k§~~{~{id )ocd. pikiran rakyat ,o(nonunpad)...

2
K§~~{~{ID Pikiran Rakyat ( kolom )OCD. ~-~ ,O(NONUNPAD) () o Sabtu 0 Minggu Senin o Selasa o Rabu o Kamis o Jumat 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 OJan OPeb o Mar OApr .Mei OJun OJul OAgs 12 13 14 15C\ 16 27 28 29 ~ 31 o Sep 0 Okt 0 Nov 0 Des Pancasila di Tengah Globalisas· S ATU Juni sebagai hari kelahiran Pancasila tentunya bukan sekadar mengenang atas lahirnya ideologi negara, tetapi sejauhmana ideologi Pancasila masih mewarnai perilaku warga dan para elite negeri dengan serius dan kon- sisten menjalankan berbagai sistem kenegaraan, mulai dari sistem politik, ekonomi, sosial, dan sebagainya. Aktualisasi dan dialektika . Pancasila dalam konteks kekinian terus-menerus di- ragukan keampuhannya, khususnya dalam era global yang lebih diwarnai oleh libe- ralisme yang sangat kapitalis- tik dan individualistik. Kejuju- ran nurani dan kejernihan berpikir dari semua warga dan elite untuk merekonstruksi dan refleksi, tentunya menjadi kunci apakah Pancasila masih tetap relevan dan ampuh seba- gai ideologi negara yang bisa memberi solusi tepat dalam krisis yang multidimensi saat ini. Sementara pengaruh global terus merasuk dan menawarkan ideologi alter- natifyang lebih "disukai" dan dianut dalam keseharian. Karut marutnya sistem birokrasi, hukum, ekonomi, politik karena ulah para elite negeri justru menjadi antitesis dan atau fakta yang tak bisa dihindari, betapa Pancasila telah "dilupakan" dan atau tak lagi diminati warganya. Itulah fenomena yang me- ngundang "senyum" para ma- hasiswa dan masyarakat dalam keseharian melalui obrolan ringan di tempat-tem- pat umum. Dan jika akhir- akhir ini, euforia tuntutan ter- hadap Pancasila harus direvi- talisasi semakin massif, khususnya di kalangan para pendidik dan atau pemerhati moral dan etika. Tentunya menarik untuk dicermati dan dikritisi dengan kejernihan pikiran dan nurani. "Kerinduan" ini seakan menjadi inspirasi dan tenaga baru akan keampuhan Pan- casila sebagai ideologi negara yang menuntun warganya un- tuk hidup rukun, damai, dan memiliki jiwa gotong royong. Di lain pihak, situasi ini telah mengingatkan kembali bahwa Pancasila kini telah "dilu- pakan" dan atau "diting- galkan" warganya. Kemudian, Pancasila secara praktis telah menyisakan di- alektika wacana yang tak mu- dah dilupakan.khususnya pa- da ranah sejarah kekuasaan pada masa lalu. Pancasila sebagai "way of life" sudah lama dipengaruhi dart dihadapkan pada demokrasi liberal yang sangat kosmopolit. Negara sebagai praksis politik yang berlan- daskan Pancasila seolah tidak menyadari sedang bersaing dengan demokrasi kosmopoli- tan. Pancasila sebagai politik kultural yang dibangun bersama para pendahulu negeri ini mulai kehilangan ruh kepercayaan, karena . dalam ranah implementasinya masih terdapat berbagai kelemahan internal maupun eksternal. Para elite negeri tak lagi , menyadari bahwa memba- ngun negara tidak hanya cu- kup melalui janji-janji politik dan jumlah produksi peratur- an atau hukum yang diber- lakukan, sementara dalam ranah implementasinya masih sarat dengan ketidaktaatan dan ketidakpatuhan yang di- lakukan para elite itu sendiri. Negara sebagai institusi politik suatu bangsa, sejatinya memiliki politik kultural dan struktural yang kokoh, yang benar-benar mampu bersaing dengan detnokrasi liberal, bukan untuk saling melemahkan dan meniadakan. Persoalannya, bukan pada baik buruknya suatu ideologi, tetapi sejauh mana para elite negara mampu mengemban amanah dan substansi demokrasi itu sendiri yang diamanatkan Pancasila. Esensi demokrasi bukan pa- da persaingan untuk memper- oleh kekuasaan pada segelintir elite birokrasi dan politikus, namun sejauh mana dapat memberi manfaat sebagai ru- ang diskusi yang egaliter kritis dan bertanggungjawab untuk --------~--~---- meraih kedamaian, kemajuan, dan kesejahteraan bersama. Dengan demikian, pa pun bentuk demokrasin a (terma- suk demokrasi Pancasila) da- patdiukur melalui keberrnak- naan universal, di mana kepu- tusan-keputusan legitimasi be- rasal dari masyarakat yang mereka tentukan sendiri dan keputusan mayoritas harus di- anggap mengikat. Demokrasi liberal (baca global) yang diperankan ne- garf-negara yang lebih dulu maju seolah tak mengenal kompromi dengan emokrasi yang sedang dibangun di ne- gara-negara berkembang. Politik kultural seolah tak mampu untuk bertahan dan bersaing dengan kepentingan- kepentingan politik praktis, bisnis negara-negara maju. Maka, sebagian para elite di negara berkembang tampil sedemikian rupa untuk menyejajarkan dan mernak- sakan diri dengan negara-ne- gara yang lebih dul menga- nut demokrasi kosmopolit. Upaya "menghid pkan" kembali Pancasila sebagai ide- ologi politik demokratis, ten- tunya harus dikaji ulang dalam hubungannya dengan serang- kaian proses-proses global, re- gional, dan lokal yang benar- benar sangat kompleks.*** Suwandi Sum rtias, pengajar Komunikasi Politik Fikom Unpad. Kliping Humas Unpad 2011

Upload: vokhuong

Post on 14-Mar-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

K§~~{~{IDPikiran Rakyat( kolom )OCD.

~-~,O(NONUNPAD)( )

o Sabtu 0 Minggu• Senin o Selasa o Rabu o Kamis o Jumat

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1117 18 19 20 21 22 23 24 25 26

OJan OPeb oMar OApr .Mei OJun OJul OAgs

12 13 14 15C\ 1627 28 29 ~ 31o Sep 0 Okt 0 Nov 0 Des

Pancasila di Tengah Globalisas·SATU Juni sebagai hari

kelahiran Pancasilatentunya bukan

sekadar mengenang ataslahirnya ideologi negara,tetapi sejauhmana ideologiPancasila masih mewarnaiperilaku warga dan para elitenegeri dengan serius dan kon-sisten menjalankan berbagaisistem kenegaraan, mulai darisistem politik, ekonomi, sosial,dan sebagainya.Aktualisasi dan dialektika

. Pancasila dalam kontekskekinian terus-menerus di-ragukan keampuhannya,khususnya dalam era globalyang lebih diwarnai oleh libe-ralisme yang sangat kapitalis-tik dan individualistik. Kejuju-ran nurani dan kejernihanberpikir dari semua warga danelite untuk merekonstruksidan refleksi, tentunya menjadikunci apakah Pancasila masihtetap relevan dan ampuh seba-gai ideologi negara yang bisamemberi solusi tepat dalamkrisis yang multidimensi saatini.Sementara pengaruh global

terus merasuk danmenawarkan ideologi alter-natifyang lebih "disukai" dandianut dalam keseharian.Karut marutnya sistembirokrasi, hukum, ekonomi,politik karena ulah para elitenegeri justru menjadi antitesisdan atau fakta yang tak bisadihindari, betapa Pancasilatelah "dilupakan" dan atau tak

lagi diminati warganya.Itulah fenomena yang me-

ngundang "senyum" para ma-hasiswa dan masyarakatdalam keseharian melaluiobrolan ringan di tempat-tem-pat umum. Dan jika akhir-akhir ini, euforia tuntutan ter-hadap Pancasila harus direvi-talisasi semakin massif,khususnya di kalangan parapendidik dan atau pemerhatimoral dan etika. Tentunyamenarik untuk dicermati dandikritisi dengan kejernihanpikiran dan nurani."Kerinduan" ini seakan

menjadi inspirasi dan tenagabaru akan keampuhan Pan-casila sebagai ideologi negarayang menuntun warganya un-tuk hidup rukun, damai, danmemiliki jiwa gotong royong.Di lain pihak, situasi ini telahmengingatkan kembali bahwaPancasila kini telah "dilu-pakan" dan atau "diting-galkan" warganya.Kemudian, Pancasila secara

praktis telah menyisakan di-alektika wacana yang tak mu-dah dilupakan.khususnya pa-da ranah sejarah kekuasaanpada masa lalu.Pancasila sebagai "way of

life" sudah lama dipengaruhidart dihadapkan padademokrasi liberal yang sangatkosmopolit. Negara sebagaipraksis politik yang berlan-daskan Pancasila seolah tidakmenyadari sedang bersaingdengan demokrasi kosmopoli-

tan. Pancasila sebagai politikkultural yang dibangunbersama para pendahulunegeri ini mulai kehilanganruh kepercayaan, karena

. dalam ranah implementasinyamasih terdapat berbagaikelemahan internal maupuneksternal.Para elite negeri tak lagi ,

menyadari bahwa memba-ngun negara tidak hanya cu-kup melalui janji-janji politikdan jumlah produksi peratur-an atau hukum yang diber-lakukan, sementara dalamranah implementasinya masihsarat dengan ketidaktaatandan ketidakpatuhan yang di-lakukan para elite itu sendiri.Negara sebagai institusi

politik suatu bangsa, sejatinyamemiliki politik kultural danstruktural yang kokoh, yangbenar-benar mampu bersaingdengan detnokrasi liberal,bukan untuk salingmelemahkan dan meniadakan.Persoalannya, bukan padabaik buruknya suatu ideologi,tetapi sejauh mana para elitenegara mampu mengembanamanah dan substansidemokrasi itu sendiri yangdiamanatkan Pancasila.Esensi demokrasi bukan pa-

da persaingan untuk memper-oleh kekuasaan pada segelintirelite birokrasi dan politikus,namun sejauh mana dapatmemberi manfaat sebagai ru-ang diskusi yang egaliter kritisdan bertanggungjawab untuk--------~--~----

meraih kedamaian, kemajuan,dan kesejahteraan bersama.Dengan demikian, pa punbentuk demokrasin a (terma-suk demokrasi Pancasila) da-patdiukur melalui keberrnak-naan universal, di mana kepu-tusan-keputusan legitimasi be-rasal dari masyarakat yangmereka tentukan sendiri dankeputusan mayoritas harus di-anggap mengikat.Demokrasi liberal (baca

global) yang diperankan ne-garf-negara yang lebih dulumaju seolah tak mengenalkompromi dengan emokrasiyang sedang dibangun di ne-gara-negara berkembang.Politik kultural seolah takmampu untuk bertahan danbersaing dengan kepentingan-kepentingan politik praktis,bisnis negara-negara maju.Maka, sebagian para elite dinegara berkembang tampilsedemikian rupa untukmenyejajarkan dan mernak-sakan diri dengan negara-ne-gara yang lebih dul menga-nut demokrasi kosmopolit.Upaya "menghid pkan"

kembali Pancasila sebagai ide-ologi politik demokratis, ten-tunya harus dikaji ulang dalamhubungannya dengan serang-kaian proses-proses global, re-gional, dan lokal yang benar-benar sangat kompleks.***

Suwandi Sum rtias,pengajar Komunikasi PolitikFikom Unpad.

Kliping Humas Unpad 2011

KRISHNA AHADIYATj"PR"

SPANDUK berisi keprihatinan atas aksi anarkistis remaja, pada upacara pembukaan pendidikan dan pelatihan Pramuka Bela Ne-gara di Dodik Bela Negara Rindam III Siliwangi di Jln. Tangkubanparahu, Lembang, Kab. Bandung Barat, Rabu (25/'5). Aksi anar-kistis semakin marak di kalangan remaja, seiring semakinjauhnya mereka dari pengamalan Pancasila. *