konsep belajar pandangan islam
DESCRIPTION
AgamaTRANSCRIPT
KONSEP BELAJAR MENURUT PANDANGAN ISLAM
AbstrakRasulullah SAW bersabda: “Mencari ilmu (belajar) wajib hukumnya bagi setiap orang Islam”.
Dan pada kesempatan lain beliau pun pernah menganjurkan, agar manusia mencari ilmu
meski berada di negeri orang (Cina) sekalipun; meski dari manapun datangnya. Hadis
tentang belajar dan yang terkait dengan pencarian ilmu banyak disebut dalam al-Hadis,
demikian juga dalam Al-Qur’an al-Karim. Hal ini merupakan indikasi, bahwa betapa belajar
dan mencari ilmu itu sangat penting artinya bagi umat manusia. Dengan belajar manusia
dapat mengerti akan dirinya, lingkungannya dan juga Tuhan-nya. Dengan belajar pula
manusia mempu menciptakan kreasi unik dan spektakuler yang berupa teknologi.
Belajar dalam pandangan Islam memiliki arti yang sangat penting, sehingga hampir setiap
saat manusia tak pernah lepas dari aktivitas belajar. Keunggulan suatu umat manusia atau
bangsa juga akan sangat tergantung kepada seberapa banyak mereka menggunakan rasio,
anugerah Tuhan untuk belajar dan memahami ayat-ayat Allah SWT. Hingga dalam al-Qur’an
dinyatakan Tuhan akan mengangkat derajat orang yang berilmu ke derajat yang luhur (lihat
: Qs. Al- Mujadilah : 11).
Apalagi dalam konsep Islam terdapat keyakinan yang menegaskan, bahwa belajar
merupakan kewajiban dan berdosa bagi yang meninggalkannya. Keyakinan demikan ini
begitu membentuk dalam diri umat yang beriman, sehingga mereka memiliki etos belajar
yang tinggi dan penuh semangat serta mengharapkan “janji luhur” Tuhan sebagaimana
yang difirmankan dalam ayat-Nya.
Bagaimanakah belajar menurut tuntutan Islam? Bagaimana konsep dan landasannya?
Bagaimana aspek nilainya. Tulisan ini bermaksud menjawab pertanyaan-pertanyaan di
atas. Kemudian untuk memulai pembahasannya, di tampilkan beberapa konsep dan teori-
teori belajar menurut konsep barat.
1. Pengertian Belajar
Dalam konteks pendidikan, hampir semua aktivitas yang dilakukan adalah aktivitas belajar.
Para Pakar psikologi saling berbeda dalam menjelaskan mengenai cara atau aktivitas
belajar itu berlangsung. Akan tetapi dari beberapa penyelidikan dapat ditandai, bahwa
belajar yang sukses selalu diikuti oleh kemajuan tertentu yang terbentuk dari pola pikir dan
berbuat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa aktivitas belajar ialah untuk memperoleh
kesuksesan dalam pengembangan potensi-potensi seseorang. Beberapa aspek psikologis
aktivitas belajar itu misalnya: motivasi, penguasaan keterampilan dan ilmu pengetahuan,
pengembangan kejiwaan dan seterusnya.
Bahwa setiap saat dalam kehidupan mesti terjadi suatu proses belajar, baik disengaja atau
tidak, disadari maupun tidak. Dari proses ini diperoleh suatu hasil, yang pada umumnya
disebut sebagai hasil belajar. Tapi untuk memperoleh hasil yang optimal, maka proses
belajar harus dilakukan dengan sadar dan sengaja dan terorganisasi dengan baik dan rapi.
Atas dasar ini, maka proses belajar mengandung makna: proses internalisasi sesuatu ke
dalam diri subyek didik; dilakukan dengan sadar dan aktif, dengan segenap panca indera
ikut berperan.
Sumadi Suryabrata (1983:5) menjelaskan pengertian belajar dengan
mengidentifikasikan ciri-ciri yang disebut belajar, yaitu:
“Belajar adalah aktivitas yang dihasilkan perubahan pada diri individu yang belajar ( dalam
arti behavioral changes) baik aktual maupun potensial; perubahan itu pada pokoknya
adalah diperolehnya kemampuan baru, yang berlaku dalam waktu yang relatif lama;
perubahan itu terjadi karena usaha”.
Menurut Begge (1982:1-2), belajar adalah suatu perubahan yang berlangsung dalam
kehidupan individu sebagai upaya perubahan dalam pandangan, sikap, pemahaman atau
motivasi dan bahkan kombinasi dari semuanya. Belajar selalu menunjukkan perubahan
sistematis dalam tingkah laku yang terjadi sebagai konsekwensi pengaalaman dalam situasi
khusus.
Bertolak dari pemahaman di atas dapatlah ditegaskan, bahwa belajar senantiasa
merupakan perbuatan tingkah laku dan penampilah dengan serangkaian aktivitas misalnya:
membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan lain sebagainya. Dengan demikian,
belajar juga bisa dilihat secara makro dan mikro, luas dan khusus. Dalam arti makro, luas,
belajar dapat diartikan sebagai aktivitas ruhani-jasmani menuju perkembangan pribadi yang
utuh.
Seperti yang dijelaskan oleh Bloom (1979), bahwa belajar itu mencakup tiga ruang lingkup,
yaitu cognitive domainyang berkaitan dengan pengetahuan hapalan dan pengembangan
intelektual, affective domain, yang berkaitan dengan minat, sikap dan nilai serta
pengembangan apresiasi dan penyesuaian, psychomotor domain, yang berkaitan dengan
prilaku yang menuntut koordinasi syaraf.
II. Teori-teori Belajar
Banyak para pakar membuat teori atau paradigma mengenai belajar ataupun pendidikan,
dan mereka saling berbeda di dalam merumuskan teori atau konsep-konsep itu.
Diversifikasi pemahaman itu dapat kita pahami jika kita lihat dari perspektif filosofisnya.
Dan memang patut diketahui bahwa filsafat merupakan teori umum dan landasan bagi
pendidikan itu sendiri, oleh sebab itu hubungan antara keduanya merupakan suatu
keharusan (condisio sin quanon).
Sebagaimana aliran essensialisme (yang dibentuk dari idealisme dan realisme), adalah
memperhatikan pendidikan dari sisi nilai yang dapat mendatangkan kestabilan. Nilai-nilai
tersebut diderivasi dari kebudayaan dan filsafat yang korelatif selama empat abad
belakangan ini, dengan perhitungan zaman renaisance, sebagai pangkal timbulnya
(Barnadib, 1988: 38).
Menurut idealisme, bila seorang belajar, pada tahap awal adalah berarti ia memahami
“aku”–nya sendiri, lantas bergerak keluar untuk memahami dunia objektif, dari mikro
kosmos menuju makro-kosmos. Ini seperti juga yang dijelaskan oleh Kant (1942-1804),
bahwa segala pengetahuan yang dicapai manusia lewat indera memerlukan unsur apriori
yang tidak diketahui oleh pengalaman terlebih dahulu.
Bila seseorang berhadapan dengan benda-benda, tidaklah berarti bahwa mereka
mempunyai bentuk, ruang dan ikatan waktu, tetapi ruang dan waktu itu sudah budi
manusia sebelum ada pengalaman dan pengamatan. Jadi, apriori yang terarah itu bukanlah
budi kepada benda, melainkan benda-benda itulah yang terarah kepada budi. Budi
membentuk dan mengatur dalam ruang dan waktu. Dengan mengambil landasan berpikir
diatas, belajar dapat didifinisikan sebagai jiwa yang berkembang pada dirinya sendiri
sebagai substansi spiritual. Jiwa membina dan menciptakan dirinya sendiri (Pudjawijatno,
1964: 120-121).
Pandangan realisme mengenai belajar tercermin dalam pandangan atau aliran psikologi
behaviorisme, asosiasionisme atau koneksionisme. A.L. Thorndike, pendukung
koneksionisme misalnya menyatakan, bahwa belajar adalah berbagai kombinasi. Suatu
bagian mental adalah menerima atau merasa, sedangkan bagian fisik adalah suatu stimulus
atau respon. Secara khusus Thorndike melihat bahwa belajar adalah suatu proses hubungan
mental dan fisik dan mental dengan mental atau fisik dengan fisik. Teori Thorndike ini juga
dikenal dengan teori S – R bond ( lihat Bigge, 1982:52-53).
Seorang filsuf dan sosiolog, L. Finney menjelaskan, bahwa mental adalah kondisi rohani
yang pasif, yang berarti bahwa manusia pada umumnya menerima apa saja yang
ditentukan oleh peraturan alam (determinsm). Ini berarti bahwa pendidikan adalah proses
reproduksi dari apa yang terdapat dalam kehidupan sosial. Dengan demikian, belajar adalah
menerima dengan sesungguhnya nilai-nilai sosial oleh angkatan baru yang timbul untuk
ditambah dan dikurangi dan diteruskan oleh angkatan berikutnya. Pandangan realisme ini
menceriminkan adanya dua jenis determinisme, yaitu determinisme mutlak dan
determinisme terbatas. Yang mutlak menunjukkan bahwa belajar adalah mengenai hal-hal
yang tak dapat dihalang-halangi adanya, jadi harus ada. Sedangkan dengan determinisme
terbatas adalah memberikan gambaran kurangnya sifat pasif mengenai belajar.
Tuntutan tertinggi dalam belajar menurut perenialisme adalah latihan dan disiplin mental.
Maka teori dan praktek pendidikan haruslah mengarah kepada tuntutan tersebut. Sebagai
makhluk, manusia memiliki kelebihan ketimbang yang lainnya karena anugerah “rasio”-nya.
Rasionalitas ini merupakan sifat umum manusia dan merupakan evidensi diri. Konsep dasar
tentang kebebasan manusia juga lahir dari sifat rasional manusia. Dengan demikian
manusia dapat menghilangkan belenggu penindasan terhadap dirinya dan mampu menjadi
merdeka. Kemerdekaan menjadi tujuan dan dilaksanakan di dalam pendidikan dan belajar
itu. Oleh sebab itu, belajar hakekatnya adalah belajar berpikir dan menggunakan rasio
tersebut.
Menurut perenialisme, belajar adalah bertujuan agar anak didik mengalami perkembangan
kepribadian yang utuh, integral dan seimbang sesuai dengan pandangannya, bahwa
manusia adalah bersifat psiko-somatik (Barnadib, 1988: 77).
Menurut perenialisme, belajar itu dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu belajar karena
pengajaran dan belajar karena penemuan. Belajar karena pengajaran adalah dengan cara
guru/ pendidik memberkan pengetahuan dan pencerahan kepada subyek didik, dengan
menunjukkan dan menafsirkan implikasi dari ilmu pengetahuan yang diberikan. Sedangkan
belajar karena penemuan adalah subyek didik diharapkan dapat belajar atas
kemampuannya sendiri (belajar mandiri ).
Pandangan di atas memang bersifat humanistik, yang memusatkan perhatian pada interes
dan nilai-nilai kepada manusia. Teori humanisme klasik beranggapan, bahwa pikiran
manusia adalah perantara aktif di dalam hubungan antara manusia dan lingkungannya, dan
secara moral pikiran manusia mempunyai sifat dasar netral sejak lahir (Bigge, 1982: 26).
Sifat netral tersebut maksudnya, bahwa pada dasarnya manusia itu bersifat tidak jelek dan
juga tidak baik, tetapi ia potensial untuk menjadi buruk atau baik (tidak ada hubunganya
dengan pembawaan lahirnya) (Bigge, 1982: 16). Pandangan di atas didasari oleh konsep
moral manusia, yaitu, bahwa substansi (pikir manusia adalah netral-aktif, yang harus
dikembangkan lewat latihan dan disiplin mental. Dalam hal ini sebagai aspek yang
mendasar adalah reason yang menjadi manusia mampu mencapai pengertian tentang
kebutuhan-kebutuhan dan mampu menyelaraskan antara tindakan, pengertian serta
mampu mengkomunikasikan pengertian-pengertian tersebut kepada setiap anggota di
dalam kelompoknya. Oleh sebab itu pula, maka pikiran manusia dengan sifat dasarnya yang
demikian itu (netral- active) jika dilatih secara tepat, maka pontensi pembawa lahir akan
mencuat keluar (Bigge, 1982: 26).
Oleh humanisme klasik, belajar dipandang sebagai proses disiplin diri yang tegas, terdiri
dari perkembangan yang harmonis antara semua kekuatan di dalam diri manusia, Hingga
tidak satu bagian pun yang berkembang melebihi yang lain. Dengan demikian, fungsi
seorang guru adalah untuk membantu para siswa mengenali kembali apa yang telah ada
dalam pikir mereka. Metode ini juga sekedar hanya menarik informasi dari para siswa
dengan mengarahkan pertanyaan-pertanyaan dengan ketrampilan penuh. Metode ini
didasarkan pada prinsip, bahwa ilmu pengetahuan adalah pembawaan, yang tak akan
muncul tanpa bantuan tenaga ahli (Bigge, 1982: 28).
Learning through unfoldment atau disebut juga naturalisme-romantic mengatakan, bahwa
manusia pada dasarnya adalah baik dan aktif (good-active). Melalui alam anak akan
berkembang secara wajar. Biarkan anak berkembang sendiri sesuai dengan kodrat alam.
Anak harus dijauhkan dari paksaan. Belajar sendiri sesuai dengan minatnya, ia bebas
menentukan perbuatannya dan sekaligus bertanggung jawab atas tindakannya. Teori ini
dikembangkan oleh J.J. Rousseu, kemudian disusul oleh pembaharu pendidikan dari Swiss,
Pestlozzi dan Froebel seorang filosof dari Jerman (Bigge, 1982: 33-34).
Rousseu berpendapat, bahwa secara heriditi manusia adalah baik dan mempunyai
kemampuan yang perlu dikembangkan secara alamiah. Dia beranggapan bahwa lingkungan
yang jelek mampu membuat orang menjadi jelek pula, sebab lingkungan sosial bukanlah
alamiah. Rousseu memberi saran, agar guru memberikan kebebasan pada siswa untuk
mandiri, sehingga memungkinkan mereka berkembang secara wajar dan alamiah, baik
perasaan, naluri maupun kesadaran mereka.
Disamping naturalisme-romantic, terdapat pula pandangan appersepsi, yang merupakan
asosianisme mental dinamis yang didasarkan pada pemikiran, bahwa tidak ada ide-ide
pembawaan lain. Segala sesuatu yang diketahui orang datangnya dari luar dirinya.
Asosionisme merupakan teori psikologi umum yang di klasifikasikan menjadi dua bagian :
pertama, Asosiasionisme mentalistik awal, yaitu appersepsi yang berfokus pada ide-ide
dalam pikiran; kedua, asosiasinosme stimulus-respon fisikalistik yang lebih modern (Bigge,
1982: 36).
Perkembangana appersepsi didasari oleh pemikiran Aristoteles pada abad ke-empat S.S.
Kemudian pada abad ke 17 ditentang oleh John Locke dengan mengatakan, bahwa pikiran
tidak hanya dipegang oleh seseorang pasti pertama-tama diperoleh dari indera-inderanya.
Teori John Locke ini sangat populer dengan teori Tabolarasa. Konsep moral appersionisme
adalah, bahwa sifat asli manusia adalah tidak baik dan tidak pula jelek dipandang dari sisi
moral dan tidak pula aktif dipandang dari sisi aksi. Dibaliknya sifat asli manusia dipandang
sebagai netral dari aspek moral dan pasif dari aspek aksi. Dengan demikian, pikiran
merupakan produk dari pengalaman-pengalaman kehidupan (Bigge, 1982: 37).
III. Prinsip-prinsip Belajar Menurut Islam
1. Al Qur’an tentang Posisi Manusia
Kita ketahui bersama, bahwa Al-Qur’an adalah kalam suci Tuhan yang berfungsi sebagai:
tanda, petunjuk, rahmat dan shafaat bagi manusia, berdasarkan penegasan Al Qur’an, (QS.
Al–Isra’: 29 : Ar-Rum : 72). Syafi’i Ma’arif, seperti dikutip dari Ismail R. Faruqi, menjelaskan,
bahwa manusia adalah karya Tuhan yang terbesar dan terindah dengan struktur mental
yang sophisticated dan spektakuler (QS. At-Tin : 4). Oleh sebab itu, tidak heran pula kalau
ada yang berpendapat, bahwa manusia adalah pencipta kedua setelah Tuhan. Ini bisa kita
saksikan, betapa manusia dianugrahi rasio oleh Tuhan itu bisa menciptakan kreasi yang
canggih berupa sains dan teknologi itu. Sementara malaikat diperintah sujud kepadanya
karena tak mampu melakukan kompetisi intelektual dengan makhluk manusia yang
diciptakan dengan tanah liat kering itu (QS. Al-Isra’: 28-30; Shad : 71-73) di dalam
memahami dunia ciptaan-Nya secara konseptual (lihat: Syafi’i Ma’arif, 1987: 92).
Kelebihan intelektual inilah yang membuat manusia lebih unggul dari makhluk lainnya.
Tetapi ia pun juga bisa menjadi dekaden, bahkan lebih hina dari binatang, jika ia berbuat
destruktif, melepaskan imannya (lihat : Qs. At-Tin : 5-6 dan QS. Al-A’raf : 179). Oleh sebab
itu, sebagai makhluk lainnya maka ia dituntut agar dengan sadar bersedia memikul
tanggung jawab moral bagi tegaknya suatu tatanan sosial politik yang adil dan beradab.
Tuntutan itu tercermin dalam beberapa ayat Al-Qura’an surat An-Nahl : 90 ; Ali-Imron : 104,
114 ; Al-Hajj : 41 ; Al-Ahzab : 72.
Tatanan kehidupan yang bermoral ini hanyalah mungkin apabila iman sebagai prasyarat
mutlaknya diterima dengan kritis dan sadar. Dalam sistem kepercayaan Islam, iman
memberikan fondasi moral yang kokoh, dan di atas fondasi inilah manusia bisa menciptakan
hidup secara imbang (Ma’arif. 1997: 93).
Dalam Islam, strategi pengembangan ilmu juga harus didasarkan pada perbaikan dan
kelangsungan hidup manusia untuk menjadi khalifah di bumi (khalifah fil-ard) dengan tetap
memegang amanah besar dari Allah SWT. Oleh sebab itu ilmu harus selalu berada dalam
kontrol iman. Ilmu dan iman menjadi bagian integral dalam diri seseorang, sehingga dengan
demikian yang terjadi adalah ilmu amaliah yang berada dalam jiwa yang imaniah. Dengan
begitu, teknologi, yang lahir dari ilmu, akan menjadi barang yang bermanfaat bagi umat
manusia di sepanjang masa. Dan inilah yang mesti menjadi tanggung jawab umat Islam.
Banyak sekali Al-Qur’an menjelaskan mengenai hubungan ilmu, amal dan iman ini (lihat
misalnya QS. Al-Baqarah : 82, 227 ; Ali-Imran : 57 ; An-Nisa’ : 57, 122 dan seterusnya). Dari
banyak ayat Al-Qur’an ini kita dapat menarik kesimpulan, bahwa antara ilmu, amal dan
iman menjadi sangat penting bagi umat manusia yang hendak menjadi khalifah di bumi ini.
Dan amal baru bisa dinilai baik, saleh jika dipancarkan dari iman. Iman memberi dasar
moral, amal saleh diwujudkan dalam bentuk konkret. Jadi terdapat hubungan yang organik
antara iman dan amal salih.
2. Dasar Belajar dalam Islam
Sebagaimana pandangan hidup yang dipegang-teguhi oleh Umat Islam adalah Al-Qur’an
dan Sunnah Rasul , maka sebagai dasar maupun filosofi bagi belajar adalah juga diderivasi
dari dua sumber tersebut, yang merupakan dasar dan sumber bagi landasan berpijak yang
amat fondamental.
Tentang dua sumber ajaran yang fundamental ini, Allah SWT, telah memberikan jaminan-
Nya, yaitu jika benar-benar dipegang teguh, maka dijamin tidak akan pernah sesat dan
kesasar, sebagaimana Nabi pernah bersabda :
“Susungguhnya telah aku tinggalkan untukmu dua perkara, jika kamu berpegang teguh
dengannya, maka kamu tak akan sesat selamanya, yaitu : Kitab Allah dan Sunnah Rasul-
Nya.”
Hadis tersebut juga dikukuhkan oleh banyak Al-Qur’an, antara lain surat Al-Ahzab: 71, Allah
berfirman :
“Barang siapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, sungguh ia akan mencapai kebahagiaan
yang tinggi”.
Ayat tersebut dengan tegas menandaskan, bahwa apabila manusia menata seluruh
aktivitas kehidupannya dengan berpegang teguh kepada prinsip Al- Qur’an dan As-Sunnah,
maka jaminan Allah adalah jalan yang lurus dan tidak akan kesasar, tetapi sebaliknya, jika
manusia tidak menata seluruh kehidupannya dengan petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah
Rasul-Nya, maka kesempitan akan meliputi dirinya, sebagaimana firman-Nya :
“Barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka baginya kehidupan yang sempit”.
(Qs. Thaha : 124).
Al-Qur’an dan Al-Hadis penuh dengan konsep dan tuntutan hidup manusia, begitu juga
mengenai petunjuk ilmu pengetahuan. Jika manusia mau menggal kandungan isi Al-Qur’an,
maka banyak diketemukan mengenai beberapa persoalan yang berkaitan dengan ilmu (baik
ilmu pengetahuan sosial maupun ilmu pengetahuan alam), Misalnya perhatikan surat Ali
Imran : 190-191. Disini dipaparkan tentang kreasi penciptaan alam oleh Allah SWT. Yang
harus direnungkan, demikian pula tentang kisah dan sejarah umat-umat di masa lampau.
Sebagaimana dikatakan oleh Munawar Anis (1991), bahwa kata ilmu disebutkan
dalam Al-Qur’an mencapai 800 kali, yang berarti hanya berada di bawah konsep tauhid
tingkatan urgensinya. Belum lagi yang disebutkan dalam Al- Qur’an atau Sunnah Rasul.
2. Tujuan Belajar dalam Islam
Untuk membahas mengenai aspek-aspek moral dalam belajar, maka kita harus memulai
dari pertanyaan: Apa tujuan belajar itu? Untuk apa belajar itu? karena pertanyaan tersebut
adalah pertanyaan filosofis yang menyangkut segi nilai atau aksiologis.
Dalam Islam, bahwa belajar itu memiliki dimensi tauhid, yaitu dimensi dialektika horizontal
dan ketundukan vertikal. Dalam dimensi dialektika horizontal, belajar dalam Islam tak
berbeda dengan belajar pada umumnya, yang tak terpisahkan dengan pengembangan
sains dan teknologi (menggali, memahami dan mengembangkan ayat-ayat Allah).
Pengembangan dan pendekatan-Nya secara lebih dalam dan dekat, sebagai rab al-alamin.
Dalam kaitan inilah, lalu pendidikan hati (qalb) sangat dituntut agar membawa manfaat
yang besar bagi umat manusia dan juga lingkungannya, bukan kerusakan dan kezaliman,
dan ini merupakan perwujudan dari ketundukan vertikal tadi.
Jadi, belajar di dalam perspektif Islam juga mencakup lingkup kognitif (domain cognitive),
lingkup efektif (domain affective) dan lingkup psikomotor (domain motor-skill). Tiga ranah
atau lingkup tersebut sering diungkapkan dengan istilah : Ilmu amaliah, amal ilmiah dalam
jiwa imaniah. Dengan demikian, untuk apa belajar Belajar adalah untuk memperoleh ilmu.
Untuk apa ilmu? Untuk dikembangkan dan diamalkan. Untuk apa? Demi kesejahteraan umat
manusia dan lingkungan yang aman sejahtera. Berdasarkan apa? Pertanggungjawaban
moral.
3. Mengembangkan Ilmu
Kenyataan memang tidak dapat dipungkiri, bahwa ilmu selalu berkembang hingga
sekarang. Dari tahapan pemikiran yang paling mitis hingga yang serupa rasional. Atau kalau
meminjam terminologi Peursen, dari yang Mitis, ontologis, hingga fimgsional, sedang
menurut Comte, dari yang mitis, metafisik hingga positif.
Perkembangan industri di abad ke-18 yang telah menimbulkan berbagai implikasi sosial dan
politik telah melahirkan cabang Ilmu yang disebut sosiologi. Penggunaan senjata nuklir
sebagaimana pada abad 20, telah melahirkan ilmu baru yang disebut dengan polemogi, dan
seterusnya entah apa lagi nanti namanya. Sofestikasi dari sains dan teknologi di era
modern ini sesungguhnya juga merupakan elaborasi dari ilmu itu sendiri. Itulah sebabnya
menurut Koento Wibisono, (1988: 8) begitu sulitnya mendifikasikan ilmu sekarang ini. Para
penganut metodologi akan menyatakan, bahwa ilmu adalah sistem peryataan-peryataan
yang dapat diuji kebenaran dan kesalahannya, sementara penganut heuristik akan
menyatakan, bahwa ilmu adalah perkembangan lebih lanjut bakat manusia untuk
menentukan orientasi terhadap lingkungannya dan menentukan sikap terhadapnya.
Dalam pada itu, ilmu juga sering dipahami dari dimensi fenomenal dan strukturalnya. Dari
dimensi fenomenalnya ia merupakan masyarakat atau proses dan juga produk. Ilmu
sebagai masyarakat menggambarkan adanya suatu kelompok elit yang di dalam
kehidupannya sangat mematuhi kaidah-kaidah: universalisme, komunilisme,
desintestedness dan skepsisme yang teratur. Ilmu sebagai proses, menggambarkan
aktivitas masyarakat ilmiah sebagai produk adalah merupakan hasil yang dicapai oleh
kegiatan tadi yang berupa : dalil, teori, ajaran, karya-karya ilmiah beserta penerapanya
yang berupa teknologi ( Koento Wibisono, 1988: 9) Dari dimensi strukturalnya, apa yang
disebut sebagai ilmu adalah sesuatu yang menunjukkan adanya komponen-komponen:
objek sasaran yang ingin diketahui yang terus menerus diteliti dan dipertanyakan tanpa
mengenal henti.
Kini kita harus berfikir terus dan berupaya untuk mengembangkan dan menyebarkan ilmu,
lebih-lebih ilmu sebagai proses. Bagaimana formulasi-formulasi yang telah ditunjukan oleh
para para pendahulu kita itu diaktualisasikan untuk kemudian dikembangkan lebih lanjut.
Dalam konteks Islam, ketertinggalan kita di bidang sains dan teknologi adalah persoalan
yang sudah terbuka mata. Padahal, seperti yang dikatakan oleh Ahmad Anees (19-91),
bahwa salah satu gagasan yang paling canggih, komperehensif dan mendalam yang dapat
ditemukan dalam Al- Qur’an adalah konsep’ilm, yang tingkat urgensinya hanya di bawah
konsep tauhid. Pentingnya konsep ilmu tersebut terungkap didalam kenyataan, bahwa Al-
Qur’an menyebut kata akar dan kata keturunannya sekitar 800 kali. Konsep ilmu ini juga
membedakan pandangan-dunia (world-view) Islam dari pandang ideologi lainnya: tidak ada
pandangan dunia lain yang membuat pencarian ilmu sebagai kewajiban individual dan
sosial serta memberikan arti moral dan religius serta ibadah. Karena itu ilmu berfungsi
sebagai tonggak kebudayaan dan peradaban muslim yang ampuh. Tidak ada peradaban
lain dalam sejarah yang memiliki konsep “pengetahuan” dengan etos (ruh) yang paling
tinggi sebagaimana Islam. Ilmu memang mengandung unsur dari apa yang selama ini kita
pahami sekarang sebagai pengetahuan, tetapi ia juga mengandung komponen-komponen
dari apa yang secara tradisional dideskripsikan sebagai hikmah. Disamping itu, ilmu dalam
Islam juga memiliki aspek ibadah, yaitu bahwa menuntut ilmu merupakan bentuk ibadah.
Dari sisi lain, ia juga memiliki tujuan untuk menjadi kholifah fil-ard, manusia yang diserahi
amanah Tuhan untuk mengelola dan memelihara alam, oleh sebab itu ia pun memiliki
tanggung jawab di hadapan Allah SWT.
Konsep Al-Qur’an tentang akhirat membatasi ilmu agar selalu menjamin relevansi,
kegayutan moral sosialnya. Dimensi-dimensi ilmu tersebut dari sekian banyak dimensi
lainnya melukiskan sifat kecanggihan dan komplesitas dari Islam tentang ilmu itu sendiri
(lihat, Anwar Anees, 1991:93).
Dengan demikian, strategi pengembangan ilmu harus mengintensifkan dan
mengekstensifkan belajar atau pendidikan itu sendiri, dengan berbagai sarana dan
presaranannya. Sebab dalam Islam, pendidikan dan belajar merupakan kewajiban bagi
setiap muslim (baik laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda dan dilakukan
sepanjang masa). Sebagai sabda Nabi : “Mencari ilmu itu waji bagi setiap muslim”.
Sebagaimana disinggung di depan, bahwa belajar dalam Islam adalah untuk memperoleh
ilmu, mengembangkan dan mengamalkan demi kepentingan kesejahteraan umat manusia.
Atau kalau dirumuskan secara simpel, tujuan belajar adalah : Untuk mengabdikan kepada
Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya :
“Dan tidak aku jadikan manusia kecuali hanya untuk menyembah kepada-Ku”. (QS. Az-
Zariyat : 56).
Oleh sebab itu segala aktivitas yang berkaitan dengan ilmu dan pengembangannya harus
dipertanggung-jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa.
4. Aspek Moral dalam Belajar
Karena pendidikan dan belajar dalam Islam bertujuan untuk mengembangkan ilmu dan
mengabdi kepada Allah SWT, maka sistem moralnya juga harus diderivasi dari norma-
norma Islam tersebut, atau wahyu.
Seperti yang dijelaskan oleh Sayid Abul A’la Al-Maududi (lihat, M. Arifin, 1991:142), bahwa
sistem moral Islam ini memiliki ciri-ciri yang komprehensif, yang berbeda dengan sistem
moral lainnya. Ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut :
1. Keridaan Allah merupakan tujuan hidup Muslim. Dan keridaan Allah itu menjadi jalan
bagi evolusi moral kemanusiaan. Sikap mencari rida Allah memberikan sanksi moral
untuk mencintai dan takut kepada-Nya, yang pada gilirannya mendorong manusia
untuk mentaati hukum moral tanpa paksaan dari luar, Dengan dilandasi dengan iman
kepada Allah dan hari kiamat, manusia terdorong untuk mengikuti bimbingan moral
secara sungguh-sungguh dan jujur, seraya berserah diri secara iklas kepada Allah SWT ;
2. Semua lingkup kehidupan manusia senantiasa ditegakkan diatas moral Islami
sehingga moral Islam tersebut berkuasa penuh atas semua urusan kehidupan manusia,
sedang hawa nafsu dan kepentingan pribadi tidak diberi kesempatan menguasai
kehidupan manusia. Moral Islam mementingkan keseimbangan dalam semua aspek
kehidupan manusia: indivudual maupun sosial.
Islam menuntut manusia agar melaksanakan sistem kehidupan yang berdasarkan norma-
norma kebajikan dan jauh dari kejahatan. Islam memerintahkan perbuatan yang ma’ruf dan
menjauhi perbuatan munkar, bahkan memberantas kejahatan dalam segala bentuknya.
Beberapa hal di atas di dasarkan atas dalil Al-Qur’an antara lain surat Ali- Imran : 110 :
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah….” dan juga QS. Al-Hajj :
41).
Dengan demikian, sistem moral dalam Islam berpusat kepada sikap mencari rida Allah,
mengendalikan nafsu negatif dan kemampuan berbuat kebajikan serta menjauhi perbuatan
keji dan jahat dan pribadi yang berkhlaq mulia.
Dalam pandangan Islam, kecenderungan teosentris adalah merupakan sesuatu yang harus
ada, yaitu bahwa Allah adalah Zat Yang Wujud, Yang Maha Mengetahui dan segala sumber
dari ilmu pengetahuan. Ini sangat berbeda dengan konsep barat yang sekuler. Karena
sumber pengetahuan dalam Islam adalah kesadaran Yang Kudus pula (Seyyed Hossein
Nasr, 1970: 22 dan lihat pula C.A Qadir, 1989: 5).
Seperti yang dijelaskan di depan, bahwa menurut teori kependidikan yang berdasarkan
pandangan psikologi mekanistik, sejak John Lock pada abad 17 sampai aliran Bahaviorisme
dari J.B. Waston abad 20 terdapat pandangan, bahwa manusia dalam batas-batas
kemampuan fisiknya dapat dibentuk melalui cara-cara yang terbatas. John lock
berpendapat, bahwa jiwa itu bagaikan meja lilin (tabularasa) yang bersih dari goresan.
Pengalamanlah yang membentuk kepribadiannnya. Behavviorsme juga berbuat sama,
dengan konsep S – R bond-nya.
Dalam sistem nilai dari paham naturalisme juga diorientasikan pada alam (naturo-centris):
jasmaniah, panca indera, kekuatan, kenyataan, survival, organisme dst. Oleh sebab itu
naturalisme menolak hal-hal yang bersifat moral dan spiritual, sebab paham ini, bahwa
kenyataan/ realistas yang hakiki adalah alam semesta yang bersifat fisik dan inderawi.
Naturalisme dekat dengan materalisme yang menafikan nilai-nilai manusia.
Kebalikan dari paham di atas adalah idealisme, yang memandang realitas yang hakiki ada
pada ide yang terdapat dalam jiwa atau spirit manusia. Idialisme berorientasi pada ide-ide
ketuhanan dan nilai-nilai sosial.
Tetapi perlu diketahui, bahwa meskipun idealisme berorientasi kepada ideal-spiritual, ia
bukanlah agama, idealisme hanyalah merupakan salah satu basis dari agama. Menurut
Horne, idealisme sebagai filsafat adalah sistem berpikir manusia (man-thinking), sementara
agama adalah sistem peribadatan manusia (man– worshipping). Filsafat dan agama
mempunyai hubungan erat, tetapi tidak identik (lihat M. Arifin, 1991:149).
Nilai-nilai pendidikan menurut kaum idealisme adalah pencetusan dari sususan atau sistem
yang kekal abadi yang memiliki nilai dalam dirinya sendiri. Kewajiban manusia dan
pendidikan adalah berusaha mengaktualisasikan nilai tersebut. Filsafat pendidikan Islam
dalam beberapa aspek pendekatan memang memiliki prinsip-prinsip yang simbiotik dengan
idealisme, terutama idealisme spiritualistik. Idealisme juga mengakui adanya zat yang Maha
Tinggi yang menciptakan realitas alam serta menggerakkan hukum-hukumnya termasuk
sanksi-sanksinya. Tetapi ada titik perbedaan yang cukup tajam yang terletak pada sanksi
moral sebagai konsekwensi. Bagi kaum idealisme, sanksi moral terletak pada siksa Tuhan
dan balasan perbuatan yang bermoral baik adalah pahala dari-Nya kelak di hari kiamat.
Kualifikasi moral dalam Islam adalah sumber dari Tuhan dan bagi setiap orang sanksi
hukuman tergantung kepada sejauh mana porsi perbuatan yang dilanggarnya (M. Arifin,
1991: 150-151) dan bukankah Nabi diutus untuk menyempurnaka akhlak-karimah?
Jadi, dalam kosepsi Islam, belajar itu diajarkan mengenai masalah pahala, dosa; sorga dan
neraka. Oleh sebab itu setiap perbuatan haruslah dapat dipertanggung jawabkan di sisi
Tuhan, sebagaimana firman-Nya :
“…. Ia mendapat pahala ( dari kebajikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari
kejahatan) yang diperbuatnya pula ……..” (QS. Al- Baqarah : 286).
Daya pancar dari sistem nilai yang menerangi moralitas manusia menurut pandangan Islam
adalah bersumber dari Allah yang digambarkan dalam surat Al-Maidah : 115-116:
“….Sesungguhnya telah datang kepadamu dari Allah kitab yang menerangi”. Dengan kitab
itulah Allah menjuluki orang-orang yang mengikuti keridaan-Nya kejalan keselamatan, dan,
(dengan kitab-kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dengan seizin-Nya dan
menunjuki mereka ke jalan yang lurus”.
“Dan barang siapa beriman kepada Allah, Allah akan menunjuki hatinya”. (QS. At-Taghabun
: 11)
Beberapa keterangan di atas semakin menunjukkan kejelasan kepada kita, bahwa konsep
kependidikan dan kejelasan kepada kita, bahwa konsep kependidikan dan belajar dalam
Islam sangat berbeda dengan konsep pendidikan dan belajar menurut teori-teori Barat yang
sekuler lebih bersifat profan dan antroposentrik. Sementara konsep Islam sangat integral,
disamping profan juga transendental dan teosentrik yang menempatkan posisi manusia
pada porsi yangbalance, Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah waqina
azabannar,
PENUTUP DAN KESIMPULANBelajar adalah serangkaian aktivitas manusia yang menyangkut: pemahaman, pendengaran
dan peniruan untuk memperoleh suatu pengalaman atau ilmu baru. Lingkup belajar
mencakup : kognisi, afeksi dan psikomotor.
Dalam Islam, belajar adalah serangkaian aktivitas manusia yang menyangkut tiga ranah di
atas (kognisi, afeksi dan psikomotor) berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam Islam,
belajar merupakan kewajiban setiap muslim ( baik laki-laki maupun perempuan). Dan hasil
dari belajar (ilmu), harus diamalkan baik untuk diri sendiri maupun bagi orang lain.
Pengalaman ilmu harus dilandasi dengan iman dan nilai-nilai moral. Oleh sebab itu, dalam
konsep Islam, belajar memiliki dimensi tauhid, yaitu dimensi dialektika horizontal maupun
ketundukan vertikal.
Dalam dimensi dialektika horizontal, belajar dalam Islam tak berbeda dengan belajar pada
umumnya, yang tidak terpisahkan dengan pengembangan sains dan teknologi (menggali,
memahami dan mengembangkan) intelektual ke arah pengenalan dan pendekatan diri pada
Tuhan Yang Maha Agung (divine-unity). Ini juga berarti, bahwa belajar dalam Islam
bertujuan untuk memperoleh kesejahteraan umat manusia dan lingkungannya dengan
motivasi ibadah (lihat, QS. Az-Zariayat : 56). Oleh sebab itu segala aktivitas yang berkaitan
dengan ilmu dan pengembangannya harus dipertanggungjawabkan secara moral kepada
Allah SWT. ( Lihat, QS Al-Baqarah : 286).
Karena pendidikan dan belajar dalam Islam bertujuan untuk mengembangkan ilmu dan
mengabdi kepada Allah SWT, maka sistem moralnya pun harus di bangun dan bersumber
dari norma-norma Islam tersebut (wahyu).
Filsafat pendidikan Islam berbeda dengan filsafat pendidikan Barat yang sekuralistik, yang
meletakkan sanksi moral terletak pada susunan dunia moral itu sendiri, sementara dalam
Islam sanksi moral terletak pada siksa Tuhan di kelak kemudian, demikian pula balasan
kebaikannya. Dengan demikian konsep pendidikan dan belajar dalam Islam bercorak
transendental dan teosentris yang menempatkan manusia pada posisi yang seimbang dan
serasi.
BAB IIPEMBAHASAN
1. DEFINISI PENDIDIKAN
A. Definisi Pendidikan Secara Umum
Definisi pendidikan menurut para ahli, diantaranya adalah :
1. Menurut Juhn Dewey, pendidikan adalah suatu proses pembaharuan makna pengalaman, hal ini
mungkin akan terjadi di dalam pergaulan biasa atau pergaulan orang dewasa dengan orang muda,
mungkin pula terjadi secara sengaja dan dilembagakan untuk untuk menghasilkan kesinambungan
social. Proses ini melibatkan pengawasan dan perkembangan dari orang yang belum dewasa dan
kelompok dimana dia hidup.
2. Menurut H. Horne, pendidikan adalah proses yang terus menerus (abadi) dari penyesuaian yang
lebih tinggi bagi makhluk manusia yang telah berkembang secara fisik dan mental, yang bebas dan
sadar kepada vtuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar intelektual, emosional dan
kemanusiaan dari manusia.
3. Menurut Frederick J. Mc Donald, pendidkan adalah suatu proses atau kegiatan yang diarahkan
untuk merubah tabiat (behavior) manusia. Yang dimaksud dengan behavior adalah setiap
tanggapan atau perbuatan seseorang, sesuatu yang dilakukan oleh sesorang.
4. Menurut M.J. Langeveld, pendidikan adalah setiap pergaulan yang terjadi adalah setiap pergaulan
yang terjadi antara orang dewasa dengan anak-anak merupakan lapangan atau suatu keadaan
dimana pekerjaan mendidik itu berlangsung.
B. Definisi Pendidikan Menurut Islam
Pendidikan Islam itu sendiri adalah pendidikan yang berdasarkan Islam. Isi ilmu adalah teori.
Isi ilmu bumi adalah teori tentang bumi. Maka isi Ilmu pendidikan adalah teori-teori tentang
pendidikan, Ilmu pendidikan Islam secara lengkap isi suatu ilmu bukanlah hanya teori.
Pengertian pendidikan bahkan lebih diperluas cakupannya sebagai aktivitas dan fenomena.
Pendidikan sebagai aktivitas berarti upaya yang secara sadar dirancang untuk membantu
seseorang atau sekelompok orang dalam mengembangkan pandangan hidup, sikap hidup, dan
keterampilan hidup, baik yang bersifat manual (petunjuk praktis) maupun mental, dan sosial
sedangkan pendidikan sebagai fenomena adalah peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih
yang dampaknya ialah berkembangnya suatu pandangan hidup, sikap hidup, atau keterampilan
hidup pada salah satu atau beberapa pihak, yang kedua pengertian ini harus bernafaskan atau
dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai Islam yang bersumber dari al Qur’an dan Sunnah (Hadist).
2. RUANG LINGKUP PENDIDIKAN ISLAM
A. Pendidikan Keimanan
“Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya diwaktu ia memberikan pelajaran
kepadanya:”hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesengguhnya
mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedzaliman yang nyata.” (Q.S 31:13)
Bagaimana cara mengenalkan Allah SWT dalam kehidupan anak?
Menciptakan hubungan yang hangat dan harmonis (bukan memanjakan)
Jalin hubungan komunikasi yang baik dengan anak, bertutur kata lembut, bertingkah laku positif.
Hadits Rasulullah : “cintailah anak-anak kecil dan sayangilah mereka…:” (H.R Bukhari)
“Barang siapa mempunyai anak kecil, hendaklah ia turut berlaku kekanak-kanakkan kepadanya.”
(H.R Ibnu Babawaih dan Ibnu Asakir)
Menghadirkan sosok Allah melalui aktivitas rutin
Seperti ketika kita bersin katakan alhamdulillah. Ketika kita memberikan uang jajan katakan bahwa
uang itu titipan Allah jadi harus dibelanjakan dengan baik seperti beli roti.
Memanfaatkan momen religious
Seperti Sholat bersama, tarawih bersama di bulan ramadhan, tadarus, buka shaum bareng.
Memberi kesan positif tentang Allah dan kenalkan sifat-sifat baik Allah
Jangan mengatakan “ nanti Allah marah kalau kamu berbohong” tapi katakanlah “ anak yang jujur
disayang Allah”.
Beri teladan
Anak akan bersikap baik jika orang tuanya bersikap baik karena anak menjadikan orang tua model
atau contoh bagi kehidupannya.
“hai orang-orang yang beriman mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat
besar di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan”.(Q.S 61:2-3)
Kreatif dan terus belajar
Sejalan dengan perkembangan anak. Anak akan terus banyak memberikan pertanyaan. Sebagai
orang tua tidak boleh merasa bosan dengan pertanyaan anak malah kita harus dengan bijaksana
menjawab segala pertanyaannya dengan mengikuti perkembangan anak.
B. Pendidikan Akhlak
Hadits dari Ibnu Abas Rasulullah bersabda:
“… Akrabilah anak-anakmu dan didiklah akhlak mereka.”
Rasulullah saw bersabda:
”Suruhlah anak-anak kamu melakukan shalat ketika mereka telah berumur tujuh tahun dan pukullah
mereka kalau meninggalkan ketika mereka berumur sepuluh tahun, dan pisahkan tempat tidur
mereka.” (HR. Abu Daud)
Bagaimana cara megenalkan akhlak kepada anak :
Penuhilah kebutuhan emosinya
Dengan mengungkapkan emosi lewat cara yang baik. Hindari mengekspresikan emosi dengan cara
kasar, tidak santun dan tidak bijak. Berikan kasih saying sepenuhnya, agar anak merasakan bahwa
ia mendapatkan dukungan.
Hadits Rasulullah : “ Cintailah anak-anak kecil dan sayangilah mereka …:” (H.R Bukhari)
Memberikan pendidikan mengenai yang haq dan bathil
“Dan janganlah kamu campur adukan yang haq dengan yang bathil dan janganlah kamu
sembunyikan yang haq itu, sedang kamu mengetahui .”(Q.S 2:42)
Seperti bahwa berbohong itu tidak baik, memberikan sedekah kepada fakir miskin itu baik.
Memenuhi janji
Hadits Rasulullah :”…. Jika engkau menjanjikan sesuatu kepada mereka, penuhilah janji itu. Karena
mereka itu hanya dapat melihat, bahwa dirimulah yang memberi rizki kepada mereka.” (H.R
Bukhari)
Meminta maaf jika melakukan kesalahan
Meminta tolong/ mengatakan tolong jika kita memerlukan bantuan.
Mengajak anak mengunjungi kerabat
C. Pendidikan intelektual
Menurut kamus Psikologi istilah intelektual berasal dari kata intelek yaitu proses
kognitif/berpikir, atau kemampuan menilai dan mempertimbangkan.
Pendidikan intelektual ini disesuaikan dengan kemampuan berpikir anak.
MenurutPiaget seorang Psikolog yang membahas tentang teori perkembangan yang terkenal juga
dengan Teori Perkembangan Kognitif mengatakan ada 4 periode dalam perkembangan kognitif
manusia, yaitu:
Periode 1, 0 tahun – 2 tahun (sensori motorik)
Mengorganisasikan tingkah laku fisik seperti menghisap, menggenggam dan memukul pada usia ini
cukup dicontohkan melalui seringnya dibacakan ayat-ayat suci al-Quran atau ketika kita beraktivitas
membaca bismillah.
Periode 2, 2 tahun – 7 tahun (berpikir Pra Operasional)
Anak mulai belajar untuk berpikir dengan menggunakan symbol dan khayalan mereka tapi cara
berpikirnya tidak logis dan sistematis.
Seperti contoh nabi Ibrahim mencari Robbnya.
Periode 3, 7 tahun- 11 tahun (Berpikir Kongkrit Operasional)
Anak mengembangkan kapasitas untuk berpikir sistematik
Contoh : Angin tidak terlihat tetapi dapat dirasakan begitu juga dengan Allah SWT tidak dapat dilihat
tetapi ada ciptaannya.
Periode 4, 11 tahun- Dewasa (Formal Operasional)
Kapasitas berpikirnya sudah sistematis dalam bentuk abstrak dan konsep
D. Pendidikan fisik
Dengan memenuhi kebutuhan makanan yang seimbang, memberi waktu tidur dan aktivitas yang
cukup agar pertumbuhan fisiknya baik dan mampu melakukan aktivitas seperti yang disunahkan
Rasulullah
“ Ajarilah anak-anakmu memanah, berenang dan menunggang kuda.” (HR. Thabrani)
E. Pendidikan Psikis
“Dan janganlah kamu bersifat lemah dan jangan pula berduka cita, padahal kamulah orang-orang
yang paling tinggi derajatnya, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS. 3:139)
Memberikan kebutuhan emosi, dengan cara memberikan kasih saying, pengertian, berperilaku
santun dan bijak.
Menumbuhkan rasa percaya diri
Memberikan semangat tidak melemahkan
3. DESKRIPSI PENDIDIKAN MENURUT PERSPEKTIF NASIONAL
Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu upaya pedagogis untuk menstranfer sejumlah
nilai yang dianut oleh masyarakat suatu bangsa kepada sejumlah subjek didik melalui proses
pembelajaran. Sistem nilai tersebut tertuang dalam sistem pendidikan yang dirumuskan dalam
dasar-dasar pandangan hidup bangsa itu. Rumusan pandangan hidup tersebut kemudian
dituangkan dalam Undang-Undang Dasar dan perundang-undangan. Dalam Undang-Undang Dasar
dan perundang-undangan itu pandangan filosofis suatu bangsa di antaranya tercermin dalam
sistem pendidikan yang dijalankan.
Bagi bangsa Indonesia, pandangan filosofis mengenai pendidikan dapat dilihat pada tujuan
nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 paragraf
keempat. Secara umum tujuan pendidikan nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kemudian secara terperinci dipertegas lagi dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional
BAB IIITUJUAN PENDIDIKAN
1. TUJUAN PENDIDIKAN PANCASILA
Rumusan formal konstitusional dalam UUD 1945 maupun dalam GBHN dan Undang-Undang
Kependidikan lainnya yang berlaku adalah tujuan normative GBHN 1983 merumuskan tujuan
pendidikan nasional sebagai berikut :
“Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan
tarhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan dan keterampilan , mempertinggi budi pekerti,
memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air, agar dapat
menumbuhkan manusia-manusia pembangunan dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung
jawab atas pembangunan bangsa
2. TUJUAN UMUM PENDIDIKAN MANUSIA
A. Hakikat manusia menurut Islam
Manusia adalah makhluk (ciptaan) Tuhan, hakikat wujudnya bahwa manusia adalah mahkluk
yang perkembangannya dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan.
Dalam teori pendidikan lama, yang dikembangkan didunia barat, dikatakan bahwa
perkembangannya seseorang hanya dipengaruhi oleh pembawaan (nativisme) sebagai lawannya
berkembang pula teori yang mengajarkan bahwa perkembangan seseorang hanya ditentukan oleh
lingkungannya (empirisme), sebagai sintesisnya dikembangkan teori ketiga yang mengatakan
bahwa perkembangan seseorang ditentukan oleh pembawaan dan lingkungannya (konvergensi)
Manusia adalah makhluk utuh yang terdiri atas jasmani, akal, dan rohani sebagai potensi
pokok, manusia yang mempunyai aspek jasmani, disebutkan dalam surah al Qashash ayat : 77 :
“Carilah kehidupan akhirat dengan apa yang dikaruniakan Allah kepadamu tidak boleh melupakan
urusan dunia “
b. Manusia Dalam Pandangan Islam
Manusia dalam pandangan Islam mempunyai aspek jasmani yang tidak dapat dipisahkan
dari aspek rohani tatkala manusia masih hidup didunia. Manusia mempunyai aspek akal. Kata yang
digunakan al Qur’an untuk menunjukkan kepada akal tidak hanya satu macam. Harun Nasution
menerangkan ada tujuh kata yang digunakan :
1. Kata Nazara, dalam surat al Ghasiyyah ayat 17 :
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan”
2. Kata Tadabbara, dalam surat Muhammad ayat 24 :
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al Qur’an ataukah hati mereka terkunci?”
3. Kata Tafakkara, dalam surat an Nahl ayat 68 :
“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah : “buatlah sarang-sarang dibukit-bukit, dipohon-pohon
kayu, dan ditempat-tempat yang dibikin manusia”.
4. Kata Faqiha, dalam surat at Taubah 122 :
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya (kemedan perang). Mengapa
tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila
mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”
5. Kata Tadzakkara, dalam surat an Nahl ayat 17 :
“Maka apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan apa-apa?
Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran”.
6. Kata Fahima, dalam surat al Anbiya ayat 78 :
“Dan ingatlah kisah daud dan Sulaiman, diwaktu keduanya memberikan keputusan mengenai
tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah
kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu”.
7. Kata ‘Aqala, dalam surat al Anfaal ayat 22 :
“Sesungguhnya binatang(makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang
pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa-pun.
Manusia mempunyai aspek rohani seperti yang dijelaskan dalam surat al Hijr ayat 29 :
“Maka Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan meniupkan kedalamnya roh-Ku, maka sujudlah
kalian kepada-Nya”.
3. MANUSIA SEMPURNA MENURUT ISLAM
a. Jasmani Yang sehat Serta Kuat dan Berketerampilan
Islam menghendaki agar orang Islam itu sehat mentalnya karena inti ajaran Islam (iman).
Kesehatan mental berkaitan erat dengan kesehatan jasmani, karena kesehatan jasmani itu sering
berkaitan dengan pembelaan Islam.
Jasmani yang sehat serta kuat berkaitan dengan ciri lain yang dikehendaki ada pada Muslim
yang sempurna, yaitu menguasai salah satu ketrampilan yang diperlukan dalam mencari rezeki
untuk kehidupan.
Para pendidik Muslim sejak zaman permulaan – perkembangan Islam telah mengetahui
betapa pentingnya pendidikan keterampilan berupa pengetahuan praktis dan latihan kejuruan.
Mereka menganggapnya fardhu kifayah, sebagaimana diterangkan dalam surat Hud ayat 37 :
“Dan buatlah bahtera itu dibawah pengawasan dan petunjuk wahyu kami, dan jangan kau
bicarakan dengan aku tentang orang-orang yang zalim itu karena meeka itu akan ditenggelamkan”.
b. Cerdas Serta Pandai
Islam menginginkan pemeluknya cerdas serta pandai yang ditandai oleh adanya
kemampuan dalam menyelesaikan masalah dengan cepat dan tepat, sedangkan pandai di tandai
oleh banyak memiliki pengetahuan dan informasi. Kecerdasan dan kepandaian itu dapat dilihat
melalui indikator-indikator sebagai berikut :
a) Memiliki sains yang banyak dan berkualitas tinggi.
b) Mampu memahami dan menghasilkan filsafat.
c) Rohani yang berkualitas tinggi.
Kekuatan rohani (tegasnya kalbu) lebih jauh daripada kekuatan akal. Karena kekuatan
jasmani terbatas pada objek-objek berwujud materi yang dapat ditangkap oleh indera.
Islam sangat mengistemewakan aspek kalbu. Kalbu dapat menembus alam ghaib, bahkan
menembus Tuhan. Kalbu inilah yang merupakan potensi manusia yang mampu beriman secara
sungguh-sungguh. Bahkan iman itu, menurut al Qur’an tempatnya didalam kalbu.
4. TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM (KHUSUS)
Menurut Abdul Fatah Jalal, tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia
sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia yang
menghambakan kepada Allah. Yang dimaksud menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah.
Islam menghendaki agar manusia dididik supaya ia mampu merealisasikan tujuan hidupnya
sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah. Tujuan hidup menusia itu menurut Allah ialah
beribadah kepada Allah. Seperti dalam surat a Dzariyat ayat 56 :
“ Dan Aku menciptakan Jin dan Manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku”.
Jalal menyatakan bahwa sebagian orang mengira ibadah itu terbatas pada menunaikan
shalat, shaum pada bulan Ramadhan, mengeluarkan zakat, ibadah Haji, serta mengucapkan
syahadat. Tetapi sebenarnya ibadah itu mencakup semua amal, pikiran, dan perasaan yang
dihadapkan (atau disandarkan) kepada Allah. Aspek ibadah merupakan kewajiban orang islam
untuk mempelajarinya agar ia dapat mengamalkannya dengan cara yang benar.
Ibadah ialah jalan hidup yang mencakup seluruh aspek kehidupan serta segala yang
dilakukan manusia berupa perkataan, perbuatan, perasaan, pemikiran yang disangkutkan dengan
Allah.
Menurut al Syaibani, tujuan pendidikan Islam adalah :
1. Tujuan yang berkaitan dengan individu, mencakup perubahan yang berupa pengetahuan, tingkah
laku masyarakat, tingkah laku jasmani dan rohani dan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki
untuk hidup di dunia dan di akhirat.
2. Tujuan yang berkaitan dengan masyarakat, mencakup tingkah laku masyarakat, tingkah laku
individu dalam masyarakat, perubahan kehidupan masyarakat, memperkaya pengalaman
masyarakat.
3. Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni,
sebagai profesi, dan sebagai kegiatan masyarakat.
Menurut al abrasyi, merinci tujuan akhir pendidikan islam menjadi
1. Pembinaan akhlak.
2. menyiapkan anak didik untuk hidup dudunia dan akhirat.
3. Penguasaan ilmu.
4. Keterampilan bekerja dalam masyrakat.
Menurut Asma hasan Fahmi, tujuan akhir pendidikan islam dapat diperinci menjadi;
1. Tujuan keagamaan.
2. Tujuan pengembangan akal dan akhlak.
3. Tujuan pengajaran kebudayaan.
4. Tujuan pembicaraan kepribadian.
Menurut Munir Mursi, tujuan pendidikan islam menjadi :
1. Bahagia di dunia dan akhirat.
2. menghambakan diri kepada Allah.
3. Memperkuat ikatan keislaman dan melayani kepentingan masyarakat islam.
4. Akhlak mulia.