sosial ekonomi dan kebijakan

14
Laporan Tahunan 2015: Inovasi Pertanian Bioindustri Menuju Kedaulatan Pangan dan Kesejahteraan Petani 100

Upload: danglien

Post on 15-Jan-2017

232 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Sosial Ekonomi dan Kebijakan

Laporan Tahunan 2015: Inovasi Pertanian Bioindustri Menuju Kedaulatan Pangan dan Kesejahteraan Petani100

Page 2: Sosial Ekonomi dan Kebijakan

Sosial Ekonomi dan Kebijakan 101

Sosial Ekonomi danKebijakan

Penelitian sosial ekonomi berperan penting dalam perumusan kebijakanpembangunan pertanian dalam upaya mencapai swasembada panganmaupun meningkatkan daya saing pertanian dan kesejahteraan petani.Dalam kaitan ini, pada tahun 2015 Balitbangtan telah meneliti aspekyang terkait dengan dampak urbanisasi terhadap swasembada pangan,peningkatan produksi padi di lahan kering dan lahan rawa,pengembangan industri peternakan menuju swasembada daging, sertadaya saing pertanian di era perdagangan bebas. Akselerasipembangunan pertanian di wilayah perbatasan serta upayapemberdayaan petani dan penguatan kelembagaan pertanian juga takluput dari perhatian dalam rangka meningkatkan kesejahteraan petani.

Page 3: Sosial Ekonomi dan Kebijakan

Laporan Tahunan 2015: Inovasi Pertanian Bioindustri Menuju Kedaulatan Pangan dan Kesejahteraan Petani102

Dampak Urbanisasi TerhadapSistem Pengelolaan Usaha Tanidan Swasembada Pangan

Urbanisasi adalah fenomena terjadinya dominasipopulasi perkotaan dalam struktur demografi sertadominasi sektor industri dan jasa dalam strukturperekonomian. Urbanisasi menyebabkan berkurang-nya sumber daya lahan, air, tenaga kerja, dan modaluntuk memproduksi pangan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa urbanisasidi Indonesia berlangsung relatif cepat. Perubahanperdesaan menjadi perkotaan, perluasan wilayahperkotaan, dan migrasi penduduk desa ke kota terusterjadi, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Seiringdengan urbanisasi, sumber daya pertanian banyakyang tersedot untuk memenuhi kebutuhan perkotaan.Lahan pertanian, sebagian besar berupa lahan sawah,banyak yang beralih fungsi menjadi kawasanpermukiman, kawasan industri, infrastrukturtransportasi, serta bandar udara. Sampai saat inikebijakan untuk meminimalkan dan mengendalikanalih fungsi lahan sawah ke penggunaan nonpertanianbelum efektif. Urbanisasi juga menyebabkan angkatankerja usia muda banyak yang tertarik untuk bekerjadi sektor nonpertanian di kota. Terkait dengan itu

terjadi fenomena aging farmer dan suksesipengelolaan usaha tani menghadapi masa yangsuram.

Urbanisasi telah mengubah struktur pengeluarandan pola konsumsi pangan rumah tangga. Pangsapengeluaran untuk kelompok padi-padian menurun,sebaliknya pangsa untuk makanan jadi danpengeluaran untuk barang dan jasa meningkat.Kualitas konsumsi pangan semakin membaik danberas tetap menjadi makanan pokok. Dengan adanyaperubahan pola konsumsi ini maka penyediaanpangan baik jumlah maupun jenisnya harus sesuaidengan permintaan dan distribusi pangan harusmenjadi perhatian penting.

Implikasi kebijakan dari penelitian ini adalahpengembangan perkotaan dalam arti persebarannya,perluasannya, serta pola pemanfaatan sumber dayalahan dan air perlu menaati tata ruang dan sinergisdengan kebijakan pengendalian alih fungsi lahanpertanian. Untuk mengurangi tekanan penduduk ataswilayah perkotaan dan tersedotnya sumber dayapertanian ke perekonomian perkotaan makakesempatan kerja nonpertanian yang berakar padapengolahan hasil pertanian harus dikembangkan.Dalam konteks ini, pengembangan pertanian berbasiskawasan perlu diimplementasikan secara konsistendan terpadu. Selain itu, untuk mewujudkan ketahananpangan yang berkelanjutan, diversifikasi konsumsi danproduksi pangan lokal perlu dipromosikan dandikembangkan. Diversifikasi pertanian juga sinergisdengan perluasan lahan pangan yang tidak lagibertumpu pada lahan sawah. Pada lokasi-lokasi yanglayak, pertanian perkotaan perlu didorongpengembangannya. Selain untuk menambah kapasitassektor pertanian dalam menghasilkan pangan,pendekatan ini juga efektif untuk memelihara budayapengelolaan usaha tani.

Peningkatan Produksi Padi padaLahan Pertanian Bukan Sawah

Sebagian besar produksi padi nasional berasal daripadi sawah dan hanya sebagian kecil dari padi bukansawah (padi gogo dan padi rawa). Mengingat

Urbanisasi menyebabkan suksesi pengelolaanusaha tani menghadapi masa yang sulit.

Page 4: Sosial Ekonomi dan Kebijakan

Sosial Ekonomi dan Kebijakan 103

besarnya kontribusi padi sawah terhadap produksipadi nasional maka upaya peningkatan produksi padisawah memiliki peranan penting dalam memenuhikebutuhan beras nasional. Namun, upaya tersebutsemakin sulit diwujudkan dan laju pertumbuhanproduksi padi sawah semakin lambat akibat jaringanirigasi banyak yang rusak, konversi lahan sawah kepenggunaan nonpertanian, keterbatasan sumberdaya lahan untuk pencetakan sawah baru, dan adanyafenomena kelelahan lahan. Pertumbuhan produksipadi sawah yang semakin lambat dapat mengancamkemandirian pangan dan swasembada beras di masayang akan datang. Oleh karena itu, diperlukan suatuterobosan untuk mendorong peningkatan produksipadi nasional dengan meningkatkan produksi padigogo dan padi rawa melalui peningkatan produktivitas,luas tanam, dan intensitas tanam.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa selamatahun 1990–2013 pangsa produksi padi gogo sekitar5% terhadap produksi padi nasional. Pada periodetersebut, luas ladang/huma untuk usaha tani padi gogonaik 3,04% per tahun, sedangkan luas lahan sawahcenderung turun 0,26% per tahun. Hal tersebutmengindikasikan bahwa peluang perluasan lahansawah semakin sulit diwujudkan, dan sebaliknya untukpadi gogo. Produktivitas padi gogo (sekitar 3,2 t/ha),lebih rendah dibanding produktivitas padi sawah(sekitar 5,2 t/ha), tetapi laju pertumbuhan

produktivitas padi gogo jauh lebih besar dibandingpadi sawah. Begitu pula laju pertumbuhan produksipadi gogo cenderung naik, sedangkan lajupertumbuhan produksi padi sawah cenderung turun.Sebagian besar peningkatan produksi padi gogodisebabkan oleh peningkatan produktivitas,sedangkan untuk padi sawah sebagian akibatbertambahnya luas panen. Peningkatan produksipadi sawah dengan menambah luas panen tidakkondusif bagi peningkatan ketahanan pangan karenaberpotensi menghambat peningkatan produksikomoditas pangan lain dari lahan sawah (tebu,jagung, kedelai) akibat persaingan dalam peman-faatan lahan usaha tani.

Meskipun peluang peningkatan produksi padigogo relatif tinggi, pertumbuhan produksi padi gogolebih rendah dibanding padi sawah, terutama karenapengaruh iklim. Dengan demikian, tantangan utamapeningkatan produksi padi gogo adalah memperkecilpeluang gagal panen akibat iklim.

Upaya peningkatan produktivitas padi gogo dapatditempuh melalui penggunaan varietas tahan hama/penyakit/kekeringan dan pemanfaatan embung atausumur untuk pengairan. Penggunaan varietas unggulmasih rendah terutama karena terbatasnya benih ditingkat petani dan harga benih yang mahal. Begitupula rendahnya penerapan teknologi embung dansumur terutama disebabkan kurangnya penyuluhan.

Pengembangan padigogo dapatmemanfaatkan lahan diantara tanaman jatimuda.

Page 5: Sosial Ekonomi dan Kebijakan

Laporan Tahunan 2015: Inovasi Pertanian Bioindustri Menuju Kedaulatan Pangan dan Kesejahteraan Petani104

Pada padi rawa, permasalahan untuk meningkatkanproduktivitas juga terkait dengan rendahnyapenggunaan benih varietas tahan hama/penyakit danpengelolaan air. Permasalahan benih muncul akibatketersediaan benih terbatas, harga benih relatifmahal, dan kurangnya penyuluhan. Sementararendahnya penerapan teknologi penggunaan pompaair disebabkan oleh ketersediaan pompa air yangterbatas, mahalnya biaya jasa pompa air, dankurangnya penyuluhan.

Implikasi kebijakan dari penelitian ini adalah arahkebijakan pengembangan produksi padi seyogianyaberbeda antara padi gogo dan padi sawah.Pengembangan padi sawah lebih diarahkan untukmenjaga stabilitas penyediaan beras, sementarapengembangan padi gogo diarahkan sebagai sumberpertumbuhan baru produksi padi nasional. Salah satukonsekuensi dari kebijakan tersebut adalah stabilitasproduksi padi sawah di sentra-sentra produksi di Jawadan Sumatera perlu dipertahankan. Investasipemerintah untuk meningkatkan produksi padinasional perlu diprioritaskan pada padi gogo dan padirawa. Dalam kaitan tersebut, empat provinsi yaituJawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan NusaTenggara Barat perlu mendapat prioritas untukmendorong peningkatan produksi padi gogo.

Kebijakan Pengembangan Bioenergidi Sektor Pertanian

Energi berbahan baku minyak bumi masih menjadiandalan dalam perekonomian Indonesia. Ke depanpemerintah diharapkan dapat memaksimalkanpemanfaatan energi alternatif (bioenergi) sebagaipengganti bahan bakar minyak.

Pada sektor pertanian, pengembangan bioenergidalam pertanian bioindustri didasarkan pada konsepbiorefinery terpadu. Sistem pertanian menjadipemasok bahan bakunya sehingga terbentuk sistempertanian-bioindustri berkelanjutan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahan bakunabati yang sudah siap dan potensial dikembangkanadalah kelapa sawit untuk diproses menjadi biodiesel.Pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS) menghasilkan

limbah cair yang disebut palm oil mill effluent (POME).Indonesia memiliki lebih dari 600 pabrik kelapa sawityang berpotensi menghasilkan listrik 1.000 MW jikasemua pabrik tersebut memanfaatkan gas metanapada limbah menjadi listrik. Pemerintah telahmenyediakan regulasi dan insentif yang cukup agarenergi terbarukan dapat berkembang secara cepat,termasuk feed in tariff (FIT).

Untuk pengembangan biogas, dukungan bahanbaku yang potensial terdapat di Jawa Barat dan JawaTimur. Namun, pengembangan bioetanol terbatasdilakukan oleh perusahaan swasta seperti di JawaTimur. Pengembangan bioetanol di Indonesia masihterkesan jalan di tempat karena belum tepatnyapenentuan harga antarinstansi pemerintah.

Implikasi kebijakan dari penelitian ini adalahuntuk mendorong produksi bioenergi dari CPO,pemerintah perlu (1) mengalokasikan sumber danayang memadai untuk penelitian dan penerapan dalamskala nasional, (2) melakukan penelitian pengadaanbibit berkualitas, pencarian dan perbaikan varietasdan plasma nuftah, dan identifikasi potensiproduktivitas, (3) mengidentifikasi kebutuhan CPOuntuk bahan baku bioenergi maupun untuk panganagar tidak terjadi trade off dalam pengembangannya,dan (4) menerapkan kebijakan insentif pengembang-an bioenergi. Untuk pengembangan biogas, diperlukankebijakan antara lain: (1) pengembangan biogas skalarumah tangga, kelompok atau massal, dan (2)pengembangan biogas skala wilayah secaraterintegratif dan berkesinambungan. Dalampengembangan biogas dari kotoran ternak sapidiperlukan: (1) dukungan dan komitmen pemerintahuntuk mengembangkan biogas secara luas, (2)perencanaan pengembangan biogas yang baik, (3)koordinasi antarinstansi dalam program bantuandigester biogas, (4) sinergi program pengembanganbiogas dengan program pengembangan ternak(khususnya sapi), (5) dukungan sarana dan peralatan(digester dan peralatan pendukungnya), dan (6)sinergi antara pengembangan biogas denganprogram pengalihan BBM ke LPG di tingkat rumahtangga. Pada pengembangan tebu sebagai penghasiltetes tebu untuk bahan baku bioetanol, dukunganpemerintah dapat melalui: (1) peningkatanpenyuluhan dalam pengembangan tebu, (2)

Page 6: Sosial Ekonomi dan Kebijakan

Sosial Ekonomi dan Kebijakan 105

koordinasi instansi terkait untuk mempercepatpengembangan tebu sebagai bahan baku energialternatif, (3) menciptakan iklim usaha yangmendukung berkembangnya agribisnis tebu danbioetanol, (4) pembinaan secara berkesinambungan,dan (5) pemberdayaan dan peningkatan kapasitaspetani dalam kegiatan on farm maupun off farm.

Pengembangan bioenergi memerlukankomitmen yang kuat dari pemerintah dalampembenahan subsidi BBM dan sektor otomotif dansinergi antarinstansi dalam kebijakan atau programbioenergi. Program dan kebijakan bioenergi harussesuai dengan kebijakan energi nasional. Ketersediaandana sawit diharapkan akan lebih mendorongpeningkatan produksi biodiesel dari CPO sawit danrehabilitasi tanaman sawit yang tidak produktif.Subsidi yang awalnya untuk BBM diharapkan dapatdisalurkan untuk pengembangan BBN.

Pengembangan Industri PeternakanMendukung Peningkatan ProduksiDaging

Meningkatnya jumlah penduduk, tingkat pendapatan,dan pangsa penduduk di perkotaan mendorongpeningkatan konsumsi daging sapi dari waktu kewaktu. Permintaan yang terus meningkat ini belum

mampu dipenuhi dari produksi domestik. Oleh karenaitu, untuk periode 2015–2019 program peningkatanproduksi daging sapi masih tetap menjadi prioritasdengan target pertumbuhan produksi rata-rata 10,8%per tahun.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadidualisme ekonomi dalam industri peternakan sapi.Meningkatnya permintaan terhadap daging sapi diikutioleh tumbuhnya perusahaan-perusahaan besar yangmelakukan integrasi vertikal berbasis sapi bakalandan daging sapi impor. Pada sisi lain, usahapeternakan rakyat semakin terdesak dan menurundaya saingnya karena terbatasnya ketersediaan sapibibit/bakalan, belum berkembangnya industri pakanberbahan baku lokal, dan manajemen rantai pasokdaging sapi/kerbau belum optimal. Industripeternakan sapi dan kerbau masih bertahan padalokasi-lokasi utama di Jawa, Nusa Tenggara, danSulawesi, diikuti daerah pengembangan baru diSumatera. Jumlah perusahaan peternakan sapi skalamenengah dan skala besar semakin meningkat,sebaliknya terjadi pada perusahaan peternakankerbau. Minat usaha penggemukan lebih besar karenakeuntungan lebih besar dan pengembalian modalusaha lebih cepat dibandingkan dengan usahapembibitan. Keterbatasan jumlah usaha pembibitanmenyebabkan produksi sapi bakalan menjadi terbatas.Dengan permintaan yang terus meningkat, harga sapibakalan pun terus naik.

Rehabilitasi tanamankelapa sawit yang tidakproduktif mendorongpeningkatan produskibiodesel dari CPO sawit.

Page 7: Sosial Ekonomi dan Kebijakan

Laporan Tahunan 2015: Inovasi Pertanian Bioindustri Menuju Kedaulatan Pangan dan Kesejahteraan Petani106

Pada usaha sapi potong skala kecil, jumlahrumah tangga usaha peternakan (RUTP) cenderungnaik, dari 2,6 juta pada 2003 menjadi 5,1 juta pada2013. Namun, jumlah sapi yang dipelihara RTUPsemakin menurun. Pada RTUP kerbau, populasi danpemilikan per rumah tangga cenderung menurun.Pada tahun 2014, pangsa daging sapi domestik (65%)masih lebih besar dari pasokan impor (35%).Peningkatan pasokan daging sapi domestik tanpadidukung peningkatan populasi menyebabkanpengurasan populasi ternak sapi. Sebaliknya importanpa pengendalian dapat menghambat perkem-bangan produksi daging sapi domestik. Selama 10tahun terakhir, jumlah provinsi defisit sapi bertambahdari 12 provinsi menjadi 19 provinsi, sedangkan padakerbau dari 13 menjadi 14 provinsi.

Struktur pengelolaan rantai pasok ternak dandaging pada industri peternakan sapi dan kerbaumasih banyak masuk kategori “keterkaitan pasar”,yang dicirikan oleh banyaknya alternatif rantai pasokdan rendahnya integrasi/koordinasi antarpelaku. Padausaha penggemukan sapi skala menengah dan besar,penerapan SCM lebih baik dibandingkan denganusaha skala kecil, yaitu antara 80–90%.

Usaha sapi potong masih merupakan usahasambilan dan berfungsi sebagai tabungan. Penjualansapi diputuskan berdasarkan kebutuhan rumah

tangga dan tidak banyak memerhatikan faktorekonomi sehingga sulit memperkirakan jumlah sapisiap jual. Modal sosial berupa hubungan emosionalantarpelaku rantai pasok menyebabkan rantai pasokmenjadi tidak efisien. Konsolidasi kelembagaankelompok peternak masih rendah sehingga konsolidasipasar input dan output juga rendah. Kebijakan untukpenataan SCM masih bersifat parsial, sepertimengembangkan usaha budi daya pola kelompok dankandang koloni dengan program Sarjana MembangunDesa, atau merehabilitasi dan memfasilitasi pasarhewan dan rumah potong hewan.

Implikasi kebijakan dari penelitian ini adalahuntuk memperbaiki struktur industri sapi/kerbaudiperlukan: (1) pengembangan usaha pembibitan dikawasan perkebunan kelapa sawit dan daerah sentraproduksi utama, (2) pengembangan industri pakanberbasis bahan pakan lokal, dan (3) pengembangankerbau pada daerah dengan nilai rasio sapi/kerbaurendah. Untuk meningkatkan keuntungan usahaternak sapi dan kerbau dapat dilakukan dengan cara:(1) meningkatkan skala usaha peternakan rakyat danmengintegrasikannya dengan usaha lain, terutamadalam penyediaan pakan dan pemanfaatan pupukorganik dan biogas dari kotoran ternak, (2)menerapkan teknologi budi daya dan manajemenusaha ternak kerbau untuk meningkatkan

Pengembangan sapi dilahan perkebunan

kelapa sawit.

Page 8: Sosial Ekonomi dan Kebijakan

Sosial Ekonomi dan Kebijakan 107

produktivitas, dan (3) meningkatkan posisi tawarpeternak dengan memperbaiki sistem informasi.Untuk meningkatkan penerapan SCM dan daya saingdaging sapi/kerbau perlu dikembangkan: (1) usahayang terintegrasi/terkoordinasi secara vertikal denganmelibatkan usaha skala kecil, menengah, dan besar,(2) peningkatan manajemen pemeliharaan sapipotong, (3) konsolidasi peternak dalam wadahkelompok peternak, koperasi peternak, dan asosiasipeternak, (4) pembinaan usaha skala kecil dan mediasihubungan usaha skala kecil dengan skala besar agartercipta rantai pasok terpadu dan berdaya saing, (5)pengendalian impor ternak dan daging sapi danpembatasan jalur rantai pasok produk impor kesentra-sentra produksi sapi potong, dan (6)harmonisasi kebijakan peningkatan produksi di dalamnegeri dengan kebijakan impor.

Akselerasi Pembangunan PertanianWilayah Tertinggal MelaluiPeningkatan Kapasitas Petani

Untuk membangun daerah tertinggal, selain perlumengalokasikan dana yang cukup denganperencanaan pembangunan yang baik, juga perlumeningkatkan kapasitas sumber daya manusiasebagai pelaku pembangunan. Untuk sektorpertanian, peningkatan kapasitas petani merupakanlangkah strategis untuk mempercepat pencapaiantujuan pembangunan pertanian. Pembangunanpertanian dilaksanakan dengan prinsip pertanianberkelanjutan yang bertumpu pada tiga landasansecara berimbang, yakni: (1) berorientasi padakesejahteraan sosial petani, pekerja dan masyarakatsekitar, (2) ramah lingkungan, dan (3) menciptakannilai tambah ekonomi bagi petani dan pelaku ekonomilainnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kriteriawilayah tertinggal dapat dil ihat dari aspekperekonomian masyarakat, SDM, sarana danprasarana, kemampuan keuangan daerah,aksesibilitas, dan karakteristik daerah. Ketertinggalandaerah Kabupaten Garut, Sukabumi, Lebong, dan

Barito Kuala disebabkan oleh struktur geologis wilayahdengan sumber daya alam yang sangat terbatas,SDM berpendidikan relatif rendah, sarana prasaranakesehatan dan pendidikan serta prasarana wilayahkurang, dan rawan bencana banjir. Institusipemerintah (Pusat dan Daerah) dan dinas teknis tidakmempunyai program khusus untuk meningkatkankapasitas petani di wilayah tertinggal. Program-program pembangunan pertanian cenderungmengarah pada pembangunan fisik. Pemda cenderungmencanangkan program/kegiatan yang dapatmenghasilkan pendapatan asli daerah (PAD).Kelembagaan penyuluhan (Bakorluh, BP4K, dan BP3K)belum mampu mengungkit peningkatan kapasitaspetani, mengingat alokasi anggaran untuk kegiatantersebut relatif terbatas. Pelatihan untuk petanimerupakan implementasi program pusat yangdilaksanakan secara nasional, seperti SL-PTT dan GP-PTT. Substansi pelatihan tentang manajemenpengelolaan usaha tani kurang menjadi perhatian.

Hasil analisis menunjukkan bahwa hubunganpetani dengan kekuasaan, manfaat utamakeikutsertaan petani dalam organisasi, pengalamanpetani dalam implementasi program pembangunanpertanian, dan keterampilan petani dalam penerapanteknis pertanian berpengaruh positif nyata terhadappeningkatan kapasitas petani. Strategi kebijakanpenerapan PTT secara berkelanjutan merupakanprioritas pertama, diikuti peningkatan fasilitas dankesejahteraan penyuluh, bimbingan teknis melaluikegiatan SL-PTT, demfarm, skim kredit lunak,penerapan HPP, dan peningkatan partisipasi petanidalam pembangunan pertanian.

Implikasi kebijakan dari penelitian ini adalahpenanganan wilayah tertinggal perlu diintegrasikanantarsektor maupun subsektor. Perlu ada programkhusus pemberdayaan petani dengan membenahikelemahan internal dan berupaya mengatasi ancamaneksternal, serta menggunakan kekuatan untukmemanfaatkan peluang yang ada. Pemerintah Pusatmaupun Daerah perlu melakukan penguatan regulasidan pemberian insentif kepada pihak swasta dalampengembangan daerah tertinggal, yang memungkin-kan petani dapat bermitra dengan pihak swasta dalammemasarkan hasil pertanian.

Page 9: Sosial Ekonomi dan Kebijakan

Laporan Tahunan 2015: Inovasi Pertanian Bioindustri Menuju Kedaulatan Pangan dan Kesejahteraan Petani108

Strategi Pemberdayaan Petaniuntuk Memperkuat KedaulatanPangan

Dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentangPangan, persoalan pangan ditujukan untuk mencapaitiga hal sekaligus, yaitu ketahanan pangan,kemandirian pangan, dan kedaulatan pangan.Masuknya aspek kedaulatan pangan merupakankonsekuensi dari Indonesia yang telah meratifikasiKonvensi Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosialdan Budaya melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun2005 tentang Pengesahan International Covenant onEconomic, Social and Cultural Rights (disingkatECOSOC Rights).

Hasil penelitian di Kabupaten Tapin dan Sampangmenunjukkan bahwa meskipun sudah lebih dari tigatahun diundangkan, respons pemerintah terhadap UUNomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan masih terbatasdan terdapat pemahaman yang bervariasi tentangkedaulatan pangan. Peraturan daerah belum ada danorganisasi kerja di tingkat daerah belum berorientasikepada amanat kedaulatan pangan. Penguasaanlahan pangan petani Kabupaten Tapin masih di atas1 ha, sementara di Kabupaten Sampang kurang dari1 ha. Kondisi agraria petani cukup baik, diindikasikanoleh penguasaan lahan yang kuat. Tekanan populasiterhadap lahan rendah di Tapin, namun tinggi diSampang. Sumber daya air terbatas dan prasaranairigasi belum memadai. Tingkat akses terhadapteknologi usaha tani relatif lebih baik. Pemberdayaanyang diperlukan oleh petani untuk memperkuatkedaulatan pangan mencakup bantuan fisik,administrasi, serta pelatihan/sekolah lapang untukmendapatkan pengetahuan dan pengalaman bertaniyang ramah lingkungan.

Implikasi kebijakan dari penelitian adalah belumterdapat pemahaman yang sama di kalangan aparatterkait mengenai konsep dan implementasikedaulatan pangan sehingga perlu dilakukansosialisasi. Selain itu, perlu disusun peraturan turunanUU dan pembentukan organisasi yang menanganipangan. Program pemberdayaan diperlukan untukmemperkuat kedaulatan pangan di tingkat petani dankomunitas, baik yang bersifat bantuan fisik,

administrasi, maupun pelatihan/sekolah lapang.Adanya kesadaran petani untuk bertani dengan lebihbaik dan ramah lingkungan perlu diapresiasi oleh pihakterkait dengan memberikan program/kegiatan yangdapat mendukung hal tersebut.

Kajian Ketahanan Pangan Nasionaldalam Perspektif PerdaganganBebas

Penerapan perdagangan regional dan global di suatunegara akan berpengaruh terhadap kondisi ketahananpangan negara tersebut. Salah satu cara memahamikebijakan pemerintah suatu negara dalammenghadapi liberalisasi perdagangan adalah denganmengetahui strategi untuk memperkuat ketahananpangan. Indonesia telah meratifikasi perjanjianASEAN Free Trade Area (AFTA) dan WTO sehinggaalternatif kebijakan harus sesuai dengan aturanperdagangan regional dan global tersebut.

Di Indonesia ketahanan pangan masihmerupakan isu yang sangat penting karena masihbanyak masyarakat yang berada pada kondisikerawanan pangan (18,6%), tingkat pertumbuhanpenduduk (1,2%/tahun) dan urbanisasi tinggi (2,7%)dan banyaknya wanita masuk angkatan kerja (38,6%)sehingga permintaan pangan meningkat. Selain itu,peningkatan pendapatan dan daya beli mengakibat-kan perubahan pola konsumsi pangan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Indonesiasudah mengalami surplus beras, namun belum cukupaman untuk menjaga stabilisasi harga beras.Kebutuhan domestik jagung untuk bahan baku pakanmasih harus dipenuhi dari impor. Sebagian besarkebutuhan domestik untuk kedelai dipenuhi dari impordengan volume yang cenderung sedikit menurun. Nilaiindeks ketahanan pangan Indonesia sedikit menurunpada tahun 2014, dari 46,8 menjadi 46,5dibandingkan dengan tahun 2012, sehinggamenurunkan ranking Indonesia dari urutan ke-64 dari105 negara menjadi urutan ke-72 dari 109 negara.Pada tahun 2014, urutan posisi ketahanan panganIndonesia jauh di bawah Singapura (5), Malaysia (34),Thailand (49), Filipina (65), dan Vietnam (67).

Page 10: Sosial Ekonomi dan Kebijakan

Sosial Ekonomi dan Kebijakan 109

Berdasarkan kriteria ketersediaan pangan, Indonesiaberada di urutan ke-74.

Kebijakan pangan nasional yang harusdipertahankan adalah kebijakan stabilisasi hargapangan. Kebijakan pangan dengan pembatasanekspor/impor tidak konsisten dengan aturan WTO.Instrumen pembatasan impor hanya dapat dilakukanuntuk membendung lonjakan impor, termasukperlidungan terhadap ancaman kesehatan. Kebijakanpembatasan impor tanpa dibarengi peningkatankapasitas produksi di dalam negeri akan membebanikonsumen dan perekonomian secara keseluruhan.

Liberalisasi perdagangan akan meningkatkankesejahteraan negara-negara ASEAN. Peningkatankesejahteraan Indonesia akan lebih besar apabilaliberalisasi perdagangan dilakukan dengan peningkat-an dukungan domestik (green box). Pemberlakuankesepakatan multilateral diduga akan menurunkanoutput sektor beras, biji-bijian, sayuran-buah buahan,daging-produk peternakan, dan pangan olahanIndonesia. Sebaliknya, pemberlakuan kesepakatanregional (AFTA) diduga akan meningkatkan outputsemua sektor di Indonesia.

Implikasi kebijakan dan penelitian ini adalahposisi Indonesia berdasarkan nilai indeks ketahanan

dan ketersediaan pangan cenderung menurun.Kebijakan untuk meningkatkan ketersediaan produk/ketahanan pangan antara lain: (1) meningkatkanketersediaan sarana dan prasarana produksi, (2)meningkatkan peran pemerintah dalam perlindungandan pemberdayaan petani, (3) mengembangkanindustri olahan, dan (4) meningkatkan peranpemerintah dalam pencapaian harmonisasi standarproduk.

Kebijakan pemerintah untuk meningkatkanproduksi, produktivitas, dan daya saing sertamelindungi petani dari kejatuhan harga dapatdilakukan dengan peningkatan subsidi di sektorpertanian. Kebijakan perdagangan yang membatasiekspor/impor harus diganti dengan penerapan tarifyang melindungi produsen tetapi tidak membebanikonsumen. Namun, kebijakan peningkatanketersediaan domestik lebih baik untuk mengurangiketergantungan terhadap impor.

Sebagai negara anggota WTO, semua aturanperdagangan yang diterapkan di Indonesia harussesuai dengan aturan WTO. Indonesia harus selaluberupaya mendapatkan manfaat dari kesepakatanregional dan multilateral yang sudah diratifikasi. Olehkarena itu, Indonesia harus selalu mencari negara-negara mitra yang potensial dan mengidentifikasiaturan-aturan perdagangan di negara-negara mitraagar ekspor Indonesia tidak terhambat oleh aturan-aturan tersebut.

Pemerintah harus mengupayakan kebijakan yangdapat memotivasi petani dalam berusaha tani,misalnya dengan kebijakan stabilisasi harga.Liberalisasi perdagangan akan meningkatkan insentifuntuk alokasi sumber daya dengan cara yang lebihefisien yang pada akhirnya dapat meningkatkanketahanan pangan nasional. Oleh karena itu, Indonesiaharus juga melakukan kebijakan yang ofensif untukkepentingan komoditas ekspor, tidak hanya kebijakanyang defensif untuk kepentingan komoditas impor.Implementasi kesepakatan regional ASEAN (MEA)akan meningkatkan kesejahteraan Indonesia. Namun,peningkatan kesejahteraan harus diraih denganmemproduksi atau meningkatkan ketersediaanproduk-produk yang mempunyai daya saing atauterstandar.

Stabilisasi harga gabah saat panen dapatmemotivasi petani untuk berusaha tani padi.

Page 11: Sosial Ekonomi dan Kebijakan

Laporan Tahunan 2015: Inovasi Pertanian Bioindustri Menuju Kedaulatan Pangan dan Kesejahteraan Petani110

Dinamika Sosial Ekonomi Perdesaanpada Berbagai Agroekosistem2007–2015

Beberapa permasalahan yang menjadi fokusperbaikan pada kebijakan pembangunan pertanian2015–2019 adalah: (1) konversi lahan pertanian kenonpertanian antara 100–110 ribu per tahun, (2)infrastruktur jaringan irigasi yang rusak 3,3 juta ha(49,9%), (3) tingkat kehilangan hasil panen danpascapanen cukup tinggi, 10,82%, (4) perubahaniklim yang berakibat kekeringan, banjir, dan seranganhama, (5) akses petani terhadap pembiayaanterbatas, (6) kelembagaan petani dan pertanianbelum berfungsi optimal, dan (7) koordinasi instansiterkait belum optimal.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dinamikasosial ekonomi perdesaan dipengaruhi oleh berbagaifaktor secara simultan. Kecenderungan arahperubahan bervariasi, yang ditentukan olehperbedaan agroekosistem dan komoditas yangdiusahakan. Arah dan kecepatan perubahan aspeksosial ekonomi yang meliputi pemilikan danpenguasaan lahan, tenaga kerja, dan adopsi teknologidipengaruhi oleh faktor internal (kegiatan individurumah tangga petani) maupun faktor eksternal(sumber daya lingkungan perdesaan, infrastruktur,program dan kebijakan pemerintah terkait). Secaraumum dinamika penguasaan lahan di wilayah lahankering berbasis komoditas perkebunan dan tanamanpangan serta agroekosistem lahan sawah komoditaspadi selama periode 2007–2015 cenderung menurunakibat konversi lahan, sistem pewarisan, dantransaksi jual beli lahan. Namun, besaran perubahantersebut relatif kecil sehingga tidak nyata berpengaruhterhadap pendapatan rumah tangga.

Dinamika tenaga kerja menunjukkan peningkatanjumlah tenaga kerja berpendidikan tinggi. Namun,perbaikan tingkat pendidikan justru mendorong arusmigrasi tenaga kerja muda ke kota, ke luar negeri,atau pergeseran pekerjaan ke sektor nonpertanian.Semakin meningkat kesempatan kerja nonpertanian,semakin menurun minat tenaga kerja bekerja disektor pertanian. Fenomena ini lebih nyata terlihat di

agroekosistem lahan kering komoditas tanamanpangan dan sayuran.

Dinamika teknologi pertanian cenderung tetap,demikian pula produktivitas tanaman. Penggunaanpupuk kimia cenderung tetap dan dipengaruhi olehaksesibilitas dan ketersediaan pupuk. Penggunaanbenih unggul dan alat mekanisasi cenderung tetapdan dipengaruhi oleh aksesibilitas, ketersediaan, danharga.

Dinamika pendapatan rumah tangga tanicenderung menurun, terutama untuk komoditas karetdan tebu, sedangkan untuk komoditas jagung dansayuran relatif tetap. Secara umum pendapatanrumah tangga tani dipengaruhi oleh perubahan hargakomoditas itu sendiri, harga sarana produksi,kesempatan kerja, dan pendapatan dari luarpertanian. Secara nominal pengeluaran rumahtangga meningkat, namun secara riil cenderung tetap.Tingkat konsumsi pangan sumber karbohidratcenderung tetap untuk beras, sementara untukpangan pokok lokal (ubi kayu, jagung) menurun, dansebaliknya untuk terigu dan turunannya meningkat.

Kesejahteraan petani dapat ditingkatkanmelalui penyediaan sarana produksi danakses ke pasar.

Page 12: Sosial Ekonomi dan Kebijakan

Sosial Ekonomi dan Kebijakan 111

Implikasi kebijakan dari penelitian ini adalah: (1)Konversi, polarisasi, dan fragmentasi lahan pertanianperlu dicegah. Dalam jangka menengah perludiupayakan ketersediaan dan akses rumah tanggapetani terhadap lahan, misalnya melalui programtransmigrasi dan pembukaan lahan pertanian. (2)Dalam jangka pendek dan menengah, kesempatankerja masyarakat perdesaan dapat ditingkatkanmelalui pengembangan produk komoditas pertanian,peningkatan kesempatan kerja dan berusaha non-pertanian, serta peningkatan mobilitas tenaga kerjadan konektivitas ekonomi antardesa, antarkota, danantarwilayah melalui perbaikan infrastruktur. (3) Perlusegera dilakukan peremajaan komoditas perkebunanyang kurang produktif, bongkar ratun untuk tebu,pengadaan benih berkualitas, serta sosialisasipenggunaan VUB padi dan palawija. Kebijakan pupukagar mengacu konsep enam tepat dan mempercepatpemanfaatan pupuk organik. Selain itu perludiupayakan insentif harga produksi yang layak sertapeningkatan akses terhadap sarana produksi danpasar. (4) Untuk menjamin pendapatan petani,fokusnya adalah menjamin ketersediaan dan aksesteknologi peningkatan produktivitas, stabilitas hargainput dan output pertanian, dan usaha tani tanaman- ternak. (5) Dalam upaya memantapkan tingkatkonsumsi, status gizi, dan kesejahteraan petani,kebijakan dan program yang terkait denganketersediaan, akses, dan stabilitas harga pangan perluterus diupayakan dan dikomplemen dengan kebijakandan program jaring pengaman sosial bagi pendudukmiskin yang terkait dengan pangan (raskin) dannonpangan (kartu sehat, kartu pintar, dll). (6)Peningkatan NTP pada tingkat yang wajar akan sangatditentukan oleh keberhasilan program pengembanganproduk pertanian melalui hilirisasi kegiatan pertanian.Juga, kebijakan dan program pengentasankemiskinan di perdesaan perlu terus diupayakan dandimantapkan. (7) Upaya peningkatan kesejahteraanpetani melalui peningkatan produksi, penyediaansarana produksi serta akses pasar harusdikomplemen dengan peningkatan kinerjakelembagaan agrisbisnis mulai dari hulu sampai hilir.(8) Dalam jangka pendek dan menengah, fokus utamapembangunan sosial ekonomi wilayah perdesaan

adalah memantapkan program pendidikan wajibbelajar 12 tahun melalui pembangunan SMA,penguatan infrastruktur ekonomi pertanian danperdesaan, pemantapan hilirisasi pertanian melaluipengembangan UMKM berbasis komoditas pertanian,pembangunan dan pengembangan pasar desa, sertakonektisitas ekonomi desa-kota.

Pemetaan Daya Saing PertanianIndonesia

Dalam implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN(MEA), sektor pertanian masih dihadapkan padaberbagai tantangan, antara lain konversi lahan,kompetisi pemanfaatan serta degradasi sumber dayalahan dan air, menurunnya jumlah tenaga kerja disektor pertanian, perubahan iklim global, persainganperdagangan internasional dan liberalisasi, sertakebijakan pemerintah daerah yang kurang berpihakpada sektor pertanian. Hasil penelitian menunjukkanbahwa pilar makroekonomi memberikan bobot29,50% terhadap daya saing pertanian, diikuti olehpilar kondisi keuangan, bisnis dan tenaga kerja(25,38%), pemerintahan dan kelembagaan(23,95%), serta kualitas hidup dan infrastruktur(21,17%).

Hasil kajian menunjukkan bahwa lima provinsiutama yang memiliki daya saing pertanian utamaadalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat,Sulawesi Selatan, dan Lampung. Provinsi yangmemiliki daya saing pertanian dengan skor positifsebanyak 15 provinsi, berturut-turut yaitu: (1) Jatim,(2) Jateng, (3) Jabar, (4) Sulsel, (5) Lampung, (6)Riau, (7) Sumut, (8) Sumsel, (9) Kalsel, (10) Sumbar,(11) Jambi, (12) Kaltim, (13) Bali, (14) Kalbar, dan(15) Kalteng. Provinsi yang kurang berdaya saingadalah: (1) Bengkulu, (2) NAD, (3) Sulteng, (4) DIY,(5) NTB, (6) Babel, (7) Sulut, (8) Banten, (9) Sultra,(10) Sulbar, (11) Kepri, (12) NTT, (13) Malut, (14)Papua, (15) Papua Barat, (16) Gorontalo, (17) Maluku,dan (18) DKI Jakarta. Jika data hasil analisis dayasaing pertanian dan wilayah digabungkan denganmembentuk kuadran maka kebijakan pembangunanpertanian untuk 33 provinsi di Indonesia berbeda.

Page 13: Sosial Ekonomi dan Kebijakan

Laporan Tahunan 2015: Inovasi Pertanian Bioindustri Menuju Kedaulatan Pangan dan Kesejahteraan Petani112

Kuadran I adalah provinsi yang memiliki daya saingwilayah dan daya saing pertanian, yaitu Jatim, Jateng,Jabar, Sulsel, Riau, Kalsel, dan Kaltim; kuadran IImemiliki daya saing pertanian tetapi kurang memilikidaya saing wilayah, yaitu Lampung, Sumut, Sumsel,Bali, Jambi, Sumbar, Kalbar, dan Kalteng; kuadran IIIkurang memiliki daya saing wilayah dan daya saingpertanian, yaitu Bengkulu, Aceh, Sulteng, Babel, NTB,Sultra, Sulbar, NTT, Malut, Papua Barat, dan Papua;kuadaran IV, memiliki daya saing wilayah dan kurangmemiliki daya saing pertanian, meliputi DIY, Banten,Sulut, Kepri, dan DKI Jakarta.

Hasil analisis menunjukkan terdapat perbedaanarah kebijakan daya saing untuk masing-masingkuadran dan nasional. Kebijakan daya saing pertanianterfokus kebijakan penentu atau input, kebijakanpenghubung atau stakes, dan kebijakan terikat atauoutput. Kebijakan daya saing pertanian kuadran Imemiliki arah kebijakan penentu (input) hanya dariPilar 2 (tenaga PPL/pemandu pertanian, kesesuaiankomoditas, aksesibilitas litbang dan subsidi) dan Pilar4 (aksesibilitas transportasi). Arah kebijakanpenghubungnya berasal dari Pilar 1 (investasi danimpor), Pilar 3 (keuntungan, tenaga kerja, pendapatanpetani, upah, tenaga kerja pengolahan/pemasaran),dan Pilar 4 (kesenjangan produktivitas perkebunandan tanaman pangan/hortikultura, IPM danketersediaan pasar). Dengan demikian, fokus outputdalam kuadran I adalah ekspor produk pertanian danpenerimaan sektor pertanian. Artinya, kebijakan inputdan penghubung dalam kuadran I hanya untukpeningkatan penerimaan negara dan eksporpertanian. Sementara itu, kebijakan daya saingpertanian nasional secara agregat memiliki arahkebijakan penentunya (input) pada Pilar 1 (pinjaman),Pilar 2 (regulasi daya saing dan alokasi anggaranpertanian), Pilar 3 (upah), dan Pilar 4 (irigasi yangbaik dan akses internet), sedangkan arah kebijakanpenghubungnya dari Pilar 2 (aksesibilitas litbang danaksesibilitas diklat), Pilar 3 (tenaga kerja pemasaran/pengolahan), serta Pilar 4 (kesenjangan produktivitasperkebunan dan peternakan). Dengan demikian, fokusoutput dalam agregat nasional terdapat pada Pilar 1(rasio ekspor/impor, nilai tukar petani dan pendapatanpetani), Pilar 2 (penerimaan pemerintah dari sektor

pertanian), dan Pilar 3 (produktivitas petani tanamanpangan/hortikultura dan keuntungan usaha tani).Artinya, penerapan kebijakan input dan penghubungsecara nasional adalah untuk peningkatan pendapatanpetani, penerimaan negara, dan produktivitas,termasuk perimbangan antara ekspor dan imporpertanian.

Implikasi kebijakan dari penelitian ini adalah: (1)keterkaitan antara suatu desa dan daerah lainmerupakan mata rantai ekonomi yang perludikembangkan dalam menunjang peningkatan dayasaing pertanian. Transportasi yang baik akanmemudahkan interaksi antara penduduk lokal dengandunia luar serta mendukung ekspor. Oleh karena itu,upaya peningkatan daya saing pertanian memerlukanpembangunan dan rehabilitasi sarana dan prasaranatransportasi, terutama pada daerah-daerah yangterisolasi; (2) kebijakan merekrut dan mendelegasikanpendamping pertanian harus mengacu pada standarkompetensi pendamping; (3) peningkatan daya saingpertanian perlu memanfaatkan teknologi informasidan komunikasi, investasi penelitian dan pengem-bangan; (4) peningkatan daya saing pertanianmembutuhkan subsidi sarana produksi dan modalkerja serta kebijakan dukungan harga output; (5)Kebijakan di bidang produksi perlu diselaraskandengan kebijakan perdagangan; (6) penguatan modalkerja usaha tani dan kebijakan penyediaan modal/investasi untuk usaha pertanian seperti Kredit UsahaRakyat (KUR) model baru dengan suku bunga rendah,dan lembaga keuangan mikro di perdesaan; (7)kebijakan terintegrasi antarsektor dan multidisiplin,baik teknis maupun manajemen dan sosial-ekonomi.

Penguatan Kelembagaan PenangkarBenih Padi dan Kedelai

Benih merupakan salah satu masukan penting dalamusaha pertanian karena akan menentukan hasilpanen, dengan asumsi sarana produksi lainnya sepertipupuk, irigasi, dan masukan lainnya terpenuhi. Hasilpanen yang baik dengan harga jual yang memadaiakan memberikan keuntungan yang layak kepadapetani.

Page 14: Sosial Ekonomi dan Kebijakan

Sosial Ekonomi dan Kebijakan 113

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakanperbenihan tanaman pangan, termasuk padi dankedelai sudah memadai. Kebijakan tersebut ditujukanagar produsen benih menghasilkan benih dengankualitas baik. Pedagang juga dituntut mengedarkanbenih yang sesuai dengan yang tertera pada label.Amandemen UU No. 12/1992 terkait peredaran benihtanpa harus bersertifikat, yang dilakukan oleh petaniskala kecil untuk kebutuhan petani di sekitarnya,merupakan terobosan agar benih unggul berkualitasdapat disebarkan secara lebih mudah. Benih padi dankedelai diproduksi oleh BUMN dan swasta. Sebagianbesar produsen bermitra dengan penangkar benihdalam menghasilkan calon benih untuk diprosesmenjadi benih. Peran penangkar benih relatif besarkarena dapat mengurangi risiko kegagalan danmengurangi modal produsen dalam memproduksibenih. Pengawasan yang dilakukan oleh BPSB TPHterhadap produksi dan peredaran benih bina relatifbaik. Namun, pengawasan pemasaran benih olehBPSB semakin menurun seiring berkurangnya PBT.Penangkar umumnya bersedia menanam benihvarietas unggul jika benih sumber tersedia dan harga

Ketersediaan dan harga benih sumber yangterjangkau akan mendorong penangkarmenanam benih varietas unggul.

benih terjangkau. Bimbingan dari BPSB TPH sangatdiperlukan agar penangkar dapat menghasilkan benihberkualitas. Jaminan pemasaran calon benih akanmendorong penangkar menanam benih sesuaianjuran. Benih berkualitas tanpa harus berlabel padataraf tertentu diminati petani karena harganya lebihmurah dibanding benih berlabel.

Implikasi kebijakan dari penelitian adalahprogram bantuan benih dapat meningkatkan produksibenih nasional jika benih tersebut diterima petanitepat waktu dan kualitasnya baik. Produsen benihBUMN umumnya belum mampu memproduksi benihsesuai dengan jumlah yang diperlukan sehingga harusmembeli benih dari penangkar swasta. Program iniharus ditinjau ulang agar produksi benih nasional lebihbanyak dan berkualitas serta terjangkau oleh petani.

Jaminan pasar merupakan pertimbangan utamabagi produsen dan penangkar dalam menentukanvolume dan jenis (varietas) benih yang diproduksi.Insentif perlu diberikan kepada produsen danpenangkar, misalnya akses modal yang lebih mudahdan bunga bank yang lebih murah, bantuan promosiproduk, atau pembelian benih langsung olehpemerintah untuk progam bantuan dan subsidi, yangbukan hanya diberikan kepada produsen BUMN.

Pengawasan oleh BPSB kepada penangkar danprodusen benih tetap harus dilakukan agar prosesproduksi benih sesuai standar. Pengawasan peredaranbenih tetap diperlukan agar benih yang beredarberkualitas, tidak kedaluwarsa, dan label yang terterapada kemasan sesuai dengan karakter benih.

Kelembagaan perbenihan perlu ditinjau ulangdengan adanya UPBS di UK/UPT Balitbangtan yangsama-sama menghasilkan benih dasar. Hal iniditambah dengan kemudahan akses benih penjenisoleh produsen benih. Penangkar peserta (MKMB),selain menjual benih bersertifikat, sebaiknyadiperbolehkan menjual benih berkualitas baik tanpalabel, menjual calon benih lulus uji lapang kepadaprodusen benih, atau bermitra dengan kios saprodidalam memasarkan benih berlabel.