konflik agama
DESCRIPTION
konflik situbondo 1996TRANSCRIPT
![Page 1: konflik agama](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081800/5695d3801a28ab9b029e2396/html5/thumbnails/1.jpg)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara dengan penduduk yang memiliki berbagai macam suku
bangsa, budaya, dan agama. Keanekaragaman suku bangsa, budaya, dan agama ini adalah
salah satu kekayaan Negara Indonesia. Keanekaragaman ini dapat mempersatukan Indonesia
menjadi sebuah Negara, namun tidak memungkiri bahwa salah satu penyebab terjadinya
konflik sosial di Indonesia adalah karena keanekaragaman tersebut. Dalam agama juga
mengingatkan bahwa perbedaan dalam keanekaragaman merupakan kehendak Tuhan yang
Maha Esa, sehingga harus diterima dengan lapang dada dan dihargai, termasuk didalamnya
perbedaan di dalam konsepsi keagamaan.
Perbedaan dalam konsepsi agama adalah hal yang biasa terjadi antar agama yang
tidak dapat dipungkiri lagi. Perbedaan tersebut bahkan terjadi pada semua aspek agama, baik
konsepsi tentang Tuhan maupun pengaturan hidup. Keragaman agama ini memang
memberikan kontribusi positif untuk pembangunan bangsa, namun di sisi lain keragaman
agama tersebut juga dapat berpotensi menjadi sumber konflik. Hal ini dalam kenyataannya
keragaman agama cukup sering memicu konflik fisik antar umat berbeda agama.
Salah satu konflik yang bersumber dari agama adalah terjadinya kerusuhan di
Situbondo Jawa Timur pada tanggal 10 Oktober 1996. Kerusuhan tersebut berawal ketika
massa tidak puas dengan keputusan hakim terhadap terdakwa Saleh yang melakukan
penghinaan agama. Kerusuhan tersebut kemudian berlanjut dengan pengrusakan serta
pembakaran gedung Pengadilan Negeri Situbondo, Sekolah-sekolah Katolik, gereja Bethel
Indonesia Bukit Sion serta gereja-gereja lain di Besuki, Penarukan, Asembagus dan
Banyuputih. Kerusuhan tersebut merupakan rekayasa politik demi melemahkan organisasi
NU Situbondo menjelang Pemilu 1997. Hal ini terbukti dari temuan tentang kejanggalan-
kejanggalan saat kerusuhan berlangsung. Kejanggalan- kejanggalan tersebut antara lain yaitu
kasus Saleh tidak memiliki kaitan apa pun dengan umat Kristen, logat bicara massa perusuh
bukan logat khas masyarakat Situbondo, selama kerusuhan berlangsung massa sering
meneriakkan yel-yel yang berkaitan dengan NU, kerusuhan tersebut terjadi pukul l0.30 WIB
tetapi aparat keamanan baru terlihat berdatangan sekitar 16.00 WIB, serta KH Zaini Abdul
Aziz yang dianggap memiliki kaitan langsung dengan kerusuhan tidak pernah dimintai
keterangan oleh pihak aparat1.1 Repository.unej.ac.id
![Page 2: konflik agama](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081800/5695d3801a28ab9b029e2396/html5/thumbnails/2.jpg)
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana terjadinya kerusuhan di Situbondo pada tanggal 10 Oktober 1996?
2. Apakah penyebab terjadinya konflik dalam keragaman agama?
1.3. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui kronologi terjadinya kerusuhan di Situbondo pada tanggal 10
Oktober 1996.
2. Untuk mengetahui apa saja penyebab terjadinya konflik antar agama.
1.4. Manfaat Penulisan
Untuk mengetahui terjadinya kerusuhan di Situbondo pada tanggal 10 Oktober 1996 dan agar
peristiwa seperti ini tidak terulang kembali di masa depan.
BAB II
PEMBAHASAN
![Page 3: konflik agama](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081800/5695d3801a28ab9b029e2396/html5/thumbnails/3.jpg)
2.1. Kronologi Terjadinya Kerusuhan 10 Oktober 1996 di Situbondo
Sidang pengadilan Saleh, 28 tahun, yang dianggap menghina agama dan melanggar
pasal 156 A KUHP dimulai di PN Situbondo. Saleh dilaporkan oleh KH Achmad Zaini,
pimpinan pondok Nurul Hikam yang juga tetangga Saleh di Kecamatan Kapongan,
Situbondo. Sidang Saleh yang dijaga oleh 100 orang aparat dari Kodim sudah sampai pada
tuntutan jaksa. Ribuan pengunjung dari luar kotaa hadir. Mayoritas adalah Madura
pendalungan (pendatang) yang beragama Islam dan jemaah NU. Kabar akan adanya sidang
Saleh mereka dengar dari mulut ke mulut, tapi ada sumber yang menyebutkan bahwa KH
Zaini yang telah memfotokopi undangan dari PN. Selama sidang, massa tetap tenang. Jaksa
menuntut Saleh hukuman 5 tahun penjara sesuai pasal 156 A KUHP tentang penodaan
agama.
Tindakan brutal baru terjadi setelah sidang. Sebagian massa yang tak puas dengan
tuntutan jaksa dan ingin Saleh dihukum mati, mulai melempari gedung pengadilan dengan
batu. Suasana jadi kacau. Seorang petugas Kodim terkena lemparan batu. Teriakan peringatan
Komandan Kodim Letkol Imam Prawoto tidak digubris. Batu-batu terus berjatuhan setelah
ada aparat yang membalas aksi massa ini. Karena terdesak, aparat masuk ke dalam gedung.
Massa yang sudah kalap terus merangsek. Aparat dan para hakim, termasuk Erman Tanri,
ketua PN Situbondo yang keningnya luka kena lemparan batu, melarikan diri lewat sungai di
belakang gedung PN. Saleh pun diselamatkan ke arah belakang.
Entah siapa yang menyulut, ada massa yang berteriak bahwa Saleh dilarikan ke
Gereja Bukit Sion yang terletak sekitar 200 meter sebelah barat gedung PN. Isu bahwa hakim
yang mengadili ada yang Krsiten pun merebak. Massa yang marah kemudian membakar 3
mobil di depan gedung PN milik kejaksaan dan anggota Polres serta sebuah sepeda motor.
Pesawat televisi pun dibakar. Akhirnya, gedung PN pun membara. Massa pun bergerak ke
Gereja Bukit Sion. Berbekal bensin dari pom bensin di depan gereja dan dari kendaraan-
kendaraan bermotor yang dihentikan, mereka membakar gereja setelah lebih dulu menguras
isinya.
Ribuan massa yang puas dengan aksinya ini pun lalu mencari sasaran lainnya. Gereja
GPIB (Gereja Protestan Indonesia Barat) yang terletak di sebelah Polres semula akan jadi
sasaran berikutnya, tapi pembakaran gagal karena dicegah oleh petugas anti huru hara. Hanya
pagar dan papan nama gereja saja yang sempat dirusak.
Karena diblokir, massa lalu bergerak ke Jalan WR Supratman. Mereka membakar
bangunan SD dan SMP Katholik dan Gereja Maria Bintang Samudra. Gereja Krsiten Jawi
![Page 4: konflik agama](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081800/5695d3801a28ab9b029e2396/html5/thumbnails/4.jpg)
Wetan (GKJW) dan gedung TK/SD/SMP Kristen Imanuel jadi sasaran berikutnya. Massa
bergerak lagi ke arah timur. Gereja Pantekosta dan Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) di
Jalan A.Yani jadi sasaran berikutnya. Tak hanya gereja dan bangunan sekolah Kristen saja
yang diincar, rumah makan Malang dan pertokoan Tanjungsari pun tak luput dari perusakan.
Malapetaka terjadi pada sasaran berikutnya, yaitu rumah pendeta dan Gereja
Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) “Bahtera Kasih”. Di dalam rumah itu tinggal pendeta
Ishak Kristian, 71 tahun, isterinya Ribka Lena, 68 tahun, dan anaknya Elisabeth Kristian, 23
tahun. Juga keponakannya Nova Samuel dan Rita Karyawati yang sedang magang pendeta di
sana. Mereka tak berani keluar dan akhirnya terbakar di dalam rumah. Menurut Sanidin,
ketua RT 3/RW 3 Kampung Mimba’an, Desa Panji yang rumahnya bersebelahan dengan
GPPS, ketika gereja itu dibakar masyarakat tidak ada yang bisa melakukan pertolongan.
Bahkan, ketika Sanidin berusaha menyiram api yang hampir membakar rumahnya, ia
dimarahi massa. Tapi, Sanidin berkilah bahwa ia menyirami rumahnya sendiri. Sebenarnya,
ketika GPPS membara, ada 10 orang yang ada di dalam. Namun, dua pembantu bisa
menyelamatkan diri dengan naik ke atas atap dan meluncur ke rumah tetangga lewat pipa.
Walau salah satu lengan pembantu ini terbakar, tapi ia selamat. Sanidin menduga pendeta
Ishak yang dikenal sebagai orang baik semasa hidupnya itu tidak bisa menyelamatkan diri
karena berusaha melindungi isterinya yang lumpuh karena rematik.
Saat itu tak ada seorang petugas pun yang bisa mencegah kebrutalan massa. Massa
malah ikut mengajak para pelajar SMEA yang letaknya di depan GPPS ini untuk membakar
gereja. Tapi, para pelajar itu tak menurutinya.
Sanidin tidak tahu massa itu berasal dari mana. Setelah membakar gereja, sebagian
massa naik 3 truk ke arah timur. Diduga menuju Asembagus. Lainnya menyebar ke Jalan
Argopuro dan membakar salah satu rumah pendeta yang juga dijadikan gereja. Massa masih
bergerak menuju pertokoan Mimba’an Baru di depan terminal Situbondo. Selain rumah
bilyard, mereka juga merusak gedung bioskop.
Ketika merusak pertokoan inilah, satu kompi senapan Yonif 514 datang. Petugas yang
langsung memukuli dan mengangkut orang yang dianggap sebagai biang kerusuhan membuat
massa lari tunggang langgang. Sebagian lari ke Gang Karisma dan masih sempat-sempatnya
membakar rumah anak yatim di bawah asuhan Yayasan Buah Hati. Sebagian massa lainnya
lari ke Jalan Jakas Agung Suprapto dan di sana membakar TK Santa Theresia dan sebuah
susteran. Tragedi Situbondo ini baru benar-benar berhenti pada pukul 15.00.
Namun, aksi massa menjalar ke daerah sekitarnya. Di Asembagus dan Besuki, yang
jaraknya lebih dari 30 kilometer ke arah timur Situbondo, mereka membakar 3 gereja, sedang
![Page 5: konflik agama](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081800/5695d3801a28ab9b029e2396/html5/thumbnails/5.jpg)
di Kecamatan Banyuputih ada 6 gereja dan sebuah rumah pendeta yang dibumi hanguskan.
Massa juga bergerak ke arah barat. Sejak pukul 15.00 sampai magrib, massa beraksi di
Panarukan 6 kilometer dari Situbondo dan membakar 2 gereja. Dari sana, mereka bergerak ke
Besuki yang jaraknya hampir 30 kilometer dari Situbondo dan membakar 2 gereja, sebuah
klenteng, serta merusak sebuah toko di alun-alun. Aksi bakar hangus ini baru benar-benar
reda pada pukul 23.00.
Aparat keamanan dari lokasi seputar kerusuhan baru berdatangan ke Situbondo
menjelang magrib. Malam itu juga 120 orang ditangkap dan diseleksi menjadi 46 orang. Dari
jumlah sekian, 11 diantaranya pelajar dari STM, SMA, dan SMEA Ibrahimi yang ketua
yayasannya dipegang oleh KH Fawaid, salah satu putra KH As’ad. Selain pelajar, juga
ditahan sejumlah santri dari pondok Wali Songo, Mimba’an dan anjal (anak jalanan), sebuah
perkumpulan bekas preman yang dibina oleh KH Cholil, juga salah satu putra KH As’ad2.
2.2. Pengertian Konflik
Konflik merupakan suatu gejala yang tidak dapat dipisahkan dalam masyarakat.
Fenomena konflik tersebut mendapat perhatian bagi manusia, sehingga muncul penelitian-
penelitan yang menciptakan dan mengembangkan berbagai pandangan tentang
konflik.Diantaranya ialah Charles Watkins yang memberikan suatu analisis tajam tentang
kondisi dan prasyarat terjadinya suatu konflik. Menurutnya, konflik terjadi bila terdapat dua
hal. Pertama, konflik bisa terjadi bila sekurang-kurangnya terdapat dua pihak yang secara
potensial dan praktis/operasional dapat saling menghambat. Secara potensial artinya, mereka
memiliki kemampuan untuk menghambat3.
Secara praktis/operasional maksudnya kemampuan tadi bisa diwujudkan dan ada
didalam keadaan yang memungkinkan perwujudannya secara mudah. Artinya, bila kedua
belah pihak tidak dapat menghambat atau tidak melihat pihak lain sebagai hambatan, maka
konflik tidak akan terjadi. Kedua, konflik dapat terjadi bila ada sesuatu sasaran yang sama-
sama dikejar oleh kedua pihak, namun hanya salah satu pihak yang akan memungkinkan
mencapainya.
2.3. Agama dan Konflik
2 Jurnalis.wordpress.com3 Saefulloh, Eep Fatah, Posisi Agama Islam dan Negara, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), hal. 43
![Page 6: konflik agama](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081800/5695d3801a28ab9b029e2396/html5/thumbnails/6.jpg)
Semua ajaran agama pada dasarnya baik dan mengajak kepada kebaikan. Namun nyatanya
tidak semua yang di anggap baik itu bisa bertemu dan seiring sejalan. Bahkan, sekali waktu
dapat terjadi pertentangan antara yang satu dengan yang lain. Rasa perbedaan yang kian
intensif ketika para pemeluk suatu agama telah sampai pada sikap dan keyakinan bahwa satu-
satunya agama yang benar adalah agama yang dipeluknya. Sedangkan yang lain salah dan
kalau perlu dimusuhi. Konflik di antara umat beragama dapat disebabkan oleh faktor
keagamaan dan non keagamaan4.
Faktor Keagamaan
Agama pada dasarnya memiliki faktor integrasi dan disintegrasi. Faktor integrasi,
antara lain, agama mengajarkan persaudaraan atas dasar iman, kebangsaan dan kemanusiaan.
Agama mengajarkan kedamaian dan kerukunan di antara manusia dan sesama makhluk.
Agama mengajarkan budi pekerti yang luhur, hidup tertib dan kepatuhan terhadap aturan
yang berlaku dalam masyarakat. Ajaran yang disebutkan itu bersifat universal. Selain itu,
terdapat ajaran agama yang juga bisa menimbulkan disintegrasi, bila dipahami secara sempit
dan kaku. Di antaranya, setiap pemeluk agama menyakini bahwa agama yang dianutnya
adalah jalan hidup yang paling benar, sehingga dapat menimbulkan prasangka negatif atau
sikap memandang rendah pemeluk agama lain.
Selain faktor yang terkait dengan doktrin seperti disebutkan di atas, ada faktor-faktor
keagamaan lain yang secara tidak langsung dapat menimbulkan konflik di antara umat
beragama. Di antaranya: 1) Penyiaran agama, 2) bantuan keagamaan dari luar negeri, 3)
perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda, 4) pengangkatan anak, 5) pendidikan agama,
6) perayaan hari besar keagamaan, 7) perawatan dan pemakaman jenazah, 8) penodaan
agama, 9) kegiatan kelompok sempalan, 10) transparansi informasi keagamaan dan 11)
pendirian rumat ibadat.
Faktor Non Keagamaan
Adapun faktor-faktor non keagamaan yang diidentifikasi sebagai penyebab
ketidakrukunan umat beragama meliputi beberapa hal, antara lain 1)kesenjangan ekonomi, 2)
kepentingan politik, 3) perbedaan nilai sosial budaya, 4) kemajuan teknologi informasi dan
4 Abdurrahman Wahid, Massa Islam dalam Kehidupan Bernegara dan Berbangsa, (Jakarta: P3M, 1989), hal. 3-9
![Page 7: konflik agama](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081800/5695d3801a28ab9b029e2396/html5/thumbnails/7.jpg)
transportasi. Kehadiran penduduk pendatang di satu daerah sering menimbulkan kesenjangan
ekonomi, sebab mereka lebih ulet dan trampil bekerja dibandingkan dengan penduduk asli .
Kondisi itu sering menimbulkan kecemburuan sosial dan dapat memicu konflik. Selanjutnya,
dalam berbagai kasus, munculnya suatu kelompok politik juga dipengaruhi oleh misi
keagamaan dari para elit kelompok politik tersebut.
Menurut Hendropuspito, agama adalah suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh
penganut- penganutnya yang berproses pada kekuatan- kekuatan non empiris yang
dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi mereka. Dalam
kamus sosiologi pengertian agama ada 3 macam, yaitu (1) kepercayaan pada hal- hal yang
spiritual; (2) Perangkat kepercayaan dan praktik – praktik spiritual yang dianggap sebagai
tujuan tersendiri; dan (3) Ideologi mengenai hal- hal yang bersifat supranatural. Sementara
itu, Thomas F. O’ Deo mengatakan bahwa agama adalah pendayagunaan sarana- sarana supra
empiris untuk maksud- maksud non empiris atau supra empiris5.
2.4. Konflik Islam - Kristen di Indonesia
Awal masuknya kekristenan di Indonesia sebenarnya dalam suasana yang kurang
bersahabat, terutama berhubungan dengan kelompok masyarakat beragama, khususnya
agama Islam. Sebagaimana telah dipaparkan di atas, pada abad ke-16, terjadi konflik yang
disertai dengan penindasan fisik dan mental dari orang Islam terhadap orang Kristen di
Maluku.
Setelah Belanda dikalahkan Jepang, maka keadaan turut berubah dalam hubungan
Islam - Kristen di Indonesia. Untuk maksud keuntungan politiknya, Jepang memberikan
keleluasaan yang besar kepada Islam untuk turut mendukung berbagai rencana pengukuhan
kedudukan penjajahan Jepang di Indonesia.Pada sisi lain, kelompok Islam beraliran sunni
atau santri sejak awal perjuangan untuk merebut kemerdekaan dilihat sebagai jihad untuk
melawan kaum kafir dan yang sekaligus merupakan tugas pribadi dan tugas masyarakat
dalam umat.
Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, Aceh, dan Sulawesi Selatan adalah penampakan
ketidakpuasan sebagian santri terhadap gagalnya gagasan negara Islam diberlakukan di
Indonesia. Pada tahun 1985 terjadi pemboman terhadap bank-bank, beberapa gereja, dan
Sekolah Teologia. Walaupun pemerintah tidak menyebut dengan jelas pihak yang tersangkut
5 Thomas F. O'deo, Sosiologi Agama, (Jakarta: PT Rajawali, 1985), hal. 139
![Page 8: konflik agama](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081800/5695d3801a28ab9b029e2396/html5/thumbnails/8.jpg)
dalam peristiwa itu, namun adalah jelas dalam kejadian yang sebenarnya bahwa beberapa
oknum Islam fundamentalis terlibat.
Sudah merupakan gejala umum dalam kerusuhan di Indonesia bahwa bangkitnya
oposisi keras Islam mengambil bentuk dalam gerakan anti pemerintah, anti Cina, dan anti
Kristen. Pada tahun 1996 dan awal tahun 1997 diwarnai dengan berbagai kerusuhan di
berbagai tempat di Indonesia. Pada bulan April 1996, Cikampek sebuah kota di sebelah timur
ibu kota DKI Jakarta mengalami kerusuhan yang menjurus pada huru-hara SARA, dimana
berapa gedung gereja dan SD Kristen dilempari batu oleh massa yang marah. Peristiwa
serupa dialami oleh orang-orang Kristen di daerah Cileungsi - Bogor. Pada tanggal 14 April,
beberapa Gereja Pantekosta dirusak dan dihancurkan massa, bahkan ada anggota jemaat yang
dipukuli oleh massa yang marah dan brutal.
Kasus-kasus yang melanda beberapa kota di Jawa Barat itu ternyata berkembang dan
menjalar ke kota Surabaya pada bulan Juni 1996 tidak kurang dari 10 gedung gereja dirusak
oleh massa. Pada tanggal 10 Oktober 1996, kasus yang lebih berat dan lebih luas menimpa
kota Situbondo dan sekitarnya. Lebih dari 20 gedung gereja dan beberapa Sekolah Kristen
dihancurkan dan ada yang dibakar. Kasus serupa kembali menerpa kota Tasikmalaya.
Tanggal 26 Desember 1996, massa mengamuk dan menghancurkan berbagai fasilitas umum,
kantor polisi, dan gedung-gedung gereja. Tercatat paling tidak 13 gedung gereja dihancurkan
sebagian dibakar, dua sekolah Kristen dan Katolik dibakar.
Pada awal tahun 1997, tepatnya 30 Januari 1997, kembali terjadi kerusuhan di daerah
Jawa Barat, yaitu kota Rengasdengklok. Dan, kembali gedung gereja dan Sekolah Kristen
dihancurkan dan sebagian dibakar massa. Masih ada banyak kasus lagi yang berbau SARA.
khususnya kental berbau keagamaan yang belum dikemukakan, namun berbagai kasus yang
sudah dikemukakan di atas tersirat sentimen keagamaan demikian kuat. Konflik masyarakat
beragama Islam dengan orang Kristen tak terhindarkan.
Konflik Islam- Kristen yang terjadi di beberapa tempat, jika dianalisa lebih dalam,
ternyata tidak disebabkan karena perbedaan konsepsi keagamaan. Adian Husaini mengatakan
bahwa konflik Islam-Kristen yang pernah terjadi di Rengasdengklok, Situbondo, dan
Tasikmalaya ternyata terkait dengan masalah politik, ekonomi, sosial, penyebaran agama,
pembangunan rumah ibadah dan sebagainya. Dibandingkan masa-masa sebelumnya dalam
perjalanan sejarah bangsa ini, ternyata konflik antara Islam-Kristen lebih banyak terjadi di
masa Orde Baru (juga pada masa pasca Reformasi sekarang), pada saat mana, negara secara
sistematis melaksanakan program sekulerisasi dan menekan wacana ideologis dan
keagamaan.
![Page 9: konflik agama](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081800/5695d3801a28ab9b029e2396/html5/thumbnails/9.jpg)
Menyamakan semua agama adalah suatu gagasan yang jelas-jelas mengingkari
kenyataan bahwa masing-masing agama memang berbeda. Tuhan dalam Islam tidaklah sama
dengan Tuhan dalam Kristen (dan juga agama lain). Tuhan dalam Islam adalah Tuhan Yang
Maha Esa, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, serta Maha Kuasa. Dia tidak beranak
dan tidak diperanakkan, dan tidak ada satu pun yang menyerupai-Nya. Allah tidak
terjangkau panca indra dan akal manusia yang terbatas kemampuannya. Dia Allah jelas tidak
sama dengan pemahaman umat Kristen (Katolik dan Protestan) tentang Tuhan Yang Maha
Esa, namun terdiri atas tiga oknum yaitu Tuhan Bapak, Tuhan Anak dan Roh Kudus.
Konsep-konsep tentang peribadahan dalam Islam haruslah semua yang ditentukan
oleh Allah dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw. Substansi peribadahan Islam adalah
ketundukan dan ketaatan pada Allah, namun tata cara peribadahan itu diatur oleh Allah. Jadi
bukan dilakukan sesuai dengan kehendak manusia apalagi sejarah untuk membentuk ritualitas
tertentu. Sejarah menunjukkan bahwa Islam mengecam tata-cara ibadah orang-orang kafir
yang musyrik. Nabi Muhammad Saw. menolak untuk secara bergantian beribadah dengan
cara Islam dan kafir, walaupun orang-orang kafir menyatakan bahwa Tuhan-tuhan yang
mereka sembah hanyalah sarana menuju Tuhan Yang Maha Esa6.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
6 msibki3.blogspot.com
![Page 10: konflik agama](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081800/5695d3801a28ab9b029e2396/html5/thumbnails/10.jpg)
Perbedaan dalam konsepsi agama adalah hal yang biasa terjadi antar agama yang
tidak dapat dipungkiri lagi. Perbedaan tersebut bahkan terjadi pada semua aspek agama, baik
konsepsi tentang Tuhan maupun pengaturan hidup. Keragaman agama ini memang
memberikan kontribusi positif untuk pembangunan bangsa, namun di sisi lain keragaman
agama tersebut juga dapat berpotensi menjadi sumber konflik. Hal ini dalam kenyataannya
keragaman agama cukup sering memicu konflik fisik antar umat berbeda agama.
Kondisi pemerintahan Orde Baru sebelum terjadinya kerusuhan 10 Oktober 1996 di
Situbondo sangatlah memprihatinkan. Dalam bidang politik, masyarakat tidak mendapatkan
kebebasan berpolitik secara luas. Hal tersebut karena adanya kekangan pemerintah Orde Baru
yang membatasi kebebasan dalam berpolitik dengan alasan menjaga kepentingan nasional.
Kerusuhan 10 Oktober 1996 di Situbondo terjadi sekitar pukul 10.30 WIB. Kerusuhan
tersebut berawal dari persidangan Saleh sebagai tersangka kasus pencemaran agama yang
kemudian akhirnya terjadi pembakaran-pembakaran di gedung Pengadilan Negeri Situbondo
serta gereja-geraja kawasan Kabupaten Situbondo. Dari hasil analisis kerusuhan yang terjadi
di Situbondo, dapat diperoleh suatu kesimpulan bahwa kerusuhan 10 Oktober 1996 di
Situbondo memiliki kaitan dengan suatu politik menjelang pemilu 1997 demi melemahkan
PPP di Kabupaten Situbondo yang merupakan basis NU terbesar di Jawa Timur.
Semua ajaran agama pada dasarnya baik dan mengajak kepada kebaikan. Namun
nyatanya tidak semua yang di anggap baik itu bisa bertemu dan seiring sejalan. Bahkan,
sekali waktu dapat terjadi pertentangan antara yang satu dengan yang lain. Rasa perbedaan
yang kian intensif ketika para pemeluk suatu agama telah sampai pada sikap dan keyakinan
bahwa satu-satunya agama yang benar adalah agama yang dipeluknya. Sedangkan yang lain
salah dan kalau perlu dimusuhi.
Konflik antara umat Islam dan Kristen yang terjadi di Situbondo, tidak seluruhnya
disebabkan karena perbedaan konsepsi di antara kedua pemeluknya. Faktor-faktor politik,
sosial, ekonomi, dan sebagainya sering lepas dari pengamatan, sehingga agama dijadikan alat
legitimasi terhadap sikap-sikap agresif dan radikal kelompok satu terhadap yang lainnya.
3.2. Saran
Kita sebagai mahasiswa yaitu generasi muda yang nantinya akan menjadi generasi penerus
bangsa sebaiknya tidak mudah terhasut dan cepat terpancing emosinya dalam menangani
suatu masalah. Kita harus lebih jauh lagi menela’ah permasalahan yang terjadi, agar tidak
terjadi kesalah pahaman yang berujung pada konflik sosial atau fisik dan kerusuhan. Proses
![Page 11: konflik agama](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081800/5695d3801a28ab9b029e2396/html5/thumbnails/11.jpg)
penegakan hukum di Indonesia juga perlu dibenahi lagi dan perlu lebih tegas, agar tidak
terjadi lagi peristiwa serupa.
DAFTAR PUSTAKA
Abidien, Zed. 1996. Insiden Pembakaran di Situbondo. http://jurnalis.wordpress.com/1996/10/19/insiden-pembakaran-di-situbondo-2/ (15 Oktober 2014)
![Page 12: konflik agama](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081800/5695d3801a28ab9b029e2396/html5/thumbnails/12.jpg)
Fahmi, Ismail. 2013. Konflik-konflik Agama di Indonesia. http://msibki3.blogspot.com/2013/03/konflik-agama-agama-di-indonesia.html (15 Oktober 2014)
O'deo, Thomas F. 1985. Sosiologi Agama. Jakarta : PT Rajawali
Saefulloh, Eep Fatah.1988. Posisi Agama Islam dan Negara, Jakarta : Ghalia Indonesia
Sholeh, Amat. 2013. Kerusuhan 10 Oktober 1996 di Kabupaten Situbondo: Suatu Kajian Historis. http://repository.unej.ac.id/handle/123456789/932?show=full (15 Oktober 20014)
Wahid, Abdurrahman. 1989. Massa Islam dalam Kehidupan Bernegara dan Berbangsa. Jakarta : P3M