kloramfenikol

15
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Residu Antibiotik Antibiotik sangat lazim kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Antibiotika adalah senyawa kimia yang dihasilkan oleh berbagai jasad renik bakteri, jamur dan aktinomises, yang dapat berkhasiat menghentikan pertumbuhan atau membunuh jasad renik lainnya (Subronto dan Tjahajati, 2001).Antibiotika yang diperoleh secara alami dari mikroorganisme disebut antibiotika alami, antibiotika yang disintesis di laboratorium disebut antibiotika sintetis. Antibiotika yang dihasilkan oleh mikroorganisme dan dimodifikasi dilaboratorium dengan menambahkan senyawa kimia disebut antibiotika semisintetis (Subronto dan Tjahajati, 2011). Antibiotika dipakai secara luas dalam industri peternakan dengan tujuan untuk pengobatan, sehingga dapat mengembalikan kondisi ternak menjadi normal kembali (sehat). Sekitar 40% antibiotika dalam pakan ternak digunakan sebagai Antimicrobial Growth Promoters (AGP) untuk pemacu pertumbuhan dan mengurangi kejadian. Pemakaian antibiotika sebagai AGP walaupun dalam konsentrasi kecil, yaitu berkisar antara 2,5 – 125 mg/kg (ppm), namun dapat mengakibatkan terjadinya resistensi bakteri patogen terhadap antibiotika. Berdasarkan laporan dari JETACAR (1999), bakteri pathogen asal hewan yang telah resisten terhadap antibiotika dapat mentransfer gen yang

Upload: souldon-affection

Post on 02-Feb-2016

50 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

kloramfenikol

TRANSCRIPT

Page 1: kloramfenikol

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Residu Antibiotik

Antibiotik sangat lazim kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Antibiotika adalah

senyawa kimia yang dihasilkan oleh berbagai jasad renik bakteri, jamur dan aktinomises,

yang dapat berkhasiat menghentikan pertumbuhan atau membunuh jasad renik lainnya

(Subronto dan Tjahajati, 2001).Antibiotika yang diperoleh secara alami dari mikroorganisme

disebut antibiotika alami, antibiotika yang disintesis di laboratorium disebut antibiotika

sintetis. Antibiotika yang dihasilkan oleh mikroorganisme dan dimodifikasi dilaboratorium

dengan menambahkan senyawa kimia disebut antibiotika semisintetis (Subronto dan

Tjahajati, 2011). Antibiotika dipakai secara luas dalam industri peternakan dengan tujuan

untuk pengobatan, sehingga dapat mengembalikan kondisi ternak menjadi normal kembali

(sehat).

Sekitar 40% antibiotika dalam pakan ternak digunakan sebagai Antimicrobial Growth

Promoters (AGP) untuk pemacu pertumbuhan dan mengurangi kejadian. Pemakaian

antibiotika sebagai AGP walaupun dalam konsentrasi kecil, yaitu berkisar antara 2,5 – 125

mg/kg (ppm), namun dapat mengakibatkan terjadinya resistensi bakteri patogen terhadap

antibiotika. Berdasarkan laporan dari JETACAR (1999), bakteri pathogen asal hewan yang

telah resisten terhadap antibiotika dapat mentransfer gen yang resisten tersebut ke manusia.

Salmonella, Campylobacter, Enterococci dan Escherichia coli merupakan contoh bakteri

yang resisten terhadap antibiotika dan dapat mentransfer gen yang resisten tersebut dari

hewan ke manusia melalui rantai makanan atau kontak langsung. Penelitian teknik molekuler

telah membuktikan bahwa pemakaian antibiotika dalam pakan ternak berkontribusi untuk

terjadinya resistensi antimikrobial pada manusia yang mengakibatkan tingginya angka

morbiditas dan mortalitas serta naiknya biaya kesehatan.

Residu antibiotik di dalam telur serta produk hewan lainnya, dapat menimbulkan

ancaman potensial terhadap kesehatan masyarakat bila dikonsumsi dalam waktu yang lama

(Lukman 1994), ancaman tersebut dapat berupa:

1. aspek  toksikologis, yaitu residu antibiotik dapat bersifat racun terhadap hati, ginjal,

dan pusat hemopoitika,

Page 2: kloramfenikol

2. aspek mikrobiologis, yaitu residu antibiotik akan menggangu keseimbangan

mikroflora di dalam saluran pencernaan sehingga dapat menggangu metabolisme

tubuh,

3. aspek imunopatologis, yaitu residu antibiotic dapat menjadi faktor pemicu timbulnya

reaksi alergi dari yang bersifat ringan sampai berat dan bersifat fatal,

4. menimbulkan gangguan pada sistem saraf dan kerusakan jaringan

Sehubungan dengan bahayanya dampak residu ini, maka perlu diketahui sejauh mana

keberadaan residu antibiotika dalam produk peternakan. Tulisan ini menguraikan beberapa

hal dari residu antibiotik kloramfenikol golongan amphenicol mulai dari pengenalan akan

kloramfenikol itu sendiri sampai kepada residu dan penanganan yang dapat dilakukan untuk

meminimalisir terjadinya residu pada daging dan telur ayam.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa manfaat antibiotik?

2. Apa itu kloramfenikol?

3. Bagaimana proses kloramfenikol menjadi residu di dalam telur ayam?

4. Apa dampak dari residu yang ditimbulkan?

5. Bagaimana meminimalisir residu kloramfenikol dalam produk hasil peternakan?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui apa itu antibiotik serta manfaatnya

2. Mengetahui apa itu kloramfenikol dan kegunaannya

3. Mengetahui proses kloramfenikol menjadi residu di dalam telur ayam

4. Mengetahui dampak residu kloramfenikol dalam produk hasil peternakan dan cara

menimimalisirnya

Page 3: kloramfenikol

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kloramfenikol

Kloramfenikol adalah salah satu jenis antibiotika turunan amfenikol yang secara alami

diproduksi oleh Streptomyces venezuelae Melalui pengembangan teknologi fermentasi,

kloramfenikol dapat diisolasi, disemisintesis menjadi antibitoka turunannya, antara lain

tiamfenikol dan turunan lain melalui berbagai reaksi kimia dan enzimatis.

gambar: Struktur bangunan kloramfenikol

Senyawa dengan rumus molekul C11H12Cl2N2O5 dan nama kimia D(-) treo-2-

dikloroasetamido-1-p-notrofenilpropana-1,3-diol. Struktur bangun kloramfenikol memiliki

dua atom karbon asimetrik, sehingga menghasilkan 4 stereo isomer. Mekanisme kerja

kloramfenikol sebagai anti bakteri bersifat stereo spesifik, karena hanya satu stereo isomer

yang memiliki aktivitas anti bakteri, yaitu D(-) treo-isomer. Kloramfenikol bekerja pada

spektrum luas, efektif baik terhadap Gram positif maupun Gram negatif. Mekanisme kerja

kloramfenikol melalui penghambatan terhadap biosintesis protein pada siklus pemanjangan

rantai asam amino, yaitu dengan menghambat pembentukan ikatan peptida. Antibiotika ini

mampu mengikat subunit ribosom 50-S sel mikroba target secara terpulihkan, akibatnya

terjadi hambatan pembentukan ikatan peptida dan biosintesis protein. Kloramfenikol

umumnya bersifat bakteriostatik, namun pada konsentrasi tinggi dapat bersifat bakterisidal

Page 4: kloramfenikol

terhadap bakteri-bakteri tertentu. Kloramfenikol efektif terhadap riketsia dan konjungtivitis

akut yang disebabkan oleh mikoroorganisme, termasuk Pseudomonas sp kecuali

Pseudomonas aeruginosa. Senyawa ini juga efektif untuk pengobatan infeksi berat yang

disebabkan oleh bakteri Gram positif dan Gram negative.

2.2 Manfaat penggunaan Kloramfenikol

Adapun yang menjadi manfaat penggunaan kloramfenikol, antara lain :

1. Kloramfenikol merupakan antibiotik berspektrum luas, sehingga antibiotik ini

direkomendasi untuk Salmonela.

2. Kloramfenikol lebih sensitif dari pada amoksisilin dan tetrasiklin dalam pengujian

terhadap Salmonela, karena pengujian Salmonela menggunakan Amoksisilin dan

Tetrasiklin memiliki kecenderungan lebih resisten.

3. Berfungsi sebagai pencegah infeksi sekunder dari penyakit respirasi kronis dan blue

comb pada unggas.

Page 5: kloramfenikol

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Kloramfenikol Sebagai Residu

Pada awalnya kloramfenikol digunakan pada peternakan ayam sebagai pengobatan

penyakit Salmonellosis dan promotor pertumbuhan. Namun kloramfenikol akan

meninggalkan residu pada daging dan telur yang dihasilkan ayam tersebut. Jika dikonsumsi

secara berlebih, kloramfenikol dapat menyebabkan ketidaknormalan produksi sel darah

(blood dyscrasias) atau menyebabkan anemia aplastik akibat kerja kloramfenikol pada

sumsum tulang. Kloramfenikol juga diketahui memiliki sifat karsinogenik.

Oleh sebab itu, beberapa negara seperti Cina, Uni Eropa, Amerika Serikat, dan

beberapa negara lainnya telah melarang penggunaan kloramfenikol pada ayam. Bahkan Uni

Eropa telah menetapkan Minimum Required Performance Limit(MRPL) untuk kloramfenikol

pada makanan yang berasal dari hewan sebesar 0,3 µg/kg, karena tingkat yang aman dari

dosis kloramfenikol belum diidentifikasi. Meski demikian pemakaian kloramfenikol masih

banyak ditemui karena selain memiliki harga yang murah, keefektifannya dalam melawan

infeksi bakteri juga konsisten.

Belum adanya perhatian pada aturan segi penerimaan komoditi telur. Seperti berbagai

jenis obat hewan yang digunakan pada unggas baik untuk daging telur maupun produksi

telur. Kendala terbesar untuk memonitoring program ini adalah kurangnya standarisasi pada

metodologi yang digunakan. Seperti ketiadaan sistem analisa ditempat, tidak adanya

penegakan pada sistem monitoring, juga tidak adanya data nasional untuk residu antibiotik

atau antimikroba pada telur. Baru-baru ini CFIA (Canadian Food Inspection Agency)

memonitoring telur baik dari domestik maupun impor (diproduksi Amerika) terhadap residu

obat hewan. Studi screening pada telur dilakukan untuk melihat keberadaan chloramphenicol,

β-lactams, fluroquinolones, macrolides, tetracyclines, decoquinate, holofugizone, dan

coccidiostat.

Telur disurvei dari 3569 sampel, ditemukan 33 yang berpotensial positif, 18 dari 33

dinyatakan positif (55% berasal dari Amerika). Tidak ada perbedaan yang berarti pada telur

Page 6: kloramfenikol

dari Canada dan Amerika. Residu telur dari Amerika terkontaminasi tetracylines yang berasal

dari Vermont, Michigan, dan Minnesota. Sulfonamides ada pada telur yang berasal dari

Maine dan Maryland. Macrolides dan nitromide ada pada telur dari Maine dan Minnesota.

Ethopabate dan clopidol dari Maryland. Adanya pola ekstra yang dihasilkan dari studi dan

dihubungkan ke frekuensi residu telur yang ada dipasaran, maka Amerika adalah yang

tersusah. Dengan kekurangan dari pengamatan residu di pasar Amerika, namun perkiraan

frekuuensi dari antibiotik dan sulfonamide berkurang kurang dari 1 %. Menggunakan data

dari Canada, 5 dari 18 telur yang positif residu yang mana diindikasikan bukan antibiotic

maupun sulfonamide. Antibiotik dan sulfonamide berkontribusi pada total sampel sebanyak

0,36%. Tanpa penurunan dari porsi dari total sampel yang berasal dari Amerika, maka adakan

susah sekali untuk diperkirakan.

Di Inggris, VMD (Veterinary Medicine Directorate) mengklaim 99,3% dari daging

unggas  dan 97% dari telur bebas dari residu. The Soil Association, grup yang berdedikasi

pada pangan organic mengklaim bahwa VMD menyediakan informasi yang salah dari akibat

dari residu. Mereka mengklaim kemungkinan 2000% lebih tinggi (Young dan Craig, 2002).

Adanya diskusi ini melibatkan perdebatan, maka diperlukan pendekatan logical pada data

semua residu sebelum publiksi oleh peneliti. Data dari Canada tidak jauh beda dengan

Amerika.kesimpulan yang dapat diambil yaitu sesuatu yang kurang dari 1% dari ukuran

residu produksi telur Amerika, 99% sisanya dinyatakan bebas antibiotik maupun

sulfonamide. Sayangnya kesimpulan ini didapat dari data yang minimal untuk

dinterpretasikan.

3.2 Proses Kloramfenikol menjadi residu

Pada dasarnya bila penggunaan antibiotik sesuai pada dosis dan prosedur penggunaan

maka kemungkinan adanya residu dapat diminimalisir. Akan tetapi, dewasa ini banyak

peternak mengacuhkan akan dampak yang dapat ditimbulkan akibat adanya residu yang

terdapat pada telur ayam. Residu dari kloramfeniol dapat hilang dengan sendirinya, hal

tersebut apat diketahui karena terdapat beberapa periode dari masuknya antibiotik hingga

antibiotik tersebut hilang. Pada kasus ini, residu kloramfenikol akan bertahan pada jaringan

unggas selama 24-48 jam setelah pemberian antibiotik. Kemudian residu tersebut pertama

kali muncul pada telur ayam (albumin dan kuning telur) sekitar 12-24 jam setelahnya. Residu

akan mencapai tingkat maksimum pada albumin sekitar 24 jam lebih dan 8-10 hari pada

kuning telur. Akan tetapi, residu tersebut akan hilang dengan sendirinya sekitar 60-72 jam

Page 7: kloramfenikol

pada albumin, 12-14 hari pada kuning telur, dan akan hilang total dari plasma jika ditambah

perluasan waktu sekitar 36-48 jam.

Pada proses hingga hilangnya kloramfenikol dari tubuh, memerlukan waktu yang

cukup panjang. Hal tersebut memiliki dampak turunya omset peternak, apabila pada selang

waktu sekitar 18 hari tersebut tidak ada penjualan hasil produksi telur. Sehingga peternak

memaksakan diri untuk menjual hasil produksinya, meskipun telur-telur tersebut masih

terkandung residu kloramfenikol didalamnya. Dari masalah tersebut, secara tidak langsung

berdampak pada kesehatan konsumen yang tidak tahu-menahu mengenai residu tersebut.

Sehingga pada akhirnya kesehatan dari konsumen yang menjadi taruhannya. Residu

antibiotik di dalam telur serta produk hewan lainnya, dapat menimbulkan ancaman potensial

terhadap kesehatan masyarakat bila dikonsumsi dalam waktu yang lama, ancaman tersebut

dapat berupa:

1. aspek  toksikologis, yaitu residu antibiotik dapat bersifat racun terhadap hati, ginjal,

dan pusat hemopoitika,

2. aspek mikrobiologis, yaitu residu antibiotik akan menggangu keseimbangan

mikroflora di dalam saluran pencernaan sehingga dapat menggangu metabolisme

tubuh,

3. aspek imunopatologis, yaitu residu antibiotic dapat menjadi faktor pemicu timbulnya

reaksi alergi dari yang bersifat ringan sampai berat dan bersifat fatal,

4. menimbulkan gangguan pada sistem saraf dan kerusakan jaringan

3.3 Upaya yang Dapat Dilakukan untuk Meminimalisir Residu Antibiotik

Kloramfenikol pada Telur Ayam

Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisir residu antibiotik kloramfenikol

pada telur ayam adalah:

Menggunakan Antibiotik Alami

Beberapa makanan diketahui mengandung zat antibiotik yang bisa membantu

membersihkan darah dan membunuh bakteri jahat secara alami. Dalam istilah herbalogi, zat

yang bersifat antibiotik ini disebut dengan astringent.Dengan mengonsumsinya saat sakit,

bisa mempercepat proses penyembuhan. Namun, bukan berarti Anda tak menghabiskan obat

antibiotik yang sudah diresepkan dokter. Berikut empat makanan sumber antibiotik seperti :

1. Bawang merah dan bawang putih

Page 8: kloramfenikol

Keduanya memiliki sifat antibakteri. Bawang merah dan bawang putih sejak lama telah

digunakan untuk penyakit ringan hingga berat. Penelitian juga menunjukkan kalau sifat

antijamur pada bawang putih bisa membantu mencegah infeksi. Lalu, baik bawang merah

maupun bawang putih bisa membantu tubuh melawan virus flu.

2. Madu

Madu digunakan sebagai pengobatan antibakteri, jauh sebelum antibiotik sintetis

dikembangkan. Madu diketahui mengandung enzim dan antimikroba, yang melepaskan

hidrogen peroksida dan mencegah pertumbuhan bakteri tertentu.

3. Kubis

Sayuran jenis cruciferous, seperti brokoli, kembang kol dan kubis Brussel, telah lama

dipercaya membantu mempercepat penyembuhan penyakit. Kandungan vitamin C-nya, yang

dikenal sebagai antibiotik alami. Bisa memenuhi hingga 75 persen kebutuhan orang dewasa.

4. Makanan berfermentasi

Beberapa dokter menganjurkan mengonsumsi probiotik sambil memberikan perawatan obat

antibiotik. Hal ini untuk menggantikan bakteri baik, mikroflora, yang hancur karena sistem

pencernaan. Anda bisa mengonsumsi acar atau produk minuman probiotik.

Gunakan Antibiotik Alami Tanpa Residu

Seiring dengan semakin berkembangnya sistem peternakan organik (organic farming).

Upaya pencarian alternatif aditif pakan untuk menggantikan antibiotik lebih banyak

diarahkan pada pemanfaatan senyawa peptida yang bersifat antibacterial sehingga diharapkan

dapat meningkatkan performa unggas dan meminimalisir residu antibiotik pada daging

unggas. Peptidobiotik merupakan salah satu senyawa peptida yang berpotensi untuk

menggantikan antibiotik.

Peptidobiotic mengandung arti senyawa peptida (peptide) yang berfungsi untuk

mengendalikan mikrobiota (biotic) yang merugikan dalam saluran pencernaan ternak.

Berbeda dengan antibiotik, pemakaian peptidobiotic sebagai imbuhan pakan membawa

keunggulan tersendiri yaitu tidak menimbulkan residu kimiawi dalam daging dan hasil ternak

lainnya. Diperkenalkannya peptidobiotic sebagai antibiotik generasi baru merupakan

pengembangan dari probiotik yang selama ini dikenal. Salah satu jenis peptidobiotic adalah

pediocin. Pediocin merupakan senyawa peptida yang tersusun dari 44 asam amino

diantaranya adalah lisin, hisitidin dan aspartat selain itu cukup stabil terhadap pemanasan

(heat stable). Pediocin dapat diproduksi oleh bakteri asam laktat dari kelompok Lactococcus

spp. dan Pediococcus spp. yang ditumbuhkan pada medium tumbuh yang mengandung whey

(limbah pembuatan keju).

Page 9: kloramfenikol

Pediocin merupakan senyawa peptida yang memiliki daya antibateria berspektrum

luas (wide spectrum) sehingga mampu menghambat bakteri golongan gram positif dan gram

negatif.seperti L. monocytogeneisis, C. perfringens, E. faecalis dan S. aereus. Bakteri-bakteri

tersebut selain dapat menyebabkan jangkitan penyakit juga menyebabkan kerusakan /

pembusukan dalam bahan pangan maupun pakan. Kelebihan dari peptidobiotik (pediocin) ini

selain stabil dalam pemanasan (termostable) juga relatif stabil terhadap kondisi asam dengan

kisaran keasaman (pH) 2-10, serta mudah larut dalam air.

Kondisi ini sangat menguntungkan dalam aplikasinya untuk aditif pakan ternak.

Pemanfaatan pediocin sebagai bahan imbuhan pakan pengganti antibiotik mampu

meningkatkan performa unggas. Hasil penelitian Grilli dkk. (2009) menyatakan bahwa

penambahan pediocin dalam pakan dapat menjaga saluran pencernaan dari infeksi bakteri

Clostridum perfringens dan coliform dan memperbaiki performa ternak.

Hasil penelitian Grilli dkk (2009) tersebut membuktikan bahwa walaupun diinfeksi

dengan bakteri Clostridium, ayam yang diberi pediocin memiliki pertumbuhan dan efisiensi

pakan yang lebih baik dibandingkan tanpa pemberian pediocin. Peningkatan performa unggas

ini dikarenakan keberadaan peptidobiotik ‘pediocin’ yang mampu menekan pertumbuhan

bakteri Clostridium perfringens dalam saluran pencernaan. Infeksi Clostridium perfringens

pada unggas menyebabkan penyakit necrotic enteritis seperti kejadian diare akut yang dapat

berakibat pada kematian ayam. Pediocin yang dihasilkan bakteri asam laktat golongan

Pediococcus acidilacti yang ditambahan pada pakan mampu meningkatkan kekebalan tubuh

ayam dari penyakit berak darah (koksidiosis). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lee dkk

(2007) membuktikan bahwa pemberian Pediococcus acidilacti (penghasil Pediocin) mampu

meningkatkan antibodi spesifik terhadap Eimeria yang merupakan parasit penyebab penyakit

koksidia.

Pengaruh positif dari penambahan pediocin dalam ransum unggas dalam menurunkan

koloni bakteri Clostridium dan meningkatkan imunitas akan berpengaruh pada efisiensi

pakan, pertambahan berat hidup dapat ditingkatkan dan mortalitas unggas dapat ditekan.

Keuntungan ganda dari keberadaan pediocin sebagai antibakteria untuk menekan

pertumbuhan bakteri pathogen, meningkatkan sistem kekebalan (immunomodulator) dan

tidak menimbulkan residu pada produk unggas menjadi harapan tersendiri sebagai imbuhan

pakan ‘generasi baru’ pengganti antibiotik.

Sisodia C.S. and R. H. Dunlop. Chlorampenicol Residue In Eggs. 1972 Dec; (13)12

Page 10: kloramfenikol

Smith CT, dkk. Ronnel residues in eggs of poultry. J Econ Entomol. 1965 Dec;58(6):1160–

1161

SNI. 2001. Batas baksimum cemaran mikroba dan batas maksimum residu dalam bahan

makanan asal hewan. Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner. Direktorat Jendral Bina

Produksi Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta

.