komunitas dan analisis bioekologi kepiting bakau …repository.ub.ac.id/6357/1/ramadhan, brilyan...

85
KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU (Scylla spp.) DI MANGROVE CENGKRONG DESA KARANGGANDU KECAMATAN WATULIMO KABUPATEN TRENGGALEK SKRIPSI PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN JURUSAN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN Oleh : BRILYAN HAFITYAN RAMADHAN NIM.135080101111038 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017

Upload: others

Post on 23-Nov-2020

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU (Scylla spp.)

DI MANGROVE CENGKRONG DESA KARANGGANDU KECAMATAN

WATULIMO KABUPATEN TRENGGALEK

SKRIPSI

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN JURUSAN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN

Oleh :

BRILYAN HAFITYAN RAMADHAN NIM.135080101111038

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG 2017

Page 2: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU (Scylla spp.)

DI MANGROVE CENGKRONG DESA KARANGGANDU KECAMATAN

WATULIMO KABUPATEN TRENGGALEK

SKRIPSI

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN JURUSAN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Universitas Brawijaya

Oleh : BRILYAN HAFITTYAN RAMADHAN

NIM.135080101111038

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG 2017

Page 3: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

iii

Page 4: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

iv

PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Brilyan Hafityan Ramadhan

NIM : 135080101111038

Prodi : Manajemen Sumberdaya Perairan

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi yang saya tulis ini

merupakan hasil karya sendiri dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak

terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain

kecuali yang tertulis dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa Skripsi ini

adalah hasil plagiasi, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan

tersebut sesuai hukum yang berlaku di Indonesia.

Malang, 28 Juli 2017

Brilyan Hafityan Ramadhan

Page 5: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

v

UCAPAN TERIMA KASIH

Penyusunan laporan penelitian skripsi ini tidak lepas dari segala bentuk

dukungan yang penulis peroleh dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis

mengucapkan terima kasih kepada:

1) Allah SWT yang senantiasa memberikan kesehatan, kesabaran, kemudahan

dan kelancaran untuk saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

2) Orang tua dan saudara – saudara saya yang selalu mendukung dan

mendoakan yang terbaik untuk saya.

3) Prof. Dr.Ir. Endang Yuli Herawati, MS dan Dr. Ir. Mohammad Mahmudi, MS

selaku dosen pembimbing skripsi yang telah sabar membimbing dan

memberikan nasihat.

4) Nanik Retno Buwono, S.Pi., MP. selaku dosen penguji yang telah memberikan

masukan dalam penelitian ini.

5) Mas Imam, Pak Nahrowi dan nelayan kepiting bakau yang lain yang telah

bersedia direpotkan selama proses penangkapan kepiting bakau.

6) Universitas Brawijaya, sebagai wahana dalam proses saya mengais ilmu dan

Bapak/Ibu Dosen serta seluruh staff di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

atas sumbangan ilmu dan pengalaman berharganya.

7) Farid, Fikri, Didik, Novan, Dika, Febriyanti, Randa, Alfian yang telah

mendukung dan membantu dalam proses penelitian.

8) Surya Widianto yang telah direpotkan dan menemani beberapa hari sampling

di Trenggalek.

9) Suryaningsih yang telah banyak memberi semangat dan selalu menemani

dalam pengerjaan laporan sampai larut malam.

10) Keluarga Asparaga dan Cendana yang telah banyak mendukung dan

membantu.

11) Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang secara

langsung maupun tidak langsung dan baik sengaja maupun tidak sengaja

telah membantu hingga terselesaikannya skripsi ini.

Semoga Tuhan yang maha kuasa senantiasa membalas segala kebaikan

yang telah diberikan oleh pihak-pihak tersebut dengan pahala dan ilmu yang

bermanfaat. Semoga apa yang kita kerjakan dapat menjadi berkah. Aamiin.

Page 6: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

vi

RINGKASAN

BRILYAN HAFITYAN RAMADHAN. Komunitas dan Analisis Bioekologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) di Mangrove Cengkrong Desa Karanggandu Kecamatan Watulimo Kabupaten Trenggalek. (dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Endang Yuli Herawati, MS dan Dr. Ir. Mohammad Mahmudi, MS)

Kawasan Ekosistem Mangrove Cengkrong Trenggalek terdapat berbagai organisme salah satunya ialah kepiting bakau. Melimpahnya kepiting bakau dan belum ada penelitian tentang kepiting bakau lebih lanjut maka diperlukan informasi tentang analisis bioekologi kepiting bakau dan komunitasnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aspek biologi yang meliputi nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad, fekunditas dan hubungan lebar karapas dengan berat tubuh kepiting bakau. Aspek ekologi yang meliputi kualitas air dan sifat fisika dan kimia tanah serta komunitasnya yang meliputi kepadatan, keanekaragaman dan dominasi. Penelitian ini dilaksanakan di Mangrove Cengkrong Desa Krangmadu Trenggalek pada bulan Juni 2017.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei dengan tehnik pengambilan sampel yaitu dengan random purposive sampling. Lokasi pengambilan sampel terdapat 3 stasiun dengan 6 titik sampling perstasiun, yaitu stasiun 1 berada di area mangrove, stasiun 2 berada di muara sungai, stasiun 3 merupakan daerah muara besar yang langsung terhubung ke laut. Pengambilan sampel dengan menggunakan metode transek kwadrat 1 x 1 m2 dengan masing-masing tiap stasiun 6 transek. Parameter kualitas air yang diukur meliputi suhu, pH, salinitas dan kedalaman. Analisa substrat yang diukur meliputi pH tanah, tekstur tanah dan bahan organik.

Jumlah kepiting bakau yang tertangkap oleh nelayan pada penelitian ini sebanyak 31 ekor (13 ekor jantan dan 18 ekor betina). Kisaran lebar karapas dan berat kepiting bakau jantan yaitu 7,97 – 11,81 mm dengan berat 95,74 – 248,70 gram dan kepiting betina 7,76 – 14,87 mm dengan berat 59,21 – 251,43 gram. Pola pertumbuhan kepiting bakau jantan dan betina yaitu allometrik negatif (b<3). Pengamatan tingkat kematangan gonad selama masa penelitian yang paling banyak tertangkap yaitu TKG I sebesar 61,29 % dan sisanya TKG II dan TKG III. Analisis nisbah kelamin jantan dan betina adalah 1 : 1,39. Nilai kepadatan terbanyak pada stasiun 2 dengan tangkapan sebanyak 13 ind/m2. Nilai keanekaragaman tergolong rendah yaitu 1,05 dan nilai dominasi 0,27 yang berarti tidak ada yang mendominasi. Analisa habitat kepiting bakau dibagi 2 yaitu parameter kualitas air dan substrat tanah. Parameter kualitas air diperoleh nilai suhu berkisar 28,6-30,7 0C, salinitas berkisar 29-30 ppt, pH berkisar 7-8,

kedalaman berkisar 58-64 cm. Sedangkan analisa substrat habitat kepiting bakau diperoleh nilai pH tanah berkisar 6,85-7,23, bahan organik tanah berkisar 3,10-4,67 % dan tekstur tanah didominasi oleh lempung.

Kepiting bakau yang tertangkap di Kawasan Mangrove Cengkrong Desa Karanggandu Trenggalek masih belum sesuai dengan peraturan pemerintah (Nomor 1/Permen-KP/2015) yang melarang menangkap ukuran <15 cm. Sehingga masih perlu adanya pengawasan lebih lanjut dan sosialisasi tentang penangkapan kepiting bakau serta perlu disediakannya tempat pembesaran kepiting bakau untuk tangkapan yang belum memenuhi syarat.

Page 7: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

vii

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puja dan puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas

limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

laporan skripsi dengan judul “Komunitas dan Analisis Biologi Kepiting Bakau

di Mangrove Cengkrong Desa Karanggandu Kecamatan Watulimo

Kabupaten Trenggalek”. Laporan skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat

memperoleh gelar sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas

Brawijaya.

Penulis menyadari keterbatasan dan kekurangan dalam pembuatan

laporan skripsi ini. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat

diharapkan penulis demi kesempurnaan tulisan ini. Penulis berharap semoga

proposal ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Malang, Juli 2017

Penulis

Page 8: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. iii

PERNYATAAN ORISINALITAS ......................................................................... iii

UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................................... v

RINGKASAN ...................................................................................................... vi

KATA PENGANTAR ......................................................................................... vii

DAFTAR ISI ..................................................................................................... viii

DAFTAR TABEL ................................................................................................ xi

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xii

1. PENDAHULUAN .......................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1 1.2. Rumusan Masalah ................................................................................ 4 1.3. Tujuan Penelitian................................................................................... 5 1.4. Kegunaan Penelitian ............................................................................. 5 1.5. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................... 5

2. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 6 2.1. Kepiting Bakau (Scylla spp.) .................................................................. 6

2.1.1 Klasifikasi .................................................................................. 6 2.1.2 Morfologi ................................................................................... 7 2.1.3 Siklus Hidup dan Proses Reproduksi ........................................ 9 2.1.4 Habitat dan Penyebaran ......................................................... 10 2.1.5 Kebiasaan Makan ................................................................... 12

2.2. Aspek Biologi ...................................................................................... 12 2.2.1. Pertumbuhan .......................................................................... 12 2.2.2. Nisbah Kelamin ....................................................................... 13 2.2.3. Tingkat Kematangan Gonad ................................................... 14

2.3. Aspek Ekologi Lingkungan Kepiting Bakau ......................................... 15 2.3.1. Substrat .................................................................................. 16 2.3.2. Tekstur Tanah......................................................................... 16 2.3.3. Derajat Keasaman (pH) Tanah ............................................... 17 2.3.4. Bahan Organik Tanah ............................................................. 17

3. METODE PENELITIAN .............................................................................. 20 3.1. Materi Penelitian ................................................................................. 20 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................... 20 3.3. Alat dan Bahan .................................................................................... 20 3.4. Metode Penelitian................................................................................ 21 3.5. Lokasi Pengambilan Data Jumlah Sampel Kepiting..............................21 3.6. Prosedur Pengambilan Sampel ........................................................... 22

3.6.1. Kepiting Bakau........................................................................ 22 3.7. Analisis Aspek Biologi Kepiting Bakau ................................................. 23

3.7.1. Pengukuran Lebar Karapas dan Bobot Individu ...................... 23

Page 9: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

ix

3.7.2. Nisbah Kelamin ....................................................................... 24 3.7.3. Tingkat Kematangan Gonad ................................................... 24 3.7.4. Fekunditas .............................................................................. 27

3.9 Prosedur Pengambilan Sampel Substrat ............................................. 29 3.10 Analisis Data Komunitas Kepiting Bakau ............................................. 30

3.10.1 Kepadatan Kepiting Bakau ..................................................... 30 3.10.2 Indeks Keanekaragaman Kepiting .......................................... 30

3.11 Analisis Data Aspek Biologi ................................................................. 31 3.11.1 Hubungan Lebar Karapas dengan Bobot Individu ................... 31 3.11.2 Nisbah Kelamin ....................................................................... 32 3.11.3 Fekunditas .............................................................................. 33

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 34 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian ....................................................... 34 4.2 Deskripsi Lokasi Penangkapan Kepiting Bakau ................................... 35 4.3 Alat Tangkap Kepiting Bakau .............................................................. 37 4.4 Aspek Biologi ...................................................................................... 38 4.5 Analisis Tingkat Kematangan Gonad................................................... 47 4.6 Analisis Hubungan Lebar Karapas dan Berat ...................................... 51 4.7 Analisis Nisbah Kelamin ...................................................................... 54 4.8 Fekunditas........................................................................................... 55 4.9 Komunitas Kepiting Bakau (Scylla spp.) .............................................. 55

4.11.1 Kepadatan Kepiting Bakau ..................................................... 55 4.11.2 Indeks Keanekaragaman Spesies Kepiting Bakau .................. 57 4.11.3 Indeks Dominasi Kepiting Bakau............................................. 59

4.10 Analisis Parameter Kualitas Air ........................................................... 59 4.9.1 Suhu ....................................................................................... 60 4.9.2 Salinitas .................................................................................. 60 4.9.3 Derajat Keasaman (pH) .......................................................... 61 4.9.4 Kedalaman ............................................................................. 62

4.11 Substrat Habitat Kepiting Bakau .......................................................... 63 4.10.1 pH Tanah ................................................................................ 63 4.10.2 Tekstur Tanah......................................................................... 64 4.10.3 Bahan Organik Tanah ............................................................. 65

5. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 67 5.1 Kesimpulan ......................................................................................... 67 5.2 Saran .................................................................................................. 68

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 69

LAMPIRAN ........................................................................................................ 74

Page 10: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Jenis Kepiting Bakau yang Tergolong dalam (Scylla spp.) ............................... 8

2. Sebaran Geografis Kepiting Bakau ................................................................ 11

3. Siklus Rantai Makanan di Ekosistem Mangrove ............................................. 18

4. Pengukuran lebar karapas. ............................................................................ 23

5. Morfologi Kepiting Bakau .............................................................................. 23

6. Perbedaan Kepiting jantan (B) dan Betina (A) ............................................... 24

7. Lokasi Penangkapan 1 .................................................................................. 35

8. Lokasi Penangkapan 2 .................................................................................. 36

9. Lokasi Penangkapan 3 .................................................................................. 36

10. Alat Tangkap Bubu ...................................................................................... 37

11. Scylla transqubarica ..................................................................................... 39

12. Scylla seratta ............................................................................................... 40

13. Scylla Oceania ............................................................................................. 41

14. Scylla paramomasain ................................................................................... 42

15. Grafik Keseluruhan Sebaran Lebar Karapas Individu Kepiting Bakau .......... 43

16. Grafik Sebaran Lebar Karapas Kepiting Bakau Jantan ................................ 43

17. Grafik Keseluruhan Sebaran Lebar Karapas Individu Kepiting ..................... 44

18. Grafik Sebaran Lebar Karapas Kepiting Bakau Betina ................................. 44

19. Grafik Keseluruhan Sebaran Berat Individu Kepiting Bakau Jantan ............. 45

20. Grafik Sebaran Berat Individu Kepiting Bakau Jantan .................................. 45

21. Grafik Keseluruhan Sebaran Berat Individu Kepiting Bakau Betina .............. 46

22. Grafik Sebaran Berat Individu Kepiting Bakau Betina per-Stasiun ............... 46

23. Grafik Sebaran Frekuensi Tingkat Kematangan Gonad Kepiting ................. 48

24. Grafik Sebaran Frekuensi Tingkat Kematangan Gonad ............................... 48

25. Grafik Sebaran Frekuensi Tingkat Kematangan Gonad Kepiting ................. 49

26. Grafik Sebaran Frekuensi Tingkat Kematangan Gonad Kepiting ................. 49

27. Grafik Sebaran Frekuensi Tingkat Kematangan Gonad Kepiting ................. 50

28. Grafik Sebaran Frekuensi Tingkat Kematangan Gonad Kepiting ................. 50

29. TKG 2 (a) dan TKG 3 (b).............................................................................. 51

30. Grafik Hubungan Lebar Karapas dan Berat Kepiting Bakau Jantan ............. 52

31. Grafik Hubungan Lebar Karapas dan Berat Kepiting Bakau Betina .............. 52

32. Kepadatan kepiting bakau stasiun 1 ............................................................ 56

33. Kepadatan kepiting bakau stasiun 2 ............................................................ 56

34. Kepadatan kepiting bakau stasiun 3 ............................................................ 56

35. Hasil Pengukuran pH tanah ......................................................................... 63

36. Grafik Kandungan Bahan Organik Tanah .................................................... 65

Page 11: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

xi

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Karakter tingkat kematangan gonad kepiting bakau (Scylla spp.) .................. 15

2. Kelas tekstur tanah ........................................................................................ 17

3. Tingkat kematangan testis kepiting bakau ..................................................... 25

4. Tingkat kematangan ovarium kepiting bakau ................................................. 26

5. Data hasil pengukuran suhu .......................................................................... 60

6. Data hasil pengukuran salinitas ..................................................................... 61

7. Data hasil pengukuran pH ............................................................................. 62

8. Data hasil pengukuran kedalaman air ............................................................ 62

9. Data Hasil Pengamatan Tekstur Tanah ......................................................... 64

Page 12: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Alat dan Bahan Penelitian .............................................................................. 74

2. Peta Lokasi dan Denah Pengamatan Mangrove Cengkrong .......................... 76

3. Data Biologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) ...................................................... 78

4. Perhitungan Selang Kelas Lebar Karapas Kepiting Bakau Jantan ................. 79

5. Perhitungan Selang Kelas Berat Karapas Kepiting Bakau Jantan .................. 82

6. Tingkat Kematangan Gonad Kepiting Bakau ................................................. 85

7. Perhitungan Hubungan Lebar Karapas dan Berat Tubuh Kepiting ................ 86

8. Hasil Perhitungan Nisbah Kelamin. ................................................................ 88

9. Data Hasil Pengukuran Kualitas Air ............................................................... 89

10. Data Hasil Perhitungan Kepiting Bakau (Ni/A) ............................................. 90

11. Indeks Keanekaragaman Kepiting Bakau .................................................... 91

12. Indeks Dominasi Kepiting Bakau.................................................................. 92

13. Dokumentasi lapang .................................................................................... 93

Page 13: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

1

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kepiting bakau termasuk salah satu komoditas perikanan ekonomis yang

penting. Penyebarannya hampir di seluruh kawasan pesisir Indonesia, yang

memiliki ekosistem mangrove. Komoditas ini sangat diminati oleh masyarakat

karena rasanya yang enak dan kandungan gizinya yang tinggi. Menurut Afrianto

dan Liviawaty (1992) dalam Herliany dan Zamdial (2015), tiap 100 gram daging

kepiting bakau (segar) mengandung 13,6 gram protein; 3,8 gram lemak; 14,1 gram

hidrat arang dan 68,1 gram air. Harga kepiting bakau terus meningkat khususnya

jika sudah masuk sebagai menu seafood di restoran dan hotel berbintang. Hal ini

menjadikan komoditas perikanan tersebut banyak ditangkap oleh nelayan.

Tingginya nilai jual kepiting bakau, mendorong peningkatan laju eksploitasi

(Perikanan WWF Indonesia, 2015). Laju eksploitasi ini dapat dilihat dari data

statistik perikanan tangkap. Data hasil perikanan tangkap Indonesia tahun 2011,

produksi kepiting bakau meningkat pada tahun 2001 - 2010 menjadi 13,75 %,

sedangkan pada tahun 2010 - 2011 menjadi 28,95 % (Kementerian Kelautan

Perikanan, 2012).

Kepiting bakau atau sering juga disebut kepiting lumpur (Mud crab) masuk

dalam genus Scylla, hidup pada habitat air payau, seperti area hutan mangove,

estuaria, secara menyeluruh terdapat pada laut pacifik dan samodra hindia.

Kepiting ini berasal dari Tahiti, Australia, dan Jepang sampai pada Afrika Selatan.

(Fushimi dan S. Watanabe, 2003) ”Mud crab in genus Scylla in habit brackish

waters, such as mangove areas and estuaries, throughout the pacific and Indian

Oceans, from Tahiti, Australia, and Japan to southern Africa”. Menurut Watanabe,

et al. (1996), Kepiting lumpur atau kepiting bakau merupakan sumberdaya

Page 14: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

2

perikanan penting yang mempunyai nilai ekonomis penting yang ada di Australia,

Jepang, Indonesia, Taiwan, dan Philipina, di negara ini kepiting lumpur atau

kepiting bakau menjadi target produksi dalam kegiatan budidaya

perikanan.Kepiting Bakau Scylla serrata memiliki peranan yang cukup berarti

dalam ekosistem mangrove, dan merupakan salah satu komoditas perikanan yang

potensial yang memiliki nilai ekonomis penting. Kepiting bakau juga merupakan

jenis makanan laut yang digemari masyarakat karena rasa dagingnya yang lezat

juga memiliki nilai gizi yang tinggi (Rosmaniar, 2008).

Suatu komunitas terdiri atas banyak jenis dengan berbagai macam

fluktuasi populasi dan interaksi antara satu dengan lainnya. Komunitas juga terdiri

atas berbagai organisme dan saling berhubungan pada suatu lingkungan tertentu.

Secara ringkas komunitas adalah seluruh populasi yang hidup bersama di suatu

daerah tertentu dan sering disebut sebagai komunitas biotik (Irwan, 1992).

Hutan mangrove merupakan satu bentuk komunitas yang terdiri atas

vegetasi pantai yang memiliki karakteristik, tumbuh di daerah intertidal, jenis

tanahnya berlempung atau berpasir, daerahnya tergenang air laut secara berkala,

baik setiap hari maupun hanya tergenang pada saat pasang purnama, menerima

pasokan air tawar yang cukup dari darat, terlindung dari gelombang arus besar

dan arus pasang surut. Hutan mangrove telah menyesuaikan diri dengan terpaan

ombak, dengan salinitas tinggi serta tanahnya senantiasa digenangi air. Hutan

pantai tersebut tumbuh baik di daerah tropis maupun sub tropis (Fachrul, 2007).

Salah satu kawasan hutan mangrove yang ada di Indonesia ialah hutan

mangrove cengkrong yang tepatnya di Desa Karanggandu, Kecamatan Watulimo,

Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Sekitar 42 km arah selatan kota Trenggalek

dan hanya 200 meter dari Pantai Cengkrong. Rute jalan ke tempat ecowista ini

mudah dilalaui sama dengan jalur ke Pantai Cengkrong, serta searah dengan

Pantai Prigi (sekitar 3 km sebelumnya).

Page 15: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

3

Sebagai salah satu sumber daya alam di kawasan pesisir, komunitas hutan

mangrove memiliki manfaat yang sangat luas ditinjau dari aspek ekologi, fisik,

ekonomi dan sosial. Secara ekologis, hutan mangrove berfungsi menangkap dan

mengumpulkan sedimen yang terbawa arus pasang surut dari daratan lewat aliran

sungai. Hutan mangrove selain melindungi pantai dari gelombang dan angin, juga

sebagai tempat yang dipenuhi pula oleh kehidupan lain seperti mamalia, amfibi,

reptil, burung, kepiting, ikan, primata, serangga dan sebagainya.

Terkait dengan hal di atas, pengelolaan hutan mangrove haruslah

didukung oleh faktor ekologis salah satu diantaranya kondisi sumber daya hayati

dalam hal ini biota pada ekosistem mangrove tersebut yakni kepiting serta faktor

lingkungan pendukung kehidupannya. Di sisi lain, kegiatan penelitian yang

mengkaji tentang tersebut di kawasan ini masih sangat kurang. Hasil penelitian ini

diharapkan menjadi data dasar (data base) untuk penelitian lanjut guna

perlindungan satwa dan lingkungan, dan menjadi masukan untuk perencanaan

wilayah dan pengembangan sumberdaya alam berbasis ekologi. Berdasarkan

beberapa uraian di atas dapat dilakukan penelitian tentang Komunitas dan Analisis

Biologi Kepiting Bakau di Mangrove Cengkrong Desa Karanggandu Kecamatan

Watulimo Kabupaten Trenggalek.

Berkaitan dengan hal tersebut penelitian ini dilakukan untuk mengetahui

bagaimana tingkat status komunitas kepiting bakau dilihat dari aspek biologi dan

ekologi. Sehingga akan diketahui hasil terebaru status komunitas kepiting bakau

di Mangrove Cengkrong Kabupaten Trenggalek. Melalui penelitian ini juga akan

diketahui tingkat kesuburan kondisi Mangrove dengan bioindikator yang

digunakan kepiting bakau.

Page 16: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

4

1.2. Rumusan Masalah

Adapun pendekatan permasalahan penelitian adalah sebagi berikut :

a. Kepiting bakau di Mangrove Cengkrong Desa Karanggandu

Watulimo menjadi salah satu jenis kepiting yang melimpah.

b. Kepiting Bakau di Mangrove Cengkrong masih belum ada

penelitian lanjutan tentang bagaimana habitat alaminya dan

penyebarannya.

c. Hasil penelitian ini bertujuan untuk menganalisis habitat serta aspek

biologis dari kepiting tersebut.

d. Informasi tentang bagaimana komunitas dan analisis bioekologinya

di Mangrove Cengkrong dapat menjadi acuan dalam pengelolaan

Kepiting Bakau di Mangrove Cengkrong dan komunitasnya agar

habitatnya tetap alami dan terjaga populasinya.

RUMUSAN MASALAH

Kepiting Bakau Bakau Mangrove Cengkrong Desa

Karanggandu Trenggalek

a

Habitat dan Aspek Biologi

Penyebaran dan keragaman Komunitas dan Analisis

Bioekologi Kepiting Bakau

b d

c

Page 17: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

5

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menganalisis aspek biologi kepiting bakau yang meliputi nisbah kelamin,

tingkat kematangan gonad, fekunditas dan hubungan lebar karapas

dengan berat tubuh kepiting bakau.

2. Mengetahui struktur komunitas kepiting bakau di Kawasan Mangrove

Cengkrong Trenggalek.

3. Menganalisis habitat Kepiting bakau yang meliputi kualitas air serta sifat

fisika dan kimia tanah.

1.4. Kegunaan Penelitian

Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk penelitian

lebih lanjut yang berkaitan dengan konservasi komunitas kepiting bakau (Scylla

Spp.) dan sebagai informasi dan rujukan untuk menentukan kebijakan pengelolaan

sumberdaya kepiting bakau yang berkelanjutan khususnya di Mangrove

Cengkrong Desa Karanggandu Kecamatan Watulimo Kabupaten Trenggalek.

1.5. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Mangrove Cengkrong Desa Karanggandu

Kecamatan Watulimo Kabupaten Trenggalek pada bulan Mei sampai Juni 2017.

Page 18: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

6

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kepiting Bakau (Scylla spp.)

2.1.1 Klasifikasi

Kepiting Bakau (Scylla spp.) merupakan jenis kepiting hijau yang

dapat ditemukan di daerah mangrove (hutan bakau). Klasifikasi kepiting

bakau menurut Motoh (1977) adalah sebagai berikut :

Filum : Arthrophoda

Subfilum : Mandibulata

Kelas : Crustacea

Subkelas : Malacostraca

Tribe : Eumalacostraca

Supertribe : Eucarida

Ordo : Decaphoda

Subordo : Pleocyemata

Suku : Brachyura

Famili : Portunidae

Subfamili : Portuninae

Genus : Scylla

Spesies : Scylla serrata (Forsskal, 1775)

Scylla tranquebarica (Fabricius, 1798)

Scylla paramamosain (Estampador, 1949)

Scylla olivacea (Herbst, 1796)

Nama Inggris : Mud Crab / Mangrove Crab

Page 19: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

7

2.1.2 Morfologi

Bentuk badan kepiting secara umum adalah badan yang pendek dengan

abdomen yang tereduksi. Badan yang pendek diakibatkan oleh fusi antara kepala

dan toraks membentuk cefalotoraks dan ditutupi oleh karapas. Sedangkan

abdomen tereduksi menjadi tipis, rata dan terlipat di bawah cefalotoraks, karena

itu kepiting dinamakan brachyura atau ekor pendek (Garth dan Abbott 1980).

Secara umum morfologis kepiting bakau dapat dikenali dengan ciri sebagai

berikut :

1. Seluruh tubuhnya tertutup oleh cangkang.

2. Terdapat 6 buah duri diantara sepasang mata, dan 9 duri disamping kiri dan

kanan mata.

3. Mempunyai sepasang capit, pada kepiting jantan dewasa Cheliped (kaki

yang bercapit) dapat mencapai ukuran 2 kali panjang karapas.

4. Mempunyai 3 pasang kaki jalan.

5. Mempunyai sepasang kaki renang dengan bentuk pipih.

6. Kepiting jantan mempunyai abdoment yang berbentuk agak lancip

menyerupai segi tiga sama kaki, sedangkan pada kepiting betina dewasa

agak membundar dan melebar.

7. Scylla serrata dapat dibedakan dengan jenis lainnya, karena mempunyai

ukuran paling besar sehingga di Philipina jenis ini disebut sebagai kepiting

raja (Fortest, 1999), disamping itu Scylla serrata mempunyai pertumbuhan

yang paling cepat dibanding ketiga spesies lainnya.

8. Panjang karapas ± 2/3 dari lebarnya, permukaan karapas sedikit licin kecuali

pada lekuk yang berganula halus didaerah brancial.

Menurut Moosa,et al. (1995), menegaskan bahwa ketiga spesies tersebut

jika dilihat secara sepintas tidak tampak perbedaannya, namun jika diamati lebih

teliti akan tampak dengan jelas perbedaannya pada Gambar 1.

Page 20: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

8

1. Scylla serata, memiliki warna relatif sama dengan warna lumpur, yaitu coklat

kehitam-hitaman pada karapasnya dan putih kekuning-kuningan pada

abdomennya. Pada propudus bagian atas tedapat sepasang duri yang runcing

dan 1 buah duri pada propudus bagian bawah. Selain itu habitat kepiting bakau

spesies ini sebagian besar di hutan-hutan bakau di perairan Indonesia.

Gambar 1. Jenis Kepiting Bakau yang Tergolong dalam Scylla spp (Foto;

Kenan, 1998)

2. Scylla transquebarica, memiliki warna hijau tua dengan kombinasi kuning

sampai orange pada karapasnya dan putih kekuning-kuningan pada bagian

abdomennya. Pada propudus bagian atas terdapat sepasang duri, tetapi tidak

runcing dan 1 buah duri yang tumpul pada abdomen bagian bawah.

3. Scylla oceanica, spesies ini lebih didominasi dengan warna cokelat-tua dan

ukuran badannya jauh lebih besar dari pada spesies yang lain. Dengan capit

yang lebih panjang, maka spesies ini lebih cepat memburu makanan. Namun

harga spesies ini lebih rendah dibandingkan dengan spesies lain, sehingga

petani tidak suka membudidayakannya. Kepiting ini biasa ditemukan di Perairan

Afrika dan Laut Merah.

Page 21: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

9

2.1.3 Siklus Hidup dan Proses Reproduksi

Menurut Amir (1994) proses perkawinan kepiting tidak seperti pada udang

yang hanya terjadi pada malam hari (kondisi gelap). Dari hasil pengamatan di

lapangan, ternyata kepiting bakau juga melakukan perkawinan pada siang hari.

Proses perkawinan dimulai dengan induk jantan mendatangi induk betina akan

dipeluk dengan menggunakan kedua capitnya yang besar. Induk kepiting jantan

kemudian menaiki karapas induk kepiting betina, posisi kepiting betina dibalikkan

oleh yang jantan sehingga posisinya berhadapan, maka proses kopulasi akan

segera berlangsung.

Kepiting bakau dalam menjalani kehidupannya beruaya dari perairan

pantai ke laut, kemudian induk berusaha kembali ke perairan pantai, muara

sungai, atau berhutan bakau untuk berlindung, mencari makanan, atau

membesarkan diri.

Kepiting bakau yang telah siap melakukan pekawinan akan memasuki

hutan bakau dan tambak. Setelah perkawinan berlangsung kepiting betina secara

perlahan-perlahan akan beruaya di perairan bakau, tambak, ke tepi pantai, dan

selanjutnya ke tengah laut untuk melakukan pemijahan. Kepiting jantan yang telah

melakukan perkawinan atau telah dewasa berada diperairan bakau, tambak, di

sela-sela bakau, atau paling jauh di sekitar perairan pantai yaitu pada bagian-

bagian yang berlumpur, dan ketersediaan pakan yang berlimpah (Kasry. 1996).

Menurut Boer (1993) kepiting bakau yang telah beruaya ke perairan laut

akan berusaha mencari perairan yang kondisinya cocok untuk tempat melakukan

pemijahan, khususnya terhadap suhu dan salinitas air laut . setelah telur menetas,

maka masuk pada stadia larva, dimulai pada zoea 1 (satu) yang terus menerus

berganti kulit sebanyak 5 (lima) kali, sambil terbawa arus ke perairan pantai sampai

pada zoea 5 (lima). Kemudian kepiting tersebut berganti kulit lagi menjadi

megalopa yang bentuk tubuhnya sudah mirip dengan kepiting dewasa, tetapi

Page 22: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

10

masih memiliki bagian ekor yang panjang. Pada tingkat megalopa ini, kepiting

mulai beruaya pada dasar perairan lempung menuju perairan pantai. Kemudian

pada saat dewasa kepiting berupaya ke perairan berhutan bakau untuk kembali

melangsungkan perkawinan.

2.1.4 Habitat dan Penyebaran

Menurut Gufron dan Kordi (2000), kepiting banyak ditemukan di daerah

hutan bakau, sehingga di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan kepiting bakau

(mangove crab), jenis ini yang paling populer sebagai bahan makanan dan

memiliki harga jual yang sangat tinggi. Jenis lain yang banyak dijumpai adalah

rajungan.

Berbagai jenis krustasea hidup di mangrove menggali tanah sampai

permukaan air sebagai adaptasi terhadap pasang surut perairan dan juga

terhadap predator. Jenis-jenis Portunidae seperti S. serrata dapat menggali lubang

hingga 5 meter keluar dari sisi tebing sungai masuk ke mangrove. Lubang yang

digali bervariasi fungsinya, bergantung pada spesiesnya, yaitu sebagai tempat

menghindar dari predator, tempat menampung air, sumber bahan pakan organik,

sebagai rumah atau daerah teritorial dalam berpasangan dan kawin, tempat

pertahanan, dan tempat mengerami telur atau anaknya. Kepiting bakau dewasa

merupakan salah satu dari biota yang hidup pada kisaran kadar garam yang luas

(euryhaline) dan memiliki kapasitas untuk menyesuaikan diri (adaptasi) yang

cukup tinggi. Kepiting bakau juga memiliki kemampuan untuk bergerak dan

beradaptasi pada daerah teresterial serta pada tambak yang cukup tersedia pakan

bagi kelangsungan hidupnya (Wijaya, 2011).

Page 23: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

11

Kepiting bakau memiliki sebaran geografis yang sangat luas, meliputi

pantai timur Afrika, India, Srilangka, Indonesia, Filipina, Malaysia, Thailand, China,

Taiwan, Jepang, Papua Nugini, Australia, dan pulau pulau di utara Selandia Baru

(Asmara 2004). Menurut Sulistiono, et al. (1994) dalam Asmara (2004), kepiting

bakau ditemukan di perairan payau dan tertangkap di sebagian besar wilayah

pesisir Indonesia, yakni di wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku

dan Irian Jaya. Sebaran geografis kepiting bakau pada Gambar 2.

Gambar 2. Sebaran Geografis Kepiting Bakau (Moosa, et al. 1985 dalam Retnowati, 1991).

Menurut Watanabe, et al. (2000), pada peraiaran hutan mengove banyak

ditemukan kepiting bakau jenis Scylla serrata, Scylla oceanica dan Scylla

tranquebarica. Secara umum jenis kepiting ini mempunyai nilai ekonomi tinggi.

Lebih lanjut dikatakan ketiga jenis kepiting tersebut juga mendominasi pada areal

rawa mangove dan area persemaian mangove. Hal yang sama juga dikemukakan

oleh Tanod, et al.(2001), hasil penelitian yang dilakukan di Segara Anakan Cilacap

pada bulan Nopember 1999 – Mei 2000, jenis kepiting yang banyak ditemukan

adalah Scylla serrata, Scylla oceanica dan Scylla tranquebarica.

Page 24: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

12

2.1.5 Kebiasaan Makan

Makanan kepiting dewasa dapat berupa sisa jasad makhluk hidup

(bangkai), ikan, udang dan kerang. Saat stadia larva makanan kepiting bakau

adalah plankton. Wilayah mangrove yang subur menyediakan banyak sumber

makanan bagi kepiting bakau. Perairan sekitar hutan mangrove sangat cocok

untuk kehidupan kepiting bakau, karena sumber makanannya seperti benthos dan

serasah cukup tersedia (Triyanto, 2016).

Menurut Kasry (1996) dalam Siahainenia (2008), capit (chela) kepiting

bakau yang besar dan kuat memungkinkannya untuk menyerang musuh, atau

merobek-robek makanannya. Sobekan-sobekan makanan tersebut akan dibawa

ke mulut dengan bantuan kedua capitnya.Waktu makan kepiting bakau tidak

teratur, tetapi umumnya lebih aktif di malam hari daripada di siang hari. Sehingga

kepiting bakau tergolong sebagai hewan nokturnal. Dalam mencari makanan,

kepiting cenderung menyerang jika daerah kekuasaanya terganggu.

Kepiting bakau dewasa bersifat pemakan segalanya (omnivorous-

scavenger), bahkan bangunan bambu dan kayu yang ada ditambak mampu

dirusak dengan capitnya. Pakan yang sudah dicabik dengan capitnya akan

dimasukan kedalam mulutnya. Kepiting yang masih larva menyukai pakan berupa

kutu air, Artemia, Tetraselmis, Chlorella, Rotifera, Larva Echinodermata, Larva

Molusca, Cacing, dll (Afrianto dan Liviawati, 1992).

2.2. Aspek Biologi

2.2.1. Pertumbuhan

Secara fisiologis, pertumbuhan dan proses moulting kepiting bakau

dipengaruhi oleh faktor fisiologis baik secara langsung dan tak langsung.

Pengaruh langsung dilakukan dengan pemberian hormon (Bliss, 1983). Kontrol

hormon pada kepiting dipengaruhi oleh adanya hormon penghambat di antaranya

Page 25: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

13

hormon penghambat metobolisme, hormon penghambat moulting (MIH) dan

hormon penghambat perkembangan gonad (GIH) (Carlisle, 1953). Sedangkan

cara fisiologi tak langsung dilakukan dengan metode autotomi atau ablasi (Kanna,

2000).

Menurut Shelley dan Lovatelli (2011), kepiting bakau dapat mencapai

ukuran lebar karapas 24 cm, namun umumnya mencapai 15–20cm. Pertumbuhan

kepiting bakau tergantung dari proses moulting (ganti kulit). Pertumbuhan anakan

kepiting bakau untuk mencapai ukuran lebar karapas 150 mm dapat mengalami

moulting sebanyak 15 kali. Selama masa pertumbuhan, kepiting menjadi dewasa

akan mengalami pergantian kulit antara 17 – 20 kali tergantung dengan kondisi

lingkungan dan pakan yang mempengaruhi pertumbuhannya. Proses moulting dari

zoea berlangsung relatif cepat yaitu sekitar 3 – 5 hari, sedangkan pada fase

megalopa, proses dan interval pergantian kulit berlangsung lama yaitu 17 – 26 hari.

Begitu juga pada fase megalopa dan lama instar sebagai megalopa adalah 7 – 12

hari. Setiap pergantian kulit, tubuh kepiting akan bertambah besar sekitar 1/3 kali

dari sebelumnya dan panjang karapas meningkat 5 – 10 mm pada kepiting dewasa

(sekitar dua kali dari ukuran semula), kepiting dewasa umur 12 bulan mempunyai

lebar karapas 170 mm dan berat sekitar 200 gram/ekor (Kordi, 1997).

2.2.2. Nisbah Kelamin

Menurut Pulungan (2015), nisbah kelamin merupakan perbandingan dalam

jumlah antara jantan dan betina di dalam populasi. Pemahaman nisbah kelamin

pada ikan di bulan dan musim yang berbeda adalah sangat penting untuk

mendapatkan informasi tentang perbedaan jenis kelamin secara musiman dan

kelimpahan relatipnya di musim pemijahan.

Menurut Tongdee, (1999); Potter and de Lestang, (2000); Aslan, et al,

(2003) dalam Hermanto (2004) kepiting bakau betina pada saat-saat tertentu

Page 26: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

14

sebelum memijah tidak menetap di perairan atau muara-muara sungai seperti

kepiting bakau jantan, sehingga kalaupun tertangkap kemungkinan jumlahnya

tidak sebanyak kepiting bakau jantan. Sedangkan menurut Hill (1982) dalam

Tanod (2000) keadaan nisbah kelamin dari kepiting bakau (Scylla serrata) berubah

menurut musim, tempat, dan ukuran kepiting.

2.2.3. Tingkat Kematangan Gonad

Tingkat Kematangan Gonad (TKG) adalah tahap perkembangan gonad

sejak awal hingga selesai memijah. Penentuan TKG dapat dilihat secara morfologi

dan histologi. Penentuan secara morfologi dapat dilihat dari bentuk, panjang,

berat, warna serta perkembangan isi gonad, sedangkan secara histologi dapat

dilihat dari anatomi perkembangan gonadnya (Effendi, 1997).

Tingkat kematangan gonad adalah suatu tingkatan yang menggambarkan

kemampuan bereproduksi hewan air termasuk kepiting. Perkembangan gonad

adalah proses pematangan sperma pada kepiting bakau jantan dan sel telur pada

kepiting bakau betina yang dapat ditandai oleh perubahan morfologi tubuh kepiting

bakau, perubahan morfologi gonad dan perubahan struktur jaringan gonad.

Tingkat kematangan gonad pada Tabel 1 adalah tahap perkembangan gonad yang

dimulai sejak awal pembentukan gonad hingga disalurkan/dikeluarkan.

Pada tingkat dewasa kepiting bakau masih mengalami perbesaran tubuh.

Karapas juga bertambah lebar sekitar 5 - 10 mm. Pada kondisi lingkungan yang

memungkinkan, kepiting dapat bertahan hidup hingga mencapai umur 3 - 4 tahun.

Sementara itu, pada umur 12 - 14 bulan kepiting sudah dianggap dewasa dan

dapat dipijahkan. Sekali memijah, kepiting mampu menghasilkan jutaan telur

2.000.000 - 8.000.000 telur, tergantung dari ukuran dan umur kepiting betina yang

memijah (Kasry, 1996 dalam Wijaya, 2011).

Page 27: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

15

2.3. Aspek Ekologi Lingkungan Kepiting Bakau

Kualitas lingkungan adalah faktor penting yang dapat mempengaruhi

keberadaan dan pertumbuhan kepiting bakau. Kepiting bakau hanya akan

menempati bagian – bagian perairan yang memiliki kondisi kualitas lingkungan

yang mampu ditolerir olehnya. Karakterisitik kualitas lingkungan yang menjadi

habitat kepiting bakau perlu diketahui untuk mengetahui habitat alami kepiting

bakau itu sendiri, bila kondisi ekologi mendukung kepiting bakau dapat hidup

mencapai umur 3 – 4 tahun. Karakter tingkat kematangan gonad dapat dilihat pada

Tabel 1.

Tabel 1. Karakter tingkat kematangan gonad kepiting bakau (Scylla spp.) betina menurut John dan Sivadas (1978; 1979).

TKG Klasifikasi Struktur morfologis menurut

John dan Sivadas (1978) Struktur histologist menurut John dan Sivadas (1979)

I Belum Matang

Ovarium berbentuk sepasang filament yang mengarah ke punggung

berwarna kuning keputihan, seluruhnya ditutupi selaput

peritoneum yang tipis.

Epitel folikel yang menutupi sel telur tidak begitu jelas,

sitoplasma Nampak berwarna agak lemah mengelilingi inti yang

nampak padat, bundar dan berwarna gelap.

II Menjelang

Matang

Ukuran ovarium bertambah dan meluas baik kearah lateral maupun antero-

posterior, hampir memenuhi bagian punggung, warna

menjadi kuning keemasan.

Butir-butir kuning telur kecil mulai muncul. Butir-butir kuning telur yang lebh

besar terlihat terdapat pada bagian tepi dibandingkan

dengan pada bagian pusat sel telur.

III Matang

Ovarium penuh dengan sel-sel telur matang berwarna

orange terang. Bila karapas dibuka, ternyata seluruh

dada hanya berisi ovarium.

Butir-butir kuning telur berwarna gelap terlihat

pada seluruh sitoplasma. Perbedaan yang paling

jelas pada fase ini adalah deposisi kunng telur secara

total dalam sel telur.

IV Salin

Ovarium menciut menjadi sepasang filamen berwarna

orange pucat. Pada beberapa bagian filamen masih berisi telur matang tidak dikeluarkan sewaktu

pemijahan.

Kondisi sel telur nampak seperti pada betina dengan

ovarium yang belum matang.

Page 28: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

16

2.3.1. Substrat

Fraksi substrat di sekitar hutan mangrove umumnya terdiri atas lempung

dan liat. Hal ini dimungkinkan karena partikel lempung dan liat dapat mengendap

cepat akibar gerakan air di sekitarnya yang relatif tenang dan terlindung (Clough,

et al. 1983). Substrat di hutan mangrove sangat mendukung kehidupan kepiting

bakau terutama untuk melangsungkan perkawinan. Menurut Snedaker dan Getter

(1985), habitat kepiting bakau adalah perairan intertidal (dekat hutan mangrove)

yang bersubstrat lempung. Substrat di dalam dan di sekitar hutan mangrove yang

didominasi oleh kandungan lempung mengandung banyak bahan organik yang

berasal dari serasah mangrove, yang terurai membentuk partikel detitrus yang

kemudian akan mengendap pada substrat (Robertson, 1988).

2.3.2. Tekstur Tanah

Menurut Harahap, et al. (2014), tekstur tanah adalah proporsi relatif dari

partikel pasir, debu, dan liat (jumlahnya 100%). Proporsi tersebut dikelompokkan

dalam kelas tekstur. Komponen tanah yang ideal adalah: Bahan padat (50%) -

bahan mineral (45%) - bahan organik (5%) • Ruang antar bahan padat (50%) –air

(25%) - udara (25%) Semua makhluk hidup, baik manusia, hewan dan tumbuhan

tumbuh dan berkembang di atas tanah. Tanah merupakan suatu hal yang sangat

penting bagi kehidupan seluruh makhluk hidup.

Tekstur tanah ialah perbandingan relatif (dalam persen) fraksi-fraksi pasir,

debu dan liat. Tekstur tanah penting diketahui karena dari komposisi ketiga fraksi

butir-butir tanah tersebut akan menentukan sifat-sifat fisika dan kimia tanah

(Hakim, 1986). Menurut Kohnke (1980) dalam Indah, et al. (2008), tekstur tanah

dibagi menjadi 12 kelas, pada Tabel 2.

Page 29: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

17

2.3.3. Derajat Keasaman (pH) Tanah

pH tanah merupakan suatu ukuran intensitas keasaman, bukan ukuran

total asam yang ada di tanah tersebut. Pada tanah-tanah tertentu, seperti tanah

liat berat, gambut yang mampu menahan perubahan pH atau keasaman yang lebih

besar dibandingkan dengan tanah berpasir (Mukhlis, 2007).

Derajat keasaman (pH) tanah penting dalam ekologi hewan tanah karena

kepadatan dan keberadaan hewan tanah sangat tergantung pada pH. Hewan

tanah ada yang memilih hidup pada tanah dengan pH rendah dan ada pula yang

meilih hidup pada pH tinggi. Fluktuasi pH tanah dapat disebabkan oleh variasi

komposisi vegetasi tegakan juga kandungan bahan organik (Peritika, 2010).

Tabel 2. Kelas tekstur tanah

2.3.4. Bahan Organik Tanah

Bahan organik pada tanah hutan merupakan komponen penting ditinjau

dari siklus hara, siklus hidrologi, produktivitas hutan, dan neraca karbon global.

Secara global, tanah mengandung cadangan karbon lebih besar daripada

kawasan daratan lainnya dan bahan organik pada tanah hutan merupakan

ekosistem yang sangat dinamis (Jobággy dan Jackson 2000). Kandungan bahan

No. Kelas Tekstur Tanah Proporsi (%) Fraksi Tanah

Pasir Debu Liat

1. Pasir (Sandy) > 85 < 15 < 10

2. Pasir berlempung (Loam Sandy) 70-90 < 30 < 15

3. Lempung berpasir (Sandy Loam) 40-87,5 < 50 < 20

4. Lempung (Loam) 22,5-52-5 3- -50 10-30

5. Lempung liat berpasir (Sandy-clay loam)

45-80 < 30 20-37,5

6. Lempung liat berdebu (Sandy-silt loam)

< 20 40-70 27,5-40

7. Lempung berliat (Clay loam) 20-45 15-52,5 27,5-40

8. Lempung berdebu (Silty Loam) < 47,5 50-87,5 < 27,5

9. Debu (Silt) < 20 > 80 < 12,5

10. Liat berpasir (Sandy Clay) 45-62,5 < 20 37,5-57,5

11. Liat berdebu (Silty-clay) < 20 40 -60 40-60

12. Liat (Clay) < 45 < 40 > 40

Page 30: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

18

organik tanah dapat berubah sebagai akibat proses alami seperti suksesi dan

akumulasi biomassa dan adanya faktor antropogenik, seperti konversi spesies

penutup lahan (Sabaruddin et al., 2001)

Beberapa mikroorganisme yang berperan dalam dekomposisi bahan

organik adalah fungi, bakteri dan aktinomisetes. Disamping mikroorganime tanah,

fauna tanah juga berperan dalam dekomposisi bahan organik antara lain tergolong

dalam protozoa, nematode, collembolan dan cacing tanah. Fauna tanah ini

berperan dalam proses humifikasi dan mineralisasi atau pelepasan unsur hara,

bahkan ikut bertanggung jawab terhadap pemeliharaan struktur tanah (Tian, G

1997 dalam Atmojo, 2003).

Bahan organik pada Gambar 3, merupakan sumber energi bagi mikro dan

makro fauna tanah. Penambahan bahan organik dalam tanah akan menyebabkan

aktivitas dan populasi mikrobiologi dalam tanah meningkat, terutama yang

berkaitan dengan aktivitas dekomposisi dan mineralisasi bahan organik.

Gambar 3. Siklus Rantai Makanan di Ekosistem Mangrove (Google Image, 2017)

Page 31: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

19

Rantai makanan yang terjadi pada ekosistem mangrove adalah rantai

makanan detritus. Sumber utama detritus adalah hasil penguraian guguran daun

mangrove yang jatuh ke perairan oleh bakteri dan fungi. Hancuran bahan organik

ini kemudian menjadi bahan makanan bagi cacing, crustacea, moluska dan hewan

lainnya (Muhammad, et al. 2013). Kandungan bahan organik dari daun mangrove

yang terdekomposisi oleh bakteri sangat mendukung bagi makanan organisme

tertentu seperti gastropoda. Gastropoda diketahui sebagai makanan alami kepiting

bakau (Opnai, 1986 dalam Tahmid, 2016).

Page 32: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

20

3. METODE PENELITIAN

3.1. Materi Penelitian

Materi yang digunakan pada peneitian ini dibagi menjadi dua yaitu

komunitas dan beberapa aspek bioekologi kepiting bakau (Scylla spp.) di

Mangrove Cengkrong Desa Karanggandu Kecamatan Watulimo Kabupaten

Trenggalek. Materi yang digunakan dalam komunitas meliputi kepadatan kepiting

bakau dan keanekaragaman kepiting bakau. Aspek ekologi yang diamati yaitu

kualitas air meliputi suhu, pH, salinitas, kedalaman dan substrat tanah meliputi

bahan organik, pH tanah dan tekstur tanah. Sedangkan aspek biologi yang diamati

yaitu nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad (TKG), fekunditas, dan hubungan

lebar karapas dengan bobot individu.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Mei 2017 dan lokasi penelitian di

daerah Ekowisata Mangrove Cengkrong, Kec. Trenggalek, Kab. Trenggalek.

Lokasi pengambilan sampel dibagi menjadi beberapa stasiun dan dibantu oleh

nelayan menggunakan alat tangkap bubu. Pengambilan sampel tanah

menyesuaikan dengan wilayah/stasiun pengambilan kepiting. Pengambilan data

tersebut dilakukan dengan cara ikut serta dalam kegiatan penangkapan.

3.3. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi parameter

komunitas, aspek bioekologi kepiting bakau. Aspek biologi kepiting bakau

meliputilebar karapas, berat, tingkat kematangan gonad, nisbah kelamin,

fekunditas, sedangkan aspek ekologi kepiting bakau meliputi pH tanah, tekstur

Page 33: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

21

tanah dan bahan organik tanah. Alat dan bahan yang digunakan pada Lampiran

1.

3.4. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode

survei. Metode survei adalah penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh

fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan

secara faktual. Teknik pengambilan data yang digunakan yaitu teknik deskriptif.

Menurut Aditya (2009), metode deskriptif adalah kegiatan penelitian dengan tujuan

utama untuk memberikan gambaran atau deskripsi tentang suatu kedaaan secara

objektif.

Sumber data yang digunakan dikelompokkan menjadi dua macam yaitu

data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh atau

dikumpulkan langsung di lapangan oleh orang yang melakukan penelitian atau

yang bersangkutan yang memerlukannya. Data primer disebut juga data asli atau

data baru (Qomarudin, 2012). Data ini diperoleh secara langsung dengan

melakukan pengamatan dan pencatatan berdasarkan hasil observasi, wawancara

dan dokumentasi. Sedangkan Data sekunder adalah data yang diperoleh dari

dokumen/ publikasi/ laporan penelitian dari dinas, instansi atau sumber data

lainnya yang menunjang (Darmawan, 2013). Data sekunder diperoleh dari buku,

jurnal dan media internet yang berhubungan dengan penelitian ini. Data sekunder

meliputi keadaan umum lokasi penelitian dan letak geografis.

3.5. Penentuan Lokasi Pengambilan Data Jumlah Sampel Kepiting Bakau

Pengambilan data dilakukan berdasarkan pada lokasi penangkapan

kepiting bakau yang dilakukan di Mangrove Cengkrong Desa Karanggandu

Kecamatan Watulimo Kabupaten Trenggalek. Penentuan titik sampling dilakukan

dengan “Random Purposive Sampling” dengan menentukan 3 stasiun utama dan

Page 34: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

22

6 titik sampling setiap stasiunnya dengan dibantu menggunakan alat bantu Global

Posting System (GPS) untuk penentuan titik kordinatnya. Peta lokasi pengambilan

sampel disajikan pada Lampiran 2. Sampel kepiting bakau yang diambil berasal

dari tangkapan di masing-masing stasiun. Pengambilan sampel kepiting bakau

dilakukan setiap hari selama 1 minggu.

3.6. Prosedur Pengambilan Sampel

3.6.1. Kepiting Bakau

Pemasangan transek kuadrat diletakkan di setiap stasiun sampling secara

acak dan dihitung jumlah kepiting bakau. Jumlah seluruh transek yang digunakan

pada tiga stasiun pengamatan adalah 18. Lokasi penempatan transek ditentukan

dengan menelusuri daerah stasiun pengamatan yang dinaungi tumbuhan

mangrove dan muara sungai. Sampling kepiting bakau dilakukan dengan

menggunakan transek kuadrat yang berukuran 1x1 m2 dan alat penangkapan

menggunakan bubu serta umpan ikan sebagai alat pancingnya. Pengabilan

sampel dengan cara memasang transek 1x1 m2 dengan meletakkan satu bubu ke

dalam satu transek kemudian diambil setelah 3 – 4 jam kemudain. Penggunaan

transek 1x1 m2 bertujuan agar sampel yang ditangkap dapat merata dalam satu

lokasi stasiun.

Setiap jenis kepiting bakau diambil perwakilannya yaitu satu individu untuk

dapat diidentifikasi. Setiap kepiting bakau yang keluar di permukaan maupun yang

tertangkap oleh bubu dihitung menggunakan handtally counter, setelah selesai

dihitung lalu difoto dan dan diambil kepiting bakau. Cara pengambilan sampel

kepiting bakau adalah dengan menunggu di sekitar liangnya sampai kepiting

bakau keluar dari liang tempat habitatnya, karena sifat kepiting bakau yang selalu

kembali ke dalam liang ketika ada gangguan dari luar.

Page 35: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

23

3.7. Analisis Aspek Biologi Kepiting Bakau

3.7.1. Pengukuran Lebar Karapas dan Bobot Individu

Kepiting bakau yang tertangkap diukur lebar total karapasnya

menggunakan jangka sorong dengan ketelitian 0.05 mm. Pengukuran panjang

total dimulai dari ujung duri karapas sebelah kanan hingga ujung duri karapas

sebelah kiri (Gambar 4). Sedangkan berat kepiting bakau ditimbang dengan

menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0.01 gram.

Gambar 4. Pengukuran lebar karapas (Google Images, 2015).

Gambar 5. Morfologi Kepiting Bakau (WWF, 2015)

Page 36: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

24

3.7.2. Nisbah Kelamin

Pengamatan nisbah kelamin kepiting bakau dilakukan dengan melihat ciri

morfologinya yaitu bentuk abdomen kepiting bakau jantan dan kepiting bakau

betina seperti pada Gambar 6 dibawah.

Gambar 6. Perbedaan Kepiting jantan (B) dan Betina (A)

3.7.3. Tingkat Kematangan Gonad

Pengamatan tingkat kematangan gonad kepiting bakau dilakukan dengan

cara membuka karapas pada sampel kepiting, kemudian ditentukan tingkat

kematangan gonad kepiting bakau dengan melihat ciri morfologinya yaitu

berdasarkan bentuk, ukuran panjang, warna dan perkembangan gonad yang

diamati secara visual. Klasifikasi tingkat kematangan gonad jantan dan betina

dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4.

Page 37: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

25

Tabel 3. Tingkat kematangan testis kepiting bakau (Castiglioni dan Fransozo, 2006 dalam Siahainenia, 2008)

TKG Klasifikasi Gambar Visual Testis

(Siahainenia, 2008) Ciri morfologi testis

I Belum Matang

Testis mulai Nampak terlihat berbentuk filament kecil dan tidak bewarna (transparan)

II Menjelang

Matang

Testis kecil, Nampak terlihat agak bergelung seperti

kumparan. Terlihat bewarna putih buram

III Matang

Sempurna

Testis semakin besar dengan gelungan yang semakin

banyak. Berwarna putih susu

IV Salin

Testis kembali berbentuk filamen, tipisd dan lembut

serta tidak bewarna (transparan)

Page 38: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

26

Tabel 4. Tingkat kematangan ovarium kepiting bakau (John & Sivadas 1974 dalam Siahainenia, 2008)

TKG Klasifikasi Gambar Visual Ovarium

(Siahainenia, 2008) Ciri Morfologi Ovarium

I Belum Matang

Abdomen belum Nampak perbedaan dengan kepiting yang tidak bertelur. Pigmentasi pada tutup abdomen mulai nampak. Tubuh terlihat tipis bila diintip melalui celah karapas Nampak

ovarium berupa titik bewarna putih atau krem. Ovarium berbentuk filament tipis bewarna putih gading atau krem. Masih terlihat sebagian besar masa hepatopankreas.

II Menjelang

Matang

Karapas nampak mulai melebar dan mengembung, muncul pigmentasi kuat pada ujung atas thorachicsternum mauppun tutup abdomen. Tutup abdomen juga mulai melebar. Bagian

belakang bawah tubuh terlihat mulai tebal. Bila di intip melalui celah karapas nampak sebagian masa ovarium bewarna kuning tua sampai orange. Ovarium berwarna kuning tua

sampai orange muda. Ukuran ovarium nampak membesar perbandingan dengan hepatopankreas kira kira 1:5. Butiran telur belum terlihat jelas

III Menjelang

Matang

Karapas semakin melebar dan karapas nampak cembung. Tutup abdomen semakin melengkung dan bila abdomen ditekan terasa sangat keras danterlihat sangat padat. Bagian belakang bawah tubuh nampak terlihat tebal. Bila diintip melalui celah karapas maka terlihat hamper sebagian besar masa ovarium yang bewarna orange. Ukuran ovarium bertambah

hampr memenuhi seluruh rongga punggung. Perbandingan dengan hepatopankreas kira-kira 1:2. Butiran telur sudah terlihat tapi masih tampak menyatu bila ovarium disentuh terasa licin

dan berminyak.

IV Matang

Karapas semakin lebar dan tubuh nampak cembung dan tinggi. Abdomen semakin melengkung dan bila abdomen ditekan terasa sangat keras dan terlihat sangat padat. Bagian

belakng bawah tubuh sangat tebal bila diintip melalui celah karapas maka terlihat masa ovarium yang berwarna orange kemerahan menutupi seluruh bagian tersebut. Ovarium

berwarna orange kemerah merahan. Ukuran ovarium sangat besar dan memnuhi rongga punggung. Hepatopankreas tidak terlihat sama sekalikarena tertutup masa ovarium. Butiran

telur nampak jelas dan mudah dipisahkan. Bila ovarium disentuh terasa kasar karena terlepasnya butiran telur.

V Salin

Bentuk karapas masih seperti pada TKG IV tapi bila bagian punggung dan abdomen ditekan teras berongga. Bagian belakang bawah tubuh masih terlihat tebal bila diintip melalui celah

karapas, hanya nampak bagian kecil masa telur bewarna orange kemerahan. Ovarium kembali berbentuk tipis dan lembut, transparan sampai bewarna oranye kemerahan.

Perbandingan dengan hepatopankreas kira-kira 1:5

26

Page 39: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

27

3.7.4. Fekunditas

Penghitungan fekunditas dilakukan dengan mengambil gonad kepiting

bakau yang sudah mencapai TKG IV, dalam hal ini butiran telur sudah terlihat jelas.

Cara menghitung fekunditas dilakukan dengan menggunakan metode volumetrik.

Wadah yang digunakan adalah gelas ukur 50 ml yang berisi air. Sampel gonad

yang diperiksa adalah 1 ml dan selanjutnya dihitung jumlah telur yang ada pada 1

ml tadi. Nilai fekunditas dapat diukur dengan membandingkan volume telur

seluruhnya dengan volume sampel telur dan dikalikan dengan jumlah telur yang

ada pada sampel.

3.8 Karakteristik Lingkungan Kepiting Bakau

Kualitas lingkungan adalah faktor penting yang dapat mempengaruhi

keberadaan dan pertumbuhan kepiting bakau. Kepiting bakau hanya akan

menempati bagian – bagian perairan yang memiliki kondisi kualitas lingkungan

yang mampu ditolerir olehnya. Karakterisitik kualitas lingkungan yang menjadi

habitat kepiting bakau perlu diketahui untuk mengetahui habitat alami kepiting

bakau itu sendiri.

3.8.1 Suhu Perairan

Suhu lingkungan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan organisme

air. Menurut Fuad (2005) dalam Sagala, et al. (2013), suhu mempunyai peran

dalam kehidupan kepiting atau organisme akuatik lain, peran tersebut antara lain

adalah respirasi, kestabilan konsumsi pakan, metabolisme, pertumbuhan, tingkah

laku, reproduksi dan bioakumulasi serta mempertahankan kehidupan. Hampir

semua organisme sangat peka terhadap perubahan suhu lingkungan yang terjadi

secara drastis, perubahan suhu lingkungan sebesar 5oC secara tiba-tiba dapat

menimbulkan stress atau bahkan kematian pada beberapa jenis organisme (Kordi,

1997).

Page 40: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

28

Suhu air mempunyai peranan yang sangat penting dalam pengaturan

aktivitas hewan-hewan yang dipelihara. Tingkat reaksi biologi kimia akan menjadi

dua kali lipat untuk setiap kenaikan suhu sebesar 10oC. Ini berarti bahwa

organisme air akan menggunakan oksigen terlarut sebanyak dua kali lipat dan

reaksi kimia juga akan meningkat dua kali lipat pada suhu 30oC apabila

dibandingkan dengan suhu 20oC (Chairunnisa, 2004). Menurut Mulya (2000)

kepiting bakau dapat bertoleransi hidup pada perairan yang mempunyai kisaran

suhu 12 – 35oC dan tumbuh dengan cepat pada perairan yang mempunyai kisaran

suhu 23 – 32oC. Kepiting bakau dapat tumbuh secara optimal pada kisaran suhu

20 – 42oC.

3.8.2 Salinitas

Menurut Sara (1994), salinitas perairan diduga mempengaruhi struktur dan

fungsi organ organisme perairan, melalui perubahan tekanan osmotik, proporsi

relative bahan pelarut, koefisien absorbsi dan kejenuhan kelarutan, perubahan

penyerapan sinar, pengantaran suara dan daya hantar listrik. Hal ini akan

mengubah komposisi spesies pada situasi ekologis saat itu. Tiap fase dari siklus

hidup suatu spesies membutuhkan kisaran salinitas yang berbeda (Clark, 1974).

Menurut Hill, et al. (1989), salinitas perairan berpengaruh terhadap tiap

fase kehidupan kepiting bakau, terutama pada saat pergantian kulit. Secara umum

kisaran salinitas yang dapat ditolelir oleh kepiting bakau cukup luas. Menurut Kasry

(1996), kepiting bakau dapat hidup pada kisaran salinitas yang lebih kecil dari 15

ppt sampai lebih besar dari 30 ppt. Di Queensland, kepiting bakau dapat hidup

pada kisaran salinitas 2 – 50 ppt, walaupun belum diketahui pengaruh nilai salinitas

tersebut terhadap pertumbuhannya (Queensland Department of Primary Industry,

1989 dalam Siahainenia, 2008). Menurut Susanto (2007) dalam Habibi, et al.

(2013) Salinitas yang optimal untuk kehidupan kepiting bakau berkisar 10 - 32 ppt.

Page 41: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

29

3.8.3 Kedalaman Air

Kedalaman air dipengaruhi salah satunya oleh peristiwa pasang surut.

Kedalaman air berpengaruh bagi kehidupan kepiting bakau pada saat terjadi

perkawinan. Walau demikian, kepiting bakau dapat hidup pada perairan yang

dangkal (Siahainenia, 2008). Menurut Wahyuni dan Ismail (1987) dalam

Siahainenia (2008), kepiting bakau dijumpai pada kedalaman 30 - 79 cm di

perairan dekat hutan mangrove dan 30 - 125 cm di muara sungai.

3.8.4 pH Perairan

Peningkatan CO2 di dalam air akan mengakibatkan menurunnya pH

perairan. Meningkatnya pH dapat menyebabkan daya racun ammonia meningkat,

sebaliknya dengan bertambahnya kandungan CO2 bebas,pH air akan menurun

sehingga pengaruhnya terhadap daya racun ammonia akan menurun. Kisaran pH

yang optimal bagi perikanan termasuk crustacean adalah 5 – 9 (Kordi, 1997).

Perairan yang mempunyai substrat lempung cenderung mempunyai pH

asam, sedangkan perairan yang substratnya banyak mengandung kalsium dalam

bentuk CaCO3 bersifat basa (Clough, et al. 1983) Dari hasil penelitian Sudiarta

(1988) dalam Siahainenia (2008), kisaran pH antara 7,9 - 8,3 dapat mendukung

kehidupan kepiting bakau yang dipelihara.

3.9 Prosedur Pengambilan Sampel Substrat

Sampel substrat tanah di ambil dari tiga lokasi stasiun penelitian, dengan

menentukan titik-titik pengambilan sampelnya. Pada setiap lokasi stasiun

ditentukan satu titik pengambilan sampel substrat sesuai dengan daerah tata letak

transek. Jumlah sampel substrat yang diambil dari tiga lokasi stasiun adalah tiga

sampel. Sampel substrat diambil dengan menggunakan cetok, dengan cara

menggali liang tanah sedalam ± 10 cm. Sampel substrat yang telah diambil

dimasukkan ke dalam plastik bening dan ditandai dengan label, lalu diikat. Sampel

Page 42: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

30

substrat yang telah diberi nama dibawa ke Laboratorium Kimia Universitas

Muhammadiyah Malang untuk di analisa pH tanah, tekstur tanah dan bahan

organik tanah.

3.10 Analisis Data Komunitas Kepiting Bakau

3.10.1 Kepadatan Kepiting Bakau

Kepadatan kepiting dihitung berdasarkan banyaknya spesies kepiting

bakau yang didapatkan. Menurut Taqwa (2010), rumus kepadatan kepiting bakau

adalah sebagai berikut :

D = Ni

A

keterangan :

D = kepadatan I (individu/m2) Ni = total individu jenis ke-1 yang ditemukan A = luas total pengambilan contoh pada transek ke-I (m2)

3.10.2 Indeks Keanekaragaman Kepiting

Menurut Barus (2004) indeks keanekaragaman kepiting dihitung

menggunakan rumus Shannon-Wiener yaitu :

keterangan:

H = indeks keanekaragaman Shannon-Wiener Pi = proporsi jumlah individu spesies ke-I (ni) terhadap total individu (N) : (n/N)

Dengan kriteria hasil keanekaragaman (H’) adalah sebagai berikut:

H’ < 1 = Kenakeragaman rendah artinya penyebaran jumlah individu tiap spesies dan kestabilan komunitas rendah.

1 < H’ < 3 = Keanekaragaman sedang artinya penyebaran jumlah individu tiap spesies dan kestabilan komunitas sedang

H’ > 3 = Keanekaragaman tinggi artinya penyebaran individu tiap spesies dan kestabilan komunitas tinggi.

H’ = - (ni/N) In (ni/N)

Page 43: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

31

3.11.3 Indeks Dominasi Kepiting Bakau

Hasil perhitungan Indeks dominasi digunakan sebagai jawaban untuk

mengetahui spesies kepiting bakau mana yang mendominasi di setiap stasiun

dengan kondisi substrat yang berbeda.

Indeks dominasi kepiting dihitung dengan menggunakan rumus sebagai

berikut (Odum, 1993) :

D = ∑(pi)2 = ∑ (Ni) 2

N

keterangan:

D = indeks dominasi simpson

Pi = proporsi spesies ke-I dalam komunitas

Ni = jumlah individu spesies ke-i

N = jumlah total individu

3.11 Analisis Data Aspek Biologi

3.11.1 Hubungan Lebar Karapas dengan Bobot Individu

Menurut Asmara (2004) untuk melihat bagaimana hubungan lebar kaparas

dengan berat tubuh, maka perlu dicari hubungan antara lebar karapas dengan

berat tubuh menggunakan pendekatan regresi linier. Untuk menduga laju

pertumbuhan, kedua parameter yang diamati dapat dilihat dari nilai b yang dapat

dihitung dengan rumus di bawah ini.

Keterangan :

N = Jumlah kepiting jantan atau betina L = Lebar Karapas (mm) W = Berat tubuh (gram)

Log a = (Log W/N) – b x (Log L/N)

Page 44: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

32

Menurut Effendie (1997), korelasi hubungan lebar karapas dengan berat

tubuh dapat dilihat dari nilai konstanta b yaitu dengan hipotesis :

1. Bila b = 3, dikatakan hubungan isometrik (pola pertumbuhan lebar karapas

sama dengan pola pertumbuhan berat).

2. Bila b ≠3, dikatakan memiliki hubungan allometrik , yaitu :

a. Bila b < 3, allometrik negatif (pola pertumbuhan lebar karapas lebih

dominan dari pola pertumbuhan berat tubuh).

b. Bila b > 3, allometrik positif (pola pertumbuhan berat tubuh lebih

dominan dari pola pertumbuhan lebar karapas).

3.11.2 Nisbah Kelamin

Menurut Zahid dan Charles (2009), nisbah kelamin kepiting bakau dihitung

dengan cara membandingkan jumlah kepiting bakau jantan dan jumlah kepiting

bakau betina sebagai berikut :

Keterangan :

X = nisbah kelamin J = jumlah kepiting bakau berkelamin jantan (ekor) B = jumlah kepiting bakau berkelamin betina (ekor)

Selanjutnya dilakukan uji keseimbangan nisbah kelamin dengan

menggunakan uji Chi Kuadrat (α = 0.05).

Page 45: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

33

3.11.3 Fekunditas

Menurut Tuhuteru (2004) perhitungan fekunditas kepiting bakau dengan

metode volumetrik menggunakan rumus sebagai berikut.

Keterangan :

F = Fekunditas (butir) V = Volume total telur (ml) v = Volume sampel telur (ml)

N = Jumlah telur pada sampel (butir)

Page 46: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

34

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Kecamatan Watulimo merupakan salah satu kecamatan yang berada di

Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Tepatnya berada di sebelah tenggara

Kabupaten Trenggalek. Secara geografis terletak diantara 111° 38’41’’-112°

46’41’’ BT dan 8° 8’31’’- 8° 23’01’’ LS. Kecamatan Watulimo berada di ketinggian

7 - 573 m dari permukaan laut. Batas-batas daerahnya, meliputi :

Utara : Kec. Gandusari

Timur : Kab. Tulungagung

Selatan : Samodera Indonesia

Barat : Kec. Munjungan

Kecamatan Watulimo meliputi 12 desa, yaitu Karanggandu, Prigi,

Tasikmadu, Watulimo, Margomulyo, Sawahan, Dukuh, Slawe, Gemaharjo, Pakel,

Ngembel dan Watuagung. Berdasarkan topografinya, desa yang berada di

Kecamatan Watulimo merupakan perbukitan dan pantai. Kecamatan Watulimo

memiliki luas 9.086 Ha. Terdiri dari 382 Ha tanah sawah, 8.335 Ha lahan kering,

dan 369 Ha lahan lainnya. Berdasarkan jenis tanahnya terdiri dari litosol 52,5 %

Komplek Litosol Mediteran dan Rensime 18,03 %, Aluvial Kelabu 15,26 %,

Kecamatan Watulimo adalah daerah berbukitan, maka desa yang berada

didataran tertinggi adalah desa Dukuh yaitu mencapai 573 m dari permukaan laut.

Sedangkan dataran terendah adalah desa Karanggandu yang ketinggiannya 7 m

dari permukaan laut. Di kecamatan Watulimo juga banyak gunung-gunungnya

mulai gunung Lanceng, gunung jegider, gunung kumbokarno, gunung suwur ,

gunung sepikul dll, selain gunung, watulimo juga memiliki sebuah telaga letaknya

di dusun ngrancah desa sawahan tetapi untuk pergi kesana harus mendaki

Page 47: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

35

gunung, yang cukup tinggi bisa pakai sepeda motor maupun mobil, jalanannya

juga sudah baik. Gambar peta lokasi dapat dilihat lebih jelas pada Lampiran 2.

4.2 Deskripsi Lokasi Penangkapan Kepiting Bakau

Pada penelitian ini lokasi penangkapan kepiting bakau mengikuti lokasi

yang biasanya digunakan oleh nelayan yaitu di sepanjang daerah mangrove dan

muara sungai. Lokasi penangkapan terbagi menjadi 3 lokasi, hal ini dikarenakan

jarak antara lokasi penangkapan di sekitar 1, 2 dan 3 cukup jauh. Jadi, terdapat 3

stasiun tangkapan kepiting bakau oleh nelayan yaitu di daerah tempat wisata

mangrove cengkrong (lokasi 1), sepanjang aliran sungai (lokasi 2) dan muara

sungai besar (lokasi 3). Adapun deskripsi masing – masing lokasi penangkapan

sebagai berikut.

a. Lokasi 1

Lokasi 1 merupakan daerah tempat wisata mangrove cengkrong yang

terletak pada 111° 42’17,81’’- 111° 42’27,55’’ BT dan 8° 17’44,91”- 8° 18’56,60”

LS. Lokasi ini merupakan area wisata mangrove yang bersebrangan dengan

Pantai Cengkrong. Area ini di tumbuhi beberapa mangrove yang mendominasi

diantaranya Ceriops decandra. Lokasi pengambilan sampel sampling Stasiun 1

dapat dilihat pada Gambar 7

Gambar 7. Lokasi Penangkapan 1

Page 48: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

36

b. Lokasi 2

Lokasi 2 merupakan daerah mangrove dan muara sungai yang terletak

pada 111° 42’07,66” - 111° 42’14,76” BT dan 8° 17’57,03’’- 8° 18’10,75’’ LS Bagian

tepi sungai sepanjang aliran sungai ditumbuhi berbagai jenis tanaman mangrove

diantaranya Sonneratia alba dan Avicennia alba Aliran sungai ini langsung

bermuara ke Samudra Indonesia Gambar 8.

.

Gambar 8. Lokasi Penangkapan 2

c. Lokasi 3

Keberadaan stasiun 3 terletak pada koordinat 111° 42’14,75’’ - 111°

42’22,70’’ BT dan 8° 18’08,42 - 8° 18’13,40’’ LS. Stasiun 3 merupakan lokasi yang

terletak pada muara sungai besar dan berbatasan langsung dengan laut. Area ini

juga ditumbuhi oleh beberapa jenis mangrove disekitar muara yang mendominasi

seperti Rhizophora apiculata dan Sonneratia alba. Lokasi pengambilan sampel

pada stasiun 3 dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Lokasi Penangkapan 3

Page 49: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

37

4.3 Alat Tangkap Kepiting Bakau

Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Desa Karanggandu

Kecamatan Watulimo Kabupaten Trenggalek adalah bubu lipat. Bubu lipat

merupakan alat tangkap berupa jebakan, bersifat pasif dan dipasang menetap

ditempat yang diperkirakan akan dilewati oleh kepiting bakau dan bubu ini

termasuk kedalam jenis bubu hanyut. Alat ini berbentuk kurungan yang memiliki

memiliki 2 pintu masuk yang didalamnya terdapat pengait yang digunakan untuk

mengaitkan umpan. Umpan yang biasanya dipakai ialah ikan ikan yang sudah

busuk agar menghasilkan bau sehingga langsung tercium oleh kepiting bakau.

Gambar 10. Alat Tangkap Bubu (Dokumentasi Pribadi, 2017)

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi langsung yang saya lakukan

saat melakukan penelitian, jumlah bubu lipat yang ditebar nelayan dilokasi

pengambilan sampel berjumlah 18 buah dengan 6 bubu dipasang per stasiunnya

dan hasil penangkapan yang diperoleh berjumlah 31 ekor kepiting.

Page 50: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

38

4.4 Aspek Biologi

Pengamatan aspek biologi Scylla spp. dari 3 stasiun diantaranya yaitu lebar

karapas, berat Scylla spp, Tingkat Kematangan Gonad (TKG), Sexratio, dan

Fekunditas. Data hasil pengamatan untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada

Lampiran 3. Berikut akan dideskripsi masing-masing jenis kepiting bakau menurut

buku Panduan Penangkapan Dan Penanganan (Scylla spp.) tahun 2015 :

1. Scylla Transqubarica

Klasifikasi Menurut Buku Panduan Penangkapan Dan Penanganan Scylla

spp. (2015) adalah :

Filum : Athropoda

Sub Filum : Crustacea

Kelas : Malacostraca

Order : Decapoda

Family : Portunidae

Genus : Scylla ( De Haan, 1833)

Spesies : Scylla transqubarica

Ciri spesifik dari Scylla transqubarica ialah Chela dan dua pasang kaki

pertama berpola poligon serta dua pasang kaki terakhir dengan pola bervariasi.

Pola poligon juga terdapat pada abdomen betina dan tidak pada abdomen jantan.

Warna bervariasi mirip dengan S.serrata. Duri pada dahi Scylla transqubarica

Tumpul dan dikelilingi celah sempit, sedangkan duri pada bagian Luar Cheliped

ada dua duri tajam pada propudus dan sepasang duri tajam pada carpus (WWF,

2015).

Scylla transquebarica, memiliki warna hijau tua sampai kemerahan dengan

kombinasi kuning dan orange pada karapasnya dan putih kekuning-kuningan pada

bagian abdomennya. Pada propudus bagian atas terdapat sepasang duri, tetapi

tidak runcing dan 1 buah duri yang tumpul pada abdomen bagian bawah

Page 51: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

39

Gambar 11. Scylla transqubarica (Dokumentasi Pribadi, 2017)

2. Scylla Seratta

Klasifikasi Menurut Buku Panduan Penangkapan Dan Penanganan Scylla

spp. (2015) adalah :

Filum : Athropoda

Sub Filum : Crustacea

Kelas : Malacostraca

Order : Decapoda

Family : Portunidae

Genus : Scylla ( De Haan, 1833)

Spesies : Scylla seratta

Chela dan kaki-kakinya memiliki pola poligon yang sempurna untuk kedua

jenis kelamin dan pada abdomen betina. Warna bervariasi dari ungu, hijau sampai

hitam kecoklatan, Duri pada Dahi Tinggi, tipis agak tumpul dengan tepian

cenderung cekung dan membulat Duri pada Bagian Luar Cheliped Dua duri tajam

pada propudus dan sepasang duri tajam pada karpus (WWF, 2015).

Scylla serata, memiliki warna relatif sama dengan warna lempung, yaitu

coklat kehitam-hitaman pada karapasnya dan putih kekuning-kuningan pada

abdomennya. Pada propudus bagian atas tedapat sepasang duri yang runcing dan

Page 52: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

40

1 buah duri pada propudus bagian bawah. Selain itu habitat kepiting bakau spesies

ini sebagian besar di hutan-hutan bakau di perairan Indonesia.

Gambar 12. Scylla seratta (Dokumentasi Pribadi, 2017)

3. Scylla oceania

Klasifikasi Menurut Buku Panduan Penangkapan Dan Penanganan Scylla

spp. (2015) adalah :

Filum : Athropoda

Sub Filum : Crustacea

Kelas : Malacostraca

Order : Decapoda

Family : Portunidae

Genus : Scylla ( De Haan, 1833)

Spesies : Scylla oceania

Ciri spesifik Scylla ocenia ialah warna chela dan kaki-kakinya tanpa ada

pola polygon yang jelas untuk kedua jenis kelamin. Warna spesies ini cenderung

oranye sampai coklat kehitaman. Duri pada Dahi tumpul dikelilingi ruangruang

yang sempit, sedangkan pada luar dahi Tidak ada duri pada sisi luar karpus. Duri

pada propudus mengalami reduksi (WWF, 2015)

Page 53: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

41

Gambar 13. Scylla Oceania (Dokumentasi Pribadi, 2017)

Spesies ini lebih didominasi dengan warna cokelat-tua dan ukuran

badannya jauh lebih besar dari pada spesies yang lain. Dengan capit yang lebih

panjang, maka spesies ini lebih cepat memburu makanan. Namun harga spesies

ini lebih rendah dibandingkan dengan spesies lain, sehingga petani tidak suka

membudidayakannya. Kepiting ini biasa ditemukan di Perairan Afrika dan Laut

Merah.

4. Scylla paramomasain

Klasifikasi Menurut Buku Panduan Penangkapan Dan Penanganan Scylla

spp. (2015) adalah :

Filum : Athropoda

Sub Filum : Crustacea

Kelas : Malacostraca

Order : Decapoda

Family : Portunidae

Genus : Scylla ( De Haan, 1833)

Spesies : Scylla paramomasain

Ciri spesifik spesies ini adalah warna chela dan kaki-kakinya berpola

polygon untuk kedua jenis kelamin. Warna cenderung lebih bervariasi dari ungu

sampai coklat kehitaman. Duri pada dahi tajam berbentuk segitiga dengan tepian

yang bergaris lurus dan membentuk ruang yang kaku sedangkan untuk kepiting

Page 54: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

42

dewasa tidak ada duri pada bagian luar cheliped dan sepasang duri agak tajam

yang berukuran sedang propudus (WWF, 2015)

Spesies ini memiliki warna hijau ke unguan, pada karapasnya dan putih

kekuning-kuningan pada abdomennya. Pada propudus bagian atas tedapat

sepasang duri yang runcing dan 1 buah duri pada propudus bagian bawah. Selain

itu habitat kepiting bakau spesies ini sebagian besar di hutan-hutan bakau di

perairan Indonesia.

Gambar 14. Scylla paramomasain (Dokumentasi Pribadi, 2017)

Hasil dari 3 stasiun ini diperoleh kepiting bakau sebanyak 31 ekor yaitu 13

ekor jantan dan 18 ekor betina. Hasil pengukuran yang telah dilakukan kisaran

lebar karapas kepiting bakau jantan yaitu 7,97 – 11,81 mm dengan berat tubuh

berkisar antara 95,74 – 281,86 gram, sedangkan pada kepiting bakau betina

diperoleh kisaran lebar karapas antara 7,76 – 14,87 mm dengan berat tubuh

berkisar antara 59,21 – 251,43 gram. Untuk mengetahui sebaran frekuensi lebar

karapas kepiting bakau jantan dan betina yang tertangkap di Mangrove Cengkrong

dapat dilihat pada Lampiran 4. Sebaran frekuensi lebar karapas kepiting bakau

jantan dan betina yang tertangkap di Kawasan Mangrove Cengkrong disajikan

dalam bentuk grafik agar lebih mudah dipahami dapat dilihat pada gambar berikut

ini. Grafik sebaran lebar karapas dapat dilihat pada Gambar 15 dan 16.

Page 55: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

43

Gambar 15. Grafik Keseluruhan Sebaran Lebar Karapas Individu Kepiting Bakau Jantan

Gambar 16. Grafik Sebaran Lebar Karapas Kepiting Bakau Jantan

Berdasarkan Tangkapan per-Stasiun

Berdasarkan grafik gambar 15 dan 16 dapat dilihat kelompok lebar karapas

kepiting bakau jantan yang paling banyak tertangkap pada kelompok lebar karapas

11,09 - 11,86 yaitu sebanyak 4 ekor, sedangkan yang paling sedikit tertangkap

pada kelompok lebar karapas 8,75 - 9,52 mm yaitu sebanyak 1 ekor. Banyaknya

kepiting bakau yang berukuran besar dapat disebabkan oleh pola distribusi

kepiting bakau yang luas. Menurut Siahainenia (2008) kepiting bakau yang

berukuran besar atau kepiting bakau dewasa memiliki distribusi wilayah yang luas,

selain untuk mencari makan karena kebutuhan makanan kepiting bakau dewasa

umumnya relative lebih banyak (dalam jumlah maupun variasi jenis makanan),

juga merupakan upaya membebaskan diri dari persaingan terhadap makanan,

3

1

2

3

4

0

1

2

3

4

5

7,97 - 8,74 8,75 - 9,52 9,53 - 10,30 10,31 - 11,08 11,09 - 11,86

Fre

kuensi

Selang Kelas Lebar (mm)

10

2

3

0

2

10

3

0 0 0 01

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

7,97 - 8,74 8,75 - 9,52 9,53 - 10,30 10,31 - 11,08 11,09 - 11,86

Fre

ku

en

si

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

Page 56: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

44

tempat tinggal dan tempat berlindung serta upaya penguasaan wilayah kawin.

Grafik sebaran lebar karapas kepiting bakau betina dapat dilihat pada Gambar 17

dan 18.

Gambar 17. Grafik Keseluruhan Sebaran Lebar Karapas Individu Kepiting Bakau Betina

Gambar 18. Grafik Sebaran Lebar Karapas Kepiting Bakau Betina

Berdasarkan Tangkapan per-Stasiun

Berdasarkan grafik 17 dan 18 dapat dilihat kelompok lebar karapas kepiting

bakau betina yang paling banyak tertangkap pada kelompok lebar karapas 9,19 –

10,61 mm yaitu sebanyak 9 ekor, sedangkan yang paling sedikit tertangkap pada

kelompok lebar karapas 12,05 – 13,47 dan 13,48 – 14,90 mm yaitu sebanyak 1

ekor. Kepiting bakau betina berukuran besar yang tertangkap dalam jumlah sedikit

dapat disebabkan karena kepiting bakau betina berukuran besar yang matang

gonad dan telah terbuahi akan beruaya ke laut untuk melakukan pemijahan. Kasry

(1996) menyatakan bahwa setelah perkawinan berlangsung, secara perlahan-

4

9

3

1 1

0

2

4

6

8

10

Fre

kuensi

Selang Kelas Lebar (mm)

21 0 0 01

5

0 0 11

3 3

1 00

1

2

3

4

5

6

7,76-9,18 9,19-10,61 10,62-12,04 12,05-13,47 13,48-14,90

Fre

kuensi

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

Page 57: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

45

lahan kepiting bakau betina akan bermigrasi dari perairan bakau atau tambak ke

tepi pantai dan selanjutnya ke tengah laut. Sebaran frekuensi berat kepiting bakau

jantan dan betina yang tertangkap di Mangrove Cengkrong dapat dilihat pada

Lampiran 6.

Sebaran frekuensi berat kepiting bakau jantan dan betina yang tertangkap

di Mangrove Cengkrong lebih jelas dapat dilihat dalam bentuk grafik agar lebih

mudah dipahami dapat dilihat pada Gambar 19 dan 20 berikut ini.

Gambar 19. Grafik Keseluruhan Sebaran Berat Individu Kepiting Bakau Jantan

Gambar 20. Grafik Sebaran Berat Individu Kepiting Bakau Jantan

per-Stasiun

Berdasarkan grafik 19 dan 20 dapat dilihat kelompok berat kepiting bakau

jantan yang paling banyak tertangkap pada kelompok berat 95,74 – 126,32 dan

218,11 - 248,70 gram yaitu sama sebanyak 5 ekor, sedangkan yang paling sedikit

tertangkap pada kelompok berat 187,51 – 218,11 sebanyak 1 ekor. Berdasarkan

5

0

2

1

5

0

1

2

3

4

5

6

Fre

kuensi

Selang Berat (gr)

2

1

33

1 1 1 10

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

Fre

kuensi

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

Page 58: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

46

wawancara langsung dengan nelayan, hasil tersebut tentu ada sebagian kepiting

yang tidak memenuhi syarat untuk ditangkap karena ukuran dan beratnya, tetapi

karena alasan ekonomi kepiting bakau yang tidak layak di tangkap tetap

didaratkan.

Gambar 21. Grafik Keseluruhan Sebaran Berat Individu Kepiting Bakau Betina

Gambar 22. Grafik Sebaran Berat Individu Kepiting Bakau Betina per-Stasiun

Berdasarkan grafik 21 dan 22 dapat dilihat kelompok berat kepiting bakau

betina yang paling banyak tertangkap pada kelompok berat 97,66 – 136,10 gram

yaitu sebanyak 11 ekor, sedangkan yang paling sedikit tertangkap pada kelompok

berat 213,01,01 – 251,45 gram yaitu sebanyak 1 ekor. Berdasarkan wawancara

langsung dengan nelayan, hasil tersebut tentu ada sebagian kepiting yang tidak

memenuhi syarat untuk ditangkap karena ukuran dan beratnya, tetapi karena

alasan ekonomi kepiting bakau yang tidak layak di tangkap tetap didaratkan.

4

11

0

21

0

2

4

6

8

10

12

Fre

kuensi

Selang Berat (gr)

3 1

5

1

6

1 10

2

4

6

8

Fre

kuensi

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

Page 59: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

47

Berdasarkan grafik hasil tangkapan per-Stasiun dapat disimpulkan bahwa

tangkapan kepiting bakau pada stasiun 2 lebih banyak daripada stasiun 1 dan 3.

Hal ini jika ditinjau dari habitatnya pada lokasi stasiun 2 lebih optimal untuk

kehidupan kepiting bakau, karena lokasi ini terletak pada aliran sungai yang

dikelilingi mangrove disekitarnya. Kepiting bakau pada tangkapan stasiun 3

memiliki berat dan lebar tubuh yang lebih tinggi dari pada stasiun 1 dan 2, hal ini

dikarenakan pada stasiun 3 terletak pada muara besar yang terhubung langsung

ke laut sehingga kepiting bakau yang tertangkap pada stasiun 3 termasuk kepiting

yang sudah dewasa yang sebagian akan melakukan proses pemijahan.

4.5 Analisis Tingkat Kematangan Gonad

Tingkat kematangan gonad adalah tahapan perkembangan gonad yang

dimulai sejak awal pembentukan gonad hingga disalurkan/dikeluarkan. Menurut

Effendie (1997) penentuan TKG dapat dilihat secara morfologi dan histologi.

Penentuan secara morfologi dapat dilihat dari bentuk, panjang, berat, warna serta

perkembangan isi gonad, sedangkan secara histologi dapat dilihat dari anatomi

perkembangan gonadnya.

Penentuan tingkat kematangan gonad kepiting bakau betina disesuaikan

menurut John & Sivadas (1974) dalam Siahainenia (2008), sedangkan kepiting

bakau jantan disesuaikan menurut Castiglioni dan Fransozo (2006) dalam

Siahainenia (2008). Sebaran frekuensi tingkat kematangan gonad kepiting bakau

jantan yang tertangkap di Mangrove Cengkrong dapat dilihat pada Gambar 23 dan

24.

Page 60: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

48

Gambar 23. Grafik Sebaran Frekuensi Tingkat Kematangan Gonad Kepiting

Bakau Jantan Berdasarkan Lebar Karapas

Gambar 24. Grafik Sebaran Frekuensi Tingkat Kematangan Gonad

Kepiting Bakau Jantan Berdasarkan Selang Berat

Berdasarkan grafik 23 dan 24 didapatkan hasil tingkat kematangan gonad

kepiting bakau jantan yang tertangkap di Mangrove Cengkrong terbanyak yaitu

pada TKG 1 dan 2 sebanyak 5 ekor. TKG 1 terbanyak didapatkan pada lebar

sekitar 7,97 - 8,74 dan selang berat terbanyak didapatkan pada 95,74 - 126,32.

TKG 3 terbanyak didapatkan pada lebar 10,31 - 11,08 dan selang berat terbanyak

didapatkan pada 218,12 – 248,71 sedangkan TKG 3 didapatkan 3 ekor. Sebaran

frekuensi tingkat kematangan gonad kepiting bakau betina yang tertangkap di

Mangrove Cengkrong lebih jelas dapat dilihat pada pada Lampiran 6 dan pada

Gambar 25 dan 26 :

3

1 1

1 3

1

1

2

0

1

2

3

4

5

7,97 - 8,74 8,75 - 9,52 9,53 - 10,30 10,31 - 11,08 11,09 - 11,86

Fre

ku

en

si

TKG 1 TKG 2 TKG 3

4

1

1

1

3

3

0

2

4

6

8

Fre

ku

en

si

TKG 1 TKG 2 TKG 3

0

Page 61: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

49

Gambar 25. Grafik Sebaran Frekuensi Tingkat Kematangan Gonad Kepiting Bakau Betina Berdasarkan Lebar Karapas

Gambar 26. Grafik Sebaran Frekuensi Tingkat Kematangan Gonad Kepiting Bakau Betina Berdasar Selang Berat

Berdasarkan grafik 25 dan 26 didapatkan hasil tingkat kematangan gonad

kepiting bakau betina yang tertangkap terbanyak di Mangrove Cengrong yaitu

pada TKG I sebanyak 13 ekor. TKG 1 terbanyak tertangkap pada lebar sekitar 9,19

– 10,61 mm dan selang berat terbanyak tertangkap pada 97,66 – 136,10,

sedangkan TKG 2 didapatkan 3 ekor dan TKG 3 didapatkan 2 ekor. Grafik

frekuensi sebaran tingkat kematangan gonad kepiting bakau jantan dapat dilihat

pada Gambar 27 dan 28.

4

8

1

1

2

1 10

2

4

6

8

10

7,76 - 9,18 9,19 - 10,61 10,62 - 12,04 12,05 - 13,47 13,48 - 14,50

Fre

kuesni

TKG 1 TKG 2 TKG 3

4

9

2

11

10

2

4

6

8

10

12

Fre

kuensi

TKG 1 TKG 2 TKG 3

0

Page 62: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

50

Gambar 27. Grafik Sebaran Frekuensi Tingkat Kematangan Gonad Kepiting Bakau Jantan Berdasar Tangkapan per-Stasiun

Gambar 28. Grafik Sebaran Frekuensi Tingkat Kematangan Gonad Kepiting Bakau Betina Berdasar Tangkapan per-Stasiun

Berdasarkan hasil tangkapan kepiting bakau per-stasiun, dapat

disimpulkan bahwa kepiting bakau jantan pada stasiun 1 dan stasiun 2 masih

terdapat TKG 2 dan TKG 3, sedangkan pada kepiting bakau betina pada stasiun

1 dan stasiun 2 hanya terdapat TKG 1. Kepiting bakau betina yang terdapat TKG

2 dan TKG 3 lebih banyak di stasiun 3 hal ini dikarenakan stasiun 3 terletak pada

muara besar yang terhubung langsung ke laut sehingga pada lokasi ini menjadi

tempat bermigrasinya kepiting bakau betina untuk tempat melakukan pemijahan

menjelang TKG 4 nantinya.

2

4

0

3

1

0

1 1 1

0 0 00

1

2

3

4

5

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

Fre

kuensi

TKG 1 TKG 2 TKG 3 TKG 4

3

6

4

0 0

3

0 0

2

0 00

1

2

3

4

5

6

7

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

Fre

kuensi

TKG 1 TKG 2 TKG 3 TKG 4

Page 63: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

51

a. b.

Gambar 29. TKG 2 (a) dan TKG 3 (b) (Dokumentasi Pribadi, 2017)

Berdasarkan dengan Permen Nomor 1/2015 yang melarang menangkap

kepiting bakau yang sedang betelur dan berdasarkan Buku Panduan

Penangkapan Kepiting bakau (Scylla spp.) 2015, bahwa kepiting bakau matang

gonad pertama kali menjelang dewasa yang memiliki lebar karapas >15 dan

kepiting bakau yang belum matang gonad memiliki lebar karapas <15, pada hasil

tangkapan ini tidak didapatkan kepiting bakau matang gonad (TKG IV) dan TKG 1

lebih banyak tertangkap tetapi pada tangkapan ini juga belum layak untuk

ditangkap karena ukuran dan beratnya yang belum memenuhi syarat dan masih

tergolong kepiting muda, hal ini dikarenakan wilayah tangkapan lebih banyak

dilakukan di sekitar mangrove dan di sepanjang aliran sungai serta diduga pada

saat penelitian belum mencapai puncak musim pemijahan. Menurut Siahainenia

(2008), sebaran kepiting betina TKG 1 dan TKG 2 berada di wilayah belakang

hutan sampai tengah, TKG 3 dan TKG 4 di zona depan hutan dan wilayah pesisir.

4.6 Analisis Hubungan Lebar Karapas dan Berat

Pengamatan hubungan lebar karapas dengan berat tubuh kepiting bakau

dipisahkan menurut jenis kelamin dan dianalisa secara terpisah. Hal ini di

karenakan lebar karapas dan berat kepiting bakau dipengaruhi oleh berat gonad

yang ada didalam tubuh kepiting bakau berdasarkan jenis kelamin. Analisa ini

bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan kepiting bakau dengan

menggunakan parameter lebar karapas dan berat tubuh kepiting bakau dan

Page 64: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

52

dianalisa menggunkan analisis regresi. Berdasarkan hasil perhitungan pada

Lampiran 7 , diperoleh grafik pada Gambar 30 dan 31 sebagai berikut.

Gambar 30. Grafik Hubungan Lebar Karapas dan Berat Kepiting Bakau Jantan

Gambar 31. Grafik Hubungan Lebar Karapas dan Berat Kepiting Bakau Betina

Berdasarkan grafik diatas, hasil analisis hubungan lebar karapas dan berat

kepiting bakau (Scylla spp.) didapatkan nilai koefisien determinasi (R2) kepiting

bakau jantan sebesar 0,8555 atau 85,55 % dengan persamaan y = 0,00146782,3123x

dan kepiting betina 0,7651 atau 76,51 % dengan persamaan y = 0,167571,9365x.

Menurut Tahmid (2016) koefisien determinasi merupakan koefisien yang

menjelaskan seberapa besar kemampuan variable bebas (x) mampu menjelaskan

variable terikat (y), sehingga dapat ditentukan apakah individu dalam populasi

dapat diduga bobot tubuhnya dengan mengetahui ukuran lebar karapasnya. Nilai

koefisien determinasi kepiting bakau jantan kurang dari 0,5 % yang berarti ukuran

y = 14.678e2.3123x

R² = 0.8555

0

50

100

150

200

250

300

0 2 4 6 8 10 12 14

Ber

at (

w)

Panjang (x)

y = 16.757e1.9365x

R² = 0.7651

0

50

100

150

200

250

300

0 5 10 15 20

Ber

at (

w)

Panjang (x)

Page 65: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

53

berat tubuh kepiting bakau jantan tidak mempengaruhi panjang tubuhnya

sedangkan betina lebih dari 0,5% menunjukan bahwa ukuran berat tubuh kepiting

bakau betina dapat diduga dari ukuran panjang karapasnya.

Nilai b yang diperoleh pada hubungan lebar karapas dan berat tubuh

kepiting bakau jantan dan betina yaitu b ≠ 3 yang berarti pertumbuhan lebar

karapas tidak sama dengan pertumbuhan beratnya (allometrik). Pada kepiting

bakau jantan, nilai b yang diperoleh yaitu 2,312 dan nilai b kurang dari 3 (b < 3).

Hal ini menunjukan bahwa kepiting bakau jantan memiliki pola pertumbuhan

allometrik negatif yang berarti pertumbuhan berat tubuh lebih lambat dari pada

pertumbuhan karapasnya. Sedangkan pada kepiting bakau betina nilai b yang

diperoleh yaitu 1,93 dan nilai b lebih kecil dari 3 (b < 3). Hal ini menunjukan bahwa

kepiting bakau betina memiliki pola pertumbuhan allometrik negatif yang berarti

pertumbuhan berat tubuh lebih rendah dari pada pertumbuhan karapasnya.

Menurut Effendie (2002), pola pertumbuhan tersebut menunjukkan

pertumbuhan lebar karapas kepiting bakau cenderung lebih cepat dari

pertumbuhan beratnya. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perbedaan

pertumbuhan lebar karapas kepiting dengan berat tubuh antara lain yaitu habitat,

makanan, dan faktor lain meliputi kelamin, umur, waktu. Pola pertumbuhan

alometrik negatif tersebut bersesuaian dengan pola pertumbuhan kepiting bakau

di perairan Segara Anakan, Cilacap (Tanod, 2000) dan di perairan Ujung Pangkah,

Gresik (Tutuheru, 2004).

Berdasarkan hasil dari banyaknya kepiting bakau yang tertangkap

disimpulkan bahwa lebar karapas kepiting bakau jantan lebih besar dari pada

kepiting bakau betina dan tubuh kepiting jantan lebih berat dari pada tubuh kepiting

betina, hal ini dikarenakan tidak adanya kepiting bakau betina yang tertangkap

pada saat matang gonad (TKG IV) sehingga berat kepiting bakau betina tergolong

rendah, tetapi jika kepiting bakau betina mengalami pertumbuhan sampai dewasa

Page 66: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

54

sehingga mencapai matang gonad tubuh kepiting bakau betina akan jauh lebih

berat dari pada kepiting bakau jantan, hal ini disebabkan karena pengaruh berat

telur yang ada dalam tubuh kepiting bakau betina.

Pada (Scylla spp.) jantan moulting lebih jarang terjadi, asupan makanan

cenderung digunakan untuk memanjangkan dan membesarkan chelae (capit),

yang berperan penting pada proses perkawinan (Wijaya, 2011). Menurut Onyango

(2002) dalam Wijaya (2011), Scylla serrata jantan biasanya memiliki capit sangat

besar dibandingkan dengan betina dengan ukuran yang sama dan lebih disukai

nelayan selama lebar karapas lebih dari 70 mm, hal ini bisa menghasilkan

perbedaan ukuran yang signifikan antara jantan dan betina. Oleh karena itu

apabila berada pada ukuran lebar karapas yang sama, kecenderungan kepiting

bakau jantan lebih besar beratnya karena capitnya menambah bobot tubuhnya.

4.7 Analisis Nisbah Kelamin

Kepiting bakau yang diperoleh dari hasil tangkapan di Mangrove

Cengkrong yaitu berjumlah 13 ekor kepiting bakau jantan dan 18 ekor kepiting

bakau betina. Dari jumlah kepiting bakau yang diamati perbandingan jenis kelamin

jantan dan betina adalah 1 : 1,38. Berdasarkan uji chi square yang dilakukan pada

selang kepercayaan 95% diperoleh bahwa Xhitung < Xtabel (Lampiran 8). Hal ini

berarti nisbah kelamin kepiting bakau jantan dan betina seimbang.

Kondisi nisbah kelamin yang seimbang antara jantan dan betina dengan

perbandingan 1 : 1,38 masih dalam keadaan yang baik. Menurut Phelan dan

Grubert (2007) dalam Wijaya (2011), jumlah individu betina yang mendominasi dari

sudut pandang reproduksi menguntungkan, karena kepiting betina hanya

memerlukan satu kali proses kopulasi untuk tiga kali lebih periode bertelur. Kepiting

bakau betina memiliki spermatecha yang dapat menyimpan sperma dari kepiting

bakau jantan hingga beberapa bulan.

Page 67: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

55

4.8 Fekunditas

Hasil pengamatan fekunditas pada kepiting bakau betina di kawasan

Mangrove Cengkrong Kota Trenggalek yaitu tidak ditemukan sama sekali kepiting

bakau yang sedang membawa telur yang telah terbuahi dan melekat pada rambut-

rambut pleopod. Hal tersebut dikarenakan wilayah tangkapan nelayan kepiting

bakau hanya dilakukan di sekitar mangrove dan muara sungai. Menurut Arriolla

(1940 dan Brick (1974) dalam Siahanenia (2008) kepiting bakau bertelur akan

bermigrasi dari perairan payau ke perairan laut untuk memijah. Menurut Kasry

(1996) bahwa setelah perkawinan berlangsung, secara perlahan-lahan kepiting

bakau betina akan bermigrasi dari perairan bakau atau tambak ke tepi pantai dan

selanjutnya ke tengah laut untu melakukan pemijahan. Migrasi kepiting bakau

betina matang gonad ke perairan laut merupakan upaya mencari perairan yang

kondisnya cocok sebagai tempat memijah, inkubasi dan menetaskan telur.

4.9 Komunitas Kepiting Bakau (Scylla spp.)

4.11.1 Kepadatan Kepiting Bakau

Jenis kepiting bakau yang ditemukan di kawasan Mangrove Cengkrong

adalah Scylla transqubarica, Scylla seratta, Scylla oceania, Scylla paramomasain.

Setiap lokasi stasiun penelitian mempunyai jumlah jenis yang berbeda-beda untuk

lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 10, pada lokasi stasiun satu didapatkan

tiga jenis kepiting bakau, lokasi stasiun dua didapatkan tiga jenis kepiting bakau

dan lokasi stasiun tiga didapatkan empat jenis kepiting bakau. Gambar 32 - 34

merupakan grafik nilai kepadatan kepiting bakau pada masing-masing lokasi

stasiun penelitian di Mangrove Cengkrong.

Page 68: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

56

Gambar 32. Kepadatan kepiting bakau stasiun 1 (ind/m2)

Gambar 33. Kepadatan kepiting bakau stasiun 2 (ind/m2)

Gambar 34. Kepadatan kepiting bakau stasiun 3 (ind/m2)

Berdasarkan lokasi 3 stasiun didapat kesamaan bahwa nilai kepadatan

jenis kepiting Scylla seratta dan Scylla oceania tertinggi pada stasiun 2. Nilai

kepadatan kepiting Scylla seratta dan Scylla oceania pada stasiun 2 didapatkan

hasil tangkapan sebanyak 6 ind/m2. Hal ini dikarenakan lokasi ini berada dekat

3 3 3

00

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

S. Transqubarica S. Seratta S. Oceania S. Paramomasain

Frek

uen

si in

d/m

2

1

6 6

00

1

2

3

4

5

6

7

S. Transqubarica S. Seratta S. Oceania S. Paramomasain

Frek

uen

si in

d/m

2

1 1

5

2

0

1

2

3

4

5

6

S. Transqubarica S. Seratta S. Oceania S. Paramomasain

Frek

uen

si in

d/m

2

Page 69: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

57

dengan muara sungai dan kepiting jenis ini lebih menyukai jenis substrat lempung

beriliat untuk habitat hidupnya. Kepadatan Scylla transqubarica terbanyak didapat

pada lokasi stasiun satu yaitu 3 ind/m2, lokasi ini berada di wisata Mangrove

Cengkrong yang masih dipengaruhi pasang surut air laut dan memiliki kerapatan

mangrove yang rapat serta menyukai substrat lempung liat berpasir untuk habitat

hidupnya. Jenis kepiting Scylla paramomasain ditemukan pada stasiun 3, spesies

ini lebih menyukai hidup di muara besar yang berhubungan langsung ke laut

dengan kedalaman 64 cm dan bersubstrat lempung.

Berdasarkan hasil kepiting bakau yang tertangkap secara keseluruhan

terdapat jumlah yang berbeda-beda tiap lokasi stasiun. Lokasi stasiun satu

sebanyak 9 ind/m2, lokasi stasiun dua sebanyak 13 ind/m2, dan lokasi stasiun tiga

sebanyak 9 ind/m2. Kepadatan kepiting bakau terbanyak terdapat pada stasiun 2

dengan hasil tangkapan 13 ekor, hal tersebut dikarenakan lokasi stasiun 2 terletak

pada aliran sungai yang dikelilingi mangrove dan kepiting bakau cenderung lebih

senang dengan lingkungan mangrove yang terbuka daripada mangrove yang

tertutup dengan pohon-pohon mangrove yang lebat sehingga matahari kurang

optimal masuk sampai ke permukaan tanah.

4.11.2 Indeks Keanekaragaman Spesies Kepiting Bakau

Indeks keanekaragaman jenis (H’) merupakan nilai yang menggambarkan

keragaman jenis dalam suatu komunitas. Keanekaragaman jenis adalah suatu

karakteristik tingkatan komunitas berdasarkan organisasi biologisnya. Suatu

komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman jenis tinggi, jika komunitas itu

disusun oleh banyak jenis dengan kelimpahan tiap jenis yang sama (Soegianti,

1994 dalam Taqwa, 2010). Nilai Keanekaragaman jenis dapat dilihat pada

Lampiran 11.

Page 70: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

58

Nilai keanekaragaman spesies kepiting bakau di Mangrove Cengkrong

adalah sebesar 1,05. Keanekaragaman jenis kepiting bakau dari ketiga stasiun

relatif rendah, karena menurut Magurran (1988) dalam Suprayogi et al. (2014), jika

nilai H’ < 1 maka keanekaragaman jenis rendah; nilai 1 < H’ < 3 maka

keanekaragaman jenis sedang, serta nilai H’ > 3 maka keanekaragaman jenis

tinggi. Nilai keanekaragaman kepiting bakau di Mangrove Cengkrong disebabkan

karena vegetasi mangrove yang padat. Menurut Tahunalia (2010), nilai indeks

keragaman selain tergantung pada faktor lingkungan seperti tekstur tanah, pH

tanah dan bahan organik juga tergantung pada ada tidaknya masukan cahaya

matahari. Hal tersebut yang menyebabkan kepiting bakau lebih banyak di daerah

terbuka dari pada di bawah tegakan mangrove.

Nilai keanekaragaman yang rendah juga disebabkan karena ekosistem yang

secara fisik terkendali oleh faktor pembatas fisika dan kimia yang kuat. Hasil faktor

fisika dan kimia pada penelitian ini ada pada substrat tanah. Substrat tanah yang

mendominasi di Mangrove Cengkrong cenderung berlempung, hasil kimia tanah

yaitu pH tanah antara 6,85 sampai 7,23, bahan organik antara 3,10 sampai 4,67%.

Menurut Odum (1993), keanekaragaman cenderung akan rendah dalam

ekosistem yang secara fisik terkendali (yakni yang menjadi pembatas fisika-kimia

yang kuat) dan tinggi dalam ekosistem yang diatur secara biologi.

Berdasarkan hal tersebut nilai keanekaragaman setiap lokasi stasiun

pengamatan, nilai keanekaragaman kepiting bakau di Mangrove Cengkrong

tergolong rendah. Jumlah nilai keanekaragaman di Ekosistem Mangrove

Cengkrong adalah 1,05. Menurut Magurran (1988) dalam Suprayogi et al. (2014)

nilai keanekaragaman tersebut tergolong tinggi karena jika nilai keanekaragaman

1 < H’ < 3 maka keanekaragaman jenis adalah rendah.

Page 71: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

59

4.11.3 Indeks Dominasi Kepiting Bakau

Indeks dominasi kepiting bakau di kawasan Mangrove Cengkrong adalah

tergolong rendah. Nilai indeks dominasi kepiting bakau yang didapat dari ketiga

lokasi stasiun sebesar 0,27. Menurut Odum (1971) dalam Nadia (2002), nilai

indeks dominasi berkisar antara 0 - 1. Indeks dominasi 0 berarti hampir tidak ada

individu yang mendominasi, apabila indeks dominasi mendekati nilai 1 berarti ada

satu jenis yang mendominasi. Nilai indeks dominasi kepiting bakau di Mangrove

Cengkrong dapat dilihat pada Lampiran 12.

Menurut Heddy dan Kurniati (1994) harga H’ dan D besarnya berlawanan,

karena H’ yang besar menyatakan dominasi yang rendah. Dapat dikatakan bahwa

keanekaragaman yang tinggi menyatakan rantai makanan yang panjang dan

banyak simbiosis (mutualisme, parasitisme, komensal dan lain-lain). Kondisi

tekstur tanah dapat menyebabkan tingginya nilai dominasi pada 3 lokasi stasiun.

Pada 3 lokasi stasiun substrat yang mendominasi adalah lempung dengan tekstur

tanah liat berpasir dan persentase pasir mencapai 40,4 % lebih tinggi

dibandingkan kandungan liat. Sedikitnya kandungan liat di 3 lokasi stasiun

membuat hanya beberapa kepiting bakau saja yang dapat hidup dengan kondisi

tekstur tanah tersebut karena sifat dari kepiting bakau yang menggali tanah untuk

tempat berlindung sehingga memerlukan tanah berliat.

4.10 Analisis Parameter Kualitas Air

Data kualitas air sebagai parameter lingkungan pendukung kehidupan

kepiting bakau (Scylla spp.) di Mangrove Cengkrong (Lampiran 9) diperoleh dari

pengamatan sebanyak 1 kali selama 1 minggu pada lokasi penangkapan yang

dilakukan oleh nelayan.

Page 72: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

60

4.9.1 Suhu

Suhu lingkungan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan organisme

air. Menurut Fuad (2005) dalam Sagala, et al. (2013), suhu mempunyai peran

dalam kehidupan kepiting atau organisme akuatik lain, peran tersebut antara lain

adalah respirasi, metabolisme, pertumbuhan, tingkah laku dan reproduksi serta

mempertahankan kehidupan. Hampir semua organisme sangat peka terhadap

perubahan suhu lingkungan yang terjadi secara drastis, perubahan suhu

lingkungan sebesar 5oC secara tiba-tiba dapat menimbulkan stress atau bahkan

kematian pada beberapa jenis organisme (Kordi, 1997). Data hasil pengukuran

suhu dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Data hasil pengukuran suhu

Berdasarkan data hasil pengamatan, kisaran nilai suhu yang diperoleh

pada lokasi 1 yaitu 28,6 0C, pada lokasi 2 yaitu 30,3 0C dan pada lokasi 3 yaitu

30,7 0C. Nilai tersebut dapat dikatakan cukup baik untuk kehidupan kepiting bakau.

Menurut Mulya (2000) kepiting bakau dapat bertoleransi hidup pada perairan yang

mempunyai kisaran suhu 12 – 35oC dan tumbuh dengan cepat pada perairan yang

mempunyai kisaran suhu 23 – 32oC. Kepiting bakau dapat tumbuh secara optimal

pada kisaran suhu 20 – 32oC.

4.9.2 Salinitas

Menurut Hill, et al. (1989), salinitas perairan berpengaruh terhadap tiap

fase kehidupan kepiting bakau, terutama pada saat pergantian kulit. Menurut Sara

(1994), salinitas perairan diduga mempengaruhi struktur dan fungsi organ

organisme perairan, melalui perubahan tekanan osmotik, perubahan penyerapan

Parameter Suhu

Lokasi Suhu (°C)

1 28,6

2 30,3

3 30,7

Page 73: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

61

sinar, pengantaran suara dan daya hantar listrik. Data hasil pengukuran salinitas

dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Data hasil pengukuran salinitas

Parameter Salinitas

Lokasi Salinitas (ppt)

1 29

2 30

3 30

Berdasarkan data hasil pengamatan, kisaran nilai salinitas yang diperoleh

pada lokasi 1 yaitu 29 ppt, pada lokasi 2 yaitu 30 ppt dan pada lokasi 3 yaitu 30

ppt. Kisaran nilai salinitas tersebut masih dapat mendukung kehidupan kepiting

bakau. Menurut Susanto (2007) dalam Habibi, et al. (2013) salinitas yang optimal

untuk kehidupan kepiting bakau berkisar 10 - 32 ppt. Menurut Kasry (1996),

kepiting bakau dapat hidup pada kisaran salinitas yang lebih kecil dari 15 ppt

sampai lebih besar dari 30 ppt. Daerah Queensland, kepiting bakau dapat hidup

pada kisaran salinitas 2 – 50 ppt, walaupun belum diketahui pengaruh nilai salinitas

tersebut terhadap pertumbuhannya (Queensland Department of Primary Industry,

1989 dalam Siahainenia, 2008).

4.9.3 Derajat Keasaman (pH)

Peningkatan CO2 di dalam air akan mengakibatkan menurunnya pH

perairan. Meningkatnya pH dapat menyebabkan daya racun ammonia meningkat,

sebaliknya dengan bertambahnya kandungan CO2 bebas,pH air akan menurun

sehingga pengaruhnya terhadap daya racun ammonia akan menurun. Menurut

Boyd (1990), fluktuasi nilai pH dipengaruhi oleh aktivitas biologis misalnya

fotosintesis dan respirasi organisme, serta keberadaan ion-ion dalam perairan

tersebut. Data hasil pengukuran pH dapat dilihat pada Tabel 7.

Page 74: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

62

Tabel 7. Data hasil pengukuran pH

Parameter pH

Lokasi pH

1 7

2 8

3 8

Berdasarkan data hasil pengamatan, kisaran nilai pH yang diperoleh yaitu

6 – 8. Kisaran nilai tersebut masih dapat mendukung kehidupan kepiting bakau.

Kisaran pH yang optimal bagi perikanan termasuk crustacean adalah 5 – 9 (Kordi,

1997). Dari hasil penelitian Sudiarta (1988) dalam Siahainenia (2008), kisaran pH

antara 7,9 - 8,3 dapat mendukung kehidupan kepiting bakau yang dipelihara.

4.9.4 Kedalaman

Kedalaman air dipengaruhi salah satunya oleh peristiwa pasang surut.

Kedalaman air berpengaruh bagi kehidupan kepiting bakau pada saat terjadi

perkawinan. Walau demikian, kepiting bakau dapat hidup pada perairan yang

dangkal (Siahainenia, 2008). Data hasil pengukuran kedalaman air dapat dilihat

pada Tabel 8.

Tabel 8. Data hasil pengukuran kedalaman air

Parameter Kedalaman

Lokasi Kedalaman (cm)

1 0

2 58

3 64

Berdasarkan data hasil pengamatan kedalaman air, nilai yang diperoleh

pada lokasi 1 yaitu 0 cm karena distasiun ini adalah tempat wisata yang

dipengaruhi pasang surut, pada lokasi 2 yaitu 58, pada lokasi 3 yaitu 64.

Perbedaan kedalaman pada lokasi 2 dan 3 tidak terlalu besar dikarenakan lokasi

ini merupakan muara sungai. Menurut Wahyuni dan Ismail (1987) dalam

Siahainenia (2008), kepiting bakau dijumpai pada kedalaman 30 - 79 cm di

perairan dekat hutan mangrove dan 30 - 125 cm di muara sungai.

Page 75: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

63

4.11 Substrat Habitat Kepiting Bakau

4.10.1 pH Tanah

Reaksi tanah menunjukkan sifat kemasaman atau alkalinitas tanah yang

dinyatakan dengan nilai pH . Nilai pH menunjukkan banyaknya konsentrasi ion

hydrogen (H+) di dalam tanah dan ditemukan pula ion OH- yang jumlahnya

berbanding terbalik dengan ion H+. Pada tanah yang masam ion H+ lebih tinggi

dibanding OH-, sedang pada tanah alkalin kandungan OH- lebih banyak daripada

H+. Nilai pH berkisar antara 0 sampai 14, dengan pH 7 disebut netral, kurang dari

7 disebut masam dan pH lebih dari 7 disebut alkalis (Mustafa et al, 2012). Hasil

pH tanah pada lokasi penangkapan kepiting bakau dapat dilihat pada Gambar 35.

Gambar 35. Hasil Pengukuran pH tanah

Berdasarkan grafik diatas, pH tanah pada lokasi 1 memiliki nilai sebesar

7,23 pada lokasi 2 sebesar 7,11 dan lokasi 3 sebesar 6,85. Menurut Hakim (1986)

pH tanah antara 6 dan 8 merupakan pH terbaik. Suasana biologi dan penyediaan

hara umumnya berada pada tingkat terbanyak pada kisaran pH tersebut.

Berdasarkan hal tersebut, pH tanah di lokasi penangkapan kepiting bakau di

Mangrove Cengkrong tergolong baik.

7.23

7.11

6.85

6.6

6.7

6.8

6.9

7

7.1

7.2

7.3

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

pH

Tan

ah

Page 76: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

64

4.10.2 Tekstur Tanah

Berdasarkan hasil analisis tekstur tanah pada lokasi penangkapan kepiting

bakau di Mangrove Cengkrong didapatkan hasil yaitu di lokasi 1 memiliki jenis

tekstur tanah lempung liat berpasir, di lokasi 2 memiliki jenis tekstur tanah

lempung berliat dan di lokasi 3 memiliki jenis tekstur tanah lempung (Tabel 9).

Tabel 9. Data Hasil Pengamatan Tekstur Tanah

Hasil Pengamatan Tekstur Tanah

Lokasi Pasir (%) Debu (%) Liat (%) Tekstur

1 55.3 21.7 23 Lempung liat berpasir

2 30.6 35.2 34.2 Lempung berliat

3 35.3 45.6 19.1 Lempung

Substrat di 3 lokasi penelitian didominasi oleh lempung yang termasuk

dalam kategori dapat digali oleh kepiting bakau untuk mencari makan, membuat

lubang sebagai tempat tinggal dan tempat bersembunyi. Menurut Webley et al.

(2009) dalam Tahmid (2016), kepiting bakau memanfaatkan lempung untuk

bersembunyi, mempertahankan diri agar tetap dingin selama air surut dan

melindungi diri dari predator. Kepiting bakau dewasa merupakan penghuni tetap

perairan zona intertidal dan sering membenamkan diri dalam substrat lempung

atau menggali lubang pada substrat yang lunak dan merupakan habitat yang

cocok bagi kepiting bakau.

Menurut Sulingga dan Dermanti (2007) dalam Suprayogi (2013), tanah

berpasir terdiri atas partikel-partikel yang kurang dapat menahan air. Air dalam

tanah akan bergerak ke bawah melalui rongga tanah. Tanah ini juga memiliki

karakteristik lempung maka tanah agak melekat, agak lembab dan tidak terlalu

padat. Jenis tanah liat berdebu memiliki sifat lebih licin karena adanya partikel-

partikel debu. Tanah yang mengandung fraksi debu dapat memegang air,

sehingga tanah pada stasiun ini cenderung basah.

Page 77: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

65

4.10.3 Bahan Organik Tanah

Bahan organik tanah merupakan hasil dekomposisi atau pelapukan bahan-

bahan mineral yang terkandung dalam tanah. Bahan organik tanah dapat berasal

dari timbunan mikroorganisme dan sisa-sisa tanaman, hewan yang telah mati dan

terlapuk selama jangka waktu tertentu (Soetjito, et al. 1992 dalam Mustafa, et al.

2012). Kandungan bahan organic yang terkandung di tanah Mangrove Cengkrong

berasal dari seresah jaringan tumbuhan mangrove, jasad-jasad organisme yang

ada (berbagai jenis ulat, kepiting, ikan juvenil), feses organisme dan kandungan

bahan organik air sungai yang masuk ke dalam tanah. Hasil bahan organik tanah

yang terdapat di wilayah tangkapan kepiting bakau di Mangrove Cengkrong dapat

dilihat pada Gambar 36. sebagai berikut.

Gambar 36. Grafik Kandungan Bahan Organik Tanah

Berdasarkan grafik diatas, kandungan bahan organik tanah pada lokasi 1

sebesar 3,842 %, pada lokasi 2 sebesar 46,71 % dan pada lokasi 3 sebesar 3,101

%. Menurut Djaenuddin et al. (1994) dalam Yeanny (2007), kriteria tinggi

rendahnya kandungan organik substrat atau tanah berdasarkan persentase

adalah sebagai berikut, < 1% (sangat rendah), 1 - 2 % (rendah), 2,01 - 3 %

(sedang), 3,01 - 5 % (tinggi), > 5,01 % (sangat tinggi). Berdasarkan hal tersebut,

kandungan bahan organik tanah di tiga lokasi penangkapan kepiting bakau

3.842

4.671

3.101

0.000

0.500

1.000

1.500

2.000

2.500

3.000

3.500

4.000

4.500

5.000

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

Bah

an O

rgan

ik T

anah

(%

)

Page 78: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

66

termasuk dalam kategori tinggi. Menurut Hidayat, et al. (2012), kandungan seresah

diyakini berkontribusi terhadap tingginya kandungan bahan organik.

Menurut Chairunnisa (2004) semakin tinggi kandungan bahan organik

pada substrat maka semakin semakin baik substrat tersebut untuk pertumbuhan

vegetasi mangrove, kandungan C-organik yang tinggi juga menandakan

banyaknya seresah daun mangrove yang terdekomposisi sehingga dapat diduga

persediaan makanan alami kepiting bakau juga cukup tersedia banyak. Salah satu

faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya bahan organik di substrat adalah

tekstur, tanah berpasir memungkinkan oksidasi yang menghabiskan bahan

organik dengan cepat.

Page 79: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

67

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Kepiting bakau (Scylla serrata) yang tertangkap nelayan selama penelitian

yaitu sebanyak 31 ekor (13 ekor jantan dan 18 ekor betina). Nisbah kelamin

jantan Kepiting bakau jantan dan betina 1 : 1,39. Pengamatan tingkat

kematangan gonad paling banyak tertangkap yaitu TKG 1 sebesar 61,29 %

dan sisanya TKG 2 dan 3. Kepiting bakau jantan dan betina memiliki pola

pertumbuhan allometrik negatif (b < 3).

2. Nilai kepadatan kepiting bakau di Mangrove Cengkrong Trenggalek terbanyak

terdapat pada stasiun 2 sebanyak 13 ekor kepiting. Nilai Keanekaragaman

kepiting bakau tergolong rendah yaitu sebesar 1,05 dan nilai dominasi kepiting

bakau sebesar 0,27 yang berarti tidak ada yang mendominasi pada 3 stasiun

3. Hasil pengukuran kualitas air didapatkan nilai rata rata yaitu suhu sebesar

29,8. Pengukuran salinitas diapatkan nilai sebesar 29,6. Pengukuran pH

didapatkan nilai 7, serta kedalaman diapatkan nilai sebesar 40,6 cm.

Pengamatan substrat didapatkan nilai rata rata yaitu pH tanah sebesar 21,19.

Tekstur tanah dari 3 lokasi stasiun didominasi oleh lempung. Kandungan

bahan organik tanah didapatkan nilai sebesar 3,87. Pengukuran kualitas air

dan substrat tanah didapatkan hasil yang normal sehingga kondisi habitat

kepiting bakau di Mangrove Cengkrong masih dalam keadaan cukup baik

untuk keberlangsungan hidup kepiting bakau.

Page 80: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

68

5.2 Saran

Saran yang dapat penulis berikan dari penelitian ini adalah :

a) Perlunya pengawasan lebih lanjut tentang hasil tangkapan kepiting

mengenai ukuran minimal tangkapan yang boleh didaratkan

b) Perlu adanya tempat pembesaran kepiting bakau oleh Dinas Perikanan

untuk memberikan solusi agar kepiting bakau yang tertangkap dapat

dibesarkan terlebih dahulu sampai ukuranya memenuhi standar.

c) Bagi pengelola dan istansi terkait daerah Mangrove Cengkrong untuk tetap

menjaga keberadaan komunitas kepiting bakau dan habitat alaminya di

dengan cara tetap memelihara kelestarian hutan Mangrove Cengkrong

Page 81: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

69

DAFTAR PUSTAKA

Aditya, D. 2009. Metode Penelitian Deskriptif. Buku Pembelajaran Metode Ilmiah. Poltekkes. Surakarta.

Amir .1994. Penggemukan dan Peneluran Kepiting Bakau, TECHner. Jakarta. Asmara, H. 2004. Analisis Beberapa Aspek Reproduksi Kepiting Bakau (Scylla

Serrata) Di Perairan Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. FPIK. IPB. Bogor.

Asmara, H., E. Riani., dan A. Susanto. 2011. Analisis Beberapa Aspek Reproduksi

Kepiting Bakau (Scylla Serrata) Di Perairan Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Jurnal Matematika, Sains dan Teknologi. Vol 12. (1). Hal. 31-36.

Atmojo, S. W. 2003. Peranan Bahan Organik Terhadap Kesuburan Tanah dan

Upaya Pengelolaannya. Surakarta. Hlm 13. Barus, T. A. 2004. Faktor-Faktor Lingkungan Abiotik dan Keanekaragaman

Plankton Sebagai Indikator Kualitas Perairan Danau Toba. 11, (2), 64-72. Bliss, Dorothy. E. 1983. The Biology of Crustacea. Vol.8 Environmental

Adaptations. Academic Press, New York, 198 p. Boer, 1993. Studi pendahuluan Penyakit kunang-kunang pada larva kepiting

Bakau(Scylla serrata),Journal Penelitian Budidaya Pantai. Brower, J. E. dan J. H. Zar. 1989. Field and Laboratory Methods for General

Ecology. Wm . c. Brown Company Publishers. Carlisle, D. B. 1953. Moulting hormone in Leander (Crustacea Decapoda). Mar.

biol., Ass. United Kingdom, 32:95-289 pp. Clough B.F., Boto K.G., dan Atwil P.M. 1983. Mangroves and Sewage: An

Evaluation. In H.J. Teas Biology and Ecology of Mangrove. Dr. W. Junk, the Hauge, Boston, Lancaster. 151 – 161.

Darmawan, D. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif. Bandung. PT.Remaja

Rosdakarya. Kuntjojo. 2009. Metodologi Penelitian. Kediri. Effendie.M. I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta.

163 Hal. Fachrul, Melati Ferianita. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara.

Jakarta. 155 hal.

Page 82: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

70

Fushimi, H and S. Watanabe.. 2003. Problem in Species Indentification of the Mud Crab Genus Scylla (Brachura : Portunidae), Department of Marine Biotechnology, Fukuyama University, Fukuyama Hiroshima Japan.

Garth, J.S and D. P. Abbott. 1980. Branchyura: The True Crabs. In Intertidal

Invertebrates of California. California: Stanford University Press. Page : 594 – 623.

Gufron, M., dan H. Kordi. 2000, Budidaya kepiting & Ikan Bandeng di tambak system polikultur, Semarang, Dahara Prize. Habibi, M.W., Dyah H., dan Nur K. 2013. Perbedaan Lama Waktu Moulting

Kepiting Bakau Scylla serrata Jantan dengan Metode Mutilasi dan Ablasi. Lentera Bio. 2 (3) : 265 – 270.

Harahap, E., Azizah, N., Affandi, A. 2014. Menentukan Tekstur Tanah Dengan

Metode Perasaan di Lahan Politani. Jurnal Nasional Ecopedon. 2 (2) : 13-15.

Hill, B.J. 1982. The Queensland Mud Crab Fishery. Queenland Department of

Primary Industry. Series FI 8201. Hunter, J. R., B. J. Macewicz., N. Chyanhuilo., C.A. Kimbrill.1992. Fecundity,

Spawning and Maturity of Female Dover Sole, Microstumus pacificus and Evaluations of Asumptions and Precisions. Fishery Bulletin, 90:101-128.

Heddy, S dan Metty, K. 1994. Prinsip-Prinsip ekologi Suatu Bahasan Tentang

Kaidah Ekologi dan Penerapannya. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Herliany, N. E., dan Zamdial. 2015. Hubungan Lebar Karapas dan Berat Kepiting

Bakau (Scylla spp.) Hasil Tangkapan Di Desa Kahyapu Pulau Enggano Provinsi Bengkulu. Jurnal Kelautan. 8 (2) : 89-94.

Hermanto, D. T. 2004. Studi Pertumbuhan dan Beberapa Aspek Reproduksi

Rajungan (Portunus pelagicus) di Perairan Mayangan, Kabupaten Subang Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Indah, R., Abdul A. dan Laga A. 2008. Perbedaan Substrat dan Distribusi Jenis

Mangrove (Studi Kasus: Hutan Mangrove di Kota Tarakan). Borneo University Library. Kalimantan Utara. Hlm 76.

Irwan, Zoer’aini Djamal. 1992. Ekosistem Komunitas dan Lingkungan. Bumi

Aksara. Jakarta. 210 hal. Jobággy E.G. and R.B Jackson. 2000. The vertical distribution of soil organic

carbon and its relation to climate and vegetation. Ecol. Appl. 10: 423-36. John, S and P. Sivades. 1978. Morphological Changes in The development of The

Ovary in The Eyestalk Abiated Estuarie Crab, Scylla Serata. Mahasgar Bulletin of the National Institude of Oceanography. (11) : 57-62

Kasry, A. 1996. Budidaya Kepiting Bakau Dan Biologi Ringkas. Penerbit Bhatara. Jakarta.

Page 83: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

71

Kanna, I. 2000. Hormon Penghambat Moulting (MIH dan GIH) dalam Pembenihan

dan Pembesaran Kepiting Bakau, Kanisius, Jakarta, 30-32 hlm. Kementerian Kelautan Perikanan. 2012. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia,

2011. Kementrian Kelautan Perikanan. Jakarta. Kordi, K. M. G. H. 1997. Budidaya Kepiting Dan Ikan Bandeng Di Tambak Sistem

Polikultur. Dahara prize. Semarang. Mukhlis, 2007. Analisis Tanah Dan Tanaman. USU press, Medan. 155 Hal Mulya, M. B. 2000. Kelimpahan dan Distribusi Kepiting Bakau (Scylla sp.) serta

Keterkaitannya dengan Karakteristik Biofisik Hutan Mangrove di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut Propinsi Sumatera Utara. Tesis Program Pascasarjana. IPB.

Mohapatra, A., Rajeeb K. M., Surya K. M., dan Dey S. K. 2010. Carapace width

and weight relationships, condition factor, relative condition factor and gonado somatic index (GSI) of mud crabs (Scylla spp.) from Chilika Lagoon, India. Indian Journal of Marine Science. 39(1). 120-127.

Mossa, K., I.Aswandy dan A.Kasry. 1995. Kepiting Bakau Scylla serrata dari

Perairan Indonesia. LON – LIPI. 18 hal. Motoh, H. 1977. Biological synopsis of Alimango, Genus Scylla. SEAFDEC

Aquaculture Department. Nadia, Y. 2002. Analisa Komunitas Krustasea Berukuran Kecil (Famili Ocypodidae

dan Grapsidae) di Habitat Mangrove Muara Sungai Bengawan Solo, Desa Pangkah Wetan Ujung Pangkah Gresik Jawa timur. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hlm 35.

Odum, E. 1993. Fundamentals of Ecology. Gadjah Mada University Press.

Yogyakarta.

Pulungan, C. P. 2015. Nisbah Kelamin dan Nilai Kemontokan Ikan Tabingal (Puntioplites bulu Bikr) dari Siak, Riau. Jurnal Perikanan dan Kelautan. Universitas Riau.

Peritika, M. Z. 2010. Keanekaragaman Makrofauna Tanah Pada Berbagai Pola Agroforestri Lahan Miring di Kabupaten Wonogiri Jawa tengah. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Hlm 44-54.

Qomaruddin, Q. 2012. Sumber Data. Diakses dari https://eprints.uny.ac.id/9391/3

pada tanggal 3 Februari 2015 Retnowati, T.1991. Menentukan Tingkat Kematangan Gonad Kepiting Bakau

Scylla serrata (FORSKAL) Secara Morfologis dan Kaitannya dengan Perkembangan Gamet. Institut Pertanian Bogor. (Skripsi).

Robertson, A. 1988. Decomposition of Mangrove Leaf Litter in Tropical Australia.

Journal Exploration Marine Ecology. 116 : 236 – 247.

Page 84: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

72

Rosmaniar, 2008. Kepadatan dan Distribusi Kepiting Bakau (Scylla serrata) Serta

Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia di Perairan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang [Tesis]

Sabaruddin, S. Ishizuka, K. Sakurai, S. Tanaka, S. Kubota, M. Hirota, S.J. Priatna,

and Juairiah. 2001. Characteristics of Ultisols under different wildfire history in South Sumatra, Indonesia: I. Physicochemical properties. Tropics 10: 565-580.

Sagala, L.S.S., Muhammad I., dan Mohammad N.I. 2013. Perbandingan

Pertumbuhan Kepting Bakau (Scylla serrata) Jantan dan Betina pada Metode Kurungan Dasar. Jurnal Mina Laut Indonesia. 3 (12) : 46 - 54.

Siahainenia, L. 2008. Bioekologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) di Ekosistem

Mangrove Kabupaten Subang Jawa Barat. Institut Pertanian Bogor. (Disertasi).

Suprayogi, D. 2013. Keanekaragaman Kepiting Biola (Uca spp.) di Desa Tungkai

I Tanjung Jabung Barat. Jambi. Hlm 2-8.

Shelley C and Lovatelli, A. 2011. Mud crab aquaculture A practical manual. Fao Fisheries And Aquaculture Technical Paper 567.

Siburian, T. A. 2013. Metode Penelitian Manajemen Pendidikan. Universitas Negeri Medan. Medan.

Snedaker, S.C., dan Getter, C.D.1985. Coastal Resources Management

Guidelines. Research Planning Institute, Inc. Colombia, Melbourne, Sydney.

Tanod, A. L. 2000. Studi Perumbuhan dan Reproduksi Kepiting Bakau Scylla

serrata, S.tranquebarica, S.oceanica di Segara Anakan, Kab. Cilacap Jawa Tengah. Institut Pertanian Bogor. Skripsi.

Tanod, A., M. Sulistiono, S. Watanabe,. 2001. Reproduction and Gowth of Mud

Crabs In Segara Anakan Lagoon Indonesia. JSPS – DGHE International Symposium. Sustainable in Asia in the New Millennium.

Tahmid, M. 2016. Kajian Ekologi-Ekonomi Kepiting Bakau (Scylla serrata –

Forsskal, 1775) Di Ekosistem Mangrove Teluk Bintan Kabupaten Bintan. Institut Pertanian Bogor. Tesis.

Tahunalia, A. 2010. Struktur Komunitas Kepiting Biola (Uca) di Kawasan

Mangrove Kelurahan Mangunharjo Kota Probolinggi Propinsi Jawa Timur. Universitas Brawijaya. Malang. Hlm 46-47.

Taqwa, A. 2010. Analisis Produktivitas Primer Fitoplankton dan Struktur

Komunitas Fauna Makrobenthos Berdasarkan Kerapatan Mangrove di Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan Kota Tarakan Kalimantan Timur. Universitas Diponegoro Semarang, Hlm 23.

Page 85: KOMUNITAS DAN ANALISIS BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU …repository.ub.ac.id/6357/1/Ramadhan, Brilyan Hafityan.pdf · 2020. 8. 24. · FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

73

Triyanto. 2016. Pengelolaan Sumberdaya Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Indonesia. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Tutuheru, A. 2004. Studi Pertumbuhan dan Beberapa Aspek Reproduksi Kepiting Bakau Scylla serrata dan S. tranquebarica di Perairan Ujung Pangkah, Gresik, Jawa Timur. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi: 84p.

Watanabe, S., M. Sulistiono, Yokota and R. Fuseya. 1996. The Fishing gear and

method of mud crab in Indonesia. Cancer, (5): 23-26. (In Japanese). Wijaya, N. I. 2011. Pengelolaan Zona Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Melalui

Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Taman Nasional Kutai Provinsi Kalimantan timur. Institut Pertanian Bogor. (Disertasi)

WWF. 2015. panduan Penangkapan dan Penanganan Kepiting Bakau. Ebook

Yeanny, M. S. 2007. Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Muara Sungai Belawan. Jurnal Biologi Sumatra. ISSN 1907-5537. Vol 2. No 2

Zahid, A., dan Charles, P.H.S. 2009. Biologi Reproduksi dan Faktor Kondisi Ikan Ilat-ilat Cynoglossis bilineatus (Lac. 1820) (Pisces : Cynoglossidae) di Perairan Pantai Mayangan Jawa Barat. Jurnal Iktiologi Indonesia. 9 (1) : 85 – 95.