konflik_intrapersonal_dalam_memeluk_agam.pdf

Upload: miyahya

Post on 01-Mar-2018

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/25/2019 KONFLIK_INTRAPERSONAL_DALAM_MEMELUK_AGAM.pdf

    1/23

    1

    KONFLIK INTRAPERSONAL DALAM MEMELUK AGAMA PADA REMAJA

    DENGAN ORANG TUA YANG BERBEDA AGAMA

    Oleh

    Dessya Natascha [email protected]

    Lusy Asa Akhrani

    Yoyon Supriyono

    ABSTRACT

    The aim of this research is to describe intrapersonal conflict of embracing religion in

    adolescent with inter-religion parents. This research tries to explain factors that caused

    religious doubt which forced emergence of the intrapersonal conflict among their religion,

    type of intrapersonal conflict they were faced, and the effects of intrapersonal conflict

    through their life. The data collection method in this phenomenological-qualitative researchwas done by performing interviews, observations and documentations towards four subjects.

    The subjects are four adolescents with interfaith marriage parents, the age is about 19 23

    years old, and currently having study for Bachelor Degree. The results has shown that three

    of four subjects are having intrapersonal conflicts embraces to their religion that were

    caused by factors such as religion conversion, the religion education in family, and the role

    of same sex parents. Subjects are having intrapersonal conflict type in different issue. Type of

    intrapersonal conflicts on this research consists of approach-approach conflict and

    approach-avoidance conflict.

    Keywords: Conflict, Religion, Adolescent, Intrapersonal Conflict, Inter-religion marriage

    ABSTRAKSI

    Penelitian ini bertujuan untuk memberikan penjelasan mengenai konflik intrapersonaldalam memeluk agama pada remaja dengan orang tua yang berbeda agama. Penelitian ini

    berusaha menjelaskan mengenai faktor apa saja yang mempengaruhi munculnya keraguandalam memeluk agama yang akhirnya menimbulkan konflik intrapersonal, tipe konflikintrapersonal seperti apa yang mereka alami, serta bagaimana dampak konflik terhadapkehidupan mereka. Teknik pengambilan data dalam penelitian kualitatif-fenomenologis inimenggunakan metode wawancara, observasi dan dokumentasi dengan melibatkan empatsubyek penelitian. Subyek pada penelitian ini adalah remaja dengan orang tua yang berbedaagama, berusia antara 19-23 tahun, berada dalam masa remaja akhir, serta sedang menempuh

    pendidikan Strata 1. Hasil penelitian menujukkan bahwa tiga diantara empat subyekmengalami konflik intrapersonal dalam memeluk agama karena dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti adanya konversi agama, pendidikan agama yang diberikan oleh orang tua, serta

    peran orang tua yang berjenis kelamin sama. Konflik intrapersonal yang dialami para subyekpenelitian berada dalam wilayah kehidupan yang berbeda-beda. Tipe-tipe konflikintrapersonal yang dialami ketiga subyek mencakup konflik mendekat-menjauh dan konflikmendekat-mendekat.

    Kata kunci : Konflik, Agama, Remaja, Konflik Intrapersonal, Pernikahan Beda Agama

    mailto:[email protected]:[email protected]:[email protected]
  • 7/25/2019 KONFLIK_INTRAPERSONAL_DALAM_MEMELUK_AGAM.pdf

    2/23

    2

    LATAR BELAKANG

    Seiring berkembangnya zaman dan kemajuan di bidang teknologi modern telah

    mendatangkan kemajuan pada berbagai bidang kehidupan, salah satunya kemajuan dalam

    bidang komunikasi. Majunya komunikasi berarti pula telah membuka kesempatan yang lebih

    besar kepada anggota-anggota dari golongan masyarakat, baik yang namanya suku, ras,

    maupun agama untuk berinteraksi dari anggota-anggota masyarakat dari luar golongannya.

    Interaksi tersebut bukanlah hal yang mustahil bila terlahir perkawinan antar suku, ras, bahkan

    antar agama (Surbakti, 2009).

    Sebuah pernikahan tidaklah lepas dari kehadiran seorang anak di dalamnya, maka

    persoalan lain yang akan timbul di dalam sebuah pernikahan beda agama adalah setelah anak-

    anak mereka lahir. Menerapkan pendidikan agama pada anak diantara dua keyakinan yang

    berbeda juga dapat memicu timbulnya konflik dalam keluarga, dimana mungkin masing-

    masing menginginkan sang anak mengikuti agama dari satu pihak saja dan semuanya itu

    tergantung kepada kesepakatan masing-masing pasangan sebelum atau setelah memutuskan

    menikah beda agama.

    Ketika anak masih kecil, mereka hanya mengalami kebingungan-kebingungan dalam

    kebiasaan ataupun tata cara ibadah kedua orang tuanya yang berbeda. Karena anak dalam

    usia yang lebih muda belum memikirkan mengenai perbedaan agama yang ayah dan ibunya

    anut. Tapi ketika mereka semakin tumbuh menjadi seorang remaja, pola pikirnya juga akan

    semakin berkembang, maka akan banyak muncul pertanyaan yang diajukan seorang remaja

    mengenai kondisi keagamaan di dalam keluarganya. Mengapa agama kedua orang tuanya

    berbeda, mengapa agamanya tidak sama dengan salah satu agama orang tuanya, apakah

    agama yang ia peluk ini sudah benar, mengapa ada berbagai macam perbedaan nilai dan

    aturan dari kedua agama yang ada di dalam keluarga yang membingungkan, hingga

    pertanyaan mengapa ada perbedaan tata cara dalam meyakini keEsaan Tuhan (Jalaluddin,

    2010).

    Hasil penelitian Starbuck (Jalaluddin, 2010) terhadap mahasiswa Middleburg College,

    disimpulkan bahwa dari remaja berusia 11-26 tahun terdapat 53% dari 142 mahasiswa yang

    mengalami konflik dan keraguan tentang ajaran agama yang mereka terima, cara penerapan,

    keadaaan lembaga keagamaan, dan para pemuka agama. Hal yang serupa ditemukan ketika ia

    meneliti hal yang sama terhadap 95 mahasiswa, dimana 75% diantaranya mengalami konflik

    dan keraguan tentang ajaran agama yang mereka terima.

    Remaja yang kehidupan lingkungan dengan orang tua yang menganut agama yangsama, maka kebimbangan pada masa remaja itu akan berkurang. Remaja akan merasa gelisah

  • 7/25/2019 KONFLIK_INTRAPERSONAL_DALAM_MEMELUK_AGAM.pdf

    3/23

    3

    dan kurang aman apabila agama atau keyakinannya berlainan dari agama atau keyakinan

    orang tuanya. Keyakinan dan keteguhannya menjalankan ibadah serta memelihara nilai-nilai

    agama dalam hidupnya sehari-hari menolong remaja dari kebimbangan (Daradjat, 2003).

    Akan menjadi lebih mudah ketika remaja tersebut hidup dalam keluarga dengan satu agama,

    karena prinsip-prinsip dan berbagai ajaran agama yang diajarkan oleh orang tuanya akan

    berada dalam satu atap sehingga mampu meminimalisir kebingungan tentang agama mereka.

    Sedangkan pada remaja dengan orang tua yang berbeda agama akan muncul apa yang

    disebut dengan konflik intrapersonal, dimana seorang remaja dihadapkan pada dua pilihan

    yang sama kuatnya. Konflik intrapersonal akan terjadi ketika individu harus memilih diantara

    beberapa pilihan kemudian merasa bimbang mana yang harus dipilih untuk dilakukan, namun

    juga tetap harus menerima konsekuensi dari pilihannya tersebut. Dalam hal ini adalah,

    konflik intrapersonal dalam memeluk agama pada remaja dengan orang tua yang berbeda

    agama. Pada masa ini akan terjadi berbagai macam kebingungan, pertimbangan, keraguan

    hingga konflik diri yang bisa terjadi dan berpengaruh kepada bagaimana ia menjalani

    hidupnya ke depan nanti. Perlu banyak pertimbangan-pertimbangan matang, keyakinan diri

    mengenai agama dirasa paling cocok dengan seorang individu tanpa ada pengaruh ataupun

    paksaan dari pihak lain.

    Hal ini yang menjadi alasan mengapa sebenarnya remaja yang tengah berada dalam

    konflik intrapersonal dalam memeluk agama dengan orang tua yang berbeda agama perlu

    mendapat perhatian lebih untuk menghindari munculnya berbagai macam kebingungan yang

    berakhir pada stress ataupun perilaku negatif lainnya. Karena jika ada suatu peristiwa yang

    bisa mengganggu tahap perkembangan seseorang di masa remaja, nantinya juga akan

    menghambat tahap perkembangan yang selanjutnya. Menurut Hunt & Metcalf (Novelita,

    2011) konflik intrapersonal bersifat psikologis, yang jika tidak mampu diatasi dengan baik

    dapat menggangu bagi kesehatan psikologis atau kesehatan mental (mental hygiene) individu

    yang bersangkutan.

    B. Rumusan Masalah

    Dari latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka rumusan masalah dari penelitian

    ini adalah bagaimanakah gambaran konflik intrapersonal dalam memeluk agama pada remaja

    dengan orang tua yang berbeda agama?

    C. Tujuan

    Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah gambaran konflik

    intrapersonal dalam memeluk agama pada remaja dengan orang tua yang berbeda agama

  • 7/25/2019 KONFLIK_INTRAPERSONAL_DALAM_MEMELUK_AGAM.pdf

    4/23

    4

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Konflik Intrapersonal

    Menurut Lewin (Collone dan Eliana, 2005) situasi konflik dapat dijelaskan sebagai

    suatu keadaan dimana ada daya-daya yang saling bertentangan arah dan dalam kekuatan yang

    kira-kira sama. Ada beberapa jenis kekuatan menurut Lewin (Sarwono, 2002) yang bertindak

    seperti vektor, yakni:

    1.

    Kekuatan pendorong (driving force): menggerakkan, memicu terjadinya lokomosi /

    tingkah laku ke arah yang ditunjuk oleh kekuatan itu.

    2. Kekuatan penghambat (restraining force): halangan fisik atau sosial menahan

    terjadinya lokomosi / tingkah laku, mempengaruhi dampak dari kekuatan pendorong

    3. Kekuatan kebutuhan pribadi (forces corresponding to a persons needs):

    menggambarkan keinginan pribadi untuk mengerjakan sesuatu.

    4.

    Kekuatan pengaruh (induced force): menggambarkan keinginan dari orang lain

    (misalnya orang tua atau teman) yang masuk menjadi region lingkungan psikologis.

    5. Kekuatan non manusia (impersonal force): bukan keinginan pribadi tetapi juga

    bukan keinginan orang lain. Ini adalah kekuatan atau tuntutan dan fakta atau objek.

    Lewin (Sarwono, 2002) mendefinisikan konflik sebagai situasi di mana seseorang

    menerima kekuatan-kekuatan yang sama besar tetapi arahnya berlawanan. Konflik

    intrapersonal terjadi bila pada waktu yang sama seseorang memiliki dua keinginan yang tidak

    mungkin dipenuhi sekaligus dan bimbang mana yang harus dipilih. Kedua pilihan yang ada

    sama-sama memiliki akibat yang seimbang. Sebagaimana diketahui bahwa dalam diri

    seseorang itu biasanya terdapat hal-hal sebagai berikut:

    1.

    Sejumlah kebutuhan-kebutuhan dan peranan-peranan yang bersaing

    2. Beraneka macam cara yang berbeda yang mendorong peranan-peranan dan

    kebutuhan-kebutuhan itu terlahirkan.

    3.

    Banyaknya bentuk halangan-halangan yang bila terjadi di antara dorongan dan

    tujuan

    4. Terdapatnya aspek yang positif maupun negatif yang menghalangi tujuan-tujuan

    yang diinginkan.

    Menurut Hunt & Metcalf (Novelita, 2011) konflik intrapersonal adalah konflik yang

    terjadi dalam diri individu sendiri, misalnya ketika keyakinan yang dipegang individu

    bertentangan dengan nilai budaya masyarakat, atau keinginannya tidak sesuai dengan

    kemampuannya. Konflik intrapersonal ini bersifat psikologis, yang jika tidak mampu diatasi

  • 7/25/2019 KONFLIK_INTRAPERSONAL_DALAM_MEMELUK_AGAM.pdf

    5/23

    5

    dengan baik dapat menggangu bagi kesehatan psikologis atau kesehatan mental (mental

    hygiene) individu yang bersangkutan.

    Bentuk dari konflik intrapersonal menurut Lewin (Sarwono, 2002) antara lain sebagai

    berikut:

    1. Konflik mendekat-mendekat (approach to approach conflict). Merupakan konflik

    yang terjadi karena harus memilih dua alternatif yang berbeda tapi sama-sama

    menarik atau sama baik kualitasnya. Dalam tipe konflik ini, yaitu apabila dua

    kebutuhan (atau lebih) yang muncul bersamaan, keduanya mempunyai nilai positif

    bagi seseorang (P). Konflik terjadi jika daya menuju ke G1+ sama kuatnya dengan

    daya menuju ke G2+. Kekuatan salah satu daya akan meningkat jika valensi wilayah

    yang dituju menguat dan jarak psikologis menuju wilayah itu berkurang. Jika hal

    tersebut terjadi, maka konflik ini terselesaikan.

    Gambar 1.

    Konflik intrapersonal mendekat-mendekat (approach to approach conflict)

    2.

    Konflik mendekat-menghindar (approach to avoidance conflict).

    Dalam konflik ini jika P menghadapi nilai positif dan nilai negatif pada kebutuhan

    yang muncul secara bersamaan. Sebagian daya mengarahkan P pada G1+, namun

    sebagian daya lain menghambat P sehingga mengarah G2-. Adanya keadaan

    keseimbangan (equlibrium), dan menyebabakan konflik mendekat-menjauh menjadi

    konflik yang stabil.

    Gambar 2.

    Konflik intrapersonal mendekat-menghindar (approach to avoidance conflict)

    3.

    Konflik menghindar-menghindar (avoidance to avoidance conflict). Konflik yang

    terjadi karena sesorang mempunyai perasaan dan kebutuhan di antara dua valensi

    negative yang sama-sama dihindari. Dalam tipe konflik ini, kedua kebutuhan P

    berada di antara dua valensi negatif yang sama kuat dan muncul dalam kondisi yang

    bersamaan. Konflik terjadi bila daya menjauh dari GI- sama kuatnya dengan daya

    menjauh dari G2-.

    G1 + G2 +P

    G1 + G2 -P

  • 7/25/2019 KONFLIK_INTRAPERSONAL_DALAM_MEMELUK_AGAM.pdf

    6/23

    6

    Gambar 3.

    Konflik intrapersonal menghindar-menghindar(avoidance to avoidance conflict)

    B. Agama

    Secara terminologi definisi agama menurut Departemen Agama (Khotimah, 2006)

    adalah jalan hidup dengan kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa berpedoman kitab suci

    dan dipimpin oleh seorang nabi. Sedangkan menurut Mukti Ali (Khotimah, 2006)

    mengatakan bahwa agama adalah kepercayaan akan adanya Tuhan yang Maha Esa dan

    hukum yang diwahyukan kepada utusan-utusanNya untuk kebahagiaan hidup dunia dan

    akhirat. Menurutnya ciri-ciri agama itu adalah:

    a. Mempercayai adanya Tuhan yang Maha Esa

    b. Mempunyai kitab suci dari Tuhan yang Maha Esa

    c.

    Mempunyai rasul/utusan dari Tuhan yang Maha Esa

    d. Mempunyai hukum sendiri bagi kehidupan penganutnya berupa perintah dan

    petunjuk

    Berdasarkan Penjelasan Atas Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang

    Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pasal 1, pemerintah Indonesia saat

    ini secara resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu,

    Buddha dan Khong Hu Cu atau Confusius (Hosen, 2005).

    C. Remaja

    Masa remaja adalah masa transisi / peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa

    dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan dalam aspek fisik, kognitif, dan psikososial

    (Papalia, Olds & Feldman, 2001). Hall mengemukakan bahwa usia masa remaja berkisarantara 12 sampai dengan 23 tahun (Santrock, 2007). Sedangkan definisi masa remaja menurut

    Sri Rumini & Siti Sundari (Rahmantyo, 2012) mengatakan bahwa masa remaja berlangsung

    antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22

    tahun bagi pria. Desmita (Rahmantyo, 2012) juga menyampaikan gagasannya mengenai

    batasan usia remaja yaitu, batasan usia remaja yang umum digunakan oleh para ahli adalah

    antara 12 hingga 21 tahun. Rentang waktu usia remaja ini biasanyadibedakan atas tiga, yaitu:

    12-15 tahun = masa remaja awal, 16-18 tahun = masa remaja pertengahan, dan 19-21 tahun =

    masa remaja akhir.

    G1 - G2 -P

  • 7/25/2019 KONFLIK_INTRAPERSONAL_DALAM_MEMELUK_AGAM.pdf

    7/23

    7

    Pada masa ini, ciri perubahan perkembangan remaja ditandai dengan :

    1. Perubahan nilai, dimana apa yang mereka anggap penting pada masa kanak-kanak

    menjadi kurang penting karena sudah mendekati dewasa.

    2.

    Kebanyakan remaja bersikap ambivalen dalam menghadapi perubahan yang terjadi

    Pikunas (Yusuf, 2001) menyebutkan bahwa munculnya tugas-tugas perkembangan

    pada remaja bersumber pada faktor-faktor berikut :

    1.

    Kematangan fisik

    2. Tuntutan masyarakat secara kultural

    3. Tuntutan dari dorongan dan cita-cita individu sendiri

    4.

    Tuntutan norma / agama

    D. Perkembangan Jiwa Keagamaan Remaja

    James Fowler (Santrock, 2007) mengatakan bahwa perkembangan religius berfokus

    pada motivasi untuk menemukan makna hidup, baik di dalam maupun di luar konteks agama.

    Fowler (Santrock, 2007) mengajukan enam tahap perkembangan religius yang berkaitan

    dengan teori perkembangan Erikson, Piaget dan Kohlber :

    1.

    Tahap 1. Iman Intuitif-proyektif atau intuitive-projective faith (masa kanak-kanak

    awal). Usia 3-7 tahun. Setelah bayi belajar mempercayai pengasuhnya (perumusan

    Erikson) mereka menemukan gambaran intuitifnya sendiri mengenai apa yang baik

    dan jahat. Ketika anak-anak mulai memasuki tahap praoperasional seperti dalam

    teori Piaget, dunia kognitif mereka mulai terbuka terhadap berbagai kemungkinan

    baru. Benar dan salah dilihat menurut konsekuensi bagi dirinya sendiri. Anak-anak

    mulai percaya akan adanya malaikat dan hal-hal gaib.

    2.

    Tahap 2. Iman mistis-literal atau mythical-literal faith (masa kanan-kanak

    pertengahan dan akhir). Usia 7-12 tahun. Ketika anak-anak mulai memasuki tahap

    praoperasional konkret menurut Piaget, mereka mulai bernalar secara lebih logis,

    konkret namun tidak abstrak. Mereka memandang dunia secara lebih teratur. Anak-

    anak usia sekolah mengintepretasikan kisah-kisah religius secara literalis, dan

    pandangan mereka mengenai orang tua yang memberikan hadiah untuk kebaikan

    yang dilakukan dan memberikan hukuman untuk keburukan yang dilakukan.

    3. Tahap 3. Iman sintesis-konvensional atau synthetic-conventional faith (transisi

    antara masa kanak-kanak dan remaja, remaja awal). Usia 12-20 tahun. Pada tahap ini

    remaja mulai mengembangkan pemikiran operasional formal dan mulai

    mengintegrasikan hal-hal yang pernah dipelajari mengenai agama ke dalam suatusistem keyakinan yang koheren. Meskipun iman sintesis konvensional lebih abstrak

  • 7/25/2019 KONFLIK_INTRAPERSONAL_DALAM_MEMELUK_AGAM.pdf

    8/23

    8

    dibandingkan dua tahap sebelumnya, remaja muda masih cenderung patuh terhadap

    keyakinan religius orang lain (sebagaimana dinyatakan dalam tahap moralitas

    konvensional menurut Kohlber) dan belum mampu menganalisis ideologi alternatif

    secara memadai. Benar salahnya perilaku seseorang ditinjau menurut apakah

    perilaku itu membahayakan relasi atau mengenai apa yang akan dikatakan orang

    lain.

    4.

    Tahap 4. Iman individuatif-reflektif atau individuative-reflective faith(transisi masa

    remaja dan masa dewasa, dewasa awal). Usia 20-35 tahun. Menurut Fowler ditahap

    ini untuk pertama kalinya individu mampu sepenuhnya bertanggung jawab terhadap

    kondisi religiusnya. Tahap ini seringkali didahului oleh pengalaman dimana orang

    muda mulai bertanggung jawab akan kehidupannya sendiri dan mereka harus

    memperluas usahanya untuk mengikuti rangkaian kehidupan tertentu. Individu mulai

    dihadapkan pada keputusan-keputusan seperti: Apakah saya sebaiknya mendahulukan

    kepentingan saya sendiri atau mempertimbangkan kesejahteraan orang lain terlebih

    dahulu? atauApakah doktrin agama yang diajarkan kepada saya itu bersifat mutlak atau

    relatif sesuai dengan keyakinan saya?

    Menurut Fowler, pemikiran dan intelektual operasional formal yang menantang

    nilai-nilai dan ideologi religius individu yang sering kali muncul di lingkungan

    sekolah atau kampus merupakan hal yang penting untuk mengembangkan iman

    individuatif-reflektif.

    5. Tahap 5. Iman konjungtif atau conjunctive faith (masa dewasa pertengahan). Usia

    35-45 tahun. Menurut Fowler, jumlah orang dewasa yang memasuki tahap ini hanya

    sedikit. Tahap ini lebih terbuka terhadap paradoks dan mengandung berbagai sudut

    pandang yang saling bertolak belakang. Keterbukaan ini beranjak dari kesadaran

    seseorang mengenai keterbatasan mereka.

    6.

    Tahap 6. Iman universal atau universal faith(masa dewasa pertengahan atau dewasaakhir). Usia > 45 tahun. Menurut Fowler, tahap tertinggi dari perkembangan religius

    yang melibatkan transendensi dari system keyakinan tertentu untuk mencapai

    penghayatan kesatuan dengan semua keberadaan dan komitmen untuk mengatasi

    berbagai rintangan yang memecah belah kesatuan dengan orang lain. Fowler

    menganggap hanya sangat sedikit orang yang bisa mencapai tahap perkembangan

    religius yang tertinggi ini. Tiga orang yang menurut Fowler bisa mencapai tahap ini

    adalah Mahatma Gandhi, Bunda Theresa dan Martin Luther King, Jr.

    Peneliti mengemukakan bahwa agama memiliki sejumlah dampak positif bagi remaja

    (Santrock, 2007). Dalam pembagian tahap perkembangan manusia, maka masa remaja

  • 7/25/2019 KONFLIK_INTRAPERSONAL_DALAM_MEMELUK_AGAM.pdf

    9/23

    9

    menduduki masa progresif. Perkembangan agama pada masa remaja ditandai oleh beberapa

    faktor perkembangan rohani dan jasmaninya. Perkembangan itu antara lain menurut Starbuck

    (Jalaluddin, 2010) adalah:

    1.

    Pertumbuhan pikiran dan mental

    Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari masa kanak-kanaknya

    sudah tidak begitu menarik bagi mereka. Sifat kritis terhadap ajaran agama pada

    masa ini mulai timbul, selain masalah kebudayaan, social, ekonomi dan norma

    kehidupan lainnya. Hasil penelitian Allport, Gillesphy dan Young menujukkan 85%

    remaja Katolik Romawi tetap taat menganut ajaran agamanya sedangkan 40%

    remaja Protestan tetap taat pada ajaran agamanya.

    Dari hasil ini dinyatakan bahwa agama yang ajarannya bersifat lebih konservatif

    lebih banyak berpengaruh bagi para remaja untuk tetap taat pada ajaran agamanya.

    Sebaliknya agama yang ajarannya kurang koservatif, dogmatis dan agak liberal akan

    mudah merangsang pengembangan pikiran dan mental para remaja, sehingga mereka

    banyak menginggalkan ajaran agamanya. Hal ini menunjukkan bahwa

    perkambangan pikiran dan mental remaja mempengaruhi sikap keagamaan mereka.

    2. Perkembangan perasaan

    Perasaan sosial, etis dan estetis mendorong remaja untuk menghayati perikehidupan

    yang terbiasa dalam lingkungannya. Kehidupan religius akan cenderung mendorong

    dirinya lebih dekat ke arah hidup yang religius pula. Sebaliknya remaja yang kurang

    mendapat pendidikan dan siraman ajaran agama akan lebih mudah didominasi

    dorongan seksual yang mana pada masa ini merupakan masa kematangan seksual. s

    3.

    Pertimbangan sosial

    Corak keagamaan pada remaja juga ditandai oleh adanya pertimbangan sosial.

    Dalam kehidupan keagamaan mereka akan timbul konflik antara pertimbangan

    moral dan material, dimana remaja sangat bingung menentukan pilihan itu. Karena

    kehidupan duniawi dipengaruhi oleh kepentingan akan materi, maka para remaja

    jiwanya cenderung bersifat materialistis.

    4.

    Perkembangan Moral

    Perkembangan moral pada remaja berititik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk

    mencari proteksi. Tipe moral yang terlihat pada remaja biasanya meliputi :

    1. Self-directive, taat terhadap agama atau moral berdasarkan pertimbangan

    pribadi2.Adaptive, mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik

  • 7/25/2019 KONFLIK_INTRAPERSONAL_DALAM_MEMELUK_AGAM.pdf

    10/23

    10

    3. Submissive, merasakan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan agama

    4. Unadjusted, belum meyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral

    5.Deviant, menolak dasar dan hukum keagamaan serta tatanan moral masyarakat

    5.

    Sikap & minat

    Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagmaaan boleh dikatakan sangat kecil

    dan hal ini tergantung dari kebiasaan masa kecil serta lingkungan agama yang

    mempengaruhi mereka.

    6. Ibadah

    Berdasarkan kesimpulan Ross dan Oskar Kupky (Jalaluddin, 2010) didapatkan

    bahwa hanya sekitar 17% remaja yang mengatakan bahwa ibadah bermanfaat untuk

    berkomunikasi dengan Tuhan, sedangkan 26% diantaranya menganggap bahwa

    ibadah hanyalah media untuk bermeditasi.

    E. Faktor Peneyebab Keraguan Beragama pada Remaja

    Hasil penelitian Starbuck (Jalaluddin, 2010) terhadap mahasiswa Middleburg College,

    disimpulkan bahwa dari remaja berusia 11-26 tahun terdapat 53% dari 142 mahasiswa yang

    mengalami konflik dan keraguan tentang ajaran agama yang mereka terima, cara penerapan,

    keadaaan lembaga keagamaan, dan para pemuka agama. Hal yang serupa ditemukan ketika ia

    meneliti hal yang sama terhadap 95 mahasiswa, dimana 75% diantaranya mengalami konflik

    dan keraguan tentang ajaran agama yang mereka terima.

    Analisis penelitian Starbuck (Jalaluddin, 2010) menjelaskan bahwa penyebab

    timbulnya konflik dan keraguan itu antara lain adalah faktor :

    1. Kepribadian yang menyangkut salah tafsir dan jenis kelamin

    a.

    Kepribadian mempengaruhi penafsiran seseorang mengenai kondisi

    keagamaannya akan sifat Tuhan dan agamanya itu sendiri.

    b. Perbedaan jenis kelamin dan kematangan merupakan faktor yang menentukan

    dalam keraguan agama. Wanita yang lebih cepat matang dalam perkembangannya

    lebih cepat menunjukkan keraguan daripada remaja pria. Tapi sebaliknya, dalam

    kualitas dan kuatintas keraguan remaja putri lebih kecil jumlahnya. Disamping

    itu, keraguan wanita lebih bersifat alami, sedangkan pria bersifat intelek.

    2. Kesalahan organisasi keagamaan dan pemuka agama

    Ada berbagai lembaga keagamaan, organisasi, aliran kepercayaan yang kadang-

    kadang menimbulkan kesan adanya pertentangan dalam ajarannya. Pengaruh ini

    dapat menjadi penyebab timbulnya keraguan pada remaja. Demikian pula tindak-tanduk pemuka agama yang tidak sepenuhnya menuruti tuntutan agama.

  • 7/25/2019 KONFLIK_INTRAPERSONAL_DALAM_MEMELUK_AGAM.pdf

    11/23

    11

    3. Pernyataan kebutuhan manusia

    Manusia memiliki sifat senang dengan yang sudah ada, namun memiliki

    dorongan rasa keingintahuan. Berdasarkan faktor bawaan ini maka keraguan

    memang harus ada pada diri manusia, karena hal itu merupakan pernyataan dari

    kebutuhan manusia normal. Ia terdorong untuk mempelajari ajaran agama dan kalau

    ada perbedaan-perbedaan yang kurang sejalan dengan apa yangtelah dimilikinya

    akan timbul keraguan.

    4. Kebiasaan

    Seseorang yang terbiasa akan suatu tradisi keagamaan yang dianutnya akan ragu

    menerima kebenaran ajaran yang baru diterimanya atau dilihatnya.

    5. Pendidikan

    Dasar pengetahuan yang dimiliki seseorang serta tingkat pendidikan yang

    dimilikinya akan mempengaruhi sikapnya terhadap ajaran agama. Remaja yang

    terpelajar akan lebih kritis terhadap agamanya, terutama yang banyak mengandung

    ajaran yang berisfat dogamatis.

    6.

    Percampuran antara agama dan mistis

    Para remaja merasa ragu untuk menentukan antara unsur agama dengan mistik.

    Sejalan dengan perkembangan masyarakat kadang-kadang secara tak disadari tindak

    keagamaan yang mereka lakukan ditopang oleh praktik kebatinan dan mistik.

    Penyatuan unsur ini merupakan suatu dilemma yang kabur bagi para remaja.

    Selanjutnya, menurut Jalaluddin (2010) secara individu sering pula terjadi keraguan

    yang disebabkan beberapa hal antara lain mengenai : (1) Kepercayaan, menyangkut masalah

    ke-Tuhanan dan implikasinya terutama (dalam agama Kristen) status ke-Tuhanan sebagai

    Trinitas. (2) Tempat suci, menyangkut masalah pemuliaan dan pengagungan tempat-tempat

    suci agama. (3) Alat perlengkapan keagaamaan, seperti fungsi salib dan rosario dalam

    Kristen. (4) Fungsi dan tugas staf dalam lembaga keagamaan. (5) Pemuka agama, biarawan &

    biarawati. (6) Perbedaab aliran dalam keagamaan, sekte (dalam agama Kristen) atau mazhab

    (Islam)

    Keragu-raguan yang demikian akan menjurus ke arah munculnya konflik keagamaan

    dalam diri para remaja, sehingga mereka dihadapkan kepada pemilihan antara mana yang

    baik dan yang buruk, serta antara yang benar dan salah. Konflik keagamaan ini ada beberapa

    macam, diantaranya : (1) Konflik keagamaan yang terjadi antara percaya dan ragu. (2)

    Konflik keagamaan yang terjadi antara pemilihan satu di antara dua macam agama atau idekeagamaan serta lembaga keagamaan. (3) Konflik keagamaan yang terjadi oleh pemilihan

  • 7/25/2019 KONFLIK_INTRAPERSONAL_DALAM_MEMELUK_AGAM.pdf

    12/23

    12

    antara ketaatan beragama atau sekularisme. (4) Konflik keagamaan yang terjadi antara

    melepaskan kebiasaan masa lalau dengan kehidupan keagamaan yang didasarkan atas

    petunjuk Ilahi

    METODE PENELITIAN

    Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian

    kualitatif. Model pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

    fenomenologi.

    Adapun subjek penelitian yang terlibat dalam penelitian ini sebanyak empat orang.

    Yaitu remaja dengan orang tua yang berbeda agama, berusia antara 19-23 tahun, berada

    dalam masa remaja akhir, serta sedang menempuh pendidikan Strata 1.Teknik pengumpulan

    data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan sumber data primer dan

    sekunder. Sumber data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada

    peneliti, seperti data hasil wawancara yang diperoleh melalui wawancara langsung dengan

    dijadikan subyek dalam penelitian dan dengan melakukan observasi langsung. Sedangkan

    sumber data sekunder di sini bisa diperoleh dari wawancara dengan narasumber pendukung

    yang dapat berasal dari orang terdekat subjek penelitian seperti orang tua, saudara atau teman

    dekat. Selain itu sumber data sekunder juga bisa berupa dokumentasi yang diperoleh ketika

    melakukan penelitian.

    Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis

    data kualitatif menurut Moustakas yang terdiri dari beberapa tahapan. Tahapan dalam anlisis

    data penelitian ini adalah : (1) Transkrip, (2) Horisonalisasi, (3) Thematic Portrayal, (4)

    Mentranskripkan data secara individual, yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu Individual

    textural description dan individual structural description. (5) Composite, penggabungan

    deskripsi dari masing-masing subjek menjadi satu, yang terdiri dari dua bagian composite

    texturaldescriptiondan composite structural description. (6) Sintesis, menganalisis data hasil

    deskripsi dikaitkan dengan teori.

    ANALISIS & HASIL

    Tabel 1. Perbandingan hasil penelitian keempat subyek

    Dimensi Hasil

    MG IG IE RA

    Agama orang tua

    (A/I)

    Islam / Katolik Kristen / Islam Islam / Katolik Katolik / Islam

    Agama subyek

    (dulu / saat ini)

    Katolik --> Islam Islam Katolik --> Islam Katolik --> Islam

  • 7/25/2019 KONFLIK_INTRAPERSONAL_DALAM_MEMELUK_AGAM.pdf

    13/23

    13

    Keluarga demokratis, modern,orang tua memiliki

    latar belakangpendidikan yang

    baik, cukup terbuka

    Ibu sangat dominan,modern

    Ayah lebihdominan, sering

    terjadi pertengkaran

    Ibu dominan, ayahkaku & agak kolotkarena pendidikan

    yang rendah

    Pengaruh agama

    orang tua didalam keluarga

    Ayah = Ibu Ayah < Ibu Ayah > Ibu Ayah < Ibu

    Pendidikan

    agama dari

    orang tua

    Ibu (Katolik), tapi dulusaat memeluk Katolik.

    Sekarang setelahmemeluk islam Ayah

    tetap pasif

    Ibu (Islam) Tidak pernah Ibu, baik Katolik /Islam, Ibu selalu

    berperan lebih besar

    Intensitas ibadah Jarang Kadang-kadang Jarang Sering

    Toleransi Tinggi Tinggi Tinggi Biasa

    Kepribadian Terbuka, keraskepala

    Terbuka, santai /cuek

    Terbuka, ceplas-ceplos

    Agak tertutup, lebihberhati2

    Religiusitas

    subyek

    Rendah Sedang Rendah Tinggi

    Kenyamanan

    dengan agama

    Katolik Islam Tidak yakin Islam

    Faktor yang

    membuat ragu

    dalam memeluk

    agama

    kesalahan pemukaagama, ajaran,

    budaya

    - Kurangnyapendidikan agama,

    aturan ibadah,perbedaan aliran

    agama

    Eksistensi Tuhan,perbedaan ajaran &

    keyakinan antaraagama baru & lama

    Konversi agama Ya Tidak Ya Ya

    Tipe perk moral Submissive Adaptive Submissive Submissive Self

    directive

    Konflik

    keagamaan

    Katolik VS Islam |Kebiasaan masa lalu

    VS saat ini

    Percaya VS Ragu Katolik VS Islam |Kebiasaan masa lalu

    VS saat ini

    Konflik

    Intrapersonal

    approach VS

    avoidance | approach

    VS approach

    - approach VS

    avoidance

    approach vs

    avoidance

    Dampak pd

    kehidupan

    skeptis terhadapagama saat ini,

    sangat kritis, seringterlibat pertengkaran

    dengan org lainmengenai agama

    Merasa cemasdengan kondisi

    agama & kehidupanmasa depannya

    karena pendidikanagama yang minim

    dari orang tua

    lebih kritis &berusaha mendalami

    agamanya saat inidengan sering

    berdialog denganguru spiritualnya

    DISKUSI

    Berdasarkan teori Fowler mengenai enam tahap perkembangan religius yang berkaitan

    dengan teori perkembangan Erikson, Piaget dan Kohlber, disimpulkan bahwa keempat

    subyek saat ini tengah berada pada tahap Iman individuatif-reflektif atau individuative-

    reflective faith (transisi masa remaja dan masa dewasa, dewasa awal). Menurut Fowler

    ditahap ini untuk pertama kalinya individu mampu sepenuhnya bertanggung jawab terhadap

    kondisi religiusnya.

    Individu mulai dihadapkan pada keputusan-keputusan seperti: Apakah saya sebaiknya

    mendahulukan kepentingan saya sendiri atau mempertimbangkan kesejahteraan orang lain terlebih

  • 7/25/2019 KONFLIK_INTRAPERSONAL_DALAM_MEMELUK_AGAM.pdf

    14/23

    14

    dahulu? atau Apakah doktrin agama yang diajarkan kepada saya itu bersifat mutlak atau relatif

    sesuai dengan keyakinan saya?.Hal ini terlihat pada keempat subyek yang mulai bertanggung

    jawab pada kehidupan religiusnya. Mereka juga mulai mempertanyakan ajaran dan doktrin

    agamanya apakah sudah sesuai dengan keyakinannya. Tetapi hal ini paling jelas ditemukan

    pada MG dan RA yang sangat kritis terhadap ajaran agamanya. Dalam memeluk agamanya

    saat ini, ia biasanya tidak mau menerima mentah-mentah entah itu doktrin ataupun fatwa

    yang dihadapkan padanya. Hal ini membuat MG terkadang dianggap keras kepala oleh

    orang-orang sekitarnya.

    Perkembangan agama pada masa remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangan

    rohani dan jasmaninya. Perkembangan itu antara lain menurut Starbuck (Jalaluddin, 2010)

    adalah:

    1.

    Pertumbuhan pikiran dan mental.

    Hal ini terlihat di dalam perbandingan antara keluarga MG dengan keluarga RA. Di

    dalam keluarga MG yang lebih liberal dan mengedepankan keterbukaan dan toleransi

    yang tinggi dengan agama lain pada akhirnya justru mendorong MG untuk semakin

    kritis terhadap ajaran agamanya. Sedangkan di dalam keluarga RA peran ibu sangat

    dominan dalam menularkan agamanya yang lebih konservatif membuat ia lebih taat

    dalam menjalankan agamanya. Suasana keagamaan yang diterapkan di dalam keluarga

    RA pada dasarnya sudah konservatif & dengan ayah yang otoriter. Baik itu dulu, saat

    semua anggota keluarga masih memeluk Katolik, atapun saat ini.

    2.

    Perkembangan perasaan

    Kehidupan religius akan cenderung mendorong dirinya lebih dekat ke arah hidup

    yang religius pula. Perkembangan perasaan ini sangat terlihat pada subyek RA, dimana

    ia mengaku sebagai individu yang religius yang akhirnya mendorong kehidupan RA ke

    arah yang religius pula, seperti menggunakan hijab, mengikuti pengajian, senang

    melakukan dialog agama dan berkonsultasi dengan pemuka agama. Sedangkan MG, IG,

    dan IE mengaku tidak religius dan belum taat dalam menjalankan agamanya.

    3.

    Pertimbangan sosial

    MG dan RA sama-sama terlibat aktif dalam komunitas keagamaannya saat masih

    memeluk Katolik. Tapi saat ini, keempat subyek memiliki kesamaan tidak lagi terlibat

    aktif dalam kegiatan komunitas keagamaan di sekitarnya. MG beralasan bahwa ia

    merasa banyak menemukan ketidakcocokan dengan komunitas agama Islam yang

    terkesan mengeksklusifkan karena membatasi interaksi dengan mereka yang non-muslim.

  • 7/25/2019 KONFLIK_INTRAPERSONAL_DALAM_MEMELUK_AGAM.pdf

    15/23

    15

    4. Perkembangan Moral

    Perkembangan moral pada remaja berititik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk

    mencari proteksi. Tipe moral yang terlihat pada keempat subyek ialah :

    a. Self-directive, taat terhadap agama atau moral berdasarkan pertimbangan pribadi.

    Tiper perkembangan ini terlihat pada kondisi keagamaan RA saat ini. RA

    memutuskan untuk semakin taat dalam menjalankan ibadah dan agamanya karena

    pertimbangan pribadi.

    b.Adaptive, mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik. Tipe

    perkembangan moral ini terlihat pada subyek IG dimana ia lebih suka mengikuti

    alur kehidupan beragama di lingkungan sekitarnya, cenderung menjauhi konflik

    dan jarang mengadakan kritik.

    c. Submissive, merasakan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan agama. RA

    meski berusaha taat dalam menjalankan agamanya, masih sering menemukan

    beberapa hal keraguan di dalam agamanya yang kemudian muncul menjadi

    pertanyaan-pertanyaan baru terhadap suatu ajaran agama di dalam Islam. IE juga

    berada pada tipe perkembangan moral ini karena ia mengakui adanya keraguan

    terhadap ajaran moral & agamnya, apakah sudah benar atau belum.Tipe moral ini

    juga paling terlihat pada subyek MG yang seringkali tampak terang-terangan

    menujukkan ketidakyakinan bahkan ketidaksetujuannya pada beberapa ajaran

    agama Islam yang ia anggap tidak cocok dengan pola pikirnya. Beberapa

    kebiasaan atau budaya dalam lingkup agamanya saat ini di dalam masyarakat

    juga tidak sedikit yang dinilai MG tidak masuk akal karena terlalu banyak

    melarang dan dianggap kurang bertoleransi terhadap agama lain.

    5. Sikap & minat

    Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaaan boleh dikatakan sangat kecil

    dan hal ini tergantung dari kebiasaan masa kecil serta lingkungan agama yang

    memperngaruhi mereka. MG, IE, dan RA adalah tiga subyek yang dari kecil dibesarkan

    dengan agama yang berbeda dengan yang ia peluk saat ini. Mereka bertiga dididik oleh

    ibunya dengan agama yang berbeda dengan yang mereka peluk saat ini. Mereka

    mengakui merasakan kondisi yang cukup memberatkan terlebih lagi ketika baru saja

    melakukan konversi agama.

    Keempat subyek menujukkan sikap dan minat yang berbeda dalam memeluk agama.

    Sejak kecil MG terbiasa dan nyaman dengan kehidupan Katolik mengikuti ibunya,sehingga saat MG menunjukkan minatnya terhadap agama Katolik karena ia sudah

  • 7/25/2019 KONFLIK_INTRAPERSONAL_DALAM_MEMELUK_AGAM.pdf

    16/23

    16

    terbiasa dan merasakan kococokan terhadap ajaran yang ada di dalam Katolik.. RA

    sama seperti MG, pada awalnya terbiasa dan nyaman dengan kehidupan Katolik

    mengikuti ibunya. Hal ini membuat RA cukup kesulitan dalam beradaptasi dengan

    budaya dan kehidupannya yang baru sebagai seorang Muslim. Namun dengan

    lingkungan agama Islamnya yang lebih kuat, serta ketertarikannya pada ajaran Islam,

    menyebabkann RA sudah mulai menggeser keyakinan dan kenyamanannya menuju

    pada Islam.

    Sedangkan untuk IG, satu-satunya subyek yang memeluk agama yang sama sejak ia

    lahir sikap dan minatnya dalam memeluk agama hanya ia tujukan kepada agamanya

    saat ini yaitu Islam, tanpa ada pertimbangan untuk memeluk agama lain sama sekali.

    6. Ibadah

    Berdasarkan kesimpulan Ross dan Oskar Kupky, didapatkan bahwa hanya sekitar

    17% remaja yang mengatakan bahwa ibadah bermanfaat untuk berkomunikasi dengan

    Tuhan. Perkembangan ibadah ini paling terlihat pada RA, dimana ia menjadi satu-

    satunya subyek yang sungguh-sungguh berpendapat bahwa ibadah adalah salah satu

    sarana untuk berkomunikasi dengan Tuhan.

    Beberapa faktor yang menjadi penyebab timbulnya konflik dan keraguan itu antara lain

    adalah:

    1.

    Kepribadian yang menyangkut salah tafsir dan jenis kelamin

    Kepribadian mempengaruhi penafsiran seseorang mengenai kondisi keagamaannya

    akan sifat Tuhan dan agamanya itu sendiri. MG merupakan pribadi yang keras kepala

    dalam mempertahankan pendapatnya, ia juga sering terlibat perdebatan dengan orang

    lain mengenai pandangan terhadap aturan atau ajaran di dalam agamanya. Ia juga

    memiliki toleransi tinggi terhadap perbedaan agama orang-orang disekitarnya.

    2. Kesalahan organisasi keagamaan dan pemuka agama

    Keraguan yang dialami MG dan RA salah satunya disebabkan oleh kesalahan

    pemuka agama dalam menerangkan ataupun memberi jalan dalam menjelaskan aturan,

    ajaran di dalam agama mereka.

    Ketika RA mempertanyakan eksistensi Tuhan dan Trinitas ajaran agama Katolik, ia

    merasa tidak puas dengan jawaban yang diajukan Romonya, karena tidak menjelaskan

    hal tersebut dengan penjelasan yang bisa RA mengerti. Lalu saat RA sudah memeluk

    agama Islampun, ia masih sangat kritis terhadap ajaran dan aturan agama Islam,

    mengenai muhrim, ibadah dsb. Tetapi pada tahap ini ia bertemu dengan sosok pemukaagama (ustad dalam keluarganya) yang ia anggap bisa memberikan jawaban-jawaban

  • 7/25/2019 KONFLIK_INTRAPERSONAL_DALAM_MEMELUK_AGAM.pdf

    17/23

    17

    yang bisa ia terima atas pertanyaan-pertanyaannya selama ini yang menyebabkan

    keraguan RA dalam memeluk agamma mulai berkurang.

    Sedangkan MG yang juga memiliki banyak pertanyaan mengenai agamanya, tidak

    memiliki panutan dalam melakukan dialog agama untuk menjawab pertanyaanya,

    sehingga keraguan yang tidak terjawab ini, justru semakin memperbesar konflik yang

    MG alami dalam memeluk agama.

    3.

    Pernyataan kebutuhan manusia

    Keraguan memang harus ada pada diri manusia, karena hal itu merupakan

    pernyataan dari kebutuhan manusia normal. Ia terdorong untuk mempelajari ajaran

    agama dan kalau ada perbedaan-perbedaan yang kurang sejalan dengan apa yang telah

    dimilikinya akan timbul keraguan.

    MG menemukan banyak hal yang tidak sejalan dengan pikirannya pada ajaran Islam,

    ia juga mengakui lebih nyaman dalam memeluk Katolik. Sedangkan IE pernah terbesit

    untuk mencari tahu mana agama yang paling baik untuk dirinya agar ia memiliki

    pegangan hidup. Lalu RA juga berusaha mencari tahu mana agama yang terbaik

    untuknya dengan cara membandingkan agama yang ia peluk sebelumnya dan saat ini

    untuk menemukan kenyamanan dan terjawabnya semua pertanyaan yang ia miliki

    dalam memeluk agama.

    4.

    Kebiasaan

    Seseorang yang terbiasa akan suatu tradisi keagamaan yang dianutnya akan ragu

    menerima kebenaran ajaran yang baru diterimanya atau dilihatnya. MG, IE dan RA

    memiliki kesamaan yaitu sama-sama pernah memeluk agama Katolik sejak kecil, lalu

    melakukan konversi agama hingga akhirnya memeluk agama Islam seperti sekarang.

    Mereka bertiga merasakan perubahan kebiasaan dan ritual ibadah yang dirasa

    memberatka, terutama untuk MG dan RA. RA juga menceritakan bahwa ia memiliki

    begitu banyak pertanyaan mengenai agama barunya ketika melakukan konversi agama.

    5. Pendidikan

    Dasar pengetahuan yang dimiliki seseorang serta tingkat pendidikan yang

    dimilikinya akan mempengaruhi sikapnya terhadap ajaran agama. Remaja yang

    terpelajar akan lebih kritis terhadap agamanya, terutama yang banyak mengandung

    ajaran yang berisfat dogamatis. Dari keempat subyek, MG adalah remaja yang terlihat

    paling aktif dan cerdas diantara lainnya. Karena itulah, pola pikir MG jauh lebih kritis

    terhadap ajaran agama yang ia terima di sekitar lingkungannya. Terlebih lagi mengenai

  • 7/25/2019 KONFLIK_INTRAPERSONAL_DALAM_MEMELUK_AGAM.pdf

    18/23

    18

    aturan serta fatwa-fatwa yang MG anggap tidak masuk akal dan mengganggu

    kehidupan beragama antar manusia.

    Konflik intrapersonal adalah konflik personal atau konflik diri yang terjadi dalam diri

    seseorang individu karena harus memilih dari sejumlah alternatif pilihan yang ada (Wirawan,

    2010). Konflik intrapersonal terjadi bila pada waktu yang sama seseorang memiliki dua

    keinginan yang tidak mungkin dipenuhi sekaligus dan bimbang mana yang harus dipilih.

    edua pilihan yang ada sama-sama memiliki akibat yang seimbang.

    Sedangkan konflik keagamaan yang dialami subyek, diantaranya:

    a. Konflik yang terjadi antara percaya dan ragu yang dialami subyek IE.

    b.

    Konflik yang terjadi antara pemilihan satu di antara dua macam agama atau ide

    keagamaan serta lembaga keagamaan yang dialami subyek MG.

    c. Konflik yang terjadi antara melepaskan kebiasaan masa lalu dengan kehidupan

    keagamaan yang didasarkan atas petunjuk Ilahi. Konflik yang dialami oleh RA dan

    MG, dimana ia harus beradaptasi dengan agama dan kebiasaan barunya setelah ia

    melakukan konversi agama dari Katolik menjadi Islam. Mereka berusaha untuk

    melepaskan masa lalunya dan menerima kehidupan keagamaan yang baru.

    Bentuk konflik intrapersonal dalam memeluk agama yang dialami subyek berdasarkan

    bentuk konflik menurut Lewin (Sarwono, 2002) adalah :

    a.

    MG.

    Konflik mendekat-mendekat (approach to approach conflict). Konflik yang terjadi

    karena dua kebutuhan bervalensi positif yang muncul bersamaan. Konflik intrapersonal

    mendekat-mendekat yang dialami MG berada pada ranah konflik keagamaan diantara

    pemilihan satu di antara dua macam agama atau ide keagaman. Baik itu agamannya

    yang lama, yaitu agama Katolik, maupun agamanya saat ini yaitu Islam, keduanya

    masing-masing memiliki valensi positif.

    Konflik intrapersonal lain yang MG alami adalah, mengenai konfik antar

    melepaskan kebiasaan masa lalu dan membiasakan diri dengan kebiasaan agama saat

    ini. Konflik ini adalah konflik mendekat-menghindar (approach-avoidance conflict)

    dimana kebiasaan agama lama adalah valensi negatif, sementara kebiasaan baru adalah

    valensi positif. Meski sudah memeluk agama Islam sejak SMP, tapi MG seringkali

    masih membanding-bandingkan ajaran agama Katolik yang dulu ia peluk yang ia

    anggap sangat penuh cinta kasih dibandingkan dengan ajaran agama Islam yang saat ini

    ia anut.

  • 7/25/2019 KONFLIK_INTRAPERSONAL_DALAM_MEMELUK_AGAM.pdf

    19/23

    19

    Pada konflik yang dialami MG, banyaknya ajaran dalam Islam yang tidak cocok

    untuknya menjadi kekuatan pendorong untuk memunculkan keraguan dalam memeluk

    agama yang ia alami. Namun, rasa bersalah dan tidak enak kepada orang tuanya

    menjadi vector penghambat MG untuk melakukan konversi agama (lagi) menjadi

    Katolik. Dimana kekuatan kebutuhan pribadi MG akan rasa nyaman dengan agama

    Katolik mendorongnya untuk melakukan sesuatu, tapi pada akhirnya ditekan oleh

    adanya kekuatan pengaruh dari orang tuanya, dalam hal ini Ibunya, agar MG memeluk

    agama Islam. Selain itu rasa yakin MG bahwa agama Islam sebenarnya adalah agama

    yang paling benar dalam cara yang tidak bisa ia jelaskan meski banyak hal di dalam

    Islam yang tidak ia setujui, menunjukkan adanya Impersonal force (kekuatan non

    manusia) yang ikut di dalam konflik intrapersonal yang MG alami. Sehingga pada saat

    yang sama MG dihadapkan pada dua valensi berbeda yang menimbulkan ketegangan

    karena terjadi saling tarik menarik antara kedua hal tersebut.

    b. IE

    Konflik mendekat-menghindar (approach to avoidance conflict). Konflik yang

    terjadi karena seseorang berada dimana ia tertarik dan menolak tujuan yang sama arena

    mengalami valensi positif dan negative pada saat yang sama.

    IE mengalami konflik intrapersonal mendekat-menghindar, sehubungan diantara

    perasaan ingin memeluk agama Islam dan menjalani sepenuhnya namun juga berusaha

    menjaga perasaan ibunya yang berbeda agama. Ingin mempelajari agama Islam dengan

    lebih baik adalah valensi positif di tengah konflik yang tengah IE alami. Sedangkan

    keengganannya terhadap reaksi ibunya yang berbeda agama adalah valensi negatif.

    Sehingga pada saat yang sama IG dihadapkan pada dua valensi berbeda yang

    menimbulkan ketegangan karena terjadi saling tarik menarik antara kedua hal tersebut.

    Kondisi ini menyebabkan IE menjadi enggan untuk mendalami Islam dengan lebih

    baik, hanya mengikuti arus kehidupannya tanpa melakukan upaya terhadap kondisinya

    saat. ini.

    Kasus IE, yang menjadi kekuatan pendorong yang paling utama adalah

    ketidakharmonisan kedua orangtuanya mengenai toleransi kehidupan beragama di

    dalam keluarga. Sedangkan kekuatan kebutuhan pribadi IE kepada ajaran dan

    keinginan memeluk agama yang benar untuk dirinya membuat ia ingin melakukan

    sesuatu terhadap kondisi agamanya yang tidak jelas.

    IE ingin mendalami agama yang ia peluk saat ini secara utuh dan benar. Ia pernahmencoba untuk menujukkan identitas dan niatnya sebagai Muslim dengan mencoba

  • 7/25/2019 KONFLIK_INTRAPERSONAL_DALAM_MEMELUK_AGAM.pdf

    20/23

    20

    menggunakan jilbab. Namun hal ini harus terhambat disebabkan kekuatan penghambat

    berkenaan dengan perasaan bersalah IE kepada ibunya jika ia nantinya berusaha

    memahami atau memeluk Islam secara seutuhnya. Ditambah lagi adanya kekuatan

    pengaruh dari ibunya yang menujukkan ketidaksetujuan pada IE untuk menggunakan

    jilbab yang akhirnya menyebabkan IE merasa mengalami konflik antara ingin menjadi

    Muslim dengan benar dan menuruti serta menjaga perasaan ibunya.

    Konflik intrapersonal lain yang ia alami adalah konflik antara percaya dan ragu

    terhadap ajaran agamanya. Pada konflik ini, IE juga mengalami konflik mendekat-

    menghindar. Valensi positif di sini adalah rasa percaya terhadap ajaran agama,

    sedangkan keraguan bertindak sebagai valensi negative.

    IE sering bertanya pada dirinya sendiri apakah agama yang ia peluk sudah benar.

    Apakah yang ia lakukan sudah benar. Namun tidak berusaha mencari tahu dan

    mendalami agamanya dengan lebih baik lagi karena takut menyakiti hati ibunya. Hal ini

    menyebabkan IE cukup terganggu dengan konflik yang ia alami. IE juga sering merasa

    gamblang dan tidak memiliki pegangan hidup, hingga merasa cemas dengan masa

    depannya.

    Keinginan IE yang ingin memahami agamanya dengan sungguh-sungguh dalam

    memeluk agama di sini sebagai kekuatan pendorong IE untuk memahami ajaran

    agamanya dengan baik dan benar. Namun minimnya pendidikan agama yang diberikan

    oleh orang tuanya sejak kecil, terutama ayahnya yang seagama dengan IE namun dirasa

    tidak pernah memberikan pendidikan agama sama sekali kepada IE menjadi kekuatan

    peghambat dan kekuatan pengaruh, sehingga IE tidak bisa belajar untuk mendalami

    agama yang ia peluk dengan lebih baik lagi. Yang akhirnya mendorong munculnya

    konflik intrapersonal antara percaya dan ragu terhadap ajaran agama yang ia peluk.

    c. RA

    Konflik intrapersonal mendekat-menjauh (approach-avoidance) yang dialami RA

    berada pada ranah konflik keagamaan dimana ia berusaha melepaskan kebiasaan masa

    lalunya dengan kehidupan beragamanya yang baru, yang saat ini RA anggap sebagai

    agama yang paling sempurna. RA harus membiasakan diri dengan susah payah setelah

    ia melakukan konversi agama dari Katolik menjadi Islam. Beradaptasi dan menerima

    agama barunya adalah valensi positif, sedangkan membiasakan diri untuk terlepas dari

    kebiasaan lama hidup beragamanya adalah valensi negative, sehingga kondisi ini

    disebut konflik intrapersonal mendekat-menjauh.

  • 7/25/2019 KONFLIK_INTRAPERSONAL_DALAM_MEMELUK_AGAM.pdf

    21/23

    21

    Kekuatan pendorong pada konflik intrapersonal yang dialami RA adalah adanya

    konversi agama yang dilakukan ibunya setelah melakukan perceraian, untuk kembali

    memeluk agama Islam. Namun ketaatannya pada agamanya yang lama, juga menjadi

    kekuatan penghambat karena membuat RA merasa kesulitan untuk menyesuaikan diri

    dengan ajaran dan aturan agama yang baru di dalam Islam, terlebih lagi mengenai

    pelaksanaan ibadah. Kekuatan kebutuhan pada RA adalah keinginan untuk memeluk

    agama dengan baik dan sempurna, karena pada dasarnya dia adalah remaja yang taat.

    Lalu ketaatan dan kereligiusan sosok ibu dalam memeluk agama Islam, serta adanya

    tokoh agama Islam yang dianggap sebagai guru spiritual di dalam keluarga, menjadi

    kekuatan pengaruh pada konflik RA yang akhirnya semakin mendorong RA untuk terus

    beradaptasi dan lebih mendalami ajaran agamanya yang baru sebagai muslim yang taat.

    KESIMPULAN

    Hasil penelitian menujukkan bahwa tiga diantara empat subyek mengalami konflik

    intrapersonal dalam memeluk agama karena dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti adanya

    konversi agama, pendidikan agama yang diberikan oleh orang tua, serta peran orang tua yang

    berjenis kelamin sama. Konflik intrapersonal yang dialami para subyek penelitian berada

    dalam wilayah kehidupan yang berbeda-beda. Tipe-tipe konflik intrapersonal yang dialami

    ketiga subyek mencakup konflik mendekat-menjauh dan konflik mendekat-mendekat.

    Remaja yang memiliki salah satu orang tua yang cenderung lebih konservatif dalam

    menjalankan dan mengajarkan agamanya, berpengaruh pada mereka untuk lebih tetap taat

    pada ajaran agamanya serta meminimalisir munculnya konflik intrapersonal dalam memeluk

    agama. Kondisi perkembangan jiwa keagamaan remaja juga sangat dipengaruhi oleh peran

    orang tua yang berjenis kelamin sama di dalam hidup mereka. Remaja yang pernah

    melakukan konversi agama mengalami konflik intrapersonal yang lebih besar daripada

    subyek yang hanya memeluk satu agama sejak kecil tanpa pernah melakukan konversi

    agama. Keempat subyek yang dibesarkan dengan dua lingkungan beragama yang berbeda

    membentuk mereka menjadi individu yang sangat bertoleransi terhadap agama lain di dalam

    kehidupan sehari-hari.

    SARAN

    Pasangan yang memutuskan untuk melakukan pernikahan berbeda agama diharapkan

    mendiskusikan mengenai keputusan beragama anak-anak mereka sedini mungkin. Sebaiknya

    anak hanya memeluk salah satu agama orang tua sejak kecil. Orang tua juga sebaiknya

    memberikan pendidikan agama kepada anak mereka sejak dini dari satu pihak orang tua saja

  • 7/25/2019 KONFLIK_INTRAPERSONAL_DALAM_MEMELUK_AGAM.pdf

    22/23

    22

    baik itu untuk ritual, kebiasaan, dan ajaran-ajaran yang diberikan orang tua tentang agama

    mereka agar tidak semakin menimbulkan keraguan dan konflik dalam memeluk agama.

    Jika di tengah jalan anak dari pasangan berbeda agama akhirnya melakukan konversi

    agama mengikuti agama orang tuanya yang lain atau agama yang sama sekali baru.

    Sebaiknya dalam memeluk agamanya yang baru, para remaja ini mendapat pengetahuan yang

    baik dan jelas yang bisa menjawab keraguan dan pertanyaan-pertanyaan mereka tentang

    agama yang baru dengan didampingi oleh guru / panutan / tokoh agama hingga mendapat

    perhatian penuh dari salah satu orang tua untuk mengurangi keraguan dan konflik dalam

    memeluk agama.

    DAFTAR PUSTAKA

    Alatas, Z. (2007). Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Setelah Berlakunya Undang-

    Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Di Kabupaten Semarang. Thesis.

    Universitas Diponegoro Semarang.

    Belina, L. S.(2007). Konflik Moral pada Anak Pasangan Beda Agama, Studi Kasus pada

    Anak Pasangan Islam-Nasrani.Skripsi. Universitas Indonesia.

    Chariri, A. (2009). Landasan Filsafat Dan Metode Penelitian Kualitatif. Paper. Universitas

    Diponegoro.

    Collone, S., Rika E. (2005). Gambaran Tipe-Tipe Konflik Intrapersonal ditinjau dari Identitas

    Gender.Jurnal Psikologia Universitas Sumatera Utara, 1, 2, 96-104.

    Daradjat, Z. (2003).Ilmu Jiwa Agama, Cetakan ke-16. Jakarta : Bulan Bintang.

    Dewi, S. (2006). Konflik dan Resolusi Konflik dalam Memilih Agama pada Anak dari

    Pasangan Berbeda Agama. Skripsi. Universitas Gunadarma.

    Herdiansyah, H. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif: Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta :

    Salemba Humanika.

    Hurlock, E.B. (2000). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang

    Kehidupan. Jakarta: Gelora Aksara Pratama Erlangga.

    Iskandar. (2009). Metodologi Peneltiian Kualitatif: Aplikasi untuk Penelitian Pendidikan,

    Hukum, Ekonomi & Manajemen, Sosial, Humakiora, Polotik, Agama dan Filsafat.

    Jakarta: GP Press

    Jalaluddin, R. (2010). Psikologi Agama (Edisi Revisi). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

    Khotimah, K. (2006).Makna Agama Hingga Munculnya Agama Baru. Skripsi. Universitas

    Islam Negri Sultan Syarif Kasim Riau.

  • 7/25/2019 KONFLIK_INTRAPERSONAL_DALAM_MEMELUK_AGAM.pdf

    23/23

    Leeman, A. (2009). Interfaith Marriage in Islam: An Examination of the Legal Theory

    Behind the Traditional and Reformist Positions.Indiana University Journal, 84, 2, 742-

    771.

    Ningsih, N. (2008). Pengambilan Keputusan Beragama Pada Anak Dari Pasangan Beda

    Agama. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

    Novelita, M. (2011). Gambaran Konflik pada Individu yang Menikah Semarga Suku Batak

    Toba.Skripsi. Universitas Sumatera Utara.

    Nurcholis, A. ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace) Online : Dilema Nikah

    Agama dalam http://icrp-online.org/042012/post-1775.html, diakses tanggal 11 April

    2012.

    Papalia, D.E. & Olds, S.W. (2001).Human Development. 3rdEdition. New York.

    Prastiwi, N.I. (2007). Pola Asuh Anak pada Pernikahan Beda Agama. Skripsi. Universitas

    Gunadarma.

    Rinasti, F. (2006) Hubungan antara Tingkat Religiusitas dengan Subjective Well-Being

    (SWB) pada Remaja Awal. Skripsi. Universitas Gunadarma.

    Santrock, J.W. (2007).Remaja.Jakarta : Erlangga.

    Sarwono, S. (2002). Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta : Rajawali Press.

    Surbakti, M. (2009). Pemilihan Agama Pada Anak Dari Perkawinan Beda Agama: Studi

    Kasus Proses Pengambilan Keputusan Memilih Agama Di Kel.Lau Cimba Dan Padang

    Mas Kec.Kabanjahe Kab.Karo. Skripsi. Universitas Sumatera Utara.

    Satori, D. & Komariah, A. (2011).Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

    Syamhudi, H. (2009). Rumah Tangga Beda Agama, Konstruksi, Struktur Dan Relasi Antar

    Penganut Agama Dalam Keluarga Muslim Tionghoa Probolinggo Jawa Timur.

    Disertasi. PPs-IAIN Sunan Ampel.

    Tim Penulis Goethe-Institut Indonesien. Tata Nilai, Impian, Cita-Cita Pemuda Muslim di

    Asia Tenggara.www.goethe.de/indonesien/youthsurvey,di akses pada tanggal 22 Mei

    2012.

    Waruwu, F.E. (2003). Perkembangan kepribadian dan religiusitas remaja. JurnalIlmiah

    Psikologi ARKHE, 8, 1, 23-30.

    Wirawan. (2010). Konflik dan Manajemen Konflik: Teori, Aplikasi dan Penelitian. Jakarta :

    Salemba Humanika.

    Yohan, Y. Strategi Penyelesaian Konflik pada Keluarga Inti Beda Agama dalam Pemilihan

    Agama anak di Usia Remaja. Skripsi.Universitas Airlangga.

    Yusuf, S. (2001). Perkembangan Anak & Remaja.Bandung: Remaja Rosdakarya.

    http://icrp-online.org/042012/post-1775.htmlhttp://icrp-online.org/042012/post-1775.htmlhttp://icrp-online.org/042012/post-1775.htmlhttp://www.goethe.de/indonesien/youthsurveyhttp://www.goethe.de/indonesien/youthsurveyhttp://www.goethe.de/indonesien/youthsurveyhttp://www.goethe.de/indonesien/youthsurveyhttp://icrp-online.org/042012/post-1775.html