kondisi sosial-ekonomi kasus kabupaten...

193

Upload: others

Post on 26-Jan-2020

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu
Page 2: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

KONDISI SOSIAL-EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II :

KASUS KABUPATEN WAKATOBI

Page 3: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

KONDISI SOSIAL-EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II :

KASUS KABUPATEN WAKATOBI

Deny Hidayati Ngadi Daliyo

LIPI COREMAP-LIPI

CRITC – LIPI2007

Page 4: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Kasus Kabupaten Wakatobi

xi

KATA PENGANTAR

COREMAP Fase II yang telah dimulai sejak tahun 2004 dan direncanakan akan dilaksanakan sampai dengan tahun 2009 bertujuan menciptakan pengelolaan ekosistem terumbu karang agar sumber daya laut ini dapat direhabilitasi, diproteksi dan dikelola secara berkesinambungan yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Keberhasilan COREMAP dapat dikaji dari berbagai aspek, diantaranya dari aspek biofisik dan sosial-ekonomi. Dari aspek biofisik diharapkan akan tercapai peningkatan tutupan karang sebesar 5 persen per tahun, sedangkan dari aspek sosial ekonomi diharapkan terjadi peningkatan pendapatan penduduk dan jumlah penduduk yang mempunyai kegiatan ekonomi berbasis sumber daya terumbu karang dan kegiatan alternatif lainnya sebesar 10 persen pada akhir program. Keberhasilan Coremap salah satunya dipengaruhi oleh kesesuaian desain program dengan permasalahan yang ada. Oleh karena itu sangat penting pada masa persiapan melakukan perencanaan program yang didukung oleh data dasar aspek sosial-ekonomi berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya terumbu karang. Selain dipergunakan sebagai masukan-masukan dalam merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu karang ini juga penting untuk melakukan evaluasi keberhasilan program. Untuk mendapatkan data dasar tersebut perlu dilakukan baseline studi sosial ekonomi yang bertujuan untuk mengumpulkan data tentang kondisi sosial-ekonomi, budaya masyarakat di lokasi COREMAP sebelum program berjalan. Hasil baseline studi sosial-ekonomi ini merupakan titik awal (T0) yang menggambarkan kondisi sosial ekonomi masyarakat sebelum program/intervensi COREMAP dilakukan. Buku laporan ini merupakan hasil dari baseline studi sosial-ekonomi yang dilaksanakan di lokasi-lokasi Coremap di Indonesia bagian Timur (lokasi World Bank). Baseline studi sosial-ekonomi dilakukan oleh tim peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan – LIPI (PPK-LIPI) dan beberapa peneliti sosial dari kedeputian IPSK - LIPI. Terlaksananya kegiatan penelitian dan penulisan buku laporan melibatkan berbagai pihak. Penghargaan dan ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Kepala Pusat Penelitian Kependudukan-LIPI yang telah memberikan dukungan kepada tim peneliti melakukan baseline studi ini. Kepada para informan: masyarakat nelayan, pemimpin formal dan informal, tokoh masyarakat di Desa Mola Selatan, Waha dan Kelurahan Wandoka kami ucapkan terima kasih atas

Page 5: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

segala bantuannya. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada para pewawancara yang telah membantu pelaksanaan survai. Terima kasih kami haturkan pada motivator Coremap di Desa Mola Selatan dan Waha yang telah membantu dan memfasilitasi kegiatan penelitian ini. Kami juga memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua narasumber dari berbagai unsur, seperti pemerintah daerah Kabupaten Wakatobi, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan dan staf, BAPPEDA, Unit pelaksana Coremap, CRTICs, LSM di Kabupaten Wakatobi dan akademisi dari UNHALU Kendari yang telah membantu memberikan data dan informasi. Pada akhirnya, kami menyadari bahwa draft laporan ini masih jauh dari sempurna meskipun tim peneliti telah berusaha sebaik mungkin dengan mengerahkan segala kemampuan yang dimiliki. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan demi penyempurnaan laporan ini. Jakarta, Januari 2007 Direktur NPIU CRITC COREMAP II-LIPI Prof. DR. Ono Kurnaen Sumadiharga, MSc.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMA II xii

Page 6: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Kasus Kabupaten Wakatobi

xiii

Page 7: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR iii RANGKUMAN v DAFTAR ISI xi DAFTAR TABEL xiii DAFTAR PETA xvii DAFTAR GRAFIK xix DAFTAR GAMBAR xxi BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang 1 1.2. Tujuan 5 1.3. Metodologi 6 1.4. Organisasi Penulisan 10 BAB II

GAMBARAN UMUM KABUPATEN WAKATOBI, DESA MOLA SELATAN, WAHA DAN KELURAHAN WANDOKA

2.1. Kondisi Geografis 11 2.1.1 Kabupaten Wakatobi 11 2.1.2 Lokasi Penelitian 15 2.2. Kondisi Sumber Daya Alam 17 2.3. Sarana dan Prasarana Sosial Ekonomi 31 2.3.1. Pendidikan 31 2.3.2. Kesehatan 36 2.3.3. Sarana Ekonomi 37 2.3.4. Transportasi dan Komunikasi 39 2.3.5. Kelembagaan Sosial-Ekonomi

Terkait Pengelolaan SDL

43 2.4. Pengelolaan Sumber Daya laut 44 2.4.1. Kebijakan 45 2.4.2. Pemanfaatan 49 2.4.3. Wilayah Tangkap 65 2.4.4. Teknologi 68 2.4.5. Permasalahan Dalam Pengelolaan

Sumber Daya Laut

70 BAB III

PROFIL SOSIAL – DEMOGRAFI PENDUDUK

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMA II xiv

Page 8: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Kasus Kabupaten Wakatobi

xv

3.1 Jumlah dan Komposisi Penduduk 77 3.2. Pendidikan Penduduk 87 3.3. Pekerjaan Penduduk 92 3.4. Kesejahteraan 102 BAB IV PENDAPATAN

4.1. Pendapatan di Tingkat Kabupaten/Kota 115 4.1.1. PDRB Kabupaten Wakatobi 115 4.1.2. Pendapatan Per Kapita 120 4.2. Pendapatan di Lokasi Penelitian 122 4.2.1. Pendapatan Rumah Tangga (RT) 122 4.2.2. Pendapatan Menurut Lapangan

Pekerjaan

129 4.2.3. Pendapatan Menurut Kegiatan

Kenelayanan

134 4.3. Sintesa 148

BAB V KESIMPULAN 5.1. Kesimpulan 157 5.2. Rekomendasi 162

DAFTAR BACAAN

167

LAMPIRAN 169

Page 9: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

DAFTAR TABEL Halaman

1.1. Kondisi Terumbu Karang Indonesia 2

2.1. Luas lahan dan Produksi Beberapa Jenis Tanaman pangan di Wakatobi Menurut Kecamatan, 2002

19

2.2. Luas Lahan Produksi Beberapa Tanaman Perkebunan di Wakatobi Menurut Kecamatan Tahun 2002

21

2.3. Distribusi sekolah, Guru dan Murid Menurut Tingkat Pendidikan dan Kecamatan, Kabupaten Wakatobi, Tahun 2003

33

2.4. Distribusi Sarana Kesehatan Menurut Jenis Fasilitas dan Kecamatan, Kabupaten Wakatobi, Tahun 2003

36

2.5. Jumlah Sarana Ekonomi Menurut Jenis Sarana dan Kecamatan di Kabupaten Wakatobi, Tahun 2003

38

2.6. Prasarana Jalan dan jumlah Kendaraan darat dan laut di 4 Kecamatan dan Kabupaten Wakatobi 2003/2004

41

2.7. Lembaga Ekonomi di 4 Kecamatan, Kabupaten Wakatobi 2003/2004

44

2.8. Produksi Hasil laut di Kabupaten Wakatobi tahun 2005

51

2.9. Rata-rata Produksi Ikan Rumah Tangga Nelayan Permusim, Kabupaten Wakatobi, Tahun 2005

52

2.10. Produksi Perikanan Tangkap di Kabupaten Waktobi, Tahun 2005

53

2.11. Kalender musim Ikan di Desa Mola Selatan, Waha dan Kelurahan Wandaka, Kabupaten Wakatob, Tahun 2006

56

3.1. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin, Tingkat Pertumbuhan Rata rata Per Tahun

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMA II xvi

Page 10: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Kasus Kabupaten Wakatobi

xvii

Tingkat Pertumbuhan Rata-rata Per Tahun dan Rasio Jenis Kelamin, Tahun 2000-2006

78

3.2. Jumlah dan Tingkat pendapatan Penduduk Menurut Kecamatan, di Kabupaten Wakatobi,Tahun 2006

79

3.3. Jumlah penduduk Jumlah Rumah Tangga dan Jumlah Rata-rata Anggota Rumah Tangga Menurut Kecamatan dan Kabupaten, Wakatobi, 2006

80

3.4. Jumlah Penduduk menurut Daerah Penelitian dan Tingkat Pertumbuhan Rata-rata Per Tahun, di Kabupaten Wakatobi, Tahun 2003-2006

84

3.5. Jumlah dan Tingkat Kepadatan penduduk Menurut Daerah Penelitian di Kabupaten Wakatobi, Tahun 2006

85

3.6. Distribusi Penduduk Wakatobi Menurut Pendidikan Tertinggi yang di Tamatkan dan Kecamatan, Tahun 2000

88

3.7. Distribusi Penduduk Wakatobi menurut Pendidikan Tertinggi Yang di Tamatkan dan Desa/Kelurahan, Tahun 2006

90

3.8. Distribusi Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas Menurut Jenis Pekerjaan di 4 Kecamatan, Wialayah Kabupaten Wakatobi, Tahun 2000

92

3.9. Distribusi Rumah tangga Menurut Lapangan pekerjaan Utama di Tiga Desa Penelitian di Kabupaten Wakatobi, tahun 2006

95

Page 11: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

3.10. Distribusi Penduduk Sampel Menurut

Jenis Pekerjaan Utama di Tiga Desa Penelitian di Kabupaten Wakatobi, Tahun 2006

98

3.11.

Distribusi Penduduk Sampel Menurut Lapangan Pekerjaan Tambahan dan 3 Desa Penelitian di Kabupaten Wakatobi, Tahun 2006

100

3.12. Distribusi Penduduk Sampel Menurut Jenis Pekerjaan Tambahan dan Tiga Desa Penelitian di Kabupaten Wakatobi, Tahun 2006

101

3.13. Jumlah Alat dan Sarana Penangkapan Ikan yang di Kuasai di Wakatobi, Tahun 2006

103

3.14. Distribusi Kepemilikan Alat dan Sarana Malaut di Desa Lokasi Studi Menurut Sarana/Alat Penangkapan Ikan dan Desa/Kecamatan, Tahun 2006

106

3.15. Distribusi Kepemilikan Aset Lain di Desa Lokasi Studi Menurut Jenis Aset dan Desa/Kelurahan

108

3.16. Distribusi Penduduk Menurut Kondisi Penerangan, Bahan Bakar dan Perumahan di Kabupaten Wakatobi , Tahun 2006

110

3.17. Jumlah Rumah Tangga di Wakatobi Menurut Sumber Air Minum dan Fasilitas Buang Air Besar Yang Utama

113

4.1. Penduduk Domestik Regional Bruto Kabupaten Wakatobi Menurut Lapangan Pekerjaan Atas Dasar harga Berlaku pada Tahun 2002-2003 (Jutaan Rupiah)

116

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMA II xviii

Page 12: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Kasus Kabupaten Wakatobi

xix

4.2. Distribusi Rumah Tangga Terpilih Menurut

Besar Pendapatan, Desa Mola Selatan Waha dan Kelurahan Wandoka, Kabupaten Wakatobi, Tahun 2006 (Persen)

123

4.3. Statistik Pendapatan,,Desa Mola Selatan, Waha dan Kelurahan Wandoka, Kabupaten Wakatobi, 2006 (Rupiah)

125

4.4. Statistik Pendapatan Rumah Tangga Menurut Lapangan Pekerjaan Kepala Rumah Tangga Desa Mola Selatan, Waha dan Kelurahan Wandoka, Kabupaten Wakatobi, Tahun 2006

130

4.5. Dustribusi Rumah Tangga Menurut Pendapatan Dari Kegiatan Kenelayanan dan Musim, Desa Mola Selatan, Waha dan Kelurahan Wandoka Kabupaten Waktobi, 2006 (Persen0

136

4.6. Distribusi Rumah Tangga Menurut Pendapatan Dari Kegiatan Kenelayanan dan Musim Desa Selatan, Waha dan Kelurahan Wandoka, Kabupaten Wakatobi, 2006 (Persen)

138

4.7 Statistik Pendapatan Rumah Tangga dari Kegiatan Kenelayanan Menurut Musim Desa Mola Selatan, Waha dan Kelurahan Wandoka, Kabupaten Wakatobi, 2006 (Rupiah)

140

4.8. Statistik PendapatanRumah Tangga Nelayan Menurut Alat Tangkap Pancing dan Jaring di Desa Mola Selatan, Waha dan Kelurahan Wandoka, Tahun 2006

145

Page 13: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

DAFTAR PETA

Halaman

2.1. Peta Wilayah Kabupaten Wakatobi 12

2.2. Persentase Tutupan Karang Hidup di Perairan Karang Kapota, Kaledupan dan Tomia Kabupaten Wakatobi, tahun 2006

26

2.3. Lokasi Pemijahan Ikan di Wakatobi 27

2.4. Daerah Budidaya Rumput Laut di Wakatobi 29

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMA II xx

Page 14: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Kasus Kabupaten Wakatobi

xxi

Page 15: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

DAFTAR GRAFIK

Halaman

3.1. Piramida penduduk Kecamatan Wangi-wangi dan Wangi-wangi selatan Menurut Umur dan Jenis Kelamin, Tahun 2003

82

3.2. Distribusi Penduduk Sampel di Desa Mola Selatan Desa Waha dan Kelurahan Wandoka Kabupaten Wakatobi, Tahun 2006

86

3.3. Distribusi Penduduk Umur 10 Tahun ke Atas di Wakatobi Menurut Jenis Kelamin dan Pendidikan Tertinggi, Tahun 2004

89

4.1 Distribusi Rumah Tangga Menurut Pendapatan dari Kegiatan Kenelayanan dan Musim, Desa Mola Selatan, Waha dan Kelurahan Wandoka, Kabupaten Wakatobi, Tahun 2006 (Persen)

135

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMA II xxii

Page 16: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Kasus Kabupaten Wakatobi

xxiii

Page 17: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1. Terumbu Karang di Kawasan Wakatobi 24

4.1. Ikan-ikan Karang Hidup 57

4.2. Potongan Ikan Tuna Size A dan B Yang Siap di Kemas Pedagang Pengumpul di Kamp Ikan

59

4.3. Pedagang Pengumpul Gurita di Mola Selatan 60

4.4. Beberapa Jenis Teripang di Mola selatan 62

4.5. Penjualan Ikan Segar di Pasar Sentral Mola 63

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMA II xxiv

Page 18: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara bahari dan kepulauan (archipelago) dengan kekayaan dan keunikan Sumber Daya Laut (SDL). Perairan laut Indonesia sangat luas mencapai 5,8 juta km2 dengan pantai yang tersebar di hampir seluruh pelosok negeri yang panjangnya sekitar 81.000 km. Sebagai negara kepulauan, Indonesia terdiri dari banyak pulau, baik pulau-pulau besar maupun pulau-pulau kecil, diperkirakan sekitar 18.110 pulau yang menyebar di seluruh wilayah. Negara Indonesia juga dikenal sebagai pusat terumbu karang dunia, menyumbang sekitar 15 persen dari total terumbu karang dunia. Terumbu karang yang luasnya mencapai 75.000 km2 ini mempunyai keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, termasuk 2.334 jenis ikan, 2.500 jenis moluska, 1.512 jenis krustasea, 850 jenis spong, 745 jenis ekinodermata, 38 jenis reptilia laut dan 30 jenis mamalia (Nontji, 2001). Kekayaan terumbu karang ini sangat potensial dan merupakan aset yang penting bagi kesejahteraan masyarakat dan keseimbangan lingkungan. Dari aspek sosial ekonomi, terumbu karang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, terutama berkaitan dengan kegiatan produktif seperti perikanan dan pariwisata. Dari aspek lingkungan, terumbu karang mempunyai fungsi ekologi sebagai tempat berkembang biak ikan-ikan karang dan biota laut lainnya, di samping itu juga sebagai pelindung pantai dari gelombang dan badai. Kekayaan terumbu karang Indonesia sedang mengalami kerusakan yang serius, sehingga mengancam kelestarian sumber daya ini. Tabel 1.1. mengungkapkan hasil pemantauan LIPI melalui 686 stasiun dimana hampir sepertiga (32 persen) terumbu karang Indonesia termasuk dalam kategori kurang baik dan hanya 6 persen yang termasuk dalam kategori sangat baik. Jika ditelusuri lebih lanjut dari kondisi terumbu karang yang kurang baik, ternyata wilayah timur Indonesia memiliki persentase paling tinggi, dimana hampir separuh terumbu karang di wilayah ini termasuk kategori kurang baik. Sebaliknya, persentase terendah terdapat di wilayah tengah Indonesia,

Kasus Kabupaten Wakatobi 1

Page 19: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

sedangkan wilayah barat kondisinya berada diantara wilayah timur dan tengah. Dari tabel juga diketahui bahwa meskipun hampir separuh terumbu karangnya dalam kondisi kurang baik, wilayah timur Indonesia juga menduduki urutan tertinggi untuk kondisi terumbu karang sangat baik. Urutan terendah terdapat di wilayah barat Indonesia, dimana terumbu karang yang kondisinya sangat baik sangat terbatas, hanya mencapai 5 persen dari total terumbu karang di wilayah ini. Sedangkan kondisi terumbu karang wilayah Indonesia tengah berada diantara wilayah timur dan barat. Gambaran kondisi terumbu karang di seluruh wilayah Indonesia mengindikasikan terjadinya eksploitasi secara berlebihan, sehingga mengakibatkan kerusakan sumber daya laut tersebut. Degradasi terjadi di semua wilayah dengan tingkatan yang bervariasi antar daerah. Kerusakan terumbu karang disebabkan oleh faktor alami dan antropogenik atau perilaku manusia. Kerusakan karena faktor alami, seperti: gempa bumi, gelombang dan badai, perubahan iklim dan berbagai jenis penyakit, berada di luar kemampuan manusia. Sedangkan kerusakan karena ulah manusia berkaitan dengan penggunaan bahan dan alat yang merusak, seperti: bom, bius, pukat harimau dan bubu dasar; pengambilan batu karang dan pasir serta penangkapan ikan dan biota laut secara berlebihan (tangkap lebih). Keadaan ini tidak dapat dibiarkan terus, upaya rehabilitasi dan pengelolaan perlu segera dilakukan agar sumber daya terumbu karang dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.

Tabel 1.1. Kondisi Terumbu Karang Indonesia

Kondisi Terumbu Karang (persen) Wilayah Jumlah

Stasiun Sangat Baik Baik Cukup Kurang

Barat 278 5,40 24,10 34,17 36,33 Tengah 213 6,10 31,92 45,07 16,30 Timur 195 6,15 21,03 30,77 42,05

Indonesia 686 5,83 25,66 36,59 31,92 Sumber: Suharsono, 2005 Catatan: Kategori Sangat baik : 75,00 – 100,00 % Cukup : 25,00 – 49,90 % Baik : 50,00 – 74,90 % Kurang: 0,00 – 24,90 %

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 2

Page 20: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Pemerintah Indonesia memberikan perhatian yang serius terhadap kerusakan terumbu karang dan upaya merehabilitasi dan mengelola terumbu karang. Perhatian ini diwujudkan melalui pengembangan Coral Reef Rehabilitation and Management Program atau di singkat COREMAP. Tujuan dari program Coremap adalah melakukan rehabilitsi dan pengelolaan terumbu karang agar dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil di lokasi Coremap. Coremap merupakan program pemerintah yang dirancang secara terpadu melibatkan berbagai stakeholders 1 termasuk pemerintah, masyarakat, LSM, pihak swasta, akademisi, pimpinan formal dan non-formal. Coremap diluncurkan pada tahun 1998, direncanakan selama 15 tahun dan pelaksanaannya dibagi dalam tiga fase. Pada waktu penelitian ini dilakukan bulan November 2006, program ini telah melampaui Fase I dan memasuki Fase ke II. Meskipun dikembangkan oleh pemerintah pusat, program Coremap dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah pusat berfungsi mengkoordinir dan memfasilitasi pelaksanaan program yang menggunakan sistim pendanaan secara berkelanjutan. Desentralisasi pengelolaan ini sangat penting untuk dilakukan, utamanya memberikan kesempatan dan mendukung pemberdayaan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil dalam mengelola terumbu karang secara berkelanjutan. Dengan adanya Coremap diharapkan kerusakan terumbu karang dapat dicegah dan diminimalkan, sehingga dapat meningkatkan produksi dan pendapatan masyarakat. Pelaksanaan Coremap perlu diukur keberhasilannya untuk mengetahui seberapa jauh program ini telah mencapai tujuannya. Untuk itu diperlukan indikator yang menjadi standar pengukuran. Dalam dokumen proyek telah ditetapkan indikator yang dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu: indikator ekologi dan sosial ekonomi. Indikator ekologi berkaitan erat dengan biofisik karang, yaitu: peningkatan tutupan karang sebesar 5 persen per tahun. Sedangkan dari sosial ekonomi ditentukan indikator berupa: (1) pendapatan dan jumlah penduduk yang menerima pendapatan dari kegiatan ekonomi berbasis terumbu karang dan kegiatan alternatif lainnya naik sebesar 10 persen pada akhir program (tahun 2009), dan (2) minimal 70 persen dari masyarakat nelayan di kabupaten program merasakan dampak positif

1 Stakeholders adalah instansi, perusahaan, LSM, akademisi dan kelompok masyarakat yang terkena dampak positif dan negatif dari kerusakan terumbu karang, termasuk mereka yang mengeksploitasi dan yang berusaha untuk menjaga, melindungi dan melestarikan terumbu karang.

Kasus Kabupaten Wakatobi 3

Page 21: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Coremap terhadap tingkat kesejahteraan dan status sosial ekonominya (World Bank, Project Appraisal Document, 2004, Appendix 3, p 39). Untuk mengetahui berapa besar tingkat keberhasilan Coremap, maka pada awal dilaksanakannya program ini perlu dihitung berapa besar pendapatan penduduk di lokasi Coremap. Besarnya pendapatan ini dijadikan patokan sebagai titik awal (T 0) sebelum Coremap diimplementasikan. Kemudian akhir pelaksanaan, dilakukan lagi penghitungan besarnya pendapatan penduduk di lokasi- lokasi Ccremap. Dengan demikian, dapat diketahui berapa besar peningkatan pendapatan penduduk dan tingkat keberhasilan program Coremap di masing-masing lokasi. Pengumpulan data dasar sebelum pelaksanaan Coremap sangat penting untuk memahami kondisi sosial ekonomi masyarakat di lokasi Coremap. Pemahaman ini diperlukan untuk perencanaan kegiatan agar sesuai dengan potensi, kondisi, kebutuhan dan aspirasi masyarakat, dan untuk mengetahui T0 pendapatan masyarakat di lokasi Coremap (tingkat kabupaten dan grassroot di desa/kelurahan). Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) merupakan salah satu lokasi Coremap Fase II di wilayah timur Indonesia. Kabupaten yang dikenal sebagai segitiga karang dunia memerlukan Program Coremap, utamanya dalam upaya mengelola kekayaan dan keunikan terumbu karang yang mulai mengalami kerusakan. Terumbu karang tersebar di seluruh wilayah, membentang dari kawasan karang Pulau Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko. Di Pulau Wangi-Wangi kawasan yang dominan adalah Thallasodendron ciliatum yang menutupi separuh dari dasar perairan di pulau ini. Sedangkan pada bagian yang flat terumbu yang dominan adalah Montipora digitata, Porites cylindrica dan Goniastrea retiformis, dan pada bagian tubir karang variasinya lebih banyak, seperti: Acropora spp, Montipora spp, Porites spp, dan Stylophora pistillata. Kekayaan dan keunikan terumbu karang di Wakatobi telah mengalami kerusakan, diindikasikan dari kondisi karang yang berubah dari kategori baik menjadi sedang. Padahal, sebagai kawasan Taman Nasional, kondisi karang di kawasan ini idealnya, dalam kategori baik dan sangat baik. Terumbu karang di kawasan Wakatobi mendapat tekanan yang cukup besar, utamanya berasal dari eksploitasi terumbu karang menggunakan bahan dan alat yang merusak dan penambangan batu karang dan pasir. Pemanfaatan sumber daya laut ini dilakukan secara intensif dalam kurun waktu yang cukup lama, baik oleh masyarakat setempat maupun nelayan dari luar

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 4

Page 22: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

daerah. Salah satu upaya untuk mengurangi kerusakan dan meningkatkan pendapatan masyarakat adalah melalui program Coremap. Di Kabupaten Wakatobi telah ditetapkan 66 desa/kelurahan yang menjadi lokasi Coremap. Lokasi-lokasi ini terletak di 7 kecamatan yang menyebar di Pulau Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko. Lokasi terbanyak terdapat di Pulau Wangi-Wangi yaitu sebanyak 22 desa/kelurahan, pulau ini mempunyai penduduk yang jumlahnya paling besar jika dibandingkan dengan tiga pulau lainnya. Jumlah lokasi yang paling sedikit (10 desa) berada di Binongko. Sedangkan di Kaledupa terdapat 18 desa dan Tomia sebanyak 16 desa yang menjadi lokasi Coremap. 1.2. Tujuan Umum Secara umum tujuan penelitian ini adalah mengumpulkan data dasar tentang kondisi sosial ekonomi masyarakat, terutama yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya laut, khususnya terumbu karang. Khusus Data dasar kondisi sosial ekonomi masyarakat yang dikumpulkan terdiri dari: • Gambaran umum tentang lokasi Coremap, mencakup kondisi geografi,

sarana dan prasarana, potensi sumber daya alam, baik di daratan maupun laut, dan pola pemanfaatan sumber daya tersebut

• Gambaran kondisi sumber daya manusia (SDM), temasuk jumlah penduduk, komposisi, pendidikan dan kegiatan ekonomi masyarakat, terutama yang berkaitan dengan pemanfaatan terumbu karang dan sumber daya laut lainnya

• Gambaran tingkat kesejahteraan masyarakat, diindikasikan dari pemilikan aset rumah tangga, baik yang berkaitan dengan produksi maupun non-produksi, kondisi perumahan dan sanitasi lingkungan

• Gambaran tingkat pendapatan masyarakat, terutama berkaitan dengan kegiatan ekonomi yang berbasis terumbu karang

• Gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan masyarakat, termasuk faktor internal, eksternal dan struktural.

Kasus Kabupaten Wakatobi 5

Page 23: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Luaran Pada dasarnya luaran dari penelitian aspek sosial terumbu karang ini adalah: • Tersedianya data dasar kondisi sosial ekonomi masyarakat di lokasi

Coremap yang dapat digunakan oleh para perencana dan pengelola program untuk merancang, melaksanakan dan memantau kegiatan Coremap

• Tersedianya data pendapatan dan jumlah penduduk yang menerima pendapatan dari kegiatan ekonomi berbasis terumbu karang dan kegiatan alternatif lainnya pada awal pelaksanaan program (T0). T0 ini dapat menjadi landasan untuk memantau dampak kegiatan Coremap terhadap kesejahteraan penduduk di lokasi Coremap.

1.3. Metodologi Lokasi Penelitian Dari 66 desa/kelurahan yang termasuk dalam lokasi Coremap di Kabupaten Wakatobi dipilih beberapa lokasi yang dapat menggambarkan kondisi sosial ekonomi masyarakat di kabupaten ini. Pemilihan lokasi didasarkan pada pertimbangan ketergantungan penduduk pada sumber daya laut, terutama terumbu karang, jumlah penduduk dan keragaman sumber pendapatan. Berdasarkan kriteria ini maka lokasi penelitian menyebar di Wakatobi. Untuk Pulau Wangi-Wangi dipilih tiga desa/kelurahan, yaitu: Desa Mola Selatan yang terletak di Kecamatan Wangi-Wangi Selatan, Desa Waha dan Kelurahan Wandoka yang terletak di Kecamatan Wangi-Wangi. Sedangkan untuk pulau-pulau lainnya, atas dasar kesepakatan antara tim LIPI dengan tim penelitian daerah, penelitian akan dilakukan oleh tim daerah yang telah dikontrak oleh pengelola Coremap di kabupaten ini. Ke tiga lokasi penelitian di Pulau Wangi-Wangi memiliki karakteristik yang berbeda. Desa Mola Selatan, penduduknya sangat padat dengan suku yang dominan adalah Bajo yang dikenal sebagai suku laut. Ketergantungan orang Bajo terhadap laut sangat tinggi, diindikasikan dari keberanian mereka melaut sampai di perairan laut nasional dan internasional, keberagaman armada dan alat tangkap serta sumber pendapatan yang berasal dari hasil laut. Kebiasaan hidup orang Bajo juga spesifik dan ketergantungan mereka

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 6

Page 24: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

pada koordinator dan bos ikan yang tinggi, berbeda dengan kehidupan warga Wanci dan Wangi-Wangi lainnya. Desa Waha merupakan tipikal desa pesisir yang belum berkembang. Penduduknya jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan Mola Selatan. Kehidupan penduduk tergantung pada dua sumber utama, yaitu: perikanan laut dan pertanian. Dari sisi perikanan laut, armada tangkap nelayan Waha kebanyakan masih sederhana, sehingga wilayah tangkap dan produksinyapun masih terbatas. Demikian juga dengan pertanian, masih dikelola secara sederhana, terutama tanaman ubi kayu (singkong) dan tanaman keras (jambu mete). Kelurahan Wandoka diharapkan dapat menggambarkan kehidupan sosial ekonomi desa kota. Kelurahan ini berbatasan langsung dengan Kota Wanci, ibukota Kabupaten Wakatobi. Kehidupan sosial ekonomi berada pada kondisi transisi antara desa dan kota, diindikasikan dari kegiatan ekonomi masyarakat di kelurahan ini. Perikanan laut belum berkembang, diindikasikan dari armada dan alat tangkap yang masih sederhana dengan wilayah tangkap yang juga terbatas. Sedangkan pertanian sudah tidak lagi menjadi fokus kegiatan, karena pengaruh kegiatan dan kehidupan kota. Banyak lahan pertanian yang dijual karena semakin meningkatnya harga tanah sebagai konsekuensi maraknya pembangunan di Kota Wanci. Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan kombinasi antara metode kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif dilakukan dengan mengadakan survei, sedangkan metode kualitatif mengandalkan wawancara terbuka dan observasi lapangan. Di samping pengumpulan data primer, penelitian ini juga mengumpulkan data sekunder dari berbagai sumber. Survei Survei data dasar kondisi sosial ekonomi masyarakat dilakukan untuk mengumpulkan data kuantitatif yang berkaitan dengan: (1) keadaan rumah tangga, khususnya yang berkaitan dengan keterangan anggota rumah tangga (ART), termasuk jumlah ART, hubungan dengan kepala rumah tangga (KRT), jenis kelamin, umur, pendidikan, dan kegiatan utama yang biasa dilakukan, (2) ekonomi rumah tangga, meliputi: pendapatan di sektor perikanan laut pada musim gelombang kuat, pancaroba dan gelombang lemah atau musim teduh; pendapatan dari sektor perikanan budidaya; dan

Kasus Kabupaten Wakatobi 7

Page 25: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

pendapatan dari sektor non-perikanan, dan (3) pemilikan aset rumah tangga, baik produksi maupun non-produksi. Survei menggunakan daftar pertanyaan atau kuesioner yang ditanyakan pada 150 rumah tangga yang berasal dari Desa Mola Selatan, Waha dan Kelurahan Wandoka. Jumlah responden dari masing-masing lokasi bervariasi, 70 rensponden dari Mola Selatan, 50 responden dari Kelurahan Wandoka dan 30 responden dari Desa Waha. Proporsi responden ini disesuaikan dengan jumlah penduduk dan keberagaman kehidupan sosial ekonomi di tiga lokasi tersebut. Pemilihan responden dilakukan secara acak beraturan sesuai dengan daftar rumah tangga yang bersumber dari kantor dan aparat desa/kelurahan. Responden adalah kepala rumah tangga, tetapi jika KRT berhalangan, maka diganti oleh anggota rumah tangga yang dapat mewakili. Kegiatan survei dibantu oleh pewawancara lokal yang berjumlah 16 orang. Sebelum melaksanakan tugasnya, para pewawancara dilatih terlebih dahulu, sehingga mereka memahami maksud dan tujuan survei dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada responden. Tim peneliti juga membimbing pewawancara selama survei dan mengoreksi hasil pengumpulan data. Apabila terdapat data yang kurang maka harus dilengkapi dan jika terdapat data yang membingungkan dan tidak konsisten, maka pewawancara diminta untuk mendatangi kembali responden untuk mendapatkan jawaban yang tepat. Wawancara Terbuka dan Observasi Lapangan Di tingkat grassroot desa/kelurahan, wawancara terbuka dilakukan pada informan-informan kunci dan narasumber di Desa Mola Selatan, Waha dan Kelurahan Wandoka. Informan kunci mencakup pimpinan formal, tokoh-tokoh masyarakat dan agama, nelayan dari berbagai jenis armada dan alat tangkap (pancing, jaring, rumpon, bubu), penambang batu karang dan pasir, pedagang pengumpul/koordinator ikan tuna, gurita, rumput laut dan ikan karang hidup, tokoh pemuda dan kelompok ibu-ibu. Selain itu wawancara juga dilakukan pada kepala Desa Liya Mawi, terutama yang berkaitan dengan budidaya rumput laut dan penangkapan gurita. Beliau adalah pedagang pengumpul atau ‘bos’ gurita di Kabupaten Wakatobi. Di tingkat Kabupaten Wakatobi, wawancara terbuka dilakukan pada instansi-instansi yang relevan, seperti: Bappeda, Dinas Kelautan dan

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 8

Page 26: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Perikanan dan BPS. Wawancara juga dilakukan pada pengelola Coremap tingkat kabupaten, kepala Dinas Kelautan dan Perikanan selaku ketua PIU Kabupaten Wakatobi. Selain itu, wawancara juga dilakukan pada LSM yang bergerak di bidang kelautan, seperti TNC dan WWF yang juga mempunyai program pengelolaan sumber daya laut di kabupaten ini. Observasi lapangan dilakukan untuk menambah pemahaman peneliti terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat di Kabupaten Wakatobi, terutama lokasi penelitian. Tujuan utama adalah untuk mendapatkan gambaran yang utuh dan komprehensif mengenai keadaan Desa Mola Selatan, Waha dan Kelurahan Wandoka, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan terumbu karang dan sumber daya laut lainnya. Pengamatan juga dilakukan di pasar Wanci untuk mengetahui pemasaran dan harga ikan dan hasil laut lainnya. Pengumpulan Data Sekunder Penelitian ini dilengkapi dengan pengumpulan data sekunder dari berbagai sumber, di tingkat kabupaten, kecamatan dan desa/kelurahan serta sumber lainnya. Data yang dikumpulkan utamanya berkaitan dengan aspek sosial ekonomi, seperti: pendapatan penduduk dan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) di tingkat kabupaten, produksi perikanan dan alat tangkap. Di samping itu, data yang berkaitan dengan kondisi ekologi juga dikumpulkan dari sumber sekunder, seperti: kondisi terumbu karang dari CRITC LIPI, WWF dan Operation Wallacea. Analisa Data Sesuai dengan tujuan dan metode penelitian, analisa data difokuskan pada: • Deskripsi data kuantitatif dari hasil survei dan data sekunder. Deskripsi

ini diperkaya dengan dukungan data dan informasi dari hasil wawancara terbuka dan pengamatan lapangan

• Analisa situasi yang didasarkan pada kontekstual yang menerangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat di lokasi penelitian. Analisa ini diperlukan untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif mengenai: (1) gambaran lokasi penelitian termasuk kondisi geografi, sarana dan prasarana, potensi sumber daya alam dan laut, (2) gambaran sumber daya manusia (SDM), termasuk jumlah penduduk, pendidikan dan kegiatan ekonomi, (3) gambaran kesejahteraan masyarakat, seperti pemilikan aset produksi dan non-produksi, (4) gambaran pendapatan

Kasus Kabupaten Wakatobi 9

Page 27: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

penduduk, terutama yang berkaitan dengan pemanfaatan SDL dan sumber lainnya, dan (5) faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pendapatan dan kesejahteraan penduduk.

1.4. Organisasi Penulisan Penulisan laporan ini dibagi dalam lima bagian. Bagian pertama adalah pendahuluan yang menerangkan latar belakang pentingnya penelitian ini, tujuan penelitian dan metode yang dugunakan dalam kajian. Bagian ke dua terfokus pada gambaran lokasi penelitian, termasuk kondisi geografis lokasi, seperti: wilayah, topografi, iklim, pengaruh musim terhadap kehidupan masyarakat. Analisa dilanjutkan dengan gambaran mengenai sumber daya alam, sarana dan prasarana serta pengelolaan sumber daya laut. Bagian ke tiga menekankan pada gambaran profil sosial demografi penduduk, termasuk jumlah dan komposisi penduduk, pendidikan, pekerjaan dan kesejahteraan masyarakat. Bagian ke empat merupakan inti dari penelitian ini, yaitu gambaran mengenai pendapatan penduduk. Analisa pada bagian ke dua sampai ke empat dimulai dari kondisi di tingkat kabupaten, kemudian mengerucut di tingkat desa/kelurahan, khususnya Desa Mola Selatan, Waha dan Kelurahan Wandoka. Dengan demikian akan diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif dan mendalam mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat. Laporan ini ditutup dengan kesimpulan hasil penelitian dan saran yang dapat digunakan sebagai masukan bagi para perencana dan pengelola Coremap untuk perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan kegiatan Coremap di Kabupaten Wakatobi.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 10

Page 28: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

BAB II GAMBARAN UMUM KABUPATEN WAKATOBI,

DESA MOLA SELATAN, WAHA DAN KELURAHAN WANDOKA

Bab ini memberikan gambaran Kabupaten Wakatobi dan lokasi-lokasi COREMAP, terutama yang berkaitan dengan kondisi geografi dan sumber daya alam, baik sumber daya daratan maupun sumber daya laut. Profil daerah ini penting untuk mengetahui potensi sumber daya di kawasan tersebut, utamanya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih lengkap, pada bab ini juga diulas ketersedian sarana dan prasarana sosial ekonomi, terutama yang berkaitan dengan peningkatan sumber daya manusia (SDM) dan pendapatan penduduk. Bab ini diakhiri dengan mendiskusikan potensi sumber daya laut (SDL) yang mendominasi sumber daya di Wakatobi, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaannya. 2.1. Kondisi Geografi 2.1.1. Kabupaten Wakatobi

Letak Geografis

Kabupaten Wakatobi merupakan salah satu kabupaten baru di Provinsi Sulawesi Tenggara. Kabupaten ini merupakan pemekaran dari Kabupaten Buton yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2003. Wilayah kabupaten tersebut semula dikenal dengan Kepulauan Tukang Besi, kemudian berubah menjadi Kepulauan Wakatobi. Istilah Wakatobi diambil dari singkatan empat nama kecamatan yang ada di wilayahnya, yaitu Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko (RPJM Kab. Wakatobi 2006-2011). Pada awal pembentukan kabupaten ini hanya terdiri dari 4 kecamatan tersebut dan menjadi 7 kecamatan setelah diadakan pemekaran lagi pada tahun 2004.

Secara geografis Kabupaten Wakatobi terletak di sebelah timur Pulau Buton. Kabupaten ini memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut : • Sebelah utara : berbatasan dengan Kabupaten Buton dan Muna • Sebelah timur : berbatasan dengan Laut Banda

Kasus Kabupaten Wakatobi 11

Page 29: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

• Sebelah barat : berbatasan dengan Kabupaten Buton • Sebelah selatan : berbatasan dengan Laut Flores. Secara astronomis, wilayah Kabupaten Wakatobi terletak antara 5°12´ Lintang Selatan dan 6° 10´ Lintang Selatan, dengan jarak sekitar 160 km. Dengan melihat letak lintang yang tak jauh dari garis katulistiwa, maka wilayah kabupaten ini masih termasuk daerah sekitar katulistiwa. Sebagai daerah sekitar katulistiwa iklim di daerah ini masih termasuk iklim tropis. Kemudian wilayah ini juga terletak antara 123° 20´ Bujur Timur dan 124° 39´ Bujur Timur.

Wilayah Kabupaten Wakatobi merupakan gugusan pulau-pulau kecil yang terdiri dari 48 buah pulau. Bentuk gugusan pulau tersebut membujur dari utara ke arah selatan. Pulau-pulau besar yang menghuni di kabupaten ini meliputi Pulau Wangi-Wangi, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia dan Pulau Binongko. Sedangkan pulau-pulau yang lebih kecil ada di sekitar pulau-pulau besar tersebut.

Peta 2.1.

Peta Wilayah Kabupaten Wakatobi

Sumber: BAPPEDA Kabupaten Wakatobi, 2006

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 12

Page 30: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Potensi wilayah

Wilayah Kabupaten Wakatobi terdiri dari wilayah daratan dan perairan. Wilayah daratannya jauh lebih kecil dibandingkan dengan wilayah perairannya. Luas wilayah daratan hanya mencapai 823 km² (1,5 persen), sementara luas wilayah peraian sangat luas hingga mencapai 55.113 km² (98,5 persen). Panjang garis pantai wilayah ini mencapai sekitar 251,96 km. Oleh karena itu, kabupaten ini potensi wilayahnya yang paling besar adalah kekayaan lautnya. Potensi tersebut berupa sumber daya laut dan potensi pariwisata yang meliputi pemandangan laut, pantai, tempat selancar dan pemandangan bawah laut yang antara lain merupakan kekayaan terumbu karang dan biota laut yang ada di dalamnya. Pemerintah Pusat pada tahun 1995 melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 462/KPTS-II/1995 telah menetapkan bahwa wilayah Wakatobi sebagai Taman Wisata Alam Laut. Dasar penetapan tersebut adalah atas pertimbangan Kepulauan Wakatobi merupakan salah satu wilayah yang memiliki keanekaragaman hayati laut yang terlengkap di dunia. Pada tahun 1996 dengan SK. Menteri Kehutanan Nomor 393/KPTS-VI/1996 status daerah tersebut ditingkatkan menjadi wilayah konservasi dengan status Taman Nasional (RPJM Kabupaten Wakatobi, 2006).

Dengan memperhatikan potensi alam laut yang begitu kaya tersebut, sektor unggulan utama yang sedang dikembangkan di Kabupaten Wakatobi adalah perikanan laut dan pariwisata bahari (ecotourism). Sehingga wajar apabila visi pembangunan kabupaten ini adalah terwujutnya surga nyata bawah laut di jantung segi tiga karang dunia. Dalam hal ini pengembangan perekonomian kabupaten ini akan lebih memprioritaskan pada sektor pertanian pada subsektor perikanan laut dan sektor pariwisata. Kondisi Topografis

Secara topografis kondisi bentang alam daratan pulau-pulau di Kabupaten Wakatobi bervariasi dari wilayah dataran, bergelombang dan wilayah perbukitan. Jenis tanahnya bervariasi dari batuan kapur, pasir putih dan tanah lempung. Tanah di daerah ini kurang begitu subur untuk usaha bercocok tanam. Beberapa vegetasi yang bisa ditanam atau tumbuh, antara lain kelapa, jambu mete, ketela pohon/singkong dan jagung. Padi kurang cocok ditanam di wilayah ini, sebab di samping tanahnya kurang begitu subur juga tidak ada air irigasi di daerah ini.

Kasus Kabupaten Wakatobi 13

Page 31: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Kondisi Iklim

Sebagai wilayah yang dekat garis katulistiwa, iklim wilayah Wakatobi termasuk iklim tropis. Sedangkan musim yang sangat berpengaruh terhadap aktivitas kenelayanan adalah musim angin barat dan musim angin timur. Musim angin barat berlangsung pada bulan 12 sampai bulan 3. Musim ini ditandai dengan sering terjadi hujan, gelombang laut cukup besar/ kuat dan para nelayan biasanya jarang melaut. Kecuali para nelayan yang memiliki armada kapal yang besar. Musim angin timur berlangsung pada bulan 6 sampai bulan 9. Musim ini ditandai kondisi laut cukup teduh, gelombang tenang dan sangat jarang terjadi hujan. Pada bulan-bulan tersebut biasanya para nelayan banyak melaut. Pada peralihan musim angin barat dan angin timur dan sebaliknya dapat disebut musim pancaroba (bulan 10 – bulan 11 dan bulan 4 – 5). Pada musim ini kondisi gelombang laut tidak menentu, juga mengenai curah hujannya. Para nelayan kadang-kadang melaut dan kadang-kadang tidak, tergantung kondisi cuaca.

Jumlah curah hujan di Kabupaten Wakatobi tidak begitu tinggi. Menurut data curah hujan selama 10 tahun terakhir (1995-2004) jumlah curah hujan terendah terjadi pada bulan Septembar hanya mencapai 2,5 mm dan curah hujan tertinggi pada bulan Januari mencapai 229,5 mm. Sumber mata air di kabupaten ini pada umumnya berasal dari air tanah dan gua-gua karst. Sedangkan air permukaan atau sungai hanya terdapat di wilayah Kecamatan Wangi-Wangi dan Kaledupa terutama pada musim penghujan. Wilayah Administrasi

Kabupaten Wakatobi seperti telah disebutkan di sub-bab sebelumnya semula hanya terdiri dari 4 kecamatan, yaitu Kecamatan Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko. Untuk memenuhi syarat sebagai kabupaten dan juga memudahkan pelayanan kepada masyarakat, ada beberapa kecamatan yang harus dimekarkan, sehingga kabupaten ini meliputi 7 kecamatan. Kecamatan-kecamatan tersebut adalah Wangi-Wangi, Wangi-Wangi Selatan, Kaledupa, Kaledupa Selatan, Tomia, Tomia Timur dan Binongko.

Khusus untuk Kecamatan Wangi-Wangi setelah Wakatobi menjadi kabupaten sendiri, dimekarkan menjadi dua kecamatan, yaitu Kecamatan Wangi-Wangi dan Wangi-Wangi Selatan. Kecamatan Wang-Wangi semula terdiri dari 21 desa/ kelurahan, setelah dimekarkan dibagi dua, yaitu di Kecamatan Wang-Wangi terdiri dari 9 desa/ kelurahan dan di Kecamatan Wangi-Wangi Selatan terdiri dari 12 desa/ kelurahan. Sebilan desa/

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 14

Page 32: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

kelurahan di Kecamatan Wangi-Wangi tersebut adalah Pongo, Maleko, Longa, Tindoi, Wanci, Wandoka ( sampel penelitian), Sombu, Waha (sampel penelitian) dan Waetuno. Dua belas desa/ kelurahan di Kecamatan Wangi-Wangi Selatan adalah Kapota, Kabita, Liya Mawi, Liya Togo, Matahora, Wungka, Numana, Mola Selatan (sampel penelitian), Mola Utara, Mandati I, Mandati II dan Komala. 2.1.2. Lokasi Penelitian

Perairan kepulauan Wakatobi dikenal sebagai Coral Tri-Angle Center (Pusat Segi Tiga Karang Dunia, memiliki keanekaragaman hayati kelautan tertinggi di dunia. Di wilayah perairan ini mengandung 750 jenis karang dari 850 spesies karang yang ada di dunia. Di samping itu, memiliki 900 jenis ikan dengan 46 dive sites telah terindentifikasi (RPJM Kabupaten Wakatobi, 2006-2011). Perairan Wakatobi memiliki terumbu karang yang sangat luas, yakni ada sekitar 90.000 hektar terumbu karang dan atol tunggal terpanjang di dunia. Terumbu karang tersebut tersebar di semua wilayah kecamatan di Kabupaten Wakatobi, dari wilayah Kecamatan Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko. Nama-nama wilayah karang yang besar-besar antara lain Karang Kapota, Karang Kaledupa, Karang Koromaha, Karang Koka, Karang Runduma, Tolandono, Ndaa, Cowo-cowo, Moromaho, Kentiole dan Anano. Sementara karang atol Kaledupa memiliki panjang sekitar 48 km. Oleh karena itu, karang ini dikenal sebagai atol tunggal yang terpanjang di dunia (lihat peta 2.1.). Desa Mola Selatan Desa Mola Selatan merupakan salah satu dari 12 desa/ kelurahan di Kecamatan Wangi-Wangi Selatan. Luas wilayah Desa Mola Selatan hanya mencapai 6 km2. Topografi wilayahnya hampir semuanya merupakan dataran rendah, dengan ketinggian hanya antara 1 – 2 meter dari permukaan air laut. Jarak dari Desa Mola Selatan ke ibukota kabupaten sangat dekat, kurang dari satu km. Lokasi desa ini terletak di wilayah pantai dan bentuk desanya agak memanjang pantai. Oleh karena itu, kehidupan penduduknya baik langsung maupun tidak langsung banyak yang menggantungkan pada sumber daya laut. Batas-batas wilayah desa ini sebelah utara berbatasan dengan Desa Mola Utara, sebelah timur berbatasan dengan Desa Mandati I, sebelah selatan berbatasan dengan Numara dan sebelah barat berbatasan dengan laut.

Kasus Kabupaten Wakatobi 15

Page 33: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Sebagian besar lahan permukiman penduduk ini terbentuk dari timbunan batu karang. Semula merupakan teluk laut dangkal yang karena penduduk membutuhkan lahan untuk permukiman, sedikit demi sedikit penduduk menimbun lahan laut dengan batu karang dan pasir, lama kelamaan menjadi lahan yang digunakan untuk pemukiman. Oleh karena itu, sebagian besar perumahan di desa ini dibangun di atas timbunan batu karang. Oleh karena itu, penyediaan air bersih menjadi masalah karena tidak mungkin memanfaatkan air tanah. Selama ini penduduk mendatangkan air bersih untuk cuci dan minum dari luar desa, dengan cara membeli. Lahan permukiman yang dibentuk dari timbunan batu karang tersebut juga mengakibatkan daerah ini nampak gersang. Pekarangan di sekitar rumah penduduk tidak dapat ditanami tanaman sebagai pelindung permukiman. Di areal pantai juga tidak ada tanaman seperti tanaman bakau yang ditanam atau yang tumbuh. Apabila ada angin kencang atau badai datang pemukiman ini tidak memiliki pelindung dan potensial untuk merusak perumahan penduduk. Desa Waha

Desa Waha merupakan salah satu dari 9 desa/ kelurahan di Kecamatan Wangi-Wangi. Luas wilayah Desa Waha jauh lebih luas dari pada Desa Mola Selatan adalah seluas 63,6 km2. Topografi wilayahnya sebagian merupakan dataran pantai dan sebagian perbukitan, dengan rata-rata ketinggian hanya antara 1 sampai lebih dari 10 meter dari permukaan air laut. Jarak Desa Waha ke ibukota kabupaten adalah sekitar 9 km. Transportasi cukup lancar, naik kendaraan umum dari Waha ke ibukota kabupaten membayar Rp 3.000,00 sekali jalan. Lokasi desa ini sebagian terletak di wilayah pantai dan bentuk desanya agak memanjang pantai. Oleh karena itu, sebagian kehidupan penduduknya baik langsung maupun tidak langsung banyak yang menggantungkan pada sumber daya laut. Batas-batas wilayah desa ini sebelah utara berbatasan dengan Desa Waetuno, sebelah timur berbatasan dengan Desa Tindoi, sebelah selatan berbatasan dengan Sombu dan sebelah barat berbatasan dengan laut.

Wilayah Desa Waha cukup luas, oleh karena itu potensi desa ini tidak hanya mengandalkan dari sumber daya laut namun juga sumber daya yang ada di darat. Lahan untuk pertanian pangan dan tanaman keras cukup tersedia. Hal ini berdampak terhadap adanya variasi sumber penghidupan bagi penduduk Desa Waha. Pembahasan variasi sumber kehidupan penduduk desa ini akan dibahas dalam Bab III. Vegetasi yang berupa tanaman pangan dan tanaman keras ada di Desa Waha. Tanaman pangan yang ditanam penduduk adalah

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 16

Page 34: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

ubi kayu dan jagung, meskipun hanya dapat menanam sekali, yaitu pada musim penghujan. Ubi kayu bagi sebagian penduduk Desa Waha masih menjadi bahan makanan utama. Makanan pokok penduduk tersebut adalah ‘kasuami’ dibuat dari ubi kayu yang telah diproses dengan cara ubi mentah dikupas, dicuci, diparut/ dikukur, diperas airnya dan langsung dikukus sampai matang.

Kelurahan Wandoka

Kelurahan Wandoka juga merupakan salah satu dari 9 desa/ kelurahan di Kecamatan Wangi-Wangi. Luas wilayah Kelurahan Wandoka tidak begitu luas jauh di bawah Desa Mola Selatan, namun sedikit di atas Desa Waha, yaitu seluas 8,3 km2. Topografi wilayahnya sebagian merupakan dataran pantai dan sebagian kecil perbukitan, dengan rata-rata ketinggian hanya antara 1 sampai lebih dari 5 meter dari permukaan air laut. Lokasi Wandoka sangat dekat dan berbatasan dengan ibukota Kabupaten Wakatobi (Kota Wanci). Jaraknya hanya sekitar 3 km dari ibukota kabupaten, naik kendaraan umum tidak sampai memakan waktu 30 menit, biaya kendaraan umum hanya Rp 3000,- sekali jalan. Lokasi desa ini juga sama dengan dua daerah penelitian yang lain sebagian terletak di wilayah pantai dan bentuk desanya agak memanjang pantai. Sebagian kehidupan penduduknya juga banyak yang menggantungkan pada sumber daya laut. Batas-batas wilayah desa ini sebelah utara berbatasan dengan Desa Sombu, sebelah timur berbatasan dengan Desa Tindoi, sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Wanci dan sebelah barat berbatasan dengan laut.

Potensi Kelurahan Wandoka juga tidak hanya mengandalkan dari sumber daya laut namun juga sumber daya alam yang ada di darat. Lahan pertanian pangan dan tanaman keras tersedia di desa ini. Potensi yang lain adalah lokasinya dekat dengan ibukota kabupaten, sehingga mudah menjangkau sumber kehidupan yang ada di kota, seperti sektor jasa, angkutan/ transportasi, pemerintahan dan perdagangan. Variasi potensi tersebut jelas berdampak terhadap adanya variasi sumber penghidupan bagi penduduk kelurahan ini.

2.2 Kondisi Sumber Daya Alam

Hampir semua wilayah Kabupaten Wakatobi (93 persen) adalah lautan, sedangkan sisanya yang hanya 3 persen merupakan daratan. Daratan utama yang ada di kabupaten ini terdapat di empat pulau besar yaitu Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Nama Wakatobi sebenarnya merupakan

Kasus Kabupaten Wakatobi 17

Page 35: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

gabungan kata awal dari nama-nama pulau tersebut. Sebagai daerah yang mayoritas berupa lautan, potensi terbesar di daerah ini berada dalam laut, terbukti sekitar banyak penduduk Wakatobi tergantung pada sumber daya laut. Meskipun demikian ada beberapa produk pertanian tanaman pangan dan perkebunan yang cukup potensial untuk dikembangkan.

Sumber Daya Daratan Sumber daya daratan yang potensial adalah lahan. Meskipun proporsinya jauh lebih rendah daripada laut, sumber daya alam ini telah dimanfaatkan masyarakat untuk kegiatan pertanian tanaman pangan dan perkebunan. Tanaman pangan Wilayah daratan Kabupaten Wakatobi sebagian besar berupa batu karang dilapisi tanah yang tipis, sehingga hanya tanaman-tanaman tertentu saja yang dapat bertahan hidup. Beberapa tanaman pangan yang dapat tumbuh di daerah ini adalah jagung, ubi jalar, dan kacang tanah. Meskipun dapat berproduksi tetapi produktivitas tanaman tersebut sebagian besar relatif rendah, karena kondisi tanah dan ketersediaan air yang kurang mendukung untuk pertumbuhan tanaman. • Kabupaten Wakatobi Produksi tanaman jagung pada tahun 2003 mencapai 273,9 ton dengan luas tanam 605 hektar. Luas lahan untuk tanaman jagung terbesar terdapat di Kecamatan Tomia (338 ha) dengan produksi 46 ton. Produktivitas tanaman jagung terbesar terdapat di Kecamatan Kaledupa yaitu (20,63 kw/ha), melebihi produktivitas jagung di kecamatan yang lain. Hal ini disebabkan kondisi tanah di daerah ini yang relatif lebih subur dan penduduk dapat panen lebih dari sekali dalam setahun. Tanaman jagung umumnya di panen setelah umur 3 bulan, tetapi karena musim hujan hanya sekali dalam setahun maka penduduk di daerah ini hanya panen sekali dalam 1 tahun. Karena produktivitasnya rendah, pertanian tanaman jagung umumnya tidak dijadikan sebagai pekerjaan utama penduduk, tetapi hanya sebagai pekerjaan sampingan diluar pekerjaan utama. Ubi kayu merupakan bahan dasar pembuatan kasuami yang menjadi makanan pokok sebagian besar penduduk di Wakatobi, sehingga luas lahan dan produksi ubi kayu di Wakatobi lebih besar dibanding dengan jenis tanaman-tanaman yang lain. Pada tahun 2003, luas lahan ubi kayu mencapai

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 18

Page 36: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

2.258 hektar dengan produksi sebsar 15.532 ton (tabel 2.1). Ubi kayu menjadi tanaman dengan produksi terbesar karena mempunyai sifat dapat bertahan hidup dengan baik pada lahan kurang subur dan kekurangan air. Selain itu, ubi kayu merupakan bahan makanan pokok bagi penduduk setempat. Ubi kayu sebagian dikonsumsi sendiri oleh petani pemilik, sisanya dijual kepada konsumen di kabupaten setempat. Panen ubi kayu biasanya tidak dilakukan sekaligus tetapi secara bertahap sesuai dengan kebutuhan. Panen dilakukan setiap dua/satu minggu sekali dengan volume panen mencapai 1 keranjang yang dapat dikomsumsi satu keluarga selama kurang lebih satu/dua minggu.

Tabel 2.1. Luas Lahan dan Produksi Beberapa Jenis Tanaman Pangan

di Wakatobi Menurut Kecamatan, 2002

Jagung Ubi kayu Ubi jalar Kacang tanah No Kecamatan Luas

(ha) Produksi

(ton) Luas (ha)

Produksi (ton)

Luas (ha)

Produksi (ton)

Luas (ha)

Produksi (ton)

1 Tomia 338 46 663 2.043 5 40 7 6.5

2 Kaledupa 90 132 430 5.746 0 0 0 0

3 Binongko 50 0,9 56 7,8 0 0 0 0

4 Wangi-Wangi 127 95 1.109 7.735 0 0 0 0

Total 605 273,9 2.258 15.532 5 40 7 6.5

Sumber : BPS, Kecamatan dalam Angka, 2003 Luas lahan dan produksi ubi kayu terbesar terdapat di Kecamatan Wangi-Wangi (1.109 hektar), karena kecamatan ini mempunyai wilayah yang terluas dengan penduduk yang terbesar dibanding kecamatan lain di Kabupaten Wakatobi. Tahun 2004 kondisi ini mengalami perubahan, karena Kecamatan Wangi-Wangi telah dibagi menjadi dua kecamatan (Wangi-Wangi dan Wangi-Wangi Selatan). Dilihat dari produktivitas lahan, produktivitas lahan terbesar terdapat di Kecamatan Kaledupa yaitu 149 kw/ha, lebih besar dibanding Wangi-Wangi (71 kw/ha) dan kecamatan yang lain. Besarnya produktivitas ubi kayu di Kaledupa ini sejalan dengan besarnya produktivitas tanaman jagung sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Hal ini memberikan argumentasi, kondisi tanah di daerah Kaledupa memang relaif lebih subur daripada kecamatan yang lain. Indikasi tingkat kesuburan tanah yang lebih baik juga dapat dilihat dari tingkat kepadatan penduduk di daerah ini yang lebih besar dibanding kecamatan yang lain. Tanaman ubi jalar dan kacang tanah merupakan jenis tanaman yang selama ini telah ditanam di Kecamatan Tomia, tetapi tidak didapatkan di kecamatan

Kasus Kabupaten Wakatobi 19

Page 37: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

yang lain. Tahun 2003 produksi ubi jalar di Tomia sebesar 40 ton dalam luasan lahan 5 ha, sementara produksi kacang tanah sebesar 6,5 ton pada lahan seluas 7 ha. Mengingat kondisi tanah yang kurang subur dan produksinya relatif kecil, penanaman ubi jalar dan kacang tanah biasanya dijadikan sebagai pekerjaan sampingan untuk menambah pendapatan penduduk. Kecamatan-kecamatan lain tidak dijumpai jenis tanaman ini karena potensi kesuburan tanahnya kurang mendukung. Berbagai jenis sayuran dan buah-buahan juga sulit dijumpai di daerah ini, sehingga biasa mendatangkan dari daerah kabupaten lain. • Lokasi Penelitian Tiga desa/keluarahan yang dijadikan daerah penelitian data dasar aspek sosial terumbu karang di daerah Wakatobi, mempunyai potensi pengembangan tanaman pangan yang berbeda. Desa Mola Selatan berada di wilayah Kecamatan Wangi-Wangi Selatan tidak mempunyai potensi yang baik untuk pengembangan tanaman pangan. Hal ini berkaitan dengan kondisi tanah di daerah ini yang hampir seluruhnya berupa timbunan karang laut. Karang laut ini digunakan oleh warga untuk menutup permukaan laut, sehingga menjadi daratan dan dijadikan sebagai area permukiman penduduk. Tanah tersebut tidak cocok untuk penanaman tanaman pangan, sehingga sampai saat ini penduduk setempat tidak menanam tanaman pangan di dekat permukiman mereka. Ada sebagian penduduk yang dapat memproduksi tanaman pangan, area penanamannya berada di luar desa setempat. Berbeda halnya dengan Desa Waha dan Kelurahan Wandoka yang cukup potensial untuk pertumbuhan beberapa jenis tanaman pangan. Pada tahun 2003, di Desa Waha dan Kelurahan Wandoka terdapat area penanaman jagung masing-masing seluas 3,21 hektar dan 4,25 hektar dengan produksi 3,23 ton dan 4,71 ton. Selain tanaman jagung, di kedua wilayah juga dijumpai tanaman ubi kayu dengan luas lahan lebih besar dibanding jagung. Pada tahun 2003, Luas areal penanaman ubi kayu di Waha dan Wandoka masing-masing 61 hektar dan 67 hektar serta produksi tanaman sebesar 439 ton dan 529 ton. Area penanaman ubi kayu di kedua desa cukup luas, sebab selain ubi kayu digunakan sebagai makanan pokok, tanaman ini dapat hidup di lahan kering. Rumah tangga umumnya memiliki lahan untuk penanaman ubi kayu yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan makanan pokok, sementara kebutuhan yang lain dipenuhi dari pekerjaan melaut atau lainnya.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 20

Page 38: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Perkebunan Tanaman perkebunan yang potensial di Kabupaten Wakatobi adalah jambu mete dan kelapa baik hibrida maupun kelapa dalam (tabel 2.2). Jambu mete merupakan jenis tanaman yang cocok ditanam di lahan kering seperti daerah daratan Wakatobi. Oleh sebab itu hampir semua kecamatan di Wakatobi dijumpai jenis tanaman ini. Produksi jambu mete di Wakatobi cukup besar, tetapi karena keterbatasan data yang dapat disajikan dalam tulisan ini hanya Kecamatan Kaledupa dan Wangi-Wangi yang masing-masing mempunyai produksi 59 ton dan 1139 ton. Luas lahan di Tomia yang digunakan untuk tanaman jambu mete ini sekitar 202 hektar, tetapi belum diketahui berapa produksi yang dihasilkan pada tahun 2003. Jambu mete di panen pada waktu musim kemarau dengan waktu panen harian, tergantung pada kemasakan buah. Jambu mete mempunyai potensi yang cukup baik untuk dikembangkan di daerah ini daripada jenis tanaman yang lain, mengingat kondisi lahan yang kering dan musim kemarau yang cukup lama.

Tabel 2.2. Luas lahan dan Produksi Beberapa Tanaman Perkebunan

di Wakatobi Menurut Kecamatan, Tahun 2003

Jambu mete Kelapa Mangga Pisang No Kecamatan Luas

(ha) Produksi

(ton) Luas (ha)

Produksi (ton)

Luas (ha)

Produksi (ton)

Luas (ha)

Produksi (ton)

1 Tomia 202 ttd 255 ttd - - - - 2 Kaledupa 1992 59 1787 233 ttd 10.8 ttd 29.5 3 Binongko ttd ttd ttd ttd ttd ttd ttd Ttd 4 Wangi-Wangi 161 1139 141 587 - - - - Total 2355 1198 2183 820 ttd 10.8 ttd 29.5

Sumber : BPS, Kecamatan dalam angka, 2003 Keterangan : ttd : tidak tersedia data Kelapa dalam dan hibrida merupakan jenis tanaman perkebunan yang banyak ditemukan di Wakatobi, khususnya di daerah pantai. Hal ini disebabkan kelapa merupakan jenis tanaman yang memerlukan air cukup banyak, sehingga cocok ditanam di daerah pantai. Produksi kelapa di Kecamatan Kaledupa pada tahun 2003 sebesar 233 ton dan Wangi-Wangi sebesar 587 ton. Kecamatan Tomia mempunyai area perkebunan kelapa sebesar 255 hektar, namun tidak diketahui produksi yang ada. Kelapa merupakan produk tanaman perkebunan yang langsung dapat digunakan untuk bumbu masakan atau diolah terlebih dahulu menjadi kopra. Tanaman kelapa biasa ditanam di pekarangan perumahan nelayan, dan menjadi sumber penghasilan sampingan bagi nelayan. Dengan demikian sedikit sekali penduduk yang mempunyai pekerjaan utama sebagai petani tanaman

Kasus Kabupaten Wakatobi 21

Page 39: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

kelapa. Penduduk umumnya bekerja sebagai nelayan atau petani tanaman pangan, tetapi mempunyai sumber penghasilan lain diantaranya perkebunan kelapa. Karena tanaman kelapa dapat tumbuh dengan baik di daerah pantai, tanaman ini sebenarnya merupakan jenis tanaman yang cukup potensial dikembangkan di Wakatobi. Selain berfungsi untuk menambah pendapatan, tanaman ini juga dapat digunakan untuk menjaga kelestarian lingkungan laut dan perlindungan terhadap sinar matahari di siang hari. Tanaman perkebunan lain yang ada di Wakatobi adalah mangga dan pisang, dengan produksi 10,8 ton dan 29,5 ton dan dapat dijumpai di Kecamatan Kaledupa. Kecamatan Wangi-Wangi dan Tomia tidak ditemukan jenis tanaman ini, karena struktur tanah dan pengairannya yang tidak cocok. Sebagian besar wilayah Wangi-Wangi dan Tomia adalah tanah berbatu dan airnya payau. Beberapa desa di Kecamatan Wangi-Wangi bahkan merupakan hasil perluasan daratan dengan menutup tepian laut yang dilakukan penduduk setempat. Material yang digunakan untuk menutup tepian laut adalah karang laut, yang berdampak pada kerusakan terumbu karang. Desa Mola Utara dan Mola Selatan merupakan desa yang hampir seluruh tanahnya merupakan hasil penutupan laut dengan karang. Sebagaimana tanaman pangan, tanaman perkebunan tidak terdapat di Desa Mola Selatan karena daerah ini tidak cocok untuk pertumbuhan tanaman perkebunan. Jenis tanaman perkebunan yang ada di Desa Waha dan Kelurahan Wandoka adalah jambu mete, cengkeh, dan kelapa. Proporsi penduduk yang mempunyai perkebunan jambu mete di Wandoka mencapai 22 persen, lebih tinggi dibandingkan Waha (12 persen). Tanaman cengkeh hanya dijumpai di Kelurahan Wandoka dimana terdapat 4 persen penduduk yang memiliki perkebunan ini dengan nilai produksi antara 2 -4 juta per tahun. Tanaman kelapa banyak dimiliki penduduk di Waha dan Wandoka, dan merupakan jenis tanaman yang cukup produktif karena berada dipinggir laut. Sumber Daya Laut

Kabupaten Wakatobi mempunyai potensi sumber daya lautan yang lebih besar dibanding daratan karena sebagian besar wilayah kabupaten ini (93 persen) berupa lautan. Potensi sumber daya laut yang selama ini telah diketahui dan diolah berupa ikan, budidaya laut, dan terumbu karang yang menjadi salah satu objek wisata.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 22

Page 40: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Berkaitan dengan terumbu karang Kabupaten Wakatobi terletak pada Pusat Segi Tiga Karang Dunia (Coral Tri-Angle Center), memiliki jumlah keanekaragaman hayati kelautan tertinggi di dunia (750 jenis karang dari 850 spesies karang dunia), 900 jenis ikan dunia dengan 46 diversivitas teridentifikasi (salah satunya Marimabok). Wakatobi memilki 90.000 hektar terumbu karang dan Atol Kaledupa (48 km) yang merupakan atol tunggal terpanjang di dunia (Operation Wallacea).

Sumber daya laut di Kabupaten Wakatobi sangat kaya dan bervariasi, pada dasarnya dikelompokkan menjadi 11 sumber daya penting, yaitu : Terumbu Karang Cincin (atoll reef), Terumbu Karang Tepi (fringing reef), Terumbu Karang Penghalang (barrier reef), Gosong Karang (patch reef), Bakau (mangrove), Daerah pemijahan ikan (SPAGs), Padang Lamun (Seagrass), Daerah upwelling, Tempat bertelur burung pantai, Daerah terlihatnya paus & lumba-lumba (cetacean), dan Pantai Peneluran Penyu (RPJMD Kabupaten Wakatobi, 2006).

Bentuk topografi daerah Wakatobi atau sering dikenal sebagai Kepulauan Tukang Besi umumnya datar dan di sekitarnya terdapat beberapa mikro atol seperti Karang Kapota, Karang Kaledupa, dan Karang Tomia. Konfigurasi terumbu karang pada umumnya datar, kadang-kadang muncul di permukaan dengan beberapa daerah mempunyai tubir-tubir karang yang tajam. Perairan lautnya secara umum mempunyai konfigurasi perairan dari mulai datar kemudian melandai ke arah laut, dan beberapa daerah perairan bertubir curam. Kedalaman airnya bervariasi, dengan bagian terdalam terletak di sebelah barat dan timur Pulau Kaledupa (sampai 1.044 m). Dasar perairan bervariasi antara berpasir dan berkarang.

Terumbu Karang

Berkaitan dengan keragaman dan kesehatan karang, survei di Wakatobi yang dilakukan WWF Indonesia (2003), berhasil mencatat 396 spesies karang scleractinia hermatipic yang terbagi dalam 68 genus dan 15 famili. Survei juga mencatat 10 spesies dari spesies karang keras non scleractinia atau ahermatipic dan 28 genera karang lunak. Tingkat keragaman tersebut termasuk relatif tinggi dan merupakan indikasi dimana Wakatobi terletak di pusat keanekaragaman hayati terumbu karang. Lima tipe komunitas ekologi karang yang diidentifikasi, terdiri dari dua daerah perairan dalam, dua daerah perairan dangkal dan satu komunitas laguna. Tipe-tipe komunitas ini tersebar luas di wilayah Wakatobi, namun tidak ada pola geografis yang dapat dipastikan.

Kasus Kabupaten Wakatobi 23

Page 41: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Gambar 2.1. Terumbu Karang di Kawasan Wakatobi

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi, 2006

Kepulauan Wakatobi memiliki potensi terumbu karang serta berbagai jenis biota laut seperti kima, lola, ikan, penyu, serta jenis-jenis lainnya. Beberapa daerah terumbu karang yang ada antara lain Karang Sempora, Kapota, Watulopa, Sawa Olo-Olo, Tokobau, dan Waelale. Jenis-jenis karang yang ditemukan antara lain Acrophora spp, Dendrophyllia spp., Favia abdita, Echinopora horrida, Favites spp, Heliofungia actiniformis, Holothuria edulis, Lobophylla spp., Montastrea spp., Mycedium spp., Millepora spp, Nepthea spp., Oulophylla crispa, Oxypora spp., Pavona clavus, P decussata, Platygira lamellina, P. pini, Porithes spp., Spirobranchus giganteus, Symphyllia spp, Turbinaria frondens, Xenia spp, dan lain-Iain. Jenis soft corals yang terlihat antara lain Sarcophyton throcheliophorum dan Sinularia spp. Jenis ikan yang terlihat antara lain Abudefduf leucogaster, A. saxatilis, Acanthurus achilles, A. aliosa, A. mata, Amphiprion tricinctus, Chaetodon specu!lum, Chelinus undulatus, Chelmon rostratus, Heniochus acuminatus, H. permutatus, Macolor macularis (snapper), Napoleon wrasse, Paramia quinquelineata, Scarus qibbus, S. taeniurus, dan masih banyak lagi.

Terumbu secara umum dalam kondisi sehat, yang cukup luas dan selama puluhan tahun terbebas dari gangguan. Namun demikian, kerusakan karang terjadi (walau pada tingkat yang relatif rendah) dan disebabkan oleh tiga hal

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 24

Page 42: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

yaitu penggunaan bahan peledak, serangan mahkota berduri dan pemucatan (bleaching). Penggunaan bahan beracun (sianida) tampak terjadi pula dibanyak tempat, walau dampak langsung pada karang belum diobservasi. Atol di bagian timur kondisinya secara umum paling baik, Tomia bagian barat laut memiliki keragaman spesies paling tinggi dan laguna Karang Kaledupa memiliki komunitas karang paling tidak umum dan kelimpahan spesies langka yang paling tinggi.

Kondisi terumbu karang menurut hasil survei REA (2003), yang meneliti di 33 stasiun, secara umum berada dalam dalam keadaan baik. Adanya keragaman yang masih tinggi dari organisme terumbu karang dan adanya keterkaitan yang kuat dengan terumbu yang ada di Laut Banda dan Laut Flores. Hal tersebut menunjukkan adanya konservasi terumbu karang. Pelestarian terumbu karang Wakatobi juga mendukung keberadaan Taman Nasional Kepulauan Wakatobi. Tetapi kondisi terumbu karang mengalami penurunan, diindikasikan oleh hasil studi yang dilakukan CRITC LIPI pada tahun 2006 yang menetapkan kondisi terumbu karang di Wakatobi pada kategori sedang. Kategori ini didasarkan dari hasil survei di 52 stasiun RRI yang menggambarkan tutupan karang hidup rata-rata di kawasan ini mencapai 31 persen. Kondisi ini merata terjadi di Pulau Wangi-Wangi, Kaledupa dan Tomia, namun dengan tutupan karang yang bervariasi antar pulau. Persentase tutupan karang hidup rata-rata terendah ditemukan di Pulau Wangi-Wangi yaitu sebesar 27 persen dan yang tertinggi di Pulau Tomia sebesar 44 persen, sedangkan di Pulau Kaledupa berada diantara kedua pulau tersebut.

Kasus Kabupaten Wakatobi 25

Page 43: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Peta 2.2. Persentase tutupan karang hidup di perairan Karang Kapota, Kaledupa dan

Tomia, Kabupaten Wakatobi, Tahun 2006

Sumber: Survei Ekologi Terumbu Karang CRITC – LIPI, 2006 Exploitasi karang di Wakatobi selama ini telah dilakukan oleh masyarakat dan berdampak pada degradasi karang laut. Karang laut biasa digunakan sebagai bahan untuk pondasi rumah, jalan maupun penutup pantai sehingga menjadi daratan. Tidak tanggung-tanggung sebagian besar wilayah Mola Selatan dan Mola Utara berupa daratan yang dari laut yang ditutup dengan karang. Penggunaan batu karang untuk bangunan disebabkan sulitnya mendapatkan batuan gunung sebagai bahan bangunan. Batuan keras satu-satunya yang ada disekitarnya adalah hanya batu karang. Selain pengambilan karang oleh penduduk, penggunaan alat tangkap ikan yang merusak juga banyak dijumpai di Wakatobi. Hasil wawancara dengan para responden menunjukkan bahwa penggunaan bom sebelum adanya pogram untuk pelestarian terumbu karang, banyak dilakukan oleh masyarakat. Akan tetapi, saat ini penggunaan alat-alat tangkap yang merusak terumbu karang

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 26

Page 44: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

tersebut sudah semakin menurun meskipun masih ada sebagian nelayan yang melakukannya. Perikanan Potensi perikanan di Wakatobi antara lain dinyatakan oleh La Ode Hajifu dan Oktawinus (2006), dimana TNKW mempunyai luas 1.390.000 Ha, produksi ikan sekitar 3.000 ton/thn terdiri dari ikan pelagis (kecil/besar) 2.300 ton dan ikan demersal (karang) 700 ton. TNKW terdiri dari 25 gugusan terumbu di perairan Wakatobi dan terdapat 7 spot pemijahan ikan dengan 29 spesies ikan yang telah teridentifikasi. Daerah pemijahan ikan tersebut berada di beberapa pulau seperti pada peta 2.3. Meskipun memiliki potensi yang cukup tinggi, tetapi masih banyak penduduk di Wakatobi yang hidup di bawah garis kemiskinan. Hal ini dapat dilihat dari persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan di Wakatobi pada tahun 2002 sebesar 32,14 persen.

Peta 2.3. Lokasi Pemijahan Ikan di Wakatobi

Sumber : La Ode Hajifu dan Oktawinus. 2006 Keterangan = daerah pemijahan ikan berindikasi kuat Dalam hal potensi perikanan di Wakatobi survei WWF (2003), dengan ekstrapolasi Indeks Keragaman Ikan Karang (Coral Fish Diversity Index,

Kasus Kabupaten Wakatobi 27

Page 45: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

CFDI) menunjukkan bahwa ada sekitar 942 spesies ikan di wilayah Wakatobi. Komposisi spesies ikan di kepulauan Wakatobi adalah satu subset dari pool spesies regional, walau sangat berbeda. Peringkat CFDI 284 menempatkan wilayah Wakatobi di kategori keanekaragaman hayati yang sama dengan Teluk Milne di Papua Nugini dan Komodo di Indonesia. Famili-famili yang paling beragam spesiesnya antara lain jenis-jenis wrase (Labridae), damsel (Pomacentridae), kerapu (Serranidae), kepe-kepe (Chaetodontidae), surgeon (Acanthuridae), kakatua (Scaridae), cardinal (Apogonidae), kakap (Lutjanidae), squirrel (Holocentridae), dan angel (Pomacanthidae). Hasil survei menyarankan bahwa bagian barat laut Wakatobi merupakan bagian yang penting sebagai fokus upaya konservasi, mengingat di wilayah ini diketahui memiliki mayoritas keragaman ikan yang tinggi. Survei WWF juga menemukan sebanyak 647 ekor Serranidae dan 29 ekor Napoleon Wrasse Chelinus undulatus. Dari jumlah tersebut hanya 100 ekor (kurang dari 1/6) merupakan spesies yang memiliki nilai tinggi dalam perdagangan ikan karang hidup (umumnya spesies Epinephelus dan Plectropomus). Secara umum, data yang terkumpul menunjukkan jumlah yang tinggi dari spesies target bernilai komersial tinggi berada di daerah yang usaha perikanannya rendah. Juga, lokasi-lokasi dengan kondisi habitat baik hingga sedang menggambarkan densitas spesies target yang relatif lebih tinggi dibanding yang kualitas habitatnya rendah atau daerah berpasir atau dengan sebaran padang lamun. Penurunan kondisi habitat disebabkan oleh praktek penangkapan ikan yang merusak dan penangkapan ikan dengan intensitas tinggi. Rumput Laut Selain perikanan tangkap, wilayah perairan Wakatobi juga sangat potensial untuk pengembangan budidaya, termasuk rumput laut, kerapu dan sunu. Wakatobi merupak salah satu pusat budidaya rumput laut di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra). Budidaya rumput laut yang terbesar di Pulau Kaledupa, Wangi-Wangi dan Tomia dengan pusat budidaya terdapat di Pulau Kaledupa (lihat peta 2.4.). Untuk meningkatkan produksi rumput laut salah satu terobosan yang dilakukan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara adalah menyediakan bantuan dana ROFI (Repayment of Fund and Interest)Pengembalian modal dan bunga melalui dana APBD.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 28

Page 46: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Peta 2.4. Daerah Budidaya Rumput Laut di Wakatobi

Sumber : La Ode Hajifu dan Oktawinus. 2006 Keterangan (1, 2, 3) = daerah budidaya rumput laut Potensi budidaya rumput laut juga cukup tinggi di daerah ini. Kabupaten Wakatobi yang teridentifkasi memiliki daerah pesisir pantai terpanjang di Provinsi Sultra, sangat berpotensi untuk pengembangan budidaya rumput laut. Dari sekian pulau besar dan kecil di daerah Wakatobi ada sekitar 5000-an hektare yang merupakan daerah pesisir yang cocok untuk budidaya rumput laut. Rumput laut selain sebagai alternatif mata pencaharian yang cukup baik, juga dapat berfungsi untuk menjaga kelestarian lingkungan, sehingga sejalan dengan potensinya sebagai daerah pariwisata. Produksi rumput laut di Wakatobi masih sekitar 3.000-4.000 ton per bulan dan masih dapat ditingkatkan lagi. Dalam hal pemasaran, mereka sudah dapat melakukan ekspor ke China.

Kasus Kabupaten Wakatobi 29

Page 47: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Pariwisata Potensi lain yang tidak kalah penting adalah wisata bahari, karena keindahan alam lautnya. Keindahan dan keunikan pantai dan terumbu karangat sangat potensial untuk daerah wisata. Selama ini daerah wisata yang direkomendasikan adalah di Pulau Hoga, Onemoba’a dan sekitarnya. Pengunjung dapat melakukan kegiatan berjemur (sunbathing), snorkling/skin diving, berenang atau menyelam (diving). Di Pulau Hoga telah dibangun fasilitas berupa, wisma tamu dengan arsitektur rumah adat Buton yang dibangun Pemerintah Daerah, serta beberapa pondok wisata wisata (http://www.idrap.or.id/id/consrv_wakatobi.htm). Pariwisata merupakan kegiatan ekonomi baru bagi Wakatobi yang mempunyai prospek ekonomi cukup baik. Pada tahun anggaran 2002, pariwisata menyumbang Rp 106 juta kepada pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Wakatobi. Tahun anggaran 2003 ditargetkan Rp 130 juta. Tahun 2002 kunjungan wisatawan asing meningkat 22 persen dari tahun sebelumnya 540 orang. Setiap bulan selalu ada wisatawan asing berwisata ke Wakatobi. Bulan Juli-September saat angin timur, kunjungan wisatawan turun 50 persen (kompas, 2004). Diharapkan tahun-tahun anggaran berikutnya pariwisata memberikan sumbangan lebih besar bagi Kabupaten Wakatobi, mengingat PAD Wakatobi tergantung pariwisata. Wakatobi mempunyai daya tarik tersendiri karena kepulauan yang dikenal Kepulauan Tukang Besi tersebut mempunyai 25 gugusan terumbu karang yang masih asli dengan spesies beraneka ragam bentuk. Terumbu karang menjadi habitat berbagai jenis ikan dan makhluk hidup laut lainnya seperti moluska, cacing laut, tumbuhan laut, ikan hiu, lumba-lumba, dan paus. Kesemuanya menciptakan taman laut yang indah dan masih alami. Taman laut yang dinilai terbaik di dunia ini sering dijadikan ajang diving dan snorkling bagi para penyelam.

Bersamaan dengan penetapan kawasan taman nasional, investor swasta asal Swiss, Lorentz Mader, juga membangun bungalo bertaraf internasional sebagai sarana untuk menikmati keindahan taman laut tersebut. Bungalo yang disebut Wakatobi Dive Resort ini berada pada pulau kecil yang disebut Onemobaa di depan Pulau Tomia. Keberadaan kawasan wisata tersebut sedikit banyak memberi dampak positif bagi penduduk. Selain menciptakan lapangan kerja, masyarakat juga dilibatkan pada pengembangan pariwisata, di antaranya sebagai pemasok kerajinan rakyat tenun Tomia dan pande besi, serta terlibat dalam pertunjukan kesenian budaya. Kawasan pariwisata juga ada di Pulau Wangi-Wangi, Hoga, pulau di sebelah Kaledupa, dan

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 30

Page 48: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Binongko. Tahun 2002 tercatat 7 sarana penginapan di Wakatobi yang menyediakan 48 kamar dan 73 tempat tidur. Selain snorkling dan diving, aktivitas pariwisata lain yang bisa dinikmati adalah pemandangan pantai, menyusuri gua, fotografi, berjemur, dan camping.

Resort di Pulau Onemobaa tersebut dilengkapi dengan pembangunan landasan pesawat terbang di daratan Pulau Tomia. Sarana pelabuhan udara tersebut digunakan untuk mengangkut pengunjung resort Onemobaa Island dari Eropa dan Amerika dengan pesawat carter. Wisatawan biasa menempuh perjalanan dari Bali ke Pulau Tomia kurang dengan waktu lebih dua jam dengan pesawat jenis DAS Eight berkapasitas 40 kursi. Biaya perjalanan wisata tersebut sebetulnya cukup mahal karena harus menggunakan pesawat carter. Untuk menekan biaya, pemerintah diharapkan segera merampungkan peningkatan landasan pacu Bandara Betoambari di Kota Bau-Bau dan di Wangi-Wangi, serta menyempurnakan pembangunan landasan pacu pelabuhan udara di Pulau Tomia itu bagi pelayanan pesawat reguler. Dengan demikian, dua daerah tujuan wisata di Sultra, yakni Kota Bau-Bau dan Wakatobi, akan lebih mudah dijangkau. Daerah tujuan wisata tersebut memiliki daya tarik spesifik. Kota Bau-Bau dengan benteng keratonnya menawarkan wisata budaya dan sejarah. Wakatobi menyajikan panorama taman nasional bawah laut dengan ekosistem terumbu karang yang indah. 2.3. Sarana dan Prasarana Sosial Ekonomi Sarana dan prasarana (sarpras) sosial ekonomi sangat penting dalam pengembangan sumber daya manusia (SDM) dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Wakatobi. Pada bagian ini akan dikemukakan sarpras dasar yang berkaitan, seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, transportasi dan komunikasi serta kelembagaan sosial ekonomi yang relevan, khususnya dengan pengelolaan sumber daya laut. 2.3.1. Pendidikan

Dalam RPJM Kabupaten Wakatobi tahun 2006-20011 disebutkan bahwa pendidikan di Kabupaten Wakatobi dititikberatkan pada peningkatan mutu dan perluasan wajib belajar di semua jenjang pendidikan, yaitu mulai dari TK sampai dengan Sekolah Menengah Atas (SMA). Upaya meningkatkan mutu pendidikan dimaksudkan untuk menghasilkan manusia yang beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berilmu pengetahuan. Sedangkan usaha perluasan wajib belajar dimaksudkan agar semua penduduk usia sekolah yang tiap tahun meningkat sejalan dengan laju

Kasus Kabupaten Wakatobi 31

Page 49: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

pertumbuhan penduduk dapat menikmati pendidikan. Peningkatan mutu dan perluasan wajib belajar tidak dapat terlepas dari kecukupan sarana dan prasarana pendidikan yang ada di daerah, baik negeri maupun swasta.

Kecukupan sarana dan prasarana Pendidikan Taman Kanak-kanak diantaranya dapat dilihat dari jumlah sekolah dan guru yang ada di daerah. Jumlah Taman Kanak-Kanak di Kabupaten Wakatobi pada tahun 2003 adalah 21 unit yang tersebar di empat kecamatan, dengan jumlah guru 52 orang, dan jumlah murid 980 orang (tabel 2.3). Jumlah TK terbanyak terdapat di Kecamatan Kaledupa demikian pula guru dan murid, meskipun sebenarnya jumlah penduduk di kecamatan ini lebih kecil dibandingkan dengan Kecamatan Wangi-Wangi dan Tomia. Dari sisi rasio jumlah murid dan guru dapat dilihat bahwa rasio terkecil terdapat di Kaledupa, sehingga secara kuantitas jumlah TK di kecamatan ini sudah relatif mencukupi. Rasio murid dan guru yang cukup besar terdapat di Tomia dan Binongko (lebih dari 40 murid/guru), sehingga relatif kurang mencukupi karena 1 guru harus mengajar sekitar 40-50 murid. Dari sisi rasio murid/sekolah juga terlihat rasio terkecil berada di Kaledupa sedangkan rasio cukup besar terdapat di Tomia dan Binongko.

Persebaran sekolah berhubungan dengan jumlah dan akses desa yang ada di masing-masing kecamatan terhadap sekolah. Jumlah desa di Tomia dan Binongko masing-masing 11 dan 9 desa, sementara jumlah TK di masing-masing kecamatan adalah 5 TK dan 2 TK. Desa-desa di kecamatan rata-rata memiliki jarak yang cukup jauh, sehingga akses masyarakat terhadap pendidikan sangat dipengaruhi oleh persebarannya. Melihat jumlah TK yang tidak sebanding dengan jumlah desa yang ada, maka akses penduduk terhadap pendidikan TK relatif rendah. Dari keempat kecamatan di Wakatobi hanya Kaledupa yang mempunyai jumlah TK cukup banyak yaitu 9 TK, sehingga jumlah anak yang sekolah TK di daerah ini relatif banyak (300 anak pada tahun 2003).

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 32

Page 50: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Tabel 2.3. Distribusi Sekolah, Guru dan Murid Menurut Tingkat Pendidikan dan

Kecamatan di Kabupaten Wakatobi, Tahun 2003

Rasio Pendidikan Kecamatan Sekolah Guru Murid Guru/

sekolah Murid/ Sekolah

Murid/ Guru

Tomia 5 7 367 1.40 73.40 52.43 Kaledupa 9 29 300 3.22 33.33 10.34 Binongko 2 3 123 1.50 61.50 41.00 Wangi-Wangi 5 13 190 2.60 38.00 14.62

TK

Jumlah 21 52 980 2.48 46.67 18.85 Tomia 22 178 2.425 8.09 110.23 13.62 Kaledupa 22 205 2.700 9.32 122.73 13.17 Binongko 17 93 2.377 5.47 139.82 25.56 Wangi -wangi 39 199 6.074 5.10 155.74 30.52

SD

Jumlah 100 675 13.576 6.75 135.76 20.11 Tomia 5 85 910 17.00 182.00 10.71 Kaledupa 5 88 830 17.60 166.00 9.43 Binongko 4 35 1.120 8.75 280.00 32.00 Wangi-Wangi 8 90 2.496 11.25 312.00 27.73

SMP sederajat

Jumlah 22 298 5.356 13.55 243.45 17.97 Tomia 1 33 532 33.00 532.00 16.12 Kaledupa 1 29 515 29.00 515.00 17.76 Binongko 1 17 186 17.00 186.00 10.94 Wangi –wangi 3 52 1.689 17.33 563.00 32.48

SMA sederajat

Jumlah 6 131 2.922 21.83 487.00 22.31

Sumber : BPS, Hasil gabungan data, kecamatan dalam angka tahun 2003

Sekolah Dasar (SD) di Wakatobi pada tahun 2003 berjumlah 100 buah tersebar di empat kecamatan dengan jumlah terbanyak di Kecamatan Wangi-Wangi (39 unit), sebab penduduk di Wangi-Wangi memang lebih besar dibanding kecamatan yang lain. Meskipun jumlah sekolah di Wangi-Wangi lebih banyak dibanding yang lain, rasio murid/sekolah di kecamatan ini ternyata juga lebih besar. Nilai rasio murid/sekolah sebesar 156 artinya setiap sekolah SD mempunyai murid sebanyak 156 orang, atau jika 1 SD terdapat 6 ruang kelas maka setiap ruang kelas menampung 26 siswa. Rasio ini masih wajar mengingat 1 orang guru masih memungkinkan untuk mengajar siswa sebanyak itu. Akan tetapi jika dilihat rasio guru/sekolah, masih ada sekolah-sekolah di Binongko dan Wangi-Wangi yang kekurangan guru karena rasio antara guru dan sekolah di daerah ini sebesar 5,47 dan 5,10. Idealnya jika dalam 1 SD terdapat 6 ruang kelas, minimal rasio antara guru/sekolah adalah enam, sehingga setiap ruang kelas terdapat 1 guru yang mengajar. Rasio kurang dari enam, menunjukkan bahwa ada sebagian guru yang harus mengajar lebih dari 1 kelas setiap harinya. Hal ini dapat berdampak negatif karena selain beban guru berat, dikhawatirkan mutu

Kasus Kabupaten Wakatobi 33

Page 51: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

pengajaran menjadi rendah dan berdampak pada kualitas anak didik. Seluruh desa di keempat kecamatan telah terdapat minimal 1 SD, sehingga akses anak terhadap sekolah relatif mudah.

Gambaran berbeda terjadi di Kecamatan Kaledupa, dimana rasio antara guru/sekolah lebih dari 9 artinya dalam 1 sekolah terdapat 9 sampai 10 guru yang mengajar. Karena sekolah dasar hanya mempunyai 6 kelas, ada kemungkinan terjadi kelebihan guru SD di daerah ini. Indikasi kelebihan guru juga dapat dilihat dari rasio antara murid/guru di Kaledupa yang bernilai 13 artinya setiap guru mengajar 13 siswa. Angka ini jauh lebih rendah dibanding di Wangi-Wangi dan Binongko yang mempunyai rasio murid/guru 30 dan 25. Berkaitan dengan keadaan ini pemerataan penempatan guru tampaknya menjadi program yang perlu dilakukan oleh pemerintah setempat guna memenuhi kebutuhan anak sekolah.

Pada jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) pada tahun 2003 di Kabupaten Wakatobi terdapat 22 unit SMP sederajat, yang terdistribusi dalam empat kecamatan dengan jumlah terbanyak di Wangi-Wangi (8 unit). Jumlah ini sesuai dengan jumlah anak usia SMP yang lebih besar dibanding kecamatan yang lain, terbukti jumlah siswa di kecamatan Wangi-Wangi masih lebih besar dibanding kecamatan yang lain. Permasalahan yang dapat dilihat adalah rasio guru/sekolah di Wangi-Wangi dan Binongko (11 dan 8) yang jauh lebih rendah daripada kecamatan yang lain. Kondisi ini menunjukkan adanya kekurangan guru SMP di kedua kecamatan tersebut. Kekurangan guru ini juga berdampak pada besarnya rasio antara murid dengan guru yang mencapai tiga kali lebih besar dibanding Kecamatan Tomia dan Kaledupa. Keadaan yang berbeda terjadi pada Kecamatan Kaledupa dimana rasio murid/guru SMP hanya sembilan. Rasio ini jauh lebih kecil dibanding Kecamatan Wangi-Wangi dan Binongko, sehingga perlu adanya pemerataan tenaga pengajar di Kabupaten Wakatobi.

Jumlah SMA dan sederajat di Wakatobi adalah 6 unit, dimana 3 unit sekolah ada di Kecamatan Wangi-Wangi, sementara di kecamatan lain masing-masing 1 sekolah. Dilihat dari jumlah siswa yang ada di SMA sederajat, angka melanjutkan dari SMP ke SMA di kabupaten ini masih sekitar setengahnya, artinya 50 persen tamatan SMP meneruskan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Rasio murid/sekolah di kecamatan Binongko jauh lebih rendah dibanding tiga kecamatan yang lain. Hal ini berkaitan dengan banyaknya lulusan SMP yang tidak meneruskan ke jenjang pendidikan SMA, mengingat rasio jumlah murid/sekolah pada tingkatan SMP di daerah ini tidak jauh berbeda dengan kecamatan yang lain. Hal

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 34

Page 52: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

berbeda terjadi di Wangi-Wangi, dimana rasio murid/sekolah lebih besar dari kecamatan yang lain meskipun jumlah sekolahnya juga lebih banyak. Hal ini disebabkan banyaknya penduduk di daerah ini yang meneruskan sekolah sampai ke SMA, disamping jumlah penduduk di daerah ini memang lebih besar dibanding kecamatan yang lain.

Perguruan tinggi belum tersedia di Wakatobi, karena selama ini belum ada suatu lembaga yang mendirikan perguruan tinggi di Kabupaten ini. Pendidikan tinggi yang selama ini banyak diikuti warga adalah sistem pendidikan jarak jauh yang dilakukan oleh UT maupun program dari universitas lain. Penduduk yang ingin meneruskan sekolah sampai ke perguruan tinggi selain pendidikan jarak jauh harus keluar daerah seperti Kendari atau ke Pulau Jawa. Lain halnya penduduk yang merasa cukup mengambil pendidikan tinggi sistem jarak jauh, mereka dapat menempuh program pendidikan tersebut di daerah setempat. Alternatif kedua ini cukup banyak diminati warga, karena biaya sekolah relatif lebih ringan dibanding jika mereka harus meneruskan studi ke luar daerah.

Tiga desa yang digunakan sebagai lokasi studi, terletak di Kecamatan Wangi-Wangi yang saat ini telah terbagi menjadi dua kecamatan yaitu Wangi-Wangi dan Wangi-Wangi Selatan. Di desa-desa tersebut telah dilengkapi dengan lembaga pendidikan setingkat SD yaitu 1 unit untuk Mola selatan (Wangi-Wangi selatan), 3 unit untuk Wandoka dan 2 unit untuk Waha (Wangi-Wangi). Akan tetapi, sekolah setingkat SMP hanya dijumpai di Waha, sedangkan kedua desa yang lain tidak terdapat SMP. Untuk itu, penduduk desa ini harus meneruskan studi ke desa lain yang terdekat. Mengingat jarak antara permukiman penduduk dengan SMP tidak terlalu jauh, keberadaan lembaga pendidikan ini bukan menjadi permasalahan di sana. Lembaga pendidikan SMA tidak terdapat di ketiga desa lokasi studi, sehingga penduduk mesti melanjutkan studi ke lain desa. SMA di Kecamatan Wangi-Wangi terdapat di Desa Mandati I dan Pongo, sehingga penduduk ketiga desa yang memilih studi di SMA harus menempuh perjalanan yang cukup jauh.

Kasus Kabupaten Wakatobi 35

Page 53: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

2.3.2. Kesehatan

Dalam RPJM Kabupaten Wakatobi disebutkan bahwa pembangunan kesehatan di Wakatobi dititikberatkan pada peningkatan Mutu Pelayanan Kesehatan Masyarakat dan terwujudnya keluarga bahagia dan sejahtera. Demikian pula pelaksanaan Program Nasional Keluarga Berencana (KB) Nasional diarahkan untuk menciptakan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS). Untuk mencapai sasaran tersebut di atas baik bidang kesehatan maupun KB maka selama tahun 2003 pemerintah telah melaksanakan pembangunan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan dan KB secara menyeluruh di setiap kecamatan. Penggalakan gerakan NKKBS ini lebih banyak dilakukan melalui posyandu di daerah, sehingga jumlahnya relatif banyak dan setiap desa telah mempunyai posyandu.

Tabel 2.4. Distribusi Sarana Kesehatan menurut jenis fasilitas dan kecamatan,

Kabupaten Wakatobi, Tahun 2003

Kecamatan No Jenis fasilitas Tomia Kaledupa Binongko Wangi-

Wangi Jumlah

1 Puskesmas 2 2 2 3 9 2 Pustu 6 6 3 5 20 3 Posyandu 40 24 ttd 25 89 4 Dokter 2 1 ttd 3 6 5 Bidan 7 10 ttd 16 33 6 Paramedic 9 - ttd 16 25

7 Dukun terlatih 38 48 ttd 52 138

Sumber : BPS, Kecamatan dalam angka, 2003 Keterangan : ttd = tidak tersedia data

Sebagai kabupaten yang baru, sarana kesehatan di Kabupaten Wakatobi masih sangat terbatas. Rumah sakit umum belum beroperasi di kabupaten ini, tetapi pada tahun 2006 pemerintah daerah telah mendirikan 1 rumah sakit umum dan bangunan telah siap untuk dimanfaatkan. Rumah sakit umum tersebut didirikan di ibukota kabupaten yaitu Kota Wanci. Di Kabupaten wakatobi terdapat 9 unit puskesmas yang tersebar merata di masing-masing kecamatan. Tenaga dokter masih sulit dijumpai disini dan mengingat daerah ini merupakan daerah kepulauan, sebagian besar masyarakat sulit mendapatkan pelayanan dokter, karena jaraknya cukup jauh. Oleh sebab itu, alternatif yang lebih mudah adalah dengan berobat ke paramedik atau bidan yang jumlahnya cukup besar dan lebih dekat dengan

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 36

Page 54: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

masyarakat. Guna memenuhi kebutuhan pelayanan kepada masyarakat, terdapat puskesmas pembantu sebanyak 20 unit. Dalam hal penolong persalinan di Kabupaten Wakatobi terdapat 33 orang bidan dan 138 dukun terlatih yang selalu siap membantu persalinan warga yang membutuhkan. Dukun tampaknya menjadi andalan warga mengingat jumlahnya cukup banyak dan lebih mudah dijumpai di daerah-daerah perdesaan.

Fasilitas kesehatan yang terdapat di ketiga lokasi studi ternyata masih minim yaitu terbatas pada posyandu, dan dukun terlatih. Bidan dan paramedis hanya terdapat di Desa Waha sedangkan dua desa lain tidak ada. Oleh sebab itu, akses masyarakat desa terhadap fasilitas kesehatan ini sangat terbatas. Jika akan berobat ke dokter mereka harus menempuh perjalanan yang cukup jauh, terutama warga dari Desa Waha. Keterbatasan ini menuntut masyarakat untuk dapat memilih pengobatan yang cepat dan tepat pada waktu terserang penyakit tertentu. Tenaga paramedis umumnya menjadi tenaga kesehatan yang mereka pilih, karena mudah dijangkau dan biayanya relatif murah.

2.3.3. Sarana Ekonomi

Sarana ekonomi yang terdapat di Wakatobi terbatas pada pasar umum, toko, kios/warung, wartel, KUD dan koperasi. Terdapat 9 pasar umum di Wakatobi yang terdistribusi pada empat kecamatan yaitu 3 pasar di Kaledupa dan masing-masing 2 pasar pada kecamatan yang lain. Pasar umum berfungsi sebagai tempat penjualan hasil laut untuk jenis ikan-ikan segar yang dihasilkan nelayan setempat. Karena selama ini pasar umum masih dapat menampung hasil laut (ikan segar), maka belum ada TPI di daerah ini. Dengan demikian konsumen ikan segar masih terbatas di daerah setempat, baik masyarakat umum maupun rumah makan. Dari tabel 2.5 terungkap bahwa belum semua kecamatan mempunyai toko, tetapi di Wangi-Wangi terutama Kota Wanci jumlah toko cukup besar, mengingat kota ini merupakan ibukota kabupaten. Pada tahun 2003 terdapat 44 toko di daerah Wakatobi dan seluruhnya berada di Wangi-Wangi. Kondisi ini menunjukkan bahwa pusat kegiatan ekonomi berada di Wangi-Wangi karena dekat dengan sarana pemerintahan, maupun perhotelan. Modal yang diperlukan untuk berinvestasi di pertokoan cukup besar, dan orang yang berinvestasi pasti memperhatikan keuntungan/kerugian yang didapat. Selama belum menguntungkan, tidak akan ada pengusaha yang berinvestasi di bidang ini. Kios/warung cukup banyak dijumpai di seluruh

Kasus Kabupaten Wakatobi 37

Page 55: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

kecamatan, sebab kios/warung tidak memerlukan biaya investasi yang tinggi sehingga masyarakat dapat dengan mudah mendirikannya.

Tabel 2.5. Jumlah Sarana Ekonomi Menurut Jenis Sarana dan Kecamatan

di Kabupaten Wakatobi, Tahun 2003

Kecamatan No Jenis sarana Tomia Kaledupa Binongko Wangi-

Wangi Jumlah

1 Pasar umum 2 3 2 2 9

2 Toko 0 0 0 44 44 3 Kios/warung 204 51 ttd 418 673 4 Wartel 5 0 ttd 11 16 5 KUD/koperasi 1 2 3 6 12

Sumber : BPS, Kecamatan dalam angka 2003 Keterangan : ttd = tidak tersedia data Wartel sebenarnya merupakan jenis prasarana yang termasuk dalam sektor komunikasi dan informasi, namun sarana ini penting untuk menunjang kegiatan ekonomi sehingga dimasukkan dalam prasarana ekonomi. Pada tahun 2003 terdapat 16 wartel di Wakatobi, dengan persebaran yang tidak merata di seluruh kecamatan. Sebagian besar usaha ini berada di Wangi-Wangi sebagai pusat pemerintahan kabupaten. Ada kecamatan yang belum terdapat wartel, sehingga mobilitas masyarakat di daerah ini cenderung lebih rendah dibanding kecamatan yang lain. Sarana ekonomi lain yang terdapat di Wakatobi adalah koperasi. Pada dasarnya koperasi merupakan lembaga keuangan yang dapat berfungsi untuk menggantikan peran perbankan yang tidak sampai ke masyarakat. Koperasi merupakan salah satu jenis lembaga keuangan yang cukup efektif menjangkau masyarakat, karena berada dekat dengan permukiman penduduk. Pada tahun 2003 terdapat 12 koperasi/KUD di Kabupaten Wakatobi dengan jumlah terbanyak berada di Kecamatan Wangi-Wangi. Banyaknya koperasi di Wangi-Wangi dapat digunakan sebagai salah satu indikator lebih majunya perekonomian di daerah ini dibanding daerah yang lain. Ketiga desa lokasi studi mempunyai kios/warung masing-masing sebanyak 15 unit. Wandoka merupakan wilayah kelurahan sehingga mempunyai fasilitas lebih daripada kedua lokasi yang lain. Hal ini dapat dilihat dari

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 38

Page 56: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

jumlah toko yang ada di Wandoka sebanyak 5 toko, sementara desa yang lain tidak ada. KUD hanya terdapat di Desa Mola Selatan, yaitu KUD nelayan, Namur Belem dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat. Di desa Waha terdapat program PEMP (Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pesisir), yang salah satunya bentuk kegiatannya berupa koperasi simpan pinjam dengan sistem peminjaman kelompok. Tetapi program ini belum memiliki peran yang cukup berarti untuk membantu perekonomian warga. Ketiga desa tidak terdapat pasar umum karena tempat yang merupakan pusat jual beli ikan segar ini hanya terdapat di Mandati I dan Pongo. Oleh sebab itu nelayan setempat biasa menjual ikan segar di kedua pasar tersebut. 2.3.4. Transportasi dan Komunikasi Sarana dan prasarana transportasi dan komunikasi mempunyai arti penting dalam membuka isolasi dan hubungan penduduk dengan daerah lain. Makin banyak tersedianya sarana dan prasarana transportasi dan komunikasi yang memadai hubungan penduduk dengan luar daerah semakin lancar. Pembangunan sektor perhubungan, khususnya transportasi dan komunikasi sangat diperlukan di setiap daerah. Kemajuan pembangunan di sektor tersebut akan berimbas positif kepada perekonomian atau pendapatan penduduknya, sebab berbagai produk baik dari sumber daya laut maupun sumber daya darat akan cepat atau mudah mencapai pasar. Khusus untuk penduduk pesisir/ nelayan, dengan cepatnya hasil produksi mencapai pasar, keuntungan akan lebih dirasakan oleh penduduk. Tabel 2.6. menggambarkan kondisi sarana dan prasarana transportasi dan komunikasi di Kabupaten Wakatobi dan masing-masing kecamatan di kabupaten tersebut. Jalan dibedakan antara jalan aspal, jalan kerikil, jalan semen dan jalan tanah. Panjang jalan di antara 4 kecamatan di Kabupaten Wakatobi ternyata yang terpanjang adalah Wangi-Wangi (116,6 km), berikutnya Tomia (95,5 km), Kaledupa (89 km) dan yang terpendek Binongko (48 km). Total panjang jalan seluruh kabupaten adalah 349,1 km. Berikut dikemukakan rasio jumlah penduduk terhadap jalan aspal, kerikil dan semen. Di Kecamatan Wangi-Wangi prasarana jalan terpanjang, sebab daerah ini merupakan ibukota kabupaten, sehingga pembangunan jalan lebih diutamakan dari pada daerah lain untuk mempercepat pelayanan. Tabel 2.6. menunjukkan bahwa ternyata rasio penduduk terhadap panjang jalan aspal, kerikil dan semen paling tinggi. Berarti bahwa meskipun daerah ini panjang jalannya paling panjang tapi rasio penduduk terhadap jalan paling tinggi/ paling kurang baik (450 orang/ km). Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk di daerah ini lebih cepat daripada perkembangan

Kasus Kabupaten Wakatobi 39

Page 57: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

panjang jalan. Di 3 kecamatan lainnya ternyata rasionya justru lebih rendah, di Binongko mencapai 296 orang/km dan dua kecamatan lainnya lebih rendah, di Kaledupa sebesar 254 orang/ km dan Tomia sebesar 224 orang/ km. Bagaimana tentang sarana kendaraan yang ada di 4 kecamatan tersebut? Jenis kendaraan roda empat yang ada adalah truk, sedan, pick up dan mikrolet. Jenis dan jumlah kendaraan yang terbanyak di Kecamatan Wangi-Wangi, terdapat truk, sedang, pick up dan mikrolet. Sedangkan di Kaledupa dan Tomia hanya ada mikrolet. Sementara di Binongko tidak terdapat kendaraan roda empat. Diukur dari rasio jumlah penduduk dengan jumlah kendaraan roda empat, ternyata angka terendah adalah di Wangi-Wangi (326 orang/ kendaraan roda empat). Sementara di Kecamatan Kaledupa adalah 2.845 orang/ kendaraan roda empat, di Tomia 928 orang dan di tingkat Kabupaten Wakatobi sebesar 576 orang. Rendahnya rasio penduduk dengan kendaraan roda empat di Wangi-Wangi dikarenakan daerah tersebut merupakan juga ibukota kabupaten, fasilitas umum termasuk transportasi jelas lebih diutamakan dari pada kecamatan lainnya. Rasio penduduk terhadap jumlah kendaraan roda dua (sepeda motor dan sepeda) ternyata yang terendah adalah di Tomia dan Binongko dibandingkan di Wangi-Wangi dan Kaledupa. Rendahnya rasio penduduk dengan jumlah kendaraan roda dua berkaitan erat dengan kondisi jalan dan fasilitas penyediaan bahan bakar di dua kecamatan tersebut agak terbatas, sehingga yang lebih memungkinkan sebagai sarana transportasi kendaraan roda dua. Bagaimana dengan sarana dan prasarana kendaraan air? Jenis kendaraan air/ perahu yang dimiliki penduduk di Kabupaten Wakatobi yang tercatat meliputi lambo bermotor, speed, sampan bermotor, kapal layar bermotor, sampan tanpa motor dan perahu layar. Dari Tabel 2.6. menunjukkan bahwa ternyata banyak variasi dan jumlah perahu yang ada di Kecamatan Wangi-Wangi paling banyak dibandingkan kecamatan lainnya. Banyaknya jumlah dan jenis perahu di Kecamatan Wangi-Wangi di samping kemampuan penduduk, juga telah lama memiliki dermaga dan pelabuhan yang dapat disinggahi berbagai jenis perahu. Dari tabel tersebut juga menunjukkan bahwa rasio penduduk tahun 2003/2004 terhadap jumlah kendaraan air, secara perhitungan kasar rasio yang terkecil ternyata juga di Kecamatan Wangi-Wangi (21 orang/ perahu). Kemudian pada urutan berikutnya adalah Binongko (24 orang/ perahu), Tomia (26 orang/ perahu) dan yang tertinggi Kaledupa (54 orang/ perahu).

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 40

Page 58: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Tabel 2.6. Prasarana Jalan dan Jumlah Kendaraan Darat dan Laut

Di 4 Kecamatan dan Kabupaten Wakatobi, 2003/2004

KECAMATAN

JENIS SARANA DAN

PRASARANA TRANSPORTASI &

KOMUNIKASI WANGI – WANGI

KALE- DUPA TOMIA BINONGKO

KABUPA-

TEN WAKA-

TOBI (1) (2) (3) (4) (5) (6)

Prasarana Jalan (km) :

1. Aspal 2. Kerikil/ sirtu 3. Semen 4. Tanah Jumlah Rasio pddk / jalan aspal, kerikil dan semen

22,5 74,6

- 19,5

116,6

450/ km

20 47

- 22 89

254/ km

18 56,5

- 21

95,5

224/ km

9 -

37 2

48

296/ km

69,5 178,1

37 64,5

349,1

320/ km

Kendaraan Darat (unit) :

1. Truk 2. Sedan 3. Pick up 4. Mikrolet 5. Sepeda

motor 6. Sepeda 7. Gerobak Rasio pddk / kendaraan roda empat Rasio pddk / sepeda motor & sepeda

3 4

28 99

898 449 226

326

32

- - - 6

263 229

42

2845

34

- - -

18 596 186 113

928

21

- - - -

289 354 576

-

21

3 4

28 123

2.046 1.218

957

576

28

Kendaraan Laut (unit):

1. Lambo bermotor

2. Speed 3. Sampan

motor 4. Kapal layar

motor 5. Kapal motor

ikan 6. Sampan

tanpa motor 7. Perahu layar

43 -

342 81

5 1.601

- 2072

21

- 2

131 - -

183 -

316 54

- -

628 - - - -

628 26

- - 5

60 21

450 30

566 24

43 2

1.106 141

26 2.234

30 3582

25

Kasus Kabupaten Wakatobi 41

Page 59: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Jumlah Rasio pddk/ kendaraan air

Sarana Komunikasi/Informasi :

1. Televisi 2. Radio 3. Wartel 4. Kios phone 5. HT Rasio pddk/ televisi Rasio RT/ televisi Rasio pddk/ wartel, kios phone

4.128

64 11

- 47 10

3 1.570

1.848 1.677

6 6 - 9 2

1.422

904 246

10 - -

18 5

1.670

524

8 - - -

26 6 -

7.404 1.995

27 6

47 12 3,1

1.138

Sumber : BPS, Kecamatan Dalam Angka Tahun 2003/2004 Mengenai sarana komunikasi/ informasi dari tabel 2.6. menunjukkan bahwa jumlah televisi yang terbanyak di Kecamatan Wangi-Wangi (4.128 unit), kemudian di bawahnya Kaledupa (1.848 unit), Tomia (904 unit) dan paling sedikit Binongko (524 unit). Jumlah radio ternyata yang terbanyak justru di Kaledupa (1.677 unit), berikutnya Tomia (246 unit), Wangi-Wangi (11 unit) dan yang paling sedikit adalah di Binongko (8 unit). Sementara wartel sebagai sarana komunikasi yang paling banyak di Wangi-Wangi (11 unit), berikutnya Tomia (10 unit), yang ketiga di Kalidupa (6 unit) dan ditambah 6 kios phone. Sementara di Binongko belum ada wartel dan kios phone. Bagaimana apabila jumlah televisi dibandingkan dengan jumlah penduduknya? Ternyata rasio jumlah penduduk dan jumlah televisi yang terendah terdapat di Kaledupa (9 orang/ televisi) dan hanya berbeda tipis dengan Wangi-Wangi (10 orang/ televisi). Di Tomia besarnya rasio tersebut adalah 18 orang/ televisi dan yang paling tinggi Binongko 26 orang/ televisi. Apabila dibandingkan dengan jumlah rumah tangganya, paling rendah tetap di Kaledupa, yakni tiap 2 rumah tangga satu televisi, sedikit lebih tinggi adalah Wangi-Wangi adalah tiap 3 rumah tangga satu televisi. Kondisi yang kurang baik terdapat di Tomia dan Binongko, masing-masing 5 rumah tangga per televisi dan 6 rumah tangg per televisi. Rasio jumlah penduduk terhadap jumlah wartel dan kios phone. Dari tabel menunjukkan bahwa ternyata rasionya masih cukup tinggi, yakni di Kecamatan Wangi-Wangi sebesar 1.570 orang per wartel, di Kaledupa 1.422 orang per wartel dan kios phone dan di Tomia 1.670 orang per wartel. Meskipun rasio jumlah penduduk terhadap jumlah wartel/ kios phone cukup

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 42

Page 60: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

tinggi bukan berarti komunikasi dengan pihak luar terhambat. Dengan makin berkembangnya teknologi telepon seluler, ternyata telah merambah ke pelosok-pelosok pedesaan sampai daerah terpencil. Jenis telepon ini ternyata telah dimiliki dan dipergunakan oleh berbagai kalangan mulai dari kelas ekonomi menengah ke atas sampai menengah ke bawah, dari kalangan pejabat, karyawan, pedagang bahkan sampai nelayan, dari kalangan orang tua sampai remaja. Hanya pemilik dan pemakai jenis telepon seluler tersebut tidak terdata di Kabupaten Wakatobi. 2.3.5. Kelembagaan Sosial-Ekonomi Terkait Pengelolaan SDL Kelembagaan sosial ekonomi yang terdapat di Kabupaten Wakatobi adalah Koperasi Wakatobi Sejahtera, terletak di Desa Waha. Koperasi ini merupakan koperasi yang menyediakan sarana produksi dan simpan pinjam. Anggotanya adalah para nelayan untuk seluruh kabupaten. Koperasi ini dapat memberikan peminjaman modal/ uang kepada para kelompok nelayan. Besarnya pinjaman tergantung proposal yang diajukan. Pada tahap pertama, koperasi ini telah memberikan pinjaman kepada para nelayan di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Wangi-Wangi dan Wangi-Wangi Selatan. Besarnya pinjaman di dua kecamatan tersebut adalah Rp 500 juta. Pada tahap kedua, koperasi akan memberikan pinjaman kepada para kelompok nelayan di Kecamatan Kaledupa dan Tomia Timur. Jumlah pinjaman uang yang akan diberikan di dua kecamatan tersebut sebesar Rp 500 juta. Jadi dengan adanya pinjaman modal diharapkan para kelompok tani bisa mengembangkan usaha penangkapan sumber daya laut. Modal tersebut diharapkan dapat digunakan untuk membeli armada dan alat tangkap secara berkelompok, sehingga pengembaliannya juga dapat ditanggung secara berkelompok agar menjadi lebih ringan. KUD (Koperasi Unit Desa) terdapat di masing-masing kecamatan, anggota KUD bervariasi bukan khusus untuk para nelayan, tapi juga para petani dan lainnya. Masing-masing kecamatan ada satu kecamatan, kecuali di Wangi-Wangi ada 2 KUD. Koperasi lainnya di Wangi-Wangi ada 4 koperasi dan di Kaledupa ada satu koperasi.

Kasus Kabupaten Wakatobi 43

Page 61: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Tabel 2.7. Lembaga Ekonomi di 4 Kecamatan, Kabupaten Wakatobi, 2003/2004

KECAMATAN

LEMBAGA EKONOMI WANGI-

WANGI KALE-DUPA TOMIA BINONGKO

KABUPA-

TEN WAKA-

TOBI (1) (2) (3) (4) (5) (6)

Bank KUD Koperasi

- 2 4

- 1 1

- 1 -

- 1 -

- 5 5

Sumber : BPS, Kecamatan Dalam Angka Tahun 2003/2004. Di Kabupaten Wakatobi juga ada WWF yang kantornya berada di Kota Wanci. Kegiatannya antara lain mengadakan pemberdayaan kepada masyarakat pesisir dalam pengelolaan konservasi taman laut. Saat ini tiap 3 bulan mengadakan pertemuan di 64 desa, di tingkat desa pertemuan dilakukan dengan para kelompok nelayan. Kemudian tiap 4 bulan sekali di tingkat kecamatan dan 6 bulan sekali di tingkat kabupaten. 2.4. Pengelolaan Sumber Daya Laut Laut merupakan sumber daya alam yang dominan di Kabupaten Wakatobi, sebagian besar wilayahnya terdiri dari perairan laut. Sebagai kabupaten kepulauan, yang terdiri dari 38 pulau dengan empat pulau utama, yaitu: Pulau Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko, Wakatobi memiliki sumber daya laut (SDL) yang sangat potensial dengan kekayaan, keindahan dan keunikan terumbu karang serta keanekaragaman jenis ikan dan biota yang hidup disekitarnya (lihat penjelasan 2.2.). Potensi SDL merupakan aset yang penting dan menjadi andalan bagi pembangunan Kabupaten Wakatobi ke depan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu diperlukan pengelolaan sumber daya ini secara berkelanjutan. Kekayaan SDL mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dan fungsi ekologi penting untuk keseimbangan lingkungan. Dari aspek ekonomi, SDL, termasuk ekosistem terumbu karang, merupakan sumber penghasilan masyarakat dan devisa daerah. Sedangkan dari aspek ekologi, terumbu karang merupakan ’rumah’ ikan, tempat tumbuh dan berkembang biaknya ikan-ikan karang dan biota lainnya. Terumbu karang juga berfungsi melindungi pantai dan pulau-pulau kecil dari hantaman badai.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 44

Page 62: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

2.4.1. Kebijakan Sebagai kabupaten kepulauan, pembangunan Kabupaten Wakatobi yang baru terbentuk ini mengandalkan pada kekayaan SDL, termasuk terumbu karang. Pentingnya SDL secara eksplisit diungkapkan dalam visi daerah, yaitu: ‘Terwujudnya Surga Nyata Bawah Laut di Jantung Segitiga Karang Dunia’. Untuk mewujudkan visi tersebut, pemerintah daerah (Pemda) Kabupaten Wakatobi telah menetapkan sektor unggulan, yaitu: pariwisata dan perikanan laut. Prioritas Pembangunan Pariwisata Pariwisata, yang difokuskan pada wisata bahari, ekowisata dan budaya, merupakan sektor andalan Kabupaten Wakatobi. Pengembangan pariwisata mendapat perhatian yang serius bagi Pemda Wakatobi, diindikasikan dari kegiatan promosi pariwisata, baik di tingkat nasional maupun internasional. Kegiatan promosi merupakan bagian yang sangat penting untuk pengembangan sektor ini. Sebagai langkah awal, Pemda Wakatobi mengadakan event lomba dayung internasional di Pulau Hoga. Acara ini dilaksanakan pada tanggal 18 November 2006 dan dibuka oleh Menteri Kelautan. Kegiatan pariwisata melibatkan pihak swasta dan masyarakat. Keterlibatan pihak swasta dan masyarakat ini telah berlangsung cukup lama, sebelum terbentuknya Kabupaten Wakatobi. PT Wakatobi Diving yang beroperasi di Tomia dikelola oleh ‘orang asing’ bahkan telah memberikan kontribusi terhadap pendapatan daerah. Pada tahun 2005, kontribusinya mencapai angka Rp100 juta. Sedangkan keterlibatan masyarakat dalam kegiatan pariwisata masih terbatas di pulau tertentu saja. Sebagai contoh, masyarakat berpartisipasi aktif dalam kegiatan ekowisata di Pulau Hoga. Masyarakat di Pulau Kaledupa dan Sama Bahari mengusahakan home stay bagi para wisatawan di Hoga ini. Mereka meyediakan ‘pondok-pondok’ yang dibagun menggunakan bahan-bahan lokal dan didesign secara tradisional dengan peralatan yang sangat sederhana tanpa listrik, sehingga mencerminkan keasrian dari pulau tersebut. Pada sore hari, pemilik pondok menyalakan lampu teplok untuk penerangan, dan suasana pedesaan seperti inilah yang disenangi oleh turis.

Kasus Kabupaten Wakatobi 45

Page 63: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Perikanan Laut Di samping pariwisata yang lebih terfokus pada wilayah pantai dan ekosistem terumbu karang, Pemda Kabupaten Wakatobi juga menetapkan perikanan laut dalam sebagai andalan pembangunan. Pemda mencanangkan perikanan laut sebagai komoditi ekspor berskala internasional dengan pasar yang utama adalah Hongkong, Jepang dan Singapura. Penetapan ini disesuaikan dengan potensi daerah yang wilayah lautnya sangat luas, namun belum dimanfaatkan secara optimal. Pengembangan perikanan laut dalam juga sangat diperlukan untuk mengimbangi kegiatan perikanan yang selama ini lebih terfokus di kawasan terumbu karang, sehingga menimbulkan tekanan yang berdampak negatif terhadap kelestarian ekosistem tersebut. Untuk mewujudkan sektor andalan ini, Pemda telah mengeluarkan kebijakan pembangunan Kabupaten Wakatobi diarahkan pada pengembangan infrastruktur dasar yang mendukung, seperti pelabuhan, jalan dan bandara, dan peningkatan sumber daya manusia (SDM). Selama ini pelabuhan feri yang ada terdapat di Wangi-wangi Selatan, pelabuhan antar pulau terdapat di Wangi-Wangi Selatan, Kaledupa, Tomia dan Binongko, sedangkan pelabuhan antar kabupaten terdapat di Kota Wanci. Untuk transportasi laut diperlukan pelabuhan feri, antar pulau dan kabupaten. Sedangkan untuk transportasi udara, Pemda sedang melakukan studi kelayakan pembangunan bandara yang menurut rencana akan dilaksanakan pada tahun anggaran 2007. Di samping sarana transportasi, Pemda juga merencanakan pembangunan pabrik es pada tahun 2007. Keberadaan pabrik es sangat penting dan urgen untuk segera direalisasikan. Es merupakan modal dasar untuk mempertahankan kualitas produksi ikan laut dalam. Selama ini kebutuhan es diperoleh dari Bau-bau dan produksi rumah tangga, sehingga jumlahnya terbatas dan harganyapun relatif mahal. Keadaan ini berpengaruh pada kualitas ikan tuna yang selama ini kebanyakan hanya mencapai grade B.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 46

Page 64: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Pengelolaan Sumber Daya Laut Kekayaan dan keunikan sumber daya laut (SDL) di kawasan Wakatobi telah dikenal dan mendapat perhatian di tingkat nasional maupun internasional. Keadaan ini digambarkan dari ditetapkannya kepulauan Wakatobi sebagai taman nasional dan salah satu pusat penelitian bagi peneliti internasional di bawah koordinasi Yayasan Operation Walasea (Opwal). Di samping menjadi kawasan pelestarian alam, kekayaan SDL telah dimanfaatkan oleh masyarakat dan pelaku bisnis. Meskipun pemanfaatan belum dilakukan secara optimal, di beberapa bagian, khususnya kawasan karang, eksploitasi dilakukan secara berlebihan, sehingga merusak sumber daya alam tersebut. Karena itu untuk menjaga dan melestarikan SDL, berbagai program pengelolaan mulai dilakukan di kawasan ini melibatkan berbagai stakeholders, baik pemerintah pusat dan daerah maupun LSM lokal, domestik dan internasional. Taman Nasional Kabupaten Wakatobi terletak di kawasan Taman Nasional Kepulauan Wakatobi (TNKW). Penetapan kawasan sebagai taman wisata alam laut telah berlangsung sejak lama tahun 1995, sesuai dengan SK Menteri Kehutanan No. 462/KPTS-II/1995, dan setahun kemudian berubah menjadi taman nasional melalui SK Mentri Kehutanan No. 393/KPTS-VI/1996, atau jauh sebelum kabupaten ini terbentuk. Dengan demikian, terdapat dualisme kewenangan di Wakatobi, yaitu pemerintah daerah (Pemda) yang didasarkan pada Undang-Undang no.29 tahun 2003 dan taman nasional yang didasarkan pada SK Mentri Kehutanan(RPJM Kabupaten Wakatobi, 2006). Penetapan TNKW oleh Mentri Kehutanan mengacu pada UU No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan ekosistemnya. Sesuai dengan UU tersebut, taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang dikelola dengan sistem zonasi, yaitu: zona inti atau sanctuary zone, zona lindung atau wilderness zone, zona rehabilitasi atau rehabilitation zone, zona pemanfaatan atau used zone, dan zona pemanfaatan tradisional. Penetapan zonasi ini dilakukan di pusat, Jakarta, kurang memperhatikan kondisi lapangan dan tidak melibatkan masyarakat setempat. Penentuan zonasi dengan pendekatan top-down ini kurang optimal, karena tidak dapat diimplementasikan di lapangan. Hal ini dikarenakan kawasan Wakatobi telah menjadi wilayah tangkap nelayan setempat dan nelayan yang datang dari luar daerah. Masyarakat telah melakukan aktivitas sosial

Kasus Kabupaten Wakatobi 47

Page 65: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

ekonomi sejak lama, sebelum ditetapkannya TNKW, karena itu tidak mudah untuk merubah kebiasaan masyarakat tersebut. Keadaan ini mempengaruhi pengelolaan tanam nasional di kawasan ini. COREMAP Kabupaten Wakatobi termasuk salah satu kabupaten yang menjadi lokasi Coral Reef Rehabilitation and Management Program yang disingkat COREMAP atau Program Pengelolaan dan Rehabilitasi Terumbu Karang. Sesuai dengan namanya, program ini bertujuan untuk mengelola ekosistem terumbu karang agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan melestarikan ekosistem tersebut. Program Coremap di Kabupaten Wakatobi mulai dilaksanakan pada phase II Coremap. Program ini dilaksanakan di 66 desa yang tersebar di Kecamatan Wangi-Wangi (9 desa/kelurahan), Kecamatan Wangi-Wangi Selatan (13 desa), Kecamatan Kaledupa (9 desa), Kecamatan Kaledupa Selatan (9 desa), Kecamatan Tomia (7 desa), Kecamatan Tomia Timur (9 desa) dan Kecamatan Binongko (10 desa). Untuk melaksanakan Coremap telah direkrut SETO sebanyak 5 orang, fasilitator sebanyak 8 orang dan motivator desa sebanyak 32 orang. Kegiatan sudah mulai disosialisasikan di desa-desa yang menjadi lokasi Coremap. Tetapi, kegiatan ini masih terbatas pada pimpinan formal dan informal, termasuk tokoh-tokoh masyarakat. Namun sosialisasi secara luas melibatkan semua unsur masyarakat masih sangat terbatas, karena itu sebagian besar anggota masyarakat, khususnya di lokasi penelitian Desa Mola Selatan, Waha dan Kelurahan Wandoka belum memahami Coremap. Terbatasnya sosialisasi Coremap mempunyai implikasi pada masyarakat. Masyarakat Desa Mola Selatan, misalnya, banyak yang menaruh kecurigaan terhadap Coremap, Menurut mereka kegiatan ini akan merugikan ekonomi penduduk, karena ‘melarang’ usaha nelayan di kawasan karang. Padahal kehidupan ekonomi mereka sangat tergantung pada sumber daya laut tersebut. Keadaan ini perlu segera ditangani, karena kecurigaan dapat membuat masyarakat antipati terhadap program, yang sebetulnya belum mereka pahami tersebut. Terbatasnya pemahaman tentang Coremap bukan hanya terjadi pada masyarakat saja, tetapi juga motivator desa/kelurahan di lokasi kajian. Motivator desa di tiga lokasi penelitian belum mengetahui kegiatan apa

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 48

Page 66: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

yang akan dilakukan Coremap dan bagaimana cara melakukannya. Seorang motivator mengatakan bahwa beliau hanya menjalankan perintah dari SETO dan Fasilitator, yang selama ini hanya berupa pendataan penduduk saja. Bahkan, menurut seorang motivator, beliau belum melakukan pendataan yang diminta, seperti: umur, pendidikan, pekerjaan utama, pekerjaan tambahan, pendapatan utama dan pendapatan tambahan, karena honornya belum diberikan. 2.4.2. Pemanfaatan Kekayaan SDL di perairan laut Kabupaten Wakatobi telah dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi oleh masyarakat dan pelaku bisnis. Pemanfaatan yang utama adalah perikanan tangkap di kawasan terumbu karang dan perairan laut dalam. Selain perikanan, kegiatan ekonomi lain yang penting adalah pariwisata bahari dan ekowisata. Produksi Perikanan Produksi di Tingkat Kabupaten Wakatobi dikenal sebagai salah satu pusat produksi perikanan di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra). Dari luas wilayah perairan laut kabupaten telah diidentifikasi areal penangkapan (fishing ground) yang potensial seluas 836.400 hektar. Dari fishing ground ini diperkirakan akan menghasilkan produksi perikanan lestari mencapai 30.000 ton per tahun. Saat penelitian ini dilakukan, produksi perikanan baru mencapai 5.000 ton per tahun (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi, 2006). Keadaan ini menggambarkan bahwa produksi perikanan tangkap masih jauh di bawah atau hanya seper enam dari kemampuan produksi lestari di kabupaten ini. Gambaran ini juga mengindikasikan bahwa peningkatan produksi masih merupakan upaya yang potensial untuk dilakukan. Bila ditelusuri lebih lanjut, dari fishing ground tersebut sebagian merupakan fishing ground untuk ikan karang, kerapu dan biota laut lain, seperti teripang. Dinas Kelautan dan Perikanan mengidentifikasi areal penangkapan kerapu seluas 15.000 hektar yang tersebar di kawasan karang Wakatobi. Dari luas tersebut, ternyata baru seper tiganya yang terolah (sekitar 5000 hektar). Berarti potensi areal tangkap kerapu masih sangat luas, atau sekitar 10.000 hektar yang masih belum di olah. Demikian juga dengan areal penangkapan teripang. Dari potensi areal penangkapan teripang seluas 85 hektar, baru

Kasus Kabupaten Wakatobi 49

Page 67: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

satu hektar yang di olah, artinya sebagian besar masih belum terolah dan sangat potensial untuk dikembangkan pada masa yang akan datang. Produksi perikanan di Kabupaten Wakatobi belum terdata dengan baik. Keadaan ini dapat dipahami karena kabupaten ini baru terbentuk dan pengangkatan bupati juga baru terlaksana 9 bulan yang lalu. Data yang tersedia bervariasi menurut referensi meskipun pada tahun yang sama. Data masih berupa estimasi yang akurasinya masih perlu dipertanyakan, namun paling tidak dapat memberikan gambaran kasar dari produksi perikanan di kabupaten ini. Dari tabel 2.8 dapat diketahui bahwa produksi hasil laut di Kabupaten Wakatobi cukup tinggi mencapai hampir 1,5 juta ton pada tahun 2005. Jumlah produksi tersebut mencakup semua hasil laut, baik yang produksi segar maupun yang telah diolah. Dari 13 hasil laut yang terdata, ikan pelagis merupakan hasil laut yang produksinya paling banyak, menduduki urutan pertama. Produksi ikan pelagis menyumbang separuh dari total produksi hasil laut di kabupaten ini. Dari data hasil sensus pertanian (BPS: 2005) diketahui bahwa ikan pelagis yang utama adalah ikan layang (325.440 ton), diikuti oleh kembung (160.740 ton), selar (148.770 ton) dan kurisi (112.470 ton). Ikan lain yang banyak terdapat di Wakatobi adalah tongkol, cakalang dan bawal hitam. Selain ikan pelagis, kulit kaci juga merupakan andalan produksi di kawasan tersebut, diikuti oleh rumput laut, kepiting dan ikan-ikan dasar yang menduduki urutan ke dua, tiga, empat dan lima. Jenis kepiting yang utama adalah kepiting bakau (Scilla serrata) yang tersebar di areal seluas 60 hektar, namun areal ini belum terolah. Sedangkan gurita yang sedang marak di kawasan karang, jumlah produksinya menduduki urutan ke enam besar, mencapai hampir 68 ribu ton pada tahun 2005.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 50

Page 68: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Tabel 2.8. Produksi Hasil Laut di Kabupaten Wakatobi, Tahun 2005

No. Jenis Hasil Laut Produksi (1ton)

1. Ikan pelagis 700.176 2. Kulit Kaci 221.145 3. Kepiting 152.874 4. Ikan dasar 104.210 5. Gurita 67.623 6. Sunu/Kerapu hidup 13.001 7. Tuna 12.948 8. Ikan teri 5.571 9. Ikan asin kering 8.881

10. Teripang 1.205 11. Lobster 0.808 12. Kulit toba 0.100 13. Rumput laut 199.164

Total 1.467.188

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan, Kabupaten Wakatobi, Tahun 2005 Dari tabel 2.8 juga terungkap bahwa ikan-ikan andalan dan merupakan komoditi ekspor dari Kabupaten Wakatobi produksinya masih terbatas. Keadaan ini dapat dilihat dari produksi ikan karang hidup, khususnya sunu dan kerapu, produksinya sekitar 13 ribu ton dan termasuk dalam urutan ke tujuh. Data dari Dinas Kelautan dan Perikanan ini jauh lebih rendah dari data BPS hasil sensus pertanian yang mencatat produksi kerapu sebanyak 85.500 ton. Sedangkan ikan tuna yang merupakan unggulan perikanan tangkap di perairan laut dalam, produksinya sedikit lebih rendah dari sunu dan kerapu, atau menduduki urutan ke delapan atau lima ter bawah. Namun data dari Dinas Perikanan ini jauh lebih rendah, hanya 7 persen dari data produksi yang dikeluarkan oleh BPS dimana produksi tuna di Kabupaten Wakatobi mencapai 186.903 ton pada awal tahun 2005. Lobster yang mempunyai nilai ekonomis tinggi karena harganya sangat mahal, produksinya juga terbatas, yaitu sekitar 800 ton pada tahun 2005. Lobster termasuk salah satu biota yang produksinya telah mengalami penurunan secara drastis. Keadaan ini perlu mendapat perhatian karena

Kasus Kabupaten Wakatobi 51

Page 69: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

kebanyakan nelayan mengatakan bahwa mereka sudah mulai sulit untuk menangkap lobster. Data BPS (2005) dari hasil Sensus Pertanian mengemukakan 15 jenis jenis ikan yang domainan ditangkap oleh nelayan di Kabupaten Wakatobi lihat tabel 2.9.). Data ini memberikan gambaran yang lebih spesifik mengenai rata-rata produksi ikan yang ditangkap oleh rumah tangga nelayan per musim di kabupaten ini. Dari tabel terungkap bahwa ikan layang merupakan produksi ikan terbanyak mencapai 534,44 ton per musim atau menyumbang 15 persen dari total produksi ikan di kabupaten yang terkenal dengan sebutan Kepulauan Tukang Besi. Produksi terbanyak ke dua sampai ke lima adalah ikan julun-julun, kembung, tongkol dan tuna. Sedangkan jenis ikan lain yang masuk dalam kelompok sepuluh besar adalah: cakalang, ikan terbang, selar, kakap dan bawal hitam.

Tabel 2.9. Rata-rata Produksi Ikan Rumah Tangga Nelayan Per Musim,

di Kabupaten Wakatobi, Tahun 2005

No

Jenis Ikan/ SDL

Rata-rata Produksi

Rumah Tangga Nelayan (ton/musim)

Persen

(1) (2) (3) (4)

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

10. 11. 12. 13. 14. 15.

Ikan bawal hitam Ikan biji nangka Ikan cakalang Ikan merah Ikan terbang Ikan julun-julun Ikan kakap Ikan kembung Ikan kerapu Ikan kurisi Ikan layang Ikan selar Ikan tongkol Ikan tuna Ikan lainnya Jumlah

70,00 48,18

342,36 52,80

294,00 441,00

72,01 414,00

66,67 61,47

534,44 282,69 410,02 396,83 196,80

3.683,27

1,9 1,3 9,3 1,4 8,0

12,0 1,9

11,2 1,8 1,7

14,5 7,7

11,1 10,8

5,3 100,0

Sumber : BPS, Diolah dari data Sensus Pertanian, 2005

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 52

Page 70: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Dari tabel 2.9 juga terungkap bahwa ikan kerapu yang merupakan ikan karang hidup yang diekspor dengan nilai ekonomis tinggi, ternyata produksinya relatif kecil, nomor 4 terbawah dari 15 ikan yang dominan. Produksi kerapu yang ditangkap rumah tangga nelayan sebanyak 66,67 ton per musim ikan karang atau per tahun. Kecilnya produksi ini berkaitan erat dengan waktu tangkap yang terbatas, hanya pada musim gelombang teduh yaitu bulan September sampai Maret dengan waktu yang efektif hanya sekitar tiga bulan. Wilayah tangkap ikan terupu juga terbatas di kawasan karang saja. Data yang berbeda dapat dilihat dari tabel 2.10 yang memberikan gambaran produksi hasil laut menurut kecamatan di Kabupaten Wakatobi tahun 2005. Total produksi perikanan/hasil laut jauh lebih rendah dari data pada tabel 2.8. Lebih rendahnya produksi tersebut dikarenakan tabel 2.10 ini tidak memasukkan produksi ikan teri, ikan asin dan kulit toba. Namun jika diperhatikan produksi dari jenis hasil laut juga mengalami perbedaan yang cukup signifikan, misalnya produksi rumput laut di tabel 2.8 sebanyak 199.164 ton, tetapi pada tabel 2.10 hanya 98.647 ton atau hanya separuhnya, padahal sumber datanya sama, yaitu dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi. Perbedaan data ini perlu mendapat perhatian yang serius bagi instansi yang berwenang, baik Dinas Perikanan maupun Kantor Statistik, agar data yang dipublikasi mendekati kebenaran, sehingga lebih akurat dan dapat dipertanggung jawabkan validitasnya.

Tabel 2.10. Produksi Perikanan Tangkap di Kabupaten Wakatobi, Tahun 2005

Produksi (kg)

Jenis Ikan Wangi-Wangi

Wangi-Wangi Selatan

Kaledupa Tomia Binongko Total

Tongkol 1.083 - 100 30.950 - 32.133 Layang 14.903 1.005 7.260 430.320 176.470 629.958 Ikan dasar 48.521 11.481 2.123 42.085 - 104.210 Kerapu 140 1.670 - 7.845 - 9.655 Tuna 7.561 1.242 - - - 8.803 Teripang 588 985 137 - - 2.050 K. Raci 2.084 2.639 200 50 - 4.973 Gurita 7.427 2.434 1.005 709 - 11.575 Kepiting 472 62 137 - - 671 Lobster 40 120 - - - 160 Rumput laut

85.294 9.847 23.506 - - 98.647

Total 168.111 29.982 34.468 511.959 176.470 902.835

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan, Kabupaten Wakatobi, 2006

Kasus Kabupaten Wakatobi 53

Page 71: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Produksi perikanan tersebar dan bervariasi antar daerah di Kabupaten Wakatobi. Dari tabel 2.10 terungkap bahwa dari 5 kecamatan di Kabupaten Wakatobi, produksi perikanan dan hasil laut terdapat di Kecamatan Tomia yang mengkaver hampir 60 persen dari total produksi kabupaten pada tahun 2005. Sebagian besar produksi (84 persen) dari kecamatan ini berasal dari ikan layang, sedangkan produksi perikanan lainnya masih sangat rendah. Sebaliknya, produksi terendah terdapat di Kecamatan Wangi-Wangi Selatan dengan total produksi hanya mencapai 6 persen dari total produksi dari Kecamatan Tomia. Rendahnya produksi di kecamatan ini mungkin berkaitan dengan kegiatan over fishing, karena dulunya terjadi penangkapan ikan secara intensif menggunakan bom dan bius di wilayah perairan tersebut. Sebaran potensi sumber daya laut di Pulau Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko dapat di lihat pada lampiran. Namun jika diperhatikan dari jenis hasil laut, ikan layang merupakan hasil utama dari Kabupaten Wakatobi, mencapai 70 persen dari total produksi perikanan dan rumput laut di kabupaten ini. Produksi ikan layang ini terdapat di semua kecamatan dengan Kecamatan Tomia dan Binongko sebagai pusat penangkapan, sedangkan di kecamatan-kecamatan lainnya produksi ikan layang jauh lebih rendah. Produksi ikan dasar menduduki urutan ke dua terbanyak, menyumbang 12 persen dari total produksi, sedangkan rumput laut sedikit lebih rendah (11 persen), sehingga menempati urutan ke tiga terbanyak. Rumput laut terutama di budidayakan di Kecamatan Wangi-Wangi yang menyumbang sebagian besar produksi rumput laut di Wakatobi. Sedangkan dua kecamatan lain, yaitu: Kecamatan Kaledupa dan Wangi-Wangi Selatan produksi rumput lautnya masih terbatas. Budidaya rumput laut sebetulnya potensial di kabupaten ini. Dinas Kelautan dan Perikanan mengidentifikasi areal yang cocok untuk budidaya rumput laut seluas 8.364 hektar, sebagian besar 6.000 hektar sudah dimanfaatkan. Sisa produksi sebanyak 7 persen lagi disumbangkan oleh berbagai jenis ikan dan biota. Tiga jenis ikan yang penting dan populer, yaitu: gurita, kerapu dan tuna, menduduki urutan ke empat, lima dan enam dari produksi perikanan dan hasil laut di Kabupaten Wakatobi. Gurita di tangkap di semua kawasan karang, terutama karang Kapota dan Kaledupa. Seperti gurita, kerapu juga ditangkap di kawasan karang Wakatobi, terutama oleh nelayan Wangi-Wangi Selatan dan Tomia. Sedangkan tuna merupakan ikan laut dalam yang banyak ditangkap oleh nelayan Wangi-Wangi Selatan dan Wangi-Wangi. Nelayan dari kecamatan lainnya belum terfokus pada penangkapan tuna karena memerlukan armada tangkap yang kapasitasnya

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 54

Page 72: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

lebih besar dari kebanyakan armada tangkap nelayan yang masih sederhana dengan kapasitas yang terbatas. Selain itu, Wakatobi juga dikenal sebagai salah satu daerah penghasil rumput laut di Sultra. Dari 3 lokasi penelitian, rumput laut dibudidayakan oleh nelayan Desa Mola Selatan. Namun karena banyaknya rumpon dan terbatasnya wilayah perairan yang cocok, maka hanya sekitar 25 nelayan yang mengusahakan rumput laut. Salah satu pusat budidaya rumput laut terdapat di Desa Liya Mawi dimana sekitar 10 km perairan laut di desa ini dipenuhi oleh rumput laut. Banyaknya rumput laut telah mengganggu lalu lintas laut disini, namun kegiatan tersebut tetap dipertahankan dari kabupaten karena merupakan sumber kehidupan masyarakat dan menjadi pusat budidaya rumput laut di Kabupaten Wakatobi. Rumput laut merupakan usaha yang menguntungkan secara ekonomi. Dari hasil wawancara mendalam dengan informan kunci di Desa Liya Mawi dapat diketahui bahwa produksi rumput laut desa tersebut cukup besar, mencapai 40 ton per bulan atau 1,5 – 2 ton per petani. Dalam setahun, petani rumput laut panen selama 1 – 3 bulan. Pada musim panen, harga rumput laut sekitar Rp 3500 per kg, namun pada musim hujan, harga mengalami peningkatan sampai Rp 4000 per kg. Produksi di Lokasi Penelitian Dari hasil kajian dapat diketahui 3 jenis ikan yang penting dan bernilai ekonomis tinggi di Pulau Wangi-Wangi, yaitu: ikan tuna, ikan karang, dan gurita. Ikan tuna banyak di tangkap oleh nelayan dari Desa Mola Selatan dan Waha, gurita oleh nelayan Mola Selatan dan beberapa nelayan dari Wandoka. Sedangkan ikan karang dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu: ikan karang hidup dan ikan karang mati segar. Ikan karang hidup, terutama kerapu dan sunu, penangkapannya didominasi oleh nelayan Mola Selatan, sedangkan ikan-ikan karang mati, seperti: baronang, ikan merah, ikan batu oleh nelayan Mola, Waha dan Wandoka. Penangkapan ikan-ikan penting ini dilakukan sepanjang tahun, disesuaikan dengan musim dan jenis ikan. Kalender musim ikan di Desa Mola Selatan, Waha dan kelurahan Wandoka dapat dilihat pada tabel 2.11. Kalender ini didasarkan hasil wawancara terbuka dengan beberapa informan kunci di ketiga lokasi. Musim menurut jenis ikan bervariasi antar informan kunci, namun tabel ini telah merangkum berbagai pendapat tersebut.

Kasus Kabupaten Wakatobi 55

Page 73: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Tabel 2.11. Kalender Musim Ikan di Desa Mola Selatan, Waha dan Kelurahan Wandaka,

Kabupaten Wakatobi, Tahun 2006

Bulan Musim Ikan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Tuna

Cakalang

Tongkol

Sunu

Kerapu

Gurita

Ikan-ikan dasar/karang

Ikan hasil rumpon Momar, layang, terbang

Sumber: Data Primer, Hasil Wawancara Terbuka Dengan Informan-Informan Kunci di Desa Mola Selatan, Waha dan Kelurahan Wandoka, 2006

• Ikan Karang Hidup: Kerapu dan Sunu Sebagai daerah yang kaya dengan terumbu karang, ikan-ikan karang merupakan jenis ikan yang potensial dan menjadi komoditi hasil laut andalan dari Kabupaten Wakatobi. Ikan karang hidup yang utama adalah sunu dan kerapu yang ditangkap pada musim gelombang lemah atau musim teduh, yaitu: bulan 11 – 1 untuk ikan sunu dan bulan 2 – 4 untuk ikan kerapu. Dalam setahun penangkapan ikan karang hidup dilakukan selama 6 bulan dengan waktu efektif selama 3 bulan. Ikan sunu ditangkap pada musim sunu, yaitu: bulan November sampai Januari, sedangkan kerapu pada musim kerapu, yaitu: bulan Februari sampai April. Antara Januari dan Februari merupakan musim transisi antara sunu dan kerapu. Nelayan biasanya melaut sebulan sekali selama 10-14 hari, terutama pada musim bulan terang atau purnama.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 56

Page 74: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Kerapu dan sunu di tangkap diperairan karang Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko (Wakatobi). Nelayan mengidentifikasi 20 lokasi yang menjadi tempat bertelur kerapu, yaitu: 3 lokasi di karang Kapota, 4 lokasi di karang Kaledupa, 7 lokasi di karang Tomia dan 6 lokasi di karang Binongko. Menurut informan kunci, mereka mengetahui tempat-tempat bertelur kerapu dari tanda-tanda alam, seperti: posisi karang agak rata dengan arus yang kuat (agar telur tidak dimakan ikan yang besar, karena pada saat bertelur, telur-telur ikan terhambur).

Gambar 4.1. Ikan- ikan Karang Hidup

Besarnya produksi ikan karang hidup belum terdata dengan baik. Menurut koordinator penampung ikan karang hidup produksi ikan mencapai sekitar 50 ton setahun atau selama musim ikan karang. Koordinator pengumpul ikan biasanya menjual ikan dua kali sebulan kepada bos ikan karang di Mola yang kemudian menjual ikan tersebut ke kapal Hongkong yang datang. Sedangkan di Desa Mola Utara produksi ikan karang hidup diperoleh dari data sekunder yang sitir dari hasil penelitian LIPI sebelumnya di desa tersebut. Perhitungan produksi dilakukan berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan informan kunci, yaitu: ‘bos’ ikan dan ‘koordinator’ atau pedagang pengumpul ikan. Produksi bervariasi antara informan kunci, yaitu: sebanyak 90-180 ton per musim atau per tahun menurut ‘bos’ ikan hidup dan 370 – 1.175 ton per musim atau per tahun menurut koordinator. Besarnya perbedaan angka produksi antara ‘bos’ dan ‘koordinator’ berkaitan erat dengan rendahnya angka yang diberikan oleh ‘bos’ ikan karena menyangkut retribusi pajak untuk ikan yang menjadi komoditi ekspor tersebut.

Kasus Kabupaten Wakatobi 57

Page 75: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Ikan kerapu dan sunu merupakan ikan yang bernilai eknomis tinggi karena sebagai ikan ekspor harganya cukup tinggi. Koordinator membeli kerapu dari nelayan dengan harga Rp 30.000 per kg size super (0.6 – 1 kg), dan menjualnya kepada bos ikan hidup seharga Rp 50.000 per kg. Sedangkan ikan sunu harganya lebih rendah, yaitu di tingkat nelayan sebesar Rp 10.000 per ekor dan dijual kepada bos seharga Rp 25.000 per kg. • Ikan Tuna Wakatobi merupakan pusat produksi ikan tuna di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra). Nelayan Wakatobi menangkap ikan tuna pada laut lepas dalam cakupan wilayah yang luas, sampai Muara Mahu, Korama dan laut Banda yang berbatasan dengan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Penangkapan ikan tuna mengalami kemajuan yang cukup pesat dalam 4 tahun terakhir, termasuk di Desa Mola Selatan dan Waha. Keadaan ini diindikasikan dari perdagangan ikan tuna yang dulunya seringkali mengalami kerugian, saat ini merupakan promadona perikanan disini. Dulunya, nelayan pergi melaut tidak membawa es, sehingga mempengaruhi mutu dan harga ikan, namun sekarang nelayan dapat mempertahankan mutu ikan, sampai kelas/grade B dan A dengan harga yang juga cukup tinggi. Ikan tuna ditangkap di wilayah perairan laut dalam. Wilayah tangkap bervariasi antar daerah, tergantung pada kemampuan armada tangkap. Di Desa Mola Selatan, sebagian kecil nelayan tuna menangkap ikan pada wilayah yang luas, mencapai 30 mil dari desa, namun yang sering dilakukan pada wilayah 20 mil. Biasanya nelayan menggunakan kapal dengan mesin Yandong berkekuatan 26 PK dan body batang berukuran 12 x 1 meter. Sedangkan sebagian besar nelayan menangkap tuna pada wilayah yang relatif dekat sekitar 2 mil dari desa, yaitu di sekitar perairan Kali Susu, ButonUtara.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 58

Page 76: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Produksi ikan tuna dari nelayan Mola Selatan dan sekitarnya berkisar 100 ton per tahun untuk ikan gelondongan/utuh atau 45-50 ton untuk ikan yang sudah dibelah atau berkelas. Hasil rata-rata sebanyak 50 kg per melaut per armada tangkap. Produksi minimum sebanyak 300 kg per hari per kamp (tempat penampungan) dan maksimum sebanyak 2 ton per hari per kamp. Di Pulau Wangi-Wangi, pusat penjualan ikan tuna terdapat di Desa Mola Selatan (terdapat 2 kamp) dan Desa Mola Utara (6 kamp).

Gambar 4.2. Potongan Ikan Tuna Size A dan B yang siap dikemas pedagang pengumpul di Kamp ikan

Produksi ikan tuna dari Pulau Wangi-Wangi datanya belum tersedia, tetapi estimasinya dapat dihitung dari banyaknya pengiriman ikan tuna dari pulau ini, yaitu sebanyak 312 ton per tahun. Pengiriman ikan ke Kendari dilakukan 3 kali per minggu atau sekitar 12 kali per bulan. Jumlah ikan yang dikirim sebanyak 3 ton/kirim pada musim gelombang lemah dan 1 ton/kirim pada musim barat/gelombang kuat (min 100kg/kirim/2-3 hr). Produksi musim gelombang lemah/angin tenang: 12 x 7 x 3 ton = 252 ton dan produksi musim gelombang kuat: 12 x 5 x 1 ton = 60 ton. Produksi ikan tuna yang dikirim kebanyakan (80 persen) dari grade A atau kelas yang tertinggi dengan harga yang tertinggi juga. • Gurita Gurita merupakan hasil laut yang juga potensial dari perairan laut Wakatobi. Gurita merupakan komoditi dengan nilai ekonomi yang tinggi yang diekspor sampai ke Jepang, Hongkong, Australia dan China. Penangkapan gurita dilakukan pada musim gurita yaitu bulan 9-12 dan bulan 2-8. Penangkapan dilakukan secara intensif mengingat keberadaan biota ini masih banyak di perairan sekitar karang Wakatobi. Penangkapan gurita dilakukan oleh

Kasus Kabupaten Wakatobi 59

Page 77: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

nelayan lokal dan dari luar wilayah. Pada waktu mencari gurita, nelayan tinggal di rumah/guubuk yang didirikan di karang Kapota dan Kaledupa. Penangkapan gurita baru marak dilakukan nelayan sejak tiga tahun terakhir. Penangkapan dalam jumlah besar dimulai tahun 2004 ketika kapal ikan nelayan luar, dari Manui datang di perairan Wakatobi. Pada waktu ini sekitar 60 – 80 kapal ikan beroprasi siang dan malam. Saat penelitian dilakukan bulan November 2006, jumlah kapal berkurang sangat signifikan, hanya sekitar 8 kapal yang masih beroperasi menangkap gurita, teripang, mata tujuh, lola dan biota laut lainnya. Nelayan biasanya menggunakan perahu layar dengan motor yang terdiri dari 2 mesin berkekuatan 26 PK dengan ukuran bodi sekitar 5 ton. Penurunan secara besar-besaran ini berkaitan erat dengan kontroversi yang berkembang mengenai larangan pengambilan gurita yang merusak terumbu karang. Penangkapan gurita dilakukan nelayan Pulau Manui dengan cara membongkar atau mencungkil batu karang di karang Kapota dan Kaledupa. Pengambilan gurita dilakukan di karang pada kedalaman 7 depa = 10 m menggunakan: panah dan kawat yang dikaitkan/bengkokkan (gancu) dan/atau pancing gurita besar dengan menggunakan umpan gurita kecil dari kayu. Gambar 4.3.

Pedagang Pengumpul Gurita di Mola Selatan

Jumlah produksi gurita dari perairan karang Wakatobi belum dapat diperkiran, karena sebagian kapal penangkap gurita tidak teregistrasi, sehingga tidak dapat diperoleh data produksinya. Hanya sebagian produksi yang dapat dihitung, melalui produksi gurita yang dijual kepada pedagang gurita/koordinator di Desa Mola Selatan dan Mola Utara yang menjadi salah satu basis perdagangan gurita di Wakatobi. Dari 9 pedagang pengumpul gurita diperkirakan produksi berkisar 9 ton per minggu pada musim gelombang lemah dan 4,5 ton pada musim gelombang kuat. Menurut seorang pedagang pengumpul, setiap minggu pedagang tersebut mengirim 3 kali, sebanyak 100 – 200 kotak atau 500 – 1000 kg per

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 60

Page 78: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

kirim. Satu kapal menghasilkan 200-250 kg per kali tangkap yang memerlukan waktu sekitar seminggu. Pedagang tersebut mempunyai 100 nelayan gurita yang dilengkapi oleh 7 kapal dan 22 sampan dan menyediakan semua keperluan nelayan melaut, termasuk untuk biaya operasional armada, konsumsi dan biaya yang diperlukan bagi keluarga yang ditinggalkan. Untuk itu beliau mengeluarkan dana sebanyak Rp 500 juta per bulan pada musim gurita dan sedikitnya Rp 100 juta pada bukan musim gurita. Menurut pedagang pengumpul gurita, pendapatan nelayan gurita berkisar Rp 200.000 – 300.000 per hari atau Rp 3-4 juta per melaut (sekitar 15 hari) pada musim gurita. Di samping hasil tangkap yang cukup tinggi, besarnya pendapatan juga dipengaruhi oleh tingginya harga gurita yang bervariasi sesuai dengan ukuran/size. Untuk size A berukuran 1,6 – up kg harga gurita sebesar Rp 20.000 per kg, padahal dulu harganya hanya Rp 4000 per kg, size B ukuran 1-1,5 kg harganya Rp 16.000 per kg, size C ukuran 0,6-0,9 kg sebesar Rp 8000 per kg dan size D ukuran 0,1-0,5 kg sebesar Rp 3000 per kg. Harga semakin tinggi di tingkat eksportir, misalnya di Jepang mencapai Rp 400.000 per kg gurita size A. • Teripang Teripang merupakan salah satu biota yang potensial di perairan Wakatobi. Biota ini terdiri dari berbagai jenis, setidaknya terdapat 16 jenis, yaitu: teripang susu, polos, cerak hitam, talengko, cerak abu, kawasa, cerak bunga, cerak merah, gama, nenas, duyung, kapuk, gosok, lada-lada, bintik dan coklat. Potensi ini telah dimanfaatkan nelayan, tidak hanya nelayan lokal dari Wakatobi, melainkan juga nelayan luar, seperti dari Manui dan Kendari. Penangkapan teripang dilakukan secara intensif mengingat biota ini mempunyai harga jual yang cukup tinggi, sehingga secara ekonomi cukup menjanjikan. Sebagai contoh, harga teripang gosok yang kering (GS) sangat mahal mencapai Rp 400.000 per kg, teripang nenas sebesar Rp 150.000 per kg, teripang susu sebesar Rp 50.000 per kg dan teripang polos Rp 40.000 per kg.

Kasus Kabupaten Wakatobi 61

Page 79: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Gambar 4.4. Beberapa Jenis Teripang di Mola Selatan

Penangkapan teripang dilakukan selama 5 bulan dalam setahun, yaitu pada bulan 8 sampai bulan 12, akhir musim gelombang kuat dan musim gelombang lemah. Jumlah nelayan yang terlibat dalam penangkapan teripang dan biota laut lainnya cukup banyak, sekitar 100 nelayan. Jumlah ini jauh berkurang jika dibandingkan dengan 5 tahun lalu, karena keberadaan teripang di perairan karang Kapota dan Kaledupa semakin berkurang. Produksi teripang dari Wakatobi besarnya belum dapat diketahui dengan pasti. Perkiraan produksi hanya dapat dilakukan melalui perhitungan tidak langsung berdasarkan data dari pedagang pengumpul teripang. Angka yang diberikan mungkin kurang akurat dan di bawah angka yang sebenarnya (under estimate), tetapi paling tidak dapat memberikan sedikit gambaran tentang produksi teripang di daerah ini. Dari hasil wawancara dengan seorang pedagang pengumpul teripang di Desa Mola Selatan diketahui bahwa produksi teripang kering dari karang Kapota dan Kaledupa sebanyak 1.6 ton per bulan atau 8 ton per tahun. Jumlah produksi ini berasal dari berbagai jenis teripang, terutama teripang susu, polos dan gama. Pemasaran Pemasaran hasil laut bervariasi mulai dari pasar yang sederhana, di tingkat lokal sampai dengan ekspor hasil laut di pasar internasional. Secara umum hasil ikan di Kabupaten Wakatobi dijual dalam bentuk ikan mati segar di pasar lokal. Tetapi ikan dan biota laut yang bernilai ekonomi tinggi, seperti: sunu/kerapu, dan tuna pemasarannya sangat luas, sampai di pasar internasional.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 62

Page 80: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Gambar 4.5. Penjualan Ikan Segar di Pasar Sentral Mola

Perdagangan hasil tangkapan nelayan juga bervariasi antar daerah. Untuk lokasi penelitian, perdagangan hasil laut untuk Desa Waha dan Kelurahan Wandoka masih sederhana, dipasarkan secara segar oleh papalele (umumnya ibu-ibu) di desa/kelurahan dan di pasar Wanci yang letaknya dekat dari Wandoka dan sekitar 10 km dari Desa Waha. Sedangkan di Desa Mola Selatan perdagangan ikan dan hasil laut, cukup kompleks, terdiri dari beberapa mata rantai pemasaran sesuai dengan jenis yang dijual. Ikan tuna, gurita dan ikan karang hidup (kerapu dan sunu) yang merupakan ikan dan biota populer dengan harga yang cukup mahal, cakupan pemasarannya sangat luas sampai di pasar internasional. Sedangkan biota laut lain yang juga bernilai ekonomi tinggi adalah teripang, mata tujuh, lola dan lainnya pemasarannya juga cukup luas, sampai pedagang pengumpul di Bau-Bau dan Kendari. Ikan-ikan karang mati (kondisi segar), ikan pelagis dan jenis lainnya di jual di desa dan pasar Wanci yang letaknya sangat dekat dengan desa, hanya sekitar 1 km dari batas desa.

Kasus Kabupaten Wakatobi 63

Page 81: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Rantai Pemasaran ikan kerapu dan Sunu

Rantai Pemasaran Gurita

Rantai Pemasaran Ikan Tuna

Rantai Pemasaran Ikan Pelagis, ikan karang dan ikan lainnya dalam Kondisi mati/segar

Nelayan Karang

Koordinator ikan karang

Bos/pedagang ikan karang

Pedagang/importer ikan karang Hongkong

Nelayan Gurita Pedagang Pengump

Tingkat Desa ul

Pedagang Pengumpul Besar

Wangi-Wangi

Pedagang Eksportir di Kendari

Pedagang Importir Jepang, Hongkong, Australia dan China

Nelayan Tuna

Pedagang Pengumpul

Tingkat Desa

Pedagang Pengumpul Besar di

Mola

Pedagang Tuna di Kendari

Nelayan Pedagang/papalele

Konsumen Desa/Kelurahan

Pedagang /papalele

Pasar Wanci/ Sentral Mola Konsumen Wanci

Konsumen Desa/ Kelurahan lain

Papalele

Nelayan

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 64

Page 82: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Menurut para informan di daerah penelitian Waha dan Mola Selatan ikan hasil tangkapan di laut dalam, seperti ikan tuna, ikan cakalang kadang langsung dijual di laut kepada pedagang pengumpul di laut. Sedangkan di daerah penelitian Wandoka biasanya hasil tangkapan begitu mendarat langsung dikerubuti oleh para pedagang eceran/papalele. Pedagang eceran tersebut menjual langsung ke pasar Sentral Mola. Waktu pemasarannya bisa pagi hari bisa sore hari, tergantung waktu pendaratan para nelayan tangkap.

2.4.3. Wilayah Tangkap

Wilayah tangkap bervariasi antar daerah, mulai dari wilayah yang relatif sempit perairan laut sekitar permukiman desa/kelurahan sampai dengan wilayah yang luas melampaui batas kabupaten, provinsi dan bahkan wilayah tangkap nasional. Wilayah tangkap dipengaruhi oleh armada tangkap dan kebiasaan melaut dari suku-suku nelayan yang tinggal di Kabupaten Wakatobi. Wilayah Tangkap Nelayan di Tingkat Kabupaten Untuk tingkat Kabupaten Wakatobi, nelayan menangkap ikan pada wilayah yang sangat bervariasi, mulai dari perairan laut sekitar permukiman sampai dengan perairan laut internasional. Pada dasarnya wilayah tangkap dapat dikelompokkan dalam tiga bagian, yaitu: wilayah karang Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko (Wakatobi), perairan laut nasional di luar Provinsi Sultra dan perairan laut internasional (secara detail dapat di lihat pada Hidayati dan Rahmawati, 2002). Wilayah Karang Wakatobi Wilayah tangkap di kawasan karang Wakatobi merupakan wilayah tangkap sebagian besar nelayan di Kabupaten Wakatobi. Mereka menangkap ikan dan biota laut di kawasan karang yang membentang dari Karang Kapota, Kaledupa, Tomia dan Binongko. Jenis ikan yang ditangkap adalah ikan-ikan karang dan biota yang hidup di ekosistem terumbu karang, termasuk kerapu, sunu, baronang dan bubara, di samping ikan lainnya seperti: ikan layang, cakalang, tongkol, ketambak, dan tembang. Selain ikan, nelayan juga menangkap biota laut lainnya yang mempunyai nilai ekonomi, seperti udang, kepiting, cumi-cumi, gurita dan teripang. Udang, khususnya lobster merupakan komoditi ekspor dengan harga yang sangat tinggi, mencapai Rp 250.000 per kg, sayangnya komoditi ini sudah

Kasus Kabupaten Wakatobi 65

Page 83: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

sulit ditangkap. Di samping itu nelayan juga mengambil biota laut untuk hiasan dan cendera mata, seperti berbagai jenis siput, japing, lola dan triton atau trompek. Hasil laut yang juga dieksploitasi di kawasan karang adalah batu karang dan pasir. Penambangan batu karang dan pasir juga marak dilakukan di sekitar terumbu karang, terutama sekitar perairan Pulau Kapota. Kegiatan penambangan batu dan pasir dilakukan dengan tujuan komersil, utamanya untuk memenuhi kebutuhan pembangunan di Kota Wanci yang merupakan ibukota Kabupaten Wakatobi. Wilayah Perairan Laut Nasional di Luar Provinsi Sultra Kegiatan menangkap ikan diperairan laut nasional di luar Provinsi Sultra, terutama dilakukan oleh nelayan dari suku Bajo, seperti dari Desa Mola Selatan dan Mola Utara. Suku Bajo yang terkenal sebagai ’suku laut’ menangkap ikan pada wilayah yang luas, tidak hanya beroperasi di wilayah perairan laut Provinsi Sultra melainkan juga ke berbagai pelosok tanah air, sampai ke Sumatera, Bali, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua (Hidayati dan Rahmawati, 2002: 33). Nelayan Bajo dulunya menangkap penyu, lobster dan ikan (kerapu, tuna dan tongkol) di perairan laut Kawasan Timur Indonesia (KTI), termasuk Maluku dan Papua. Hasil tangkapan penyu dipasarkan di Bali, namun karena penangkapan komoditi ini dilarang, maka kegiatan pengambilan penyu jauh berkurang. Hanya beberapa nelayan yang secara sembunyi-sembunyi masih berusaha. Akhir-akhir ini wilayah tangkap nelayan Bajo mengalami penyempitan. Hal ini berkaitan dengan adanya kerusuhan di berbagai daerah, seperti: Ambon, Maluku Utara dan Papua. Mereka sudah tidak dapat secara leluasa dan ekstra hati-hati untuk menangkap ikan di perairan tersebut. Wilayah Perairan Laut Internasional Seperti pada wilayah perairan nasional, penangkapan ikan di wilayah perairan laut internasional dilakukan oleh nelayan dari suku Bajo yang tinggal di Mola. Nelayan Bajo melaut sampai melampaui batas negara dan masuk dalam perairan laut Australia. Kegiatan melaut sampai negeri Kanguru ini telah dilakukan sejak lama, akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an. Nelayan terutama menangkap ikan hiu untuk diambil siripnya

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 66

Page 84: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

berharga sangat tinggi. Kegiatan melaut biasanya dilakukan dari Nusa Tenggara Timur (NTT), terutama dari Papela. Biasanya nelayan Bajo pergi ke NTT pada musim gelombang kuat pada bulan Juni sampai Oktober. Sebagian nelayan Bajo yang melaut di perairan Australia ditangkap aparat keamanan laut negara tersebut, karena tidak mempunyai izin. Wilayah Tangkap Nelayan di Lokasi Penelitian Di tingkat lokal, khususnya lokasi penelitian, nelayan menangkap ikan pada wilayah yang bervariasi, tergantung dari kemampuan armada tangkap. Umumnya, nelayan menangkap pada wilayah yang sempit, hanya di perairan laut sekitar permukiman, namun sebagian kecil nelayan ada juga yang beroperasi pada wilayah yang lebih luas, sampai perbatasan dengan Nusa Tenggara Timur. Nelayan Mola Selatan Wilayah tangkap nelayan Desa Mola Selatan sangat bervariasi, tergantung pada armada tangkap dan musim2. Kebanyakan nelayan di desa ini berasal dari suku Bajo yang melakukan penangkapan ikan dan biota laut di sekitar kawasan karang Wakatobi. Kegiatan perikanan di kawasan karang dilakukan secara intensif, terutama pada musim teduh yang merupakan musim ikan karang, terutama ikan karang hidup, seperti: sunu dan kerapu. Sebagian kecil nelayan, terutama yang mempunyai armada tangkap dengan kapasitas yang cukup besar (mesin di atas 20 PK dan bodi sekitar 5 ton) beroperasi pada wilayah tangkap yang lebih luas sampai di laut dalam. Biasanya nelayan menangkap ikan tuna di laut dalam sampai 10 mil di laut Banda dan ada juga yang mencapai 20-30 mil dari permukiman desa. Seperti di Mola Utara, beberapa nelayan Bajo di Mola Selatan juga mempunyai pengalaman melaut sampai wilayah perairan laut internasional, khususnya Australia, untuk menangkap ikan hiu, utamanya sirip hiu yang bernilai ekonomi tinggi. Mereka transit di NTT untuk mencapai negeri ini, biasanya dilakukan pada musim gelombang kuat ketika mereka tidak dapat menangkap ikan di karang. 2 Musim gelombang di Desa Mola Selatan: gelombang lemah pada bulan 9 – 12 (4 bulan), gelombang kuat bulan 1 – 5 (7 bulan) dan pancaroba bulan 5 – 6 (1 bulan).

Kasus Kabupaten Wakatobi 67

Page 85: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Nelayan Desa Waha dan Kelurahan Wandoka Wilayah tangkap nelayan Desa Waha dan Kelurahan Wandoka tidak seluas nelayan Mola Selatan. Kebanyakan nelayan melakukan kegiatannya di perairan laut sekitar permukiman dengan wilayah 0-1 mil untuk menangkap ikan karang dan ikan-ikan lainnya, dan 2-3 mil untuk ikan cakalang dan tongkol. Hanya sebagian kecil saja, khususnya nelayan yang mempunyai perahu motor, yang menangkap ikan, terutama tuna, di laut lepas sampai 3-4 mil dari desa/kelurahan. Beberapa nelayan Waha menangkap tuna sampai 10 mil dari permukiman, menggunakan ketinting berkapasitas 25-30 PK dengan bodi perahu berukuran 1-2 ton. Sedangkan beberapa nelayan dari Kelurahan Wandoka juga melaut sampai perairan karang Kapota untuk menangkap gurita yang masih marak dilakukan di kawasan karang tersebut.

2.4.4. Teknologi Dari analisa sebelumnya dapat diketahui bahwa wilayah tangkap nelayan Kabupaten Wakatobi dipengaruhi oleh teknologi dan kapasitas armada tangkap. Teknologi yang digunakan bervariasi mulai dari teknologi yang tradisional dan sederhana sampai dengan yang berteknologi modern dengan peralatan yang beragam. Variasi teknologi penangkapan terjadi antara kebanyakan nelayan dan pengusaha perikanan, terutama ’bos’ ikan dan koordinator, dan mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan waktu dan teknologi. Perkembangan Teknologi Armada Tangkap Nelayan Mola Pada zaman dulu, nenek moyang nelayan Bajo yang tinggal di Mola menggunakan sope yang berfungsi sebagai rumah rakit di atas laut dan kole-kole perahu dayung dengan alat tangkap sarubah (panah yang bercabang lima) dan ambai berupa serok untuk menangkap ikan. Keadaan ini mencerminkan teknologi armada tangkap yang digunakan masih tradisional dan sederhana yang dibuat dari bahan-bahan alamiah. Dengan armada dan alat tangkap seperti ini, maka hasil yang didapat juga masih terbatas. Dampak kegiatan mereka terhadap ekosistem terumbu karang juga masih sangat minim. Kearifan nelayan Bajo dari Mola ini mulai terusik dengan masuknya penjajah dari Jepang yang memperkenalkan penggunaan bom. Untuk mendapatkan banyak ikan dalam waktu yang pendek, nelayan ’diajari’ bagaimana membuat dan menggunakan bom. Pelajaran ini dipraktekkan

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 68

Page 86: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

nelayan dan mulai berkurang pada tahun 1970-an, karena banyak nelayan Bajo yang melaut sampai ke Australia untuk mencari sirip ikan. Meskipun ada larangan, pengeboman masih terus berlangsung, tetapi frekuenasinya sudah sangat jarang karena setelah terbentuknya Kabupaten Wakatobi banyaknya patroli yang dilakukan di laut. Pada tahun 1960-an teknologi penangkapan mengalami kemajuan cukup berarti. Pada pertengahan 1960-an nelayan mulai mengenal alat tangkap pancing dan jaring bermata besar, terutama untuk menangkap hiu. Perahu yang digunakan juga berkembang menjadi perahu yang bodinya lebih besar mengingat wilayah tangkap nelayan juga semakin luas. Sedangkan pada akhir tahun 1960-an nelayan Bajo mulai menggunakan sampan Kalongko yaitu sampan yang satu ujungnya dibuat kotak yang berlubang sehingga dapat berfungsi sebagai ’kerambah’ untuk menyimpan ikan karang hidup. Di samping itu, pada waktu ini masyarakat Bajo juga mulai mengambil batu karang untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Teknologi armada tangkap terus berkembang sesuai dengan kemajuan zaman. Pada awal tahun 1980-an, nelayan Bajo mulai mengenal rumpon. Rumpon merupakan ’rumah ikan’ yang terbuat dari kayu yang ditanam di dalam laut. Untuk menangkap ikan yang berkumpul di rumpon, nelayan mulai terbiasa menggunakan jaring Tasi yang sebetulnya sudah diperkenalkan pada pertengahan tahun 1960-an. Pertengahan tahun 1980-an, nelayan mulai mengenal penggunaan bius potassium sianida dari nelayan luar. Bius digunakan untuk menangkap ikan karang hidup, terutama sunu dan kerapu. Kemudian bius juga digunakan untuk mengambil udang lobster pada akhir tahun 1990-an. Sedangkan pada akhir 1980-an, nelayan Bajo mulai mengenal mesin TS buatan Hongkong dan bodi atau badan kapal. Penggunaan mesin TS mempengaruhi wilayah tangkap nelayan yang menjadi lebih luas. Pada awal tahun 1990-an nelayan mulai marak menangkap ikan karang hidup, sehingga periode ini menjadi awal ’komersialisasi’ perikanan di kawasan Wakatobi. Ikan-ikan karang hidup dipasarkan melalui empat perusahaan yang beroperasi di kawasan ini. Sedangkan pada akhir tahun 1990-an mulai berkembang usaha penangkapan ikan tuna, yaitu ketika terdapat tiga perusahaan yang menampung tuna dari nelayan. Keberadaan perusahaan-perusahaan ini membantu nelayan dalam meningkatkan produksi tuna. Bahkan satu perusahaan sudah dilengkapi dengan teknologi pembekuan berupa freezer. Usaha tuna ini terus berkembang sampai penelitian ini dilakukan pada bulan November 2006.

Kasus Kabupaten Wakatobi 69

Page 87: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Teknologi Armada Tangkap Nelayan Waha dan Wandoka Kebanyakan nelayan masih menggunakan teknologi yang tradisional dan sederhana. Keadaan ini diindikasikan dari armada tangkap yang digunakan masih menggunakan sampan dan perahu motor dengan kapasitas yang masih sangat terbatas. Secara rinci kapasitas dan jumlah armada tangkap dapat dilihat pada bab 3.4. mengenai pemilikan dan penguasaan aset produksi. 2.4.5. Permasalahan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Laut Kajian ini mengidentifikasi tiga permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan sumber daya laut (SDL) di Kabupaten Wakatobi. Permasalahan pertama berkaitan dengan tekanan terhadap SDL, terutama terumbu karang, yang disebabkan perilaku masyarakat yang merusak. Permasalahan ke dua berkaitan dengan kendala untuk mengurangi tekanan tersebut dan ke tiga upaya untuk meningkatkan produksi dan pengelolaan secara berkelanjutan, antara lain: pengetahuan dan kepedulian masyarakat akan pentingnya pengelolaan SDL dan keterbatasan program pengelolaan SDL di kawasan Wakatobi, keterbatasan armada tangkap nelayan, pengolahan ikan pasca tangkap, sarana dan prasarana produksi dan pemasaran hasil perikanan. Perilaku Masyarakat yang Merusak Terumbu Karang Dari hasil penelitian CRITC LIPI di 52 stasiun RRI pada tahun 2006 terungkap bahwa kondisi terumbu karang di Kabupaten Wakatobi masih termasuk dalam kategori sedang, digambarkan dari persentase tutupan karang hidup rata-rata mencapai 31 persen. Kondisi ini merata terjadi di Pulau Wangi-Wangi, Kaledupa dan Tomia, namun dengan tutupan karang yang bervariasi antar pulau. Persentase tutupan karang hidup rata-rata terendah ditemukan di Pulau Wangi-Wangi yaitu sebesar 27 persen dan yang tertinggi di Pulau Tomia sebesar 44 persen, sedangkan di Pulau Kaledupa berada diantara kedua pulau tersebut. Kondisi tutupan karang di Kabupaten Wakatobi mengindikasikan bahwa telah terjadi kerusakan terumbu karang di kawasan ini. Dari hasil kajian aspek sosial terumbu karang yang dilakukan LIPI pada tahun 2002 terungkap bahwa kerusakan terumbu karang di kawasan Wakatobi telah berlangsung cukup lama. Kerusakan ini, di samping karena faktor alami, juga berkaitan erat dengan perilaku masyarakat yang merusak terumbu karang, yaitu: penggunaan bahan dan alat tangkap yang merusak, dan penambangan karang dan pasir.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 70

Page 88: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Penggunaan Bahan dan Alat Tangkap yang Merusak Kerusakan terumbu karang berkaitan erat dengan penggunaan bahan dan alat tangkap yang merusak di kawasan Wakatobi, antara lain: bubu, bius, bom dan panah/cungkil/linggis. • Bubu Dasar Sebagian kecil nelayan menggunakan bubu dasar untuk menangkap ikan di kawasan karang. Kegiatan ini terutama dilakukan oleh nelayan dari Desa Waha dan Wandoka. Di Waha sebanyak 20 nelayan bubu mengoperasikan sekitar 100 bubu. Sekali pasang, nelayan meletakkan 6 bubu (ukuran 100x50x30 cm) di kawasan karang. Agar tidak hanyut, bubu tersebut ditindih dan dipagari dengan sekitar 20 bongkahan atau patahan batu karang yang masih hidup. Dengan demikian untuk 100 bubu diperlukan sekitar 2-3 m3 karang. Bubu di pindah tempatnya sebanyak 2 kali per minggu. Dengan demikian diperlukan batu karang sebanyak 24 – 36 m3 per bulan atau 120 – 180 m3 per musim/tahun. Dari perhitungan ini dapat diperkirakan kerusakan karang di Desa Waha yang disebabkan penggunaan bubu sekitar 150 m3 per tahun. • Bius (Potasium) Bius terutama potassium sianida dulunya banyak digunakan nelayan untuk menangkap ikan karang hidup di perairan sekitar karang Wakatobi. Penggunaan bius telah dilakukan sejak lama, yaitu pertengahan tahun 1980-an untuk menangkap ikan karang hidup dan pada akhir tahun 1990-an untuk menangkap lobster. Mulanya pembiusan ikan dilakukan oleh nelayan dari luar kawasan dan kemudian diikuti oleh nelayan setempat. Informasi tentang bius berkembang cepat dan merupakan cara yang mudah untuk menangkap ikan sunu dan kerapu serta lobster. Namun akhir-akhir ini penggunaan bahan beracun tersebut sudah jauh berkurang, terutama setelah terbentuknya Kabupaten Wakatobi, pengawasan dan patroli semakin sering dilakukan di perairan kawasan ini. Dua tahun yang lalu pembiusan di Desa Mola Selatan, Waha dan Kelurahan Wandoka masih marak, tetapi karena adanya patroli Pol Air dan Satgas Taman Nasional kegiatan ini menurun, tiga pembius di Kelurahan Wandoka berhasil ditangkap dan ditahan selama 3 bulan. Nelayan mengetahui adanya larangan penggunaan bius oleh pemerintah dan kebanyakan setuju dengan pelarangan ini karena dampak yang ditimbulkan, menurut mereka lebih

Kasus Kabupaten Wakatobi 71

Page 89: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

besar jika dibandingkan dengan penggunaan bom. Namun sebagian kecil nelayan, terutama dari luar kawasan seperti nelayan Sinjay dan Madura, masih menggunakan bahan beracun ini untuk mendapatkan keuntungan dalam waktu yang pendek. • Panah/Cungkil Batu Permasalahan kerusakan karang yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan adalah penangkapan gurita di kawasan karang Wakatobi, terutama Karang Kapota dan Kaledupa. Permasalaha timbul karena cara pengambilan gurita dilakukan dengan cara membongkar/menghancurkan karang dimana biota tersebut berlindung dengan menggunakan panah/cungkil batu. Kegiatan ini mulanya dilakukan oleh nelayan dari luar, terutama Manui, dan kemudian diikuti oleh nelayan lokal. Penangkapan gurita marak dilakukan di karang karena nilai jualnya yang cukup tinggi (Rp 20.000 per kg size A). • Bom Bom merupakan bahan peledak yang digunakan nelayan sejak lama yang diperkenalkan oleh tentara Jepang pada zaman penjajahan, namun dalam beberapa tahun terakhir kegiatan ini sudah ditinggalkan nelayan. Pada waktu penelitian ini dilakukan bulan November 2006, penggunaan bom hampir tidak ada lagi di kawasan Wakatobi, kalaupun ada hanya sekali-sekali dilakukan pada kawasan yang jauh terutama oleh nelayan dari luar, seperti: dari Sinjay, Madura dan Manui. Seperti bius, nelayan mengetahui adanya larangan penggunaan bom oleh pemerintah, umumnya mereka setuju dengan pelarangan tersebut. Penggunaan bom merusak terumbu karang di kawasan Wakatobi, termasuk kawasan karang yang letaknya dekat dengan permukiman penduduk. Seorang mantan pengebom dari Desa Waha mengatakan bahwa sekitar 15 km karang di perairan Desa Waha rusak karena pengeboman yang dilakukan oleh ratusan nelayan Waha, Wandoka, dan Bajo dari Mola serta Pulau Kapota. Penggunaan bom telah berakhir sejak tiga tahun yang lalu. Terumbu karang yang hancur sekarang sudah mulai tumbuh lagi dan kondisinya semakin membaik dan ikan-ikan karang sudah semakin banyak diperairan ini.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 72

Page 90: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Penambangan Batu Karang dan Pasir Penambangan batu karang dan pasir mempunyai kontribusi terhadap terjadinya degradasi sumber daya laut (SDL) di Kabupaten Wakatobi. Kegiatan ini tersebar di kawasan, termasuk di tiga lokasi penelitian Desa Mola Selatan, Waha dan Kelurahan Wandoka. Pengambilan batu karang mulai marak dilakukan sejak tahun 1970-an, terutama di Desa Mola (Mola Selatan dan Mola Utara) ketika masyarakat mulai membangun rumah permanen dengan fondasi rumah dari batu karang. Batu karang dan pasir yang diambil jumlahnya sangat banyak, digambarkan dari daratan Desa Mola Selatan dan Mola Utara merupakan hasil reklamasi. Dulunya Desa Mola berada di atas laut dan sekarang telah menyatu dengan daratan Pulau Wangi-Wangi. Kebutuhan akan batu karang semakin meningkat, bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Mola saja, melainkan yang utama adalah untuk memenuhi kebutuhan pembangunan Kota Wanci yang sedang giat-giatnya dilakukan dalam rangka melengkapi sarana dan prasarana serta fasilitas ibukota Kabupaten Wakatobi. Pengambilan batu karang dan pasir menimbulkan dampak lingkungan di kawasan Wakatobi. Dampak yang langsung dirasakan masyarakat adalah terjadinya abrasi di Desa Waha dan Wandoka. Abrasi yang diperparah oleh faktor alam pada musim barat dan utara telah menghanyutkan banyak rumah (10 rumah) yang terletak di pantai Desa Waha dalam tiga tahun terakhir. Penambangan batu karang dan pasir sudah dilarang pemerintah dan larangan ini sudah diketahui oleh para penambang. Tetapi, kegiatan ini masih terus berlangsung karena merupakan sumber pendapatan masyarakat, khususnya penambang, yang jumlahnya cukup banyak di Desa Mola Selatan dan Mola Utara. Kegiatan penambangan di ke dua desa ini berlangsung secara intensif setiap hari dan dilakukan secara terbuka, dan berhenti jika mengetahui akan adanya patroli. Sedangkan di Desa Waha dan Kelurahan Wandoka, jumlah penambang pasir sangat terbatas, terutama dari luar desa/kelurahan, dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan di Kelurahan Wandoka kegiatan ini dilakukan oleh penambang dari Wanci pada malam hari. Terbatasnya Kepedulian Masyarakat terhadap Pentingnya Pengelolaan SDL Selama ini pengembangan perikanan laut di Kabupaten Wakatobi dilakukan oleh masyarakat di kawasan ini. Kegiatan perikanan berkembang sesuai

Kasus Kabupaten Wakatobi 73

Page 91: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

dengan perkembangan teknologi yang dimiliki dan dikuasai masyarakat dengan tujuan utama adalah memenuhi kebutuhan dan meningkatkan taraf hidup keluarga. Karena itu kegiatan yang dilakukan lebih terfokus pada pemanfaatan dan eksploitasi sumber daya laut, sedangkan upaya pelestarian mengalami pengikisan sesuai dengan kemajuan teknologi yang dipraktekkan di perairan laut kawasan ini. Pemahaman masyarakat, khususnya nelayan, akan pentingnya pengelolaan SDL secara berkelanjutan masih terbatas. Pengetahuan, kesadaran dan kepedulian masyarakat untuk menjaga dan melindungi SDL juga masih terbatas, diindikasikan dari masih berlangsungnya kegiatan yang merusak sumber daya alam ini. Karena itu upaya pemerintah, LSM dan stakeholders lain masih sangat diperlukan untuk mencapai pemanfaatan SDL secara berkesinambungan di kawasan Wakatobi. Keterbatasan Armada dan Alat Tangkap Pengelolaan SDL juga mengalami kendala karena kapasitas armada tangkap nelayan di Kabupaten Wakatobi masih terbatas. Penjelasan teknologi armada tangkap di atas menggambarkan keterbatasan dalam pemanfaatan potensi SDL di kawasan ini. Minimnya kapasiatas armada tangkap sebagian besar nelayan membatasi wilayah tangkap dan kemampuan nelayan untuk meningkatkan produksi, khususnya perikanan tangkap di laut dalam. Nelayan bahkan tidak bisa melaut pada musim gelombang kuat, padahal pada musim ini banyak sekali ikan tuna di perairan tersebut. Terbatasnya armada tangkap kebanyakan nelayan berkaitan erat dengan terbatasnya modal yang dimiliki nelayan. Keadaan ini digambarkan dari pendapatan nelayan yang terbatas dan dipengaruhi oleh musim (penjelasan detail dapat dilihat pada bab 4). Dengan modal dan pendapatan yang terbatas, kegiatan nelayan, terutama nelayan Bajo di Desa Mola Selatan dan Mola Utara, tergantung pada pemilik modal, terutama pedagang pengumpul termasuk koordinator ikan karang hidup dan pengusaha kamp ikan tuna, dan ’bos’ ikan hidup, tuna dan gurita. Kondisi ini menimbulkan hubungan patron-client antara nelayan ’anak buah’ dan koordinator/bos ikan tersebut. Dalam hubungan ini keuntungan terbesar diperoleh koordinator/bos ikan. Hubungan patron-client ini tidak populer di Desa Waha dan Kelurahan Wandoka, nelayan di desa/kelurahan ini lebih mandiri dan bebas menjual hasil lautnya, meskipun mereka hanya mampu memiliki/menguasai armada tangkap yang sederhana.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 74

Page 92: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Keterbatasan Pengolahan Ikan Pasca Tangkap Di samping armada tangkap, pengolahan pasca tangkap juga menjadi kendala dalam peningkatan pengelolaan SDL di Kabupaten Wakatobi. Selama ini ikan dan hasil laut lainnya dijual dalam keadaan hidup atau mati/segar tanpa diolah terlebih dahulu. Karena itu, pada musim teduh ketika produksi ikan berlimpah, banyak ikan yang terbuang karena harga jualnya sangat rendah. Sedangkan kemampuan nelayan untuk mempertahankan kesegaran ikan melalui proses pembekuan/pendinginan juga terbatas, karena ketidak tersediaan kotak pendingin dan ’mahal’nya harga es. Kelebihan ikan tersebut sebetulnya dapat diolah agar dapat bertahan lebih lama dan nilai jualnyapun akan lebih tinggi. Namun pengolahan ini masih sangat minim, karena masih terbatasnya keterampilan dan pemasaran hasil produksinya, di samping keterbatasan modal yang dimiliki. Pengolahan pasca tangkap yang dilakukan masih terbatas pada pengasinan dan pengeringan ikan. Sedangkan pembuatan kerupuk masih sangat minim untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan dijual di sekitar permukiman saja. Terbatasnya Sarana Prasarana Perikanan Selain di tingkat nelayan, permasalahan pengelolaan SDL juga bersumber dari faktor eksternal, yaitu: minimya sarana dan prasarana (sarpras) perikanan di Kabupaten Wakatobi. Minimnya sarpras ini berpengaruh pada produksi dan kualitas produksi perikanan di kabupaten ini. Sebagai contoh, minimnya pabrik es menyebabkan ketersediaan balok-balok es harus didatangkan dari Bau-Bau dan mengandalkan produksi rumah-tangga. Padahal, es sangat diperlukan untuk mempertahankan kualitas ikan agar tetap segar dan mempunyai harga jual yang tinggi. Kualitas ikan, misalnya tuna, berpengaruh terhadap kelas/grade ikan yang pada akhirnya mempengaruhi harga tuna. Keberadaan ’pasar’ ikan juga sangat penting untuk peningkatan kegiatan perikanan di Wakatobi. Selama ini ’pasar’ ikan masih terbatas di pasar kota Wanci, sedangkan TPI dan PPI juga belum memungkinkan. Padahal, TPI dan PPI sangat dibutuhkan, terutama bagi nelayan yang jauh, karena memerlukan waktu dan biaya transportasi yang cukup mahal untuk memasarkan hasil lautnya. Selama ini peran TPI dan PPI diambil alih oleh pedagang pengumpul/koordinator, sehingga mereka dapat mengontrol harga di tingkat nelayan.

Kasus Kabupaten Wakatobi 75

Page 93: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Selain itu, melimpahnya ikan pada musim teduh juga perlu mendapat perhatian serius. Pengolahan ikan pasca tangkap merupakan alternatif yang sangat potensial dikembangkan di kabupaten ini. Hal ini sejalan dengan upaya pengembangan perikanan dan peningkatan pendapatan serta kesejahteraan masyarakat Wakatobi. Untuk itu diperlukan sarpras yang memadai, tidak hanya berkaitan dengan proses pengolahan saja melainkan juga pemasaran hasil produksi. Permasalahan lain yang juga penting mendapat perhatian adalah mengurangi tekanan nelayan terhadap sumber daya laut di kawasan karang Wakatobi. Upaya ini dapat dilakukan melalui budidaya perikanan. Selama ini kegiatan budidaya ikan dan biota laut masih sangat terbatas. Hal ini berkaitan dengan masih terbatasnya kepedulian nelayan akan pentingnya budidaya perikanan, mengingat SDL di kawasan ini yang masih potensial dan masih terbatasnya pengetahuan dan keterampilan untuk usaha budidaya tersebut. Menyadari keterbatasan sarpras perikanan di Kabupaten Wakatobi, Pemda telah membuat rencana untuk membangun sarpras di kawasan ini. Pada tahun 2007, Pemda akan membangun TPI, PPI dan Pabrik es. Untuk memperlancar transportasi, Pemda juga akan membangun bandara yang studi kelayakannya telah dilaksanakan pada tahun 2006, pelabuhan dan jalan sebagai infrastruktur dasar di kabupaten yang baru terbentuk pada tahun 2003 ini. Bab ini menggambarkan profil Kabupaten Wakatobi dan lokasi-lokasi penelitian yang difokuskan pada kondisi alam/laut, ketersediaan sarana dan prasarana, dan pengelolaan sumber daya laut (SDL). Sebagai kabupaten yang wilayahnya didominasi oleh laut, SDL mempunyai potensi yang sangat tinggi, namun potensi ini belum dimanfaatkan secara optimal. Meskipun demikian, tekanan terhadap SDL, terutama terumbu karang sudah cukup tinggi, terutama berkaitan dengan penggunaan bahan dan alat yang merusak serta penambangan batu karang dan pasir. Tekanan ini diindikasikan oleh kondisi terumbu karang yang sudah mengalami penurunan menjadi kategori sedang. Kondisi terumbu karang bervariasi antar wilayah, dengan kondisi yang paling ’buruk’ terdapat di kawasan Pulau Wangi-Wangi dimana tutupan karangnya kurang hanya mencapai 28 persen. Pengelolaan SDL, terutama terumbu karang menjadi sangat penting untuk mencapai pengelolaan secara berkelanjutan.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 76

Page 94: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

BAB III PROFIL SOSIAL-DEMOGRAFI PENDUDUK

Bab ini mengungkapkan gambaran sosial demografi penduduk di Kabupaten Wakatobi dan lokasi penelitian. Analisa dimulai dari pemaparan tentang jumlah dan komposisi penduduk, termasuk um+ur dan jenis kelamin. Kemudian analisa difokuskan pada pendidikan untuk mengetahui kapasitas sumber daya manusia (SDM) yang dapat mencerminkan pekerjaan, termasuk lapangan dan jenis pekerjaan di kawasan ini. Dari kondisi pendidikan dan pekerjaan penduduk, maka dapat dipahami tingkat kesejahteraan mereka yang direfleksikan dari pemilikan dan penguasaan aset produksi. 3.1. Jumlah dan Komposisi Penduduk Tingkat Kabupaten

Jumlah penduduk Kabupaten Wakatobi menurut Sensus Penduduk Tahun 2000 telah mencapai 87.793 orang, terdiri dari 42.620 orang (48,5 persen) penduduk laki-laki dan 45.173 orang (51,4 persen) penduduk perempuan. Rasio jenis kelamin pada tahun 2000 ini adalah 94 orang laki-laki tiap 100 orang perempuan. Ini menunjukkan bahwa jumlah penduduk perempuan lebih banyak dari pada penduduk laki-laki. Pada pertengahan tahun 2006 jumlah penduduk Kabupaten Wakatobi telah meningkat menjadi 93.449 orang. Mereka terdiri dari 45.510 orang (48,7 persen) penduduk laki-laki dan 47.939 orang (51,3 persen) penduduk perempuan. Rasio jenis kelamin hampir tidak mengalami perubahan, yaitu 95 orang laki-laki tiap 100 orang perempuan. Pada tahun tersebut tetap penduduk perempuan lebih banyak dari pada laki-laki. Salam 6 tahun terakhir, tingkat pertumbuhan per tahun hanya 1,1 persen, berarti secara umum tingkat pertumbuhan penduduk di Kabupaten Waktobi tidak begitu besar. Apabila diperinci menurut jenis kelamin, tingkat pertumbuhan penduduk laki-laki sedikit lebih tinggi (1,2 persen) dan untuk penduduk perempuan sebesar 1,1 persen.

Mengapa perempuan lebih banyak dari pada laki-laki? Ada dua alasan yang memungkinkan kondisi demikian, yaitu: pertama, daya tahan hidup perempuan lebih tinggi dari pada laki-laki. Hal ini merupakan gejala yang

Kasus Kabupaten Wakatobi 77

Page 95: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

sifatnya umum. Kedua, penduduk laki-laki di daerah Wakatobi lebih banyak yang bermobilitas ke luar dari pada penduduk perempuan. Jumlah rumah tangga di kabupaten Wakatobi sebanyak 25.544 KK, dengan demikian rata-rata per rumah tangga ada 3,6 orang. Angka tersebut menunjukkan angka yang cukup rendah. Ini berarti bahwa angka kelahiran di kabupaten ini sudah cukup rendah.

Tabel 3.1.

Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin, Tingkat Pertumbuhan Rata-Rata Per Tahun dan Rasio Jenis Kelamin, Tahun 2000-2006

Jenis Kelamin

Penduduk Tahun 2000

Penduduk Tahun 2006

Tingkat Pertumbuhan

Penduduk/Tahun (1) (2) (3) (4)

Laki-laki

42.620

(48,5 %)

45.510

(48,7%)

1,2 %

Perempuan

45.173 (51,4)

47.939

(51,3%)

1,1 %

Jumlah

87.793

(100,0 %)

93.449

(100,0%)

1,1 %

Rasio Jenis Kelamin

94 95

Sumber : Hasil Pengolahan BPS Kab. Wakatobi & RPJM Kab. Wakatobi 2006- 2011.

Penyebaran penduduk di Kabupaten Wakatobi tersebar dan bervariasi antar kecamatan. Dari 7 kecamatan hanya Kecamatan Wangi-Wangi dan Wangi-Wangi Selatan yang penduduknya jauh lebih banyak dari pada kecamatan lainnya. Jumlah penduduk di Kecamatan Wangi-Wangi pertengahan 2006 sebanyak 21.493 orang dan di Kecamatan Wangi-Wangi Selatan 24.349 orang. Bandingkan dengan 5 kecamatan lainnya yang umumnya kurang dari 15.000 orang.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 78

Page 96: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Untuk mengetahui daya tampung wilayah, secara kasar dapat dilihat dari tingkat kepadatan penduduk di wilayah tersebut. Tingkat kepadatan penduduk merupakan rasio antara jumlah penduduk yang menghuni wilayah tersebut dengan luas wilayah darat. Sayangnya perhitungan ini hanya memperhatikan wilayah daratnya tidak termasuk wilayah laut. Tingkat kepadatan penduduk menurut kecamatan dapat ditunjukkan pada tabel 3.2. Tabel tersebut menunjukkan dari 7 kecamatan ada 5 kecamatan yang tingkat kepadatan penduduknya di atas 100 orang/ km2. Kecamatan tersebut adalah Kecamatan Wangi-Wangi Selatan (118 orang/km2), Kaledupa (209), Kaledupa Selatan (186), Tomia (141) dan Tomia Timur (235). Hanya tingkat kepadatan penduduk di Kecamatan Wangi-Wangi dan Binongko yang di bawah angka 100, yaitu 89 dan 92. Secara kasar hanya 2 kecamatan tersebut yang daya tampung penduduknya masih terbuka dibandingkan 5 kecamatan lainnya. Perhitungan ini hanya mengansumsikan bahwa tingkat kesuburan atau produktivitas lahan antar kecamatan tersebut kurang lebih sama.

Besarnya jumlah penduduk dua kecamatan tersebut disebabkan karena dekat dengan ibukota kabupaten, memiliki beberapa akses yang lebih besar dari pada kecamatan lainnya, antara lain akses transportasi, ekonomi (pelabuhan besar, pasar), pendidikan, kesehatan dan akses lainnya. Oleh karena itu, penduduk lebih senang tinggal di dua kecamatan ini untuk mendekati akses-akses tersebut.

Tabel 3.2.

Jumlah dan Tingkat Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan Di Kabupaten Wakatobi, Tahun 2006

Kecamatan

Luas Wilayah

(Km2)

Jumlah

Penduduk Tahun 2006 (Orang)

Tingkat Kepadatan Penduduk

(Orang/Km2) (1) (2) (3) (4)

Wangi-Wangi 241,53 21.493 89 Wangi-Wangi Selatan 206,02 24.349 118 Kaledupa 45,50 9.517 209 Kaledupa Selatan 38,20 7.098 186 Tomia 47,10 6.658 141 Tomia Timur 42,00 9.886 235 Binongko 156,00 14.448 92 Jumlah

776,35

93.449

120

Sumber : Hasil Pengolahan BPS Kab. Wakatobi & RPJM Kab. Wakatobi 2006-2011

Kasus Kabupaten Wakatobi 79

Page 97: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Rasio jenis kelamin di semua kecamatan menunjukkan bahwa penduduk perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Penjelasannya sama seperti telah diungkap untuk tingkat kabupaten, yaitu masalah ketahanan hidup penduduk perempuan yang lebih tinggi dan faktor mobilitas ke luar yang lebih banyak dilakukan oleh penduduk laki-laki. Sebagai konsekuensi jumlah penduduk yang jauh lebih banyak di dua kecamatan (Wangi-Wangi dan Wangi-Wangi Selatan), maka jumlah rumah tangga rumah tanggapun di dua kecamatan tersebut juga jauh lebih banyak. Jumlah rumah tangga (RT) di dua kecamatan tersebut masing-masing di atas 5 ribu (5.983 dan 6.688) RT. Sedangkan di kecamatan lainnya semuanya di bawah 3.000 RT, kecuali di Kecamatan Binongko yang sebanyak 3.449 RT. Dari tabel juga terungkap bahwa rata-rata jumlah anggota rumah tangga mendekati angka tingkat kabupaten (3,6), kecuali Kecamatan Binongko (4,2). Gambaran ini menunjukkan bahwa ternyata angka kelahiran penduduk seluruh kecamatan di Kabupaten Wakatobi ini cukup rendah. Dengan rata-rata jumlah anggota rumah tangga antara 3,5 – 4,2 berarti rata-rata jumlah anak per rumah tangga hanya antara 1 – 2 orang anak.

Tabel 3.3. Jumlah Penduduk, Jumlah Rumah Tangga dan Jumlah Rata-rata Anggota Rumah

Tangga Menurut Kecamatan di Kabupaten Wakatobi, 2006

Kecamatan

Laki-laki

Perem-puan

Jumlah laki-laki dan perem-puan

Rasio Jenis Kela-min

Jumlah Rumah Tangga

Rata-rata ART

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) Wangi-Wangi Wangi-Wangi Sel. Kaledupa Kaledupa Selatan Tomia Tomia Timur Binongko

10.529 11.947 4.650 3.270 3.315 4.773 7.026

10.964 12.402 4.867 3.828 3.343 5.113 7.422

21.493 24.349 9.517 7.098 6.658 9.886

14.448

96 96 95 85 99 93 95

5.983 6.688 2.707 2.042 1.862 2.813 3.449

3,6 3,6 3,5 3,5 3,6 3,5 4,2

Jumlah

45.510

47.939

93.449

95

25.544

3,6

Sumber : BPS Kab. Wakatobi, Data Sementara

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 80

Page 98: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Dari komposisi penduduk menurut umur, tahun 2000penduduk Kabupaten Wakatobi termasuk pada kelompok penduduk usia muda (di bawah 15 tahun). Kelompok umur tersebut sebanyak 31.610 orang (34,6 persen) dari jumlah seluruhnya 87.793 orang. Dengan memperhatikan komposisi penduduk tersebut menunjukkan bahwa struktur penduduk Kabupaten Wakatobi masih dapat diklasifikasikan struktur penduduk muda. Struktur penduduk muda apabila digambarkan dalam piramida penduduk masih membetuk gambar kerucut, di mana pada kelompok penduduk usia muda atau yang paling bawah masih cukup lebar. Hal ini menandakan bahwa tingkat fertilitas penduduknya masih cukup tinggi. Kemudian apabila dihitung tingkat beban tanggungannya masih cukup tinggi. Di Kabupaten Wakatobi pada tahun 2000 tingkat beban tanggungan tersebut masih menunjukkan sekitar 68 persen. Ini berarti setiap 100 orang penduduk usia produktif secara ekonomis (15-64 tahun) di samping menanggung dirinya masih harus menanggung sekitar 68 orang.

Kemudian bagaimana kondisi komposisi penduduk tingkat kecamatan untuk Wangi-Wangi dan Wangi-Wangi Selatan? Sayang data komposisi penduduk umur tahun 2003 masih menjadi satu kecamatan belum dipisahkan menjadi Kecamatan Wangi-Wangi dan Wangi-Wangi Selatan. Oleh karena itu, dalam pembahasan komposisi penduduk menurut umur masih menjadi satu kecamatan. Tabel 3.4 memberikan gambaran komposisi penduduk menurut umur Kecamatan Wangi-Wangi dan Wangi-Wangi Selatan tahun 2003. Memperhatikan struktur penduduk menurut umur di Kecamatan Wangi-Wangi ternyata tidak begitu banyak berbeda dengan di tingkat kabupaten. Di tingkat kecamatan ini juga masih menunjukkan struktur penduduk muda, di mana proporsi penduduk mudanya (kurang 15 tahun) masih cukup besar (34,4 persen). Ini berarti tingkat fertilitas penduduk kecamatan ini juga masih tinggi dan tingkat pertumbuhan penduduk di masa mendatang belum akan menurun.

Kasus Kabupaten Wakatobi 81

Page 99: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Grafik 3.1. Piramida Penduduk Kecamatan Wangi-Wangi dan

Wangi-Wangi Selatan Menurut Umur dan Jenis Kelamin,Tahun 2003

-2453 2458-2581 2569-2474 2525

-2048 2323-1706 1966-1600 1743-1472 1631-1322 1407

-1109 1318-1045 1050

-875 916-747 804-661 469-619 894

-491 112-128 45

-3000 -2000 -1000 0 1000 2000 3000

0-4

10 -'14

20-24

30-34

40-44

50-54

60-64

70-74PerempuanLaki-laki

Sumber : BPS, Kecamatan Wangi-Wangi Dalam Angka, 2003

Berdasarkan grafik 3.1 di atas dapat diketahui sekitar 65,6 persen penduduk Wangi-Wangi merupakan penduduk dewasa (umur 15 +), di mana 60,38 persen merupakan penduduk usia produktif (umur 15-64 tahun), dan penduduk yang secara teoritis sudah tidak produktif lagi (65 tahun ke atas) sebesar 5,3 persen. Dengan melihat besarnya jumlah penduduk yang termasuk kategori usia produktif, usia belum produktif dan usia tidak produktif lagi tersebut, maka angka beban ketergantungan penduduk di Wangi-Wangi sebesar 66 persen3. Ini berarti tiap 100 orang kelompok usia produktif harus menanggung sebanyak 66 orang yang belum/ sudah tidak produktif lagi. Rasio ketergantungan ini sejalan dengan rasio kecenderungan di Indonesia secara umum dan jika kelahiran dapat dikendalikan, maka rasio ketergantungan akan semakin kecil. Hal ini semestinya dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan produktivitas dan kualitas SDM. Mengingat sebagian besar penduduk di Wangi-Wangi masih bekerja di sektor informal dengan

3 Angka beban ketergantungan dihitung berdasarkan rumus = (penduduk usia tidak produktif/penduduk produktif)*100 persen.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 82

Page 100: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

pendapatan yang kecil, maka rasio ketergantungan yang kecil ini tampaknya belum dapat dimanfaatkan secara optimal. Gambar piramida penduduk di Wangi-Wangi juga memberikan informasi adanya jumlah penduduk usia 0-4 tahun yang sudah lebih rendah dibandingkan dengan dengan kelompok penduduk umur 5-9 tahun. Jika terjadi secara konsisten, fakta ini memberikan ilustrasi adanya tingkat pertumbuhan penduduk yang semakin menurun dan 50 tahun ke depan pada waktu penduduk umur 5-9 tahun berumur 55-59 akan terjadi piramida terbalik dimana jumlah penduduk usia tua sangat besar. Jumlah penduduk usia tua yang besar tersebut berimplikasi berbagai kebijakan pemerintah termasuk pemenuhan kebutuhan fasilitas kesehatan bagi para lansia. Kondisi demikian juga berdampak pada meningkatnya rasio ketergantungan penduduk, yang berdampak pada rendahnya produktivitas kerja. Sebelum mencapai titik waktu tersebut, bangsa Indonesia semestinya telah mempunyai tabungan yang dapat digunakan untuk pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat di Indonesia mendatang.

Lokasi Penelitian Jumlah penduduk Desa Mola Selatan terakhir (2006) adalah sebesar 3.204 orang, di Desa Waha sedikit lebih rendah sebanyak 2.388 orang dan yang terbanyak Kelurahan Wandaka adalah 3.863 orang (tabel 3.5). Pertumbuhan penduduk selama 4 tahun terakhir (2002-2006) di Desa Mola Selatan dan Desa Waha menunjukkan angka yang cukup tinggi, masing-masing 3,3 persen dan 3,5 persen per tahun. Sementara di Kelurahan Wandaka hanya mencapai 1,5 persen per tahun. Tingginya tingkat pertumbuhan penduduk di Desa Mola Selatan dan Waha disebabkan karena faktor migrasi masuk. Mola Selatan merupakan desa yang luasnya hanya 6 km2, tetapi penduduk yang tinggal di desa ini cukup banyak mengingat letaknya yang strategis untuk melaut baik mencari ikan maupun menambang batu/pasir. Keadaan ini sesuai dengan kondisi sumber daya masyarakat setempat yang hampir seluruhnya mempunyai keterampilan melaut. Tidak adanya perubahan keterampilan penduduk yang signifikan dari waktu ke waktu menjadi alasan utama masyarakat tetap bertahan hidup di daerah setempat. Penduduk yang telah menikah dan mandiri akan mendirikan rumah di daerah setempat dan tidak mudah untuk migrasi ke tempat lain yang potensi sumber alamnya tidak sesuai dengan keterampilan yang mereka miliki. Oleh sebab itu kepadatan penduduk di daerah ini akan selalu bertambah, selama sumber daya alam dan keterampilan yang ada tidak mengalami perubahan.

Kasus Kabupaten Wakatobi 83

Page 101: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Fenomena ini juga terjadi pada desa yang berdekatan dengan Mola Selatan yang saat ini mempunyai kepadatan penduduk yang lebih tinggi (1.154/m2 ) tertinggi dibandingkan desa lain di Wangi-wangi. Keadaan ini menunjukkan bahwa kepadatan penduduk di Mola Selatan berpotensi menjadi lebih besar lagi sebagaimana di Mola Utara. Tabel 3.4 menunjukkan luas wilayah, jumlah dan tingkat kepadatan penduduk di tiga daerah penelitian. Dari tiga daerah tersebut tingkat kepadatan penduduk yang tertinggi adalah Desa Mola Selatan, yakni 534 orang per km2. Hal ini disebabkan luas wilayah Desa Mola Selatan memang paling sempit, sementara penduduknya cukup banyak. Di Kelurahan Wandoka jumlah penduduk tahun 2006 memang lebih banyak dibandingkan dengan Desa Mola Selatan, namun luas wilayahnya memang sedikit lebih luas. Oleh karena itu, tingkat kepadatan penduduknya sedikit lebih rendah dibandingkan Mola Selatan, yaitu 465 orang per km2. Sedang di Desa Waha wilayahnya paling luas (63,64 km2), namun jumlah penduduknya paling sedikit (2.388 orang) dibandingkan dua daerah lainnya. Oleh karena itu, tingkat kepadatan penduduk Desa Waha hanya mencapai 37 orang per km2. Dengan tingkat kepadatan penduduk yang rendah, berarti potensi untuk usaha pertanian di Desa Waha paling besar dibanding daerah lainnya.

Tabel 3.4.

Jumlah Penduduk Menurut Daerah Penelitian dan Tingkat Pertumbuhan Rata-Rata Per Tahun, di Kabupaten Wakatobi, Tahun 2002-2006

Daerah Penelitian

Penduduk Tahun 2002

(Orang)

Penduduk Tahun 2006 (Orang)

Tingkat Pertumbuhan Penduduk/Tahun (Persen)

(1) (2) (3) (4)

Desa Mola Selatan Desa Waha Kelurahan Wandoka

2.635 2.081 3.644

3.204 2.388 3.863

3,3 3,5 1,5

Sumber: BPS, Wangi-Wangi Dalam Angka, 2003 dan Monografi Desa/ Kelurahan, 2006 Pertumbuhan penduduk penduduk di Desa Waha mencapai 3,5 persen per tahun dari tahun 2002-2006, karena jumlah penduduk di desa ini masih rendah sehingga masih banyak lahan yang dapat digunakan untuk

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 84

Page 102: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

permukiman penduduk. Luas lahan yang masih besar ini memberikan daya tarik tersendiri bagi penduduk desa/daerah lain untuk bertempat tinggal di desa setempat. Lokasi desa Waha juga berdekatan dengan laut, sehingga penduduk yang ingin bekerja sebagai nelayan tetap dapat melaut. Permasalahan yang dihadapi penduduk di Waha umumnya berkaitan dengan ketersediaan air bersih, karena sebagian wilayah waha sumber airnya payau.

Tabel 3.5.

Jumlah dan Tingkat Kepadatan Penduduk Menurut Daerah Penelitian Di Kabupaten Wakatobi, Tahun 2006

Desa/Kelurahan

Luas Wilayah (Km2)

Jumlah Penduduk Tahun 2006 (Orang)

Tingkat Kepadatan Penduduk (Orang/Km2)

(1) (2) (3) (4)

Desa Mola Selatan Desa Waha Kelurahan Wandoka

6,00

63,64 8,30

3.204 2.388 3.863

534

37 465

Sumber: BPS, Wangi-Wangi Dalam Angka, 2003 dan Monografi Desa/ Kelurahan, 2006

Bagaimana gambaran komposisi penduduk di desa dan kelurahan penelitian? Grafik 3.2 pola komposisi penduduk menurut umur di 3 daerah penelitian hampir sama. Proporsi jumlah kelompok penduduk usia muda (di bawah 15 tahun) masih cukup tinggi. Tiga daerah penelitian tersebut masih menunjukkan persentase di atas 30 persen. Secara demografis masih mencerminkan bahwa tingkat fertilitas penduduk di tiga daerah penelitian tersebut masih belum ada kecenderungan menurun. Secara umum dengan melihat struktur umur penduduk di tiga daerah penelitian masih dapat dikatakan memiliki struktur penduduk muda. Dengan melihat struktur penduduk muda tersebut dapat diperkirakan bahwa tingkat fertlitasnya masih cukup tinggi dan pertumbuhan penduduknya di masa mendatang masih tetap tinggi. Apabila diperhatikan untuk masing-masing daerah penelitian di Desa Mola Selatan dan Kelurahan Wandoka yang

Kasus Kabupaten Wakatobi 85

Page 103: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

kemungkinan tingkat fertilitasnya sedikit ada penurunan dalam 5 tahun terakhir. Hal ini terbukti dengan adanya penurunan persentase penduduk dari kelompok umur 5-9 tahun ke kelompok umur 0-5 tahun. Meskipun telah terjadi penurunan, namun tingkat fertilitasnya masih pada level yang tinggi.

Grafik 3.2. Distribusi Penduduk Sampel di Desa Mola Selatan, Desa Waha dan Kelurahan Wandoka, Kabupaten Wakatobi, Tahun 2006

0 2 4 6 8 10 12 14 16

0 – 4

10 – 14

20 – 24

30 – 34

40 – 44

50 – 54

60 – 64

Kelo

mpo

k U

mur

Persentase

WandokaWahaMola Selatan

Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, 2006

Di samping dapat digunakan untuk memprediksikan tingkat fertilitas dan tingkat pertumbuhan penduduk di masa mendatang, komposisi penduduk juga dapat dimanfaatkan untuk memprediksikan besarnya tingkat beban tanggungan penduduk di suatu daerah. Tingkat beban tanggungan secara umum di tiga daerah penelitian masih cukup tinggi, yakni masih di atas 50 persen atau 50 orang per 100 orang/ penduduk usia produktif. Di Desa Mola Selatan tingkat beban tanggungan adalah hanya 57 persen, di Desa Waha sedikit lebih tinggi mencapai 58 persen. Tingkat beban tanggungan tertinggi adalah di Kelurahan Wandoka sebesar 73 persen.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 86

Page 104: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

3.2 Pendidikan Penduduk Pendidikan memiliki posisi yang strategis bagi pembangunan, khususnya untuk pengembangan sumber daya manusia (SDM). Dalam perspektif mikro (rumah tangga/individu) pendidikan akan meningkatkan derajat kesehatan individu/keluarga, dan produktivitas kerja. Produktivitas kerja yang tinggi pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan keluarga. Produktivitas individu yang tinggi akan terakumulasi menjadi peningkatan produktivitas secara umum, dan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Secara umum pendidikan di Indonesia masih mengalami permasalahan baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Sisi kuantitas kondisi pendidikan yang tercermin dari partisipasi pendidikan (angka partisipasi murni dan kasar) belum menggembirakan. Data empirik menunjukkan angka partisipasi murni (APM) di tingkat SMP/Madrasah Tsanawiyah pada tahun 1992 baru mencapai 41,9 persen dan pada kurun waktu sepuluh tahun berikutnya yaitu tahun 2002 telah meningkat menjadi 61,7 persen. Di samping itu, juga terdapat disparitas dalam pencapaian partisipasi pendidikan antara daerah pedesaan dan perkotaan dan antar kelompok pendapatan khususnya pada jenjang SMP/ MTs. Berdasarkan data Susenas 2002, APM pedesaan baru mencapai 54,1 persen dan di daerah perkotaan mencapai 71.9 persen. Selanjutnya APM di tingkat SMP/MTs kelompok penduduk termiskin (kuantil 1) baru mencapai 49,9 persen, lebih rendah dari kelompok terkaya (kuantil 5) yang mencapai 72,3 persen. Angka partisipasi kasar atau APK di tingkat SMP/MTs juga bervariasi antara perdesaan (69,7 persen) dan perkotaan (93,5 persen) dan antara kelompok penduduk termiskin (64,8 persen) dengan kelompok penduduk terkaya (94,6 persen). Disparitas yang tajam juga terjadi antar provinsi dan masih banyak provinsi yang memiliki APM di bawah 60 persen seperti Gorontalo, NTT, NTB, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Kalimantan Selatan. Bahkan untuk Provinsi Papua baru mencapai APM di tingkat SMP sebesar 40,5 persen (Bappenas, 2004). Sisi kualitas pendidikan dapat dilihat dari rendahnya produktivitas tenaga kerja terdidik di Indonesia yang secara spesifik tercermin dari besarnya angka pengangguran terdidik. Ngadi (2005) menunjukkan hingga tahun 2004, persentase pengangguran terdidik (pendidikan SMA ke atas) mencapai lebih dari 40 persen dari total pengangguran di Indonesia. Permasalahan produktivitas tenaga kerja terdidik ini menjadi lebih besar jika dilihat dari besarnya proporsi tenaga kerja terdidik yang berstatus sebagai setengah penganggur. Pada tahun 1997 jumlah setengah penganggur terdidik

Kasus Kabupaten Wakatobi 87

Page 105: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

di Indonesia sebesar 3,43 juta orang atau 12,24 persen dari keseluruhan setengah penganggur kemudian meningkat menjadi 3,87 juta orang atau 13,85 persen dari keseluruhan setengah penganggur pada tahun 2004. Sebagai kabupaten yang relatif baru, data mengenai kuantitas dan kualitas pendidikan di Kabupaten Wakatobi belum banyak tersedia, sehingga pendidikan penduduk dalam tulisan ini hanya dilihat dari aspek tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan. Hasil sensus penduduk tahun 2000, menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk di Wakatobi masih berpendidikan rendah terbukti dari 77.166 penduduk tahun 2000 sekitar 79,13 persen masih berpendidikan SD ke bawah (tabel 3.6). Persentase ini hampir sama di empat kecamatan, sehingga secara umum kondisi pendidikan di keempat wilayah kecamatan tidak berbeda. Hal ini berkaitan dengan sarana dan prasarana pendidikan dan akses penduduk terhadap pendidikan yang ada masih rendah.

Tabel 3.6. Distribusi Penduduk Wakatobi Menurut Pendidikan Tertinggi yang

Ditamatkan dan Kecamatan, Tahun 2000

Kecamatan No Pendidikan Wangi-

wangi Kale-dupa Tomia Bino-

ngko

Waka-tobi

1 Tidak/belum sekolah 50,09 51,50 50,00 48,14 50,02

2 SD 29,97 25,54 25,66 34,71 29,11 3 SLTP 12,02 12,05 12,96 12,65 12,30 4 SLTA 6,91 9,78 9,93 3,97 7,53 5 Diploma 0,53 0,58 0,71 0,28 0,54 6 Universitas 0,48 0,55 0,75 0,25 0,51

100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 Jumlah Penduduk 37.512 13.348 14.577 11.729 77.166

Sumber : Sensus Penduduk, 2000

Jika dihubungkan dengan faktor ekonomi (penduduk di bawah garis kemiskinan), rendahnya tingkat pendidikan di daerah ini sejalan dengan besarnya penduduk miskin di Wakatobi. Kompilasi data kecamatan dalam angka menunjukkan penduduk yang berada dalam kondisi prasejahtera dan sejahtera I di daerah ini lebih dari 60 persen pada tahun 2003. Dari sisi penduduk mempunyai kondisi perekonomian yang baik terdapat sekitar 5 persen yang berstatus sejahtera III sejahtera III+ dan yang tersebar tidak merata di empat kecamatan. Persentase tertinggi terdapat di Kecamatan

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 88

Page 106: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Kaledupa dimana sekitar 15 persen mempunyai status sejahtera III ke atas, sementara kecamatan yang lain kurang dari 5 persen. Meskipun demikian, persentase penduduk yang tamat SMA ke atas di keempat lokasi hampir sama, masih ada variabel lain yang berpengaruh kuat terhadap pencapaian tingkat pendidikan penduduk di keempat kecamatan.

Berdasar sensus pertanian tahun 2004, tingkat pendidikan penduduk SD ke bawah di Kabupaten Wakatobi sebesar 73,6 persen, dimana proporsi penduduk perempuan yang berpendidikan SD ke bawah lebih tinggi daripada penduduk laki-laki (grafik 3.3.). Perbedaan yang cukup tinggi terjadi pada tingkat pendidikan SD yaitu 46,9 persen untuk perempuan dan 30,9 persen untuk laki-laki. Hal yang berbeda terjadi pada penduduk yang tamat SLTA ke atas, dimana persentase penduduk laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan. Dengan demikian peluang laki-laki untuk mendapatkan pendidikan tinggi di daerah ini lebih tinggi dibanding perempuan. Pada dasarnya akses penduduk laki-laki dan perempuan terhadap dunia pendidikan di keempat kecamatan hampir sama, sehingga permasalahan pendidikan masih terjadi di seluruh kecamatan.

Grafik 3.3. Distribusi Penduduk umur 10 tahun ke atas di Wakatobi Menurut

Jenis Kelamin dan Pendidikan Tertinggi, tahun 2004

30,98

28,12

0,13

34,78

15,15

3,17

0

39,09

21,52

0,07

34,44

6,32

46,934,61

4,72

0 10 20 30 40 5

Blm/tdksekolah

SDSLTP

SLTAPT

Persentase0

TotalPerempuanLaki-laki

Sumber : Sensus Pertanian, 2004

Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa minat orang tua di Kabupaten Wakatobi untuk menyekolahkan anaknya cukup besar karena sekolah SD dan SMP relatif mudah di dapat. Toni Sutopo dan Sumono, tahun 2002 dalam penelitiannya menemukan bahwa minat orang

Kasus Kabupaten Wakatobi 89

Page 107: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

tua di Desa Kasuari, Kecamatan Kaledupa untuk menyekolahkan anaknya cukup besar karena tersedianya sarana SD dan SMP di Kasuari. Tetapi minat untuk menyekolahkan sampai ke SMA dan perguruan tinggi masih kurang meskipun orang tersebut kaya, karena sarana pendidikan tersebut masih jauh dari desa setempat. Motivasi ini diantaranya dapat dilihat dari kenyataan sebagian besar anak usia 6 -12 tahun telah sekolah di SD, dengan persentase anak yang melanjutkan ke jenjang SLTP mencapai 80 persen. Jika generasi ini telah mengambil alih peran generasi tua karena adanya pergeseran umur, diharapkan penduduk di daerah Wakatobi sebagian besar lulusan SLTP ke atas.

Pada tahun 2006, kondisi pendidikan penduduk di Wakatobi belum menunjukkan pergeseran yang berarti khususnya di daerah-daerah basis nelayan (lokasi survei Coremap). Penduduk umur 10 tahun ke atas yang tamat SMA ke atas sebesar 7,9 persen, sementara penduduk yang tamat SD ke bawah mencapai lebih dari 80 persen (tabel 3.7.). Kondisi ini hampir sama dengan tingkat pendidikan penduduk daerah setempat pada tahun 2000 dan 2004. Berdasarkan data kondisi pendidikan penduduk Wakatobi dalam kurun waktu enam tahun terakhir, pendidikan penduduk telah mengalami pergeseran ke arah lebih baik meskipun relatif lamban. Meskipun data ini tidak dapat dibandingkan secara langsung karena menggunakan jumlah sampel dan lokasi yang berbeda, namun dapat menggambarkan kondisi perkembangan pendidikan di Wakatobi secara umum.

Table 3.7.

Distribusi Penduduk Wakatobi Menurut Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan dan Desa/kelurahan, Tahun 2006

Desa/kelurahan No. Pendidikan Mola Selatan Wandoka Waha Total

1 Tidak/belum sekolah 16,35 26,88 14,52 17,53

2 Belum/tidak tamat SD 51,33 13,98 38,17 40,41

3 SD 21,29 21,51 31,18 24,72 4 SLTP 6,08 22,58 7,53 9,41

5 SLTA ke atas 4,94 15,05 8,60 7,93

Total 100,00 100,00 100,00 100,00 N 263 93 186 542

Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, 2006

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 90

Page 108: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Kondisi pendidikan penduduk di ketiga desa/kelurahan lokasi penelitian bervariasi sesuai dengan karakteristik sosial ekonomi masing-masing. Tabel 3.7 menunjukkan bahwa proporsi penduduk yang tamat SLTA ke atas di Kelurahan Wandoka lebih besar daripada desa yang lain (15,05 persen). Hal ini berhubungan dengan status Wandoka sebagai kelurahan, sehingga mempunyai fasilitas sarana dan prasarana pendidikan lebih baik dibandingkan dengan Desa Mola Selatan dan Waha. Meskipun beberapa sarana dan prasarana di kelurahan ini tidak lebih baik dari dua desa lainnya, tetapi akses penduduk Wandoka terhadap dunia pendidikan relatif lebih baik karena letaknya berdekatan dengan kota kabupaten. Beberapa keterampilan spesifik yang dimiliki oleh penduduk di daerah penelitian adalah penangkapan ikan di laut, pengambilan batu/ pasir, dan pembuatan rumbia. Keterampilan menangkap ikan merupakan jenis keterampilan yang secara alami didapat oleh sebagian besar penduduk setempat, karena daerah tempat tinggal mereka berdekatan dengan laut, yang memungkinkan mereka dapat belajar secara nomadik setiap hari. Keterampilan menangkap ikan biasanya dimiliki oleh laki-laki, sedangkan perempuan lebih bersifat membantu pekerjaan laki-laki. Hal ini disebabkan pekerjaan melaut merupakan pekerjaan keras yang memerlukan tenaga ekstra, apalagi jika terjadi ombak besar. Perempuan biasanya berfungsi sebagai tenaga pemasaran hasil penangkapan ikan di laut, selain mengurus rumah tangga di rumah.

Keterampilan pengambilan batu/pasir dimiliki penduduk, baik laki-laki maupun perempuan, dengan sendirinya tanpa melalui pendidikan khusus, karena pekerjaan ini tidak berhubungan dengan olah pikir. Penduduk setempat biasa pergi ke lokasi penambangan dengan memanfaatkan pasang surut dan pasang naik air laut. Waktu penambangan biasanya tiga kali dalam sehari semalam yaitu : jam 12.00-4.00 penambangan pasir periode I, jam 4.00-8.00 penambangan pasir periode II, dan jam 13.00-16.00 merupakan penambangan pasir periode III. Para penambang yang pergi menambang selama 3 kali dalam sehari semalam, mereka umumnya hanya mempunyai waktu untuk tidur selama 3 jam (8.00-11.00). Pendapatan dari penambangan pasir/batu ini relatif rendah, tetapi karena tidak ada alternatif pekerjaan yang lain, terpaksa dijalankan oleh penduduk. Selain pendapatannya rendah, penambangan ini sebenarnya juga berbahaya bagi kelestarian lingkungan terutama terumbu karang di daerah setempat.

Keterampilan pembuatan anyaman daun rumbia umumnya dimiliki oleh perempuan dan dijadikan sebagai pekerjaan alternatif setelah mereka

Kasus Kabupaten Wakatobi 91

Page 109: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

menyelesaikan pekerjaan rumah. Anyaman daun rumbia biasa digunakan untuk atap rumah penduduk setempat yang sebenarnya mulai beralih ke penggunaan seng/asbes. Atap daun rumbia memiliki keunggulan dibandingkan dengan seng, karena sifatnya yang tidak panas sehingga pada waktu siang hari rumah dengan atap daun rumbia ini terasa lebih sejuk. Keterampilan membuat anyaman daun rumbia didapat secara turun menurun atau dari penduduk lokal setempat. Sebagian penduduk masih melestarikan pembuatan anyaman daun rumbia ini karena dapat menambah pendapatan keluarga dan masih bermanfaat bagi masyarakat. 3.3. Pekerjaan Penduduk Tingkat Kabupaten Meskipun Kabupaten Wakatobi merupakan wilayah kepulauan, di mana potensi yang paling menonjol dan telah menjadi sektor unggulan utama daerah, nampaknya belum direspon oleh sebagian besar penduduk. Kondisi ini terefleksi dari besarnya proporsi angkatan kerja yang bekerja sebagai petani tanaman pangan yang masih cukup dominan. Secara umum di tingkat kabupaten masih mencapai 48,1 persen dan bahkan apabila digabung dengan petani perkebunan mencapai sekitar 51,2 persen.

Tabel 3.8 Distribusi Penduduk Usia 15 Tahun Ke atas Menurut Jenis Pekerjaan, Di Empat Kecamatan

Wilayah Kabupaten Wakatobi, 2000

Kecamatan

Jenis Pekerjaan

Wangi-Wangi Kaledupa Tomia Binongko

Kab.

Wakatobi (1) (2) (3) (4) (5) (6)

Petani tanaman pangan Petani perkebunan Petani peternak Petani lainnya Nelayan Pengrajin (industri) Pedagang Pekerja jasa Pekerja angkutan (sopir, ojek Lainnya

55,5

2,7 0,1 1,2

14,0 0,6

11,1 4,7 3,3 6,8

26,2

8,7 -

1,2 47,0

3,5 4,0 6,7 0,7 2,0

55,8

0,4 0,1 0,2 8,1 0,9

19,5 10,0

2,2 2,8

38,9

0,3 0,3 0,7 2,2 5,7

10,1 8,8

17,9 15,1

48,1

3,1 0,1 1,0

17,7 1,8

11,2 6,6 4,2 6,2

Jumlah

100,0

(19.577)

100,0

(7.152)

100,0

(7.063)

100,0

(4.579)

100,0

(38.460)

Sumber : BPS : Sensus Penduduk Tahun 2000.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 92

Page 110: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Peranan sub sektor perikanan yang kurang dominan di Wakatobi berdasar data sensus penduduk tersebut merupakan salah satu fenomena yang perlu dicermati. Pertama, sebagian besar wilayah Wakatobi (97 persen) merupakan wilayah laut, sehingga idealnya sebagian besar masyarakat akan tergantung pada laut sesuai potensi sumber daya yang ada. Kedua berbagai data lain menunjukkan bahwa sebagian penduduk Wakatobi bekerja di sub sektor perikanan. Data yang termuat dalam RPJMD Wakatobi tahun 2006-2011 menunjukkan berdasar survei terhadap 440 rumah tangga di Kaledupa, terdapat 67 persen orang Kaledupa tergantung secara langsung pada SDA laut dan merupakan sumber pendapatan utama. Data Sensus Pertanian, 2004 juga menunjukkan tingginya penduduk Wakatobi yang bekerja di Perikanan. Berdasar data tersebut terdapat 7.663 rumah tangga yang bekerja di usaha penangkapan ikan dengan jumlah anggota rumah tangga sebanyak 28.518 orang. Jumlah tersebut masih ditambah dengan rumah tangga yang tergantung pada budidaya laut (1.783 rumah tangga) 4 dengan jumlah anggota rumah tangga sebesar 8.367 orang. Penduduk yang bekerja pada usaha penangkapan ikan sebesar 8.567 orang yang terdiri dari 8.396 orang dan usaha bersama sebanyak 171 orang. Sedangkan penduduk yang bekerja sebagai buruh penangkapan ikan sebanyak 904 orang. Keseluruhan jenis usaha penangkapan ikan dan buruh penangkapan ikan di Wakatobi dilakukan oleh penduduk laki-laki, karena pekerjaan mencari ikan tersebut merupakan pekerjaan yang memerlukan tenaga cukup ekstra sehingga tidak dapat dilakukan oleh perempuan. Perempuan secara umum bekerja untuk memasarkan ikan ke pasar, bertani tanaman pangan maupun melakukan pekerjaan di rumah. Usaha penangkapan ikan perorangan cukup menonjol di daerah ini, karena sebagian besar nelayan di Wakatobi merupakan nelayan sederhana yang tidak bisa dilakukan sendiri oleh nelayan tanpa bantuan orang lain. Hasil tangkapan ikan secara umum dijual dalam bentuk segar dengan sistem pembayaran kontan, bahkan ada sebagian nelayan yang telah mengambil uang kepada majikan dan dibayar dengan hasil melaut dalam arti hasil melautnya dijual kepada tauke.

4 Dengan memperhatikan jumlah rumah tangga di Wakatobi tahun 2006 sebanyak 25.544 rumah tangga, maka rumah tangga yang tergantung pada perikanan (tangkap dan budidaya) di Wakatobi sekitar 37 persen dari total rumah tangga. Sedangkan besarnya penduduk yang tergantung pada perikanan budidaya dan tangkap sekitar 39,47 persen.

Kasus Kabupaten Wakatobi 93

Page 111: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Lokasi Penelitian

Seperti telah dikemukakan dalam metode pengambilan sampel daerah dari dua kecamatan yang diteliti telah diambil desa-desa/ kelurahan wilayah pantai. Namun bukan otomatis di wilayah pantai sebagian besar penduduknya mencari penghidupan hanya di laut. Hal tersebut sangat tergantung pada potensi lain yang ada di lingkungannya serta kemampuan dan modal termasuk sarana dan prasarana yang dimiliki penduduk. Lapangan dan Jenis Pekerjaan Utama Pada pembahasan berikut akan dianalisa lapangan/ sektor pekerjaan dan jenis pekerjaan penduduk sampel yang dipisahkan masing-masing desa/ kelurahan penelitian. Dalam pembahasan juga dikemukakan untuk lapangan dan jenis pekerjaan pokok dan lapangan dan jenis pekerjaan tambahan untuk melihat betapa variatifnya lapangan dan jenis pekerjaan penduduk meskipun di wilayah pesisir. Dengan adanya variasi lapangan dan jenis pekerjaan penduduk merefleksikan tersedianya berbagai alternatif pekerjaan yang bisa dilakukan penduduk. Tabel 3.9 menyajikan distribusi rumah tangga menurut lapangan pekerjaan utama di tiga desa/ kelurahan penelitian. Tabel tersebut menunjukkan pola lapangan pekerjaan yang variatif dari masing-masing daerah penelitian tersebut. Di Desa Mola Selatan dan Waha dominasi lapangan pekerjaan adalah perikanan tangkap, sedangkan di Kelurahan Wandoka hanya sebagian kecil rumah tangga responden yang bekerja di sektor perikanan karena lapangan kerja yang dominan adalah pertanian.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 94

Page 112: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Tabel 3.9.

Distribusi Rumah Tangga Menurut Lapangan Pekerjaan Utama dan Tiga Desa Penelitian, di Kabupaten Wakatobi, Tahun 2006

Desa/ Kelurahan Sampel

Lapangan Pekerjaan Utama Desa

Mola Selatan

Desa Waha

Kelurahan Wandoka

Jumlah

(1) (2) (3) (4) (5) Perikanan tangkap Pertanian tanaman pangan Perdagangan Transportasi/ angkutan Jasa/ pemerintahan Bangunan Pertambangan Industri rumah tangga

77,0

- 7,0

- 2,0 2,0

10,0 2,0

47,6 21,4

4,8 2,4

11,9 11,9

- -

22,2 50,6

1,2 13,6

7,4 3,7 1,2

-

51,6 22,4

4,5 5,4 5,8 4,5 4,9 0,9

Jumlah (N)

100,0 (100)

100,0 (42)

100,0 (81)

100,0 (223)

Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, 2006 Di Desa Mola Selatan, pola distribusi lapangan pekerjaan utama penduduk mencerminkan gambaran masyarakat pesisir dimana sebagian besar penduduk sampel (77 persen) di desa tersebut bekerja di lapangan/ subsektor perikanan tangkap. Dominasi lapangan kerja ini sesuai dengan gambaran penduduk yang sebagian besar berasal dari suku Bajo yang dikenal sebagai ’suku laut. Di samping itu, potensi wilayah desa ini yang utama adalah di sektor perikanan mengingat hampir semua wilayah terdiri dari laut, hanya permukiman saja yang merupakan daratan, itupun adalah hasil reklamasi. Sektor berikutnya yang banyak (10 persen) diminati penduduk Desa Mola Selatan adalah sektor pertambangan. Namun pertambangan yang digali oleh penduduk desa ini adalah pertambangan dari potensi laut, yaitu penggalian pasir laut dan penambangan batu karang. Penambangan potensi laut ini

Kasus Kabupaten Wakatobi 95

Page 113: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

harus mendapatkan perhatian, sebab apabila dilakukan secara terus menerus dan berlebihan akan mengganggu ekosistem terumbu karang dan daerah pesisir. Kegiatan penambangan pasir dan batu karang sudah berlangsung lama, lebih dari 5 tahun. Lapangan pekerjaan lainnya yang banyak dilakukan penduduk Mola Selatan adalah sektor perdagangan. Perdagangan tersebut berhubungan hasil sumber daya laut dan penjualan kebutuhan rumah tangga sehari-hari.

Ilustrasi : Informan AD penambang pasir laut, bekerja di penambangan pasir sudah lebih dari 5 tahun. Rata-rata per hari dapat menghasilkan 2 – 3 sampan atau sekitar 2-3 m2. Pasir diambil dalam kedalaman sampai 1 m. Pekerjaan ini dilakukan tiap hari, tidak pernah ada hari libur dan tidak terpengaruh oleh musim. Dalam satu hari melakukan penggalian pasir 3 tahapan, yaitu : pertama, dari pukul 12.00 (malam) – 04.00 (pagi); kedua, dari pukul 04.00 (pagi) – 08.00 (pagi); dan ketiga, dari pukul 13.00 (siang) – 16.00 (sore). Rata-rata per hari ada sekitar 30 penambang pasir dengan 30 sampannya. Jadi dalam satu hari ada paling sedikit 30 m2 pasir laut yang dieksploitasi penduduk Desa Mola Selatan.

Ilustrasi : Informan YS, usia 50 tahun, lebih 5 tahun sebagai penambang batu karang. Alat yang digunakan adalah linggis dan palu. Waktu kerja tiap hari dari pukul 04.00 (pagi waktu air laut surut) sampai pukul 10.00 (waktu air laut pasang). Daerah penambangan di perairan Wanci. Ada sekitar 100 orang per hari yang melakukan penambangan, namun tidak semuanya orang dari Desa Mula Selatan. Satu hari paling tidak dapat menghasilkan batu karang satu sampan, atau sekitar 1 sampai 1,5 m2. Penghasilan kotor per hari antara Rp 30.000 – Rp 40.000, ongkos beli bensin Rp 7.000 PP, penghasilan bersih per hari antara Rp 23.000 – Rp 33.000.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 96

Page 114: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Di Desa Waha pola distribusi penduduk menurut lapangan pekerjaan utama agak berbeda dari Desa Mola Selatan. Tetapi lapangan pekerjaan penduduk yang dominan masih sama dengan di Mola meskipun persentasenya lebih rendah, yaitu: 47,6 persen. Urutan berikutnya adalah sektor pertanian tanaman pangan, persentase penduduk sampel yang bekerja di sektor tersebut sebesar 21,4 persen. Masih besarnya penduduk yang bekerja di sektor tersebut adalah terkait potensi lahan yang tersedia di desa tersebut. Banyak rumah tangga yang masih memiliki lahan untuk usaha pertanian, meskipun hanya bisa ditanami ubi kayu dan jagung setahun sekali. Di samping itu, banyak lahan yang dapat ditanami kelapa dan jambu mente, dua jenis tanaman tersebut yang nampaknya memberikan penghasilan bagi rumah tangga dari sektor pertanian. Sektor lainnya adalah jasa/pemerintahan dan bangunan, masing-masing 11,9 persen. Hal ini terkait dengan akses dengan ibukota kabupaten cukup mudah dengan transportasi umum atau kendaraan pribadi. Lapangan pekerjaan tersebut tidak hanya yang ada di desa, tapi juga di ibukota kabupaten. Di Kelurahan Wandoka, pola lapangan pekerjaan utama penduduk sampel sangat berbeda dengan di Mola Selatan dan Waha. Meskipun Wandoka juga merupakan wilayah pesisir, persentase penduduk sampel yang bekerja di sektor perikanan tangkap ternyata jauh lebih rendah dibandingkan dengan Mola Selatan dan Waha. Mereka yang menggeluti perikanan tangkap hanya 22,2 persen. Justru persentase penduduk yang bekerja di sektor tanaman pangan yang paling tinggi (50,6 persen). Berdasarkan potensi lahan pertanian di Waha masih cukup besar, meskipun hanya bisa ditanami ubi dan jagung setahun sekali. Transportasi/ angkutan merupakan sektor yang banyak (13,6 persen) diminati penduduk. Sebagai wilayah yang berbatasan dengan ibukota kabupaten, banyak kesempatan kerja di sektor tersebut. Distribusi rumah tangga (RT) menurut jenis pekerjaan utama juga cukup variatif (tabel 3.10.). Pola distribusi jenis pekerjaan serupa dengan lapangan pekerjaan dimana nelayan merupakan jenis pekerjaan yang dominan di Desa Mola Selatan dan Waha dan petani di Kelurahan Wandoka. Di Desa Mola Selatan, sebagian besar rumah tangga (77 persen) bekerja sebagai nelayan, utamanya nelayan tangkap. Sedangkan sisanya tersebar di berbagai jenis pekerjaan lainnya. Dari tabel terungkap bahwa jenis pekerjaan terbanyak ke dua adalah penambang (10 persen), khususnya batu karang dan pasir, diikuti pedagang (pedagang ikan, pedagang bahan kebutuhan rumah tangga, warung minum dan kue-kue) sebanyak 7 persen pada urutan ke tiga dan buruh/ karyawan (5 persen) pada urutan ke empat.

Kasus Kabupaten Wakatobi 97

Page 115: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Gambaran yang berbeda dijumpai di Desa Waha. Persentase penduduk yang bekerja sebagai nelayan paling linggi (47,6 persen), sebagian besar penduduknya bekerja pada berbagai jenis pekerjaan. Dari tabel 3.10. diketahui bahawa setelah nelayan, jenis pekerjaan yang penting di Desa Waha adalah karyawan/ buruh yang mencapai 26,2 persen dan petani sebesar 21,4 persen. Distribusi jenis pekerjaan ini berkaitan dengan potensi wilayah desa yang terdiri dari sumber daya laut dan daratan. Kedua jenis sumber daya alam ini telah dimanfaatkan oleh penduduk untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Di Kelurahan Wandoka pola distribusi jenis pekerjaan penduduk juga berbeda dengan dua desa lainnya. Persentase jenis pekerjaan penduduk yang terbesar adalah petani, mencapai separuh dari jumlah rumah tangga sampel. Sedangkan sebagian penduduk lainnya bekerja di berbagai jenis pekerjaan, terutama nelayan dan karyawan/buruh. Lebih dari seperlima (22,2 persen) rumah tangga sampel adalah nelayan, sedikit lebih tinggi dari persentase karyawan/buruh (20,9 persen). Jenis pekerjaan lain yang dilakukan penduduk kelurahan ini adalah penambang pasir/ batu karang, tenaga jasa dan pedagang, masing-masing persentasenya di bawah 5 persen (tabel 3.10).

Tabel 3.10. Distribusi Penduduk Sampel Menurut Jenis Pekerjaan Utama Di Tiga Desa Penelitian, di Kabupaten Wakatobi, Tahun 2006

Desa Sampel

Jenis Pekerjaan Utama Desa Mola Selatan

Desa Waha

Kelurahan Wandoka

Jumlah

(1) (2) (3) (4) (5)

Nelayan Petani Penambang pasir/ batu karang Buruh/ karyawan Tenaga jasa Tenaga penjualan/ pedagang Tenaga industri

77,0

- 10,0 5,0

- 7,0 2,0

47,6 21,4

- 26,2

- 4,8

-

22,2 50,6 1,2

20,9 4,9 1,2

-

51,6 22,4 4,9

14,8 1,8 4,5 0,9

Jumlah (N)

100,0 (100)

100,0 (42)

100,0 (81)

100,0 (223)

Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, 2006

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 98

Page 116: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Lapangan dan Jenis Pekerjaan Tambahan Lapangan dan jenis pekerjaan tambahan merupakan satu indikator keberadaan potensi dan kesempatan kerja yang ada di suatu daerah dan rendahnya pendapatan dari lapangan dan jenis pekerjaan utamanya. Di daerah yang potensi alam dan kesempatan kerjanya beragam akan mendorong penduduknya untuk memiliki lapangan dan jenis pekerjaan tambahan yang jenisnya juga akan beragam. Di tiga daerah penelitian, persentase penduduk yang memiliki lapangan dan jenis pekerjaan tambahan sangat berbeda. Di Desa Mola Selatan ternyata pekerjaan tambahan sangat terbatas, hanya 3 persen rumah tangga yang memiliki pekerjaan tambahan. Sebaliknya, di Desa Waha, lebih dari dua per tiga (69 persen) penduduknya mempunyai pekerjaan tambahan. Sedangkan di Kelurahan Wandoka, persentase penduduk yang memiliki pekerjaan tambahan berada diantara kedua daerah lainnya, yaitu lebih dari seper tiga penduduknya (36 persen). Di Mola Selatan penduduk yang memiliki pekerjaan tambahan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan dua daerah penelitian yang lain, karena potensi alam desa Mola sangat terbatas, sehingga kesempatan kerjanya juga terbatas, dibandingkan dengan dua daerah lainnya. Di Waha dan Wandoka lebih banyak persentase penduduk yang memiliki pekerjaan tambahan, sebab potensi wilayahnya lebih memungkinkan untuk memberikan kesempatan kerja tambahan, terutama usaha pertanian. Tabel 3.11 menunjukkan bahwa lapangan pekerjaan tambahan bagi sebagian besar penduduk (82,8 persen) Desa Waha adalah pertanian tanaman pangan. Hal tersebut relevan dengan tersedianya potensi lahan untuk pertanian di desa yang masih agak besar. Lapangan kerja ini mencerminkan jenis pekerjaan penduduk yang terbanyak adalah petani (tabel 3.12). Mereka adalah petani tanaman pangan, terutama ubi kayu dan jagung, dan petani kebun yang menghasikan jambu mente dan kelapa. Seperti di Waha, lapangan pekerjaan yang paling banyak di Wandoka (48,3 persen) adalah di pertanian tanaman pangan, meskipun tidak sebanyak di Waha. Namun dari tabel 3.11 terungkap bahwa di Wandoka lapangan pekerjaan tambahan lebih variatif dibandingkan di Waha. Hal ini berkaitan erat dengan lokasi geografis Wandoka yang sangat dekat dengan ibukota kabupaten, sehingga banyak penduduk kelurahan ini yang memanfaatkan kesempatan kerja yang ada di ibukota kabupaten/ Kota Wanci.

Kasus Kabupaten Wakatobi 99

Page 117: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Tabel 3.11. Distribusi Penduduk Sampel Menurut Lapangan Pekerjaan Tambahan

dan Tiga Desa Penelitian, di Kabupaten Wakatobi, Tahun 2006

Desa Sampel Lapangan Pekerjaan

Tambahan

Desa Mola

Selatan

Desa Waha

Kelurahan Wandoka

Jumlah

(1) (2) (3) (4) (5) Perikanan tangkap Perikanan budidaya Pertanian tanaman pangan Perdagangan Transportasi/ angkutan Jasa/ pemerintahan Bangunan Pertambangan Industri rumah tangga

(33,3) (33,3)

- - - - -

(33,3)

6,9

- 82,8

- 3,4 3,4 3,4

- -

13,8

- 48,3

6,9 6,9

- 6,9

10,3 6,9

11,5

1,6 62,3

3,3 4,9 1,6 4,9 6,6 3,3

Jumlah (N)

100,0 (3)

100,0 (29)

100,0 (29)

100,0 (61)

Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, 2006 Variasi lapangan pekerjaan tambahan yang dimanfaatkan oleh penduduk Wandoka tersebut adalah sektor perdagangan, transportasi/ angkutan, pertambangan dan industri rumah tanngga. Dari jenis pekerjaannya penduduk di Wandoka juga cukup variatif, termasuk pedagang, tenaga jasa (sopir angkutan kota, tukang ojek dan ABK kapal penumpang), tukang bangunan dan tenaga industri kecil. Di Kelurahan Wandoka masih ada penduduk yang memiliki lapangan dan jenis pekerjaan sebagai nelayan tangkap, tetapi persentasenya kecil, yakni hanya 13,8 persen. Berbeda halnya dengan variasi pekerjaan tambahan di Desa Mola Selatan yang sedikit sehingga sedikit penduduk yang mempunyai pekerjaan tambahan dengan sedikit variasi. Hal ini berkaitan dengan potensi Mola Selatan yang didominasi oleh sumber daya laut dan ketrampilan penduduk terbatas pada pengelolaan sumber daya laut. Pekerjaan tambahan penduduk umumnya juga terbatas pada pengelolaaan sumber daya laut. Hasil survei menemukan

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 100

Page 118: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

sebagian perempuan di Mola Selatan mempunyai pekerjaan tambahan pembuatan atap dari daun rumbia yang biasa digunakan untuk atap rumah bagi sebagian penduduk di Mola Selatan. Masih luasnya lahan pertanian di Desa Waha menyebabkan sebagian besar penduduk mempunyai pekerjaan tambahan pada pertanian tanaman pangan. Namun demikian, tanah di daerah Waha tergolong tanah yang kurang subur karena sebagian besar berupa batuan karang gunung. Pertanian di Waha juga tergantung pada musim karena tidak ada irigasi yang dapat digunakan untuk mengairi lahan. Dengan demikian hanya jenis tanaman tertentu yang cocok untuk ditanam yaitu ubi kayu dan beberapa jenis tanaman keras. Penduduk Desa Waha tidak ada yang bekerja sebagai penggali pasir meskipun pantai yang berdekatan dengan rumah penduduk berupa hamparan pasir. Hal ini dipengaruhi oleh aturan desa yang melarang penduduknya menambang pasir di dekat desa setempat untuk dijual ke luar daerah. Peraturan ini dimaksudkan untuk menjaga kelestarian alam Desa Waha yang letaknya berada di dekat pantai, sebab selama ini telah ada delapan rumah di Desa Waha yang tergusur oleh abrasi air laut. Penambangan pasir untuk kepentingan pembangunan di desa sendiri masih diperbolehkan asal tidak dijual/ dibawa keluar desa.

Tabel 3.12. Distribusi Penduduk Sampel Menurut Jenis Pekerjaan Tambahan

dan Tiga Desa Penelitian, di Kabupaten Wakatobi, Tahun 2006

Desa Sampel

Jenis Pekerjaan

Tambahan Desa Mola

Selatan

Desa Waha

Kelurahan Wandoka

Jumlah

(1) (2) (3) (4) (5) Nelayan Petani Penambang pasir/ batu karang Buruh/ karyawan Tenaga jasa Tenaga penjualan/ pedagang Tenaga industri

33,3

- 33,3

- 33,3

- -

6,9

82,7 -

3,4 6,8

- -

13,7 48,2 10,3

- 6,8 6,9 6,8

11,4 62,3 6,5 4,8 8,0 3,3 3,2

Jumlah (N)

100,0 (3)

100,0 (29)

100,0 (29)

100,0 (61)

Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, 2006

Kasus Kabupaten Wakatobi 101

Page 119: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Pekerjaan tambahan diperlukan penduduk yang mempunyai kondisi pekerjaan utama yang berbeda. Ada penduduk yang mempunyai pekerjaan utama nelayan, mempunyai pekerjaan di lapangan yang lain. Hal ini disebabkan nelayan setempat sebagian besar merupakan nelayan tradisional yang tergantung pada musim. Pada waktu tertentu nelayan tidak dapat melaut karena ombak tinggi, sehingga mereka perlu bekerja di lapangan pekerjaan yang lain untuk mendapatkan penghasilan. Ada juga penduduk yang mempunyai pekerjaan tambahan karena penghasilan dari pekerjaan utama tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sebagian besar penduduk di Waha misalnya mempunyai pekerjaan bertani tanaman pangan (ubi kayu) dengan tujuan untuk menambah penghasilan atau minimal memenuhi kebutuhan makanan pokok keluarga (kasuami 5 ). Sebagian nelayan di Mola Selatan juga mempunyai pekerjaan budidaya ikan di keramba untuk menambah penghasilan penduduk. Salah seorang nelayan pancing menjelaskan rutinitas pekerjaan yang ditekuni dalam satu tahun. Pada Akhir bulan Agustus sampai Desember nelayan tersebut melaut untuk mencari ikan, kemudian pada bulan Januari-Maret dan Juli-Agustus istirahat, kemudian Bulan April-Juni melaut. Selama tidak melaut nelayan ini menanam ubi kayu dan jagung sebagai pekerjaan tambahan. 3.4 Kesejahteraan Salah satu aspek yang dapat digunakan untuk melihat tingkat kesejahteraan penduduk adalah kepemilikan aset baik aset produksi maupun non-produksi, kondisi perumahan dan lingkungan. Aset produksi dimaksudkan adalah kepemilikan atas produk barang tertentu yang digunakan untuk memproduksi barang dan jasa, termasuk di sektor perikanan tangkap. Pemilikan dan Penguasaan Aset Aset Produksi di Kabupaten Aset produksi yang terbanyak dimiliki oleh penduduk di tiga lokasi penelitian adalah aset di sektor perikanan, yaitu pancing. Setiap memancing mereka biasa membawa 10 pancing, namun mereka dapat membelinya karena harga pancing relatif murah (kurang dari Rp. 2000,00/pancing), sehingga satu nelayan mampu membeli pancing lebih dari sepuluh unit. 5 Kasuami merupakan jenis makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Wakatobi. Makanan ini terbuat dari ketela pohon basah yang “diparut” kemudian dimasak dalam kemasan tertentu dan setelah matang siap untuk dimakan. Nelayan biasanya membawa makanan jenis ini selain jenis yang lain sebagai bekal melaut.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 102

Page 120: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Selain itu, kepemilikan pancing juga sesuai dengan jumlah pemakaian, yaitu sekitar 10 buah pancing. Jenis ikan yang ditangkap dengan pancing di Wakatobi umumnya berupa ikan tuna, cakang dan tongkol. Secara ekonomi, nilai jual ikan ini lebih tinggi daripada jenis ikan yang lain, sehingga banyak nelayan yang berprofesi sebagai penangkap ikan tuna. Karena jumlah nelayan ikan tuna/cakalang/tongkol yang relatif banyak, maka jumlah pancing yang dimiliki pendudukpun cukup banyak.

Tabel 3.13. Jumlah Alat dan Sarana Penangkapan Ikan yang Dikuasai di Wakatobi,

Tahun 2004

NO. Jenis Aset Jumlah Persentase (%)

Alat tangkap 1. Pukat Tarik 904 2,57 3. Pukat Cincin 904 2,57 4. Jaring Insang 4.251 12,08 5. Jaring Angkat 904 2,57 6. Pancing 22.329 63,47 7. Perangkap 855 2,43 9. Lainnya 5.033 14,31 Total 35.180 100,00 Sarana penangkapan 1. Kapal Motor 904 10,55

2. Perahu Motor Tempel 171 2,00

4. Perahu Papan Sedang 171 2,00

5. Perahu Papan Kecil 171 2,00

6. Jukung 7.150 83,46 Total 8.567 100,00

Sumber: Sensus Pertanian, 2004

Alat tangkap terbanyak kedua yang dimiliki oleh nelayan Wakatobi adalah jaring, yang mayoritas berupa jaring insang (tabel 3.13). Jaring merupakan jenis alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan di karang. Selain jaring terdapat alat lain yaitu pukat tarik dan pukat cincin, yang juga berfungsi untuk menangkap ikan di karang. Perangkap merupakan jenis alat

Kasus Kabupaten Wakatobi 103

Page 121: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

tangkap yang tidak banyak dijumpai di daerah ini. Jenis perangkap yang umum digunakan adalah bubu yang dipasang dibatuan karang, kemudian pada pagi hari diangkat untuk diambil ikannya. Dalam hal sarana penangkapan, jenis sarana penangkapan ikan yang paling banyak dimiliki penduduk adalah jukung yang merupakan sarana paling sederhana dan harganya cukup murah. Banyaknya kepemilikan jukung menunjukkan bahwa sebagian besar nelayan di daerah ini merupakan nelayan sederhana. Jukung biasanya hanya digunakan untuk menangkap ikan di laut dangkal karena tidak mampu melampaui ombak besar di laut dalam. Oleh sebab itu, nelayan dengan sarana jukung biasanya tidak berani melaut pada waktu ombak besar. Dengan sarana yang demikian sederhana ini, dapat diduga pendapatan masyarakat setempat masih rendah, mengingat populasi ikan di wilayah Wakatobi juga semakin menurun. Selain berfungsi sebagai sarana penangkapan ikan, jukung biasanya juga digunakan untuk media transportasi dari satu tempat ke tampat yang lain. Penduduk yang memiliki kapal dan perahu motor masih sedikit, sebab harga sarana produksi ini cukup mahal. Perahu motor dalam dan tempel biasa digunakan oleh penduduk untuk mencari ikan hingga ke laut dalam. Nelayan ikan tuna yang biasa melaut sampai 8 mil dari kawasan Wakatobi umumnya mempunyai sarana produksi ini. Salah satu nelayan tuna menyebutkan modal yang dibutuhkan untuk memiliki 1 perahu motor mencapai kurang lebih 6 juta rupiah, yang terdiri dari biaya pembuatan bodi/kapal sebesar 3 juta, dan pembelian mesin seharga 3 juta. Meskipun demikian ada pula nelayan ikan tuna yang hanya menggunakan perahu tanpa motor untuk mencari tuna di laut. Jarak pencarian ikan tuna tidak berbeda dengan nelayan yang menggunakan perahu motor, tetapi waktu penangkapan sangat dipengaruhi oleh gelombang. Pada waktu gelombang kuat nelayan tuna dengan perahu tanpa motor tidak berani melaut karena resiko tenggelam sangat tinggi. Berbeda halnya dengan nelayan yang menggunakan perahu motor dimana sebagian dari mereka masih berani melaut. Sebagian diantara mereka bahkan lebih senang mencari ikan tuna pada waktu gelombang kuat, sebab jumlah ikan tuna pada waktu gelombang kuat biasanya lebih banyak dibanding pada waktu gelombang lemah. Bodi perahu yang digunakan nelayan di Wakatobi dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu bodi jolor, bodi batang, bodi ketinting dan kapal besar. Bodi jolor biasanya digunakan untuk nelayan teripang dengan panjang 9-11 meter dan lebar 2 meter. Bodi batang biasanya digunakan untuk nelayan ikan tuna dan ikan karang dengan ukuran panjang kurang lebih 9 – 11 meter

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 104

Page 122: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

dan lebar 1-1,3 meter. Bodi ketinting digunakan untuk penambang pasir maupun batu karang, dengan ukuran panjang kurang lebih 8 meter dan lebar 0,9 meter. Bodi kapal besar yang mempunyai panjang sampai 20 meter dan lebar 7 meter, serta dapat memuat barang seberat 15-20 ton. Aset Produksi di Lokasi Penelitian • Produksi Perikanan Kecenderungan kepemilikan alat penangkapan ikan di tiga lokasi studi tidak jauh berbeda dengan di Kabupaten Wakatobi. Alat penangkapan ikan terbanyak adalah pancing yang kepemilikannya bervariasi antara 1 sampai 70 buah dalam satu rumah tangga nelayan. Rumah tangga nelayan yang mempunyai pancing sampai 70 buah kemungkinan karena ada lebih dari 1 orang anggota rumah tangga yang menjadi nelayan. Selain itu persediaan pancing yang cukup banyak di dalam rumah tangga dimaksudkan untuk persiapan melaut dalam beberapa hari mendatang. Pancing sebagaimana kecenderungan di tingkat kabupaten, digunakan oleh nelayan ikan tuna. Akan tetapi nelayan tidak hanya mencari satu jenis ikan tuna, sebab musim ikan berbeda dari waktu ke waktu. Nelayan tuna biasanya juga menangkap ikan cakalang dan tongkol dengan peralatan yang sejenis. Nelayan setempat menerangkan musim ikan tuna terjadi pada bulan Nopember – Mei, kemudian ikan cakalang dari bulan Juni – Agustus dan diikuti ikan tongkol pada bulan September – Oktober. Bagan yang biasa disebut rumpon merupakan salah satu alat tangkap yang masih potensial di daerah penelitian, tetapi jumlah nelayan yang memilikinya masih sedikit. Hal ini disebabkan modal yang diperlukan untuk pembuatan rumpon cukup tinggi, sehingga tidak setiap nelayan mempunyai cukup dana untuk membuatnya. Salah satu nelayan menyebutkan biaya yang diperlukan untuk pembuatan 1 rumpon kurang lebih sebesar Rp 15 juta. Biaya tersebut terdiri dari biaya pembuatan rumpon sebesar Rp 7,5 juta, kemudian biaya untuk pembelian mesin sebesar Rp 4 juta dan biaya untuk bodi sebesar Rp 2,5 juta. Biaya tersebut belum termasuk biaya lain-lain seperti pemasangan rumpon di tengah laut, dan biaya operasional harian. Rumpon masih potensial di daerah Wakatobi, karena pada waktu musim banyak ikan (Desember-Mei) mereka dapat menangkap ikan sebesar 500 – 700 kg/malam, sementara pada waktu musim tidak banyak ikan (Juni-Nopember) mereka dapat menangkap 100-150 kg ikan per malam.

Kasus Kabupaten Wakatobi 105

Page 123: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Tabel 3.14. Distribusi Kepemilikan Alat dan Sarana Melaut di Desa Lokasi Studi

Menurut Sarana/ Alat Penangkapan Ikan dan Desa/Kelurahan, Tahun 2006

Desa/Kelurahan

Mola Selatan Waha Wandoka Jumlah No. Jenis asset

Produksi (a) (b) (a) (b) (a) (b) (a) (b)

1. Perahu dalam 31,4 23 6,7 2 0,0 0 16,0 25 2. Perahu temple 8,6 6 0,0 0 6,0 4 6,0 10

3. Perahu tanpa motor 71,4

52 60,0

18 28,0

14 54,7 84

4. Keramba 7,1 6 0,0 0 2,0 1 4,0 7 5. Bagan 0,0 0 0,0 0 2,0 3 0,7 3 6. Bubu 1,4 6 0,0 0 2,0 1 4,7 7 7. Jaring 35,7 161 50,0 38 4,0 9 28,0 208 9. Pancing 32,9 546 10,0 21 34,0 57 28,7 624

Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, 2006 Keterangan : a . Persentase penduduk yang memiliki aset

b. Jumlah sarana/alat tangkap yang dimiliki Seperti di tingkat Kabupaten Wakatobi, jenis sarana penangkapan terbanyak terdapat di Desa Mola Selatan, Waha dan Kelurahan Wandoka adalah perahu tanpa motor yang jumlahnya mencapai 2 kali lebih besar dibanding perahu mesin dalam maupun tempel (tabel 3.14.). Hal ini disebabkan harga perahu tanpa motor relatif murah (kurang dari separuh harga perahu mesin). Kepemilikan alat mempengaruhi kegiatan kenelayanan dimana sebagian besar nelayan merupakan nelayan tradisional yang sangat dipengaruhi oleh musim. Pada waktu musim gelombang kuat sebagian besar nelayan tidak melaut karena takut ombak besar. Areal penangkapan mereka sebenarnya tidak berbeda dengan nelayan yang menggunakan perahu motor, tetapi keamanan dan kontinuitas nelayan yang menggunakan perahu tanpa motor lebih rendah dibandingkan dengan nelayan yang menggunakan perahu motor. Keramba digunakan oleh nelayan untuk membudidayakan ikan yang dapat dilakukan baik di darat maupun di laut. Keramba biasanya digunakan untuk : (1) membesarkan ikan hasil tangkapan yang masih kecil, sehingga memiliki nilai tambah bagi nelayan, (2) membudidayakan ikan-ikan tertentu yang memiliki nilai ekonomi tinggi, dan (3) menampung ikan hasil tangkapan yang sudah siap jual, tetapi belum diambil oleh pembeli sehingga ikan tetap segar. Keramba dimiliki oleh sebagian nelayan di Mola Selatan

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 106

Page 124: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

dan Wandoka, tetapi belum ada di daerah Waha. Budidaya ikan dengan keramba sebenarnya cukup menguntungkan nelayan, tetapi karena pembuatan keramba memerlukan biaya cukup tinggi, maka belum banyak nelayan yang memilikinya. Salah satu nelayan keramba menyatakan bahwa biaya panen ikan di keramba biasa dilakukan enam bulan sekali, dengan biaya pemeliharaan ikan selama waktu tersebut mencapai Rp 3,6 juta. Bagan/rumpon merupakan jenis alat tangkap dengan produktivitas yang relatif tinggi, tetapi belum banyak dimiliki oleh nelayan karena biaya pembuatannya cukup besar. Salah satu nelayan rumpon menyatakan bahwa biaya pembuatan rumpon mencapai Rp 7,5 juta; belum ditambah dengan biaya mesin kurang lebih Rp 4 juta, dan biaya pembuatan bodi (Rp 2,5 juta). Biasanya rumpon dipasang di tengah laut dengan kedalaman 220 m, dengan jarak antar rumpont lebih dari 100 m. Jenis ikan yang ditangkap dengan rumpon meliputi momar, tulai/tongkol kecil, dan cakalang kecil. Rumpon mulai dikenal oleh nelayan setempat sejak tahun 1983, dan saat ini di Desa Wandoka telah terdapat kruang lebih 84 rumpon. Penangkapan ikan dengan alat ini biasa dilakukan pada jam 17.00 – 6.00, dengan jumlah tangkapan mencapai 550 kg/sekali tangkap. Pancing dan jaring merupakan alat tangkap yang paling banyak dimiliki penduduk di ketiga desa/kelurahan lokasi studi, artinya cukup banyak penduduk yang menggunakan alat tangkap ini. Pancing biasa digunakan untuk menangkap ikan tuna, sunu dan cakalang. Satu keluarga bisa memiliki pancing lebih dari 50 buah karena harga pancing relatif murah. Jaring biasa digunakan untuk menangkap ikan dasar (ikan yang berada di karang). Jumlah kepemilikan jaring dalam satu keluarga relatif lebih rendah dibandingkan dengan pancing, karena kebutuhan jaring dalam sekali melaut lebih kecil dibandingkan pancing. Dari tiga desa/kelurahan penelitian terungkap bahwa kepemilikan sarana/alat penangkapan ikan di Desa Mola Selatan lebih menonjol dibanding dua desa/kelurahan lain. Keadaan ini berkaitan erat dengan kegiatan kenelayanan merupakan satu-satunya sumber mata pencaharian di Desa Mola Selatan. Hampir seluruh penduduk di desa ini bekerja sebagai nelayan, dan sisanya di sektor perdagangan dan jasa.

• Produksi Pertanian

Perbedaan kepemilikan aset selain sarana/alat penangkapan ikan adalah kepemilikan lahan pertanian. Aset lahan ini terdapat di Desa Waha dan Kelurahan Wandoka, sedangkan di Mola Selatan aset lahan tidak dimiliki,

Kasus Kabupaten Wakatobi 107

Page 125: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

karena lahan darat didesa ini sangat terbatas yang merupakan hasil reklamasi pantai memanfaatkan batu karang. Di Kelurahan Wandoka, lebih dari separuh penduduknya memiliki lahan pertanian, sedangkan di Waha 33,3 persen, jumlah penduduk yang memiliki lahan lebih sedikit, hanya sekitar sepertiganya. Penduduk di Desa Waha dan Kelurahan Wandoka memanfaatkan lahannya untuk menanam tanaman pangan, khususnya ubi kayu dan tanaman perkebunan, seperti: kelapa dan jambu mete. Namum lahan pertanian di daerah ini kurang subur, karena sebagian tanah di daerah ini berupa batu karang yang dilapisi tanah di bagian atas, karena itu beberapa jenis tanaman masih dapat tumbuh.

Tabel 3.15. Distribusi Kepemilikan Aset Lain di Desa Lokasi Studi

Menurut Jenis Aset dan Desa/Kelurahan

Desa/Kelurahan No Jenis Aset Mola

Selatan Waha Wandoka Jumlah

1 Lahan pangan & perkebunan 0,0 33,3 54,0 24,7

2 Rumah 81,4 90,0 100,0 89,3 3 TV 41,4 56,7 44,0 44,7 4 VCD Player 18,6 23,3 18,0 19,3 5 Parabola 0,0 3,3 0,0 0,7 6 Perhiasan 41,4 20,0 34,0 34,7 7 Kendaraan bermotor 4,3 23,3 30,0 16,7 8 Ternak 1,4 26,7 16,0 11,3

Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, 2006 Keterangan : a . Jumlah penduduk yang memiliki

b. Jumlah alat tangkap yang dimiliki

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 108

Page 126: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Aset Non-Produksi Aset non produksi yang penting di ke tiga lokasi penelitian adalah rumah. Kepemilikan rumah penduduk bervariasi antar desa desa/kelurahan lokasi studi. Dari tabel 3.15 terungkap bahwa persentase pemilikan rumah terendah terdapat pada Desa Mola Selatan, meskipun sebagian besar penduduknya (81 persen) memiliki rumah. Sebagian kecil penduduk yang tidak punya rumah umumnya adalah pasangan usia muda, atau pasangan yang sudah lama tetapi sengaja hidup menjadi satu atap rumah dengan orang tuanya. Pasangan usia muda banyak yang belum mempunyai rumah karena pembuatan rumah memerlukan biaya yang cukup tinggi, karena lahan untuk permukiman di Desa Mola Selatan sangat terbatas dan telah dipenuhi oleh rumah-rumah. Oleh sebab itu, sulit bagi penduduk untuk mendapatkan lahan baru yang akan digunakan untuk pendirian rumah. Kondisi wilayah permukiman di Desa Mola Selatan, yang awalnya merupa laut yang dengan sengaja ditimbun menjadi daerah permukiman, berimplikasi terhadap jenis alat transportasi bagi warga. Sebagian besar penduduk Mola Selatan menggunakan perahu tanpa motor/sampan sebagai sarana transportasi ke tempat-tempat lainnya. Aktivitas keluar rumah biasa dilakukan pada waktu air laut pasang. Oleh sebab itu hanya 4,3 persen warga yang mempunyai sepeda motor, jauh lebih rendah dari kepemilikan sepeda motor di dua lokasi lainnya, dimana sekitar 23,3 persen penduduk di Desa Waha dan 30 persen di Kelurahan Wandoka mempunyai sepeda motor. Di ke dua daerah tersebut trasportasi dari dan ke penduduk lain di lakukan melalui jalan darat. Penduduk Wandoka yang mempunyai sepeda motor lebih banyak dibandingkan dengan penduduk Desa Waha, mungkin berkaitan dengan aksesibilitas dan kebutuhan penduduk Wandoka yang lebih dekat dengan kehidupan masyarakat kota, mengingat lokasinya berbatasan dengan Kota Wanci, ibukota Kabupaten Wakatobi. Sebaliknya dengan pemilikan sepeda motor, hampir separuh penduduk (41 persen) di Desa Mola Selatan mempunyai perhiasan. Persentase ini jauh lebih tinggi, dua kali lebih besar dari persentase penduduk yang memiliki perhiasan di Desa Waha. Perhiasan merupakan alternatif untuk menyimpan uang bagi penduduk di ketiga lokasi penelitian, karena dapat dijual sewaktu-waktu apabila dibutuhkan.

Kasus Kabupaten Wakatobi 109

Page 127: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Kondisi Tempat Tinggal Data dari sensus pertanian tahun 2004 menunjukkan 100 persen dari rumah yang dihuni nelayan berstatus sebagai rumah sendiri. Kondisi tempat tinggal dapat dilihat dari sumber penerangan, bahan bakar yang digunakan, dan kondisi rumah, seperti: jenis atap, dinding dan luas lantai terluas. Sumber Penerangan Sumber penerangan yang utama adalah listrik, diindikasikan dari sebagian besar (58,55 persen) atau sebanyak 7.663 rumah tangga nelayan menggunakan sumber penerangan dari listrik PLN. Dengan demikian lisrik PLN telah menjangkau sebagian besar rumah penduduk di Wakatobi. Akan tetapi rumah tangga yang menggunakan pelita/sentir/obor sebagai sumber penerangan ternyata juga masih cukup tinggi (41,45 persen). Pemenuhan kebutuhan listrik tidak merata antar wilayah kecamatan yaitu 50 persen di Wangi-wangi, 68,44 persen untuk Tomia, 32,52 persen untuk Binongko dan 56,38 persen untuk Kaledupa. Pemenuhan listrik di Tomia termasuk yang paling besar karena sumber listrik di daerah ini tidak hanya berasal dari PLN, sehingga desa-desa yang belum terjangkau PLN telah menggunakan tenaga listrik non PLN.

Tabel 3.16. Distribusi Penduduk Menurut Kondisi Penerangan, Bahan Bakar dan Perumahan di Kabupaten

Wakatobi, Tahun 2004

No Keterangan Jumlah Persentase Sumber Penerangan

1. Listrik PLN 4.487 58,55 2. Pelita/Sentir/Obor 3.176 41,45 Jumlah 7.663 100,00 Bahan bakar

1 Minyak tanah 1.140 14,88 2 Kayu 6.523 85,12 Jumlah 7.663 100,00 Atap Bangunan

1 Seng 3.412 44,53 2 Asbes 1.759 22,95 3 Ijuk/Rumbia 2.492 32,52 Jumlah 7.663 100,00 Dinding

1 Tembok 2.492 32,52 2 Bambu 5.171 67,48 Jumlah 7.663 100,00 Lantai terluas

1. Bukan Tanah 6.246 81,51 2. Tanah 1.417 18,49 Jumlah 7.663 100,00

Sumber : BPS, Sensus Pertanian, 2004

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 110

Page 128: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Sumber Bahan Bakar Sebagian besar penduduk (85,12 persen) menggunakan bahan bakar kayu untuk kebutuhan memasak dan sisanya menggunakan minyak tanah. Kayu menjadi pilihan sebagian besar penduduk karena harganya relatif murah dan sebagian besar penduduk dapat mengambil sendiri di kebun tanpa harus membayar. Penduduk yang menggunakan minyak tanah umumnya tinggal di daerah perkotaan, sehingga mereka harus membeli bahan bakar untuk memasak, baik untuk kebutuhan konsumsi maupun untuk dijual. Di Wangi-Wangi misalnya pada tahun 2003, terdapat 4,8 persen penduduk yang menggunakan minyak dan listrik sebagai bahan bakar, sedangkan sisanya menggunakan kayu. Sebagian besar penduduk yang menggunakan minyak dan listrik untuk memasak ini tinggal di kota kabupaten. Kondisi Bangunan Rumah Kondisi bangunan rumah, seperti jenis atap dan dinding yang digunakan serta luas lantai dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Atap bangunan sebagian besar berupa seng/asbes (67,48 persen) dan sisanya berupa daun rumbia/ijuk yang dianyam. Seng/asbes sebenarnya merupakan penghantar panas yang baik, sehingga pada waktu siang hari rumah yang menggunakan bahan ini terasa panas. Tetapi bahan ini dapat tahan lama dan tidak mudah terbakar, sehingga banyak dipilih oleh masyarakat. Genteng yang biasa digunakan di daerah lain, tidak banyak digunakan di Wakatobi, karena di daerah ini memang tidak ada pabrik pembuatan genteng. Faktor tanah yang tidak cocok untuk pembuatan genteng tampaknya menjadi faktor utama. Daun ijuk/rumbia sebenarnya merupakan bahan yang dapat menyerap panas, sehingga meskipun tengah hari, suhu udara rumah yang menggunakan bahan ini biasanya terasa sejuk. Tetapi sebagian besar masyarakat tidak memilih bahan ini karena kurang awet dan praktis. Selain atap, jenis dinding juga menjadi bagian penting untuk mengetahui kondisi bangunan rumah. Sebagian besar dinding rumah penduduk berupa bambu (67,48 persen) dan selebihnya berupa tembok. Bambu merupakan bahan yang paling banyak dipilih oleh penduduk mengingat biaya pembuatan dinding dengan material ini lebih murah dibandingkan dengan dinding dari semen. Bambu dapat tumbuh di daerah Wakatobi, sehingga keberadaan bahan ini mudah dicari serta mempunyai harga yang relatif murah. Dinding dari semen memang menjadi pilihan bagi sebagian masyarakat tetapi biaya pembuatannya cukup mahal sehingga sebagaian besar masyarakat tidak mampu membuatnya. Pasir yang ada di daerah

Kasus Kabupaten Wakatobi 111

Page 129: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Wakatobi merupakan pasir laut dengan kandungan garam yang tinggi. Batako memang dapat dibuat dari material ini, tetapi perbandingan antara semen dengan pasir adalah 1 : 2, sehingga biayanya mahal. Demikian pula pada waktu pembuatan tembok, perbandingannya mencapai 1 : 2 sehingga biaya pembuatan rumah tembok dirasa cukup tinggi. Kesadaran penduduk terhadap pentingnya pengerasan lantai rumah tampaknya sudah cukup tinggi, terbukti lebih dari 80 persen penduduk telah mempunyai lantai rumah yang bukan tanah. Persentase rumah yang berlantai tanah lebih besar menurut kecamatan dalam angka. Di Kecamatan Wangi-Wangi misalnya terdapat 35 persen penduduk yang berlantai tanah, sedangkan 17,7 persen berlantai keramik dan sisanya berlantai semen. Persentase penduduk yang rumahnya berlantai tanah lebih besar terdapat di Tomia dimana 40 persen rumah penduduk berlantai tanah, 28 persen berlantai tegel, dan 32 persen berlantai semen/plester. Penduduk yang lantai rumahnya berupa tanah rata-rata berasal dari penduduk berkemampuan ekonomi rendah.

Sumber Air Minum dan WC Air bersih merupakan salah satu kebutuhan mendasar bagi penduduk, karena sangat berhubungan dengan kondisi kesehatan masyarakat. Sebagian wilayah Wakatobi merupakan daerah yang sumber airnya berupa air payau (rasa asin), sehingga air tawar sulit didapatkan di daerah-daerah tersebut. Oleh sebab itu, pemenuhan kebutuhan air bersih dilakukan dengan mengalirkan air bersih dari sumbernya ke permukiman pendudukan dengan ledeng/saluran air maupun bak penampungan air hujan. Sebagian besar penduduk di Wakatobi (85,12 persen) ternyata masih menggunakan air hujan sebagai sumber air minum. Data yang berbeda dapat dilihat dari kecamatan dalam angka tahun 2003, di Kecamatan Kaledupa 100 persen rumah tangga menggunakan sumur sebagai sumber air bersih, sementara di Kecamatan Wangi-Wangi sebagian besar warga menggunakan sumur dan ledeng. Meskipun demikian pada waktu survei ini dilakukan ledeng di Wangi-Wangi sebagian besar sudah tidak berfungsi, karena mengalami kerusakan (tabel 3.17). Kondisi Lingkungan Sebagian besar penduduk di Wakatobi (54,8 persen) tidak mempunyai fasilitas buang air besar baik milik sendiri maupun milik bersama. Penduduk

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 112

Page 130: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

di daerah pantai lebih suka membuang air besar di pantai atau laut karena lebih praktis dan murah, meskipun sebenarnya tidak baik untuk kebersihan lingkungan. Perilaku masyarakat ini perlu mendapat perhatian dari pemerintah, mengingat sektor unggulan di Wakatobi adalah Pariwisata yang erat kaitannya dengan kesehatan lingkungan. Sektor pariwisata tidak akan menarik para wisatawan jika kebersihan lingkungan tidak diperharikan.

Tabel 3.17.

Jumlah Rumah Tangga Di Wakatobi Menurut Sumber Air Minum dan Fasilitas Buang Air Besar Yang Utama

No. Keterangan Jumlah Persentase

Jenis Sumber Air Minum 1 Sumur 1.140 14.88 2 Air Hujan 6.523 85.12 Jumlah 7.663 100.00

Jenis Fasilitas Buang Air Besar 1. Sendiri 2.557 33.37 2. Bersama 904 11.80 4. Tidak Ada 4.202 54.83 7.663 100.0

Sumber : BPS, Sensus pertanian, 2004 Kesulitan pemenuhan air bersih juga terjadi di lokasi survei, terutama Desa Mola Selatan yang terletak di atas air laut yang telah diubah menjadi daratan, sehingga air di desa ini merupakan air laut. Lima tahun yang lalu kebutuhan air bersih dipenuhi oleh ledeng yang mengalirkan air dari Nomana ke desa setempat. Akan tetapi dua tahun yang lalu air ledeng berhenti karena terjadi kerusakan dan sampai saat ini belum ada perbaikan. Pada saat ini penduduk harus membeli air bersih untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Dalam 1 minggu umumnya mereka menghabiskan 2 jerigen air bersih untuk minum dan 70 jerigen untuk cuci/mandi. Harga air bersih untuk minum adalah Rp 1000,-/jerigen, sedangkan untuk mandi/cuci Rp 200/jerigen. Oleh sebab itu pengeluaran penduduk untuk pemenuhan kebutuhan air besih di desa ini cukup tinggi.

Kasus Kabupaten Wakatobi 113

Page 131: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

BAB IV PENDAPATAN

Pendapatan menjadi bagian yang sangat penting dalam penelitian kondisi sosial ekonomi masyarakat di lokasi COREMAP. Pendapatan merupakan salah satu indikator untuk mengukur tingkat keberhasilan kegiatan Coremap, khususnya dari aspek sosial ekonomi. Dalam penelitian ini pendapatan penduduk dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu pendapatan di tingkat kabupaten/kota dan pendapatan rumah tangga di tingkat desa/kelurahan yang termasuk lokasi Coremap. Pendapatan di tingkat kabupaten/kota difokuskan pada PDRB daerah yang diperoleh dari data sekunder Biro Pusat Statistik (BPS). Sedangkan pendapatan rumah tangga di tingkat desa/kelurahan diperoleh melalui survei. 4.1. Pendapatan di Tingkat Kabupaten/Kota

Uraian pada bagian ini difokuskan pada pendapatan tingkat kabupaten berdasar Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan pendapatan per kapita. PDRB Kabupaten Wakatobi dapat digunakan sebagai indikator untuk mengetahui perkembangan pembangunan di Kabupaten Wakatobi secara makro. 4.1.1. PDRB Kabupaten Wakatobi

Pada saat penelitian ini dilakukan data tentang Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) terbaru yang ada di Kabupaten Wakatobi masih terbatas pada PDRB tahun 2002-2003, yang digunakan sebagai dasar penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kabupaten Wakatobi tahun 2007-2011. Oleh sebab itu, uraian tentang PDRB Kabupaten Wakatobi dalam tulisan ini didasarkan pada data tersebut. Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Wakatobi pada tahun 2003 mencapai 7,32 persen yang secara riil dapat dilihat dari besaran PDRB atas dasar harga konstan (41,8 Milyar pada tahun 2002 tumbuh menjadi 44,8 Milyar pada tahun 2003).

Perkembangan PDRB daerah dapat dilihat dari nilai PDRB berdasar harga konstan (tabel 4.1). Berdasarkan laporan BPS Kabupaten Wakatobi tahun 2003 bahwa total PDRB Kabupaten Wakatobi atas dasar harga berlaku (ADHB) mencapai Rp. 179.8 Milyar, mengalami peningkatan dibanding tahun 2002 sebesar Rp 160,5 Milyar.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 114

Page 132: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Struktur PDRB Kabupaten Wakatobi pada tahun 2002 dan 2003 tidak mengalami pergeseran yang berarti, artinya sumbangan masing-masing sektor terhadap PDRB relatif stabil. Sektor pertanian merupakan sektor yang memberikan kontribusi terbesar terhadap PDRB kabupaten yaitu 36,5 persen pada tahun 2002 dan 37,2 persen pada tahun 2003. Sektor lain yang memberikan kontribusi cukup besar adalah perdagangan, hotel, dan restoran (20,16 persen), jasa-jasa (14,88 persen), dan konstruksi/bangunan (8,66 persen). Sektor pertambangan dan penggalian, angkutan dan komunikasi, serta sektor listrik, gas, dan air minum memberikan kontribusi yang rendah yaitu di bawah 4 persen.

Tabel 4.1.

Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Wakatobi menurut Lapangan Pekerjaan atas Dasar Harga Berlaku pada tahun 2002-2003 (Jutaan Rp)

2002 2003

No Lapangan Usaha Jumlah (x1000) Persentase Jumlah

(x1000) Persentse

1. Pertanian 58.648,71 36,55 66.797,39 37,16 2. Pertambangan dan Penggalian 6.678,02 4,16 6.914,06 3,85 3. Industri Pengolahan 7.581,49 4,72 9.006,26 5,01 4. Listrik, Gas dan Air Minum 2.079,70 1,30 2.454,44 1,37

5. Konstruksi/Bangunan 13.986,51 8,72 15.565,52 8,66 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 31.859,43 19,85 36.250,69 20,16 7. Angkutan dan Komunikasi 3.895,11 2,43 4.592,60 2,55 8. Keuangan, Persewaan dan Jasa

Perusahaan 10.727,54 6,68 11.434,00 6,36

9. Jasa-jasa 25.017,16 15,59 26.759,08 14,88

Total 160.473,16 100,00 179.774,04 100,00

Sumber : RPJM Kabupaten Wakatobi, tahun 2007-2011

Sumbangan sektor pertanian yang begitu besar terhadap PDRB menunjukkan bahwa sektor pertanian menjadi tumpuan bagi sebagian besar masyarakat Wakatobi. Hal ini berkaitan dengan besarnya penduduk dengan mata pencaharian di sektor pertanian yang mencapai 70,04 persen pada tahun 2000. Penduduk yang bekerja di sektor pertanian tersebut sebagian besar bekerja di tanaman perkebunan (48,19 persen) dan perikanan (17,68 persen), sisanya berada di sub sektor pertanian tanaman pangan, peternakan dan pertanian lainnya. Meskipun wilayah Wakatobi 97 persen berupa lautan, tetapi kontribusi sumber daya laut jauh lebih rendah dari sumber daya daratan (perkebunan,

Kasus Kabupaten Wakatobi 115

Page 133: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

pertanian tanaman pangan, dan peternakan) dalam menyerap tenaga kerja. Data BPS menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk di Kecamatan Wangi-Wangi, Tomia dan Binongko bermata pencaharian di sub-sektor perkebunan, dengan komoditi utama berupa jambu mete dan kelapa. Satu kecamatan yang sebagian besar penduduknya bekerja di sub-sektor perikanan adalah Kecamatan Kaledupa (47 persen penduduk). Melihat karakteristik Kabupaten Wakatobi sebagai wilayah pulau-pulau kecil yang sebagian besar wilayahnya didominasi oleh lautan, sebenarnya sektor kelautan masih mempunyai potensi lebih besar untuk menambah pendapatan di daerah. Oleh karena itu program pembangunan ke depan yang dimuat dalam RPJM Kabupaten Wakatobi, kebijakan kabupaten diarahkan pada pembangunan sub sektor perikanan dan kelautan yang didukung oleh sub-sektor jasa kelautan. Dengan demikian Leading Sector yang diharapkan menjadi Prime Mover pembangunan Kabupaten Wakatobi adalah Sumber Daya Perikanan dan Jasa Kelautan. Pertanian tanaman pangan memberikan kontribusi lebih kecil dari perkebunan dan perikanan, karena hanya 3 persen penduduk yang bekerja di sub-sektor ini. Pertanian tanaman pangan kurang dapat berkembang, mengingat daerah Wakatobi sebagian besar tanahnya berbatu dan tidak cocok untuk pertumbuhan tanaman pangan. Jenis tanaman yang dapat berkembang di daerah ini adalah jagung dan ubi kayu. Sumbangan sub- sektor peternakan diduga lebih kecil lagi dibandingkan pertanian tanaman pangan, karena penduduk yang bekerja di sub-sektor ini hanya 0,1 persen. Jenis ternak yang biasa dipelihara oleh warga adalah sapi dan kambing. Populasi ternak di Wangi-Wangi pada tahun 2003 mencapai 863 ekor kambing dan 111 ekor sapi. Pertambangan dan penggalian memberikan kontribusi terhadap PDRB Kabupaten Wakatobi sebesar 3,85 persen. Kecilnya kontribusi ini disebabkan minimnya sumber daya yang ada di daerah setempat. Selama ini sumber daya yang telah digali dan memberikan sumbangan terhadap PDRB kabupaten terbatas pada penggalian batu dan pasir. Sebagian warga menjadikan pekerjaan ini sebagai pekerjaan pokok meskipun hasil yang didapatkan relatif sedikit. Minimnya sumber daya bahan tambang dan galian di Wakatobi menuntut daerah ini memanfaatkan potensi yang ada yaitu sumber daya laut (perikanan, dan pariwisata). Sektor Industri pengolahan memberikan kontribusi terhadap PDRB Kabupaten Wakatobi sebesar 5, 01 persen. Industri yang ada di Wakatobi

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 116

Page 134: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

saat ini masih terbatas pada industri kecil dan industri kerajinan rumah tangga. Di Kecamatan Wangi-wangi pada tahun 2003 terdapat 91 industri kecil dan 611 industri kerajinan rumah tangga, sementara di Kecamatan Tomia terdapat 101 industri kerajinan rumah tangga. Industri rumah tangga di Tomia sebagian besar terdiri dari kerajinan bambu/kayu/rotan dan anyaman/gerabah/keramik. Di Kaledupa terdapat 569 unit industri yang keseluruhannya merupakan industri rumah tangga. Industri rumah tangga di semua kecamatan ini, masing-masing hanya menyerap 1 tenaga kerja, artinya sebagian besar dikerjakan sendiri tanpa bantuan orang lain. Industri rumah tangga di Binongko terdiri dari 346 pandai besi dan 257 industri kerajinan tikar. Banyaknya pandai besi di daerah ini menyebabkan Wakatobi juga terkenal sebagai Kepulauan Tukang besi. Sektor listrik, gas dan air minum memberikan kontibusi terhadap PDRB Kabupaten Wakatobi terkecil dibanding dengan sektor yang lain (1,37 persen). Belum semua penduduk di Wakatobi dapat mengakses listrik untuk kebutuhan penerangan dan kebutuhan lainnya. Hal ini dapat dilihat dari data pemenuhan kebutuhan listrik yang tidak merata antar wilayah kecamatan, yaitu: 50 persen di Wangi-Wangi, 68,44 persen untuk Tomia, 32,52 persen untuk Binongko dan 56,38 persen di Kaledupa. Pemenuhan listrik di Tomia termasuk yang paling besar karena di daerah ini telah menggunakan tenaga listrik non PLN, sedangkan kecamatan lain energi listrik hanya dipenuhi oleh PLN. Sektor konstruksi/bangunan memberikan kontribusi terhadap PDRB Kabupaten Wakatobi sebesar 8,66 persen. Kontribusi sektor ini terutama didukung oleh proyek-proyek fisik seperti pembangunan jalan, jembatan, rumah sakit, dan bandara yang dilakukan pemerintah. Investasi swasta melalui proyek-proyek pembangunan perumahan maupun bangunan fisik lain juga menjadi sumber pendapatan dari sektor bangunan/konstruksi. Masih rendahnya investasi swasta untuk pembangunan fisik di daerah ini menyebabkan sumbangan terhadap PDRB kabupaten relatif rendah. Sektor perdagangan, hotel dan restoran memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap PDRB Kabupaten Wakatobi (20,16 persen). Hotel dan restoran merupakan sektor yang sangat berhubungan dengan potensi pariwisata wilayah setempat. Banyaknya wisatawan baik asing maupun dalam negeri secara langsung mempengaruhi tingkat hunian hotel dan perkembangan restoran setempat. Sejak berdiri menjadi kabupaten sendiri di Wakatobi khususnya Pulau Wangi-Wangi telah berdiri beberapa hotel yang siap menampung pengunjung.

Kasus Kabupaten Wakatobi 117

Page 135: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Angkutan dan komunikasi memberikan kontribusi terhadap PDRB Kabupaten Wakatobi sebesar 2,55 persen dan pada tahun 2002-2003 mengalami perkembangan cukup tinggi (17,91 persen). Kontribusi angkutan lebih menonjol dibanding dengan komunikasi, karena selama ini sarana komunikasi yang digunakan di Wakatobi masih terbatas pada wartel, dan handphone dengan jumlah pemakai yang sedikit. Angkutan di Wakatobi sebagian besar berupa kapal sebagai sarana transportasi antar kecamatan maupun kabupaten. Hal ini berhubungan dengan wilayah Wakatobi yang sebagian besar berupa lautan, sehingga transportasi ke daerah lain hanya dapat dilakukan melalui laut ataupun udara. Alat transportasi laut menjadi semakin vital, karena juga digunakan sebagai sarana produksi penangkapan ikan di laut oleh para nelayan. Karena perannya sangat penting bagi masyarakat, maka jumlah armada perahu laut di daerah ni juga cukup banyak. Sebagai gambaran pada tahun 2003 di Kecamatan Wangi-Wangi terdapat 371 unit perahu pakai motor, terdiri dari 29 lambo dan 342 sampan. Sarana transportasi laut yang dimiliki Kabupaten Wakatobi 3 pelabuhan yang terletak di Pulau Wangi-Wangi terdiri dari: 1 dermaga feri di Kota Wanci, 1 dermaga besar dan 1 pelabuhan rakyat. Di samping itu terdapat 1 pelabuhan antar pulau tempat penyeberangan tambatan speed/perahu. Sedangkan di Pulau Tomia terdapat pelabuhan rakyat dan landasan pesawat yang dikelola oleh pihak swasta. Selain transportasi laut, sarana transportasi darat juga memberikan kontribusi yang cukup besar bagi PDRB kabupaten. Transportasi darat digunakan sebagai sarana perhubungan antar desa dalam satu pulau. Di Kecamatan Tomia pada tahun 2003 terdapat 18 Mikrolet dan 596 sepeda motor yang menjadi sarana transportasi masyarakat setempat dan berpotensi sebagai sumber pendapatan kabupaten. Kendaraan bermotor di Binongko hanya berupa sepeda motor yaitu 289 unit yang menunjukkan sektor transportasi darat di daerah ini kurang berkembang dibandingkan kecamatan yang lain. Alat transportasi bermotor di Kaledupa berupa angkutan umum (mikrolet) sebanyak 6 unit dan sepeda motor sebanyak 263 unit. Alat transportasi darat paling banyak terdapat di Kecamatan Wangi-Wangi selaku kecamatan yang dekat dengan pusat pemerintahan yaitu 99 unit mikrolet, 3 truk, 4 sedan/jeep, 898 sepeda motor, dan 28 pick up. Variasi dan jumlah alat transportasi yang lebih banyak di Wangi-Wangi dapat menjadi indikator kemajuan daerah ini dibanding dengan kecamatan yang lain.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 118

Page 136: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan memberikan sumbangan sebesar 6,36 persen terhadap PDRB Kabupaten Wakatobi. Sektor keuangan yang terdiri dari lembaga keuangan dan non keuangan belum tumbuh dengan baik di daerah ini. Pada tahun 2003, belum ada bank yang beroperasi di Kabupaten Wakatobi, sehingga simpan pinjam biasanya dilakukan melalui lembaga non bank (KUD/koperasi). Sewa bangunan dan jasa perusahaan di daerah ini juga relatif belum berkembang, mengingat sektor ini sangat berhubungan dengan sektor yang lain seperti perdagangan dan komunikasi. Perkembangan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan pada tahun 2003 masih relatif kecil (6,59 pesen). Sektor jasa memberikan sumbangan 14,88 persen terhadap PDRB kabupaten. Sektor ini secara umum terdiri dari jasa pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah dan jasa swasta (sosial kemasyarakatan, hiburan dan rekrerasi, serta perorangan dan rumah tangga). Jasa pemerintahan di Wakatobi belum dapat berjalan secara normal, mengingat berdirinya daerah ini sebagai kabupaten tersendiri belum lama. Layanan pemerintah belum dapat berjalan secara optimal, karena sarana perkantoran belum memadai dan masih banyak jabatan belum terisi.

4.1.2. Pendapatan per Kapita Dari data BPS diketahui bahwa pendapatan perkapita masyarakat Kabupaten Wakatobi cenderung mengalami peningkatan dari awal terbentuknya kabupaten pada tahun 2003 sampai penelitian ini dilakukan pada akhir tahun 2006. Pada tahun 2003 pendapatan per kapita sebesar Rp. 2.026.993,35 per tahun atau Rp 168.916 per bulan. Pendapatan ini meningkat sebesar 10,54 persen dari tahun 2002. Berdasarkan data terakhir yang masih dalam proses publikasi, pada tahun 2005 pendapatan per kapita penduduk di Wakatobi meningkat lagi cukup signifikan hampir dua kali lipat menjadi Rp 311.759,00 per bulan. Besarnya pendapatan per kapita menggambarkan tingkat kesejahteraan atau sebaliknya tingkat kemiskinan penduduk di Kabupaten Wakatobi. Menurut BPS garis kemiskinan di Propinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) dan Kabupaten Buton pada tahun 2004 dan 2002 6 , pendapatan per kapita penduduk Wakatobi berada di atas garis kemiskinan di Kabupaten Buton maupun Propinsi Sulawesi Tenggara. Berarti, penduduk di kabupaten ini 6 Garis kemiskinan di Sulawesi Tenggara pada tahun 2004 sebesar Rp 111.018 dan pada tahun 2002 sebesar Rp 99.376,- kemudian garis kemiskinan di Buton pada tahun tersebut masing-masing sebesar Rp 103.621,- dan Rp 86.227.

Kasus Kabupaten Wakatobi 119

Page 137: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

tidak termasuk kategori miskin. Tetapi kenyataannya distribusi pendapatan penduduk belum merata. Pendapatan yang tinggi hanya dinikmati oleh sebagian penduduk saja, sedangkan sebagian lagi pendapatannya masih terbatas, sehingga berada di bawah garis kemiskinan. Pada tahun 2003, lebih dari seperlima penduduk (22,43 persen) Buton7 hidup di bawah garis kemiskinan. Sebagian besar (77,55 persen) bekerja di sektor informal khususnya daerah perdesaan. Sebagai daerah yang sebagian besar penduduknya hidup di daerah perdesaan, pekerjaan penduduk di kawasan Wakatobi memiliki ciri yang sama dengan penduduk Buton di mana sebagian besar penduduknya bekerja di sektor informal. Laporan HDI tahun 2004 juga menunjukkan bahwa pada tahun 2002 terdapat 87,3 persen penduduk Buton dan 81,2 pesen penduduk Sultra bekerja di sektor informal. Dalam perspektif Indonesia, Heriawan (2004) menemukan jumlah pekerja sektor informal di perdesaan jauh lebih tinggi dibanding dengan perkotaan. Total pekerja sektor informal tahun 1997 mencapai 47 juta orang, terdiri dari 37 juta berada di perdesaan dan 9,6 juta di perkotaan. Akibat krisis ekonomi, jumlah ini kemudian meningkat secara tajam menjadi 58 juta pada tahun 2002 yang terdiri dari 42,7 juta di perdesaan dan 15,3 juta di perkotaan. Pekerja sektor informal di perdesaan inilah biasanya merupakan pekerja dengan jam kerja panjang, tetapi memiliki pendapatan yang rendah. Pendapatan perkapita penduduk di Wakatobi pada tahun 2005 mencapai Rp 311.759,00 per bulan. Besarnya pendapatan per kapita ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan garis kemiskinan 1$ US per hari, tetapi lebih kecil daripada garis kemiskinan 2$ US per hari8. Batasan garis kemiskinan yang saat ini digunakan oleh Bank Dunia adalah 2$ US per hari, sehingga pendapatan per kapita penduduk Wakatobi lebih rendah dibanding garis kemiskinan tersebut. Dengan mengacu pada garis kemiskinan Bank Dunia maka sebagian besar penduduk di Kabupaten Wakatobi masih hidup di bawah garis kemiskinan. Sebagian orang masih mempermasalahkan batasan garis kemiskinan yang dapat digunakan di Indonesia, akan tetapi batasan tersebut sebenarnya diperlukan sebagai standar posisi Indonesia diantara negara lain di dunia. Hal ini disebabkan pada dasarnya garis kemiskinan yang dibuat pemerintah 7 Penduduk Buton termasuk penduduk Wakatobi, karena pendataan pendapatan dilakukan sebelum pemekaran Kabupaten Wakatobi dari Kabupaten Buton. 8 Dengan asumsi 1$ US = Rp 9100, maka besarnya garis kemiskinan 1$ US dan 2$ US per hari adalah 273. 000,- dan 546.000,- per bulan.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 120

Page 138: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Indonesia sangat rendah, sehingga terkesan jumlah penduduk miskin di Indonesia tinggal sedikit. Garis kemiskinan yang ditetapkan pemerintah Indonesia termasuk yang terendah di seluruh dunia. Menurut catatan Bank Dunia, jumlah penduduk miskin versi pemerintah pada tahun 1987 adalah 30 juta jiwa, namun jika garis kemiskinan dinaikkan 10 persen saja, maka jumlah orang miskin bertambah menjadi 40 juta jiwa. Dalam studinya Ikhsan (1997) menunjukkan jika garis kemiskinan dinaikkan 10 persen, maka jumlah penduduk miskin di Indonesia meningkat menjadi 16 persen dalam tahun 1996.

4.2. Pendapatan di Lokasi Penelitian Pendapatan rumah tangga diperoleh melalui survei terhadap 150 rumah tangga di tiga desa/kelurahan, yaitu: Desa Mola Selatan, Kecamatan Wangi-Wangi Selatan, Desa Waha dan Kelurahan Wandoka, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra). Ke tiga lokasi COREMAP ini mewakili 22 desa/kelurahan di Kecamatan Wangi-Wangi Selatan dan Wangi-Wangi yang terletak di Pulau Wangi-Wangi. Pendapatan rumah tangga adalah pendapatan bersih rumah tangga dalam satu tahun atau satu bulan terakhir. Besarnya pendapatan dihitung berdasarkan selisih antara penghasilan dari hasil produksi dan biaya produksi yang diterima oleh rumah tangga. Pendapatan rumah tangga diperoleh dari semua anggota rumah tangga yang mencakup pendapatan dari pekerjaan pokok dan pekerjaan tambahan. Secara khusus pendapatan rumah tangga dari kegiatan kenelayanan dilihat berdasarkan statistik pendapatan menurut musim serta distribusi rumah tangga menurut besar pendapatan dan musim. 4.2.1. Pendapatan Rumah Tangga (RT) Hasil survei menggambarkan bahwa lebih dari separuh rumah tangga di Desa Mola Selatan, Waha dan Kelurahan Wandoka mempunyai pendapatan kurang dari Rp 500.000 per bulan (lihat tabel 4.2.). Dari ke tiga lokasi COREMAP yang termasuk dalam kategori pendapatan ini, distribusi rumah tangga paling tinggi ditemukan di Kelurahan Wandoka (68 persen) dan yang paling rendah di Desa Mola Selatan (44 persen). Kelurahan Wandoka letaknya berbatasan dengan Kota Wanci yang merupakan ibukota Kabupaten Wakatobi. Seperti pada daerah-daerah pinggiran kota, penduduk Wandoka berada pada transisi antara desa dan kota, dimana kegiatan pertanian sudah mulai menurun, namun kegiatan yang banyak dilakukan

Kasus Kabupaten Wakatobi 121

Page 139: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

orang kota belum banyak berkembang. Sedangkan kegiatan perikanan masih dilakukan secara tradisional dengan teknologi yang sederhana. Berbeda dengan Desa Mola Selatan, meskipun berbatasan dengan Kota Wanci, tetapi kebanyakan penduduknya masih menggantungkan kehidupannya pada perikanan tangkap, ikan-ikan karang dan laut dalam, dengan armada tangkap yang lebih baik jika dibandingkan dengan di Wandoka. Distribusi penduduk yang berpendapatan kurang dari Rp 500.000 per bulan juga bervariasi antar daerah. Distribusi penduduk tertinggi terdapat di Kelurahan Wandoka, dimana sebagian besar penduduknya (68 persen) mempunyai mempunyai pendapatan pada kategori ini. Sebaliknya, distribusi penduduk terkecil ditemukan di Desa Mola Selatan, dimana hampir separuh penduduknya (44 persen) berpendapatan kurang dari Rp 500.000. Sedangkan di Desa Waha berada diantara dua desa/kelurahan lain, sebagian penduduknya (53 persen) termasuk dalam kelompok pendapatan ini (lihat lampiran 7).

Tabel 4.2.

Distribusi Rumah Tangga Terpilih Menurut Besar Pendapatan, Desa Mola Selatan, Waha dan Kelurahan Wandoka, Kabupaten Wakatobi, 2006

(Persen)

No Kategori Pendapatan Desa Mola

Selatan

Desa Waha

Kelurahan Wandoka

Total

1. <Rp 500.000 44 53 68 54 2 Rp 500.000 - Rp 999.000 44 23 24 33 3 Rp 1.000.000 – Rp 1.499.000 4 17 2 6 4 Rp 1.500.000 – Rp 1.999.000 6 0 2 3 5 Rp 2.000.000 – Rp 2.499.000 2 0 4 2 6 Rp 2.500.000 – Rp 2.999.000 0 3 0 1 7 Rp 3.000.000 – Rp 3.499.000 0 3 0 1

Jumlah 100 100 100 100 N 70 30 50 150

Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, 2006 Besarnya pendapatan rumah tangga yang termasuk dalam kelompok berpendapatan kurang dari Rp 500.000 ini bervariasi dengan distribusi rumah tangga terbesar (19 persen atau 28 responden) terdapat pada kelompok pendapatan kurang dari Rp 100.000 per bulan. Persentase rumah tangga terbesar ke dua (14 persen) memiliki pendapatan sebesar Rp 300.000 – Rp 399.999, diikuti dengan rumah tangga yang memiliki pendapatan sebesar Rp 400.000 – Rp 499.999 per bulan, yaitu sebanyak 13 persen,

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 122

Page 140: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

sedangkan sisanya 8 persen memiliki pendapatan Rp 200.000 – 299.999 per bulan (lihat lampiran 7). Gambaran di atas mencerminkan bahwa rumah tangga di lokasi penelitian mempunyai pendapatan yang rendah dan hampir separuh dari total rumah tangga (41 persen) termasuk kategori miskin. Sebanyak 19 persen rumah tangga mempunyai pendapatan lebih rendah dari pendapatan per kapita yang ditetapkan sebagai garis kemiskinan di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) dan Kabupaten Buto9. Sedangkan 22 persen dari total rumah tangga yang mempunyai pendapatan lebih tinggi dari pendapatan per kapita yang ditetapkan sebagai garis kemiskinan, tetapi rata-rata jumlah anggota rumah tangga di ketiga lokasi penelitian sebanyak 4 orang (orang tua dan dua anak)10, maka rumah tangga-rumah tangga tersebut juga termasuk dalam kategori miskin. Banyaknya rumah tangga miskin di lokasi penelitian bervariasi antar desa/kelurahan. Mengacu pada perhitungan di atas, maka rumah tangga miskin terbesar terdapat di Kelurahan Wandoka dimana lebih dari separuh rumah tangganya (58 persen) termasuk kategori miskin. Sebaliknya dengan di Desa Mola Selatan, jumlah rumah tangga yang termasuk miskin paling kecil, yaitu: 28 persen. Sedangkan di Desa Waha berada diantara keduanya, dimana 40 persen rumah tangganya tergolong miskin (lihat lampiran 5). Dari tabel 4.2 juga terungkap bahwa separuh rumah tangga lainnya memiliki pendapatan antara Rp 500.000 – Rp 3.499.000. Distribusi rumah tangga bervariasi menurut pengelompokan pendapatan dengan persentase terbesar (33 persen) terdapat pada kelompok pendapatan sebesar Rp 500.000 – Rp 999.000 per bulan. Persentase terbesar terdapat di Desa Mola Selatan (44 persen) dan yang terkecil, hampir dua kali lebih kecil, terdapat di Desa Waha (23 persen). Sebaliknya, penduduk yang mempunyai pendapatan relatif besar, antara Rp 2.500.000 – Rp 3.500.000, persentasenya sangat kecil, hanya dua persen. Dari tiga lokasi kajian, hanya satu lokasi saja, yaitu: Desa Waha, yang penduduknya mempunyai pendapatan yang termasuk dalam kategori ini. Sedangkan di dua desa/kelurahan lainnya, pendapatan tertinggi penduduk

9 Menurut Biro Pusat Statistik (BPS) garis kemiskinan untuk Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) adalah pendapatan per kapita per bulan sebesar Rp 111.018 dan untuk Kabupaten Buton sebesar Rp 103.621 (BPS, 2004). 10 Rata-rata anggota rumah tangga di Kabupaten Wakatobi sebanyak 3,6 orang atau 4 orang per rumah tangga.

Kasus Kabupaten Wakatobi 123

Page 141: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

sebesar Rp 2.000.000 – Rp 2.499.000 per bulan. Persentasenya juga sangat kecil, dua persen di Desa Mola Selatan dan empat persen di Kelurahan Wandoka. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif, maka penelitian ini juga akan mengemukakan rata-rata pendapatan rumah tangga, median, pendapatan minimum dan maksimun. Dari tabel 4.3 dapat diketahui bahwa secara umum rata-rata pendapatan rumah tangga (RT) besarnya lebih tinggi dari pada nilai median. Dari tabel juga terungkap bahwa terdapat perbedaan yang sangat besar (signifikan) antara pendapatan minimum dan maksimum di lokasi penelitian. Rata-Rata Pendapatan Rumah Tangga (RT) Dari hasil survei terungkap bahwa rata-rata pendapatan rumah tangga di tiga lokasi penelitian sebesar Rp 599.000 per bulan (lihat tabel 4.3.). Rata-rata pendapatan RT bervariasi antar desa/kelurahan. Rata-rata pendapatan tertinggi terdapat di Desa Waha (Rp 739.000) dan sebaliknya yang terendah di Kelurahan Wandoka (Rp 487.000). Perbedaan rata-rata pendapatan di kedua lokasi terletak di Kecamatan Wangi-Wangi ini cukup besar, sekitar 1,5 kali lipat. Rata-rata pendapatan RT di Desa Mola Selatan (Rp 618.000) besarnya berada diantara rata-rata pendapatan RT di Desa Waha dan Kelurahan Wandoka. Jumlah ini hampir sama dengan rata-rata pendapatan di semua lokasi peneltian yang termasuk dalam kawasan terumbu karang di Pulau Wangi-Wangi.

Tabel 4.3. Statistik Pendapatan, Desa Mola Selatan, Waha dan Kelurahan Wandoka,

Kabupaten Wakatobi, 2006 (Rupiah)

Pendapatan per bulan Desa Mola Selatan

Desa Waha

Kelurahan Wandoka Total

• Rata-rata Rumah Tangga (RT)

618.028 739.200 486.805 598.522

• Median Pendapatan RT 548.333 460.000 339.167 453.333

• Minimum pendapatan RT 43.333 75.000 5.000 5.000

• Maksimum pendapatan RT

2.016.667 4.583.333 2.408.333 4.583.333

• Per kapita 137.371 180.667 97.412 132.711

Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2006

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 124

Page 142: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Besarnya perbedaan antara pendapatan rumah tangga di Desa Waha dan Kelurahan Wandoka berkaitan dengan kegiatan perikanan dan pertanian/perkebunan di kedua lokasi tersebut. Di Desa Waha, sebagian kecil nelayan menangkap ikan tuna di laut dalam. Ikan ekspor ini harganya cukup mahal, sehingga pendapatan nelayan lebih besar, jika dibandingkan dengan pendapatan nelayan di Kelurahan Wandoka yang menangkap ikan di perairan sekitar kelurahan kemudian menjual ikannya di pasar Wanci dengan harga yang relatif rendah. Di samping itu, banyak penduduk Desa Waha mendapatkan penghasilan dari hasil pertanian tanaman tanaman keras (mete dan kelapa), dan tanaman pangan (ubi/singkong). Sedangkan di Kelurahan Wandoka, kebanyakan penduduknya hanya mengusahakan pertanian tanaman pangan (ubi/singkong) dan menjualnya dalam bentuk gepe. Kelurahan Wandoka terletak berbatasan dengan kota Wanci, ibukota Kabupaten Wakatobi. Akses terhadap lahan lebih kecil jika dibandingkan dengan Desa Waha, karena jumlah dan kepadatan penduduk di keluarahan ini jauh lebih tinggi dari pada Desa Waha. Untuk menambah pendapatan, sebagian penduduk di Waha dan Wandoka secara periodik pada bulan Juni - Juli juga menjadi buruh petik cengkeh di Maluku, seperti di Ambon, Taliabo, Buru, Seram dan Obi. Median Pendapatan Rumah Tangga (RT) Penghitungan nilai median bertujuan untuk mengetahui distribusi pendapatan rumah tangga (RT) yang lebih mendekati kenyataan di lokasi penelitian. Perhitungan median diperlukan untuk meminimalisir/meminimunkan pengaruh pendapatan yang relatif ekstrim, seperti pendapatan yang sangat tinggi atau sangat rendah dari satu atau beberapa rumah tangga responden saja. Dari tabel 4.3 terungkap bahwa nilai median untuk pendapatan rumah tangga di kawasan terumbu karang Pulau Wangi-Wangi sebesar Rp 453.000 per bulan. Nilai ini berada di bawah nilai rata-rata pendapatan rumah tangga (Rp 599.000), dengan selisih yang cukup besar yaitu Rp 145.000. Analisa pada bagian sebelumnya menggambarkan bahwa nilai median ini lebih mendekati pendapatan RT di ke tiga lokasi penelitian. Nilai median pendapatan rumah tangga (RT) bervariasi antar desa/kelurahan. Nilai median tertinggi terdapat di Desa Mola Selatan, yaitu sebesar Rp 548.000. Nilai ini mendekati gambaran pendapatan RT disini, 44 persen berpendapatan kurang dari Rp 500.000 dan 44 persen lagi berpendapatan Rp 500.000 – 999.000 per bulan. Nilai median terkecil, yaitu sebesar RP

Kasus Kabupaten Wakatobi 125

Page 143: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

339.000 berada di Kelurahan Wandoka, dimana 68 persen dari penduduknya mempunyai pendapatan kurang dari Rp 500.000 per bulan. Sedangkan di Desa Waha, nilai median pendapatan penduduknya berada diantara dua desa/kelurahan lainnya, yaitu sebesar Rp 460.000 per bulan. Nilai ini menggambarkan besarnya sebagian pendapatan rumah tangga di desa ini kurang dari Rp 500.000 per bulan. Minimum Pendapatan Rumah Tangga (RT) Minimum pendapatan rumah tangga (RT) adalah pendapatan minimum dari rumah tangga responden yang disurvei. Untuk kawasan terumbu karang Pulau Wangi-Wangi minimum pendapatan penduduk sebesar Rp 5000 per bulan, ditemukan pada responden yang berada di Kelurahan Wandoka. Analisa pada bagian sebelumnya sudah mengindikasikan banyaknya penduduk miskin di kelurahan ini. Pendapatan yang hanya Rp 5000 ini tentu saja sangat kecil, hanya cukup untuk membeli 1,4 kg beras yang harganya Rp 3500 per kg atau hanya mampu membeli 0,8 kg gula pasir yang harganya Rp 6000 per kg. Besarnya pendapatan tersebut tidak bisa memenuhi kebutuhan standar rumah tangga per minggu, bahkan mungkin juga per hari. Namun di kelurahan ini masih banyak rumah tangga yang menggunakan ubi kayu sebagai makanan pokok. Biasanya mereka menanam ubi di lahan sendiri, sehingga untuk kebutuhan makanan pokok tidak perlu membeli. Sedangkan lauk pauk dapat diperoleh dari hasil kebun dan memancing ikan di laut sekitarnya. Namun demikian, setiap rumah tangga masih perlu mengeluarkan uang untuk kebutuhan yang tidak dapat diproduksi sendiri, seperti: garam dan minyak tanah. Karena itu, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang medesak, bayak rumah yang mengambil barang keperluan dengan cara berhutang di warung dan mengembalikan hutang bila mendapatkan uang. Sebagian keluarga menjual atau nmenggadaikan barang elektronik dan pecah belah serta perhiasan milik keluarga. Maksimum Pendapatan Rumah Tangga (RT) Maksimum pendapatan rumah tangga (RT) adalah pendapatan maksimum dari rumah tangga responden yang di survei. Untuk ke tiga lokasi penelitian di kawasan terumbu karang Pulau Wangi-Wangi pendapatan maksimum sebesar Rp 4,6 juta per bulan. Pendapatan yang cukup besar ini berasal dari responden di Desa Waha. Jika ditelusuri lebih lanjut, responden tersebut adalah nelayan ikan tuna yang mempunyai armada tangkap dengan kapasitas mesin/motor sebesar 115 PK. Dengan armada tangkap ini, nelayan

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 126

Page 144: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

tersebut mampu menangkap ikan pada wilayah tangkap yang cukup luas dengan hasil dan pendapatan yang tinggi, mengingat tuna merupakan ikan ekspor yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Dari tabel 4.3 juga terungkap bahwa maksimum pendapatan rumah tangga (RT) yang paling rendah terdapat di Desa Mola Selatan, dimana maksimum pendapatan penduduknya kurang dari separuh dari di Desa Waha, sekitar Rp 400 ribu lebih rendah dari maksimum pendapatan penduduk di Kelurahan Wandoka. Rendahnya maksimum pendapatan di Desa Mola Selatan ini berkaitan dengan sumber pendapatan di desa tersebut yang didominasi oleh perikanan tangkap, sedangkan di dua desa/kelurahan lainnya sumber pendapatan berasal dari perikanan dan pertanian. Namun jika ditelusuri lebih lanjut, maksimum pendapatan RT ini bukanlah maksimum pendapatan penduduk di Desa Mola Selatan, karena di desa ini terdapat bos ikan tingkat Kabupaten Wakatobi yang pendapatannya sangat tinggi, jauh lebih tinggi dari maksimum pendapatan RT di desa ini. Baik bos ikan maupun koordinator tidak terpilih dan dipilih menjadi responden untuk menghindari pendapatan yang ekstrim, sehingga dapat mengecohkan pendapatan penduduk di desa ini. Pendapatan Per Kapita Per Bulan Dari tabel 4.3 juga diketahui bahwa penduduk di tiga lokasi kajian mempunyai pendapatan perkapita sebesar Rp 132.711 per bulan. Besarnya pendapatan per kapita ini masih berada di atas garis kemiskinan Provinsi Sultra (Rp 111.018) dan Kabupaten Buton (Rp 103.621). Tetapi jika dibandingkan dengan pendapatan per kapita penduduk Kabupaten Wakatobi (Rp 2.026.993 per tahun atau Rp 168.916 per bulan), maka pendapatan per kapita di Desa Mola Selatan, Waha dan Kelurahan Wandoka jauh lebih rendah daripada di tingkat kabupaten. Namun jika ditelusuri di masing-masing daerah, ternyata rumah tangga (RT) di Kelurahan Wandoka mempunyai pendapatan per kapita per bulan (Rp 97.412) di bawah garis kemiskinan, baik untuk tingkat Provinsi Sultra maupun Kabupaten Buton. Dari ke tiga lokasi kajian, RT di Desa Waha mempunyai pendapatan per kapita per bulan yang tertinggi (Rp 180.677), berada di atas pendapatan per kapita tingkat Kabupaten Wakatobi. Sedangkan RT di Desa Mola Selatan pendapatan per kapita per bulannya (Rp 137.371) lebih rendah dari Waha dan kabupaten, tetapi masih di atas garis kemiskinan.

Kasus Kabupaten Wakatobi 127

Page 145: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

4.2.2. Pendapatan Menurut Lapangan Pekerjaan Lapangan pekerjaan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pendapatan penduduk. Hasil survei menggambarkan pendapatan rumah tangga (RT) bersumber dari 8 lapangan pekerjaan, yaitu: perikanan, pertanian, pertambangan, perdagangan, transportasi, jasa/pemerintahan, bangunan dan pengolahan/ industri rumah tangga, serta sumber lain bagi rumah tangga yang kepala rumah tangganya (KRT) tidak bekerja (lihat tabel 4.4.). Sebagian besar rumah tangga (61 persen) sumber pendapatannya diperoleh dari perikanan, sedangkan sisanya (39 persen) tersebar di 7 lapangan pekerjaan lainnya. Pertanian merupakan sumber pendapatan ke dua terbesar dan pertambangan (batu karang dan pasir) menduduki urutan ke tiga. Dari tabel juga diketahui bahwa sebanyak 4 responden (3 persen) tidak mempunyai pekerjaan, tetapi rumah tangga mereka masih memperoleh pendapatan dari sumber lain, seperti: kiriman anak/keluarga dan hasil kebun/tangkap yang lahan/armada/alat tangkapnya dikerjakan orang lain.

Rata-Rata Pendapatan Tabel 4.4 menggambarkan bahwa rata-rata pendapatan rumah tangga yang tertinggi bersumber dari lapangan pekerjaan transportasi/angkutan, diikuti oleh perdagangan dan jasa/pemerintahan. Pendapatan dari transportasi ini umumnya bersumber dari angkutan penumpang, baik transportasi air maupun darat (ojek dan sopir angkot). Jika di telusuri lebih lanjut, responden yang lapangan kerjanya transportasi/angkutan jumlahnya kecil, hanya 5 persen dari total responden. Berarti, meskipun rata-rata pendapatannya relatif besar, namun tidak mewakili kebanyakan penduduk di kawasan terumbu karang Pulau Wangi-Wangi, yang rata-rata pendapatannya sebesar Rp 599.000 per bulan. Transportasi, terutama antar kabupaten (Buton) dan provinsi (Kendari, Sultra) merupakan usaha yang sangat potensial, mengingat semakin banyak dan mobilenya pengguna jasa ini, terutama setelah terbentuknya Wakatobi dengan pembangunan yang semakin meningkat di kawasan ini. Rata-rata pendapatan terbesar ke dua berasal dari lapangan kerja perdagangan. Perdagangan di semua lokasi penelitian mencakup kegiatan perdagangan ikan, makanan dan sembako. Jumlah responden sama dengan transportasi, yaitu hanya 5 persen, sehingga tidak dapat mewakili penduduk disini. Perdagangan ikan merupakan lapangan pekerjaan yang sangat

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 128

Page 146: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

penting di kawasan ini, karena sebagian besar rumah tangga bekerja di perikanan.

Tabel 4.4. Statistik Pendapatan Rumah Tangga Menurut Lapangan Pekerjaan Kepala Rumah Tangga, Desa Mola Selatan, Waha dan Kelurahan

Wandoka, Kabupaten Wakatobi, Tahun 2006

Pendapatan No

Lapangan pekerjaan KRT

Rata-rata Minimum Maksimum

N

1 Perikanan 633.002 43.333 4.583.333 92 2 Pertanian 338.009 5.000 881.667 18 3 Pertambangan 638.958 300.000 1.391.667 8 4 Perdagangan 721.667 75.000 1.500.000 7 5 Transportasi/angkutan 835.595 90.000 2.408.333 7 6 Jasa/pemerintahan 654.167 140.000 1.480.000 7 7 Bangunan 501.250 260.000 913.333 5 8 Pengolahan/industri

RT 125.000 100.000 150.000 2

9. KRT tidak bekerja 527.500 160.000 712.500 4

Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, 2006 Jasa/pemerintahan merupakan sumber rata-rata pendapatan ke tiga terbesar di kawasan Pulau Wangi-Wangi. Lapangan kerja ini terdiri dari jasa pemerintahan, seperti: pegawai negeri sipil (PNS) dan guru, dan jasa lainnya, seperti: dukun, tukang cukur dan bengkel. Jasa memberikan pendapatan yang lebih besar, jika dibandingkan dengan perikanan yang mendominasi lapangan kerja di kawasan Wangi-Wangi. Untuk PNS dan guru, mereka mendapat gaji yang tetap dan standar, sedangkan pendapatan dari jasa lainnya tidak tetap dan berubah-ubah sesuai dengan kondisi. Seperti dua lapangan kerja terdahulu, responden yang bekerja di jasa jumlahnya kecil, sehingga tidak mewakili gambaran kebanyakan penduduk di pulau ini. Rata-rata pendapatan yang terendah berasal dari lapangan kerja pengolahan/industri rumah tangga (RT). Dari 150 responden hanya 2 responden yang bekerja di lapangan pengolahan/industri rumah tangga. Industri rumah tangga yang dilakukan oleh kedua responden tersebut adalah membuat batako dan menenun kain. Pembuatan batako menggunakan bahan dasar alami dari laut, seperti: pasir dan batu krikil.

Kasus Kabupaten Wakatobi 129

Page 147: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Kecilnya jumlah responden yang bekerja di lapangan industri rumah tangga sesuai dengan gambaran lapangan kerja di tingkat desa/kelurahan semua lokasi penelitian. Pengolahan atau industri rumah tangga masih merupakan lapangan kerja yang masih sangat terbatas atau minoritas. Keadaan ini dapat dipahami, karena kegiatan ini memerlukan keterampilan dan keahlian serta bahan/peralatan tertentu yang belum dimiliki oleh penduduk. Sebagai contoh industri RT adalah pengolahan ikan pasca tangkap, padahal keterampilan ini sangat diperlukan, terutama pada musim ikan ketika hasil tangkap berlimpah, sedangkan harga pasar sangat rendah, sehingga banyak ikan yang terbuang. Karena itu industri pengolahan pasca tangkap sangat penting untuk meningkatkan nilai tambah dari hasil laut di daerah ini. Perikanan yang merupakan lapangan kerja yang dominan di Desa Mola Selatan dan Waha ternyata belum memberikan kontribusi yang maksimal bagi pendapatan penduduk, khususnya nelayan. Rata-rata pendapatan dari perikanan (RP 633.000 per bulan) hanya menduduki urutan ke 5 dari 8 lapangan kerja di kawasan ini. Namun, rata-rata pendapatan dari perikanan masih berada di atas rata-rata pendapatan rumah tangga di kawasan terumbu karang Pulau Wangi-Wangi (RP 599.000 per bulan). Pendapatan dari perikanan bervariasi menurut musim dan alat tangkap (penjelasan lebih detail dapat di lihat pada bagian selanjutnya mengenai kegiatan kenelayanan). Sedangkan pertambangan, yang juga banyak dilakukan oleh penduduk, memberikan kontribusi pendapatan pada urutan ke 4 dari 8 lapangan kerja di kawasan ini. Rata-rata pendapatan dari lapangan kerja ini sedikit lebih besar dari perikanan. Pekerjaan yang dominan dilakukan adalah penambangan pasir dan batu karang yang dilakukan di semua lokasi penelitian. Penambangan batu karang dan pasir bervariasi antar desa/kelurahan. Penambangan dilakukan secara intensif dan melibatkan banyak penambang di Desa Mola Selatan, dan kurang intensif dengan jumlah penambang yang jauh lebih kecil di Desa Waha dan Kelurahan Wandoka. Kegiatan penambangan dilakukan untuk tujuan komersil, di samping untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Meskipun penambang mengetahui bahwa kegiatan penambangan batu dan pasir dilarang, tetapi kegiatan ini masih tetap berlangsung. Di Mola Selatan penambangan batu dan pasir menjadi pekerjaan utama sebagian kecil penduduk dan kegiatan ini dilakukan secara terang-terangan. Sedangkan di Wandoka dan Waha, kegiatan ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh sekelompok kecil (beberapa) warga dan penambang dari luar desa/kelurahan.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 130

Page 148: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Penambangan Batu Karang Kegiatan penambangan batu karang dilakukan di tiga lokasi penelitian, terutama di Desa Mola Selatan dimana sekitar 60-70 penduduknya bekerja sebagai penambang batu karang. Sedangkan di Desa Waha dan Kelurahan Wandoka jumlahnya sangat terbatas hanya beberapa penambang saja. Kegiatan penambangan dilakukan di kawasan karang sekitar permukiman. Di Mola Selatan penambangan dikonsentrasikan di sekitar Pulau Kapota, terutama Usunu, Desa Liya Mawi pada bagian ujung selatan pulau. Kegiatan penambangan batu karang, terutama di Desa Mola Selatan, dilakukan untuk tujuan komersil. Mengingat kegiatan penambangan di Pulau Kapota sudah dilakukan secara intensif dalam waktu yang cukup lama, ketersediaan batu karang sudah semakin berkurang, karena itu penambang harus menggali batu yang tertimbun pasir pada kedalaman sampai 1 meter. Sedangkan di Desa Waha dan Kelurahan Wandoka, kegiatan pengambilan batu dilakukan di kawasan karang secara sembunyi-sembunyi, karena sudah di larang. Dari hasil wawancara dengan penambang batu karang di Mola Selatan diketahui bahwa pendapatan per hari sebesar Rp 30.000-40.000 per sampan atau sekitar 1–1,5 m3 batu, tergantung dari besarnya sampan. Penambang pergi ke laut pada waktu meti pagi hari sekitar jam 2/3 pagi dan kembali ke rumah pada jam 10 pagi. Kegiatan ini dilakukan setiap hari, kecuali hari-hari tertentu, seperti lebaran. Kegiatan penambangan batu karang mempunyai kontribusi yang besar terhadap pengambilan batu karang di sekitar Pulau Kapota. Kebanyakan penambang menggunakan sampan tanpa motor, sampan kecil dapat memuat 1,25 m3 batu sedangkan yang besar memuat 1,5 m3. Dengan kapasitas sampan ini maka dapat diperhitungkan banyak batu karang yang diambil, yaitu: sekitar 90 – 105 m3 per hari atau 2.250 – 2.625 m3 per bulan atau 27.000 – 31.500 m3 per tahun. Penambangan Pasir Seperti batu karang, penambangan pasir juga dilakukan di semua lokasi penelitian, umumnya disekitar permukiman. Di Mola Selatan, penambang melakukan kegiatannya di Usunu, teluk di Pulau Kapota bagian selatan dan bagian barat. Lokasi penambangan letaknya dekat dengan desa, sekitar 15

Kasus Kabupaten Wakatobi 131

Page 149: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

menit pakai perahu dengan motor 5,5 PK atau 30 menit dengan sampan dayung. Kegiatan ini dilakukan secara intensif setiap hari. Jumlah penambang pasir bervariasi antar daerah, di Mola Selatan jumlahnya cukup banyak mencapai 200 orang, tetapi di dua lokasi lainnya hanya beberapa saja. Di Mola Selatan penambang dapat mengambil pasir dua kali sehari, dari jam 12 malam sampai jam 4 pagi dan jam 1 siang kembali jam 4/5 sore. Seorang penambang biasanya dapat mengumpulkan 3 m3 pasir per hari. Rata-rata hari kerja selama 20 hari dalam sebulan. Seorang penambang pasir mampu mengambil 16.000 m3 per bulan. Dengan demikian dari penambang Desa Mola Selatan pasir yang diambil sebanyak 3.200.000 m3 per bulan atau 38.400.000 m3 per tahun. Pasir biasanya di tampung terlebih dahulu di Lapulu, Wanci, dan bila sudah terkumpul dijual dengan harga Rp 20.000 per mobil. Biasanya tiga sampan pasir dimuat dalam dua mobil. Dengan demikian pendapatan penambang pasir sekitar Rp 27.000 – 30.000 per hari. Pendapatan Minimum Dari tabel 4.4 terungkap bahwa pendapatan minimum terendah berasal dari lapangan kerja pertanian, yaitu sebesar Rp 5000 per bulan. Pendapatan yang sangat rendah ini merupakan hasil penjualan ubi/singkong di Kelurahan Wandoka (lihat penjelasan sebelumnya). Sedangkan pendapatan minimum terendah ke dua berasal dari lapangan kerja perikanan, yaitu sebesar Rp 43.000 per bulan. Rendahnya pendapatan minimum ini berkaitan dengan musim dan alat tangkap yang digunakan (penjelasan lebih detail dapat dilihat pada bagian selanjutnya tentang kegiatan kenelayanan). Sebaliknya, pendapatan minimum tertinggi disumbangkan oleh lapangan kerja pertambangan, sebesar Rp 300.000 per bulan (lihat penjelasan pada penambangan batu karang dan pasir). Kegiatan pertambangan, terutama tambang pasir dan batu karang, memberikan pendapatan yang cukup menjanjikan, karena permintaan terhadap pasir dan batu karang semakin meningkat dengan meningkatnya kegiatan pembangunan di Kabupaten Wakatobi, khususnya Kota Wanci yang merupakan ibukota kabupaten ini. Sebagai kabupaten yang baru berkembang, pembangunan sarana dan fasilitas perkantoran, perdagangan dan kegiatan ekonomi lainnya menjadi kegiatan utama yang sedang dilakukan.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 132

Page 150: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Pendapatan minimum tertinggi ke dua bersumber dari lapangan kerja konstruksi bangunan. Pekerjaan di konstruksi bangunan memberikan pendapatan yang lebih baik dari perikanan yang menjadi primadona lapangan kerja di kawasan Pulau Wangi-Wangi. Pekerja bagunan mendapatkan upah yang relatif besar dan tersedia sepanjang tahun, terutama di Kota Wanci yang tidak terlalu jauh dari lokasi penelitian. Pendapatan Maksimum Berbeda dengan pendapatan minimum, dari tabel 4.4 terungkap bahwa pendapatan maksimum tertinggi diperoleh dari lapangan kerja perikanan dan sebaliknya pendapatan maksimum terendah dari pengolahan/industri rumah tangga (RT). Perbedaan antara yang tertinggi dan terendah sangat signifikan, atau sekitar 30 kali lipat. Pendapatan maksimum tertinggi ke dua disumbangkan oleh lapangan kerja transportasi/angkutan. Meskipun untuk rata-rata pendapatan, transportasi/angkutan menduduki urutan pertama (terbesar) dan perikanan pada urutan ke 5, pendapatan maksimum dari ke dua lapangan kerja ini berbeda cukup signifikan/mencolok, hampir dua kali lipat. 4.2.3. Pendapatan Menurut Kegiatan Kenelayanan Bagian ini terfokus pada pendapatan dari kegiatan kenelayanan yang merupakan pekerjaan sebagian besar rumah tangga responden di Desa Mola Selatan dan Waha dan sebagian responden di Kelurahan Wandoka, Kabupaten Wakatobi. Untuk mendapatkan pemahaman secara komprehensif, analisa pada bagian ini menggunakan kombinasi antara data kuantitatif yang diperoleh dari survei dan data kualitatif yang diperoleh dari wawancara terbuka dengan narasumber dan informan kunci serta pengamatan di tiga lokasi penelitian. Pendapatan Rumah Tangga (RT) Dari hasil survei diketahui bahwa hampir separuh dari total rumah tangga (RT) responden di tiga lokasi penelitian yang mempunyai kegiatan kenelayanan berpendapatan kurang dari Rp 500.000. Sebagian lagi berpendapatan di atas Rp 500.000 per bulan, sebagian besar berada pada kelompok pendapatan Rp 500.000 – Rp 999.000. Hanya sebagian kecil saja RT nelayan yang berpendapatan Rp 1.000.000 atau lebih (lihat grafik 4.1.).

Kasus Kabupaten Wakatobi 133

Page 151: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Grafik 4.1. Distribusi Rumah Tangga Menurut Pendapatan dari Kegiatan Kenelayanan

dan Musim, Desa Mola Selatan, Waha dan Kelurahan Wandoka, Kabupaten Wakatobi 2006 (Persen)

49

38

6 4 110 1

<Rp 500.000

Rp 500.000 - Rp 999.999

Rp 1.000.000 – Rp 1.499.000

Rp 1.500.000 – Rp 1.999.000

Rp 2.000.000 – Rp 2.499.000

Rp 2.500.000 – Rp 2.999.000

Rp 3.000.000 – Rp 3.499.000

Rp 3.500.000 +

mber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, 2006

endapatan RT nelayan bervariasi menurut musim , yaitu musim

Su

11Pgelombang lemah, pancaroba sampai dengan musim gelombang kuat (lihat tabel 4.5.). Untuk kelompok RT yang memiliki pendapatan kurang dari Rp 500.000, distribusi RT cenderung mengalami peningkatan dari musim gelombang lemah (40 persen), ke musim pancaroba (66 persen) sampai dengan musim gelombang kuat (81 persen). Dengan demikian terdapat perbedaan yang besar (signifikan) antara musim gelombang lemah dan kuat. Pada musim gelombang lemah, kurang dari separuh jumlah RT memiliki pendapatan pada kategori ini, tetapi persentasenya meningkat tajam, menjadi dua kali lipat pada musim gelombang kuat. Akibatnya, sebagian besar RT responden hanya mampu memperoleh pendapatan kurang dari Rp 500.000 pada musim gelombang kuat.

11 Gelombag Lemah : Pertengahan bulan September sampai pertengahan Desember (4 bulan) Pancaroba : Pertengahan bulan Desember sampai pertengahan Februari dan Pertengahan April sampai pertengahan Juni (4 bulan) Gelombang kuat : Pertengahan bulan Februari sampai pertengahan April (puncaknya bulan Maret) dan pertengahan Juni sampai pertengahan September (puncak Juli-Agustus) (4bulan)

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 134

Page 152: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Tabel 4.5. Distribusi Rumah Tangga Menurut Pendapatan

dari Kegiatan Kenelayanan dan Musim, Desa Mola Selatan, Waha dan Kelurahan Wandoka, Kabupaten Wakatobi 2006 (Persen)

Musim

No Kategori Pendapatan Gelombang Lemah Pancaroba Gelombang

Kuat 1. < Rp 500.000 40 66 81 2. Rp 500.000 - Rp 999.000 32 30 14 3. Rp 1.000.000 – Rp 1.499.000 16 2 5 4. Rp 1.500.000 – Rp 1.999.000 2 1 0 5. Rp 2.000.000 – Rp 2.499.000 5 1 0 6. Rp 2.500.000 – Rp 2.999.000 1 0 0 7. Rp 3.000.000 – Rp 3.499.000 2 0 0 8. >Rp 3.500.000 2 0 0

Jumlah 100 100 100 N 92 92 92

Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2006 Sebaliknya, pada kelompok pendapatan Rp 500.000 – Rp 999.000, persentase RT nelayan cenderung mengalami penurunan sepanjang tahun, dari 32 persen pada musim gelombang lemah, menjadi 30 persen pada musim pancaroba dan kemudian menurun lagi sangat tajam, lebih dari dua kali lipat, pada musim gelombang kuat (14 persen). Keadaan ini menggambarkan semakin banyak RT nelayan yang pendapatannya berkurang menjadi kurang dari Rp 500.000. Penurunan ini terjadi karena banyak nelayan yang tidak mampu melaut atau mengurangi frekuensi melaut pada musim gelombang kuat, sehingga mempengaruhi pendapatan mereka pada musim ini. Pada musim gelombang lemah, semua nelayan pergi melaut dengan armada dan wilayah tangkap yang bervariasi antar daerah. Variasi ini berpengaruh terhadap besarnya pendapatan nelayan. Dari tabel 4.5 terlihat bahwa pendapatan nelayan pada musim gelombang lemah tersebar disemua (8) kategori pendapatan, mulai dari kurang Rp 500.000 sampai dengan lebih dari Rp 3.500.000. Kebanyakan nelayan mengelompok pada kategori paling rendah dan hanya 2 responden yang pendapatannya masuk kategori paling tinggi.

Kasus Kabupaten Wakatobi 135

Page 153: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Perubahan musim memberikan ang berbeda pula. Pada musim pancaroba, kategori 5

Hampi 0 dan ebanyakan (dua per tiga) nelayan berpendapatan kurang dari Rp 500.000.

Keadaan ini mengindikasikan besarnya dampak perubahan musim terhadap p u Desa M n, a n Wandoka. Ke gga nelayan semakin me ihatinkan pada mu .5 menunjukkan bahw hampir sem a ne ari Rp 1.000.000, sebagian besar (81) pe tan kurang ri Rp 500 0. Hanya l a res endapatan Rp 1.000.000 Rp 1.499.000, ya m gi pada mu ini. D m apatan rumah tangga (RT) nela juga bervariasi antar lokasi penelitian (lihat tabel 4.6.). RT an di Kelurahan Wandoka m ai pendapatan lebih rendah daripada RT di Desa Mola Selatan dan

rang dari a paling tinggi, dimana sebagian besar RT nelayan

gambaran ypendapatan rumah tangga nelayan hanya sampai pada

(Rp 2.000.000 – Rp 2.499.000) dan dimiliki oleh satu orang responden saja. r semua responden berpendapatan kurang dari Rp 1.000.00

k

enur nan pendapatan di ola Selata Waha d n Keluraha

adaan pendapatan rumah tan mprsim gelombang kuat. Tabel 4 a u

layan berpendapatan kurang drsen bahkan mempunyai pendapa da .00 imponden atau 5 persen yang berp –ng erupakan pendapatan terting sim

i sa ping musim, pend yan nelay

empunyWaha. Gambaran ini dicerminkan dari RT yang berpendapatan kuRp 500.000 persentasenyWandoka termasuk dalam kategori 1 ini. Sedangkan di Desa Waha, lebih dari separuh jumlah RT nelayan mempunyai pendapatan dalam kelompok paling rendah tersebut. Sebaliknya dengan di Desa Mola Selatan, pendapatan RT nelayan pada kategori ini jauh lebih rendah dari dua lokasi lainnya, karena sebagian besar nelayan mempunyai pendapatan yang lebih tinggi.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 136

Page 154: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Tabel 4.6. Distribusi Rumah Tangga Menurut Pendapatan

dari Kegiatan Kenelayanan dan Musim, Desa Mola Selatan, Waha dan Kelurahan Wandoka, Kabupaten Wakatobi 2006 (Persen)

No Kategori Pendapatan

Desa Mola

Selatan

Desa Waha

Kelurahan Wandoka Total

1. <Rp 500.000 40 55 71 49 2 Rp 500.000 – Rp 999.000 49 25 17 38 3 Rp 1.000.000– Rp 1.499.000 4 10 6 6 4 Rp 1.500.000– Rp 1.999.000 5 0 6 4 5 Rp 2.000.000– Rp 2.499.000 2 0 0 1 6 Rp 2.500.000– Rp 2.999.000 0 5 0 1 7 Rp 3.000.000 – Rp 3.499.000 0 0 0 0 8 Rp 3.500.000 + 0 5 0 1 Jumlah 100 100 100 100

N 55 20 17 9

Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, 2006

Jika ditelusuri lebih lanjut, nelayan yang berpendapatan kurang dari Rp 500.000 tersebar dalam beberapa kategori pendapatan yang lebih kecil. Untuk kategori pendapatan yang paling rendah yaitu kurang dari Rp 100.000 per bulan, persentase terbesar terdapat di Desa Waha, dimana sekitar 30 persen nelayannya masuk dalam kelompok ini dan yang terkecil ditemukan di Kelurahan Wandoka (6 persen), sedangkan nelayan Desa Mola Selatan (11 pers

en) berada diantara persentase nelayan di dua lokasi tersebut. Selain kategori paling rendah, nelayan di Desa Waha mengelompok pada kategori pendapatan Rp 400.000 – 499.000 per bulan. Sedangkan pendapatan nelayan di Desa Mola Selatan dan Kelurahan Wandoka tersebar di hampir semua kategori, kecuali kategori Rp 100.000 – 199.000 per bulan (lihat lampiran 8).

Dari tabel 4.6 juga terungkap bahwa selain pendapatan kurang dari Rp 500.000, pendapatan rumah tangga nelayan di lokasi penelitian Pulau Wangi-Wangi mengelompok pada pendapatan Rp 500.000 – Rp 999.000 per bulan. Kelompok pendapatan ini didominasi oleh rumah tangga nelayan Mola Selatan. Hampir separuh responden nelayan di desa tersebut berpendapatan sebesar ini, sedangkan nelayan dari Desa Waha menduduki urutan kedua (seperempat dari jumlah nelayan) dan nelayan Kelurahan

Kasus Kabupaten Wakatobi 137

Page 155: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Wandoka menduduki urutan terak a jumlah nelayan di Nelayan yang mem lahnya sangat terbatas. Untuk kelompok pen an .000. 1.499.000 ma di lokasi p n, n n as kelompok itu, hanya diperoleh rumah tangga nelayan desa/kelurahan terte s ola Selatan, pendapatan ayan tert gi be pada te 2.499.000), sedangkan di Des aha kate i 000) atau pendapatan tertinggi (Rp 3.50 00 a nelaya ang punyai ndapa n pada ate ang lebih memp atinkan d mukan di Kelu a dapatan tinggi elayan ha a berada pada te 2.000.0 per bu n. Gam mencerminkan bahw n di kawasan u Pulau Wangi-Wangi termasuk dalam kelompok dudu m . Sdari sepertiga (36 persen) nelayan di Desa Mola Selatan, Waha dan

elurahan Wandoka termasuk kategori miskin. Persentase ini sedikit lebih

ir Indonesia. Menurut beberapa referensi, kemiskinan nelayan berakar dari dua sumber, yaitu kemis ultural yang menekankan pada

tangga responden, maka analisa pendapatan diperdalam dengan mengetahui

hir, kurang dari seperlimkelurahan itu m rendah ini.

iliki pendapatan Rp

emiliki pendapatan pada kategori ke dua te

1.000.000 atau lebih jumdapat

enelitiaRp 1

namu000 –

pendapatasih temukan di semua di at

ntu aja. Di Desa M nel ing rada ka gori 5 (Rp 2.000.000 – a W padagor 7 (Rp 3.000.000 – 3.499.0.0 plus), namun tidak ad n y mem pe ta k gori 4 dan 5. Keadaan y rih iterah n Wandoka, dimana pen ter n ny ka gori 4 atau kurang dari Rp 00 la

baran di atas a nelaya terumb karang pen k yang iskin

esuai dengan garis kemiskinan Provinsi Sultra dan Kabupaten Buton, lebih

Krendah dari seluruh rumah tangga responden di ketiga lokasi tersebut. Jumlah nelayan miskin bervariasi antar daerah. Kelurahan Wandoka mempunyai nelayan miskin terbanyak, lebih dari separuh nelayannya (53 persen) dan sebaliknya nelayan miskin terendah (31 persen) terdapat di Desa Mola Selatan. Sedangkan di Desa Waha, nelayan miskin persentasenya (35 persen) berada diantara kedua daerah lainnya. Banyaknya nelayan miskin di tiga lokasi penelitian ini memperkuat steriotipe (pandangan) yang mengatakan bahwa masyarakat pesisir, khususnya nelayan, sebagai masyarakat yang miskin. Steriotipe ini sudah berlangsung sejak lama dan menjadi isu/permasalahan yang krusial di wilayah pesis

kinan kbudaya atau cara hidup nelayan sebagai penyebab utama kemiskinan, dan kemiskinan struktural yang memfokuskan pada struktur sosial ekonomi nelayan, termasuk ketersediaan dan penguasaan akses (modal, informasi dan pasar) dalam pemanfaatan sumber-sumber ekonomi yang kaya di wilayah pesisir. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih lengkap, seperti pada rumah

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 138

Page 156: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

rata-rata dan median pendapatan rumah tangga nelayan. Di samping itu juga akan diungkapkan minimum dan maksimum pendapatan di tiga lokasi

enelitian.

Statistik Pendapatan Rumah Tangga dari Kegiatan Kenelayanan

p • Rata-Rata Pendapatan Rumah Tangga (RT) Nelayan Rata-rata pendapatan nelayan bervariasi menurut musim. Dari tabel 4.7 terungkap bahwa adanya kecenderungan terjadinya penurunan pendapatan dari musim gelombang lemah, pancaroba dan gelombang kuat. Rata-rata pendapatan RT nelayan tertinggi diperoleh pada musim gelombang lemah yang jumlahnya 2,2 kali lebih tinggi dari rata-rata pendapatan pada musim pancaroba dan 2,7 kali lebih besar dari musim gelombang kuat.

Tabel 4.7

Menurut Musim, Desa Mola Selatan, Waha dan Kelurahan Wandoka, Kabupaten Wakatobi, 2006 (Rupiah)

Musim

Pendapatan Gelombang Lemah

Pancaroba Gelombang Kuat

Rata-rata 895.858 410.642 328.657 Median 720.000 300.000 240.000 Minimum 45.000 40.000 2.500 Maksimum 10.000.000 2.500.000 1.400.000

Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2006 Pada musim gelombang lemah merupakan musim ikan bagi nelayan, semua pergi melaut dengan hasil tangkapan yang volumenya jauh lebih banyak, jika dibandingkan dengan hasil pada musim pancaroba dan gelombang kuat. Sedangkan pada musim pancaroba, angin sudah mulai kencang dan gelombangpun mulai membesar, karena itu kemampuan nelayan, terutama nelayan tradisional yang armada tangkapnya masih sangat sederhana (perahu tanpa motor dan perahu motor dengan kekuatan yang kecil sampai 5,5 PK), kegiatan melaut mulai berkurang. Kondisi ini semakin

emprihm atinkan pada musim gelombang kuat, hanya nelayan yang mempunyai armada tangkap dengan kapasitas yang lebih besar (mesin/motor 20 PK ke atas dengan bodi yang cukup besar) yang mampu melaut, sedangkan nelayan tradisional hanya melaut di sekitar permukiman

Kasus Kabupaten Wakatobi 139

Page 157: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

yang relatif terlindung dan bahkan sebagian nelayan tidak melaut selama musim ini. Rata-rata pendapatan rumah tangga nelayan juga bervariasi antar daerah

Desa Waha (Rp 72.000) dan terendah di Kelurahan Wandoka (Rp 517.000) per bulan,

30 persen) erpendapatan kurang dari Rp 100.000 per bulan. Sedangkan di Kelurahan

Wandoka, sebagian besar nelaya ) berpendapatan kurang dari Rp 500 ya

sangat terbatas, m responden yang berpendapatan Rp 4.583.000 per bulan, padahal kebanyakan nelayan lainnya berpendapatan kurang da Dari analisa di atas dapat dikatakan -rata g me mbaran te atan kebanyakan nelayberpotensi untuk ‘mengecoh’ atau mem ambaran iru’ t pendapatan di Karena it kan p pendapat ebih mend yataan di lapangan, dan i uk ghitu pen

si kajian a musim gelombang lemah, rata-rata pendapatan

(lihat lampiran 9). Rata-rata pendapatan tertinggi terdapat di7sedangkan di Desa Mola Selatan (618.000) berada diantara kedua desa/kelurahan tersebut. Gambaran rata-rata pendapatan ini berbeda nyata dengan gambaran total pendapatan nelayan yang sudah dikemukakan pada bagian sebelumnya, terutama untuk Desa Waha dan Kelurahan Wandoka. Di Desa Waha, lebih dari separuh nelayan (55 persen) mempunyai pendapatan kurang dari Rp 500.000 dan hampir sepertiga nelayan (b

n (71 persen.000 per bulan. Perbedaan yang cukup mencolok ini disebabkan adan

pengaruh dari responden yang berpendapatan tinggi, padahal jumlahnya isalnya: di Desa Waha hanya terdapat satu

ri Rp 500.000 per bulan.

bahwa rata pendapatan kuranmberikan ga ntang pendap an. Hal ini

yang ‘kelberikan gerhadap nelayan suatu daerah. u diperluerhitungan an yang l ekati kenni dapat dilak an dengan men ng nilai median dapatan.

Di samping musim, rata-rata pendapatan juga bervariasi antar loka(lihat lampiran 10). Padtertinggi diperoleh dari nelayan Desa Waha, yaitu sebesar Rp 996.000. Sebaliknya dengan, nelayan Kelurahan Wandoka mempunyai rata-rata pendapatan paling rendah, yaitu Rp 607.000, sedangkan nelayan Mola Selatan rata-rata pendapatannya (Rp 982.000), sedikit di bawah nelayan Waha, tetapi jauh di atas nelayan Wandoka. Gambaran yang berbeda terjadi pada musim pancaroba. Rumah tangga nelayan Wandoka mempunyai rata-rata pendapatan paling tinggi (Rp 409.000), sebaliknya yang terendah diperoleh nelayan Mola Selatan (Rp 374.000), sedangkan nelayan Waha berada diantara nelayan dari dua lokasi lain (Rp 422.000). Keadaan ini berkaitan erat dengan wilayah tangkap sebagian besar nelayan Wandoka yang dekat dengan permukiman, sehingga

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 140

Page 158: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

masih memungkinkan nelayan untuk menangkap ikan pada musim pancaroba. Sedangkan bagi nelayan Mola Selatan, perubahan musim ini ukup berpengaruh terhadap jenis ikan tangkapan. Pada musim gelombang

ola Selatan, kapasitas armada tangkapnya relatif lebih baik jika

n pada musim gelombang kuat 3 persen) atau hampir dua kali lebih besar dari median pada musim

clemah kebanyakan nelayan menangkap ikan karang hidup yang harganya sangat tinggi, sehingga pendapatannyapun cukup tinggi, kemudian nelayan menangkap ikan-ikan dasar dan lainnya yang harga jualnya jauh lebih rendah, karena itu pendapatan merekapun menurun sangat tajam pada musim pancaroba. Sebaliknya pada musim gelombang kuat, rumah tangga nelayan Mola Selatan memperoleh rata-rata pendapatan tertinggi (Rp 436.000), sebaliknya yang terendah berasal dari nelayan Waha (Rp 124.000), sedangkan nelayan Wandoka (Rp 298.000) berada diantara nelayan dari dua lokasi lainnya. Pada musim ini rata-rata pendapatan nelayan Waha dan Wandoka berada di bawah rata-rata pendapatan rumah tangga responden atau penduduk di kedua desa/kelurahan tersebut (Rp 328.657). Rendahnya rata-rata pendapatan nelayan Waha berkaitan erat dengan armada tangkap nelayan yang kapasitasnya masih terbatas, sehingga nelayan tuna tidak bisa menangkap ikan di laut lepas yang gelombangnya sangat kuat. Sedangkan diMdibandingkan dengan di Waha, sehingga sebagian kecil nelayan masih melaut pada musim ini dan sebagian lagi masih melaut, namun wilayah tangkapnya hanya di sekitar perairan Mola saja dan sebagian kecil lainnya mengalihkan wilayah tangkapnya ke daerah lain. • Median Pendapatan Rumah Tangga (RT) Nelayan Seperti rata-rata pendapatan, nilai median pendapatan rumah tangga di kawasan terumbu karang Pulau Wangi-Wangi juga cenderung mengalami penurunan sepanjang tahun, dari musim gelombang lemah, pancaroba sampai gelombang kuat (lihat tabel 4.7.). Dari tabel terungkap bahwa nilai median besarnya di bawah nilai rata-rata pendapatan untuk semua musim. Nilai median tertinggi diperoleh nelayan pada musim gelombang lemah yang besarnya tiga kali lipat dari nilai media(3pancaroba (42 persen). Jika ditelusuri lebih lanjut, nilai median sangat bervariasi antar lokasi kajian (detail lihat lampiran 11). Pada musim gelombang lemah, terdapat perbedaan nilai median yang sangat besar, digambarkan dari median pendapatan nelayan Kelurahan Wandoka yang nilainya relatif rendah, hanya

Kasus Kabupaten Wakatobi 141

Page 159: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Rp 150.000, sedangkan nelayan Mola Selatan, mediannya cukup tinggi, yaitu: Rp 800.000. Nilai median pendapatan nelayan Waha (Rp 612.000) berada jauh di atas nilai nelayan Wandoka dan sedikit di bawah median nelayan Mola. Berbeda dengan musim gelombang lemah yang sangat variatif, nilai median pada musim pancaroba cukup berimbang. Di Kelurahan Wandoka, nilai median pendapatan nelayan sebesar Rp 350.000 dan Desa Mola Selatan edikit di bawah nelayan Wandoka, yaitu Rp 340.000, sedangkan median

ilai minimum pendapatan nelayan juga bervariasi menurut musim. Pada leh nelayan cukup

ndah, yaitu sebesar Rp 45.000, padahal musim ini dikenal sebagai musim

da musim pancaroba, nilai minimum pendapatan elayan (Rp 40.000) hanya mengalami sedikit penurunan dari musim

snelayan Desa Waha jauh di bawah ke dua lokasi lainnya, yaitu sebesar Rp 225.000. Nilai median di Waha ini besarnya di bawah nilai median penduduk di ke tiga lokasi penelitian. Perbedaan nilai median kembali mencolok pada musim gelombang kuat. Rumah tangga nelayan di Mola Selatan mempunyai median pendapatan tertinggi (Rp 400.000), hampir dua kali lebih besar dari nilai median rumah tangga responden (penduduk) di tiga lokasi peneltian. Sebaliknya dengan nelayan Waha, median pendapatannya sangat rendah, hanya Rp 55.000, sekitar 4 kali lebih kecil dari median penduduk. Sedangkan median nelayan Wandoka (Rp 112.000) berada diantara keduanya, atau hampir dua kali lebih kecil dari median penduduk di semua lokasi kajian. • Minimum Pendapatan Rumah Tangga (RT) Nelayan Nmusim gelombang lemah, nilai minimum yang diperorebanyak ikan. Rendahnya pendapatan ini berkaitan dengan harga ikan yang sangat rendah pada musim ini. Sebagai contoh, harga satu ikat ikan (10 ekor) hanya Rp 2500, sedangkan pada musim gelombang kuat harganya 4-5 kali lebih tinggi. Meskipun harga ikan tinggi, kebanyakan nelayan tidak dapat melaut pada musim gelombang kuat karena terbatasnya kemampuan/kapasitas armada tangkapnya. Karena itu, minimum pendapatan pada musim ini sangat rendah, hanya Rp 2.500. Jumlah ini tentu saja tidak bisa mencukupi kebutuhan pokok sehari, bahkan tidak bisa membeli 1 kg beras. Pangelombang lemah. Jika ditelusuri lebih lanjut, nilai minimum pendapatan bervariasi antar daerah penelitian. Di Desa Mola Selatan, nilai minimum tertinggi terjadi

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 142

Page 160: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

pada musim gelombang lemah, yaitu sebesar Rp 80.000 atau dua kali lebih besar dari pendapatan pada musim pancaroba dan gelombang kuat. Sedangkan di Desa Waha terdapat perbedaan yang sangat tajam antar musim. Minimum pendapatan pada musim gelombang lemah relatif besar

p 135.000, kemudian menurun secara tajam pada musim pancaroba dengan

sim lainnya.

bang kuat (Rp 1,4 ta).

erbedaan antara minimum dan maksimum pendapatan juga sangat

pendapatan jauh lebih tinggi dari nelayan Mola Selatan, aitu Rp 10.0000.000 pada musim gelombang lemah, kemudian turun

Rnilai Rp 50.000 dan terus turun drastis pada musim gelombang kuat dimana minimum pendapatannya sangat rendah, yaitu Rp 2.500. Berbeda dengan dua desa lainnya, minimum pendapatan di Kelurahan Wandoka relatif stabil pada musim gelombang kuat (Rp 30.000) dan pancaroba (Rp 30.000) dan sedikit mengalami penurunan pada musim gelombang lemah (Rp 20.000). Gambaran di kelurahan ini cukup menarik karena pendapatan pada musim gelombang lemah lebih rendah dari mu • Maksimum Pendapatan Rumah Tangga (RT) Nelayan Dari tabel 4.7 juga terungkap bahwa pendapatan nelayan sangat bervariasi dengan perbedaan yang sangat mencolok. Maksimum pendapatan pada musim gelombang lemah cukup tinggi mencapai Rp 10 juta yang berasal dari nelayan Desa Waha. Jumlah ini jauh lebih tinggi dari pendapatan pada musim lainnya, mencapai 4 kali lipat jika dibandingkan dengan musim pancaroba (Rp 2,5 juta) dan 7 kali lipat pada musim gelomju Psignifikan untuk setiap musim. Perbedaan tertinggi terjadi pada musim gelombang kuat, ketika maksimum pendapatan 560 kali lebih besar dari minimum pendapatan. Sedangkan pada musim gelombang lemah, perbedaannya masih besar, maksimum pendapatan 220 kali lebih besar dari minimum pendapatan. Keadaan ini mencerminkan adanya ketimpangan pendapatan yang signifikan antara penduduk yang tergolong miskin dan dan yang kaya. Maksimum pendapatan bervariasi antar desa/kelurahan. Di Mola Selatan, maksimum pendapatan mencapai Rp 4.500.000 pada musim tenang, kemudian mengalami penurunan tajam sampai Rp 1.000.000 pada musim pancaroba dan sedikit mengalami peningkatan menjadi Rp 1.400.000 pada musim gelombang kuat. Gambaran yang berbeda diperoleh dari Desa Waha, dimana maksimum ydrastis sampai Rp 2.500.000 pada musim pancaroba dan turun lagi menjadi Rp 1.000.000 pada musim gelombang kuat. Sedangkan di Kelurahan

Kasus Kabupaten Wakatobi 143

Page 161: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Wandoka pendapatan nelayannya paling rendah, maksimum pendapatan hanya mencapai Rp 3.400.000 pada musim gelombang lemah, kemudian turun menjadi Rp 2.000.000 pada musim pancaroba dan turun lagi sampai Rp 1.950.000 pada musim gelombang kuat. Di kelurahan ini tidak terdapat perbedaan yang mencolok antara musim pancaroba dan gelombang kuat. Pendapatan Nelayan Menurut Dua Jenis Alat Tangkap yang Utama Selain pengaruh musim, pendapatan nelayan dipengaruhi juga oleh alat tangkap yang digunakan. Kajian ini mengidentifikasi alat-alat tangkap yang banyak dipakai adalah pancing, jaring/jala, bubu, panah, dan gancu. Pada bagian ini dikemukakan pendapatan dari dua jenis alat tangkap yang utama

semua desa/kelurahan, yaitu: pancing dan jaring/jala.

Tabel 4.8.

di

Statistik Pendapatan Rumah Tangga Nelayan Menurut Alat Tangkap Pancing dan Jaring di Desa Mola Selatan, Waha dan Kelurahan

Wandoka, Tahun 2006

Pendapatan (RP) Jenis Alat Tangkap & Tangkapan/Budidaya Rata-rata Minimum Maksimum

N

Nelayan Pancing 734.162 43.333 4.583.333 42

Nelayan Jaring/jala 523.205 97.500 2.725.000 34

Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, 2006 ♦ Nelayan Pancing Pancing merupakan alat tangkap yang sangat penting dan dominan di seluruh lokasi penelitian. Alat ini terutama digunakan untuk menangkap ikan karang hidup (kerapu dan sunu) dan tuna di laut dalam, di samping ikan-ikan jenis lainnya, termasuk ikan-ikan karang, cakalang dan ikan pelagis lainnya. Nelayan menggunakan berbagai mata pancing, disesuaikan dengan jenis ikan yang ditangkap, seperti: ikan tuna menggunakan pancing no.4, cakalang no. 7, 8, 10, ikan merah, kerapu, sunu dan ikan batu memakai pancing no.8, 10, dan 13. Dari hasil survei terhadap 42 nelayan pancing dapat diketahui bahwa rata-rata pendapatan nelayan pancing sebesar Rp 734.000 per bulan. Rata-rata ini lebih besar jika dibandingkan dengan rata-rata pendapatan nelayan

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 144

Page 162: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

jaring/jala atau penduduk desa/kelurahan di ketiga lokasi penelitian. Pendapatan nelayan pancing juga menduduki urutan tertinggi untuk pendapatan maksimum di lokasi kajian, yaitu sebesar Rp 4.580.000 perbulan dan sebaliknya menduduki urutan terendah untuk pendapatan minimum, sebesar Rp 43.000 per bulan. Namun jika ditelusuri lebih jauh, pendapatan nelayan pancing bervariasi

enurut jenis ikan dan biota yang di tangkap. Salah satu contoh jenis ikan

ntar musim. Pada usim gelombang lemah, nelayan melaut sebanyak 25 kali per bulan namun

yang menghasilkan hanya 10 k pendapatan bersih yang biasa d seka rga Rp 200.000, ransum seb kok seharga Rp 7.000.

endapatan pada musim gelombang lemah sangat tinggi, yaitu sekitar Rp 10 ada musim p si melaut nelayan tu p ha u si da musim gelom ang lemah. Dengan dem p enurun t 2.500 u n at dari p im ge a m enurun p ng ku te m 10 i

ya

m gelombang lemah.

myang ditangkap dengan pancing adalah ikan tuna. Sebagai ilustrasi dikemukakan pendapatan seorang nelayan tuna yang menggunakan perahu motor berkapasitas 26 PK, sehingga mampu melaut sepanjang tahun pada wilayah tangkap yang cukup luas sampai 10 mil dari permukimannya. Pendapatan nelayan tuna tersebut sangat bervariasi am

ali dengan iperoleh sebanyak Rp 1000.000 sekali melaut. Biaya yang dikeluarkan

li melaut sebesar Rp 217.000 untuk keperluan pembelian solar sehaesar Rp 10.000 dan ro

P.000.000 per bulan. Pna ini berkurang cuku

ancaroba, frekuensignifikan, mpir separ

ikian pendadari frekuen

atannyapun m pa

bajam menjadi Rp .000 per b lan atau ha ya seperempendapatan pada musada musim gelomba

lombang lemat, nelayan

h. Frekuensirsebut hanya

elaut terus melaut sekitar kal

per bulan dan hanya sekitar 3 kali yang mendapatkan hasi. Pendapatannrus turun sampai Rp 1.000.000 per bulan atau hanya 10 persen dari te

pendapatannya pada musi Contoh nelayan pancing yang lain dari nelayan gurita yang diakui menggunakan pancing (meskipun banyak juga yang menggunakan panah dan cungkil batu). Rata-rata pendapatan nelayan gurita dari Mola Selatan ini sebesar Rp 613.000 per bulan. Jumlah ini jauh lebih rendah dari rata-rata pendapatan nelayan pancing. Maksimum pendapatan nelayannya hanya mencapai Rp 973.000, jauh lebih rendah, lebih dari empat kali lipat jika dibandingkan dengan rata-rata pendapatan nelayan pancing di lokasi penelitian.

Kasus Kabupaten Wakatobi 145

Page 163: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

♦ Nelayan Jaring/jala Selain pancing, jaring/jala juga banyak dipakai di lokasi penelitian. Jenis jaring bervariasi disesuaikan dengan jenis ikan yang ditangkap dan variasi antar lokasi. Di Desa Waha, nelayan banyak menggunakan jaring tasik dan

ilon untuk menangkap ikan-ikan karang di perairan sekitar permukiman.

aring, studi ini juga akan engungkapkan pendapatan pemilik rumpon. Rata-rata pendapatan yang

nDi samping itu, jaring juga sangat penting bagi nelayan rumpon yang menangkap berbagai jenis ikan, seperti: momar/layang, ikan tolai/tongkol kecil dan cakalang kecil. Ikan-ikan dari rumpon ditangkap pada wilayah sekitar 2-3 mil dari permukiman, sedangkan ikan-ikan karang dan lainnya ditangkap di perairan sekitar desa. Penggunaan jaring untuk menangkap ikan di rumpon juga banyak ditemukan di Kelurahan Wandoka. Di kelurahan ini terdapat 40-50 rumpon yang dioperasikan di laut lepas, sekitar 2 mil dari permukiman. Sedangkan di Mola jaring hanya digunakan oleh sebagian kecil nelayan untuk menangkap ikan di rumpon yang jumlahnya hanya 10 dan ikan-ikan karang dan lainnya. Dari hasil survei terhadap 34 nelayan jaring/jala yang menangkap ikan-ikan karang di perairan sekitar permukiman diketahui bahwa rata-rata pendapatan nelayan sebesar Rp 523.000 per bulan. Besarnya rata-rata pendapatan ini lebih kecil dari rata-rata pendapatan nelayan pancing dan rumah tangga responden di tiga desa/kelurahan kajian. Pendapatan maksimum yang diperoleh nelayan jaring sebesar 2.725.000 per bulan atau 59 persen lebih rendah dari pendapatan maksimum nelayan pancing. Sebaliknya dengan pendapatan minimum, nelayan jaring pendapatannya lebih tinggi, lebih dari dua kali lipat jika dibandingkan dengan nelayan pancing. Di samping rata-rata pendapatan nelayan jmdiperolehnya jauh lebih tinggi dari nelayan jaring yang menangkap ikan dasar di perairan Desa Waha dan Wandoka. Ilustrasi pendapatan pemilik rumpon ini perlu diungkapkan, karena rumpon merupakan salah satu alternatif penggunaan alat tangkap dalam usaha peningkatan usaha perikanan di Kabupaten Wakatobi.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 146

Page 164: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

4.3. Sintesa Hasil kajian ini menggambarkan bahwa sebagian rumah

Ilustrasi Pendapatan Nelayan Pemilik Rumpon Musim Barat bulan 12 – 5 Produksi : 40 baskom (40-50 kg per baskom) atau 2.000 – 3.500 kg per hari Harga ikan Rp 20.000 per baskom Penghasilan Rp 800.000 per hari Total biaya Rp 210.000 per hari (biaya operasional Rp 30.000 per hari danupah penjualan Rp 180.000 atau Rp 5000 per baskom ) Pendapatan per hari Rp 590.000 Musim Teduh bulan 9 – 11 Produksi: 12 baskom per hari atau 500-700 kg Harga ikan Rp Rp 150.0000 per baskom. Penghasilan Rp 1.800.000 per hari Total biaya Rp 210.000 per hari (biaya operasional Rp 30.000 dan upahmenjual ikan Rp 180.000 atau Rp 15.000 per baskom) Pendapatan Rp 1.590.000 per hari Sumber : Wawancara Terbuka Dengan Nelayan Rumpon di Wandoka

tangga/penduduk esa Mola Selatan, Waha dan Kelurahan Wandoka mempunyai pendapatan

egori miskin, diikuti oleh rumah tangga Desa Waha sebanyak 40 persen dan 28 persen di Desa Mola Selatan.

Besarnya pendapatan rumah tangga di ke tiga lokasi penelitian ini berasal dari 8 lapangan kerja. Rata-rata pendapatan rumah tangga terbesar disumbangkan oleh transportasi/angkutan, diikuti oleh perdagangan dan perikanan. Sedangkan lapangan kerja dari pengolahan/industri rumah tangga

Dkurang dari Rp 500.000 atau berada pada kisaran garis kemiskinan untuk Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) dan Kabupaten Buton. Hampir separuh rumah tangga termasuk dalam kategori penduduk miskin dengan pendapatan yang bervariasi antara kurang dari Rp 100.000 sampai dengan Rp 399.000 per bulan. Penduduk miskin tersebar di semua lokasi dengan persentase tertinggi terdapat di Kelurahan Wandoka dimana lebih dari separuh rumah tangganya (58 persen) termasuk katdi

Kasus Kabupaten Wakatobi 147

Page 165: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

kontribusinya paling rendah, mengingat terbatasnya keterampilan rumah tangga untuk m n. Jika ditelusuri lebih lanjut, perika inan d mah ta esa Mola Selatan dan Waha. Tetapi, la ya ra 8 lapangan pekerjaan di lokasi pene ini dicerminkan dari sebagian besar rumah tangga nelayan mempunyai pendapatan kurang dari R kebanyakan berpendapatan kurang dari Rp 5 ini mengindikasikan bahwa b ang termasuk kategori miskin, m daripada rumah tangga di ke tiga lokasi p D yang memiliki pendapatan kurang dari Rp 5 pancaroba sam ebelumnya menggambarkan bahwa persentase rumah tangga meningkat secara substansial dari 40 persen pada musim gelombang lemah, naik menjadi 66

ersen pada musim pancaroba, dan terus meningkat sampai 81 persen pada usim gelombang kuat. Terdapat perbedaan yang signifikan, dua kali lipat,

gelombang lemah dan kuat. Pada musim gelombang lemah, urang dari separuh rumah tangga berpendapatan kurang dari Rp 500.000,

tor truktural adalah faktor-faktor yang berkaitan dengan kebijakan, program

elakukan kegiatan ini di semua lokasi penelitia

nan merupakan kegiatan yang doman menjadi sumber pendapatan yang penting bagi sebagian besar rungga responden, terutama di Dpangan kerja ini belum memberikan kontribusi yang utama bagi besarnta-rata pendapatan rumah tangga, hanya menduduki urutan ke 4 dari

litian. Keadaan

p 1000.000 per bulan dan00.000. Gambaran besarnya pendapatananyak rumah tangga nelayan (36) yeskipun jumlahnya lebih sedikit

enelitian.

istribusi rumah tangga nelayan 00.000 bervariasi menurut musim, musim gelombang lemah,

pai dengan gelombang kuat. Analisa pada bagian s

pmantara musimkkemudian meningkat tajam, sehingga pada musim gelombang kuat, sebagian besar rumah tangga termasuk dalam kategori berpendapatan paling rendah ini. Besarnya pendapatan rumah tangga di Desa Mola Selatan, Waha dan Kelurahan Wandoka di pengaruhi oleh banyak faktor. Pada dasarnya faktor-faktor ini dapat dikelompokkan dalam tiga bagian, yaitu: faktor internal, eksternal dan struktural. Faktor internal merupakan faktor-faktor yang bersumber dari dalam diri rumah tangga penduduk atau nelayan, sedangkan faktor eksternal berakar dari faktor-faktor luar yang berpengaruh. Faksdan peraturan tentang sumber daya laut dan pengelolaannya.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 148

Page 166: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Faktor Internal Analisa pada bagian terdahulu menggambarkan faktor internal yang

asuk: perikanan, pertanian, pertambangan, perdagangan, ansportasi/angkutan, jasa pemerintahan, bangunan dan industri rumah

t tergantung pada laut. Sebagian besar daratan Desa Mola dibagun dari asil reklamasi. Penduduk desa mulanya membangun rumah di atas laut,

mempengaruhi pendapatan rumah tangga di Desa Mola Selatan, Waha dan Kelurahan Wandoka adalah sumber pendapatan dan kapasitas pemanfaatan sumber daya laut, termasuk teknologi dan wilayah tangkap serta biaya produksi/tangkap. Di samping itu, kualitas sumber daya manusia (SDM), seperti pendidikan dan keterampilan, juga mempunyai peran penting dalam menentukan besarnya pendapatan penduduk di lokasi kajian. Sumber Pendapatan Sumber pendapatan di lokasi kajian bervariasi, baik dalam satu lokasi maupun antar lokasi. Variasi ini digambarkan dari banyaknya lapangan kerja, termtrtangga. Dari 8 lapangan pekerjaan ini perikanan menduduki urutan pertama dan mendominasi lapangan kerja di semua lokasi kajian. Dominasi perikanan ini dapat dipahami mengingat lokasi penelitian terletak di pulau kecil yang dikelilingi oleh laut dengan potensi sumber daya laut yang sangat tinggi. Sedangkan pertanian dan pertambangan menduduki urutan ke dua dan tiga. Pertanian potensial, terutama di Desa Waha dan Kelurahan Wandoka, karena lahan pertanian cukup tersedia di kedua daerah tersebut. Sebaliknya dengan Desa Mola Selatan, kegiatan pertanian hampir tidak ada mengingat terbatasnya lahan di desa ini dan dominasi suku Bajo yang kehidupannya sangahnamun kemudian membuat fondasi rumah menggunakan batu-batu karang, sehingga menjadi daratan. Kegiatan pertambangan, khususnya penambangan pasir dan batu karang banyak dilakukan penduduk Desa Mola Selatan. Penambangan pasir dan batu karang yang semula hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri, telah berubah menjadi kegiatan komersil karena banyaknya permintaan terhadap pasir dan batu karang, terutama saat ini dimana pembangunan dilakukan secara besar-besaran, khususnya di Kota Wanci yang menjadi ibukota Kabupaten Wakatobi.

Kasus Kabupaten Wakatobi 149

Page 167: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Kapasitas Pemanfaatan Sumber Daya Laut

nalisa pada bagian sebelumnya menggambarkan bahwa secara umum kan penduduk dalam memanfaatkan sumber daya laut

asih terbatas. Keadaan ini dapat diketahui dari armada tangkap yang

kecil, yaitu sekitar 2,8 meter, hanya sebagian kecil saja yang empunyai bodi 6 – 12 meter.

ng lebih besar dengan kapasitas mesin/motor yang lebih besar juga, seperti 24-26 PK.

Kapasitas atau kemampuan penduduk untuk memanfaatkan potensi sumber daya laut (SDL) juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap pendapatan penduduk. Kapasitas ini dapat diketahui dari teknologi, wilayah tangkap dan kemampuan untuk membiayai kegiatan. • Teknologi Ateknologi yang digunamdigunakan penduduk, termasuk kapasitas perahu, motor/mesin dan peralatan tangkap yang digunakan masih sederhana. Lebih dari separuh perahu yang digunakan dalam penangkapan ikan adalah perahu tanpa motor, sedangkan sisanya adalah perahu motor dalam dan motor tempel. Ukuran mesin/motor yang digunakan bervariasi, kebanyakan berukuran 2,5 - 5,5 PK, sebagian kecil yang mempunyai mesin/motor berukuran 20 - 26 PK dan hanya satu rumah tangga responden yang mempunyai mesin/motor berkapasitas 115 PK. Sesuai dengan kapasitas mesin/motor, bodi perahu juga berukuran relatif m Kebanyakan nelayan di Desa Waha dan Kelurahan Wandoka menggunakan armada tangkap dengan perahu mesin/motor berkapasitas 5,5 PK. Dengan kapasitas armada ini tentu saja wilayah tangkap nelayan juga terbatas di perairan laut sekitar 2-3 mil dari desa/kelurahan saja. Armada tangkap dengan kapasitas ini juga tidak mampu beroperasi pada musim gelombang kuat. Namun di Desa Waha terdapat satu responden yang mempunyai perahu ketinting berkapasitas besar, yaitu: 115 PK, digunakan untuk menangkap ikan tuna pada wilayah tangkap yang jauh lebih luas di laut lepas. Berbeda dengan Desa Waha dan Kelurahan Wandoka, nelayan Desa Mola Selatan menangkap ikan, khususnya tuna pada wilayah tangkap yang jauh lebih luas, mencapai 20-30 mil dari permukiman penduduk. Kegiatan hanya dapat dilakukan menggunakan armada tangkap ya

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 150

Page 168: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Peralatan Tangkap Alat tangkap bervariasi disesuaikan dengan jenis ikan yang akan ditangkap, armada dan wilayah tangkap nelayan. Alat tangkap yang dominan di tiga lokasi penelitian adalah pancing dan jaring. Pancing biasanya dipakai untuk menangkap ikan karang dan tuna di semua lokasi, sedangkan jaring

igunakan nelayan rumpon dan nelayan yang menangkap ikan dengan ggir pantai, terutama di Waha dan Wandoka. Sebagian kecil

elayan menggunakan bubu, terutama digunakan nelayan Desa Waha dan

bangkan usaha perikanan tangkap sebagian esar nelayan di Desa Mola Selatan, Waha dan Kelurahan Wandoka.

layan. Sebagai kompensasi nelayan harus menjual hasil tangkapan ada pedagang/koordinator/bos ikan tersebut yang juga menentukan harga

dsampan di pinnKelurahan Wandoka, dan panah/cungkil batu yang dipakai nelayan Mola Selatan untuk menangkap gurita di karang. Di samping itu, beberapa nelayan, khususnya nelayan Mola Selatan, masih menggunakan bahan beracun (bius) untuk menangkap ikan karang hidup. Jumlah nelayan dan frekuensi penangkapan dengan bahan ini sudah berkurang secara signifikan di kawasan karang Wakatobi. Sedangkan bahan peledak bom, hampir tidak ada lagi, dilakukan oleh nelayan dari luar. Keterbatasan Modal Dari analisa sebelumnya terungkap bahwa keterbatasan modal menjadi kendala nelayan untuk mengembGambaran ini secara jelas dapat dilihat dari armada tangkap yang kapasitasnya masih terbatas, terutama di Waha dan Wandoka, sehingga membatasi wilayah dan waktu tangkap nelayan. Keadaan semakin sulit dengan naiknya harga bahan bakar, karena biaya melaut nelayan semakin tinggi. Sedangkan di Mola Selatan, keterbatasan modal nelayan diatasi oleh pedagang pengumpul, koordinator dan bos ikan yang memberikan bantuan pada nepikan dan hasil tangkapan lainnya. Dengan demikian, nelayan Mola terikat dengan koordinator/bos ikan. Keadaan ini berbeda dengan nelayan Waha dan Wandoka yang bebas menjual ikan sesuai dengan kesepakatan harga dengan pembeli.

Kasus Kabupaten Wakatobi 151

Page 169: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Keterbatasan Keterampilan

mahal, mereka juga umumnya elum mempunyai kotak pendingin untuk menyimpan ikan.

ilan, odal untuk megolah ikan juga terbatas dan pemasaran juga masih belum

adi kendala untuk kegiatan pasca tangkap ini. Di amping itu, kepedulian penduduk akan pentingnya pengolahan pasca

usim

elaut namun frekuensinya berkurang disesuaikan dengan kondisi iklim. Keadaan ini mempengaruhi besarnya pendapatan. Dari perhitungan pendapatan ternyata pendapatan tertinggi diperoleh pada musim gelombang

Analisa sebelumnya juga mengungkapkan bahwa keterbatasan keterampilan penduduk, terutama nelayan, juga berpengaruh terhadap pendapatan. Keadaan ini terutama terasa pada musim teduh ketika hasil produksi laut melimpah dan sesuai dengan hukum ekonomi, maka harga ikan dan biota laut lainnya menjadi sangat rendah. Pada saat ini nelayan berada pada posisi tawar yang lemah, mereka ’terpaksa’ menjual hasil tangkapan dengan harga yang rendah. Nelayan juga belum mampu mempertahankan kesegaran ikan melalui proses pembekuan atau pendinginan karena memerlukan es dalam jumlah yang besar padahal harganya cukupb Pengolahan pasca tangkap sangat penting untuk dilakukan, namun kegiatan ini masih sangat minim. Hal ini berkaitan erat dengan keterampilan nelayan dan penduduk lainnya untuk mengolah ikan. Selama ini pengolahan yang dilakukan terbatas pada pengasinan dan pengeringan. Selain keterampmjelas, sehingga menjstangkap juga masih terbatas. Faktor Eksternal Selain faktor internal, pendapatan nelayan juga dipengaruhi oleh faktor eksternal yang berasal dari luar, seperti: musim, pemasaran dan harga hasil tangkapan, sarana dan prasarana, serta kompetisi dalam pemanfaatan SDL. M Dari analisa sebelumnya digambarkan bahwa musim mempunyai peran yang sangat besar dalam kegiatan kenelayanan penduduk di semua lokasi penelitian. Pada musim teduh atau gelombang lemah, semua nelayan turun kelaut untuk menangkap ikan, sebaliknya kebanyakan nelayan tidak dapat melaut pada musim gelombang kuat, karena armada tangkap nelayan belum mampu untuk beroperasi pada musim ini. Sedangkan pada musim pancaroba, nelayan masih m

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 152

Page 170: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

lemah dan yang terendah pada musim gelombang kuat. Pendapatan musim duh dua kali lebih besar dari pada musim gelombang kuat, terutama bagi

arga ditentukan erdasarkan kesepakatan bersama antara nelayan dan pembeli. Pola ini

an mendapat bantuan mereka untuk melaut dan emenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Pada pola ini posisi tawar nelayan

karena harga ditentukan oleh pedagang engumpul/koordinator/bos ikan tersebut.

a roduksi perikanan, dan sebaliknya pada musim gelombang lemah harga

stis, bisa sampai 5-10 kali lebih rendah dari harga pada musim elombang kuat. Sebagai contoh, harga ikan Rp 2.500 per ikat (10 ekor)

n harga yang relatif mahal, karena pabrik es di Wakatobi elum mencukupi, sehingga harus diimpor dari Bau-Bau. Kotak pendingin

tenelayan yang berpendapatan kurang dari Rp 500.000. Sedangkan pendapatan pada musim pancaroba besarnya pendapatan berada diantara dua musim lainnya. Pemasaran Hasil Tangkap Pemasaran dan harga ikan dan biota laut juga mempengaruhi besarnya pendapatan nelayan. Dari analisa sebelumnya terungkap adanya dua pola pemasaran di lokasi penelitian. Pertama, nelayan bebas menjual ikan dan hasil laut lainnya di pasar dan/atau langsung ke konsumen. Hbterutama dilakukan oleh nelayan dari Desa Waha dan Kelurahan Wandoka. Namun, wilayah pemasaran hanya terbatas di pasar Wanci dan sekitar permukiman saja, yang dilakukan oleh papalele yang terdiri dari ibu-ibu rumah tangga. Pola ke dua, nelayan terikat pada pedagang pengumpul/koordinator/bos ikan untuk menjual hasil tangkapannya. Pola ini terutama terjadi di Desa Mola Selatan, karena banyak nelaymsangat lemah, p Selain itu, harga hasil perikanan juga dipengaruhi musim. Pada musim gelombang kuat harga ikan dan biota laut tinggi, karena terbatasnypturun dragpada musim teduh dan naik menjadi Rp 15.000 pada musim gelombang kuat. Sehingga, meskipun memperoleh banyak hasil, pendapatan yang diterima nelayan juga masih terbatas. Sarana yang diperlukan oleh nelayan untuk memperlancar pemasaran hasil dan memperoleh harga yang tinggi juga masih sangat minim. Es yang sangat diperlukan nelayan untuk mempertahankan kesegaran ikan jumlahnya terbatas dengabjuga masih sangat terbatas, terutama hanya dipunyai oleh pedagang

Kasus Kabupaten Wakatobi 153

Page 171: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

pengumpul/koordinator dan bos-bos ikan, padahal sangat diperlukan untuk mempertahankan kualitas hasil tangkapan. Kompetisi dalam Pemanfaatan SDL Kondisi perikanan nelayan Wakatobi semakin sulit karena mereka harus

n dari luar dalam memanfaatkan sumber daya ut di perairan kabupaten ini. Banyak nelayan dari luar beroperasi di

Lombok menggunakan pukat lingkar menyebabkan semua ikan dan anak-anaknya terangkat

i para pelanggar, mempunyai pengaruh tidak ngsung pada pendapatan nelayan. Sebagai contoh yang positif, penegakan

berkompetisi dengan nelayalakawasan karang Wakatobi yang merupakan wilayah tangkap nelayan setempat, antara lain: • Nelayan dari Sinjay dan Manui menangkap gurita dan biota laut lainnya,

seperti mata tujuh dan teripang di karang Kapota, Kaledupa, Maromahu, Tomia dan Binongko. Kegiatan ini masih terus berlangsung, karena satu kapal mempunyai izin, dan izin tersebut dimanfaatkan kapal-kapal nelayan lainnya dengan cara memfotocopynya

• Nelayan dari

• Nelayan dari Sulsel menggunakan pukat harimau yang datang ke Waha 2-3 kali per bulan. Jumlah nelayan cukup banyak, menggunakan 5 kapal.

Armada dan alat tangkap yang digunakan nelayan luar kapasitasnya jauh lebih besar daripada nelayan Wakatobi. Akibatnya nelayan lokal kalah bersaing dengan nelayan dari luar tersebut. Faktor Struktural Pendapatan secara tidak langsung juga dipengaruhi oleh faktor struktural, seperti: peraturan dan penegakan hukum serta program pengelolaan dan pemberdayaan masyarakat pesisir. Peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan SDL, seperti: larangan penggunaan bahan dan alat yang merusak, seperti bom dan bius, dan penambangan batu karang dan pasir, serta penegakan hukum baglahukum bagi pengebom di Desa Waha telah berhasil menghentikan kegiatan tersebut selama tiga tahun terakhir. Terumbu karang yang hancur akibat pengeboman mulai tumbuh dan berkembang, sehingga semakin banyak ikan di kawasan karang desa ini. Sebaliknya, penambangan karang dan pasir yang masih terus berlangsung karena lemahnya penegakan hukum, memicu semakin tingginya abrasi pantai di Desa Waha dan Kelurahan Wandoka.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 154

Page 172: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Sedangkan pengaruh secara langsung, misalnya dari kontribusi program pengelolaan dan pemberdayaan masyarakat pesisir terhadap pendapatan

asyarakat masih sangat terbatas. Di Kabupaten yang baru terbentuk ini an masyarakat, antara lain: PEM dari

epartemen Kelautan dan Perikanan, COREMAP dan program

ga belum menyentuh kegiatan ekonomi (alternatif) ntuk peningkatan pendapatan masyarakat.

Sepemm urigaan pada sebagian

te rigai program-program di desa ini

te an ereka tergantung pada karang. Keadaan ini perlu segera diatasi dengan

mprogram yang langsung berkaitan dengDpemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh LSM, seperti TNC dan WWF. Program PEM masih terbatas pada desa/kelurahan tertentu saja, karena itu hanya dirasakan oleh hanya sebagian kecil anggota masyarakat saja. Sedangkan program-program yang lain masih dalam proses pengembangan, sehingu

bagian masyarakat di Desa Mola Selatan, Waha dan Kelurahan Wandoka rnah mendengar COREMAP dan kegiatan dari TNC dan WWF, namum ereka belum memahami program-program tersebut. Sosialisasi program asih terbatas, sehingga menimbulkan kec

masyarakat. Di Mola Selatan, misalnya, sebagain anggota masyarakat, rutama dari suku Bajo, mencu

akan ’mengganggu’ kegiatan nelayan di karang, karena informasi yang rsebar adalah larangan kegiatan nelayan di karang, padahal kehidup

mpemberian informasi secara lengkap dan menyentuh seluruh anggota masyarakat. Hal ini sangat penting untuk mencegah adanya antipati terhadap pelaksanaan program-program tersebut.

Kasus Kabupaten Wakatobi 155

Page 173: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Bab terakhir ini merupakan kesimpulan dari hasil penelitian aspek sosial terumbu karang di Kabupaten Wakatobi, khususnya Desa Mola Selatan, Kecamatan Wangi-Wangi Selatan, Desa Waha dan Kelurahan Wandoka, Kecamatan Wangi-Wangi. Kajian ini dimulai dari gambaran lokasi penelitian, kondisi sumber daya alam/laut (SDA/SDL) dan sumber daya manusia (SDM). Sebagai kawasan yang didominasi laut, pemanfaatan SDL

erupakan kegiatan ekonomi yang penting bagi masyarakat, namun armada

ati yang tinggi. Terumbu karang membentang dari Pulau Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko serta kawasan-kawasan karang di sekitar pulau-pulau kecil

innya. Potensi inilah yang menjadi landasan penting bagi pemerintah dalam menetapkan kawasan Wakatobi sebagai daerah konservasi Taman Laut Nasional. Kekayaan dan keindahan terumbu karang dan SDL di kawasan Wakatobi telah dimanfaatkan, terutama untuk kegiatan perikanan dan pariwisata bahari. Perikanan, khususnya di kawasan karang, telah dilakukan secara intensif tidak hanya oleh nelayan setempat melainkan juga oleh nelayan-nelayan dari luar daerah, seperti Sinjay, Manui, Madura dan Lombok. Eksploitasi terumbu karang melalui kegiatan perikanan telah memberikan tekanan terhadap kawasan karang, terutama penggunaan bahan dan alat yang merusak, seperti: bius, bom, panah/cungkil/linggis dan bubu, dan penambangan batu karang dan pasir. Kegiatan perikanan yang tidak ramah lingkungan ini telah menimbulkan kerusakan terumbu karang di berbagai kawasan, terutama karang kapota.

mtangkap yang digunakan kebanyakan nelayan, kapasitasnya masih terbatas. Keadaan ini mempengaruhi wilayah tangkap dan produksi perikanan di kawasan ini. Meskipun pemanfaatan SDL belum optimal, sumber daya laut, terutama terumbu karang, telah dieksploitasi secara intensif, sehingga berpengaruh terhadap kondisi terumbu karang di kawasan ini. 5.1. Kesimpulan Sesuai dengan namanya yang merupakan singkatan dari nama-nama pulau, wilayah Wakatobi terdiri dari kepulauan yang wilayahnya didominasi oleh perairan laut. Sebagai segi tiga karang dunia, Wakatobi sangat kaya akan terumbu karang dengan keanekaragaman hay

la

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 156

Page 174: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Tekanan terhadap karang telah m n berkurangnya tutupan karang di kawasan Wakatobi, sehingga karang di kawasan in erubahan kategori ini menjadi warning atau peringatan akan pentingnya menjaga dan melindungi terumbu karang agar kon isinya tidak semakin memburuk dan

ini belum imanfaatkan secara optimal. Potensi yang masih sangat besar perlu

uk menambah pendapatan daerah dan meningkatkan esejahteraan masyarakat. Untuk itu, pemerintah daerah (Pemda) Kabupaten

rendah, diindikasikan oleh lebih dari separuh rumah tangga sponden mempunyai pendapatan kurang dari Rp 500.000 per bulan.

il, distribusi terbanyak mempunyai

enyebabka pada tahun 2006 kondisi terumbu

i telah berubah dari kategori baik menjadi sedang. P

dpemanfaatannya dapat dilakukan secara berkelanjutan. Meskipun sebagian besar wilayah Kabupaten Wakatobi adalah laut, hanya sebagian penduduknya mempunyai pekerjaan utama di subsektor perikanan. Keadaan ini digambarkan dari empat kecamatan di kabupaten ini, hanya Kecamatan Kaledupa yang hampir separuh penduduknya bekerja di perikanan, sedangkan penduduk di Kecamatan Wangi-Wangi, Tomia dan Binongko sebagian besar bekerja di perkebunan, dengan komoditi utama adalah jambu mete dan kelapa. Gambaran pekerjaan penduduk Kabupaten Wakatobi mengindikasikan bahwa potensi sumber daya laut (SDL) di Kabupatenddikembangkan untkWakatobi yang baru terbantuk tahun 2003 telah menetapkan Visi Daerah yaitu: ’Surga Di Bawah Laut’. Untuk mewujudkan visi ini, Pemda telah merencanakan Perikanan Laut dan Pariwisata sebagai program unggulan Kabupaten Wakatobi. Pendapatan Rumah Tangga Pendapatan rumah tangga di Desa Mola Selatan, Waha dan Kelurahan Wandoka relatifrePersentasenya bervariasi antar daerah, paling tinggi terdapat di Kelurahan Wandoka dimana lebih dari dua pertiga rumah tangga responden (68 persen) berpendapatan kurang dari Rp 500.000, dan yang paling rendah terdapat di Desa Mola Selatan (44 persen). Sedangkan pendapatan rumah tangga di Desa Waha berada diantara kedua desa/kelurahan tersebut (53 persen).

Gambaran di atas mengindikasikan bahwa hampir separuh (41 persen) rumah tangga di ke tiga lokasi penelitian termasuk kategori miskin, sesuai dengan garis kemiskinan Provinsi Sultra dan Kabupaten Buton. Penduduk yang berpendapatan kurang dari Rp 500.000 tersebar dalam beberapa kelompok pendapatan yang lebih kec

Kasus Kabupaten Wakatobi 157

Page 175: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

pendapatan kurang dari 100.000 per bulan dan sisanya termasuk dalam kelompok pendapatan Rp 100.000 – Rp 399.000. Penduduk miskin menyebar di semua lokasi, persentase terbesar terdapat di Kelurahan Wandoka (58 persen) dan terkecil di Desa Mola Selatan (28 persen). Sedangkan penduduk miskin di Desa Waha persentasenya berada diantara ke dua lokasi lain, yaitu sebesar 40 persen.

endapatan, nilai median ini lebih mendekati enyataan besarnya pendapatan di semua lokasi, karena separuh dari rumah

Desa Waha (35 persen) dan Desa Mola Selatan (31 persen).

Dari hasil survei juga terungkap bahwa rata-rata pendapatan penduduk di tiga lokasi penelitian sebesar Rp 600.000 per bulan. Rata-rata pendapatan bervariasi antar desa/kelurahan, paling tinggi terdapat di Desa Waha (Rp 700.000 per bulan) dan sebaliknya yang terendah di Kelurahan Wandoka (Rp 500.000 per bulan). Rata-rata pendapatan di tiga lokasi ini lebih besar daripada nilai median, yaitu sebesar Rp 453.000 per bulan. Jika dibandingkan dengan rata-rata pktangga responden berpendapatan kurang dari Rp 500.000 per bulan. Pendapatan penduduk di Desa Mola Selatan, Waha dan Kelurahan Wandoka berasal dari berbagai sumber. Studi ini mengidentifikasi 8 lapangan pekerjaan, yaitu: perikanan, pertanian, pertambangan, perdagangan, transportasi, jasa/pemerintahan, bangunan dan pengolahan/industri rumah tangga. Sebagian besar rumah tangga (61 persen) pendapatannya diperoleh dari perikanan, sedangkan sisanya (39 persen) tersebar di 7 lapangan pekerjaan lainnya. Pendapatan dari Perikanan Sebagian besar rumah tangga nelayan di Desa Mola Selatan, Waha dan Kelurahan Wandoka berpendapatan kurang dari Rp 1000.000 dan kebanyakan kurang dari Rp 500.000 per bulan. Mengacu pada garis kemiskinan Provinsi Sultra dan Kabupaten Buton, lebih dari sepertiga dari total rumah tangga nelayan (36 persen) termasuk dalam kategori nelayan yang miskin, sedikit lebih rendah dari total penduduk di lokasi-lokasi tersebut. Jumlah nelayan miskin bervariasi antar daerah dengan Kelurahan Wandoka mempunyai nelayan miskin terbanyak (53 persen), diikuti

Banyaknya nelayan miskin di tiga lokasi penelitian ini memperkuat steriotipe (pandangan) yang mengatakan bahwa masyarakat pesisir, khususnya nelayan, sebagai masyarakat yang miskin. Steriotipe ini sudah

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 158

Page 176: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

berlangsung sejak lama dan menjadi isu/permasalahan yang krusial di wilayah pesisir Indonesia. Besarnya pendapatan nelayan sangat dipengaruhi oleh musim, yaitu: musim gelombang lemah, pancaroba dan gelombang kuat. Rata-rata pendapatan nelayan mengalami penurunan dari musim gelombang lemah, pancaroba sampai gelombang kuat, yaitu dari Rp 896.000 turun menjadi Rp 411.000

ketika endapatan nelayan hanya sampai pada kategori Rp 2.000.000 – 2.499.000,

ng Berpengaruh terhadap Pendapatan dan engelolaan SDL

esarnya pendapatan penduduk dan kondisi pengelolaan SDL di Kabupatan

ra berkebun secara adisional tanpa perlakukan khusus, seperti melakukan pemupukan dan

dan terus turun sampai Rp 329.000 per bulan. Dengan demikian rata-rata pendapatan nelayan pada musim gelombang lemah sebesar 2,2 kali lipat dari pada musim pancaroba dan 2,7 kali lebih besar dari musim gelombang kuat. Pada musim gelombang lemah, pendapatan nelayan tersebar disemua kategori pendapatan mulai dari kurang Rp 500.000 sampai dengan lebih dari Rp 3.500.000. Kebanyakan nelayan mengelompok pada kategori paling rendah dan hanya 2 responden yang pendapatannya masuk kategori tertinggi. Sebaran pendapatan mengalami perubahan pada musim pancarobapdan hanya dikontribusikan oleh satu persen responden saja, karena kebanyakan berpendapatan kurang dari Rp 500.000. Kategori tertinggi dari pendapatan semakin menurun pada musim gelombang kuat, yaitu hanya sampai : Rp 1.000.000 – 1.499.000 yang disumbangkan hanya oleh 5 persen responden saja. Faktor-faktor yaP BWakatobi, khususnya lokasi penelitian, dipengaruhi oleh faktor internal, eksternal dan struktural. Faktor internal berkaitan erat dengan kapasitas penduduk, terutama teknologi yang digunakan dan modal produksi. Sebagian besar penduduk, baik yang bekerja di perikanan maupun pertanian/perkebunan masih menggunakan teknologi yang sederhana, diindikasikan dari armada tangkap yang kapasitasnya masih sangat terbatas. Dengan keterbatasan armada tangkap tersebut, wilayah tangkap dan produksipun juga terbatas, terutama pada musim gelombang kuat. Di perkebunan, penduduk juga masih mempraktekkan catrpengolahan tanah secara teratur. Faktor internal yang juga penting adalah modal usaha yang terbatas, karena sulit bagi nelayan dan petani untuk meningkatkan usahanya, padahal kondisi saat ini semakin sulit, karena biaya

Kasus Kabupaten Wakatobi 159

Page 177: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

operasional, khususnya biaya melaut, semakin tinggi dengan naiknya harga bahan bakar. Selain faktor internal, pendapatan penduduk juga dipengaruhi oleh faktor eksternal di luar kemampuan penduduk, seperti: musim, pemasaran dan harga, sarana dan prasarana serta kompetisi dalam pemanfaatan sumber daya laut (SDL). Musim sangat mempengaruhi kegiatan dan pendapatan nelayan. Dengan armada yang terbatas, kebanyakan nelayan tidak dapat melaut secara intensif dan wilayah tangkapnyapun semakin terbatas, sehingga meskipun harga ikan dan biota laut meningkat, pendapatan mereka menurun secara substansial. Sebaliknya pada musim gelombang lemah,

r/bos ikan. Dalam kondisi demikian, nelayan setempat juga asih harus bersaing dengan nelayan dari luar yang menggunakan armada

Wakatobi, terutama pada musim pancaroba dan musim elombang kuat, mereka tidak mampu bersaing. Akibatnya, hasil perairan

tersosialisasi dengan luas, program pengelolaan dan pemberdayaan

semua nelayan pergi melaut, hasil tangkapan melimpah, tetapi harga ikan turun secara drastis, sehingga pendapatanpun masih relatif terbatas, meskipun jauh lebih banyak dari pada musim gelombang kuat. Nelayan mempunyai posisi tawar yang lemah terhadap pasar. Hal ini sebetulnya dapat dihindari dengan cara mengolah kelebihan ikan, sehingga mempunyai nilai yang lebih tinggi. Namun kegiatan ini sangat minim dilakukan, karena terbatasnya keterampilan pengolahan pasca tangkap dan pemasaran hasil yang belum jelas. Di samping itu sarana yang diperlukan juga terbatas, seperti: es yang masih diimpor dari Bau-Bau dengan harga yang relatif tinggi, demikian juga dengan kotak pendingin hanya dimiliki oleh pedagang ikan/ koordinatomtangkap dengan kapasitas yang jauh lebih besar. Persaingan ini sangat merugikan nelayanglaut Wakatobi lebih banyak dinikmati oleh nelayan dari luar, seperti: Sinjay, Manui, Madura dan Lombok. Faktor lain yang juga penting adalah faktor struktural yang berkaitan dengan peraturan, penegakan hukum dan program pengelolaan serta pemberdayaan masyarakat pesisir. Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan larangan penggunaan bom dan bius telah tersosialisasi dengan luas dan diketahui nelayan. Meskipun dulu kegiatan pengeboman dan pembiusan marak di kawasan ini, saat ini kegiatan pembiusan sudah jauh berkurang dan pengeboman sudah hampir tidak ada, karena seringnya patroli terutama setelah terbentuknya Kabupaten Wakatobi. Sedangkan yang berkaitan dengan penambangan batu karang dan pasir masih terus berlangsung, meskipun kegiatan ini juga dilarang. Berbeda dengan larangan penggunaan alat dan bahan yang sudah

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 160

Page 178: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

masyarakat pesisir masih minim, seperti: PEM, COREMAP dan program-program yang dikelola TNC dan WWF. Sosialisasi program-program ini

ga masih terbatas pada pimpinan formal dan non-formal saja. Masyarakat

ber daya daratan. Kegiatan yang pertama ifokuskan pada perikanan tangkap dan budidaya, sedangkan kegiatan yang

an program unggulan kabupaten. Hal

juhanya mendengar informasi yang sepotong-sepotong, sehingga menimbulkan kecurigaan dan kesalah-pahaman. Di Desa Mola Selatan, sebagian masyarakat, terutama dari Suku Bajo, beranggapan bahwa COREMAP, program TNC, WWF dan taman nasional tidak bermanfaat bagi masyarakat, bahkan sebaliknya ‘mengganggu’ atau ‘menyengsarakan’ kehidupan, karena melarang kegiatan mereka di karang. Kesalah pahaman ini perlu segera diatasi agar mereka tidak antipati terhadap pelaksanaan program-program tersebut. 5.2. Rekomendasi Hasil penelitian ini memerikan gambaran mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat di Kabupaten Wakatobi, khususnya Desa Mola Selatan, Waha dan Kelurahan Wandoka. Gambaran ini dapat dijadikan pembelajaran dan masukan untuk pengembangan kegiatan COREMAP dan peningkatan pendapatan masyarakat di kawasan Wakatobi, khususnya di tiga lokasi penelitian. Kegiatan Sosial Ekonomi Masyarakat Belajar dari potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia serta aspirasi penduduk yang berkembang di lokasi penelitian, kajian ini mengidentifikasi dua jenis kegiatan yang dapat dikembangkan sebagai alternatif matapencaharian, yaitu: kegiatan yang berkaitan dengan potensi sumber daya laut dan sumdke dua lebih ditekankan pada pengembangan perkebunan. Peningkatan Usaha Perikanan Tangkap dan Budidaya Dalam upaya mengurangi tekanan penduduk terhadap kawasan karang Wakatobi, maka kegiatan perikanan perlu dikembangkan pada perikanan tangkap, terutama di laut dalam. Pengembangan perikanan tangkap laut dalam ini sangat potensial dengan tuna sebagai salah satu komoditi andalan. Selama ini potensi ini belum dimanfaatkan secara optimal. Pengembangan perikanan laut ini senada dengan visi dini didukung oleh keinginan yang kuat dari nelayan untuk menangkap tuna, namun mereka dibatasi oleh armada tangkap yang kapasitasnya masih

Kasus Kabupaten Wakatobi 161

Page 179: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

terbatas. Keadaan ini perlu mendapat perhatian, terutama dari sisi permodalan yang menjadi kendala utama kegiatan nelayan, utamanya untuk meningkatkan kapasitas armada tangkap nelayan. Selain perikanan tangkap, aspirasi masyarakat yang juga mengemuka adalah pengembangan kegiatan rumpon, terutama di Desa Waha dan Kelurahan Wandoka. Usaha rumpon mempunyai prospek yang cukup baik, namun seperti pada perikanan laut dalam, nelayan juga tidak mempunyai modal yang cukup untuk kegiatan ini, sehingga kebanyakan nelayan hanya mampu memancing di sekitar rumpon yang diyakini nelayan sebagai tempat berkumpulnya ikan. Di samping itu, usaha budidaya perikanan juga potensial untuk

ikembangkan di kawasan Wakatobi, terutama dekat permukiman dan

ya beberapa saja di Desa Mola Selatan dan Desa Mola Utara. eadaan ini berkaitan dengan keterbatasan modal dan bibit ikan, di samping

terbatas.

perti pengolahan nah, pemeliharaan dan pemupukan, keadaan ini berpengaruh pada

tribusi yang cukup enting bagi pendapatan penduduk. Usaha perkebunan ini cukup potensial

dkawasan karang sekitarnya. Budidaya yang diusahakan lebih terfokus pada penggemukan ikan hidup, khususnya ikan-ikan karang yang mempunyai nilai ekonomis tinggi, seperti: kerapu, sunu dan napoleon serta lobster. Usaha ini akan memberikan kesempatan pada nelayan untuk meningkatkan harga jual sesuai dengan standar size. Usaha budidaya ini masih sangat minim, hanKpemahaman tentang usaha ini juga masih Peningkatan Usaha Perkebunan Meskipun pertanian memberikan kontribusi yang cukup besar pada PDRB, kegiatan pertanian dan perkebunan masih dilakukan secara tradisional. Usaha perkebunan, seperti mete dan kelapa, sesuai dengan jenis tanah di Desa Waha dan Kelurahan Wandoka. Tanaman perkebunan sudah diusahakan sejak lama tanpa perlakuan yang khusus, setaproduksi. Selama ini usaha perkebunan memberikan konpuntuk dikembangkan, terutama di Desa Waha, dengan pengelolaan yang lebih baik dan bimbingan dari pihak yang berwenang, maka diharapkan produksi akan lebih tinggi. Usaha perikanan tangkap dan budidaya serta pengembangan perkebunan di atas merupakan alternatif mata pencaharian yang dapat diadopsi oleh program Coremap. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dan dilakukan oleh pengelola Coremap, antara lain:

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 162

Page 180: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

• Penyediaan modal untuk pengembangan armada tangkap untuk perikanan tangkap, pembuatan rumpon, ketinting mesin dan jaring untuk usaha rumpon dan pembuatan karamba untuk budidaya perikanan. Baik kegiatan perikanan laut dalam maupun rumpon sebaiknya dilakukan

nyak tempat, pembimbingan menjadi upaya yang harus dilakukan secara intensif oleh pengelola Coremap atau pihak lain yang

elama ini produksi ikan dan biota laut dijual dalam keadaan hidup dan ng kuat produksi terjual dengan cepat

engan harga yang relatif tinggi, namun pada musim teduh ketika produksi

ederhana dan segera harus dilakukan setelah enangkapan adalah menjaga kesegaran ikan dan biota hasil tangkapan.

hususnya penangkapan ikan tuna yang

secara berkelompok. Usaha kelompok ini lebih efisien karena pembiayaan dapat ditanggung bersama-sama, di samping lebih banyak nelayan yang terlibat. Tetapi jumlah nelayan per kelompok perlu diatur sedemikian rupa agar tidak terlalu banyak atau sedikit dan lebih memudahkan dalam pengaturan operasionalnya.

• Belajar dari kegagalan program pengembangan ekonomi masyarakat yang terjadi di ba

berwenang. Bimbingan mencakup aspek teknis maupun non-teknis, seperti pengelolaan modal, pembukuan dan lainnya

• Apabila budidaya ikan dengan karamba yang dipilih menjadi alternatif, maka ketersediaan bibit menjadi sangat penting dan perlu mendapat perhatian. Bibit dari alam akan lebih baik, namun perlu dipertimbangkan juga pembibitan ikan melalui hatchery agar tidak hanya mengandalkan bibit alam.

Pengolahan Pasca Tangkap Smati/segar. Pada musim gelombadmelimpah dan harga ikan sangat rendah. Dalam keadaan ini pengolahan pasca tangkap menjadi alternatif yang penting, tidak hanya untuk mempertahankan kualitas melainkan yang lebih penting adalah meningkatkan nilai ikan. Usaha ini cukup potensial, mengingat tenaga kerja yang diperlukan juga cukup tersedia, ibu-ibu dapat terlibat mengingat sebagian ibu hanya mengurus rumah tangga. Tetapi usaha ini memerlukan keterampilan, seperti teknik dan cara pengolahan serta kemasan hasil olahan. Pemasaran hasil olahan juga perlu mendapat perhatian, karena menjadi kunci keberhasilan usaha. Pengolahan yang paling spUntuk itu diperlukan es dalam jumlah yang besar, padahal ketersediaan es masih terbatas. Hal ini perlu mendapat perhatian serius mengingat kebutuhan akan es semakin meningkat terutama dengan meningkatnya usaha perikanan tangkap laut dalam, k

Kasus Kabupaten Wakatobi 163

Page 181: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi dan permintaan terhadap ikan sebut juga cukup tinggi. Rencana pemda untuk membangun pabrik es lu segera direalisasikan. Pembangunan ini sangat penting sebagai salah u upaya untuk mewujudkan rencana pemda yang menetapkan perikanan gkap di laut dalam sebagai program unggulan di Kabupaten Wakatobi.

masaran Hasil

asaran hasil tangkap dan harga ikan sangat krus

terpersattan Pe Pem ial dan menjadi faktor

yanhal • pada pedagang

• koordinator/bos ikan yang memonopoli perdagangan jenis

ikan tertentu yang mempunyai nilai ekonomis tinggi, seperti: ikan karang

Perlu lebih melibatkan papalele atau pedagang ikan di tingkat lokal,

rogram pemerintah dan LSM di daerahnya tidak bermanfaat dan bahkan sebaliknya ‘mengganggu’ kehidupan masyarakat,

penentu besarnya pendapatan masyarakat, khususnya nelayan. Dari uraian g berkaitan dengan pemasaran, penelitian ini mengidentifikasi beberapa yang perlu mendapat perhatian, antara lain:

Perlunya mengurangi keterikatan nelayan pengumpul/coordinator/bos ikan, khususnya bagi nelayan di Mola Selatan, agar nelayan dapat meningkatkan posisi tawar harga ikan dan biota laut dan bebas melakukan transaksi penjualan Perlu mengurangi dominasi satu atau beberapa pedagang pengumpul/

hidup, tuna dan gurita •

yang umumnya terdiri dari ibu-ibu rumah tangga, dengan cara memberikan insentif modal.

Pengembangan Program Pengelolaan Terumbu Karang, khususnya COREMAP Pengalaman yang dapat dipelajari dari upaya pengembangan program pengelolaan sumber daya laut dan pemberdayaan masyarakat pesisir di kawasan Wakatobi, antara lain: • Perlu meluruskan persepsi dan kesalah-pahaman sebagian masyarakat

yang meyakini bahwa p

karena hanya akan berupa larangan-larangan terhadap kegiatan mereka di karang, padahal ketergantungan mereka di ekosistem ini cukup tinggi

• Upaya krusial yang perlu segera dilakukan adalah melakukan sosialisasi secara luas dan rutin kepada semua lapisan masyarakat, sehingga masyarakat memahami secara jelas program yang dilakukan, tujuan dan proses (tahapan-tahapan) pelaksanaan serta pentingnya keterlibatan

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 164

Page 182: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

masyarakat dalam kegiatan-kegiatan program agar tujuan program untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan melestarikan terumbu karang dapat terwujud

• Perlunya meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dalam proses pengembangan program, mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan program. Partisipasi masyarakat sangat penting dan menjadi

lan program pengelolaan terumbu karang. Partisipasi idealnya telah dimulai sejak perencanaan, seperti dalam pembentukan

an penunjukan dari atas. Pentingnya meningkatkan kapasitas pengelola COREMAP di lapangan

ap apa yang akan

’ dari fasilitator dan SETO untuk melakukan

kunci keberhasi

kelompok: kesepakatan kegiatan kelompok, berapa banyak kelompok yang diperlukan, anggota kelompok dan kesepakatan dalam menentukan ketua kelompok. Dengan demikian tidak ada lagi kecurigaan bahwa kelompok-kelompok dibentuk atas kemauan d

•atau grassroots. Upaya ini sangat krusial dan perlu segera dilakukan mengingat pemahaman motivator desa/kelurahan di lokasi-lokasi penelitian masih minim tentang COREMAP, diindikasikan dari: (1) kebingungan dan ketidak tahuan mereka terhaddilakukan, karena itu mereka belum mampu memberikan penjelasan secara jelas kepada masyarakat di daerahnya masing-masing, dan (2) adanya kesan dari motivator bahwa pekerjaannya selama ini hanya menjalankan ‘perintahpendataan pada masyarakat.

Kasus Kabupaten Wakatobi 165

Page 183: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Lampiran 1.

Sketsa Wilayah Potensi SDL di Pulau Wangi-Wangi, Tahun 2006

Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi, Tahun 2006

Sketsa Wilayah Potensi SDL di Pulau Kaledupa, Tahun 2006

umber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi, Tahun 2006

Lampiran 2.

S

Kasus Kabupaten Wakatobi

169

Page 184: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Lampiran 3. Sketsa Wilayah Potensi SDL di Pulau Tomia, Tahun 2006

Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi, Tahun 2006

Sketsa Wilayah Potensi SDL di Pulau Binongko, Tahun 2006

Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi, Tahun 2006

Lampiran 4.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 170

Page 185: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Lampiran 5.

Jumlah Penduduk Kecamatan Wangi-Wangi dan Wangi-Wangi Selatan. Menurut Umur dan Jenis Kelamin,Tahun 2003 (Persen)

Ke k u

La ki Per an

Ju h l oompmur

ki-la empu mla

(1) (2) (3) (4)

75 +

1

0,6

1

0,2

1

0,4

0-4 5-9 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64

65-6970-74

11,5 12,1

1,6 9,6 8,0 7,5 6,9 6,2 5,2 4,9 4,1 3,5 3,1 2,9 2,3

11,0 11,5 11,3

0,4 8,8 7,8 7,3 6,3 5,9 4,7 4,1 3,6 2,6

4,00,5

11,2 11,8 11,4

0,1 8,4 7,6 7,1 6,2 5,6 4,8 4,1 3,5 2,9 3,5 1,4

LAH

(43.671) JUM(N) (21.330) (22.341)

100,0

100,0

100,0

Sumber : BPS, Kecamatan Wangi-Wangi Dalam Angka, 2003

Kasus Kabupaten Wakatobi

171

Page 186: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Lampiran 6.

Distribusi Penduduk Sampel di Desa Mola Selatan, Desa Waha dan Kelurahan Wandoka, Kabupaten Wakatobi, Tahun 2006

Daerah Penelitian

No

Kelompok Umur

Desa Mola Selatan

Desa Waha

Kelurahan Wandoka

Jumlah

(1) (2) (3) (4) (5) (6) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.

0 – 4 5 – 9 10 – 14 15 – 19 20 – 24 25 – 29 30 – 34 35 – 39 40 – 44 45 – 49 50 – 54 55 – 59 60 – 64 65 +

11,0 12,5 11,6 11,6 13,7 11,0

6,1 7,0 4,7 4,7 1,7 2,0 1,2 1,2

14,4 11,2

5,6 8,0

13,6 11,2

5,6 4,0 3,2 3,2 5,6 4,0 4,8 5,6

12,1 12,6 13,8 11,3

8,5 7,7 5,3 5,7 6,9 5,7 4,5 1,2 1,2 3,6

12,0 12,3 11,3 10,9 11,9

9,9 5,7 6,0 5,2 4,7 3,4 2,1 1,8 2,8

Jumlah (N)

100,0 (344)

100,0 (125)

100,0 (247)

100,0 (716)

Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, 2006

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 172

Page 187: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Lampiran 7.

Distribusi Rumah Tangga Terpilih Menurut Besar Pendapatan, Desa Mola Selatan, Waha dan Kelurahan Wandoka, Kabupaten

Wakatobi, 2006 (Persen)

No Kategori pendapatan

Desa Mola

Selatan

Desa Waha

Kelura-han

Wandoka Total

1. <100.000 11 27 24 19 2 100.000 – 199.999 0 0 0 0 3 200.000 – 299.999 6 0 16 8 4 300.000 – 399.999 11 13 18 14 5 400.000 – 499.999 16 13 10 13 6 500.000 + 56 47 32 69

Jumlah 100 100 100 100 N 70 30 50 150 Pendapatan rata-rata 618.029 739.200 486.805 598.522

Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, 2006

Lampiran 8.

Distribusi Rumah Tangga Nelayan Terpilih Menurut Besar Pendapatan, Desa Mola Selatan, Waha dan Kelurahan Wandoka,

Kabupaten Wakatobi, 2006 (Persen)

No Kategori pendapatan Desa Mola

Selatan

Desa Waha

Kelura-han

Wandoka Total

1. <100.000 11 30 6 14 2 100.000 – 199.999 0 0 0 0 3 200.000 – 299.999 7 0 24 9 4 300.000 – 399.999 13 5 23 13 5 400.000 – 499.999 9 20 18 13 6 500.000 + 60 42 29 51 Jumlah 100 100 100 100

55 20 17 92 N Pendapatan rata-rata

Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, 2006

Kasus Kabupaten Wakatobi

173

Page 188: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Lampiran 9.

Statistik Pendapatan Nelayan, Desa Mola Selatan, Waha dan Kelurahan Wandoka, Kabupaten Wakatobi, 2006 (Rupiah)

Pendapatan per

bulan

Desa Mola Selatan

Desa Waha

Kelurahan Wandoka

• Rata-rata Rumah Tangga (RT)

618.430 771.633 517.049

Median Pendapatan

RT

565.000 460.000 387.500

• Minimum pendapatan RT

43.333 97.500 166.667

• Maksimum pendapatan RT

2.016.667 4.583.333 1.500.000

• Per apita 139.766 193.768 94.551

Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2006

Lampiran 10.

Rata-rata Pendapatan Nelayan Desa Mola Selatan, Waha dan Kelurahan Wandoka, Tahun 2006

Musim

Desa/Kelurahan Gelombang Lemah

Pancaroba Gelombang Kuat

Mola Selatan 981.965 374.212 435.964 Waha 996.136 421.591 124.114 Wandoka 606.750 490.20 297.875 Rata-rata 895.858 410.642 328.657

Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang , Indonesia, 2006

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 174

Page 189: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Lampiran 11.

Nilai Median Pendapatan Nelayan Desa Mola Selatan, Waha dan Kelurahan Wandoka, Tahun 2006

Musim

Desa/Kelurahan Gelombang Lemah

Pancaroba Gelombang Kuat

Mola Selatan 800.000 340.000 400.000 Waha 612.500 225.000 55.000 Wandoka 150.000 350.000 112.500 Median 720.000 300.000 240.000

Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2006

Kasus Kabupaten Wakatobi

175

Page 190: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

KONSEP DAN DEFINISI

Bekerja adalah seseorang yang dalam satu minggu terakhir melakukan pekerjaan/kegiatan ekonomi untuk menghasilkan barang atau jasa, atau membantu menghasilkan barang atau jasa dengan maksud untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan atau balas jasa berupa uang atau barang. Termasuk dalam kategori bekerja adalah mereka yang mempunyai pekerjaan tetapi sedang tidak bekerja, seperti, sakit dan cuti.

Menganggur adalah mereka yang tidak bekerja dan juga tidak mencari kerja

Mencari pekerjaan adalah mereka yang selama satu minggu yang lalu berusaha mencari pekerjaan, sedangkan usaha untuk mendapatkan pekerjaan misalnya dapat dilakukan dengan cara: mendatangi majikan untuk mendapatkan pekerjaan, mendatangi kantor pabrik, dsb.

Sekolah adalah mereka yang selama satu minggu yang lalu mempunyai kegiatan sekolah/kuliah. Anak sekolah yang selama seminggu yang lalu sedang libur dan tidak melakukan kegiatan atau lainnya dimasukkan ke dalam kategori sekolah.

Mengurus rumah tangga adalah mereka yang satu minggu terakhir mengurus rumah tangga atau membantu mengurus rumah tangga.

Pekerjaan Utama yang biasanya dilakukan selama satu minggu terakhir adalah pekerjaan yang menurut pengakuan responden paling banyak menyita waktu selama satu minggu terakhir, misalnya: nelayan pancing dengan kapal sendiri, nelayan bagan/bubu/keramba milik sendiri, nelayan bagan yang bekerja pada orang lain, nelayan yang bekerja dengan cara bagi hasil (sebagai pemilik atau sebagai pembawa kapal), pegawai negeri di kantor kecamatan, staf administrasi di kantor desa, perawat Puskesmas, pedagang makanan keliling, pedagang ikan di pasar, pemilik warung sembako. Informasi mengenai pekerjaan utama tersebut dapat dirinci berdasarkan:

a. Jenis pekerjaan yang dilakukan misalnya nelayan punggawa, nelayan keluarga, petambak, petani, buruh tani

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 178

Page 191: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

b. Status pekerjaan yang dilakukan (bekerja sendiri, membantu keluarga-pekerja tak dibayar, memperkerjakan orang lain, karyawan, PNS dsbnya)

c. Lapangan kerja adalah sektor dimana ia bekerja (pertanian, industri, jasa)

Pekerjaan tambahan yang biasanya dilakukan selama satu minggu terakhir adalah pekerjaan tambahan diluar pekerjaan utama. Pekerjaan tambahan tersebut diuraikan seperti pada pekerjaan utama

Pendapatan rumah tangga (pendapatan bersih rumah tangga) dalam satu bulan terakhir adalah pendapatan setelah dikurangi biaya produksi yang diterima oleh rumah tangga dalam satu bulan terakhir. Pendapatan rumah tangga mencakup penghasilan dari pekerjaan pokok dan pekerjaan tambahan. Pendapatan keluarga tersebut dikelompokan dalam 5 kategori yaitu :

a. Pendapatan dari kegiatan usaha perikanan tangkap di laut, dihitung dari pendapatan bersih yang diterima oleh nelayan setiap kali melaut. Pendapatan bersih ini merupakan penjualan hasil tangkapan dikurangi biaya produksi untuk melaut yang umumnya meliputi biaya BBM, ransum dan rokok. Pendapatan bersih sekali melaut ini kemudian dikonversikan ke dalam pendapatan satu bulan dengan mengalikan pendapatan bersih dengan jumlah melaut dalam satu bulan. Pendapatan dari kegiatan usaha perikanan laut ini dibagi ke dalam 3 musim yaitu :

(i) Musim banyak ikan atau musim panen di daerah yang bersangkutan.

(ii) Musim pancaroba adalah musim peralihan antara musim banyak ikan dan tidak banyak ikan dan sebalikya dari musim kurang ikan ke musim banyak ikan.

(iii) Musim kurang/sulit ikan (musim paceklik) di daerah yang bersangkutan.

Kasus Kabupaten Wakatobi 179

Page 192: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Pendapatan sebulan dari kegiatan perikanan tangkap merupakan penjumlahan dari pendapatan rata-rata per bulan per musim dibagi dengan banyaknya musim, dengan rumus :

nIII

I p321 ++

=

dimana : Ip adalah pendapatan sebulan dari perikanan tangkap; I1 adalah pendapatan rata-rata per bulan per musim ke-1; I2 adalah pendapatan rata-rata per bulan per musim ke-2; I3 adalah pendapatan rata-rata per bulan per musim ke-3; n =3 adalah banyaknya musim

b. Pendapatan dari budidaya perikanan adalah pendapatan bersih yang diterima oleh seseorang yang mengusahakan budidaya biota laut/hasil laut seperti tambak bandeng, udang, pembesaran ikan kerapu, tanaman rumput laut dll. Pendapatan bersih per sekali panen dihitung dari harga penjualan produksi biota/hasil laut yang dibudidayakan (tambak bandeng, udang, pembesaran kerapu dan rumput laut) dikurangi dengan biaya produksi seperti benih, pakan dan ongkos tenaga kerja. Pendapatan sebulan dari budidaya perikanan dihitung dari penjumlah pendapatan bersih yang diterima setiap panen dibagi dengan banyaknya panen dalam satu tahun terakhir, maka formulanya adalah :

nPPPI n

b+++

=....21

dimana : Ib adalah pendapatan sebulan dari budidaya perikanan P1 adalah pendapatan bersih dari panen ke -1 P2 adalah pendapatan bersih dari panen ke-2 Pn adalah pendapatan bersih dari panen ke-n n adalah banyaknya panen dalam satu tahun terakhir

c. Pendapatan dari usaha pertanian di luar perikanan

adalah pendapatan bersih yang diterima oleh seseorang yang mengusahakan tanaman padi, palawija, kelapa, dll.

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 180

Page 193: KONDISI SOSIAL-EKONOMI KASUS KABUPATEN WAKATOBIcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Wakatobi_2007.pdf · 2017-02-02 · merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu

Pendapatan bersih per sekali panen dihitung dari harga penjualan produksi (padi, palawija, kelapa dll) dikurangi dengan biaya produksi seperti benih, pupuk, obat-obatan dan upah tenaga kerja. Produksi yang ditanyakan pada bagian ini adalah produksi yang dijual. Pendapatan sebulan dari usaha pertanian di luar perikanan merupakan perkalian dari pendapatan bersih rata-rata yang diterima setiap panen dengan banyaknya panen dalam satu tahun terakhir terakhir yang kemudian dibagi dengan 12.

12jPIt

×=

dimana : It adalah pendapatan sebulan dari usaha pertanian P adalah pendapatan rata-rata setiap panen j adalah banyak panen dalam satu tahun terakhir d. Pendapatan dari usaha perdagangan adalah pendapatan

bersih yang diterima oleh seseorang yang berusaha di bidang jasa perdagangan. Pendapatan bersih merupakan keuntungan yang diperoleh (tidak termasuk modal).

e. Pendapatan lainnya yang diterima baik secara rutin

maupun eksidental setiap bulan seperti PNS/Guru, ABK yang diupah, kiriman/pemberian orang tua/saudara, dll.

Pendapatan rata-rata rumah tangga per bulan merupakan penjumlahan pendapatan dari seluruh anggota rumah tangga yang bekerja di berbagai sektor: perikanan tangkap, budidaya, perdagangan, pertanian dan pendapatan lainnya. Pendapatan per-kapita per bulan dihitung dari jumlah pendapatan rumah tangga dibagi dengan seluruh jumlah anggota rumah tangga.

Kasus Kabupaten Wakatobi 181