kondisi sosial ekonomi - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/bme_sosek_buton2008.pdf · kondisi...

238

Upload: doanxuyen

Post on 06-Feb-2018

230 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II

KASUS KABUPATEN BUTON

HASIL BME

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II

KASUS KABUPATEN BUTON

HASIL BME

LAILA NAGIB ANDY AHMAD ZAELANY

DEVI ASIATI ARY WAHYONO

COREMAP-LIPI PUSAT PENELITIAN KEPENDUDUKAN

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (PPK-LIPI), 2008

COREMAP-LIPI LIPI

RINGKASAN EKSEKUTIF

mplementasi program COREMAP Fase I yang telah dilaksanakan di dua wilayah yaitu Kecamatan Mawasangka dan Kadatua, Kabupaten Buton, telah memberikan fondasi yang cukup kuat

untuk pelaksanaan Pengelolaan Berbasis Masyarakat (PBM). Pendekatan PBM telah memberi pelajaran penting, bahwa keterlibatan seluruh stakeholders dalam pengelolaan terumbu karang sangat diperlukan terutama untuk membantu mencegah kerusakan karang lebih lanjut dan upaya pelestariannya. Pantai yang sangat panjang dan laut yang luas di wilayah ini dengan keterbatasan jumlah petugas dan sarana yang dimiliki, memerlukan keterlibatan dan partisipasi aktif seluruh stakeholders, khususnya masyarakat setempat dalam menjaga, mengelola dan melindungi sumber daya lautnya. Secara umum kajian tahun 2008 bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan COREMAP di Kabupaten Buton dan mengetahui kondisi sosial ekonomi masyarakat, khususnya tingkat pendapatan masyarakat di loaksi kajian yaitu Kecamatan Mawasangka dan Kadatua, terutama untuk dapat memantau dampak Program COREMAP terhadap kesejahteraan masyarakat. Secara rinci tujuan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

I

• Mengidentifikasi permasalahan dan kendala pelaksanaan COREMAP di Kabupaten Buton.

• Mengkaji pemahaman masyarakat mengenai program COREMAP.

• Menggambarkan tingkat pendapatan masyarakat untuk memantau dampak program COREMAP terhadap kesejahteraan masyarakat.

Studi BME tahun 2008 (T-1) merupakan studi lanjutan tahun 2006 (T-0) tentang Data Dasar Sosial Ekonomi, dengan lokasi yang sama yaitu Kecamatan Mawasangka dan Kadatua di Kabupaten Buton. Demikian pula lokasi penelitiannya, kembali ke desa binaan yaitu

KASUS KABUPATEN BUTON iii

Desa Terapung dan Wakambangura di Kecamatan Mawasangka, dan Desa Wanoa dan Kapoa di Kecamatan Kadatua. Sasaran kajian yaitu 100 rumah tangga sampel untuk masing-masing kecamatan, merupakan responden yang sama dengan kajian sebelumnya (T0). Pada kajian T1, survei pendapatan juga mencakup anggota POKMAS UEP, sehingga jumlah rumah tangga sampel dapat ditambah sampai maksimal 30 rumah tangga, apabila dalam target 100 rumah tangga sampel belum mencakup variasi anggota POKMAS.

Temuan Pokok

A. Kecamatan Mawasangka (Kawasan Peisisir)

Permasalahan dan kendala pelaksanaan COREMAP

Pelaksanaan COREMAP II diawali dengan pembentukan kelembagaan pengelola di tingkat desa seperti LPSTK, Pokmas, LKM dan MD yang mengikut sertakan masyarakat dalam proses pembentukannya. Kegiatan-kegiatan COREMAP juga direncanakan oleh masyarakat yang tertuang dalam RPTK masing-masing desa binaan. Di kedua lokasi, kelembagaan yang menjadi syarat formal pelaksanaan COREMAP di tingkat desa binaan sudah terbentuk dan sebagian sudah berjalan sesuai dengan RPTK masing-masing. Meskipun demikian ada kecenderungan pembentukan lembaga dan pemilihan pengurus lain (seperti LKM, Pokmas), dilakukan secara tergesa-gesa, bersifat formalitas yaitu sekedar memenuhi syarat turunnya dana bantuan COREMAP (UEP

Pemilihan pengurus kelembagaan (selain ketua) cenderung dipilih orang-orang dekat tim pengelola (LPSTK, kepala desa dan MD). Keterbatasan sumber daya manusia di lokasi binaan, juga menyulitkan seleksi pengurus untuk berbagai kelembagaan COREMAP. Dampaknya pengelolaan COREMAP cenderung didominasi beberapa pengurus, bahkan di satu lokasi binaan hanya didominasi ketua LPSTK dan orang-orang dekatnya. Kondisi ini berpotensi melemahkan peran pengurus Pokmas lainnya, dan cenderung menjadi tidak peduli dengan aktivitas COREMAP, karena kurang diikutsertakan dalam pengelolaan sesuai dengan fungsinya.

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME iv

Apabila kondisi ini berkelanjutan, partisipasi masyarakat yang menjadi sasaran penting COREMAP, kurang tercapai.

Sebelum dana bergulir turun (akhir tahun 2007), kegiatan COREMAP di kedua lokasi lebih menonjol pada penyadaran masyarakat (awareness) terutama untuk konservasi terumbu karang, dengan pembentukan DPL. Hasil kegiatan sosialisasi yang dilakukan Pokmas konservasi dan Poswasmas, dirasakan oleh masyarakat setelah masyarakat menyadari arti penting konservasi terumbu karang untuk kehidupan yang lebih baik. Banyak pihak mengakui bahwa program COREMAP di desa binaan telah berdampak berkurangnya praktek penangkapan ikan yang merusak seperti pemakaian bom, dan alat tangkap yang merusah (redy dan pukat). Bahkan karena dana untuk konservasi minim, masyarakat nelayan rela berswadaya untuk ‘menjaga’ DPL dari pelanggaran-pelanggaran tersebut. Kondisi ini berdampak pada makin banyak populasi ikan di sekitar karang dan DPL lebih terjaga.

Isu praktek merusak karang melalui pembiusan yang dianggap semakin marak setelah COREMAP, terutama dilakukan oleh beberapa orang lokal, namun sulit pembuktiannya. Pengurus COREMAP dan masyarakat tidak berdaya terhadap pelanggaran –pelanggaran yang dilakukan, terutama praktek pembiusan, meskipun dampaknya amat merugikan nelayan dan budi daya rumput laut. Hal ini disebabkan kurang seriusnya pihak yang berwajib dalam menindaklanjuti pelaku, meskipun dukungan untuk konservasi cukup kuat dari semua unsur masyarakat (Pemerintah, tua adat dan tokoh masyarakat). Dikuatirkan dapat menimbulkan turunnya kepercayaan masyarakat terhadap keseriusan program konservasi, karena adanya pelaku yang diduga di back up pihak berwajib, sehingga tidak tersentuh hukum.

Pelaksanaan program COREMAP yang cenderung berorientasi proyek, menyulitkan upaya partisipasi masyarakat apabila memerlukan dana. Hal ini nampak pada kerusakan batas DPL yang dibiarkan tanpa batas karena masyarakat menggantungkan penggantian dari COREMAP. Akibatnya nelayan dari luar tidak

KASUS KABUPATEN BUTON v

mengetahui lagi batas-batas DPL, kecuali diingatkan sewaktu melintas. Apabila tanpa penjagaan, kemungkinan dapat terjadi pelanggaran di areal konservasi.

Antusias masyarakat dan pengurus Pokmas bertambah dengan mulai cairnya dana bergulir dari program COREMAP (UEP), meskipun realisasinya lambat dan belum memenuhi target. Dalam hal pengelolaan dana bergulir, peran dominan LPSTK di suatu desa binaan, berpotensi ‘jalan sendiri’ terutama dalam mengambil kebijakan mengelola dana Pokmas (UEP). Tanpa transparansi dalam pengelolaan dana dengan pengurus kelembagaan terkait, berpotensi menimbulkan kecurigaan adanya benturan kepentingan dengan kegiatan ekonomi pengurus dan orang-orang dekatnya. Antusias masyarakat akan berkurang manakala penyaluran dana bergulir tidak menyentuh kepentingan masyarakat yang menjadi sasaran.

Kesepakatan yang sudah dibuat antara PMU di tingkat kabupaten dengan Dinas Pendidikan dalam hal menambah mata pelajaran terumbu karang dalam Mulok, kurang mendapat dukungan di tingkat implementasi. Hal ini disebabkan adanya benturan COREMAP dengan kepentingan daerah yaitu memasukkan Bahasa Daerah sebagai salah satu pelajaran dalam UAS.

Dalam beberapa hal kelembagaan yang dibentuk lebih disebabkan oleh pemenuhan standar COREMAP daripada kebutuhan masyarakat. Akibatnya pembentukan lembaga seperti pondok informasi dilakukan sekedar memenuhi target, karena dana sudah turun, tanpa dilengkapi untuk memfungsikannya. Kondisi ini seringkali kurang dapat dimanfaatkan masyarakat karena lebih banyak tertutup daripada difungsikan sebagaiman mestinya.

Dasar pemberian insentif untuk pengurus COREMAP di tingkat desa binaan tidak jelas, sehingga sering menimbulkan perasaan tidak adil antarpengurus. Pengurus MD dapat insentif bulanan, sementara ketua LPSTK dan pengurus lain tidak memperolehnya, sehingga insentif diperoleh dari uang jasa pengelolaan dana bergulir. Dikuatirkan tanpa pengawasan yang intensif, potensial terjadi penyalahgunaan dana

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME vi

yang terkumpul, misal pengguliran tidak tepat sasaran, pengurus memanfaatkan lebih dulu untuk usahanya, sebelum digulirkan ke kelompok lain.

Kesejahteraan masyarakat dilihat dari pemilikan aset produksi dan non produksi cenderung meningkat dalam 2 tahun terakhir (2006-2008), baik karena pengaruh konservasi COREMAP maupun faktor lainnya. Beberapa peningkatan aset produksi dan non-produksi juga dipengaruhi oleh kiriman dari perantau yang bisanya untuk modal (sarana penangkapan ikan), rumah maupun kendaraan bermotor. Sedangkan peningkatan kesejahteraan dilihat dari kondisi permukiman dan sanitasi lingkungan juga dipengaruhi oleh dukungan banyak program yang masuk ke lokasi desa binaan COREMAP, baik dari COREMAP maupun non-COREMAP.

Pemahaman masyarakat tentang COREMAP

Pengetahuan tentang COREMAP didasarkan pada beberapa pertanyaan dalam survei yang meliputi keberadaan proram COREMAP, kegiatan penyelamatan terumbu karang dan kegiatan-kegiatan lain terkait program COREMAP di kedua lokasi kajian. Hasil survei menunjukkan bahwa lebih dari 80 persen responden di kedua lokasi kajian mengetahui tentang COREMAP dan program-programnya.

Pengetahuan dan keterlibatan responden dalam kelembagaan COREMAP dipengaruhi oleh tingkat sosialisasi yang dilakukan oleh pengurus dan upaya untuk melibatkan masyarakat dalam musyawarah pembentukan kelembagaan tersebut, Pada umumnya tingkat pengetahuan masyarakat terhadap kelembagaan COREMAP seperti LPS-TK, UEP relatif tinggi meskipun proporsinya tidak setinggi pengetahuan tentang COREMAP. Namun keterlibatan masyarakat di kedua lokasi lebih rendah daripada tingkat pengetahuannya. Tingkat pengetahuan dan tingkat keterlibatan masyarakat di kelembagaan COREMAP tersebut untuk Desa Wakambangura pada umumnya lebih tinggi dari Desa Terapung. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh kondisi permukiman dan homogenitas penduduk yang lebih

KASUS KABUPATEN BUTON vii

menguntungkan di Desa Wakambangura dibandingkan Desa Terapung yang relatif lebih tersebar dan heterogen. Dalam keterbatasan SDM dan dana yang dimiliki, tampaknya kondisi permukiman dan homogenitas penduduk seperti Wakambangura juga berpengaruh terhadap efektivitas penyuluhan dan informasi yang dilakukan terhadap kelompok-kelompok masyarakat.

Pada umumnya informasi program yang berkaitan dengan bantuan dana langsung ke masyarakat, relatif cepat sampai ke masyarakat. Hasil survei menunjukkan lebih dari 60 persen responden mengetahui kegiatan pelatihan UEP, namun keterlibatan pada pelatihan tersebut relatif rendah, terutama di Terapung jauh lebih rendah dibandingkan Wakambangura. Hal ini dipengaruhi antara lain oleh Di Wakambangura jumlah anggota Pokmas yang menjadi responden lebih banyak daripada di Terapung. Sedangkan anggota Pokmas umumnya sudah mendapat pelatihan sebelum menerima dana bergulir.

Pendapatan masyarakat dan faktor yang berpengaruh

Selama kurun waktu 2006-2008 terjadi peningkatan rata-rata pendapatan rumah tangga dan pendapatan perkapita di Kecamatan Mawasangka. Pendaparan rumah tangga meningkat sebesar 4,4 persen, dari Rp. 1.440.522 menjadi Rp. 1.568.608 per bulan dan pendapatan perkapita meningkat sebesar 10,5 persen, dari Rp. 286.286 menjadi Rp. 349.259. Peningkatan ini berkaitan dengan kenaikan pendapatan masyarakat di sektor pertanian, baik pertanian pangan maupun tanaman keras. Selain itu, peningkatan pendapatan rumah tangga dari sektor perdagangan meningkat secara signifikan, karena semakin meningkatnya kegiatan perdagangan masyarakat, terutama perdagangan hasil ikan. Sementara pendapatan rumah tangga dari sektor perikanan mengalami penurunan karena menurunnya hasil tangkapan ikan. Pendapatan rumah tangga nelayan mengalami penurunan, baik pendapatan perkapita maupun rata-rata pendapatan. Pendapatan rata-rata rumah tangga nelayan turun sebesar 19 persen, dari Rp.

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME viii

2.479.874 menjadi Rp. 1.625.806, sedang pendapatan rata-rata turun sebesar 7 persen, dari Rp. 4.12.902 menjadi Rp. 357.095. Penurunan ini disebabkan berkurangnya hasil tangkapan ikan oleh nelayan. Hal ini berkaitan dengan belum maksimalnya hasil tangkapan nelayan, terutama dari hasil ikan teri, karena baru pada tahap awal musim ikan. Hasil tangkapan ikan teri pada tahun ini diprediksi mengalami peningkatan, diindikasikan oleh perolehan ikan teri yang lebih banyak pada awal Musim Timur dibandingkan dengan awal musim Timur pada tahun sebelumnya. Pada puncak musim Timur (September) ikan teri akan berlimpah dan biasanya Base Camp penuh sehingga tidak menampung lagi ikan teri dari nelayan. Di samping itu masih adanya praktek penangkapan ikan yang menggunakan bius oleh beberapa masyarakat lokal, sehingga berpengaruh terhadap hasil tangkapan nelayan pancing. Pendapatan nelayan bervariasi menurut musim, rata-rata pendapatan nelayan pada musim ombak lemah lebih tinggi dibandingkan musim pancaroba dan musim ombak kuat. Hal ini disebabkan sebagian besar nelayan tidak melaut pada musim gelombang kuat karena keterbatasan armada tangkap. Pada saat kajian, musim ikan baru saja dimulai, sehingga hasil teri belum maksimal. Sebagian besar pendapatan nelayan di Desa Terapung pada musim ikan berasal dari hasil teri. Kegiatan COREMAP belum memperlihatkan dampak yang signifikan pada pendapatan masyarakat, karena program UEP baru dilaksanakan pada awal tahun 2008, dan jumlah yang menerima dana masih terbatas, sehingga belum memperlihatkan dampak pada kenaikan pendapatan masyarakat. Selain itu, relatif kecilnya dana yang digulirkan pada anggota pokmas (antara Rp. 500.000 sampai Rp. 2.500.000), menjadi kurang berpengaruh terhadap kenaikan pendapatan.

KASUS KABUPATEN BUTON ix

B. Kecamatan Kadatua (Kawasan Kepulauan)

Permasalahan dan kendala pelaksanaan COREMAP

Di tingkat Kabupaten Buton PMU COREMAP memiliki struktur sendiri, yang tidak sama dengan struktur dinas teknis di lingkungan pemerintah daerah. Secara kelembagaan PMU COREMAP kabupaten merupakan tangan panjang dari COREMAP pusat walaupun personilnya berasal dari karyawan Pemda. PMU COREMAP Buton, di satu sisi harus menjabarkan kebijakan COREMAP nasional, dan di sisi lain PMU COREMAP Buton merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bagian pemerintah daerah kabupaten Buton. Posisi kelembagaan PMU COREMAP yang demikian kemungkinan dapat berpengaruh terhadap kinerja implementasi program COREMAP. Sebagai contoh adalah program COREMAP nasional yang menetapkan pelestarian terumbu karang sebagai substansi yang dapat diajarkan di sekolah. Di Buton, upaya memasukan pelestarian terumbu karang ke dalam kurikulum di sekolah sampai saat penelitian ini dilakukan masih belum jelas realisasinya.

Upaya-upaya yang dilakukan oleh COREMAP dimulai dengan menyusun kelembagaan yang berskala nasional dan kurang memanfaatkan lembaga-lembaga sudah ada. Pengabaian kelembagaan yang sudah ada ini bahkan sampai tingkat desa. Kelembagaan yang dibentuk tersebut sangat kompleks dan tidak dipahami oleh masyarakat. Di tingkat lokasi pembentukan kelembagaan COREMAP dilakukan dengan merekrut sejumlah orang dengan menempatkannya dalam struktur organisasi pelaksana. Di tiap lokasi dipilih LPSTK, Pokmas (Kelompok masyarakat) dan Pokmaswas (Kelompok Masyarakat Pengawas). Ada beberapa ciri perekrutan yang terlihat di daerah studi kami, yaitu : 1) ditentukan dalam rapat kelompok-kelompok kecil, 2) dipilih dari orang-orang yang dekat dengan kepala desa, 3) didasarkan tingkat pendidikan, bukan didasarkan kemampuan mengelola masyarakat, dan 4) kental dengan politik bantuan (project oriented).

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME x

Anggaran untuk kegiatan COREMAP ini banyak tercurah untuk membiayai kelembagaan bentukan yang ada dan konsekuensinya anggaran yang betul-betul untuk kegiatan masyarakat di lokasi jadi sangat terbatas kalau tidak boleh dikatakan kurang. Problema lain yang juga menyebabkan tidak lancarnya program COREMAP adalah : 1) tidak terbayarnya honor dari petugas-petugas di lapangan selama beberapa bulan ini dan 2) tidak turun-turunnya dana untuk kegiatan-kegiatan COREMAP di lokasi, sehingga petugas lapangan sulit untuk menjalankan kegiatan-kegiatan yang direncanakan.

Kondisi laut sekarang ini relatif lebih terjaga, karena intensitas penangkapan ikan yang rendah, penduduk lebih banyak mencurahkan waktu untuk berdagang. Pemenuhan kebutuhan hidup diperoleh dari hasil dagang. DPL (daerah perlindungan laut) pun sudah mulai menunjukkan hasil dengan banyaknya tangkapan ikan oleh penduduk di kawasan tersebut.

Sumber daya laut di perairan Kadatua tidak hanya dimanfaatkan penduduk setempat tetapi banyak juga oleh nelayan pendatang, yang sebagian dari mereka diduga masih melakukan destructive fishing. Nelayan pendatang, khususnya nelayan andun dengan kapal di atas 10 GT diwajibkan mencari ikan di wilayah provinsi, namun pelanggaran masih sering terjadi.

Pemahaman masyarakat tentang COREMAP

Penerapan program COREMAP boleh dikatakan sebagai upaya pemberdayaan masyarakat dengan dampak yang diharapkan berupa keberlanjutan sumber daya kelautan, khususnya terumbu karang. Adapun prinsip dasar yang ingin dikembangkan ialah : prosedur kegiatan program yang dilakukan diupayakan partisipatif, dengan demikian diharapkan penduduk lokal tidak menjadi obyek program ini semata. Program COREMAP diterapkan dengan sasaran mengembangkan potensi yang dimiliki oleh masyarakat, yakni pengetahuan, ketrampilan serta kultur yang dimiliki. Kegiatan penting dalam program tersebut adalah mengidentifikasi wawasan dan peningkatan kapasitas melalui berbagai jenis kegiatan yang

KASUS KABUPATEN BUTON xi

menambah wawasan, pengalaman, pengetahuan, keterampilan, dan sikap.

Kegiatan COREMAP yang sudah mulai menunjukkan hasil adalah meningkatnya pengetahuan penduduk tentang pentingnya sumber daya laut, khususnya terumbu karang, dan oleh sebab itu harus diupayakan keberlanjutannya. UEP (usaha ekonomi produktif) juga merupakan kegiatan COREMAP yang dianggap cukup lancar penyebaran kreditnya, hanya seberapa jauh dampak positifnya terhadap kesejahteraan penduduk belum terlihat.

Pendapatan masyarakat dan faktor yang berpengaruh

Penerapan kegiatan program COREMAP Fase II bila dilihat dari perubahan pendapatan dengan membandingkan hasil studi tahun 2006 dengan tahun 2008, dapat dikatakan berhasil. Pendapatan rumah tangga secara umum justru telah mengalami peningkatan, baik di Desa Waonu maupun Desa Kapoa. Pendapatan meningkat lebih karena: pertama membaiknya perdagangan emas, tenun tradisional dan pakaian yang kini sesungguhnya menjadi usaha utama penduduk. Kedua, meningkatnya harga jual hasil- hasil laut. Harga ikan meningkat dibandingkan dua tahun yang lalu. Hasil laut lainnya seperti bulu babi, ikan pari-pari, kerang-kerangan dan lain-lain kini lebih berharga dibandingkan kondisi 2 tahun sebelumnya. Tatkala penelitian tahun 2006, ikan pari nyaris tidak ada harganya dan dibuang-buang saja di pinggir pantai, begitu juga dengan kerang-kerangan dan bulu babi. Ketiga, harga hasil-hasil pertanian juga membaik. Harga ubi kayu yang dahulu nyaris tidak berharga, karena lebih banyak digunakan untuk keperluan sendiri, kini mulai dikomersialkan karena ada harganya. Penduduk pun lebih sering makan kasoami yang dibuat dari ubi kayu dibandingkan makan nasi, sehingga ubi kayu menjadi komoditi perdagangan juga. Saat penelitian ini berlangsung harga mete juga sedang membaik karena banyaknya pesanan.

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME xii

KATA PENGANTAR

OREMAP Fase II direncanakan berlangsung selama lima tahun (2004-2009), bertujuan menciptakan pengelolaan ekosistem terumbu karang agar sumber daya laut ini dapat direhabilitasi,

diproteksi dan dikelola secara berkesinambungan, sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi kemiskinan masyarakat. Keberhasilan COREMAP dapat dikaji antara lain dari aspek biofisik dan sosial-ekonomi. Untuk lokasi World Bank, indikator keberhasilan untuk aspek biofisik adalah apabila pada akhir program terdapat sekitar 70 persen nelayan/penerima manfaat di masyarakat pesisir yang merasa bahwa COREMAP berdampak positif terhadap kesejahteraan dan status sosial ekonomi mereka. Sedangkan dari aspek sosial ekonomi, diharapkan terjadi peningkatan total pendapatan masyarakat dan jumlah penduduk yang mempunyai kegiatan ekonomi berbasis sumber daya terumbu karang dan kegiatan alternatif lainnya sebesar 10 persen pada akhir program.

C

Penekanan program pada Fase II adalah mengelola dan melindungi sumber daya laut, khususnya terumbu karang. Studi Benefit Monitoring Evaluation (BME) sosial ekonomi pada tahun 2008 ini merupakan lanjutan dari Studi Data Dasar Sosial Ekonomi Terumbu Karang tahun 2006, yang dilakukan di wilayah sampel yang sama yaitu di Desa Terapung dan Desa Mangumbangura, Kecamatan Mawasangka, serta Desa Kapoa dan Wanoa, Kecamatan Kadatua, Kabupaten Buton. Studi BME ini memfokuskan pada evaluasi program COREMAP, terutama yang berkaitan dengan aspek sosial ekonomi. Perbandingan kondisi sosial ekonomi pada kedua periode kajian, diharapkan dapat untuk mengetahui perubahan kehidupan masyarakat di wilayah kajian, terutama berkaitan dengan pendapatan responden serta peran COREMAP terhadap perubahan tersebut. Hasil evaluasi ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi para stakehoders untuk perbaikan program selanjutnya, serta dapat dijadikan bahan

KASUS KABUPATEN BUTON xiii

evaluasi bagi keberhasilan COREMAP di wilayah ini dalam mencapai tujuan yang diharapkan.

Tulisan dalam buku ini merupakan hasil kajian BME sosial ekonomi di lokasi tersebut, sebagai bagian dari evaluasi kegiatan yang telah, sedang dan akan dilakukan program COREMAP di wilayah Kabupaten Buton. Wilayah ini merupakan salah satu dari tujuh lokasi COREMAP di Indonesia bagian Timur (lokasi World Bank). Pelaksana studi ini terutama adalah tim peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan – LIPI (PPK-LIPI) dan beberapa peneliti sosial dari Kedeputian IPSK - LIPI.

Kegiatan penelitian dan penulisan buku ini terlaksana berkat keterlibatan berbagai pihak. Penghargaan dan ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Kepala Pusat Penelitian Kependudukan – LIPI yang telah memberikan dukungan kepada tim peneliti untuk melakukan kajian BME sosial ekonomi di Kabupaten Buton. Penghargaan yang tinggi dan ucapan terima kasih sebesar-besarnya juga kami sampaikan kepada semua narasumber dari berbagai unsur, diantaranya Pemerintah Kabupaten Buton, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buton, Unit pelaksana COREMAP di Kabupaten Buton, serta berbagai pihak lain di daerah yang telah membantu memperlancar pelaksanaan studi dan memberikan data dan informasi yang diperlukan. Ucapan terima kasih yang tulus juga kami sampaikan pada pemimpin formal dan informal dari tingkat kabupaten sampai ke tingkat desa serta para tokoh masyarakat kedua lokasi kajian (Desa Terapung dan Desa Mangumbangura di Kecamatan Mawasangka serta Desa Wauno dan Desa Kapoa di Kecamatan Kadatua), yang telah banyak membantu kami baik dalam memperoleh data dan informasi maupun dalam membantu kenyamanan sehari-hari selama di lokasi kajian. Terakhir tidak lupa kami ucapkan penghargaan kami kepada para pewawancara dan masyarakat di kedua lokasi kecamatan yang telah banyak membantu tim peneliti dalam pelaksanaan survai.

Sebagai penutup, tiada gading yang tidak retak, meskipun tim peneliti bersama tim teknis di PPK-LIPI telah berusaha seoptimal mungkin

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME xiv

untuk menyelesaikan draft buku ini, namun kami yakin masih banyak kelemahan dan kekurangan dalam buku ini. Untuk itu kritik dan saran sangat kami harapkan demi penyempurnaan draft buku ini.

Jakarta, Desember 2008

Direktur NPIU CRITC COREMAP II-LIPI

Prof. DR. Ono Kurnaen Sumadiharga, MSc.

KASUS KABUPATEN BUTON xv

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME xvi

DAFTAR ISI RINGKASAN iii KATA PENGANTAR xiii DAFTAR ISI xvii DAFTAR TABEL xxi DAFTAR GRAFIK xxiii DAFTAR GAMBAR xxv BAB I PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1 1.2. Tujuan 5

BAB II PROFIL LOKASI PENELITIAN 9

A. Kecamatan Mawasangka (Kawasan Darat/Pesisir) 2.1. Keadaan Geografis Kecamatan Mawasangka 9 2.2. Potensi Sumberdaya Alam di Kecamatan

Mawasangka dan Pengelolaannya 11 2.2.1. Kondisi sumberdaya alam 11 2.2.2. Wilayah pengelolaan 14 2.2.3. Teknologi penangkapan 16 2.2.4. Sarana dan prasarana 19 2.2.5. Program dan kegiatan dalam

pengelolaan 25 2.3. Kependudukan Kecamatan Mawasangka 27

2.3.1. Jumlah dan Komposisi Penduduk 27 2.3.2. Pendidikan dan Ketrampilan 33 2.3.3. Pekerjaan 36 2.3.4. Kesejahteraan penduduk (To dan T1) 40

B. Kecamatan Kadatua (Kawasan Buton Pulau) 2.1. Keadaan Geografis Kecamatan Kadatua 47 2.2. Potensi Sumber Daya Alam di Kecamatan

Kadatua dan Pengelolaannya 50 2.2.1. Sumber daya alam 50

KASUS KABUPATEN BUTON xvii

2.2.2. Wilayah pengelolaan 55 2.2.3. Teknologi penangkapan 56 2.2.4. Sarana dan prasarana 59 2.2.5. Program dan kegiatan dalam

pengelolaan SDL 60 2.3. Kependudukan Kecamatan Kadatua 60

2.3.1. Jumlah dan Komposisi 60 2.3.2. Pendidikan dan ketrampilan 62 2.3.3. Pekerjaaan (Utama dan Tambahan) 64 2.3.4. Kesejahteraan (T0 dan T1) 66

BAB III COREMAP DAN IMPLEMENTASINYA 73

3.1. Pelaksanaan COREMAP : Permasalahan dan Kendala 73 3.1.1. Pengelolaan dan pelaksanaan/kegiatan

COREMAP di tingkat kabupaten 74 3.1.2. Pengelolaan dan pelaksanaan/kegiatan

Coremap di Kecamatan Mawasangka 89 3.1.3. Pengelolaan dan pelaksanaan/kegiatan

COREMAP di Kecamatan Kadatua 112 3.2. Pengetahuan dan Partisipasi Masyarakat

Terhadap Kegiatan/Program COREMAP 120 3.2.1. Tingkat Kabupaten 120 3.2.2. Kecamatan Mawasangka 129 3.2.3. Kecamatan Kadatua 137

BAB IV PENDAPATAN PENDUDUK DAN

PERUBAHANNYA (T0 dan T1) 145 4.1. Perkembangan Perekonomian Kabupaten

Buton 145 4.2. Perubahan Pendapatan Penduduk Di

Kecamatan Mawasangka Tahun 2006-2008 (T0 dan T1) 148 4.2.1. Pendapatan Penduduk 148 4.2.2. Faktor-faktor yang Berpengaruh

Terhadap Pendapatan 174

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME xviii

4.3. Perubahan Pendapatan di Kecamatan Kadatua Tahun 2006-2008 184 4.3.1. Pendapatan Penduduk 184 4.3.2. Faktor Yang Berpengaruh Terhadap

Pendapatan 188 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 197

5.1. Kesimpulan 197 5.1.1. Kecamatan Mawasangka (Kawasan

Peisisir) 197 5.1.2. Kecamatan Kadatua (Kawasan

Kepulauan) 204 5.2. Rekomendasi 207

DAFTAR PUSTAKA 211

KASUS KABUPATEN BUTON xix

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME xx

DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Data Kerusakan Karang Nasional 1

Tabel 2.1. Jumlah Penduduk (Rumah Tangga Sampel) Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Desa Mangumbangura dan Terapung (2008) 33

Tabel 2.2. Pemilikan dan Penguasaan Rumah Tangga Terhadap Aset Produksi di Desa Terapung dan Wakambangura Tahun 2006-2008 41

Tabel 2.3. Keragaman Penggunaan Alat Tangkap Ikan di Kabupaten Buton 58

Tabel 3.1. Kegiatan/Program CRITC dan Keterlibatan Unsur Masyarakat 122

Tabel 3.2. Kegiatan/Program CBM dan Keterlibatan Unsur Masyarakat 124

Tabel 3.3. Kegiatan/Program MCS dan Keterlibatan Unsur Masyarakat 127

Tabel 3.4. Kegiatan/Program Public Awareness dan Keterlibatan Unsur Masyarakat 128

Tabel 4.1. Struktur PDRB Kabupaten Buton Menurut Harga Berlaku Tahun 2004 dan 2006 146

Tabel 4.2. Statistik Pendapatan Rumah Tangga di Kecamatan Mawasangka, Kabupaten Buton Tahun 2006 dan 2008 (Rupiah) 151

Tabel 4.3. Distribusi Rumah Tangga Menurut Kelompok Pendapatan Rumah Tangga di Kecamatan Mawasangka, Kabupaten Buton Tahun 2006 dan 2008 (Persen) 154

KASUS KABUPATEN BUTON xxi

Tabel 4.4. Distribusi Pendapatan RT Menurut Lapangan Pekerjaan Kepala Rumah Tangga di Kecamatan Mawasangka, Kabupaten Buton,Tahun 2006 dan 2008 158

Tabel 4.5. Statistik Pendapatan Rumah Tangga Nelayan di Kecamatan Mawasangka, Kabupaten Buton, Tahun 2006 dan 2008 (Rupiah) 166

Tabel 4.6. Statistik Pendapatan Rumah Tangga dari Kegiatan Kenelayanan Menurut Musim 168

Tabel 4.7. Distribusi Rumah Tangga Nelayan Menurut Kelompok Pendapatan dan Musim 170

Tabel 4.8. Statistik Pendapatan Rumah Tangga Anggota Pokmas Tahun 2008. 173

Tabel 4.9. Pendapatan Rumah Tangga Menurut Lapangan Pekerjaan Kecamatan Kadatua Tahun 2006 (T0) dan 2008 (T1) 185

Tabel 4.10. Pendapatan Rumah Tangga Nelayan Menurut Musim di Kecamatan Kadatua Tahun 2006 (T0) dan 2008 (T1) 187

Tabel 4.11. Daftar Kecamatan Yang Menjadi Wilayah Program PEMP dan COREMAP di Kabupaten Buton 194

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME xxii

DAFTAR GRAFIK Grafik2.1. Komposisi Penduduk Menurut Kelompok Umur

dan Jenis Kelamin (Kec. Mawasangka) 29

Grafik 2.2. Perubahan Tingkat Pendidikan ART (7 tahun ke atas) di Desa Terapung dan Wakambangura (2006-2008) (Persen) 35

Grafik 2.3. Perubahan Lapangan Pekerjaan Utama KRT di Terapung dan Wakambangura Tahun 2006-2008 (%) 37

Grafik 2.4. Perubahan Lapangan Pekerjaan Tambahan KRT di Terapung dan Wakambangura Tahun 2006-2008 (Persen) 39

Grafik 2.5. Pemilikan dan Penguasaan Rumah Tangga Terhadap Aset Non-Produksi di Desa Terapung dan Wakambangura Tahun 2006-2008 42

Grafik 2.6. Jumlah Penduduk Kadatua Menurut Jenis Kelamin, 2004-2006 61

Grafik 2.7. Responden Menurut Jenjang Pendidikan di Lokasi Penelitian, Kadatua Tahun 2006 dan 2008 63

Grafik 2.8. Jenis Pekerjaan Utama Responden di Lokasi Penelitian, Kecamatan Kadatua Tahun 2006 dan 2008 65

Grafik 2.9. Jumlah Pemilikan Aset Sarana Penangkapan Ikan di Lokasi Penelitian, Kecamatan Kadatua Tahun 2006 dan 2008 67

KASUS KABUPATEN BUTON xxiii

Grafik 2.10. Jumlah Pemilikan Asset Alat Tangkap di Lokasi Penelitian, Kecamatan Kadatua Tahun 2006 dan 2008 69

Grafik 2.11. Jumlah Pemilikan Asset RT di Lokasi Penelitian, Kecamatan Kadatua Tahun 2006 dan 2008 70

Grafik 3.6. Pengetahuan Responden ttg COREMAP (%) 131

Grafik 3.7. Pengetahuan dan keterlibatan responden pada pembentukan LPS-TK dan lokasi 132

Grafik 3.8. Pengetahuan dan keterlibatan responden pada kegiatan pelatihan UEP dan lokasi 134

Grafik 3.9. Pengetahuan dan keterlibatan responden dalam kegiatan pendampingan UEP dan lokasi 135

Grafik 3.10. Pengetahuan dan keterlibatan responden dalam kegiatan pendampingan UEP dan lokasi 137

Grafik 3.1. Pengetahuan Dan Keterlibatan Dalam Kegiatan Coremap di Lokasi Penelitian, Pulau Kadatua 139

Grafik 3.2. Keterlibatan Responden dalam Pokmas COREMAP 140

Grafik 3.3. Pengetahuan dan Keterlibatan Responden Dalam Kegiatan Ekonomi COREMAP 141

Grafik 3.4. Sumber Informasi Pemilihan Jenis Usaha 142

Grafik 3.5. Pengetahuan dan Keterlibatan Responden dalam Kegiatan UEP COREMAP 143

Grafik 3.6. Penilaian Responden Tentang Keadaan Ekonomi Sekarang dan Sebelum COREMAP 144

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME xxiv

KASUS KABUPATEN BUTON xxv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Lokasi Penelitian di Kabupaten Buton 10

Gambar 2.2. Peta Wilayah Kabupaten Buton dan Sekitarnya 48

Gambar 2.3. Kondisi Tanah Pulau Kadatua 49

Gambar 2.4. Foto Anak yang Dipekerjakan Jualan Makanan. 64

Gambar 2.5. Kondisi Permukiman di Lokasi Penelitian 71

Gambar 2.6 Foto Penampung Air Hujan 72

Gambar 2.7 Foto Sumur Air Payau 72

Gambar 3.1. Peta Lokasi DPL Program COREMAP di Kabupaten Buton 80

Gambar 3.2. Foto Lomba Cerdas Cermat Tingkat SLTA 83

Gambar 3.3. Foto Kegiatan Patroli yang sedang menangkap basah pelaku illegal fishing 85

Gambar 4.1. Istri nelayan sedang menunggu suami dari laut 161

Gambar 4.2. Papa lele sedang menunggu nelaan dari laut 161

Gambar 4.3. Foto Prasarana Desa Yang Dibangun dari Village Grant 189

Gambar 4.4. Foto Mamalele/Pedagang Ikan di Desa Banabungi, Kadatua yang mendapat dana AIG untuk membeli Termos Es. 190

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

erusakan sumber daya kelautan di Indonesia, khususnya di wilayah padat penduduk, telah terjadi sejak 10 tahun terakhir. Beberapa fakta diantaranya adalah semakin menipisnya hutan

mangrove, bertambahnya jumlah wilayah perairan yang mengalami over fishing dan meningkatnya destructive fishing akibat penggunaan alat penangkap ikan yang tidak ramah lingkungan seperti bom ikan dan obat bius. Studi yang telah dilakukan oleh LIPI (Suharsono) pada tahun 2005, menyebutkan bahwa hanya sekitar 6 persen terumbu karang di wilayah timur Indonesia yang masih dalam kategori sangat bagus, dan sekitar 42 persen terumbu karang dalam kondisi kurang atau rusak dengan berbagai variasi tingkat kerusakan. (COREMAP- LIPI, 2005). Deskripsi kerusakan karang secara lengkap di tingkat nasional dan wilayah dapat dilihat pada Tabel 1.1.

K

Tabel 1.1. Data Kerusakan Karang Nasional

Wilayah Indonesia

Lokasi Stasiun

Sangat baik Baik Cukup Kurang

Barat 278 5,40 24,10 34,17 36,33 Tengah 213 6,10 31,92 45,07 16,30 Timur 195 6,15 21,03 30,77 42,05 Indonesia 686 5,83 25,66 36,59 31,92

Sumber: Suharsono, 2005 (www.COREMAP.or.id) Catatan : Sangat baik = 75 - 100% Cukup = 25 - 49,9% Baik = 50 - 74,9% Kurang = 0 - 24,9%

Seperti di daerah lainnya, hasil pengamatan di wilayah perairan Kabupaten Buton dan sekitarnya, menunjukkan bahwa praktek yang cenderung merusak ekosistem terumbu karang telah terjadi dalam waktu lama. Hal ini dibuktikan dengan berbagai hasil pengamatan

KASUS KABUPATEN BUTON 1

tentang kondisi terumbu karang di wilayah ini yang mengalami degradasi dengan tingkat kerusakan yang bervariasi. Hasil survei ekologi Pusat Penelitian Oseanografi LIPI pada tahun 2005, mengungkapkan bahwa kondisi karang di Kabupaten Buton tergolong dalam kategori ’sedang’. Menurut hasil pengamatan RRI di 32 stasiun, persentasi rata-rata tutupan karang hidup hanya sekitar 29,8 persen (P2O-LIPI, 2005).

Meningkatnya kegiatan COREMAP di wilayah Kabupaten Buton, pasti membawa pengaruh terhadap ekosistem di wilayah perairan sekitarnya, baik secara langsung maupun tidak. Hasil pengamatan terakhir tentang kondisi terumbu karang yang dilakukan oleh tim peneliti CRITC- COREMAP - LIPI pada tahun 2007, menunjukkan bahwa pertumbuhan karang (Acropora dan non-Acropora) dalam kategori sedang, dengan persentase rata-rata tutupan karang hidup sebesar 35,86 persen. Pertumbuhan karang pada umumnya berupa ”patches” yaitu kelompok-kelompok kecil (Manuputty dkk., 2007: 12). Namun demikian dibandingkan dengan hasil pengamatan tutupan karang pada tahun 2006 (T0) sebesar 34,27 persen dan tahun 2007 (T1) sebesar 35,86 persen, perubahan tutupan karang di Kabupaten Buton relatif rendah. Dari 12 titik yang diamati, titik terendah adalah 12,07 persen yaitu di Kawasan Mawasangka. Sementara titik tertinggi adalah 55,53 persen (P2O-LIPI, 2007). Dengan pencapaian ini, pertumbuhan karang di Kawasan Mawasangka tergolong jelek, sementara di Kawasan Kadatua dan Siompu, pencapaian tutupan karang sebesar 51,33 persen, tergolong baik.

Rendahnya hasil tutupan karang yang dicapai dalam 2 tahun terakhir di Kabupaten Buton, menunjukkan pemulihan kondisi terumbu karang seperti semula, memerlukan waktu lama dan perencanaan yang komprehensif, dengan melibatkan semua stakeholder terkait. Jeleknya kondisi karang terutama di Kawasan Mawasangka juga menunjukkan masih tingginya overfishing di daerah tersebut, meskipun menurut banyak informasi sudah jauh berkurang dibandingkan kondisi sebelumnya.

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 2

Program COREMAP yang direncanakan oleh pemerintah Indonesia selama 15 tahun dalam 3 fase, kini memasuki Fase 2. Upaya untuk merehabilitasi dan mengelola terumbu karang, kini sedang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan meluncurkan program pengelolaan terumbu karang, dikenal dengan COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program). Kabupaten Buton merupakan salah satu wilayah binaan COREMAP baru yang pendanaannya berasal dari Bank Dunia (World Bank). Di wilayah Kabupaten Buton terdapat 7 dari 17 kecamatan yang merupakan daerah binaan COREMAP, yaitu Kecamatan Mawasangka, Kadatua, Siompu, Wabula, Siontapina, Talaga, dan Losalimu. Studi dasar sosial ekonomi pada umumnya telah dilakukan di wilayah ini pada tahun 2006, termasuk di Kecamatan Mawasangka dan Kadatua, yang juga merupakan sampel kajian BME Sosial Ekonomi untuk Kabupaten Buton pada tahun 2008 ini.

Implementasi program COREMAP Fase I yang telah dilaksanakan di dua wilayah yaitu Kecamatan Mawasangka dan Kadatua, Kabupaten Buton, telah memberikan fondasi yang cukup kuat untuk pelaksanaan Pengelolaan Berbasis Masyarakat (PBM). Pendekatan PBM telah memberi pelajaran penting, bahwa keterlibatan seluruh stakeholders dalam pengelolaan terumbu karang sangat diperlukan terutama untuk membantu mencegah kerusakan karang lebih lanjut dan upaya pelestariannya. Pantai yang sangat panjang dan laut yang luas di wilayah ini dengan keterbatasan jumlah petugas dan sarana yang dimiliki, memerlukan keterlibatan dan partisipasi aktif seluruh stakeholders, khususnya masyarakat setempat dalam menjaga, mengelola dan melindungi sumber daya lautnya.

Dengan berakhirnya program COREMAP Fase I, sejak tahun 2006 program COREMAP di Kabupaten Buton pada umumnya telah memasuki Fase II. Pada periode ini, selain melanjutkan beberapa kegiatan sebelumnya, juga dilakukan akselarasi program-program yang sesuai dengan kondisi daerah. Penekanan program pada Fase II adalah mengelola dan melindungi sumber daya laut, khususnya terumbu karang. Studi Benefit Monitoring Evaluation (BME) sosial ekonomi pada tahun 2008 ini merupakan lanjutan dari Studi Dasar

KASUS KABUPATEN BUTON 3

Sosial Ekonomi yang dilakukan di wilayah sampel yang sama yaitu Desa Terapung dan Desa Mangumbangura, di Kecamatan Mawasangka, serta Desa Kapoa dan Wanoa di Kecamatan Kadatua, Kabupaten Buton. Studi BME ini memfokuskan pada evaluasi program COREMAP, terutama yang berkaitan dengan aspek sosial ekonomi. Laporan ini merupakan hasil kajian BME di lokasi tersebut, sebagai bagian dari evaluasi kegiatan yang telah, sedang dan akan dilakukan program COREMAP di wilayah ini. Perbandingan kondisi sosial ekonomi pada kedua periode kajian, diharapkan dapat mengetahui perubahan yang terjadi di wilayah tersebut, terutama berkaitan dengan pendapatan responden serta peran COREMAP terhadap perubahan tersebut. Hasil evaluasi ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi para stakehoder untuk perbaikan program selanjutnya, serta dapat dijadikan bahan evaluasi bagi keberhasilan COREMAP di wilayah ini dalam mencapai tujuan yang diharapkan.

Tujuan program COREMAP Fase II, terutama menekankan pada terciptanya pengelolaan ekosistem terumbu karang, agar sumber daya laut dapat direhabilitasi, diproteksi dan dikelola secara berkelanjutan, demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, khususnya di lokasi COREMAP. Untuk mencapai tujuan ini, maka program COREMAP menekankan pada Pengelolaan Berbasis Masyarakat (PBM) sebagai fokus utama kegiatan programnya.

Salah satu indikator keberhasilan COREMAP untuk lokasi World Bank dilihat dari aspek sosial ekonomi yaitu: 1) total pendapatan yang diperoleh dari, dan jumlah pendapatan dari berbagai kegiatan berbasis terumbu karang dan kegiatan alternatif di lokasi binaan COREMAP meningkat sebesar 10 persen pada akhir program (atau sebesar 2 persen per tahun). 2) Sekitar 70 persen nelayan/penerima manfaat merasa bahwa COREMAP berdampak positif terhadap kesejahteraan dan status sosial ekonomi masyarakat, terutama nelayan (beneficiary) di lokasi program. (World Bank, Proyect Appraisal Document, 2004).

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 4

1.2. TUJUAN

Secara umum penelitian bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan COREMAP di Kabupaten Buton dan mengetahui kondisi sosial ekonomi masyarakat, khususnya tingkat pendapatan masyarakat di loaksi kajian, untuk memantau dampak Program COREMAP terhadap kesejahteraan masyarakat.

Secara rinci tujuan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

• Mengidentifikasi permasalahan dan kendala pelaksanaan COREMAP di Kabupaten Buton.

• Mengkaji pemahaman masyarakat mengenai program COREMAP.

• Menggambarkan tingkat pendapatan masyarakat untuk memantau dampak program COREMAP terhadap kesejahteraan masyarakat.

1.3. METODOLOGI

Lokasi

Studi BME tahun 2008 (T1) merupakan studi lanjutan tentang Data Dasar Sosial Ekonomi yang pernah dilakukan pada tahun 2006 (T0) di Kabupaten Buton. Untuk itu dilakukan survei dengan menentukan lokasi yang sama dengan lokasi kajian sebelumnya yaitu Kecamatan Mawasangka dan Kadatua. Demikian pula untuk lokasi penelitiannya, kembali ke desa binaan pada masing-masing kecamatan yaitu Desa Terapung dan Wakambangura di Kecamatan Mawasangka, dan Desa Wanoa dan Kapoa di Kecamatan Kadatua.

Responden

Untuk kajian tahun ini (T1), seperti pada kajian sebelumnya (T0), sasaran kajian adalah 100 rumah tangga sampel untuk masing-masing kecamatan, yaitu responden yang sama dengan responden pada kajian sebelumnya (T0), kecuali apabila responden lama sudah tidak berada lagi di lokasi, karena meninggal atau pindah, dapat

KASUS KABUPATEN BUTON 5

digantikan dengan responden terdekat dari responden sebelumnya. Pada kajian T1, survei pendapatan juga mencakup anggota POKMAS UEP, sehingga jumlah rumah tangga sampel dapat ditambah sampai maksimal 30 rumah tangga, apabila dalam target 100 rumah tangga sampel belum mencakup variasi anggota POKMAS. Pemilihan sampel anggota POKMAS diupayakan mencakup berbagai kelompok kegiatan UEP yang ada di lokasi kajian. Apabila dalam 100 rumah tangga sampel sudah terdapat cukup anggota POKMAS, maka tambahan rumah tangga sampel hanya untuk memperoleh variasi kegiatan UEP.

Pembabagan

Laporan kajian BME di Kabupaten Buton terdiri dari 5 bab, yang diawali dengan bab pendahuluan (Bab I) dan diakhiri dengan bab kesimpulan dan rekomendasi (Bab V).

Ketiga bab lainnya yaitu Bab II,III dan IV adalah analisa hasil penelitian BME.

Bab II menguraikan profil lokasi penelitian terutama mengenai keadaan geografis, potensi sumber daya alam (SDA) dan pengelolaannya. Sebagai akhir bagian ini adalah tentang kependudukan dan perubahannya serta mengkaji perubahan kesejahteraan berdasar data T0 dan T1.

Bab III mengkaji tentang COREMAP dan implementasinya di tingkat kabupaten dan di lokasi kajian masing-masing (tingkat desa). Inti tulisan pada bab ini adalah pelaksanaan COREMAP dan permasalahannya, serta hasil survei tentang pengetahuan dan partisipasi asyarakat dalam kegiatan COREMAP di lokasi tersebut

Bab IV merupakan inti sari tulisan yaitu tentang pendapatan penduduk dan perubahannya, sebagai hasil kajian kedua survei (T0 dan T1). Bab ini terutama mengkaji pendapatan penduduk dan perubahannya (2006-2007), serta factor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan penduduk (COREMAP dan lainnya).

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 6

Akhir dari tulisan yaitu Bab V merupakan kesimpulan atau benang merah hasil kajian BME di Kabupaten Buton dan beberapa rekomendasi sebagai masukan untuk perbaikan program COREMAP ke depan.

KASUS KABUPATEN BUTON 7

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 8

BAB II

PROFIL LOKASI PENELITIAN

ecamatan Mawasangka dan Kadatua yang merupakan lokasi sampel kajian, adalah 2 dari 7 kawasan binaan COREMAP yang lokasinya di wilayah bagian barat Kabupaten Buton,

namun lokasinya di pulau yang berbeda. Lokasi Kecamatan Mawasangka di Pulau Muna, sementara Kecamatan Kadatua di wilayah Kepulauan Buton. Kecamatan Kadatua terletak sekitar 40 mil dari Bau-bau, atau sekitar 15 menit jarak tempuh dari Bau-bau ke Kadatua dengan menggunakan transportasi laut. Sedangkan jarak Kecamatan Mawasangka ke Pasarwajo (ibukota Bau-bau) sekitar 108 km, yang dapat ditempuh melalui jalur laut (15 menit) dan dilanjutkan dengan transportasm darat (sekitar 2 jam). Secara lebih rinci profil kedua lokasi sebagai berikut.

K

A. Kecamatan Mawasangka (Kawasan Darat/Pesisir)

2.1. KEADAAN GEOGRAFIS KECAMATAN MAWASANGKA

Kecamatan Mawasangka, salah satu kecamatan di Kabupaten Buton, secara geografis berada pada 5029’ - 5059’ Lintang Selatan dan 122014’ – 122038’ Bujur Timur. Kecamatan ini berbatasan dengan Selat Spelman di sebelah Selatan, Kabupaten Muna di sebelah Utara, Kecamatan Lakudo di sebelah Timur dan Laut Flores di sebelah Barat. Topografi Kecamatan Mawasangka terdiri dari daratan berpasir di daerah sepanjang pantai dan daerah dataran berbatu. Jenis tanah yang kurang subur menyebabkan hanya ada beberapa jenis tanaman tertentu yang tumbuh seperti jambu mete, coklat, kelapa, jagung, kacang, dan ubi. Beberapa jenis tanaman ini merupakan sumber mata pencaharian masyarakat, di samping hasil laut yang merupakan mata pencaharian utama penduduk di wilayah ini. Daerah binaan COREMAP II Kabupaten Buton di Kecamatan Mawasangka terdiri dari 4 desa, yaitu: Desa Terapung, Desa Kancebumi, Desa

KASUS KABUPATEN BUTON 9

Wakambangura dan Desa Gumanano. Desa Terapung terletak di bagian Utara wilayah kecamatan dan berada agak berjauhan dengan ketiga desa lainnya. Sedang ketiga desa lainnya terletak bersebelahan satu sama lainnya, yaitu Desa Wakambanguna, Kancebumi dan Desa Gumamano yang terletak di bagian paling selatan. Pada tahun 2007, dilakukan pemekaran wilayah Kecamatan Mawasangka menjadi Kecamatan Mawasangka (Induk), Mawasangka Tengah dan Mawasangka Timur. Pemekaran ini berpengaruh pada penambahan daerah binaan COREMAP II pada kecamatan baru tersebut. Desa Terapung dan Desa Wakambangura di Kecamatan Mawasangka Induk merupakan lokasi kajian dalam penelitian ini.

Gambar 2.1: Lokasi Penelitian di Kabupaten Buton

Desa Terapung adalah salah satu lokasi binaan COREMAP yang menjadi lokasi kajian, terdiri dari 4 Dusun, yaitu Dusun Waburense, Kaudani, Terwani dan Dusun Air Wajo. Secara topografi wilayah desa ini merupakan dataran rendah. Sebelumnya desa ini merupakan

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 10

hutan mangrove yang kemudian dijadikan sebagai wilayah pemukiman penduduk, terutama untuk masyarakat suku Bajo. Kondisi wilayah yang rendah ini menyebabkan air laut pada saat pasang menggenangi daratan sampai ke pemukiman penduduk. Tingkat kesuburan tanah di desa ini relatif rendah sehingga hanya dapat ditanami oleh jenis tumbuhan tertentu, seperti kelapa, jagung, ubi dan mete.

Desa Wakambangura yang juga merupakan desa binaan dan lokasi kajian terdiri dari 5 Dusun, yaitu Dusun Lantou, La Besu, La Maraja, La Kaho dan Dusun La Awa. Kondisi desa ini tidak berbeda jauh dengan kondisi Desa Terapung. Secara topografi desa ini berada sedikit lebih tinggi yaitu sekitar 2 m di atas permukaan laut. Tingkat kesuburan tanah kedua desa relatif sama, sehingga hanya tanaman tertentu saja yang dapat tumbuh seperti kelapa, ubi, jagung, mete dan sayuran labu.

Perbedaan musim (angin timur dan angin barat) berpengaruh terhadap kegiatan kenelayanan di daerah ini. Selain mempengaruhi wilayah tangkap, perbedaan musim juga berpengaruh pada jenis alat tangkap. Pada musim Timur (musim gelombang lemah) nelayan dapat menangkap ikan sampai ke wilayah yang agak jauh di tengah laut dengan menggunakan alat tangkap bagan, pancing atau bubu. Sedangkan nelayan yang mempunyai kegiatan budi daya rumput laut melakukannya di sekitar pantai. Pada musim Barat (musim angin kencang), nelayan menangkap ikan dengan alat tangkap pancing. Selama musim Barat ini sebagian besar Bagan masuk dok untuk perbaikan kerusakan jaring dan kapal. Pada musim ini sebagian nelayan bagan beralih alat tangkap ke pancing atau bubu, dengan wilayah tangkap di sekitar pantai atau beralih pada pekerjaan pertanian. Selama musim ini ada juga nelayan bagan yang tidak melakukan aktivitas ke laut dan mereka hanya memperbaiki kerusakan bagan. Begitu juga petani budi daya rumput laut umumnya juga beralih pekerjaan yaitu menangkap ikan dengan alat pancing di sekitar pantai dan sebagian lain beralih ke pekerjaan pertanian.

KASUS KABUPATEN BUTON 11

2.2. Potensi Sumberdaya Alam di Kecamatan Mawasangka dan Pengelolaannya

2.2.1. Kondisi sumberdaya alam

Wilayah Kecamatan Mawasangka, terutama Desa Terapung dan Wakambangura meliputi wilayah pesisir yang berada disepanjang pantai dan wilayah pedalaman. Wilayah pesisir sebagian besar merupakan wilayah pemukiman penduduk dan wilayah pedalaman sebagian besar dimanfaatkan sebagai kawasan perkebunan (mete) dan pertanian tanaman pangan (jagung, ubi, pisang). Wilayah perairan dimanfaatkan sebagai lahan mata pencaharian menangkap ikan dan budi daya rumput laut oleh hampir semua penduduk.

Sumberdaya laut

Wilayah laut disekitar Kecamatan memiliki potensi terumbu karang yang cukup besar, terutama di Desa Wakambangura. Pada sepanjang garis pantai di Desa Wakambangura membujur terumbu karang yang menurut masyarakat setempat merupakan karang terpanjang di Kabupaten Buton. Potensi karang juga terdapat disekitar pulau-pulau kecil yang ada di wilayah perairan Kecamatan Mawasangka. Keberadaan karang ini menjadi tempat hidup berbagai jenis ikan yang hidup disekitar terumbu karang (ikan karang), seperti ikan kerapu, ikan sunu dan sebagainya. Potensi sumber daya laut (SDL) meliputi berbagai jenis ikan, biota laut dan rumput laut. Jenis-jenis ikan yang menjadi hasil tangkapan antara lain ikan tongkol, cakalang, baronang, bobara, teri, kakap, kepiting, cumu-cumi. Jenis biota laut lainnya yang dimanfaatkan adalah teripang, bulu babi, siput laut, bintang laut, kerang laut.

Ikan teri adalah jenis ikan yang menonjol di Kecamatan Mawasangka. Pada tahun 2005, jumlah hasil tangkapan ikan teri di Kecamatan Mawasangka adalah sebanyak 6.037,20 ton atau 56 % dari hasil tangkapan laut lainnya (Dinas Kelautan dan Perikatan, 2005). Ikan teri merupakan hasil tangkapan utama nelayan di Desa Terapung. Ikan teri ditangkap menggunakan bagan pada musim Timur (bulan

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 12

Mei-September). Berdasarkan informasi dari Kepala Desa Terapung, dalam sekali musim jumlah produksi ikan teri di desa ini mencapai 420 ton, untuk memenuhi pemasaran ekspor dan dalam negeri. Produksi ikan teri di desa ini didukung oleh keberadaan basecamp atau industri pengolahan ikan teri dengan cara pengasinan dan pengeringan yang berjumlah 9 buah. Sistim pemasaran yang cukup bagus menjadikan ikan teri sebagai sumber pendapatan bagi masyarakat.

Kepiting adalah hasil laut yang sangat potensial di wilayah perairan Mawasangka, terutama Desa Terapung. Kepiting merupakan hasil tangkapan utama nelayan di Desa Terapung setelah ikan teri. Kepiting ditangkap nelayan sepanjang tahun menggunakan alat tangkap bubu. Seperti halnya ikan teri, kepiting hasil tangkapan nelayan dijual pada pengumpul kepiting yang sekaligus memiliki basecamp pengolahan kepiting.

Wilayah perairan Kecamatan Mawasangka sangat cocok untuk pengembangan rumput laut. Budi daya rumput laut di kecamatan ini paling besar dibandingkan kecamatan lainnya . Pada tahun 2005, jumlah produksi rumput laut di Kecamatan Mawasangka sebesar 4.072,2 ton atau sekitar 27% dari total produksi rumput laut kecamatan (Dinas Kelautan dan Perikanan, 2006). Budi daya rumpt laut dilakukan oleh hampir semua desa di Kecamatan Mawasangka. Kondisi pantai dengan kemiringannya dan arus air disekitar pantai sangat cocok untuk budi daya rumput laut. Desa Wakambangura adalah salah satu desa yang mayoritas nelayannya melakukan budi daya rumput laut dan memiliki areal bididaya rumput laut paling luas dibandingkan desa lainnya, yaitu sekitar 145,9 Ha. Potensi rumput laut ini didukung oleh pemasaran yang cukup bagus karena ada pengumpul rumput laut di tingkat desa.

Sumberdaya darat

Wilayah daratan memiliki sumberdaya alam yang cukup potensial untuk dikembangkan. Berdasarkan data statistik lahan seluas 42.177 Ha di Kecamatan Mawasangkan potensial untuk perkebunan dan

KASUS KABUPATEN BUTON 13

ladang. Namun kondisi lahan yang relatif kurang subur dan sebagian lahan berbatu-batu menyebabkan hanya tanaman tertentu yang dapat tumbuh, yaitu tanaman yang tidak banyak membutuhkan air, seperti tanaman keras: jambu mete, kelapa, coklat dan tanaman pangan: ubi kayu, jagung dan ubi jalar. Ubi kayu dan jagung merupakan hasil tanaman pangan yang banyak diusahakan masyarakat. Ubi kayu digunakan sebagai bahan untuk membuat bahan makanan pokok masyarakat setempat selain beras, yaitu ’kasuami’. Kasuami terdiri dari campuran ubi kayu dan kelapa yang dimakan dengan ikan.

Mete (jambu mete) adalah hasil perkebunan yang sangat penting bagi masyarakat di daerah ini. Kabupaten Buton khususnya Kecamatan Mawasangka terkenal sebagai penghasil jambu mete dan pemasarannya relatif luas sampai keluar provinsi, dengan harga yang cukup bagus. Selain sebagai sumber pendapatan, potensi jambu mete dapat memberi lapangan pekerjaan bagi masyarakat setempat, terutama bagi kaum perempuan. Hasil perkebunan seperti jambu mete, kelapa, coklat merupakan komoditi komersial yang hasilnya sebagai sumber pendapatan bagi masyarakat.

2.2.2. Wilayah pengelolaan

Wilayah pengelolaan sumber daya laut menunjukkan wilayah laut yang dimanfaatkan nelayan dalam mendapatkan hasil tangkapan sumber daya laut atau wilayah tangkap nelayan. Secara umum, jangkauan wilayah tangkap sangat tergantung pada jenis armada dan alat tangkap. Armada tangkap kapal motor dengan kekuatan mesin cukup besar dapat menjangkau wilayah tangkap yang cukup jauh ke tengah laut, sebaliknya kapal motor berkekuatan mesin kecil memiliki wilayah tangkap yang lebih dekat.

Masyarakat nelayan Kecamatan Mawasangka menangkap ikan di sekitar perairan Mawasangka, di lokasi terumbu karang hidup, sampai batas laut lepas di sekitar Pulau Kabaena yang berjarak sekitar 4 km atau sekitar 2 jam perjalanan dengan menggunakan perahu motor. Armada kapal motor yang digunakan nelayan memiliki kapasitas mesin relatif kecil, sehingga wilayah tangkap masih terbatas pada

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 14

wilayah jarak 1 sampai 2 jam perjalanan atau paling jauh pada jarak 4 km di sekitar Pulau Kabaena. Untuk memaksimalkan hasil tangkapan maka penangkapan ikan dilakukan dengan cara berpindah-pindah ke tempat-tempat yang banyak ikan. Wilayah tangkap paling jauh dari garis pantai biasanya dilakukan oleh nelayan pancing yang menangkap ikan tuna. Nelayan pancing ikan karang biasanya menangkap ikan melewati batas wilayah desa lain, seperti nelayan Desa Terapung menangkap ikan sampai ke wilayah Desa Gumanano di sebelah utara. Karang yang dituju adalah Karang Lanabatupateh, Pasitoropimpi dan Pasititinganga.

Wilayah tangkap paling dekat dilakukan oleh nelayan budi daya rumput laut, yang dilakukan di sepanjang pantai pada jarak sekitar 100 meter dari garis pantai. Hampir semua garis pantai di Kecamatan Mawasangka dengan struktur pantai yang landai, dikuasai oleh nelayan budi daya rumput laut. Penguasaan lahan pantai untuk budi daya rumput laut oleh masyarakat sudah lama dilakukan, sehingga mereka yang sejak awal sudah menguasai lahan tertentu, selanjutnya lahan tersebut menjadi wilayah bawah penguasaannya. Aturan ini sudah berlaku dan diterima oleh masyarakat nelayan. Lahan tertentu yang dikuasai nelayan budi daya dapat dipinjamkan pada nelayan budi daya lain dengan membuat kesepakatan antarkedua pihak. Perluasan areal untuk budi daya dapat dilakukan ke wilayah laut dalam.

Selama dua tahun (2006-2008) wilayah tangkap nelayan Desa Terapung maupun Desa Wakambangura tidak banyak mengalami perubahan. Wilayah tangkap masih berada di sekitar wilayah perairan selatan Pulau Muna sampai ke perairan Pulau Kabaena. Sebaliknya, nelayan dari luar kecamatan banyak melakukan penangkapan ikan di sekitar wilayah perairan Mawasangka. Menurut salah seorang informan (nelayan), perairan di sekitar Desa Terapung relatif dangkal, sehingga lebih mudah mendapatkan ikan. Selanjutnya beberapa informan menyatakan, sejak adanya program COREMAP, cara penangkapan ikan dengan menggunakan bom mulai berkurang, sehingga menyebabkan populasi ikan mulai meningkat. Kondisi ini banyak dimanfaatkan oleh nelayan dari luar untuk menangkap ikan di

KASUS KABUPATEN BUTON 15

sekitar perairan Mawasangka. Menurut informasi, nelayan luar masih ada yang menggunakan obat bius untuk penangkapan ikan. Indikasinya dapat dilihat dari sisik ikan yang menjadi agak lunak, akibat obat bius.

2.2.3. Teknologi penangkapan

Teknologi penangkapan ikan dapat diketahui dari jenis-jenis armada tangkap (kapal motor/perahu) dan alat tangkap yang digunakan oleh nelayan Desa Terapung dan Desa Wakambangura. Berdasarkan hasil survei dan wawancara dengan nelayan, teknologi penangkapan ikan oleh nelayan tidak banyak mengalami perubahan selama dua tahun terakhir. Armada tangkap dan alat tangkap yang digunakan nelayan relatif masih sederhana. Alat tangkap yang digunakan nelayan adalah bagan, pancing, jaring dan bubu (ikan dan kepiting) dan armada tangkap yang digunakan adalah kapal/perahu motor bermesin dalam dan perahu motor bermesin tempel atau katingting yang memiliki kapasitas mesin relatif kecil. Kapal motor yang digunakan nelayan memiliki kapasitas mesin antara 5-22 PK dengan ukuran body 5-10 GT. Perahu motor dengan mesin berukuran 22 -24 PK, biasanya digunakan pada bagan karena memiliki kemampuan besar untuk membawa bagan berpindah tempat. Perahu dengan kemampuan mesin antara 16-22 PK, juga digunakan nelayan yang menggunakan pancing atau bubu untuk menangkap ikan, dengan wilayah tangkap yang cukup jauh. Sementara itu, katingting yang memiliki ukuran mesin lebih kecil yaitu 5,5 PK dan ukuran body 2,5 sampai 7 meter, biasa digunakan oleh nelayan bagan, untuk menganggkut bagan dan membawa pulang hasil tangkapan ikan dari bagan.

Teknologi armada tangkap belum menunjukkan perkembangan yang berarti. Hal ini disebabkan masih terbatasnya kemampuan modal nelayan untuk memperbarui kapal motor, baik kapasitas mesin maupun ukuran perahu motornya. Biaya satu unit perahu motor dengan kapasitas mesin yang biasa dipakai sekitar 12 juta rupiah, dan biaya perahu motor tempel atau katingting sekitar 10 juta rupiah per unit. Perahu motor merupakan modal utama bagi masyarakat nelayan, sehingga bagi anak muda yang berkeinginan untuk menjadi nelayan,

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 16

biasanya mereka pergi merantau dulu ke Malaysia untuk mendapatkan modal. Setelah modal cukup, mereka pulang dan langsung membeli perahu motor, atau membuatnya sesuai dengan kemampuan.

Jumlah alat tangkap yang dimiliki nelayan mengalami perubahan dalam dua tahun terakhir. Di Desa Terapung jumlah bagan mengalami penurunan dari 400-an sampai 220 buah (informasi dari Kades Terapung). Penurunan ini disebabkan mahalnya biaya perbaikan bagan dalam sekali masuk doc sehingga sebagian nelayan bagan beralih menggunakan bubu dan sebagian pergi merantau ke Irian. Nelayan yang tidak memfungsikan bagan yang dimiliki dapat diketahui dari adanya drum plastik yang disimpan berjejer di bawah kolong rumahnya. Sementara penggunaan bubu kepiting oleh nelayan Desa Terapung mengalami peningkatan. Bubu yang banyak digunakan adalah bubu kawat karena lebih cepat memasang dan mengambilnya dari pada menggunakan bubu bambu. Penurunan jumlah basecamp teri juga terjadi di Desa Terapung dari 13 buah menjadi 9 buah dan basecamp kepiting dari 3 buah menjadi 2 buah. Berkurangnya jumlah basecamp disebabkan adanya missmanagement dalam pengelolaan basecamp tersebut. Penambahan jumlah keramba juga terjadi pada kedua desa lokasi penelitian. Di Desa Wakambangura, terjadi penambahan jumlah keramba ikan hidup dari 2 buah menjadi 9 buah keramba. Sementara di Desa Terapung yang sebelumnya tidak ada, kini sudah ada seorang nelayan yang memiliki keramba galian dan juga menjadi pengumpul ikan hidup dari nelayan. Sebelumnya ikan hidup atau ikan karang (mati) yang diperoleh nelayan Desa Terapung dijual di pasar lokal untuk dikonsumsi. Penambahan jumlah karamba ini mencerminkan adanya peningkatan jumlah produksi ikan karang hidup dan peningkatan jumlah permintaan ikan hidup.

Bagan adalah alat tangkap yang digunakan oleh mayoritas nelayan di Desa Terapung untuk menangkap ikan teri. Jenis bagan yang digunakan oleh nelayan adalah Bagan Drom dan Bagan Sema. Bagan drom menggunakan perahu motor dilengkapi dengan jaring dan tiang-tiang kayu penyangga dan di bawahnya dijejerkan beberapa drom

KASUS KABUPATEN BUTON 17

supaya jaring dapat terapung diatas air. Bagan Sema hampir sama dengan bagan drom tetapi di samping kiri dan kanan perahu diberi tangan untuk menjaga keseimbangan. Bagan drom dan bagan sema digunakan oleh nelayan sejak tahun 2000, sebelumnya nelayan di Desa Terapung menggunakan Bagan Tancap. Salah satu kelemahan bagan tancap adalah lokasi bagan tidak bisa dipindah-pindah, sedangkan bagan drum dan bagan sema dapat dipindah-pindah sesuai dengan sasaran lokasi ikan. Penangkapan ikan teri dilakukan pada malam hari dengan menurunkan jaring. Untuk menarik ikan masuk ke dalam jaring, digunakan lampu petromak atau lampu diesel, dan jaring diangkat setelah ikan masuk. Mahalnya biaya pembuatan dan perawatan bagan, menyebabkan tidak banyak terjadi penambahan jumlah bagan di kalangan nelayan.

Pancing merupakan alat tangkap sederhana yang banyak digunakan oleh nelayan. Nelayan pancing biasanya pergi melaut setiap hari (pagi sampai sore) selama musim Timur. Sedangkan pada musim Barat, penangkapan ikan dengan pancing dilakukan di sekitar pantai. Sebagain nelayan pancing adalah juga nelayan bagan, nelayan bubu atau nelayan budi daya rumput laut. Mereka beralih menggunakan pancing terutama pada musim barat (diluar musim ikan teri dan rumput laut). Jenis pancing yang digunakan adalah pancing ulur, tonda dan rawai. Jenis ikan yang ditangkap dengan menggunakan pancing adalah ikan karang, cumi dan ikan laut dalam (cakalang, tuna), yang disesuaikan dengan mata pancingnya. Pancing rawai menggunakan 50-100 buah mata pancing dilengkapi dengan besi pemberat pada ujung tali. Ikan rumah-rumah, ikan tembang, ikan kakap merah dan ikan karang adalah jenis ikan yang ditangkap dengan pancing rawai. Pancing tonda digunakan untuk memancing ikan tongkol dan cakalang. Pancing ini menggunakan 10-17 mata pancing dan tali nomor 500 sebanyak 1 gulung dan ditarik dengan tangan pada saat kapal motor dimatikan. Ukuran mata pancing dan jenis tali yang digunakan disesuaikan dengan besar kecilnya ikan. Untuk ikan kecil digunakan mata pancing dan tali ukuran kecil, sebaliknya mata pancing besar untuk ikan ukuran besar. Pancing juga

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 18

dapat digunakan untuk menangkap cumi. Mata pancing dan umpan untuk menangkap cumi harganya lebih mahal.

Bubu adalah salah satu alat tangkap yang digunakan nelayan untuk menangkap ikan dan kepiting. Nelayan di Desa Terapung menggunakan bubu untuk menangkap kepiting dan nelayan di Desa Wakambangura menangkap ikan karang dengan bubu. Berdasarkan bentuk bubu, terdapat beberapa macam bubu yaitu bubu setengah lingkaran dan bubu kotak. Bubu setengah lingkaran terbuat dari kawat dan jaring, dan digunakan untuk menangkap kepiting. Sedangkan bubu kotak banyak digunakan untuk menangkap ikan karang oleh nelayan di Desa Wakambangura. Pada tahun 2006, untuk membuat100 unit bubu setengah lingkaran, dibutuhkan kawat sebanyak 1 kg 5 ons dan jaring 6 kg. Sekarang ini bubu kawat untuk kepiting semakin banyak di gunakan nelayan dibandingkan pemakaian bubu dari kayu. Pemakaian bubu kawat dianggap lebih mudah, yaitu dengan cara menenggelamkan bubu dengan bnatuan tali, demikian pula untuk mengambilnya dengan cara menarik talinya dan bubu bisa dilipat. Hasil kepiting yang diperoleh juga lebih banyak, karena bubu dapat diletakkan di dasar laut. Sementara penggunaan bubu kayu memerlukan waktu lebih lama, karena bubu harus diletakkan dan diangkat satu per satu.

2.2.4. Sarana dan prasarana

Pada bagian ini akan menggambarkan sarana dan prasarana yang terkait dengan pengelolaan SDL dan kesejahteraan penduduk di Kecamatan Mawasangka yang meliputi: sarana pendidikan, transportasi dan komunikasi dan ekonomi.

Sarana pendidikan

Secara umum, Kecamatan Mawasangka memiliki sarana pendidikan yang cukup lengkap mulai dari SD sampai SMA. Berdasarkan data statistik (BPS, 200) sarana prasarana pendidikan di Kecamatan Mawasangka terdiri dari 27 sekolah SD, 2 SMP dan 1 sekolah SMA. Namun demikian, jumlah sarana dan prasarana pendidikan yang ada

KASUS KABUPATEN BUTON 19

relatif kecil dibandingkan luas wilayah kecamatan (sebelum pemekaran), yang merupakan kecamatan terluas di Kabupaten Buton. Sekolah SMP dan SMA hanya terdapat di kota kecamatan, sementara akses masyarakat untuk mencapai sarana pendidikan relatif sulit, karena jarak sekolah SMP dan SMA dengan desa di sekitarnya relatif jauh dan tidak terdapat transport umum. Selama dua tahun terakhir terdapat penambahan sarana pendidikan di Kecamatan Mawasangka yaitu 3 buah SMP yaitu satu SMP di Desa Tanailandu (tahun 2006) dan selebihnya di Napa dan Matara (sekarang termasuk Mawasangka Timur) yang dibangun pada tahun 2007. Pada tahun 2008 direncanakan akan dibangun sebuah SMK di kota kecamatan.

Desa Terapung memiliki sarana pendidikan SD dan MTs Swasta dengan satu ruang kelas dan baru memiliki siswa sampai kelas 2. Tingkat pendidikan anak di desa ini relatif rendah karena sebagian besar tingkat pendidikan anak hanya sampai SD dan SMP. Banyak yang tidak melanjutkan pendidikan ke SMP. Sekolah SMP hanya ada di Kecamatan Banga yang berjarak sekitar 7 km dari desa. Jarak yang cukup jauh ditambah dengan langkanya sarana trasnportasi umum sampai ke desa, menyebabkan banyak anak yang tidak melanjutkan pendidikan ke SMP. Sekolah SMA hanya ada satu di ibukota kecamatan yang berjarak sekitar 17 km dari Desa Terapung, sehingga diperlukan biaya yang cukup besar untuk pergi sekolah. Umumnya mereka yang melanjutkan ke SMA berasal dari keluarga yang cukup mampu karena dibutuhkan biaya transport yang cukup besar atau biaya pondokan atau harus memiliki kendaraan bermotor. Penambahan sarana sekolah SMP di beberapa desa, cukup bermanfaat karena memberi kemudahan bagi lulusan SD yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP. Menurut informasi dari Kepala Sekolah SD Terapung, sebelum ada tambahan SMP, tingkat melanjutkan pendidikan ke SMP hanya 30 persen. Kini setelah ada MTsS di Desa Terapung dan SMP di Tanailandu, sebagian besar tamatan SD melanjutkan ke tingkat SMP. Kondisi sekolah MTsS masih memerlukan perbaikan dan pengembangan, sehingga tahun 2008 direncanakan untuk direnovasi dengan bantuan dana dari Program COREMAP.

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 20

Di samping kendala transportasi, kurangnya aspirasi orang tua untuk menyekolahkan anak menjadi salah satu faktor rendahnya pencapaian tingkat pendidikan. Faktor ekonomi menjadi alasan para orang tua untuk tidak menyekolahkan anaknya lebih lanjut. Banyak anak usia sekolah yang sudah bekerja baik sebagai nelayan maupun pekerjaan lainnya, seperti petani (di kebun), di pabrik pengolahan ikan dan kepiting (basecamp) di Desa Terapung atau bahkan sebagai buruh budi daya agar/rumput laut di Desa Wakambangura. Faktor kemudahan mendapatkan pekerjaan, menjadi salah satu faktor yang menyebabkan banyak anak-anak bekerja dan malas untuk melanjutkan sekolah. Pada umumnya mereka mudah memperoleh uang untuk jajan sendiri maupun untuk membantu orang tua. Oleh karena itu, pasang surut kegiatan kenelayanan di Desa Terapung akibat perubahan musim (Timur dan Barat), ikut berpengaruh pada tingkat kehadiran siswa di sekolah. Pada musim Timur (musim bagan) anak laki-laki ikut membantu orang tua ke bagan, sehingga sering tidak masuk sekolah sedang pada musim Barat absensi berkurang, karena siswa rajin datang sekolah.

Seperti halnya di Desa Terapung, Desa Wakambangura juga memiliki satu buah SD dan tidak memiliki SMP. Namun dilihat dari aksessibilitasnya, desa ini memiliki jarak yang lebih dekat ke kota kecamatan dibandingkan Desa Terapung (sekitar 7 km), sehingga lebih mudah untuk melanjutkan ke SMP di kota kecamatan.

Sarana ekonomi

Sarana ekonomi yang tersedia di Kecamatan Mawasangka masih terbatas pada sarana pasar dan warung sembako. Di Kecamatan Mawasangka terdapat 4 buah pasar yang terdiri dari 3 pasar permanen dan 1 pasar tidak permanen. Ketiga pasar permanen yang dapat mendukung kegiatan ekonomi masyarakat berlokasi di Desa Watolo, Terapung dan Wakambangura, dan satu pasar non permanen di Desa Tanailandu. Sebelumnya, pasar di Desa Wakambangura juga merupakan pasar non permanen, setelah dilakukan perbaikan pasar tahun 2008 melalui Program PPK, statusnya berubah menjadi pasar permanen. Keberadaan pasar sangat penting dalam menunjang

KASUS KABUPATEN BUTON 21

kegiatan ekonomi masyarakat, terutama sebagai tempat jual-beli hasil perikanan dan pertanian. Masing-masing pasar memiliki hari pasar yang berbeda, di Terapung hari pasar adalah Rabu dan Minggu, di Wakambangura pasar diadakan dua hari sekali dan pasar di Watolo (kota kecamatan) dua kali dalam seminggu. Perbedaan hari pasar di masing-masing lokasi mempermudah masyarakat dalam melakukan transaksi jual-beli, karena mereka dapat ke pasar setiap hari, tergantung hari pasar lokasi tersebut. Ikan hasil tangkapan nelayan dijual di pasar-pasar yang ada di kecamatan melalui pedagang ikan atau ’papalele’. Papalele membeli ikan langsung pada nelayan yang baru pulang dari laut dan selanjutnya dibawa ke pasar. Begitu juga hasil pertanian, seperti sayur-sayuran, jagung, pisang, dan ubi kayu. Selain pasar desa, sarana ekonomi lain yang cukup mendukung kegiatan ekonomi masyarakat desa adalah warung sembako. Jumlah warung sembako relatif sedikit, pada umumnya menyediakan 22 bahan pokok makanan yang tahan lama, seperti minyak, gula, kopi dan jenis makanan lainnya, bahkan warung-warung tersebut juga menjual bahan bakar solar dan minyak tanah untuk kebutuhan transportasi (motor) yang banyak dimiliki masyarakat.

Sebagai daerah yang sebagian besar masyarakatnya bermatapencaharian sebagai nelayan, maka sarana ekonomi yang dibutuhkan untuk menunjang kegiatan kenelayanan adalah dermaga, tempat pelabuhan kapal nelayan dan Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Sampai kajian dilakukan (2008), kedua sarana ekonomi ini belum ada, di Desa Terapung maupun Desa Wakambangura. Kemungkinan karena di sepanjang pantai kedua desa terdapat karang yang cukup luas, sehingga menyulitkan pembangunan dermaga. Pada saat air surut akan terlihat hamparan baru karang yang cukup luas di sepanjang pantai. Selama ini nelayan berlabuh pada beberapa tempat di pinggir pantai. Sarana ekonomi yang menunjang kegiatan kenelayanan adalah adanya tempat penjualan atau pengisian bahan bakar minyak (BBM) atau semacam SPBU kecil di Desa Terapung, untuk memenuhi kebutuhan kapal motor nelayan setempat. Pemilik SPBU kecil ini adalah salah seorang pengumpul ikan dan rumput laut di Kecamatan Mawasangka. SPBU ini mampu memenuhi kebutuhan

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 22

sebagian besar bahan bakar solar untuk nelayan di daerah ini. Sejauh ini belum ada keluhan nelayan mengenai ketersediaan bahan bakar minyak di daerahnya.

Tempat pelelangan ikan (TPI) belum tersedia di daerah penelitian maupun di tingkat kecamatan. Ikan hasil tangkapan nelayan dijual langsung pada masyarakat, atau melalui papalele maupun pengumpul ikan yang ada di masing-masing desa. Di Desa Terapung, terdapat beberapa pedagang pengumpul ikan teri yang merupakan hasil tangkapan dominan nelayan di desa ini. Masing-masing pedagang pengumpul memiliki beberapa nelayan anggota yang rutin menjual hasil ikan teri pada pengumpul tersebut. Namun tidak tertutup kemungkinan bagi nelayan untuk menjual ikan pada pedagang pengumpul lainnya. Begitu juga untuk hasil tangkapan kepiting, terdapat beberapa pedagang pengumpul kepiting yang membeli langsung dari nelayan di Desa Terapung. Ditingkat pedagang pengumpul, ikan teri maupun kepiting diolah di desa, sebelum dijual ke pedagang besar di luar kota. Ikan teri diolah menjadi ikan teri asin atau tawar dan kering sedang kepiting diolah menjadi kepiting rebusan yang sudah diambil dagingnya. Begitu juga di Desa Wakambangura, ada beberapa orang pedagang pengumpul rumput laut yang merupakan hasil dominan nelayan di samping hasil tangkapan ikan karang dan ikan pelagis. Ikan karang hidup dijual pada pedagang pengumpul besar di Desa Watolo, yaitu satu-satunya pengumpul ikan karang di Kecamatan Mawasangka. Meskipun belum ada TPI namun nelayan tidak mendapatkan masalah untuk memasarkan hasil tangkapan ikan dan rumput laut, karena pedagang pengumpul umumnya penduduk yang tinggal di lokasi tersebut.

Sarana ekonomi lainnya yang dapat menunjang kegiatan kenelayanan adalah lembaga permodalan, seperti Koperasi. Lembaga Koperasi terdapat di Desa Terapung namun sudah tidak berfungsi lagi, disebabkan pengelolaan yang kurang maksimal dan macetnya pengembalian cicilan dari anggota. Hal ini disebabkan karena pola pengembalian koperasi yang rutin tidak sesuai dengan pola penerimaan pendapatan masyarakat nelayan yang bersifat musiman. Setiap bulan anggota koperasi harus mengembalikan cicilan,

KASUS KABUPATEN BUTON 23

sementara pada musim barat banyak nelayan mampu membayar cicilan, karena umumnya tidak melaut sehingga tidak memiliki penghasilan, atau berpenghasilan minim. Orang/lembaga yang biasa meminjamkan modal biasa disebut ’bos’ atau ’tauke’ umumnya sebagai pedagang pengumpul. Di Desa Terapung terdapat 9 orang pedagang pengumpul ikan teri, yang juga sebagai ’bos’ pemberi pinjaman pada nelayan, dan nelayan mempunyai kuwajiban untuk menjual ikan padanya. Pembayaran dilakukan pada saat nelayan menjual ikannya pada pengumpul tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa nelayan, keberadaan pedagang pengumpul cukup membantu nelayan dalam hal permodalan, karena di samping sebagai sumber modal pengumpul juga dapat berfungsi sebagai tempat menyimpan uang bagi nelayan. Pada saat musim bagan, sebagian nelayan yang menjual hasil tangkapannya pada pengumpul, tidak langsung mengambil uang hasil penjualannya, tetapi tetap disimpan oleh pengumpul dan diambil pada musim Barat, yaitu saat bagan masuk ’dok’. Di tingkat kecamatan terdapat satu orang pedagang pengumpul (Bp. L) yang memiliki anggota dari beberapa desa. Selain pinjaman uang, Bp. L juga memberi pinjaman peralatan tangkap seperti bagan, kompressor, dan bubu pada anggotanya. Sistim ini sudah berjalan lama, sehingga ketergantungan nelayan pada pedagang pengumpul cukup tinggi.

Sarana transportasi dan komunikasi

Secara umum, prasarana jalan yang menghubungkan desa dengan kecamatan maupun kecamatan dengan kota kabupaten, tidak mengalami perubahan yang berarti selama dua tahun terakhir. Kondisi sebagian jalan masih dalam keadaan rusak, baik dari Pelabuhan Wamengkoli ke kecamatan maupun jalan dari kecamatan ke desa. Menurut informasi dari kantor kecamatan, perbaikan jalan yang rusak terkendala oleh adanya prioritasi pembagunan pada pemberdayaan masyarakat. Berbagai program pemerintah lebih diarahkan pada memberdayakan kegiatan ekonomi masyarakat dengan beberapa bantuan dana bergulir serta pembangunan sarana dan prasarana ekonomi. Sementara itu, pembangunan jalan membutuhkan dana yang cukup besar dibandingkan dana yang tersedia. Dalam hal ini,

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 24

pemerintah kecamatan mengharapkan perbaikan jalan dimasukkan dalam program pemerintah provinsi, sebagi pihak yang bertanggungjawab dalam pendanaan infrastruktur jalan antar kabupaten. Hal ini mengingat Kecamatan Mawasangka sebagai jalur lintas yang menghubungkan Kabupaten Buton dengan Kabupaten Muna, tepatnya di Desa Terapung yang merupakan perbatasan Kabupaten Muna. Pada saat kajian dilakukan kondisi jalan yang menghubungkan Kabupaten Muna dengan Desa Terapung dalam kondisi relatif bagus.

Sarana transportasi dari pelabuhan ke kecamatan maupun dari kecamatan ke desa tidak banyak mengalami perubahan selama dua tahun terakhir. Kendaraan roda empat merupakan sarana angkutan reguler yang membawa penumpang dari pelabuhan ke kecamatan maupun sebaliknya. Namun angkutan reguler ini tidak selalu melayani penumpang sampai ke desa. Di kecamatan tidak terdapat sarana transportasi reguler yang menghubungkan kecamatan dan desa atau antardesa. Selama ini masyarakat biasa menggunakan kendaraan motor roda dua milik sendiri atau motor sewaan ’ojek’ bagi mereka yang tidak memiliki kendaraan.

Perubahan yang cukup besar terjadi pada sarana komunikasi, yaitu dibangunnya 2 buah tower Telkomsel di Kancebumi dan Mawasangka. Kini masyarakat hampir di semua desa dapat berkomunikasi menggunakan telepon seluler. Sebelum adanya sarana tower telkomsel, telpon seluler hanya dapat menangkap sinyal di beberapa tempat tertentu saja. Selain itu ada beberapa Warung Telekominikasi (Wartel) yang dapat digunakan masyarakat untuk berkomunikasi dengan daerah lain.

2.2.5. Program dan kegiatan dalam pengelolaan

Sumber daya laut (SDL) merupakan salah satu sumber mata pencaharian sebagian besar masyarakat di wilayah pesisir. Dengan demikian, pengelolaan sumber daya laut perlu dilakukan agar potensi sumber daya laut tetap terjaga dan adanya keberlajutan sumber mata pencaharian penduduk. Berdasarkan pendanaannya, program

KASUS KABUPATEN BUTON 25

pemerintah dapat dibedakan atas program dengan pendanaan dari APBD dan Non APBN (bekerja sama dengan pihak lain, seperti COREMAP, PNPM-NP, PNPM-LMP). Program yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya laut adalah salah satu program pembangunan pemerintah daerah yang bertujuan untuk pemberdayaan masyarakat pesisir.

Program pengelolaan SDL yang berasal dari Pemerintah Daerah melalui Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) adalah:

• Program Saver (Sustainable Development Poverty dan Poor Reduction), yaitu suatu program pengembangan pangan untuk mengurangi kemuskinan. Program ini akan dilakukan pada tahun 2008 untuk pengembangan budi daya rumput laut dan Kerang Mabe (di Kapuntori) di seluruh Kabupaten Buton.

• Program PEMP (Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pesisir). Program PEMP diberikan untuk 10 kecamatan, 30 desa. Diantara 10 kecamatan yang dapat Program PEMP, 7 kecamatan diantaranya adalah kecamatan COREMAP.

• PNPM-NP atau Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan. Program ini yang sebelumnya disebut Program PPK (Program Pemberdayaan Kecamatan) diberikan pada 26 desa terdiri dari 17 desa di Mawasangka Induk dan 19 desa di Mawasangka Tengah. Program ini terdiri dari pembangunan Fisik sebanyak (60%) dan Non Fisik (40%). Dana PNPM untuk pembangunan fisik digunakan pada tahun 2007 untuk membangun gedung TK, Posyandu dan penambahan ruang belajar SD-SMP). Sedang dana untuk non fisik digunakan pada tahun 2008 untuk dana UEP dan Simpan Pinjam (SPP). UEP dan SPP diberikan pada 18 desa, termasuk Desa Terapung dan Wakambangura.

• Seed Fund dikelola oleh LPSTK • AIG (Alternative Income Generative), dana dikembalikan ke

Koperasi Dinas DKP (Koperasi Arwana)

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 26

• Block Grant dikelola oleh LPSTK untuk pembangunanfisik. Mawasangka untuk Bak penampungan air di desa Terapung dan Talud di Wakambangura, Gumanano dan Kancebumi.

Program Seed Fund adalah salah saru Program COREMAP berupa pemberian bantuan dana bergulir pada masyarakat atau kelompok masyarakat di desa yang menjadi binaan COREMAP. Program ini dikelola oleh LPSTK dan dibantu oleh LKM (Lembaga Kredit Masyarakat) yang terdiri dari Ketua, Sekretaris dan Bendahara. LKM khusus dibentuk untuk mengelola dana bergulir ini dan pembentukan LKM dilakukan pada saat dana akan diturunkan. Dana Seed Fund digunakan untuk kegiatan Usaha Ekonomi Produktif (UEP). Jumlah dana untuk masing-masing desa adalah sebesar Rp. 50 juta untuk digulirkan pada anggota kelompok masyarakat (Pokmas) yang sudah terbentuk. Namun kenyataannya dana yang diperoleh masing-masing desa tidak sama, Desa Terapung menerima dana sebesar Rp. 50 juta dan Desa Wakambangura sebesar Rp. 25 juta.

2.3. KEPENDUDUKAN KECAMATAN MAWASANGKA

Bagian ini membahas tentang profil kependudukan di Kecamatan Mawasangka. Pembahasan meliputi struktur penduduk dan profil sosial penduduk. Struktur penduduk terutama dilihat dari jumlah dan komposisi penduduk menurut umur dan jenis kelamin. Sedangkan profil sosial penduduk meliputi pendidikan dan keterampilan, pekerjaan (utama dan tambahan) serta kesejahteraan penduduk. Pembahasan tentang kesejahteraan penduduk meliputi pemilikan/penguasaan aset produksi dan non-produksi serta kondisi pemukiman dan sanitasi lingkungan di lokasi kajian.

2.3.1. Jumlah dan Komposisi Penduduk

Kecamatan Mawasangka yang luasnya sekitar 271,55 km2 atau sekitar 11 persen dari luas Kabupaten Buton, merupakan 1 diantara 6 wilayah kecamatan yang lokasinya di Pulau Muna. Kecamatan lainnya termasuk wilayah Pulau Buton. Jarak wilayah ini ke Pasarwajo (ibukota Kabupaten Buton) sekitar 108 km, dapat

KASUS KABUPATEN BUTON 27

ditempuh melalui jalur laut dan darat yang relatif mudah, karena tersedia sarana dan prasarananya. Selama tiga tahun terakhir (2004-2007) kondisi sarana prasarana dari Bau-bau ke wilayah ini cenderung tidak ada perubahan yang berarti. Berdasarkan data ‘Kabupaten Buton Dalam Angka 2006’, penduduk Kecamatan Mawasangka tahun 2006 sebanyak 20.520 jiwa, terdiri dari laki-laki 10.020 jiwa dan perempuan 10.500 jiwa atau rasio jenis kelamin sebesar 95 (BPS dan Bappeda, 2007). Sedangkan kepadatan penduduknya pada tahun 2006 sekitar 76 jiwa per km2. Dilihat dari jumlah rumah tangga di Kecamatan Mawasangka yaitu sebanyak 4729, maka rata-rata anggota rumah tangga berjumlah sekitar 4 jiwa. Jumlah penduduk di Kecamatan Mawasangka tersebar secara tidak merata di 16 desa dan 2 kelurahan (sebelumnya 15 desa dan 2 kelurahan). Tambahan satu desa yaitu Desa Dariango (baru diresmikan tahun 2007), merupakan pemekaran dari Desa Kanapa-Napa yang lokasinya sekitar 19 km dari pusat kecamatan. Dibandingkan dengan jumlah penduduk kecamatan lain di Kabupaten Buton, penduduk di Kecamatan Mawasangka terbesar ketiga (7,55%) setelah Kecamatan Pasarwajo (13%) dan Lakudo (8,78%). Sedangkan jumlah penduduk terkecil di Kecamatan Walowa (1,49%).

Jumlah penduduk Kecamatan Mawasangka mengalami peningkatan selama 6 tahun terakhir yaitu dari jumlah 18.327 jiwa pada tahun 2000 menjadi 20.520 jiwa (meningkat sekitar 2000 jiwa), atau laju pertambahan penduduk sekitar 1,9 persen. Pertumbuhan penduduk di Mawasangka masih di bawah laju pertumbuhan penduduk rata-rata di Kabupaten Buton yaitu sekitar 2,05 persen. Meskipun menurut informasi beberapa tahun terakhir ini banyak perantau dari Balikpapan yang kembali ke kampung, namun mobilitas keluar dari daerah ini juga relatif masih banyak, terutama ke Indonesia bagian timur bahkan ke Malaysia, khususnya di musim angin barat. Pada musim ini kebanyakan nelayan tidak bisa ke laut, karena ombak besar dan angin kuat. Mobilitas keluar yang sifatnya musiman ini menyebabkan jumlah penduduk di wilayah ini relatif tidak stabil (mengalami naik turun) sejalan dengan waktu pencacahan penduduk.

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 28

Berdasarkan komposisi penduduk menurut kelompok umur, struktur penduduk Kecamatan Mawasangka seperti Kabupaten Buton pada umumnya, tergolong penduduk muda dengan proporsi terbesar penduduk berada pada usia 0-14 tahun yaitu sekitar 41%. Dibandingkan data sebelumnya (tahun 2004) proporsi ini mengalami penurunan meskipun relatif kecil (yaitu sekitar 2%). Proporsi penduduk yang relatif besar pada usia muda dan semakin kecil pada kelompok usia yang lebih tinggi, dalam grafik terpisah antara laki-laki dan perempuan menyerupai bentuk piramida dengan alaslebar dan meruncing ke atas (Grafik 2.1).

Grafik2.1. Komposisi Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin (Kec. Mawasangka)

Sumber: Kabupaten Buton Dalam Angka 2006, BPS 2007

Hal ini dipengaruhi oleh masih relatif tingginya tingkat kelahiran di wilayah ini seperti halnya di tingkat kabupaten pada umumnya. Kondisi demikian menyebabkan kebutuhan dasar dan pelayanan sosial terutama untuk kelompok ini masih relatif besar, seperti makanan, sarana prasarana pendidikan dan kesehatan. Pemenuhan kebutuhan dasar untuk kelompok usia muda berpengaruh terhadap peningkatan kualitas SDM di masa depan. Proporsi tertinggi (sekitar 55%) pada kelompok penduduk usia produktif (15-64 tahun) atau

KASUS KABUPATEN BUTON 29

meningkat sekitar 3 persen dibandingkan kondisi tahun 2004. Meningkatnya proporsi kelompok usia ini dipengaruhi oleh tingkat kelahiran pada kohort sebelumnya yang relatif tinggi di hampir semua wilayah Kabupatena Buton. Rasio ketergantungan keluarga sebesar 83, berarti setiap 100 penduduk usia produktif akan menanggung sebanyak 83jiwa (kelompok anak-anak dan lanjut usia). Beban ketergantungan keluarga ini mengalami penurunan dibandingkan tahun 2004 (87), karena adanya perubahan struktur penduduk ke arah usia yang lebih produktif (15-64 tahun).

Jumlah penduduk Kecamatan Mawasangka dipengaruhi oleh mobilitas penduduk keluar, terutama ke Malaysia. Migrasi ke Malaysia maupun ke kota-kota lainnya di Indonesia banyak dilakukan oleh masyarakat di Kecamatan Mawasangka. Mereka yang pergi keluar adalah penduduk usia produktif terutama laki-laki untuk mencari pekerjaan. Hal ini dapat dilihat pada Grafik 2.1, di mana pada usia relatif muda jumlah laki-laki sedikit lebih tinggi dari jumlah perempuan, namun sebaliknya pada usia produktif jumlah penduduk perempuan lebih menonjol dari laki-laki. Pada saat musim barat atau musim angin kencang mereka pergi ke Malaysia atau merantau ke daerah lain di Indonesia, dan sebagian akan kembali menjadi nelayan pada musim angin Timur.

Desa Terapung adalah salah satu desa pesisir di Kecamatan Mawasangka yang lokasinya sekitar 17 km dari pusat kecamatan. Berdasarkan data terakhir yang dimiliki (Kecamatan Mawasangka Dalam Angka tahun 2004), jumlah penduduk Desa Terapung sebanyak 1.973 jiwa atau sekitar 7 persen dari penduduk kecamatan, terdiri dari penduduk laki-laki 1.007 jiwa dan perempuan 966 jiwa, atau rasio jenis kelamin sebesar 96. Penduduk ini tersebar di tiga dusun (Waburense, Kaudani dan Terwani) dengan jumlah rumah tangga sebanyak 466, sehingga rata-rata penduduk per rumah tangga sebanyak 4 orang (Kantor Statistik, 2005). Berdasarkan komposisi umur, penduduk Desa Terapung seperti Kecamatan Mawasangka pada umumnya, tergolong penduduk muda. Proporsi terbesar penduduk yaitu 38 persen berada pada kelompok umur muda 0-14 tahun. Jumlah penduduk lanjut usia (65 tahun keatas) cukup banyak

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 30

yaitu 73 orang. Angka beban ketergantungan sebesar 87 menunjukkan bahwa setiap 100 penduduk usia produktif (15-64) menanggung beban sebanyak 87 orang (anak-anak dan lanjut usia).

Penduduk Desa Terapung terdiri dari beragam suku bangsa. Mayoritas penduduk adalah suku Bajo, sehingga bahasa Bajo dipergunakan sebagai bahasa persatuan. Suku suku lainnya yang mendiami desa ini adalah Buton, Muna, Bugis, Makasar, Minang, Jawa, Cina. Perkawinan campur antar penduduk asli dengan suku lainnya telah terjadi sejak dulu, seperti antara suku Bajo dengan Suku Muna atau Bajo dengan Suku Buton. Masyarakat Bajo yang tinggal di desa ini adalah keturunan dari perkawinan antarsuku tersebut. Bahkan keberadaan beberapa suku baru di desa ini terjadi karena proses perkawinan antara masyarakat yang tinggal di desa dengan pendatang yang berasal dari suku lain, seperti suku Minang dan Bugis. Seorang informan yang sudah lama menetap di daerah tersebut menuturkan pada awalnya desa ini bernama Desa Kaudani yang merupakan tempat pemukiman masyarakat Bajo. Namun berdasarkan buku RPTK Desa Terapung (COREMAP Kab. Buton,2006), nama awal desa ini adalah Waburense yang berdiri pada tahun 1987. Pada tahun 1987, pemerintah Kabupaten Buton melakukan re-settlement masyarakat Bajo yang masih tinggal di laut dipindahkan ke daratan, dengan membuat pemukiman di sepanjang pantai. Jumlah penduduk pada saat itu sebanyak 250 KK. Namun sebagian orang Bajo yang tidak betah tinggal di daratan, kembali tinggal di laut, dan hanya sekitar 25 persen yang masih tinggal di darat. Kemudian berdatangan orang lain ke desa ini dengan tujuan berkebun. Penduduk Desa Terapung menjadi berkembang setelah adanya perkawinan antara masyarakat Bajo yang masih tinggal di darat dengan suku lainnya. Bahasa sehari-hari yang digunakan masyarakat Desa Terapung untuk saling berkomunikasi adalah Bahasa Bajo yang hampir sama dengan Bahasa Bugis.

Desa Wakambangura mempunyai jumlah penduduk 1.488 jiwa. Berbeda dengan Desa Terapung, di desa ini jumlah penduduk perempuan lebih banyak dari penduduk laki-laki, yaitu 757 orang perempuan dan 731 orang laki-laki atau rasio jenis kelamin 103

KASUS KABUPATEN BUTON 31

(Kecamatan Mawasangka Dalam Angka, 2004). Penduduk tersebut tersebar pada 346 rumah tangga dengan rata-rata penduduk 4 orang setiap rumah tangga. Berdasarkan komposisi umur, penduduk Desa Wakambangura termasuk dalam struktur penduduk muda dengan proporsi penduduk umur muda (0-14 tahun) sebesar 45 persen. Penduduk yang tergolong produktif usia 15-64 tahun sebesar 53 persen. Angka beban ketergantungan keluarga di Desa Wakambangura tidak berbeda dengan Desa Terapung yaitu sebesar 87 per 100 penduduk.

Mayoritas penduduk di Desa Wakambangura termasuk dalam kelompok etnis Wasilomata (99%), selebihnya adalah suku Bajo dan Bugis. Menurut penuturan informan (tetua adat), etnis Wasilomata adalah sekelompok masyarakat yang nenek moyangnya berasal dari tentara Kerajaan Buton. Selain di Desa Wakambangura, etnis ini juga tersebar di desa lain Kecamatan Mawasangka. Hasil survei tahun 2008 di kedua desa kajian (Terapung dan Wakambangura) menunjukkan dari 100 rumah tangga sampel terdapat 684 orang anggota rumah tangga (ART), dengan jumlah penduduk laki-laki (346) sedikit lebih banyak dari perempuan(338) atau rasio jenis kelamin 102 per 100. Jumlah ART pada kajian tahun 2008 jauh lebih banyak dibandingkan tahun 2006 (selisih 130 jiwa), meskipun dari jumlah rumah tangga yang sama (100 RT), dan mayoritas adalah sampel rumah tangga tahun 2006 . Tabel 3.1 menunjukkan komposisi ART menurut kelompok umur dan jenis kelamin.

Seperti pada kajian sebelumnya, proporsi penduduk muda (0-14 tahun) relatif tinggi yaitu sekitar 42 persen. Dibandingkan kajian sebelumnya yaitu sekitar 36 % (tahun 2006 ), atau meningkat sekitar 6 persen. Peningkatan ini mungkin berasal dari tambahan ART dalam 2 tahun (kelahiran atau kembali dari rantau) maupun jumlah ART dari sampel pengganti yang memang jumlahnya lebih banyak. Hal ini dapat dilihat dari proporsi anak balita (0-4 tahun) yang besarnya sekitar 16 persen atau 2 persen lebih tinggi dari kelompok yang sama pada tahun 2006. Sebaliknya untuk kelompok lansia, proporsi tahun 2008 lebih rendah 1,5 persen dari 2 tahun sebelumnya. Kondisi ini menyebabkan beban tanggungan keluarga relatif sama, karena

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 32

proporsi kelompok usia produktif (15-64) hampir sama. Proporsi yang relatif tinggi pada penduduk usi 0-4 tahun mengindikasikan tingkat kelahiran di daerah ini relatif tinggi. Demikian juga penduduk usia (5-14 tahun) yang relatif tinggi yaitu 25,5 persen (sekitar 21,5 % tahun 2006). Hal ini perlu diperhatikan karena terkait dengan kebutuhan sarana dan parasarana pendidikan di Kecamatan Mawasangka.

Tabel 2.1. Jumlah Penduduk (Rumah Tangga Sampel) Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Desa Mangumbangura dan Terapung (2008)

Jenis Kalamin Total Penduduk (ART) Kelompok Umur Laki-Laki Perempuan 2008 2006 *) 0-4 17,3 14,8 16,1 14,4 5-9 11,8 15,7 13,7 11,4

10-14 11,8 11,8 11,8 10,1 15-19 7,5 10,1 8,8 11,2 20-24 9,5 8,0 8,8 11,7 25-29 7,5 8,9 8,2 9,9 30-34 7,5 4,4 6,0 6,1 35-39 5,5 7,7 6,6 6,3 40-44 4,9 4,7 4,8 4,7 45-49 4,6 4,7 4,7 4,2 50-54 4,0 2,4 3,2 2,2 55-59 3,2 2,7 2,9 2,0 60-64 1,2 1,2 1,2 2,9 65+ 3,5 3,0 3,2 2,9

Jumlah 100 (346) 100 (338) 100 (684) 100 (554) Sumber: Data Primer, Survei BME Aspek Sosial Ekonomi, PPK-LIPI 2008. *) Diambil dari hasil survei Kab. Buton, 2006.

2.3.2. Pendidikan dan Ketrampilan

Selama dua tahun terakhir (2006-2008), tidak ada perubahan yang berarti untuk sarana pendidikan, terutama di kedua lokasi kajian. Perubahan sarana pendidikan terjadi di Kecamatan Mawasangka. Pada tahun 2007 pemerintah kecamatan mendapat bantuan sarana

KASUS KABUPATEN BUTON 33

fisik berupa 2 sekolah SMP di Desa Napa dan Matura. Dananya berupa block grant berasal dari pemerintah Australia yang diserahkan pada Diknas Kabupaten. Sedangkan bantuan hibah berupa SMK baru direncanakan di pusat kecamatan pada tahun 2008. Rencana COREMAP untuk membangun sebuah Madrasah Tsanawiyah di Desa Terapung, sampai kajian dilakukan bangunan belum selesai karena dananya masih kurang 50 juta rupiah.

Tingkat pendidikan penduduk di kedua lokasi kajian relatif rendah, yaitu mayoritas berpendidikan SD atau kurang. Hal ini disebabkan terutama karena tingkat putus sekolah yang relative tinggi. Berdasarkan hasil survei COREMAP dan tahun 2005, tingkat putus sekolah di Desa Wakambangura mencapai sekitar 41 persen (RPTK Wakambangura, 2006). Salah satu alas an adalah fasilitas pendidikan yang minim dan rendahnya dorongan orang tua untuk sekolah.

Hasil survei tahun 2008 terhadap 100 rumah tangga terpilih di kedua lokasi kajian menunjukkan kecenderungan yang sama, yaitu lebih dari 80 persen penduduk yang berusia 7 tahun ke atas hanya berpendidikan SD tamat atau kurang, dan kurang dari 5 persen yang tamat SLTA atau lebih. Proporsi penduduk yang berpendidikan SLTP ke atas di Desa Terapung lebih tinggi daripada di Wakambangura (masing-masing 17 dan 13 %), dan sebaliknya untuk yang berpendidikan rendah (belum tamat SD), proporsi di Wakambanguran lebih tinggi (sekitar 42%) dibandingkan Terapung (sekitar 35%). Selama 2 tahun terakhir (2006-2008), pendidikan ART dari rumah tangga sampel relatif meningkat, terutama pada kelompok ART yang belum sekolah dan kelompok yang belum tamat SD. Indikasi peningkatan pendidikan adalah menurunnya proporsi kelompok yang belum sekolah secara mencolok dari 29 persen (2006) menjadi 11,7 persen (2008). Sebaliknya proporsi ART yang tamat SD meningkat tajam dari 23 menjadi 38 persen selama 2006-2008. Demikian pula ART yang berpendidikan SLTA atau lebih, meskipun selama 2 tahun terakhir proporsinya meningkat lebih dari 2 kali lipat ( 2 menjadi 4,5 peren), jumlah tamatan SMA relative kecil. Di Desa Terapung hanya ada beberapa orang saja yang berpendidikan SMA atau masih sekolah SMA. Peningkatan pendidikan ini wajar karena banyak ART yang

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 34

masih berusia sekolah, sehingga dalam 2 tahun terakhir, pendidikan juga meningkat untuk semua jenjang pendidikan, kecuali tingkat SLTP tamat yang cenderung menurun, meskipun relatif kecil (1,4%) (lihat Grafik 2.2.).

Grafik 2.2. Perubahan Tingkat Pendidikan ART (7 tahun ke atas) di Desa Terapung dan Wakambangura (2006-2008) (Persen)

Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang,

PPK-LIPI, 2006 Data Primer, Survei BME, Aspek Sosial Ekonomi, PPK-LIPI, 2008 N (2006) =554. N (2008)= 684

Ketrampilan yang dimiliki penduduk umumnya terkait dengan jenis pekerjaan yang banyak melibatkan penduduk di wilayah tersebut. Seperti di Desa Wakambangura, keterampilan yang dominan berkaitan dengan pekerjaan budi daya rumput laut. Banyak penduduk dilibatkan pada pekerjaan budi daya rumput laut, terutama ketika masa panen dan proses penanaman kembali rumput laut. Kaum laki-laki umumnya melakukan bagian pekerjaan yang di laut (memetik dan menanam kembali), sementara anak-anak dan perempuan menyelesaikan bagian pekerjaan di darat (pengikatan bibit agar ke tali rafia). Untuk menyelesaikan pengikatan bibit rumput laut, diperlukan kecepatan dan kerapian dalam mengikat, karena harus selesai dalam waktu tertentu. Banyak anak-anak dan kaum perempuan dewasa yang selalu terlibat dalam pekerjaan tali menali ini, baik milik sendiri maupun milik orang lain, sehingga mereka menjadi terampil dalam

KASUS KABUPATEN BUTON 35

pekerjaannya. Umumnya keterampilan tersebut diperoleh secara alami dari kedua orang tua atau dari orang dewasa yang juga terlibat dalam pekerjaan budi daya. Semakin terampil anak-anak dalam pekerjaannya, semakin banyak hasil yang diperoleh, sehingga upah yang diterima anak-anak juga semakin banyak. Di Desa Terapung, keterampilan yang menonjol terkait dengan sumberdaya laut adalah dalam pengolahan kepiting di basecamp yang berada di Terapung. Banyak anak-anak remaja (umumnya perempuan) yang terlibat pekerjaan borongan mengolah kepiting, sesuai dengan tahapan proses seperti merebus, mengupas, sortir, mencongkel daging sampai pengepakan, yang semuanya memerlukan keterampilan dan kecepatan dalam bekerja. Keterampilan tersebut diperoleh dari bos pengolahan kepiting yang melatihnya lebih dulu sebelum mereka mulai bekerja.

2.3.3. Pekerjaan

Sebagai daerah pantai, mata pencaharian utama penduduk kedua lokasi terkait dengan sumberdaya laut yaitu nelayan tangkap. Di Desa Terapung, masyarakat Bajo sebagai masyarakat yang sudah akrab dengan kehidupan laut, mayoritas penduduk bekerja sebagai nelayan murni. Pada awalnya, sebagai masyarakat yang semula hidup di tengah laut, dan tidak memiliki sumber daya darat, maka sumber kehidupan hanya berasal dari laut. Hasil laut yang ditangkap adalah jenis ikan yang ditangkap dengan alat tangkap bagan, jaring dan pancing. Sementara masyarakat yang berasal dari suku lain, seperti Buton, Muna, Bugis di samping melakukan pekerjaan sebagai nelayan tangkap juga melakukan pekerjaan lainnya seperti petani (berkebun), pedagang pegawai dan berdagang. Dusun Air Wajo di Desa Terapung, adalah salah satu dusun dimana sebagian besar masyarakat bekerja berkebun Bahkan sebagian penduduk biasa pergi merantau ke daerah lain di Indonesia Timur bahkan ke Malaysia sebagai TKI. Disinyalir pada tahun 1995 sebanyak 200 orang masyarakat Desa Terapung merantau ke Malaysia.

Pola yang sama juga terdapat di Desa Wakambangura, mayoritas penduduk bekerja sebagai nelayan. Kegiatan pemanfaatan hasil laut oleh masyarakat Desa wakambanguara dilakukan dalam 3 bentuk

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 36

yaitu penangkapan kawasan laut dalam, penangkapan kawasan laut dangkal dan budi daya rumput laut (RPTK, 2006). Mata pencaharian masyarakat Wasilomata (etnis terbesar di Wakambangura) selain mengandalkan hasil laut, juga mempunyai hasil lahan darat yaitu ‘batu tanam’, berupa hasil kelapa dan kacang mete. Masyarakat desa ini banyak yang pergi merantau ke Malaysia, Kalimantan (Balikpapan), Ambon, Sulawesi (Luwu). Bahkan jumlah etnis tersebut di Balikpapan cukup besar (sekitar 8000 orang), sehingga terdapat 2 macam paguyuban yaitu Kerukunan Keluarga Wasilomata Buton (KKWB) dan Kerukunan Keluarga Buton (KKB). Sedangkan jumlah warga desa ini yang merantau ke Malaysia mencapai lebih dari 100 orang.

Selama 2 tahun terakhir (2006-2008) tidak banyak terjadi perubahan pola lapangan pekerjaan penduduk, namun terjadi perubahan pada besarnya proporsi masing-masing lapangan pekerjaan baik pada pekerjaan utama maupun tambahan. Pergeseran pekerjaan utama dan tambahan selama 2 tahun terakhir dapat dilihat pada grafik berikut (Grafik 2.3 dan 2.4).

Grafik 2.3. Perubahan Lapangan Pekerjaan Utama KRT di Terapung dan Wakambangura Tahun 2006-2008 (%)

Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang,

PPK-LIPI, 2006 Data Primer, Survei BME, Aspek Sosial Ekonomi, PPK-LIPI, 2008

KASUS KABUPATEN BUTON 37

Selama 2 tahun terakhir, terjadi pergeseran lapangan pekerjaan utama KRT, yaitu semakin besar proporsi KRT yang bekerja di lapangan pekerjaan tertentu seperti perikanan tangkap (meningkat 5%), pertanian pangan (meningkat 5,5%), dan perdagangan (4%). Sebaliknya proporsi KRT menurun pada lapangan kerja seperti petani tanaman keras (turun sekitar 6%), budi daya agar (turun sekitar 5%) dan jasa&bangunan (turun sekitar 5%)(Grafik 2.4). Pergeseran lapangan pekerjaan ini dipengaruhi antara lain oleh pergantian musim (misal nelayan tangkap dan budi daya, pertanian pangan dan tanaman keras) atau perubahan dinamika ekonomi (seperti meningkatnya hasil tangkapan dan meningkatnya pedagang ikan). Lapangan pekerjaan baru yang muncul pada tahun 2008 hanya angkutan (1,6%), mungkin dipengaruhi oleh meningkatnya kemampuan untuk membeli aset produk seperti sepeda motor, yaitu dari 26 menjadi 44 unit (meningkat sekitar 69%).

Kondisi yang hampir sama terjadi pada perubahan lapangan pekerjaan tambahan KRT selama 2006-2008. Pada umumnya lapangan pekerjaan tambahan yang digeluti sama dengan pekerjaan utama, mayoritas sebagai nelayan tangkap dan budi daya rumput laut. Pola pergeseran juga terjadi pada lapangan pekerjaan tambahan KRT. Sebaliknya dengan perubahan pada pekerjaan utama, proporsi KRT yang terlibat pekerjaan tambahan sebagai nelayan tangkap turun sekitar 7 persen selama 2 tahun terakhir, sementara sebagai nelayan budi daya rumput laut meningkat sekitar 4 persen. Pekerjaan yang agak menonjol untuk pekerjaan sampingan KRT adalah sebagai petani tanaman keras, yaitu masing-masing sekitar 16 persen (2006) dan 13 persen (2008), serta sebagai buruh industri pengolahan yang juga relatif tinggi yaitu 8 persen (2006) dan 10 persen (2008). Sebagai pekerjaan utama, proporsi KRT pada kedua lapangan pekerjaan ini relatif rendah, terutama sebagai buruh di industri pengolahan (sekitar 1 persen selama 2 tahun terakhir). Padahal mayoritas industri sedang di Kabupaten Buton berlokasi di Kecamatan Mawasangka. Sebagai ilustrasi, pada selama tahun 2005-2006 jumlah industri sedang di Buton meningkat dari 19 ke 29 unit, 24 unit diantaranya berada di Kecamatan Mawasangka (BPS, 2006). Meskipun demikian proporsi

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 38

KRT yang melakukan pekerjaan ini sebagai pekerjaan utama relatif kecil, karena mayoritas tidak biasa melakukan pekerjaan sebagi buruh. Kemungkinan selama musim angin barat, mereka tidak melaut dan sebagian anak-anak muda terpaksa melakukannya sebagai pekerjaan tambahan, karena membutuhkan penghasilan untuk kehidupan sehari-hari. Sebagian penduduk lainnya pergi merantau untuk berdagang atau tenaga jasa. Sebagian lainnya berkebun untuk ‘mencari sayur’ atau pekerjaan apa saja yang dapat menambah penghasilan.

Grafik 2.4. Perubahan Lapangan Pekerjaan Tambahan KRT di Terapung dan Wakambangura Tahun 2006-2008 (Persen)

Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang,

PPK-LIPI, 2006 Data Primer, Survei BME, Aspek Sosial Ekonomi, PPK-LIPI, 2008

Perubahan lapangan pekerjaan KRT lainnya adalah munculnya KRT yang bekerja tambahan sebagai jasa angkutan, jasa kemasyarakatan dan lain-lain pada tahun 2008 sekitar 6 persen, sementara pada tahun 2006 tidak ada yang melakukannya. Sebaliknya proporsi pekerja bangunan dan peternakan yang pada tahun 2006 sebesar 11 persen, pada tahun 2008, tidak ada lagi yang melakukannya (Grafik 2.4).

KASUS KABUPATEN BUTON 39

2.3.4. Kesejahteraan penduduk (To dan T1)

Perubahan-perubahan kegiatan ekonomi dan pendapatan rumah tangga selama 2 tahun terakhir, diharapkan berdampak pada kesejahteraan penduduk di kedua daerah kajian. Pada bagian ini perubahan kesejahteraan penduduk dibahas berdasarkan 2 aspek: 1) pemilikan dan penguasaan aset produksi dan aset non-produksi oleh rumah tangga responden; 2) Kondisi pemukiman dan sanitasi lingkungan. Pembahasan tentang kesejahteraan penduduk dan perubahannya terutama berdasarkan data survei yaitu dengan membandingkan pemilikan dan penguasaan aset produksi dan non-produksi pada tahun 2006 dan 2008 dan perubahan yang dapat diamati selama penelitian lapangan.

Pemilikan dan penguasaan aset produksi dan non-produksi Pemilikan dan penguasaan aset produksi dalam kajian ini meliputi pemilikan dan penguasaan sarana dan prasarana yang digunakan responden untuk melakukan kegiatan ekonomi seperti peralatan untuk menangkap ikan (perahu motor, tempel dan perahu tanpa motor, dan alat-alat penangkap ikan), prasarana pertanian (seperti lahan pertanian, tambak, dan keramba) dan alat transportasi komersial. Semakin banyak pemilikan dan/atau penguasaaan sarana dan prasarana produksi oleh keluarga, juga mencerminkan kemampuan rumah tangga untuk memperoleh penghasilan yang lebih banyak, sehingga kehidupan diharapkan akan lebih sejahtera. Data tentang pemilikan dan penguasaan aset produksi selama 2006-2008, menunjukkan kecenderungan meningkatnya kesejahteraan rumah tangga responden di kedua lokasi kajian. Hampir semua aset produksi meningkat jumlahnya, terutama sarana dan prasarana untuk menangkap ikan. Meningkatnya pemilikan sarana dan prasarana produksi seperti perahu motor dalam, motor tempel, bagan, jaring, pancing dan bubu, memungkinkan keluarga nelayan untuk meningkatkan perolehan tangkapan ikan, sehingga kesejahteraannya juga meningkat (Tabel 2.2).

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 40

Tabel 2.2. Pemilikan dan Penguasaan Rumah Tangga Terhadap Aset Produksi di Desa Terapung dan Wakambangura Tahun 2006-2008

Jenis aset produksi 2006 (Unit) 2008 (Unit) Perubahan (%)

Perahu motor dalam Perahu tempel Perahu tanpa motor Keramba Bagan Bubu Jaring Pancing rawai Tambak *) Transport komersial Lahan budi daya Lahan perkebunan *)

30 14 28 4 36

169 34 83 3 4 2

108,2

48 26 40 4

44 172 120 114

1 4

28,02 61,5

+ 60 + 86 + 43

- + 22 + 2

+ 253 + 37 - 66

- + 1300

-43 Total N 100 100

Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, PPK-LIPI 2006 Data Primer, Survei BME, Aspek Sosial Ekonomi PPK-LIPI, 2008

Perubahan aset produksi yang paling menonjol adalah meningkatnya sarana dan prasarana untuk penangkapan ikan, terutama jaring yang meningkat lebih dari 3 kali lipat (253%). Demikian pula lahan budi daya rumput laut yang meningkat dengan tajam selam 2 tahun terakhir, terutama di Desa Wakambangura yang merupakan sentra produksi rumput laut di Kecamatan Mawasangka. Aset produksi yang cenderung menurun adalah tambak dan lahan perkebunan, kemungkinan besar seorang pemilik kebun yang memilki 40 ha kebun, tidak termasuk lagi sebagai responden, karena pindah atau sudah meninggal, sehingga diganti responden lain (tetangga) yang tidak memiliki tambak atau kebun. Diakui oleh banyak nelayan bahwa dalam 2 tahun terakhir, populasi ikan makin meningkat, dan harga ikan karang juga semakin menguntungkan. Indikasi yang dapat diamati adalah makin ramainya ‘papalele’ (pedagang ikan) yang selalu berada di pantai pagi hari untuk menunggu nelayan turun dari laut. Apakah meningkatnya aset produksi ini berpengaruh terhadap peningkatan pemilikan barang-barang non produksi yang biasa dikonsumsi keluarga seperti rumah, TV, VCD, perhiasan, dan kendaraan ?

KASUS KABUPATEN BUTON 41

Pemilikan dan penguasaan aset non-produksi (atau barang konsumsi) adalah barang-barang yang biasanya dimiliki oleh rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sekunder keluarganya. Semakin banyak aset non-produksi yang dimiliki suatu keluarga, biasanya merupakan indikasi meningkatnya kesejahteraan hidup keluarga tersebut. Pemilikan aset non-produksi biasanya dipengaruhi antara lain oleh pemilikan aset produksi dan pola konsumsi keluarga/masyarakat, dalam arti makin meningkat penghasilan suatu keluarga biasanya pemilikan barang-barang konsumtif juga meningkat. Berdasarkan data tentang pemilikan beberapa aset non-produksi dalam 2 tahun terakhir, semakin membuktikan adanya peningkatan kesejahteraan keluarga di kedua daerah penelitian. Selama 2 tahun terakhir, semua item barang-barang non-produksi menunjukkan peningkatan jumlah yang cukup signifikan, terutama barang-barang elektronik (untuk hiburan), perhiasan emas dan kendaraan (Grafik 2.5).

Grafik 2.5. Pemilikan dan Penguasaan Rumah Tangga Terhadap Aset Non-Produksi di Desa Terapung dan Wakambangura Tahun 2006-2008

Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang,

PPK-LIPI 2006 Data Primer, Survei BME, Aspek Sosial Ekonomi PPK-LIPI, 2008

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 42

Peningkatan aset yang paling mencolok adalah pemilikan perhiasan dari emas, yang meningkat sekitar 70 persen. Biasanya rumah tangga memilih membeli perhiasan apabila pendapatan meningkat, karena selain dapat meningkatkan status sosial mereka, juga sekaligus sebagai tabungan yang mudah dijual apabila diperlukan untuk tambahan modal. Barang konsumtif lainnya yang meningkat cukup tinggi adalah barang elektronik seperti pemilikan TV, VCD dan parabola, yang masing-masing meningkat lebih dari 70 persen. Kendaraan bermotor merupakan sarana penting di lokasi kajian, karena transport umum belum tersedia sampai ke desa. Mobilitas mereka umumnya dengan sepeda motor baik milik sendiri ataupun menggunakan jasa ojek. Peningkatan pemilikan motor dari 5 unit menjadi 20 unit, cukup signifikan (4 kali lipat), karena selain dipengaruhi oleh meningkatnya pendapatan keluarga, juga semakin mudah diperoleh dengan membayar secara kredit. Menurut infomasi dari seorang informan (tokoh masyarakat), pada umumnya penerima kiriman dari para perantau biasa digunakan untuk membeli/merenovasi rumah atau membeli kendaraan roda dua. Meningkatnya kesejahteraan keluarga dalam 2 tahun terakhir juga dapat diamati selama penelitian, terutama semakin banyaka kendaraan bermotor di kedua lokasi kajian. Demikian pula dari kegiatan jual beli di pasar-pasar tradisional yang bergilir di desa-desa, selalu ramai dikunjungi pembeli. Berdasarkan informasi dari para informan, diakui bahwa terajadi peningkatan usaha perdagangan dan jenis barang yang dijual juga semakin bervariasi, menunjukkan meningkatnya kebutuhan konsumsi masyarakat. Hal ini juga nampak pada animo masyarakat yang relatif besar untuk meminjam dana bergulir dari COREMAP maupun dana bergulir lainnya (seperti PNPM NP). Dana bergulir COREMAP untuk usaha ekonomi (UEP) baru dilaksanakan pada awal tahun 2008, dan sampai kajian dilakukan, cukup lancar pengembaliannya (lihat lebih detil di Bab 3).

Kondisi permukiman dan sanitasi lingkungan

Selama 2 tahun terakhir tidak ada perubahan yang berarti dilihat dari permukiman penduduk, baik status pemilikan rumah maupun kondisinya. Berdasarkan data survei, rumah tangga yang memiliki

KASUS KABUPATEN BUTON 43

rumah sendiri semakin meningkat meskipun relatif kecil peningkatannya yaitu 11 rumah (dari 102 menjadi 113 rumah (atau sekitar 10 persen), namun rata-rata rumah tangga hanya memiliki satu rumah per rumah tangga. Hanya ada beberapa responden yang memiliki lebih dari satu rumah, dan mereka yang belum mempunyai rumah sendiri umumnya menempati atau tinggal bersama orang tua atau keluarga lain. Demikian pula kondisi permukiman pada umumnya belum beranjak jauh dari kondisi semula, yaitu sebagian besar rumah tinggal masyarakat berbentuk rumah panggung yang terbuat dari kayu dengan tiang penyangga dari kayu, terutama yang berlokasi di pinggir pantai. Namun demikian di Wakambangura sudah banyak rumah terutama yang terletak di pinggir jalan tidak lagi berupa rumah panggung, bahkan beberapa diantaranya, terutama rumah-rumah baru merupakan rumah pemanen. Rumah-rumah panggung, umumnya memanfaatkan ruang kosong di bawah rumah (kolong rumah) untuk melakukan berbagai kegiatan seperti memasak, memotong kayu dan melakukan kegiatan produksi (seperti mengikat rumput laut dan mengolah jambu mete). Berdasarkan pengamatan di lapangan, beberapa rumah sudah mengalami perbaikan atau penggantian bahan dinding dan lantai. Perumahan nelayan secara umum masih sederhana, meskipun sebagian juga sudah mengalami perbaikan atau perluasan ruangan. Sebagian besar rumah nelayan berbentuk rumah panggung yang terbuat dari papan dan atap yang umumnya terbuat dari seng. Meskipun kondisi beberapa rumah masih sangat memprihatinkan, baik ukurannya yang relatif kecil, maupun jenis bahan yang dipakai untuk dinding (papan) dan atapnya (rumbia). Namun demikian jumlah rumah yang mengindikasikan ‘miskin’ ini semakin berkurang jumlahnya, minimal tidak banyak lagi yang beratap rumbia.

Sebagian besar tempat tinggal penduduk di Desa Terapung terdiri dari rumah panggung yang terbuat dari kayu. Meskipun pola pemukiman sudah tertata namun kondisi lingkungan di sekitar tempat tinggal kurang terjaga kebersihannya. Keadaan ini dapat dilihat dari sampah yang dibuang sembarangan dan genangan air di sekitar perumahan. Sebagai dataran rendah, pada saat air pasang, air laut sering

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 44

menggenangi permukiman masyarakat. Perumahan dan lingkungan masyarakat di Desa Wakambangura relatif lebih baik dibandingkan Desa Terapung. Tempat tinggal masyarakat Desa Wakambangura relatif lebih baik dan tertata rapi. Hampir semua masyarakat tinggal di daratan di sepanjang pantai sampai agak menjorok ke daratan. Bantuan COREMAP untuk fisik di Wakambangura berupa bangunan talut (penahan luapan air laut dari beton) sepanjang 124 meter di pantai selesai tahun 2008. Diharapkan ketika air laut pasang, genangan air ke jalan dan permukiman bisa berkurang, sehingga kebersihan pantai dan permukiman penduduk lebih terjaga. Sedangkan di Desa Terapung bantuan fisik dari berbagai sumber relatif banyak karena keberhasilan kepala desa dalam melobby ke penyandang. Bantuan fisik dari progarm COREMAP terkait dengan lingkungan adalah pembuatan bak air (block grant), untuk penyediaan air bersih, yang selama ini jadi problem di Desa Terapung. Sedangkan bantuan pengadaan air bersih yang sedianya diterima oleh Desa Terapung tahun 2006, tidak selesai, sehingga tahun 2007 tidak mendapat bantuan fisik. Sebetulnya pipa PDAM sudah tersedia di beberapa desa termasuk di Desa Wakambangura, dan direncanakan terealisasi pada tahun 2008 untuk Desa Wakambangura dan Napa.

Kebersihan lingkungan juga relatif semakin baik karena jarang terlihat sampah berserakan di sekitar tempat tinggal penduduk. Sampah masih kelihatan berserakan di tempat umum seperti pasar dan di tepi pantai.. Air bersih merupakan salah satu permasalahan bagi masyarakat di Kecamatan Mawasangka, terutama masyarakat di Desa Terapung dan Desa Wakambangura. Masyarakat mengalami kesulitan dalam mendapatkan air bersih terutama pada musim kemarau. Sumber air sumur masyarakat nelayan tidak bisa dikonsumsi karena rasanya agak asin. Air sumur hanya digunakan untuk mandi dan mencuci. Untuk keperluan air bersih masyarakat membeli dari penjual air bersih keliling dengan harga Rp. 2.500 per derijen. Pada musim hujan masyarakat menampung air hujan untuk keperluan sehari-hari. Sementara ini penyediaan air bersih dilakukan secara swadaya yaitu berasal dari mata air yang tersedia di lokasi.

KASUS KABUPATEN BUTON 45

Di Desa Terapung sumber mata air dengan persediaan air bersih yang relatif besar dapat diperoleh di lokasi agak jauh dari pemukiman penduduk. Namun lokasinya yang relatif jauh dan agak curam turun ke gua, menyebabkan sehingga agak sulit dicapai, terutama di musim hujan (licin). Dari permukiman ke mata air tersebut dibutuhkan waktu sekitar 15 menit, menggunakan sepeda motor. Melalui program PPK, pada tahun 2006 pernah dilakukan pengaliran air tersebut ke pemukiman masyarakat dengan menggunakan pipa. Namun pipa tersebut kini dalam keadaan rusak, sehingga air tidak dapat dialirkan ke rumah-rumah penduduk. Diluar musim hujan, kebutuhan air untuk minum dan masak diperoleh dengan cara membeli atau mengambil dari mata air yang ada di gua.

Jaringan listrik sudah masuk ke sebagian besar desa di Kecamatan Mawasangka, termasuk di kedua lokasi kajian, dan sebagian besar sudah menggunakan listrik untuk penerangan. Namun karena daya listrik dari PLN terbatas, di Desa Wakambangura baru sekitar 178 rumah tangga yang menggunakan listrik dari PLN, selebihnya menggunakan listrik dengan nyantol tetangga, atau memakai sumber penerangan dari swadaya masyarakat (genset). Jenis bahan bakar yang banyak digunakan masyarakat untuk keperluan sehari-hari adalah minyak tanah dan kayu bakar. Berbagai jenis kayu sangat mudah diperolah di sekitar tempat tinggal. Penggunaan gas untuk kompor masih terbatas jumlahnya , namun dengan harga minyak tanah yang semakin mahal, akan semakin mendorong masyarakat menggunakan kompor gas.

Mayoritas penduduk belum memiliki sarana MCK (WC dan kamar mandi) sendiri. Sebagian kecil penduduk yang memiliki sarana tersebut umumnya terbatas pada rumah-rumah permanen dan para aparat desa. Masyarakat di lokasi kajian, terutama yang tinggal di tepi pantai, umumnya masih menggunakan laut sebagai tempat mandi dan WC. Demikian pula masih banyak penduduk yang menggunakan laut sebagai tempat pembuangan sampah dan limbah lainnya.

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 46

B. Kecamatan Kadatua (Kawasan Buton Pulau)

2.1. KEADAAN GEOGRAFIS KECAMATAN KADATUA

Buton sebagai sebuah kabupaten terletak pada posisi geografis antara 40961 LU- 60251 LS dan 1200341 BB - 1230001 BT. Wilayah Kabupaten Buton meliputi sebagian Pulau Muna, Pulau Buton, termasuk pulau-pulau kecil yang terdapat di sekitar kedua pulau tersebut, seperti Kadatua, Siompu, Liwungtodiki, Batu Atas, Talaga dan beberapa pulau kecil yang tidak berpenghuni (Gambar 2.3).

Jumlah pulau secara keseluruhan yang berada di wilayah kabupaten Buton sekitar 323 pulau. Selain gugusan pulau, ada sebagian wilayah kabupaten Buton berada di sebelah tenggara dataran Pulau Sulawesi. Kondisi wilayah topografi Buton bergunung-gunung, bergelombang dan berbukit-bukit, yang berada pada ketinggian 100-500 meter di atas pemukaan tanah dengan kemiringan tanah 400. Luas wilayah kabupeten Buton sekitar 23.457,71 km² yang terdiri dari daratan 2.448,71 km2 (10, 5%) dan perairan 21.045 km2.(89,43%). Panjang garis pantai yang dimiliki Buton adalah 2.054 Km.

Perairan di Kabupaten Buton memiliki kedalaman yang bervariasi antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Perairan dangkal memiliki kedalaman rata-rata berkisar antara 1,5 m – 46 Sedangkan kedalaman perairan lepas pesisir dapat mencapai hingga 3.805 meter. Selama selama musim barat dan timur, kondisi perairan sebelah selatan Pulau Buton sangat dipengaruhi oleh pola pergerakan arus dan gelombang karena sedang terjadi pergantian massa air secara besar-besaran dari Selat Makasar ke Laut Flores dan masuk ke Laut Banda dan sebaliknya gelombang kembali bergerak dari Laut Banda melalui laut Flores dan masuk ke Selat Makasar.

Seperti umumya daerah lain di Indonesia, Buton memiliki dua musim, yakni musim penghujan dan musim kemarau. Musim penghujan terjadi pada bulan Desember sampai dengan bulan April. Pada bulan-bulan itu terjadi angin darat dari benua Asia dan Lautan Pasifik yang mengandung uap air. Sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan Juli sampai dengan September. Musim kemarau terjadi akibat

KASUS KABUPATEN BUTON 47

hembusan angin kering yang berasal dari benua Australia. Di Buton juga terjadi musim pancaroba yang berlangsung pada bulan April dan Mei. Pada bulan-bula itu arah angin tidak menentu.

Gambar 2.2. Peta Wilayah Kabupaten Buton dan Sekitarnya

Pulau Kadatua, salah satu lokasi sampel penelitian, adalah salah satu pulau kecil yang terletak di sebelah barat Pulau Buton. Pulau Kadatua memiliki luas wilayah daratan sekitar 23,67 km2. Pulau Kadatua sebenarnya termasuk salah satu gususan kepulauan yang sering disebut Kepulauan SILIKA, yang meliputi Siompu, Liwungkidi dan Kadatua. Secara geografis, Pulau Kadatua terletak diantara 5,290 LS - 5,590 LS dan 122,14 BT – 122,38 BT. Batas - batas wilayah Kecamatan Kadatua adalah sebagai berikut :

Di sebelah Utara berbatasan dengan Laut Flores.

Di sebelah Selatan berbatasan dengan Selat Siompu.

Di sebelah Timur berbatasan dengan Selat Masiri.

Di sebelah Barat berbatasan dengan Laut Flores.

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 48

Pulau Kadatua memiliki struktur pantai yang terdiri dari pantai berdinding batu cadas yang tersebar yang cukup merata di pulau-pulau tersebut. Kondisi tanah pulau Kadatua sebagian besar berbatu yang tidak cocok untuk areal pertanian. Melihat kondisi tanah di Kadatua yang berbatu-batu, maka satu-satunya

tanaman pangan yang bisa tumbuh di pulau Kadatua adalah tanaman ubi kayu dan Jagung. Kedua tanaman pangan itu diusahakan penduduk tidak secara intensif. Ubikayu ditanam di tanah di sela-sela bebatuan. Keadaan musim di Kadatua tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah lain di Buton. Menurut Catatan dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan Buton, musim penghujan terjadi antara bulan Desember sampai dengan bulan Juni, sedangkan musim kemarau terjadi hulan Juli sampai dengan Nopember. Pulau Kadatua tidak memiliki sumber air tawar yang dapat digunakan untuk air minum. Oleh sebab itu, air hujan bagi penduduk Kadatua merupakan sumber air tawar satu-satunya untuk kebutuhan memasak dan minum. Jadi dengan demikian, penduduk Kadatua sangat mengandalkan air hujan, yang ditampung dalam bak-bak penampungan air hujan, sementara itu untuk keperluan cuci dan mandi menggunakan sumur/perigi. Di Pulau Kadatua terdapat sumur/perigi sekitar 2.3431 buah, sedangkan di lokasi penelitian berjumlah 22 sumur di Waonu dan 327 sumur di Kapoa.

F t A

Gambar 2.3. Kondisi Tanah Pulau Kadatua

KASUS KABUPATEN BUTON 49

2.2. POTENSI SUMBER DAYA ALAM DI KECAMATAN

KADATUA DAN PENGELOLAANNYA

2.2.1. Sumber daya alam

Sumber daya darat

Secara singkat Kecamatan Kadatua dideskripsikan oleh penduduk maupun pemerintah lokal sebagai daerah miskin sumber daya alam (SDA). Kemiskinan SDA ini yang sering dikemukakan sebagai faktor utama mengapa penduduk miskin, pendidikan tertinggal dan pembangunan terkebelakang. Tanah bebatuan berkapur, sulit air dan kurang hasil laut. Uraian tentang sumber daya alam (SDA) di Kecamatan Kadatua meliputi SDA yang ada di laut (sumber daya laut- SDL) dan SDA yang ada di daratan (sumber daya darat)

Sumber daya darat berupa tanah yang gersang yang dipenuhi batu-batu cadas berkapur. Batu-batu tersebut adalah karang-karang yang sudah mati. Kemungkinan besar pulau ini dulunya adalah dasar laut yang kemudian terangkat naik. Tanahnya keras berbatu-batu, sehingga orang mengatakan bahwa petani Kadatua bercocok tanam di atas bebatuan. Pada prakteknya orang menanam di sela-sela bebatuan yang ada tanahnya. Tanah-tanah yang ada sekarang ini pun menurut penduduk berasal dari batu-batu yang sudah lapuk dan melunak menjadi tanah. Tanaman dominan yang tumbuh di atas bebatuan ini adalah alang-alang.

Dengan kondisi tanah seperti itu orang menanam jagung, ketela pohon, pisang dan jambu mete dengan hasil yang minimal. Seperti jagung yang ditanam, baru setahun kemudian bisa dipanen. Hasilnya pun sangat sedikit. Jagung panenan kecil-kecil, sehingga dikatakan orang sebagai jagung bonsai. Bedanya dengan jagung di daerah yang lain adalah rasanya yang sangat manis dan gurih. Begitu juga dengan ketela pohon yang baru dipanen setelah ditanam selama 2 – 3 tahun. Ketela pohon umbinya juga kecil, tetapi rasanya manis. Kadangkala juga disebut sebagai ubi racun, karena kalau tidak sempurna kita membersihkannya orang yang memakannya akan keracunan. Jagung

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 50

maupun ketela pohon yang dipanen dikeringkan lalu ditaruh di dapur atau di para-para. Bila mau memakannya, ketela pohon diparut, kemudian parutan ubi tersebut dikukus sehingga matang dan disebut ’kasoami’. Orang memakan ketela pohon kini sebagai makanan pokok. Nasi sebagai selingan dan kalau ada tamu.

Banyak dijumpai juga pohon pisang yang tidak berbuah. Jika berbuah hanya sesekali saja, lalu tidak pernah lagi. Jantung pisang banyak dimanfaatkan orang dengan memasaknya sebagai sayur. Daun Kelor yang tumbuh liar di pulau ini juga banyak dimanfaatkan sebagai sayuran karena cuma-cuma. Dulu biasa mereka memakannya sebagai lauk untuk kasoami. Semenjak tahun 1980-an orang-orang di pulau ini makanan pokoknya adalah beras, jagung dan ubi kayu hanya sebagai makanan selingan. Daun Kelor pun menjadi sayuran pelengkap makan nasi.

Hal serupa terjadi pada jambu mete yang hasilnya sangat terbatas. Dulu orang enggan menanamnya karena pesimis akan bisa tumbuh dengan baik. Ada seseorang yang mencoba menanamnya dengan membuang sampah-sampah, khususnya rumput dan tanaman yang sudah dpangkas di tanah tempat jambu mete ditanam. Ternyata tanah bebatuan yang dipupuk dengan rumput dan tanaman yang membusuk (pupuk kompos) menjadi gembur dan pohon tersebut bisa berhasil tumbuh.

Kini sudah mulai banyak orang menanam jambu mete dengan mengikuti cara dari orang yang pertama berhasil menanam jambu mete. Masalah penjualan sampai saat penelitian ini berlangsung masih merupakan kendala besar, sehingga orang sering tidak memanen jambu mete walaupun sudah saatnya. Jumlah pohon mete pun masih sangat sedikit, sehingga panen tidak menghasilkan jumlah yang banyak. Hasil panen sebagian dimakan untuk keluarga dan sebagian lagi dijual ke tetangga atau sebagai kiriman antar tetangga. Potensi lain yang cukup menarik untuk dikembangkan adalah hasil dari pohon kelapa. Di pulau ini banyak pohon kelapa yang berhasil tumbuh tinggi menjulang, tetapi hanya sebagian saja yang berbuah. Bagian-bagian lain dari pohon kelapa sangat bermanfaat untuk berbagai keperluan.

KASUS KABUPATEN BUTON 51

Daunnya bisa dimanfaatkan untuk membuat atap rumah panggung. Batang pohonnya bisa dimanfaatkan sebagai bahan bangunan maupun untuk kayu bakar. Belum lagi hama kelapa yang dikenal sebagai ’Kepiting Kenari’ sangat lezat sebagai bahan makanan. Apabila diusahakan dengan sungguh-sungguh, Kepiting Kenari bisa menjadi salah satu komoditi yang mempunyai nilai ekonomi tinggi.

Masalah utama yang dihadapi penduduk adalah kesulitan air. Harapan mereka bisa diperoleh teknologi tepat guna yang bisa mengubah air laut yang asin menjadi air tawar untuk keperluan rumah tangga sehari-hari juga untuk usaha tani mereka. Tanpa itu mereka melihat tinggal di pulau yang ada hanyalah kemiskinan. Merantau merupakan solusi yang ada. Bila ada air tawar yang cukup, barangkali akan bisa mengubah kondisi tanah menjadi lebih subur. Usaha tani hanya mengandalkan air hujan yang tidak begitu banyak turun ke pulau ini.

Saat ini penduduk memenuhi keperluan air minum dari PAH (air hujan yang ditampung) dan beli air yang dijajakan orang per derijen. Air tersebut diambil dari mata air Pulau Siompu. Sebagian lagi diambil dari sumur yang terletak di tengah-tengah Pulau Liwutongkidi. Orang mengambil air ke sana dengan menggunakan sampan dan membawa derijen-derijen kecil (1 liter). Kadang-kadang juga orang membawa satu dua derijen besar ukuran 5 liter untuk mengangkut air dari Pulau Siompu ke Pulau Kadatua. Setibanya di Kadatua akan dijual sebagian dan sebagian lagi dipakai sendiri.

Sumber daya kelautan

Sejak dulu ikan bukanlah menjadi target utama usaha komersial kenelayanan mereka. Ikan hanyalah untuk memenuhi kebutuhan subsistensi. Jumlah penduduk sedikit dan kurangnya akses pasar telah menjadi faktor mengapa ikan lebih merupakan komoditi subsistensi dan bukan komoditi komersial. Komoditi laut yang utama seperti lola, teripang, japing menjadi target pencarian. Tahun 1980-an pernah dilakukan ’sasi’ di perairan desa Waonu untuk ketiga jenis produk kelautan, yakni teripang, lola dan japing-japing. Setelah sasi dibuka nelayan luar yang mau mengambil ketiga jenis produk itu di perairan

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 52

desa Waonu harus membayar sejumlah uang. Adapun uang yang diperoleh, menurut kepala desa Waonu (Salahudin), digunakan untuk pembangunan fasilitas desa seperti masjid dan balai desa. Sementara itu, beberapa penduduk yang diwawancarai menyebutkan penggunaan uangnya tidak jelas. Disini terlihat betapa rentan hubungan antara penduduk dengan aparat pemerintahan desa yang diwarnai ketidakpercayaan dan ini juga berdampak terhadap berbagai program pembangunan.

Dengan menggunakan bom ikan nelayan memang bisa memperoleh ikan dalam jumlah banyak, tetapi sebatas pemenuhan kebutuhan. Bom ikan lebih dimaksudkan sebagai suatu hiburan (exciting), serupa kalau kita menyulut mercon, begitu ujar seorang nelayan desa Waonu. Harga ikan cukup rendah di desa-desa kecamatan ini. Itulah juga penyebabnya mengapa ikan bukan menjadi target utama usaha kenelayanan.

Sesungguhnya baru beberapa tahun terakhir ini dengan adanya redi (pukat cincin) usaha penangkapan ikan berkembang. Akan tetapi investasi yang besar (lebih dari Rp100 juta) pada usaha kenelayanan ini menyulitkan nelayan untuk memilikinya. Tidaklah mengherankan bila usaha kenelayanan ini hanya berkembang di desa Banabungi, yang merupakan desa terdepan, yang paling dekat jaraknya dengan kota kabupaten Buton. Problem pemasaran ikan masih sering merupakan kendala. Adanya pukat cincin (redi) memungkinkan nelayan menangkap ikan sebanyak-banyaknya, tetapi penjualan terbatas. Beratus-ratus ikan busuk sering dijumpai pada masa panen ikan di desa Banabungi karena tiadanya penampung lagi.

Kini orang mencurahkan banyak waktunya untuk mencari bulu babi, gurita, kerang-kerangan serta usaha rumput laut yang kesemuanya merupakan usaha di area pantai. Laki-laki masih dominan sebagai tenaga kerja pencarinya.. Ikan yang dijadikan target tangkapan yang utama adalah ikan-ikan pelagis yang berada di area terumbu karang, khususnya ikan Layang dan ikan Tongkol. Banyak jenis ikan tangkapan sampingan yang dibuang begitu saja (by-catch) karena tiadanya nilai komersial ikan tersebut.

KASUS KABUPATEN BUTON 53

Dahulu hasil laut yang komersial terbatas sekali dengan harga yang rendah. Kini hasil laut yang bernilai komersial diupayakan oleh penduduk, misalnya, ikan Pari yang jumlah sangat banyak. Bila ikan tersebut tersangkut pada jaring nelayan, maka dahulu akan dibuang pada saat menyortir hasil tangkapan (discards). Saat penelitian ini dilakukan ikan pari sudah menjadi komoditi komersial yang diperjualbelikan. Begitu juga dengan bulu babi dan kerang-kerangan saat penelitian ini berlangsung sudah laku diperjualbelikan.

Kondisi SDL dua tahun yang lalu menurut para penduduk dideskripsikan sebagai : sudah kurang ikan, terumbu karang hancur karena penggunaan bom ikan dan bius sebagai alat tangkap yang destruktif semenjak tahun 1950-an, dan tiadanya mangrove yang melindungi pulau dari abrasi ombak. Contoh yang menarik adalah Pulau Liwutongkidi yang semakin mengecil areanya. Menurut penuturan penduduk, dulunya batas pantai pulau itu sekitar 30 meter ke depan.

Jenis ikan komersial seperti ikan Kerapu sudah sulit diperoleh kalau tidak boleh dibilang musnah. Tahun 1990-an ikan Kerapu menjadi primadona ikan komersial yang diburu oleh nelayan karena banyak pembelinya. Pedagang pengumpul memainkan harga, sehingga membeli dengan harga yang rendah. Over fishing terhadap ikan Kerapu terasa dampaknya sekarang dengan jarang diperolehnya ikan Kerapu di dalam operasi penangkapan ikan.

Pada musim angin kencang gelombang kuat sulit ikan. Indikator utama adalah yang tertangkap hanyalah ikan Pogo. Ikan-ikan lain sulit diperoleh. Pada musim ini hasil laut utama yang menjadi lauk pauk penduduk adalah ikan Pogo, kerang-kerangan dan Bulu Babi. Musim angin tenang merupakan panenan besar bagi penduduk, karena bisa memperoleh banyak ikan. Musim pancaroba antara musim gelombang kuat dan musim gelombang tenang juga masih menghasilkan tangkapan ikan yang cukup besar jumlahnya. Faktor banyaknya sampan tidak bermotor dan nelayan yang kerja sendirian yang mendominasi usaha perikanan di kecamatan ini merupakan faktor penyebab mengapa angin kencang hasil ikan cenderung lebih

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 54

sedikit, walaupun sebagian informan menyebutkan bahwa justru pada musim angin kencang banyak ikan.

Kondisi laut sekarang ini relatif lebih terjaga, karena intensitas penangkapan ikan yang rendah, penduduk lebih banyak mencurahkan waktu untuk berdagang. Pemenuhan kebutuhan hidup diperoleh dari hasil dagang. DPL (daerah perlindungan laut) pun sudah mulai menunjukkan hasil dengan banyaknya tangkapan ikan oleh penduduk di kawasan tersebut.

2.2.2. Wilayah pengelolaan

Secara geografis memang potensi terbesar kabupaten Buton tidak pelak lagi adalah pada sektor kelautan. Tidak kurang dari 82% wilayah kabupaten ini adalah lautan. Jika musim timur angin dari laut Banda sangat kencang mengganggu orang mencari ikan, sehingga orang mencari ikan di perairan sebelah barat Pulau Buton. Begitu sebaliknya, jika musim barat orang mencari ikan di perairan sebelah timur Pulau Buton. Jenis ikan yang menjadi target (fish-target) pada kedua musim itu sama saja yakni ikan Tuna dan ikan-ikan karang.

Alat tangkap yang dipakai penduduk masih terbatas seperti pancing ulur, bubu, gillnet, panah, pukat cincin dengan tambahan rumpon untuk mengumpulkan ikan. Jenis-jenis ikan komersial yang ditangkap adalah ikan Layang, ikan Tongkol dan ikan Tuna. Adapun ikan karang yang dicari-cari adalah ikan Kerapu, ikan Sunu dan Lobster.

Produksi ikan-ikan karang beberapa tahun yang lalu memburuk, karena akibat penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan bertahun-tahun lamanya, khususnya penggunaan bom ikan dan bius sebagai teknologi tangkap. Terumbu karang di perairan kabupaten ini sudah banyak yang rusak akibat teknologi perusak tersebut. Terumbu karang banyak yang sudah hancur, karang yang masih utuh sebagian besar berwarna putih yang disebut penduduk sebagai diserang ‘penyakit putih’. Semenjak tahun 2003 sudah dibentuk sistim pengawasan masyarakat per desa dengan pemberian bantuan perahu

KASUS KABUPATEN BUTON 55

motor dan pengurusnya dari masyarakat pelaku budi daya rumput laut. Terumbu karang di perairan Buton hanya terdapat pada area 4 mil ke bawah, berbeda dengan karang Kaledupa dan lain-lain gugusan karang di perairan provinsi Sulawesi Tenggara ini yang letaknya jauh dari pulau..

Kini berbagai desa, termasuk Desa Waonu dan Desa Kapoa, telah mempunyai daerah perlindungan laut (DPL) yang ditetapkan dalam berbagai Peraturan Desa (Perdes). Rata-rata satu desa binaan COREMAP memiliki 1 atau 2 DPL. Penyusunan DPL dan pembuatan Peraturan Desa dilakukan oleh masyarakat desa itu dan disyahkan oleh pihak kabupaten. Dari hasil penelitian ini diketahui pihak aparat desa yang umumnya melakukan pengukuran daerah perlindungan laut dan seringkali kurang sosialisasi pada masyarakat, hal ini tidak jarang menimbulkan kerentanan untuk konflik dalam masyarakat. Saat sekarang adanya DPL telah membuahkan hasil dengan mulai banyaknya jenis ikan yang bisa ditangkap nelayan.

Menurut keterangan ketua Bappeda kabupaten Buton, sumber daya laut lebih banyak dimanfaatkan oleh penduduk setempat dibandingkan pendatang. Nelayan pendatang, khususnya nelayan andun dengan kapal di atas 10 GT diwajibkan mencari ikan di wilayah provinsi, namun pelanggaran masih sering terjadi.

2.2.3. Teknologi penangkapan

Sebagai salah satu sasaran program COREMAP, desa-desa di Pulau Kadatua kini tidak dapat dikategorikan sebagai desa nelayan yang maju dengan aktivitas perikanannya. Desa-desa yang berada di Pulau Kadatua bukan penyumbang penghasil produksi ikan di kabupaten Buton. Di masa lalu, menurut informasi, desa-desa di Kadatua sebenarnya pengguna bahan peledak untuk menangkap ikan, hal ini dilakukan karena daerah ini merupakan tempat penghasil bahan peledak yang terkenal di daerah Buton. Penduduk desa seperti Waonu sudah biasa melakukan jual-beli bahan peledak untuk konsumsi nelayan sekitar. Bahan peledak diambil dari sisa-sisa bom PDII yang

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 56

diambil dari daerah Morotai, Maluku Utara.. Oleh sebab itu, teknologi alat tangkap tidak berkembang di daerah ini.

Apabila melihat dari keragaman jenis alat tangkap, maka alat tangkap yang ada di desa-lokasi COREMAP jumlahnya sedikit dan jenisnya tidak beragam.. Apabila dibandingkan dengan di Kabupaten Buton menunjukkan keragaman alat tangkap yang rendah. Jenis alat tangkap yang terdapat di Kadatua hanya 6 jenis yang relatif masih sederhana, seperti pancing ulur. Alat tangkap ini paling menonjol di Kadatua. Dengan banyaknya pancing ulur semakin mengindikasikan bahwa nelayan Kadatua termasuk nelayan tradisional. Ekspansi wilayah tangkap tidak begitu jauh dan di sekitar Pulau Kadatua, karena sarana perikanan hanya berupa perahu sampan dan perahu mesin tempel.

Pelaksanaan program COREMAP di Pulau Kadatua diawali dengan pembentukan Daerah Perlindungan Laut (DPL), sehingga hal ini merupakan pengenalan baru model pengelolaan perikanan yang sebelumnya tidak dikenal, yakni wilayah penangkapan yang dikuasai oleh desa atau masyarakat (communal fishing rights). Dalam sejarahnya, nelayan di Pulau Kadatua tidak mengenal hak atas wilayah penangkapan yang dikuasai oleh desa atau masyarakat. Oleh sebab itu, apabila DPL nantinya menjadi fishing rights masyarakat nelayan di desa-desa lokasi COREMAP tersebut maka masalah kelembagaan atau pranata yang terkait dengan pengelolaan DPL perlu segera dibentuk. Saat penelitian ini dilakukan, kelembagaan pengelolaan DPL belum ada. Oleh sebab itu, masih ditemui adanya warga yang belum mengerti tujuan dari program DPL (Daerah Perlindungan Laut).

KASUS KABUPATEN BUTON 57

Tabel 2.3. Keragaman Penggunaan Alat Tangkap Ikan di Kabupaten Buton

Lokasi Penelitian Alat tangkap Kab.

Buton Kec.

Kadatua Waonu Kapoa Pukat/Jaring - Payang 20 15 4 11 - Pantai 199 - - - - Cincin 35 21 - 2 - Insang Hanyut 1.550 - - - - Insang Lingkar 1.596 - - - - Insang Lingkar 337 - - - - Insang Tetap 1.596 74 22 20 Pancing - Huhate 5 - - - - Rawai Tuna 329 - - - - Rawai Dasar 168 - - - - Tonda 1.594 - - - - Ulur 2.936 455 158 61 - Lainnya 948 - 8 51 Perangkap - Sero 27 - - - - Bubu 2.153 104 Bagan - Perahu 424 - - - - Tancap 10 - - - Alat P. Kepiting 548 Alat. P. Teripang 14 - - - Alat T. Tombak 18 - - - Alat Tangkap lain 350 270 15 15

Sumber: Laporan Tahunan Statistik Potensi dan Produksi Perikanan Tahun 2005.

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 58

2.2.4. Sarana dan prasarana

Ada pasar tradisional desa di lokasi COREMAP yang aktif setiap minggu sekali. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan pokok setiap hari, penduduk membeli dari pedagang sayuran atau warung yang ada di desa. Terdapat prasarana jalan yang menghubungkan desa-desa di Pulau Kadatua dan menghubungkan ke kota Bau-Bau di Pulau Buton. Panjang jalan sekitar 60 km, dan jalan beraspal baru sekitar 3 km. Selebihnya merupakan jalan berkerikil (10 km), dan jalan semen (7 km).

Sarana transportasi umum adalah angkutan desa dan ojek. Peranan angkutan desa sangat besar bagi penduduk untuk memenuhi kebutuhan pokok dan sarana mobilitas penduduk terutama penduduk yang bekerja di Bau-bau sebagai pedagang. Selain angkutan darat, terdapat perahu “mesin dalam” (inboard) yang menghubungkan Pulau Kadatua ke kota Bau-bau. Perjalanan dari P. Kadatua sampai Pulau Buton sekitar seperempat jam.. Sarana pelabuhan perahu berada di desa Banabungi

Salah satu sarana perkonomian yang cukup penting adalah depot kecil untuk memenuhi kebutuhan BBM perahu-perahu nelayan dan kendaraan bermotor di Pulau Kadatua yang terletak di desa Kapoa. Lokasi desa COREMAP ini dipilih untuk mengindari ombak besar pada saat musim barat sehingga kapal perikanan mudah merapat.

Sekolah Dasar di Pulau Kadatua terdapat di setiap di desa, sedangkan SMP Negeri berada di desa Lipoe, ibukota Kecamatan Kadatua. Untuk mengatasi lulusan SMP negeri di Pulau Kadatua, dibangun gedung SMA di desa Lipoe. SMA di Kadatua adalah sekolah swasta yang didirikan oleh para guru-guru SMP Negeri Kadatua sebagai jalan keluar mengatasi problem pendidikan lanjutan di Kadatua. Survai terhadap di desa lokasi COREMAP di Pulau Kadatua memperlihatkan penduduk yang menamatkan SMA sangat kecil dibandingkan SD dan SMP.

KASUS KABUPATEN BUTON 59

2.2.5. Program dan kegiatan dalam pengelolaan SDL

Pengadaan DPL (daerah perlindungan laut) boleh dikatakan merupakan satu-satunya program pengelolaan SDL yang dikembangkan di Waonu dan Kapoa. Sudah ada juga rencana budi daya ikan Kerapu, tetapi sampai sekarang belum lagi berjalan. Program lain adalah budi daya rumput laut juga tidak berhasil dikembangkan karena terpaan ombak yang sangat keras.

Adanya DPL telah membuat suatu kawasan yang aman dari gangguan eksploitasi manusia. Saat sekarang menurut penduduk sudah terbukti adanya DPL membuahkan hasil banyak ikan yang bisa ditangkap di kawasan tersebut. Oleh sebab itu daerah tersebut juga diawasi oleh penduduk bila ada yang hendak mengganggu, karena berkaitan juga dengan kepentingan penduduk setempat. DPL diatur dalam Perdes (Peraturan Desa).

2.3. KEPENDUDUKAN KECAMATAN KADATUA

2.3.1. Jumlah dan Komposisi

Menurut data dari Kantor Statistik Buton pada tahun 2006, jumlah penduduk Kecamatan Kadatua tercatat 10.362 jiwa orang yang terdiri dari laki-laki sebanyak 4.428 jiwa dan perempuan 4.365 jiwa, dengan tingkat kepadatan sebesar 371 jiwa/km2. Desa Waonu dan Desa Kapoa bukan termasuk desa memiliki tingkat kepadatan penduduk yang tinggi di Kadatuan. Kedua desa itu tercatat memiliki jumlah penduduk 1696 jiwa orang dan 1622 jiwa orang. Sementara itu, desa yang terpadat penduduknya yaitu desa Kaofe dengan tingkat kepadatan sebesar 734 jiwa/km2. Sedangkan yang paling kecil kepadatannya, yaitu Desa Lipu yaitu sebesar 131 jiwa/km2.

Jumlah kepala keluarga yang tercatat pada waktu itu 320 kepala keluarga di Waonu dan 364 kepala keluarga di Kapoa. Hal ini berarti, untuk setiap keluarga di Wounu dan Kapoa terdapat angka rata-rata 5 jiwa orang (Waonu) dan 4 jiwa orang (Kapoa). Seandainya yang dua orang itu adalah suami-istri yang bersangkutan, maka rata-rata anak dalam satu keluarga yang dimiliki 2 anak di Kapoa dam 3 anak di

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 60

Waonu. Jika dibandingkan dengan desa lain di kecamatan Kadatua, desa Kapoa termasuk desa dengan kepadatan relatif rendah, yaitu 23 persen, sementara desa Waonu termasuk desa dengan kepadatan penduduk relatif tinggi, yaitu 20% dari kepadatan penduduk kecamatan Kadatua (433 jiwa orang per km 2 ).

Grafik 2.6. Jumlah Penduduk Kadatua Menurut Jenis Kelamin, 2004-2006

0

2000

4000

6000

8000

10000

12000

2004 2005 2006

Laki-lakiPerempuanJumlah

Sumber: Data Primer Survei BME, Aspek Sosial Ekonomi, PPK-LIPI, 2008.

Grafik 2.6 memperlihatkan bahwa selama tiga tahun penduduk Kecamatan Kadatua tidak banyak mengalami perbahan. Jumlah penduduk relatif tetap. Sementara itu menurut Kantor Statistik Kabupaten Buton, laju pertambahan penduduk di Kadatua mencapai angka tertinggi sekabupaten Buton lima tahun terakhir, yaitu 3,88 persen per tahun, sedangkan untuk kabupaten Buton tercatat 2.05 persen pertahun (Kantor Statistik kabupaten Buton, 2006). Grafik 2.1 menunjukkan pertambahan penduduk selama tiga tahun tersebut, jumlah penduduk perempuan selalu lebih banyak jumlahnya dibandingkan penduduk laki-laki Hal ini menandakan bahwa penduduk pria di Kadatua pada umumnya adalah orang perantau yang pergi mencari pekerjaan yang tidak membawa anggota keluarga. Pergi merantau dan kondisi alam Pulau Kadatua yang tidak subur kemungkinan ada hubungannya. Pulau Kadatua yang tanah berbatu

KASUS KABUPATEN BUTON 61

tidak bisa diusahakan pertanian yang intensip. Pergi merantau bagi penduduk Kadatua dan berdagang sangat berkaitan erat. Oleh sebab itu, kegiatan kenelayanan pun di Pulau Kadatua tidak begitu berkembaang dibandingkan daerah lain di Buton. Uraian tentang pekerjaan dan pergi merantau tersebut dijelaskan pada bagian di bawah ini.

2.3.2. Pendidikan dan ketrampilan

Pada umumnya tingkat pendidikan rata-rata desa sampel di Pulau Kadatua lebih rendah dibandingkan dengan kecamatan lain di Kabupaten Buton. Sebab-sebab rendahnya tingkat pendidikan di desa ini antara lain tidak adanya fasilitas pendidikan lanjutan di Kadatua. Sejak Pulau Kadatua menjadi wilayah administrasi kecamatan tersendiri, fasilitas pendidikan mulai dibangun, fasilitas bangunan sekolah lanjutan mulai didirikan. Kini di kecamatan Kadatua sudah terdapat 2 (dua )SMP negeri dan 1 (satu) SMA swasta yang daya tampungnya masih belum memadai karena bangunan sekolah belum selesai. Masih minimnya daya tampung SMA tersebut, maka lulusan SMP apabila akan melanjutkan ke jenjang SMA terpaksa harus pergi ke kota Bau-bau. Kondisi pendidikan di Kadatua seperti ni menyebabkan tidak semua orang tua mampu membiayai sekolah anaknya ke sekolah lanjutan, karena mereka harus indekost di kota Bau-bau.

Kondisi sarana pendidikan di Kadatua tentu berpengaruh pada struktur komposisi penduduk menurut jenjang pendidikan. Hasil survai tahun 2006 (To) menunjukkan bahwa penduduk yang memiliki jenjang pendidikan “tidak/belum tamat SD dan tamat SD” menempati porsi terbesar dari keseluruhan anggota rumah tangga responden. Kecenderungan seperti ini hal yang biasa dijumpai di pedesaan, karena hal itu mengambarkan masih rendahnya tingkat pendidikan penduduk. Apabila dibandingkan dengan hasil survai tahun 2008 ( Ti), struktur penduduk menurut jenjang pendidikan di lokasi penelitian di Pulau Kadatua tidak mengalami perubahan yang berarti (Grafik 2.7)

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 62

Grafik 2.7. Responden Menurut Jenjang Pendidikan di Lokasi Penelitian, Kadatua Tahun 2006 dan 2008

05

10152025303540

Blm/Tdk S.

Blm/Tdk T. SD

SD Tamat

SLTP Tamat

SLTA Tamat

2006 (T1)

2008 (T2)

Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang,

PPK-LIPI, 2006 Data Primer, Survei BME, Aspek Sosial Ekonomi, PPK-LIPI, 2008

Penduduk yang berlatar belakang “tidak/belum tamat SD dan tamat SD” masih menempati porsi terbesar Namun demikian, dari hasil survai tahun 2008 ada kecenderungan jumlah anggota responden yang tamat SD dan SLTP mengalami kenaikan dibandingkan dua tahun sebelumnya. Sementara itu, kategori responden yang memiliki jenjang tamat SLTA tidak mengalami kenaikan prosentasenya dibandingkan dua tahun sebelumnya.Ini tentu berkaitan dengan belum memadainya daya tampung SMA di Kadatua. Terjadinya peningkatan jumlah penduduk yang berjenjang SD dan SLTP tidak dapat dipisahkan dengan kondisi sarana sekolah di Pulau Kadatua yang ada sebagaimana dijelaskan di muka.

KASUS KABUPATEN BUTON 63

2.3.3. Pekerjaaan (Utama dan Tambahan)

Pekerjaan utama penduduk di lokasi penelitian pulau Kadatua cukup beragam. Secara garis besar, jenis pekerjaan utama dapat dikelompokan menjadi 5 (lima), yakni : perikanan tangkap, pertanian, perdagangan, jasa dan kelompok lainnya. Perikanan tangkap di lokasi penelitian meliputi matapencaharian sebagai

nelayan pancing dan jaring yang wilayah tangkapnya sekitar pulau Kadatua, juga pekerjaanb sebagai ABK atau sawi redi (purse seine), dan (buruh) nelayan, baik yang memiliki operasi penangkapan (fishing ground) di sekitar pulau Kadatua atau menjadi ABK pada pemilik kapal perikanan di perantauan (Sorong dan Jayapura).

Gambar 2.4. Foto anak yang dipekerjakan jualan makanan.

Selain perikanan tangkap, berdagang merupakan pekerjaan utama yang cukup besar di lokasi penelitian ini, jenis pekerjaan ini mulai berdagang keliling di desa menjual makanan, berdagang kebutuhan pokok atau membuka warung “sembako”, sampai berdagang emas dan pakaian yang dilakukan di perantauan, seperti di Ternate, Timika, Saumlaki, dan kota-kota besar di Papua, Maluku, Maluku Utara dan kota-kota lain di Pulau Sulawesi. Juga ada pekerjaan penduduk yang terkait dengan jasa meliputi pekerjaan yang berhubungan pelayanan, seperti guru, pegawai pemerintahan. Kemudian kelompok pekerjaan utama yang lain adalah tukang ojek dan tukang batu/ bangunan.Terutama tukang ojek, jenis pekerjaan jasa angkutan penduduk ini mulai ramai sejak dua tahun terakhir. Ketika survai dilakukan tahun 2006, pekerjaan ojek dapat dikatakan belum ada. Pekerjaan jasa transportasi penduduk ini merupakan baru yang semakin mempermudah mobilitas penduduk ke kota Bau-bau yang selama ini dilayani angkutan pedesaan yang jumlahnya terbatas.

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 64

Berdasarkan survai tahun 2008, proporsi terbesar adalah KRT yang mempunyai pekerjaan utama sebagai nelayan perikanan tangkap yaitu mencapai 41,3 persen. Demikian pula pada survai sebelumnya (tahun 2006), perikanan tangkap juga merupakan pekerjaan utama terbesar. Namun demikian, kelompok pekerjaan ini di satu sisi mengalami penurunan persentasenya, sementara kelompok pekerjaan berdagang menunjukkan kenaikan persentasenya.. Hal ini berarti telah terjadi pergeseran pekerjaan dari nelayan (laut) ke darat (berdagang). Jenis pekerjaan di darat yang paling banyak dipilih responden adalah perdagangan. Untuk pekerjaan pertanian porsinya sangat kecil, yakni hanya 6,5% perubahannya, hal ini berhubungan dengan kondisi tanah yang tidak subur untuk bercocok tanam di Kadatua. Secara lebih rinci perubahan jenis pekerjaan (T1 dan To) dapat di lihat pada Grafik 2.8

Grafik 2.8. Jenis Pekerjaan Utama Responden di Lokasi Penelitian, Kecamatan Kadatua Tahun 2006 dan 2008

010203040506070

Perikanan tangkap

Pertanian

Perdagangan

JasaLainnya

2006 (T1)

2008 (T2)

Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang,

PPK-LIPI, 2006 Data Primer, Survei BME, Aspek Sosial Ekonomi, PPK-LIPI, 2008

Pekerjaan tambahan di lokasi penelitian tidak begitu banyak dilakukan penduduk Kadatua Penduduk yang melakukan pekerjaan tambahan jumlahnya sangat sedikit. Hasil survai tahun 2006, ada sekitar 0,8 % (100 Responden), sementara pada tahun 2008 terjadi kenaikan dua kali lipat menjadi 16,9% (130 responden). Kenaikan

KASUS KABUPATEN BUTON 65

responden yang melakukaan pekerjaan tambahan karena pekerjaan tambahan lebih beragam. Buruh kasar adalah jenis pekerjaan tambahan satu-satunya menurut hasil survai 2006, tetapi dari hasil survai 2008 pekerjaan beragam, yakni bekerja di bidang perikanan, pertanian dan perdagangan.

2.3.4. Kesejahteraan (T0 dan T1)

Pemilikan dan Penguasaan Aset Produksi dan Non-Produksi

Salah satu ukuran kesejahteraan dapat menggunakan pemilikan alat tangkap perikanan sekalipun di Kadatua bukan masih tergolong nelayan subsisten. Ukuran sejahtera, menurut masyarakat adalah kekurangan modal dan tidak memiliki kentiting atau sampan dayung. Dari survai yang dilakukan tahun 2006 terhadap 100 responden menunjukkan terdapat 34% responden yang memiliki asset produksi berupa “perahu mesin dalam”, dan sebagian besar (82,4%) dari kelompok ini menggunakan ukuran mesin 5.5 PK. Kelompok responden lainnya, sebesar 4% adalah responden yang memiliki sarana perahu tempel, dan 39% kelompok responden yang memiliki perahu tanpa motor. Jadi dengan demikian, ada sekitar 23% berasal dari kelompok nelayan yang tidak memiliki perahu (Grafik 2.9).

Komposisi ini mengalami perubahan setelah dilakukaan survai pada tahun 2008. Dari hasil survai ulang terhadap responden yang sama menunjukkan sekitar 40,7 % responden yang memiliki asset produksi ”perahu mesin dalam”, dengan ukuran mesin 5.5 PK, dan 25,5% responden memiliki perahu dayung, 33,6% nelayan yang tidak memiliki perahu. Apa yang dapat diambil dari hasil perbandingan pemilikkan aset produksi di lokasi penelitian ini ? Pertama, selama dua tahun ini terjadi kenaikan pemilikan perahu mesin dalam, dan nelayan yang tidak memiliki perahu juga mengalami perningkatan jumlah. Kedua, jumlah pemilikan perahu mesin tempel dan perahu dayung mengalami penurunan.

Di lokasi penelitian, kelompok nelayan yang tidak memiliki prasarana penangkapan ikan adalah nelayan yang bekerja pada nelayan pemilik

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 66

jaring mini purse seine (redi). Pemilikan perahu mesin dijumpai di Desa Kapoa, sedangkan di Desa Waonu lebih banyak ibu-ibu, yang dibantu anak-anaknya yang mencari ikan atau biota laut di tepi pantai dengan perahu dayung atau tanpa perahu. Perahu dayung digunakan untuk memancing ikan atau biota laut di tepi pantai yang dilakukan pada saat air surut, dan sarana ini lebih sering digunakanoleh kaum perempuan di kedua desa tersebut. Besarnya lapisan penduduk yang tidak memiliki alat produksi di kedua desa lokasi COREMAP ini berhubungan dengan kegiatan kenelayanan masih subsisten. Kegiatan mencari ikan dan biota laut di pinggiran pantai terutama pada saat air surut, yang dilakukan kaum perempuan (Gambar 2.6 dan 2.7 ).

Grafik 2.9. Jumlah Pemilikan Aset Sarana Penangkapan Ikan di Lokasi Penelitian, Kecamatan Kadatua Tahun 2006 dan 2008

0

10

20

30

40

50

P. Mesin Dalam

P. MesinTempel

PerahuDayung

Tdk adaperahu

2006 (T1)2008 (T2)

Gambar 2.6 dan 2.7

Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, PPK-LIPI, 2006 Data Primer, Survei BME, Aspek Sosial Ekonomi, PPK-LIPI, 2008

KASUS KABUPATEN BUTON 67

Warga masyarakat yang menguasai perahu mesin tempel mengalami penurunan. Penurunan jumlah kepemilikan mesin tempel kemungkinan kelompok nelayan ini beralih ke kelompok penguasaan perahu dayung yang jumlahnya meningkat selama dua tahun ini. Jika kapal motor dianggap sebagai indikator untuk mengukur kemajuan kepemilikan aset produksi perikanan karena memiliki nilai manfaat lebih dibandingkan dengan perahu dayung, maka penurunan perahu dayung yang terjadi sebanding dengan kenaikan manfaat pertambahan aset kapal motor. Perubahan kenaikan yang terjadi pada kapal motor tersebut tampaknya tidak seimbang dengan penurunan jumlah kepemilikan perahu dayung. Jumlah kenaikan aset kapal motor sangat sedikit dibandingkan dengan penurunan asset perahu dayung (Grafik 2.9).

Indikator lainnya adalah pemilikan alat tangkap. Dari hasil survai To dan T1 dapat diketahui terjadi perubahan jumlah penguasaan alat tangkap di kedua desa tersebut. Jumlah warga masyarakat yang menguasai alat tangkap mengalami kenaikan sekitar dua kali lipat selama dua tahun, sedangkan warga masyarakat yang memiliki pancing mengalami penurunan sepertiganya. Dinamika perubahan pemilikan alat tangkap ini tidak dapat dilepaskan dengan perubahan pemilikan jumlah perahu “mesin dalam”, peranan perahu mesin dalam membawa implikasi pertambahan jaring.

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 68

Grafik 2.10. Jumlah Pemilikan Asset Alat Tangkap di Lokasi Penelitian, Kecamatan Kadatua Tahun 2006 dan 2008

Jaring Pancing0

10

20

30

40

50

60

2006 (T1)2008 (T2)

KASUS KABUPATEN BUTON 69

Grafik 2.11. Jumlah Pemilikan Asset RT di Lokasi Penelitian, Kecamatan Kadatua Tahun 2006 dan 2008

01020304050607080

Perhiasan VCD Kend.Bermotor

2006 (T1)2008 (T2)

Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang,

PPK-LIPI, 2006 Data Primer, Survei BME, Aspek Sosial Ekonomi, PPK-LIPI, 2008

Survai ini juga melihat tingkat kesejahteraan penduduk mengunakan indikator kepemilikan aset rumah tangga. Grafik 2.11 memperlihatkan terjadi kenaikan jumlah pemilikkan perhiasan yang cukup siginifikan selama dua tahun terkahir. Jika pada tahun 2006, jumlah responden yang memiliki perhiasan dibawah 10%, maka pada 2008 menjadi hampir 80% responden. Ini artinya hanya sekitar perhiasan menjadi pilihan penduduk di kedua desa untuk menyimpan kekayaan, sementara untuk indikator yang lain juga mengalami kenaikkan, terutama pemilikan parabola.

Kondisi Permukiman dan Sanitasi Lingkungan

Kondisi perumahan di desa-sampel penelitian dapat dibedakan menjadi tiga tipologi kondisi perumahan yang dapat dipakai sebagai petunjuk tingkat kesejahteraan penghuninya. Tipologi kondisi rumah pertama, adalah rumah panggung dinding anyaman bambu dan beratap rumbia, Tipologi kedua adalah kondisi rumah panggung berdinding papan dan beratap seng/asbes, dan tipologi kondisi perumahan permanen yang berdinding tembok dan beratap seng dan asbes. Kondisi rumah panggung yang berdinding anyaman bambu dan

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 70

beratap rumbia merupakan gambaran penduduk yang kurang mampu, sementara tipologi kondisi rumah kedua dan ketiga adalah gambaran penduduk yang lebih mampu dibandingkan dengan tipologi pertama. Bagian ini menguraikan kondisi rumah dan perubahan kondisi perumahan yang terjadi di desa sampel penelitian sekarang ini (T1)

dibandingkan dua tahun yang lalu (To).

Gambar 2.5. Kondisi Permukiman di Lokasi Penelitian

Untuk melihat kondisi sanitasi lingkungan dapat dilihat dari kondisi kamar mandi, kakus dan tempat cuci (MCK), apakah setiap rumah memiliki sarana tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam uraian terdahulu, kebutuhan penduduk untuk mandi dan cuci menggunakan air sumur. Jumlah sumur terbatas. Tidak semua rumah memiliki sumur. Oleh sebab itu sumur di lokasi penelitian ini digunakan secara bersama-sama. Mencuci pakian dan mandi dilakukan di sekitar sumur. Jadi, sumur merupakan tempat pertemuan para ibu rumah tangga atau anak-anak gadis untuk mencuci pakaian. Aktivitas mandi penduduk juga dilakukan, dengan ambil air sumur lalu dialirkan ke bak kamar mandi atau ambil air di bawa ke kamar mandi. Namun ada juga yang mandi di sekitar sumur. Sementara itu, soal kakus (WC) tidak jauh berbeda dengan kamar mandi. Kamar mandi tidak terdapat dalam setiap rumah, dan tidak semua kamar mandi terdapat WC.

KASUS KABUPATEN BUTON 71

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 72

Gambaran kondisi WC di perumahan desa penelitian seperti itu tidak lepas dari model rumah panggung yang tidak ada ruangan kamar mandi tersendiri. Oleh sebab itu, untuk buang hajat, sebagian penduduk di desa penelitian ini masih menggunakan pantai, terutama anak-anak kecil. Di lokasi penelitian sebenarnya sudah banyak bilik-bilik atau tempat mandi dan WC yang didirikan melalui program bantuan kecamatan atau dari program yang lain, termasuk bantuan dari COREMAP lewat usul LPSTK

Penampung air hujan adalah sarana untuk memenuhi kebutuhan air tawar penduduk. Penduduk mengambil air dari PAH menggunakan ember untuk dibawa ke masing-masing rumah. Untuk kebutuhan air minum, penduduk menggunakan air hujan. Air minum diperoleh dari PAH (tempat penampungan air hujan) yang banyak terdapat di desa penelitian ini, bahkan jumlahnya sudah bertambah. Pada saat penelitian berlangsung sedang dibangun sekitar 12 PAH di desa Waonu. Dengan bertambahnya bangunan PAH di desa ini, paling tidak setiap 2-3 rumah terdapat sebuah PAH. Sedangkan untuk buang hajat, bagi orang yang memiliki wc maka ambil air di sumur payau. Masih sedikit rumah yang memiliki WC, sebagian besar masih menggunakan pantai untuk buang hajat terutama anak-anak.

Gambar 2.7. Foto Sumur Air Payau

Gambar 2.6. Foto Penampung Air Hujan

KASUS KABUPATEN BUTON 73

BAB III

COREMAP DAN IMPLEMENTASINYA

agian ini merupakan uraian tentang program COREMAP di Kabupaten Buton dan impelementasinya selama tiga tahun berjalan (2005-2007). Pembahasan terdiri dari dua bagian,

pertama berisi bahasan tentang pelaksanaan COREMAP serta permasalahan dan kendala yang dihadapi di tingkat kabupaten maupun di kedua lokasi penelitian.. Kedua, adalah bagian yang mendeskripsikan tingkat pengetahuan dan partisipasi masyarakat terhadap program-kegiatan COREMAP di tingkat kabupaten maupun lokasi kajian (Kecamatan Kadatua dan Mawangsangka).

3.1. PELAKSANAAN COREMAP : PERMASALAHAN DAN

KENDALA

Bagian ini menekankan pada deskripsi tentang dinamika pengelolaan dan pelaksanaan COREMAP di Kabupaten Buton dan realisasi pelaksanaan komponen-komponen program COREMAP di wilayah binaan, yaitu kegiatan Coral Reef Information and Training Center (CRITC), Community Awareness (CA), Community Based Management (CBM), dan Monitoring, Controlling, dan Surveilence (MCS). Selanjutnya akan dibahas tentang problemátika kelembagaan dalam pelaksanaan COREMAP yaitu PMU/PIU. yang pada intinya membahas tentang seberapa jauh tingkat capaian program-progarmnya dan permasalahan yang dihadapi masing-masing kelembagaan dalam pelaksanaanya.

B

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 74

3.1.1. Pengelolaan dan pelaksanaan/kegiatan COREMAP di tingkat kabupaten

PIU/PMU

PMU atau Project Management Unit adalah salah satu unsur kelembagan COREMAP di tingkat kabupaten. Selain PMU, ada juga unsur kelembagaan lain, yakni Dewan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (CCEB), dan UPT Taman Nasional laut/KSDA. Namur dibandingkan kedua unsur kelembagaan COREMAP, PMU merupakan pengelola COREMAP langsung di kabupaten. Posisi PMU sangat sentral bagi pelaksanaan COREMAP. Misalnya, Dewan Pemberdayaan Pesisir dalam konteksi pelaksanaan COREMAP hanya memberikan pertimbangan masukan kepada PMU COREMAP dalam menetapkan kebijakan.

PMU COREMAP kabupaten juga merupakan instrumen kebijakan COREMAP nasional. PMU COREMAP kabupaten harus menjabarkan kebijakan COREMAP nasional di dalam menetapkan kebijakan, atau dengan kata lain kebijakan PMU COREMAP Buton juga merupakan jabaran dari kebijakan COREMAP di tingkat nasional. PMU COREMAP Buton juga berkewajiban melaporkan kebijakan pengelolaan termubu karang yang ditempuh kepada Bupati Buton. Jadi dengan demikian, PMU COREMAP merupakan pusat pengendalian pelaksanaan program COREMAP di Buton, yang dalam merumuskan kebijakan harus memperhatikan kebijakan nasional dan masukan dari dari instansi teknis, dan juga kelembagaan terkait lain yabng dibentuk di daerah.

PMU COREMAP memiliki struktur sendiri, yang tidak sama dengan struktur dinas teknis di lingkungan pemerintah daerah. Jadi, secara kelembagaan PMU COREMAP kabupaten merupakan tangan panjang dari COREMAP pusat walaupun personilnya berasal dari karyawan Penda. PMU COREMAP Buton, disatu sisi harus menjabarkan kebijakan COREMAP nasional, dan di sisi lain PMU COREMAP Buton merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bagian pemerintah daerah kabupaten Buton. Posisi kelembagaan

KASUS KABUPATEN BUTON 75

PMU COREMAP yang demikian kemungkinan dapat berpengaruh terhadap kinerja implementasi program COREMAP. Sebagai contoh adalah program COREMAP nasional yang menetapkan pelestarian terumbu karang sebagai substansi yang dapat diajarkan di sekolah.

Di Buton, upaya memasukkan pelestarian terumbu karang ke dalam kurikulum di sekolah sampai saat penelitian ini dilakukan masih belum jelas realisasinya. Di era otonomi daerah ini, setiap kabupaten termasuk Buton ini memiliki kebijakan otonom, yang tidak bisa didekte oleh pusat. Misalnya, kebijakan menetapkan muatan local. Kabupaten dapat menetapkan matapelajaran tertentu sebagai muatan lokal yang diajarkan di sekolah. Dalam konteks ini, kabupaten Buton telah menetap bahasa daerah, yakni bahasa wolio sebagai muatan lokal yang diajarkan di sekolah-sekolah di Buton. Ini salah satu permasalahan yang dihadapi terkait implementasi memasukan pelestarian terumbu karang dalam kurikulum sekolah di Buton.

Pada saat penelitian ini dilakukan, dasar hukum penetapan pelestarian terumbu karang ke dalam kurikulum pelajaran sekolah di Buton masih belum jelas. Hal ini dapat diketahui dari wawancara dengan berbagai narasumber, tidak terlihat ada kesepakatan tertulis antar instansi teknis soal memasukan pelestarian terumbu karang dalam kurikulum sekolah, atau juga belum ada tanda-tanda rencana pembuatan keputusan Bupati Buton soal muatan lokal terumbu karang ini. Salah satu persoalan yang belum tuntas selain kepastian dasar hukum pelestarian terumbu karang sebagai muatan lokal adalah belum tuntas pembahasan soal waktu pengajaran muatan lokal terumbu karang ke dalam kurikulum sekolah di Buton. Ini sebenarnya problem koordinasi antara PMU dan berbagai instansi teknis di Penda.

Persoalan lain yang dihadapi PMU adalah soal pembuatan peraturan desa di desa binaan COREMAP yang sudah ditetapkan lokasi DPL. Pada saat penelitian ini, Peraturan Desa masih dalam bentuk draft yang sedang proses dikonsultasikan dengan instansi teknis di Pemda Buton. Begitu pula persoalan lain yang dihadapi, yakni keterlambatan pemberian gaji yang terjadi, yang sempat membuat

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 76

resah pelaksana COREMAP di lapangan, persoalan ini tidak lepas dari problem koordinasi internal. Jadi, persoalan koordinasi antara PMU dengan instansi teknis tampaknya merupakan permasalahan impementasi COREMAP yang dihadapi

Problem koordinasi yang dihadapi PMU COREMAP kabupaten Buton di dalam menjalankan kebijakan COREMAP tampaknya tidak dapat dilepaskan posisi jabatan PMU COREMAP yang tidak dipegang langsung kepala dinas sekalipun secara kepegawaian personal yang menjabat PMU di bawah kepala dinas teknis tetapi dalam realitasnya PMU COREMAP dapat langsung berhubungan dengan instansi teknis lain karena secara struktural bukan dinas teknis pemda. PMU COREMAP memiliki struktur terpisah dengan struktur dinas teknis terkait dan memiliki posisi yang kuat dalam konteks pelaksanaan program COREMAP. PMU COREMAP, disamping institusi yang melaksanakan tugas-tugas COREMAP dari pusat di daerah, juga melakukan koordinasi dengan instansi teknis di daerah. Di era otonomi daerah seperti sekarang, jika PMU COREMAP bertindak seperti instansi pusat yang menjalankan tugasnya di daerah tentu selalu menghadapi persoalan koordinasi dengan instansi teknis otonom di daerah, karena program COREMAP yang dianggap “sentralisasi” ini atau di lihat sebagai program pemerintah pusat tentu akan menjadi problem keberlanjutan ketika program COREMAP selesai.

Komponen COREMAP (Coral Reef Rehabilation and Management Program)

• CRITC (Coral Reef Information and Training Center)

CRITC merupakan salah satu komponen program COREMAP yang salah satu kegiatannya melakukan pengamatan ekologi terumbu karang. Hal ini telah dilakukan CRITC sejak Fase I (2005) dilaksanakannya program COREMAP di Buton, dan dilanjutkan lagi tahun 2006 dengan fokus studi ekologi karang, ikan karang dan biota megabentos. Hasil dari kegiatan ini telah menghasilkan publikasi

KASUS KABUPATEN BUTON 77

tentang Monitoring Ekologi Buton Tahun 2007. Pelaksana kegiatan ini adalah LIPI, COREMAP II dan CRITC.

Kegiatan CRITC yang lain adalah pendataan (data entri) tentang hasil penangkapan ikan, kapasitas penangkapan ikan, inventarisasi nelayan/alat tangkap di lokasi-lokasi pendaratan ikan yang sebelumnya telah dikakukan studi awal terlebih dahulu sebelm meenentukan lokasi pendaratan ikan. Selanjutanya dari pendataan tentang hal-hal di atas kemudian di analisa dan diproses menjadi sebuah informasi mengenai tangkapan per jenis alat tangkap; tangkapan per jenis ikan (CPUE). Dibandingkan dengan kegiatan pertama, kegiatan ini tidak lagi melibatkan LIPI melainkan oleh pelaksana COREMAP di daerah. Pada saat penelitian ini dilakukan, hasil dari pelaksanaan kegiatan yang disampaikan baru berjalan di empat kecamatan-lokasi binaan COREMAP, yakni Batauga-Bola, Lasalimu-Sampuabalo, Mawasangka-Inulu, dan Sampolawa-Bahari. Jadi dengan demikian, baru terlaksana di 4 kecamatan dari 17 kecamatan-lokasi binaan COREMAP di kabupaten Buton.

Kemudian, jika melihat pelaksanaan pengisian tabel bantu (lookup) menunjukkan belum semua terisi data, seperti tabel tentang lokasi penangkapan ikan berdasarkan musim. Data yang terisi baru sebatas data nama desa dan lokasi penangkapan, demikian juga tidak terlihat data isian periode musim dan lembar invetarisasi sarana penangkapan ikan. Secara keseluruhan, hanya sebagian kecil saja tabel bantu yang telah terisi data, seperti data hasil tangkapan per bulan dan lokasi penangkapan, dan CPUE bulanan berdasarkan lokasi pendaratan dan alat tangkap, catatan harian, data-data tentang alat dan metode penangkapan, dan nama-nama jenis ikan menurut nama ilmiah, Inggris, Indonesia dan lokal. Jadi dengan demikian, dari kemajuan pelaksanaan program ini ke empat desa/kecamatan tidak lebih sebatas pendataan data CREEL.

Selain kegiatan di atas, CRITC, juga melakukan aktivitas yang mendukung kelestarian ekologi terumbu karang. Misalnya pada tahun 2005, diadakan pelatihan selam dasar, SAR dan ekologi terumbu karang. Target sasaran dari kegiatan ini adalah 20 orang yang berasal

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 78

dari unsur masyarakat dan aktivis LSM, pegawai pemerintahan dan staf PMU Buton. Kegiatan workshop juga dilakukan selain pelatihan. Kali ini tema workshop yang diselenggarakan CRITC membahas agenda CRITC yang diikuti 33 peserta yang berasal dari kalangan LSM, Perguran Tinggi, BAPPEDA dan DKP Buton. CRITC juga melakukan kegiatan aksi, yakni melakukan monitoring, penelitian lokal, dan survey sosial-ekonomi.

Tahun 2006, CRITC lebih banyak melakukan workshop di tingkat lokal dan regional, yakni tentang pengembangan program CRITIC, dan pelatihan pemantauhan terumbu karang. Kali ini kegiatan CRITC memilih sasaran 25 peserta dari warga masyarakat. CRITIC juga melakukan survey pendapatan masyarakat nelayan. Menurut hasil survey pendapatan yang dilakukan CRITC di tahun 2006, menyebutkan rata-rata pendapatan perkapita nelayan kabupaten Buton sekitar Rp. 168.118 per bulan. Workshop dan pelatihan tampaknya menjadi kegiatan CRITC yang menonjol di tahun 2007. Pada kegiatan tersebut, pegawai Pemda Buton, dan aktivis LSM dipilih sebagiai target sasaran kegiatan. Materi pelatihan yang disampaikan pada kegiatan ini soal Pemantauan Ikan Berbasis masyarakat, Pelatihan BME, kajian sosial-ekonomi dan ekologi.

Kegiatan CRITC lainnya adalah pemetaan Daerah Perlindungan Laut (DPL). Sebagaimana terlihat pada peta, COREMAP Kabupaten Buton telah berhasil membenrtuk 39 DPL. Kegiatan pembentukan DPL merupakan kegiatan yang paling sentral dalam program COREMAP, karena DPL merupakan lokasi rehabilitasi terumbu karang (Gambar 3.1).

Pada tahun 2006, Pemerintah Daerah Kabupaten Buton telah mengeluarkan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Buton tentang Pengelolaan Sumber Daya Pesisir. Dengan dikeluarkannya, Rancangan Perda ini, maka keberadaan DPL nantinya akan mendapat landasan hukum. Di dalam Rancangaan Perda ini meyebutkan bahwa kegiatan pengelolaan bersama ekosistem terumbu karang harus didukung oleh masyarakat sebagai bagian dari kegiatan CRITC,

KASUS KABUPATEN BUTON 79

Pengelolaan SDA berbasis Masyarakat (CBM), dan Monitoring, Pengawasaan dan Pengendalian (MCS).

Pemerintah Daerah Kabupaten Buton cukup responsip di dalam mendukung pembentukan DPL tersebut. Hal ini terlihat dengan dicantumkan pasal 38 pada Rancangan Peraturan Daerah tersebut. Pasal 38 ayat 1 menyebutkan bahwa ”Setiap Desa dapat membuat Daerah Perlindungan Laut yang diatur dalam peraturan Desa dengan tujuan menjaga dan melindungi sumberdaya laut di wilayah desa” Di dalam Rancangan Perda itu juga telah mengakomodasi pelibatan peranserta masyarakat dan karakteristik Sumber Daya Alam setempat dan sekaligus memberikan dasar untuk pengaturan pengelolaan Daerah Perlindungan Laut. Dasar hukum yang dapat digunakan untuk memberikan landasan CBM tersebut, antara lain, adalah : Pasal 38 , ayat 2 dan ayat 3, sebagai berikut :

(2) Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut dilakukan secara terpadu dengan tetap memperhatikan kondisi ekologi dan melibatkan peran serta masyarakat. (3) Daerah Perlindungan Laut sebagai mana dimaksud ayat 2 dapat ditutup secara berkala dan/atau tetap dari kegiatan perikanan dan/atau pengambilan biota dengan kesepakatan masyarakat desa

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 80

Gambar 3.1. Peta Lokasi DPL Program COREMAP di Kabupaten Buton

• CBM (Community-based management)

Kegiatan CBM di Buton diawali pada tahun 2005, dengan melakukan kegiatan workshop, yang bertujuan mencari masukan untuk penyusunan muatan peraturan daerah tentang pengelolaan terumbu karang, dan kegiatan pelatihan untuk personil pelaksana COREMAP di lapangan, seperti SETO dan Community Fasilitator (CF) terutama meteri-materi yang berhubungan soal dasar-dasar pengetahuan strategi pemberdayaan/ pendampingan masyarakat, dan soal pengelolaan perikanan berkelanjutan. Kemudian, pada tahun 2006, kegiatan CBM ditandai dengan penetapan 28 DPL (Daerah

KASUS KABUPATEN BUTON 81

Perlindungan Laut) yang ditindaklanjuti dengan penyusunan draft peraturan desa untuk memberikan legitimasi di tingkat desa terhadap pembentukan DPL tersebut. Selain itu juga dilakukan kegiatan pelatihan budi daya laut dan perumusan mata pencaharian alternatif serta pelatihan teknis menejemen usaha.

Dibandingkan tahun sebelumnya, pada kegiatan CBM tuhan 2006 telah melibatkaan unsur masyarakat (tokoh agama, nelayan, pemuda) sebagai target sasaran kegiatan, disamping melibatkan juga unsur aparat pemerintah daerah. Tampaknya pendekatan partsipasif digunakan dalam kegiatan CBM pada tahun 2006. COREMAP menggunakan musyawarah sebagai bentuk konsultatif dengan masyarakat dalam penyusunan pengelolaan terumbu karang dan profil metode PRA. Sementara itu, pada tahun 2007, kegiatan CBM masih melanjutkan kegiatan tahun sebelumnya, yakni melakukan pendekatan konsultatif dengan masyarakat desa dalam penyusunan profil metode PRA serta kegiatan lainnya yang sifatnya pemberian bekal pengetahuan dan wawasan bagi pelaksana program COREMAP di lapangan, seperti training village management.

Kegiatan CBM yang bersifat ekonomi mulai tampak juga tampak di tahun 2007. Hal ini dapat dilihat dari pilot project untuk pengembangan usaha perikanan rumput Laut dan pengelolaan pasca panen walaupun kegiatan ini tidak dilakukan meluas di wilayah desa-desa binaan COREMAP. Lokasi pilot project ini berada di kecamatan Batauga dengan target 50 orang, yang masing-masing dihimpun ke dalam 5 (lima) kelompok budi daya rumput laut. Selain pengembangan usaha budi daya rumput laut, juga dilakukaan pengelolaan pasca panen dari hasil budi daya rumput laut, namun kegiatan ini lebih menyebar dibandingkan usaha budi daya rumput laut. Kegiatan pengelolahan pasca panen rumput laut dilakukan di 16 desa yang tersebar di 5 kecamatan. Sasaran kegiatan ini adalah kalangan ibu rumah tangga. Produk hasil pengelolaan pasca panen adalah jus agar, dodol agar, gula-gula, dll.

Kegiatan-kegiatan CBM lainnya yang dilakukan tahun 2007 dengan beberapa sasaran kegiatan adalah sebagai berikut :

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 82

• Workshop sertifikasi perdagangan ikan kerapu yang bertujuan membangun kesepahaman semua piha tentang system pemasaran dan produk perdagangan ikan karang dan soal pelestarian sumberdaya ikan karang

• Terbangunnya 43 Pondok Informasi dan disebutkan kontribusi warga masyarakat rata-rata 4 juta rupiah setiap bangunan pondok dari dana block grant.

• Terbangunnya insfrastruktur desa dengan dana block grant di 23 desa dengan anggaran Rp. 1.200 juta.

• Tersalurkan bantuan dana bergulir (seed funds) kepada 43 desa dengan nilai Rp. 1.550 juta.

• Telah dibangun stasiun radio FM/AM di kecamatan Batauga untuk memperluas penyebaran informasi tentang COREMAP di Buton.

Program CBM di tahun 2007 juga melakukan pembentukan DPL yang sebelumnya dilakukan pada program CRITC. Jumlah DPL yang terbentuk adalah 15 DPL yang tersebsar di 15 desa. Masing-masing DPL memiiki luas minimal 10 hektar per DPL. Dengan terbentuknya DPL baru ini, maka jumlah DPL sudah terbentuk di Buton menjadi 43 DPL di Buton. Untuk memberikan landasan hukum pada tahap kedua pembentukan DPL, COREMAPButon telah mempersiapkan draft paraturan desa. Pada saat penelitian ini dilakukan draft peraturan desa itu masih dikonsultasikan dengan bagian hukum Pemerintah Kabupaten Buton.

• Community Awareness (CA)

Pelaksanaan program Community Awarness di Buton dapat dikatakan lebih banyak menggunakan berbagai media sosial untuk meningkatan kesadaran masyarakat sebagai strategi pendekatan program. Program ini diawali dengan pelatihan yang tidak hanya melibatkan pelaksana COREMAP di lapangan, seperti SETO dan CF tetapi juga mengikutsertakan peserta lain dari kalangan LSM dan Perguruan Tinggi. Kegiatan yang dilakukan tahun 2005 ini bertujuan untuk memberikan pembekalan tentang komunikasi yang efektif dan

KASUS KABUPATEN BUTON 83

pelatihan soal pengetahuan jurnalistik dalam penyampian informasi atau kampanye pelestarian terumbu karang.

Penggunaan media sekolah adalah pendekatan yang dilakukan dalam program ini. Pemanfaatan sekolah bertujuan untuk meningkatkan pemahaman fungsi terumbu karang di kalangan anak-anak sekolah. Pendekatan media sekolah ini merupakan pilihan program Community Awareness, dilaksanakan pada Tahun 2006. Program Community Awareness berkeinginan untuk mengangkat masalah pengetahuan terumbu karang sebagai muatan lokal yang dapat diajarkan di sekolah-sekolah di Buton. Dalam kaitan ini, PMU Buton menyelenggarakan workshop dan seminar sebagai langkah awal peningkatan kesadaran masyarakat akan kelestarian terumbu karang. Perserta berasal dari kalangan guru SD dan SLTP. Workshop ini menghasilkan bahan pelajaran dan sosialisasi pengajaran muatan lokal soal kelestarian terumbu karang.

Penggunaan institusi pendidikan lainnya dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat akan kelestarian terumbu karang, program Community Awareness melakukan lomba cerdas cermat untuk kalangan siswa SD. Selain kalangan anak sekolah, program Community Awareness juga menggarap masyarakat luas. Oleh sebab itu pada tahun 2006 ini, PMU Buton melakukan

workshop tentang perumusan model strategi penyadaran masyarakat tentang pelestarian terumbu karang. Workshop ini diikuti oleh 28 kades yang berasal dari 7 kecamatan di Kabupaten Buton. Pelatihan, workshop dan perlombaan masih menjadi instrumen penting dalam kegiatan Community Awareness pada tahun 2007. Pelatihan sebagai bagian kegiatan Community Awareness lebih ditujukan untuk membangun ketrampilan dalam berkomunikasi di kalangan staf PMU COREMAP kabupaten Buton, sedangkan kegiatan workshop

Gambar 3.2. Foto Lomba Cerdas Cermat Tingkat SLTA

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 84

dilakukan untuk melanjutkan kegiatan tahun sebelumnya, yaitu tentang pemahama program pengembangan kesadaran kelestarian terumbu karang sebagai muatan lokal di sekolah. Workshop ini diikuti 54 guru SD yang tersebar di 12 desa.

Cerdas cermat dan lomba melukis juga masih dilakukan pada tahun 2007. Selain itu, olah raga juga dipakai sebagai media dalam rangka membangkitkan kesadaran kelestararian terumbu karang. Melalui olah raga ini, sosialisasi penyebarluasan informasi dan kampanye pelestarian ekosistem terumbu karang dilakukan. Media olah raga yang dilakukan adalah pertandingan sepak bola yang memperebutkan piala COREMAP CUP yang diikuti 17 kecamatan-lokasi program COREMAP di kabupaten Buton . Biaya pelaksanaan kegiatan olahraga ini didukung dari dana loan Bank Dunia pada Unit Pelaksana Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu karang COREMAP II sebesar 48, 85 juta rupiah dan bantuan dari KONI propinsi Sulawesi Tenggara sebesar 20 juta rupiah. F

1F

• MCS (Monitoring, Controlling, dan Surveilence)

Kegiatan MCS diawali pada tahun 2005 dengan pelatihan investigasi penangkapan ikan ramah lingkungan. Pesertanya terbatas pada pelaksana COREMAP, dan tidak ada unsur masyarakat, walaupun tujuan dari kegiatan ini untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam pengawasan sumberdaya laut serta strategi penanggulangan destructive fishing. Peserta pelatihan ini lebih banyak berasal dari unsur pelaksana COREMAP (SETO, CF), pegawai pemerintah daerah, jurnalis, TNI AL dan kepolisian. Namun demikian pada kegiatan tahun berikutnya, kegiatan MCS ini diikuti oleh unsur masyarakat kelompok (Pokmas) konservasi dan dari unsur kepolisian. Pelibatan unsur masyarakat muingkin karena topiknya berkaitan dengan sistem pengawasan masyarakat (Siswasmas).

1 Laporan Pelaksanaan Pertandingan Sepak Bola COREMAP CUP Tingkat Kabupaten tahun 2007. Kerjasama PMU COREMAP II Kabupaten Buton dan LSM Pelintas Buton

KASUS KABUPATEN BUTON 85

Tujuan dari kegiatan ini adalah melakukan pengawasan di wilayah perairan terhadap kegiatan destructive fishing dan illegal fishing.

Pada tahun 2007, program MCS melakukan workhsop tentang strategi penyadaran masyarakat untuk menghasilkan rumusan pola pendekatan strategi penyadaran yang berbasis masyarakat. Workshop ini diikuti peserta 28 kepala desa. Dan, pada tahun ini pula dilakukan pelatihan Siswasmas namun kegiatan kali ini pesertanya ditujukan kepada ketua dan anggota Pokmaswas Konservasi. Selain pelatihan,

program MCS juga melakukan kegiatan apel bersama yang melibatkan semua unsur dalam Siswasmas, mulai dari pemerintah daerah, TNI, kepolisian, aparat kecamatan dan desa dan juga unsur kelompok-kelompok masyarakat yang dibentuk dalam rangka program COREMAP II.

Permasalahan dan kendala.

Laporan kemajuan kegiatan COREMAP Buton yang disusun oleh PMU COREMAP Buton, menyebutkan bahwa dari pelaksanaan program COREMAP selama 3 tahun ini masih belum tercipta kesadaran pelestarian terumbu karang pada semua masyarakat, terutama masyarakat di luar desa-desa binaan COREMAP. Laporan kemajuan ini memang secara eksplisit tidak menyatakan bahwa masyarakat desa yang menjadi binaan COREMAP mengalami peningkatan kesadaran, namun dinyatakan belum tercipta kesadaran pelestarian terutama masyarakat di desa di luar binaan COREMAP. Apa yang disebutksn dalam laporanh PMU Buton dapat ditangkap pengertiannnya bahwa dampak COREMAP tidak jauh berbeda antara kesadaran masyarakat antara desa binaan dan bukan binaan terhadap

Gambar. 3.3. Foto Kegiatan Patroli yang sedang menangkap basah pelaku illegal fishing

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 86

pelestarian terumbu karang. Kesadaran masyarakat di Desa-desa binaan COREMAP masih rendah walaupun masih ada yang di bawah tingkat kesadaran di desa-desa diluar binaan COREMAP.

Dari laporan kemajuan PMU COREMAP Buton selama tiga tahun dapat diajukan beberapa pertanyaan: Mengapa hal ini bisa terjadi ? Berapa jumlah kegiatan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat? Berapa jumlah anggaran yang dialokasikan untuk program penyadaran masyarakat dari dana keseluruhan? Apakah anggaran COREMAP lebih banyak porsinya untuk membangun kelembagaan pelaksanaan program COREMAP di tingkat supra-komuniti? Pertanyaan-pertanyan ini diajukan karena salah satu indikator keberhasilan COREMAP adalah pencapaian peningkatan kesadaran masyarakat sampai 70%. Oleh sebab itu, perubahan kesadaran yang terjadi masyarakat merupakan indikator keberhasilan masyarakat penting untuk menilai dampak keberhasilan program COREMAP. Karena itu, unit sosial yang menjadi sasaran indikator keberhasilan program COREMAP adalah komunitas. Indikator keberhasilan program COREMAP tidak terletak di SETO, CF, MD atau pegawai pemerintahan.

Dilihat dari daftar kegiatan COREMAP II Tahun 2007 di Kabupaten Buton dapat diketahui bahwa jumlah kegiatan dan anggaran RCU dan PMU COREMAP II adalah sebanyak 61 kegiatan dengan alokasi anggaran sebesar Rp. 9.590.904.000,- Kemudian dari 61 kegiatan sebanyak 32 kegiatan dikelola secara swakelola, 29 dikelola oleh kontraktor. Sementara itu alokasi anggaran COREMAP yang besarnya hampir 10 Milyar rupiah tersebut, sekitar 89,0 % berasal dari Pagu Anggaran IDA, 7,7 % dari Pagu Anggaran GEF, dan 3,7% dari APBD. Selain itu, apabila dilihat menurut jenis kegiatan, dari 61 kegiatan yang tampak secara ekspilit sebagai kegiatan COREMAP yang berhubungan langsung dengan masyarakat dan bersifat sosial-ekonomi hanya 8 kegiatan. Kegiatan ini mendapat alokasi anggaran sebesar 38,8% dari total anggaran COREMAP II. Adapun kegiatan yang berhubungan dengan masyarakat, yakni:

KASUS KABUPATEN BUTON 87

- Pilot Project Pengembangan Budi daya Ikan; - Village Grant for Resolving Funds (Seed funds), - District grant - Block grant untuk pengembangan insfrastruktur; - AIG District Grant, - Pilot Project Matapencaharian Alternatif (MPA), - Village Grant, dan - Seed Fund yang dianggarkan sebesar

Besarnya alokasi anggaran untuk kegiatan COREMAP yang menyentuh kegiatan sosial-ekonomi masyarakat kemungkinan berhubungan dengan masih belum tercipta kesadaran masyarakat pelestarian terumbu karang sebagaimana disebutkan dalam laporan PMU Buton. Atau dengan kata lain, anggaran COREMAP selama tiga tahun lebih banyak dialokasi untuk memperkuat kelembagaan di supra komuniti, seperti pelatihan, workshop, seminar, kajian, yang mana keterlibatan langsung masyarakat sangat minimal. Pengalokasian anggaran yang tidak menyentuh langsung kegiatan sosial-ekonomi masyarakat sangat berhubungan dengan indikator perubahan pendapatan masyarakat. Perubahan pendapatan masyarakat adalah salah satu indikator keberhasilan COREMAP.

Untuk melihat dampak program COREMAP terhadap perubahan pendapatan sangat ditentukan oleh seberapa banyak pilihan program kegiatan yang ditetapkan menyentuh langsung aktivitas perekonomian masyarakat. Seberapa besar program kegiatan COREMAP seperti bantuan permodalan dan penciptaan matapencaharian alternatip banyak dilakukan dan berapa prosen anggaran dialokasikan untuk mendukung kegiatan tersebut. Sebagaimana terlihat pada laporan PMU Buton, anggaran yang dialokasikan untuk mendukung program ini sangat terbatas. Dana yang disediakan tidak dapat melayani semua warga masyarakat di desa-desa penerima program COREMAP, dan ini sangat sulit untuk mencapai tuntutan indikator keberhasilan sosial ekonomi dan kemiskinan COREMAP yang menyebutkan 10% peningkatan pendapatan masyarakat nelayan dan 70% nelayan dan atau masyarakat merasakan dampak positip dari program COREMAP.

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 88

Kesulitan untuk mencapai indikator keberhasilan tersebut sebagaimana disebutkan di uraian dimuka bahwa program-kegiatan COREMAP lebih banyak pada kegiatan penguatan kapasitas kelembagaan COREMAP lebih banyak dilakukan di supra-komuniti, seperti misalnya kegiatan-kegiatan yang melibatkan seperti Dewan Pesisir, PMU termasuk didalamnya Seto, CF, MD dan pegawai pemerintahan baik di tingkat kabupaten, kecamatan maupun desa, aparat penegak hukum, TNI, Perguruan Tinggi dan aktivis LSM. Sementara program kegiatan COREMAP yang menyentuh langsung kehidupan ekonomi riil tampaknya sangat kurang.

Jika diperhatikan kegiatan penguatan kelembagaan kegiatan COREMAP yang mendapat porsi lebih besar, sebenarnya di satu sisi merupakan keuntungan dalam rangka penguatan kemampuan SDM aparatur pemerintah daerah-terutama di bidang Kelautan dan Perikanan. Kegiatan penguatan kelembagaan COREMAP diikuti oleh sebagian besar pegawai pemerintah daerah. Sementara di sisi lain, sangat ironis dana yang yang digunakan untuk mendukung kegiatan penguatan kelembagaan COREMAP masih berasal dari dana luar (bukan APBD). Jadi dengan kata lain, peningkatan SDM aparatur daerah dapat menumpang dari dana COREMAP. Hal ini penting karena terakait dengan indikator keberhasilan COREMAP dari sudut peran Pemerintah Daerah. Seperti diketahui bahwa salah satu indiaktor kebersilan COREMAP lainnya adalah terkait dengan partisipasi pemerintah daerah, yaitu terdapatnya 70% biaya operasional daro program COREMAP yang disediakan dari pemerintah daerah.

Partisipasi Pemda Kabupaten Buton sebesar 70% dalam pembiayaan operasional COREMAP merupakan salah satu indikator keberhasilan program COREMAP. Sementara itu, menurut laporan PMU COREMAP Buton selama tiga tahun ini, Pemerintah Daerah Kabupaten Buton baru mampu mendukung biaya operasional 20%. Ini artinya selama 3 tahun berjalan indikator keberhasilan program COREAMP di Buton dari sudut partisipasi APBD tidak tercapai. Kegiatan operasional COREMAP yang belum didukungnya secara optimal dari APBD tentu saja menimbulkan pertanyaan menganai

KASUS KABUPATEN BUTON 89

keberlanjutan program COREMAP di Buton di masa mendatang, terutama jika pendanaan program COREMAP pasca pendanaan dari luar berakhir. Ini adalah sebuah persoalan besar yang dihadapi program COREMAP di masa mendatang. Apakah Pemerintah Kabupaten Buton mampu menerima, melaksanakan dan melanjutkan pengelolaan COREMAP tanpa tergantung dana bantuan dari luar biaya operasional.

3.1.2. Pengelolaan dan pelaksanaan/kegiatan Coremap di Kecamatan Mawasangka

Pembentukan dan kinerja kelembagaan

Komponen utama dalam pelaksanaan COREMAP II adalah pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat (CBM). Dalam hal ini masyarakat diposisikan sebagai pelaku utama dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan ekositem terumbu karang. Dalam buku panduan Penyusunan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK) (DKP, 2007:1) disebutkan bahwa ‘keterlibatan masyarakat tidak lagi hanya terbatas dalam hal melaksanakan aturan-aturan pengelolaan semata, melainkan secara utuh dari semua siklus pembangunan, mulai dari tahap merencanakan, mengorganisasi, melaksanakan, sampai pada tahap mengevaluasi’. Untuk menjalankan fungsi pengelolaan sumberdaya perikanan dan terumbu karang, masyarakat di lokasi binaan Kecamatan Mawasangka, Kabupaten Buton, sesuai dengan arahan juga telah berhasil menyusun Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK), sebagai pedoman dalam pelaksanaan program di lingkungan masing-masing. Penyususunan RPTK di lokasi binaan yaitu Desa Terapung dan Wakambangura telah selesai pada tahun 2006, dengan melibatkan berbagai unsur masyarakat, difasilitasi oleh fasilitator dari tingkat kabupaten dan kecamatan, serta mengacu pada panduan penyusunan RPTK COREMAP II. Berdasarkan RPTK yang telah berhasil disusun di masing-masing lokasi binaan, masyarakat mempunyai pedoman dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan terumbu karang sesuai dengan kebutuhan dan potensi daerahnya masing-masing. Untuk pelaksanaan program kegiatan yang direncanakan dalam RPTK, untuk masing-masing lokasi binaan,

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 90

dibentuklah beberapa lembaga teknis seperti LPSTK, Pokmas dan Pokmaswas Pada bagian ini akan diuraikan proses pembentukan lembaga-lembaga tersebut dan bagaimana kinerjanya selama ini.

• Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPS-TK)

Lembaga Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang (LPS-TK) merupakan lembaga tertinggi dalam pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat di tingkat lokasi binaan COREMAP, termasuk di lokasi kajian yaitu Desa Terapung dan Wakambangura di Kecamatan Mawasangka. LPS-TK merupakan lembaga yang mewakili masyarakat di lokasi binaan untuk membentuk tim penyusun yang bertugas secara teknis dalam mempersiapkan dan menyusun RPTK. Di kedua lokasi kajian LPS-TK dibentuk pada tahun 2005. Sesuai dengan arahan fasilitator, Kepala LPS-TK dipilih melalui musyawarah masyarakat dengan menentukan 3 calon ketua untuk masing-masing desa binaan COREMAP.Adapun kriteria untuk calon ketua LPS-TK di desa binaan adalah:

1. Masyarakat lokal (atau sudah menetap lama di lokasi) 2. Mempunyai waktu yang cukup (atau di Wakambangura tidak

suka merantau) 3. Mempunyai pengalaman dalam kegiatan masyarakat (misal

PPK). 4. Berpendidikan minimal lulus SMA (kalau tidak ada,

disesuaikan dengan kondisi setempat). 5. Sanggup menjalankan tugas.

Proses pembentukan LPS-TK

- SETO (Senior Extension Training Officer), CF (Community Fasilitator ) dan MD (Mmotivator Desa) sebagai fasilitator bekerja sama dengan Kepala Desa dalam proses pembentukan LPS-TK sampai pemilihan ketua.

- Sosialisasi tentang tugas-tugas sebagai ketua LPS-TK dilakukan sebelum pencalonan ketua LPS-TK.

KASUS KABUPATEN BUTON 91

- Kepala Desa dibantu fasilitator mengundang semua unsur masyarakat termasuk tokoh masyarakat untuk menghadiri musyawarah pembentukan LPS-TK.

- Setelah terpilih 3 calon ketua, ditentukan sebagai ketua adalah calon yang mempunyai suara terbanyak, sedangkan 2 calon lainnya untuk sekretaris dan bendahara. Di Desa Terapung ketiga calon adalah laki-laki, sementara di Desa Wakambangura 2 calon laki-laki dan seorang calon perempuan.

Proses pembentukan LPS-TK di masing-masing lokasi kajian dihadiri oleh 60-70 orang, selain fasilitator juga pemerintah desa, BPD, tokoh masyarakat/adat dan semua unsur masyarakat. Di Desa Wakambangura juga dihadiri oleh CF dari Desa Koncebumi. Ketua LPS-TK yang terpilih di kedua lokasi kajian diusahakan sesuai atau mendekati kriteria yang ditentukan. Misalnya ketua LPS-TK terpilih di Desa Terapung sudah berpengalaman sebagai ketua Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Kecamatan Mawasangka, dan ketua terpilih untuk Desa Wakambangura mempunyai pengalaman sebagai Tim Pengelola Kegiatan Tingkat Desa, PPK Kecamatan Mawasangka. Setelah 6 bulan terpilih sebagai ketua LPS-TK, bersama MD masing-masing desa binaan diikutsertakan dalam pelatihan untuk memperkenalkan program berkaitan dengan pelestarian terumbu karang di Bau-bau. Focus program adalah pelestarian terumbu karang, terutama pencegahan penggunaan alat tangkap ikan yang merusak karang(seperti bom, racun, rendy dan pukat (biasa digunakan nelayan dari luar). Sosialisasi yang dilakukan LPS-TK (dibantu CF dan MD) , COREMAP dan program-programnya, terutama program perlindungan karang. Sebelum ada program di tingkat desa, sosialisasi ke masyarakat pernah dilakukan oleh PMU dan konsultan (tingkat kabupaten).

Beban pekerjaan LPS-TK dalam kaitan dengan pelestarian laut relatif berat di lapangan, karena semua kegiatan COREMAP melibatkan pengurus LPS-TK sebagai penanggung jawab COREMAP di tingkat desa. Berbagai kegiatan sering dilakukan oleh ketua LPS-TK, sehingga banyak menyita waktu dan tenaga. Untuk kegiatan

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 92

pelestarian terumbu karang, banyak melibatkan pengurus Pokmas Konservasi, terutama untuk kegiatan pemantauan dan patroli. Menurut ketuanya, beban Pokmas Konservasi lebih berat dibandingkan kedua Pokmas lainnya (Jender dan UEP), karena sering dilibatkan dalam penyuluhan konservasi ke masyarakat, kegiatan pemantauan dan pengawasan yang sewaktu-waktu dibutuhkan, baik oleh swadaya desa maupun ikut patroli bersama tim kabupaten. Sementara kegiatan kedua Pokmas lainnya terfokus ke usaha kredit, yang umumnya merupakan pekerjaan administrasi/pembukuan terutama pada waktu tertentu (waktu dana turun dan pembayaran cicilan bulanan) .

LPS-TK di Desa Wakambangura pernah menghadapi permasalahan dengan CF dan kepala desa, karena hasil usulan masyarakat yang telah disepakati yaitu membuat talut (penahan ombak) diganti CF/kepala desa menjadi program pembuatan bak air. Perubahan ini dilaporkan LPS-TK ke PMU, sehingga musyawarah diulang, dan hasilnya kembali ke rencana awal yaitu membuat talut. Demikian pula beberapa usulan masyarakat yang tidak sesuai, ditolak oleh LPS-TK. Hasil rapat program dengan PMU, kemudian disampaikan pada musyawarah berikutnya. Biasanya setiap dusun berupaya mempertahankan usulan masing-masing tanpa memahami permasalahanya . Misalnya usulan masyarakat tentang perbaikan jalan ditolak LPS-TK, karena program tersebut menjadi wewenang Pemda, bukan COREMAP. Menurut ketua LPS-TK di Wakambangura, sementara dana yang disalurkan ke masyarakat masih terbatas, jumlah pengurus kelembagaan Pokmas dianggap terlalu banyak, karena dengan kegiatan yang relative masih terbatas, cukup diselesaikan oleh pengurus LPS-TK. Berdasarkan wawancara mendalam dengan ketua LPS-TK, pengurus-pengurus tersebut sulit dilibatkan dalam kegiatan karena:

- kemampuan terbatas, tidak pernah mendapat latihan - dana terbatas, sehingga tidak ada insentif (atau terbatas) - aktivitas tidak banyak, kecuali pada waktu-waktu tertentu.

KASUS KABUPATEN BUTON 93

Akibatnya banyak pengurus kelembagaan (seperti LKM, Pokmas dan kelompok peminjam kredit usaha) dibentuk hanya sebatas formalitas, kurang dilibatkan dalam kegiatan POKMAS, karena tidak mengetahui kegiatan yang harus dilakukan. Pendapat ini semakin menguatkan bahwa dominasi ketua LPS-TK dalam kegiatan COREMAP umumnya dan Pokmas pada khususnya di lokasi ini cukup dominan, sehingga pengurus lainnya cenderung pasif. Dengan adanya kewenangana yang cukup besar pada ketua LPS-TK, ditambah keterlibatan keluarga dekat dalam pengurus Pokmas, maka praktis kegiatan Pokmas hanya dilakukan oleh lingkup yang terbatas. Kondisi demikian semakin kurang memberdayakan pengurus lainnya, sehingga beban pekerjaan bertumpuk pada orang-orang tertentu. Akibatnya pengurus lain cenderung kurang peduli, bahkan kadang –kadang menimbulkan sikap negatif (seperti curiga, iri hati dan saling tuduh).

Lembaga Keuangan Mikro (LKM), merupakan lembaga teknis yang dibentuk untuk membantu LPS-TK dalam pengelolaan seed fund yang besarnya 50 juta rupiah per desa binaan. Idealnya pengurus LKM dipilih melalui musyawarah yang dihadiri LPS-TK, Kades, CF dan MD. Namun realisasinya Di Desa Wakambangura LKM dibentuk secara mendadak menjelang dana untuk Pokmas UEP hampir cair (yaitu awal tahun 2008). Dalam pertemuan mendadak tersebut yang dihadiri Kades, MD dan CF Koncebumi, ketua LPS-TK. menunjuk 3 orang sebagai ketua, sekretaris dan bendahara LKM. Pengurus LKM hanya diberitahu tentang 3 kelompok masyarakat (masing-masing 10 orang) yang akan menerima dana bantuan kredit usaha sejumlah 50 juta rupiah. Realisasi sampai waktu kajian, dana yang diperoleh baru mencapai 50 persen (25 juta), sehingga terbatas hanya untuk satu kelompok (10 orang). Pembentukan pengurus yang serba mendadak ini, menyebabkan ketua dan pengurus LKM lain merasa pembentukan LKM hanya untuk formalitas, karena semua kegiatan pengalokasian dana Pokmas hanya ditentukan oleh ketua LPS-TK dibantu MD. Menurut ketua LKM, peraturan dan mekanisme pengalokasian seed fund tidak jelas (CF belum pernah menjelaskan bagaimana alokasi dana selanjutnya), sehingga meskipun dana dari peminjam sudah

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 94

terkumpul setiap bulan, namun tidak segera disalurkan, sebelum dianggap cukup untuk memenuhi 1 kelompok lainnya (10 orang). Tampaknya anggapan bahwa ketua LPS-TK di Desa Wakambangura ‘jalan sendiri’ semakin mencolok dalam realisasi pengalokasian dana, sehingga seperti dikatakan seorang informan: ‘Ketua LPS-TK sering memutuskan sendiri sesuai dengan kemauannya- sok tahu”. Sementara di pihak LPS-TK berpendapat ‘pengurus sering sulit diajak untuk aktif, karena tidak berminat’. Akibatnya hanya satu lembaga yang dominan berperan yaitu LPS-TK, termasuk sebagai pelaksana teknis keuangan mikro yang seharusnya dilakukan oleh LKM. Kurang berperannya lembaga lainnya, akan berdampak pada menurunnya partisipasi masyarakat yang menjadi salah satu focus program COREMAP di lokasi binaan, khususnya Desa Wakambangura.

Permasalahan tersebut tidak tampak untuk Desa Terapung. LKM dibentuk sekitar bulan Juli 2007 (sekitar 6 bulan sebelum dana dicairkan), berfungsi sebagai pendamping LPS-TK dalam pengelolaan seed fund. Dalam prakteknya, ada semacam pembagian tugas antara LKM dan LPS-TK, yaitu LKM sebagai pengelola dana khusus simpan pinjam dan LPS-TK berkonsentrasi pada block grant untuk kegiatan fisik. Melalui musyawarah yang dihadiri Kades, LPS-TK dan MD, ketua LKM terpilih adalah Ibu Kades. Kegiatan LKM dilakukan di Pondok Informasi yang lokasinya bersebelahan dengan kantor desa/rumah kades, sehingga memudahkan Kades untuk datang ke pondok apabila ada masalah. Selain untuk kantor LKM, Pondok Informasi juga dimanfaatkan untuk pertemuan kecil kegiatan COREMAP dan rencananya juga akan menyediakan informasi tentang terumbu karang (termasuk taman bacaan untuk anak-anak sekolah). Kerja sama LPS-TK dan LKM memungkinkan hubungan antar lembaga lebih harmonis dan saling mengisi, sehingga semua pengurus lembaga merasa memiliki dan aktif untuk mencapai program yang sudah disepakati bersama masyarakat.

Pemilihan MD (Motifator Desa) dilakukan dengan musyawarah dengan Kepala Desa yang difasilitasi oleh CF dan Seto, untuk memilih 3 calon dengan kriteria:

KASUS KABUPATEN BUTON 95

- Berpendidikan SMA ke atas - Berpengalaman sebagai fasilitator program lain di

masyarakat. - Mempunyai waktu cukup untuk melaksanakan tugas sebagai

MD.

Dalam realisasinya, menurut informan (CF), pemilihan MD cenderung orang-orang dekat pemilih, atau calon jadi kepala desa. Kasus pemilihan MD di Desa Wakambangura calon jadi kades berbeda dengan yang dikehendaki masyarakat. Calon terpilih dari masyarakat umumnya aktif/menonjol dalam kegiatan social. Perbedaan yang menonjol antara MD dan LPS-TK, MD mendapat honor 300 ribu rupiah per bualn, sementara LPS-TK bekerja tanpa honor. Usulan untuk memberi honor pada pengurus LPS-TK sampai sekarang belum ditanggapi. Di Desa Terapung, honor untuk pengurus, diusahakan dari bagian hasil Pokmas UEP dan Jender (bunga pinjaman).

• Kelompok Masyarakat (Pokmas)

Di kedua lokasi kajian telah dibentuk 3 Pokmas yaitu: 1) Pokmas Konservasi. 2) Pokmas Jender dan 3) Pokmas Usaha Ekonomi Produktif (UEP). Pokmas Konservasi dibentuk pada tahun 2005 bersamaan dengan pembentukan LPS-TK, sedangkan 2 Pokmas lainnya dibentuk pada tahun 2006. Pengurus Pokmas Konservasi (ketua, sekretaris, bendahara) ditentukan dalam forum musyawarah LPS-TK bersama Kades dan BPD. Sedangkan 2 orang anggota Pokmas Konservasi ditetapkan oleh pengurus bersama forum, dari 5 calon yang diusulkan. Sebagian pengurus di Desa Terapung dipilih dari nelayan yang masih menggunakan bom sebagai penangkap ikan. Pendekatan ini dilakukan agar orang-orang tersebut berhenti melakukan pengrusakan karang, karena terlibat dalam pengurus Pokmas Konservasi.

Dalam menjalankan tugas monitoring dan pengawasan Pokmas Konservasi mengajak serta semua komponen masyarakat yang dikenal dengan sistim pengawasan berbasis masyarakat (Siswasmas),

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 96

dan kelompok yang dibentuk dinamakan kelompok pengawasan masyarakat (Pokwasmas). Pembentukan kelompok ini relatif baru di lokasi kajian, sehingga partisipasi masyarakat dalam pengawasan, cenderung lebih merupakan swadaya perseorangan nelayan daripada kelompok. Pokmas Konservasi dan Pokwasmas ini tidak mempunyai dana khusus dan sarana untuk kegiatan pengawasan/patroli, sehingga aktivitasnya terbatas pada kegiatan yang sifatnya swadaya masyarakat. Sedangkan nelayan pendatang yang biasa melakukan pemboman ikan, mempunyai sarana yang lebih canggih, sehingga Pokmas kurang berdaya dalam pengawasan terumbu karang. Biasanya dalam melakukan patroli Pokmas menggunakan sarana kapal sendiri atau pinjam body milik nelayan lain, sedangkan biaya BBM untuk patroli, menjadi beban COREMAP kabupaten, karena sifatnya menumpang. Pengawasan swadaya masyarakat desa, menjadi tanggung jawab masing-masing nelayan, yang melakukannya sambil menangkap ikan.

Pokmas Jender dan UEP dibentuk pada tahun 2006, setelah dilakukan sosialisasi ke masyarakat tentang perluya pembentukan Pokmas. Sedangkan pengurus kedua Pokmas dipilih melalui musyawarah yang dihadiri oleh semua unsur masyarakat (sekitar 100 orang), yaitu Kepala Desa, BPD, tokoh masyarakat, CF, MD, SETO, wakil 20 dusun dan unsur masyarakat lainnya. Pengurus masing-masing Pokmas terdiri dari 3 orang yaitu ketua, sekretaris dan bendahara, sementara sejumlah anggota pada masing-masing Pokmas, ditentukan oleh pengurus Pokmas bersama MD dan LPS-TK. Ketua Pokmas Jender dipilih seorang ibu yang berpengalaman dalam PKK, sementara Ketua Pokmas UEP di Terapung dipilih warga yang berpengalaman sebagai pengusaha. Anggota Pokmas ditentukan oleh Pokmas bersangkutan dibantu oleh LPS-TK, LKM, MD dan Kepala Desa berdasarkan kriteria tertentu yang telah disepakati sebelumnya

Pembentukan kelompok usaha dalam kedua Pokmas ini merupakan prasyarat untuk penyaluran dana, karena sistem tanggung renteng dalam Pokmas memerlukan peran kelompok, meskipun dalam prakteknya tetap lebih menjadi tanggung jawab individu masing-masing. Hasil musyawarah dengan LPS-TK dan MD juga

KASUS KABUPATEN BUTON 97

memutuskan mekanisme pinjaman dan penyelesaian masalah/sanksi terkait dengan pinjaman anggota Pokmas, dilakukan berdasarkan kesepakatan ketua Pokmas bersama kelompok masing-masing. Di Desa Terapung penundaan pembayaran dari waktu yang telah disepakati (toleransi 7 hari), berarti si peminjam harus membayar denda 3000 rupiah per hari. Dalam sistem tanggung renteng, apabila peminjam tetap menolak untuk membayar cicilan, kelompok akan melakukan upaya penagihan ramai-ramai. Sementara di Desa Wakambangura bagi anggota yang bermasalah (tidak bayar), sesuai dengan kesepakatan diberlakukan penyelesaian hukum, dengan maksud untuk shok terapi. Kesepakatan ini dianggap cukup untuk membuat anggota Pokmas disiplin membayar cicilan, tanpa harus mengenakan denda yang memberatkan anggota. Kelonggaran untuk membayar kredit di Wakambangura diberikan selama 3 bulan, karena beberapa usaha anggota kelompok adalah budi daya rumput laut yang membutuhkan waktu 3 bulan sampai panen pertama.

Kinerja Pokmas Konservasi dapat dilihat antara lain :

- Ketua Pokmas melakukan penyuluhan dan sosialisasi tentang perlindungan terumbu karang, setiap ada kesempatan berbincang dengan kelompok masyarakat. Penyuluhan biasa dilakukan di gote warga (tempat berkumpul di depan rumah warga), atau tempat kumpul lainnya. Penyuluhan yang dilakukan Pokmas ini relatif terbatas, karena tergantung pada masyarakat yang hadir dalam pertemuan/bincang-bincang tersebut.

- Pokmas Konservasi melakukan kegiatan pemantauan dan pengawasan terumbu karang secara swadaya di lokasi DPL (daerah perlindungan laut), dengan mengajak semua komponen masyarakat untuk melakukan kegiatan tersebut, termasuk nelayan yang sedang melakukan penangkapan ikan, untuk ikut memantau dan mengawasi lingkungannya baik perseorangan atau kelompok (Pokwasmas).

- Kegiatan swadaya masyarakat desa, umumnya atas kesadaran sendiri nelayan melakukan monitoring dan pengawasan terumbu

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 98

karang di lokasi DPL (daerah perlindungan laut). Apabila ditemukan pelaku pelanggaran seperti penangkapan ikan dengan menggunakan bom, obat bius, trawl, penambangan karang, dan penggunaan jala yang diikatkan ke karang, segera melaporkannya pada Pokmas Konservasi. Pelaku pelanggaran di luar DPL, kadang-kadang masih dilakukan oleh nelayan yang umumnya berasal dari luar lokasi (Tapi-tapi).

- Pengawasan yang dilakukan secara swadaya desa, baik perorangan maupun kelompok (Pokwasmas) umumnya menggunakan sarana seadanya atau pinjam body milik nelayan. Dengan keterbatasan sarana dan dana, cara pengawasan swadaya ini menjadi kurang efektif, karena umumnya kalah cepat dibandingkan sarana pelanggar yang umumnya lebih canggih. Hasil pengawasan ini dilaporkan ke Pokmas Konservasi yang menindak lanjuti dengan pengintaian ulang dan apabila benar melaporkannya ke polisi atau pihak COREMAP kabupaten.

- Pokmas Konservasi yang diberi tugas untuk menjaga wilayah DPL (reef watcher) bias any juga ikut berpatroli bersama tim patroli kabupaten yang terdiri dari Polo Airut, AL, COREMAP (2 orang), ketua Pokmas Konservasi, MD. Patroli dilakukan sampai ke perbatasan Pulau Muna. Selama ada Pokmas Konservasi, ketua Pokmas selalu ikut patroli, dan tim patroli telah berhasil melakukan penangkapan sebanyak dua kali pelaku pengrusakan karang di wilayah tersebut.

- Sebelum ada program COREMAP, praktek penangkapan ikan yang merusak karang sering dilakukan nelayan lokal maupun pendatang. Namun sejak tahun 2007, setelah penyuluhan dan sosialisasi banyak dilakukan, dan secara periodik dilakukan monitoring dan pengawasan di laut, penangkapan ikan yang merusak terumbu karang menurun tajam. Kini praktek yang merusak karang tinggal penggunaan obat bius yang umumnya dilakukan oleh orang-orang tertentu yang selalu berhasil lolos dari pengejaran.

KASUS KABUPATEN BUTON 99

Masalah yang dihadapi oleh Pokmas Konservasi antara lain:

- Hilangnya tanda-tanda DPL akibat angin barat yang merusak tali batas DPL. Penggantian tali-tali tersebut memerlukan dana, sedang Pokmas tidak memiliki dana khusus. Tanda-tanda DPL diperlukan, terutama oleh nelayan dari luar, karena umumnya nelayan lokal hafal dengan batas-batas DPL di wilayahnya.

- Terbatasnya SDM dan dana untuk melakukan penyuluhan dan sosialisasi, jumlah papan informasi yang minim (hanya 3 buah), menyebabkan jangkauan sosialisasi dan penyuluhan terbatas pada masyarakat yang kebetulan hadir.

- Adanya ketimpangan dalam pemberian insentif antarpengurus lembaga di desa, Ketua Pokmas Konservasi yang relatif berat bebannya tidak memperoleh insentif, sementara pengurus LPS-TK memperoleh insentif dari hasil jasa pengelolaan UEP. Bahkan kedua motivator desa (MD) mendapat honor bulanan dari COREMAP untuk melakukan kegiatannya.

- Polisi dianggap kurang serius dalam menindaklanjuti laporan pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang tertentu yang biasa melakukan pemboman, bahkan terkesan melindungi. Peraturan Desa (perdes) yang dapat dijadikan pedoman menjadi tidak efektif, selama polisi tidak serius menanggapinya. Bahkan dapat menjadi kontraproduktif terhadap LPS-TK yang selama ini bertindak keras terhadap nelayan lokal pelaku pelanggaran, sementara pelaku dari luar dibiarkan lolos oleh polisi. Penangkapan di laut hanya berhasil menangkap pelaku pemboman yang umumnya nelayan, sementara bandar di belakang nelayan (korban) selalu berhasil ‘lolos’ dari jeratan hukum.

Kinerja Pokmas Jender dan UEP dapat dilihat dari hasil pengelolaan seed fund dan perkembangan jumlah dan kesejahteraan anggota yang memanfaatkannya. Dalam praktek, kegiatan kedua Pokmas (Jender dan UEP) digabung dan sebagai pendamping adalah MD. Kegiatan kedua Pokmas baru berjalan, setelah dana untuk kredit usaha

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 100

dicairkan, yaitu pada akhir tahun 2007. Sampai kajian dilakukan, jumlah dana yang sudah dicairkan berbeda untuk kedua lokasi, Desa Terapung sudah memperoleh 50 juta rupiah (2 tahap), sementara Desa Wakambangura baru separuhnya diterima (Rp25 juta).

Di Desa Terapung, jumlah dana sebesar 50 juta telah disalurkan kepada 26 anggota dari ketiga Pokmas (Pokmas Jender dan UEP, masing-masing 12 anggota dan Pokmas Konservasi 2 anggota). Pada saat kajian (April 2008) jumlah dana yang dialokasikan telah berkembang menjadi sekitar 60 juta rupiah (meningkat 20%), dan jumlah anggota meningkat menjadi 42 orang (laki-laki 16 dan perempuan 26). Sedangkan di Desa Wakambangura jumlah anggota Pokmas yang memperoleh kredit usaha pada tahap pertama (25 juta rupiah) sebanyak 15 orang dari 28 anggota yang diusulkan, mayoritas laki-laki. Sampai kajian dilakukan, dana tahap kedua belum terealisir, sehingga 13 anggota yang sudah terdaftar, masih menunggu terkumpulnya dana minimal untuk tambahan satu kelompok (5-6 orang). Pada tahap pertama pencairan dana ini, penentuan anggota diprioritaskan pada pengurus Pokmas dan selebihnya untuk anggota lain yang membutuhkan pinjaman dan memenuhi syarat yang ditentukan. Kesepakatan ini untuk memastikan bahwa dana pinjaman akan lancar pengembaliannya. Beberapa usaha yang diusulkan antara lain pertukangan, kegiatan nelayan, papa lele (pedagang ikan) dan budi daya rumput laut (khususnya di Wakambangura).

Perkembangan jumlah anggota di Desa Terapung relatif lebih cepat, karena dipengaruhi terutama oleh jumlah alokasi dana yang lebih banyak daripada Desa Wakambangura. Demikian pula adanya perbedaan manajemen pengelolaan dana, di Desa Terapung dana yang terkumpul segera disalurkan ke kelompok anggota lain, sehingga anggota Pokmas terus bertambah, tidak harus menunggu terkumpulnya kelompok yang lebih besar.

Masalah yang terutama dihadapi kedua Pokmas adalah lambatnya pencairan dana, sehingga jarak antar pemilihan anggota Pokmas (2005) dengan realisasi pencairan dana (akhir 2007) relatif jauh. Akibatnya banyak terjadi perubahan jumlah maupun orangnya,

KASUS KABUPATEN BUTON 101

misalnya anggota Pokmas tidak lagi memerlukan karena telah mendapat dana dari program lain, atau kondisi anggota Pokmas lebih baik, sehingga tidak membutuhkan bantuan lagi. Sampai kajian dilakukan, hanya 2 desa binaan (Terapung dan Koncebumi) yang pencairan seed fund telah mencapai 50 juta rupiah, sementara 2 desa binaan lainnya yaitu Wakambangura dan Gumanano baru memperoleh separuhnya. Kondisi ini menimbulkan masalah bagi anggota kelompok lain yang belum mendapat giliran bantuan pinjaman (terutama di Wakambangura). Meskipun pada waktu pembentukan Pokmas tidak banyak menghadapi kendala, namun karena cairnya dana bertahap, tidak semua anggota yang sudah terdaftar dapat memperoleh sekaligus. Hal ini menimbulkan iri hati bagi anggota yang tidak/belum memperolehnya. Masalah ini berpotensi menimbulkan konflik diantara kelompok masyarakat, terutama apabila anggota yang sudah mendapat bantuan dana, merupakan orang-orang dekat pengurus. Untuk mengatasi masalah ini, pengurus Pokmas (dibantu CF, LPS-TK dan MD) memberikan penjelasan bahwa pelaksanaan kredit usaha dilakukan secara bertahap, sejalan dengan pencairan dana tahap berikutnya dan juga kelancaran pengembalian kredit.

Sistem tanggung renteng kelompok dalam Pokmas, dimaksudkan agar permasalahan yang dihadapi pengguna dana menjadi tanggung jawab kelompok. Dalam praktek, sistem ini sulit dilakukan, karena berdasarkan pengalaman, penyelesaiaan masalah tetap dibebankan pada individu bersangkutan, sebagai pihak yang seharusnya lebih bertanggung jawab dibandingkan kelompok.

Kegiatan COREMAP di Lokasi

Program COREMAP merupakan upaya pengelolaan sumberdaya kelautan, khususnya ekosistem terumbu karang dan sumberdaya ikannya secara berkelanjutan, dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan. Hasil penelitian Herman Cesar (dikutip DKP, 2007:2) menunjukkan bahwa hasil perikanan pada ekosistem yang terkelola dengan baik, mencapai 5 kali lipat dibandingkan hasil pada ekosistem yang terdegradasi. Program

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 102

COREMAP (Fase I) dimulai sejak tahun 1998/1999 dan berakhir 2004, kemudian dilanjutkan dengan program COREMAP (Fase II) yang direncanakan sampai tahun 2010.

Penekanan program COREMAP terutama pada upaya peningkatan kapasitas kelembagaan dan masyarakat serta pengembangan berbagai alternatif kegiatan masyarakat, dalam upaya memenuhi kebutuhan terkait dengan pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan COREMAP, dilakukan berbagai kegiatan baik di tingkat kabupaten maupun tingkat desa binaan. Wilayah binaan COREMAP di Kabupaten Buton meliputi 12 kecamatan dan 43 desa.

Seperti dikemukakan di atas, pada tahun 2006 masyarakat di kedua lokasi kajian sudah berhasil menyusun RPTK, sehingga pemerintah desa, pihak terkait dan masyarakat setempat mempunyai pedoman yang jelas untuk menuntaskan persoalan- persoalan yang dihadapi desa dalam kaitannya dengan rencana pengelolaan terumbu karang terpadu berbasis masyarakat. Diharapkan adanya RPTK juga dapat memberi peluang terutama bagi masyarakat setempat untuk melindungi, memperbaiki, memanfaatkan dan mengendalikan sumberdaya terumbu karang secara optimal, melalui prinsip-prinsip berkelanjutan. Demikian pula lembaga pendukung program dan pendamping di masing-masing lokasi umumnya sudah terbentuk di kedua lokasi yaitu LPS-TK, ketiga Pokmas (konservasi, jender dan UEP) dan MD. Demikian pula beberapa kegiatan terkait program COREMAP sudah mulai dijalankan di desa-desa binaan, sejalan dengan pencairan dana.

Pada sub-bagian ini pembahasan meliputi beberapa kegiatan COREMAP yang sedang dan telah dilakukan di kedua wilayah kajian Kecamatan Mawasangka yaitu Desa Terapung dan Wakambangura, dan masalah-masalah yang dihadapi selama ini.

• Penyadaran Masyarakat

Sejalan dengan dilakukannya sosialisasi COREMAP di lokasi binaan, para fungsionaris COREMAP di kabupaten sampai desa binaan

KASUS KABUPATEN BUTON 103

memfokuskan kegiatan pada peningkatan kesadaran masyarakat, terutama untuk penyelamatan terumbu karang. Falsafah COREMAP adalah menyelamakan terumbu karang dengan laut dan darat. Public awareness merupakan salah satu program COREMAP yang menekankan pada upaya peningkatan kesadaran masyarakat untuk pelestarian terumbu karang, yang sebagian kondisinya di wilayah kajian sudah rusak (lihat Bab I). Kegiatan awal penyadaran masyarakat di lokasi kajian, biasanya dilakukan sejalan dengan sosialisasi COREMAP yang dilakukan oleh fasilitator dari kabupaten (PMU) dibantu konsultan.

Kegiatan untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya pelestarian terumbu karang, kemudian dilanjutkan setelah program COREMAP lainnya mulai dijalankan di lokasi kajian oleh fasilitator kecamatan dan desa maupun oleh LPS-TK dan Pokmas bersangkutan. Untuk lebih meningkatkan kesadaran masyarakat akan arti penting konservasi terumbu karang, juga dilakukan penyuluhan tentang pelestarian terumbu karang juga sering dilakukan secara informal, baik oleh ketua LPS-TK maupun Pokmas Konservasi, terutama di setiap kesempatan banyak warga berkumpul, antara lain bincang-bincang di gote warga (tempat duduk dari papan/kayu di depan rumah warga), di warung maupun dalam rapat.

Penyadaran masyarakat yang lebih luas juga dilakukan melalui media seperti pemasangan papan informasi di tempat umum (misal di pantai, pasar, dan kantor desa), dan penyebaran leaflet yang intinya mengingatkan masyarakat agar peduli pada keselamatan kelautan/terumbu karang, yang menjadi sumber mata pencaharian sebagian besar masyarakat. Distribusi material ke desa binaan/sekolah berupa kaos, kalender atau poster dikelola oleh LPS-TK.

Sebagai daerah pantai, sejak dini anak-anak perlu dikenalkan dengan kondisi wilayahnya. Media paling efektif adalah melalui pendidikan di sekolah-sekolah, terutama melalui pelajaran mulok (muatan lokal) di tingkat SMP/MTs dan melalui buku pelajaran bahasa Indonesia untuk tingkat SD.

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 104

• Sosialisasi COREMAP

Sebelum program COREMAP di jalankan di lokasi binaan, sosialisasi COREMAP dan program-programnya, telah dilakukan oleh PMU dan konsultan dari kabupaten. Sosialisasi ke masyarakat juga dilakukan menjelang pembentukan Pokmas di lokasi kajian. Demikian pula setelah terbentuk lembaga pendukung seperti LPS-TK (2005) dan Pokmas (2006), sosialisasi program dan mekanisme pengelolaan program semakin sering dilakukan di daerah binaan oleh Seto dan/atau CF, dibantu oleh pengurus LPS-TK dan MD di lokasi. Keterbatasan jumlah SDM yang memahami permasalahan lingkungan, menyebabkan sosialisasi dan pemberian informasi terbatas pada yang hadir dalam acara tersebut.

• Pelatihan

Di Desa Terapung pelatihan –pelatihan terkait dengan program COREMAP yang pernah diikuti oleh pengurus LPS-TK, Pokmas dan lain-lain antara lain:

- Pelatihan untuk MD, tentang tugas-tugas MD.

- Pelatihan tentang konservasi/DPL sering dilakukan, 2 kali latihan di Bau-bau (tahun 2005 dan 2007), yaitu tentang pengawasan laut dan teori pengawasan. Pelatihan diikuti 4 orang dari lokasi binaan yaitu Kepala Desa, ketua Pokmas Konservasi, MD dan ketua LPS-TK. Dalam pelatihan tersebut juga dibahas masalah yang berkaitan dengan penentuan DPL Pasi Ladio di Kecamatan Mawasangka, seluas 800X500m. Setelah pelatihan terjadi perubahan lokasi DPL dari Pasi Ladio ke Magirasa (600X400m), karena lokasi Pasi Ladio berdekatan dengan air tawar, sehingga kurang bagus untuk perkembangan karang. Namun DPL tersebut kini sulit dikenal nelayan terutama dari luar, karena banyak tali yang putus karena kencangnya angin barat. Tali DPL yang sudah rusak dibiarkan tanpa penggantian, karena Pokmas Konservasi tidak mempunyai dana operasional. Demikian pula pelatihan formal untuk masyarakat di lokasi juga belum pernah dilakukan, meskipun secara informal sering dilakukan.

KASUS KABUPATEN BUTON 105

- Pelatihan lain yang dilakukan di kabupaten adalah untuk Pokmas, sehingga pesertanya adalah ketua-ketua Pokmas. Pelatihan ini semacam pembekalan bagi ketua Pokmas untuk memahami fungsi dan mekanisme pengelolaan dana Pokmas (terutama UEP).

- Pelatihan pembukuan tahun 2007 diikuti oleh 7 orang dari Desa (yaitu ketua LPS-TK, ketua dan bendahara LKM, bendahara Pokmas dan masyarakat) dilakukan di lokasi, dengan mendatangkan pelatih dari kabupaten (LSM Pelintas).

- Pelatihan dan sosialisasi budi daya rumput laut (1 hari), pernah dilakukan oleh COREMAP/Unida untuk Kecamatan Mawasangka di Desa Wakambangura. Peserta adalah wakil dari 4 desa binaan. Peserta dari tiap desa 5 orang, yaitu guru (2 orang), masyarakat (2 orang) dan ketua LKM (ibu desa) sebagai coordinator.

• Edukasi

Program edukasi dalam COREMAP menjadi bagian dari public awareness. Seperti dikemukakan di atas, penyadaran masyarakat tentang pelestarian terumbu karang dilakukan antara lain dengan pendidikan sekolah, melalui kurikulum, menambah materi pelajaran dalam mata pelajaran muatan lokal (mulok), dan/atau menyediakan buku-buku terkait pelestarian terumbu karang di perpustakaan sekolah atau umum. Di tingkat kabupaten, kerjasama DKP dan Diknas sudah berjalan, bahkan sedang dilakukan koordinasi antara DKP dan Diknas untuk memasukkan materi COREMAP dalam kurikulum sekolah dari SD sampai SMA, yang ditargetkan masuk kurikulum sekolah pada tahun ajaran 2009. Beberapa hal yang sudah dilakukan DKP berkaitan dengan kerjasama ini adalah:

- Menyertakan Diknas sebagai anggota Dewan Pesisir

- Mengundang Diknas dalam acara COREMAP untuk sekolah.

- Beberapa guru SD/SMA diikutsertakan oleh Diknas dalam workshop masalah kurikulum kelautan yang diadakan oleh

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 106

COREMAP di Makasar. Workshop guru ini diadakan setiap tahun oleh COREMAP, dengan sasaran yg berbeda (SD dan SMP).

- Menyediakan bahan-bahan untuk Mulok (antara lain buku-buku dari LIPI), meskipun belum masuk kurikulum, beberapa desa binaan sudah mengimplementasikan dalam pelajaran-pelajaran yang ada di kurikulum.

- Sosialisasi mata pelajaran dari COREMAP untuk mengajarkan Mulok terumbu karang, diadakan pada bulan Juli 2007 di Bau-bau. Peserta adalah kepala sekolah. Sosialisasi dilanjutkan pada bulan September 2007 di Bau-bau, untuk dewan guru dan pengambilan materi Mulok. Desa Terapung diwakili oleh Kepala UPTD, dengan harapan dapat mentransfer ke guru-guru di sekolah-sekolah desa binaan. Desa Wakambangura diwakili oleh kepala sekolah. Sosialisasi ini merupakan kerjasama antara DKP dengan LPP (Yayasan pesisir), dan dihadiri oleh Diknas Kabupaten.

Seperti dikemukakan di atas, penyadaran masyarakat di lokasi kajian juga dilakukan di sekolah-sekolah SMP/Mts, dengan menambah mata pelajaran ‘kelautan’ yang diselipkan di mata pelajaran Mulok. Bahkan guru Mulok di Desa Terapung adalah salah satu MD di daerah tersebut. Di tingkat SD, materi diselipkan pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, antara lain dengan tugas membuat karangan ‘Perlindungan Terumbu Karang’. Di Desa Wakambangura, mata pelajaran tentang ‘terumbu karang’ dimasukkan sebagai bagian Mulok yang diajarkan dari kelas 1-6. Meskipun ‘terumbu karang/ kelautan’ belum masuk kurikulum, beberapa guru yang juga menjadi pengurus COREMAP, atas kesadaran sendiri (tanpa waktu khusus) menyelipkannya dalam setiap kesempatan mata pelajaran terkait yang diajarkannya. Khusus tentang terumbu karang diselipkan dalam mata pelajaran IPS, antara lain tentang bahan-bahan perusak karang (bom dan racun). Penyadaran tentang pelestarian terumbu karang akan lebih efektif apabila masuk dalam kurikulum sekolah, sehingga disediakan waktu khusus untuk mata pelajaran tersebut. Tanpa waktu khusus, selain

KASUS KABUPATEN BUTON 107

terbatas waktu pelaksanaannya, juga mengurangi jam pelajaran lainnya yang akan berdampak pada capaian target sekolah tersebut.

Permasalahan timbul karena adanya perbedaan Mulok di sekolah desa binaan dengan sekolah di luar desa binaan. Mulok (tentang terumbu karang) di daerah binaan, tidak termasuk sebagai bahan ujian akhir sekolah (UAS). Sedang di luar desa binaan pelajaran untuk Mulok masih tetap ‘Bahasa Daerah’ (Buton) yang menjadi bahan UAS. Akibatnya timbul dilemma di sekolah binaan COREMAP, apakah meneruskan Mulok terumbu karang dengan resiko kurang jam pelajaran untuk UAS, atau kembali fokus pada bahasa daerah, sehingga mengorbankan materi terumbu karang dalam Mulok. Dilema ini telah dikemukakan ke Diknas, dan keputusan sementara, sekolah harus kembali fokus ke Mulok Bahasa Daerah, khususnya untuk klas 6, dan Mulok terumbu karang dihentikan. Untuk mengatasinya perlu dibicarakan lebih serius, apakah diadakan pembagian waktu antara kedua materi Mulok, atau memasukkannya dalam kurikulum tersendiri.

• Kegiatan pengawasan

Untuk menjaga pelestarian terumbu karang, di setiap lokasi binaan (43 desa), masyarakat dianjurkan untuk membentuk DPL (daerah pengawasan laut), dengan difasilitasi oleh COREMAP. Di kedua lokasi kajian pembentukan DPL telah dilakukan, sehingga pengawasan difokuskan ke lokasi DPL yang telah disepakati bersama masyarakat. Seperti diuraikan di atas (Pokmas dan kinerjanya), kegiatan monitoring dan pengawasan terumbu karang, telah banyak dilakukan di lokasi binaan baik di lokasi DPL maupun di luar. Kegiatan ini umumnya dikoordinir oleh Pokmas Konservasi dengan melibatkan komponen masyarakat yang dikenal dengan sistem pengawasan berbasis masyarakat (Siswasmas), baik perseorangan maupun kelompok (Pokwasmas). Bahkan beberapa anggota Pokmas Konservasi yang ditunjuk sebagai reef watcher bertugas mengawasi DPL, untuk memastikan bahwa nelayan yang sedang menangkap ikan tidak melakukan pelanggaran seperti pemboman, obat bius dan menggunakan alat tangkap lain yang merusak karang (trawl dan redi).

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 108

Meskipun Pokwasmas relatif baru di lokasi kajian, Pokmas Konservasi terutama di Desa Terapung telah berhasil menambah anggota kelompok menjadi 20 orang untuk meningkatkan kegiatan monitoring dan pengawasan. Sementara di Desa Wakambangura, Pokwasmas yang relatif baru dibentuk, cenderung masih belum difungsikan secara efektif, karena belum banyak anggota kelompoknya.

Meskipun Pokmas Konservasi tidak mempunyai dana untuk operasional dan tidak mempunyai sarana yang memadai untuk melakukan tugasnya, namun dalam menjalankan tugas pengawasan, telah berhasil menyadarkan masyarakat untuk secara swadaya melakukan pengawasan, agar praktek penangkapan ikan oleh nelayan tidak melanggar DPL. Berbekal Perdes yang telah disiapkan di wilayah kajian, masyarakat bahu membahu dalam melakukan pengintaian dan pengejaran pelaku pengrusakan karang. Seperti dikemukakan di atas, aktivitas pengawasan juga dilakukan secara periodik oleh tim patroli yang terdiri dari beberapa komponen masyarakat (termasuk masyarakat desa binaan), sehingga beberapa kali melakukan penangkapan pelaku pelanggaran. Meskipun praktek penangkapan ikan yang merusak karang masih terjadi di wilayah kajian (terutama pembiusan), dampak kegiatan pengawasan dan monitoring yang serius dilakukan masyarakat, telah namapak yaitu menurunnya praktek yang merusak karang di wilayah ini (terutama pemboman). Masyarakat di lokasi binaan mulai merasakan meningkatnya populasi ikan karang di wilayahnya, terutama di Desa Wakambangura, sehingga meningkatkan aktivitas warga dalam kegiatan kenelayanan.

• Kegiatan UEP (Unit Ekonomi Produktif)

UEP merupakan salah satu program COREMAP (dikordinir oleh MCS (Monitoring Controlling Services) untuk membantu usaha ekonomi dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di lokasi binaan COREMAP. Di lokasi binaan, kegiatan UEP di bawah koordinasi LPS-TK dan secara teknis keuangan dibantu LKM. Melalui program UEP, setiap desa binaan COREMAP direncanakan

KASUS KABUPATEN BUTON 109

memperoleh dana bantuan usaha sebesar 50 juta rupiah, untuk disalurkan pada kelompok usaha yang dibentuk di masing-masing Pokmas. Setiap anggota Pokmas yang terdaftar sebagai penerima dana pinjaman adalah anggota yang telah memenuhi syarat yang ditentukan.

Sesuai aturan, mekanisme penyaluran dana, calon peminjam harus mengisi formulir di LKM dan harus mendapat persetujuan dari LPS-TK. Secara teknis dana disalurkan melalui LKM - Pokmas UEP – anggota kelompok. Besarnya pinjaman usaha per anggota kelompok maksimal 2,5 juta rupiah (disesuaikan dengan kebutuhan), dengan bunga 1,2 persen per bulan. Pengelolaan dana di kelompok masing-masing seperti besarnya dana pinjaman per individu, lama pinjaman dan sanksi yang diberlakukan apabila menunggak pembayaran, ditentukan berdasarkan kesepakatan internal dalam Pokmas yang bersangkutan. Sebelum dana disalurkan ke anggota kelompok, LPS-TK memberi arahan pada anggota Pokmas/peminjam tersebut. Pemilihan anggota kelompok melalui seleksi internal dengan syarat-syarat yang sudah ditentukan.

Implementasi penyaluran dana UEP di lokasi binaan:

Dalam implementasinya aktivitas Pokmas UEP digabung dengan Pokmas Jender. Sebagai pendamping adalah MD di masing-masing lokasi binaan. Oleh karena dana bantuan usaha baru cair pada akhir tahun 2007, penyaluran dana pada anggota Pokmas baru dilakukan pada awal tahun 2008. Untuk tahap pertama, di kedua lokasi kajian prioritas dana diberikan pada anggota yang dipastikan dapat mengembalikan dana tepat waktu, sehingga dapat menjadi contoh bagi kelompok berikutnya. Anggota yang terpilih menerima dana UEP harus memenuhi syarat tertentu yang telah disepakati antara lain:

- Mempunyai usaha/ketrampilan khusus dalam berbisnis - Tidak tercatat sebagai penunggak pinjaman - Belum pernah mendapat bantuan dari program lain - Membutuhkan dana tersebut untuk pengembangan usaha.

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 110

Sedangkan mekanisme penyaluran dana UEP ke peminjam (anggota Pokmas):

- Peminjam harus membawa KTP pada waktu menerima dana. - Menyetujui syarat-syarat pembayaran, waktu pembayaran,

besarnya cicilan, bunga dan denda/sanksi apabila peminjam menunggak.

Pencairan dana di Desa Terapung sebanyak 50 juta rupiah telah berlangsung 2 tahap, dan telah disalurkan kepada 26 anggota ketiga Pokmas, yaitu Pokmas UEP dan Jender (masing-masing 12 anggota), dan Pokmas Konservasi (2 anggota). Masing-masing anggota memperoleh antara 1-2,5 juta rupiah. Di Desa Wakambangura, pencairan dana baru sekali sebanyak 25 juta rupiah, sehingga hanya cukup untuk 15 orang (laki-laki 13, perempuan 2), masing-masing anggota memperoleh antara 1-2 juta rupiah. Aturan pinjaman dengan sistem tanggung renteng, yang berarti apabila ada anggota bermasalah dalam pembayaran, resiko ditanggung bersama kelompok masing-masing. Perkembangan jumlah anggota di kedua lokasi juga berbeda dipengaruhi oleh besarnya dana yang disalurkan dan mekanisme penyaluran dana yang disepakati masing-masing kelompok di lokasi binaan.

Mekanisme penyaluran dana berdasarkan kesepakatan dengan anggota kelompok yang disesuaikan dengan kondisi usaha masing-masing desa binaan. Di Terapung diterapkan sistem denda bagi penunggak pembayaran. Apabila peminjam dana terlambat membayar cicilan dari waktu yang telah disepakati (7 hari, dikenakan denda 3000 rupiah per hari. Sedangkan di Wakambangura, bagi peminjam yang menunggak pembayaran sesuai batas waktu yang ditentukan (3 bulan), disepakati untuk penyelesaian secara hukum. Akibatnya tunggakan pinjaman di Wakambangura mencapai 20 persen (terutama usaha budi daya rumput laut). Menurut LPS-TK setempat, sistem denda sulit diterapkan, karena memberatkan anggota. Untuk biaya operasional Pokmas dan lain-lain, diperoleh dari hasil jasa penyaluran dana (bunga dan denda). Pengalokasian hasil jasa tersebut disepakati

KASUS KABUPATEN BUTON 111

untuk tambahan modal (30%), LKM (25%), LPS-TK (25%) dan administrasi (20%).

Pengelolaan dana UEP di kedua lokasi binaan relatif berbeda. Di Desa Terapung mekanisme penyaluran dana, cenderung mengikuti aturan yaitu melibatkan lebih banyak pengurus lembaga terkait (LPS-TK, LKM, Pokmas dan MD). Sementara di Desa Wakambangura, keterlibatan lembaga lain cenderung hanya formalitas, pelaku utama penyaluran dana UEP didominasi orang-orang tertentu yaitu ketua LPS-TK dan bendahara Pokmas UEP, yang kebetulan merupakan orang terdekat. Pengurus lainnya seperti LKM dan MD, cenderung kurang mengetahui mekanisme penyaluran dana dan rincian dana untuk masing-masing anggota penerima. Hal ini dipengaruhi oleh mekanisme pembentukan lembaga-lembaga tersebut dan keseriusan SDM pendukungnya.

Berbagai kegiatan COREMAP di kedua lokasi kajian menunjukkan bahwa sosialisasi dan penyadaran masyarakat untuk pelestarian terumbu karang, telah menunjukkan hasil, minimal adanya peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengawasan DPL. Hasil yang dirasakan masyarakat dengan masuknya program COREMAP adalah menurunnya praktek penangkapan ikan yang merusak karang, terutama praktek pemboman di wilayah DPL, sehingga populasi ikan dan jenisnya meningkat, bahkan beberapa jenis ikan yang pernah hilang, kini muncul lagi (antara lain ikan biji nangka). Demikian pula adanya berbagai pelatihan sesuai dengan fungsi Pokmas, menyebabkan pengalaman masyarakat dalam mengelola dana meningkat sesuai dengan kemampuan masing-masing. Mengingat bantuan dana UEP untuk anggota Pokmas masih relatif baru, hasilnya dalam meningkatkan usaha anggota belum nampak, terutama apabila dilihat dari peningkatan pendapatan dan kesejahteraan anggota Pokmas bersangkutan. Terbatasnya jumlah dana bantuan usaha dibandingkan animo masyarakat yang menginginkan bantuan pinjaman tersebut, diperlukan kesabaran anggota Pokmas untuk memperolehnya sesuai gilirannya. Masalah ini bertambah komplek, karena pencairan dana ke lokasi binaan relatif lambat, sehingga waktu dan besarnya dana (di beberapa lokasi binaan) menjadi kurang sesuai

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 112

dengan rencana COREMAP. Minimnya pengetahuan SDM bagi pengurus yang terlibat, juga menyebabkan pekerjaan bertumpuk pada orang-orang tertentu yang mampu melaksanakannya. Diperlukan pelatihan teknis lebih banyak untuk pengurus yang terlibat, sehingga dana bantuan dapat dikelola lebih profesional dan lebih tepat sasaran.

3.1.3. Pengelolaan dan pelaksanaan/kegiatan COREMAP di Kecamatan Kadatua

Pemberdayaan masyarakat adalah salah satu program yang umum diterapkan sebagai pilihan dalam pembangunan secara lengkap dalam arti menjadikan masyarakat sebagai pelaku pembangunan, bukan semata-mata obyek atau target pembangunan (anthromorphism) (Bartle, 2005). Konsep pemberdayaan masyarakat memiliki konteks lebih mengutamakan kemampuan masyarakat dalam mengembangkan dan mendayagunakan potensi yang dimilikinya untuk menangani permasalahan yang dihadapinya. Potensi utama yang dimiliki mereka adalah pengetahuan, keterampilan, serta kultur yang dimilikinya. Oleh sebab itu, program pemberdayaan masyarakat banyak yang dimulai dengan kegiatan identifikasi potensi masyarakat (Adi, 2003; Bartle, 2005). Salah satu kegiatan penting dalam program tersebut adalah mengidentifikasi wawasan dan peningkatan kapasitas melalui berbagai jenis kegiatan yang menambah wawasan, pengalaman, pengetahuan, dan keterampilan, dan sikap.

Menurut hemat kami, bentuk pemberdayaan yang ada selama ini bisa dirangkum dalam tiga format program/intervensi/ aksi, yakni awareness, pemberdayaan dan koersif. Untuk menyusun strategi pemberdayaan dalam rangka perubahan perilaku para stakeholder, kajian dimulai dengan menganalisis beberapa program-program pemberdayaan yang sudah ada dan sedang diterapkan.

Pembentukan dan kinerja kelembagaan di lokasi.

Sebagaimana yang sudah diuraikan pada bagian awal bahwa upaya yang dilakukan melalui program Coremap bisa digolongkan sebagai “pemberdayaan”. Upaya-upaya tersebut dulunya diawali dengan

KASUS KABUPATEN BUTON 113

melakukan identifikasi potensi masyarakat. Setelah memahami potensi dan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat, disusunlah program-program yang diduga tepat untuk keperluan masyarakat. Di dalam melakukan program-program ini, Coremap sejak awal sudah menyusun struktur yang diperlukan untuk lancarnya berbagai programnya.

Pembentukan kelembagaan yang diperlukan dilakukan dengan merekrut sejumlah orang dengan menempatkannya dalam struktur organisasi pelaksana. Di tiap lokasi dipilih LPSTK, Pokmas (Kelompok masyarakat) dan Pokmaswas (Kelompok Masyarakat Pengawas). Ada beberapa ciri perekrutan yang terlihat di daerah studi kami.

Pertama, pemilihan seringkali dilakukan tidak dengan pemilihan oleh masyarakat banyak, tetapi ditentukan dalam kelompok-kelompok kecil. Walaupun kemudian disampaikan dalam rapat desa, itu hanya berupa pengesahan belaka dari hasil pertemuan kelompok-kelompok kecil. Permasalahan lain, rapat desa juga seringkali hanya dihadiri oleh sebagian masyarakat belaka. Banyak orang tidak hadir dalam rapat desa. Beberapa penduduk yang dijumpai tidak tahu menahu siapa saja pengurus Coremap di lokasi.

Kedua, orang-orang yang dekat dengan Kepala Desa seringkali menjadi pilihan untuk menduduki posisi dalam struktur Coremap di lokasi-lokasi yang ada. Ada juga yang kosong posisi tersebut karena belum ada pemilihan atau karena dapat pekerjaan lain misalnya menjadi PNS (pegawai negeri sipil).

Ketiga, pemilihan seringkali dikaitkan juga dengan tingkat pendidikan calon yang akan menduduki posisi dalam struktur Coremap. Tidaklah mengherankan bila guru dan sarjana mengisi posisi-posisi tersebut, walaupun belum tentu mempunyai kemampuan “mendekati/mengelola” masyarakat.

Keempat, politik uang menjadi ciri yang kental dari pelaksanaan perekrutan ini, bahkan juga dalam pelaksanaan kegiatan. Partisipasi yang dilakukan penduduk karena ada uang yang akan diperoleh

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 114

penduduk. Orang bersedia direkrut bukan karena semata-mata kesadaran akan adanya masalah kelautan, tetapi lebih karena adanya imbalan uang.

Sikap-sikap semacam itu muncul disebabkan kesalahan sejak awal dalam pemilihan area program. Kedua lokasi yang menjadi sasaran program ini sudah lama lepas dari problema penangkapan ikan dengan cara destruktif. Selain itu, sebagian besar penduduk sudah beralih ke bidang perdagangan (ke usaha darat), seperti perdagangan pakaian dan emas. Orang pergi ke laut mencari ikan hanya sekedar sambilan mengisi kekosongan waktu sementara tidak berdagang. Pekerjaan ke laut juga banyak dikerjakan oleh orang-orang tua yang masih tinggal di kampung.

Kegiatan COREMAP di lokasi

Cukup banyak kegiatan COREMAP di tingkat lokasi yang sesungguhnya merupakan penerapan langsung dari kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh petugas-petugas COREMAP di tingkat kabupaten. Rincian kegiatannya adalah penyadaran masyarakat, sosialisasi COREMAP, pelatihan, edukasi, kegiatan pengawasan dan UEP (unit ekonomi produksi).

Penyadaran masyarakat (public awareness) adalah kegiatan yang paling menonjol dan paling dirasakan oleh penduduk di lokasi-lokasi terpilih, karena jumlah kegiatannya cukup banyak dan intensif serta melibatkan banyak pihak termasuk pejabat-pejabat pemerintahan lokal. Brosur, ceramah, stiker, kaos, topi, tas, pamflet, dan buku-buku tentang terumbu karang adalah contoh-contoh PA yang telah dirasakan oleh penduduk. Ketika riset ini dilangsungkan di lokasi, penduduk yang ditanyai tentang Coremap menyebutkan bahwa mereka mengenal COREMAP yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi terumbu karang yang sudah rusak.

Sosialisasi program COREMAPkurang berhasil bila indikatornya adalah pengetahuan dan partisipasi penduduk terhadap kegiatan / program COREMAP. Tidak banyak penduduk yang tahu secara rinci

KASUS KABUPATEN BUTON 115

kegiatan program COREMAP dan bahkan banyak yang tidak tahu pengurus-pengurus COREMAP di lokasi.

Pelatihan dan pendidikan yang dilakukan pada kader-kader COREMAP dan sejumlah penduduk masih sangat kurang. Sejumlah responden menyebutkan tidak ada program pelatihan dan pendidikan pada penduduk.

Kegiatan pengawasan dilakukan dengan menunjuk seorang kader pengawas. Hanya saja karena tidak jelasnya honor dan tidak adanya fasilitas yang dijanjikan seperti kapal untuk pengawasan, maka kegiatan ini sampai hari ini masih sangat kurang kalau tidak boleh dibilang tidak ada. Berbagai aktivitas pelanggaran seperti penggunaan bom ikan dan racun sudah berkurang karena lebih pada tiadanya bahan-bahan teknologi tangkap tersebut. Sementara itu pihak Polisi dan tentara semakin ketat melakukan pengawasan penyitaan bahan-bahan peledak karena problema terorisme dan bukan karena destructive fishing.

Nampaknya berbagai kegiatan COREMAP ini masih didominasi oleh kelompok-kelompok yang dekat dengan kepala desa. Informasi tentang kegiatan UEP ini pun masih sangat terbatas penyebarannya ke seluruh masyarakat. Perlu juga dipertimbangkan kegunaannya sejauh mana. Kegiatan UEP di Desa Kapoa dimanfaatkan untuk kegiatan perdagangan pakaian ke daerah Maluku dan Irian, sementara kegiatan UEP di Desa Waonu dimanfaatkan untuk menambah dana perdagangan emas.

• Penyadaran masyarakat

Sebagaimana sudah disampaikan di atas bahwa public awareness (penyadaran masyarakat) merupakan kegiatan yang paling menonjol diantara berbagai kegiatan lainnya. Penduduk yang diwawancarai umumnya mengetahui tentang Coremap dan tentang pentingnya melestarikan laut, khususnya merehabilitasi terumbu karang. Kegiatan ini juga melibatkan tokoh-tokoh informal maupun para pejabat lokal. Berbagai cara yang dilakukan, seperti : 1) penyebaran brosur, pamflet, stiker, kalender dll.; 2) pembagian kaos, topi, tas; 3)

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 116

ceramah yang disampaikan oleh pejabat lokal, ulama, dan pengurus Coremap; 4) pembagian buku-buku tentang Coremap dan konservasi sumber daya laut.

Di rumah-rumah penduduk bisa ditemukan brosur-brosur dipajang atau kalender yang berisi tentang Coremap digantung di dinding. Pemberian informasi melalui cara ini cukup efektif, terbukti pengetahuan penduduk yang diwawancarai tentang Coremap dan pentingnya merehabilitasi terumbu karang cukup baik.

Pembagian barang-barang seperti topi, tas, kaos lebih mempermudah memori penduduk tentang Coremap. Penyebaran pengetahuan tentang Coremap lebih cepat melalui pembagian barang-barang tersebut (demonstration effect). Barang-barang tersebut merupakan kebanggaan bagi mereka.

Ceramah-ceramah sering disampaikan, tetapi nampaknya cara ini kurang mengena bagi penduduk. Penduduk mudah melupakan isi ceramah yang disampaikan, walaupun mereka masih ingat siapa-siapa yang pernah menyampaikan ceramah di desa mereka.

Pondok informasi sudah berdiri di dua desa yang menjadi fokus penelitian. Sayangnya sangat minimal penggunaannya maupun fasilitas yang ada di dalamnya. Sehari-harinya pondok informasi tersebut dalam keadaan terkunci. Masalah utama keberlanjutan dari pondok informasi itu adalah tiadanya dana perawatan maupun pembelian barang-barang atau bahan informasi untuk diadakannya aktivitas di pondok informasi tersebut.

• Sosialisasi COREMAP

Walaupun sudah berlangsung cukup lama, sosialisasi program Coremap kurang berhasil bila indikatornya adalah pengetahuan dan partisipasi penduduk terhadap kegiatan / program Coremap. Tidak banyak penduduk yang tahu secara terinci apa-apa saja program Coremap dan bahkan tidak tahu siapa-siapa saja pengurus Coremap di lokasi.

KASUS KABUPATEN BUTON 117

Pengetahuan penduduk lebih terbatas pada adanya program Coremap dan pentingnya merehabilitasi terumbu karang. Sosialisasi tentang siapa-siapa saja pengurusnya sangatlah kurang. Barangkali ini menjadi indikator kurangnya pendekatan maupun aktivitas pengurus dalam mengajak masyarakat. Ketika ditanyakan kepada pengurus Coremap, alasan yang dikemukakan adalah : 1) tidak turun-turunnya dana operasional untuk berbagai kegiatan, dan 2) pembayaran gaji para pengurus sudah beberapa bulan ini tidak lancar. Bisalah dimaklumi jika gairah kerja para pengurus untuk menggerakkan roda kegiatan Coremap sangatlah rendah (nonresponsibility participation).

Pokmas-pokmas sudah dibentuk, diantaranya pokmas untuk dana bergulir dan pokmas pengawasan, tetapi tiadanya dana operasional menyebabkan tidak lancarnya kegiatan tersebut. Hanya penduduk-penduduk yang dekat dengan kepala desa yang mengetahui adanya kegiatan tersebut dan merekalah yang memanfaatkan dana itu. Cukup banyak penduduk yang tidak mengetahui.

• Pelatihan

Tidak ada pelatihan untuk penduduk yang diterapkan dalam program COREMAP di desa Waonu maupun Kapoa. Namun setelah penelitian usai diperoleh kabar dari responden melalui telpon tentang adanya pelatihan mendata sumber daya kelautan. Kabarnya pelatihan tersebut akan dilakukan secara berkala.

Sesungguhnya pelatihan merupakan kegiatan yang sangat sering dikemukakan dalam panduan-panduan Coremap. Kegiatan ini dianggap akan mendukung naiknya tingkat kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mengurangi tekanan terhadap laut. Dalam kenyataannya sangat minimal kalau tidak boleh dikatakan tidak ada pelatihan yang sudah diterapkan di dua desa dari kecamatan Kadatua tersebut.

• Edukasi

Banyak responden yang memuji adanya muatan lokal berupa buku-buku yang disusun dalam program Coremap tentang pentingnya

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 118

kelestarian laut yang diajarkan di sekolah-sekolah. Mereka bangga anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar sudah mampu mengenali berbagai sumber daya yang terkandung di dalam laut.

Pendidikan terhadap masyarakat sebenarnya berbarengan dengan fungsi penyadaran masyarakat (public awareness). Pendidikan yang paling utama dikembangkan adalah melalui muatan lokal di tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah pertama.

Buku-buku muatan lokal tersebut ternyata ada dalam dua versi, yakni: versi program Coremap dan versi daerah Buton. Versi program Coremap disusun oleh orang-orang yang ditugasi pengurus Coremap pusat di Jakarta yang disusun untuk tiap kelasnya dan dibuat sesederhana mungkin agar mudah dipahami. Di kecamatan Kadatua ini baru sampai tingkat sekolah dasar pengajaran muatan lokal tersebut.

Dalam kenyataannya banyak responden yang mengeluhkan tentang masih sulitnya dipahami materi-materi yang terdapat pada buku-buku tersebut. Bahasanya masih sulit dicerna dan tidak sesuai penamaan sumber daya yang ada dengan terminologi lokal.

Oleh pihak Coremap daerah Buton bekerja sama dengan Dinas Pendidikan menyusun buku-buku yang ditulis oleh sejumlah orang. Buku-buku itu dilengkapi dengan istilah-istilah daerah dan dengan bahasa yang jauh lebih sederhana serta adanya pratikum bagai para siswa. Para responden menyebutkan bahwa buku-buku ini lebih mudah dipahami dan lebih praktis dibandingkan buku-buku dari pusat.

Beberapa guru yang ditemui di lapang menyebutkan bahwa materi program Coremap sesungguhnya tidak hanya diberikan pada saat muatan lokal saja, tetapi juga oleh guru diselipkan pada saat mereka mengajar mata pelajaran lain. Pelajaran tersebut misalnya pada pelajaran yang berkaitan dengan biologi, geografi, ekonomi dan lain-lain.

KASUS KABUPATEN BUTON 119

Problem utama adalah membagi waktu antara muatan lokal bahasa daerah dengan muatan lokal program Coremap, karena jumlah jam pelajaran yang sangat terbatas. Selain itu, dari Dinas Pendidikan juga belum ada ketegasan tentang muatan lokal program Coremap harus diajarkan di sekolah-sekolah. Jadi, sifatnya tidak wajib.

• Kegiatan pengawasan

Pokmas untuk kegiatan pengawasan sudah terbentuk di dua desa, tetapi kapal motor yang dijanjikan untuk patroli laut tidak juga kunjung datang sampai pada saat penelitian ini berlangsung. Kegiatan pengawasan ke penduduk setempat adalah personal approach agar mereka-mereka yang dulunya dikenal sebagai nelayan bom ikan, tidak lagi melakukan destructive fishing, karena hukumannya sangatlah berat selain dipenjara juga denda yang sangat besar. Para pengurus kegiatan pengawasan ini merujuk kepada UU nomer 31 tahun 2004.

Kegiatan pengawasan ini terbantu adanya dua hal : 1) dengan intensitas para aparat keamanan menertibkan bahan-bahan peledak maupun senjata api illegal, bahkan juga mercon; dan 2) sudah sulit diperoleh bahan mesiu untuk pembuat bom ikan. Kegiatan para aparat keamanan itu dilatarbelakangi dengan menangkal terorisme yang dikuatirkan akan mengganggu wilayah Buton.

Dalam kenyataannya, para pelaku kenelayanan destruktif adalah nelayan-nelayan dari luar desa. Bila dari daratan terlihat ada nelayan luar yang menggunakan bom ikan, maka akan segera dilaporkan kepada polisi. Pihak polisi lah yang akan menangkap si pelaku. Pengurus pokmas pengawasan ini tidak bisa berbuat apa-apa karena tiadanya fasilitas kapal motor untuk mengejar si pelaku.

• Kegiatan UEP (Unit Ekonomi Produktif)

Di antara semua kegiatan COREMAP kegiatan inilah yang paling terlihat atau disampaikan oleh para aparat desa maupun responden. Bila ditelusuri lebih jauh ternyata tidak semua penduduk tahu akan adanya dana bergulir dari kegiatan UEP. Beberapa penduduk yang

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 120

sempat ditemui menyatakan tidak tahu menahu tentang dana bergulir tersebut. Artinya, penyebaran informasi dari kegiatan-kegiatan COREMAP masih sangatlah terbatas atau tidak merata.

Di Desa Waonu, dana bergulir tersebut digunakan untuk menambah modal dagang emas oleh pesertanya. Sementara di Desa Kapoa para pemakai dana bergulir memanfaatkannya sebagai modal tambahan untuk berdagang pakaian ke daerah Maluku dan Papua. Penambahan modal ini ternyata berdampak pada meningkatnya jumlah tenaga kerja. Misalkan di desa Waonu, jika dahulu umumnya hanya sang suami yang berkeliling untuk jual beli emas, kini sang istri pun banyak yang ikut terlibat dalam dagang tersebut. Menurut sejumlah responden yang diwawancarai bahwa ternyata para istri tersebut rata-rata lebih lincah dalam berdagang dibandingkan suaminya. Sedangkan di desa Kapoa kini semakin banyak rumah kosong yang ditinggalkan pemiliknya, karena satu keluarga dikerahkan untuk ikut berdagang, tidak hanya sang suami, tetapi juga istri dan anak-anak remaja.

3.2. PENGETAHUAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP

KEGIATAN/PROGRAM COREMAP

Bagian ini membahas pengetahuan masyarakat tentang program dan kegiatan COREMAP yang telah dilaksanakan sejak tahun 2005, serta keterlibatan masyarakat dalam berbagai program kegiatan COREMAP. Pembahasan tentang pengetahuan dan partisipasi masyarakat dalam kegiatan program COREMAP meliputi tingkat kabupaten maupun tingkat lokasi kajian

3.2.1. Tingkat Kabupaten

Anggaran untuk pelaksanan kegiatan/program COREMAP di Buton selalu naik dalam setiap tahunnya. Hal ini dapat dilihat dari realisasi anggaran program COREMAP selama 3 tahun, adalah sebagai berikut: Rp. 1.093.734.636 (2005), Rp. 3.220.207.000,- (2006) dan Rp. 8.553.147.318,- (2007). Anggaran ini digunakan untuk membiayai komponen program/kegiatan COREMAP, yakni CRITC,

KASUS KABUPATEN BUTON 121

Communiti Awareness, MCS, dan CBM. Masing-masing komponen COREMAP memiliki program atau kegiatan yang saling mendukung yang muaranya untuk mendukung keberhasilan pengelolaan terumbu karang. Masing-masing program dan kegiatan tentu saja memiliki target sasaran yang berbeda.

Partisipasi masyarakat adalah salah target sasaran sebuah program atau kegiatan yang telah dijabarkan. Sebuah program kegiatan ada yang tidak memilih target sasaran partisipasi masyarakat atau sebaliknya, sekalipun nantinya diharapkan dapat menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mensukseskan program COREMAP. Misalnya, kajian matapencaharian alternatif adalah salah satu kegiatan COREMAP yang tidak perlu membutuhkan pertisipasi masyarakat, tetapi hasil kajian ini nantinya dapat diterapkan yang diharapkan dapat menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam mengembangkan mata pencaharian alternatif (MPA) yang diusulkan dalam hasil kajian tersebut. Jadi dalam konteks ini, tidak ada partisipasi masyarakat langsung dalam kegiatan kajian MPA. Berbeda dengan kegiatan/program COREMAP, seperti pilot project pengembangan budi daya rumput laut dan pengolahan pasca panen rumput laut, kegiatan ini langsung membutuhkan partisipasi masyarakat.

Dengan mengambil perbandingkan dua kegiatan COREMAP di atas, maka pengertian partisipasi masyarakat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu, pertama, partisipasi masyarakat dilihat sebagai metodologi pendekatan agar tujuan program kegiatan dapat berhasil. Tujuan kegiatan/program itu lebih bersifat untuk kepentingan pelestarian lingkungan, walaupun dalam jangka panjang nantinya masyarakat dapat memetik keungtungan ekonomi di masa mendatang apabila program pelestarian lingkungan berhasil. Jadi, dampak keuntungan masyarakat dari program COREMAP yang bersifat jangka panjang jika kegiatan pelestatarian lingkungan berhasil. Sebagai contoh adalah diikutsertakan warga masyarakat dalam program/kegiatan pelatihan selam, penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL). Ketrampilan menyelam masyarakat sangat berguna untuk melakukan pengawasan dan pemataun kondisi terumbu agar tetap terjaga kondisinya.

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 122

Ketrampilan selam dapat menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengawasi kegiatan-kegiatan yang dapat merusak kelestarian terumbu karang. Jadi dengan demikian, pengertian partisipasi masyarakat mengandung pengertian sebagai strategi pendekatan keberhasilan program/kegiatan. Kedua, adalah partisipasi masyarakat yang berhubungan langsung tujuan program/kegiatan COREMAP, seperti kegiatan/program COREMAP yang bertujuan untuk meningkatan pendapatan masyarakat, namun selain itu

Berangkat dari uraian di atas, maka untuk melihat partsipasi masyarakat di tingkat kabupaten dapat dilakukan identifikasi apakah unsur masyarakat terlibat dalam setiap progra kegiatan tersebut, dan bagaimana menempatkan masyarakat sebagai target sasaran atau strategi pendekatan program kegiatan. Tabel-tabel di bawah ini menunjukkan bahwa tidak semua program/kegiatan COREMAP yang berjalan selama tiga tahun selalu melibatkan unsur masyarakat. Program CRITC, misalnya. Selama tiga tahun pelaksanaan program CRITC tercatat hanya ada 2 kegiatan dari 12 kegiatan yang melibatkan unsur masyarakat. Kedua kegiatan itu adalah pelatihan selam dasar (2005) dan pelatihan terumbu karang (2006). Sedikitnya partisipasi masyarakat dalam kegiatan ini sebagaimana disebutkan dimuka kemungkinan kegiatan ini bukan program sosial-ekonomi masyarakat, sebaliknya pelibatan unsur masyarakat dalam kegiatan selam agar masyarakat ikut mendukung agar tujuan program CRITC berhasil.

Tabel 3.1. Kegiatan/Program CRITC dan Keterlibatan Unsur Masyarakat

Kegiatan (2005) Unsur Masy. LSM Aparat

Desa/Kec. Instansi Pemt. PMU

1) Pelatihan Selam Dasar (20 orang)

X X - X X

2) Pelatihan Terumbu karang (20 orang)

- X X X X

KASUS KABUPATEN BUTON 123

Kegiatan (2006)

Unsur Masy. LSM Aparat

Desa/Kec. Instansi Pemt. PMU

3) Pelatihan Pemantaun Terumbu Karang (25 orang)

X - - - -

4) Survey Kondisi Sosek

-- -X -X - X

5) Publikasi, Penyimpanan dan Penyebaran dan pertukaran data

- - - - X

Kegiatan ( 2007) Unsur

Masy. LSM Aparat Desa/Kec

Instansi Pemt. PMU

6) Publikasi, Filling & Tukar data

- - - - X

7) Pengadaan dan Pemasangan VSAT

- - - - X

8) Implementasi dan Penelitian Lokal

- - - - X

9) Pelatihan Pemantauan Ikan berbasis masyarakat (20 orang)

X

10) Pelatihan BME, Sosek, & Ekologi (31 orang)

- - X - -

11) Lokakarya tingkat kabupaten (23 orang)

- - - X X

12) On the job traning- pelatihan GIS, WEB, dan data base. (6 orang)

- - - - X

Sumber: Data Primer Survei BME Aspek Sosial Ekonomi, PPK-LIPI, 2008.

Dibandingkan dengan CRITC, program CBM di Buton selama tiga tahun ini lebih banyak kegiatan yang melibatkan unsur masyarakat. Mungkin, karena nama kegiatan dalam program ini ada nama masyarakat-community based management. Dari 28 kegiatan program CBM terdapat 17 kegiatan yang melibatkan unsur masyarakat, dengan

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 124

rincian tahun 2005 (1 kegiatan), tahun 2006 (5 kegiatan), dan tahun 2006 (11 kegiatan) . Hal ini bisa dimengerti karena program CBM adalah program-program yang berhubungan dengan partisipasi masyarakat. Namun demikian, apakah pelibatan unsur masyarakat dalam kegiatan cenderung menggunakan partisipasi masyarakat sebagai strategi pendekatan program atau sebagai target sasaran langsung dari kegiatan tersebut.

Tabel 3.2. Kegiatan/Program CBM dan Keterlibatan Unsur Masyarakat

Kegiatan (2005) Unsur Masy. LSM Aparat

Desa/Kec. Instansi Pemt. PMU

1) Workshop CBM tingkat kabupaten (67 orang)

- - - X X

2) Pelatihan SETO &CF (30 orang)

- - - - X

3) Pelatihan Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan

- X - - X

4) Musyawarah desa penyusunan profil metode PRA (28 desa)

X - X - -

5) Kajian mata pencaharian alternatip (28 desa)

- - - - X

6) Musyawarah desa penyusunan RPTK (28 desa)

- X - X

Kegiatan ( 2006) Unsur Masy. LSM Aparat

Desa/Kec. Instansi Pemt. PMU

7) Pelatihan Daerah Perlindungan Laut (DPL)

X - X - X

8) Pembentukan DPL (28 DPL)

X - X - X

9) Penyusunan Perdes (28 desa)

X X X - X

10) Workshop - - X X X

KASUS KABUPATEN BUTON 125

Pengembangan Perdes

11) Pelatihan Budi daya Laut (28 nelayan)

X - - - X

12) Pelatihan Teknis dan Manajemen Perikanan (52 orang)

X - - - X

Kegiatan (2007) Unsur Masy. LSM Aparat

Desa/Kec. Instansi Pemt . PMU

13) Pelatihan SETO, CF dan MD

- - - - X

14) Pelatihan Manajemen Proyek

- - - - X

15) Musyawarah Desa Penyusunan Profil Metode PRA

X - X X X

16) Musyawarah Desa Penyusunan RPTK

X - X - X

17) Training Village Financial Management (30 orang/15 desa)

X - - - X

18) Pilot Project Pengembangan Usaha Perikanan (10 orang/kel)

X - - - X

19) Pilot Project pengelolaan pasca panen (16 desa)

X - - - X

20) Workshop sertifikasi perdagangan ikan karang (45 orang)

X X X - X

21) Pembangunan & Rehabilitasi Pondok Informasi (45 Pondok)

X - X - X

22) Block Grant untuk pembangunan infrastruktur (village grant) (24 desa)

X - X - X

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 126

23) Block Grant untuk revolving fund (43 desa)

X - - - X

24) Pengembangan dan pembentukan DPL (15 DPL, a 10 Ha)

X - X - X

25) Penyusunan Perdes (15 desa)

X - X - X

26) Pembangunan Radio FM/AM Masyarakat

- - - - X

27) Pelatihan Manajemen Keuangan dan Pengadaan (20 orang)

- - - - X

28) Penyusunan Renstra Pengelolaan Terumbu karang

- - - - X

Sumber: Data Primer Survei BME Aspek Sosial Ekonomi, PPK-LIPI, 2008.

Tahun 2005, program kegiatan satu-satunya melibatkan masyarakat adalah musyawarah desa penyusunan profil metode PRA. Program/kegiatan yang menyebutkan 28 desa sebagai pesertanya, diduga partisipasi masyarakat bukan sebagai sasaran langsung dari kegiatan ini. Kecenderungan ini terjadi pula pada tahun 2006. Beberapa kegiatan program CBM yang menggunakan partisipasi masyarakat sebagai strategi pendekatan program, adalah sebagai berikut : Pelatihan Daerah Perlindungan Laut (DPL), Pembentukan DPL (28 DPL), Penyusunan Peraturan Desa, Workshop Pengembangan Peratran Desa, dan Pelatihan Teknis dan Manajemen Perikanan. Satu-satunya program kegiatan CBM yang menempatkan partisipasi masyarakat sebagai target sasaran adalah pelatihan budi daya laut yang melibatkan 28 nelayan.

Partisipasi masyarakat sebagai metode pendekatan program juga mewarnai kegiatan-kegiatan CBM di tahun 2007. Sebagian besar kegiatan program CBM yang melibatkan unsur masyarakat menempatkan partisipasi masyarkat sekedar sebagai metode

KASUS KABUPATEN BUTON 127

pendekatan atau mungkin hanya sebatas konsultatif dengan masyarakat.. Sementara itu, kegiatan program CBM yang menempatkan partisipasi masyarakat sebagai target sasaran langsung kegiatan program CBM sangat sedikit, yakni Block Grant untuk pembangunan infrastruktur (village grant) yang melibatkan 24 desa dan Block Grant untuk revolving fund untuk 43 desa.

Tabel 3.3. Kegiatan/Program MCS dan Keterlibatan Unsur Masyarakat

Kegiatan (2005) Unsur Masy. LSM Aparat

Desa/Kec. Instansi Pemt. PMU

1) Pelatihan investigasi penangkapan ikan tidak ramah lingkungan

- - - X X

Kegiatan (2006) Unsur Masy. LSM Aparat

Desa/Kec. Instansi Pemt. PMU

2) Pengembangan Siswasmas

X - - X X

3) Lokakarya startegi penyadaran masyarakat (28 Kepdes)

- - X - X

Kegiatan (2007) Unsur Masy. LSM Aparat

Desa/Kec. Instansi Pemt. PMU

4) Pelatihan PPNS (3 orang)

- - - X -

5) Collaborative MCS - - - X X 6) Pelatihan

Siswasmas (36 orang)

X - - - X

7) Apel Siswasmas X - X X X Sumber: Data Primer Survei BME Aspek Sosial Ekonomi, PPK-LIPI, 2008.

Kegiatan program MCS selama tiga tahun di Buton jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan dengan kegiatan CBM dan CRITC. Begitu pula dalam hal pelibatkan unsur masyarakat, baru tahun 2006 dan 2007, kegiatan/program MCS yang melibatkan unsur masyarakat. Pada tahun 2005, tidak ada kegiatan program MCS yang melibatkan

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 128

unsur masyarakat. Program kegiatan MCS yang melibatkan unsur masyarakat hanya pengembangan Siswasmas, Pelatihan Siswasmas, yang melibatkan 36 orang, dan apel Siswasmas. Dari sini jelas, partisipasi masyarakat ditempatkan sebagai metode pendekatan dengan tujuan program MCS dapat berjalan dengan baik. Kecenderungan ini bisa dipahami karena masyarakat dalam program MCS adalah hanya salah satu pemangku kepentingan (stake holder). MSC tampaknya lebih melihat aparat penegak hukum sebagai stakehoder utama. Banyak unsur-unsur lain yang terlibat dalam program MCS, seperti aparat kepolisian, TNI, PPNS, dan aparat penegak hukum lainnya.

Tabel 3.4. Kegiatan/Program Public Awareness dan Keterlibatan Unsur Masyarakat

Kegiatan (2005) Unsur Masy. LSM Aparat

Desa/Kec. Instansi Pemt. PMU

Pelatihan komunikasi (21 orang)

- - - X X

Pelatihan Jurnalistik (26 orang)

X - - X X

Pengadaan Materi PA - - - - X

Kegiatan (2006) Unsur Masy. LSM Aparat

Desa/Kec. Instansi Pemt. PMU

Workshop tentang Materi Pembelajaran Muatan Lokal (7 kec.)

- - - X X

Pengadaan materi PA - - - - X Lokakarya Strategi Penyadaran Masyarakat (28 Kades/7 Kec.)

- - X - X

Lomba Cerdas Cermat Tingkat SD, SLTP dan SLTA

X - - - X

Lomba melukis SD X - - - X

Kegiatan (2007) Unsur Masy. LSM Aparat

Desa/Kec. Instansi Pemt. PMU

Pelatihan komunikasi/PA (25 orang)

- - - - X

KASUS KABUPATEN BUTON 129

Workshop Guru untuk mengembangkan muatan lokal

- - - X X

Kontes Inovator muda X - - - X Pertandingan sepak bola tingkat kecamatan (14 kecamatan)

X - - - X

Sumber: Data Primer Survei BME Aspek Sosial Ekonomi, PPK-LIPI, 2008.

3.2.2. Kecamatan Mawasangka

Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, sosialisasi program COREMAP telah banyak dilakukan di daerah binaan. Demikian pula implementasi beberapa program telah berjalan di kedua lokasi kajian melalui ketiga Pokmas yang telah dibentuk sebelumnya. Sesuai dengan aturan, pembentukan lembaga-lembaga pendukung COREMAP seperti LPS-TK dan Pokmas di kedua lokasi kajian, melalui proses yang melibatkan semua komponen masyarakat, tokoh maupun anggota masyarakat lainnya. Proses pembentukan lembaga dan pelaksanaan program yang melibatkan masyarakat memungkinkan sebagian masyarakat mengetahui lebih baik tentang COREMAP beserta program-programnya. Bahkan tidak menutup kemungkinan sebagian masyarakat juga terlibat dalam kepengurusan maupun pemanfaat program-programnya. Bagian ini membahas sejauh mana pengetahuan masyarakat terhadap COREMAP dan pembentukan LPS-TK, serta bagaimana keterlibatan masyarakat dalam kegiatan COREMAP tertentu, seperti UEP, pelatihan, pendampingan dan pengawasan. Pembahasan untuk masing-masing lokasi kajian, terutama berdasarkan survei terhadap responden individu dalam 100 rumah tangga sampel dan wawancara terbuka terhadap informan terkait. Responden individu adalah salah satu anggota rumah tangga sampel yang berusia 15 tahun ke atas, yang dipilih secara acak.

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 130

• Pengetahuan tentang COREMAP

Pengetahuan tentang COREMAP didasarkan pada beberapa pertanyaan dalam survei yang meliputi keberadaan proram COREMAP, kegiatan penyelamatan terumbu karang dan kegiatan-kegiatan lain terkait program COREMAP di kedua lokasi kajian. Jumlah individu sebagai responden terpilih sebanyak 129 orang, 74 orang di Desa Terapung dan selebihnya (55 orang) di Desa Wakambangura. Hasil tabulasi dari jawaban responden terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut menunjukkan bahwa lebih dari 80 persen responden di kedua lokasi kajian mengetahui tentang COREMAP dan program-programnya. Meskipun untuk beberapa pertanyaan menunjukkan perbedaan tingkat pengetahuan kedua lokasi, namun perbedaannya relative kecil dan saling mengimbangi.

Penelusuran lebih mendalam pada setiap pertanyaan, perbedaan pengetahuan antarlokasi terdapat pada pengetahuan terhadap ‘kegiatan penyelamatan terumbu karang’ dan pengetahuan ‘kegiatan peningkatan pengetahuan dan kesadaran pentingnya pelestarian terumbu karang’. Untuk kegiatan penyelamatan terumbu karang, proporsi responden di Terapung yang mengetahui lebih besar daripada Wakambangura (masing-masing sekitar 82 dan 78%). Sebaliknya untuk kegiatan peningkatan pengetahuan dan kesadaran pentingnya pelestarian karang, proporsi responden di Wakambangura (sekitar 89%) lebih besar dari Terapung (sekitar 81%). Hal ini dipengaruhi oleh intensitas sosialisasi dan penyuluhan tentang penyelamatan terumbu karang yang dilakukan terhadap kelompok –kelompok masyarakat, oleh Pokmas Koservasi maupun lembaga pendukung lainnya (Grafik 3.6).

KASUS KABUPATEN BUTON 131

Grafik 3.6. Pengetahuan Responden ttg COREMAP (%)

8582 81

86

78

89penge

t

ah

u

a

n

% Terapung% W'kambangura

Sumber: Data Primer Survei BME Aspek Sosial Ekonomi, PPK-

LIPI, 2008.

• Pengetahuan dan keterlibatan dalam pembentukan LPS-TK

LPS-TK merupakan lembaga pengelola COREMAP di setiap desa binaan. Pembentukan LPS-TK dilakukan pada awal program COREMAP akan dijalankan di lokasi binaan. Pembentukan dan pemilihan pengurusnya dilakukan dengan sisitem musyawarah yang melibatkan banyak komponen penduduk. Konon waktu pembentukan LPS-TK di kedua lokasi kajian, lebih dari 100 penduduk hadir, terdiri dari pemerintah desa, tokoh masyarakat dan komponen masyarakat lainnya. Hampir pada setiap kegiatan COREMAP di lokasi binaan melibatkan LPS-TK. Perannya yang menonjol pada setiap kegiatan COREMAP, memungkinkan pengurusnya lebih dikenal daripada lembaga COREMAP lainnya. Hasil survei di kedua lokasi kajian memang menunjukkan kecenderungan bahwa pembentukan LPS-TK diketahui oleh lebih dari 70 persen responden, dan proporsi responden di Wakambangura (sekitar 78%) lebih tinggi daripada di Terapung (sekitar 68%)(Grafik 3.7). Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh lokasi permukiman penduduk Desa Wakambangura yang cenderung lebih mengelompok di sepanjang jalan raya, dibandingkan permukiman di Terapung yang relatif tersebar dan agak berjauhan

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 132

jarak satu rumah dengan lainnya. Penduduk di wakambangura juga relatif lebih homogen dibandingkan Terapung yang terdiri dari beberapa etnis (Buton, Bajo dan pendatang)

Grafik 3.7. Pengetahuan dan keterlibatan responden pada pembentukan LPS-TK dan lokasi

Sumber: Data Primer Survei BME Aspek Sosial Ekonomi, PPK-LIPI, 2008.

Demikian pula pusat kegiatan COREMAP di Wakambangura terletak di tengah permukiman penduduk, sementara kebanyakan penduduk di Desa Terapung tinggal agak terpisah dengan pondok informasi dan balai desa di Terapung. Meskipun mayoritas responden mengetahui pembentukan LPS-TK, hanya sekitar 44 persen yang terlibat dalam pembentukannya. Perbedaan kedua lokasi semakin mencolok dilihat dari keterlibatan responden dalam pembentukan LPS-TK, yaitu lebih dari separuh responden di Wakambangura (sekitar 56%), dan hanya 34% di Desa Terapung. Dalam keterbatasan SDM dan dana yang dimiliki, tampaknya kondisi permukiman dan homogenitas penduduk seperti Wakambangura juga berpengaruh terhadap efektivitas penyuluhan dan informasi yang dilakukan terhadap kelompok-kelompok masyarakat.

KASUS KABUPATEN BUTON 133

• Pengetahuan tentang kegiatan pelatihan UEP

Pembentukan Pokmas UEP di kedua lokasi kajian sudah cukup lama (sejak tahun 2006), namun kegiatan Pokmas ini relatif baru, karena pencairan dan penyaluran dana pinjaman tersebut baru berjalan beberapa bulan. Demikian pula jumlah anggota yang terlibat relatif kecil dibandingkan jumlah anggota yang diusulkan (terutama di Wakambangura). Namun anggota yang sudah terdaftar di ketiga Pokmas telah mendapat sosialisasi dan pelatihan untuk pemanfaatan pinjaman dana usaha tersebut. Pada umumnya program yang berkaitan dengan bantuan dana langsung ke masyarakat, informasinya relatif cepat sampai ke masyarakat. Hasil survei menunjukkan kecenderungan tersebut, karena lebih dari 60 persen responden mengetahui kegiatan pelatihan UEP, dan terdapat kecenderungan pola yang sama yaitu proporsi responden di Wakambangura sedikit lebih tinggi (sekitar 67%) dibandingkan Terapung (62%). Namun demikian seperti pada pembentukan LPS-TK, keterlibatan responden pada pelatihan UEP relative rendah (sekitar 30%), dan di Terapung proporsinya jauh lebih rendah (sekitar 17%) dari Wakambangura (sekitar 46%) (Grafik 3.8). Salah satu kemungkinan adalah banyak penerima kredit usaha di terapung yang tidak menjadi responden. Sebaliknya di Wakambangura, kemungkinan banyak responden adalah anggota Pokmas yang sudah mendapat pelatihan UEP, namun dana pinjaman belum diterima, karena belum sepenuhnya dana turun. Meskipun jumlah anggota Pokmas yang memperoleh kredit usaha di Terapung jauh lebih banyak daripada di Wakambangura, namun proporsi anggota Pokmas yang menjadi responden di Wakambangura (47%) lebih tinggi dari Terapung (39%).

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 134

Grafik 3.8. Pengetahuan dan keterlibatan responden pada kegiatan pelatihan UEP dan lokasi

Sumber: Data Primer Survei BME Aspek Sosial Ekonomi,

PPK-LIPI, 2008.

• Kegiatan pendampingan UEP

Dana UEP yang telah dialokasikan pada anggota Pokmas, dimaksudkan untuk membantu anggota dalam mengembangkan usahanya. Untuk setiap kelompok usaha memperoleh pendampingan dari LSM yang ditunjuk untuk kelompok tersebut. Kegiatan pendampingan ini dimaksudkan agar anggota Pokmas dapat mengelola dana lebih baik, sehingga pengembalian pinjaman dana lancar sesuai dengan kesepakatan kelompok. Seperti pengetahuan responden pada kegiatan-kegiatan COREMAP lainnya, 2 diantara 3 responden (sekitar 64%) menyatakan mengetahui tentang kegiatan pendampingan UEP. Perbedaan pengetahuan tentang kegiatan pendampingan UEP pada kedua lokasi kajian juga relatif kecil yaitu Terapung sekitar 62 persen dan Wakambangura sekitar 66 persen. Meskipun demikian, sejalan dengan terbatasnya jumlah responden yang telah menerima dana pinjaman di kedua lokasi, keterlibatan pada kegiatan pendampingan UEP relatif kecil yaitu hanya sekitar 32%. Akan tetapi seperti pada kegiatan COREMAP lainnya, keterlibatan responden pada kegiatan pendampingan UEP di

KASUS KABUPATEN BUTON 135

Wakambangura cukup mencolok dibandingkan Terapung (masing-masing 42 dan 24%) (Grafik 3.9

Grafik 3.9. Pengetahuan dan keterlibatan responden dalam kegiatan pendampingan UEP dan lokasi

Sumber: Data Primer Survei BME Aspek Sosial Ekonomi, PPK-

LIPI, 2008.

Hal ini menguatkan dugaan bahwa faktor proporsi responden/anggota Pokmas di Wakambangura yang lebih besar dari Terapung, cukup berpengaruh terhadap perbedaan tersebut. Hal ini disebabkan kegiatan pendampingan UEP hanya diberikan pada anggota Pokmas. Faktor lain kemungkinan responden yang mayoritas berpendidikan relatif rendah, kurang memahami perbedaan kegiatan pendampingan UEP dengan kegiatan-kegiatan COREMAP lainnya di lokasi binaan. Hasil survei terhadap 529 ART (berusia 10 tahun ke atas) dari 129 rumah tangga sampel, menunjukkan lebih dari 80 persen ART berpendidikan SD atau kurang. Kondisi ini memungkinkan kebanyakan responden kurang memahami perbedaan kegiatan COREMAP yang ada di masing-masing lokasi binaan.

• Perlindungan dan Pengawasan

Kegiatan COREMAP yang relatif lebih banyak dilakukan di lokasi binaan adalah perlindungan dan pengawasan. Kegiatan ini di bawah koordinasi Pokmas Konservasi yang pembentukannya di lokasi

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 136

binaan bersamaan dengan pembentukan LPS-TK, atau setahun lebih dulu dibandingkan kegiatan Pokmas lainnya. Salah satu kegiatan yang melibatkan masyarakat (terutama nelayan) adalah pembentukan zona DPL dan perlindungannya. Kegiatan ini relatif lebih besar gaungnya karena dilibatkannya masyarakat nelayan sebagai reef watcher atau dalam kelompok pengawasan terumbu karang (Pokwasmas). Kegiatan lainnya adalah kegiatan tim patroli yang melibatkan berbagai komponen masyarakat (kabupaten dan lokasi binaan), dan berhasil menangkap pelaku pengrusakan karang. Dengan berbagai kegiatan ini, disertai penyuluhan dan sosialisasi penyelamatan terumbu karang, dapat dipastikan lebih banyak masyarakat yang mengetahui kegiatan pengawasan terumbu karang. Hasil survei terhadap rumah tanga sampel menunjukkan kecenderungan tersebut, yaitu lebih dari 80 persen responden menyatakan mengetahui kegiatan pengawasan/perlindungan pesisir dan laut. Kedua lokasi juga menunjukkan kecenderungan yang sama, meskipun polanya tetap proporsi responden di Wakambangura (86%) lebih tinggi dari Terapung (81%), dengan perbedaan yang relatif tipis (Grafik 3.10). Namun demikian keterlibatan resonden dalam kegiatan perlindungan/pengawasan terumbu karang relatif rendah (sekitar separuhnya yaitu 40%). Perbedaan proporsi responden yang terlibat kegiatan pengawasan/perlindungan cukup signifikan yaitu di Terapung hanya sekitar 28 persen dari responden yang mengetahui kegiatan pengawasan, sementara di Wakambangura, lebih dari separuh responden yang mengetahuinya, juga terlibat pada kegiatan tersebut. Hal ini menguatkan dugaan, bahwa perbedaan tingkat homoginitas penduduk dan pola permukiman , cukup berpengaruh terhadap efektivitas penyebaran informasi dan sosialisasi kegiatan COREMAP di kedua lokasi binaan.

KASUS KABUPATEN BUTON 137

Grafik 3.10. Pengetahuan dan keterlibatan responden dalam kegiatan pendampingan UEP dan lokasi

Sumber: Data Primer Survei BME Aspek Sosial Ekonomi, PPK-LIPI, 2008.

3.2.3.Kecamatan Kadatua

Salah satu tolok ukur keberhasilan program COREMAP adalah pengetahun dan keterlibatan dalam kegiatan yang dilakukan program ini. Tabel di bawah inbi berisi kecenderungan yang terjadi responden di desa Wounu dan Kapoa di Pulau Kadatuan yang menjadi lokasi binaan program COREMAP. Ada 6 (enam) kegiatan COREMAP, yakni perlindungan/pengawasdan pesisir dan laut, pelestarian terumbu karang, pembentukan LPSTK, pelatihan usaha ekonomi produktip, penyusunan rencana dan pemanfaatan pelstarian termbu karang.

Tabel di atas memperlihatkan sebagian besar responden di Desa Wounu dan Kapoa di Kecamatan Kadatua mengetahui adanya kegiatan COREMAP di lokasi. Kegiatan COREMAP seperti perlindungan/pengawasan pesisir, pelestartian terumbu karang, pembentukan LPSTK, pelatihan usaha ekonomi produktip, dan penyusunan rencana pemanfaatan pelestarian terumbu karang, diketahui oleh responden di kedua desa. Namun demikian, ketika diajukan pertanyaan apakah terlibat dalam kegiatan COREMAP yang sudah diketahui itu, terlihat sedikit jumlah responden yang mengaku terliba dalam kegiatan COREMAP. Hal ini menggambarkan program

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 138

COREMAP belum bisa mengundang partisipasi warga masyarakat dalam kegitan, baik yang bersifat langsung tauoub tidak, yang berhubungan dengan tujuan utama COREMAP.

Grafik 3.1 memperlihatkan sebagian besar responden di Desa Wounu dan Kapoa di Kecamatan Kadatua mengetahui adanya kegiatan COREMAP di lokasi. Kegiatan COREMAP seperti perlindungan/pengawasan pesisir, pelestartian terumbu karang, pembentukan LPSTK, pelatihan usaha ekonomi produktip, dan penyusunan rencana pemanfaatan pelestarian terumbu karang, diketahui oleh responden di kedua desa. Namun demikian, ketika diajukan pertanyaan apakah terlibat dalam kegiatan COREMAP yang sudah diketahui itu, terlihat sedikit jumlah responden yang mengaku terliba dalam kegiatan COREMAP. Hal ini menggambarkan program COREMAP belum bisa mengundang partisipasi warga masyarakat dalam kegitan, baik yang bersifat langsung maupun tidak di kedua desa binaan COREMAP.

KASUS KABUPATEN BUTON 139

Grafik 3.1. Pengetahuan Dan Keterlibatan Dalam Kegiatan Coremap di Lokasi Penelitian, Pulau Kadatua

Sebagian besar warga masyarakat hanya mendengar dan mengetahui kegiatan COREMAP. Sedikitnya responden yang terlibat dalam kegiatan COREMAP, menurut pengakuan responden karena bukan warga yang dipilih atau ditunjuk dalam pengelolaaan COREMAP di

01 02 03 04 05 06 07 08 09 0

1 0 0

%

TahuTerlibat

Des a W aonu

Pen in g katan Pen g etah uan dan Kes ad aran Peles tarian T. KarangPerlin d un gan /Pen gawas an Pes is ir d an Lau tPemb en tu kan LPSTKPelatihan UEPPen d amp ing an UEPPen y us un an Rencan a Peman faatan dan Peles tarian T. Karang

0102030405060708090

100

%

TahuTerlibat

De sa Kapoa

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 140

desanya. Itu alasan sebagian besar responden. Jadi, persepsi responden bahwa mereka yang terlibat hanya warga desa yang menjadi motivator desa, pengurus LPTSK, dan sejenisnya. Selain itu, sedikitnya warga yang terlibat dalam kegiatan COREMAP memang kegiatan yang terkait dengan kebutuhan ekonomi kerakyatan yang dikembangkan COREMAP, seperti dana bergulir, di kedua desa ini terbatas dan belum menjangkau secara meluas. Karena itu, responden mengetahui adanya kegiatan COREMAP dari informasi yang diberikan oleh petugas atau fasilitator COREMAP yang bertugas di desa ini, dan sebaliknya sedikit sekali responden yang mengetahui kegiatan COREMAP dari aparatur desa (Grafik 3.2) Hal ini terlihat pula untk keterlibatan kelompok masyarakat, baik Pokmas Konservasi, Pokmas Usaha Ekonomi Prodktip dan Pokmas Jender sebagai mana terlihat pada tabel di bawah ini.

Grafik 3.2. Keterlibatan Responden dalam Pokmas COREMAP

Sumber: Data Primer Survei BME Aspek Sosial Ekonomi, PPK-LIPI, 2008.

Pengetahuan dan keterlibatan responden dalam kegiatan UEP di lokasi binaan Kecamatan Kadatua tampaknya tidak jauh berbeda dengan kecenderungan yang terjadi pada kegiatan COREMAP lainnya. Keterlibatan responden berkenaan dengan kegiatan ekonomi COREMAP sangat kecil walaupun sebagian besar responden sudah mengetahui adanya kegiatan tersebut. Kegiatan ekonomi yang dikembangkan COREMAP, seperti dana bergulit/kredit, pemilihan jenis usaha yang tidak merusak terumbu karang (matapencaharian

8 0 ,4

1 7 ,1

7 2 ,5

1 6 ,2

7 4 ,5

5 ,30

1 02 03 04 05 06 07 08 09 0

Pokmas Konservasi

Pokms UEP

Pokmas Jender

D e s a W a o n u

T a h u T e r lib a t

1 0 0

8 , 9

1 0 0

3 , 6

9 8 , 2

1 , 80

1 02 03 04 05 06 07 08 09 0

1 0 0

Pokmas Konservasi

Pokms UEP

Pokmas Jender

D e s a K a p o a

T a hu T e r lib a t

KASUS KABUPATEN BUTON 141

aklternatip), dan kegiatan ketrampilan dan pelatihan di kedua desa lokasi penelitian di Pulau Kadatua tampaknya tidak jauh berbeda. Grafik 3.3.di bawah ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengetahui adanya kegiatan UEP- COREMAP, namun responden yang mengaku terlibat sangat kecil walaupun sebagian kecil responden mengatakan bahwa kegiatan itu bermanfaat bagi dirinya. Kecenderungan seperti ini, di satu sisi memperlihatkan keberhasilkan public campaign dari program COREMAP, akan tetapi di sisi lain COREMAP telah gagal menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dalam menjalankan atau impelementasi program-kegiatan COREMAP. COREMAP tampaknya lebih memperhatikan atau lebib berkonsentrasi pada kegiatan penyusunan desain kegiatan, strategi dan kelembagaan supra-komunitas masyarakat sasaran program COREMAP, sementara masyarakat sebagai target dan sebagai stakeholder utama program COREMAP kurang mendapat perhatian.

Grafik 3.3. Pengetahuan dan Keterlibatan Responden Dalam Kegiatan Ekonomi COREMAP

Sumber: Data Primer Survei BME Aspek Sosial Ekonomi, PPK-LIPI, 2008.

2

30,4

0 0 0 00

5

10

15

20

25

30

35

TahuTerlibat

Bermanfaat

Pelatihan dan Bimbingan Ketrampilan

Wauno Kapoa

100 98,2

7,8 5,5

100 98,2

0

20

40

60

80

100

TahuTerlibat

Bermanfaat

Pemilihan Jenis Usaha Yang Tidak Merusak Terumbu Karang

Wauno Kapoa

96,1 98,2

8,3 3,6

100

50

0

20

40

60

80

100

TahuTerlibat

Bermanfaat

Dana Bergulir/Kredit

Wauno Kapoa

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 142

Grafik 3.4. Sumber Informasi Pemilihan Jenis Usaha

Sumber: Data Primer Survei BME Aspek Sosial Ekonomi, PPK-LIPI, 2008.

Rendahnya keterlibatan responden di desa-binaan COREMAP juga berhubungan dengan tidak adanya kegiatan COREMAP di desa itu. Jadi, daftar pertanyaan yang disusun kemudian dicocok dengan fakta yang ada menunjukkan tidak ada kegiatan COREMAP yang dilaksanakan di desa ini. Fakta tersebut pada dasarnya menunjukkan program kegiatan ekonomi COREMAP belum merata dilaksanakan di setiap desa binaan COREMAP, dan dengan demikian setiap warga desa tidak dapat berpartisipasi atau menjadi target sasaran kegiatan program COREMAP. Karena itu, Grafik 3.5 di bawah ini semakin memperjelas rendahnya keterlibatan responden dalam kegiatan UEPi COREMAP sekalipun sebagian besar responden mengetahui jika ada kegiatan COREMAP di desanya.

KASUS KABUPATEN BUTON 143

Grafik 3.5. Pengetahuan dan Keterlibatan Responden dalam Kegiatan UEP COREMAP

Sumber: Data Primer Survei BME Aspek Sosial Ekonomi, PPK-LIPI, 2008.

Dari uraian di atas jelas bahwa secara kognisi, kegiatan COREMAP sudah tidak asing bagi setiap warga desa binaan COREMAP. Informasi program COREMAP telah diterima warga desa binaan. Namun, keterlibatan warga desa dalam kegiatan COREMAP sangat minimal. Warga desa belum merasakan dan masih berkeinginan untuk terlibat dalam kegiatan COREMAP. Hal ini dapat dilihat dari penilaian responden tentang situasi ekonomi sekarang dan sebelum COREMAP (Grafik 3.5). Sebagian besar responden menyatakan bahwa kondisi ekonomi desa sekarang lebih baik daripada sebelumnya, tetapi responden tidak tahu apakah perubahan kondisi ekonomi tersebut disebabkan oleh adanya program COREMAP. Hal ini berarti sekalipun responden yang terlibat dalam kegiatan COREMAP sangat terbatas, tetapi responden sangat mengharapkan program COREMAP tetap dilanjutkan dan dapat membawa perubahan di desanya. Dengan demikian, selama tiga tahun ini COREMAP baru sampai pada tahap memberi harapan baru bagi masyarakat dan belum sampai pada tahap yang mengecewakan publik. Tampaknya program COREMAP mempunyai prospek untuk dapat diterima masyarakat di kemudian hari.

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 144

Grafik 3.6.

Sumber: Data Primer Survei BME Aspek Sosial Ekonomi, PPK-LIPI, 2008.

 

BAB IV

PENDAPATAN PENDUDUK DAN PERUBAHANNYA (T0 dan T1)

Pendapatan merupakan upah atau penghasilan yang diperoleh seseorang dari kegiatan ekonomi yang dilakukannya. Pendapatan merupakan salah satu aspek penting dalam menggambarkan tingkat kesejahteraan seseorang/keluarga. Pendapatan rumah tangga adalah total pendapatan dari semua anggota rumah tangga yang bekerja, baik dari pekerjaan utama maupun pekerjaan tambahan. Pada bagian ini akan dikemukakan perubahan pendapatan penduduk/rumah tangga di kedua lokasi penelitian yaitu Kecamatan Kadatua dan Mawasangka selama dua tahun terakhir, (2006 – 2008). Data yang digunakan adalah hasil survei tentang pendapatan rumah tangga di lokasi kajian. Dalam survei ini, pendapatan rumah tangga adalah pendapatan bersih (perbulan) yang diperoleh setelah dikurangi biaya produksi. Suvei dilakukan semaksimal mungkin pada rumah tangga sampel yang sama dengan survei pada tahun 2006.

Gambaran perubahan jumlah pendapatan rumah tangga di daerah penelitian dalam dua tahun ini diperlukan untuk mengetahui dampak kegiatan COREMAP terhadap pendapatan penduduk, terutama yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi produktif. Perubahan tersebut dapat menjadi indikator keberhasilan COREMAP di kedua lokasi kajian.

4.1. PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN KABUPATEN BUTON

Kondisi perekonomian suatu wilayah dapat dilihat dari nilai Produk Domestik Bruto (PDRB) yang bersumber dari berbagai sektor ekonomi. Besarnya nilai PDRB dapat dilihat menggunakan pendekatan harga konstan dan harga berlaku. Dalam pendekatan harga konstan yang menggunakan tahun dasar, pengaruh kenaikan

KASUS KABUPATEN BUTON 145

 

harga (inflasi) sudah dihilangkan sehingga perkembangan ekonomi mencerminkan kenaikan atau penurunan pendapatan riil.

Selama periode 2004-2006, besarnya nilai PDRB, baik menurut harga berlaku maupun harga konstan menunjukkan bahwa perekonomian Kabupaten Buton mengalami peningkatan. Menurut harga berlaku, PDRB Kabupaten Buton mengalami peningkatan dari Rp. 840.597 juta (2004) menjadi Rp. 1.168.030 juta (2006), atau mengalami peningkatan sebesar 17,9 persen. Demikian pula menurut harga konstan, nilai PDRB mengalami peningkatan riil sebesar dari Rp. (2004) menjadi Rp. 669.878 juta (2006), (BPS, Kabupaten Buton, 2006). Kondisi ini menunjukkan adanya perbaikan perekonomian makro di Kabupaten Buton. Pada periode sebelumnya (2000-2004) nilai PDRB Kabupaten Buton masih menunjukkan kecenderungan penurunan, terutama dilihat dari harga konstan 2000 (Nagib dkk, 2006). Dibandingkan daerah lain di wilayah Sulawesi Tenggara, perbaikan ekonomi di Kabupaten Buton agak tersendat, karena daerah lain seperti Kabupaten Muna, Kendari (Kota danKabupaten) dan Kabupaten Kolaka menunjukkan kecenderungan meningkat dilihat dari harga berlaku dan harga konstan 2000 (BPS, 2005). Kenaikan harga sejak krisis ekonomi 1997 serta kenaikan harga BBM dan kebutuhan pokok lainnya, telah berdampak pada perekonomian baik ditingkat nasional maupun daerah.

Tabel 4.1. Struktur PDRB Kabupaten Buton Menurut Harga Berlaku Tahun 2004 dan 2006

No Sektor ekonomi 2004 2006

1. Pertanian 47.15 49.27 2. Pertambangan dan Penggalian 1.61 2.53 3. Industri Pengolahan 6.07 4.65 4. Listrik dan Air 0.62 0.44 5. Bangunan 5.91 5.26 6. Perdagangan, hotel dan restoran 14.19 14.61 7. Angkutan dan Komunikasi 2.74 2.41 8. Keuangan 3.35 5.13 9. Jasa 18.36 15.72

PDRB 100 100 Sumber: BPS, Kabupaten Buton 2004 dan 2006

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 146

 

Struktur perekonomian menunjukkan besarnya nilai tambah sektor-sektor ekonomi terhadap pembentukan PDRB dan sekaligus menggambarkan ketergantungan suatu daerah terhadap sektor ekonomi. Data pada tabel 4.1, menunjukkan sektor pertanian masih dominan terhadap PDRB Kabupaten Buton, diikuti sektor perdagangan dan jasa. Pada tahun 2006, sumbangan sektor pertanian hampir mencapai 50 persen (49,27 persen), diikuti sektor perdagangan 14,61 persen dan sektor jasa sebesar 15,72 persen. Sektor lainnya memberi sumbangan relatif kecil yaitu dibawah 10 persen. Sumbangan terkecil berasal dari sektor listrik dan air sebesar 0,44 persen. Selain dominasi sektor pertanian terhadap PDRB, pentingnya sektor pertanian dalam perekonomian Kabupaten Buton juga dapat diketahui dari peningkatan kontribusi sektor ini selama periode 2004-2006, yaitu meningkat dari 47,15 persen menjadi 49,27 persen. Sektor lainnya yang mengalami peningkatan adalah sektor pertambangan dari 1,61 persen menjadi 2,53 persen, sektor perdagangan meningkat dari 14,19 persen menjadi 14,61 persen dan sektor keuangan yang mengalami peningkatan dari 3,15 menjadi 5,13 persen. Sektor lainnya mengalami penurunan selama periode 2004-2006.

Perkembangan ekonomi makro idealnya diikuti oleh peningkatan pendapatan perkapita, yang mencerminkan adanya peningkatan kesejahteraan penduduk. Selama periode 2004-2006 perekonomian Kabupaten Buton mengalami pertumbuhan sebesar 17,9 persen (harga berlaku). Pertumbuhan ekonomi tersebut diikuti oleh pertumbuhan pendapatan perkapita atau PDRB Perkapita sebesar 15,2 persen, yaitu dari Rp. 3.232.756 (2004) menjadi Rp. 4.294.654 (2006). Hal ini mencerminkan adanya perkembangan perekonomian di Kabupaten Buton, baik secara makro maupun secara perkapita. Namun pertumbuhan pendapatan perkapita lebih lambat dari pertumbuhan ekonomi makro. Kondisi ini mencerminkan perkembangan ekonomi makro kurang diikuti oleh peningkatan kesejahteraan penduduk. Namun demikian, apabila dibandingkan dengan pendapatan perkapita perbulan yang dikategorikan sebagai penduduk miskin pada tahun 2006, sebesar Rp. 151.941 (BPS, 2007), maka pendapatan perkapita

KASUS KABUPATEN BUTON 147

 

penduduk jauh lebih besar, yaitu Rp357.888 (Rp. 4.294.654 dibagi 12). Data ini mencerminkan bahwa penduduk Kabupaten Buton jauh berada diatas garis kemiskinan.

Mayoritas penduduk Kabupaten Buton bekerja di sektor pertanian (dalam arti luas) mencakup sub sektor pertanian pangan, kehutanan, perkebunan dan perikanan. Subsektor perikanan mempunyai peranan yang sangat penting bagi perekonomian penduduk di Kabupaten Buton. Wilayah Kabupaten Buton (82 persen) terdiri dari lautan, dengan potensi utama wilayah ini adalah sumber daya laut (SDL) menjadi sumber mata pencaharian bagi sebagian besar penduduk. Namun berdasarkan data yang tersedia, sumbangan sektor perikanan terhadap PDRB sekitar 7%, jauh lebih rendah dari pertanian pangan (16%) (BPS, 2001). Kemungkinan sebagai akibat potensi besar SDL belum dikelola secara maksimal di wilayah ini (baru sekitar 40-60%), atau laporan data tentang perikanan yang kurang akurat. Pelelangan ikan terbuka hampir tidak pernah dilakukan, sedangkan jumlah tempat pelelangan ikan (TPI) yang sangat terbatas di wilayah ini (hanya 2 buah), semakin menyulitkan perhitungan hasil produksi ikan yang sebenarnya di masing-masing wilayah. Perhitungan hasil produksi SDL selama ini dilakukan melalui perkiraan sampel dari beberapa alat tangkap. Menyadari potensi SDL yang belum dikelola secara optimal, pengembangan sumber daya laut menjadi salah satu dari tiga fokus utama pembangunan ekonomi ke depan.

4.2. PERUBAHAN PENDAPATAN PENDUDUK DI KECAMATAN MAWASANGKA TAHUN 2006-2008 ( (T0 DAN T1)

4.2.1. Pendapatan Penduduk

Kedua desa penelitian di Kecamatan Mawasangka yaitu Desa Terapung dan Desa Wakambangura merupakan desa pantai yang terletak di daerah pesisir barat Pulau Muna. Sebagai daerah yang berada dipinggir pantai, mayoritas penduduknya terlibat dalam kegiatan ekonomi yang berkaitan sektor kelautan. Pekerjaan penduduk Kecamatan Mawasangka yang berkaitan dengan kelautan adalah pada perikanan tangkap (nelayan) dan budi daya rumput laut.

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 148

 

Kedua jenis pekerjaan ini menjadi sumber utama pendapatan bagi mayoritas penduduk Mawasangka. Kecamatan Mawasangka merupakan salah satu penghasil rumput laut terbesar di Kabupaten Buton. Hasil dari budi daya rumput laut dari daerah ini sudah dipasarka sampai keluar negeri. Begitu juga hasil utama perikanan tangkap Mawasangka, yaitu ikan teri sudah menjadi komoditi ekspor ke Cina dan Jerman, selain mengisi permintaan dari dalam negeri, seperti Medan, Surabaya dan Jakarta. Pekerjaan lainnya yang secara tidak langsung berkaitan dengan kelautan adalah pedagang ikan, baik yang berskala kecil yang disebut ’papa lele’ maupun pedagang pengumpul ikan atau rumput laut. Pekerjaan lain diluar sektor perikanan laut dan budi daya rumput laut yang menjadi sumber pendapatan penduduk adalah pertanian tanaman pangan dan tanaman keras (mete), perdagangan, industri dan jasa. Bervariasinya pekerjaan penduduk dipengaruhi antara lain oleh fluktuasi musim dalam perikanan laut, potensi SDA, peralatan tangkap yang digunakan, kesempatan kerja yang tersedia serta kebutuhan untuk mencukupi ekonomi keluarga.

Table 4.1 menyajikan data statistik pendapatan rumah tangga terpilih di Kecamatan Mawasangka pada tahun 2006 dan 2008. Pada tahun 2006, pendapatan per kapita rumah tangga terpilih adalah sebesar Rp. 286.286. Jumlah pendapatan jauh ini lebih besar dibandingkan dengan pendapatan perkapita yang dikategorikan sebagai penduduk miskin di Kabupaten Buton tahun 2005/2006 sebesar Rp. 151.941 (BPS, 2007). Selama periode 2006-2008, terjadi peningkatan pendapatan perkapita dan pendapatan rata-rata rumah tangga terpilih. Pendapatan perkapita meningkat sebesar Rp. 62.973 atau sekitar 10,5 persen, dari Rp. 286.286 pada tahun 2006 menjadi Rp. 349.259 pada tahun 2008. Peningkatan ini disebabkan adanya peningkatan pendapatan rata-rata rumah tangga, sebesar Rp. 128.086 atau meningkat sekitar 4,4 persen, dari Rp. 1.440.522 menjadi Rp. 1.568.608. Kenaikan rata-rata pendapatan rumah tangga lebih kecil atau kurang dari setengah jika dibandingkan dengan peningkatan rata-rata pendapatan perkapita rumah tangga, yang mencerminkan adanya

KASUS KABUPATEN BUTON 149

 

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 150

penurunan rata-rata jumlah anggota rumah tangga terpilih di Kecamatan Mawasangka.

Penangkatan rata-rata pendapatan rumah tangga diikuti oleh peningkatan angka median pendapatan. Selama periode 2006-2008 terjadi peningkatan angka median sebesar Rp. 332.500 atau sekitar 27,4 persen. Pada tahun 2006, lebih dari separuh rumah tangga terpilih mempunyai pendapatan sekitar Rp. 534.167, kemudian naik menjadi Rp. 866.667 pada tahun 2008. Namun dibandingkan dengan rata-rata pendapatan rumah tangga pendapatan median ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata pendapatan rumah tangga, baik pada tahun 2006 maupun 2008. Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari separoh rumah tangga mempunyai pendapatan di bawah rata-rata pendapatan dan sekaligus mencerminkan adanya kesenjangan tingkat pendapatan penduduk, antara proporsi penduduk yang berpendapatan tinggi dan berpendapatan rendah, meskipun kesenjangannya cenderung semakin kecil. Kemudian selama periode 2006-2008 terjadi peningkatan jumlah pendapatan minimum dan maksimum, dari Rp. 6.667 menjadi Rp. 26.250, dan peningkatan pendapatan maksimum dari Rp. 7.100.000 menjadi Rp. 8.074.230. Data-data diatas menunjukkan bahwa secara umum tingkat pendapatan penduduk pada tahun 2008 lebih baik dibandingkan kondisi tahun 2006 dan sekaligus menunjukkan tingkat kesejahteraan penduduk di Kecamatan Mawasangka pada tahun 2008 relatif lebih baik dibandingkan kondisi pada tahun 2006.

 

Tabel 4.2. Statistik Pendapatan Rumah Tangga di Kecamatan Mawasangka, Kabupaten Buton Tahun 2006 dan 2008 (Rupiah)

Desa Terapung Desa Wakambangura Total Pendapatan rumah tangga (per bulan)

2006 2008 r 2006 2008 r 2006 2008 r

Per kapita 390.687 464.433 9,0 132.295 194.298 21,2 286.286 349.259 10,5 Rata-rata RT

1.924.404 2.079.014 3,9 726.795 881.880 10,2 1.440.522 1.568.608 4,4

Median 1.133.125 1.186.250 2,3 312.500 454.167 20,5 534.167 866.667 27,4 Minimum 6667 51.667 12.000 26.250 6.667 26.250 Maksimum 7.100.000 8.074.230 4.133.333 7.900.000 7.100.000 8.074.230 Jumlah (N) 59*) 74 40 55 99 129

Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, PPK-LIPI, 2006 Data Primer, Survei BME, Aspek Sosial Ekonomi, PPK-LIPI, 2008

KASUS KABUPATEN BUTON 151

 

Selanjutnya pada masing-masing desa penelitian diketahui bahwa rata-rata pendapatan rumah tangga dan pendapatan perkapita di Desa Terapung lebih besar dibandingkan Desa Wakambangura, baik pada tahun 2006 maupun tahun 2008. Jumlah rata-rata pendapatan rumah tangga dan pendapatan per kapita di Desa Terapung mencapai hampir tiga kali lipat dibandingkan rata-rata pendapatan penduduk Desa Wakambangura (Tabel 4.2). Berdasarkan kajian sebelumnya, ketimpangan pendapatan ini antara lain disebabkan Desa Terapung mempunyai sumber daya laut yang lebih bervariasi (teri, ikan karang, kepiting dan lain-lain), dan beberapa jenis ikan mempunyai nilai ekonomi tinggi di pasaran, sehingga jaringan pasar lebih luas, baik lokal, maupun ke luar daerah. Sedangkan jenis ikan di Desa Wakambangura umumnya untuk pasaran lokal (cakalang, ikan tuna, ikan karang mati), kecuali ikan karang hidup yang mempunyai nilai ekonomi tinggi karena sebagai komoditi ekspor. Disamping itu, kedua desa mempunyai keterbatasan kesuburan tanah di pantai, yaitu hanya cocok untuk kelapa, tapi Desa Terapung mempunyai lahan darat yang lebih subur (tanah perbukitan) dibandingkan Desa Wakambangura (tanah berbatuan) sehingga produktivitas hasil produksi tanaman palawija, seperti jagung dan ubi kayu jauh lebih tinggi dibandingkan hasil produksi komoditi yang sama di Desa Wakambangura. Berdasarkan data Kecamatan Mawasangka Dalam Angka Tahun 2004, Luas tanaman jagung di Desa Terapung lebih kecil daripada Desa Wakambangura (90 dan 78 Ha), namun produktivitas jagung di Terapung jauh lebih tinggi daripada di Wakambangura (3,3 dan 13,2 Kw/Ha). Demikian pula untuk hasil produksi tanaman lainnya.(ubi kayu dan ubi jalar) (BPS Kab. Buton, 2005: 91-93)

Selanjutnya lapangan pekerjaan yang menonjol di kedua desa berbeda, yaitu perikanan tangkap dengan hasil utama ikan teri dan kepiting di Desa Terapung, sedang di Desa Wakambangura adalah budi daya rumput laut disamping perikanan tangkap. Nelayan di Desa Terapung pada umumnya tidak terlalu terpengaruh oleh fluktuasi musim, karena sebagian nelayan mempunyai alat tangkap yang bervariasi yaitu bagan dan jaring untuk menangkap ikan teri di musim gelombang lemah (angin timur) dan bubu dan pancing untuk

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 152

 

menangkap kepiting di musim barat dan pancaroba. Bahkan bubu untuk menangkap kepiting, dapat menjadi pekerjaan sambilan bersamaan dengan penggunaan bagan untuk penangkapan ikan teri. Sedangkan nelayan di Desa Wakambangura, hanya pergi menangkap ikan ke laut pada musim gelombang lemah, baik untuk menangkap ikan cakalang maupun ikan karang. Pada musim gelombang kuat (angin barat), banyak nelayan yang beralih usaha ke budi daya rumput laut, atau pergi merantau bagi nelayan yang tidak mempunyai usaha lain di desa. Usaha budi daya laut ini menjadi andalan nelayan di hampir semua wilayah Kecamatan Mawasangka, sebagai usaha alternatif terutama di musim susah menangkap ikan (musim angin barat/gelombang kuat).

Berdasarkan kenaikan pendapatan perkapita dan rata-rata pendapatan rumah tangga selama periode 2006-2008. Kenaikan atau pertumbuhan pendapatan di Desa Wakambangura lebih besar dibandingkan Desa Terapung. Pendapatan perkapita di Desa Wakambangura meningkat sebesar 21,2 persen, dari Rp. 132.295 (2006) menjadi Rp. 194.298 (2008), sementara di Desa Terapung pendapatan perkapita meningkat sebesar 9 persen, dari Rp. 390.687 menjadi Rp. 464.433. Rata-rata pendapatan rumah tangga di Desa Wakambangura meningkat sebesar 10,2 persen lebih besar dibandingkan di Desa Terapung sebesar 3,9 persen. Begitu juga pendapatan median di Desa Wakambangura meningkat sebesar 20,5 persen, lebih besar dibandingkan di Desa Terapung sebesar 2,3 persen. Data diatas mencerminkan bahwa perkembangan pendapatan rumah tangga di Desa Wakambangura lebih cepat dibandingkan di Desa Terapung. Namun pada kedua desa masih terdapat kesenjangan pendapatan antara proporsi rumah tangga yang berpendapatan tertinggi dan terendah.

Berdasarkan distribusi pendapatan rumah tangga, selama periode 2006-2008 terjadi penurunan proporsi rumah tangga yang berpendapatan pada kelompok paling rendah dan adanya peningkatan proporsi rumah tangga pada kelompok pendapatan yang lebih tinggi. Pada tahun 2006, hampir separuh rumah tangga terpilih atau sekitar 49 persen mempunyai pendapatan paling rendah (kurang dari Rp. 500.000) kemudian pada tahun 2008 jumlahnya mengalami

KASUS KABUPATEN BUTON 153

 

penurunan menjadi 36 persen (tabel 4.2). Selanjutnya proporsi rumah tangga yang memiliki pendapatan lebih besar (Rp. 500.000-Rp. 999.000) meningkat dari 11 persen menjadi 19 persen, begitu juga untuk kelompok pendapatan Rp. 1.000.000 – Rp. 1.499.999, meningkat dari 6 persen menjadi 12 persen dan kelompok pendapatan Rp. 1.500.000 – Rp. 1.999.999 meningkat dari 4 persen menjadi 11 persen. Selanjutnya untuk kelompok pendapatan yang paling besar, terjadi penurunan proporsi rumah tangga pada kelompok tersebut. Data diatas mencerminkan bahwa adanya peningkatan proporsi rumah tangga yang berpendapatan lebih tinggi. Kondisi ini sangat menonjol terjadi di Desa Terapung. Selama periode 2006-2008, terjadi peningkatan yang signifikan proporsi rumah tangga yang berpendapatan lebih tinggi dan sebagian besar (80%) rumah tangga pada tahun 2008 terdistribusi pada kelompok pendapatan lebih tinggi. Sementara di Desa Wakambangura mayoritas rumah tangga masih berada pada pendapatan terendah (kurang dari Rp. 500.000), yaitu 73 persen (2006) menjadi 58 persen (2008) sehingga sedikit rumah tangga yang terdistribusi pada pendapatan yang lebih tinggi (Tabel 4.3).

Di Desa Terapung dalam dua tahun terakhir semakin banyak nelayan yang menggunakan bubu kepiting. Mereka adalah nelayan bagan yang sementara beralih ke alat tangkap bubu. Jenis bubu yang digunakan adalah bubu kawat yang dapat menangkap kepiting lebih banyak karena lebih rapat ke dasar laut dibandingkan bubu bambu. Penggunaan bagan cenderung semakin berkurang. Berdasarkan informasi dari Kepala Desa, jumlah bagan berkurang dari 13 buah dan menjadi 9 buah. Mahalnya biaya perbaikan bagan, seperti biaya perbaikan bodi kapal dan penggantian jaring menyebabkan sebagian nelayan menghentikan penggunaan bagan dan beraluh ke bubu. Pada saat masuk Doc (Musim Barat) biaya perbaikan bagan berkisar antara Rp. 1 juta sampai Rp. 4 juta. Selain mengganti alat tangkap, pada musim Barat sebagian nelayan pergi merantau ke Irian menjadi nelayan di sana.

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 154

 

Tabel 4.3. Distribusi Rumah Tangga Menurut Kelompok Pendapatan Rumah Tangga di Kecamatan Mawasangka, Kabupaten Buton Tahun 2006 dan 2008 (Persen)

Desa Terapung Desa Wakambangura Total Pendapatan

2006 2008 2006 2008 2006 2008 <Rp 500.000 34 20 73 58 49 36 Rp 500.000 - Rp 999.000 15 24 5 13 11 19 Rp 1.000.000 – Rp 1.499.000 7 14 5 9 6 12 Rp 1.500.000 – Rp 1.999.000 3 10 5 13 4 11 Rp 2.000.000 – Rp 2.499.000 5 4 5 0 5 2 Rp 2.500.000 – Rp 2.999.000 5 3 0 4 3 3 Rp 3.000.000 – Rp 3.499.000 5 1 5 0 5 0.8 Rp 3.500.000 /lebih 25 24 3 4 17 16

Total 100 (n=59)

100(n=74)

100(n=40)

100(n=55)

100 (n= 99)

100 (n=129)

Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, PPK-LIPI, 2006 Data Primer, Survei BME, Aspek Sosial Ekonomi, PPK-LIPI, 2008

Pendapatan menurut lapangan pekerjaan

Wilayah Kecamatan Mawasangka yang merupakan wilayah pesisir dengan potensi sumber daya laut yang sangat besar mempengaruhi kegiatan ekonomi masyarakat. Pekerjaan yang berhubungan dengan laut, seperti perikanan tangkap dan budi daya rumput laut adalah pekerjaan mayoritas penduduk di kedua desa penelitian. Pekerjaan yang secara tidak langsung berkaitan dengan kelautan adalah pedagang ikan, baik yang berskala kecil yang disebut ’papa lele’ maupun pedagang pengumpul ikan atau rumput laut. Pekerjaan lain diluar sektor perikanan laut dan budi daya rumput laut yang menjadi sumber pendapatan penduduk adalah pertanian tanaman pangan dan tanaman keras (mete), perdagangan, industri dan jasa. Bervariasinya pekerjaan penduduk dipengaruhi antara lain oleh fluktuasi musim dalam perikanan laut, potensi SDA, peralatan tangkap yang digunakan, kesempatan kerja yang tersedia serta kebutuhan untuk mencukupi ekonomi keluarga.

Sektor perikanan merupakan lapangan pekerjaan utama yang menghasilkan pendapatan bagi penduduk di Kecamatan Mawasangka.

KASUS KABUPATEN BUTON 155

 

Jenis ikan yang menjadi hasil tangkapan nelayan adalah ikan teri, ikan karang, ikan cakalang, tuna, kepiting dan lain-lain. Ikan teri dan kepiting merupakan hasil tangkapan utama nelayan di Desa Terapung. Ikan teri sudah mempunyai pasar yang cukup bagus, yaitu ke Jakarta, Surabaya dan Medan, bahkan sebagian sudah diekspor keluar negeri. Ikan karang, ikan tongkol, tuna dan cakalang merupakan hasil tangkapan utama nelayan di Desa Wakambangura. Sebagian besar masih memenuhi pasaran lokal dan pasar setempat, hanya sebagian kecil ikan karang hidup yang diekspor melalui pedagang pengumpul. Berdasarkan hasil survei, selama periode 2006-2008, rata-rata pendapatan rumah tangga dari sektor perikanan mengalami penurunan sebesar Rp. 254.971 atau sekitar 5,2 persen, dari dari Rp. 2.479.877 menjadi Rp. 2.224.906 atau turun sekitar 5,2 persen (Tabel 4.3). Penurunan tersebut disebabkan adanya penurunan hasil tangkapan ikan oleh nelayan, terutama nelayan pancing. Meskipun sudah banyak berkurang, namun penangkapan ikan menggunakan bius dan bom masih dilakukan oleh sebagian nelayan secara sembunyi-sembunyi dan hal ini berpengaruh pada hasil tangkapan nelayan. Selain berdampak pada semakin berkurangnya hasil tangkapan ikan nelayan, penggunaan bius juga berdampak pada usaha budi daya rumput laut. Arus air laut yang membawa obat bius ke kawasan budi daya rumput laut dapat merusak tanaman rumput laut.

Budi daya rumput laut banyak dilakukan oleh nelayan di Desa Wakambangura dan sebagian nelayan di Desa Terapung, yaitu di Dusun Air Wajo. Pekerjaan budi daya rumput laut sangat erat kaitannya dengan kelautan sehingga sebagian besar nelayan budi daya rumput laut juga merangkap sebagai nelayan tangkap. Selama periode 2006-2008, pendapatan penduduk dari budi daya rumput laut mengalami penurunan sebesar Rp. 242.029 atau turun sekitar 14,2 persen, dari Rp. 919.585 menjadi Rp. 677.556 (table 4.3). Penurunan pendapatan dari budi daya rumput laut disebabkan belum optimalnya pendapatan yang diterima dari rumput laut. Penanaman bibit rumput laut dilakukan pada Musim Barat sehingga pada saat penelitian rumput laut masih dalam tahap penanaman bibit. Panen rumput laut dilakukan pada bulan November (panen puncak). Rumput laut

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 156

 

KASUS KABUPATEN BUTON 157

merupakan komoditi ekspor dimana tingkat harga ditentukan oleh eksportir Surabaya. Berdasarkan prediksi harga rumput laut pada tahun 2008 mengalami kenaikan dibandingkan pada tahun sebelumnya. Pada tingkat petani Rp. 8.000/kg, Pengumpul Bao-Bao Rp. 9.000/kg dan Surabaya Rp. 11.000/kg. Sementara pada tahun 2007, harga paling tinggi adalah Rp. 5.000/kg di tingkat petani. Dengan adanya kenaikan harga ini maka diharapkan pendapatan petani akan mengalami kenaikan. Sektor pertanian merupakan sumber pendapatan yang cukup penting bagi penduduk di Kecamatan Mawasangka. Jenis tanaman yang dibudi daya adalah tanaman pangan, seperti ubi, jagung, sayuran dsb dan tanaman keras yaitu kelapa dan jambu mete. Hasil usaha tanaman pangan merupakan hasil tambahan masyarakat yang dimanfaatkan untuk konsumsi sendiri dan sebagian dijual, sedang hasil usaha tanaman keras, seperti kelapa dan jambu mete dijual untuk menambah pendapatan masyarakat. Mete merupakan komoditi yang sangat terkenal dari Buton dan Kecamatan Mawasangka merupakan salah satu daerah penghasil jambu mete. Selama periode 2006-2008, pendapatan rumah tangga yang berasal dari sektor pertanian mengalami peningkatan, baik pertanian tanaman pangan maupun tanaman keras (Tabel 4.4).

 

Tabel 4.4. Distribusi Pendapatan RT Menurut Lapangan Pekerjaan Kepala Rumah Tangga di Kecamatan Mawasangka, Kabupaten Buton,Tahun 2006 dan 2008

2006 2008 Lapangan pekerjaan Rata2 Median Minimum Maks

N

Rata2 Median Min Maks

N

Perikanan tangkap 2.479.874 2.197.250 23.833 7.100.000 44 2.224.906 1.432.083 145.833 8.016.667 64 Pertanian Tn. pangan

159.476 191.000 12.000 333.333 7 869.974 356.833 26.250 5.520.833 16

Pertanian Tn. Keras

521.000 300.833 6.667 1.328.333 9 2.238.557 414.167 51.667 8.074.230 4

Budi daya rumput laut 919.585 450.000 17.500 4.150.000 23 677.556 311.458 85.000 4.431.667 22

Industri pengolahan

212.167 212.167 212.167 212.167 1 175.000 175.000 175.000 175.000 1

Perdagangan 154.444 90.000 70.000 303.333 3 1.173.009 686.667 172.500 5.085.417 9 Angkutan 7.500 340.000 340.000 140.000 540.000 2 Jasa 352.083 383.333 151.667 615.833 5 1.430.000 1.040.000 1.000.000 2.250.000 3 Bangunan 787.000 390.833 366.333 2.000.000 4 335.000 335.000 180.000 490.000 2 Lainnya 980.867 359.333 125.000 2.600.000 5 Total 1.475.564 616.458 6.667 7.100.000 96 1.573.832 862.500 26.250 8.074.230 128

Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, PPK-LIPI, 2006 Data Primer, Survei BME, Aspek Sosial Ekonomi, PPK-LIPI, 2008

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 158

 

Pendapatan dari tanaman pangan meningkat sangat tajam dari Rp. 159.476 menjadi Rp 869.974. Besarnya kenaikan pendapatan pengan ini kemungkinan disebabkan rendahnya pendapatan rumah tangga pada tahun 2006. Berdasarkan hasil kajian sebelumnya, hasil usaha tanaman pangan merupakan hasil tambahan yang lebih dimanfaatkan untuk konsumsi sendiri daripada dipasarkan. Masalahnya adalah kesulitan dalam menghitung pendapatan hasil tanaman pangan yang jenis dan masa panennya bervariasi. Seringkali dalam perhitungan pendapatan, responden tidak memperhitungkan hasil yang dikonsumsi sendiri, sehingga laporan pendapatan cenderung di bawah hasil sebenarnya (under reporting). Pada tahun 2008, penghitungan pendapatan dari hasil usaha tanaman pangan sudah lebih memperhitungkan hasil yang dikonsumsi sendiri. Namun demikian, dari angka mediannya sebesar Rp. 356.833 jauh lebih rendah dari rata-rata pendapatan sebesar Rp. 869.974 mencerminkan adanya ketimpangan pendapatan yang cukup besar dan lebih dari 50 persen petani berpenghasilan dibawah rata-rata pendapatan. Kondisi yang sama juga terdapat pada pertanian tanaman keras (mete). Peningkatan pendapatan rumah tangga yang cukup tajam dari Rp. 521.000 menjadi Rp. 2.238.557 kemungkinan disebabkan oleh besarnya fluktuasi antara pendapatan tertinggi dan terendah. Angka median pendapatan dari tanaman keras sebesar Rp. 414.167 adalah seperlima dari rata-rata pendapatan, sebesar Rp. 2.238.557, yang mencerminkan sebagaian besar pendapatan dari tanaman keras jauh dibawah pendapatan rata-rata. Hasil tanaman keras seperti jambu mete, masa panennya hanya sekali musim dalam setahun, hasil produksinya lebih mudah dihitung karena merupakan komoditi pasar yang mempunyai harga pasar lebih pasti. Berfluktuasinya pendapatan petani mete sangat tergantung dari luas lahan yang ditanami dan harga pasar menurut jenis mete yang dijual. Petani yang memiliki lahan relatif kecil pada umumnya menjual jambu mete dalam bentuk gelondongan (mete kulit/belum diolah) dengan harga Rp. 5.000-Rp. 8.000/kg. Petani tidak mau repot untuk mengolah mete meskipun harga jualnya sangat tinggi. Proses pengolahan mete cukup panjang, yaitu 1) dijemur; 2) dibelah; 3) dikupas kulit ari dengan cara pengasapan dan 4) dijemur. Pengolahan mete menggunakan tenaga kerja buruh

KASUS KABUPATEN BUTON 159

 

sehingga membutuhkan biaya produksi yang cukup besar. Pendapatan yang besar diperoleh oleh petani mete yang juga merangkap sebagai penampung mete dan melakukan pengolahan mete kulit menjadi mete kering yang siap dijual karena harganya cukup tinggi, yaitu Rp. 28.000 – Rp. 32.000/kg.

Berdasarkan informasi dari berberapa sumber, selama dua tahun terakhir terjadi penurunan pendapatan sebagian besar petani yang berasal dari jambu mete. Salah satu penyebabnya adalah penurunan produktivitas tanaman mete karena umur tanaman mete sudah cukup tua. Meskipun umur tanaman mete sudah tua, namun tidak banyak masyarakat yang melakukan peremajaan, karena membutuhkan biaya besar.  Disamping itu, tanaman mete sangat sensitif terhadap perubahan cuaca dimana pada saat berbunga jangan terlalu banyak curah hujan dan jangan terlalu panas. Menurut salah seorang petani mete, pada saat cuaca kurang baik hasil turun sampai 25 persen bahkan tidak menghasilkan sama sekali. Berdasarkan observasi, banyak buah tanaman mete yang sudah hitam dan tidak berkembang. Faktor lain yang menyebabkan turunnya pendapatan dari mete adalah besarnya biaya panen jambu mete, seperti biaya tenaga kerja buruh dan pengolahan jambu mete mentah menjadi mete yang siap untuk dijual. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan tidak sebanding dengan hasil penjualan jambu mete. Kondisi ini menyebabkan banyak petani yang membiarkan tanaman mete dan hanya memungut mete yang sudah jatuh.

Selama periode 2006-2008, peningkatan pendapatan penduduk juga dialami oleh rumah tangga yang bersumber dari sektor perdagangan. Pendapatan rumah tangga yang bersumber dari sektor perdagangan meningkat sebesar dari Rp. 154.444 menjadi Rp. 1.173.009. Selama dua tahun terakhir semakin banyak pedagang yang menjual ikan atau papa lele, sebutan untuk pedagang ikan laki-laki. Selain itu juga semakin banyak para istri nelayan bagan yang menjual ikan hasil tangkapan suami yang tidak dijual pada pengumpul. Biasanya selain mendapatkan ikan teri, nelayan bagan juga mendapatkan jenis ikan lainnya, seperti ikan layang, ikan tamban dsb. Ikan teri langsung dijual pada pedagang pengumpul (base camp) sedang ikan lainnya

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 160

 

dijual pada pedagang ikan (papa lele) atau langsung dibawa oleh para istri nelayan ke pasar. Para istri nelayan maupun papa lele sudah menunggu nelayan pulang melaut di pinggir pantai pada pagi hari. Semakin banyaknya ibu-ibu pedagang ikan juga disebabkan adanya dana pinjaman bergilir (UEP) yang diperoleh anggota Pokmas. Menurut salah seorang pedagang ikan, sebelum adanya dana bergilir, jumlah pedagang ikan di Desa Terapung sebanyak 10 orang, sejak adanya dana bergilir sudah 50 orang pedagang ikan kebanyakan adalah perempuan. Hal ini didukung oleh adanya fasilitas pasar di setiap desa sehingga kegiatan ekonomi dan perdagangan masyarakat semakin berjalan lancar.

Gambar 4.1. Istri nelayan sedang menunggu suami dari laut 

Gambar 4.2. Papa lele sedang menunggu nelaan dari laut 

Sumber pendapatan rumah tangga dari lainnya yaitu berupa kiriman dari keluarga yang ada di daerah lain. Pada tahun 2006, pendapatan yang berasal dari kiriman belum kelihatan dari hasil survei dan hasil survei pada tahun 2008 sebanyak 5 rumah tangga memperoleh pendapatan yang berasal dari kiriman keluarga, dengan rata-rata pendapatan sebesar Rp.980.867. Ada dua kemungkinan, yaitu pertama adanya penambahan jumlah responden sehingga dari tambahan responden sebanyak 29 rumah tangga pada tahun 2008 dapat menjaring rumah tangga yang memperoleh pendapatan yang berasal dari kiriman. Kedua adalah adanya peningkatan jumlah

KASUS KABUPATEN BUTON 161

 

penduduk yang merantau di daerah lain selama dua tahun terakhir. Berdasarkan hasil kajian adanya kecenderungan peningkatan mobilitas keluar untuk mencari pekerjaan, seperti ke Malaysia menjadi TKI atau ke Papua menjadi nelayan disana. Menjadi TKI di Malaysia banyak dilakukan oleh generasi muda dengan tujuan untuk mendapatkan uang. Menjadi TKI tidak selamanya dijalani terutama bagi mereka yang bercita-cita menjadi nelayan tetapi tidak memiliki perahu atau kapal motor. Menurut salah seorang nelayan di Desa Wakambangura, jika uang dari gaji sebagai TKI sudah terkumpul untuk membeli kapal motor maka mereka akan pulang membeli kapal motor dan selanjutnya bekerja menjadi nelayan. Sementara mobilitas ke Papua banyak dilakukan oleh nelayan dari Desa Terapung. Pada musim Barat sebagian nelayan bagan pergi ke Papua menjadi nelayan di sana dan bagan masuk dok. Memasuki musim Timur mereka pulang untuk menurunkan bagan untuk menangkap ikan teri.

Pendapatan Nelayan

Pendapatan rumah tangga nelayan adalah pendapatan rumah tangga yang Kepala Rumah Tangga (KRT)-nya bekerja sebagai nelayan. Berdasarkan hasil survei menunjukkan bahwa pendapatan rumah tangga nelayan mengalami penurunan selama periode 2006-2008. Rata-rata pendapatan rumah tangga turun sebesar R. 854.068 atau -19,0 persen, dari Rp. 2.479.874 menjadi Rp. 1.625.806. Berdasarkan angka median pendapatan, pada tahun 2008 angka median sebesar Rp. 900.000 jauh dibawah pendapatan rata-rata rumah tangga (Rp. 1.625.806) dibandingkan dengan angka median pada tahun 2006. Kondisi ini menggambarkan bahwa lebih dari separuh rumah tangga nelayan mempunyai pendapatan lebih rendah dari rata-rata pendapatan karena ketimpangan antara proporsi rumah tangga berpendapatan tertinggi dan terendah semakin besar, yaitu antara Rp. 3.333 dan Rp. 7.725.000. Penurunan pendapatan yang cukup besar terdapat pada rumah tangga nelayan di Desa Wakambangura, yaitu turun sebesar 29,8 persen, dari Rp. 1.236.493 (2006) menjadi Rp. 609.601 (2008). Sementara di Desa Terapung pendapatan rumah tangga nelayan turun sebesar 12 persen, dari Rp. 2.894.334 (2006) menjadi Rp. 2.239.364 (2008). Akan tetapi meskipun terjadi

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 162

 

penurunan pendapatan rata-rata rumah tangga, tetapi pendapatan perkapita rumah tangga nelayan di Desa Terapung mengalami kenaikan sebesar Rp. 12.748 atau naik sebesar 1,3 persen, dari Rp. 488.274 (2006) menjadi Rp. 501.022 (2008). Data ini mencerminkan adanya penurunan jumlah anggota rumah tangga nelayan di Desa Terapung selama 2 tahun terakhir. Kemungkinan mobilitas peduduk ke daerah lain menyebabkan adanya penurunan jumlah anggota rumah tangga ini.

Penurunan pendapatan rumah tangga nelayan disebabkan oleh berkurangnya hasil tangkapan nelayan, terutama nelayan pancing selama dua tahun terakhir. Penangkapan ikan menggunakan bius masih dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh nelayan di perairan Mawasangka. Berdasarkan hasil FGD dengan para nelayan diketahui bahwa hasil tangkapan ikan cenderung berkurang karena banyaknya nelayan luar yang menangkap ikan di perairan Mawasangka menggunakan bius dan bom. Seperti diungkapkan oleh seorang nelayan pancing:

Hasil tangkapan ikan makin berkurang, dulu tidak ada nelayan luar, sekarang banyak nelayan dari luar seperti dari Bao-Bao karena di sini lautnya dangkal sehingga mudah dapat ikan disana lautnya dalam. Orang luar banyak melakukan bius dan bom.

Meskipun sudah banyak berkurang, namun penangkapan ikan menggunakan bius dan bom masih dilakukan oleh sebagian nelayan secara sembunyi-sembunyi. Penangkapan ikan menggunakan bius banyak dilakukan oleh nelayan dari luar (Bao-Bao). Untuk mengelabui masyarakat, sebelum dijual ke pasar, nelayan singgal dahulu ke markasnya untuk menyembuyikan alat bius. Nelayan mengenal tanda-tanda penggunaan bius dalam menangkap ikan, antara lain 1) kondisi fisik ikan yang dijual tidak segar, seperti sisik ikan yang lunak; 2) antara hasil ikan yang diperoleh dengan ukuran bubu tidak cocok, sebeagi contoh, ikan besar didapat dari bubu ukuran kecil. Bahkan ada indikasi praktek penangkapan ikan menggunakan bius juga dilakukan oleh nelayan setempat di Desa

KASUS KABUPATEN BUTON 163

 

Wakambangura. Meskipun tidak diakui secara terbuka oleh masyarakat dan nelayan, namun hal ini sudah menjadi isu dikalangan masyarakat nelayan. Bahkan sudah ada usaha mencegah praktek bius melalui pendekatan salah seorang tokoh masyarakat dan pengurus LPSTK, namun hal ini belum berhasil karena sulit untuk dibuktikan. Penggunaan bius dilakukan secara sembunyi-sembunyi sehingga selama belum ada bukti sulit untuk ditindak atau ditangkap. Menurut pengurus LPSTK, selama masih ada ’bos’ yang menyalurkan obat bius pada nelayan maka praktek penangkapan ikan menggunakan bius masih akan terus terjadi.

Nelayan dari luar juga menangkap ikan menggunakan jala atau pukat. Dengan pemberat menggunakan besi, jaring pukat sampai ke dasar laut dan ditarik dengan kapal sehingga semua ikan dan teripang bahkan karang ikut terjaring dalam jala. Penangkapan dilakukan pada malam hari sehingga sering luput dari pengawasan nelayan setempat. Menurut salah seorang nelayan di Desa Wakambangura, meskipun tidak ada larangan menangkap ikan menggunakan pukat, tetapi dampaknya tidak baik bagi jumlah ikan dan terumbu karang. Penangkapan ikan menggunakan pukat menyebabkan ikan semakin berkurang dan berpengaruh pada hasil pancing yang mereka dapat semakin berkurang. Menurut salah seorang nelayan, di Desa Wakambangura masih ada 10 orang yang menangkap ikan menggunakan pukat. Pukat Redi atau pukat harimau adalah jenis pukat yang dilarang karena dapat merusak terumbu karang. Kalau jarring pukat tersangkut di karang maka ikan yang tersangkut akan mati dan ikan lain akan lari, sementara jarring yang tersangkut dapat merusak terumbu karang.

Penurunan pendapatan nelayan juga dipengaruhi oleh masalah waktu pengambilan data, terutama pada pendapatan nelayan bagan (ikan teri). Mayoritas nelayan di Desa Terapung adalah nelayan bagan. Pada saat penelitian dilakukan (April), pendapatan nelayan bagan belum mencapai optimal karena baru memasuki musim ikan teri, yaitu Musim Timur (Mei-September). Padahal menurut nelayan, hasil tangkapan ikan teri pada tahun ini menunjukkan peningkatan, diindikasikan oleh perolehan ikan teri yang lebih banyak pada awal

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 164

 

KASUS KABUPATEN BUTON 165

Musim Timur dibandingkan dengan awal musim Timur pada tahun sebelumnya. Pada puncak musim Timur (September) ikan teri akan berlimpah dan biasanya Base Camp penuh sehingga tidak menampung lagi ikan teri dari nelayan. Biasanya nelayan dan keluarga melakukan pengeringan ikan sendiri dirumah masing-masing. Peningkatan hasil ikan teri ini diungkapkan oleh salah seorang nelayan bagan di Desa Terapung:

‘harga ikan teri tetap, hasil bagan meningkat, tahun lalu bulan 6 baru dapat ikan teri sekarang awal musim sudah dapat ikan padahal wilayah tangkap tetap’. ‘dulu pada saat terang bulan ikan teri kurang sekarang terang bulanpun teri banyak’.

Pendapatan rumah tangga nelayan sangat tergantung pada perbedaan musim, disamping jenis alat tangkap yang digunakan. Perubahan musim terutama berkaitan dengan kuat lemahnya ombak di laut, kecepatan angin laut dan bulan purnama yang dapat mempengaruhi aktivitas sehari-hari nelayan di laut. Nelayan di Mawasangka mengelompokkan musim atas tiga musim yaitu musim ombak kuat (angin barat), musim ombak lemah (angin timur) dan musim pancaroba (musim kemarau). Di Kawasan Mawasangka, musim gelombang lemah, dikenal juga sebagai musim angin timur atau musim teduh, biasanya berlangsung sekitar 7 bulan, yaitu antara bulan Mei sampai dengan Nopember. Pada musim ini, air laut jernih, angin dan ombak tenang dan banyak ikan, sehingga dianggap oleh nelayan sebagai masa musim panen ikan. Kondisi sebaliknya adalah musim gelombang kuat atau musim angin barat, yang berlangsung sekitar 4-5 bulan, yaitu pada sekitar bulan Desember- Maret. Pada musim ini, angin bertiup kencang, ombak besar, air keruh dan banyak hujan. Diantara kedua musim tersebut terdapat musim pancaroba atau musim kemarau yang berlangsung sekitar 2 bulan, yaitu bulan April dan Desember

 

Tabel 4.5. Statistik Pendapatan Rumah Tangga Nelayan di Kecamatan Mawasangka, Kabupaten Buton, Tahun 2006 dan 2008 (Rupiah)

Desa Terapung Desa Wakambangura Total Pendapatan rumah tangga (per bulan)

2006 2008 r 2006 2008 r 2006 2008 r

Per kapita 488.274 501.022 1,3 179.936 118.716 -18,8 412.902 357.095 -7,0 Rata-rata RT 2.894.334 2.239.364 -12,0 1.236.493 609.601 -29,8 2.479.874 1.625.806 -19,0 Median 2.862.500 1.229.167 -34,5 534.167 443.750 -8,9 2.197.250 900.000 -35,9 Minimum 23.833 103.750 108,6 86.667 3.333 -80,4 23.833 3.333 -62,6 Maksimum 7.100.000 7.725.000 4,3 4.133.333 1.845.000 -33,2 7.100.000 7.725.000 4,3 Jumlah (N) 33 53 11 32 44 85

Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, PPK-LIPI, 2006 Data Primer, Survei BME, Aspek Sosial Ekonomi, PPK-LIPI, 2008

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 166

 

Perubahan musim mempengaruhi aktivitas nelayah kelaut. Pada musim ombak lemah wilayah tangkap nelayan lebih jauh dan nelayan dapat melaut setiap sehingga dapat memperoleh hasil tangkapan lebih banyak. Rata-rata pendapatan rumah tangga nelayan pada musim ombak lemah lebih besar dibandingkan musim pancaroba dan ombak kuat (Tabel 4.6). Begitu juga pada musim pancaroba, wilayah tangkap cukup jauh dan nelayah tidak setiap hari pergi melaut tergantung besar atau kecilnya ombak. Pada musim gelombang kuat nelayan tidak melaut setiap hari dan sebagian melaut dengan wilayah tangkap dekat pantai sehingga pendapatan nelayan turun pada musim ombak kuat.

Tabel 4.6 juga menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan rumah tangga nelayan mengalami penurunan selama dua tahun terakhir. Penurunan pendapatan ini terjadi pada semua musim, baik pada musim ombak kuat, pancaroba maupun ombak lemah, namun perubahan pendapatan berbeda menurut musim. Penurunan pendapatan terbesar terjadi pada musim pancaroba, yaitu turun sekitar 29,8 persen, dari Rp. 2.195.086 menjadi Rp. 1.080.827. Pada musim ombak lemah rata-rata pendapatan rumah tangga turun sekitar 18,3 persen, dari Rp. 3.746.221 menjadi Rp. 2.498.510. Sedang pada musim ombak kuat, rata-rata pendapatan rumah tangga turun sekitar 14,7 persen, dari Rp. 612.578 menjadi Rp. 445.937. Penurunan rata-rata pendapatan rumah tangga juga diikuti oleh penurunan pendapatan median dan pendapatan maksimum. Sementara pendapatan minimum mengalami peningkatan selama dua tahun terakhir. Pada tabel diketahui pendapatan minimum terendah terdapat pada musim pancaroba (Rp. 8.000) tahun 2006, dan pada musim gelombang kuat/pancaroba (Rp. 20.000) pada tahun 2008. Sedangkan pendapatan maksimum tertinggi pada tahun 2006 dan 2008 terjadi pada musim gelombang lemah (Rp 12.500.000). Data diatas mencerminkan bahwa kesejahteraan rumah tangga nelayan pada tahun 2008 tidak lebih baik dibandingkan pada tahun 2006.

KASUS KABUPATEN BUTON 167

 

Tabel 4.6. Statistik Pendapatan Rumah Tangga dari Kegiatan Kenelayanan Menurut Musim

Musim Pendapatan

Ombak Lemah Pancaroba Ombak kuat 2006 2008 % 2006 2008 % 2006 2008 % Rata-rata rumah tangga 3.746.221 2.498.510 -18,3 2.195.086 1.080.827 -29,8 612.578 445.937 -14,7Median 2.800.000 1.485.000 875.000 530.000 300.000 250.000Minimum rumah tangga 18.000 84.000 8.000 20.000 18.000 20.000Maksimum rumah tangga 12.500.000 12.500.000 9.900.000 5.700.000 4.950.000 3.000.000

Sumber: Data Primer, Survei BME, Aspek Sosial Ekonomi, PPK-LIPI, 2008

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 168

 

Jika ditelusuri lebih lanjut berdasarkna distribusi pendapatan, pendapatan rumah tangga nelayan bervariasi menurut musim antara tahun 2006 dan 2008 (Tabel 4.7). Dari table diketahui bahwa mayoritas rumah tangga nelayan berpendapatan rendah, yaitu termasuk dalam kelompok berpendapatan paling rendah (kurang dari Rp. 500.000). Kondisi ini terjadi pada semua musim dalam dua tahun terakhir dimana proporsi terbesar terjadi pada musim ombak kuat dan terkecil pada musim ombak lemah. Pada table juga dapat diketahui bahwa rumah tangga nelayan yang berpendapatan tinggi (lebih dari 3,5 juta) proporsinya cukup tinggi pada musim ombak lemah meskipun mengalami penurunan selama dua tahun terakhir.

Pada kelompok pendapatan paling rendah (kurang dari Rp. 500.000 per bulan), proporsi rumah tangga mengalami penurunan pada musim ombak lemah, dari 59 persen menjadi 51 persen. Sebaliknya terjadi peningkatan pada musim pancaroba dan ombak kuat. Pada musim pancaroba proporsi rumah tangga yang berpendapatan terendah naik dari 67 persen menjadi 69 persen, sedang pada musim ombak kuat naik dari 86 persen menjadi 92,2 persen. Kemudian untuk kelompok pendapatan yang lebih tinggi, terjadi peningkatan proporsi rumah tangga selama dua tahun terakhir pada musim ombak lemah, kecuali pada kelompok pendapatan diatas Rp. 3.500.000 yang mengalami penurunan dari 25 persen menjadi 14,7 persen. Pada musim gelombang lemah, kondisi ekonomi rumah tangga nelayan lebih baik karena hampir tiap hari nelayan turun kelaut. Pada musim pancaroba, proporsi rumah tangga meningkat 4 persen menjadi 11,6 persen untuk kelompok pendapatan ( Rp. 500.000-Rp 999.999), 6 persen menjadi 7,8 persen (Rp. 1.000.000 – Rp. 1.499.999) dan 0 persen menjadi 3,1 persen (Rp. 1.500.000 – Rp. 1.999.999), selanjutnya untuk pendapatan yang lebih tinggi mengalami penurunan. Musim Pancaroba yang merupakan peralihan antara gelombang kuat dan lemah, pada umumnya berlangsung singkat sekitar 2 bulan. Angin dan gelombang laut mulai melemah, sehingga nelayan sudah mulai berani melaut kembali meskipun belum penuh. Sementara untuk musim gelombang kuat terjadi penurunan proprosi rumah tangga pada semua kelompok pendapatan Rp. 500.000 keatas.

KASUS KABUPATEN BUTON 169

 

Pada musim ombak lemah, rumah tangga nelayan lebih terdistribusi pada kelompok pendapatan diatas Rp. 500.000. Pada tahun 2006 sebanyak 59 persen rumah tangga nelayan berpendapatan pada kelompok pendapatan paling rendah, dibawah Rp. 500.000. Pada tahun 2008, proporsi rumah tangga berpendapatan rendah ini turun menjadi 51,2 persen. Dengan demikian, hampir separo rumah tangga nelayan berpendapatan lebih tinggi. Selama dua tahun terakhir terjadi peningkatan proporsi rumah tangga yang berada pada kelompok pendapatan diatas Rp. 500.000 dan kenaikan tertinggi terdapat pada kelompok pendapatan Rp. 1.000.000 – Rp. 1.499.999, yaitu naik dari 2 persen menjadi 10,1 persen. Rumah tangga nelayan yang berpendapatan paling tinggi Rp. 3.500.000 keatas turun dari 25 persen menjadi 14,7 persen.

Tabel 4.7. Distribusi Rumah Tangga Nelayan Menurut Kelompok Pendapatan dan Musim

Musim Pendapatan Ombak Lemah Pancaroba Ombak kuat

2006 2008 2006 2008 2006 2008 < 500.000 59,0 51,2 67,0 69,0 86,0 92,2 500.000 – 999.999 1,0 7,0 4,0 11,6 7,0 4,7 1.000.000 – 1.499.999 2,0 10,1 6,0 7,8 3,0 - 1.500.000 – 1.999.999 5,0 7,8 - 3,1 1,0 - 2.000.000 – 2.499.999 3,0 3,9 4,0 0,8 1,0 1,6 2.500.000 – 2.999.999 2,0 4,7 1,0 0,8 1,0 0,8 3.000.000 – 3.499.999 3,0 0,8 1,0 0,8 - 0,8 >/ 3.500.000 25,0 14,7 17,0 6,2 1,0 -

Sumber: Data Primer, Survei BME, Aspek Sosial Ekonomi, PPK-LIPI, 2008

Pada musim pancaroba, terjadi penumpukan proporsi rumah tangga pada kelompok pendapatan paling rendah (kurang dari Rp. 500.000). Selama dua tahun terakhir terjadi kenaikan rumah tangga yang berpendapatan terendah, yaitu dari 67 persen (2006) menjadi 69 persen (2008) dan proporsi rumah tangga yang berpendapatan lebih tinggi sedikit menurun. Pada kelompok pendapatan diatasnya Rp. 500.000-Rp. 999.999 sampai Rp. 1.500.000-Rp.1.999.999 terjadi

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 170

 

peningkatan proporsi rumah tangga. Kondisi pada musin pancaroba relatif lebih baik dibandingkan pada musim ombak kuat, dimana terjadi peningkatan proporsi rumah tangga pada kelompok pendapatan terendah, dari 86 persen menjadi 92,2. Kemudian untuk pendapatan yang lebih tinggi terjadi penurunan proporsi rumah tangga. Pada musim gelombang kuat, banyak nelayan yang tidak berani melaut karena beresiko tinggi terhadap keselamatan sehingga pendapatan nelayan menjadi berkurang. Nelayan pada umumnya istirahat dari kegiatan kenelayanannya sambil memanfaatkan waktu untuk memperbaiki sarana tangkapnya. Bagan yang banyak dimiliki nelayan di Desa Terapung, pada musim gelombang kuat masuk dok untuk diservis bagian-bagian yang rusak Sebagian nelayan yang memiliki sarana tangkap lain seperti bubu, jaring atau pancing di Desa Terapung beralih melakukan aktivitas nelayan lainnya yaitu menangkap kepiting, yang potensinya cukup besar di musim gelombang kuat. Sebagian nelayan lainnya melakukan kegiatan non nelayan, seperti budi daya rumput laut atau merantau ke luar daerah bahkan sampai ke Malaysia. Sedangkan di Desa Wakambangura, kebanyakan nelayan beralih melakukan kegiatan non nelayan yaitu budi daya rumput laut atau merantau ke luar daerah atau luar negeri, terutama ke Balikpapan, Ambon, Papua dan juga ke Malaysia.

Pendapatan anggota Pokmas

Pokmas atau Kelompok Masyarakat adalah kelompok yang anggotanya terdiri dari individu masyarakat. Pembentukan Pokmas bertujuan untuk melakukan pembinaan pada masyarakat dalam usaha meningkatkan pendapatan anggota Pokmas dan melakukan konservasi sumber daya terumbu karang. Ada 3 macam Pokmas, yaitu Pokmas UEP (Unit Ekonomi Produktif), Pokmas Gender dan Pokmas Konservasi. Masing-masing Pokmas terdiri dari Ketua, Sekretaris, Bendahara dan Anggota. Pokmas UEP dan Gender pada prinsipnya bertujuan sama yaitu meningkatkan pendapatan kelompok melalui beberapa kegiatan, antara lain simpan pinjam, pelatihan dsb. Kegiatan Pokmas di Kecamatan Mawasangka adalah pemberian bantuan atau pinjaman dana (Seed Fund) pada anggota Pokmas. Di Desa Terapung dana sebesar Rp. 50 juta yang turun pada bulan Januari 2008. Dana

KASUS KABUPATEN BUTON 171

 

tersebut dipinjamkan pada anggota secara bergilir dan pada saat penelitian dana tersebut sudah dipinjamkan pada 26 anggota Pokmas. Jumlah pinjaman berariasi mulai dari Rp. 500.000 sampai Rp. 2.500.000. Di desa Wakambangura jumlah anggota Pokmas yang sudah menerima dana bergulir sebanyak 15 orang. Pinjaman dana bergulir ini bertujuan untuk meningkatakan pendapatan masyarakat melalui kegiatan usaha yang dilakukan. Jenis usaha anggota Pokmas berariasi, yaitu pertukangan, nelayan, perdagangan (papa lele), budi daya rumput laut.

Dalam pedoman wawancara terstruktur pertanyaan ‘apakah ada anggota rumah tangga yang terlibat dalam anggota Pokmas’, bertujuan untuk mengetahui jumlah anggota Pokmas dalam rumah tangga. Berdasarkan hasil survey, diketahui bahwa jumlah anggota Pokmas adalah sebanyak 54 orang, yaitu 29 orang di Desa Terapung dan 25 orang di Desa Wakambangura. Apabila dibandingkan dengan jumlah anggota Pokmas yang sudah menerima dana bergulir maka dapat diketahui bahwa tidak semua anggota Pokmas dari hasil survey sudah menerima dana bergulir atau sebagian belum menerima dana bergulir. Pada bagian ini akan melihat pendapatan rumah tangga anggota Pokmas. Pendapatan rumah tangga anggota Pokmas dapat bersumber dari semua anggota rumah tangga Pokmas, salah satunya adalah dari anggota Pokmas tersebut.

Table 4.8 menyajikan statistik pendapatan rumah tangga anggota Pokmas. Rata-rata pendapatan rumah tangga anggota Pokmas di Desa Terapung sebesar Rp. 2.735.442, lebih tinggi dibandingkan rata-rata pendapatan di Desa Wakambangura sebesar Rp. 1.300.746. Data ini mencerminkan bahwa kondisi ekonomi rumah tangga anggota Pokmas di Desa Terapung lebih baik dibandingkan di Desa Wakambangura. Besarnya pendapatan anggota Pokmas di Desa Terapung salah satunya disebabkan usaha yang dilakukan oleh rumah tangga penerima dana bergulir lebih dari satu jenis usaha, seperti usaha bagan dan dagang ikan. Bahkan seorang penerima dana bergulir memiliki tiga jenis usaha, yaitu bagan, dagang ikan dan usaha tambak. Sementara di Desa Wakambangura, banyak penerima

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 172

 

dana bergulir hanya memiliki jenis usaha, seperti dagang atau nelayan.

Selanjutnya jika ditelusuri angka mediannya, di Desa Terapung terdapat perbedaan yang cukup besar antara pendapatan rata-rata dengan angka median, yaitu sebesar Rp. 818.775, antara rata-rata pendapatan sebesar Rp. 2.735.442 dan pendapatan median sebesar Rp. 1.916.667 . Sementara di Desa Wakambangura selisihnya lebih kecil, yaitu Rp. 112.121 antara rata-rata pendapatan sebesar Rp. 1.300.746 dan pendapatan median sebesar Rp. 1.188.625. Data ini mencerminkan proporsi rumah tangga anggota Pokmas yang berpendapatan dibawah rata-rata pendapatan di Desa Terapung jauh lebih besar dibandingkan di Desa Wakambangura. Disamping itu, hal tersebut juga menunjukkan terdapat kesenjangan yang cukup besar antara rumah tangga yang berpendapatan terendah dan tertinggi di Desa Terapung di bandingkan di Desa Wakambangura. Memiliki usaha yang sudah stabil merupakan salah satu persyaratan bagi mereka yang akan mendapatkan dana bergulir disamping persyaratan lainnya sehingga diharapkan pengembalian cicilan dana berjalan dengan lancar.

Tabel 4.8. Statistik Pendapatan Rumah Tangga Anggota Pokmas Tahun 2008.

Terapung Wakambangura Total Rata-Rata RT 2.735.442 1.300.746 2.171.231 Median 1.916.667 1.188.625 1.188.625 Minimum 325.333 105.000 105.000 Maksimum 8.016.667 7.900.000 8.016.667 N 29 25 54

Sumber: Data Primer, Survei BME, Aspek Sosial Ekonomi, PPK-LIPI, 2008

Perubahan pendapatan rumah tangga anggota Pokmas belum dapat dilihat karena pertama, pemberian dana bergulir pada anggota Pokmas baru dilakukan pada bulan Januari 2008 sehingga belum ada data survei pembanding yang menunjukkan perubahan pendapatan

KASUS KABUPATEN BUTON 173

 

rumah tangga Pokmas tersebut mengingat rumah tangga Pokmas secara spesifik baru dilihat pada survei tahun sekarang (2008). Kedua, relatif dekatnya jarak waktu antara pemberian dana bergulir dengan survei menyebabkan belum kelihatan adanya pengaruh perubahan pendapatan sebagai dampak dari penerimaan dana bergulir. Ketiga, disamping waktu yang terlalu dekat, jumlah dana bergulir yang diterima anggota Pokmas relatif kecil, yaitu antara Rp. 500.000 sampai Rp. 2.500.000, sehingga dampak kenaikan pendapatan sangat kecil. Ada kemungkinan dana yang sangat kecil tersebut tidak semuanya digunakan untuk penambahan modal, sebagian digunakan untuk keperluan lainnya.

4.2.2. Faktor-faktor Yang Berpengaruh Terhadap Pendapatan

Berdasarkan pembahasan sebelumnya, hasil survei terhadap rumah tangga terpilih menunjukkan selama periode 2006-2008, terjadi peningkatan pendapatan rata-rata perkapita dan pendapatan rumah tangga di Kecamatan Mawasangka. Peningkatan ini juga terlihat dari meningkatnya pendapatan median selama dua tahun terakhir. Hal ini mencerminkan adanya peningkatan kondisi ekonomi rumah tangga di Mawasangka. Namun peningkatan pendapatan ini tidak terlihat pada rumah tangga nelayan. Selama periode 2006-2008, terjadi penurunan pendapatan rumah tangga nelayan. Penurunan yang cukup tajam terjadi pada rumah tangga di Desa Wakambangura, yaitu turun sebesar 29,8 persen, sedang di Dea Terapung turun sebesar 12 persen. Perbedaan musim juga berpengaruh pada pendapatan rumah tangga nelayan. Pada musim pancaroba terjadi penurunan cukup tajam rata-rata pendapatan rumah tangga nelayan. Sementara pada musim pancaroba dan ombak kuat terjadi peningkatan proporsi rumah tangga yang berpendapatan rendah, kurang dari Rp. 500.000 dan pada musim ombak lemah terjadi peningkatan proporsi rumah tangga nelayan yang berpendapatan lebih tinggi.

Perobahan tingkat pendapatan masyarakat selama periode 2006-2008 dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik internal, eksternal maupun faktor struktural. Faktor internal yang dapat mempengaruhi,

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 174

 

antara lain adalah sumber pendapatan, teknologi/produksi dan wilayah tangkap, biaya produksi dan kualitas SDM. Faktor eksternal adalah pemasaran, permintaan terhadap hasil tangkap/produksi, musim/iklim dan degradasi sumber daya pesisir dan laut. Sedangkan faktor struktural yang dapat mempengaruhi perobahan jumlah pendapatan masyarakat antara lain adalah keberadaan Program COREMAP dan program pembangunan lainnya. Pada bagian ini akan membahas faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan masyarakat di Kecamatan Mawasangka.

Program COREMAP

Program COREMAP merupakan program yang bertujuan untuk melestarikan terumbu karang. Ketergantungan masyarakat pada sumber daya laut sebagai sumber mata pencaharian seringkali menyebabkan adanya kegiatan eksploitasi sumber daya laut yang dapat merusak terumbu karang, seperti penangkapan ikan menggunakan alat tangkap yang dapat merusak terumbu karang atau pengambilan terumbu karang secara besar-besaran. Kerusakan terumbu karang berdampak pada semakin berkurangnya keberadaan ikan yang hidup di sekitar karang dan selanjutnya akan mengurangi hasil tangkapan nelayan. Dalam usaha menjaga kelestarian terumbu karang dan meningkatkan pendapatan masyarakat, Program COREMAP memiliki kegiatan, yaitu: 1) Usaha Ekonomi Produktif (UEP), yaitu pemberian dana bergulir pada Kelompok Masyarakat (Pokmas) dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat; 2) Program bantuan pembangunan fisik, yaitu Bak penampungan air di Desa Terapung dan Talud (tanggul) di Desa Wakambangura dan; Program berkaitan dengan pelestarian terumbu karang, seperti DPL (Daerah Pengelolaan Laut) dan kegiatan Patroli laut.

Pelaksanaan Program COREMAP di Kecamatan Mawasangka telah dimulai pada tahun 2005. Kegiatan ini telah berdampak pada pelestarian terumbu karang dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sebelum ada Program COREMAP banyak praktek penangkapan ikan menggunakan bom dan bius. Setelah Program COREMAP dilakukan, upaya penurunan jumlah pembius dan

KASUS KABUPATEN BUTON 175

 

pengebom ikan menunjukkan keberhasilan. Penangkapan ikan menggunakan bom dan bius mengalami penurunan secara signifikan bahkan sudah hampir tidak ada lagi. Sosialisasi mengenai manfaat terumbu karang dan dampak kerusakan terumbu karang dapat menyadarkan masyarakat untuk tidak melakukan pengrusakan terumbu karang. Dampak ini sangat dirasakan oleh para nelayan maupun masyarakat di Kecamatan Mawasangka, khususnya Desa Terapung dan Wakambangura. Namun selama dua tahun terakhir, masih ada sebagian kecil nelayan yang menggunakan bius secara sembunyi-sembunyi dan hal ini cukup berpengaruh pada hasil tangkapan ikan nelayan maupun hasil budi daya rumput laut.

Berbeda dengan kegiatan perusakan terumbu karang, kegiatan COREMAP yang berkaitan dengan peningkatan pendapatan masyarakat pelaksanaanya baru dilakukan pada awal tahun 2008 sehingga dampaknya pada peningkatan pendapatan belum kelihatan dengan pasti. Kegiatan Unit Ekonomi Produktif (UEP), yaitu pemberian dana bergulir mulai dilakukan pada bulan Januari 2008. Jumlah dana yang digulirkan sebesar Rp. 50 juta untuk masing-masing desa (Terapung dan Wakambangura) dan sampai saat penelitian dilakukan sebanyak 41 orang anggota Pokmas telah menerima dana bergulir pada kedua desa. Dana yang diterima anggota Pokmas sebagian digunakan sebagai tambahan modal, seperti usaha dagang ikan dan sebagian menggunakan dana bergulir untuk memperbaiki alat tangkap. Salah satu dampak yang cukup menyolok adalah semakin banyaknya pedagang ikan, terutama perempuan di Desa Terapung. Para ibu di Desa Terapung menggunakan dana bergulir untuk membeli ikan dari nelayan kemudian dijual ke pasar dan sebagian membeli ikan teri untuk selanjutnya melakukan proses pengeringan sendiri di rumah. Kegiatan pembelian ikan teri banyak dilakukan para ibu-ibu pada bulan Agustus-September karena pada saat itu nelayan bagan banyak mendapat ikan dan ikan yang diperoleh berukuran besar sementara base-camp hanya menerima ikan teri yang berukuran kecil (super). Pengaruh dana bergulir terhadap peningkatan pendapatan belum kelihatan mengingat jumlah dana yang dipinjamkan relatif kecil antara Rp. 500.000-Rp. 2.500.000. Dana

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 176

 

yang dipinjam tidak semuanya digunakan untuk modal usaha, sebagian menggunakan untuk perbaikan kapal atau bagan atau untuk keperluan lainnya.

Talut atau pembatas pantai adalah bantuan fisik dari Program COREMAP di Desa Wakambangura (Dusun Lambesi). Talut dibangun sepanjang 124 meter dengan biaya Rp. 50 juta bertujuan untuk mencegah banjir atau melaupnya air laut ke daratan. Pemukiman penduduk di Dusun Lambesi terletak di pinggir laut sering mengalami kebanjiran pada saat air pasang dengan ketinggian air mencapai 1 meter. Setelah adanya bantual pembangunan talud dari COREMAP diharapkan tidak terjadi lagi luapan air laut ke daratan. Pembangunanan melibatkan masyarakat sebagai tenaga kerja yang diupah.

Bak penampungan air adalah bantuan fisik dari Program COREMAP di Desa Terapung. Air bersih adalah salah satu permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat di Desa Terapung. Program PPK telah membuat pipa saluran air sampai ke pemukiman penduduk tetapi lokasi sumber mata air namuan kurang

memungkinkan untuk mengalirkan air ke pemukiman penduduk. Program COREMAP membuat bak penampungan air dilengkapi mesin pompa untuk memasukkan air dari sumber mata air ke dalam bak penampungan air. Penampung air ini dibangun di tempat yang

KASUS KABUPATEN BUTON 177

 

berada di lokasi yang lebih tinggi sehingga lebih mudah untuk dialirkan ke pemukiman penduduk menggunakan pipa air yang sudah ada. Pada saat penelitian bak penampungan baru selesai dibangun dan pompa belum terpasang.

Program pemerintah lainnya

Program pemerintah selain Program COREMAP yang dilakukan di desa penelitian adalah Program PPK. Program PPK mulai dilakukan pada tahun 2001 yang menfokuskan pada pembangunan infrastruktur desa. Di Desa Wakambangura kegiatan Program PPK terdiri dari:

• Rehabilitasi SD pada tahun 2001

• Pembuatan pipa air besih (2002)

• Pembuatan Posyandu (2004)

• Pembuatan sekolah Taman Kanak-Kanak (2006)

• Pada tahun 2008 rencana akan dilengkapi perealatan untuk sekolah TK dan pembuatan talut sepanjang 15 meter di Desa Wakambangura

Program PPK merupakan program bantuan fisik sehingga tidak berpengaruh langsung pada pendapatan masyarakat. Namun proses pembangunan bantuan fisik etrsebut memberdayakan masyarakat sekitar sebagai tenaga kerja yang diupah, seperti pada saat pembuatan Talud di Desa Lambesi (Desa Wakambangura) sehingga meskipun kecil dapat menambah pendapatan sebagian masyarakat

Faktor internal dan external

• Faktor Internal

Sumber pendapatan penduduk di daerah penelitian tidak terlepas dari potensi sumber daya di laut dan di darat. Pekerjaan sebagai nelayan perikanan tangkap dan budi daya rumput laut merupakan mata pencaharian utama penduduk, disamping pekerjaan sebagai petani.

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 178

 

Kondisi ini tidak banyak mengalami perubahan selama dua tahun terakhir.

Penggunaan teknologi alat tangkap kearah yang lebih canggih dapat berpengaruh pada peningkatan pendapatan nelayan. Selama dua tahun terakhir peralatan tangkap yang digunakan nelayan tidak banyak mengalami perubahan, yaitu armada tangkap berupa perahu motor (ketingting) dan perahu tanpa motor (sampan) dengan alat tangkap pancing, bagan, jaring dan bubu. Dalam hal penggemukan ikan karang, selama ini nelayan memelihara ikan karang di karamba gantung menggunakan jaring, namuan sekarang seorang nelayan di Desa Terapung membuat karamba gali dipinggir pantai. Batu karang di pinggir pantai dibuat lubang dengan ukuran 0,5 m x 1,5 meter tempat ikan pada saat air surut. Di sekeliling keramba diberi jaring supaya ikan tidak lari keluar pada saat air pasang.

Penangkapan ikan menggunakan bius masih dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh sebagian kecil nelayan. Meskipun dilakukan oleh beberapa orang saja namun bius dapat mematikan ikan yang masih kecil dan merusak terumbu karang. Disamping berpengaruh pada keberadaan ikan, obat bius yang terbawa arus laut juga dapat merusak rumput laut yang dibudi dayakan masyarakat.

Pukat atau jaring adalah salah satu alat tangkap yang digunakan oleh nelayan. Di Desa Wakambangura ada 10 orang nelayan yang menggunakan alat tangkap pukat/jaring. Meskipun tidak dilarang, penggunaan jaring dapat mempengaruhi potensi ikan di laut karena ikan yang masih kecil ikut terjaring. Berdasarkan kesepakatan masyarakat, ukuran jaring yang boleh digunakan adalah 2,5 inci. Permasalahannya adalah apabila jaring tersangkut di karang maka dapat merusak terumbu karang dan ikan yang tersangkut di karang akan mati dan menyebabkan ikan lain akan lari. Redi atau Pukat Harimau adalah jenis pukat yang dilarang penggunaannya untuk menangkap ikan.  Penggunaan  Redi banyak dilakukan oleh nelayan dari luar. Masyarakat/nelayan akan mengusir apabila ada nelayan luar yang menggunakan Redi. Menurut salah seorang nelayan di Desa Wakambangura, COREMAP adalah senjata bagi nelayan untuk

KASUS KABUPATEN BUTON 179

 

mengusir pelaut dari luar ’ini wilayah coremap jadi tidak boleh menangkap kan secara illegal’. Sementara untuk melarang orang setempat digunakan pendekatan keluarga atau dengan cara halus. Meskipun ada sedikit perubahannya, namuan penggunaan bius masih dilakukan  secara sembunyi-sembunyi sehingga tidak ada bukti. Selama masih ada pemasok obt bius maka susah menghentikan penggunaan bius.

Secara umum, jangkauan wilayah tangkap sangat tergantung pada jenis armada dan alat tangkap. Armada tangkap kapal motor dengan kekuatan mesin cukup besar dapat menjangkau wilayah tangkap yang cukup jauh ke tengah laut, sebaliknya kapal motor berkekuatan mesin kecil memiliki wilayah tangkap yang lebih dekat. Selama 2 tahun terakhir, wilayah tangkap nelayan tidak banyak mengalami perubahan. Wilayah tangkap nelayan bagan berada sekitar 4 mil dari pantai. Wilayah tangkap nelayan pancing ikan karang berada disekitar 2 mil paling dekat sampai 10 mil.

Biaya produksi yang dikeluarkan nelayan adalah biaya melaut, seperti biaya bahan baker (solar) dan ransom. Besarnya biaya melaut mempengaruhi pendapatan nelayan. Kenaikan harga BBM cukup menambah biaya melaut, namun kenaikan harga ikan dapat meminimalisir kenaikan biaya produksi melaut.

• Faktor Eksternal

Pada bagian ini akan membahas faktor eksternal yang berpengaruh pada pendapatan nelayan. Faktor eksternal yang diduga berpengaruh pada besarnya pendapatan nelayan adalah pemasaran dan harga, permintaan terhadap hasil tangkap, musim dan degradasi sumber daya pesisir dan laut.

Pemasaran hasil tangkapan nelayan merupakan ujung tombak kegiatan kenelayanan yang menghasilkan pendapatan. Pemasaran dan harga berpengaruh pada jumlah pendapatan nelayan. Hasil tangkapan nelayan Kecamatan Mawasangka terdiri dari ikan teri, ikan karang, ikan tongkol, tuna, kepiting, rumput laut dan sebagainya.

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 180

 

Ikan teri dipasarkan langsung pada pedagang pengumpul atau Base Camp yang ada di desa. Rantai pemasaran ikan teri dilakukan dari nelayan ke padagang pengumpul yang ada di Desa Terapung. Pedagang pengumpul melakukan pengolahan ikan segar yang diperoleh dari nelayan menjadi ikan teri olahan dalam bentuk ikan teri asin dan kering. Tahap selanjutnya, pedagang pengumpul menjual ikan teri pada agen besar di kota Jakarta dan Ujung Pandang. Penentuan harga dilakukan oleh pedagang pengumpul, biasanya harga ikan teri sudah standar di tingkat pengumpul.

Ikan karang (kerapu dan sunu) dijual dalam keadaan hidup dan mati. Ikan karang hidup dijual pada pedagang pengumpul yang ada di kota kecamatan. Sebelum dijual, ikan dipelihara di keramba sampai memenuhi ukuran dan berat ikan untuk dijual. Ikan hidup yang dihasilkan relatif sedikit sehingga hanya ada satu orang pengumpul yang membeli ikan hidup dari nelayan di Kecamatan Mawasangka. Nelayan yang akan menjual ikan memberitahu pengumpul melalui telpon bahwa ada ikan yang akan dijua. Kemudian ikan dijemput oleh pengumpul dengan perahu motor langsung mengambil ikan dari keramba. Penjualan ikan karang hidup hanya dilakukan oleh nelayan di Desa Wakambangura. Ikan karang mati dan jenis ikan lainnya, seperti ikan krisi, tongkol, kakap, tenggiri, gurita dsb dijual pada pedagang penampung dan papa lele yang mendatangi nelayan dari laut. Selama ini pemasaran ikan karang hidup dan ikan mati tidak menemui permasalahan karena pedagang pengumpul yang ada selalu siap penampung ikan dari nelayan. Berapapun ikan yang diperoleh nelayan dapat dijual pada pengumpul dengan tingkat harga yang sudah ditetapkan oleh pengumpul. Bahkan kapasitas ikan karang hidup yang dapat dikumpulkan oleh pedagang pengumpul masih rendah.

Pemasaran kepiting hampir sama dengan pemasaran ikan lainnya. Nelayan menjual kepiting pada padagang pengumpul di desa. Selanjutnya pedagang pengumpul menjual kepiting pada industri pengolahan yang ada di desa. Biasanya sepulang dari mengambil kepiting dari bubu pagi hari, nelayan langsung menjual ke base camp dimana pengumpul sudah menunggu nelayan dari laut. Setelah

KASUS KABUPATEN BUTON 181

 

ditimbang dan ditentukan harganya maka pedagang pengumpul langsung menjual kepiting ke pabrik pengolahan kepiting yang berada base camp tersebut.

Rumput laut merupakan hasil utama nelayan di Desa Wakambangura. Pemasaran rumput laut dilakukan pada pedagang pengumpul di tingkat desa. Di Desa Wakambangura ada 2 orang penampung rumput laut .Selanjutnya pedagang pengumpul menjual rumput laut ke agen besar di Bao-Bao dan Surabaya. Rumput laut merupakan komoditi ekspor. Rumput laut diekspor ke Cina dan Jerman oleh pengumpul di Surabaya. Harga rumput laut ditentukan oleh pedagang pengumpul yang berasal dari eksportir di Surabaya. Harga rumput laut diprediksi mengalami kenaikan pada tahun 2008. Pada tahun ini diprediksi harga di tingkat petani adalah Rp. 8.000/kg, di tingkat pengumpul di Bao-Bao adalah Rp. 9.000/kg dan di Surabaya sebesar Rp. 11.000/kg. Pada tahun 2007, harga di tingkat petani adalah Rp. 5.000/kg.

Selama dua tahun terakhir terjadi peningkatan kegiatan kenelayanan di Kecamatan Mawasangka. Hal ini dapat diindikasikan dari peningkatan pemasaran hasil tangkapan nelayan. Pemasaran hasil tangkapan nelayan tergantung pada pedagang pengumpul yang ada di desa. Ada beberapa pedagang pengumpul yang menampung ikan hasil tangkapan nelayan, baik pengumpul ikan karang hidup, ikan mati, rumput laut dan jenis ikan lainnya. Selama dua tahun terakhir pemasaran hasil laut tidak mengalami permasalahan yang berarti karena semakin banyak pedagang yang mengambil ikan dari nelayan. Di Desa Wakambangura terjadi peningkatan jumlah pedagang pengumpul ikan, yaitu dari 2 orang (2006) menjadi 8 orang (2008). Sekarang setiap hari papa lele mengambil ikan pada pedagang pengumpul, dimana sebelumnya adalah sekali dalam seminggu. Disamping itu, jumlah papa lele juga meningkat, baik dari desa setempat maupun dari luar desa yang membeli ikan pada nelayan atau pedagang pengumpul untuk dijual lagi ke pasar-pasar di desa maupun di tempat lain. Sementara di Desa Terapung terjadi pengurangan jumlah base camp kepiting, dari 3 menjadi 2, namun hal ini tidak menjadi kendala bagi nelayan dalam memasarkan kepitingnya.

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 182

 

Perbedaan musim berpengaruh pada besarnya jumlah pendapatan nelayan. Pada musim gelombang kuat pendapatan nelayan menjadi berkurang karena kegiatan melaut menjadi berkurang. Nelayan banyak yang tidak berani melaut karena armada tangkap yang dimiliki berukuran kecil dengan alat tangkap yang masih sederhana. Nelayan yang turun kelaut hanya menangkap ikan disekitar pantai. Kondisi ini berdampak pada kecilnya pendapatan nelayan pada musim ombak kuat. Sementara pada musim teduh jumlah pendapatan nelayan relatif besar karena frekuensi nelayan menangkap ikan cukup tinggi. Kondisi laut yang tenang dan tidak bergelombang memungkinkan nelayan untuk turun kelaut menangkap ikan sampai pada wilayah tangkap yang cukup jauh.

Kecamatan Mawasangka memiliki potensi sumber daya laut yang cukup besar. Kekayaan Sumber Daya Laut (SDL) yang sangat besar di wilayah ini didukung oleh adanya gugusan batu karang sehingga disamping jenis ikan laut dalam, di wilayah perairan Mawasangka juga banyak terdapat bermacam-macam jenis ikan karang. Sebelum adanya Program COREMAP yang bertujuan untuk melestarikan terumbu karang, penangkapan ikan menggunakan bom dan bius yang dapat merusak terumbu karang banyak dilakukan oleh nelayan setempat. Akibatnya terumbu karang yang berada di sekitar perairan perairan Mawasangka banyak mengalami kerusakan. Sosialisasi pelestarian terumbu karang yang dilakukan oleh COREMAP telah mampu menyadarkan nelayan untuk tidak menggunakan bom dan bius. Setelah adanya program COREMAP kegiatan ini sudah banyak berkurang, bahkan sudah hampir tidak ada lagi. Namun demikian, penggunaan bius secara sembunyi-sembunyi masih dilakukan oleh sebagian kecil nelayan. Hal ini dapat berpengaruh pada penurunan hasil tangkapan nelayan dan kerusakan rumput laut yang dibudidayakan oleh masyarakat, disamping kerusakan terumbu karang. Terumbu karang yang sudah terlanjur rusak emmerlukan pemulihan yang cukup lama.

KASUS KABUPATEN BUTON 183

 

4.3. PERUBAHAN PENDAPATAN DI KECAMATAN KADATUA TAHUN 2006-2008

Peningkatan PDRB Kabupaten Buton juga terlcermin pada penduduk di daerah penelitian Kecamatan Kadatua, sehingga penduduk di lokasi kajian merasakan peningkatan perekonomian mereka. Perdagangan tetap dirasakan sebagai penunjang kesejahteraan utama penduduk. Sampai penelitian tahap kedua ini berlangsung, sektor pertanian dan perikanan masih merupakan sektor pendukung saja, karena perdagangan belum lancar. Koperasi yang ada di dua desa penelitian masih berkutat pada usaha simpan pinjam, belum berperan sebagai mediator untuk pemasaran hasil pertanian dan perikanan.

4.3.1. Pendapatan Penduduk

Pendapatan menurut lapangan pekerjaan

Pendapatan penduduk dinyatakan oleh responden sebagai berubah dalam arti meningkat. Pendapatan rumah tangga rata-rata per bulannya pada tahun 2008 sebesar Rp 819 243.12 sementara pada tahun 2006 mencapai Rp216 190.86 Pertumbuhan yang sangat besar ini dipengaruhi oleh komersialisasi yang meningkat drastis. Beberapa faktor pendukung yang bisa dikemukakan di sini adalah : 1) bantuan modal dari Coremap untuk perdagangan, 2) sektor perdagangan makin lancar dan dikerjakan suami-istri bahkan anak-anak remaja, 3) variasi pekerjaan makin banyak dan 4) harga hasil tani, perdagangan maupun hasil perikanan semakin meningkat.

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 184

 

Tabel 4.9. Pendapatan Rumah Tangga Menurut Lapangan Pekerjaan Kecamatan Kadatua Tahun 2006 (T0) dan 2008 (T1)

Rata-rata Pendapatan per bulan No Lapangan kerja 2006 2008 1. Perikanan tangkap 258 825.23 929 401.52 2 Pertanian pangan 500 000.00 231 562.50 3. Perdagangan 45 476.19 761 416.67 4 Jasa 55 611.11 5. Listrik/gas/air 743 750.00 6. Bangunan 650 000.00 7. Angkutan/transportasi 850 000.00 8. Keuangan 100 000.00 9. Jasa pemerintahan 765 416.67 10. Lainnya 815 555.56 11. Industri (Tenun) 195 000.00

TOTAL 216 190.86 819 243.12 Sumber: Data Primer, Survei BME, Aspek Sosial Ekonomi, PPK-LIPI, 2008

Pendapatan sebagian besar diperoleh dari perdagangan, dan bukan dari usaha kenelayanan sehingga agak sulit bila dihitung secara musiman atau bulanan. Usaha tani kini semakin intensif dengan tenaga kerja sebagian besar perempuan, karena mereka ditinggal oleh suaminya yang pergi merantau. Hasil dari tani juga sudah memberikan kontribusi terhadap rumah tangga karena meningkatnya harga hasil tani, khususnya ubi kayu.

Jika dahulu pendapatan rumah tangga berasal dari penghasilan Kepala Keluarga. Kontribusi istri dan anak biasanya pada ekonomi subsistensi, seperti bertani dengan menanam ubi kayu, jagung dan pisang ; atau beternak kambing, ayam dan itik. Kini hasil tani seperti ubi kayu dan mete memberikan kontribusi nyata terhadap pendapatan rumah tangga. Selain itu, pendapatan rumah tangga juga masih ditopang sebagian dari uang yang dikirim dari anggota keluarga yang kerja di rantau, seperti ke Malaysia, Maluku dan Papua. Tidak ada data yang memadai tentang berapa besar kiriman dari rantau.

KASUS KABUPATEN BUTON 185

 

Pendapatan yang tinggi di kecamatan ini diperoleh oleh orang-orang yang merantau ke Malaysia atau yang bekerja sebagai nelayan redi (pukat cincin). Hasil dari rantau seringkali digambarkan sangat besar bagi orang Kadatua dan bisa menjadi modal usaha sepulang dari rantau.

Pendapatan nelayan menurut musim

Ketika kunjungan pertama tahun 2006, terlihat bahwa perekonomian subsistensi menjadi corak kehidupan sehari-hari di dua desa, khususnya desa Waonu. Pada saat musim gelombang kuat kondisi yang subsistensi ini semakin terlihat nyata. Perputaran uang di desa-desa ini sangat terbatas. Desa-desa di kecamatan ini yang semakin jauh jaraknya dari kota kabupaten akan semakin subsisten. Ekonomi uang baru mulai terlihat jelas ketika musim gelombang tenang, perdagangan hasil laut cukup intensif yang ditandai dengan datangnya pedagang-pedagang pengumpul. Ketika itu kerja laut masih cukup banyak diminati oleh penduduk.

Kini desa-desa yang menjadi sasaran penelitian cenderung terjadi komersialisasi cukup drastis. Orang mulai melakukan variasi pekerjaan lebih banyak dibandingkan dua tahun yang lalu. Di dalam bidang kenelayanan juga terjadi perubahan, yaitu : 1) jumlah nelayan cenderung tetap atau malah berkurang, 2) lebih banyak perahu yang bermesin, dan 3) variasi hasil laut yang ditangkap lebih banyak dibandingkan dua tahun yang lalu dengan harga yang meningkat. Penghasilan nelayan cenderung meningkat karena harga ikan yang jauh lebih tinggi dan variasi hasil laut yang sudah berharga sekarang ini seperti ikan Pari, Bulu Babi dan Kerang-kerangan (dahulu tidak ada harganya).

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 186

 

Tabel 4.10. Pendapatan Rumah Tangga Nelayan Menurut Musim di Kecamatan Kadatua Tahun 2006 (T0) dan 2008 (T1)

Pendapatan RT menurut Musim 2006 2008

Gelombang tenang Mean Median Minimum Maximum

375 563.38 280 000.00

5 000.00 3800 000.00

103 1370.97 800 000.00 250 000.00

9000 000.00 Pancaroba Mean Median Minimum Maximum

2811 97.18 160 000.00

15 000.00 2 280 000.00

6383 87.0968

450 000.00 150 000.00

6000 000.00 Gelombang kuat Mean Median Minimum Maximum

120 216.22 50 000.00

4 000.00 750 000.00

41 7693.55 250 000.00

50 000.00 3000 000.00

Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, PPK-LIPI, 2006 Data Primer, Survei BME, Aspek Sosial Ekonomi, PPK-LIPI, 2008

Pendapatan anggota Pokmas

Pendapatan anggota Pokmas sampai saat penelitian ini berlangsung masih belum terlihat nyata perubahannya, karena dana UEP tersebut baru mulai dimanfaatkan jadi masih sulit untuk diprediksi sejauh mana manfaatnya. Saat penelitian ini berlangsung dana UEP tersebut digunakan sebagai penambah modal yang ada.

Bersamaan dengan berlangsungnya COREMAP tahap kedua ini komersialisasi berlangsung dan mendorong para anggota rumah tangga yang lain untuk ikut bekerja dan memberikan kontribusi terhadap pendapatan rumah tangga. Adanya dana bergulir dari

KASUS KABUPATEN BUTON 187

 

kegiatan UEP telah menambah lagi dorongan untuk bekerja bagi anggota-anggota rumah tangga lainnya. Sesungguhnyalah dana tersebut relatif kecil dibandingkan kebutuhan dana yang diperlukan untuk jalannya usaha mereka. Pokmas yang sudah terbentuk dan berjalan barulah Pokmas UEP dan Pokmas Pengawasan.

4.3.2. Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Pendapatan

Program COREMAP

Ada 2 (dua) faktor yang berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat di desa binaan COREMAP, pertama adalah program-kegiatan COREMAP yang berkaitan dengan pengembangan ekonomi pesisir, dan program pengembangan ekonomi masyarakat pesisir di luar COREMAP.

Program COREMAP yang diperkirakan berpengaruh terhadap pendapatan dapat di lihat pada Buku Pedoman Umum COREMAP Kabupaten Buton. Beberapa kegiatan COREMAP tersebut adalah :

• Penguatan dan Pembentukan Sistem Simpan Pinjam melalui Lembaga Keuangan Mikro (LKM).

• Program Percontohan Pengembangan Teknologi Tepat Guna. • Dana Bantuan Mata Pencaharian Alternatif Kabupaten

(Distict AIG Funds) • Pengembangan Pengelolaan dan pemasaran Ikan Hidup. • Dana Bantuan Desa (Village Grant). • Seed Fund Desa.

Namun demikian, apabila melihat laporan dari PMU Program COREMAP Buton, tampaknya tidak semua 6 (enam) kegiatan di atas dilaksanakan. Ada beberapa program yang terlihat dilaksanakan di Kabupaten Buton. Uraiannya dapat dijelaskan dibawah ini. Selanjutnya, untuk Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP). Program ini merupakan salah satu program Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), yang dilaksanakan oleh Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Direktorat Jenderal

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 188

 

Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil, bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pengembangan kultur kewirausahaan, pembuatan Lembaga Keuangan Mikro (LKM), penggalangan partisipasi masyarakat dan kegiatan usaha ekonomi lainnya (Dirjen Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, 2006). Dibandingkan dengan COREMAP, Program PEMP ini telah dilaksanakan sejak tahn 2001 dan berakhir pada tahun 2009.

Uraian di bawah ini menjelaskan masing-masing program dan kemungkinan pengaruhnya terhadap peningkatan pendapatan masyarakat, sebagai beikut :

Pertama, adalah Dana Bantuan Desa (Village Grant). Dana Bantuan Desa ini telah tersalurkan ke 24 desa binaan COREMAP Kabupaten Buton, dengan total anggaran Rp 1.200.000.000,-, Sebagimana disebutkan dalam Buku Pedoman COREMAP Kabupaten Buton, yang dimaksud dengan Dana

Bantuan Desa adalah dana bantuan bantuan hibah yang disediakan oleh COREMAP untuk mendukung pembiayaan kegiatan pengelolaan terumbu karang dan pembangunan prasarana desa.

Gambar 4.3. Foto Prasarana Desa Yang Dibangun dari Village Grant

Dari pengertian di atas, dana hibah desa yang merupakan dana habis (hibah), bukan dana pinjaman, dapat berpengaruh langsung atau tidak, terhadap pendapatan tergantung dari jenis dan bentuk kegiatan yang ditetapkan dalam RPTK. Artinya, apabila dana hibah bersaing digunakan untuk membangun prasarana fisik desa, seperti PAH (Penampung Air Hujan), maka pengaruhnya lebih kepada kesehatan masyarakat dari pada peningkatan pendapatan. Tetapi, apabila dana hibah desa digunakan untuk membangun prasarana langsung

KASUS KABUPATEN BUTON 189

 

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 190

perekonomian masyarakat, misalnya pabrik es, maka dana ini dapat berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat.

Sebagaimana disebutkan dalam buku Panduan CBM, dana bantuan hibah desa disediakan oleh COREMAP untuk mendukung pembiayaan kegiatan pengelolaan terumbu karang dan pembangunan prasarana dasar desa. Prasarana desa yang dimaksud mencakup prasarana fisik desa yang terkait langsung dengan pengelolaan terumbu karang yang telah ditetapkan, maupun prasarana sosial untuk mendukung Rencana Pengelolaan Terumbu karang (RPTK) yang telah dihasilkan. Tujuan umum program ini adalah untuk mendukung realiasasi perencanaan pengelolaan desa terhadap sumberdaya

pengelolaanya

Untuk melihat dampak dari dana

terumbu karang yang ada di wilayah

hibah desa terhadap pendapatan masyarakat di Buton tidak mudah, karena memerlukan kajian tersendiri, disamping belum semua desa telah memiliki RPTK. Namun demikian, dalam bagian ini dapat disampaikan realiasai RPTK di desa lokasi sampel penelitian. Dana hibah desa di desa Kapoa dan Wounu, kecamatan Kadatua, digunakan untuk membangun sarana penyediaan air minum (PAH). Oleh sebab itu, program ini kemungkinan tidak

berdampak pada pendapat masyarakat di kedua desa ini. Jadi dengan demikian, village grant dapat digunakan di luar prasarana ekonomi masyarakat. Kebutuhan PAH mungkin sangat mendesak bagi masyarakat di kedua desa ini. Oleh sebah itu, kebutuhan PAH dimasukkan dalam RPTK walaupun hal itu telah menyimpang dari tujuan dana hibah desa yang telah tersebut dalam buku pedoman COREMAP.

Gambar 4.4. Foto Mamalele/Pedagang Ikan di Desa Banabungi, Kadatua yang mendapat dana AIG untuk membeli Termos Es.

 

Kedua, adalah Dana Bantuan Mata Pencaharian Alternatif Kabupaten (Distict AIG Funds). Dibandingkan dengan Village Grant, Dana bantuan Mata Pencaharian Alternatif ini merupakan dana pinjaman yang disediakan COREMAP untuk mendorong peningkatan usaha-usaha ekonomi skala kecil dan menengah di lokasi program COREMAP.

Dana ini disalurkan kepada masyarakat melalui koperasi Arwana yang bekerjasama dengan. Project Management Unit (PMU)- Unit Pelaksana Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (COREMAP) Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buton. Kerjasama ini dituangkan dalam bentuan Surat Perjanjian Kerjasama sebagai dokumen rujukan dasar bagi kerjasama kedua institusi tersebut walaupun koperasi Arawana adalah koperasi karyawan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Buton. Hal yang dikerjasamakan adalah pembinaan dan pengembangan mata pencaharian alternative bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil khusunya masyarakat desa pemanfaat program COREMAP.

Dalam dokumen perjanjian kerjasama disebutkan bahwa kedua institusi ini secara bersama sepakat untuk melaksanakan kegiatan district AIG Fund. Koperasi Arwana mendapat tugas untuk menyalurkan dana yang disediakan Dinas Perikanan dan Kelautan Buton. Pelibatan Koperasi Arwana dalam penyaluran dana AIG, juga dikuatkan dengan Surat Keputusan Ketua Project Management Unit (PMU) COREMAP II Kabupaten Buton tertanggal 21 Nopember 2007. Dalam penyaluran dana koperasi mendapat prosentase keuntungan tetapi tidak disebutkan besarnya bagian yang diterima koperasi. Dana bantuan mata pencaharian alternatip (District AIG Fund) berjumlah Rp. 600.000.000.- yang bersumber dari DIPA COREMAP II (NO.0531.1./032.07.1/-/2007, yakni Belanja Bantuan Langsung/ Block Grant Sekolah/ Lembaga/Guru).

Dana AIG COREMAP II Kabupaten Buton telah disalurkan mencapai Rp. 595 juta yang telah distribusikan ke 18 penerima yang berasal dari 13 kecamatan-lokasi COREMAP di kabupaten Buton. Masing-masing pemohon mendapat dana AIG berkisar Rp. 30 juta- 40 juta

KASUS KABUPATEN BUTON 191

 

rupiah. Jadi dengan demikian, dana AIG telah disalurkan hampir seluruhnya dari dana AIG yang disediakan sebesar Rp. 600 juta di setiap kecamatan lokasi penerima program COREMAP I dan II. Namun dana sebesar itu belum merata apabila di lihat dari jumlah desa lokasi COREMAP. Jumlah desa yang ditetapkan sebagai penerima program COREMAP dalam setiap kecamatan adalah 2-4 desa, namun baru 1-2 desa yang telah mendapat dana AIG, begitu pula jika pembandingnya jumlah penduduk desa maka dana AIG sangat kurang memadai dan ini tentu saja sangat mempengaruhi terciptanya mata pencaharian alternatip masyarakat desa penerima program COREMAP.

Respon warga masyarakat dari desa-penerima program COREMAP II terkait dengan AIG Fund ini cukup besar. Di desa Kapoa, kecamatan Kadatua, misalnya, kelompok ibu-ibu pedagang ikan (mama lele) telah mengajukan proposal yang bertujuan untuk meminjam uang untuk mengatasi kekuarangan modal berdagang melalui dana bantuan mata pencaharian alternatif (AIG) (lihat gambar 2). Jumlah dana yang diajukan dalam proposal ini sekitar Rp. 35 juta yang digunakan untuk modal membeli ikan, peralatan dagang (termos es) dan peti es, dan tambahan modal usaha budi daya rumput laut. Dari dana yang diajukan tersebut, kelompok ibu-ibu pedagang ikan ini sanggup mencicil selama 20 bulan dengan besarnya anggsuran pengembalian Rp. 1.750.000,- dan angsuran bunga Rp. 175.000,- setiap bulannya. Jadi dengan demikian selama 20 bulan, total pinjaman yang harus dikembalikan sekitar Rp. 38.500.000,-

Ketiga adalah Seed Fund Desa. Program kegiatan ini tidak jauh berbeda dengan Dana Bantuan Mata Pencaharian Alternatif Kabupaten (Distict AIG Funds). Letak perbedaannya pada mekanisme pemberian dana. Mekanisme pengembangan dana pada Seed Fund Desa diatur berdasarkan hasil kajian dari konsultan keuangan mikro yang dikontrak PMU. Jadi, Seed Fund Desa merupakan dana bantuan yang disiapkan COREMAP untuk mendukung pengembangan usaha-usaha ekonomi produktip yang diusahakan melalui Lembaga Keuangan Mikro. Sejak pelaksaanaan COREMAP di Buton selama tiga tahun ini, Seed Fund Desa telah

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 192

 

diberikan kepada 43 desa-lokasi binaan Coremap dengan total anggaran Rp 1.550.000.000.,

Program pemerintah lainnya

Di luar program COREMAP, terdapat program pemerintah lainnya diantaranya adalah: pertama Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP). Program PEMP pada awalnya digagas untuk mengatasi dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) terhadap perekonomian masyarakat pesisir, yang difokuskan pada penguatan modal melalui perguliran (revolving fund). Kedua Dana Ekonomi Produktip (DEP). Pengelolaan DEP dilakukan oleh Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina (LEPP-M3). Sejak dimulai tahun 2001 hingga tahun 2005, program ini telah menjangkau 271 dari 289 kabupaten/kota pesisir di seluruh Indonesia. Kabupaten Buton sendiri, sejak tahun 2001 sampai tahun 2007 telah mendapat alokasi dana ekonomi produktip sebesar Rp. 3.142.769.000. dan realisasi kredit mencapai Rp. 2.895.200.000,- dengan jumlah orang yang memanfaatkan sekitar 1.205 orang. Lokasi kegiatan program PEMP di Kabupaten Buton berada di 11 kecamatan yaitu: Lakudo, Lasalimu, Mawangsaka Timur, Gu, Sampolowa, Siotapina, Siompu, Batauga, Mawangsa Tengah, Mawangsangka, dan Siompu Barat. Dari 11 kecamatan yang merupakan lokasi program PEMP ternyata 8 kecamatan diantaranya juga merupakan wilayah binaan COREMAP Kabupaten Buton. (Lihat, Tabel 4.11)

KASUS KABUPATEN BUTON 193

 

Tabel 4.11. Daftar Kecamatan Yang Menjadi Wilayah Program PEMP dan COREMAP di Kabupaten Buton

No. Kecamatan Wilayah Program

PEMP

Wilayah COREMAP

1. Kadatua - X 2. Mawasangka X X 3. Wabula - X 4. Siompu X X 5. Batuatas - X 6. Siontapina X X 7. Talaga Raya - X 8. Lasalimu X X 9. Samplolawe - X 10. Mawasangka Timur X X 11. Mawasangka Tengah X X 12. Siompu Barat X X 13. Lakudo X - 14. Batauga X X 15. Gu X -

Sumber: Data Primer, Survei BME, Aspek Sosial Ekonomi, PPK-LIPI, 2008

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengaruh program kegiatan COREMAP maupun program lainnya PEMP, terhadap pendapatan masyarakat ditentukan oleh beberapa karakteristik program itu sendiri. Ada program yang memiliki sifat bantuan langsung ke masyarakat, seperti simpang pinjam, bantuan modal. Program seperti ini jelas berpengaruh langsung terhadap peningkatan pendapatan swecara perorangan, berbeda dengan program yang sifatntya membangun infrastruktur desa yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan ekonomi masyarakat. Selain itu, ada bantuan yang sifatnya pinjaman atau bergulir tetapi ada pula yang hibah/dana habis. Bantuan yang sifatnya hibah mungkin tidak mendidik, oleh karena itu bantuan yang ditujukan untuk perorangan lebih bersifat pinjaman atau dana bergulir. Selain hal di atas, untuk

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 194

 

melihat pengaruh program terhadap peningkatan pendapaatan, akhirnya tergantung cakupan dan dan kinerja program yang terjadi. . Desa-desa binaan COREMAP yang belum mendapat bantuan tentu berbeda pengaruhnya dengan desa binaan yang telah tersalurkan dana.

Faktor internal dan eksternal

• Faktor Internal

Sumber pendapatan sebagaimana sudah dikemukakan di atas, telah menjadi semakin bervariasi. Dari hasil pertanian, perikanan, perdagangan sebagai primadonanya, sektor jasa, dan dari hasil merantau ke Malaysia. Kecenderungan komersialisasi, sehingga semua yang bisa diuangkan, akan diambil, seperti misalnya jenis ikan bulu babi dan ikan pari.

Alat tangkap masih seperti dulu juga, adanya perubahan sedikit yakni jaring yang lebih panjang sudah mulai dimiliki beberapa orang, tetapi selebihnya masih menggunakan pancing dan jaring tradisional. Perubahan yang terjadi adalah makin banyaknya perahu yang menggunakan mesin.

Biaya produksi untuk perikanan cenderung seperti dulu kecuali pada perahu bermesin tentu bertambah biayanya. Hanya saja biaya produksi ini bisa tertutup oleh hasil penjualan hasil tangkap yang diperoleh.

Sumber daya manusianya masih tetap, tidak banyak terjadi perubahan. Perubahan barangkali bahwa kini mulai lebih banyak yang berada di tingkat S 1. Pendidikan dasar dan menengah yang kini malah mulai terganggu dengan semakin ramainya perdagangan dan orang tua membawa serta anak-anaknya merantau. Pendidikan anak-anak cenderung mulai terabaikan dengan kesibukan mencari uang.

• Faktor eksternal

Pemasaran hasil laut kini dilakukan dengan lebih agresif. Ada beberapa pola menjajakan, yakni 1) dibawa ke pasar Bau-bau, 2) dijual kepada tengkulak yang datang ke desa, dan 3) dijajakan keliling

KASUS KABUPATEN BUTON 195

 

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 196

ke desa-desa terdekat dan 4) dijual ke tetangga sekitar rumah. Penjualan ikan kepada tengkulak masih yang terbanyak, hanya saja harganya relatif lebih murah karena harga borongan.

Ikan segar habis ditangkap masih merupakan bahan masakan pilihan dibandingkan daging. Jenis-jenis menu masakan yang paling banyak diketahui penduduk adalah yang berasal dari ikan. Hal ini terlihat pada saat pesta berlangsung atau hidangan yang ada di rumah-rumah. Menu makanan ikan sangat digemari penduduk, selain dianggap menyehatkan badan juga mudah diperoleh. Untuk pesta biasanya diupayakan ikan-ikan besar seperti ikan tuna dan tongkol.

Pada saat air surut ibu-ibu dan anak remaja pada pergi ke pantai untuk mengumpulkan bulu babi dan kerang-kerangan, yang saat sekarang ini laku dijual. Jika tidak ada ikan, maka bulu babi dan kerang-kerangan itu menjadi hidangan makan penduduk. Hal ini terjadi khususnya pada saat musim gelombang kuat.

Saat sekarang musim tidak lagi jelas. Pada saat seharusnya musim tenang justru terjadi angin kencang dan ombak tinggi. Perubahan musim yang tidak jelas ini berpengaruh pada keselamatan si nelayan. Tidaklah mengherankan bila nelayan cenderung mencari ikan dekat-dekat pantai saja, walaupun perahu mereka sudah bermesin.

Abrasi menjadi ancaman bagi desa Waonu. Ombak yang kuat menjadi salah satu penyebab hancurnya karang-karang terdepan dari perairan desa Waonu. Ombak yang sama juga sudah mulai mengikis pantai desa itu. Bila air pasang tinggi tidak jarang membanjiri rumah-rumah yang terletak di dekat pantai atau sebelah selatan jalan raya desa Waonu, sehingga pemilik rumahnya harus menumpang menginap sementara di rumah kerabatnya. Adanya DPL (daerah perlindungan laut) telah memberikan hasil berupa makin suburnya ikan yang ada, sehingga dirasakan nelayan hasil tangkapan semakin banyak dibandingkan waktu yang lalu.

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

5.1. KESIMPULAN

ajian tentang Benefit Monitoring Evaluation (BME) Sosial Ekonomi di Kabupaten Buton pada tahun 2008 ini, merupakan kajian lanjutan Survei Data Dasar Aspek Sosial

Ekonomi Terumbu Karang tahun 2006, dengan lokasi dan responden yang sama. Laporan ini merupakan hasil kajian tahun 2008, terutama membahas tentang pelaksanaan COREMAP di Kabupaten Buton umumnya dan kedua lokasi kajian pada khususnya, serta kendala yang dihadapinya. Kajian kali ini juga membahas kondisi sosial ekonomi masyarakat, khususnya pendapatan rumah tangga, baik dari kegiatan kenelayanan maupun kegiatan ekonomi lainnya. Dengan membandingkan pendapatan masyarakat selama dua tahun terakhir (2006-2008), serta faktor-faktor yang mempengaruhinya, diharapkan dapat digunakan untuk memantau dampak Program COREMAP terhadap kesejahteraan masyarakat di kedua lokasi kajian yaitu Kecamatan Mawasangka dan Kadatua.

K

5.1.1. Kecamatan Mawasangka (Kawasan Pesisir)

Implementasi dan kendala COREMAP

• Pelaksanaan COREMAP II diawali dengan pembentukan kelembagaan pengelola di tingkat desa seperti LPSTK, Pokmas, LKM dan MD dengan mengikut sertakan masyarakat dalam proses pembentukannya. Kegiatan-kegiatan COREMAP juga direncanakan oleh masyarakat yang tertuang dalam RPTK masing-masing desa binaan. Di kedua lokasi, kelembagaan yang menjadi syarat formal pelaksanaan COREMAP di tingkat desa binaan sudah terbentuk dan sebagian sudah berjalan sesuai dengan RPTK masing-masing. Meskipun demikian ada

KASUS KABUPATEN BUTON 197

kecenderungan pembentukan lembaga dan pemilihan pengurus lain (seperti LKM, Pokmas), dilakukan secara tergesa-gesa, bersifat formalitas yaitu sekedar memenuhi syarat turunnya dana bantuan COREMAP (UEP). Bahkan di salah satu lokasi kajian, pengurus LKM dan Pokmas tertentu kurang berfungsi karena ketua LPSTK yang beranggapan bahwa pengurus Pokmas yang relatif banyak, tidak sebanding dengan beban COREMAP dalam pengguliran dana yang relatif masih kecil.

• Pemilihan pengurus kelembagaan (selain ketua) cenderung dipilih orang-orang dekat tim pengelola (LPSTK, kepala desa dan MD). Keterbatasan sumber daya manusia di lokasi binaan, juga menyulitkan seleksi pengurus untuk berbagai kelembagaan COREMAP. Dampaknya pengelolaan COREMAP cenderung didominasi beberapa pengurus, bahkan di satu lokasi binaan hanya didominasi ketua LPSTK dan orang-orang dekatnya. Kondisi ini berpotensi melemahkan peran pengurus Pokmas lainnya, dan cenderung menjadi tidak peduli dengan aktivitas COREMAP, karena kurang diikutsertakan dalam pengelolaan sesuai dengan fungsinya. Apabila kondisi ini berkelanjutan, partisipasi masyarakat yang menjadi sasaran penting COREMAP, kurang tercapai.

• Sebelum dana bergulir turun (akhir tahun 2007), kegiatan COREMAP di kedua lokasi lebih menonjol pada penyadaran masyarakat (awareness) terutama untuk konservasi terumbu karang. Sosialisasi banyak dilakukan pada kelompok masyarakat secara formal maupun informal, di tempat pertemuan maupun di gote-gote (tempat berbincang antar tetangga di depan rumah tinggal). Hasil kegiatan sosialisasi yang dilakukan Pokmas konservasi dan Pokwasmas, dirasakan oleh masyarakat setelah berjalan setahun, yakni masyarakat menyadari arti penting konservasi terumbu karang untuk kehidupan yang lebih baik dan berkelanjutan. Banyak pihak mengakui bahwa program COREMAP di desa binaan telah berdampak berkurangnya praktek penangkapan ikan yang merusak terutama pemakaian bom dan alat tangkap lain yang merusak (redy dan pukat).

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 198

Bahkan karena dana untuk konservasi minim, masyarakat nelayan rela berswadaya untuk ‘menjaga’ DPL dari pelanggaran-pelanggaran tersebut. Dampak yang langsung dirasakan oleh masyarakat adalah makin banyaknya populasi ikan (termasuk ikan karang) dan kembalinya jenis ikan yang pernah hilang (antara lain ikan biji nangka). Indikasi semakin banyaknya ikan dapat dilihat dari pengumpul ikan di lokasi kajian semakin banyak, frekuensi kapal ekport yang makin sering datang (dulu 3 bulan sekali sekarang setiap bulan).

• Isu praktek merusak karang melalui pembiusan yang diangap semakin marak setelah COREMAP, terutama dilakukan oleh beberapa orang lokal yang diketahui prakteknya, namun sulit pembuktiannya. Namun demikian ketua LPSTK dan masyarakat tidak berdaya terhadap pelanggaran –pelanggaran tersebut, terutama praktek pembiusan, meskipun merugikan banyak nelayan. Hal ini disebabkan kurang seriusnya pihak yang berwajib dalam menindak lanjuti pelaku, meskipun dukungan untuk konservasi cukup kuat dari semua unsur masyarakat (pemerintah, tua adat dan tokoh masyarakat). Hal ini dikuatirkan menimbulkan turunnya kepercayaan masyarakat terhadap keseriusan program konservasi, karena adanya pelaku yang diduga mendapat back up dari pihak berwajib, sehingga tidak tersentuh hukum. Indikasi praktek yang merugikan nelayan hanya dapat dilihat dari hasil tangkapan yang tidak sebanding dengan alat tangkap yang dimiliki nelayan pada umumnya. Di Wakambangura banyak rumput laut yang menjadi gosong karena terkena dampak pembiusan tersebut.

• Pembentukan DPL di lokasi binaan dilakukan atas dasar musyawarah, sehingga cenderung dijaga pelaksanaannya oleh masyarakat. Namun dengan berjalannya waktu banyak batas DPL yang hilang terkena ombak dan masyarakat tidak berdaya untuk menggantinya, karena tidak tersedia dana untuk penggantian. Akibatnya DPL tanpa batas yang jelas, hanya diketahui oleh nelayan lokal, karena pemilihan lokasi DPL sudah mempertimbangkan tempat strategis yang juga ‘dikeramatkan ‘

KASUS KABUPATEN BUTON 199

masyarakat. Namun nelayan dari luar sulit mengetahuinya, sehingga pelanggaran mudah dilakukan apabila tidak dijaga. Penjagaan ini dilakukan secara spontan oleh masyarakat nelayan sekaligus sambil melakukan pekerjaan kenelayanan di laut.

• Antusias masyarakat dan pengurus Pokmas bertambah dengan mulai cairnya dana bergulir dari program COREMAP (UEP), meskipun realisasinya lambat dan belum memenuhi target. Dalam hal pengelolaan dana bergulir, peran dominan LPSTK di suatu desa binaan, berpotensi ‘jalan sendiri’ terutama dalam mengambil kebijakan mengelola dana Pokmas (UEP). Tanpa transparansi dalam pengelolaan dana dengan pengurus kelembagaan terkait, berpotensi menimbulkan kecurigaan adanya benturan kepentingan dengan kegiatan ekonomi pengurus dan orang-orang dekatnya. Antusias masyarakat akan berkurang manakala penyaluran dana bergulir tidak menyentuh kepentingan masyarakat yang menjadi sasaran.

• Pergantian pimpinan COREMAP di tingkat kabupaten pada tahun 2007, menimbulkan dualisme kepemimpinan antara pejabat lama dan baru yang dianggap mencerminkan dualisme kepentingan pimpinan eksekutif (bupati) dan legeslatif (DPRD). Hal ini berdampak pada ketidakpastian yang dirasakan oleh banyak fungsionaris COREMAP di tingkat daerah binaan, sehingga mengurangi aktivitas pengurus di daerah binaan (tanpa surat keputusan dan honor selama berbulan-bulan).

• Kesepakatan yang sudah dibuat antara PMU di tingkat kabupaten dengan Dinas Pendidikan dalam masalah memasukkan mata pelajaran terumbu karang melalui muatan local (Mulok), dalam implementasinya kurang didukung oleh program Diknas Kabupaten yang tetap memberlakukan Mulok Bahasa Daerah, karena menjadi bagian dari mata pelajaran untuk UAS. Sementara mata pelajaran terumbu karang memerlukan waktu /jam pelajaran yang berebut dengan bahasa daerah, dan tidak termasuk dalam UAS. Agar benturan antara program COREMAP dan budaya tidak terjadi, diperlukan kebijakan di

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 200

tingkat Diknas, sehingga dapat mencapai sasaran tanpa mengorbankan salah satu pihak.

• Selain dana COREMAP, lokasi binaan COREMAP juga menerima bantuan dari pihak lain (antara lain Provinsi, Kabupaten, Program PPK, dan DKP). Meskipun demikian koordinasi dilakukan antarpihak terkait sehingga tumpang tindih dapat dihindarkan seoptimal mungkin. Pada umumnya dana bantuan diluar COREMAP lebih untuk pembangunan fisik seperti infrastruktur, sekolah, Posyandu, jaringan listrik dan jaringan air bersih (PDAM). Tampaknya dalam praktek bantuan-bantuan dana tersebut saling melengkapi, karena program COREMAP dapat diarahkan oleh masyarakat untuk melengkapi program yang dibutuhkan. Misal di Desa Wakambangura program bantuan fisik COREMAP diarahkan ke pembuatan talut (pemecah ombak) di sepanjang pantai (baru 100 m) dan di Desa Terapung lebih diarahkan untuk perlengkapan air bersih (bak air).

• Pondok informasi sudah tersedia di kedua lokasi, biasanya lahan disediakan masyarakat dan bangunan oleh program COREMAP. Namun belum berfungsi penuh, cenderung lebih banyak terkunci. Demikian pula belum banyak berfungsi sebagai tempat untuk mendapatkan berbagai informasi COREMAP karena keterbatasan sarana dan bahan untuk maksud tersebut. Di Terapung karena lokasinya strategis di sebelah kantor desa, maka kantor ini sering dimanfaatkan untuk pengelolaan dana bergulir oleh pengurus LKM.

• Adanya program COREMAP tampaknya telah berhasil meningkatkan pengetahuan tentang COREMAP dan konservasi, terutama pada responden yang terlibat kepengurusan atau sasaran program Pokmas. Meskipun demikian tanpa pengetahuan COREMAP, keterlibatan masyarakat dalam konservasi cukup besar, karena menyangkut kepentingan ekonomi mereka.

KASUS KABUPATEN BUTON 201

• Dasar pemberian insentif untuk pengurus COREMAP di tingkat desa binaan tidak jelas, sehingga sering menimbulkan perasaan tidak adil antarpengurus. Pengurus MD dapat insentif bulanan, sementara ketua LPSTK dan pengurus lain tidak memperolehnya, sehingga insentif diperoleh dari uang jasa pengelolaan dana bergulir. Perlu pengawasan yang intensif, agar dana bergulir yang sudah terkumpul, tidak salah sasaran dan benar-benar dimanfaatkan untuk pihak-pihak yang lebih membutuhkan. Dana tersebut cenderung rawan penyalahgunaan apabila tidak ada transparansi diantara para pengelola.

• Kesejahteraan masyarakat dilihat dari pemilikan aset produksi dan non produksi cenderung meningkat dalam 2 tahun terakhir (2006-2008), baik karena pengaruh konservasi COREMAP maupun faktor lainnya. Beberapa peningkatan aset produksi dan non-produksi juga dipengaruhi oleh kiriman dari perantau yang bisanya untuk modal (sarana penangkapan ikan), rumah maupun kendaraan bermotor. Sedangkan peningkatan kesejahteraan dilihat dari kondisi permukiman dan sanitasi lingkungan juga dipengaruhi oleh dukungan banyak program yang masuk ke lokasi desa binaan COREMAP.

Perubahan Pendapatan dan Faktor yang Berpengaruh

• Selama kurun waktu 2006-2008 terjadi peningkatan rata-rata pendapatan rumah tangga dan pendapatan perkapita di Kecamatan Mawasangka. Pendaparan rumah tangga meningkat sebesar 4,4 persen, dari Rp. 1.440.522 menjadi Rp. 1.568.608 per bulan dan pendapatan perkapita meningkat sebesar 10,5 persen, dari Rp. 286.286 menjadi Rp. 349.259. Peningkatan ini berkaitan dengan kenaikan pendapatan masyarakat di sektor pertanian, baik pertanian pangan maupun tanaman keras. Selain itu, peningkatan pendapatan rumah tangga dari sektor perdagangan meningkat secara signifikan, karena semakin meningkatnya kegiatan perdagangan masyarakat, terutama perdagangan hasil ikan. Sementara pendapatan rumah tangga dari sektor perikanan mengalami penurunan karena menurunnya hasil tangkapan ikan.

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 202

• Pendapatan rumah tangga nelayan mengalami penurunan, baik pendapatan perkapita maupun rata-rata pendapatan. Pendapatan rata-rata rumah tangga nelayan turun sebesar 19 persen, dari Rp. 2.479.874 menjadi Rp. 1.625.806, sedang pendapatan rata-rata turun sebesar 7 persen, dari Rp. 4.12.902 menjadi Rp. 357.095. Penurunan ini disebabkan berkurangnya hasil tangkapan ikan oleh nelayan. Hal ini berkaitan dengan belum maksimalnya hasil tangkapan nelayan, terutama dari hasil ikan teri. Hasil tangkapan ikan teri pada tahun ini diprediksi mengalami peningkatan, diindikasikan oleh perolehan ikan teri yang lebih banyak pada awal Musim Timur dibandingkan dengan awal musim Timur pada tahun sebelumnya. Pada puncak musim Timur (September) ikan teri akan berlimpah dan biasanya Base Camp penuh sehingga tidak menampung lagi ikan teri dari nelayan. Biasanya nelayan dan keluarga melakukan pengeringan ikan sendiri dirumah masing-masing. Masih adanya penangkapan ikan menggunakan bius yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh sebagian kecil nelayan yang berpengaruh hasil tangkapan nelayan pancing.

• Pendapatan nelayan bervariasi menurut musim, rata-rata

pendapatan nelayan pada musim ombak lemah lebih tinggi dibandingkan musim pancaroba dan musim ombak kuat. Hal ini disebabkan sebagian besar nelayan tidak melaut pada musim gelombang kuat karena keterbatasan armada tangkap.

• Kegiatan COREMAP belum memperlihatkan dampak yang

signifikan pada pendapatan masyarakat karena program UEP baru dilaksanakan pada awal tahun 2008 sehingga belum memperlihatkan dampak pada kenaikan pendapatan masyarakat. Selain itu, relatif kecilnya dana yang digulirkan pada anggota pokmas berkisar antara Rp. 500.000 sampai Rp. 2.500.000 sehingga kurang berpengaruh signifikan pada kenaikan pendapatan.

KASUS KABUPATEN BUTON 203

5.1.2. Kecamatan Kadatua (Kawasan Kepulauan)

• Sejak penelitian tahun 2006 (T-0), desa binaan COREMAP di daerah penelitian Kadatua yang terpilih sebagai lokasi penelitian merupakan desa pantai, namun sumber penghasilan masyarakatnya tidak terlalu bergantung pada usaha kenelayanan. Ada lima alasan yang sangat menonjol yakni : 1) hanya sebagian kecil saja rumah tangga yang intensif dalam usaha kenelayanan dan umumnya sudah berusia relatif tua (di atas 50 tahun); 2) menggunakan teknologi yang sangat sederhana, seperti perahu tidak bermesin dan menggunakan alat tangkap jaring dan pancing; 3) penggunaan alat tangkap yang sifatnya merusak (seperti bom ikan dan potassium) tidak banyak terjadi terutama di kalangan penduduk lokal. 4) sebagian besar penduduk juga melakukan pekerjaan di luar kenelayanan, 5) harga hasil laut masih sangatlah rendah.

• Pada penelitian berikutnya yaitu tahun 2008 (T-1), semakin jarang penduduk melakukan pekerjaan utama sebagai nelayan. Hal ini positif dilihat dari usaha program COREMAP, sehingga kekuatiran untuk melakukan perusakan terumbu karang semakin kecil. Dana UEP (usaha ekonomi produktif) disambut gembira oleh penduduk, terutama untuk mengembangkan perdagangan, yang sejak lama digeluti sebagian besar penduduk di lokasi penelitian.

• Pemilihan pengurus COREMAP cenderung lebih berdasarkan hubungan-hubungan personal dan bukan pemilihan berdasarkan partisipasi penduduk. Demikian pula orientasi sebagian pengurus yang lebih kepada harapan memperoleh keuntungan finansial, berpengaruh pada pelaksanaan program COREMAP di daerah binaan. Program yang relatif berjalan lancar adalah program Pokmas UEP yang memberikan bantuan dana bergulir. Koperasi juga sudah terbentuk di dua desa yang menjadi sasaran penelitian, yakni di Waonu dan Kapoa. Usaha koperasi terbatas pada kegiatan simpan pinjam, sedangkan usaha produktif lain seperti penjualan kebutuhan sehari-hari seperti beras, gula, dan lain-lain

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 204

kurang berhasil. Bantuan dana bergulir terkendala dengan kecenderungan macetnya pengembalian atau cicilan dari sasaran binaan yang menerima dana bergulir.

• Alokasi anggaran dan penerapan program COREMAP pada tahap kedua cenderung belum tepat sasaran dan tepat guna. Beberapa alasan yang dapat dikemukakan adalah: Pertama, pembentukan pengurus-pengurus COREMAP (LPSTK dan Pokmas-pokmas) yang cenderung kurang bersifat bottom up dan terkesan merupakan orang-orang yang dekat dengan Kepala Desa. Kedua, lambatnya pencairan dana dalam pembayaran gaji para pengurus selama beberapa bulan terakhir, menurunkan semangat para pengurus dalam menjalankan program-program COREMAP. Ketiga, terhambatnya kegiatan-kegiatan Pokmas, disebabkan belum cairnya dana operasional untuk pokmas-pokmas yang sudah terbentuk. Keempat, kegiatan Pokmaswas sudah dimulai oleh masyarakat, meskipun dengan dana terbatas dari masyarakat nelayan. Kapal motor yang dijanjikan untuk pelaksanaan pengawasan ini, sampai penelitian dilakukan belum terealisir. Biasanya kegiatan Pokmaswas dilakukan apabila praktek penangkapan ikan yang merusak terjadi di wilayah laut mereka, dengan mengejar dan mencari tahu pelakunya, kemudian dilaporkan ke polisi yang bertugas. Pada umumnya praktek merusak ini secara kebetulan diketahui nelayan yang sedang melaut di sekitarnya.

• RPSTK telah berhasil disusun, meskipun dengan cara yang kurang memenuhi standar COREMAP. Biasanya anggaran diajukan sebanyak mungkin, karena adanya isu semakin banyak mengusulkan kegiatan semakin baik, karena anggaran yang diajukan dapat mencapai milyar rupiah (mumpungisme/politik bantuan). Ketika evaluasi program COREMAP (T-1) ini dilakukan, RPSTK masih pada tahap sosialisasi kepada pengurus dan pokmas-pokmas. Banyak penduduk yang belum mengetahui adanya RPSTK itu.

KASUS KABUPATEN BUTON 205

• Pondok informasi secara formal sudah tersedia di Desa Waonu dan Kapoa, namun aktivitasnya belum ada, bahkan pamflet dan brosur-brosur sangat sedikit. Ada inisiatif dari CETO untuk menempel sejumlah informasi yang ditulis di karton, seperti data kependudukan dan lain-lain. Sehari-harinya pondok informasi ini lebih sering terlihat dalam keadaan terkunci.

• Penerapan kegiatan program COREMAP Fase II bila dilihat dari perubahan pendapatan dengan membandingkan hasil studi tahun 2006 dengan tahun 2008, dapat dikatakan berhasil. Pendapatan rumah tangga secara umum justru telah mengalami peningkatan, baik di Desa Waonu maupun Desa Kapoa. Pendapatan meningkat lebih karena: pertama membaiknya perdagangan emas, tenun tradisional dan pakaian yang kini sesungguhnya menjadi usaha utama penduduk. Kedua, meningkatnya harga jual hasil- hasil laut. Harga ikan meningkat dibandingkan dua tahun yang lalu. Hasil laut lainnya seperti bulu babi, ikan pari-pari, kerang-kerangan dan lain-lain kini lebih berharga dibandingkan kondisi 2 tahun sebelumnya. Tatkala penelitian tahun 2006, ikan pari nyaris tidak ada harganya dan dibuang-buang saja di pinggir pantai, begitu juga dengan kerang-kerangan dan bulu babi. Ketiga, harga hasil-hasil pertanian juga membaik. Harga ubi kayu yang dahulu nyaris tidak berharga, karena lebih banyak digunakan untuk keperluan sendiri, kini mulai dikomersialkan karena ada harganya. Penduduk pun lebih sering makan kasoami yang dibuat dari ubi kayu dibandingkan makan nasi, sehingga ubi kayu menjadi komoditi perdagangan juga. Saat penelitian ini berlangsung harga mete juga sedang membaik karena banyaknya pesanan.

• Program rumput laut yang diprioritaskan untuk dikembangkan dalam program COREMAP , boleh dikatakan kurang berhasil di daerah penelitian Kecamatan Kadatua. Ombak yang keras telah menyulitkan berkembangnya budi daya rumput laut di daerah ini.

• Program-program COREMAP yang bisa dikatakan memberikan dampak yang jelas adalah program penyadaran masyarakat

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 206

(awareness), yaitu meningkatnya pengetahuan penduduk tentang kelautan dan perlunya konservasi diterapkan. Selain itu, pemberian dana UEP (Usaha Ekonomi Produktif) merupakan tambahan modal bagi para pedagang dalam mengembangkan usahanya. Berkembangnya usaha dagang tersebut juga berakibat langsung terhadap merosotnya eksploitasi terhadap laut, karena berkurangnya jumlah nelayan, sehingga ikan-ikan sempat berbiak. Populasi ikan cenderung meningkat di daerah perlindungan laut (DPL), baik di Waonu maupun di Kapoa.

• Berkembangnya perdagangan juga mempunyai dampak lanjutan, yaitu meningkatnya daya beli masyarakat yang berdampak pada semakin meningkatnya komersialisasi usaha pertanian. Hasil-hasil pertanian seperti ubi kayu maupun hasil laut seperti kerang-kerangan, bulu babi, ikan pari yang sebelumnya bersifat subsisten (hanya untuk konsumsi karena harga relative rendah), kini menjadi komoditi komersial, karena harga cukup tinggi.

5.2. REKOMENDASI

• Di sebagian lokasi binaan, partisipasi masyarakat dalam program COREMAP cenderung bukanlah partisipasi murni (non responsible participation), akan tetapi lebih dipengaruhi oleh kebutuhan akan bantuan dana, sehingga pemberdayaan bersifat semu dan temporer. Program yang lebih berhasil adalah program awareness yang menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan penduduk tentang pentingnya melestarikan sumber daya laut, khususnya terumbu karang.

• Program UEP yang menyalurkan sejumlah dana bergulir, paling banyak diminati penduduk. Namun demikian jumlah dana yang sudah disalurkan relative masih kecil dibandingkan kebutuhan masyarakat akan modal usaha dan cakupan sasaran juga masih terbatas. Perlu diperhitungkan secara matang kebutuhan dana sesuai dengan jumlah sasaran yang benar-benar membutuhkan dan jenis kegiatan di lokasi kajian, sehingga tepat guna dan tepat sasaran. Di Kecamatan Kadatua misalnya, usaha penduduk

KASUS KABUPATEN BUTON 207

berupa perdagangan pakaian dan emas sampai ke Maluku dan Papua, sehingga diperlukan dana yang relatif besar. Apabila usaha ini dilakukan secara berkelompok (misal satu kelompok 5 orang), kemudian diberi bantuan dana yang cukup serta dibina kekompakannya, hasilnya akan lebih besar dan dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk di lokasi tanpa harus mengexploitasi laut secara berlebihan.

• Di Mawasangka, untuk memulai usaha budi daya rumput laut diperlukan modal yang relatif besar, biasanya modal diperoleh dari pedagang penampung dengan imbalan penjualan hasil yang sering merugikan petani. Apabila mereka memperoleh pinjaman modal yang tidak mengikat, penghasilan mereka diharapkan akan lebih baik, karena tidak terikat pada peminjam.

• Perlunya monitoring penggunaan anggaran, karena rentannya penyelewengan yang disebabkan rendahnya pengawasan. Kurang lancarnya gaji para pengurus COREMAP di daerah sasaran serta lambatnya pencairan dana untuk kegiatan pokmas, dapat menimbulkan kecurigaan diantara pengurus, karena dianggap sebagai kelemahan dalam pengelolaan anggaran. Kelancaran program COREMAP di daerah binaan sangat tergantung pada pengelolaan anggaran baik di tingkat kabupaten maupun di lokasi binaan.

• Keterbatasan SDM dalam pengelolaan COREMAP perlu diatasi dengan memperbanyak pelatihan dan memperluas partisipasi masyarakat. Pelatihan yang ada biasanya hanya terbatas untuk para pengurus inti, sehingga menimbulkan kecemburuan pada pengurus lain yang tidak pernah mendapat kesempatan berlatih. Sementara pengurus lain dengan kemampuan terbatas, kurang dapat dimanfaatkan, sehingga kepengurusannya hanya bersifat formalitas.

• Pembentukan pengurus selama ini cenderung formalitas dan kurang mempertimbangkan realitas di daerah binaan. Untuk mencapai hasil yang efisien dan efektif, jumlah pengurus perlu

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 208

disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan (bukan standar formal), dan secara bertahap jumlahnya ditingkatkan sesuai kebutuhan. Kondisi ini untuk menghindarkan kesan mubazir dan tidak dilibatkan. Di sisi lain untuk menghindarkan tuntutan insentif (dari jasa dana bergulir) dari para pengurus yang hanya bersifat formalitas.

• Masyarakat yang mulai menyadari arti penting konservasi akan kembali meragukannya, apabila pelaku pengrusakan dibiarkan lolos karena tidak tersentuh hukum. Keseriusan pihak berwajib dalam menindaklanjuti pelaku pelanggaran konservasi perlu ditingkatkan, tanpa pandang bulu, sehingga kepercayaan masyarakat dapat terjaga. Apabila kesan diskriminatif terus berlanjut, keberhasilan program COREMAP dalam menjaga dan memulihkan terumbu karang semakin sulit tercapai.  

 

KASUS KABUPATEN BUTON 209

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 210

DAFTAR PUSTAKA

Adi, I.R (2003) Pemberdayaan, pembangunan masyarakat dan intervensi komunitas, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta

Burke, L et al.(2002) Terumbu Karang yang Terancam di Asia Tenggara. Terjemahan. Jakarta : World Resources Institute.

Bartle, F.(2005) Mengukur pemberdayaan. http://www.scn.org/mpfc/modules/ mea-ovin.htm

BPS Kabupaten Buton (2007) Kabupatan Buton Dalam Angka Tahun 2006, Kab. Buton 2007.

Chambers, R. (1984) Metode pintas dalam pengumpulan data sosial untuk proyek- proyek pembangunan pedesaan. Balitbang Pertanian dan The Ford Foundation, Jakarta

Crawford, B et al. (2000) Community-Based Marine Sanctuaries in the Phillippines : A Report on Focus Group Discussions. PCAMRD, Los Banos

CRITC-COREMAP II-LIPI (2007) Monitoring Ekologi Buton, CRITC-COREMAP II-LIPI, Jakarta

Departemen Kelautan dan Perikanan-DKP (2007) Pedoman Umum Pengelolaan Berbasis Masyarakat COREMAP II’ Jakarta DKI – Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Forsyth, T.( 2003) Critical political ecology, The Politics of environmental science, Routledge, London and New York

KASUS KABUPATEN BUTON 211

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME 212

Hardin, G. (1968) Tragedy of the Common. Science 162 : 1243-1248

Hasbullah, J. (2005) Social Capital, menuju keunggulan budaya manusia Indonesia, MR United Press, Jakarta

Ife, J.(1995) Community development: Creating community alternatives-vision, analysis and practice,Longman Pty Ltd, Australia

Nagib, Laila, dkk (2006) Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II: Kasus Kabupaten Buton, COREMAP-LIPI.

Oliver, ed. (2002) Sustainable Fishery Management in Asia. Asian Productivity Organization, Tokyo.

Program Management Unit (PMU) dan Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Sumberdaya Pesisir (LP2SP) (2007)

Laporan Hasil Kegiatan Workshop Guru Untuk Pengembangan Pembelajaran Mulok Terumbu Karang, PMU & LP2SP, Bau-Bau

Zaelany, A. (2003) “Becoming the Fish Bomb Fisherman as an Adaptation Strategy in Economic Crisis : Case Study of Pulau Karang, Indonesia ” . In : The Role of Dialogue and Networking : From A Transitional to an Industrialized Country, Proceeding of an International Symposium Cum Workshop in Hanoi, Vietnam

Zaelany, A dkk. (2007) “Persepsi Tiga Stakeholder terhadap Pekerjaan Nelayan Bom Ikan di Pulau Barrang Lompo, Provinsi Sulawesi Selatan. Dalam : Jurnal Pesisir dan Lautan. Volume 7, no.2. Bogor : PKSPL - IPB