PK). Demi menjaga konsis-tensi dalam penerapan hukum, maka dalam halterdapat pengajuan Peninjauan Kembali (PK)atas putusan kasasi karena kekhilafan hakim ditingkat kasasi, PK tersebut seharusnya dinyata-kan tidak dapat diterima oleh Mahkamah Agung.Karena hal ini bisa berakibat munculnya inkon-sistensi putusan pada majelis hakim agung. PKatas kekhilafan hakim hanya dapat diterima biladisebabkan oleh kekhilafan hakim pada peng-adilan di tingkat bawah atau kekhilafan hakimyang berkenaan dengan syarat hukum formal.

PK atas putusan kasasi sebaiknya dibatasi hanyabila ada novum atau bukti baru. Untuk pengajuanPK atas dasar novum, maka perlu ada proses padaPengadilan tingkat pertama tempat didaftar-kannya PK untuk menguji novum berdasarkankriteria yang akan ditentukan. Hal ini bertujuanuntuk menghindari pengajuan PK dengan barangbukti yang dinyatakan sebagai novum oleh parapihak namun sesungguhnya bukanlah termasukkriteria novum. Hal demikian seringkali terjadidalam praktek.

tions to the Procedural Code, Supreme CourtCirculars and Decrees, the application of thismechanism has to be done carefully. Further, toensure that restriction of cases can be effectivewithout violating citizens’ rights, a special studyis required to decide on the criteria and types ofcases that can be finalised in the Court of Ap-peals.

If the recommendation to improve access to jus-tice at the lower levels can be implemented ef-fectively, the role of the appellate court can be-come more important as it is highly likely thatthe number of cases sent to the appellate courtwill rise. In such a condition, the role of the ap-pellate court to monitor the implementation ofjudicial authority at the lower level will becomemore important, as otherwise the number of cas-sation requests will continue to increase.

An important effort that has to be done simulta-neously with restriction of cases is strengthen-ing the function of lower courts, especially ap-pellate courts. In the context of restricting cases,the role of the appellate court becomes very sig-nificant as the spearhead of the judiciary in per-forming its function of resolving disputes in thesociety. Strengthening of the appellate court willresult in the following positive impacts: 1) thecourt process becomes shorter, meaning that thecost to bring a case becomes more affordable and

Page 34: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

25

Sebagaimana disebutkan di awal pembatasanprosedur akan dikombinasi dengan metodediskresi dalam batasan tertentu. Misalnya dalamperkara perdata yang nilainya kecil namunmemiliki nilai hukum yang besar (terutamadalam konteks pengembangan hukum –misalnyadalam kasus sengketa konsumen, pelayananpublik atau hak asasi manusia atau adat), makaperlu diberikan diskresi bagi MA untuk tetapmenerima perkara-perkara. Diskresi juga dapatdilakukan dalam kasus-kasus yang memiliki nilaipenting untuk perkembangan hukum dan perlin-dungan hak asasi (misal isu kesetaraan gender)dalam kasus-kasus tertentu, atau yang terkaitdengan hukum adat atau agama (misalnya jikaMA ingin mengubah yurisprudensinya tentangpembagian hukum waris dalam Islam).

Namun demikian pemberian diskresi juga perludipertimbangkan lebih lanjut karena berpotensimembuka pintu bagi MA untuk selalu dapat ikutcampur dalam perkara-perkara tertentu. Dalamkondisi dimana tingkat kepatuhan atau disiplinterhadap suatu ketentuan cukup rendah, dapatdilihat dari beberapa ketentuan KUHAP maupunSEMA dan SK yang tidak dipatuhi, maka penera-pan mekanisme ini harus dilakukan secara hati-hati. Lebih jauh lagi untuk memastikan pemba-tasan perkara dapat berjalan efektif tanpamelanggar hak warga negara, maka diperlukansuatu kajian khusus untuk menentukan kriteriadan jenis perkara yang dapat selesai di Peng-adilan Tingkat Banding.

accessible; and 2) giving contribution to therevitalisation of the Supreme Court’s function asa part of the attempt to restrict cassation and re-vision.

Doubts about inconsistency that arises alongwith the strengthening of appellate courts – es-pecially with the finalisation of rulings at the ap-pellate level (with no cassation possible) – shouldbe overcome by making the function of cassa-tion in the interest of law more effective. Usingcassation in the interest of law, the SupremeCourt can take a stand on legal issues arisingthrough its rulings. Explanation about cassationin the interest of law as a key instrument to sup-port legal unity will be explained in the followingsection.

Besides, to strengthen the role of the High Court,and to reduce the disparity of decisions at theappellate courts, the number of these courts canbe reduced. Thus, the High Court is no longer tiedto the province as an administrative unit of ju-risdiction, but should be regional: controllingcourts at several provinces. As the number of theappellate courts is reduced, the possibility of in-consistency of decisions should be reduced, com-pared to the present condition of 33 high courtsat the provinces, which may rise in number asnew provinces are created.

Page 35: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

26

Bila rekomendasi untuk perbaikan akses kepadapengadilan di tingkat bawah dapat berjalanefektif, maka peran Pengadilan tingkat Bandingmenjadi lebih sentral karena sangat mungkinjumlah perkara dari tingkat bawah akan semakinmeningkat. Dalam kondisi demikian maka peranPengadilan Banding untuk mengawasi pelak-sanaan fungsi kekuasaan kehakiman padapengadilan di tingkat yang lebih rendah akansemakin mengemuka, karena jika tidak makaperkara di tingkat kasasi akan semakinmembanjir.

Upaya penting yang harus dilakukan dalamrangka pembatasan perkara adalah denganmemperkuat fungsi pengadilan tingkat bawahutamanya pengadilan tingkat banding. Dalamkonteks pembatasan perkara, peran pengadilanbanding menjadi sangat signifikan sebagai gardadepan peradilan dalam melakukan fungsi penye-lesaian sengketa di masyarakat. MemperkuatPengadilan Banding membawa dampak positifpada beberapa hal: (1) Proses berperkaramenjadi lebih cepat sehingga biaya berperkaramenjadi lebih terjangkau dan mudah diakses bagimasyarakat; (2) Memberi kontribusi padarevitalisasi fungsi Mahkamah Agung sebagaibagian dari upaya pembatasan perkara kasasidan PK.

Keraguan mengenai permasalahan inkonsistensiyang dikhawatirkan muncul seiring dengan me-nguatnya peran Pengadilan Tingkat Bandingutamanya dalam hal putusan yang final di tingkat

4.2. Creation of a chamber system

Besides restricting cases to provide more spacefor the Supreme Court to allow it to focus onmore important legal issues, the Supreme Courtneeds to implement a chamber system consis-tently, so it can function effectively in maintain-ing unity of law. A chamber system is a groupingin which judges are grouped according to theirlegal specialty, and these judges will only try casesthat are appropriate to their specialty. Within achamber, there can be one or more panels ofjudges, conforming to the number of cases. Thesechambers are not separate courts, but are partof a single court.

The chamber system is important to maintainconsistency of decisions.19 A consistent chambersystem will have positive and long-term impactsto maintain unity of law within a chamber. If ruleof law can be improved, in the long term, it is ex-pected that frivolous cassation requests can beminimised.

In order to optimise the chamber system, the Su-preme Court’ and lower courts’ system and per-spective need to be restructured. The first is thor-oughly altering the system of appointment ofsupreme judges and the distribution of cases,which is now based on teams, into a system

19 The current panel system in the Supreme Court allows supreme judgeswho do not have special competence in a certain legal field to examine a case thatis not part of their specialty.

Page 36: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

27

banding (tidak dapat diajukan upaya kasasi),harus diatasi dengan cara mengefektifkan fungsikasasi demi kepentingan hukum (KDKH). De-ngan melalui upaya kasasi demi kepentinganhukum maka MA dapat memberikan sikap ataspermasalahan hukum yang timbul melaluiputusan MA. Penjelasan mengenai KDKH sebagaiinstrumen kunci pendukung fungsi kesatuanhukum akan dijelaskan lebih lanjut di bagianselanjutnya.

Selain itu untuk memperkuat peran PengadilanTingkat Banding sekaligus mengurangi dispari-tas putusan pada pengadilan Tingkat Banding,maka jumlah Pengadilan Tingkat Banding dapatdireduksi. Dengan demikian Pengadilan TingkatBanding tidak lagi ada di tingkat provinsi tapi ditingkat regional yang membawahi beberapaprovinsi. Jumlah Pengadilan Tingkat Bandingyang lebih sedikit karena ditempatkan di tingkatregion diharapkan dapat mengurangi potensiinkonsistensi putusan bila dibandingkan denganjumlah pengadilan banding saat ini yang men-capai 33 pengadilan banding atau bahkan dapatbertambah bila ada pemekaran wilayah provinsi.

4.2. Pembentukan sistem kamar

Selain pembatasan perkara yang penting untukmemberikan ruang gerak bagi MA agar lebihfokus pada permasalahan hukum yang lebihpenting, maka MA perlu menerapkan sistemkamar secara konsisten agar MA dapat berfungsisecara efektif dalam menjaga kesatuan hukum.Sistem kamar merupakan pengelompokan

based on case type. As a consequence of theimplementation of the chamber system at theSupreme Court, appellate courts also need toimplement a chamber system to ensure speciali-sation of judges.

4.2.1. Chamber system in the Supreme

Court

In general cases can be classified into five types:criminal, civil, religious, administrative and mili-tary. For the first two types of cases, as the in-flow of these types of cases into the SupremeCourt is very large, reaching about 80% of thetotal annual case load, each of these can be di-vided further into sub-chambers, according tothe need. Thus the Supreme Court will be dividedinto several chambers of cases as follows:20

· Criminal Chamber

· Civil Chamber

· Religious Chamber

· Administrative Chamber

(The military court system will be separated from

the jurisdiction of the civilian court. This will be

explained in a later section)

Within each chamber, if necessary sub-chamberscan be introduced. Sub-chambers are to be

20 The 2003 Supreme Court Reform Blueprint also suggested a chambersystem in the Supreme Court, to consist of 8 chambers: Written Civil Chamber,Economic Civil Chamber, Traditional and Agrarian Civil Chamber, Religious CivilChamber, General Criminal Chamber, Special Criminal Chamber, Military CriminalChamber and Administrative and Constitutional Rights Chamber.

Page 37: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

28

hakim-hakim yang memiliki keahlian atauspesialisasi hukum yang sama atau sejenis, danhakim-hakim tersebut hanya akan mengadiliperkara yang sesuai dengan bidang keahliannya.Dalam satu kamar bisa terdapat satu atau lebihmajelis, disesuaikan dengan banyak perkara.Kamar-kamar ini bukan badan-badan peradilanyang terpisah, melainkan tetap dalam satu badanperadilan.

Penerapan sistem kamar penting artinya untukmengelola konsistensi putusan.19 Sistem kamaryang konsisten akan berdampak positif danjangka panjang terhadap untuk menjaga kesa-tuan hukum dalam Kamar Perkara. Bila kepastianhukum dapat ditingkatkan maka dalam jangkapanjang diharapkan arus permohonan kasasiyang tidak beralasan dapat ditekan.

Untuk mengoptimalkan sistem kamar, diper-lukan restrukturisasi sistem maupun carapandang di MA dan pengadilan tingkat bawah.Pertama adalah dengan merombak sistem pem-bagian hakim agung dan distribusi perkaraberdasarkan tim menjadi pembagian hakimagung dan distribusi perkara berdasarkan bidangperkara. Sebagai konsekuensi penerapan sistemkamar di MA, maka pengadilan tingkat bandingpun harus menerapkan sistem kamar untukmemastikan spesialisasi hakim dapat terbentuk.

4.2.1. Sistem Kamar pada Mahkamah Agung

Secara umum bidang perkara terdiri dari limabidang, yaitu pidana, perdata, agama, TUN, danmiliter. Khusus untuk pidana maupun perdata,

formed especially in cases requiring ad hocjudges and having different procedural laws, suchas corruption, industrial relations, and humanrights. However, the need for sub-chambers candevelop according to the context of needs andanatomy of cases at a given time.

Each chamber will be led by a Deputy Chief Jus-tice.21 The Deputy Chief Justice will be the headof the panel, whose members consist of supremejudges with appropriate competence accordingto the chamber title. All existing supreme judges,including the Chief Justice and Deputy Chief Jus-tice, have to sit in one of the chambers as a mem-ber, according to their specialty. The number ofsupreme judges in each chamber will then dif-fer according to the composition of the cases inthe Supreme Court. Thus, all supreme judges willbe appointed into one - and only one - chamberaccording to their competence.

The composition of supreme judges is the mainimplication of the implementation of the cham-ber system. A smaller number of supreme judgescan encourage consistency of decisions, makingmonitoring easier and improving authority ofsupreme judges. Reducing the number of su-preme judges in the future is very relevant in light

19 Penerapan sistem majelis yang dianut MA saat ini memungkinkanHakim Agung yang tidak memiliki keahlian atas suatu bidang dalam perkara dapatmemeriksa perkara yang bukan merupakan keahliannya.

21 The title of the Deputy Chief was created by Law No. 13 of 1965 onthe Supreme Court. This was based on an intention to return to a chamber system.With the revision of the Law in 1985, the chamber system was not implemented,but the title of the Deputy Chief, which was expected to become the chiefs of thechambers, remained. At present, the meaning of the Deputy Chief title has changed,especially with the new titles of Deputy Chiefs for Education and for Supervision.

Page 38: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

29

mengingat jumlah perkara tersebut di MA sangatbesar, yakni mencapai sekitar 80% dari totalperkara yang masuk setiap tahunnya, masing-masing dapat dibagi menjadi beberapa subkamar sesuai dengan kebutuhan. Dengan demi-kian Mahkamah Agung akan terbagi dalam kamarperkara sebagai berikut:20

· Kamar Pidana· Kamar Perdata· Kamar Agama· Kamar Tata Usaha Negara

(Khusus untuk peradilan militer akan dipisahkan

dari yurisdiksi pengadilan sipil. Hal tersebut akan

dijelaskan dalam bagian selanjutnya.)

Dalam masing-masing kamar apabila dibutuhkandapat diadakan sub-sub kamar. Sub kamardibentuk terutama pada perkara-perkara yangmensyaratkan adanya hakim ad hoc dan memi-liki hukum acara yang berbeda, seperti Korupsi,Pengadilan Hubungan Industrial, Hak AsasiManusia dan seterusnya. Namun kebutuhan subkamar ini dapat berkembang sesuai dengankonteks kebutuhan dan anatomi perkara padasuatu waktu tertentu.

Masing-masing Kamar akan dipimpin olehseorang Ketua Muda bidang perkara.21 KetuaMuda tersebut merupakan Ketua Majelis yang

of the Supreme Court’s function as a court of cas-sation, which has to maintain unity of law andbecome the highest court authority.22 Revita-lisation of the function of the Supreme Court,restriction of cassation and implementation ofthe chamber system will ideally require 20 su-preme judges, appointed as follows:

1 Supreme Judge, functioning also as the ChiefJustice of the Supreme Court

1 Supreme Judge, functioning also as the DeputyChief Justice of the Supreme Court

6 supreme judges in the civil chamber (2 pan-els)

6 supreme judges in the criminal chamber (2panels)

3 supreme judges in the religious chamber (1panel)

3 supreme judges in the administrative chamber(1 panel)

This number can change depending on the con-text of the number and percentage of cases. Inthe future, when the attempt to restrict cassa-

20 Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung RI Tahun 2003 jugamengusulkan adanya sistem kamar di Mahkamah Agung dimana diusulkan 8kamar perkara yaitu: Kamar Perdata Tertulis, Kamar Perdata Ekonomi, KamarPerdata Adat dan Tanah, Kamar Perdata Agama, Kamar Pidana Umum, KamarPidana Khusus, Kamar Pidana Militer dan Kamar Tata Usaha Negara dan Hak UjiMateriil.

21 Munculnya jabatan Ketua Muda muncul dalam Undang-undangMahkamah Agung No. 13 tahun 1965. Ketentuan ini muncul dengan didasarikeinginan untuk kembali pada sistem kamar. Seiring dengan perubahan Undang-undang MA pada tahun1985 penerapan sistem kamar tidak dilakukan namunjabatan Ketua Muda yang tadinya diharapkan merupakan pimpinan Kamar Perkaratetap ada. Kini makna dari jabatan Ketua Muda menjadi berubah, apalagi denganadanya jabatan Ketua Muda Pembinaan dan Ketua Muda Pengawasan.

22 The large number of supreme judges at present is caused by thebacklog of cases and the flood of incoming cases to the Supreme Court. However,resolution of the case backlogs by increasing the number of supreme judges is anad hoc solution. The large number of supreme judges results in more negativeeffects to the Supreme Court and the judicial system, because it makes supervisionof the implementation and interpretation of law in cassation difficult, and moreprone to inconsistency (2003 Supreme Court Reform Blueprint, pp. 71-73). Sucha condition will make it difficult for the Supreme Court to implement its functionas the highest court whose function is to maintain unity of law. The SupremeCourt has to implement a systemic and strategic step to limit cases at the cassationlevel as has been explained earlier on the section on revitalisation of the functionof the Supreme Court to maintain unity of law and explained further in the sectionon strengthening the appellate court.

Page 39: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

30

memiliki Hakim Agung anggota sesuai bidangkeahlian dalam kamar tersebut. Seluruh hakimagung yang ada, termasuk Ketua dan Wakil KetuaMA harus duduk dalam salah satu kamar sebagaianggota kamar sesuai dengan keahliannya.Jumlah hakim agung dalam setiap Kamar tentu-nya akan berbeda sesuai dengan komposisijumlah perkara yang ada di MA. Dengan demi-kian, seluruh Hakim Agung akan ‘terbagi habis’sesuai dengan keahliannya dalam kamar-kamaryang ada.

Jumlah komposisi hakim Agung merupakanimplikasi utama dari penerapan sistem kamar.Jumlah Hakim Agung yang ringkas dapat mendo-rong konsistensi putusan, mempermudah peng-awasan dan meningkatkan kewibawaan HakimAgung. Pengurangan jumlah Hakim Agung padamasa datang sangat relevan bila dikaitkan denganfungsi MA sebagai pengadilan kasasi yang harusdapat berfungsi menjaga kesatuan hukum danmenjadi pengadilan tertinggi yang berwibawa.22

Dengan revitalisasi fungsi MA dan pembatasanupaya hukum kasasi serta penerapan sistemkamar, maka idealnya jumlah Hakim Agungadalah 20 dengan pembagian sebagai berikut:

tion and revision has been successful and thussignificantly reducing the inflow of cases to theSupreme Court, ideally the number of supremejudges should be small. The smaller number isconducive to unity of law, and also in increasingthe authority and respect given to the supremejudges.

Within each chamber, cases will not be examinedby all members of the chamber, but by panelsconsisting of three to five supreme judges accord-ing to the regulations posited by the Law. How-ever, in order to maintain consistency of the le-gal considerations, it will be appropriate for theSupreme Court to follow the system in use in theNetherlands, in which each panel explains the le-gal considerations for each of their rulings inchamber meetings attended by all members ofthe chamber on a weekly basis. Thus, each cham-ber member can understand the legal consider-ations regarding certain issues of law that aregoing to be pronounced by each panel. This willmake it easier when supreme judges have to facea similar case, and prevent inconsistencies ofrulings.

Another important issue related to the chambersystem is the implication towards the recruit-ment of supreme judges. Selection of supremejudge candidates has to be done based on thecompetence needed by each panel. If there is aneed for a supreme judge in the criminal cham-ber, for example, recruitment and selection should

22Jumlah Hakim Agung yang sangat besar pada masa kini disebabkankarena besarnya tunggakan perkara dan arus perkara yang masuk ke MA. Namundemikian penyelesaian tunggakan perkara dengan menambah jumlah Hakim Agungmerupakan solusi yang bersifat sementara (ad-hoc). Besarnya jumlah Hakim Agungjustru memiliki lebih banyak dampak negatif bagi MA dan pengadilan karenamenyulitkan pengawasan terhadap penerapan dan penafsiran hukum dalamputusan kasasi dan memperbesar peluang inkonsistensi (Cetak Biru Cetak BiruPembaruan Mahkamah Agung RI, Mahkamah Agung RI, 2003, halaman 71– 73).Kondisi seperti ini akan menyulitkan MA untuk melaksanakan fungsinya sebagaipengadilan tertinggi yang berfungsi menjaga kesatuan hukum. MA harusmenerapkan cara sistemik dan strategis untuk membatasi perkara yang naik ketingkat kasasi sebagaimana dijelaskan di bagian sebelumnya mengenai RevitalisasiFungsi Mahkamah Agung untuk Menjaga Kesatuan Hukum dan akan dijelaskanlebih lanjut pada bagian Penguatan Pengadilan Banding.

Page 40: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

31

1 orang Hakim Agung merangkap Ketua MahkamahAgung1 orang Hakim Agung merangkap Wakil KetuaMahkamah Agung6 orang Hakim Agung pada Kamar Perdata (2 majelis)6 orang Hakim Agung pada Kamar Pidana (2 majelis)3 orang Hakim Agung pada Kamar Agama (1 majelis)3 orang Hakim Agung pada Kamar TUN (1majelis)

Jumlah ini dapat berubah dengan memper-hatikan konteks kebutuhan berdasarkan jumlahdan prosentase perkara. Di masa mendatang bilaupaya pembatasan perkara kasasi/PK dapatberjalan dengan baik dan dengan demikianmengurangi secara signifikan jumlah perkara keMA, maka jumlah hakim agung idealnya kecil.Jumlah hakim agung yang kecil selain lebih baikuntuk mendorong kesatuan hukum juga mening-katkan kewibawaan dan penghargaan terhadaphakim agung.

Di setiap Kamar, perkara tidak diperiksa olehseluruh anggota Kamar, namun tetap diperiksaberdasarkan sistem majelis yang terdiri dari tigahingga lima orang hakim agung sesuai ketentuanUU. Namun, untuk menjaga konsistensi pertim-bangan hukum, ada baiknya MA mengikutisistem yang berlaku di Belanda, dimana setiapmajelis memaparkan pertimbangan hukum atasmasing-masing putusannya dalam rapat Kamaryang dihadiri oleh seluruh anggota Kamar setiapminggunya. Dengan demikian, setiap anggotaKamar dapat mengetahui bagaimana pertim-bangan hukum atas suatu masalah hukum

be prioritised to candidates who have the appro-priate competence in criminal law.

The chamber system also needs to be imple-mented in the lower courts to ensure monitor-ing of the implementation of law in the lowercourts. Besides, in order to make selection of su-preme judges simpler, as most of the candidateswill have presided at the courts of first instanceor appellate courts, application of the chambersystem in these courts becomes very relevant.The state court system is to be divided into twomain chambers: criminal and civil.

4.2.2. Chamber system in the State Court

Within the state court system, two chambersshould be formed: one for civil, and another forcriminal cases. Each of these chambers will beheaded by a Chief of the Chamber. Each chamberwill consist of several senior judges, or judgeswho are experienced. Junior judges, or inexperi-enced ones, should take an orientation period –taking as long as 5 years – in which they shouldtry both civil and criminal cases as panel mem-bers. After five years, they will be appointed inthe appropriate chamber according to their com-petence and interest. The selection or appoint-ment also needs to pay attention to the needs ofthe court itself.

Implementation of the chamber system at the

Page 41: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

32

tertentu yang akan diputus oleh masing-masingmajelis. Hal ini akan memudahkannya saatmenghadapi perkara serupa serta menghindariterjadinya inkonsistensi putusan.

Penerapan sistem kamar juga akan berimplikasipada sistem rekrutmen calon hakim agung.Pemilihan calon hakim agung harus disesuaikanberdasarkan kompetensi yang dibutuhkanmasing-masing kamar. Jika terjadi kekosonganposisi hakim agung kamar pidana misalnya,maka rekrutmen dan seleksi harus diprioritaskanpada kandidat yang memang memiliki kompen-tensi dibidang hukum pidana.

Penerapan sistem kamar perlu dilaksanakan diperadilan tingkat bawah untuk memastikanberjalannya pengawasan penerapan hukum padapengadilan tingkat bawah. Selain itu dalamrangka memudahkan proses seleksi calon hakimagung tersebut, mengingat sumber utama calonhakim agung berasal dari para hakim di tingkatpertama maupun banding maka pemberlakuansistem kamar menjadi sangat relevan. PeradilanUmum dibagi menjadi dua kamar utama, yaitukamar Pidana dan Perdata.

4.2.2. Sistem Kamar pada Peradilan Umum

Pada lingkungan Peradilan Umum dibentuk duakamar, yaitu kamar perdata dan pidana, yangmasing-masing dipimpin oleh seorang KetuaKamar. Masing-masing kamar tersebut terdiridari beberapa orang hakim senior atau yang telahbeberapa tahun menjabat sebagai hakim. Untukhakim-hakim muda atau yang baru menjadi

courts of first instance will have an implicationto the court structure. Such a concept will resultin two deputy chiefs, as each chief of the cham-ber will become a deputy chief of the court. Forcertain courts, with large numbers of cases to tryand requiring sub-specialisation, sub-chamberscan also be introduced. The sub-chambers canalso be implemented through legislation for sev-eral types of cases that are to have specialisedcourts.

As a logical implication of this system, in the ap-pellate courts, the structure of the court will alsofollow the dual chamber system as applied in thefirst instance: the High Courts will also be dividedinto two chambers: civil and criminal. Each cham-ber will be lead by a Chief of the Chamber, whowill become Deputies Chiefs of the High Court.

4.2.3. Chamber System in the ReligiousCourt

In general, the need for separate chambers is lo-cated in the general (state) court system. Thestate court system has to handle two types ofcases that have different natures, characteristics,legal basis and procedures, namely civil andcriminal cases. Civil cases are part of the privatelaw sphere, while criminal cases are part of thepublic law sphere.

However, this does not mean that in other court

Page 42: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

33

hakim disediakan masa orientasi selama bebe-rapa tahun –misalkan 5 tahun- dimana padamasa tersebut hakim-hakim muda tersebutmengadili perkara baik perkara perdata maupunpidana sebagai hakim anggota. Setelah 5 tahunmaka para hakim muda ditempatkan pada kamaryang sesuai dengan kompetensi dan minatnya.Pemilihan tersebut harus juga disesuaikandengan kebutuhan dari pengadilan itu sendiri.

Penerapan sistem kamar ditingkat pertama iniakan berimplikasi pada struktur pengadilan.Dengan konsep seperti ini maka jabatan WakilKetua Pengadilan akan menjadi dua, dimanamasing-masing Ketua Kamar secara otomatisakan menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan.Untuk pengadilan-pengadilan tertentu, misalnyayang memiliki jumlah perkara cukup besardengan kebutuhan adanya sub spesialisasi makadapat diadakan sub kamar. Sub kamar ini dapatjuga ditentukan berdasarkan jenis perkara yangditentukan oleh undang-undang untuk diadakanpengadilan khusus.

Sebagai implikasi logis dari sistem ini, maka ditingkat banding struktur pengadilan juga akanmengikuti penerapan kamar sebagaimana ditingkat pertama, yaitu pengadilan tinggi akandibagi menjadi dua kamar, yaitu Perdata danPidana. Masing-masing Kamar juga akan dipim-pin oleh seorang Ketua Kamar yang otomatisakan menjabat sebagai Wakil Ketua PengadilanTinggi.

systems the chamber systems cannot be imple-mented, although in this case, the chamber sys-tem is optional. Implementation of the chambersystem needs not be done in all court locations,but only in the courts of certain regions that havethe actual need for separate chambers. In the re-ligious courts, for example, implementation of thechamber system needs to pay attention to thenumber and type of cases in each religious courtof first instance. In certain regions, the chamberscan be divided between family law and shariah

economy chambers, but in other regions – suchas in Nanggroe Aceh Darussalam, the chamberscan be separated between Islamic civil law andjinayah (criminal law). In other religious courts,no chamber may need to be introduced if thevariation of cases is slight. In general, implemen-tation of the chamber system in court systemsother than the state court is optional.

The structural implication of the optional natureof the chamber system in these courts affects theleadership of the court. If in the general court,the leadership of the court is in the hands of 1chief of the court and 2 deputies, in the othercourts, the leadership will remain in the hands of1 chief and 1 deputy, as it now occurs. For thecourts other than the general court that imple-ment the chamber system, the chief and deputyof the court can function ex officio as chiefs ofchambers.

Page 43: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

34

4.2.3. Sistem Kamar pada Peradilan Agama

Pada dasarnya kebutuhan untuk pembagiankamar yang paling utama terdapat pada ling-kungan peradilan umum. Peradilan umummemiliki dua jenis perkara yang memiliki sifat,karakteristik, asas-asas hukum, hukum acaradan lain sebagainya yang memang cukupberbeda, yaitu Pidana dan Perdata, dimana yangsatu berada dalam ranah hukum publik (pidana)dan yang lainnya berada dalam ranah hukumprivat (perdata).

Namun hal tersebut bukan berarti pada ling-kungan peradilan lain tidak dapat diterapkansistem kamar, namun penerapannya dalamusulan ini lebih bersifat optional. Artinya penera-pannya tidak dapat diberlakukan pada semua lo-

cus pengadilan, namun dapat diterapkan padapengadilan-pengadilan di daerah tertentu yangmemang memiliki kebutuhan untuk itu. PadaLingkungan Peradilan Agama, misalnya penera-pan sistem kamar perlu memperhatikan jumlahdan jenis perkara pada masing-masing peng-adilan agama di tingkat pertama. Di daerah-daerah tertentu misalnya pembagian kamardapat berupa kamar Hukum Keluarga dan kamarEkonomi Syariah, namun di daerah lain –misalnya Nanggroe Aceh Darussalam, dapat sajakamar yang dibentuk antara Hukum Perdata Is-lam dan Jinayah. Sementara itu di pengadilanagama lainnya bisa saja tidak diadakan pem-bagian kamar jika memang variasi jenis perkarayang terdapat pada pengadilan tersebut tidak

In the appellate level, the state court system willmanage criminal, civil and administrative cham-bers (and sub-chambers). The administrativecourt at the appellate court is the court of firstinstance for administrative disputes (as will beexplained in a later section). The religious courtsystem will manage the religious chambers (andsub-chambers) at both instances.

4.3. Revitalisation & Repositioning of Cassa-tion in the Interest of Law

The duty of maintaining legal unity cannot be ex-ercised only by the Supreme Court as the high-est court in the legal system, as the SupremeCourt can only maintain legal unity from the de-cisions of the lower courts as long as disputingparties appeal for an overturning of a previousdecision. As a consequence of restricting cassa-tion, not all cases can be sent to the SupremeCourt. In the case of a court decision having anerror in application of law, and the parties in-volved do not appeal to the Supreme Court, itcannot correct the error. In that case, a system isrequired to maintain legal unity.

In this context, the Indonesian legal system al-ready possesses a legal instrument functioningto help the Supreme Court in performing its func-tion to maintain legal unity, namely Cassation inthe Interest of Law (CIL). The authority to usethis instrument lays on the Attorney General, in

Page 44: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

35

terlalu variatif. Pada intinya penerapan sistemkamar pada lingkungan peradilan lain bersifatopsional.

Implikasi struktural dengan tidak diharuskannyapenerapan sistem kamar pada pengadilan dalamlingkungan peradilan lain yaitu pada strukturpimpinan pengadilan. Jika pada lingkunganPeradilan Umum struktur Pimpinan Pengadilanakan terdiri dari 1 orang Ketua Pengadilan dan 2orang Wakil Ketua, maka pada lingkunganperadilan lainnya struktur pimpinan Pengadilanakan tetap seperti yang berlaku saat ini, yaitu 1orang Ketua Pengadilan dan 1 orang Wakil KetuaPengadilan. Untuk pengadilan-pengadilan di luarperadilan umum yang menerapkan sistemkamar, Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan dapatsecara ex officio menjabat sebagai ketua kamar.

Pada tingkat Banding, Lingkungan PengadilanUmum akan mengelola kamar (dan sub kamar)Pidana, Perdata dan Tata Usaha Negara. Peng-adilan Tata Usaha Negara pada Pengadilan Band-ing merupakan pengadilan tingkat pertamauntuk sengketa tata usaha Negara (akan dijelas-kan pada bagian selanjutnya). Sedangkan Ling-kungan Pengadilan Agama mengelola kamar (dansub kamar) Agama pada tingkat pertama danbanding.

4.3. Revitalisasi & Reposisi Fungsi KasasiDemi Kepentingan Hukum

Fungsi menjaga kesatuan hukum tidak bisa dibe-bankan hanya pada Mahkamah Agung sebagaipengadilan tertinggi dalam lingkungannya. Sebab

criminal, civil and administrative cases. Simplyput, CIL is a legal recourse allowed by legislationto the Attorney General to correct rulings of thecourt of first instance or court of appeal that havegained permanent legal force (in kracht), whichhowever contain errors in the application of lawor questions of law, that are important for thedevelopment of law, and when decided by the Su-preme Court, can become new jurisprudence(rulings of judges having permanent legal forceand followed by other judges in deciding similarcases). However, unlike normal cassation, CIL isintended solely for legal interests, not for the in-terests of the disputing parties, so the new rul-ings will not bind the parties.

CIL is a legacy of the Dutch colonial legal system,

which remains in force, at least on paper, in leg-

islations regulating procedural law. During the

early days of Indonesian independence, CIL was

included in the 1949 Federal constitution.

During the history of Indonesia, the legal instru-

ment was invoked only a few times by the Attor-

ney General. It is recorded that no more than 10

instances of CIL occurred, mostly in criminal

cases, and mostly before the 1970s. The legal in-

strument was last used in 1989, against a pre-

trial decision granting approval to a sequestra-

Page 45: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

36

Mahkamah Agung hanya dapat menjaga kesa-tuan hukum dari putusan-putusan pengadilanyang berada dibawahnya sepanjang para pihakyang bersengketa mengajukan upaya hukumkasasi atas putusan tersebut. Sebagai konse-kuensi dari pembatasan perkara, maka tidaksemua perkara dapat diajukan ke MahkamahAgung. Andaikata lahir suatu putusan pengadilanmengandung kesalahan penerapan hukum, danpara pihak tidak mengajukan upaya hukummaka MA tidak dapat melakukan koreksi ataskesalahan tersebut. Jika demikian hal yangterjadi, maka diperlukan suatu sistem yangberfungsi menjaga kesatuan hukum.

Dalam konteks ini sebenarnya sistem hukum In-donesia telah menyediakan instrumen hukumyang berfungsi membantu MA menjalankanfungsi menjaga kesatuan hukum, yaitu KasasiDemi Kepentingan Hukum (KDKH). Wewenanguntuk menggunakan instrumen ini hanya dimi-liki oleh Jaksa Agung, baik dalam perkara-perkarapidana, perdata maupun Tata Usaha Negara(TUN). Secara ringkas KDKH adalah upayahukum yang diberikan oleh UU kepada JaksaAgung untuk meluruskan putusan PengadilanTingkat Pertama maupun Banding yang telahberkekuatan hukum tetap (inkracht) yangmengandung kesalahan penerapan hukum ataupertanyaan hukum (question of law) yangpenting bagi perkembangan hukum, yangapabila diputus oleh MA dapat menjadi suatuyurisprudensi (putusan-putusan Hakim terda-hulu yang telah berkekuatan hukum tetap dan

tion decision.23 CIL was never invoked by the At-torney General in civil and administrative cases.However, it is generally understood that there aremany civil and administrative decisions havinglegal force at the first instance and appellate lev-els that contain errors in the application of law.If allowed to go on, this condition will harm unityof legal application and will have a negative im-pact to the authority of law and the judiciary.

The lack of effectiveness of this legal instrumentis apparent especially in criminal cases. Acquit-tal decisions, either “free from all charges”(onslagt van alle rechtsvervolgingen) or “verdictof liberation” (vrijspraak) at the first or appel-late levels, which may be considered to be erro-neous, are currently corrected by normal cassa-tion, while cassation in the interest of law shouldhave been applied. This has a direct impact inlegal inconsistency for the defendants and the riseof the number of criminal case inflow to the Su-preme Court, because acquittals are easily chal-lenged using cassation, merely in the interest ofpunishing the defendant.

23 Cassation in the Interest of Law invoked by the Attorney General atthat time was intended to correct the decision and clarify the status ofsequestration in the pre-trial jurisdiction. According to the Criminal ProceduralCode, compensation to illegal sequestration is part of the pre-trial jurisdiction;however, the legality of the sequestration itself is not mentioned as part of thejurisdiction. The Supreme Court approved the cassation, and quashed theprevious decision. It also confirmed that the legality of sequestration is not partof the jurisdiction of pre-trial courts. However, the ruling does not cancel thelegal consequences, and only becomes a precedent for further requests in thefuture.

Page 46: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

37

diikuti oleh para hakim atau badan peradilan laindalam memutus perkara atau kasus yang sama)baru. Namun berbeda dengan kasasi biasa, KDKHpada dasarnya hanya untuk kepentingan hukumsemata, bukan untuk kepentingan dari parapihak yang bersengketa, sehingga tidak mengikatbagi para pihak yang bersengketa.

KDKH merupakan warisan sistem hukum Be-landa yang tetap dianut, atau setidaknya selaludicantumkan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur hukum acara. Bahkan,di masa awal kemerdekaan RI, KDKH diaturdalam UUD RIS 1949. Dalam sejarahnya instru-men hukum ini hanya beberapa kali digunakanoleh Jaksa Agung. Tercatat jumlah permohonanKDKH tak lebih dari 10 permohonan umumnyadalam perkara pidana, dan paling banyak dimo-honkan sebelum tahun 1970-an. Instrumenhukum ini terakhir digunakan pada tahun 1989atas putusan Praperadilan yang mengabulkanPraperadilan atas penyitaan.23 Dalam bidangperdata maupun TUN instrumen hukum KDKHtidak pernah digunakan oleh Jaksa Agung.Padahal telah menjadi rahasia umum bahwasangat banyak putusan perdata maupun TataUsaha Negara yang telah inkracht di tingkatPertama atau Banding yang mengandung kesala-

Ineffectiveness also occurs with regard to the At-torney General’s authority to provide legal opin-ions in the case of criminal cassations, as regu-lated in Article 44 v. 2 of Law No. 14 of 1985. Thislack of effectiveness can be understood as theinterest of the Attorney General in giving theseparate legal opinion is not clear, as opinion hasbeen given or represented by the prosecutorthrough the memory or counter memory of thecassation.

The inability of the Attorney General in support-

ing the Supreme Court’s function in maintaining

unity of law is caused by the inadequacy of the

institution authorized to execute the two legal in-

struments. Both authorities are basically derived

from the Dutch and French legal systems. How-

ever, in the two countries, the two functions are

not executed by the Attorney General, but by the

Procureur Generaal and Advocat Generaal.

The Procureur Generaal, during the Dutch colo-

nial period, was part of the legal system function-

ing in Indonesia. The body was part of the Su-

preme Court (Hoge Raad). Although a prosecut-

ing body, it is a different institution. Both in

France and in the Netherlands, the Procureur

Generaal or Procurator General do not have the

authority to prosecute, as prosecutors generally

23 KDKH yang diajukan oleh Jaksa Agung pada saat itu bertujuan untukmengkoreksi putusan tersebut serta memperjelas status penyitaan dalam lingkupPraperadilan. Sebab menurut KUHAP ganti rugi atas penyitaan yang tidak sahtermasuk lingkup Praperadilan, namun sah tidaknya penyitaan itu sendiri tidakdisebutkan sebagai lingkup dari Praperadilan. Oleh MA permohonan KDKHtersebut dikabulkan dan MA membatalkan putusan Praperadilan tersebut. MAjuga sekaligus mempertegas bahwa sah tidaknya penyitaan tidak termasuk dalamlingkup Praperadilan. Meski demikian putusan MA tersebut tidak membatalkanakibat hukum dari putusan Praperadilan itu sendiri, melainkan hanya menjadipreseden terhadap permohonan serupa dimasa yang akan datang.

Page 47: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

38

han penerapan hukum. Jika dibiarkan tentunyakondisi ini dapat merusak kesatuan penerapanhukum dan sangat berdampak pada kewibawaanhukum maupun kekuasaan kehakiman itusendiri.

Ketidakefektifan instrumen hukum ini sangatterlihat dampaknya terutama pada perkarapidana. Putusan pidana yang berupa lepas darituntutan hukum (onslagt van alle rechtsvervol-

gingen) maupun putusan bebas (vrijspraak) ditingkat pertama atau banding yang seharusnyajika dipandang pengadilan yang memutus per-kara tersebut salah dalam menerapkan hukum,maka dikoreksi melalui jalur Kasasi DemiKepentingan Hukum, kini akhirnya ditempuhmelalui jalur Kasasi biasa. Hal ini secara langsungberdampak pada ketidakpastian hukum bagiterdakwa serta meningkatnya jumlah perkarapidana yang masuk ke MA setiap tahunnya. Olehkarena putusan-putusan bebas maupun lepasmenjadi mudah untuk diajukan kasasi semata-mata dengan tujuan untuk dapat menghukumterdakwa.

Ketidakefektifan juga terjadi pada kewenanganJaksa Agung dalam memberikan pendapathukum dalam perkara pidana sebagaimanadiatur dalam pasal 44 ayat 2 UU No. 14 Tahun1985. Ketidakefektifan kewenangan ini dapatdipahami oleh karena menjadi tidak jelas kepen-tingan Jaksa Agung memberikan pendapathukum tersendiri padahal pendapat tersebuttelah diwakili atau dilakukan oleh Penuntut

do.24 In both countries, the functions are wellimplemented, especially in providing legal opin-ions and correcting rulings of lower courts thathave errors or lapses, through the cassation inthe interest of law mechanism, as the procureur

and advocat generaal’s structure follow thechamber system of the Hoge Raad.

In order to make this instrument effective, struc-tural changes in the Indonesian judiciary needto be done, at least by transferring the authorityto invoke this instrument to another institutionoutside the Attorney General’s Office, or by modi-fying the structure of the Office itself. These func-tions have to be transferred to an institution thatdoes not have any vested interest in the cases,unlike the Prosecutor’s Office or AttorneyGeneral’s Office, and the institution has to becomprised of people who are very competent incriminal, civil and administrative laws. Besides,in order to function well, there is another pre-requisite that has to be fulfilled, namely accessto all decisions in all courts in order to find outwhether there are decisions of the courts of first

24 The term Procureur General is comparable to the Attorney General, asin the official website of the Dutch Supreme Court (www.rechtspraak.nl), the termis translated such. However, the use of the term is not exactly the same as theIndonesian Attorney General (Jaksa Agung) as the term Attorney General isapplicable to the prosecutor in the court of appeal. The authority of the procureurgeneraal in the Netherlands and France is to give legal opinions (advise) in theform of conclusions (conclusie) to cassation and revision requests in criminaland civil cases, to invoke cassation in the interest of law in criminal and civilcases, give sanctions to judges, and in the Netherlands, as the general prosecutorin criminal cases committed by certain officials that can only be judged in theSupreme Court as forum priviligiatum. The duty to prosecute in these twocountries is located on the prosecutor general under the coordination of theMinistry of Justice and Board of Prosecutors.

Page 48: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

39

Umum melalui memori atau kontra memorikasasinya.

Tidak berfungsinya peran Jaksa Agung dalammendukung fungsi MA dalam menjaga kesatuanhukum terutama disebabkan pada tidak mema-dainya institusi yang diberikan kewenanganuntuk menggunakan kedua instrumen hukumtersebut. Kedua kewenangan tersebut padadasarnya berasal dari konsep yang ada padasistem hukum Belanda maupun Perancis. Namunberbeda dengan kedua negara tersebut fungsi-fungsi tersebut tidak dijalankan dilakukan olehJaksa Agung namun oleh Procureur General danAdvocate General.

Lembaga Procureur General pada masa pendudu-kan Belanda memang merupakan bagian darisistem hukum yang berlaku di Indonesia. Lem-baga ini berada di Mahkamah Agung (Hogeraad).Lembaga ini walaupun dikelompokan dalamkelompok prosecutor atau penuntut umum,namun sebenarnya merupakan organ yangberbeda dari penuntut umum. Baik di Perancismaupun Belanda Procureur (Procurator) Generaltidak berwenang untuk melakukan penuntutansebagaimana jaksa penuntut umum24. Di kedua

instance or appellate courts that are already inforce, which contain errors or lapses of judge-ment that are not challenged through cassation

4.4. Separation of Military Court from the

Supreme Court

From the aspect of unity of law, separation of themilitary court from the Supreme Court does nothave much impact, as military criminal caseshave always been handled by supreme judgeswho have a military background. Based on casemapping, it is very unusual to have militarycriminal cases that are tried by supreme judgesfrom other backgrounds.25 Thus, functionally, theseparation of the military court from the Su-preme Court will not have much influence in thehandling of military court cases in the cassationlevel. However, for the Supreme Court, the sepa-ration of the military court will provide efficiencybenefits in the number of cases handled, andorganisational consequences such as the Su-preme Judge resources needed.

In this concept, the military court is to be sepa-rated from the Supreme Court, meaning that itno longer falls under the jurisdiction of the Su-preme Court. The separation is based on thethinking that with regard to administration, fi-nances, organisation and human resources, the

24 Istilah Procureur General memang dapat dipersamakan dengan JaksaAgung, mengingat dalam website resmi Peradilan Belanda (www.rechtspraak.nl)dalam situs berbahasa Inggrisnya istilah Procureur General tersebutditerjemahkan menjadi Attorney General. Namun penggunaan istilah tersebuttidak memiliki makna yang sama dengan istilah Jaksa Agung dalam bahasaIndonesia, mengingat istilah Attorney General juga dipergunakan untuk merujukpada Jaksa pada Court of Appeal. Kewenangan Procureur General di kedua negaratersebut yaitu memberikan pendapat (advise) dalam bentuk conclusie ataspermohonan kasasi dan peninjauan kembali baik dalam perkara pidana maupunperdata, mengajukan kasasi demi kepentingan hukum dalam perkara pidan danperdata, menjatuhkan sanksi terhadap hakim, dan khusus pada Belanda, ProcureurGeneral juga memiliki fungsi sebagai Penuntut Umum dalam perkara atas tindakpidana yang dilakukan oleh pejabat-pejabat tertentu yang diadili ditingkat pertamadan terakhir di Mahkamah Agung (forum priviligiatum). Tugas penuntutan padakedua negara tersebut terletak pada penuntut umum yang berada dibawahkoordinasi Ministry of Justice dan Board of Procecutors.

25 Based on Law No. 31 of 1997 on Military Courts, cases that fall underthe jurisdiction of this court include military criminal and military administrativecases. However, at present, no military administrative cases have been examined,as the government has yet to release a governmental regulation on MilitaryAdministrative Procedural Law as posited by Article 353 of Law No. 31 of 1997on Military Courts.

Page 49: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

40

negara tersebut fungsi-fungsi tersebut dapatberjalan dengan baik, khususnya dalam halpemberian pendapat hukum dan melakukankoreksi atas putusan inkracht pengadilan tingkatbawah yang mengandung kesalahan penerapanhukum melalui mekanisme kasasi demi kepen-tingan hukum oleh karena struktur procureur danadvokat general mengikuti sistem kamar padaHoge Raad.

Untuk mengefektifkan instrumen ini diperlukanperubahan struktural dalam sistem peradilan In-donesia, setidaknya dengan memindahkan kewe-nangan atas instrumen ini kepada institusi di luarKejaksaan Agung atau merombak struktur Kejak-saan Agung itu sendiri. Fungsi-fungsi ini harusdiserahkan pada institusi yang tidak memilikikepentingan terhadap perkara sebagaimanahalnya Jaksa/Kejaksaan Agung, serta harusberisikan orang-orang yang memang memilikikompentensi yang sangat baik dalam bidangpidana, perdata dan Tata Usaha Negara. Selain ituuntuk dapat berfungsi dengan baik maka ter-dapat prasyarat lainnya yang harus dipenuhi,yaitu tersedianya akses bagi semua putusan disemua pengadilan untuk dapat mengetahui adaatau tidaknya putusan pengadilan tingkatpertama atau banding yang telah inkracht yangmengandung kesalahan penerapan hukum yangtidak diajukan kasasi oleh para pihak.

4.4. Pemisahan Peradilan Militer dariMahkamah Agung

Dilihat dari isu kesatuan hukum, pemisahan

military court always falls under the military com-mand, so the one-roof court system cannot re-ally be applicable to the military court.

As an illustration, recruitment of military judgescannot be done independently by the SupremeCourt, as they have to be members of the mili-tary who have certain rank prerequisites. Otherthan recruitment, human resource training ofmilitary judges cannot be easily done by the Su-preme Court without the involvement of the mili-tary command. The military court system alsoallows a military judge to become an oditur (pros-ecutor) or military registrar, and back to a mili-tary judge.

The separation of the military courts from theSupreme Court does not result in much impactto the Supreme Court. There are not many mili-tary criminal cases that enter the Supreme Court,either as cassations or as revision requests, mak-ing up for less than 1.5% of the total annual caseload, as seen in the following table:26

26 Processed by LeIP from 2009 Supreme Court registry data.

Percentage of Military Cases in the Supreme Court

Number ofSupreme

Court Cases

Number ofMilitary CriminalCases (Cassation

and Revision)

%Year

2006

2007

2008

7989

9579

11338

114

127

149

1,43%

1,33%

1,31%

Page 50: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

41

Peradilan Militer dari MA juga tidak banyakberpengaruh, mengingat selama ini khusus untukperkara pidana militer memang telah ditanganioleh Hakim Agung yang berlatar belakang militer.Berdasarkan penelusuran yang dilakukan, sangatjarang ditemukan perkara pidana militer yangditangani oleh Hakim Agung yang berasal darilingkungan peradilan lain.25 Dengan demikiansecara fungsional dipisahkannya PeradilanMiliter dari MA tidak akan banyak berpengaruhdalam penanganan perkara peradilan militer ditingkat kasasi. Namun bagi MA pemisahanperadilan militer akan menguntungkan dari sisiefisiensi baik dari jumlah perkara maupunkonsekuensi organisatoris serta sumber dayaHakim Agung.

Dalam konsep ini Peradilan Militer dipisahkandari MA atau tidak lagi menjadi suatu lingkunganperadilan yang berada di bawah kekuasaan MA.Pemisahan tersebut didasarkan pada pemikiranbahwa secara administrasi, finansial, organisasi,pembinaan SDM Peradilan Militer akan selaluberhubungan dengan kewenangan Markas BesarTNI sehingga sistem satu atap tidak pernah bisabenar-benar diterapkan pada Peradilan Militer.

Sebagai ilustrasi rekrutmen hakim militer tidakdapat dilakukan sendiri oleh MA oleh karenahakim militer haruslah diangkat dari anggota TNI

In order to maintain unity of law in the militarycourt system, a court of cassation or court of thehighest instance can be created, for example asupreme military tribunal with a status equal tothe Supreme Court, referring to the principles ofjudicial powers that are universal. Thus, the high-est authority of the judiciary will lie in three in-stitutions: the Supreme Court, the ConstitutionalCourt and the Supreme Military Tribunal.

4.5. Restructurisation of the Administrative

Court

The administrative court has an important role

to protect citizens’ rights based on individual

rights, and to protect citizens’ rights based on

common interest of individuals living in the so-

ciety. However, fulfilment of citizens’ rights is of-

ten hampered by the process of dispute resolu-

tion, which is often lengthy. For individual par-

ties, this often causes uncertainty of rights, and

the decision of the administrative court no longer

having concrete effects. For citizens in general,

this will cause lengthy uncertainty of law with the

potential of causing greater damages for others

who have similar problems. For the state, uncer-

tainty will also affect policies. The problem of

lengthy resolution causes failure of the adminis-

25 Berdasarkan UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer perkarayang termasuk dalam lingkungan peradilan ini memang terdiri dari 2 jenis perkara,yaitu pidana militer dan Tata Usaha Militer. Namun hingga saat ini khusus untukTata Usaha Militer masih belum berlaku, oleh karena Pemerintah hingga saat inibelum menerbitkan Peraturan Pemerintah yang memberlakukan Hukum AcaraTata Usaha Militer sebagaimana diamanatkan oleh pasal 353 UU No. 31 Tahun1997 tentang Peradilan Militer.

Page 51: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

42

yang memiliki prasyarat jenjang kepangkatanmiliter tertentu. Selain masalah rekrutmen,masalah pembinaan SDM hakim militer juga sulituntuk dilakukan oleh MA tanpa keterlibatanMabes TNI. Dalam peradilan militer dimung-kinkan seorang Hakim Militer beralih tugasmenjadi Oditur Militer atau Panitera Militer dankemudian kembali lagi menjadi Hakim Militer.

Dilepaskannya lingkungan peradilan militer dariMA sebenarnya tidak banyak menimbulkandampak bagi MA. Dilihat dari implikasi bebanperkara, perkara pidana militer yang masuk keMA baik perkara Kasasi maupun PeninjauanKembali sejauh ini memang tidak terlalu besar,yaitu dibawah 1,5% dari total perkara yangmasuk setiap tahunnya ke MA, seperti terlihatdari tabel berikut:26

trative court’s goals to protect the rights of citi-

zens.

The lengthy process of the administrative court

can be seen from the date of resolution of the

case compared to the date of the administrative

decision being challenged. A sample of adminis-

trative cases at the cassation level from 2005 to

2008 shows that on average, an administrative

case takes more than 21 months for resolution.27

In order to speed the resolution of administra-

tive cases, the process needs to be simplified to

two levels, in which appeal for administrative

cases can be omitted. Thus, examination of facts

(judex factie) is to be done in the first instance,

and cassation is only sent to the Supreme Court

as a last resort. This has the benefit of speeding

the process of dispute resolution so that the ad-

ministrative court’s decision becomes effective,

and protecting the rights of the individual.28

Restructurisation of the administrative court has

human resource implications. As the administra-

tive court is to be simplified into two instances,

26 Diolah oleh LeIP dari data perkara Kepaniteraan Mahkamah Agung RITahun 2009.

Prosentase Perkara Peradilan Militer di

Mahkamah Agung

JumlahPerkara MA

Jml PerkaraPidana

Militer (Kasasidan PK)

%Tahun

2006

2007

2008

7989

9579

11338

114

127

149

1,43%

1,33%

1,31%

27 LeIP did a research, sampling 60 random administrative cases in theSupreme Court between 2005 and 2008.

28 At present, several administrative dispute cases are examined in twolevels of courts. An example is employee relations disputes, and information servicedisputes based on Law No. 14 of 2008 on Transparency of Public Information.

Page 52: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

43

Untuk dapat tetap menjaga kesatuan hukum padalingkungan peradilan Militer maka dapat diben-tuk peradilan kasasi atau pengadilan tertinggidari lingkungan peradilan militer, misalnyaberupa Mahkamah Militer yang kedudukannyasetingkat MA dengan tetap mengacu padaprinsip-prinsip kekuasaan kehakiman yangberlaku secara universal. Dengan demikian makapuncak kekuasaan kehakiman akan terdiri daritiga lembaga, yaitu Mahkamah Agung, Mahka-mah Konstitusi, dan Mahkamah Militer.

4.5. Restrukturisasi Peradilan Tata UsahaNegara

Pengadilan TUN memiliki peran yang pentingyaitu memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak- hakindividu dan memberikan perlindungan ter-hadap hak-hak masyarakat yang didasarkan padakepentingan bersama dari individu yang hidupdalam masyarakat tersebut. Namun pemenuhanhak warga negara seringkali terhambat denganproses penyelesaian sengketa yang membu-tuhkan waktu tidak sebentar. Bagi pihak pengajuperkara secara individual hal ini menimbulkanketidakpastian akan haknya dan putusan peng-adilan TUN tidak lagi memiliki dampak yangnyata. Sedangkan bagi Warga Negara secaraumum, hal ini akan menimbulkan ketidakpastianhukum yang berkepanjangan dan berpotensimenimbulkan dampak kerusakan yang lebihbesar bagi pihak lain yang mengalami perkaraserupa. Sementara bagi negara ketidakpastian

the career system of administrative judges will

differ from those of state court judges. In the state

court, there are two career paths of judges (first

instance and appellate), which allow judges to

take either path in a certain time period. The

elimination of the appellate court for adminis-

trative cases will remove one of the stages in the

career path, so for young judges in the adminis-

trative court, their career progress will be slow.

Thus, administrative judges at the first instance

have to be senior judges, at the same level as high

judges. Besides, by appointing a senior judge to

an administrative court of first instance, the au-

thority of the judge in resolving cases involving

the government will become higher.

4.6. Creation of a Small Claims Court

The debate on access to justice is presently domi-

nated by the issue of access to legal counsel, and

thus the proposed solutions tend to focus on im-

proving such access. From the viewpoint of legal

counsels, this may give some benefits, but it is

not the case for the seekers of justice. Other than

legal aid, one of the most viable strategies to im-

prove access to justice is by simplifying the court

Page 53: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

44

tersebut juga berdampak pada kebijakan yangdilaksanakan. Permasalahan lamanya prosespenyelesaian sengketa menyebabkan PengadilanTUN gagal mencapai tujuannya untuk melindungihak-hak Warga Negara.

Ilustrasi mengenai lamanya proses berperkarapada pengadilan TUN dapat dilihat pada jangkawaktu penyelesaian perkara TUN yang cukuplama dibandingkan dengan tanggal berlakunyasuatu keputusan administratif. Sampel perkaraTUN di tingkat kasasi dari tahun 2005 hingga2008 yang diteliti memperlihatkan rata-ratasebuah perkara TUN memerlukan waktu kuranglebih dari 21 (duapuluh satu) bulan untukpenyelesaian perkara.27

Untuk mempercepat proses penyelesaian per-kara TUN, maka proses sengketa perlu diringkasmenjadi dua tingkatan dimana pengadilan band-ing untuk perkara TUN dihapuskan. Dengandemikian pemeriksaan fakta (judex factie)dilakukan di tingkat pertama dan kasasi diajukanke MA sebagai pengadilan tingkat terakhir. Halini memiliki keuntungan yaitu mempercepatproses penyelesaian sengketa untuk meng-efektifkan dampak putusan PTUN dan per-lindungan hak individual.28

Restrukturisasi peradilan TUN memiliki konse-kuensi SDM. Mengingat peradilan TUN diusulkan

process. Simplification of the process has a great

impact to the cost of the case, including minimi-

sing the cost of legal counsel, which is often the

highest cost to pay, either for parties who pay

for their own legal counsel, or for the state, which

is obliged to provide legal counsel for the needy.

The issue of access to justice is not only a prob-

lem for those living in poverty, but also other ele-

ments of the society. Several characteristics of the

“regular” court process may be appropriate for

legal advocates or those who possess a good un-

derstanding of law, but may not be so for the com-

mon people. As a result, the judiciary should pro-

vide an alternative forum that is more accessible.

Cases having small economic value should be

treated differently from normal cases, through a

summary court system and restriction of legal re-

courses. Individual samples of cases show that

lawsuits often involve objects with minuscule eco-

nomic value, such as one in Papua regarding two

mango trees, in which the plaintiff do not even

demand monetary compensation, but merely

demand that the defendant cut down those

trees.29 In other cases studied by LeIP, the value

27 LeIP melakukan penelitian dengan mengambil sampel secara random60 perkara TUN yang masuk ke MA pada tahun 2005, 2006, 2007 dan 2008.

28 Pada saat ini pun, ada beberapa jenis perkara sengketa tata usahanegara yang diperiksa dalam 2 (dua) tingkat pengadilan. Misalnya perkarasengketa kepegawaian, dan ke depan perkara sengketa pelayanan informasiberdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang KeterbukaanInformasi Publik. 29 Supreme Court Decision No. 1022 K/Pdt/2006

Page 54: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

45

untuk disederhanakan menjadi 2 (dua) tingkatmaka sistem karir hakim TUN akan berbedadengan hakim pada peradilan umum. Padaperadilan umum terdapat dua jenjang karirhakim (tingkat pertama dan banding) yangmemungkinkan hakim menaiki jenjang karirdalam waktu tertentu. Penghapusan pengadilanbanding untuk perkara TUN menyebabkan satutahapan kenaikan karir terpotong sehingga bilahakim TUN diisi oleh hakim muda maka kenai-kan jenjang karir akan memakan waktu yanglama. Untuk itu jenjang karir bagi hakim TUN ditingkat pertama harus diisi oleh seorang hakimsenior yang kurang lebih selevel dengan hakimTinggi. Selain itu dengan menempatkan hakimsenior sebagai hakim TUN tingkat pertama akanmeningkatkan kewibawaan hakim dalam menye-lesaikan sengketa yang melibatkan Pemerintah.

4.6. Pembentukan Pengadilan Acara Cepat(Small Claim Court)

Perdebatan mengenai akses pada pengadilanpada saat ini umumnya masih berkisar mengenaipermasalahan akses pada penasehat hukum, se-hingga solusi yang dipergunakan cenderung ber-kisar pada upaya meningkatkan akses bantuanhukum. Dari segi penasehat hukum hal inimungkin memberikan keuntungan tapi tidakselalu demikian dipandang dari segi pencarikeadilan. Selain bantuan hukum, salah satustrategi paling memungkinkan untuk mening-katkan akses masyarakat terhadap pengadilanadalah dengan menyederhanakan proses persi-dangan. Penyederhanaan proses berdampak

of the lawsuit is merely 2 or 3 million rupiah.30

The challenges in developing small claims courts

are in creating forums in which to resolve dis-

putes that are accessible not only economically,

but also physically and psychologically. The com-

munity has to feel confident and comfortable in

using the forum. Resolution of small claims can

be done summarily in the civil law sub-chamber

at the courts of first instance. Such cases should

have restricted legal recourses according to the

economic value of the case. Cases with small eco-

nomic value, which do not require complex ad-

ministrative processes and corroboration of evi-

dence, can utilise a simple oral process that does

not focus on thoroughness of documentation.

Such cases can also be examined and decided by

a single judge.

The use of a single judge is beneficial in two as-

pects: first, it speeds up the process of reaching

the decision; and second, with its rather less for-

mal mechanism (an oral procedure) of decision

making, parties with psychological and legal bar-

riers can feel more comfortable with the process.

30 Supreme Court Decisions Nos. 159/K/Pdt/2006 and 288/K/Pdt/2006.

Page 55: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

46

besar pada pengurangan biaya, termasuk mene-kan biaya penasehat hukum yang seringkalimenjadi sumber pembiayaan terbesar yangharus dikeluarkan, baik oleh para pihak dalam haldia membiayai sendiri penasehat hukum, mau-pun dari segi negara yang menyediakan ang-garan bantuan hukum.

Permasalahan akses keadilan bukan hanya per-masalahan orang miskin namun juga masyarakatdengan berbagai kepentingan lainnya. Beberapakarakteristik dari proses pengadilan “biasa”mungkin cocok bagi para advokat atau masya-rakat yang melek hukum, namun belum tentucocok bagi orang biasa. Untuk itu pengadilanharus menyediakan forum lain yang lebih mudahdiakses.

Perkara dengan nilai ekonomi kecil harus diper-lakukan berbeda dari perkara biasa, melaluiproses peradilan cepat dan pembatasan upayahukum. Sampel perkara individu memper-lihatkan bahwa pokok sengketa seringkali sangatkecil nilai ekonominya misalnya perkara sengketayang terjadi di Papua mengenai pohon mangga,tepatnya 2 buah pohon mangga yang dalampetitumnya pun penggugat tidak menuntut gantirugi sejumlah uang tetapi hanya menuntut agartergugat menebang 2 buah pohonnya.29 Atau adabeberapa perkara lain yang dikaji oleh LeIP hanyamelibatkan nilai gugatan sebesar Rp 2 juta atauRp 3 juta rupiah.30

In the case of parties feeling unsatisfied with the

decision of the judge, they can appeal or ask for

a re-examination by a panel of courts in the court

of first instance. Cases of this type are expected

to be finalised at the first instance level and not

allowed to progress to the appellate court.

Small claims cases that need more complex evi-

dence and procedures can still be simplified by

limiting legal recourses. Such cases can be

handled by a panel of judges, and if there are

parties that are not satisfied, they will be allowed

to appeal. Such cases will be finalised at the ap-

pellate level, and not allowed to progress to the

Supreme Court. By modifying the process

through simplification of the stages, besides be-

ing able to resolve cases more promptly, the cost

borne by either the state or the parties will be

lower.

No less important, summary courts can become

an alternative solution for various petty crime

cases, which are in the limelight. Examples in-

clude cases of theft of watermelon, cacao and

such. Various criminal cases with less severe

threats of punishment (misdemeanours) should29 Putusan MA No. 1022 K/Pdt/200630 Putusan MA No. 159/K/Pdt/2006 dan Putusan MA No. 288/K/Pdt/

2006.

Page 56: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

47

Tantangan dari penyelesaian perkara small claim

adalah untuk menciptakan forum penyelesaiansengketa yang menarik, bukan hanya secaraekonomis namun juga secara fisik dan psikologis,dimana mereka merasa nyaman dan percaya dirimenggunakan forum tersebut. Untuk itu penyele-saian perkara small claim dilakukan dengan acaracepat dalam sub kamar perdata pada pengadilanumum tingkat pertama. Dalam perkara sejenisini, upaya hukum dibatasi dengan melihat nilaiekonomis perkara. Untuk perkara yang nilaiekonominya kecil dan tidak memerlukan prosesadministrasi perkara dan pembuktian yangkompleks, sebaiknya mengutamakan proses oraldan tidak menitikberatkan pada pengajuandokumen-dokumen. Perkara tersebut dapatdiperiksa dan diputus oleh Hakim Tunggal.

Penggunaan Hakim Tunggal bermanfaat dalamdua hal: Pertama dari segi proses akan mem-percepat proses pengambilan keputusan; Keduadengan mekanisme pengambilan keputusan yanglebih informal dengan penekanan penggunaanoral dibandingkan dokumen tertulis, HakimTunggal akan membantu para pihak yang memi-liki hambatan psikologis dan hukum untukmerasa lebih “nyaman” dalam proses persi-dangan. Dalam hal para pihak tidak puas denganputusan hakim tersebut, maka ia dapat meng-ajukan banding atau minta diperiksa kembalioleh hakim dalam majelis, pada pengadilan yangsama. Perkara jenis ini akan selesai di tingkatpertama dan tidak dimungkinkan untuk menga-

be resolved through summary processes, giving

consideration to the perspective of restorative

justice. In this perspective, the state reduces its

involvement in criminal case resolution, and the

resolution is to be given more emphasis to the

restoration of the relations of the parties through

compensation or indemnification of the damages

done. Attempts to make imposition of fines as an

alternative to criminal sanctions in misde-

meanour cases also make an interesting alter-

native solution.

Another solution to improve access to courts in

resolving their daily disputes is by giving easier

physical access to them, by providing small

claims courts in the middle of the community, so

its functions are better known, in turn improv-

ing its acceptance by the community as a choice

in resolving their disputes. Another way to im-

prove access is to open courts in the evening, so

workers will not need to leave their workplaces

to go to court. This is important, as the court will

serve the common people, most of which are

workers. Especially in urban areas, with large

populations of workers, the potential for civil

Page 57: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

48

jukan upaya hukum ke pengadilan tingkat ban-ding.

Sedangkan perkara small claim yang dinilai lebihkompleks proses pembuktiannya dan memer-lukan proses administrasi perkara yang lebihkompleks maka penyederhanaan proses beracaratetap dapat dilakukan dengan cara membatasiupaya hukum. Perkara sejenis ini akan ditanganioleh hakim dalam majelis dan pada para pihakyang tidak puas atas putusan majelis hakim akandiberikan kesempatan untuk mengajukan upayahukum ke pengadilan banding. Perkara jenis iniakan final di tingkat banding dan tidak dapatdiajukan ke MA. Dengan perubahan prosesberacara melalui penyederhanaan tahapan makaselain mempermudah penyelesaian perkara, jugamengurangi biaya negara maupun biaya parapihak dalam menyelesaikan perkara.

Yang tak kalah penting, pengadilan acara cepatseperti ini bisa menjadi solusi alternatif bagiberbagai perkara pidana kecil yang banyakdisorot akhir-akhir ini. Misalnya kasus pencuriansemangka, kasus pencurian kakao dan seba-gainya. Beberapa jenis perkara pidana denganancaman hukuman ringan dapat diupayakanuntuk diselesaikan melalui pengadilan acaracepat dengan mempertimbangkan perspektifrestorative justice. Dengan perspektif itu negaramengurangi perannya untuk terlibat dalampenyelesaian perkara pidana dan proses penyele-saian lebih difokuskan pada pemulihan hubu-ngan dua pihak melalui kompensasi atau peng-

disputes is large, and courts that are operational

in the evenings will be a beneficial breakthrough

for access.

These improvements in access will encourage

community members to resolve cases with rela-

tively small economic values – disputes that oc-

cur most often in their daily lives – in court. Be-

sides simplifying the stages and providing bet-

ter physical access, small claim courts also need

to be designed to serve the interests of the com-

mon people, marked by low cost, lack of formal-

ity and capacity to manage the relations of dis-

puting parties that are often complex and con-

tinuing well after the resolution of the dispute.

4.7. Decentralisation of the Judicial Human

Resources System

The present judicial human resources manage-

ment system results in judges being prone to in-

tervention from superiors. Judges are subject of

a performance and discipline evaluation system

controlled by superiors, who also control promo-

tion and transfer to other regions or courts. In

such a condition, the national transfer policy

system is vulnerable to corruption at the deci-

Page 58: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

49

gantian kerugian atas kerusakan yang ditim-bulkan. Upaya untuk mengefektifkan hukumandenda sebagai salah satu alternatif pemidanaandalam perkara pidana ringan juga merupakanalternatif solusi yang menarik.

Cara lain untuk mendorong kemudahan bagimasyarakat mengakses pengadilan ini untukmenyelesaikan sengketa keseharian merekaadalah dengan memberikan kemudahan meng-akses secara fisik, yaitu dengan menempatkanpengadilan yang mengadili perkara-perkarakeseharian (small claim) di tengah-tengahmasyarakat sehingga kegunaannya mudahdisosialisasikan dan pada akhirnya dapat diteri-ma oleh masyarakat sebagai pilihan untukmenyelesaikan sengketa. Kemudahan lain yangdapat diberikan adalah dengan adalah denganmembuat pengadilan tersebut buka pada malamhari sehingga pekerja tidak perlu membolosuntuk hadir di pengadilan. Hal ini penting meng-ingat pengadilan ini akan melayani masyarakatkebanyakan yang umumnya terdiri dari kaumpekerja. Apalagi di daerah perkotaan denganmasyarakat kelas pekerja yang diduga akanmuncul potensi sengketa perdata cukup besar,maka membuat pengadilan buka setelah jamkerja dapat menjadi suatu terobosan akses yangbermanfaat.

Berbagai kemudahan akses akan memberiinsentif kepada masyarakat untuk menyelesaikanperkara bernilai ekonomis relatif kecil, yangmerupakan perkara keseharian masyarakat, ke

sion making level, as judges will make efforts not

to be transferred to difficult regions. The low

budget of the judiciary results in the national

transfer system31 having negative effects to

judges. Judges transferred to backwater regions

are often not provided with adequate housing

and financial benefits. The national transfer sys-

tem, in which the length of a tour of duty for a

judge varies between 2 to 4 years (a relatively

short period) results in difficulties in monitor-

ing and taking of action against the judges, if

there are complains from the community. The

plural conditions of Indonesia also causes lack of

understanding among judges on legal issues that

are apparent in different regions, since they

never stay for a long time at one region.

In order to respond to the need of the judiciary

to resolve disputes at the local level, the centra-

lised judges’ human resources system needs to

be reformed.

31 The national transfer system is based on the thinking that judges needto master all legal issues, and that it is better if a judge has experience in handlingvarious cases in various regions of Indonesia. Besides, in the past, during the earlyindependence era, when integration of the state was a serious issue, judges alsohad the role to push the integration process in the regions by unifying applicationof local regulations to be inline with national regulations.

Page 59: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

50

pengadilan. Selain penyederhanaan tahapan dankemudahan akses secara fisik, small claim court

juga harus didesain untuk melayani kepentinganorang biasa, yang ditandai dengan biaya rendah,informalitas dan kapasitas untuk mengelolahubungan antara pihak yang bersengkata yangseringkali kompleks dan berkelanjutan.

4.7. Perombakan Sistem SDM Hakim Me-nuju pada Sistem Terdesentralisasi

Sistem manajemen SDM Hakim yang ada saat inimenyebabkan Hakim juga rentan terhadap inter-vensi atasan. Hakim merupakan subyek darisistem evaluasi kinerja dan pendisiplinan yangdilakukan oleh atasan yang juga memegangkontrol atas promosi dan mutasi ke pengadilanatau daerah yang lebih baik. Dalam kondisidemikian maka kebijakan mutasi nasionalmenjadi rentan terhadap peluang korupsi ditingkat pengambil kebijakan karena Hakim akanberusaha supaya tidak ditempatkan di daerahyang sulit. Minimnya anggaran pengadilan,menyebabkan sistem mutasi nasional31 justruberdampak negatif terhadap hakim. Hakim yangdipindahkan ke suatu daerah seringkali tidakdicukupi fasilitas perumahan dan tunjangankepindahan yang memadai. Sistem mutasinasional dimana jangka waktu kerja hakimcukup pendek (umumnya dua hingga 4 tahun)

31 Sistem mutasi nasional dilakukan atas dasar pemikiran bahwa Hakimharus menguasai semua permasalahan hukum yang dipandang akan semakinmembaik jika Hakim tersebut memiliki pengalaman menangani perkara diberbagai daerah di Indonesia. Selain itu pada masa lalu di awal masa kemerdekaandimana masalah integrasi bangsa merupakan isu yang serius, maka Hakimmemiliki peran untuk mendorong proses integrasi di berbagai daerah dengan caramenyelaraskan penerapan hukum lokal sehingga selaras dengan hukum nasional.

In the future, judges should no longer have to

serve tours of duties all over Indonesia. Trans-

fers should be limited to regions, except within

certain courts that are to serve as specialised

career paths. Judges should be appointed to serve

in a certain court based on certain criteria based

on the needs of the court. At a certain point,

judges should not be transferred to another court

except on the request of the said judge and/or

based on the consideration of the Supreme Jus-

tice. With a decentralised recruitment system, in

which judges are recruited based on the needs

of certain courts and that the judges can satisfy

the needs of the courts at the regional level, the

gap between judges and local issues is expected

to be bridgeable.

Judges who hail from a certain region, and who

are known by the community due to their status,

are expected to be able to transcend the limita-

tions of the relations between the judiciary and

the community, which is often narrowly defined.

Such judges who possess these criteria will ob-

tain trust in exercising their authorities and func-

tions and judges, who often have to go beyond

Page 60: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

51

menyebabkan sulitnya dilakukan pengawasanatau menyulitkannya pengambilan tindakandalam hal terdapat pengaduan masyarakat.Kondisi Indonesia yang plural juga menyebabkanminimnya pemahaman hakim akan permasa-lahan hukum di wilayah lokal karena hakim tidakpernah berada pada suatu tempat dalam jangkawaktu yang lama.

Untuk dapat merespon kebutuhan pengadilanyang mampu menyelesaikan sengketa di tingkatlokal, maka perlu dilakukan perombakan sistemSDM Hakim yang tersentralisasi seperti yangdianut selama ini.

Di masa mendatang, hakim seharusnya tidak lagimelaksanakan mutasi ke seluruh Indonesia.Sistem mutasi harus dibatasi secara regionalkecuali pada pengadilan tertentu yang dijadikansebagai pijakan karier khusus. Hakim ditem-patkan berdasarkan kriteria jabatan dan kriteriakekhususan tertentu yang ada pada Pengadilantersebut. Pada titik tertentu hakim tidak lagidimungkinkan untuk berpindah ke pengadilanlain kecuali atas permintaan yang bersangkutandan atau berdasarkan pertimbangan pimpinanMA. Dengan rekrutmen yang terdesentralisasi,dimana hakim direkrut sesuai dengan kebutuhanpengadilan tertentu dan calon yang memenuhikebutuhan pengadilan di tingkat daerah makadiharapkan masalah hakim yang distinct denganpermasalahan lokal dapat dijembatani.

Hakim yang berasal dari suatu daerah danbanyak dikenal oleh masyarakat karena status-

formal laws in order to resolve disputes in the

society. Judges of the appellate court should also

absorb the locality. Decisions of judges at the

lower levels that are examined in the cassation

level can contribute to enrich the Supreme

Court’s jurisdiction. Thus, the function of main-

taining unity of law that may have an implica-

tion of injustice to certain groups due to the uni-

versal application of a single law can be bridged.

The decentralised recruitment and career system

becomes realistic as there are law schools all over

Indonesia. Although the quality is not equal yet,

the system will compel law schools, especially in

the less developed regions, to improve the qual-

ity of their graduates, in order to fulfil the crite-

ria for selection by the Supreme Court. This sys-

tem will also benefit the Supreme Court. A lim-

ited transfer or a non-transfer system in the long

run will significantly reduce the judiciary bud-

get. Judges who serve permanently in a court can

perform long-term planning, be more comfort-

able in exercising their duties, and have a greater

sense of belonging. The willingness of the judges

to develop the court will also improve as they

Page 61: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

52

nya diharapkan dapat menjangkau keluar bataskonteks hubungan peradilan dengan masyarakatyang pada umumnya dirumuskan secara sempit.Hakim yang memiliki kriteria seperti ini akanmemiliki kepercayaan untuk menjalankankewenangan dan fungsi mereka sebagai hakimyang kadang kala harus keluar dari hukum for-mal untuk melaksanakan fungsi penyelesaiansengketa di masyarakat. Dengan demikian hakimpengadilan banding juga dapat menyerap loka-litas. Putusan-putusan hakim di tingkat lebihrendah yang diperiksa di tingkat kasasi dapatmemberikan kontribusi untuk memperkayayurisprudensi MA. Dengan demikian fungsikesatuan hukum yang memiliki implikasi akanakibat ketidakadilan pada kelompok tertentuyang mungkin terjadi karena pemberlakuanaturan hukum tunggal dapat dijembatani.

Sistem rekrutmen dan karir yang terdesentra-lisasi menjadi realistis untuk dilakukan meng-ingat penyebaran Fakultas Hukum di Indonesiasaat ini telah merata di seluruh Indonesia.Meskipun kualitas Fakultas Hukum masih belummerata, namun demikian dengan adanya sistemini maka Fakultas Hukum di daerah akan terdo-rong untuk memperbaiki kualitas lulusannyauntuk memenuhi kriteria seleksi yang ditetapkanoleh MA. Selain itu sistem ini juga memberikankeuntungan pada MA. Sistem mutasi terbatasatau sistem non-mutasi dalam jangka panjangakan menghemat anggaran pengadilan secarasignifikan. Hakim yang menempati suatu peng-adilan akan cenderung melakukan perencanaanjangka panjang sehingga lebih nyaman dalammelaksanakan tugas dan rasa kepemilikan terha-

have an interest to advance the court where they

will perform their duties for a lengthy period. Due

to the permanency, judges will have an opportu-

nity to develop their skills, and thus improving

the quality of their decisions.

A concern that may arise due to the application

of this system is related to the creation of patron-

age ties with the local community members due

to the length of the term. Such ties will poten-

tially create collusion, nepotism and corruption.

However, this negative excess is not actually cre-

ated by the non-professional relations between

judges and external parties that are the result of

lengthy terms. In fact, although at present judges

only serve a short tour of duty; non-professional

relations and corruption occur anyway. Thus, to

resolve this problem, stricter monitoring of

judges needs to be implemented. By using the lim-

ited transfer or non-transfer system, monitoring

becomes easier as judges will remain at the same

location for a long time, making tracing of data

and track record easier.

5. Concluding Notes

Judicial reform should be aimed to restore the

Page 62: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

53

dap kantor pengadilan dimana ia bertugas akanmenjadi besar. Keinginan hakim untuk memba-ngun pengadilan pun dengan demikian akanmeningkat karena ia berkepentingan terhadapkemajuan pengadilan dimana ia akan bertugasdalam jangka panjang. Karena masa tugasnya yangpanjang, hakim akan memiliki kesempatan untukmengembangkan keahliannya sehingga kualitasputusan akan semakin meningkat.

Kekhawatiran yang muncul dalam penerapansistem ini adalah berkaitan dengan terbangunnyahubungan-hubungan kekeluargaan dengan ma-syarakat setempat mengingat lamanya waktubertugas di satu daerah. Hubungan kekeluargaanyang terjalin baik dikhawatirkan akan berpotensipada terjadinya kolusi, nepotisme dan korupsi.Namun demikian, ekses negatif ini sesungguhnyaterjadi bukan disebabkan karena terbangunnyahubungan non-profesional hakim dengan pihakeskternal yang disebabkan karena lamanya waktubertugas. Bahkan pada saat ini dimana hakimhanya bertugas dalam waktu singkat di suatudaerah, hubungan yang non-profesional danpraktek KKN tetap terjadi. Oleh karena itupermasalahan ini harus diatasi dengan mekanis-me pengawasan yang lebih intensif terhadaphakim. Justru dengan penerapan sistem mutasiterbatas atau non-mutasi, maka tugas pengawasanmenjadi lebih mudah karena hakim menetapdalam jangka waktu panjang sehingga penelusu-ran data dan track record hakim lebih mudahdilakukan.

5. Penutup

Reformasi peradilan harus ditujukan pada upayamengembalikan fungsi MA sebagai pengadilantertinggi dalam menjaga kesatuan hukum, danrevitalisasi fungsi pengadilan untuk menyediakan

function of the Supreme Court as the highest

court in maintaining the unity of law, and im-

provement of the function of lower courts to pro-

vide affordable justice for the community through

improvement of access to justice.

The Supreme Court should be given wider lati-

tude to examine cases that have important legal

issues in order to carry out its function to main-

tain legal unity. It can only be done by reducing

the number of cases that go to the Supreme Court

by restricting the inflow of appeal and review

cases. In order for the Supreme Court can be

functioned effectively, it need an organizational

restructuring through the establishment of the

chamber system at Supreme Court and Appeal

Courts which will also give impact to the improve-

ment of consistency and quality of decision. Fur-

thermore the separation of military court from

the Supreme Court is also needed. While for the

sake of streamlining the impact of the decision

there should be efforts to accelerate the handling

process of the Administration Court.

In order to improve public access to the courts,

it is important to form a Small Claim Court that

Page 63: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama

Konsep Ideal Peradilan Indonesia

54

pengadilan yang terjangkau bagi masyarakatmelalui upaya untuk mendorong perbaikan aksespada keadilan.

Mahkamah Agung harus diberikan ruang gerakyang lebih luas untuk memeriksa perkara-perkara yang memiliki bobot substansial dalamrangka melaksanakan fungsi menjaga kesatuanhukum. Hal tersebut hanya dapat dilakukandengan menekan jumlah perkara yang masuk keMA melalui pemba-tasan perkara kasasi dan PK.Agar fungsi MA dapat berjalan secara efektif,maka restrukturisasi organisasi harus dilakukanmelalui pembentukan sistem kamar pada peng-adilan kasasi dan banding yang juga akanberdampak pada peningkatan konsistensi dankualitas putusan dan pemisahan peradilanmiliter dari Mahkamah Agung. Sedangkan demimengefektifkan dampak putusan maka perludilakukan upaya percepatan penanganan per-kara melalui penyederhanaan proses penye-lesaian perkara pada perkara Tata Usaha Negara(TUN).

Dalam rangka meningkatkan akses masyarakatpada pengadilan maka perlu dibentuk PengadilanAcara Cepat atau small claim court yang dapatmenyediakan pelayanan pengadilan sederhana,cepat dan biaya ringan. Pengadilan acara cepatjuga bermanfaat untuk menekan arus perkaranaik ke tingkat banding atau kasasi sehinggaberdampak positif untuk menekan tumpukanperkara di MA. Upaya lain yang ditawarkan untukmeningkatkan akses keadilan adalah melaluidesentralisasi pengelo-laan sumber daya manu-sia (SDM) Hakim. Pengelo-laan SDM Hakim yangterdesentralisasi diharapkan akan membawaHakim lebih dekat pada konteks permasalahanlokal, disamping mempermudah proses penga-wasan hakim.

can provide a simple, expeditious and low cost

court services. The Small Claim Court will also

contribute to decrease the cases inflow to Su-

preme Court. Other recommendation to improve

access to justice is through decentralization of

human resources (HR) management of court

judges. By decentralization of human resources

management it is expected to bring judges closer

to the context of local problems, as well as ben-

eficial to the process of judges supervision.

Page 64: Konsep Ideal Peradilan Indonesia - LEIP · 2018. 5. 16. · Konsep Ideal Peradilan Indonesia 1 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Proses reformasi peradilan telah berjalan selama