konsentrasi siyasah syar’iyyah program studi...

101
“ PERDA KETERTIBAN UMUM DI WILAYAH DKI JAKARTA DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN HAM” Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh : Arief Rahman Nim : 0045219457 KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H / 2008 M

Upload: buikiet

Post on 08-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

“ PERDA KETERTIBAN UMUM DI WILAYAH DKI JAKARTA DALAM

PERSPEKTIF ISLAM DAN HAM”

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

Arief Rahman

Nim : 0045219457

KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1429 H / 2008 M

Page 2: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

“ PERDA KETERTIBAN UMUM DI WILAYAH DKI JAKARTA DALAM

PERSPEKTIF ISLAM DAN HAM”

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

Arief Rahman

Nim : 0045219457

Di bawah Bimbingan :

Pembimbing I Pembimbing II

(Drs. Abu Thamrin, SH.M.Hum) (Dr. Rumadi, M.Ag)

NIP : 19650908 199503 1 001 NIP : 19690304 199703 1 012

KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1429 H / 2008 M

Page 3: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “ PERDA KETERTIBAN UMUM DI WILAYAH DKI

JAKARTA DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN HAM”, telah diujikan

dalam sidang munaqosah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta pada tanggal 23 Juni 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu

syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SH.I) pada Program Studi

Jinayah Siyasah Konsentrasi Ketatanegaraan Islam (Siyasah Syar’iyyah).

Jakarta, 23 Juni 2008

Dekan,

(Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM

NIP : 19550505 198203 1 012

PANITIA UJIAN MUNAQOSAH

1. Ketua : Dr. Asmawi, M.Ag (------------------------)

NIP : 19721010 199703 1 008

2. Sekretaris : Sri Hidayati, M.Ag (--------

-----------------)

NIP : 19710215 199703 2 002

3. Pembimbing I : Drs. Abu Thamrin, SH, M.Hum (--------

-----------------)

NIP : 19650908 199503 1 001

4. Pembimbing II : Dr. Rumadi, M.Ag (--------

------------------)

NIP : 19690304 199703 1 012

Page 4: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

5. Penguji I : H. Abdul Wahab Abd Muhaimin, Lc, MA (--------

------------------)

NIP : 19500817 198903 1 001

6. Penguji II : Kamarusdiana, S.Ag, M.H (--------------------------)

NIP : 19720224 199803 1 003

Page 5: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

��� ا ا�� �� ا�� ���

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah Segala Puji bagi Allah Yang Maha Kuasa, atas kekuatan

dan kesempatan yang diberikan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan

skripsi ini tepat pada waktunya. Tak ada kemampuan dalam diri penulis, kecuali

semua ini karena Nikmat dan Karunia dari Allah Yang Maha Pengasih dan Maha

Penyayang.

Penulisan skripsi ini tidak akan selesai tanpa ada do’a dan bantuan yang

diberikan kepada penulis. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis

mengucapkan terima kasih yang besar-besarnya, kepada :

1. Bapak Prof Dr. H. Muhammad Amin, SH, MA, MM selaku Dekan Fakultas

Syariah dan Hukum.

2. Bapak Asmawi, M.Ag dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag selaku Kajur Jinayah

Siyasah dan Sekjur Jinayah Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum, yang selalu

mengingatkan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Drs. Abu Thamrin, M.Hum dan Bpk. Dr. Rumadi, M.Ag selaku

Pembimbing skripsi, yang telah banyak mengarahkan dan membimbing

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak – Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

5. Lembaga Kajian Komnas HAM, Lembaga LBH Jakarta, LBH APIK, Elsham

yang telah mengizinkan penulis untuk meneliti masalah Ketertiban Umum dan

Page 6: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

membantu dalam pengadaan data-data yang menunjang demi terselesainya

skripsi ini.

6. Kedua Orang Tua Tercinta, H. Abdul Cholik, MS dan Hj. Nur Azizah dan tak

terlupakan pula Almh. Hj. Maisuri yang telah memberikan cinta dan kasih

sayangnya yang tak terhingga kepada penulis.

7. Kepada Kakak-kakakku Elin Herlina, SH dan Heri Hermawan, ST dan adik-

adikku tersayang Diana Kusumawati, Nur Faizah, Ahmad Sofwan Mulyawan

dan Nurlaila.

8. Serta penulis ucapkan kepada keluarga Bapak Soemarjono dan Ibu Karminah

serta keluarga Bapak Yasin dan Ibu Rohani yang telah mengizinkan tempat

tinggalnya digunakan untuk berteduh serta tidak capeknya memberikan

semangat dan support kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

9. Kepada sahabat-sahabat sekalian, Eko Hadi Prasetyo, S.Sos, Adi Syahlani,

S.HI, Rio Tamara, S.HI, Faisal Anwar, S.Pd.I dan Etty Herawati, S.Pd.I serta

seluruh teman-teman Jurusan Jinayah Siyasah yang tidak dapat penulis

sebutkan satu persatu yang sudah bersama-sama penulis, baik dalam keadaan

suka maupun duka telah memberikan dorongan, semangat kepada penulis

untuk menyelesaikan skripsi yang melelahkan ini.

10. Tidak lupa juga penulis ucapkan terima kasih kepada Budiman, S.Sos.I dan

Imam Soeyuti, S.Sos.I yang telah membantu penulis dalam penyelesaian

skripsi ini.

Page 7: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan dan do’a yang ditujukan

kepada penulis dengan Rahmat dan Kasih Sayang-Nya yang berlipat ganda.

Peribahasa mengatakan, “Tak Ada Gading Yang Tak Retak”, penulis sadar

bahwa masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Untuk itu penulis

mengharapkan kritik, saran serta masukan dari berbagai pihak demi sempurnanya

tulisan ini. Akhirnya semoga tulisan ini dapat berguna, bermanfaat dan menambah

khazanah keilmuan.

23 Juni 2008 M

19 Jumadil Awal 1429 H

Penulis,

Jakarta :

Page 8: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................ i DAFTAR ISI ............................................................................................ iv

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………………………………… 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah …………………... 7

C. Tujuan Penelitian ……………………………………….. 8

D. Tinjauan Pustaka ……………………………………….. 9

E. Manfaat Yang Diharapkan……………………………… 15

F. Metode Kajian ………………………………………. 15

G. Sistem Matika Penulisan ………………………………... 17

BAB II : HAM, ISLAM DAN KETERTIBAN UMUM A. Konsep HAM dan Perkembangannya di Indonesia …….. 20

B. HAM dalam Sistem Perudangan di Indonesia ………….. 25

C. Negara, HAM dan Ketertiban Umum …………………… 29

D. Ketertiban Umum dalam Islam…………… ……………. 34

BAB III : PERDA TENTANG KETERTIBAN UMUM : TINJAUAN TERHADAP ISI DAN IMPLEMENTASINYA

A. Latar Belakang Terbitnya Perda 11 Tahun 1988 dan

Perda Nomor 8 Tahun 2007……………………..………. 37

B. Telaah Terhadap Isi Perda tentang Ketertiban Umum

B.1. Perda Nomor 11 Tahun 1988………………………. 39

B.2. Perda Nomor 8 Tahun 2007 ..................................... 49

B.3. Matrik Perbandingan Isi Perda Nomor 11 Tahun 1988

dengan Perda Nomor 8 Tahun 2007........................... 60

Page 9: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

C. Implementasi Perda Tentang Ketertiban Umum ………… 63

BAB IV : PERDA TENTANG KETERTIBAN UMUM DI DKI JAKARTA

DALAM TINJAUAN ISLAM DAN HAM A. Tinjauan Islam Terhadap Perda Tentang Ketertiban Umum

di DKI Jakarta............ ……………………………….... 67

B. Tinjauan HAM Terhadap Perda Tentang Ketertiban Umum

di DKI Jakarta ................................................……….... 74

C. Solusi atas Masalah Isi dan Implementasi Tentang

Ketertibang Umum di DKI Jakarta................................ 82

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan …………………………………………… 86

B. Sara-saran …………………………………………….. 89

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………. 90

Page 10: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Secara filosofis, salah satu tujuan dari keberadaan negara adalah

melindungi hak-hak warganya dan mewujudkan serta menjaga ketertiban umum.

Melalui mekanisme kontraktual, penyelenggara Negara ‘diberi’ kewenangan oleh

warganya untuk membentuk aparatus negara yang bertugas melindungi hak-hak

warga dan menjaga ketertiban umum. Sayangnya, di banyak negara, kewenangan

untuk menjaga ketertiban umum seringkali disalahgunakan justru untuk

melanggar dan menindas hak-hak warga. Dengan dalih mendahulukan

kepentingan negara dan menegakkan ketertiban umum, penyelenggara Negara

merasa berhak dan absah untuk melakukan penggusuran, pengusiran dan

pencabutan akan hak-hak warga, termasuk hak asasi manusianya. Di sini terjadi

ketidakseimbangan negara di dalam meletakkan secara proporsional kewajibannya

untuk melindungi hak-hak warganya dengan kewenangannya untuk mewujudkan

ketertiban umum. Padahal keduanya harus diletakkan dalam posisi yang

berimbang dan proporsional. Melulu mementingkan hak warga dapat memicu

anarki dan instabilitas sosial. Terlalu berpihak pada penegakan ketertiban umum

rentan memunculkan tirani. Itulah sebabnya negara harus memiliki regulasi yang

mengatur dua hal tersebut secara adil, berimbang dan proporsional.

Sejak reformasi bergulir, Indonesia merupakan negara yang tergolong

sangat progresif dalam regulasi dan ratifikasi berbagai peraturan tentang HAM.

Page 11: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

Meski demikian, tidak serta merta dapat disimpulkan bahwa Indonesia telah

menjunjung tinggi nilai-nilai HAM. Berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang

terjadi pada masa lampau tak kunjung terselesaikan hingga kini.1 Bahkan

belakangan muncul berbagai kasus baru yang terindikasi kuat merupakan bentuk

pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya, seperti

penggusuran, penganiayaan dan perusakan properti milik warga oleh aparat

negara. Celakanya, dalam banyak kasus penggusuran, perusakan dan

penganiayaan, berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan aparat negara

seringkali dianggap sah karena didasarkan atas berbagai peraturan yang diduga

kuat bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM dan umumnya terbit pada era

Orde Baru.

Salah satu peraturan yang sampai saat ini tidak pernah sepi dari

kontroversi adalah Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 tahun 1988 tentang

Ketertiban Umum dalam Wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Perda yang

dibuat pada masa Gubernur Wiyogo Atmodarminto dan masih berlaku sampai

saat ini, dinilai banyak kalangan bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM yang

telah diakomodasi dalam berbagai peraturan dan perundangan yang lebih tinggi

dan berlaku sekarang ini.2 Perda 11/1988 selama ini selalu dijadikan dasar

justifikasi oleh Pemerintah DKI Jakarta untuk melakukan ‘penertiban’ berupa

1 Diantara kasus pelanggaran HAM yang menyita perhatian public adalah penculikan para

aktivis pada era Orde Baru dan kasus Trisakti, kasus Semanggi I, Kasus Semanggi II dan kasus

tewasnya aktivis HAM Munir. 2 Kalangan LSM yang kritis terhadap Perda ini antara lain LBH Jakarta, LBH APIK,

Elsham, dll. Selain itu, sejumlah kalangan akademisi juga prihatin dengan Perda ini, diantaranya;

Prof. Dr. Saparinah Sadli, Prof. Dr. Sayogjo, Prof. Dr. Toety Herati, Ir. Marco Kusumawijaya,

Prof. Dr. Franz Magnis Suseno dan banyak tokoh lagi. Keprihatinan mereka dituangkan dalam

petisi Forum Keprihatinan Akademisi berjudul “Menata Kembali Hak Warga Negara”, 11

Nopember 2003.

Page 12: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

penggusuran, pengusiran dan perusakan terhadap properti warga yang dianggap

tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam Perda.

Faktanya, dalam kurun enam tahun terakhir ini aktivitas ‘penertiban’ yang

dilakukan aparat Pemda DKI Jakarta menunjukkan intensitas yang semakin tinggi,

dengan dampak dan cakupan ‘korban’ yang semakin luas.3

Yang penting untuk dicatat adalah Pemerintah DKI Jakarta selalu

menjadikan Perda Nomor 11 Tahun 1988 sebagai dasar hukum untuk melakukan

semua aktivitas ‘penertiban’ tersebut di atas. Dengan alasan pemukiman berada di

jalur hijau, pemukiman berada di bantara kali, pemukiman berada di bantaran rel

kereta api, atau lahan usaha berada di taman dan trotoar, dengan serta merta

Pemda DKI Jakarta merasa berwenang untuk menghilangkan hak warga untuk

mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak yang ironisnya telah diakui

dan dijamin dalam berbagai peraturan perundangan yang lebih tinggi.

Upaya untuk menghapus Perda ini bukan tidak dilakukan. Berbagai

kalangan LSM aktif melakukan demonstrasi menuntut agar Perda 11/1988

dicabut.4 Demikian juga telah ditempuh langkah-langkah hukum, namun hasilnya

masih nihil. Terakhir, setelah gugatan citizen law suit yang dilakukan oleh

gabungan Urban Poor Consortium (UPC), Lembaga Bantuan Hukum (LBH)

Jakarta dan LBH APIK di tolak oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta

3 Koran Tempo, 26 Januari 2007, Data detail penggusuran dan berbagai pelanggaran hak

warga lihat dokumen Forum Keprihatinan Akademisi, ibid. 4 Ribuan pedagang kaki lima korban gusuran yang tergabung dalam Pedagang Kaki Lima

Bersatu pada bulan Januari lalu berunjuk rasa di Balaikota DKI menuntut pencabutan Perda

11/1988. Lihat Warta Kota dan Indopos 17 Januari 2007.

Page 13: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

Pusat, Mereka kemudian berupaya melakukan judicial review terhadap Perda ini

ke Mahkamah Agung, yang hasilnya sampai saat ini juga juga tidak menentu.5

Perkembangan terakhir, justru menunjukkan gejala yang semakin meresahkan

kalangan LSM dan warga miskin kota. Pemerintah DKI Jakarta, mulai 1 Januari

2008 resmi memberlakukan Perda Nomor 8 tahun 2007 yang merupakan

penyempurnaan terhadap Perda 11 Tahun 1988. Oleh banyak kalangan Perda baru

ini dianggap lebih represif dan anti rakyat miskin kota.6

Secara faktual harus diakui bahwa persoalan penegakan ketertiban melalui

Perda ini adalah masalah yang rumit. Pihak Pemerintah DKI sering berargumen,

sebagai Ibu Kota dan sekaligus ‘etalase’ Negara, Jakarta dituntut untuk

menghadirkan suasana yang tertib, teratur, aman, sehat, bersih dan nyaman bagi

warga dan tamu-tamunya. Sehingga untuk itu, regulasi yang tepat dan penegakan

hukum secara konsekwen mutlak dibutuhkan. Di sisi lain, kompleksitas persoalan

yang ada di Jakarta, sejak dari himpitan ekonomi sampai keterbatasan lahan

membuat banyak dari warganya tidak memiliki pilihan lain selain tinggal atau

mencari nafkah di lokasi-lokasi yang menurut Perda di larang. Padahal menurut

Pemda DKI, jika hal ini dibiarkan terus berlangsung, Jakarta tentu akan menjadi

semakin semrawut, dan bukan tidak mungkin dapat mengganggu kepentingan dan

hak-hak publik yang lebih besar.7

5 Lihat di situs www.hukumonline.com, tanggal 27 Februari 2007.

6 Lihat, www.hukumonline.com, Perda Ketertiban Umum, Niat Baik yang Tidak

Didukung Kemampuan, 6 januari 2008. 7 PKL yang berjualan di trotoar dan bahu jalan raya seringkali menjadi sumber

kemacetan. Tinggal di bantara rel kereta api, bukan saja membahayakan mereka yang tinggal,

melainkan juga membahayakan penumpang kereta dan mempengaruhi keawetan rel kereta, dst.

Page 14: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

Secara filosofis, hakikat penghormatan dan perlindungan terhadap HAM

adalah menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi

keseimbangan, yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban serta keseimbangan

antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Upaya

menghormati, melindungi dan menjunjung tinggi HAM menjadi kewajiban dan

tanggungjawab bersama antara individu, pemerintah (aparatur pemerintah baik

sipil maupun militer) bahkan Negara. Jadi di dalam memenuhi dan menuntut hak,

tidak terlepas dari pemenuhan kewajiban yang harus dilaksanakan. Begitu juga

dalam memenuhi kepentingan perseorangan tidak boleh merusak kepentingan

orang banyak (kepentingan umum). Karena itu, pemenuhan, perlindungan dan

penghormatan terhadap HAM harus diikuti pemenuhan terhadap KAM

(kewajiban asasi manusia) dan TAM (Tanggungjawab Asasi Manusia) dalam

kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara.8 Jadi dapat disimpulkan bahwa

hakikat dari HAM adalah keterpaduan antara hak, kewajiban dan tanggungjawab

yang berlangsung secara sinergis dan berimbang. Bila ketiga unsur asasi yang

melekat pada setiap individu manusia, baik dalam tatanan kehidupan pribadi,

kemasyarakatan, kebangsaan, kenegaraan dan pergaulan global tidak berjalan

secara seimbang, dapat dipastikan menimbulkan kekacauan, anarkisme dan

kesewenang-wenangan dalam tata kehidupan umat manusia.

Di dalam Islam, hak dan kewajiban ibarat dua sisi mata uang yang tak

dapat dipisahkan. Tidak seorangpun manusia yang boleh dibiarkan menyisihkan

8 Mansour Fakih dkk, Menegakkan Keadilan dan Kemanusiaan : Pegangan Untuk

Membangun Gerakan HAM, Yogyakarta : Insist Press, 2003 hal. 78

Page 15: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

hak istimewa untuk dirinya sehingga terbebas dari kewajibannya. Hak dan

kewajiban setiap pribadi warga Negara adalah sama. Hak seseorang terhadap yang

lain adalah kewajiban orang lain itu, dan kewajiban seseorang terhadap orang lain

adalah hak orang yang bersangkutan. Jika dikaitkan dengan masalah kekuasaan

negara, menurut Nurcholis Madjid, dalam masyarakat secara minimal harus

ditegakkan hak-hak yang tak terpisahkan dari perikehidupan yang sentosa. Yaitu,

hak-hak pribadi untuk hidup dan memperoleh jaminan keamaan atas hidupnya;

hak-hak pribadi untuk tidak disiksa baik fisik mapun mental; hak-hak pribadi

untuk memperoleh pengadilan yang tidak memihak dan fair; hak-hak pribadi

untuk tidak mengalami penangkapan dan penahanan sewenang-wenang.9

Pelanggaran atas hak pribadi tersebut, menurut Nurcholis, akan merupakan

pelanggaran hak asasi yang paling telanjang. Pelanggaran atas hak-hak itu juga

merupakan penyelewengan paling gawat dari dasar dan falsafah kenegaraan. Dan

karena hak-hak itu ada dalam konteks kekuasaan, maka usaha melindungi dan

menegakkannya memerlukan sistem dan tatanan kekuasaan yang adil dan tidak

memihak kepada kepentingan diri sendiri dan golongan. Di dalam Al Qur’an

ditegaskan bahwa menjalankan kekuasaan harus dengan tujuan menegakkan

keadilan, tanpa perasaan suka atau tidak suka , dan meskipun mengenai diri

sendiri, kedua orang tua maupun sanak kerabat. Quran surat Al Maidah/5:8,

“Wahai sekalian orang yang beriman, jadilah kamu orang yang adil karena

Allah, menjadi saksi yang adil. Dan janganlah kebencianmu kepada suatu

9 Nurcholis Madjid, Masyarakat Religius : Membumikan Nilai-Nilai Islam dalam

Kehidupan Masyarakat, Jakarta : Paramadina, cet II, 2000, hal 50

Page 16: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

golongan membuatmu tidak adil. Tegakkanlah keadilan, itulah yang lebih dekat

kepada taqwa. Dan takutlah kepada Allah, sesungguhnya Allah mengetahui

apapun yangkamu kerjakan”.

Atas dasar fakta-fakta dan pemikiran tersebut di atas, penulis merasa

penting untuk mengkaji isi Perda Nomor 11 tahun 1988 (yang meskipun tidak lagi

berlaku namun penting untuk dijadikan pijakan analisis karena Perda yang baru

belum dapat dilihat dampak implementasinya) dan Perda Nomor 8 Tahun 1988

dilihat dari perspektif Islam dan HAM terkhusus hak-hak sipil, ekonomi dan

sosial warga. Karena jika selama ini pemerintah daerah DKI Jakarta selalu

berargumen bahwa Perda ini merupakan instrument hukum yang penting bagi

penegakan ketertiban umum yang sesungguhnya di dalamnya juga terkandung hak

publik dan hak asasi warga, maka fakta bahwa Perda ini juga selalu menjadi dasar

justifikasi hukum bagi terjadinya serangkaian penggusuran, pengusiran dan

perusakan warga oleh aparat Negara menunjukkan bahwa ada yang bermasalah

dari isi Perda ini sendiri. Untuk itu, telaah terhadap isi (content analysis) Perda,

dikaitkan dengan Islam dan berbagai produk hukum lainnya yang mengatur

tentang HAM menjadi penting untuk dilakukan.

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah

Mengingat spektrum cakupan HAM yang luas, telaah perspektif HAM

terhadap Perda 11 tahun 1988 dan perda 8 Tahun 2007 akan dibatasi pada kajian

isi masing-masing perda, tinjauan islam terhadap perda tibum, dan kajian khusus

terhadap perda 8 tahun 2007 mengenai pasal-pasal yang akan membatasi dan atau

Page 17: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

akan mengakibatkan pelanggaran hak atas pekerjaan. Setiap pasal yang dimaksud

akan dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur

mengenai hak atas pekerjaan.

Atas dasar pembatasan tersebut di atas, maka pertanyaan dalam penelitian

ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana isi dan implementasi Perda Nomor 11 tahun 1988 tentang

Ketertiban Umum Dalam Wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta?

2. Bagaimana isi Perda Nomor 8 tahun 2007 yang merupakan revisi atas Perda

Nomor 11 tahun 1988?

3. Bagaimana tinjauan Islam terhadap isi dan impelementasi dari Perda Nomor

11 Tahun 1988 dan Perda Nomor 8 tahun 2007?

4. Bagaimana isi dan kajian perda 8 tahun 2007 terhadap pasal-pasal yang akan

membatasi dan/atau akan mengakibatkan pelanggaran hak atas pekerjaan.?

C. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan melakukan pengayaan wacana

akademis berkaitan dengan materi ketertiban umum dalam hubungannya dengan

penegakan hak asasi manusia.

Sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan:

1. Mengetahui isi dan implementasi dari Perda 11 tahun 1988 tentang Ketertiban

Umum Dalam Wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.

2. Mengetahui isi dari Perda 8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.

Page 18: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

3. Mengetahui perspektif Islam terhadap isi dan implementasi Perda Nomor 11

Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum Dalam Wilayah Daerah Khusus Ibu

Kota Jakarta dan isi Perda Nomor 8 Tahun 2007.

4. Mengetahui perspektif HAM terhadap pasal-pasal yang membatasai dan/atau

mengakibatkan pelanggaran hak atas pekerjaan.

D. Tinjauan Pustaka

Terdapat tiga variable utama yang akan dikaji dalam penelitian ini, yakni

variable ketertiban umum yang dalam konteks ini secara konseptual-substansial

dibatasi dan direpresentasikan oleh Perda 11 tahun 1988 dan Perda Nomor 8 tahun

2007, variable HAM, dan variable Islam yang dikaitkan dengan HAM dan

ketertiban umum. Untuk mengetahui fokus dan posisi penelitian ini, penting untuk

dijelaskan konsep-konsep tersebut dengan cara mereview literatur-literatur baik

berupa buku maupun hasil penelitian sebelumnya yang berkenaan dengan Perda

11/1988 dan Perda 8/2007 , ketertiban umum, HAM dan Islam.

Hasil penelusuran kami menunjukkan bahwa penelitian tentang Perda 11

tahun 1988 bukanlah yang pertama dilakukan. Pada tahun 2002, LBH APIK telah

melakukan kajian terhadap Perda ini, dimana fokus kajian lebih diarahkan kepada

dampak penerapan perda ini yang lebih banyak merugikan kaum perempuan dan

anak-anak.10

10

Lihat LBH-APIK, Kajian Terhadap Perda 11 tahun 1988 tentang Ketertiban Umum di

Wilayah DKI Jakarta, 2005. lihat juga, LBH APIK Jakarta, “Hak Asasi Kaum Perempuan,

Langkah demi Langkah”.

Page 19: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

Berdasarkan kajian LBH APIK, Penerapan Perda 11/1988 berupa

penggusuran ternyata tidak hanya menyisakan penderitaan fisik dan kerugian

material pada rakyat miskin, tapi lebih jauh lagi dampak psikologis yang

dirasakan oleh perempuan dan anak memberikan trauma yang berkepanjangan

yang hal ini tidak terpikirkan oleh Pemda DKI Jakarta. Trauma menghadapi

kekerasan dari tingkah laku petugas Tramtib ketika menghancurkan rumah dan

perkampungan membekas dalam ingatan anak-anak dan perempuan. Ditambah

lagi dengan tidak diberinya kesempatan pada mereka menyelamatkan barang-

barang menambah penderitaan ini. Anak-anak kehilangan kesempatan sekolah

karena perlengkapan sekolahnya musnah terkubur puing-puing rumahnya, anak

dan perempuan tidak mempunyai akses pelayanan kesehatan termasuk kesehatan

reproduksi. Menurut LBH-APIK ini semua merupakan kejahatan terhadap

kemanusiaan karena telah melanggar konvensi Internasional tentang Hak Asasi

Manusia, Hak Anak dan Hak Perempuan.

Kajian LBH-APIK juga menemukan bahwa Perda 11/88 ini juga menjadi

salah satu senjata yang paling ampuh dalam melakukan penertiban bagi para

perempuan prostitut baik yang berada di lokalisasi maupun yang berada di

jalanan. Pada saat dilakukannya operasi penertiban itu, seringkali para perempuan

prostitut tersebut mengalami kekerasan (misal dengan dikejar, dipukul atau

dicekal keras-keras tangannya serta pelecehan seksual berupa kata-kata dan

pandangan tak menyenangkan). Dalam penertiban terhadap perempuan prostitut

ini, jelas Pemda DKI telah menempatkan perempuan prostitut sebagai kriminal

atau penyakit sosial yang harus diberantas. Selain itu, usaha pemulihan atau

Page 20: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

rehabilitasi yang dilakukan Pemda juga tidak betul-betul dilakukan, dimana dana

untuk panti-panti sosial dan rehabilitasi hanya sebagian kecil saja dari seluruh

dana APBD. Sehingga ketika di panti rehabilitasi itu para perempuan prostitut

yang terjaring operasi harusnya mendapatkan pendidikan ketrampilan serta

kebutuhan hidup yang layak dan sesuai dengan keputusan berapa lama mereka

harus menjalani rehabilitasi tersebut ternyata hanya mampu dilayani beberapa hari

saja karena panti-panti tersebut tidak bisa menanggung biaya operasionalnya.

LBH APIK juga menemukan bahwa pelanggaran ini berkaitan dengan

dialihfungsikannya fasilitas umum dan fasilitas sosial untuk pembangunan yang

berorientasi pada investasi. Dan yang perlu diingat dalam pelaksanaan Perda

11/88 ini, Pemerintah DKI Jakarta hanya sebatas melaksanakan saja padahal kalau

memang ada niat baik dari Pemerintah harus ada penyediaan layanan umum dan

fasilitas-fasilitas pendukung lainnya. Tapi itu tidak dilakukan oleh Pemda DKI

Jakarta.

Pada variable Islam dan HAM terdapat cukup banyak literatur baik berupa

buku maupun hasil riset yang dapat dijadikan titik pijak dan alat bantu peneliti

dalam mengkaji tema penelitian ini. Literatur dalam bentuk buku yang mengulas

tentang Islam dan HAM antara lain buku Tengku Muhammad Hasbie As Shiddiqi

yang berjudul, Islam dan HAM.11

Bukan hanya memberikan tinjauan filosofis

seputar posisi HAM dalam perspektif Islam, buku ini juga mengutip nilai-nlai

dasar HAM yang telah diletakkan oleh Nabi. Buku ini juga mengulas komponen-

11

Lihat, Teungku Muhammad Hasbi As Shiddiqi, “Islam dan HAM”, Semarang :

Pustaka Rizqi Utama, 1999.

Page 21: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

komponen HAM yang dicantumkan di dalam Deklarasi Cairo yang kemudian

sering dijadikan dasar oleh kalangan masyarakat Muslim untuk menyatakan

bahwa Islam bukan hanya kompatibel dengan HAM, bahkan memberi perhatian

yang sangat besar kepada HAM. Hal itu ditunjukkan dengan justifikasi ayat-ayat

al Quran yang terkait dengan HAM di dalam Deklarasi ini.

Buku-buku lain yang membahas tentang Islam dan HAM antara lain, Hak

Asasi Manusia dalam Islam, yang merupakan terjemahan karya Abu A’la Al

Maududi, buku Islam dan HAM karya Tengku Muhammad hasby As Shiddiqy,

buku Hak Asasi Manusia dalam Islam karya Harun Nasution dan Bahtiar Effendi,

dan lain-lain.

Selain buku-buku, literatur tentang HAM dan Islam dalam bentuk makalah

atau artikel yang merupakan hasil riset juga cukup banyak tersedia. Misalnya

hasil riset Ahmad Ali Nurdin yang berjudul Islam dan HAM. Makalah ini

berusaha menelaah dua isu pokok. Pertama, kontroversi apakah HAM harus

dipahami sebagai prinsip universal yang bisa diterapkan bagi seluruh umat

manusia atau hanya dipandang sebagai nilai esensial yang dibentuk oleh suatu

negara yang hanya berlaku bagi negara tertentu. Kedua, hubungan Universal

Declaration of Human Rights di satu sisi dan nilai-nilai universal Islam di sisi

lain, adakah kontradiksi atau konflik nilai di dalamnya.

Dalam membahas hubungan Islam dan HAM, Nurdin menemukan bahwa

cendekiawan Muslim yang konsen terhadap isu relativisme budaya dan HAM

secara garis besar terbagi kepada dua kelompok. Afshari sebagaimana dikutip

Page 22: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

Nurdin menyebutnya sebagai kelompok old-traditionalist dan new-traditionalist,

sementara Bielefeldt menyebut mereka sebagai kelompok konservatif dan liberal.

Kelompok konservatif menolak untuk memaksakan standar Barat diterapkan pada

masalah-masalah publik masyarakat Muslim. Bagi mereka, urusan publik dalam

masyarakat Islam telah diatur secara jelas oleh norma agama. Bagi kelompok ini,

universalitas HAM yang dipromosikan oleh PBB dan negara-negara Barat adalah

ancaman bagi kelangsungan hidup masyarakat Muslim.

Meskipun demikian, kelompok ini tidak serta-merta menolak seluruh

konsep tentang HAM yang ditawarkan Barat, mereka menawarkan solusi dengan

penekanan pada perlunya masyarakat Islam merumuskan konsep HAM dengan

framework yang islami.

Kelompok liberal di pihak lain telah jauh melangkah dengan mencoba

menafsirkan teks-teks sakral agama dengan cara mengembangkan metodologi

penafsiran baru. Bagi kelompok ini diperlukan reinterpretasi baru atas nilai-nilai

Islam untuk memenuhi tuntunan norma global. Ahmed An-Naim, seorang

cendekiawan hukum Islam yang konsen dengan HAM, kutip Nurdin, mengatakan

bahwa secara substantif nilai-nilai Islam sangat mendukung dan sejalan dengan

norma legal HAM yang dikembangkan Barat jika nilai-nilai Islam ditafsirkan

secara akurat. Untuk mendukung pernyataannya, Naim menunjuk elastisitas Islam

yang memiliki kafabilitas tinggi dalam mengakomodasi variasi interpretasi teks.

Lebih jauh, kaum liberal Muslim memandang bahwa tidak ada kontradiksi yang

prinsipil antara nilai-nilai Islam dan standard HAM internasional yang

Page 23: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

dikembangkan PBB. Ide-ide Al Quran tentang tingginya martabat manusia,

perlunya solidaritas kemanusiaan bahkan tidak adanya pemaksaan dalam

beragama menunjukkan bahwa Islam sangat menghargai HAM.

Menurut Nurdin, sampai sekarang, kontroversi antara kaum konservatif

dan liberal Muslim tentang hubungan antara Islam dan HAM masih belum

berakhir. Namun, untuk menyinergikan dan membangun suatu konsep tentang

HAM dengan framework islami, seperti ditekankan kaum konservatif, masyarakat

Muslim telah berhasil menyusun dua deklarasi tentang HAM: The Universal

Islamic Declaration of Human Rights yang dirumuskan oleh Islamic-Council

Eropa pada tahun 1981 dan Cairo Declaration of Human Rights in Islam yang

diadopsi oleh Organisasi Konferensi Islam pada Agustus 1991 sebagai acuan

HAM dalam Islam.12

Berdasarkan penelusuran sementara terhadap literatur yang tersedia

terlihat bahwa pengkajian terhadap Perda Nomor 8 Tahun 1988 meskipun telah

pernah dilakukan sebelumnya, namun kajian tersebut –meskipun juga

menyinggung HAM- masih dalam kacamata yang sangat spesifik pada aspek

HAM perempuan dan anak-anak. Demikian pula, kajian tentang Islam dan HAM

juga telah banyak dilakukan oleh para Ahli, namun mengaitkan Islam dan HAM

denan ketertiban umum yang secara praktis sering memicu terjadinya benturan

12 Lihat, Ahmad Ali Nurdin, Islam dan Hak Asasi Manusia, paper untuk Post Graduate

Student University of New England-Australia.

Page 24: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

nilai, belum –atau belum banyak- di kaji orang. Untuk mengisi ‘kekosongan’

itulah fokus kajian penelitian ini diarahkan.

E. Manfaat Yang Diharapkan

Penelitian ini diharapkan akan memberikan kontribusi positif dalam

pengembangan wacana bidang ketertiban umum dan HAM. Secara lebih spesifik,

penelitian ini mempunyai dua manfaat berikut :

1. Manfaat Akademis

Secara akademis, penelitian ini diharapkan berkontribusi menambah khazanah

ilmu dalam lapangan hukum, khususnya hukum Islam dan hukum Hak Asasi

Manusia berkait dengan penegakan ketertiban umum oleh Negara.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh

pemerintah daerah dan DPRD dalam rangka revisi dan penyempurnaan

terhadap Perda Nomor 8 Tahun 2007 yang saat ini sedang menjalani proses

evaluasi di Kementerian dalam Negeri.

F. Metode Kajian

1. Sifat dan Pendekatan

Penelitian ini merupakan library research yang bersifat deskriptif-analitis,

dengan berupaya menggali, memaparkan dan menganalisa data-data berupa pasal-

pasal yang menjadi isi dan substansi Perda nomor 11 tahun 1998 dan Perda 8

Tahun 2007 untuk kemudian ditelaah secara kritis, dikaitkan dengan perspektif

Islam tentang HAM dan peraturan perundang-undangan tentang HAM yang

Page 25: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

berlaku, dalam konteks ini dibatasai pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005

dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005. Pendekatan penelitian menggunakan

pendekatan kualitatif.13

2. Pengumpulan Data

Data di dalam kajian ini terdiri dari dua macam, yaitu data primer dan data

sekunder. Data primer merupakan dokumen-dokumen pokok yang akan dijadikan

objek kajian, yang meliputi; Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 11 tahun 1988

tentang Ketertiban Umum, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang

Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan

Budaya, dan UU Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan

Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Sedangkan data sekunder

merupakan data-data pendukung yang terkait dengan tema kajian, baik pada

tataran teoritis, maupun data-data praktis berupa fakta-fakta dari implementasi

Perda Nomor 11 tahun 1988. Data sekunder berupa buku-buku, laporan penelitian,

pemberitaan di koran dan majalah, artikel serta dokumen-dokumen lain yang

relevan. Pengumpulan data, baik primer maupun sekunder dilakukan melalui studi

dokumen

3. Teknik Analisa Data

Teknik analisa menggunakan content analysis. Teknik ini ini diawali

dengan mengkompilasi dan menelaah berbagai perspektif Islam tentang HAM dan

Undang-undang Nomor 11 tahun 2005 serta Undang-undang Nomor 12 tahun

13

Lihat, Suharsimi Arikonto, “Manajemen Penelitian”, Jakarta : Rineka Cipta, Cetakan

Kelima tahun 2000.

Page 26: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

2005, yang akan digunakan sebagai dasar untuk menganalisa Perda 11 tahun

1988. Selanjutnya dari kumpulan perundang-undangan tersebut dikaji konten isi-

nya, baik terkait kata-kata (words), makna (meanings), simbol, ide, tema-tema dan

pelbagai pesan lainnya yang disampaikan oleh perundang-undangan dimaksud.

Unit analisa perundang-undangan mencakup beberapa aspek penting, yaitu

hak mendapat penghidupan yang layak, hak kebebasan untuk mengeluarkan

pendapat, hak untuk hidup, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan,

hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan serta hak atas kebebasan pribadi (UUD

1945 dan UU Nomor 39 tahun 1999). Berdasarkan mesing-masing aspek tersebut

Perda 11 Tahun 1988 kemudian ditelaah, dikritisi, dikomparasi, diuji, dan

disimpulkan berdasarkan karakteristik term masing-masing teks perundang-

undangan.14

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembahasan, penulisan hasil penelitian ini akan

disistematisasi dalam lima bab dengan sistematika bahasan sebagai berikut :

Bab I : Pendahuluan

Bab ini membahas latar belakang masalah, pembatasan dan pertanyaan

penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode

penelitian yang digunakan dan sistematika penulisan.

Bab II : Islam, HAM dan Ketertiban Umum

14

Lihat, Mattew B Miles & A. Michael Huberman, “Analisis Data Kualitatif : Buku

Sumber Tentang Metode-Metode Baru”, Jakarta : UI Press, cetakan pertama, tahun 1992.

Page 27: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

Bab ini akan membahas teori-teori tentang hak asasi manusia, hak asasi

manusia dalam sistem perundangan di Indonesia dan peran negara

terhadap penegakan HAM dan ketertiban umum dan perspektif Islam

ketertiban umum.

Bab III : Perda Nomor 11 Tahun 1988 dan Perda Nomor 8 tahun 2007: Tinjauan

Terhadap Isi dan Implementasinya

Di dalam bab ini akan dibahas tiga sub tema. Pertama-tama akan diulas

latar belakang munculnya Perda Nomor 11 tahun 1988 dan Perda Nomor

8 tahun 2007 berikut kondisi sosial Jakarta yang turut melatari terbitnya

Perda ini. Selanjutnya ditelaah isi Perda berikut implementasinya.

Bab IV: Perda Nomor 11 tahun 1988 dan Perda Nomor 8 Tahun 2007 dalam

Tinjauan Islam dan HAM

Bab ini akan membahas Perda 11 Tahun 1988 dan Perda Nomor 8 Tahun

2007 dalam perspektif Islam dan HAM. Perspektif HAM yang akan

digunakan adalah Undang-undang yang merupakan ratifikasi terhadap

dua kovenan internasional, yakni; Undang-undang Nomor 11 Tahun

2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-hak

Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan UU Nomor 12 Tahun 2005 Tentang

Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik.

Dan mengkaji pasal-pasal pada perda no 8 tahun 2007 yang akan

membatasai dan/atau akan mengakibatkan pelanggaran hak atas

pekerjaan.

Page 28: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

Bab V : Kesimpulan dan Saran

Bab ini menyimpulkan hasil penelitian dan merumuskan sejumlah saran

bagi perbaikan ke depan.

BAB II

Page 29: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

HAM, ISLAM DAN KETERTIBAN UMUM

A. Konsep Ham Dan Perkembangannya Di Indonesia

Apa yang disebut hak-hak asasi manusia adalah konsep yang mempunyai

riwayat yang panjang, terolah dan tersempurnakan dalam sejarah sosial politik

bangsa-bangsa di dunia. Jika kini konsep dan masalah-masalah HAM telah

menjadi wacana global, harus diakui bahwa menilik riwayatnya, konsep ini

berkecambah dan berkembang di negara-negara barat.

Secara konseptual, HAM didefinisikan secara beragam. Menurut Jan

Matterson, sebagaimana dikutip Baharudin Lopa, HAM adalah hak-hak yang

melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup

sebagai manusia.15

Menurut John Locke, seperti terdapat dalam buku Masyhur

Effendi, hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan

Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati, yang karenanya tidak ada

kekuasaan apapun di dunia dapat mencabutnya.16 Sedangkan di dalam Undang-

undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM pasal 1 disebutkan bahwa, “Hak

Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan

keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan

anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara,

hokum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat

dan martabat manusia”.

15

Masyhur Effendi, Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional

dan Internasional, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1994, hal. 17

16 Ibid.

Page 30: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

Menurut Soetandyo Wignjosoebroto HAM -lebih tepat disebut hak-hak

manusia (human rights)17

saja- adalah hak-hak yang (seharusnya) diakui secara

universal sebagai hak-hak yang melekat pada manusia karena hakekat dan kodrat

kelahiran manusia itu sebagai manusia. Dikatakan ‘universal’ karena hak-hak itu

dinyatakan sebagai bagian dari kemanusiaan setiap sosok manusia, tak peduli

apapun warna kulitnya, jenis kelaminnya, usianya, latar belakang kultural dan

agama atau kepercayaannya. Sementara dikatakan ‘melekat’ atau ‘inheren’ karena

hak-hak itu dimiliki siapapun manusia karena kodrat kelahirannya sebagai

manusia dan bukan karena pemberian suatu organisasi atau kekuasaan manapun.

Karena dikatakan ‘melekat’ inilah, maka hak-hak ini tidak sesaatpun dapat dicabut

atau dirampas.18

Menurut Soetandjo, pengakuan atas adanya hak-hak manusia yang asasi

memberikan jaminan – secara moral maupun demi hukum - kepada setiap

manusia untuk menikmati kebebasan dari segala bentuk perhambaan, penindasan,

perampasan, penganiayaan atau perlakuan apapun lainnya yang menyebabkan

manusia itu tak dapat hidup secara layak sebagai manusia. Berabad-abad lamanya

manusia dalam jumlah missal hidup tanpa pengakuan atas hak-haknya. Jutaan

manusia dalam sejarah hidup dalam kedudukannya yang rendah sebagai hamba-

hamba. Banyak pula yang harus hidup sebagai tawanan yang dapat diperjual

belikan oleh para majikannya. Dalam keadaan seperti itu, berabad-abad lamanya

17

Sebelum istilah ‘human rights’ pada mulanya Barat menggunakan istilah ‘right of man’

yang menggantikan istilah ‘natural right’. Istilah ‘right of man’ ternyata tidak secara otomatis

mengakomodasi ‘right of woman’. Karenanya istilah itu kemudian diganti oleh Eleanor Roosevelt

dengan istilah ‘human rights’ yang dipandang lebih netral dan universal. 18

Soetandjo Wignjosoebroto, Hak Asasi Manusia : Konsep Dasar dan Perkembangan

Pengertiannya Dari Masa ke Masa, Jakarta : ELSAM, 2005. hal. 2

Page 31: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

manusia dalam jumlah massal harus hidup dalam kondisi yang amat tak

bermartabat, tak mempunyai harta milik sebagai bekal hidup yang layak, dan

bahkan tidak memiliki diri dan kepribadiannya sendiri.19

Berdasarkan beberapa rumusan HAM di atas, dapat ditarik kesimpulan

beberapa cirri pokok dari HAM, yakni; 1). HAM tidak data diberikan, dibeli

maupun diwarisi. HAM merupakan bagian dari manusia secara otomatis; 2).

HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama,

etnis, pandangan politik dan asal-usul sosial dan bangsa; 3). HAM tidak bias

dilanggar. Tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar

hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah negara membuat

hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM.

Bagir Manan membagi perkembangan pemahaman HAM di Indonesia

dalam dua periode, yaitu periode sebelum kemerdekaan dan periode paska

kemerdekaan. Pemikiran HAM pra-kemerdekaan mulai bersemai dalam

organisasi-organisasi pergerakan seperti Boedi Oetomo, Perhimpunan Indonesia,

Syarekat Islam, Partai Komunis Indonesia, Indische Partij, Partai Nasional

Indonesia dan perdebatan dalam BPUPKI. Pada masa ini, pemikiran tentang

HAM di dominasi oleh gagasan-gagasan tentang hak untuk berserikat dan

mengeluarkan pendapat, hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of

selfdetermination), hak untuk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas

dari penindasan dan diskriminasi rasial, hak sosial untuk mengakses alat produksi,

19 Ibid.

Page 32: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

hak mendapatkan perlakuan yang sama dan kemerdekaan, hak persamaan dimuka

hukum dan hak mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.20

Setelah merdeka, pada masa-masa awal kemerdekaan gagasan tentang

HAM masih lebih terfokus pada hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk

berserikat melalui organisasi politik, serta hak untuk menyampaikan pendapat

terutama di parlemen. Pada masa ini, pemikiran tentang HAM telah mendapatkan

legitimasi formal dalam UUD 1945. Pemikiran tentang HAM semakin

berkembang ketika demokrasi parlementer diterapkan pada 1950-1959. Dalam

istilah Bagir Manan, pemikiran dan aktualisasi HAM pada periode ini mengalami

“pasang” dan menikmati “bulan madu” kebebasan. Namun hal ini tidak

berlangsung lama, setelah Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit 5 Juli 1959

yang diikuti dengan kebijakan restriktif (pembatasan yang ketat oleh kekuasaan)

terhadap hak sipil dan politik warga, HAM layu dengan seketika sampai masa

kekuasaan Soekarno berakhir pada 1966 dan lahirnya Orde Baru.21

Pada masa-masa awal pemerintahan Orde Baru, muncul gejala di kalangan

parlemen untuk kembali menyuburkan pemikirn tentang HAM. MPRS melalui

Panitia Ad Hoc IV menyiapkan rumusan yang akan dituangkan dalam piagam

tentang hak-hak asasi manusia dan hak-hak serta kewajiban warga negara.

Namun niat ini tidak pernah tercapai. Seiring dengan semakin kuatnya konsolidasi

kekuasaan oleh Soeharto, atas nama stabilitas politik dan pembangunan ekonomi,

pemerintah sejak awal tahun 1970-an mulai menerapkan kebijakan yang bersifat

defensive dan represif yang dicerminkan oleh produk hukum yang umumnya

20

Lebih lengkap lihat Bagir Manan, Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak

Asasi Manusia di Indonesia, Bandung : PT. Alumni, 2001. 21 Ibid

Page 33: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

restriktif terhadap HAM. Meski demikian, dalam situasi yang restriktif, pemikiran

tentang HAM justru tumbuh subur di kalangan LSM dan akademisi yang terus

bergerak membentuk jejaring dan lobi-lobi internasional.22

Upaya yang dilakukan oleh kalangan LSM dan akademisi mulai

menampakkan hasil pada periode 1990-an ketika pemerintah mulai menggeser

kebijakan yang defensive dan represif terhadap HAM menjadi kebijakan yang

lebih akomodatif terhadap tuntutan penegakan HAM. Bentuk paling nyata sikap

akomodatif pemerintah adalah dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

(Komnas HAM) berdasar Kepres Nomor 50 tahun 1993. Meski upaya penegakan

HAM pada masa ini oleh banyak pihak dinilai masih setengah hati, namun hal

penting yang patut dicatat menurut Manan adalah sikap akomodatif pemerintah

terhadap HAM juga menggeser paradigma pemerintah terhadap HAM yang

partikularistik menjadi universalistik.

Berakhirnya kekuasaan Orde Baru pada 1998 memberi dampak yang besar

pada upaya pemajuan dan penegakan HAM di Indonesia. Era keterbukaan telah

memungkinkan berbagai elemen bangsa untuk melakukan pengkajian terhadap

berbagai kebijakan pemerintah Orde Baru yang berlawanan dengan pemajuan dan

perlindungan HAM. Untuk selanjutnya dilakukan penyusunan peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan penegakan HAM. Masa

pemerintahan Habibie merupakan periode awal yang cukup siginifikan bagi

perkembangan dan pemajuan HAM di Indonesia. Pada masa ini, TAP MPR

Nomor XVII/MPR/1998 tentang HAM disahkan, dan sejumlah konvensi tentang

22 Ibid

Page 34: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

HAM diratifikasi, antara lain; Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan

Kejam lainnya dengan UU Nomor 5 Tahun 1998; Konvensi Penghapusan Segala

Bentuk Diskriminasi Rasial dengan UU Nomor 29 Tahun 1998; Konvensi ILO

Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan untuk Berorganisasi

dengan Kepres Nomor 83 tahun 1998; dan lain-lain.23 Saat ini, Indonesia menjadi

salah satu negara yang paling progresif menerbitkan berbagai peraturan

perundangan dan meratifikasi konvensi tentang HAM. Dikukuhkannya Makarim

Wibisono sebagai Ketua Komisi HAM PBB beberapa waktu lalu menunjukkan

pengakuan dunia akan keseriusan pemerintah Indonesia dalam menegakkan

HAM.

B. Ham Dalam Sistem Perundangan Di Indonesia

Secara legal formal, dalam kurun satu dasawarsa terakhir, Indonesia

mengalami perkembangan yang cukup signifikan dalam hal legalisasi berbagai

peraturan dan perundangan yang terkait dengan penegakan HAM. Hal tersebut

tidak lepas dari akibat pergantian rezim pemerintahan pada tahun 1998 yang

dengan cepat membangkitkan kesadaran berbagai kalangan masyarakat akan

pentingnya penegakan HAM melalui berbagai regulasi. Euforia reformasi dan

tekanan politik yang kuat dari berbagai elemen pro-demokrasi mencatatkan masa-

masa awal era reformasi pada 1998-1999 sebagai saat paling penting dalam

perkembangan legalisasi HAM di Indonesia. Pada kurun ini dihasilkan berbagai

produk perundang-undangan yang mengadopsi ataupun meratifikasi instrument

23

Suparman Marzuki & Sobirin Malian, Pendidikan Kewarganegaraan dan HAM,

Yogyakarta : UII Press, 2002, hal 67.

Page 35: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

HAM internasional dalam berbagai UU, TAP MPR, Peraturan Pemerintah

maupun Keputusan Presiden.

Beberapa produk perundangan tentang HAM yang dihasilkan pada masa

ini antara lain; TAP MPR Nomor XVII tahun 1998 tentang Pandangan dan Sikap

Bangsa Indonesia Terhadap HAM dan Piagam HAM Nasional; UU Nomor 5

tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, Perlakuan dan

Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat; UU

Nomor 9 tahun 1998 tentang Kebebasan Menyatakan Pendapat; UU Nomor 26

Tahun 1999 tentang Pencabutan UU Nomor 11 tahun 1963 tentang Tindak Pidana

Subversi; UU Nomor 29 tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan

Segala Bentuk Diskriminasi dan yang paling penting adalah UU Nomor 39 Tahun

1999 tentang Hak Asasi Manusia yang dilanjutkan dengan UU Nomor 26 Tahun

2000 tentang Pengadilan HAM.24

Selain di tingkat TAP MPR dan Undang-undang, regulasi tentang HAM

juga telah diakomodasi dalam berbagai Peraturan Pemerintah dan Keputusan

Presiden. Misalnya; Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)

Nomor 1 tahun 1999 tentang Pengadilan HAM; Keputusan Presiden (Kepres)

Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia tahun

1998-2003, yang memuat rencana ratifikasi berbagai instrument hak asasi

manusia Perserikatan Bangsa-bangsa serta tindak lanjutnya; Kepres Nomor 31

tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Makasar; dan

24 Ibid.

Page 36: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

Kepres Nomor 181 Tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti kekerasan

Terhadap Perempuan.25

Terakhir, melalui UU Nomor 11 dan UU Nomor 12 Tahun 2005,

Indonesia meratifikasi dua kovenan penting tentang HAM. UU Nomor 11 tahun

2005 meratifikasi International Covenant on Economic, Social and Cultural

Rights, dan UU Nomor 12 Tahun 2005 mengesahkan International Covenant on

Civil and Political Rights. Dengan adanya kedua undang-undang tersebut di atas,

maka Indonesia telah melengkapi penerimaan atas Undang-undang Internasional

Hak Asasi Manusia, yang telah dilakukan sebelumnya. Karenanya, Indonesia

perlu mempunyai komitmen yang kuat untuk melaksanakan isi dari ketiga

undang-undang tersebut di atas, terutama isi yang terdapat di dalam Kovenan

Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan Kovenan

Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Komitmen yang kuat tersebut, tidak

hanya berupa penegakan hukum, tetapi juga pembenahan hukum yang

mendukung penegakan hukum atau penegakan kovenan-kovenan tersebut.

Penegakan hukum dan pembenahan hukum yang mendukung penegakan

hukum atau penegakan kovenan-kovenan tersebut, merupakan arti penting dari

ratifikasi dua kovenan HAM tersebut. Pembenahan hukum juga diartikan sebagai

menyesuaikan atau mengharmonisasikan peraturan perundang-undangan yang

telah mengatur mengenai HAM, mulai dari tingkat undang-undang hingga

peraturan di bawah nya, dengan kovenan-kovenan tersebut.26

25

Ibid, hal. 69 26

Lihat release Komisi Hukum Nasional, 17 Maret 2006, “Arti Pengesahan Dua Kovenan

HAM bagi Penegakan Hukum”

Page 37: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

Ada beberapa poin penting yang secara mutatis terdapat dalam kedua

kovenan tersebut dan hak-hak khusus dalam bidang sipil dan politik, serta

ekonomi, sosial, dan budaya, yaitu; Pertama, kewajiban pihak negara untuk

mengambil langkah-langkah bagi tercapainya secara bertahap perwujudan hak-

hak yang diakui dalam kovenan, memastikan pelaksanaan hak-hak itu tanpa

diskriminasi apapun yang berkenaan dengan ras, warna kulit, jenis kelamin,

agama, bahasa, pandangan politik atau pandangan lain, asal usul kebangsaan atau

sosial, hak milik, status kelahiran atau status lainnya; Kedua. Persamaan hak

antara laki-laki dan perempuan; Ketiga, Tidak ada satu ketentuan pun dalam

Kovenan ini yang dapat ditafsirkan sebagai memberi hak kepada negara,

kelompok, atau seseorang untuk melibatkan diri dalam kegiatan yang bertujuan

menghancurkan hak atau kebebasan manapun yang diakui dalam Kovenan ini.

Keempat, Khusus di bidang sipil dan politik setiap manusia mempunyai

hak melekat untuk hidup, bahwa hak ini dilindungi oleh hukum, dan bahwa tidak

seorangpun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wewenang

sebagaimana bunyi pasal 6. Tidak seorangpun boleh dikenai siksaan, atau

perlakuan, atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan

martabat dilanjutkan dalam pasal 7. Tidak seorangpun boleh diperbudak, bahwa

perbudakan dan perdagangan budak dilarang, dan bahwa tidak seorangpun boleh

diperhamba, atau diharuskan melakukan kerja paksa atau kerja wajib diperkuat

dalam pasal 8. Tidak seorangpun boleh ditangkap atau ditahan secara sewenang-

wenang ditegaskan dalam pasal 10. Tidak seorangpun boleh dipenjarakan hanya

Page 38: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

atas dasar ketidakmampuannya memenuhi kewajiban kontraktualnya bunyi pasal

11.

Kelima, Khusus di bidang, ekonomi, sosial, dan budaya, setiap manusia

dijamin haknya atas pekerjaan, pasal 6. Hak untuk menikmati kondisi kerja yang

adil dan menyenangkan, pasal 7. Hak untuk membentuk dan ikut serikat buruh,

pasal 8. Hak atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial, pasal 9. Hak atas

perlindungan dan bantuan seluas mungkin bagi keluarga, ibu, dan anak, dan orang

muda, pasal 10. Hak atas standar hidup yang memadai, pasal 11. Hak untuk

menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tertinggi yang dapat dicapai,

pasal 12. Hak atas pendidikan, pasal 13 dan 14. Hak untuk ikut serta dalam

kehidupan budaya, pasal 15.27

C. Negara, Ham Dan Ketertiban Umum

Mendiskusikan peran negara dalam penegakan HAM dan ketertiban umum

harus kembali pada perdebatan seputar posisi dan hakikat hubungan kekuasaan

dengan warga negaranya. Teori dan filsafat tentang terbentuknya negara sebagai

pihak yang menerima delegasi wewenang dari rakyat untuk mengatur kehidupan

masyarakat dan sekaligus juga kewajiban untuk menjamin dan melindungi hak-

haknya dapat dijadikan pijakan untuk memahami persoalan ini.

Konsep tentang hubungan negara, HAM dan ketertiban umum

berkembang tatkala sejumlah pemikir Eropa Barat yang tercerahkan pada paruh

kedua abad 18 mulai mempertanyakan keabsahan kekuasaan dan monarkhi yang

absolut berikut wawasan tradisionalnya amat diskriminatif dan memperbudak.

27 Selengkapnya lihat UU Nomor 11 Tahun 2005 dan UU Nomor 12 Tahun 2005

Page 39: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

Ketika gagasan-gagasan baru tersebut semakin berpengaruh luas dan menguat,

cita-cita kebebasan dan egalitarianisme menjadi tak terbendung lagi. Komunitas-

komunitas warga sebangsa diorganisir dalam wujud institusi politik baru yang

memproklamasikan diri sebagai negara republik yang demokratik. Di dalam

sistem kenegaraan yang baru, rakyat dapat berartikulasi untuk menuntut

pengakuan atas statusnya yang baru sebagai warga pengemban hak kodrati, atas

dasar gagasan bahwa kekuasaan kolektif mereka adalah sesungguhnya suara

Tuhan. Vox populi, vox dei. Penguasa tidak lagi memiliki kekuasaan tak terbatas

yang diklaim sebagai representasi kekuasaan Tuhan, melainkan dibatasi oleh dan

berdasarkan perjanjian dengan rakyat. Inilah yang oleh Rousseau disebut sebagai

kontrak sosial. Di dalam kontrak sosial itu, apparatur negara menerima delegasi

wewenang rakyat untuk mengatrur dan menciptakan ketertiban diantara warga

masyarakat, termasuk menjatuhkan punishment kepada warga yang melanggar

perjanjian bersama dan pada saat bersamaan juga berkewajiban melindungi hak-

hak warganya tanpa terkecuali.28

Berdasarkan paradigma ini, menjadi jelas negaralah yang

bertanggungjawab menjaga dan menjamin HAM setiap warga terpenuhi. Bukan

hanya menjaga, negara juga mempunyai tanggungjawab dan kewajiban untuk

menegakkan (respection), memajukan (promotion), melindungi (protection), dan

memenuhi (fulfill) HAM. Itulah sebabnya adalah kewajiban negara juga untuk

memfasilitasi penyelenggaraan pendidikan HAM bagi rakyatnya. Negara yang

tidak memfasilitasi rakyat melalui pendidikan HAM berarti negara telah

28 Soetandjo, op.cit, hal. 4

Page 40: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

mengabaikan amanat rakyat. Oleh karena itu, deklarasi PBB tentang HAM yang

dikenal dengan Piagam HAM Dunia, Beberapa Kovenan, Hukum Perjanjian

Internasional, Piagam Madinah, Deklarasi Kairo dan sebagainya harus diletakkan

sebagai norma hukum internasional yang mengatur bagaimana negara-negara di

dunia menjamin hak-hak individualnya.

Dalam perkembangan pengkajian tentang HAM, dikenal dua jenis HAM,

yakni hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun (non-

derogable rights) dan hak asasi yang dapat dibatasi oleh negara dengan alasan dan

tujuan tertentu.

Di dalam konstitusi kita, hak-hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam

keadaan apapun dan oleh siapapun (derogable rights) diatur dalam pasal 4 UU

Nomor 39 Tahun 1999. Hak-hak tersebut adalah; hak untuk hidup, hak untuk

tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk

tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak

untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.29

Terkait dengan hak yang tidak termasuk dalam non-derogable rights,

konstitusi kita menyatakan diperbolehkannya pembatasan dan pengurangan hak-

hak dalam kondisi tertentu. Hal tersebut diatur dalam UUD 1945 Perubahan

Kedua Pasal 28 J yang menyatakan :

(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam

tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasanya, setiap orang wajib tunduk

pada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-undang engan maksud

semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak

dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai

29 Lihat Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 4.

Page 41: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban

umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Lebih lanjut, UU Nomor 39 Tahun 1999 menyatakan bahwa kebebasan

dan HAM hanya bisa diatur oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata

untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap HAM serta kebebasan

dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum dan kepentingan bangsa.30 Lebih

terperinci, Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik dan Kovenan

Internasional Ekonomi, Sosial dan Budaya menetapkan beberapa klausul

pembatasan terhadap HAM sebagai berikut; diatur berdasarkan hukum

(prescribed by law/conformity with the law), dalam masyarakat yang demokratis

(in a democratic society), ketertiban umum (public order/ordre public), kesehatan

publik (public health), moral publik (public moral), keamanan nasional (national

security) dan keamanan publik (public safety), hak dan kebebasan orang lain

(rights and freedom of others) dan hak atau reputasi orang lain (rights and

reputations of others), serta kepentingan kehidupan pribadi pihak lain (the interest

of private lives of parties) yang berkaitan dengan pembatasan terhadap Pers dan

publik pada pengadilan (restriction on public trial).31

Pembatasan dan pengurangan hak-hak asasi manusia yang diatur dalam

Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik diterjemahkan secara lebih detil di

dalam Prinsip-prinsip Siracusa (Siracusa Principles). Di dalam prinsip ini

disebutkan bahwa pembatasan tidak boleh membahayakan esensi hak. Semua

30

Ibid, pasal 73. 31

Lihat Laporan Kajian Terhadap Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007

tentang Ketertiban Umum, Komnas HAM, 2008, hal. 10. Lebih lanjut lihat UU Nomor 11 Tahun

2005 dan UU Nomor 12 Tahun 2005.

Page 42: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

klausul pembatasan harus ditafsirkan secara tegas dan ditujukan untuk mendukung

hak-hak. Semua pembatasan harus ditafsirkan secara jelas dan dalam konteks

hak-hak tertentu yang terkait, artinya pembatasan hak tidak boleh dilakukan

secara sewenang-wenang.32

Di dalam berbagai peraturan perudangan tersebut di atas, disebutkan

bahwa salah satu alasan yang dapat dijadikan dasar oleh negara untuk melakukan

pembatasan dan pengurangan hak adalah pertimbangan untuk menjamin

ketertiban umum (public order). Berdasarkan siracusa principles –sebagaimana

dikutip dalam laporan Kajian Komnas HAM-, dinyatakan bahwa ungkapan

ketertiban umum (public order/ordre public) yang digunakan dalam kovenan (hak

sipil dan politik) harus diartikan sebagai sejumlah aturan yang menjamin

berfungsinya masyarakat atau serangkaian prinsip-prinsip mendasar yang mendari

berdirinya masyarakat. Penghormatan hak asasi merupakan bagian dari ketertiban

umum (public order/ordre public).

Siracusa principles juga menyatakan bahwa organ negara atau agen negara

yang bertanggungjawab untuk menjaga ketertiban umum harus dapat dkontrol

dalam pelaksanaan kekuasaan mereka melalui parlemen, pengadilan atau badan-

badan yang kompeten lainnya. Selain itu, ketertiban umum harus ditafsirkan

dalam konteks maksud dari hak asasi manusia tertentu yang dibatasi berdasarkan

32

Siracusa principles merupakan prinsip-prinsip mengenai ketentuan pembatasan dan

pengurangan hak yang diatur di dalam kovenan Interasional Hak Sipil dan Politik. Prinsip-prinsip

ni dihasilkan oleh seelmpok ahli hkum internasional yang bertemu di Siracusa, Italia pada April

dan Mei 1984. Lihat Ibid, hal, 11.

Page 43: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

ketertiban umum tersebut. Dengan demikian, pembatasan hak yang didasarkan

atas alasan ketertiban umum harus dilihat kasus perkasus.33

Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut datas, kajian Komnas HAM

menyimpulkan bahwa pembatasan hak tertentu yang didasarkan pada alasan

ketertiban umum haruslah sesuai dengan persyaratan ketertiban untuk kasus-kasus

khusus. Hal itu hanya dapat dibenarkan dalam situasi atau tindakan seseorang

yang merupakan ancaman yang cukup serius terhadap ketertiban umum. Oleh

karena itu, kontrol dari badan mandiri, apakah itu lembaga politik (parlemen),

badan peradilan (pengadilan) atau badan apapun lainya amatlah penting.34

D. Ketertiban Umum Dalam Islam

Islam sangat menghargai dan menganjurkan terciptanya suasana tertib dan

stabil, baik dalam kehidupan sosial, politik maupun ekonomi. Tugas utama

seorang pemimpin, di dalam banyak literatur keislaman adalah hirasat al- di’n wa

siyasat al-dunya (melindungi agama dan memelihara ketertiban sosial-politik),

menunjukkan bahwa Islam menaruh perhatian yang besar bagi terciptanya tata

kehidupan yang tertib dan stabil.35 Kekacauan sosial, instabilitas politik dan

kesemerawutan tata kehidupan sangat tidak dikehendaki didalam Islam.36

Ketertiban umum merupakan bagian dari –apa yang di dalam Islam dikenal

sebagai konsep al-maslahah al-‘ammah (kemaslahatan umum).

33

Ibid, hal. 17. 34

Ibid, hal. 17. 35

Abdul Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur`an, Jakarta: Rajawali

Press, 2002, hal. 17. 36

Lihat, Abu Ihsan Al-Atsari, Koreksi Total Masalah Politik & Pemikiran dalam Perspektif Al-

Qur’an & As-Sunnah, Jakarta : Darul Haq, 2002, hal 24-29.

Page 44: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

Secara etimologi, maslahah berarti manfaat, kemanfaatan atau pekerjaan

yang mengandung manfaat. Sedangkan secara terminologis maslahah berarti

mengambil manfaat dan menolak mudlarat untuk memelihara tujuan-tujuan

syari’at. Ditinjau dari materinya, maslahat terbagi dalam dua jenis, yakni al-

maslahah al-amah (kemaslahatan umum) dan al-maslahah al-kh’assah/al-

maslahah al-ainiyah (kemaslahatan pribadi). Menurut KH. Ali Yafie, mengutip

Imam Ar Rafi’i, al-maslahah al-‘ammah adalah urusan umum yang menyangkut

kepentingan-kepentingan (mashalih) tegaknya urusan agama dan dunia dalam

kehidupan kita, di antara al-maslahah al-‘ammah adalah mencegah kemelaratan

orang banyak (kaum muslim), menciptakan lapangan kerja untuk mewujudkan

mata pencaharian bagi anggota-anggota masyarakat, menegakkan kontrol sosial

melalui amar ma'ruf nahi mungkar, mencerdaskan kehidupan masyarakat

melalui pendidikan, bimbingan keagamaan (fatwa) dan penyebaran buku-buku.37

Islam memelihara kemaslahatan pribadi dan umum secara bersamaan

tanpa harus ada yang dikorbankan. Namun demikian di saat terjadi pertentangan

antara kepentingan pribadi dan umum maka yang didahulukan adalah

kemaslahatan umum, dengan catatan, kemaslahatan umum tetap harus selaras

dengan tujuan dari syariat itu sendiri, yakni terpeliharanya lima hak dan jaminan

dasar manusia (al-dharuriyat al-khamsah) yang meliputi; keselamatan jiwa

(hifdzu al-nafs), keselamatan akal (hifdzu al-aql), keselamatan keturunan (hifdzu

al-nasl), keselamatan harta benda (hifdzu al-maal), dan keselamatan agama

(hifdzu al-din).

37

Ali Yafie, Konsep-konsep Istihsan, Istishlah, dan Mashlahat Al Ammah, Makalah pada

Seminar MUI, 1999.

Page 45: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

Catatan ini penting untuk digarisbawahi karena sekali-kali tidak

dibenarkan adanya sebuah keputusan yang dibuat, dengan mengatasnamakan

kemaslahatan umum, kemudian melanggar hak-hak dasar manusia yang menjadi

tujuan syariat. Sebab diturunkannya syariat di tengah kehidupan umat manusia

adalah untuk mewujudkan keamanan dan kesejahteraan (kemaslahatan) umat

manusia di dunia dan di akhirat. Oleh sebab itu, agar keamanan dan kesejahteraan

kemaslahatan) umat manusia di dunia dan di akhirat dapat terwujud maka segala

ikhtiar yang dilakukan umat manusia di muka bumi harus selalu sejalan dengan

tuntunan syariat. Untuk memenuhi tuntutan dan kepentingan manusia serta

merespon berbagai dinamika kehidupan, maka setiap pengambilan keputusan

harus memenuhi kriteria kepentingan umum (al maslahah al ammah) yang

dibenarkan oleh syara’.

Page 46: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

BAB III

PERDA TENTANG KETERTIBAN UMUM DI DKI JAKARTA:

TINJAUAN TERHADAP ISI DAN IMPLEMENTASINYA

A. Latar Belakang Terbitnya Perda 11 Tahun 1988 dan Perda Nomor 8 Tahun

2007

Secara makro, terbitnya Perda Nomor 11 Tahun 1988 yang kemudian

disempurnakan menjadi Perda Nomor 8 Tahun 2007 tidak terlepas dari penerapan

ideologi developmentalisme sebagai strategi pembangunan yang dipilih oleh

rezim Orde Baru. Ideologi developmentalisme menjadikan pertumbuhan ekonomi

sebagai tolok ukur utama keberhasilan pembangunan. Demi mengejar

pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemerintah giat berhutang ataupun

mengundang investor untuk mendanai proyek-proyek dan pembukaan usaha

berskala besar. Dalam konteks kota Jakarta, program pembangunan kota yang

dilaksanakan sejak Orde Baru lebih memprioritaskan pada industrialisasi, dimana

implementasinya adalah pembangunan proyek-proyek besar seperti real estate,

lapangan golf, pabrik, waduk, mal, jalan tol dan jalan layang susun tiga (triple

decker), gedung-gedung bertingkat dan sebagainya.

Karena kebijakan pembangunan yang lebih mengarah pada pembangunan

investasi, menyebabkan semakin meningkatnya orang miskin di Jakarta.

Kebijakan yang mensentralisir kegiatan ekonomi ke pusat kota semakin

meminggirkan orang miskin karena dampak pembangunan investasi tersebut

Page 47: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

kemudian menjadikan perumahan, tanah dan lainnya semakin mahal. Padahal,

implementasi proyek-proyek besar di suatu kawasan seharusnya tidak akan

menciptakan orang miskin baru jika kompensasi yang diberikan cukup memadai

dan ada syarat bagi pemilik proyek disamping dari Pemda sendiri untuk turut

andil dalam menyiapkan lokasi pengganti serta tidak menggunakan security

approach dalam menangani dan mendekati masyarakat yang tergusur.

Masyarakat miskin yang semakin bertambah dan urbanisasi yang tak

terkendali di satu sisi, terbatasnya lapangan pekerjaan dan sempitnya lahan di sisi

lain membuat berbagai permasalahan sosial ekonomi di Jakarta seperti

pengangguran, kejahatan, pemukiman liar dan berbagai gangguan keamanan dan

ketertiban umum juga menjadi semakin meningkat.38

Untuk mengatasi permasalahan kota Jakarta tersebut, Pemerintahan

Propinsi DKI Jakarta mengeluarkan sejumlah kebijakan yang selanjutnya

dituangkan dalam perda, seperti kebijakan ekonomi, sosial, budaya, politik,

penataan kota, pendirian bangunan, pengolahan limbah, perburuhan dan lain

sebagainya. Itu semua dimaksudkan untuk menciptakan Jakarta yang tertib, indah,

aman, nyaman dan bersahabat. Dalam konteks inilah, Peraturan Daerah Nomor 11

Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum di wilayah DKI Jakarta dibuat dan

diberlakukan.

38

Lihat, Andrinof Chaniago “Bisnis yang Diaku Pembangunan” dalam “Gagalnya

Pembangunan”, Jakarta : LP3ES, 2000.

Page 48: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

Perkembangan kota yang semakin pesat berjalan seiring dengan berbagai

problematika sosial yang mengikutinya. Atas dasar pemikiran tersebut,

Pemerintah DKI Jakarta menganggap bahwa Perda Nomor 11 Tahun 1988 tidak

lagi mampu mengakomodasi dan merespon berbagai persoalan sosial yang

berkembang, sehingga membutuhkan penyesuaian. Maka revisi terhadap Perda 11

Tahun 1988 dilakukan dan kemudian muncullah Perda Nomor 8 Tahun 2007.

Namun demikian, meski tujuan dari pemberlakuan perda ini dalam rangka

mewujudkan tata kehidupan kota Jakarta yang tertib dan melindungi seluruh

warga kota dan prasarana kota beserta kelengkapannya, dalam praktiknya objek

dari perda ini bukanlah seluruh warga Jakarta, melainkan kaum miskin kota dan

masyarakat yang termarjinalkan seperti gelandangan, pengemis, asongan, pak

ogah, joki three in one, becak, PKL, WTS dan penyandang masalah kesejahteraan

sosial (PMKS) lainnya. Dilihat dari prioritas sasarannya, perda ini sepertinya

menjadikan rakyat miskin sebagai sumber terjadinya pelanggaran hukum dan

menghalangi ketertiban umum kota Jakarta.

B. Telaah Terhadap Isi Perda Tentang Ketertiban Umum

B.1. Perda Nomor 11 Tahun 1988

Perda Nomor 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum Dalam Wilayah

Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta yang tercatat dalam Lembaran Daerah Khusus

Ibu Kota Jakarta Nomor 72 tahun 1989 Seri C Nomor 1, tediri atas 16 Bab dan 32

Pasal. Perda ini merupakan penyempurnaan dari Perda Nomor 3 Tahun 1972 yang

dirasakan tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan masyarakat kota

Page 49: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

Jakarta, terutama pada aspek ketertiban dan kebersihan. Di dalam konsideran

perda tersebut disebutkan, tujuan diterbitkannya Perda ini adalah dalam rangka

mewujudkan kota Jakarta yang tertib, teratur, nyaman dan tenteram, serta untuk

menumbuhkan rasa disiplin diri dan berperilaku tertib setiap warga kota.39 Namun

demikian, meski tujuan diterbitkannya Perda untuk mewujudkan rasa aman,

nyaman dan tenteram bagi warga, faktanya Perda ini justru oleh sebagian besar

warga miskin Jakarta justru dianggap ancaman bagi keamanan, dan pengusik

kenyamanan dan ketentraman mereka dalam menjalani kehidupan di Jakarta. Di

dalam sub bab ini akan dipaparkan isi dari Perda Nomor 11 Tahun 1988 bab demi

bab yang diikuti dengan analisa terhadap pasal-pasal dari perda tersebut di atas.

Bab I dari Perda 11 Tahun 1988 terdiri dari 1 pasal yang mengatur tentang

ketentuan umum terkait dengan definisi operasional dari konsep-konsep yang

dipergunakan di dalam perda tersebut. Di dalam bab ini antara lain didefinisikan

konsep; Daerah, Pemerintah Daerah, Gubernur Kepala Daerah, Ketertiban Umum,

Kepentingan Dinas, Jalan, Jalur Hijau, Taman dan Badan. Dalam kaitannya

dengan pembahasan kajian ini, penting untuk dikemukakan definisi Perda tentang

ketertiban umum, yakni “suatu keadaan dimana pemerintah dan rakyat dapat

melakukan kegiatan secara tertib, teratur, nyaman dan tentram”.40

Di dalam bab ini, terdapat dua konsep terkait dengan ketertiban umum

yang tidak memiliki definisi yang jelas, yakni konsep kepentingan umum dan

konsep jalur hijau. Di dalam perda ini, kepentingan umum selalu dijadikan dasar

untuk melarang sesuatu aktivitas atau memberikan perkecualian bagi berbagai

39

Lihat, konsideran menimbang pada Perda 11 Tahun 1988. 40 Lihat, pasal 1 Perda 11 Tahun 1988

Page 50: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

larangan. Meski demikian Perda ini tidak mendefinisikan secara spesifik apa yang

dimaksud dengan kepentingan umum. Tafsir terhadap kepentingan umum selama

ini menjadi hak mutlak pemerintah daerah, sehingga dalam praktiknya, istilah

kepentingan umum justru banyak digunakan untuk menindas kelompok yang

lemah dan terpinggirkan secara sosial, ekonomi dan politik, untuk kepentingan

segelintir elit. Seyogyanya, kepentingan umum didefinisikan secara lebih jelas

dengan memasukkan kepentingan mayoritas rakyat miskin dan kelompok-

kelompok marjinal perkotaan. Istilah kedua yang tidak jelas definisinya adalah

jalur hijau. Definisi dari jalur hijau harus jelas dan menyebutkan kawasan apa saja

yang termasuk dalam jalur hijau serta mempertimbangkan aksesibilitas rakyat

miskin terhadap pembangunan kota.

Bab II tentang Tertib Jalan dan Angkutan Jalan Raya. Bab ini terdiri atas

6 pasal (pasal 2-7). Di dalam bab ini antara lain diatur kewajiban pengguna jalan

baik pejalan kaki maupun angkutan umum untuk mematuhi ketentuan penggunaan

jalan (pasal 2) dan larangan bagi pengguna jalan yang dapat mengganggu

ketertiban penggunaan jalan raya (pasal 3 sampai 6). Di dalam bab ini juga

ditegaskan larangan bagi siapapun untuk bertempat tinggal atau tidur di jalan, di

atas atau di bawah jembatan dan jembatan penyeberangan, kecuali untuk

kepentingan dinas (pasal 7).

Pengaturan tertib di jalan raya ini menjadi kurang relevan diterapkan

karena dalam kenyataannya kondisi tertib di jalan telah berkembang di luar

kendali dari pihak aparat sendiri. Pembangunan jalan tidak lagi mendukung orang

untuk tertib di jalan, seperti tidak terawatnya/berfungsinya rambu lalu lintas,

Page 51: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

hilangnya pembatas ruas jalan, terbatasnya halte pemberhentian bis, beralih

fungsinya trotoar, halte dan ruas jalan yang hal tersebut di diamkan oleh aparat,

bahkan dijadikan sumber pendapatan restribusi dan membuka peluang adanya

praktek pungli. Terkait dengan pasal 7, konsekuensi dari Pemda terhadap

pelaksanaan pasal ini adalah Pemda harus menjamin tersedianya tempat alternatif

(perumahan dan lahan usaha), sarana prasarana bagi korban penggusuran berikut

kompensasinya. Dalam pasal ini, Pemda DKI tidak memberikan alternatif tempat

dan tidak mengatur sarana dan prasarana bagi korban penggusuran, juga

kompensasi bagi korban penggusuran. Kepentingan Dinas selalu dijadikan alasan,

sehingga memungkinkan terjadinya praktek Pungli jika ada masyarakat yang

terpaksa melakukan seperti apa yang disebutkan dalam pasal 7.

Bab III mengatur tentang Tertib jalur Hijau, Taman dan Tempat Umum.

Yang dimaksud dengan jalur hijau adalah setiap jalur yang terbuka sesuai dengan

rencana kota, sedangkan taman adalah jalur hijau yang dipergunakan dan diolah

untuk pertamanan. Di dalam bab yang hanya terdiri dari 1 pasal ini antara lain

ditegaskan larangan warga untuk memasuki atau berada di jalur hijau atau taman

yang tidak secara khusus diperuntukkan bagi umum. Selain itu di dalam bab ini

juga dicantumkan larangan setiap warga untuk bertempat tinggal dan merusak

jalur hijau dan taman-taman (pasal 8).

Berdasarkan pasal-pasal di dalam bab ini, Pemda DKI sudah membatasi

akses rakyat untuk bisa menikmati taman dan jalur hijau karena itu semua

merupakan kawasan terlarang bagi masyarakat umum, bahkan untuk

memasukinyapun tidak diperbolehkan. Jadi Pemda DKI seperti membuat ‘taman

Page 52: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

dalam akuarium’, yang hanya bisa dipandangi saja oleh masyarakat. Jika benar-

benar Pemda DKI ingin melaksanakan Perda ini, sebelum pemberlakuan, sarana

dan prasarana (struktur maupun infrastruktur) dari Pemda sendiri harus sudah

dibentuk dan dipersiapkan. Karena jika Perda ini dilaksanakan dengan

sepenuhnya, justru akan menyebabkan konflik horizontal antar masyarakat

sendiri.

Bab IV mengatur tentang Tertib Sungai, Saluran Kolam dan Lepas Pantai.

Terdiri atas lima pasal (pasal 9-13). Di dalam bab ini antara lain diatur larangan

bagi setiap orang untuk bertempat tinggal atau tidur di tanggul, bantaran sungai, di

pinggirkali dan saluran (pasal 9). Bukan hanya dilarang untuk tinggal di bantaran

sungai, setiap warga juga dilarang untuk mandi, membersihkan angota badan,

mencuci pakaian, bahan makanan, binatang, kendaraan atau benda-benda di

sungai, saluran dan kolam-kolam serta memanfaatkannya untuk kepentingan

usaha.41

Dalam bab ini, Pemda DKI seperti lepas tangan dengan melarang orang

bertempat tinggal di bantaran sungai dan sejenisnya. Padahal di Jakarta, rakyat

kecil sudah mengalami marginalisasi diberbagai bidang termasuk pemukiman

akibat dikalahkan oleh kepentingan pembangunan yang mengutamakan

pembangunan fisik kota dan modernisasi. Rakyat kecil sebenarnya terpaksa

tinggal di bantaran sungai karena memang kemampuan mereka hanya sampai

disitu saja. Dengan pasal-pasal ini mereka semakin tersisih dari kota dan tidak

tahu harus dimana lagi bertempat tinggal karena Pemda DKI tidak memberikan

41 Lebih lengkap lihat pasal 10 Perda 11 tahun 1988

Page 53: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

solusi misalnya dengan pembangunan pemukiman sederhana, atau dengan

penataan pemukiman. Kebijakan pembangunan pemukiman rakyat yang

kemudian justru dibelokkan oleh pengusaha untuk membangun perumahan

mewah juga menjadi penyebab mengapa rakyat miskin umumnya berada di

pinggiran dan membangun rumah seadanya di lahan-lahan kosong yang masih ada

karena harga rumah sudah tidak terjangkau lagi oleh mereka sebagai akibat dari

orientasi pembangunan yang lebih mengarah pada pembangunan investasi. Bab

ini juga mengatur penggunaan air, tetapi Pemda DKI Jakarta justru belum

menyediakan pelayanan umum menyangkut penggunaan air seperti bak mandi

umum ataupun pompa air umum (MCK umum). Sehingga rakyat kecil yang

aksesnya terbatas untuk mendapatkan air bersih terpaksa menggunakan sumber air

yang mudah didapat meskipun itu tidak layak seperti air dari sungai ataupun

menampung air hujan.

Bab V tentang Tertib Lingkungan terdiri atas 2 pasal (pasal 14 dan pasal

15). Pasal 14 mengatur larangan setiap orang untuk menangkap, memburu atau

membunuh binatang tertentu yang jenisnya ditetapkan sesuai dengan ketentuan

yang berlaku. Sedangkan pasal 15 menegaskan larangan bagi setiap warga untuk

bermain-main di jalan, di atas atau di bawah jembatan, dipinggir rel kereta api,

pinggir kali, pinggir saluran dan tempat-tempat umum.

Pasal 15 yang melarang orang bermain di tempat-tempat umum ini

mengingkari realita yang terjadi di Jakarta bahwa lahan untuk bermain dan

refreshing yang terbuka yang dibutuhkan oleh masyarakat tidak tersedia lagi di

Jakarta. Rakyat kecil kembali terpinggirkan dalam hal bermain dan refreshing di

Page 54: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

kota karena semuanya harus diperoleh dengan uang yang tidak sedikit. Pemda

seharusnya tidak bisa melarang sebelum dipenuhinya hak-hak rakyat dengan

menyediakan ruang untuk bermain dan refreshing khususnya bagi rakyat yang

tidak mampu.

Bab VI tentang Tertib Usaha Tertentu terdiri atas 4 pasal (pasal 16-19). Di

dalam bab inilah larangan bagi pedagang kaki lima di jalur hijau dilarang. Pada

pasal 16 disebutkan “Setiap orang dilarang menempatkan benda-benda dengan

maksud melakukan suatu usaha di jalan, di pinggir rel kereta api, jalur hijau,

taman dan tempat-tempat umum kecuali atas seizin Gubernur. Setiap orang atau

badan dilarang menjajakan barang dagangan, membagikan selebaran atau

melakukan usaha-usaha tertentu dengan mengharapkan imbalan di jalan, jalur

hijau, taman dan tempat-tempat umum, kecuali ditempat yang telah ditetapkan

oleh Gubernur”. Di dalam bab ini pula, larangan tentang becak yang sangat

kontroversial itu diatur. Di dalam pasal 18 disebutkan, “Setiap orang atau badan

di larang melakukan usaha pembuatan, perakitan, dan penjualan becak di

wilayah DKI Jakarta, memasukkan becak ke DKI Jakarta, dan mengusahakan

kendaraan bermotor atau tidak bermotor sebagai alat angkutan umum yang tidak

termasuk dalam pola angkutan umum yang ditetapkan”.

Pasal-pasal di dalam bab inilah yang dalam praktiknya sering dijadikan

alasan oleh Pemda DKI untuk menggusur usaha kecil yang dilakukan oleh rakyat

miskin untuk menyambung hidupnya. Semua usaha rakyat kecil seperti asongan,

pedagang kaki lima, pengecer koran, penyemir sepatu dan lainnya bisa terjaring

dengan pasal ini. Padahal Pemda seyogyanya dilarang/tidak boleh menggusur

Page 55: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

perekonomian rakyat, sebaliknya wajib melindungi serta mengusahakan hak

rakyat atas lahannya yang sudah dibisniskan selama ini. Pelarangan usaha

transportasi becak dan sejenisnya juga sangat patut dipertanyakan, karena justru

dalam usaha mengurangi dan mengantisipasi pencemaran lingkungan, transportasi

semacam itu adalah yang ramah terhadap lingkungan. Tinggal pengaturan dan

pembagian wilayah operasinya saja yang perlu diatur lebih lanjut. Jadi dengan

mengatur wilayah operasi transportasi yang ramah lingkungan itu, Pemda DKI

Jakarta sudah membantu usaha perekonomian rakyat kecil.

Bab VII mengatur tentang Tertib Bangunan. Di dalam bab yang hanya

terdiri dari 1 pasal ini (pasal 20) larangan untuk mendirikan bangunan di

pinggiran jalan atau bantaran sungai dan di pinggiran rel kereta api ditegaskan. Di

dalam pasal 20 point 2 disebutkan, “Setiap orang atau badan dilarang mendirikan

bangunan pada daerah milik jalan dan/atau saluran/sungai, kecuali untuk

kepentingan dinas”. Sedangkan di point 3 disebutkan, “Setiap orang atau badan

dilarang mendirikan bangunan di pinggir rel kereta api pada jarak yang

ditetapkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku”.

Pasal di dalam bab ini yang selama ini dijadikan dasar oleh aparat untuk

menggusur pemukiman warga di bantaran kali dan rel kereta api. Ini merupakan

pasal yang semakin meminggirkan rakyat kecil, dimana rakyat yang sudah tidak

mampu membeli tanah dan mendirikan bangunan di kota karena harga yang tak

terjangkau dan terkena penggusuran, kini harus terpinggirkan dan terusir dari

daerah yang selama ini masih bisa dijangkau oleh mereka seperti di pinggiran

kota, bantaran sungai, pinggiran rel dan lainnya.

Page 56: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

Bab VIII tentang Tertib Pemilik, Penghuni Bangunan. Di dalam bab ini

diatur kewajiban bagi setiap pemilik dan penghuni bangunan untuk memelihara

pagar pekarangan, memelihara dan mencegah perusakan bahu jalan atau trotoar

dan memberi penerangan lampu di pekarangan untuk menerangi jalan (pasal 21

point 1). Selain itu, di dalam bab ini juga diatur larangan bagi setiap orang untuk

memotong dan menebang pohon tanpa seizin Gubernur (pasal 21 point 2).

Bab IX tentang Tertib Sosial, terdiri dari 4 pasal (pasal 22-25). Pasal-pasal

di dalam bab ini lebih dikenal sebagai pasal anti-prostitusi. Di dalam pasal 24

disebutkan, setiap orang dilarang bertingkah laku asusila di jalan, jalur hijau,

taman dan tempat-tempat umum. Sementara di dalam pasal 25 lebih ditegaskan

lagi larangan bagi setiap orang atau badan menyediakan fasilitas prostitusi.

Sebenarnya bab ini tidak hanya mengatur tentang prostitusi, melainkan juga

larangan bagi mereka yang berpenyakit yang mengganggu pemandangan umum

untuk berada di tempat-tempat umum (pasal 23), suatu aturan yang oleh banyak

kalangan dianggap sangat diskrminatif bagi warga yang justru membutuhkan

pertolongan.

Bab ini berisi pasal-pasal yang mengatur kehidupan sosial masyarakat.

Namun jika dicermati isinya, segera nampak bahwa yang diatur hanyalah

masyarakat miskin seperti orang cacat, orang miskin, anak jalanan, perempuan

dalam prostitusi dan semacamnya. Pelarangan tampil ke muka umum bagi orang

yang mengidap penyakit yang mengganggu pandangan umum dan meresahkan

masyarakat sangat tidak jelas maksudnya, dan merupakan diskriminasi bagi

orang-orang yang menderita penyakit yang masuk kategori tersebut di atas.

Page 57: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

Definisi dan Kriteria dari penyakit yang mengganggu pandangan dan meresahkan

masyarakat tidak jelas. Pemda DKI Jakarta secara tidak langsung telah menutup

dan melanggar hak aksesibilitas atas kota bagi penderita cacat dalan arti luas.

Padahal sebagai warga negara mereka mempunyai kesempatan dan hak yang sama

dalam pembangunan dan aksesibilitas kota. Pasal 24 dan 25 sering dijadikan alat

untuk ‘menertibkan’ --sering dengan penggunaan kekerasan-- para perempuan

yang terlibat dalam prostitusi. Dengan demikian pasal ini telah membuat

kelompok perempuan tertentu rentan terhadap kekerasan. Mereka dipandang

secara hitam putih dari sudut moralitas saja dan bahkan dikategorikan sebagai

penyakit sosial yang harus dilenyapkan.

Bab X tentang Tertib Kesehatan menegaskan larangan bagi setiap orang

atau badan untuk menyelenggarakan praktek/kegiatan usaha pengobatan dengan

cara tradisional dan atau pengobatan yang bersifat kebatinan dan praktek yang ada

hubungannya dengan bidang kesehatan tanpa izin tertulis dari Gubernur DKI

Jakarta.

Bab yang terdiri dari satu pasal yakni pasal 26 ini melarang usaha atau

praktek pengobatan tradisional atau alternatif selain kedokteran. Tapi dalam

kondisi perekonomian yang buruk dimana subsidi kesehatan belum dapat

menjangkau keseluruhan warga miskin kota dan pengobatan dengan kedokteran

sangat mahal biayanya, maka pengobatan tradisional dan alternatif lainnya

merupakan pilihan terakhir. Apalagi sejarah pengobatan Indonesia adalah

merupakan pengobatan tradisional. Yang lebih penting adalah pengelolaan dan

Page 58: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

pembinaan terhadap masyarakat dan pelaku pengobatan alternatif ini agar

mengutamakan mutu dan keselamatan pasien, bukannya langsung melarangnya.

Bab XI sampai dengan Bab XVI mengatur tentang Ketentuan Pidana (Bab

XI), Pembinaan (Bab XII), Pengawasan (Bab XIII), Penyidikan (Bab XIV),

Ketentuan Peralihan (Bab XV) dan Ketentuan Penutup (Bab XVI).

B.2. Perda Nomor 8 Tahun 2007

Terhitung mulai bulan Januari 2008, Perda Nomor 8 Tahun 2007 resmi

diberlakukan. Meski menuai protes banyak kalangan, Pemprov DKI Jakarta tetap

berkukuh untuk memberlakukan peraturan yang merupakan revisi atas Perda

Nomor 11 Tahun 1988.42

Menurut keterangan Kepala Dinas Ketentraman,

Ketertiban, dan Perlindungan Masyarakat DKI Jakarta, implementasi Perda

8/2007 akan dilakukan secara bertahap dalam periode 3 bulanan. Pada Bulan

Januari-Maret adalah masa sosialisasi. Bulan April-Juni sosialisasi disertai dengan

tindakan persuasi. Mulai bulan Juli penerapan secara penuh Perda akan

dilakukan.43

Dari segi isi, secara umum Perda Nomor 8 Tahun 2007 tidak jauh berbeda

dengan Perda sebelumnya, kecuali terjadi penambahan berbagai detail peraturan

di sana-sini. Hal tersebut tercermin dari jumlah pasal pada Perda 8/2007 yang

mencapai 67 pasal, bandingkan dengan Perda 11 Tahun 1988 yang hanya 34

Pasal. Padahal jumlah Bab dalam kedua Perda ini sama yakni 16 bab. Terdapat

42

Pada konsideran menimbang, huruf c Perda 8/2007 disebutkan bahwa, “Peraturan

daerah Nomor 11 tahun 1988 tentang Ketertiban Umum Dalam Wilayah Daerah Khusus Ibukota

Jakarta tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat penyelenggaraan pemerintah daerah serta

perubahan dan perkembangan tata nilai kehidupan bermasyarakat warga kota Jakarta”. 43

Kompas, Perda Ketertiban Diberlakukan Januari 2008 Meski Kontroversial, 26

November 2008

Page 59: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

dua bab baru dalam Perda 8/2007 yang tidak tercantum dalam Perda 11/1988,

yakni bab yang mengatur tentang Tertib Tempat Hiburan dan Keramaian (bab X)

dan bab tentang Tertib Peran Serta Masyarakat (bab XI).

Meski demikian, penambahan bab baru tidak menambah jumlah

keseluruhan bab karena beberapa bab pada Perda 11/1988 dipadatkan hanya

menjadi satu bab saja pada Perda 8/2007. Misalnya, bab tentang Tertib

Bangunan, Tertib Pemilik dan Penghuni Bangunan yang pada Perda 11/1988

dipisah dalam dua bab (bab VII dan bab VIII), pada Perda 8/2007 disatukan hanya

dalam satu bab saja, yakni bab tentang Tertib Bangunan (bab VII). Demikian juga

bab tentang Pembinaan dan Pengawasan yang pada Perda 11/1988 dipisah

menjadi dua bab (bab XII dan bab XIII), pada Perda 8/2007 dijadikan satu bab

saja (bab XII). Untuk lebih detail mengetahui isi Perda 8/2007, berikut akan

ditelaah bab perbab dari Perda dimaksud di atas. Pada beberapa hal akan

diperbandingkan antara Perda 8/2007 dengan Perda 11/1988 untuk mengetahui

komponen-komponen perubahan ataupun penambahan.

Bab I Perda 8/2007 hanya terdiri atas 1 pasal yang mengatur tentang

Ketentuan Umum. Jika dibandingkan dengan Perda 11/1988 yang hanya

mendefinisikan 9 konsep, maka Perda Tibum yang baru mendefinisikan 20

konsep. Beberapa konsep baru yang dijelaskan dalam Perda ini adalah; DPRD,

ketentraman masyarakat, kendaraan umum, tempat umum, pedagang kaki lima,

parkir, hiburan, ternak potong, pencemaran dan keadaan darurat.

Penting untuk dikritisi adalah definisi tentang ketertiban umum dan

ketentraman masyarakat dihubungkan dengan sudut pandang penilaian terhadap

Page 60: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

konsep tersebut. Penilaian tentang keadaan tertib, teratur, tenteram dan nyaman

seyogyanya tidak hanya dilakukan oleh pemerintah melainkan juga oleh

masyarakat. Artinya, baik pemerintah maupun masyarakat mempunyai

tanggungjawab dan hak yang sama untuk merumuskan pemahaman tentang

kondisi tertib dan tenteram. Akan menjadi persoalan jika tidak ada pemahaman

yang sama antara masyarakat dan pemerintah, atau pemahaman tentang tertib dan

tenteram hanya didominasi oleh pemerintah. Karena yang akan terjadi adalah

benturan yang tak kunjung habisnya.

Bab II mengatur tentang Tertib Jalan, Angkutan Jalan dan Angkutan

Sungai, terdiri atas 10 pasal. Bandingkan dengan bab II Perda 11/1988 yang hanya

terdiri atas 6 pasal. Dari segi judul bab, terdapat penambahan aturan tentang

angkutan sungai, meskipun pada isinya hanya terdapat satu ayat saja yang secara

eksplisit mengatur tentang angkutan sungai, yakni pada pasal 2 ayat 8.44

Beberapa hal baru yang diatur dalam bab II Perda ini adalah larangan

menggunakan atau menawarkan diri menjadi joki three in one (pasal 4), larangan

bagi pengatur lalu lintas ilegal di persimpangan jalan, lebih dikenal dengan

sebutan pak ogah atau polisi cepek (pasal 7), larangan memarkir kendaraan atau

menyelenggarakan parkir tanpa izin (pasal 10 dan 1).

Terkait dengan masalah joki three ini one, penggunaan joki di kawasan

pengendalian lalu lintas pada waktu-waktu tertentu membuktikan bahwa

pengendalian lalu lintas dengan cara ini kurang mencapai tujuan. Semestinya

44

Pasal 2 ayat 8, ”Setiap orang atau badan dilarang membuat rakit, keramba, dan

angkutan penyeberangan lainnya di sepanjang jalur kendaraan umum sungai/water way”.

Page 61: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

Pemprov DKI mengkaji hal ini dan menerapkan pendekatan-pendekatan yang

lebih efektif. Proporsi kendaraan pribadi yang mencapai lebih dari 89% perlu

dikendalikan dengan cara-cara yang lebih menjawab masalah. Misalnya,

meninggikan pajak kendaraan pribadi dan memperbaiki kualitas dan kuantitas

sarana angkutan umum. Atau pengendalian dilakukan di semua kawasan, bukan

hanya di kawasan-kawasan tertentu. Larangan dan ancaman pidana tidak

menjamin efektivitas aturan bila sistemnya masih membuka peluang korupsi bagi

aparat penegak hukum. Aturan hukum dalam sistem seperti ini hanya akan

membuat hukum semakin tidak berwibawa.

Menyangkut pasal 7 yang terkesan kuat mengkriminalkan kerja “polisi

cepek” atau “pak ogah”, larangan ini melupakan akar masalah munculnya pak

ogah adalah kesemrawutan dan kemacetan. Tanpa menghilangkan kesemrawutan

dan kemacetan, orang-orang yang berperan sebagai pak ogah akan selalu muncul

karena masyarakat sendiri juga terbantu oleh kehadiran mereka

Pada Bab III, mengatur tentang Tertib Jalur Hijau, Taman dan Tempat

Umum. Hanya terdiri dari satu pasal, sama seperti dengan Perda Tibum

sebelumnya. Secara isi, tidak ada perubahan yang signifikan. Yang penting untuk

dikritisi dari bab ini adalah atas nama kepentingan dinas, pasal-pasal di dalam

bab ini membuka peluang bagi pemerintah DKI Jakarta untuk melakukan

penyelewengan dalam bentuk penyalahgunaan atau pengalihan fungsi jalur hijau,

taman dan tempat-tempat umum, seperti yang telah terjadi selama ini. Padahal

dengan kondisi Jakarta yang ruang terbukanya hanya 9% (dari yang semestinya

Page 62: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

30% untuk kota yang sehat), alih fungsi jalur hijau dan taman semestinya dilarang

dengan alasan apapun.

Bab IV terdiri dri 4 pasal mengatur tentang Tertib Sungai, Saluran, Kolam

dan Lepas pantai. Dibandingkan dengan Perda sebelumnya pada bab ini berkurang

1 pasal, meski tidak merubah isinya secara signifikan. Pasal 13 dan 14 ayat 3 45

merupakan pasal yang paling banyak disorot oleh masyarakat.

Catatan kritis Jakarta Center for Street Children (JCSC) menyatakan

bahwa, di berbagai kota di dunia, penataan kawasan sungai, setu, waduk dan

danau dilakukan tidak dengan menggusur warga yang ada, tetapi dengan

melibatkan mereka sebagai subyek atau pelaku utama yang turut bertanggung

jawab dalam melakukan penataan dan menjaga kebersihan dan keberlangsungan

layanan alam dari sungai, waduk, setu dan danau. Dalam hal ini semestinya

pemerintah bertindak sebaai fasilitator pemberdayaan warga agar warga dapat

menjalankan perannya sebagai pelaku utama penataan dan penjaga kebersihan

serta keberlangsungan layanan alam di lingkungan sungai, waduk, setu dan danau.

Tindakan pengusiran atau penggusuran selama ini terbukti tidak menyelesaikan

masalah dan hanya memindahkan masalah di tempat lain.46

Bab V mengatur tentang Tertib Lingkungan, terdiri dari 7 pasal. Lebih

banyak 5 pasal dibanding Perda sebelumnya yang hanya 2 pasal. Beberapa hal

45

Pasal 13, ”Kecuali dengan izin Gubernur atau pejabat yang ditunjuk, setiap orang atau

badan dilarang : 1) membangun tempat mandi, cuci, kakus, hunian/tempat tinggal atau tempat usaha di atas saluran sungai dan bantaran sungai serta di dalam kawasan setu, waduk dan

danau; 2) memasang/menempatkan kabel atau pipa di bawah atau melintai saluran sungai serta d

dalam kawasan situ, waduk dan danau”, pasal 14 ayat 3, ”setiap orang dilarang memanfaatkan

air sungai dan danau untk kepentingan usaha kecuali atas izin Gubernur atau pejabat yang

ditunjuk”. 46 JCSC, Catatan Kritis Terhadap Perda Nomor 8 Tahun 2007, 8 Oktober 2007.

Page 63: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

yang ditambahkan pada bab V dalam Perda Tibum yang baru antara lain; larangan

merusak hutan mangrove (pasal 18), larangan membuat, menyimpan dan menjual

petasan (pasal 19), melakukan aksi vandalisme dan mengotori lingkungan (pasal

21) pengaturan air minum dan air permukaan tanah (pasal 22 dan pasal 23).

Perubahan terjadi pada pasal 15 Perda 11/1988 yang menyatakan larangan

bermain di bawah jalan layang, jalan tol, pinggiran rel kereta api, jalur hijau, tamn

dan tempat umum, menjadi larangan untuk membangun (lihat pasal 19).

Bab VI mengatur tentang Tertib Tempat dan Usaha Tertentu, terdiri dari

12 pasal. Jauh lebih banyak ketimbang Bab VI Perda sebelumnya yang hanya

mencantumkan 4 pasal saja. Sejauh pengamatan peneliti, pasal-pasal pada bab VI

ini yang paling banyak memicu protes dan menimbulkan kontroversi di kalangan

warga masyarakat. Beberapa pasal yang sangat kontroversial tersebut antara lain;

pasal 25 yang bukan hanya melarang pedagang kaki lima untuk berjualan

melainkan juga mengancam para pembelinya. Bukan hanya mengancam para

pedagang kaki lima dan pembelinya, bab ini juga mengancam para pedagang kecil

dan pencari derma yang banyak beroperasi di jalan raya dan tempat-tempat umum

(pasal 26). Juga menegaskan kembali larangan pengoperasian becak dan

kendaraan tak bermotor lainnya (ojek sepeda seperti di kota) serta menancam para

penggunanya (pasal 29).

Beberapa catatan kritis yang diberikan oleh kalangan LSM terhadap pasal-

pasal ini antara lain;47 Pertama, perda ini tidak mengatur ketentuan pidana

terhadap pelanggaran pasal 25 ayat 1. Jadi kalau gubernur tidak menjalankan

47 Lihat, JCSC, op.cit.

Page 64: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

kewajibannya menetapkan tempat usaha untuk pedagang kaki lima, gubernur

tidak dikenai ancaman pidana. Kedua, berdasarkan pasal 25 ayat 1 bisa dilihat

bahwa ruang untuk PKL adalah “ruang-ruang sisa”, di mana ada atau tidaknya

ruang tersebut sangat bergantung pada “selera” gubernur dan tidak didasarkan

pada kebutuhan dan kepentingan warga. Tidak ada mekanisme partisipasi publik

dalam menentukan lokasi usaha untuk PKL.

Ketiga, sikap diskriminatif Pemprov DKI terhadap kelompok miskin dan

sektor informal terlihat dari alokasi ruang usaha bagi usaha kecil menengah,

termasuk PKL. Berbeda dengan alokasi ruang komersial untuk usaha besar

macam pusat perbelanjaan/mall, pemberian tempat untuk usaha kecil menengah

tidak dieksplisitkan dalam rencana tata ruang, tetapi lebih didasarkan pada “belas

kasih” gubernur. Keempat, alokasi ruang usaha untuk usaha kecil menengah,

termasuk PKL tidak pernah transparan dan terbuka sehingga dapat diketahui

lokasi-lokasi mana saja yang bisa diakses oleh para PKL. Tiadanya transparansi

ini membuka peluang terjadinya KKN.

Kelima, mayoritas warga Jakarta yang berdaya beli lemah, di manapun

mereka berada, termasuk yang bekerja di sektor formal sekalipun, pada

kenyataannya bergantung pada keberadaan sektor informal. Larangan terhadap

setiap orang untuk membeli barang dari PKL akan menyengsarakan warga yang

hanya mampu membeli barang dari PKL, termasuk dalam memenuhi kebutuhan

dasarnya untuk makan. Keenam, pemerintah DKI Jakarta benar-benar menutup

mata terhadap realitas bahwa menghapus sektor informal dari Jakarta tidak pernah

Page 65: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

berhasil. Pemprov DKI juga menutup mata terhadap sumbangan sektor informal

bagi pengembangan kota. Kota-kota besar di dunia, khususnya di Asia, telah

belajar banyak dari kegagalan mereka untuk menghapus informalitas dengan

kebijakan yang lebih partisipatif, yaitu penataan, baik lokasi di tempat-tempat

tertentu, waktu berdagang maupun integrasinya dengan sektor formal.

Bandingkan dengan pengalaman Bangkok dan Singapura, yang memilih kebijakan

menata dan bukan menggusur sektor informal macam PKL. Baik Singapura

maupun Bangkok mampu mewujudkan kota yang bersih sekaligus menjadikan

PKL sebagai daya tarik industri pariwisata mereka. Sementara Jakarta cenderung

melihat sektor informal macam PKL sebagai musuh kota. Toh dengan anggaran

milyaran rupiah Jakarta tetap tak mampu mengusir PKL.

Bab VII mengatur tentang Tertib Bangunan, terdiri dari 3 pasal.

Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu, bab VII pada Perda 8/2007

menggabungkan dua bab tentang bangunan dan pemilik bangunan pada Perda

11/1988. Secara substansi tidak terdapat perubahan yang signifikan dalam bab ini

kecuali adanya penambahan pasal khusus yang mengatur larangan untuk

membangun menara/tower komunikasi, dan keharusan pegelolanya melakukan

perawatan (pasal 37).

Bab VIII mengatur tentang Tertib Sosial, terdiri atas 8 pasal, atau lebih

banyak 4 pasal jika dibandingkan dengan Perda sebelumnya yang hanya

mencantumkan 4 pasal. Beberapa pasal dalam bab ini juga menjadi sumber

kontroversi terus berlangsung sampai saat ini. Pada bab ini misalnya ditegaskan

Page 66: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

larangan bagi individu maupun badan untuk meminta bantuan dan sumbangan di

jalan, pemukiman dan tempat-tempat umum (pasal 39), larangan untuk menjadi

pengemis, pengamen, pedagang asongan dan pengelap mobil ataupun membeli

dan memberi kepada kelompok masyarakat tersebut di atas (pasal 40), larangan

bagi PSK untuk beroperasi di tempat umum (pasal 42).

Beberapa catatan yang dapat diberikan untuk pasal-pasal ini adalah

Pertama, pemprov memiliki asumsi bahwa ada mafia yang mengorganisir kaum

miskin yang dipekerjakan sebagai pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan

pengelap mobil. Pasal ini juga didasarkan pada stigma bahwa para pengemis itu

adalah orang-orang yang malas dan tidak mau bekerja. Pemda DKI menutup mata

pada realitas bahwa mereka menjadi pengemis karena desakan kebutuhan hidup

dan minimnya peluang kerja.

Kedua, dengan aturan ini Pemprov DKI benar-benar hendak menjadikan

Jakarta sebagai kota yang bersih dari orang miskin. Karena seluruh jenis kegiatan

dan pekerjaan yang masih mungkin dilakukan kaum miskin untuk dapat bertahan

hidup )seperti pedagang asongan, pengamen dan pengelap mobil) dikriminalkan

dan dikenai ancaman pidana. Menjadi pengemis diancam pidana, tetapi bekerja

secara halal dengan kekuatan dan modal sendiri pun juga dikriminalkan. Bukan

hanya itu. Warga yang membeli barang dari mereka atau sekedar memberi sedikit

uang recehan pun dikenakan ancaman pidana.

Ketiga, Perda ini mengajak seluruh warga masyarakat untuk bersama-sama

menghukum orang miskin, sebab dengan Perda Tibum ini orang miskin di

Page 67: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

wilayah DKI ini telah ditetapkan sebagai makhluk ilegal yang mengancam

kehidupan kota, sehingga membeli barang dari mereka atau sekedar bersimpati

pada mereka dengan sedikit uang recehan dianggap sebagai tindakan ilegal dan

bersekutu dengan musuh kota dan karenanya pantas dikenakan ancaman

pidana.Yang mengherankan adalah premanisme tidak disentuh dalam Perda ini.

Barangkali di wilayah Jakarta status dan peran preman lebih baik dari PKL,

pedagang asongan, pengelap mobil, tukang ojek, tukang becak, apalagi pemulung

dan pengemis. Sebab dalam menggusur orang miskin, Pemprov DKI selama ini

sering menggunakan preman.

Bab IX mengatur tentang Tertib Kesehatan yang terdiri hanya atas 1 pasal.

Tidak ada perubahan pada bab ini dari Perda sebelumnya. Seterusnya pada bab X

sampai dengan bab XVI tidak terlalu banyak terjadi perubahan yang mendasar

kecuali menyangkut 2 hal saja. Pertama, ditambahkannya aturan yang mengatur

Tertib Hiburan, Keramaian dan Tertib Peran Serta Masyarakat. Kedua, diaturnya

Penyidikan dan Ketentuan Pidana secara lebih rinci.

Perda Tibum yang baru mencantumkan 4 pasal dan 12 ayat untuk

mengatur ketentuan pidana. Bandingkan dengan Perda sebelumnya yang hanya

mencantumkan 1 pasal dan 3 ayat saja. Dari segi isi, ketentuan pidana dari Perda

Tibum yang baru juga banyak dikeluhkan oleh masyarakat dan diragukan dapat

dijalankan dengan baik. Pada aspek Penyidikan terdapat beberapa hal yang patut

untuk diperhatikan, yakni; Pertama, pada pasal 60 ayat 2 butir (i) memberi

peluang pada aparat Pemprov DKI untuk melakukan tindakan sewenang-wenang

Page 68: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

karena aparat Pemprov DKI mendapat wewenang untuk melakukan tindakan lain

menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam kasus penggusuran

dan pengusiran kaum miskin, selama ini aparat Pemprov DKI banyak melakukan

tindakan kekerasan dan juga pembakaran tanpa mendapatkan sanksi. Karenanya

tindakan kekerasan oleh aparat Pemprov dianggap sebagai tindakan yang sah dan

bukan pelanggaran.

Kedua, Perda ini tidak berbicara tentang pelanggaran dalam hal

penyidikan, khususnya pelanggaran terhadap pasal 60 ayat 3 tidak ada ketentuan

tentang sanksi pidana bagi PPNS yang melakukan pelanggaran, dalam hal ini

adalah melakukan tindakan penangkapan dan/atau penahanan. Ketiga, tidak

adanya ketentuan pidana bagi pelanggaran yang dilakukan aparat/pejabat

Pemprov DKI menunjukkan bahwa Perda ini mempunyai peluang besar untuk

gagal karena Perda ini membuka peluang bagi Pemprov DKI untuk melanggar

ketertiban tanpa ancaman sanksi pidana. Kalau aparat penegak, pembina dan

pengendali ketertiban sendiri sudah tidak tertib, tidak masuk akal kalau kemudian

Pemprov DKI menuntut warganya untuk tertib.

Kajian terhadap isi Perda Tentang Ketertiban Umum yang dilakukan

Komnas HAM menyimpulkan bahwa sejumlah pasal di dalam perda ini

bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang diakui oleh negara

Republik Indonesia dan juga kalangan internasional. Hal tersebut diantaranya

disebabkan oleh definisi ketertiban umum yang tercantum dalam Perda tidak

secara eksplisit memasukkan penghormatan terhadap HAM sebagai bagian dari

Page 69: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

definisi ketertiban umum dan/atau penghormatan HAM bukan merupakan bagian

penting dalam definisi ketertiban umum dalam Perda.

Menurut kajian Komnas HAM, isi perda yang bermasalah adalah sebagai

berikut; 1) Pasal 2 ayat 1, pasal 2 ayat 2 dan pasal 33 bermasalah karena sulit

untuk dilaksanakan; 2) Pasal 47 ayat 1 a dan b dan pasal 14 ayat 2, pasal 47 ayat

1c dan pasal 46, bermasalah karena perumusan yang tidak jelas terhada berbagai

konsep, seperti praktik pengobatan tradisional dan kebatinan, dan lain-lain; 3)

pasal 12 e, f dan h (kecuali membuang permen karet), pasal 25 ayat 3, pasal 29

ayat 3 seharusnya tidak ada kriminalisasi; 4) pasal 42 a, pasal 49 dan pasal 51

sudah diatur dalam KUHP dan undang-undang mengenai unjuk rasa. Pasal dalam

Perda Tibum juga merupakan kemunduran karena mengatur perijinan yang sudah

menjadi wilayah kewenangan aparat kepolisian.

B.3. Matrik Perbandingan Isi Perda Nomor 11 Tahun 1988 dengan Perda

Nomor 8 Tahun 2007.

Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu bahwa secara substansi tidak terdapat

perbedaan yang signifikan antara isi Perda 11 Tahun 1988 dengan isi Perda 8

Tahun 2007, kecuali berbagai penambahan dan perincian aturan pada Perda 8

Tahun 2007 yang pada mulanya tidak diatur secara detail pada Perda 11 Tahun

1988. Untuk memudahkan memahami aspek apa saja yang ditambahkan pada

Perda 8 Tahun 2007 dari Perda sebelumnya, penulis menuangkannya dalam

matrik berikut :

Page 70: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

Matrik Perbandingan Isi

Perda Nomor 11 Tahun 1988 dengan Perda Nomor 11 Tahun 2007

Aspek Perda 11/1988 Perda 8/2007 Keterangan

Umum Terdiri dari 16 bab

dan 34 pasal

Terdiri dari 16

bab dan 67 pasal

Terdapat dua bab baru dalam Perda

8/2007, yakni bab tentang Tertib

Tempat Hiburan dan Keramaian (bab

X) dan bab tentang Tertib Peran Serta

masyarakat. Penambahan dua bab ini

tidak mempegaruhi jumlah keserluruhan bab karena pemadatan isi

pada Perda 8/2007, yakni bab tentang

Tertib Bangunan, Tertib Pemilik dan

Penghuni Bangunan yang pada Perda

11/1988 dipisah dalam dua bab (bab

VII dan bab VIII), pada Perda 8/2007

disatukan hanya dalam satu bab saja,

yakni bab tentang Tertib Bangunan

(bab VII). Demikian juga bab tentang

Pembinaan dan Pengawasan yang pada

Perda 11/1988 dipisah menjadi dua bab (bab XII dan bab XIII), pada Perda

8/2007 dijadikan satu bab saja (bab

XII).

Bab I Membahas

tentang Ketentuan

Umum, tediri atas

1 pasal yang

mendefinisikan 9

konsep kunci yang

digunakan dalam

Perda.

Membahas

ketentuan yang

sama. Terjadi

penambahan

konsep yang

didefinisikan

dalam ketentuan

umum menjadi 20

konsep.

Konsep-konsep yang ditambahkan

dalam ketentuan umum pada Perda 8

Tahun 2007 adalah pengertian tentang;

DPRD, ketentraman masyarakat,

kendaraan umum, tempat umum,

pedagang kaki lima, parkir, hiburan,

ternak potong, pencemaran dan

keadaan darurat.

Bab II Tentang Tertib

Jalan dan Angkutan Jalan

Raya. Terdiri atas

6 pasal.

Tentang Tertib

Jalan, Angkutan Jalan dan

Angkutan Sungai.

Terdiri atas 10

pasal.

Pada perda 8/2007 ditambahkan aturan

tentang angkutan sungai (pasal 2 ayat 3). Beberapa hal baru yang diatur

dalam bab II Perda ini adalah larangan

menggunakan atau menawarkan diri

menjadi joki three in one (pasal 4),

larangan bagi pengatur lalu lintas ilegal

di persimpangan jalan, lebih dikenal

dengan sebutan pak ogah atau polisi

cepek (pasal 7), larangan memarkir

kendaraan atau menyelenggarakan

parkir tanpa izin (pasal 10 dan 1).

Bab III Tentang Tertib

Jalur Hijau, Taman dan

Tempat Umum.

Terdiri dari 1

pasal.

Tentang Tertib

Jalur Hijau, Taman dan

Tempat Umum.

Terdiri dari 1

pasal.

Tidak ada perubahan isi pada bab ini

dari Perda 11/1988 ke Perda 8/2007.

Bab IV Tentang Tertib Tentang Tertib Dibandingkan dengan Perda 11 Tahun

Page 71: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

Sungai, Saluran,

Kolam dan Lepas

Pantai. Terdiri

atas 5 pasal.

Sungai, Saluran,

Kolam dan Lepas

Pantai. Terdiri

atas 4 pasal.

1988 terjadi pengurangan 1 pasal pada

Perda 8 tahun 2007. Secara substansi

tidak terdapat perubahan yang

signifikan diantara keduanya.

Bab V Tentang Tertib

Lingkungan.

Terdiri 2 pasal.

Tentang Tertib

Lingkungan.

Terdiri dari 7

pasal.

Terdapat penambahan 5 pasal pada

Perda 8 Tahun 2007. Beberapa hal

yang ditambahkan antara lain; larangan

merusak hutan mangrove (pasal 18),

larangan membuat, menyimpan dan

menjual petasan (pasal 19), melakukan

aksi vandalisme dan mengotori

lingkungan (pasal 21) pengaturan air

minum dan air permukaan tanah (pasal 22 dan pasal 23).

Bab VI Tentang Tertib

Usaha Tertentu.

Terdiri atas 4

pasal.

Tentang Tertib

Tempat dan

Usaha Tertentu.

Terdiri atas 12

pasal.

Terdapat penambahan 8 pasal pada

Perda 8 Tahun 2007. Penambahan

paling krusial dan kontroversial adalah

pada pengaturan masalah PKL dimana

bukan hanya pedagang saja yang

diancam dengan pidana melainkan juga

meraka yang membeli barang dari

PKL.

Bab VII Tentang Tertib

Bangunan. Terdiri

atas 1 pasal.

Tentang Tertib

Bangunan. Terdiri

atas 3 pasal.

Perda 8/2007 menggabungkan 2 bab

pada Perda 11/1988, yakni bab VII

tentang tertib bangunan dan bab VIII

tentang Pemilik Bangunan. Secara substansi tidak terdapat perubahan yang

signifikan dalam bab ini pada Perda

8/2007 kecuali adanya penambahan

pasal khusus yang mengatur larangan

untuk membangun menara/tower

komunikasi, dan keharusan pegelolanya

melakukan perawatan (pasal 37).

Bab VIII Tentang Tertib

Pemilik dan

Penghuni

Bangunan.

Tentang Tertib

Sosial.

Bab VIII pada Perda 11/1988 telah

dipadatkan dalam bab VII Perda

8/2007. Karenanya pada bab VIII ini

terjadi perbedaan signifikan karena

adanya pemadatan sebagaimana disebut

diatas. Dibandingkan dengan bab tentang Tertib Sosial pada Perda

11/1988, terdapat penambahan 4 pasal

dari sebelumnya 4 pasal. Hal paling

kontroversial dari Perda 8/2007 pada

bab ini adalah larangan bukan hanya

menjadi pengemis melainkan juga

memberi pengemis.

Bab IX Tentang Tertib

Sosial. Terdiri dari

4 pasal.

Tentang Tertib

Kesehatan.

Terdiri dari 1

pasal.

Disesuaikan

Bab X Tentang Tertib

Kesehatan

Tertib Hiburan,

Keramaian dan Peran Serta

Masyarakat

Seiring dengan semakin menjamurnya

tempat-tempat hiburan dan berbagai aktivitas yang mengundang keramaian,

Perda Nomor 8 Tahun 2007

menambahkan masalah tertib hiburan,

Page 72: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

yang tidak terdapat dalam Perda 11

Tahun 1988.

Bab XI Tentang

Ketentuan Pidana

Tentang

Ketentuan Pidana

Bab XII Tentang

Ketentuan

Pembinaan

Tentang

Ketentuan

Pembinaan

Bab XIII Tentang

Pengawasan

Tentang

Pengawasan

Bab XIV Tentang

Penyidikan

Tentang

Penyidikan

Bab XV Tentang

Ketentuan

Peralihan

Tentang

Ketentuan

Peralihan

Bab XVI Tentang

Ketentuan

Penutup

Tentang

Ketentuan

Penutup

Tidak terjadi perubahan signifikan dari

Perda 11/1988 ke Perda 8/2007 tentang

ketentuan Pidana sampai ke ketentuan

penutup, kecuali Perda 8/2007 lebih

memerinci tentang ketentuan pidana

seiring dengan semakin banyaknya

klausul tambahan yang diatur dala

perda dimaksud di atas.

C. Implementasi Perda Tentang Ketertiban Umum

Untuk dapat menilai implementasi Perda tentang Ketertiban Umum,

penulis menjadikan Perda 11 Tahun 1988 sebagai pijakan, mengingat Perda yang

baru, yakni Perda 8 tahun 2007 baru diberlakukan pada awal Januari 2008.

Menjadikan implementasi Perda 8 Tahun 2007 sebagai dasar penilaian dalam

kajian ini tidak mungkin dilakukan dan rentan menjadikan penelitian ini bias dalm

penilaian mengingat masih sangat terbatasnya waktu pelaksanaan.

Berdasarkan hasil riset LBH APIK Jakarta,48

implementasi Perda yang

seharusnya diberlakukan pada semua warga Jakarta dalam pelaksanaannya hanya

mengatur masyarakat miskin saja, karena faktanya semua pasal dalam Perda ini

ditujukan pada rakyat miskin kota. Perda ini memuat larangan-larangan orang

berada ditempat umum yang sekiranya dapat mengganggu pandangan umum dan

meresahkan masyarakat tanpa melihat latar belakang keberadaan rakyat miskin

kota yang tidak mempunyai akses ke tempat-tempat yang dianjurkan yang

48

Lebih lengkap lihat, LBH APIK, Kajian Terhadap Perda 11 tahun 1988 tentang

Ketertiban Umum di Wilayah DKI Jakarta, 2005..

Page 73: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

notabene mesti mengeluarkan uang ekstra. Tak heran jika Perda ini – meskipun

berjudul perda ketertiban umum - namun di kalangan rakyat miskin Jakarta lebih

dikenal sebagai ‘Perda Penggusuran’. Faktanya, Perda 11 tahun 1988 selama ini

memang selalu dijadikan dasar justifikasi oleh Pemerintah DKI Jakarta untuk

melakukan penertiban berupa penggusuran, pengusiran dan perusakan terhadap

properti warga yang dianggap menyalahi ketentuan yang diatur di dalam Perda

ini.

Sejak diundangkannya Perda ini tahun 1988, tak terhitung lagi jumlah

warga miskin Jakarta yang digusur dengan dalih ketertiban umum ataupun

kepentingan dinas. Tidak terhitung pula jumlah becak yang dijaring dalam razia

untuk kemudian dimusnahkan, padahal itu menjadi gantungan hidup para

pemiliknya. Dalam kurun waktu enam tahun terakhir ini aktivitas ‘penertiban’

yang dilakukan aparat Pemda DKI Jakarta menunjukkan intensitas yang semakin

tinggi. Data yang dilansir oleh Forum Keprihatinan Akademisi (FKA)49

menunjukkan bahwa pada tahun 2001 saja tercatat 45 kasus penggusuran

pemukiman dengan 6588 rumah dan 5 sekolah dihancurkan, 6774 kepala keluarga

dan 34.514 jiwa kehilangan tampat tinggal. Penggusuran yang tak jarang disertai

dengan tindakan kekerasan membuat 19 orang meninggal, 67 orang luka, 50 orang

sakit, 1000 orang depresi dan 4525 orang kehilangan pekerjaan.

Selain penggusuran pemukiman, pada tahun itu juga tercatat 54 kasus

penggusuran terhadap pedagang kaki lima (PKL). Sebanyak 2700 PKL

49

Forum Keprihatinan Akademisi beranggotakan Prof. Dr. Saparinah Sadli, Prof. Dr.

Sayogyo, Prof. Dr.Toety Herati, Ir. Marco Kusumawijaya, Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno dan

banyak tokoh akademisi dan LSM lainnya. Keprihatinan mereka akan akan penggusuran dan

model penerapan Perda 11 Tahun 1988dituangkan dalam petisi berjudul “Menata Kembali Hak

Warga Negara”, 11 Nopember 2003.

Page 74: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

kehilangan tempat usaha dan barang dagangannya dengan kerugian mencapai Rp.

540 juta akibat penggusuran disertai dengan kekerasan, perampasan dan

penjarahan oleh aparat. Padahal, selama berdagang, secara rutin PKL dipungut

retribusi. Pada tahun ini juga dilakukan penggarukan becak secara besar-besaran.

Pemerintah DKI Jakarta mengeluarkan setidaknya Rp. 1,24 milyar untuk

menggusur becak dari bumi Jakarta. Akibatnya 6000 jiwa kehilangan pekerjaan

dan 3000 becak dirampas.

Pada tahun 2002, data FKA mencatat setidaknya terjadi 26 kasus

penggusuran pemukiman dengan sedikitnya 4908 rumah dihancurkan, 18.732 jiwa

kehilangan tempat tinggal, 15 orang terluka, 11 orang ditangkap dan ditahan.

Selain itu, juga terjadi 20 kasus penggusuran terhadap pedagang kaki lima (PKL),

dimana sedikitnya 7770 lapak kios PKL dihancurkan.

Pada tahun 2003 Hasil investigasi Forum Warga Jakarta (FAKTA) dan

Institut Sosial Jakarta (ISJ) mencatat setidaknya terjadi 15 kasus penggusuran

pemukiman warga. Sedikitnya 7280 keluarga kehilangan tempat tinggal. Sebagian

besar dari mereka tidak mendapatkan ganti rugi, dan hanya sebagian kecil saja

yang mendapatkan uang kerohiman. Pada tahun 2005, dengan alasan melanggar

jalur hijau sebagaimana diatur dalam Perda11/1988, belasan aktivis Falun Gong

ditangkap saat berunjuk rasa memprotes Presiden Hu Jin Tao yang sedang

berkunjung ke Jakarta. Pada tahun 2006 ratusan pedagang kaki lima di depan

pasar Bendungan Hilir Jakarta Pusat yang mendapatkan giliran penertiban.

Terakhir, pada awal tahun 2007, kasus penggusuran 700-an rumah di kolong tol

Kalijodo Pejagalan Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara yang berujung bentrok

Page 75: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

antara warga dengan Satpol PP mengakibatkan tak kurang dari 3000 warga terusir

dan kehilangan tempat tinggal.50

Kesemua aktivitas penertiban dan penggusuran tersebut di atas selalau

menjadikan Perda 11 Tahun 1988 sebagai dasar hukum. Dengan alasan

pemukiman berada di jalur hijau, bantaran kali, pinggir rel kereta api, atau lahan

usaha berada di trotoar, dengan serta merta Pemda DKI Jakarta merasa berwenang

untuk menghilangkan hak warga untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan

yang layak. Ironisnya, sebelum digusur baik pemukiman maupun pedagang kaki

lima umumnya secara rutin ditarik retribusi oleh aparat pemerintah daerah. Dan

setelah digusur, tidak sedikit dari lahan yang mereka tempati dibangun Mal,

apartemen, dan berbagai kepentingan usaha bagi kelompok elit. Di sisi lain,

banyak perumahan mewah, mal-mal dan berbagai tempat usaha menengah atas

yang dibangun di lahan-lahan hijau tidak tersentuh penertiban oleh Pemda DKI

Jakarta.

Dengan demikian menjadi jelas bahwa Perda Nomor 11 Tahun 1988 yang

seharusnya mengatur ketertiban umum seluruh warga Jakarta, dalam

implementasinya hanya menjadikan warga miskin dan termarjinalkan sebagai

objek dari pemberlakuan Perda. Di dalam banyak kasus, implementasi Perda 11

Tahun 1988 juga ditengarai sarat dengan pelanggaran terhadap Hak Asasi

Manusia warga miskin kota Jakarta.

50 Laporan Koran Tempo, 26 Januari 2007

Page 76: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

BAB IV

PERDA TENTANG KETERTIBAN UMUM DI DKI JAKARTA

DALAM TINJAUAN ISLAM DAN HAM

A. Tinjauan Islam Terhadap Perda Tentang Ketertiban Umum Di DKI Jakarta

Islam sangat menghargai dan melindungi hak-hak dasar setiap manusia.

Pentingnya perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia ini ditegaskan oleh Al-

Maududi. Menurutnya, dalam suatu kelompok hak-hak seseorang ditetapkan dan

dijamin oleh kewajiban anggota-anggota kelompok yang lain, baik secara

individual maupun kelompok. Prinsip-prinsip di dalam Al-Qur’an tentang

keadilan, kejujuran, dan solidaritas kemanusiaan menimbulkan kewajiban bagi

setiap anggota masyarakat Islam, orang perorangan. Prinsip-prinsip tersebut

menimbulkan iklim saling hormat menghormati, dan jaga menjaga yang terjadi

secara timbal balik. Tetapi dasar dari filsafat Islam menurut Mawardi tetap, yakni

otonomi pribadi seseorang, yang menekankan hak-hak dasar manusia.51

Menurut Al-Maududi, Islam seperti halnya semua sistem politik,

menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Tetapi jika pun

kepentingan umum harus ditegakkan, negara tidak diperbolehkan melanggar sifat

kemanusiaan warganya atau menyebabkan hilangnya kemerdekaan dan hak

dasarnya.52

Apa saja sifat kemanusiaan dan hak dasar yang tidak dapat dilanggar

oleh negara meskipun sedang menegakkan kepentingan umum tersebut?, ialah

prinsip-prinsip dasar yang dikembangkan oleh Nabi ketika menyampaikan pidato

51

Abul A’la Al Maududi, Esensi Al Qur’an : Filsafat Politik, Ekonomi, Etika, Bandung :

Mizan, 1987, hal 87. 52 Ibid, hl. 88.

Page 77: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

perpisahan di padang Arafah. Prinsip-prinsip tersebut adalah hak dasar setiap

manusia untuk hidup (al-dima), hak dasar setiap manusia untuk bebas memiliki

sesuatu (al-amwal), dan hak dasar setiap manusia mendapatkan pengakuan dan

kehormatan (al-a’rad).

Dengan demikian, didalam Islam, setiap manusia, baik muslim maupun

tidak harus dijamin hal-haknya dan negara mempunyai kewajiban untuk

melindungi warganya terhadap segala jenis pelanggaran yang dapat mengancam

hak-hak tersebut. Adapun hak-hak warga yang harus dilindungi tersebut antara

lain; a) Hak untuk mendapatkan jaminan keamanan jiwa (QS 49 : 11-1); b)

Perlindungan terhadap hak milik (QS 24 : 27, QS 49 : 12); c) Hak mendapatkan

kehormatan diri (QS 4 : 148); d) Hak kerahasiaan (QS 3 : 110, 5 : 78-79, 7 : 165);

e) Hak untuk melakukan protes terhadap ketidakadilan (QS 3 : 11); f) Hak

melakukan kritik, menyuruh kebaikan dan mencegah kejahatan (QS 8 : 61), g)

Kemerdekaan untuk berserikat, h) Perlakuan yang sama bagi setiap warga tanpa

diskriminasi.53

Di dalam perkembangannya, umat Islam mengembangkan dan mengakui

hak-hak yang menjadi hak dasar manusia yang tidak dapat dilanggar yang

kemudian disahkan dalam Cairo Declaration of Human Rights in Islam yang

diadopsi oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada Agustus 1991. Hak-hak

asasi manusia yang diadopsi dalam Deklarasi Kairo tersebut meliputi; a) Hak

persamaan dan kebebasan, b) Hak hidup, c) Hak perlindungan diri, d) Hak

kehormatan pribadi, e) Hak berkeluarga, f) Hak kesetaraan wanita dengan pria, g)

53

Teguh Prasetyo, Hak Asasi Manusia Dalam Tradisi Islam, dalam Jurnal Ilmu Hukum,

Vol 10 Nomor 1, Maret 2007, hal 49-50

Page 78: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

Hak anak dari orang tua, h) Hak mendapatkan pendidikan, i) Hak kebebasan

beragama, j) Hak kebebasan mencari suaka, k) Hak memperoleh perlakuan sama,

l) Hak kepemilikan.54

Jika Islam sedemikian menghormati kepentingan kemaslahatan umum

namun sekaligus juga menjadikan hak dasar manusia sebagai tujuan dari syariat

agama (maqasid syariah), bagaimana perspektif Islam terhadap Perda Nomor 11

Tahun 1988 yang oleh pemerintah di klaim mewakili kepentingan ketertiban dan

kemaslahatan umum, sementara oleh sebagian masyarakat dituding melanggar

hak-hak dasar manusia (yang menjadi tujuan dari syariat agama).

Sebelum memberikan justifikasi perspektif Islam tentang Perda Nomor 11

Tahun 1988 dan Perda Nomor 8 Tahun 2007, tentu penting untuk dilihat dan

ditelaah terlebih dahulu, aspek-aspek apa saja dalam perda tersebut yang diklaim

oleh pemerintah mewakili kepentingan dan kemaslahatan umum, dan aspek apa

saja yang dituding oleh masyarakat melanggar hak dasar manusia.

Berdasarkan hasil bacaan dan telaah penulis terhadap materi Perda 11

Tahun 1988 dan Perda Nomor 8 Tahun 2007, setidaknya terdapat dua persoalan

yang selama ini menjadi pokok perdebatan antara Pemerintah DKI dengan warga

masyarakat. Kedua persoalan tersebut adalah; masalah akses ke tempat-tempat

umum dan masalah pekerjaan dan mendapatkan penghidupan yang layak bagi

warga Jakarta.

54

Sebelum Cairo Declaration of Human Rights in Islam disahkan pada 1991,satu

dasawarsa sebelumnya umat Islam yang tergabung dalam Islamic Council Eropa telah menyusun

deklarasi HAM yang bernama The Universal Islamic Declaration of Human Rights, yang

dirumuskan pada tahun 1981.Lihat, Ahmad Ali Nurdin, Islam dan Hak Asasi Manusia, dalam

Kompas 21/7/2005

Page 79: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

Untuk masalah yang pertama, yakni persoalan akses masyarakat ke

tempat-tempat umum, pada Perda 11 Tahun 1988 setidaknya terdapat empat pasal

di dalam Perda yang mengaturnya, yaitu pasal 8, 9, 10, dan 15. Pasal 8 melarang

setiap orang untuk memasuki atau berada di jalur hijau atau taman yang bukan

untuk umum, termasuk juga tidur dan bertempat tinggal di dalamnya. Pasal 9

melarang setiap orang bertempat tinggal atau tidur di tanggul, bantaran sungai, di

pinggir kali dan saluran. Pasal 10 melarang setiap orang untuk mandi,

membersihkan anggota badan, mencuci pakaian, bahan makanan, binatang,

kendaraan dan benda-benda di sungai, saluran dan kolam, termasuk juga dilarang

memanfaatkan air sungai untuk kepentingan usaha. Sementara pasal 15 melarang

setiap orang untuk bermain-main di jalan, di atas atau di bawah jembatan, di

pinggir rel kereta api, pinggir kali, pinggir saluran dan tempat-tempat umum

lainnya.

Pada Perda Nomor 8 tahun 2007 persoalan akses ke tempat umum diatur

dalam pasal 6, pasal 12, pasal 13, pasal 14, pasal 20, dan pasal 39. Secara umum

isi dari pasal-pasal pada Perda 8 tahun 2007 tidak jauh berbeda dengan isi Perda

sebelumnya yang melarang warga untuk tinggal atau memanfaatkan beberapa

kawasan seperti sungai, waduk, situ danau, pinggiran rel kereta dan seterusnya.

Pemerintah DKI selalu berargumen bahwa peraturan untuk menjaga jalur

hijau, sungai dan tempat-tempat umum merupakan bagian dari upaya untuk

memelihara ketertiban umum. Itulah sebabnya, berbagai penggusuran yang

dilakukan oleh aparat trantib, baik di pada pemukiman warga di kolong-kolong

jembatan, bantaran rel kereta api, bantaran sungai atau tempat-tempat yang oleh

Page 80: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

Pemda DKI di kategorikan sebagai jalur hijau, Pemda DKI merasa absah untuk

melakukannya. Di sisi lain, bagi sebagian masyarakat, berbagai pasal yang

termuat dalam Perda tersebut di atas sangatlah mengada-ada. Larangan untuk

tinggal di bantaran sungai, ketika pemerintah tidak mampu menyediakan lahan

yang terjangkau dan layak bagi kaum miskin. Larangan untuk memanfaatkan air

sungai ketika air bersih sedemikian mahal, dan larangan untuk bermain di

berbagai tempat umum ketika masyarakat tidak lagi memiliki ruang bermain

akibat ketiakmampuan pemerintah menyediakan fasilitas publik, adalah bentuk-

bentuk pengebirian dan pelanggaran hak-hak dasar warga untuk mendapatkan

jaminan perlindungan dan kehidupan yang layak dari Negara. Dan ketika

Pemerintah melakukan penggusuran atas nama ketertiban umum, maka bertambah

pula hak-hak dasar warga yang dilanggarnya, yakni; hak untuk mendapatkan

jaminan keamanan jiwa (QS 49 : 11-1); hak mendapatkan perlindungan terhadap

hak milik (QS 24 : 27, QS 49 : 12); dan hak mendapatkan kehormatan diri.

Untuk masalah yang kedua, yaitu persoalan akses warga terhadap

pekerjaan dan penghidupan yang layak, terdapat beberapa pasal di dalam Perda 11

Tahun 1988 yang mengaturnya, yakni pasal 16, pasal 18, pasal 19 dan pasal 26.

Pasal 16 melarang setiap untuk melakukan kegiatan usaha di jalan, pinggir rel

kereta api, jalur hijau, taman dan tempat-tempat umum. Pasal 18 melarang setiap

orang untuk melakukan usaha pembuatan, perakitan dan penjualan becak,

memasukkan becak ke wilayah DKI Jakarta dan mengusahakan kendaraan

bermotor atau tidak bermotor sebagai alat angkutan umum yang tidak termasuk

dalam pola angkutan umum yang ditetapkan. Pasal 19 melarang setiap orang atau

Page 81: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

badan melakukan usaha pengumpulan, penyaluran pembantu rumah tangga.

Sementara pasal 26 melarang setiap orang/badan menyelenggarakan

praktek/kegiatan usaha pengobatan dengan cara tradisional dan atau pengobatan

yang bersifat kebatinan dan praktek yang ada hubungannya dengan bidang

kesehatan.

Pada Perda Nomor 8 tahun 2007, masalah akses terhadap pekerjaan diatur

dalam pasal 4 (larangan menjadi joki three in one), pasal 7 (larangan bagi ”pak

ogah/polisis cepek”), pasal 10 (larangan menyelenggarakan parkir), pasal 25

(laangan bagi pedagang kaki lima), pasal 27 (larangan usaha kecil), pasal 28

(larangan menjadi calo), pasal 29 (larangan menarik becak), pasal 39 (larangan

mengemis dan meminta sumbangan/derma), pasal 40 (larangan menjadi

pengemis, pengamen, pedagang asongan dan pengelap mobil) dan pasal 47

(larangan menjalankan praktik pengobatan tradisional).

Pasal-pasal di atas adalah pasal-pasal yang selama ini digunakan oleh

Pemerintah DKI Jakarta untuk menertibkan para pedagang kaki lima, melakukan

razia becak atau menutup berbagai usaha pengobatan tradisional, tanpa diikuti

oleh solusi yang memadai. Kebijakan yang selama ini amat ditentang oleh

sebagian besar warga miskin Jakarta, terutama yang menjadi korban. Menurut

mereka, memberikan penghidupan dan pekerjaan yang layak adalah kewajiban

negara dan adalah hak warganya untuk mendapatkan jaminan penghidupan dari

negara. Namun ironisnya, bukan hanya tidak memenuhi kewajibannya,

Pemerintah DKI dengan dalih ketertiban dan keindahan kota justru melanggar hak

Page 82: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

warganya untuk bekerja dan mendapatkan penghidupan yang layak (QS 24 : 27,

QS 49 : 12).

Jika isi dan implementasi Perda 11 Tahun 1988 dan Perda Nomor 8 Tahun

2007 ternyata banyak mengundang perdebatan seputar konflik antara hak-hak

perseorangan dengan apa yang oleh Pemerintah DKI dianggap sebagai

kepentingan umum, bagaimana Islam menanggapi persoalan ini. Sebagaimana

telah diulas dalam bab terdahulu, Islam memelihara kemaslahatan pribadi dan

umum secara bersamaan tanpa harus ada yang dikorbankan. Namun demikian di

saat terjadi pertentangan antara kepentingan pribadi dan umum maka yang

didahulukan adalah kemaslahatan umum, dengan catatan, kemaslahatan umum

tetap harus selaras dengan tujuan dari syariat itu sendiri, yakni terpeliharanya lima

hak dan jaminan dasar manusia (al dharuriyat al khamsah) yang meliputi;

keselamatan jiwa (hifdzu al nafs), keselamatan akal (hifdzu al aql), keselamatan

keturunan (hifdzu al nasl), keselamatan harta benda (hifdzu al maal), dan

keselamatan agama (hifdzu al din). Itu berarti, apapun upaya yang dilakukan –

baik oleh individu maupun lembaga tertentu - dalam rangka menegakkan

kemaslahatan dan ketertiban umum tidak dibenarkan melanggar hak-hak dasar

yang dimiliki oleh manusia. Berdasarkan data-data yang selama ini terekam dalam

berbagai media dan laporan penelitian, pelaksanaan Perda Nomor 11 Tahun 1988

dalam rangka penertiban umum telah terbukti membahayakan setidaknya dua dari

lima jaminan dasar manusia (al-dharuriyat al khamsah), yakni keselamatan jiwa

(hifdzu al-nafs) dan keselamatan harta benda (hifdzu al-maal). Dengan demikian,

dalam perspektif Islam, penghapusan ataupun revisi terhadap peraturan yang

Page 83: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

selama ini menjadi sumber ancaman bagi jaminan dasar keselamatan manusia (al-

dharuriyat al-khamsah) telah menjadi suatu keharusan.

B. Tinjauan HAM Terhadap Perda Tentang Keteriban Umum Di DKI Jakarta

Sejak era reformasi, berbagai upaya penegakan, pemajuan, perlindungan

dan pemenuhan HAM yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia mendapatkan

apresiasi yang cukup luas, baik dari dalam maupun luar negeri. Apresiasi yang

diberikan kepada pemerintah Indonesia terutama terkait dengan langkah-langkah

progresif untuk mengakomodasi HAM dalam berbagai peraturan perundangan

kita. Setelah disahkannya UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

dan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia,

Pemerintah Indonesia kembali membuat langkah progresif dengan mengesahkan

dua kovenan penting dalam peraturan perundangan kita. Dua kovenan tersebut

adalah International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights yang

disahkan dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005, dan International

Covenant on Civil and Political Rights yang ditetapkan dalam Undang-undang

Nomor 12 Tahun 2005.

UU Nomor 11 Tahun 2005 mengatur tentang hak-hak ekonomi, social dan

budaya yang harus dilindungi dan dipenuhi oleh negara. Sedangkan UU Nomor

12 Tahun 2005 mengatur tentang hak-hak sipil dan politik warga yang harus

dijamin dan dilindungi oleh negara.

Secara umum kovenan tentang hak-hak ekonomi, social dan budaya dan

kovenan tentang hak-hak sipil dan politik–yang diratifikasi dalam UU 11 Tahun

2005 dan UU 12 Tahun 2005 - merupakan instrument yang mengukuhkan dan

Page 84: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

menjabarkan pokok-pokok HAM di bidang ekonomi, social dan budaya dan HAM

di bidang sipil dan politik dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

(DUHAM) dalam ketentuan-ketentuan yang mengikat secara hukum.

Pembukaan kedua kovenan mengingatkan negara-negara akan

kewajibannya menurut Piagam PBB untuk memajukan dan melindungi HAM,

mengingatkan individu akan tanggungjawabnya untuk bekerja keras bagi

pemajuan dan penataan HAM yang diatur dalam kovenan ini dalam kaitannya

dengan individu lain dan masyarakatnya. Selain itu mengakui bahwa, sesuai

dengan DUHAM, cita-cita umat manusia untuk menikmati kebebasan sipil dan

politik serta kebebasan dari rasa takut dan kekurangan hanya dapat tercapai

apabila telah tercipta kondisi bagi setiap orang untuk dapat menikmati hak-hak

ekonomi, sosial dan budaya serta hak-hak sipil dan politiknya.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 mengatur setidaknya ada 8 hak

ekonomi, sosial dan budaya warga yang wajib dipenuhi dan dilindungi oleh

negara pihak, yaitu negara yang telah meratifikasi kovenan dimaksud. Hak-hak

ekonomi, sosial dan budaya tersebut meliputi; hak atas pekerjaan (pasal 6), hak

menikmati kondisi kerja yang adil dan menguntungkan (pasal 7), hak setiap orang

membentuk serikat pekerja (pasal 8), hak setiap orang atas jaminan social,

termasuk asuransi social (pasal 9), hak atas perlindungan dan bantuan seluas

mungkin (pasal 10), hak atas standar hidup yang layak, baginya ataupun

keluarganya termasuk sandang pangan dan perumahan (pasal 11), hak menikmati

standar tertinggi kesehatan fisik dan mental (pasal 12) dan hak atas pendidikan

(pasal 13).

Page 85: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

Yang penting untuk dicatat adalah, Kovenan yang diratifikasi dalam UU

ini bukan hanya menetapkan kewajiban negara Pihak untuk mengambil langkah

bagi tercapainya secara bertahap hak-hak yang diakui dalam kovenan dan

memastikan pelaksanaan hak tersebut tanpa pembedaan apapun, melainkan juga

melarang keras negara, kelompok atau perseorangan untuk melibatkan diri dalam

kegiatan atau melakukan suatu tindakan yang bertujuan menghancurkan hak atau

kebebasan manapun yang diakui dalam kovenan ini.55

Berdasarkan kajian penulis, jika kita gunakan UU ini menjadi perspektif

untuk melihat isi materi Perda 11 Tahun 1988 dan Perda Nomor 8 tahun 2007,

terdapat beberapa pasal di dalam Perda 11 Tahun 1988 yang mempunyai indikasi

kuat atau sekurangnya berpotensi bertentangan dengan pasal-pasal di dalam UU

11 tahun 2005. Pasal-pasal di dalam Perda 11/1988 yang terindikasi bertentangan

dengan UU terutama pasal-pasal yang terkait dengan tertib jalur hijau taman dan

tempat umum (pasal 8), tertib sungai, saluran kolam dan lepas pantai (pasal 9, 10,

15) dan tertib usaha tertentu (pasal 16, 17 , 18). Sementara pada Perda Nomor 8

Tahun 2007 beberapa pasal sebagaimana telah disebutkan di atas terindikasi kuat

bertentangan dengan UU.

Sebagaimana telah diulas terdahulu, pasal-pasal tersebut di atas telah

mengebiri hak-hak warga untuk mengakses fasilitas umum, mendapatkan

pekerjaan dan penghidupan dan mendapatkan pemukiman. Padahal hak atas

pekerjaan (pasal 6), hak atas perlindungan (pasal 10) dan hak atas kehidupan yang

layak (pasal 11) jelas-jelas dijamin di dalam UU 11 Tahun 2005.

55 Lihat pasal 2 dan pasal 5 UU Nomor 11 Tahun 2005

Page 86: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

Jika dari sisi isi materi, terdapat indikasi kuat dimana materi Perda 11

tahun 1988 bertentangan atau sekurangnya berpotensi bertentangan dengan UU

Nomor 11 Tahun 2005, dalam implementasinya oleh Pemerintah DKI Jakarta

Perda 11 Tahun 1988 nyata-nyata telah banyak melanggar hak-hak ekonomi,

social dan budaya warga sebagaimana diakui di dalam UU Nomor 11 tahun 2005.

Aksi-aksi penggusuran pemukiman melanggar hak warga untuk mendapatkan

sandang, pangan dan pemukiman yang layak (pasal 11), aksi razia becak dan

pedagang kaki lima melanggar hak warga atas pekerjaan (pasal 6) dan hak warga

untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menguntungkan. Belum lagi dampak

ikutan penggusuran dan razia yang membuat anak-anak korban kehilangan hak

mendapatkan pendidikan (pasal 13) dan hak menikmati kesehatan fisik dan mental

(pasal 12).

Sedangkan UU Nomor 12 Tahun 2005 yang disahkan satu paket dengan

UU Nomor 11 Tahun 2005 mengakui terdapat sekurangnya 21 macam hak sipil

dan politik warga yang harus dilindungi oleh negara. Dan seperti halnya di dalam

UU Nomor 11 Tahun 2005, UU Nomor 12 tahun 2005 juga menetapkan

kewajiban negara sebagai pihak pengambil langkah bagi tercapainya secara

bertahap hak-hak yang diakui dalam kovenan dan memastikan pelaksanaan

pelaksanaan hak tersebut tanpa pembedaan apapun. Selain itu, UU ini juga

melarang keras negara, kelompok atau perseorangan untuk melibatkan diri dalam

kegiatan atau melakukan suatu tindakan yang bertujuan menghancurkan hak atau

kebebasan manapun yang diakui dalam kovenan ini.

Page 87: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

Adapun jenis hak-hak yang dilindungi dalam UU ini dapat diuraikan

sebagai berikut; setiap manusia mempunyai hak hidup, bahwa hak ini dilindungi

oleh hukum, dan bahwa tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara

sewenang-wenang (Pasal 6); bahwa tidak seorang pun boleh dikenai siksaan,

perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan

martabat (Pasal 7); bahwa tidak seorang pun boleh diperbudak, bahwa perbudakan

dan perdagangan budak dilarang, dan bahwa tidak seorang pun boleh diperhamba,

atau diharuskan melakukan kerja paksa atau kerja wajib (Pasal 8); bahwa tidak

seorang pun boleh ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang (Pasal 10).

Tidak seorang pun boleh dipenjarakan hanya atas dasar

ketidakmampuannya memenuhi kewajiban kontraktualnya (Pasal 11). setiap orang

yang berada secara sah di wilayah suatu negara untuk berpindah tempat dan

memilih tempat tinggalnya di wilayah itu, untuk meninggalkan negara manapun

termasuk negara sendiri, dan bahwa tidak seorang pun dapat secara sewenang-

wenang dirampas haknya untuk memasuki negaranya sendiri (Pasal 12);

pengaturan yang diberlakukan bagi pengusiran orang asing yang secara sah

tinggal di negara pihak (Pasal 13); persamaan semua orang di depan pengadilan

dan badan peradilan, hak atas pemeriksaan yang adil dan terbuka oleh badan

peradilan yang kompeten, bebas dan tidak berpihak, hak atas praduga tak bersalah

bagi setiap orang yang dituduh melakukan tindak pidana, dan hak setiap orang

yang dijatuhi hukuman atas peninjauan kembali keputusan atau hukumannya oleh

badan peradilan yang lebih tinggi (Pasal 14);

Page 88: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

Pelarangan pemberlakuan secara retroaktif peraturan perundang-undangan

pidana (Pasal 15); hak setiap orang untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum

(Pasal 16); tidak boleh dicampurinya secara sewenang-wenang atau secara tidak

sah privasi, keluarga, rumah atau surat menyurat seseorang (Pasal 17).

Lebih lanjut UU menetapkan hak setiap orang atas kebebasan berpikir,

berkeyakinan dan beragama serta perlindungan atas hak-hak tersebut (Pasal 18);

hak orang untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak

atas kebebasan untuk menyatakan pendapat (Pasal 19); pelarangan atas

propaganda perang serta tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar

kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan tindak

diskriminasi, permusuhan atau kekerasan (Pasal 20); pengakuan hak untuk

berkumpul yang bersifat damai (Pasal 21); hak setiap orang atas kebebasan

berserikat (Pasal 22); pengakuan atas hak laki-laki dan perempuan usia kawin

untuk melangsungkan perkawinan dan membentuk keluarga, prinsip bahwa

perkawinan tidak boleh dilakukan tanpa persetujuan bebas dan sepenuhnya dari

para pihak yang hendak melangsungkan perkawinan (Pasal 23); hak anak atas

perlindungan yang dibutuhkan oleh statusnya sebagai anak dibawah umur,

keharusan segera didaftarkannya setiap anak setelah lahir dan keharusan

mempunyai nama, dan hak anak atas kewarganegaraan (Pasal 24); hak setiap

warga negara untuk ikut serta dalam penyelenggaraan urusan publik, untuk

memilih dan dipilih, serta mempunyai akses berdasarkan persyaratan umum yang

sama pada jabatan publik di negaranya (Pasal 25); persamaan kedudukan semua

orang di depan hukum dan hak semua orang atas perlindungan hukum yang sama

Page 89: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

tanpa diskriminasi (Pasal 26); dan tindakan untuk melindungi golongan etnis,

agama, atau bahasa minoritas yang mungkin ada di negara pihak (Pasal 27).

Jika kita gunakan UU ini untuk melihat pelaksanaan Perda 11 Tahun 1988,

tak kurang banyaknya hak-hak sipil dan politik warga yang telah dilanggar oleh

Pemerintah DKI Jakarta. Penggusuran disertai kekerasan yang telah merenggut

puluhan korban jiwa jelas merupakan bentuk pelanggaran dan perampasan akan

hak hidup (pasal 6). Kekerasan yang dilakukan aparat trantib dalam melakukan

penertiban merupakan perbuatan tidak manusiawi yang melanggar hak martabat

warga (pasal 7), dan penangkapan secara paksa dan sewenang wenang yang sering

dilakukan aparat jelas langgar haknya sebagai manusia bebas dan merdeka (pasal

10).

Selain itu, fakta bahwa objek dari pelaksanaan Perda ini hanyalah kaum

miskin dan kelompok marjinal perkotaan nyata-nyata melanggar pasal 26 yang

mengakui persamaan kedudukan semua orang di depan hukum dan hak semua

orang atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi.

Berdasarkan kajian tersebut di atas menjadi jelas bahwa, Perda Nomor 11

Tahun 1988 yang pembuatannya dilakukan jauh sebelum dua UU nomor 11 dan

12 tahun 2005 disahkan, baik dari segi isi materi maupun implementasinya

banyak bertentangan dengan kedua UU tersebut di atas. Dan di dalam tata aturan

hirarki perundangan kita, jika ada peraturan perundangan berkedudukan hukum

lebih rendah bertentangan dengan peraturan di atasnya maka peraturan yang lebih

rendah wajib dibatalkan atau direvisi demi tegaknya hukum.

Page 90: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

Kesimpulan penulis yang menggunakan perspektif UU Nomor 11 Tahun

2005 dan UU Nomor 12 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa Perda Tibum DKI

Jakarta tidak sesuai dan bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia

sebagaimana diakui dalam konstitusi kita, sejalan dengan hasil kajian Komnas

HAM terhadap Perda Nomor 8 Tahun 2007, dapat ditarik kesimpulan bahwa

perda ketertiban umum di DKI Jakarta bertentangan dengan prinsip-prinsip

tentang HAM yang diakui oleh konstitusi. Bahkan perda tibum banyak yang

bertabrakan dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan pada hirarki

yang lebih tinggi, yakni; UUD 1945 dan perudang-undangan lainnya. Perda tibum

tidak memenuhi prinsip-prinsip keperluan yang dipersyaratkan dalam pembatasan

hak sebagaimana diatur dalam standar internasional yang dapat melanggar hak

atas perumahan, hak atas pekerjaan, dan hak atas kebebasan untuk bergerak. Yang

paling berbahaya adalah sejumlah pembatasan di dalam Perda Tibum berpotensi

menimbulkan pelanggaran hak-hak asasi manusia mengingat isi dari perda ini

adalah menggusur hak-hak kelompok marjinal di Jakarta atas nama ”ketertiban”

dan ”keindahan”. Tanpa memberi solusi bagi pemecahan masalah kemiskinan dan

masalah sosial secara utuh. Penyebabnya adalah dari segi proses, penyusunan

perda tentang tibum berlangsung secara tertutup dan minim akan konsultasi

publik. Selain itu, prosedur penyusunan perda ini juga tak melewati proses

harmonisasi yang melibatkan Panitia Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia

(RANHAM).56

56 Secara utuh lihat Laporan Kajian Komnas Ham, 2008, hal 39-40.

Page 91: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

C. Solusi Atas Masalah Isi Dan Implementasi Perda Tentang Ketertiban Umum

Di DKI Jakarta

Hasil kajian menunjukkan bahwa Perda Nomor 11 tahun 1988 bermasalah

setidaknya pada dua ranah, yaitu ranah materi peraturan dan ranah implementasi.

Pada ranah materi peraturan, isi Perda Nomor 11 Tahun 1988 diduga kuat banyak

bertentangan dengan isi UU Nomor 11 dan UU Nomor 12 Tahun 2005 yang terbit

belakangan. Mengingat Perda dalam hirarki system perundang-undangan kita

lebih rendah status hukumnya jika dibandingkan dengan Undang-undang, maka

sudah sepatutnya Perda Nomor 11 Tahun 1988 ditinjau ulang untuk kemudian

diselaraskan dengan isi dan semangat dari peraturan perundangan yang berada di

atasnya. Bukan hanya bertentangan dengan UU 11 dan 12 tahun 2005, isi Perda

11 Tahun 1988 juga banyak bertentangan dengan prinsip-prinsip kemaslahatan

umum dalam Islam yang dalam penegakannya harus tetap berpijak pada

pemeliharaan maqasid al-syari’ah dan al-dharuriyat al-khamsah. Sementara pada

ranah implementasi, sebagaimana telah dikemukakan dalam bab terdahulu, Perda

11 Tahun 1988 ditengarai menjadi sumber legitimasi bagi aparat trantib untuk

melakukan berbagai pelanggaran HAM atas nama kepentingan umum.

Akan halnya Perda Nomor 8 tahun 2007, mengingat isinya yang tidak jauh

berbeda –atau bahkan terindikasi lebih represif- meskipun belum diuji

pelaksanaanya, namun dapat dikatakan akan memunculkan persoalan-persoalan

yang tidak jauh berbeda dengan Perda 11 Tahun 1988. Sebagian kalangan

masyarakat bahkan meyakini Perda ini akan menjadi lebih represif terhadap

Page 92: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

masyarakat miskin Jakarta dan lebih berpeluang membuka terjadinya pelanggaran

HAM.

Terhadap dua persoalan tersebut, terdapat dua pendekatan yang dapat

ditempuh sebagai solusi. Pertama, solusi teknis jangka pendek. Kedua, solusi

strategis jangka panjang. Solusi teknis jangka pendek dilakukan dengan

melakukan pembenahan langsung pada sumber masalah, yakni pembatalan atau

revisi terhadap Perda 8 Tahun 2007 agar lebih selaras dengan semangat berbagai

peraturan perundangan tentang HAM. Bagaimanapun situasi social, politik, dan

ekonomi Jakarta khususnya dan Indonesi umumnya telah berubah sangat jauh dari

situasi social politik ketika Perda itu dibuat. Padahal peraturan harus senantiasa

diletakkan dalam ruang yang kontekstual. Oleh karenanya, mempertahankan

Perda dalam situasi yang telah berubah merupakan sikap konyol yang tidak perlu.

Dalam hal ini, Menteri Dalam Negeri diharapkan dapat lebih arif dalam melihat

dan menyikapi berbagai keberatan yang diajukan oleh kalangan masyarakat

terhadap pemberlakuan Perda 8 tahun 2007 dengan jalan membatalkan atau

memerintahkan revisi terhadap isi Perda agar lebih sensitif terhadap HAM.

Solusi strategis jangka panjang, merupakan solusi yang harus diupayakan

baik oleh pemerintah daerah maupun masyarakat kota, yaitu kebijakan pemerintah

yang lebih pro terhadap rakyat. Bagaimanapun harus disadari bahwa masalah

penegakan ketertiban umum terkait erat dengan masalah pemenuhan hak-hak

social dan ekonomi masyarakat, terutama masyarakat miskin yang selalu

terpinggirkan. Menegakkan ketertiban umum, tanpa terlebih dahulu memenuhi

hak-hak social ekonomi warga miskin kota ibarat ‘membedaki wajah bopeng’.

Page 93: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

Bedak hanya mampu menutupi sementara, namun tidak dapat menghilangkan

bopeng itu sendiri.

Kebijakan pemerintah daerah yang pro rakyat dan berorientasi pada

pemenuhan hak-hak warga miskin kota, dipastikan akan menjamin terpeliharanya

ketertiban umum secara lebih hakiki dan sutainabel. Yang penting untuk dicatat

adalah ternyata Jakarta mempunyai pengalaman tentang itu. Tahun 1980, pada

masa pemerintahan Gubernur Ali Sadikin, Jakarta mendapatkan Aga Khan Award

for Architecture (AKAA) atas Program Perbaikan Kampung yang dirintis dan

digalakkan oleh Gubernur yang legendaris ini.

Sebagaimana diketahui, di dalam memberikan penghargaan, AKAA sangat

mempertimbangkan dan memberikan penekanan yang kuat pada proses

pembangunan, yang menempatkan manusia bukan sebagai obyek yang digusur-

gusur dan dipinggirkan dari pembangunan kota. AKAA merupakan bentuk

rangsangan terhadap upaya menciptakan arsitektur dan tata kota yang sanggup

memberikan vitalitas kepada permukiman- permukiman warganya, tak terkecuali

pemukiman warga miskin yang terpinggirkan. Melalui Program Perbaikan

Kampung, Jakarta sempat dijadikan model oleh kota-kota berbagai negara Asia

dan Amerika Selatan dalam hal penataan kota yang peduli terhadap rakyat miskin.

Program Perbaikan Kampung sebenarnya terkait erat dengan konsep desa kota

yang dikemukakan Terry McGee (1987), yakni sebuah kawasan yang semula

merupakan kawasan pertanian yang berpadu dengan permukiman, kemudian

diperluas fungsinya melalui berbagai kegiatan ekonomi, terdiri dari pertanian,

Page 94: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

industri, perumahan, dan lain-lain.57

Dengan model seperti ini Jakarta terbukti

menjadi lebih tertib dan bebas dari penggusuran. Dan itu dapat dicapai ketika

pemerintah memiliki kebijakan yang jelas, tegas dan berpihak pada kepentingan

rakyat.

57 Kompas, 22/2/2003, “Jakarta Pernah Menjadi Model Partisipasi Rakyat”.

Page 95: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Dari segi isi, Perda Nomor 11 Tahun 1988 dan Perda Nomor 8 tahun 2007

memiliki beberapa problem yang membutuhkan kajian lebih mendalam untuk

revisi. Beberapa problem tersebut adalah :

a. Tidak jelasnya definisi kepentingan umum, jalur hijau dan tempat umum

yang dikehendaki di dalam perda. Padahal sebagian besar larangan dan

pengaturan di dalam perda terkait dengan ketiga konsep tersebut.

b. Kepentingan dinas selalu dijadikan excuse (perkecualian) atas berbagai

larangan bagi warga yang dicantumkan dalam Perda, tanpa ada batasan

dan kejelasan kepentingan dinas yang seperti apa. Materi peraturan yang

seperti ini akan rawan menimbulkan penyimpangan oleh oknum-oknum

aparat dengan mengatasnamakan kepentingan dinas.

c. Berbagai larangan di dalam Perda untuk memanfaatkan lahan umum

seperti sungai dan saluran air untuk keperluan sehari-hari seperti mandi,

membersihkan anggota badan, mencuci dan seterusnya patut untuk ditinjau

ulang. Mengingat vitalnya fungsi sungai sebagai penyuplai kebutuhan air

warga miskin ditengah semakin sulitnya masyarakat mendapatkan akses

air.

Page 96: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

d. Ketentuan yang melarang setiap orang atau badan mengusahakan

kendaraan baik bermotor maupun tidak bermotor yang tidak termasuk

dalam pola angkutan umum sebagai alat angkutan umum – seperti becak,

ojek motor, ojek sepeda, dst - perlu untuk ditinjau ulang. Ditengah

semakin tingginya angka pengangguran di DKI Jakarta, sector informal

seperti ojek, becak dst ternyata menjadi alternative yang cukup ampuh

bagi warga Jakarta untuk tetap mendapatkan penghasilan.

e. Ketentuan yang melarang berjualan di jalur hijau, taman dan tempat umum

juga perlu ditinjau ulang. Yang dibutuhkan Jakarta mungkin adalah

pengaturan dan bukan pelarangan.

2. Dari segi implementasi, meskipun secara formal objek sasaran pemberlakuan

perda adalah seluruh warga Jakarta, hasil kajian menunjukkan bahwa secara

faktual objek utama dari Perda ini adalah warga miskin dan kaum marjinal

perkotaan. Hal itu terlihat dari fakta bahwa usaha penertiban, penggusuran dan

razia yang selama ini dilakukan aparat trantib umumnya ditujukan pada

pemukiman warga miskin, meksipun banyak juga pemukiman mewah, mal,

dan apartemen yang melanggar ketentuan Perda juga. Di samping itu, hasil

kajian juga menunjukkan bahwa implementasi Perda juga telah membuat

banyak warga Jakarta mengalami pelanggaran HAM.

3. Dalam perspektif Islam, meskipun Islam lebih mengutamakan kemaslahatan

umum jika bertentangan dengan kepentingan pribadi, namun hal tersebut

harus tetap dalam konteks mewujudkan tujuan dari syariah (maqasid syariah),

yaitu terjaminnya hak-hak dasar manusia atau yang dikenal dengan istilah al

Page 97: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

dharuriyat al khamsah. Tidak dibenarkan atas nama kemaslahatan umum

melanggar hak-hak dasar manusia. Mengingat dalam pelaksanaannya Perda

Nomor 11 tahun 1988 telah terbukti banyak melanggar hak-hak dasar warga

Jakarta, dalam perspektif Islam hal tersebut tidak dapat dibenarkan dan harus

ditentang. Mengingat Perda 8 tahun 2007 tidak banyak berbeda isinya dengan

Perda 11/1988 dikhawatirkan juga akan menghasilkan dampak yang sama.

4. Dalam perspektif HAM sebagaimana diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2005

dan UU Nomor 12 Tahun 2005, baik isi materi maupun implementasinya

Perda Nomor 11 tahun 1988 dan Perda Nomor 8 Tahun 2007 banyak

bertentangan dengan kedua perundangan tersebut di atas. Terutama

implementasai pasal-pasal yang menyangkut tertib jalur hijau, tertib sungai

dan tertib usaha tertentu.

Page 98: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

B. Saran - Saran

1. Perlunya dilakukan uji materi terhadap Perda Nomor 8 Tahun 2007 terutama

terkait dengan berbagai peraturan perundangan tentang HAM

2. Mengingat Perda 8 tahun 2007 sedang menjalani proses evaluasi di

Departemen Dalam Negeri, disarankan kepada Menteri Dalam Negeri

untuk lebih arif dalam merespon tuntutan dan keberatan masyarakat

dengan menyarakan agar Perda 8 tahun 2007 direvisi untuk lebih

disesuaikan dengan Perspektif HAM dan kemaslahatan umum (al

maslahah al ammah) sebagaimana diamanatkan dalam Islam.

DAFTAR PUSTAKA A. Peraturan Perundang-Undangan

Page 99: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

Perda Nomor 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum dalam Wilayah

Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

TAP MPR Nomor XVII tahun 1998 tentang Pandangan dan Sikap Bangsa

Indonesia Terhadap HAM dan Piagam HAM Nasional.

Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan

International Covenant on Economic, Social, and Cultural Right (Kovenan

Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya),

Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan

International Covenant on Civil and Political Right (Kovenan Internasional

Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik)

Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1988 Tentang Ratifikasi Kovenan

Anti Penyiksaan, Perlakuan dan Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi,

dan Merendahkan Martabat.

Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 1988 Tentang Kebebasan

Menyatakan Pendapat.

Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 1999 Tentang Pencabutan UU

Nomor 11 Tahun 1963 Tentang Tindak Pidana Subversi.

Undang-Undang (UU) Nomor 29 Tahun 1999 Tentang Ratifikasi Kovenan

Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

(HAM)

B. Buku-Buku

Al-Atsari, Abu Ihsan., Koreksi Total Masalah Politik & Pemikiran dalam

Perspektif Al-Qur’an & As-Sunnah, Jakarta : Darul Haq, 2002.

Al-Maududi, Abu A’la., Hak Asasi Manusia dalam Islam, Jakarta : YAPI,

1988. Arikunto, Suharsimi., ”Manajemen Penelitian”, Jakarta : Rieneka Cipta,

Cetakan Kelima Tahun 2000.

Page 100: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,

Baehr, Peter., (et.al), Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Asasi

Manusia, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2001.

Davies, Peter., Hak-Hak Asasi Manusia : Sebuah Bunga Rampai : Jakarta :

Yayasan Obor Indonesia, 2001. Effendi, Manshur., Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia dalam

Hukum Nasional dan Internasional, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1994. Fakih, Mansur dkk., Menekan Keadilan dan Kemanusian : Pegangan

Untuk Membangun Gerakan HAM, Yogyakarta : Insist Press, 2003. Manan, Bagir., Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi

Manusia di Indonesia, Bandung : PT. Alumni, 2001. Mattew B Miles & A. Michael Huberman, ”Analisis Data Kualitatif :Buku

Sumber Tentang Metode-Metode Baru”, Jakarta : UI Press, Cetakan Pertama,

Tahun 1992.

Muin Salim, Abdul., Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an,

Jakarta : Rajawali Press, 2002.

Muhammad Hasbi As Shiddiqi, Teungku., “Islam dan HAM”, Semarang :

Pustaka Rizqi Utama, 1999.

Marzuki, Suparman & Sobirin Malian, Pendidikan Kewarganegaraan dan

HAM”, Yogyakarta : UII Press, 2002.

Nasution, Harun dan Bahtiar Effendi., Hak Asasi Manusia dalam Islam,

Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1987.

Soetandjo Wignjosoebroto, Hak Asasi Manusia dalam Islam : Konsep Dasar dan

Perkembangan Pengertiannya Dari Masa ke Masa, Jakarta : Elsam, 2005.

C. Artikel, Makalah dan Berita Koran

Ariyanto., “Ada Pelanggaran HAM di Kalijodo”, Artikel diterbitkan

Indopos, 31 Januari 2007.

Artikel., “Hak Asasi Kaum Perempuan, Langkah demi Langkah” Risalah

diterbitkan oleh LBH APIK, 2005.

Ali Nurdin, Ahmad., “Islam dan Hak Asasi Manusia, Paper untuk Post

Graduate Student University of New England-Australia.

Berita, Gugatan “Citizen Law Suit” Opreasi Yustisia Sudah digelar, disitus

www.hukumonline.com, tanggal 18 Januari 2007.

Berita., 65 PKL di Pluit Ditertibkan, Berita Jakarta, 30 Maret 2007.

Berita., Ribuan PKL Tuntut Penghapusan Perda 11 Tahun 1988, Indopos, 17 Januari 2007.

Heraty, Toety, Prof. Dr. Dkk., “Menata Kembali Hak Warga Negara”, Risalah Akademis Forum Keprihatinan Akademis, 23 November 2003.

Yafie, Ali., “Konsep-Konsep Istihsan, Istihlah, dan Mashlahat Al Ummah, Makalah pada Seminar MUI, 1999.

Page 101: KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1040/1/AREIF... · pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya,